Anda di halaman 1dari 5

Paper Matakuliah Manajemen Sumberdaya Perikanan

PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS EKOSISTEM


(STUDI KASUS: ASSESSMENT OF LOBSTER FISHERIES AND
SUSTAINABLE MANAGEMENT STRATEGIES: A CASE STUDY
OF EAFM IN CENTRAL LOMBOK – INDONESIA)

Oleh :
Abdullah Hanif
190302082
MSP B

MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN


PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2022
Latar Belakang
Pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu pengelolaan perikanan berbasis
ekosistem atau yang lebih dikenal oleh dunia dengan istilah Ecosystem based
fisheries management (EBFM) diidentifikasikan sebagai pengelolaan perikanan
yang mampu manampung dan menyeimbangkan berbagai kebutuhan dan
keinginan masyarakat, dengan memperkirakan kebutuhan untuk generasi
mendatang, dalam memanfaatkan barang dan jasa yang disediakan oleh ekosistem
kelautan. EBFM didefinisikan sebagai upaya pengelolaan perikanan yang
mencakup pengelolaan fisik, biologi, ekonomi dan interaksi sosial yang berada
dalam satu ekosistem, untuk mencapai beberapa tujuan sosial. Dalam konteks ini,
ekosistem adalah kesatuan unit yang meliputi keseluruhan faktor biotik (habitat,
makanan dll) dan faktor abiotik yang mempengaruhinya (Marasco et al., 2007).
Dari konsep EAF, banyak saat ini hanya mengambil konsep dari penilaian
spesies tunggal dan mengubahnya menjadi EAF, dan kemudian memperluas EAF
untuk memasukkan dimensi sosial dan ekonomi yang akan diambil. akun untuk
melaksanakan tujuan spesies tunggal. Ada jalan panjang di depan untuk mencapai
situasi di mana akanada pengelolaan efek ekosistem penangkapan ikan yang adil
dan berbasis ilmu pengetahuan. Tidak ditemukan tingkat optimal penangkapan
ikan selektif yang paling baik untuk mempertahankan keanekaragaman hayati
(Rochet et al. [38]). Di sisi lainperikanan seimbang membawa kematian
penangkapan ikan lebih sejalan dengan variasi alami dalam produktivitas yang
tersedia (Law et al. [62]). Untuk mencapai perikanan yang seimbang,
EAFM merupakan suatu konsep pengelolaan perikanan yang terpadu,
komprehensif, dan berkelanjutan dengan menyeimbangkan antara tujuan sosial
ekonomi serta tetap mempertimbangkan pengetahuan dan informasi tentang
ketidakpastian komponen biotik, abiotik, dan interaksi manusia dalam suatu
ekosistem perairan. Dalam konteks ini, konsep EAFM lebih menekankan pada
dimensi sumberdaya ikan dan keterkaitannya dengan ekosistem dan proses-proses
yang terjadi di dalamnya. Keterkaitan ini tidak hanya dilihat dari perspektif
ekologi, tetapi juga dengan sistem sosial sebagai unsur utama dalam pengelolaan
perikanan (Garcia, 2005)
Metode
Penelitian dilakukan selama 14 minggu dari bulan Agustus sampai
November 2019. Daerah penelitian berada di bawah yurisdiksi Kecamatan Pujut
Kabupaten Lombok Tengah, dan mencakup tiga lokasi: Teluk Awang, Teluk
Bumbang dan Teluk Gerupuk (Gambar 1). Ketiga teluk ini berhadapan langsung
dengan Samudera Hindia dan merupakan pusat perikanan lobster WPP 573.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara terstruktur
dengan kuesioner, focus group discussion (FGD) dan konsultasi publik.
Wawancara terstruktur dengan nelayan lobster dilakukan untuk mengetahui
ukuran individu, spesies dan volume tangkapan. Wawancara mendalam juga
dilakukan dengan informan kunci. Selain itu, dilakukan FGD dengan nelayan
lobster di tiga lokasi tersebut. Konsultasi publik dilakukan dengan berbagai
pemangku kepentingan untuk mengkonfirmasi hasil penilaian. Penilaian status
pengelolaan perikanan lobster menggunakan metode evaluasi Ecosystem
Approach to Fisheries Management (EAFM) dengan enam domain dan 32
indikator. Domain yang dinilai adalah domain sumber daya (stok), habitat dan
ekosistem, teknologi perikanan, domain sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Hasil
penilaian masingmasing domain dan indikator dianalisis menggunakan teknik
multicriteria flag modelling dengan indikator komposit. Perhitungan indikator
komposit menghasilkan nilai untuk setiap domain, yang digunakan untuk
menentukan nilai komposit keseluruhan untuk perikanan lobster. Rekomendasi
intervensi untuk perbaikan pengelolaan perikanan dikembangkan dengan menilai
status pengelolaan perikanan lobster menggunakan indikator EAFM.

Hasil dan Pembahasan


Lobster ditangkap sebagai benih dan ketika mereka mencapai ukuran
konsumsi. Penangkapan benih lobster secara besarbesaran dimulai pada tahun
2012 karena tingginya harga pasar. Nelayan menemukan beberapa lobster yang
telah mencapai ukuran konsumsi (1 kg atau lebih), dan menganggap bahwa salah
satu penyebab kelangkaan ini adalah meningkatnya jumlah nelayan. Khususnya
lobster berduri hias berukuran konsumsi menjadi lebih sulit ditemukan dan
nelayan harus melakukan perjalanan ke tempat penangkapan ikan yang lebih jauh
untuk mendapatkan lobster berukuran konsumsi, sehingga meningkatkan waktu
tempuh. Pada tahun 1994 tempat penangkapan lobster dapat dicapai dalam waktu
30 menit; namun pada tahun 2019, para nelayan harus menempuh perjalanan
sekitar dua jam. Nelayan juga mengatakan bahwa ETP (spesies langka, terancam
dan dilindungi) telah diambil di masa lalu, terutama penyu, tetapi tidak ada yang
dipanen dalam dua tahun terakhir.
Stok lobster di Lombok Tengah dapat digambarkan mengalami
pertumbuhan dan perekrutan penangkapan yang berlebihan. Atmaja [6]
menyatakan bahwa growth overfishing terjadi ketika ikan ditangkap sebelum
mereka memiliki kesempatan untuk tumbuh, sedangkan rekrutmen overfishing
terjadi ketika lebih sedikit juvenil yang masuk ke perikanan. Perekrutan
overfishing terjadi di perikanan lobster Lombok Tengah karena degradasi habitat.
Ada kebutuhan untuk mengedukasi nelayan tentang status stok lobster di wilayah
pesisir Lombok Tengah karena beberapa ekosistem pesisir terdegradasi akibat
pengembangan pariwisata. Perlu juga dilakukan penelusuran ketersediaan dan
status sumberdaya lobster di perairan Lombok Tengah agar data tersebut dapat
digunakan untuk menginformasikan kepada nelayan.

Kesimpulan
Secara keseluruhan status EAFM pengelolaan perikanan lobster di
Kabupaten Lombok Tengah berada pada kategori Sedang. Dari enam domain
EAFM yang dianalisis, Domain Sumberdaya Perikanan berstatus paling rendah
(Buruk), sedangkan Domain Habitat dan Ekosistem berada pada kategori status
Baik, dan empat dimensi sisanya berstatus Sedang. Untuk meningkatkan status
perikanan dan kesejahteraan nelayan lobster, pengelolaan perikanan lobster perlu
ditingkatkan, dengan pendekatan multisektoral yang menangani permasalahan di
keenam Domain tersebut. Strategi pengelolaan perikanan lobster berkelanjutan
yang diusulkan antara lain pengaturan kuota penangkapan, pelarangan
penggunaan alat tangkap benih lobster secara berlebihan, pengelolaan kualitas air,
optimalisasi penggunaan alat tangkap selektif, pembentukan kelompok kerja
pengelolaan lobster, perincian zonasi kawasan habitat lobster.
DAFTAR PUSTAKA

Garcia, S. M. 2005. Ecosystem approach to fisheries: a review of implementation


guidelines. ICES Journal of Marine Science, 62(3), 311-318.

Hilyana, S., Gigentika, S., & Rafandi, M. T. 2021. Assessment of grouper a


snapper fisheries with EAFM approach and sustainable strategy
management in Sumbawa-Indonesia. In IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science (Vol. 712, No. 1, p. 012049). IOP Publishing.

Marasco, R. J., Goodman, D., Grimes, C. B., Lawson, P. W., Punt, A. E., & Quinn

II, T. J. 2007. Ecosystem-based fisheries management: some practical


suggestions. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 64(6),
928-939.

Marpaung LS, Wardianto Y, Setyobudiandi I dan Arifin T 2018 Daya dukung


budidaya kerapu di jaring apung di Teluk Awang dan Teluk Bumbang,
NTB.Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan943-53

Radiarta IN and Erlania 2015 Analisisal dan kondisi temporal kualitas perairan
melalui pendekatan statistik multivariat di Teluk Gerupuk Provinsi
Nusa Tenggara Barat.J. Riset Akuakultur1

Anda mungkin juga menyukai