Anda di halaman 1dari 195

RUMPON SEBAGAI ALAT PENGELOLAAN PERIKANAN

PELAGIS DI PERAIRAN KEPULAUAN KEI

BENEDIKTUS JEUJANAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Rumpon sebagai Alat
Pengelolaan Perikanan Pelagis di Perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dan penulis lainnya telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016

Benediktus Jeujanan
NIM C461110011
RINGKASAN

BENEDIKTUS JEUJANAN. Rumpon sebagai Alat Pengelolaan Perikanan


Pelagis di Perairan Kepulauan Kei. Dibimbing oleh SULAEMAN
MARTASUGANDA, MUHAMAD FEDI M. SONDITA, ROZA
YUSFIANDAYANI, DANIEL R MONINTJA.

Rumpon merupakan salah satu alat bantu penangkapan ikan untuk


menangkap ikan pelagis. Penggunaan rumpon dalam kegiatan penangkapan ikan,
dengan menggunakan berbagai alat tangkap telah meningkatkan efektivitas dan
efisiensi penangkapan. Perkembangan penggunaan rumpon yang berlangsung
sangat pesat telah menimbulkan keperdulian yang besar terhadap kelestariaan
sumberdaya. Pengelolaan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara perlu memperhatikan aspek-aspek, ekologi,
teknologi, ekonomi dan sosial.
Penelitian ini bertujuan: (a) Mengkaji peraturan dan kebijakan yang
mempengaruhi keberlanjutan perikanan berbasis rumpon di perairan Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara dan (b) Menganalisis pengelolaan perikanan
rumpon dengan keterpaduan berdasarkan dimensi ekologi, teknologi, ekonomi
dan sosial untuk menentukan status keberlanjutannya dan atribut sensitif di
perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Menganalisis pengelolaan
perikanan rumpon dengan keterpaduan berdasarkan dimensi ekologi, teknologi,
ekonomi dan sosial untuk menentukan status dan atribut keberlanjutannya di
perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Penelitian ini dilakukan
untuk mengevaluasi terhadap penggunaan perikanan rumpon 5 tahun terakhir
serta mengkaji aturan dan kebijakan pemanfaatan rumpon saat ini di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara dengan menggunakan metode
Multidimensional Scaling (MDS) aplikasi RAPFISH dalam menentukan tingkat
keberlanjutan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara.
Hasil analisis terhadap evaluasi penggunaan perikanan rumpon dan
peraturan kebijakan pemeritah terhadap pemanfaatan serta keragaan perikanan
tangkap di perairan Kepulauan Kei menunjukkan bahwa jumlah perikanan
rumpon yaitu nelayan jaring bobo 243 orang, jaring bobo 12 unit, kapal jaring
bobo 52 unit, kapal pancing tonda 15 unit, kapal pancing ulur 12 unit, rumpon 214
unit serta nelayan penjaga rumpon 581 orang. Hasil perhitungan menunjukkan
bahwa luasan area pemasangan rumpon di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong
211.131 km2 dengan luas area per unit rumpon 5.864 km2 dengan luas rata-rata
antara rumpon berjarak 3,16 mil-laut.
Hasil analisis Multidimensional Scaling (MDS) menunjukkan bahwa status
keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara termasuk kategori ”cukup” berdasarkan keterpaduan
dimensi ekologi, teknologi, ekonomi dan sosial (53,71 pada skala 1-100). Bila
dilihat untuk setiap dimensi pengelolaan yang ada, maka status keberlanjutan
pengelolaan rumpon termasuk kategori cukup secara ekologi, teknologi, ekonomi
dan sosial. Atribut-atribut yang paling berpengaruh terhadap pengelolaan rumpon
di perairan Kepualaun Kei adalah zona kawasan pengelolaan rumpon, arus
perairan, kedalaman atraktor rumpon di perairan dan salinitas perairan (dimensi
ekologi), penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk penangkapan di rumpon,
keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar rumpon, penerapan teknologi
ramah lingkungan dan jarak antara rumpon yang dioperasikan (dimensi
teknologi), nilai B/C ratio penangkapan pada rumpon, pendapatan nelayan
penjaga rumpon, nilai produksi dan nilai investasi rumpon (dimensi ekonomi),
potensi konflik stakeholders antar nelayan rumpon, pengaruh terhadap habitat,
status penggunaan bahan berbahaya dan pengaruh terhadap ikan-ikan yang
dilindungi (dimensi sosial).

Kata kunci :dimensi, keberlanjutan, kebijakan, kepulauan Kei, rumpon


SUMMARY
BENEDIKTUS JEUJANAN. FADs as Pelagic Fisheries Management Tools in the
Waters of the Kei Islands. Supervised by SULAEMAN MARTASUGANDA,
MUHAMAD FEDI M. SONDITA, ROZA YUSFIANDAYANI, and DANIEL R
MONINTJA.

FAD is one of the fishing tools to catch pelagic fish. The use of FADs with
a variety of fishing equipment has increased the effectiveness and efficiency of
fishing activities. The fast development of the use of FADs in the waters of the
Kei Islands has brought about great concern to the sustainability of marine
resources. Therefore, FAD fisheries management in the waters of the Kei Islands,
Southeast Maluku Regency should consider ecological, technological, economic
and social aspects.
This study aimed to (a) review regulations and policies that affected the
sustainability of FADs-based fisheriesin the last 5 years, including current
regulations and policies, in the waters of the Kei Islands, Southeast Maluku
Regency, using a method of Multidimensional Scaling (MDS) of RAPFISH
application and (b) to analyze FAD fisheries management that integrated
ecological, technological, economic and social dimensions to determine the status
of sustainability and sensitive attributes in the waters of the Kei Islands, Southeast
Maluku Regency.
The analysis results of the evaluation of the use of FAD fisheries and the
government’s regulations and policies on the utilization and performance of the
capture fishery in the waters of the Kei Islands showed that the number of FADs
included 243 fishermen of bobo nets, 12 units of bobo nets, 52 units of bobo net
boats, 15 units of troll lines boats, 12 units of drift long lines boats, 214 units of
FADs and 581 FAD guards. Based on the calculations, the FADs installation area
in the waters of the Nerong Strait in the Kei Islands covered an area of 211,131
km2 with a per unit area of 5,864 km2 with an average area between FADs
reaching 3,16 seamiles.
The analysis results of the Multidimensional Scaling (MDS) indicated that
the sustainability status of FAD fisheries management in the waters of the Kei
Islands, Southeast Maluku Regency was categorized as "sufficient" based on the
integration of ecological, technological, economic and social dimensions (53.71
on a scale of 1-100).The attributes that greatly influenced the management of
FADs in the waters of the Kei Island were the zone of FADs management, the
flow of water, the depth of FAD attractors in the waters and salinity waters
(ecological dimension); the use of fuel (BBM) for fishing at FADs, the benefits of
fishing around the FADs, the application of environmentally friendly technology
and the distance between FADs (technological dimension), the value of B / C ratio
of catching at FADs, the income of FAD guards, the values of production and
investment of FADs (economic dimension), the potential of stakeholders conflicts
especially among the fishermen of FADs, the effects on the habitat, the status of
the use of hazardous materials and the effects on the fish that are protected (social
dimension).

Keywords: dimension, sustainability, policy, the Kei Islands, FADs


Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RUMPON SEBAGAI ALAT PENGELOLAAN PERIKANAN
PELAGIS DI PERAIRAN KEPULAUAN KEI

BENEDIKTUS JEUJANAN

DISERTASI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Perikanan Laut

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN
BOGOR
2016
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Mulyono S Baskoro, MSc
Dr Ir Victor PH Nikijuluw, MSc

Pengujipada Ujian Promosi: Prof Dr Ir Mulyono S Baskoro, MSc


Dr Ir Victor PH Nikijuluw, MSc
PRAKATA

Puji dan Syukur penulis persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul: Rumpon sebagai
Alat Pengelolaan Perikanan Pelagis di Perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 sampai
Desember 2014 dapat diselesaikan. Publikasi yang telah di hasilkan adalah:
Sustainability of Fad-Based Pelagic Fisheries Around Kei Islands, South-East
Maluku Regency. International Jounal of Sciences Basic and Applied Research
(IJSBAR), vol 26, No 1,pp 331-340 tahun 2016, Pengelolaan Rumpon
Berkelanjutan pada Dimensi Ekonomi di Perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, vol. 7, No, 2.
Desember 2015.
Penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk
itu ungkapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada:
1. Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual yang telah memberi ijin belajar
untuk mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB;
2. Rektor dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Dekan
Sekolah Pascasarjana IPB yang telah menerima penulis studi di IPB. Terima
kasih kepada pimpinan PS: Teknologi Perikanan Tangkap (TPT), staf
pengajar dan tata usaha dalam proses pembelajaran selama ini
3. Dr Suleman Martasuganda, B.fish.Sc, MSc, Dr. Ir. M. Fedi A Sondita, MSc,
Dr. RozaYusfiandayani, S.Pi dan Prof. Ir Daniel R Monintja, MSc selaku
ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan banyak
masukan dan arahan demi perbaikan penulisan ini sejak penyusunan
proposal sampai penyelesaian disertasi.
4. Prof Dr Ir Mulyono S Baskoro, MSc dan Dr Ir Victor PH Nikijuluw, MSc.
Selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian promosi yang telah
memberikan banyak masukan demi penyempurnaan disertasi ini.
5. Pihak sponsor (NUFFIC-Belanda) melalui Proyek Fish-4 yang dikelolah
oleh MDF Pacific Indonesia di Bali dalam pembiayaan studi dan penelitian.
6. Nelayan penjaga rumpon, jaring bobo, pancing tonda dan pancing ulur dan
Desa nelayan serta Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Statistik
(BPS) Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual yang telah memberikan
banyak informasi/data yang dibutuhkan untuk penyelesaian disertasi ini.
7. Teman-teman angkatan 2011 (Pak Wawan Otarisa, Pak Nasirin, Pak
Sahwal, Pak Eis Almarhum, Ibu Lina dan Ibu Yanti) atas dukungan dan
persahabatan yang dibangun.
8. Teman-teman Persatuan Mahasiswa Maluku dan NTT di Bogor atas
kekeluargaan yang dibina serta dukungan yang diberikan.
9. Kakak-kakaku: Ibu Sintah bersama suami dan anak-anak (Ferdi dan
Richardo), Bung Ande bersama istri dan anak-anak (skifo), Bung Boby
bersama Istri dan anak-anak (Titin dan Ai), Bung Ateng bersama Istri dan
Anak-anak dan adik Tomo bersama istri dan anak-anak.
10. Romo Patris dan keluarga besar di Bombay serta Jayapura yang selama ini
selalu memberikan dorongan dan doa serta finansial membantu saya dalam
penyelesaian studi ini.
11. Istri (Paskalina Maria) dan anak tersayang (Yuliana Jeujanan) atas
dukungan dan doa yang selalu diberikan. Terima kasih untuk pengorbanan
yang dilakukan sebagai sumber motivasi dan dorongan dalam meraih semua
kesuksesan, termasuk penyelesaian studi ini. Semoga semua perjuangan
yang telah dilakukan bersama, menjadi berkat untuk kemuliaan Tuhan.

Bogor Juli 2016

Benediktus Jeujanan
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 7
Kebaharuan 7
Kerangka Pikir 7
Metode Penelitian 9
2 KERAGAAN PERIKANAN RUMPON DI PERAIRAN KEPULAUAN KEI
KABUPATEN MALUKU TENGGARA 11
Pendahuluan 11
Metode Penelitian 13
Hasil dan Pembahasan 13
Produksi Perikanan 15
Rumpon 16
Unit penangkapan jaring bobo 17
Pemilihan lokasi penempatan rumpon 18
Hak ulayat 19
Unsur – unsur hak ulayat 20
Peraturan pemasangan rumpon 21
Penetapan lokasi pemasangan rumpon 21
Penetapan peraturan dan kebijakan 24
Jumlah penduduk dan letak astronomi 25
Jumlah pulau, luas daratan dan panjang garis pantai 26
Luas perairan laut 27
Rumah tangga perikanan (RTP) penduduk nelayan 27
Kapal penangkapan 28
Alat tangkap 29
Produksi penangkapan 31
Potensi ikan pelagis kecil 31
Potensi ikan pelagis besar 32
Daerah penangkapan 33
Potensi perikanan tangkap 34
Penangkapan ikan pelagis pada rumpon 35
Kesimpulan 37
3 KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN RUMPON PADA DIMENSI
EKOLOGI 38
Pendahuluan 38
Metode Penelitian 41
Pengambilan data 41
Analisis data 41
Penentuan atribut dan analisis skoring dimensi ekologi menurut Code of
Conduct Responsible Fisheries (CCRF) 42
Hasil dan Pembahasan 45
Status keberlanjutan pengelolaan rumpon pada dimensi ekologi 45
Tingkah laku ikan 45
Suhu perairan 47
Salinitas perairan 47
Arus perairan 48
Zona kawasan pengelolaan rumpon 48
Jarak atraktor rumpon di perairan 50
Batas wilayah 51
Perubahan ukuran ikan 52
Status keberlanjutan pengelolaan rumpon dimensi ekologi 53
Kesimpulan 57
4 KEBERKELANJUTAN PENGELOLAAN RUMPON PADA DIMENSI
TEKNOLOGI 58
Pendahuluan 58
Metode Penelitian 60
Pengambilan data 60
Analisis data 60
Penentuan atribut dan analisis skorsing dimensi teknologi 61
Hasil dan Pembahasan 63
Penerapan teknologi ramah lingkungan 63
Rasio hasil tangkapan terhadap TAC 65
Keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar rumpon 66
Penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon 68
Ukuran kapal penangkapan 69
Tingkat akuntabilitas 72
Jarak rumpon yang dioperasikan 74
Status keberlanjutan pengelolaan rumpon dimensi teknologi 75
Kesimpulan 79
5 KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN RUMPON PADA DIMENSI
EKONOMI 80
Pendahuluan 80
Metode Penelitian 82
Pengambilan data 82
Analisis data 83
Penentuan atribut dan analisis skoring dimensi ekonomi 83
Analisis kelayakan usaha 84
Hasil dan Pembahasan 85
Nilai investasi rumpon 85
Konsumsi rumah tangga nelayan jaring bobo dan rumpon 88
Pendapatan nelayan jaring bobo dan nelayan rumpon 90
Nilai produksi 93
Nilai B/C ratio penangkapan pada rumpon 94
Kelayakan usaha berdasarkan Net Present Value (NPV) 94
Kelayakan usaha berdasarkan Internal Rate Return (IRR) 95
Kelayakan usaha berdasarkan Benefit-Cost (B/C Ratio 96
Kelayakan usaha berdasarkan Return of Investment (ROI) 97
Pertumbuhan usaha pendukung penangkapan 98
Rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung rumpon 100
Status keberlanjutan pengelolaan rumpon dimensi ekonomi 101
Kesimpulan 104
6 KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN RUMPON PADA DIMENSI SOSIAL
Pendahuluan 105
Metode Penelitian 105
Analisis data 107
Penentuan atribut dan analisis skoring dimensi sosial 108
Hasil dan Pembahasan 110
Status tingkat pendidikan nelayan 110
Mendapatkan pelayanan kesehatan 113
Status penggunaan bahan berbahaya 115
Pengaruh terhadap habitat 117
Pengaruh terhadap kehidupan nelayan 119
Keamanan hasil tangkapan di sekitar rumpon 123
Potensi konflik stakeholders (antar nelayan) 124
Pengaruh terhadap keanekaragaman hayati 127
Habitat utama/ekosistem pesisir dan laut di perairan Kepulauan Kei 128
Pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi 135
Status keberlanjutan pengelolaan rumpon dimensi sosial 137
Kesimpulan 141
7 PEMBAHASAN UMUM 142
Aspek keberlanjutan pada dimensi ekologi, teknologi, ekonomi dan sosial 143
Analisis kebijakan pengelolaan rumpon berkelanjutan di perairan
Kepulauan Kei 146
Strategi implementasi pengelolaan rumpon berkelanjutan di perairan
Kepulauan Kei 149
8 KESIMPULAN DAN SARAN 151
Kesimpulan 151
Saran 151
DAFTAR PUSTAKA 152
LAMPIRAN 160
DAFTAR TABEL

1 Jumlah nelayan jaring bobo, kapal dan rumpon serta nelayan


penjaga rumpon, di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara . 14
2 Produksi perikanan ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan Kei .. 15
3 Bahan dan material rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara .......................................................................................... 16
4 Spesifikasi jaring bobo di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara ......................................................................................... 17
5 Unsur-unsur hak ulayat laut di desa-desa perairan Kepulau Kei
Kabupaten Maluku Tenggara .......................................................... 20
6 Letak astronomis, jumlah desa dan jumlah penduduk berdasarkan
Kecamatan di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara .......... 25
7 Jumlah pulau, luas daratan dan panjang garis pantai berdasarkan
Kecamatan di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara .......... 26
8 Luas perairan laut berdasarkan Kecamatan di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara .......................................................... 27
9 Banyaknya nelayan dan kelompok nelayan di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara .......................................................... 28
10 Banyak perahu/kapal motor menurut jenis di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara .......................................................... 29
11 Sebaran alat penangkapan ikan di Kepualauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara ............................................................................. 30
12 Potensi ikan pelagis kecil di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara .......................................................................................... 32
13 Potensi ikan pelagis besar di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara .......................................................................................... 33
14 Luas daerah penangkapan ikan di Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara ............................................................................. 34
15 Pemanfaatan ikan di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara (wilayah kelola 0-4 mil laut) ........................................... 35
16 Pemanfaatan rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara .......................................................................................... 36
17 Atribut dan skor analisis dimensi ekologi dari pengelolaan
perikanan rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara 44
18 Ukuran panjang (cm) TL dari keempat spesies ikan pelagis kecil
di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ............................. 53
19 Atribut ekologi yang sensitif mempengaruh indeks keberlanjutan
pengelolaan rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara .......................................................................................... 56
20 Hasil uji statistik terhadap koefisien diterminasi (R2) dan stress 56
21 Analisis Monte Carlo terkait nilai indeks keberlanjutan ................. 56
22 Selang indeks dan status keberlanjutan teknologi pengelolaan
perikanan rumpon di Kepulauan Kei Kabuapeten Maluku
Tenggara .......................................................................................... 61
23 Atribut dan skor analisis dimensi teknologi pengelolaan perikanan
rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ................ 62
24 Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang berkelanjutan di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ................................. 64
25 Hasil seleksi unit penangkapan ikan berdasarkan aspek ramah
lingkungan di Kepulauan kei Kabupaten Maluku Tenggara ........... 65
26 Pendapatan nelayan dari penangkapan di sekitar rumpon di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ................................. 66
27 Penggunaan BBM untuk penangkapan ikan pada rumpon di
Kepulauan Kei Kabupaten maluku Tenggara .................................. 68
28 Ukuran serta bagian-bagian dari kapal fiberglass ........................... 72
29 Atribut teknologi yang sensitif mempengaruh ideks keberlanjutan
pengelolaan rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara .......................................................................................... 78
30 Hasil uji statistik terhadap koefisien diterminasi (R2) dan stress 78
31 Analisis Monte Carlo dan nilai indeks keberlanjutan dimensi
teknologi .......................................................................................... 78
32 Atribut dan skor analisis dimensi ekonomi pengelolaan perikanan
rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ................ 84
33 Investasi pengusahaan rumpon di Kepulauan Kei kabupaten
Maluku Tenggara ............................................................................. 86
34 Biaya investasi jaring bobo dan alat bantu rumpon di Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara ................................................... 87
35 Nilai pengeluaran rumah tangga nelayan jaring bobo dan nelayan
penjaga rumpon di Kepulauan Kei kabupaten Maluku Tenggara 89
36 Usaha rumpon dan keuntungan pada musim penangkapan di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ................................. 91
37 Biaya operasional yang dikeluarkan untuk satu kali trip melaut
pada alat bantu rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara .......................................................................................... 92
38 Kondisi penerimaan dari operasi jaring bobo pancing tonda dan
pancing ulur di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ........ 94
39 Kelayakan usaha perikanan berdasarkan Net Present Value (NPV) 95
40 Kelayakan usaha perikanan berdasarkan Internal RateReturn
(IRR) ................................................................................................ 96
41 Kelayakan usaha perikanan berdasarkan Benefit-Cost Ratio (B/C
Ratio................................................................................................. 97
42 Kelayakan usaha perikanan berdasarkan Return of Investment
(ROI) ................................................................................................ 97
43 Faktor-faktor internal perikanan jaring bobo dan rumpon di
Kepulauan kei Kabupaten Maluku Tenggara .................................. 99
44 Fakto-faktor eksternal perikanan pada jaring bobo dan perikanan
rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ................ 100
45 Atribut ekonomi yang sensitif mempengaruh indeks keberlanjutan
pengelolaan rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara .......................................................................................... 103
46 Hasil uji statistik terhadap koefisien determinasi (R2) dan stress 104
47 Analisis Monte Carlo terkait nilai indeks keberlanjutan ................. 104
48 Atribut dan skor analisis dimensi sosial pengelolaan perikanan
rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ................ 109
49 Pendidikan usia dan status pernikahan dari nelayan perikanan
rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ................ 111
50 Jumlah anak, tanggungan anak sekolah dan anggota keluarga
nelayan yang bekerja di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara .......................................................................................... 112
51 Indikator kesehatan rumah tangga rumpon di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara .......................................................... 114
52 Kriteria kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan pada
rumah tangga buruh nelayan rumpon di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara .......................................................... 115
53 Perbandingan situasi tekno-socio-economic antara nelayan
tradisional dengan nelayan industri ................................................. 122
54 Jenis-jenis lamun yang ditemukan pada perairan Kecamatan Kei
Kecil Tumur ..................................................................................... 128
55 Kekayaan spesies, persen tutupan karang batu dan komponen
penyusun terumbu karang di perairan pesisir Kecamatan Kei
Kecil Timur Kepulauan Kei Kabupaten maluku Tenggara ............. 130
56 Kepadatan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Kecematan
Kei Kecil Timur menurut posisi pengamatan di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara .......................................................... 131
57 Kepadatan, biomassa dan jumlah tangkapan yang dibolehkan
dari sumberdaya ikan pelagis besar di perairan Kecematan Kei
Kecil Timur di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara .................. 132
58 Kepadatan sumberdaya ikan demersal di perairan Kecematan Kei
Kecil Timur menurut posisi pengamatan di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara .......................................................... 133
59 Komposisi dan kelimpahan taksa, serta kepadatan ikan karang di
perairan pesisir Kecamatan kei Kecil Timur Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara ......................................................... 134
60 Sediaan cadang dan potensi ikan karang di perairan pesisir
Kecamatan Kei Kecil Timur Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara ........................................................................................ 134
61 Atribut sosial yang sensitif mempengaruh indeks keberlanjutan
pengelolaan rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara .......................................................................................... 140
62 Hasil uji satatistik terhadap koefisien determinsi ........................... 140
63 Analisis Monte Carlo terkait nilai indeks keberlanjutan ................ 140
DAFTAR GAMBAR

1 Keterkaitan rumpon dengan dimensi ekologi, ekonomi, teknologi


dan sosial ......................................................................................... 5
2 Kerangka pemikiran penelitian pengelolaan rumpon di
Kepulauan Kei ................................................................................. 9
3 Tahapan penelitian pengelolaan rumpon di Kepulauan Kei ................. 10
4 Rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ............. 16
5 Konstruksi dari badan jaring bobo di Kepulauan Kei ...................... 18
6 Lokasi penempatan rumpon di perairan Kepulauan Kei Selat
Nerong ........................................................................................... 23
7 Perkembangan jumlah produksi ikan pada setiap Kecamatan di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ................................. 31
8 Status keberlanjutan perikanan rumpon pada dimensi ekologi di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ................................. 54
9 Peran atribut dari dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk
perubahan nilai RMS di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara .......................................................................................... 55
10 Kite diagram keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ................................. 55
11 Kapal utama (tipe lembut) .............................................................. 70
12 Kapal Johnson (tipe slip) ................................................................ 70
13 Kapal pancing tonda di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara ........................................................................................ 71
14 Kapal yang terbuat dari fiberglass yang dpakai dalam penelitian ... 71
15 Status keberlanjutan perikanan rumpon pada diimensi teknologi di
Kepulauan Kei kabupaten Maluku Tenggara ................................ 76
16 Peran atribut dari dimensi teknologi yang dinyatakan dalam
bentuk perubahan nilai RMS di Kepualau Kei Kabupatten Maluku
Tenggara ........................................................................................ 77
17 Kite diagram keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ............................... 77
18 Sistem bagi hasil perikanan ruumpon dan jaring bobo di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ............................... 92
19 Produksi hasil tangkapan ikan pelagis menurut jenis sumberdaya
ikan di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara .................... 94
20 Status keberlanjutan perikanan rumpon pada dimensi ekonomi di
Kepualau Kei Kabupaten Maluku Tenggara ................................. 101
21 Peran atribut dari dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam
bentuk perubahan nilai RMS di Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara ............................................................................ 102
22 Kite diagram keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ............................... 103
23 Status keberlanjutan perikanan rumpon pada dimensi sosial di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ................................. 138
24 Peran atribut dari dimensi sosial yang dinyatakan dalam bentuk
nilai RMS di Kepualau Kei Kabupaten Maluku Tenggara ............ 139
25 Kite diagram keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di
Kepualauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara................................ 139
DAFTAR LAMPIRAN

1 Data potensi produksi dan produksi jaring bobo pada rumpon di


perairan Kepulauan Maluku Tenggara ............................................ 161
2 Asumsi dan koefisien ....................................................................... 162
3 Pendapatan Nelayan jaring bobo pada rumpon di perairan
Kepulauan Kei ................................................................................. 163
4 Model dan pendapatan nelayan jaring bobo pada rumpon di
perairan Kepulaua Kei Maluku Tenggara........................................ 164
5 Investasi dan penyusutan jaring bobo serta rumpon di perairan
Kepuluan Kei ................................................................................... 164
6 Koordinat penempatan rumpon di perairan Kepulauan Kei Selat
Nerong Kabupaten Maluku Tenggara ................................................... 165
7 Kontruksi rumpon yang diteliti di perairan Kepulauan Kei ........... 166
8 Armada penangkapan jaring bobo ................................................... 167
9 Proses penangkapan dengan jaring bobo ......................................... 168
10 Hasil tangkapan rumpon .................................................................. 169
11 Stakeholder kelompok nelayan rumpon ........................................ 170
DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN

ABK : Anak buah kapal.


Atribut : Sub faktor yang menentukan besar skor suatu dimensi keberlanjutan
perikanan rumpon.
CCRF : [Code of conduct for responsible fisheries] Tata laksana untuk perikanan
Bertangungjawab.
Dimensi : Kesatuan dari atribut-atribut terpilih yang digunakan dalam analisis
RAPFISH atau istilah dari aspek.
Ekosistem : Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak
terpisahkan antara makluk hidup dengan lingkungan.
FAD,s : [Fish Aggregating Devices] Alat bantu pengumpul ikan yang dipasang
dan ditempatkan pada perairan laut yang berfungsi sebagai tempat
mencari makan, memijah dan berlindung ikan.
FAO : [Food Agriculture Organisation] Badan/organisasi pangan dunia di PBB
MDS : [Multi Dimensional Scaling] Penskalaan secara multi dimensi,
merupakan multi teknik dalam penentuan posisi skala secara visual untuk
mempermudah pengambaran dalam metode RAFISH.
NPV : Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari
pengeluaran pada tingkat bunga tertentu.
Perikanan Pelagis : Suatu kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan atau pengumpulan
ikan yang umumnya berenang mendekati permukaan perairan hingga
kedalaman 200 m.
Pra-marturity : Belum dewasa (bersifat prematur).
RTP : (Rumah tangga perikanan)Rumah tangga berkerja sebagai nelayan
Stakesholders : Pemangku kepentingan.
Stok (stock) : Angka yang mengambarkan suatu nilai dugaan besarnya biomas ikan
berdasarkan kelompok jenis ikan dalam kurun waktu tertentu.
Stress : Nilai simpangan baku dari metode MDS sebagai ukuran jarak diantara
dua titik.
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Maluku Tenggara merupakan daerah kepulauan di Provinsi


Maluku. Wilayahnya terdiri atas 66 pulau dan sekitar 98% atau 18 758 km2
wilayah berupa lautan. Wilayah ini secara geografis berada di lautan Arafura,
merupakan daerah penangkapan ikan potensial di Indonesia (DKP Kabupaten
Maluku Tenggara 2013).
Lingkup nasional, Kepulauan Kei memiliki nilai strategis yang dapat
menjadi modal dasar peningkatan peran dan fungsi kota dalam sistem
pembangunan nasional. Kepulauan Kei dalam prespektif pemerintah pusat
ditempatkan sebagai simpul kota nasional, karena kedudukan sebagai pusat
kegiatan. Lingkup nasional Kepulauan Kei merupakan pusat kegiatan nasional
sektor perikanan tangkap. Ini diwujudkan dengan ditetapkannya Kepulauan Kei
menjadi salah satu kawasan minapolitan di Indonesia berdasarkan Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan bernomor KEP 32/MEN/2010 tentang penetapan
kawasan minapolitan.
Luas wilayah Kepulauan Kei yaitu 19 095.84 km2 yang terdiri atas daratan
seluas 352.29 km2 (1.84%) dan lautan seluas 18 743.55 km2 (98.16%). Posisi
Kepulauan Kei berada di antara 5 sampai 62 LS dan 131 sampai 1330 BT. Secara
geografis wilayah ini dibatasi oleh Laut Banda di sebelah Barat, Selat Nerong di
sebelah Utara (Kabupaten Maluku Tenggara), Kecamatan Kei Kecil di Sebelah
Timur Kabupaten Maluku Tenggara dan laut Arafura di Sebelah Selatan (DKP
Kabupaten Maluku Tenggara 2013). Secara administratif Kepulauan Kei terdiri
dari satu kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota
Tual. Berdasarkan pembagian wilayah pengelolaan perikanan (WPP) di Indonesia,
perairan Kepulauan Kei dimasukkan ke dalam WPP 714 (Laut Banda), sehingga
dapat dianggap mewakili potensi perikanan tangkap perairan laut Kepulauan Kei.
Produksi total perikanan sebesar 6 712.09 ton dan jumlah tangkapan tersebut di
perbolehkan (JTB) dengan nilai produksi 5 369.67 rupiah. Produksi perikanan
tersebut di peroleh dari komoditi-komoditi perikanan seperti ikan pelagis, ikan
demersal dan ikan karang dan non ikan (DKP Maluku Tenggara dan Kota Tual
2014).
Salah satu alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan skala kecil
dalam menyelesaikan keterbatasan tersebut adalah penangkapan ikan berbasis
rumpon. Menurut surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor.
26/PERMEN/2014 Pasal 2 tentang a. rumpon hanyut; dan b. rumpon menetap
Pasal 3 (1) rumpon hanyut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a,
merupakan rumpon yang ditempatkan tidak menetap, tidak dilengkapi dengan
jangkar dan hanyut mengikuti arah arus. (2) rumpon menetap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, merupakan rumpon yang ditempatkan secara
menetap dengan menggunakan jangkar dan/atau pemberat, terdiri dari: a. Rumpon
permukaan, merupakan rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang
ditempatkan di kolom permukaan perairan untuk menggumpulkan ikan pelagis;
dan b. Rumpon dasar, merupakan rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang
ditempatkan di dasar perairan untuk mengumpulkan ikan demarsal. Pasal 12 (1)
2

pemasangan rumpon wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a) sesuai dengan


daerah penangkapan ikan sebagaimana tercantum dalam SIPI; b) tidak
mengganggu alur pelayaran; c) tidak dipasang pada alur laut kepulauan Indonesia;
d) jarak antara rumpon yang satu dengan rumpon yang lain tidak kurang dari 10
(sepuluh) mil laut; dan e) tidak dipasang dengan cara pemasangan efek pagar (zig
zag). Monintja (1993) menyatakan bahwa rumpon dipasang di perairan pada
daerah penangkapan (fishing ground) tertentu, agar ikan-ikan tertarik untuk
berkupul di sekitar rumpon sehingga mudah ditangkap dengan alat penangkap
ikan. Ikan-ikan kecil berkumpul di sekitar rumpon karena terdapat lumut dan
plankton yang menempel pada atraktor rumpon. Ikan kecil ini mengundang ikan-
ikan lebih besar pemangsanya dan demikian seterusnya hingga ikan potensial
(seperti cakalang, tuna, tenggiri dan lainnya) berada di sekitar rumpon yang
dipasang di laut.
Kegiatan penangkapan ikan berbasis rumpon, mempunyai kelebihan
dibandingkan kegiatan penangkapan lainnya, yaitu: (a) mengurangi biaya
operasional penangkapan terutama bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan
komponen utama biaya operasional, (b) mempersingkat hari operasi penangkapan
(fishing trip), (c) mempunyai kepastian daerah operasi penangkapan (fishing
ground), dan (d) meningkatkan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan
Imron et al. (2006). Hasil ini juga didukung dengan hasil penelitian Naamin
(1987), dengan adanya rumpon sangat dirasakan manfaatnya oleh nelayan karena
dapat menghemat 50-60% bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan
komponen pembiayaan terbesar dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Berdasarkan penelitian Monintja, Baskoro dan Purbayanto (1987), bahwa
pemanfaatan rumpon yang mengunakan alat tangkap pancing untuk penangkapan
ikan madidihang (Thunnus albacares) yang merupakan salah satu jenis ikan tuna
di perairan Palabuhanratu dinilai dapat meningkatkan efesiensi dan efektivitas
usaha penangkapan ikan bagi nelayan.
Musim penangkapan ikan pelagis kecil yang baik di perairan Indonesia
umumnya berlangsung pada peralihan musim timur ke musim barat yaitu sekitar
bulan Agustus sampai Desember (Nurhakim et al. 1995). Sama halnya dengan
nelayan di perairan Kepulauan Kei juga mengenal dan membagi musim
penangkapan ikan menjadi tiga musim, yaitu musim puncak/Barat (Desember-
Maret), musim paceklik/peralihan I (April-Juli), musim Timur (Juni-Agustus) dan
musim sedang/peralihan II (September-November). Kegiatan penangkapan ikan
pada musim paceklik menurun drastis dibandingkan dengan pada saat musim
ikan. Musim penangkapan ikan di daerah ini berlangsung hampir sepanjang tahun,
sebab jenis alat tangkap yang digunakan relatif beragam dan musim ikan jenis
tertentu juga berbeda-beda. Umumnya adalah ikan pelagis kecil, seperti ikan
layang (Decapterus russselli), kembung (Rastrelliger kanagurta.), selar
(Selarroides leptolepis) dan tongkol (Auxis thazard). Jenis-jenis ini termasuk
perenang cepat, beruaya cukup jauh dan sifatnya bergerombol mengelompok.
Salah satu sifat ikan pelagis yaitu suka bergerombol merupakan faktor penting
bagi pemanfaatan usaha perikanan komersil. Adanya sifat mengelompok ini,
menyebabkan ikan dapat ditangkap dalam jumlah besar (Gunarso 1985). Tingkah
laku berkelompok pada ikan pelagis juga didasarkan atas jenis dan ukuran yang
berbeda pula dimana hal ini akan mempengaruhi pola tingkah laku mengelompok
pada suatu gerombolan ikan.
3

Ukuran ikan merupakan faktor penting karena menentukan upaya


penangkapan ikan itu berlebihan atau tidak. Ukuran ikan yang tertangkap
sebaiknya merupakan ukuran yang layak tangkap atau ikan yang telah memijah.
Menurut Widodo (2006), pengendalian jumlah, ukuran ikan atau ikan yang
tertangkap dapat dilakukan dengan penutupan daerah penangkapan, pembatasan
terhadap ukuran mata jaring, penentuan ukuran minimum ikan yang boleh
ditangkap dan pelarangan terhadap kegiatan penangkapan dimana terdapat
konsentrasi ikan-ikan kecil.
Semakin banyak atau semakin lama suatu usaha penangkapan dilakukan,
selain menghemat waktu dan biaya juga menghasilkan hasil tangkapan lebih
banyak: sampai sejauh ini hal tersebut belum dapat dilakukan, karena usaha
penangkapan masih bersifat tradisional. Semakin beragam komposisi hasil
tangkapan menunjukkan tidak selektifnya suatu alat tangkap. Menurut
Murdiyanto (2004), indikasi dari penangkapan yang berlebihan adalah ukuran
ikan hasil tangkapan yang makin kecil dan perubahan dalam komposisi hasil
tangkapan.
Rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan merupakan salah satu alat
bantu yang memberikan peranan besar bagi nelayan-nelayan kecil (tradisional) di
perairan Kepulauan Kei. Rumpon yang dioperasikan oleh nelayan setempat dapat
dikategorikan ke dalam dua kelompok, berdasarkan bahan konstruksinya. Jenis
yang pertama menggunakan bambu sebagai rangkanya sedangkan daun kelapa
sebagai atraktor. Jenis kedua, menggunakan drum plastik sebagai rangkanya
sedangkan untuk atraktor digunakan juga daun kelapa. Rumpon digunakan hanya
sebagai alat bantu untuk mengumpulkan ikan, untuk menangkap ikan-ikan yang
telah berkumpul tersebut di Kepulauan Kei biasanya menggunakan alat tangkap
utama berupa jaring bobo, pancing tonda dan pancing ulur. Ukuran yang berbeda
pula dimana hal ini akan mempengaruhi pola tingkah laku mengelompok pada
suatu gerombolan ikan (Laevastu et al. 1981).
Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk
mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi
permintaan sebagai sumber makanan dengan menggunakan berbagai jenis alat
tangkap. Produksi ikan dari kegiatan penangkapan juga dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang saling berinteraksi.
Evaluasi kelimpahan ikan berdasarkan kegiatan penangkapan ikan maupun
perubahan lingkungan laut dibutuhkan untuk tindakan pengelolaan perikanan
tangkap. Melakukan evaluasi dalam suatu kawasan perikanan membutuhkan data
runut waktu yang panjang, sehingga dapat menilai berbagai perubahan, baik
upaya penangkapan ikan maupun kondisi lingkungan laut. Evaluasi tersebut
merupakan input untuk identifikasi pengelolaan perikanan tangkap. Data yang
dibutuhkan untuk melakukan evaluasi, baik perikanan tangkap dengan meng-
gunakan alat bantu rumpon maupun faktor oseanografi, saat ini banyak tersedia
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Namun data yang tersedia masih kurang
dimanfaatkan, khususnya untuk mengevaluasi perikanan pelagis kecil di wilayah
perairan Kepulauan Kei.
Usaha penangkapan ikan berbasis rumpon sejak tahun 2004 telah mulai
dikembangkan oleh nelayan di perairan Kepulauan Kei khususnya di perairan
Selat Nerong. Saat itu, produktivitas hasil tangkapan nelayan yang ikut
memanfaatkan rumpon jauh lebih besar dibandingkan dengan yang tidak
4

memanfaatkan, sehingga terjadi kecemburuan sosial yang mengakibatkan potensi


konflik. Konflik yang timbul berkaitan dengan penggunaan daerah penangkapan,
alat tangkap dan jenis dan jumlah ikan yang ditangkap. Selain antar nelayan,
konflik juga terjadi antar nelayan rumpon dengan pengguna alur pelayaran karena
lokasi rumpon juga digunakan sebagai alur pelayaran sehingga sering terjadi
kerusakan rumpon. saat ini, rumpon yang dipasang di perairan Selat Nerong
Kepulauan Kei dengan jenis rumpon laut dangkal berjumlah 36 unit dengan
melibatkan 18 kelompok nelayan yang menggunakan rumpon sebagai tempat
operasi penangkapan.
Rumpon dan lampu pemikat ikan (baik petromaks ataupun lampu listrik)
selama ini lebih banyak dikenal nelayan Indonesia sebagai alat bantu untuk
mengumpulkan ikan (fish aggregating divice atau FAD), sehingga operasi
penangkapan ikan menjadi lebih efektif dan efisien (Sondita 1998; Monintja 1993;
Setiawan 1998; Ekaputra 2009). Individu ikan yang tersebar atau kawanan ikan
bergerak bebas, baik ketika melakukan ruaya (migrasi) maupun sedang berada di
suatu tempat, dirancang oleh nelayan agar berhenti, menetap atau berada tidak
jauh dari lokasi yang diinginkan nelayan, yaitu tempat pemasangan rumpon atau
lampu pemikat. Teknik manipulasi tingkah laku ikan ini telah lama diterapkan
oleh nelayan di tanah air dan kawasan Asia Tenggara ketika mereka menangkap
ikan-ikan pelagis yang biasa membentuk gerombolan atau fish schools atau fish
shools. Hasil atau output dari penggunaan rumpon ini tentu saja ikan yang
jumlahnya tergantung pada bebarapa faktor, seperti diantaranya adalah jumlah
ikan yang berkumpul di sekitar rumpon dan keefektifan alat penangkapan ikan
yang digunakan nelayan. Faktor pertama berkaitan dengan dimensi bagian
atraktor, kesesuaian tempat pemasangan rumpon dengan migrasi ikan, dan
kelimpahan ikan yang ada di perairan tempat pemasangan rumpon. Faktor kedua
tersebut ditentukan oleh dimensi alat tangkap dan cara atau metode penangkapan
ikan yang diterapkan. Jika sejumlah ikan yang berkumpul di sekitar rumpon maka
hasil tangkapan tidak akan melebihi jumlah tersebut. Jika alat tangkap sangat
efektif maka semua ikan yang berkumpul pada atau sekitar rumpon akan berhasil
ditangkap Sondita (2011).
Terkait dengan itu, agar pengelolaan rumpon yang dipasang dan
dimanfaatkan dapat berkelanjutan di Kepulauan Kei perairan Selat Nerong, perlu
dikaji secara mendalam tentang status keberlanjutan saat ini sebagai dasar dalam
menentukan kebijakaan yang akan diterapkan. Kebijakan tersebut dapat
mengakomodir pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengusahaan rumpon dan
melindungi semua demensi/komponen pengelolaan rumpon (teknik, biologi,
ekonomi, sosial) sehingga pengelolaan rumpon lebih dapat diandalkan, dapat
menjamin keberlangsungan usaha perikanan tangkap dilaut yang berbasis rumpon.
Hal ini sangat penting karena keberlanjutan rumpon berkaitan dengan usaha
penangkapan ikan di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara dan
Kota Tual, sehingga penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan
secara ekonomi dapat memberikan nilai manfaat bagi masyarakat luas khususnya
nelayan tanpa mengurangi kelestarian lingkungan dan sumberdaya ikan di
perairan. Selain itu, keberadaan rumpon secara sosial dan teknik dapat diterima
oleh nelayan dan masyarakat lainnya yang terkait dalam usaha di lokasi tersebut.
Menurut Charles (2001) keterkaitan rumpon dengan dimensi ekologi, teknologi,
ekonomi dan sosial.
5

Konsep dasar diatas berangakat dari upaya mengkritisi konsep keberlanjutan


perikanan konvensional, selama ini hanya bergantung pada konsep keberlanjutan
secara biologi-ekologi, lewat pendekatan Maximum Economic Yield (MEY).
Elaborasi yang dilakukan Charles (2001), ditambahkan paradigma baru yaitu
paradigma sosial dan komunitas. Hal ini berarti bahwa keberlanjutan perikanan
diupayakan dengan memeberikan perhatian utama pada aspek keberlanjutan
masyarakat perikanan sebagai sebuah sistem komunitas. Konsep perikanan
tradisional yang terbuka mampu melakukan pengawasan sendiri (self control)
terhadap hasil tangkapan, penggunaan teknologi penangkapan yang sesuai, adanya
kebersamaan yang tinggi antara anggota masyarakat serta adanya pengetahuan
tradisional yang mencerminkan upaya ketahanan dalam jangka panjang,
merupakan faktor penting dalam pendekatan ini. Dengan demikian, perikanan
yang berkelanjutan tidak semata-mata ditunjukan untuk kelestarian sumberdaya
ikan itu sendiri atau keuntungan ekonomi saja, akan tetapi lebih dari itu
keberlanjutan komunitas perikanan yang ditunjang oleh keberlanjutan
kelembangaan suatu kebijakan dari status keberlanjutan pembangunan perikanan
berbasis rumpon yang terintegrasi dari seluruh komponen (secara holistik), baik
aspek ekologi, teknologi, ekonomi dan sosial yang disajikan pada Gambar 1.

EKONOMI

TEKNOLOGI RUMPON SOSIAL

EKOLOGI

Gambar 1 Keterkaitan rumpon dengan dimensi ekologi, ekonomi, teknologi dan


Sosial

Perumusan Masalah

Sumberdaya perikanan yang mempunyai sifat hak milik bersama (common


property), dimana pemanfaatan sumberdaya tersebut dapat digunakan dalam
waktu bersamaan oleh lebih dari satu individu. Oleh karena itu pada jenis usaha
pemanfaatan yang akan memberikan tingkat keuntungan yang relatif baik, akan
menimbulkan tekanan pemanfaatan yang kuat sehingga apabila tidak diatur
dengan baik akan cenderung mengarah pada pemanfaatan berlebihan dan tidak
menutup kemungkinan terjadinya ancaman atas kelangsungan usaha itu sendiri.
6

Keberadaan rumpon di perairan Kepulauan Kei saat ini telah meningkatkan


kesejahteraan yang nyata bagi nelayan yang memanfaatkan rumpon dan
mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) dan
usaha pendukung lainnya. Hal ini telah menimbulkan kencemburuan sosial bagi
nelayan yang tidak dan belum mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan
rumpon sehingga telah menimbulkan konflik. Keberadaan rumpon akan
mempercepat waktu operasi penangkapan dan meningkatkan pendapatan nelayan.
Semakin meningkatnya harga ikan yang ditangkap dirumpon maka eksploitasi
sumberdaya ikan di rumpon semakin meningkat sehingga jangka panjang dapat
menurunkan biomass ikan dan pendapatan nelayan juga menurun.
Permasalahan yang lain dalam pemasangan rumpon di perairan Kepulauan
Kei Selat Nerong adalah luas area penempatan rumpon 211 131 km2 dengan luas
area per unit rumpon 5 864 km2 dengan luas rata-rata antara rumpon berjarak 3.16
mil-laut. Rumpon yang dioperasikan nelayan di perairan Kepulauan Kei berada
pada wilayah pesisir dan dalam teluk sehingga dari jarak pemasangan rumpon
kurang dari 2-3 mil serta kedalaman perairan 150-200 meter.
Keberlanjutan keberadaan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei
yang dapat memberikan manfaat potensial secara ekonomi dan kelestarian
lingkungan dan sumberdaya ikan, dan dapat diterima dan aman bagi nelayan yang
melakukan aktivitas usaha penangkapan ikan yang mendaratkan hasil tangkapan
di PPN Tual, maka harus mempertimbangkan keterpaduan dimensi ekologi,
teknologi ekonomi dan sosial.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dan mengacu kepada latar belakang,
tujuan dan kerangka pemikiran penelitian, maka dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini sebagai berikut :
1. Jumlah perikanan rumpon yang ada di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara saat ini tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan No.51/1997, No.30/2004, No.02/2011 dan No. 26//2014 serta
Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2014.
2. Keberadaan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei khususnya Selat
Nerong Kabupaten Maluku Tenggara dapat memperhatikan tingkat
keberlanjutan dari dimensi ekologi, teknologi, ekonomi dan sosial.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:


1) Mengkaji peraturan dan kebijakan yang mempengaruhi keberlanjutan
perikanan berbasis rumpon di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara.
2) Menganalisis pengelolaan perikanan rumpon dengan keterpaduan berdasarkan
dimensi ekologi, teknologi, ekonomi dan sosial untuk menentukan status
keberlanjutannya dan atribut sensitif di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara.
7

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:


1) Merupakan informasi dasar yang dapat dijadikan referensi dalam pengelolaan
perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara.
2) Sumbangan pemikiran ilmiah dalam proses pembangunan dan penguatan
pengambilan keputusan di tingkat masyarakat lokal, kaitan dengan pengelolaan
rumpon berkelanjutan.
3) Menjadi informasi ilmiah yang berguna bagi ilmuan maupun peneliti dalam
mengembangkan IPTEK terkait dengan pengembangan perikanan rumpon di
perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara.

Kebaharuan

Kebaharuan atau novelti adalah kemampuan untuk menemukan hubungan-


hubungan baru, untuk melihat suatu subyek dari perspektif baru, dan untuk
membentuk kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang sudah ada dalam
pikiran (Evans 1991). Baru tidak berarti dulu atau sebelumnya tidak ada, tetapi
dapat berupa sesuatu yang belum dikenal sebelumnya atau kombinasi sesuatu
yang sudah dikenal sebelumnya yang memenuhi tujuan dan nilai tertentu.
Kebaharuan penelitian ini adalah usulan rumpon sebagai instrumen pengelolaan
perikanan tangkap, bukan hanya sebagai alat bantu untuk meningkatkan
keefektifan dan efisiensi operasi penangkapan ikan di perairan Kepulauan Kei.

Kerangka Pikir

Mengacu kepada latar belakang dan tujuan penelitian ini, maka perlu
dikembangkan pemikiran penelitian sebagai gambaran apa yang akan dilakukan
sekaligus menjadi acuan penting dalam pengembangan kebijakan pengelolaan
rumpon yang berkelanjutan di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara. Mengingat perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
mempunyai potensi dalam pemasangan dan pemanfaatan rumpon sebagai alat
bantu penangkapan jenis ikan pelagis, maka kemungkinan pemasangan dan
pemanfaatan rumpon di perairan Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara
tersebut akan semakin berkembang dalam usaha penangkapan ikan.
Saat ini keberadaan rumpon di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara tahun 2010 meningkat 53 unit dan menurun pada tahun 2014 sebanyak
36 unit. Jumlah rumpon dari tahun ke tahun menurut karena hasil tangkapan yang
diperoleh pada setiap rumpon menurun dan juga jumlah penyebaran rumpon tidak
mempertimbangkan luasan Selat Nerong serta jarak antara pemasangan rumpon
yang satu dengan rumpon yang lain. Hal ini jika dikaitkan dengan Permen Nomor
26/PERMEN/2014 tentang rumpon menetap dan hanyut serta jarak antara rumpon
minimal 10 mil maka penyebaran rumpon di perairan Kepulauan Kei masih ilegal.
Aturan yang selama ini digunakan nelayan di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara dalam pengelolaan perikanan adalah hak ulayat perairan.
Perangkat kebijakan pengelolaan rumpon merupakan hal yang sangat penting
untuk maksud tersebut karena menjadi panduan bagi stakeholders terkait dengan
mengelola, memanfaatkan, dan menindak pelanggaran pemanfaatan. Kebijakan
pengelolaan yang tegas dan jelas akan melindungi semua komponen pengelolaan
8

baik pelaku pemanfaatan, sumberdaya ikan, habitat, lingkungan sekitar sehingga


terjadi keberlanjutan hingga generasi yang akan datang. Kebijakan pengelolaan
tersebut harus mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan dan keterpaduan.
Berdasarkan penelitian, bahwa dimensi harus dipertimbangkan dan dikelola
secara terpadu dalam pengelolaan rumpon di perairan Kepulauan Kei adalah
dimensi ekologi, ekonomi, teknologi dan sosial. Saat ini pengelolaan rumpon di
Kepulauan Kei belum mengakomodir dan memadukan dimensi tersebut antara
lain kesesuaian karakteristik perairan, zonasi, daya dukung (carrying capacity)
lingkungan habitat hidup ikan sasaran, dan lain-lain.
Pengelolaan rumpon juga belum maksimal memperhatikan dimensi teknik
berdasarkan kaidah Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) (FAO
1995) terutama berkaitan dengan keandalan teknik rumpon dan selektivitas alat
tangkap yang dioperasikan. Kepastian penangkapan yang dilakukan di rumpon.
Dimensi ekonomi belum diketahui secara mendalam terutama berkaitan dengan
manfaat finansial bagi nelayan atau pengusaha perikanan serta kontribusinya
dalam meningkatkan kondisi ekonomi lokasi penelitian. Begitu juga dengan
dimensi sosial yang berkaitan dengan potensi konflik dan dampak penggunaan
rumpon di perairan Kepulauan Kei. Pengelolaan rumpon juga belum maksimal
memperhatikan keselamatan nelayan dalam penangkapan, keamanan produk yang
dihasilkan, dan selektivitas terhadap ikan yang dilindungi.
Mewujudkan konsep pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, kajian
terhadap permasalahan yang terdapat di wilayah penelitian secara terpadu yang
mencakup aspek ekologi, teknologi, ekonomi dan sosial yang di perlukan sebagai
landasan dalam suatu kebijakan perencanaan dan pengembangan pemanfaatan
sumberdaya perikanan rumpon secara keseluruhan. Keterpaduan aspek-aspek
keberlanjutan ini diharapkan dapat menggambarkan keberlanjutan perikanan
rumpon, karena aspek-aspek tersebut telah mencakup semua aspek keberlanjutan
perikanan rumpon sekaligus merupakan tolok ukur pembangunan berkelanjutan.
Salah satu alternatif pendekatan sederhana yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi status keberlanjutan dari perikanan rumpon tersebut adalah teknik
multidisciplinar rapidappraisal atau RAPFISH, untuk mengevaluasi comparative
sustainability dari perikanan rumpon berdasarkan sejumlah aspek yang relatif
mudah dinilai (Fausi dan Anna 2002). Penelitian ini mencoba mengaplikasikan
pendekatan RAPFISH untuk melihat keberadaan status keberlanjutan perikanan
rumpon dengan mengambil lokasi di wilayah perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara disajikan pada Gambar 2.
9

Kondisi pengelolaan rumpon di perairan


Kepulauan Kei

Permasalahan:
Jumlah rumpon
Jarak dan kedalaman
Hasil tangkapan menurun
Aturan dan kebijakan rumpon

KETERPADUAN
DIMENSI

Ekologi Ekonomi Teknologi Sosial

Menyesuaikan Mengoptimalkan Memperhatikan


Manfaat finansial
karakteristik keandalan bahaya dan
dan kesejahteraan
perairan teknologi konflik

Pengelolaan rumpon

Kebijakan pengelolaan rumpon di perairan


Kepulauan Kei

Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian pengelolaan rumpon di Kepulauan Kei

Metode Penelitian

Secara konseptual, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah


keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara. Kajian dimulai dari pengumpulan data kondisi saat
ini (existing condition) pemasangan dan pemanfaatan rumpon di lokasi penelitian.
Data yang terkait dengan kebutuhan penelitian, yaitu data ekologi, teknologi
rumpon dan alat tangkap ikan, ekonomi dan lingkungan sosial dikumpulkan
melalui pengamatan langsung, wawancara, kuesioner, dan penulusuran pustaka.
Tahap pengumpulan data, dilanjutkan analisis keberlanjutan menggunakan
algoritma RAPFISH (The Rapid Appraisal of The Status of Fisheries) metode
Multidimensional Scaling (MDS) dengan tujuan menentukan status keberlanjutan
pengelolaan perikanan rumpon berdasarkan indeks keberlanjutan pengelolaan
perikanan rumpon. Hasil analisis keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon,
selanjutnya dianalisis dengan expert survey untuk mendapatkan prioritas
kebijakan, dengan tahapan penelitian seperti disajikan pada Gambar 3.
10

Kondisi pengelolaan rumpon di


perairan Kepulauan Kei (Saat ini)

Dimensi pengelolaan

Pengambilan data/
Ekologi Teknologi Ekonomi Sosial
Input

· Tingkat pendidikan nelayan


· Penerapan teknologi · Rasio usaha perikanan · Kemudahan mendapatkan
· Tingkah laku ikan ramah lingkungan tangkap yang tergantung kesehatan
· Suhu perairan · Rasio hasil tangkapan rumpon · Status penggunaan bahan
· Salinitas periaran terhadap TAC · Pertumbuhan usaha berbahaya
· Arus perairan · Keuntungan nelayan pendukung penangkapan · Pengaruh terhadap habitat
· Zona kawasan dari penangkapan di · Nilai B/C ratio · Pengaruh terhadap
pengelolaan rumpon sekitar rumpon · Nilai produksi kehidupan nelayan
· Kedalaman atraktor · Tingkat investasi · Pendapatan rumpon · Keamanan hasil tangkapan
rumpon di perairan pengusaha rumpon terutama nelayan skala sekitar rumpon bagi
· Batas wilayah · Penggunaan BBM kecil konsumen
· Penambahan ukuran untuk penangkapan di · Konsumsi rumah tangga · Potensi konflik
ikan tertangkap rumpon nelayan rumpon dan stakeholders (antar nelayan)
· Perubahan jenis ikan · Ukuran kapal nelayan jaring bobo · Pengaruh terhadap
tertangkap penangkapan · Berapa besar biaya keanekaragaman hayati
· Tingkat akuntabilitas pembuatan rumpon · Pengaruh terhadap ikan-
ikan yang di lingkungan

Analisis
Analisa
Analisis
Analisa Keberlanjutan
Multidimensional
Kebijakan Scaling (MDS)

Kebijakan pengelolaan rumpon


berkelanjutan di perairan Kepulauan Kei

Gambar 3 Tahapan penelitian pengelolaan rumpon di Kepulauan Kei


11

2 KERAGAAN PERIKANAN RUMPON DI PERAIRAN


KEPULAUAN KEI KABUPATEN MALUKU
TENGGARA

Pendahuluan

Manfaat atau outcome dari penggunaan rumpon dalam operasi penangkapan


telah diketahui, seperti dijelaskan oleh Monintja dan Mathews (1999). Manfaat
tersebut diantaranya adalah meningkatkan peluang keberhasilan operasi
penangkapan ikan dan efisiensi dalam arti penghematan biaya operasi
penangkapan ikan. Hal lain dari penggunaan rumpon adalah bukti adanya suatu
pengelolaan pada kawasan atau daerah penangkapan ikan, yang minimal
dicerminkan oleh adanya pengakuan masyarakat terhadap hak kepemilikan
rumpon pada ikan-ikan yang berkumpul di sekitar rumpon, seperti terjadi di
minahasa dan perairan Kepulauan Kei (Pollnac et al. 1998) dan Tanjaya (2011).
Peluang keberhasilan operasi penangkapan ikan menjadi semakin meningkat
karena operasi penangkapan ikan menjadi lebih bersifat memanen (horvesting)
ikan yang berkumpul di sekitar rumpon, bukan mengejar ikan seperti layaknya
suatu kegiatan pemburu (hunting). Penangkapan ikan menjadi lebih mudah
dilakukan dan berhasil karena ikan sudah dalam kondisi kepadatan lebih tinggi
(jumlah ikan per satuan luas) dan berada pada posisi tertentu (yaitu tidak jauh atau
di sekitar rumpon). Probabilitas nelayan menemukan ikan di rumpon lebih tinggi
jika dibandingkan dengan menemukan ikan yang berenang bebas dalam suatu
perairan. Paling tidak, penggunaan rumpon akan membantu dalam operasi
penangkapan ikan untuk memperoleh target yang paling rendah, yaitu
menemukan kawasan ikan.
Penggunaan rumpon dapat meningkatkan efisiensi operasi penangkapan
ikan karena terjadi penghematan waktu dan biaya operasi penangkapan ikan.
Kedua hal tersebut saling berkaitan, semakin lama operasi penangkapan ikan akan
menyebabkan semakin besar biaya operasi penangkapan ikan (Sondita 2011).
Lama pelayaran untuk mencari posisi ikan (fish searching) menjadi berkurang
karena kapal ikan biasanya diarahkan nelayan langsung pada lokasi dimana
rumpon dipasang atau akan dipasang. Lokasi pemasangan rumpon biasanya
adanya tempat-tempat yang menjadi bagian dari jalur ruaya ikan (migration
route), posisi dan keberadaan rumpon lain untuk menghindari kejenuhan atau
kepadatan rumpon di suatu area, dan tentu saja kondisi oseanografi (kedalaman
air, tinggi gelombang laut, arah dan kecepatan arus air, arah dan kecepatan angin).
Jumlah rumpon yang dipasang lebih dari satu buah, tergantung pada lama
opersasi penangkapan ikan (trip duration). Semakin lama operasi penangkapan
ikan akan semakin banyak rumpon diperlukan karena satu rumpon baru saja
dipanen tidak akan segera didatangi kawanan ikan, tetapi memerlukkan waktu.
Operasi penangkapan ikan yang berlangsung lama (lebih dari beberapa hari),
nelayan akan mendatangi dan memanen rumpon-rumpon yang baru dipanennya
beberapa waktu sebelum mengulang kegiatan permanenan ikan.
Apabila pemasangan rumpon diatur oleh sebuah otoritas pengelolaan
perikanan keberadaan rumpon di suatu kawasan akan menunjukkan adanya
aktivitas pengelolaan perikanan. Adanya pengelolaan perikanan ini dapat dilihat
12

dari kegiatan yang paling sederhana, yaitu pendaftaran atau registrasi rumpon atau
pemilik atau penggunannya. Pemerintah sudah menerbitkan peraturan tentang
penggunaan rumpon ini, yaitu Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
26/PERMEN/2014 tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon, yaitu rumpon
hanyut dan rumpon menetap.
Pemasangan rumpon juga menunjukkan adanya hak pemilikan (rights)
sumber daya ikan pada nelayan-nelayan yang memiliki atau memasang rumpon
(Pollnac et al. 1998). Hak pemilikan sumber daya ikan ini merupakan suatu
kesepakatan umum yang dihormati oleh kalangan nelayan (customary practice).
Sudah umum, porsi tertentu dari hasil tangkapan yang diperoleh nelayan di sebuah
rumpon diberikan kepada pemilik rumpon. Hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan
yang terjadi bergerak bebas sebagai hewan liar dapat menjadi milik nelayan yang
memasang rumpon ketika ikan-ikan tersebut memijah atau berpindah tempat
maka tidak ada suatau nelayan pun mengklaim pemilikan ikan karena ikan-ikan
tersebut dianggap sudah menjadi hewan liar kembali, yaitu hewan yang tidak ada
pemiliknya. Customary practice seperti ini maka pemilik ikan sebenarnya dapat
diperkirakan jika di suatu perairan para nelayan pemasang rumpon sebanyak-
banyaknya Sondita (2011). Nelayan yang tidak memiliki rumpon atau nelayan
atau nelayan pendatang perlukan melakukan negoisasi untuk memanen ikan yang
berkumpul di rumpon-rumpon yang diimiliki oleh penduduk setempat.
Umumnya nelayan di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten
Maluku Tenggara dan Kota Tual 90% berada pada wilayah pesisir dan mata
pencarian adalah nelayan tradisional. Nelayan menggunakan Selat Nerong sebagai
tempat pengoperasiaan rumpon dan alat tangkap jaring bobo, pancing tonda dan
pancing ulur. Jarak dari fishing base ke fishing ground dengan membutuhkan
waktu 30-60 menit sedangkan kedalaman perairan pemasangan rumpon 150-200
meter, masih berada pada wilayah pengelolaan perikanan Kabupaten Maluku
Tenggara dan Kota Tual. Berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 23
Tahun 2014 terjadi perubahan kewenangan pengelolaan laut Provinsi yang semula
4-12 mil kini menjadi 0-12, pengelolaan perairan yang dilakukan sebelumya oleh
pemerintah Kabupaten/Kota diambil alih oleh pemerintah Provinsi, salah satunya
kewenangan zonasi, laut yang dahulu 0-4 mil, kini menjadi 0-12 mil. Hal ini
apabila tidak di sosalisasi undang-undang tersebut dengan baik kepada pemerintah
Kabupaten/kota serta nelayan yang ada di daerah Kepulauan akan dampak
terhadap pengoperasian alat tangkap dan rumpon. Nelayan yang ada di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara masih menggunakan hak ulayat
untuk menentukan wilayah perairan pengelolaan.
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui sebaran jumlah perikanan rumpon lima tahun terakhir.
2) Merumuskan masalah kebijakan berkaitan dengan perikanan rumpon di
perairan Kepulauan Kei.
3) Menganalisis keragaan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara.
13

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten


Maluku Tenggara. Survei lapang dilakukan pada bulan Januari-Juni 2014.
Pengumpulan data dilakukan untuk keperluan evaluasi terhadap penggunaan
dan pemanfaatan rumpon dan alat tangkap saat ini. Data yang dikumpulkan
dijabarkan pada bagian berikut. Pertama, data jumlah rumpon, data diperoleh
melalui operasi penangkapan dengan alat tangkap jaring bobo, pancing tonda dan
pancing ulur pada rumpon serta wawancara langsung dengan nelayan penjaga
rumpon dan nelayan jaring bobo, pancing tonda dan pancing ulur. Pengambilan
sampel dilakukan secara purposive sampling sebanyak 10% dari jumlah rumpon
dan alat tangkap yang ada Sugiyono (2006). Pertama berupa data sekunder terdiri
dari jumlah rumpon 5 tahun terakhir, lokasi pemasangan rumpon berdasarkan titik
koordinat dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) untuk
menentukan kedalaman perairan pemasangan rumpon, jarak pemasangan rumpon.
Data sekunder diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan serta BPS (Badan
Pusat Statistik) setempat. Kedua, peraturan hak ulayat dan perundang-undangan
serta kebijakan yang terkait dengan penggunaan rumpon.
Analisis data dilakukan untuk keperluan evaluasi terhadap penggunaan
rumpon dan pemanfaatan saat ini. Pertama, pemetaan lokasi pemasangan rumpon
dilakukan melalui analisis data jumlah perikanan rumpon dan alat tangkap 5 tahun
terakhir, titik koordinat pemasangan rumpon, jarak pemasangan rumpon dan
kedalaman perairan (batimetri). Kedua, analisis peraturan dan kebijakan dilakukan
melalui analisis isi (content analysis) terhadap peraturan dan kebijakan yang ada.
Ketiga analisis data faktual tentang keragaan perikanan rumpon di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara.

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di perairan Kepulauan Kei


Kabupaten Maluku Tenggara jumlah rumpon, alat tangkap dan kapal jaring bobo
serta nelayan penjaga rumpon, nelayan jaring bobo dari tahun 2010 sampai 2014
menurun. Hal ini membuktikan bahwa peningkatan jumlah rumpon dan jumlah
jaring bobo tidak lagi memperhatikan luasan perairan yang ada di Kepulauan Kei
terutama Selat Nerong sebagi tempat penempatan rumpon dan pengoperasian
jaring bobo. Hasil penelitian tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah rumpon
semakin menurun dan hasil tangkapan juga menurun. Hasil wawancara dengan
nelayan penjaga rumpon, nelayan jaring bobo, pancing tonda dan pancing ulur
sebagian besar nelayan mengeluh bahwa hasil tangkapan diperoleh dari rumpon
semakin menurun, sehingga mereka harus melakukan penangkapan lebih jauh.
Hal ini disebabkan karena jumlah rumpon yang di tebarkan pada Selat Nerong
tahun 2014 sebanyak 36 unit dan tidak memperhitungkan luasan dan lebar Selat
Nerong. dapat disajikan pada Tabel 1.
14

Tabel 1 Jumlah nelayan jaring bobo, jaring bobo, kapal dan rumpon serta nelayan
penjaga rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Rumpon, Alat Tangkap dan Tahun


Nelayan
2010 2011 2012 2013 2014 Jumlah
Nelayan jaring bobo 40 30 51 80 17 243
Jaring bobo 2 2 3 4 1 12
Kapal 10 10 11 13 8 52
Rumpon 53 46 41 38 36 214
Nelayan penjaga rumpon 106 92 123 152 108 581

Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah nelayan jaring bobo, kapal dan rumpon
serta nelayan penjaga rumpon dari tahun 2010 sampai 2014 berfluktuasi. Tahun
2013 jumlah nelayan jaring bobo meningkat 80 orang (32.9%), untuk satu trip
operasi penangkapan membutuhkan nelayan 20 orang sedangkan tahun 2014
jumlah nelayan menurun karena satu trip operasi penangkapan membutuhkan
nelayan 17 orang (7%). Jaring bobo dari tahun 2010 sampai 2011 tidak ada
penambahan sedangkan pada tahun 2012 sampai 2014 masing-masing ada
penambahan satu unit jaring bobo. Kapal jaring bobo dan kapal pengangkut
nelayan penjaga rumpon pada tahun 2013 terjadi peningkatan sebanyak 13 unit
(25%) sedangkan menurun pada tahun 2014 yaitu 8 unit (15.38%). Terjadi
perubahan dari tahun ke tahun karena 1 unit jaring bobo membutuhkan 2 unit
kapal untuk satu trip penangkapan yaitu kapal utama berfungsi untuk pengangkut
jaring bobo dan pengoperasian jaring bobo sedangkan 1 unit kapal berfungsi
untuk pengangkut hasil tangkapan ke fishing base. Kapal pengangkutan nelayan
penjaga rumpon berfungsi mengangkut nelayan penjaga rumpon dari fishing base
ke fishing ground. Jumlah rata-rata 6-8 unit rumpon biasanya 1 unit kapal yang
membawa nelayan penjaga rumpon ke rumpon. Jumlah rumpon pada tahun 2010
meningkat sebanyak 53 unit (24.8%) dan pada tahun 2014 menurun sebanyak 36
unit (16.8%). Hal ini disebabkan karena jumlah nelayan penjaga rumpon dari
tahun 2010 sampai 2014 juga berfluktuasi pada tahun 2013 jumlah nelayan
penjaga rumpon untuk satu unit rumpon 4 orang 152 (26.16%) dan tahun 2011
jumlah rumpon meningkat 46 unit (21.49%) sedangkan jumlah nelayan penjaga
rumpon menurun karena untuk satu unit rumpon 2 orang nelayan penjaga rumpon
92 orang (15.83%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah nelayan jaring
bobo berkisar antara 15-25 orang untuk setiap kapal sedangkan jumlah nelayan
penjaga rumpon berkisar antara 1-4 orang setiap rumpon. Hal lain yang dapat
mempengaruhi terhadap jumlah nelayan jaring bobo dan nelayan penjaga rumpon
yaitu hasil yang diperoleh dari tahun ke tahun semakin menurun sehingga
mempengaruhi terhadap jumlah nelayan.
Hasil penelitian Yusfiandayani (2004) pada perikanan rumpon di perairan
Pasauran seluas 115.4 km2 memperlihatkan bahwa hasil tangkapan diperoleh dari
sebuah kapal payang tergantung dari jumlah rumpon yang dimiliki kapal tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat jumlah rumpon masih sedikit hasil
tangkapan terus meningkat. Hasil tangkapan bertambah terus sampai suatu ketika
akan mencapai maksimum, yaitu ketika penambahan rumpon tidak lagi diikuti
dengan penambahan jumlah hasil tangkapan melainkan dengan penurunan yang
15

cukup signifikan. Apabila jumlah rumpon terus ditambah, maka hasil tangkapan
cenderung menurun. Hal ini dikarenakan usaha perikanan berbasis rumpon
bersifat open access yang mempunyai ciri khas yaitu perkembangan jumlah
rumpon tidak terkontrol, penangkapan ikan secara de facto berlangsung tanpa ada
yang mengendalikan sehingga nelayan yang ada bebas melakukan penangkapan
ikan baik secara teknologi maupun daerah penangkapan. Oleh karena tidak
terkendalinya penangkapan tersebut, maka penambahan rumpon terus dilakukan
meskipun secara ekonomi sudah tidak memberikan keuntungan lagi.
Luasunaung (1999) menggunakan model Hilborn dan Medley dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa keuntungan pengusahaan soma pajeko
menjadi maksimum dengan jumlah rumpon yang dipasang sebanyak 55 unit pada
perairan sekitar Molibagu seluas 695 km2 yang berarti sebuah rumpon mencakup
luasan 13.69 km2 dengan jarak minimum antar rumpon sekitar 3.7 km.
Selanjutnya dikemukakan bahwa jumlah optimum kapal yang beroperasi di
perairan tersebut memberikan keuntungan maksimum dengan kombinasi antara 4
kapal dan 20 unit rumpon, dengan kombinasi ini nelayan tidak hanya mengejar
catching more untuk kepentingan sepihak tetapi juga mengacu pada efisiensi
ekonomi, sumber daya ikan dan masyarakat itu sendiri. Hal yang sama dilakukan
(Widodo et al., 1998) jika kepadatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Jawa
dan Selat Sunda sebesar 1.70 ton/km2 maka jumlah ikan yang ada di perairan
Pasauran dengan luasan 115.4 km2.

Produksi perikanan

Hasil analisis produksi perikanan ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan


Kei Kabupaten Maluku Tenggara dari tahun 2010-2014 yang dicirikan melalui
ikan dominan tertangkap dengan menggunakan jaring bobo, pancing tonda dan
pancing ulur pada alat bantu rumpon. Ikan-ikan dominan tertangkap yaitu ikan
layang, kembung, selar dan tongkol dapat disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Produksi perikanan ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan Kei


Jenis Ikan Produksi (ton/tahun)
2010 2011 2012 2013 2014
Selar (Selaroides leptolepis) 680.40 958.40 1 274.80 1 193.0 886.10
Layang (Decapterus russelli) 303.40 363.30 353.70 939.7 362.10
Kembung (Rastrelliger 274.60 354.40 318.60 590.0 299.37
brachysoma)
Tongkol (Auxis thazard) 531.30 620.40 523.76 514.2 647.04
Total 1 789.70 2 296.50 2 470.86 3 236.9 2 194.61
Rata-rata 447.43 574.12 617.71 809.22 548.65
16

Rumpon

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumpon yang dipasang di perairan


Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual oleh
nelayan masih bersifat tradisional (Gambar 4). Hal ini dapat terlihat dari material
yang digunakan seperti pengapung dari drum plastik dirakit dengan bambu, nilon
(PE) tali pemberat dari nilon (PE), pemberat dari coran beton seberat 120 kg (2
buah) dan material pemikat dari pelepah daun kelapa yang dipasang pada
kedalaman perairan 150-200 dapat disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Bahan dan material rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku


Tenggara

Komponen Bahan Ukuran Jumlah Berat


Rumah Atap rumbia 3m 50-100 -
Rakit rumpon Drum plastik, 30 cm x 3 8-10 -
bambu dan mx3m
kayu
Atraktor Daun kelapa 2-3 m 50-100 -
Tali atraktor Nilon (PE) 10-12 mm 1 bal -
Tali Jangkar Nilon (PE) 12-16 mm 1-2 bal -
Pemberat Semen - 1-2 120 kg

3
2 5
Keterangan:
1. Rumah
2. Badan rumpon
6
3. Pelampung
4 4. Atraktor
5. Pelampung tanda
6. Tali Nilon (PE)
7. Pemberat cor
semen

Gambar 4 Rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara


17

Unit penangkapan jaring bobo


Tipe jaring bobo yang digunakan dalam penelitian ini tergolong tipe
Amerika berbentuk empat persegi panjang dengan tubuh jaring terdiri atas sayap
(wing) dan kantong (bunt), dapat dilihat pada Gambar 5. Panjang jaring adalah
228 meter dan dalam 91 meter dengan ukuran jaring dapat disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Spesifikasi jaring bobo di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Spesifikasi jaring Material Ukuran Ukuran Panjang Lebar


bobo Benang Mata
Jaring
A Bagian jaring
Kantong PACF 210 D/9 1, 13/4 31 40
Badan jaring PACF 210 D/9 1, 11/4, 13/4 114 31
Sayap PACF 210 D/9 13/4, 11/4 114 19
B Jenis tali
Material Diameter Panjang Jumlah
(mm) (m) (buah)
Tali tarik Nilon (PE) 18 285 2 -
Tali Pelampung Nilon (PE) 10 350 1 -
Tali ris atas Nilon (PE) 10 350 1 -
Tali ris bawah Nilon (PE) 10 350 1 -
Tali pemberat Nilon (PE) 10 350 1 -
Tali samping Nilon (PE) 8 245 4 -
Tali pemberat Nilon (PE) 20 422 1 -
C Pelampung dan -
pemberat
Pelampung (oval) Syntetic 70, 150 10, 17, 20 75, 1354, -
fibre 358
Cincin (oval) Timah 110 - 86 -
hitam
Pemberat (oval) Timah 9, 12 5, 5 108 -
hitam
18

5 3 6 1

2
4 Sayap Perut Kantong Perut Sayap

7
13
77
4
5 penelitian
ini tergolong 8
10 tipe 9
11 12
Amerika
Keterangan : berbentuk
empat
1. Tali selembar atas persegi
9. Pemberat
2. Tali ris atas panjang 10. Tali color
3. Pelampung dengan 11. Tali ring
4. Sayap 12. Cincin
tubuh jaring
5. Perut 13. Selvedge
terdiri atas
6. Kantong sayap
7. Tali selembar bawah (wing),
8 Tali ris bawah kantong
(bunt), dan
badan
Gambar 5 Konstruksi jaring bobo di perairan Kepulauan Kei
(body).
Pemilihan lokasi penempatan rumpon Panjang
jaring
Pemilihan lokasi penempatanadalahrumpon750 harus memperhatikan aspek-aspek
sebagai berikut meter dan
1) Sumberdaya dalam 120
Faktor-faktor yang mempengaruhimeter keberhasilan
(2400 pengumpulan ikan di sekitar
rumpon tanpa mengganggu kelestarian sumberdayanya. Perairan mempunyai
mata)
denganlintasan migrasi ikan.
kesuburan yang tinggi dan merupakan
ukuran
2) Lingkungan perairan jaring 2
Aspek-aspek yang harus diperhatikan
inch. meliputi kedalaman dan topografi, arus,
gelombang dan angin. Tipe rumpon dan jenis alat tangkap yang dioperasikan
Spesifikasi
di rumpon harus memperhatikanalat kedalaman perairan.
3) Sosial ekonomi tangkap
Secara sosial ekonomi tidakpurse akanseine
mengakibatkan terjadinya benturan
secara rinci
kepentingan dan konflik antara sesama nelayan pemakai rumpon. Mudah
disajikan
dicapai dan diawasi atau dikontrol
padaserta
Tabelmemberikan manfaat ekonomi besar
bagi nelayan secara keseluruhan.2
4) Peraturan dan aksesibilitas sedangkan
Pemilihan lokasi harus memperhatikan
konstruksi peraturan dan perundang-undangan
tentang penggunaan perairan laut,alat
baik yang tertulis maupun secara adat. Harus
disesuaikan dengan ijin lokasi penangkapan yang diberikan bagi alat tangkap
tangkap
tertentu. Jarak antara satu rumpon purse
dengan seine
yang lainnya harus memenuhi aturan.
dapat dilihat
pada
Gambar
2.Kantong
19

Hak ulayat
Beberapa bentuk hak ulayat laut yang dikenal di nusantara, aturan
pemasangan dan pemanfaatan rumpon memiliki keunikan sebab lokasinya
mencakup laut lepas. Tidak mengutamakan tanda-tanda di darat (landmark)
sebagai alat penanda. Berbeda dengan bentuk hak ulayat laut di Maluku (sasi),
Papua, dan Sulawesi Utara.
Rumpon pada dasarnya adalah sebuah benda atau teknologi, namun pada
prakteknya berlaku aturan yang bersifat abstrak untuk itulah dikenal istilah hak
ulayat rumpon. Sebagai salah satu bentuk pengelolaan wilayah laut yang
prakteknya sudah berlangsung selama 10 tahun terakhir ini, pengelolaan rumpon
di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara juga
memiliki beberapa aturan tidak tertulis yang berlaku di kalangan nelayan yang
tetap dihormati. Aturan-aturan tersebut menjadikan pengelolaan rumpon oleh
nelayan sebagai salah satu bentuk hak ulayat laut yang ada di perairan Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara.
Variabel-variabel pokok di dalam hak ulayat laut adalah: wilayah; unit
sosial pemilik hak; dan legalitas beserta pelaksanaannya. Sudirman Saad (2000)
menyimpulkan bahwa hak ulayat (laut) paling sedikit memiliki 3 unsur pokok,
yaitu: masyarakat hukum sebagai subyek hak ulayat; institusi kepemimpinan yang
memiliki otoritas publik dan perdata atas wilayah hak ulayat; dan wilayah yang
merupakan obyek hak ulayat, yang terdiri atas tanah, perairan, dan segenap
sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.
Merujuk pada pengertian hukum adat, maka dapat dikatakan bahwa klaim
penguasaan perairan di sekitar rumpon termasuk hukum adat, karena merupakan
hukum yang hidup sebagai peraturan yang dipertahankan di dalam pergaulan
hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan rumpon di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara, aturan-aturan nelayan rumpon
memenuhi aturan untuk dijadikan hukum adat atau hak ulayat, yaitu: rumpon
memiliki hak menguasai untuk menangkap ikan dalam wilayah di sekitar
rumponnya, pengecualian terhadap monopoli ini ialah penangkapan ikan oleh
nelayan lain yang menggunakan alat tangkap berupa jaring bobo harus ada
persetujuan dari desa-desa pesisir yang memiliki hak ulayat perairan.
Adapun kewajiban para nelayan rumpon adalah memberikan kesempatan
kepada orang lain untuk berlayar dalam wilayah klaimnya itu. Selain itu, ia juga
berkewajiban memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menangkap ikan,
apabila hanya menggunakan alat tangkap pancing sedangkan alat tangkap jaring
bobo harus ada kesepakatan bersama atas hak kepemilikan wilayah perairan
penanaman rumpon.
Menurut Hanaf (1994), hak ulayat adalah hak menguasai
(beschikkingsrecht) dari masyarakat hukum adat atas tanah, air, sungai-sungai,
pantai-pantai tumbuhan-tumbuhan liar (pohon-pohon kayu), satwa-satwa liar di
dalam lingkungan wilayah (beshikkingkring) guna kepentingan masyarakat
hukum sendiri dan anggota-anggotanya serta juga bagi orang luar yang membayar
uang pemasukan (retribusi). Hak ulayat dan hak-hak masyarakat hukum adat
merupakan bagian dari hukum adat (adatrecht), yang elemen atau unsur-unsurnya
terdiri dari:
20

a. Ada sekelompok/persekutuan (masyarakat) hukum adat yang mendiami daerah


tertentu.
b. Masyarakat hukum tersebut membuat dan menciptakan serangkaian peraturan-
peraturan yang menjadi pedoman bagi setiap anggota persekutuan atau
masyarakat.
c. Masyarakat hukum adat tersebut berhak menguasai atas tanah, air dengan
segala macam lainnya. Hak tersebut merupakan hak tertinggi di dalam
masyarakat hukum adat dan tidak dapat dipecah-pecahkan atau dipindah
tangkan.
d. Wilayah penguasaan (beshikkingkring) pada umumnya hanya satu lingkungan,
tetapi juga meliputi dua lingkungan (dubbele beshikkingkring).
e. Obyek yang dikuasai adalah tanah, air, sungai-sungai, pantai, tumbuh-
tumbuhan liar (pohon-pohon kayu) dan satwa-satwa liar.
f. Obyek tersebut untuk keperluan masyarakat hukum dan anggota-anggotanya
serta untuk keperluan orang luar yang pemanfaatannya terbatas dengan
membayar uang pemasukan (retribusi atau recognitie).

Unsur-unsur hak ulayat laut


Mengikuti pendekatan Hanaf (1994) dapat diuraikan unsur-unsur hak ulayat
dapat dijelaskan bahwa di desa-desa pesisir di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara dan Kota Tual dapat disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Unsur-unsur hak ulayat laut di desa-desa perairan Kepulauan Kei


Kabupaten Maluku Tenggara

No Unsur-unsur hak ulayat Fakta


1 Ada sekelompok/persekutuan Ada sekelompok masyarakat
(masyarakat) hukum adat yang berdasarkan sistem marga (fam) dan
mendiami daerah tertentu suku mempunyai wilayah sebagai
pemukiman dan tempat nafkah
2 Masyarakat hukum tersebut Meskipun tidak tertulis, terdapat
membuat dan menciptakan peraturan mengenai ijin memanfaatkan
serangkaian peraturan-peraturan sumberdaya laut bagi orang lain serta
yang menjadi pedoman bagi adaya larangan menjual hak ulayat
setiap anggota persekutuan atau marga tanpa ijin dari kepala marga.
masyarakat
3 Masyarakat hukum adat tersebut Masyarakat menguasai wilayah
berhak menguasai atas tanah, air perairan berdasarkan batas-batas
dengan segala macam isinya. alamiah (tumbuhan, arus, tanjung)
4 Obyek yang dikuasai adalah Disamping wilayah yang dikuasai,
tanah, air, sungai-sungai, pantai, juga adanya penguasaan atas
tumbuh-tumbuhan liar (pohon- sumberdaya alam
pohon kayu) dan satwa-satwa
liar.
5 Obyek tersebut untuk keperluan Masyarakat mempunyai tingkat
masyarakat hukum dan anggota- ketergantungan yang tinggi terhadap
anggotanya serta untuk sumberdaya baik untuk kebutuhan
21

Lanjutan Tabel 5
keperluan orang luar yang sendiri (subsisten maupun komersial,
pemanfaatanya terbatas dengan orang luar memanfaatkan sumberdaya
membayar uang pemasukan ikan harus membayar sejumlah uang
(retribusi atau recognitie) pemasukan. Misalnya nelayan harus
berasal dari desa yang memiliki
wilayah perairan serta pemilik usaha
harus membayar uang retribusi kepada
pemerintahan desa.

Peraturan pemasangan rumpon


Pemasangan rumpon merupakan hal yang diperbolehkan dan dilegalkan
oleh pemerintah, sebagai upaya untuk meningkatkan produksi perikanan dan
pendapatan masyarakat (Pasal 2 Bab II Nomor 26/PERMEN/2014. Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa Permen ini belum dilakukan
dengan baik. Faktor penyebab belum berjalannya aturan, yaitu terkait dengan
materi aturan dan pelaksanaannya di lapangan.
Implementasinya, peraturan ini masih memerlukan aturan yang lebih teknis
di tingkat bawah, seperti dalam hal 1) tata cara permohonan ijin pemasangan
rumpon yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (Dirjen
Tangkap), Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan wilayah kewenangannya; 2)
Ketentuan teknik pemasangan rumpon yang ditetapkan oleh Dirjen Tangkap; 3)
Bentuk dan format tanda pengenal yang ditetapkan oleh Dirjen Tangkap,
selanjutnya diberikan kepada pemohon oleh Dirjen Tangkap, Gubernur, Bupati/-
Walikota sesuai dengan wilayah kewenangannya. Pelaksanaannya, belum semua
pemerintah daerah menindaklanjuti peraturan ini.
Materi yang terdapat dalam pasal-pasal dalam peraturan tersebut, sulit untuk
dilaksanakan, seperti terkait dengan pelaporan, pengendalian dan pengawasan,
dan pejabat yang berwenang untuk melaksanakannya. Kondisi di lapangan
menunjukkan bahwa, implementasi peraturan juga sulit dijalankan oleh nelayan
atau pengusaha perikanan. Kesulitan tersebut diantaranya, yaitu 1) di laut tidak
ada batas administrasi yang jelas antara batas administrasi laut kabupaten, laut
provinsi, dan laut nasional; 2) rencana pemasangan rumpon tidak memiliki lokasi
koordinat yang pasti; 3) nelayan memasang rumpon bukan karena kesesuaian
faktor lingkungan untuk lokasi penangkapan ikan tetapi dipengaruhi oleh insting
atau kepercayaan yang turun temurun; 4) nelayan kesulitan untuk menentukan
jarak antar rumpon, yaitu 10 mil. Hasil pengamatan dan wawancara terhadap
pengusaha jaring bobo dan rumpon dapat mengungkapkan bahwa selama tahun
2004 sampai tahun 2014, pengoperasian alat tangkap dan rumpon di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara dan kota Tual belum memiliki surat
ijin dari Kabupaten/Kota dan Provinsi.

Penetapan lokasi pemasangan rumpon lokal


Mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
26/PERMEN/2014 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon. Jarak
penempatan rumpon yang satu dengan rumpon yang lain adalah 10 mil laut,
dipasang sejajar garis pantai dan tidak zig-zag dan tidak mengganggu alur
pelayaran. Hal ini jika menggacu pada aturan permen tersebut maka
22

pengoperasian rumpon di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara


tidak sesuai dengan keputusan menteri tersebut.
Hasil penelitian pada tahun 2014 dengan menggunakan global positioning
system (GPS) menunjukkan bahwa kriteria yang digunakan untuk membuat peta
sebaran rumpon adalah 1) 50 m < kedalaman < 150 m, 2) jarak pemasangan dari
daerah pesisir, 3) jarak pemasangan dari pemukiman dan 4) jarak terjauh dan jarak
terdekat rumpon dijadikan peta dari ujung titik. Jarak pemasangan rumpon dari
fishing base ke fishing ground 1-3 mil laut. Wilayah pemasangan rumpon
difokuskan pada Selat Nerong dan berada pada pesisir pulau Kei Besar. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa luasan area pemasangan rumpon di perairan
Kepulauan Kei Selat Nerong dari 36 unit rumpon sebesar 211 131 km2 dengan
luas area per unit rumpon 5 864 km2 dengan luas rata-rata antara rumpon berjarak
3.16 mil-laut.
Hasil penelitian Kleiber and Hampton (1994), Dagorn et al, (2000a)
menyatakan bahwa pengaruh rumpon yang baik pada radius 9 km (± 5 mil),
dengan asumsi bahwa jarak antara rumpon 18 km (± 10 mil). Penelitian yang
sama dilakukan dari beberapa peneliti dapat mengestimasi jarak antar rumpon satu
dengan yang lainya adalah 4 sampai 7 mil laut (7-13 km) (Cayre dan Chabanne,
1986; Hilborn dan Medley, 1989; Holland et al., 1990; Cayre, 1991). Jarak antar
rumpon yang berhasil didapatkan dengan menggunakan model Hilborn dan
Medley untuk perairan Pasauran mempunyai nilai yang lebih kecil (< 7 km)
diduga disebabkan karena perbedaan tipe dari rumpon (rumpon laut dangkal,
rumpon laut dalam) serta lokasi dari peletakan rumpon tersebut (Yusfiandayani,
2004). Hal ini jika dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan di perairan
Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2014 dari luasan
dan jarak antara rumpon dapat disajikan Gambar 6.
Gambar 6 Lokasi penempatan rumpon di perairan Kepulauan Kei

23
24

Penetapan peraturan dan kebijakan


Aturan yang dipraktekkan nelayan di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara. Jarak antar rumpon adalah ketika dilakukan operasi
penangkapan secara bersamaan, keduanya tidak saling mengganggu, nelayan yang
lebih dulu memasang rumpon mempunyai hak-hak istimewa. Permasalahan yang
berkaitan dengan penempatan rumpon, bila ada dua rumpon saling kait
(berhubungan satu sama lain sehingga tidak dapat dipisahkan). Nelayan yang
lebih dulu memasang berhak untuk memiliki rumpon tersebut, jika yang
berpindah adalah bagian-bagian rumpon yang melayang/terapung di laut, jika
yang berpindah adalah rumpon secara keseluruhan baik yang terapung maupun
yang tenggelam.
Hak kepemilikan rumpon yang mendekat diserahkan kepada nelayan yang
rumponnya didekati bila ada bagian rumpon yang terlepas, maka bagian tersebut
dinyatakan sebagai barang hanyut sehingga pihak yang menemukan berhak
memilikinya. Nelayan lain diijinkan untuk memanfaatkan rumpon, baik untuk
menambatkan perahu maupun untuk menangkap ikan yang ada di rumpon selama
tidak membahayakan rumpon dan alat tangkap yang digunakan tidak berskala
besar, seperti jala, gae kecuali mendapat izin dari pemilik rumpon atau
memberitahukan ketika selesai melakukan operasi penangkapan (memberi bagian
hasil tangkapan).
Peraturan menteri Nomor 26/PERMEN/2014 tentang Pemasangan dan
Pemanfaatan Rumpon, (rumpon menetap dan rumpon hanyut). Berlakunya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka terjadi perubahan kewenangan
pengelolaan laut Provinsi yang semula 4-12 mil laut kini berubah menjadi 0-12
mil laut. Pengelolaan perairan yang dilakukan sebelumnya oleh pemerintah
Kabupaten/Kota diambil alih oleh pemerintah Provinsi, salah satunya kewenangan
zonasi yang dahulu 4-12 mil laut, kini menjadi 0-12 mil laut. Zonasi laut
sebelumnya 0-4 mil laut menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Jumlah rumpon dari tahun 2010 sampai 2014 yang dioperasikan nelayan di
perairan Kepulauan Kei sebanyak 214 unit. Pengelolaan rumpon ini menetapkan
pentingnya dilakukan upaya-upaya perbaikan terhadap peraturan yang ada.
Beberapa hal yang perlu diperbaiki diantaranya, yaitu 1) Perijinan yang tidak
searah, perijinan pemasangan rumpon dilakukan di pusat, sementara perijinan
Kabupaten kota yaitu Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual tidak
dikenakan perijinan; 2) Pemerintah sebagai pejabat yang berwenang tidak
memiliki data berapa jumlah rumpon saat ini; 3) Nelayan tidak memahami adanya
aturan pemasangan dan pemanfaatan rumpon, sehingga banyak rumpon yang
dipasang ilegal; 4) Pengawasan dan pengendalian terhadap rumpon belum
dilakukan dengan baik; 5) Tindakan tegas terhadap pelanggaran belum dilakukan.
Langkah-langkah tindakan dan kebijakan yang perlu dilakukan, diantaranya yaitu:
1) Mensinergikan ijin usaha penangkapan ikan dengan ijin pemasangan rumpon
dalam pelayanan satu atap; 2) Pemberian ijin oleh Pejabat pemberi perijinan harus
mempertimbangkan Bab III Pasal 9 dari peraturan ini, disertai validasi terhadap
persyaratan dalam proses pemberian perijinan pemasangan rumpon; 3) Pencatatan
dengan baik, setiap pengajuan permohonan ijin pemasangan rumpon; 4)
Sosialisasi ketentuan teknik pemasangan rumpon yang telah dibuat Direktur
25

Jenderal ke daerah; 5) Penegakan hukum perlu dilakukan melalui monitoring dan


controlling yang dilakukan secara ketat.
Pemerintah sudah menerbitkan peraturan tentang pemasangan dan
pemanfaatan rumpon. Kenyataannya masih banyak rumpon yang dipasang secara
illegal, aturan-aturan yang terdapat dalam pasal demi pasal dalam peraturan
tersebut belum dilaksanakan dengan baik. Sudah saatnya keberadaan peraturan ini
untuk dapat dilaksanakan dan ditegakkan dengan benar. Pemahaman terhadap isi
peraturan oleh stakeholder perlu ditingkatkan melalui sosialisasi terhadap
peraturan yang ada.

Jumlah penduduk dan letak astronomi


Jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tenggara dan letak astronomis
berdasarkan perhitungan estimasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara yang terdiri dari enam Kecamatan dengan jumlah
desa 87 buah dan anak desa 102 buah dengan jumlah jiwa 96 429 jiwa.
Kecamatan Kei Besar dengan jumlah desa 21 buah dan anak desa 40 buah dengan
jumlah penduduk 22 529 jiwa, Kecamatan Kei Besar Selatan jumlah desa 14 buah
anak desa 8 buah dengan jumlah penduduk 7 602 jiwa, Kecamatan Kei Besar
Utara Timur jumlah desa 6 buah anak desa 21 buah jumlah penduduk 9 595 jiwa,
Kecamatan Kei Kecil jumlah desa 22 buah anak desa 15 buah dengan jumlah
penduduk 40 407 jiwa, Kecamatan Kei Kecil barat jumlah desa 8 buah anak desa
2 buah dengan jumlah penduduk 5 628 jiwa, Kecamatan Kei Kecil Timur jumlah
desa 13 buah anak desa 16 buah dengan jumlah penduduk 10 668 (Dinas Kelautan
dan Perikanan 2014) dapat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Letak astronomis, jumlah desa dan jumlah penduduk berdasarkan


Kecamatan di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Wilayah Jumlah
Letak Astronomis
Administratif Penduduk
Kecematan
Anak
LS BT Desa
Desa
Kei Basar 05009’-05r-36’ 132055’-33r-10’ 21 40 22 529
Kei Besar 05046’-06r-00’ 132049’-132r-58’ 14 8 7 602
Selat
Kei Besar 05016’-05r-47’ 133004’-133’-12’ 9 21 9 595
UtaraTimur
Kei Kecil 05032’-05r-48’ 132032’-132r-51’ 22 15 40 407
Kei Kecil 05r45’-06r-04’ 132025’-132r- 44’ 8 2 5 628
Barat
Kei Kecil 05046’-05r-57’ 132042’-132r-49’ 13 16 10 668
Timur
Kabupaten 03032’06r04’ 132025’-133r-12’ 87 102 96 429
Maluku
Tenggara
Sumber: Dinas Keluatan dan Perikanan (2014)

Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang tertinggi pada enam


kecamatan yang terdapat pada Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara yaitu
26

Kecamatan Kei Kecil sebesar 40 407 jiwa dan jumlah penduduk terendah
kecamatan Kei Kecil Barat sebesar 5 628 jiwa. Hal ini jika dihat dari jumlah desa
yang tertinggi pada Kecamatan Kei Kecil sebesar 22 buah dan jumlah anak desa
tertinggi pada Kecamatan Kei Besar sebesar 40 buah. Jumlah desa terendah
terdapat pada Kecamatan Kei Kecil barat sebesar 8 buah dan anak desa terendah
juga terdapat pada Kecamatan Kei Kecil Barat sebesar 2 buah. Hasil analisis
menunjukkan bahwa jumlah penduduk dan jumlah desa terbanyak terdapat pada
Kecamatan Kei Kecil karena Kecamatan Kei Kecil merupakan Ibu Kota
Kabupaten Maluku Tenggara yaitu Desa Langgur. Hal tersebut jika dilihat dari
jumlah jiwa dan jumlah desa maupun anak desa terendah terdapat pada
Kecamatan Kei Kecil Barat karena baru terjadi pemakaran kecamatan dari
Kecamatan Kei Kecil pada tahun 2013. Hasil pengamatan dan wawancara di
lapangan menunjukkan bahwa jumlah nelayan perikanan pelagis yang
menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan pelagis tersebar di
tiga kecamatan yaitu Kecamatan Kei Kecil Desa Sathean, Kecamatan Kei Kecil
Timur Desa Danbuk, Desa Mastur dan Desa Mastur Lama, sedangkan pada
Kecamatan Kei Besar yaitu Desa Lerohoilim, Desa Udar dan Desa Nerong serta
Desa Ngan.

Jumlah pulau, luas daratan dan panjang garis pantai


Jumlah pulau, luas daratan dan panjang garis pantai berdasarkan enam
Kecamatan yang ada di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara.
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara
tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah total pulau kecil dan besar sebanyak 68
pulau, luas daratan 1 016.97 km2 dan luas panjang garis pantai 651.32 km dapat
disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah pulau, luas daratan dan panjang garis pantai berdasarkan
Kecamatandi Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Kecematan Jumlah Pulau Luas Daratan (km2) Panjang Pantai (km)


Kei Besar 6 291.90 135.17
Kei Besar Selatan 8 144.79 88.04
Kei Besar Utara Timur 5 112.58 41.68
Kei Kecil 31 268.70 224.61
Kei Kecil Barat 16 93.84 131.20
Kei Kecil Timur 2 105.15 32.63
Kabupaten Maluku 68 1 016.97 651.32
Tenggara
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (2014)

Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah pulau terbanyak terdapat pada


Kecamatan Kei Kecil sebanyak 31 buah 45.58% dan jumlah pulau terendah pada
Kecamatan Kei Kecil Timur 2 buah 2.94%. Luas darat yang tertinggi terdapat
pada Kecamatan Kei Besar 291.90 km2 29% dan luas daratan terendah terdapat
pada Kecamatan Kei Kecil Barat 93.84 km2 9.22%. Panjang pantai terbesar
terdapat pada Kecamatan Kei Kecil 224.61 km 34.48% dan panjang pantai
terendah terdapat pada Kecamatan Kei Besar Selatan 88.04 km 13.51%.
27

Luas perairan laut


Jumlah perairan laut berdasarkan pada enam kecamatan yang ada pada
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil kajian potensi perikanan pada
tahun 2014 menunjukkan bahwa luas perairan laut dari garis pantai 0-4 mil
sebesar 3 084.17 km2. Luas perairan laut 0-12 mil laut sebesar 4 585.41,
sedangkan total luas perairan Kabupaten Maluku Tenggara 7 669.58 km2 dapat
disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Luas perairan laut berdasarkan Kecamatan di Kepulauan Kei Kabupaten


Maluku Tenggara

Luas Perairan (km2 )


Kecamatan
0-4 mil laut 4-12 mil laut Sub Total
Kei Besar 781.38 1 250.40 2 031.78
Kei Besar Selatan 510.76 848.44 1 359.20
Kei Besar Utara Timur 353.38 955.98 1 309.36
Kei Kecil 432.30 116.20 548.50
Kei Kecil Barat 847.96 1 236.96 2 084.92
Kei Kecil Timur 158.39 177.42 335.81
Kabupaten Maluku 3 084.17 4 585.41 7 669.58
Tenggara
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (2014)

Berdasarkan Tabel 8 nilai luas perairan 0-4 mil laut yang tertinggi terdapat
pada Kecamatan Kei Besar 781.38 mil laut 25.33% dan luas perairan terendah
terdapat pada Kecamatan Kei Kecil Timur 158.39 mil laut 5.13%. Pada luas
perairan 4-12 mil laut nilai luas perairan tertinggi terdapat pada Kecamatan Kei
Besar 1 250.40 mil laut 27.26% dan nilai luas perairan terendah pada Kecamatan
Kei Kecil 116.20 mil laut. Luas total perairan Kabupaten Maluku Tenggara
tertinggi terdapat pada Kecamatan Kei Kecil Barat sebesar 2 084.92 mil laut
27.18% dan luas total perairan terendah terdapat pada Kecamatan Kei Kecil
Timur sebesar 335.81 mil laut 4.37.

Rumah tangga perikanan (RTP) penduduk nelayan


Jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tenggara pada tahun 2014
berdasarkan perhitungan estimasi Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku
Tenggara adalah sejumlah 183.113 jiwa. Luas wilayah daratan 249.6 km2 dan
jumlah penduduk 183.113 jiwa, maka kepadatan penduduk Kabupaten Maluku
Tenggara pada tahun 2013 adalah sekitar 734 jiwa/km2 dengan peningkatan
sebesar 3.55% dari tahun sebelumnya. Kabupaten Maluku Tenggara terdapat
37.571 RT (Rumah Tangga), maka dengan jumlah penduduk 183.113 jiwa, berarti
satu RT terdiri dari 4 sampai 5 jiwa (BPS Kabupaten Maluku Tenggara 2013).
Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kabupaten Maluku Tenggara tahun
(2013) sebanyak 1 482 (RTP), nelayan 3 160 dan kelompok nelayan 85 dapat
disajikan pada Tabel 9.
28

Tabel 9 Banyaknya nelayan dan kelompok nelayan di Kepulauan Kei Kabupaten


Maluku Tenggara

Rumah Tangga
Kecamatan Nelayan Kelompok
Perikanan
Kei Besar 415 832 7
Kei Besar Utara Timur 230 463 10
Kei Besar Selatan 150 301 26
Kei Kecil 327 737 36
Kei Kecil Barat 225 550 2
Kei Kecil Timur 135 276 4
Total 1 482 3 160 82
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (2014)

Berdasarkan Tabel 9 jumlah rumah tangga nelayan tertinggi terdapat pada


Kecamatan Kei Besar 415 sebesar 28% dan rumah tangga perikanan terendah
terdapat pada Kecamatan Kei Kecil Timur 135 sebesar 9.10%. Untuk nelayan
nilai tertinggi terdapat pada Kecamatan Kei Besar 832 nelayan sebesar 26.32%
dan nelayan dengan nilai terendah terdapat pada Kecamatan Kei Kecil Timur 276
nelayan sebesar 8.73%. Kelompok nelayan dengan nilai tertinggi terdapat pada
Kecamatan Kei Kecil 36 sebesar 42.32% dan kelompok nelayan dengan nilai
terendah terdapat pada Kecamatan Kei Kecil Timur 4 Kelompok nelayan sebesar
4.70%.

Kapal penangkapan
Perkembangan armada tangkap nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara
tahun 2014 sesuai data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku
Tenggara dapat dilihat pada Tabel 10. Secara keseluruhan jumlah jenis kapal
penangkap ikan rata-rata per tahun 2014 didominasi oleh perahu tanpa motor 3
796 unit (79.51%), motor tempel 861 unit (18.04%) dan kapal motor 117 unit
(2.45%). Peningkatan rata-rata per tahun jumlah kapal motor terbesar terjadi pada
6 Kecamatan yang ada di Kabupaten Maluku Tenggara yaitu Kecamatan Kei
Besar dengan nilai tertinggi 30.25% sedangkan Kecamatan Kei Kecil Timur
dengan nilai terendah 11.33%.
Peningkatan dan penurunan jumlah unit kapal penangkapan ikan tersebut
pada dasarnya sejalan dengan program motorisasi dan pengadaan kapal
penangkap ikan yang penangkapannya dapat menjangkau perairan yang lebih jauh
(di sekitar pulau Kei Kecil dan Pulau Kei Besar) baik dari Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Maluku, maupun dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Maluku Tenggara dapat disajikan pada Tabel 10.
29

Tabel 10 Banyak perahu/kapal motor menurut jenis di Kepulauan Kei Kabupaten


Maluku Tenggara

Armada Unit %
Kecamatan Tampa Motor Jumlah
Kapal Motor
Motor Tempel
Kei Kecil 647 196 2 845 17.70
Kei Kecil barat 231 223 89 543 11.37
Kei Kecil Timur 417 120 4 541 11.33
Kei Besar 1 281 161 1 1 444 30.25
Kei Besar 589 64 4 657 13.76
Selatan
Kei Besar Utara 631 96 17 744 15.58
Timur
Total 3 796 861 117 4 774 100.00
Persentase 79.51 18.04 2.45 100.00
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (2014)

Alat tangkap
Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku
Tenggara terdapat 14 217 jenis alat tangkap yang dioperasikan nelayan di 6
Kecamatan wilayah perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Dilihat
dari alat tangkap yang dioperasikan, terdapat 6 jenis alat tangkap yang memiliki
jumlah unit yang paling sedikit yaitu alat tangkap jaring bobo 12 unit 0.8, sero
tancap 4 unit 0.3, bagan apung 49 unit 0.34%, pengumpul kerang 48 unit 0.34%
dan pengumpul teripang 85 unit 0.60%. Alat tangkap paling dominan
dioperasikan nelayan di perairan Kepuluann Kei tersebar pada 6 Kecamatan
sebanyak 9 unit yaitu ; alat tangkap pancing ulur 3 509 unit 24.68%, pancing
tegak 3 373 unit 23.73%, pancing tonda 2 452 unit 17.25%, jaring insang tetap 1
296 unit 9.12%, alat tangkap lainnya 1 170 unit 8.23%, jaring insang hanyut 765
unit 5.38%, jaring insang lingkar 642 unit 4.52%, pancing lainya 489 unit 3.44%
serta bubu 323 unit 2.27%. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kepulauan Kei
Kabupataen Maluku Tenggara dapat disajikan pada Tabel 11.
30

Tabel 11 Sebaran alat penangkapan ikan di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku


Tenggara

Jumlah Unit Per Kecamatan


No Jenis Alat Kei KK KK KK KKB KKB Jumlah %
Tangkap Kecil Barat Timur Besar Selatan Utara (unit)
Timur
1 Jaring Bobo 12 - - - - - 12 0.08
(Purse Seine)
2 Bagan (Lift 41 - - 8 - 49 0.34
Net)
3 Jaring Insang 268 51 76 194 47 129 765 5.38
Hanyut (Drift
Gill Net)
4 Jaring Insang 190 81 93 160 70 48 642 4.52
Lingkar
(Encirlling
GN)
5 Jaring Insang 242 158 129 290 188 289 1 296 9.12
Tetap (Bottom
GN)
6 Bubu (Trap 87 9 42 109 69 7 323 2.27
Nets)
7 Pancing Tegak 287 328 424 1 020 507 807 3 373 23.73
(Vertical Line)
8 Pancing Ulur 414 316 441 1 015 495 828 3 509 24.68
(Hand Line)
9 Pancing Tonda 126 268 180 705 408 765 2 452 17.25
(Troll Line)
10 Pancing 8 298 - 114 69 - 489 3.44
lainnya
11 Pengumpul 11 9 10 7 6 5 48 0.34
kerang
12 Pengumpul 26 17 13 10 12 7 85 0.60
teripang
13 Lainnya 235 135 104 395 200 101 1 170 8.23
14 Sero tancap 2 - - 2 - - 4 0.03
(Set Net)
Total 1 949 1 670 1 512 4 029 2 071 2 986 14 217 100.00
Persentase (%) 13.71 11.75 10.64 28.34 14.57 21.00 100.00
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan 2014

Frekuensi dari masing-masing alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan


di 6 Kecamatan di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara paling
tinggi terdapat pada Kecamatan Kei Besar sebanyak 4 029 unit 28.34%,
Kecamatan Kei Besar Utara Timur 2 986 unit 21.00%, dan Kecamatan Kei Besar
Selat 2 071 unit 14.57%. Alat tangkap yang paling sedikit di operasikan di 6
Kecamatan perairan Kabupaten Maluku Tenggara yaitu Kecamatan Kei Kecil
Timur 1 512 unit 10.64%, Kecamatan Kei Kecil Barat 1 670 unit 11.75% dan
Kecamatan Kei Kecil 1 949 unit 13.71% Kabupaten Maluku Tenggara
sebagaimana disajikan dalam Tabel 11 di atas, menunjukkan bahwa pada tahun
31

2014 yang memiliki jumlah trip terbesar di operasikan di alat bantu rumpon yaitu
alat tangkap jaring bobo, alat tangkap pancing tonda, alat tangkap pancing ulur
dan alat tangkap pancing tegak. Hal ini dikarenakan dari hasil tangkapan dari
berbagai alat tangkap yang dioperasikan pada alat bantu rumpon hasil tangkapan
yang paling banyak diperoleh melalui alat tangkap jaring bobo dan pancing tonda.

Produksi penangkapan
Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tenggara
(2014), perkembangan produksi perikanan tangkap yaitu ikan pelagis kecil dan
ikan pelagis besar serta ikan demersal yang tersebar pada 6 Kecamatan dapat
disajikan pada Gambar 7.

1000
Pelagis Kecil
900
Kemampuan Produksi (Ton/Tahun)

Pelagis Besar
800 Demersal
700
600
500
400
300
200
100
0
Kei Kecil Kei Kecil Kei Kecil Kei Besar Kei Besar Kei Besar
Barat Timur Selatan Utara Timur

Gambar 7 Perkembangan jumlah produksi ikan pada setiap Kecamatan di


Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Gambar 7 menunjukkan bahwa hasil perkembangan jumlah produksi hasil


perikanan dari 6 Kecamatan di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara tidak merata. Hasil produksi tersebut nilai tertinggi terdapat pada ikan
pelagis besar di Kecamatan Kei Besar diikuti ikan pelagis kecil pada Kecamatan
Kei Kecil dan Kei Besar sedangkan nilai terendah ikan pelagis kecil, ikan pelagis
besar dan demersal menyebar merata pada 6 Kecamatan tersebut.

Potensi ikan pelagis kecil


Jenis-jenis sumberdaya ikan pelagis kecil ekonomis penting yang terdapat di
perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara antara lain, ikan teri
(Stolephorus spp.), ikan selar (Selaroides spp.), ikan layang (Decapterus spp.),
ikan kembung (Rastrelliger spp.), ikan tembang (Sardinela spp.), ikan terbang
(Cypsilurus spp.) dan lain sebagainya. Hasil kajian Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2014 menunjukkan bahwa hasil total luas
32

perairan 0-4 NMI (km2) 3 084.17, kepadatan ikan, biomassa ton/tahun 8 957 dan
JTB ton/tahun 3 575 dapat disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Potensi ikan pelagis kecil di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku


Tenggara

Luas Perairan Kepadatan Ikan Biomassa JTB


Kecamatan
0-4 NMI (km2) (Ton/km2) (Ton/thn) (Ton/thn)
Kei Kecil Barat 847.96 2.81 2 383 953
Kei Kecil 432.30 2.83 1 223 489
Kei Kecil Timur 158.39 2.63 417 165
Kei Besar 781.38 2.79 2 180 872
Kei Besar Selatan 510.76 3.63 1 854 742
Kei Besar Utara Timur 353.38 2.49 880 352
Jumlah 3 084.17 - 8 957 3 575
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (2014)

Tabel 12 menunjukkan bahwa luas perairan ikan pelagis kecil dari 6


kecamatan yang ada di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara luas total
perairan 3 084.17 km2. Nilai tertinggi terdapat pada Kecamatan Kei Kecil Barat
dengan luas 847.96 km2 (27.49%) dan diikuti Kecamatan Kei Besar dengan luas
perairan 781.38 km2 (25.33%). Luas perairan yang terendah terdapat pada
Kecamatan Kei Kecil Timur 158.39 (5.13%) dan diikuti Kecamatan Kei Besar
Utara Timur dengan luas perairan 353.38 (11.45%), Kecamatan Kei Kecil dengan
luas perairan 432.30 (14.01) dan Kecamatan Kei Besar Selatan dengan luas
perairan 510.76 (16.56). Sumberdaya perikanan dari 6 Kecamatan nilai total
sebesar 8 957 ton/tahun. Jumlah biomassa tertinggi terdapat pada Kecamatan Kei
Kecil Barat sebesar 2 383 (26.66%) diikuti Kecamatan Kei Besar sebesar 2 180
(24.39%) dan Kecamatan Kei Besar Selatan 1 854 (20.74%). Nilai biomassa
terendah terdapat pada Kecamatan Kei Kecil Timur sebesar 417 (4.6%) diikuti
Kecamatan Kei Besar Utara Timur sebesar 880 (9.84%) dan Kecamatan Kei Kecil
sebesar 1 223 (13.68%). Jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan ton/tahun
(JTB) nilai tertinggi terdapat pada Kecamatan Kei Kecil Barat sebesar 953
(26.65%) diikuti Kecamatan Kei Besar sebesar 872 (34.29%) dan Kecamatan Kei
Besar Selatan sebesar 742 (20.75%). Nilai terendah terdapat pada Kecamatan Kei
Kecil Timur sebesar 165 (4.65%) diikuti Kecamatan Kei Besar Utara Timur
sebesar 352 (9.91%) dan Kecamatan Kei Kecil sebesar 489 (13.67%).

Potensi ikan pelagis besar


Jenis-jenis ikan pelagis besar yang dominan dijumpai di Perairan Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara adalah ikan madidihang (Thunnus albacares),
cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tongkol (Euthynus affinis, Auxis thazard) dan
lainnya.
Hasil kajian Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tenggara
tahun 2014 menunjukkan bahwa hasil total luas perairan 0-4 NMI (km2) 7 669.57,
kepadatan ikan kg/km2 455.06, biomassa ton/tahun 3 490.12 dan JTB ton/tahun 1
016.56 dapat disajikan pada Tabel 13.
33

Tabel 13 Potensi ikan pelagis besar di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku


Tenggara

Luas
Kepadatan Ikan Biomass JTB
Kecamatan Perairan 0-4
(Kg/km2) (Ton/thn) (Ton/thn)
NMI (km2)
Kei Kecil Barat 2 084.92 455.06 948.77 379.51
Kei Kecil 548.50 455.08 249.61 99.84
Kei Kecil Timur 335.81 455.08 152.82 61.13
Kei Besar 2 031.78 455.06 924.58 369.84
Kei Besar Selatan 1 359.20 455.05 618.51 247.41
Kei Besar Utara Timur 1 309.36 455.05 595.83 238.34
Jumlah 7 669.57 2 730.39 3 490.12 1 016.56
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (2014)

Tabel 13 menunjukkan bahwa luas perairan ikan pelagis besar dari 6


Kecamatan yang ada di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara luas total
perairan 0-4 mil 7 669.57 km2. Nilai tertinggi terdapat pada Kecamatan Kei Kecil
Barat dengan luas 2 084.92 km2 (27.18%) diikuti Kecamatan Kei Besar dengan
luas perairan 2 031.78 km2 (26.49%). Luas perairan yang terendah terdapat pada
Kecamatan Kei Kecil Timur 335.81 km2 (4.37%) diikuti Kecamatan Kei Kecil
dengan luas perairan 548.50 km2 (7.15%), Kecamatan Kei Besar Utara Timur
dengan luas perairan 1 309.36 (17.0%) dan Kecamatan Kei Besar Selatan dengan
luas perairan 1 359.20 km2 (17.72%).
Biomassa sumberdaya perikanan pelagis besar dari 6 kecamatan nilai total
sebesar 3 490.12 ton/tahun. Jumlah biomassa tertinggi terdapat pada Kecamatan
Kei Kecil Barat sebesar 948.77 (27.18%) diikuti Kecamatan Kei Besar sebesar
924.58 (26.49%), Kecamatan Kei Besar Selatan sebesar 618.51 (17.72%) dan
Kecamatan Kei Besar Utara Timur sebesar 595.83 (17.07%). Nilai biomassa
terendah terdapat pada Kecamatann Kei Kecil Timur sebesar 152.82 (4.37%)
diikuti Kecamatan Kei Kecil sebesar 249.61 (7.15%). Jumlah hasil tangkapan ikan
pelagis besar yang diperbolehkan ton/tahun (JTB) nilai tertinggi terdapat pada
Kecamatan Kei Kecil Barat sebesar 379.51 (37.03%) diikuti Kecamatan Kei Besar
sebesar 369.84 (36.38%), Kei Besar Selatan sebesar 247.47 (24.33%) dan
Kecamatan Kei Besar Utara Timur sebesar 238.34 (23.44%). Nilai terendah
terdapat pada Kecamatan Kei Kecil Timur sebesar 6 113 (6.01%) diikuti
Kecamatan Kei Kecil sebesar 99.84 (9.82%).

Daerah penangkapan
Umumnya nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara melakukan aktivitas
penangkapan ikan di daerah penangkapan yang merupakan wilayah perairan
sekitar perairan Kepulauan Kei. Luas perairan pada batas surut terendah hingga 4
mil laut Kabupaten Maluku Tenggara adalah seluas 3 084.17 km2, namun
kadangkala nelayan juga melakukan aktivitas penangkapan hingga pada perairan
yang merupakan wilayah kelola Provinsi Maluku yakni pada batas wilayah
perairan 4-12 mil laut yang memiliki luas perairan 4 585.41 km2. Perairan yang
dijadikan sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan Kabupaten Maluku
Tenggara adalah seluas 7 669.58 km2 dapat disajikan padaTabel 14.
34

Tabel 14 Luas daerah penangkapan ikan di Kepulauan Kei Kebupaten Maluku


Tenggara

Luas Perairan (km2 ) Jumlah


Kecamatan
0-4 mil laut 4-12 mil laut (km2)
Kei kecil 432.30 116.20 548.50
Kei Kecil barat 847.96 1 236.96 2 084.92
Kei kecil Timur 158.39 177.42 335.81
Kei Besar 781.38 1 250.40 2 031.78
Kei Besar selatan 510.76 848.44 1 359.20
Kei Besar utara timur 353.38 955.98 1 309.36
Total 3 084.17 4 585.41 7 669.58
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (2014)

Tabel 14 menunjukkan bahwa total luas perairan daerah penangkapan ikan


0-4 mil laut dan 4-12 mil laut di perairan Kabupaten Maluku Tenggara 7 669.58
km2 yang terdiri dari 6 kecamatan yaitu Kecamatan Kei Kecil Barat merupakan
luas perairan daerah penangkapan ikan yang tertinggi 2 084.92 km2 (27.18%)
diikuti Kecamatan Kei Besar 2 031.78 km2 (26.49%), Kecamatan Kei Besar
Selatan 1 359.20 km2 (17.72%) dan Kecamatan Kei Besar Utara Timur 1 309.36
(17.08%). Luas perairan daerah penangkapan ikan terendah terdapat pada
Kecamatan Kei Kecil Timur 335.81 km2 (4.37%) dan Kecamatan Kei Kecil
548.50 (7.15%). Hal tersebut dikarenakan Kecamatan Kei Kecil Barat berbatasan
dengan Laut Banda, Pulau Kur dan Pulau Tanimbar Kei sehingga volume
kegiatan nelayan lebih banyak melakukan kegiatan penangkapan di daerah
tersebut hasil tangkapan yang diperoleh kebanyakan ikan pelagis kecil
dibandingkan ikan pelagis besar.
Kecamatan Kei Kecil Timur merupakan daerah penangkapan terendah
dikarenakan daerah perairan tersebut dibatasi dengan pulau Kei Kecil dan pulau
Kei Besar yang merupakan daerah transportasi antara kedua pulau tersebut.
Volume penangkapan ikan lebih tinggi dari Kecamatan yang lain karena nelayan
yang melakukan penangkapan ikan berasal dari ketiga pulau yaitu Pulau Kei
Besar Pulau Kei Kecil dan Pulau Dullah menggunakan Selat Nerong sebagai
daerah penangkapan ikan potensial, hasil tangkapan yang diperoleh kebanyakan
ikan pelagis kecil dan ikan demersal.
Potensi perikanan tangkap
Tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil dan pelagis besar di perairan
Kabupaten Maluku Tenggara dengan wilayah pengelolaan 0-4 mil laut dari
tingkat potensi penangkapan dan pemanfaatan jumlah hasil tangkapan yang
diperbolehkan dapat disajikan pada Tabel 15.
35

Tabel 15 Pemanfaatan ikan di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara


(wilayah kelolah 0-4 mil laut)

% Pemanfaatan dari potensi % Pemanfaatan dari JTB


Kecamatan
Pelagis Kecil Pelagis Besar Pelagis Kecil Pelagis Besar
Kei Kecil 52.63 73.50 >100 >100
Kei Kecil Barat 7.33 28.46 18.32 71.15
Kei Kecil Timur 47.16 >100 >100 >100
Kei Besar 28.45 >100 71.14 >100
Kei Besar Selatan 11.44 67.63 28.59 >100
Kei Besar Utara Timur 33.92 56.54 84.79 >100
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (2014)

Tingkat pemanfaatan potensi penangkapan dan jumlah hasil tangkapan yang


diperbolehkan Tabel 15 menunjukkan bahwa dari enam kecamatan yang ada di
perairan Kabupaten Maluku Tenggara bisa untuk dapat dikembangkan.
Pemanfaatan potensi penangkapan ikan pelagis kecil Kecamatan Kei Kecil tingkat
pemanfaatan lebih tinggi 52.63% dan tingkat terendah pada Kecamatan Kei Kecil
Barat 7.33% lebih kecil dari seratus persen sehingga bisa untuk dikembangkan.
Tingkat pemanfatan potensi penangkapan ikan pelagis besar dua Kecamatan lebih
besar dari seratus persen yaitu Kecamatan Kei Kecil Timur dan Kecamatan Kei
Besar, hal tersebut perlu dipertimbangkan, empat kecamatan lain kurang dari
seratus persen dan bisa untuk di kembangkan. Tingkat pemanfaatan jumlah hasil
yang dapat diperbolehkan (JTB) ikan pelagis kecil dua kecamatan lebih besar dari
seratus persen yaitu Kecamatan Kei Kecil dan Kecamatan Kei Kecil Timur dapat
dipertimbang, sedangkan untuk empat kecamatan lain lebih kecil dari seratus
persen sehingga layak untuk di kembangkan. Tingkat pemanfaatan JTB ikan
pelagis besar dari enam kecamatan ada lima kecamatan lebih besar dari seratus
persen sehingga perlu untuk dipertimbangkan dan satu Kecamatan kurang dari
seratus persen yaitu Kecamatan Kei Kecil Barat 71.15% bisa untuk
dikembangkan.

Penangkapan ikan pelagis pada rumpon

Penangkapan ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar di perairan


Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara pada 6 Kecamatan dengan
menggunakan alat bantu rumpon sebagai daerah penangkapan potensial dapat
disajikan pada Tabel 16.
36

Tabel 16 Pemanfaatan rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Desa Pemanfaatan Rumpon Jlh


Kecamatan Ler- Mastur Mastur
Udar Nerong Ngan Sathean Danbuk
oholim Baru Lama
Kei Kecil 0
Kei Kecil - - - - - - - - 0
Barat
Kei Kecil 0
Timur
Kei Besar 4 10 12 - - - - 26
Kei Besar - - - 10 - - - - 10
Selatan
Kei besar - - - - - - - - 0
Utara
Timur
Jumlah 4 10 12 10 - - - - 36
Sumber: Data Lapangan (2014)

Pemanfaatan rumpon yang tersebar di enam Kecamatan yang ada di


perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Tabel 16 menunjukkan
bahwa empat Kecamatan tidak menggunakan rumpon sebagai alat bantu
penangkapan yaitu Kecamatan Kei Kecil Barat, Kei Kecil Timur, Kei Kecil dan
Kei Besar Utara Timur. Dua kecamatan menggunakan rumpon sebagai daerah
penangkapan ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar dengan presentase tertinggi
terdapat pada Kecamatan Kei Besar dengan jumlah rumpon 26 unit (72.22%) dan
Kecematan Kei Besar Selatan dengan jumlah rumpon 12 unit (33.33%). Hasil
penilitian lapangan dapat menunjukkan bahwa nelayan rumpon kebanyakan
berasal dari Kecamatan Kei Besar yaitu Desa Udar, Leroholim dan Desa Nerong
dan Kecamatan Kei Besar Selatan yaitu Desa Ngan. Hal ini dikarenakan
penampatan rumpon banyak difokuskan pada wilayah perairan pesisir dua
Kecamatan tersebut. Selanjutnya untuk pengusaha rumpon dan jaring bobo
kebanyakan berasal dari Kecamatan Kei Kecil Desa Sathean dan untuk nelayan
jaring bobo juga kebanyakan berasal dari Kecamatan Kei Kecil Timur yaitu Desa
Danbuk, Mastur Lama dan Mastur Baru. Hal tersebut memungkinkan untuk dapat
dikembangkan rumpon di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
terutama empat kecamatan yang lain sedangkan dua kecamatan yang
menggunakan rumpon sebagai daerah penangkapan perlu dipertimbangkan
sehingga tidak terjadi konflik antara nelayan rumpon dan nelayan alat tangkap
yang lain.
Posisi rumpon di perairan Selat Nerong dari fishing base tercatat sebelah
barat pulau Kei Besar dan sebelah timur pulau Kei Kecil. Berdasarkan hasil
pengamatan lapangan menujukkan bawa jumlah rumpon dari tahun 2010 sebesar
53 unit sedangkan pada tahun 2014 menurut menjadi 36 unit. Penempatan rumpon
di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong rata-rata berada pada kedalaman 150-200
m. Penempatan rumpon terdekat oleh nelayan penjaga rumpon berjarak 2-3 mil
dari fishing base (pulau Kei Besar). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa luasan
area pemasangan rumpon di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong 211.131 km2
dengan luas area per unit rumpon 5 864 km2 dengan luas rata-rata antara rumpon
berjarak 3.16 mil-laut.
37

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26/PERMEN/2014,


rumpon hanyut dan rumpon menetap dipasang dengan jarak antara rumpon
minimal 10 mil laut. Berdasarkan peraturan tersebut untuk wilayah luas perairan
tempat penyebaran rumpon di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong tidak relevan
dengan PERMEN tersebut. Penyebaran rumpon di perairan Kepulauan Kei masih
bersifat hak ulayat perairan yaitu apabila pengusaha jaring bobo dan rumpon
penyebaran rumpon masuk ke wilayah perairan desa yang memiliki hak ulayat
perairan maka harus ada kesepakan antara pihak desa dengan pengusaha jaring
bobo. Hasil wawancara dan pengamatan langsung terhadap pihak desa, tokoh
masyarakat, pengusaha jaring bobo dan rumpon, nelayan penjaga rumpon serta
nelayan jaring bobo mengungkapkan bahwa untuk menjaga tidak terjadi konflik
maka nelayan penjaga rumpon harus berasal dari desa yang memiliki hak ulayat
perairan dan hasil yang diperoleh sebagian masuk ke desa.

Kesimpulan

1) Perkembangan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei Kabupaten


Maluku Tenggara mengalami penurunan sejak tahun 2010.
2) Kebijakan peraturan pemerintah No. 26/PERMEN/2014 mengenai rumpon
menetap dan rumpon hanyut serta jarak antara rumpon minimal 10 mil laut
tidak bisa diterapkan di perairan Kepulaun Kei terutama Selat Nerong karena
lebar Selat Nerong lebih kecil dari 10 mil laut serta pengelolaan rumpon di
perairan Kepulauan Kei selama ini masih menggunakan hak ulayat.
3) Keragaan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara masih didominasi oleh perikanan skala kecil dan wilayah
pengelolaan pada daerah pesisir 0-4 mil.
38

3 KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN RUMPON PADA


DIMENSI EKOLOGI

Pendahuluan

Pengelolaan berkelanjutan adalah suatu pendekatan pengelolaan


sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan generasi saat ini, tanpa menganggu atau mengurangi kemampuan
generasi selanjutnya dalam memenuhi kebutuhannya. Pendekatan pengelolaan
memerlukan perencanaan yang terintegrasi melalui kajian yang sistimatis terhadap
sumberdaya alam dan potensinya, alternatif pemanfaatannya dan kondisi
ekonominya untuk memilih dan mengadopsi cara-cara pemanfaatan yang terbaik
(Clark 1992).
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, kajian secara terintegrasi
dilakukan dengan memadukan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan
kegiatan pemanfaatan untuk merumuskan bentuk pembangunan berkelanjutan.
Keterkaitan ekosistim pesisir penting diperhatikan dalam perancanaan
pembangunan yang berkelanjutan, khususnya dalam pengembangan rumpon di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara.
Secara ekologis, pengelolaan sumberdaya dapat pulih perlu memperhatikan
segenap keterkaitan ekologis yang terdapat pada suatu wilayah pesisir. Secara
empiris, terdapat hubungan fungsional, baik antara ekosistem di dalam kawasan
pesisir, maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dahuri et
al. (1996) menguraikan ada lima belas ekosistem yang saling terkait di wilayah
pesisir dan lautan, yaitu: (1) tujuh ekosistem daerah daratan, yakni ekosistem
pertanian, air tawar, rawa-rawa, danau, sungai, anak sungai dan kolam; (2) Empat
ekosistem daerah pantai, yakni hutan pantai, rawa pasang surut, mangrove dan
estuari; dan (3) empat ekosistem daerah laut, yakni ekosistem padang lamun,
karang, pelagis dan demersal.
Nelayan skala kecil mendominasi usaha perikanan tangkap di Indonesia
pada umumnya melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan dengan berbagai
keterbatasan, antara lain: modal, ilmu pengetahuan, sasaran dan ruang gerak. Hal
ini berdampak pada rendahnya hasil tangkapan mereka yang berimbas pada
pendapatan yang rendah. Nelayan skala besar saat ini juga mengalami
keterbatasan ruang gerak penangkapan yang disebabkan oleh semakin
meningkatnya biaya operasional dan isu stok sumberdaya ikan ekonomis penting
yang mulai menurun sehingga pendapatannya juga menurun. Salah satu alternatif
untuk menyelesaikan keterbatasan tersebut telah dikembangkan penangkapan
ikan berbasis rumpon.
Fish Aggregating Device (FAD) atau di Indonesia dikenal dengan sebutan
rumpon adalah suatu konstruksi bagunan yang dipasang di dalam air dengan
tujuan untuk memikat ikan agar berasosiasi dengannya sehingga memudahkan
penangkapan ikan tersebut (Monintja 1993). Rumpon sangat berguna untuk
meningkatkan efesiensi dan efektivitas penangkapan ikan dan berfungsi sebagai
tujuan daerah penangkapan yang memudahkan nelayan dalam mencari ikan.
Menurut Imron dan Baskoro DKP (2006), keuntungan rumpon dalam usaha
penangkapan ikan di laut adalah : (a) menghemat bahan bakar untuk mencari
39

daerah penangkapan, (b) mempersingkat hari operasi penangkapan (fishing trip),


(c) mempunyai kepastian daerah operasi penangkapan, dan (d) meningkatkan
hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Selain untuk kegiatan
penangkapan ikan, rumpon juga dapat difungsikan untuk pengembangan jasa
lingkungan. Potensi jasa lingkungan kelautan yang masih memerlukan sentuhan
pendayagunaan secara profesional adalah kegiatan wisata menangkap ikan di
sekitar rumpon seperti di Australia. Sebagai negara bahari ternyata pangsa pasar
wisata itu cukup baik terutama bila rumpon berada di sekitar kepulauan sehingga
dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan penangkapan.
Hasil penelitian Merta dan Suhendarata (1991) menyatakan bahwa
penangkapan ikan cakalang di sekitar rumpon lebih menarik dari kegiatan lomba
pancing ikan cakalang. Hal ini mendukung upaya pemanfaatan sumberdaya
kelautan secara berkelanjutan, dimana kegiatan pariwisata dapat menyaksikan
nelayan menangkap ikan pada daerah fishing ground. Rumpon juga sangat
bermanfaat untuk membantu nelayan dalam pencarian lokasi penangkapan ikan
yang tepat sekaligus mengurangi kepadatan penangkapan di sekitar perairan
pantai yang cederung menimbulkan banyak konflik. Hal ini tentu dengan
memperhatikan jalur pelayaran sehingga rumpon sebagai alat pengumpul ikan
tidak terganggu (Budiono 2005).
Rumpon telah lama dikenal di Indonesia maupun negara-negara lain seperti
Philipina dan negara Pasifik Barat. Semula pengunaan rumpon ditunjukkan untuk
ikan pelagis kecil, namun dengan ditemukannya bentuk konstruksi rumpon laut
dalam yang disebut payaos, maka tujuan utama lebih ditekankan untuk
penangkapan ikan pelagis besar terutama tuna, cakalang dan sejenisnya.
Penggunaan payaos diperkenalkan oleh Philipina pada tahun 1978 yang
merupakan pembaharuan teknologi dalam perkembangan kontruksi rumpon.
Keberhasilan payaos ini di Philipina, segera diikuti oleh negara-negara yang
merasa memiliki Samudera Hindia dan Pasifik seperti Jepang. Di Indonesia
penggunaan payaos baru diperkenalkan pada tahun 1986. Menurut Subani
(1986), nelayan Sulawesi (Teluk Mandar, Mamuju, Teluk Tomini, Teluk Bone)
telah menggenal rumpon laut dalam jauh sebelum perang dunia II dan menyebut
denga nama rompong mandar atau rompong lompo.
Penggunaan rumpon telah berkembang dengan pesat terutama rumpon laut
dangkal di perairan Selat Malaka dan Laut Jawa dengan alat tangkap mini purse
seine. Rumpon laut dalam telah dikembang di daerah Bagian Timur seperti di
Sorong, Fak-fak, Maluku Utara, Teluk Tomini Laut Sulawesi, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Selatan, Laut Pasifik Barat dan Nusa Tenggara Timur serta
saat ini berkembang di Smudera Hindia khususnya Barat Sumatera (DKP 2007)
dalam Subani et al. (1988). Berdasarkan penempatannya, di Indonesia dikenal 3
(tiga) jenis rumpon yaitu rumpon laut dangkal, laut dalam dan dasar. Rumpon
laut dangkal yaitu alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan di
perairan laut dengan kedalaman sampai 200 meter dan biasanya dipergunakan
untuk menangkap ikan pelagis kecil, sedangkan rumpon laut dalam yaitu alat
bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan di perairan laut dengan
kedalaman lebih besar dari 200 meter untuk penangkapan ikan tuna dan cakalang
di samping pelagis kecil. Rumpon laut dalam yaitu rumpon yang dipasang di
dasar perairan dan umumnya menangkap ikan-ikan dasar dan ikan-ikan karang.
Namun rumpon perairan dasar lebih banyak diarakan sebagai upaya perbaikan
40

habitat kehidupan ikan yang dapat membantu ikan mendapatkan rumahnya”


(terumbu buatan) dengan kata lain untuk konservasi ekosistem.
Hasil penelitian Arifin (2008) menyarankan, bahwa perlu pengaturan
kepadatan rumpon, yaitu dengan mempelajari jumlah hasil tangkap, sifat ekologi
wilayah, karakteristik lingkungan perairan, dan kebutuhan ekonomis masyarakat
sekitar serta teknologi rumpon dan alat tangkap yang digunakan. Dengan
demikian kepadatan rumpon di suatu wilayah penting dipertimbangkan hasil
penelitian Barus (1982) menunjukkan bahwa pada awalnya hasil tangkapan terus
meningkat pada saat jumlah rumpon masih sedikit dan penambahan jumlah
rumpon akan meningkatkan hasil tangkapan dan sampai suatu ketika akan
mencapai suatu kondisi maksimum. Kondisi maksimum ditandai oleh
penambahan rumpon tidak lagi diikuti dengan penambahan jumlah hasil
tangkapan melaikan dengan penurunan yang cukup signifikan sehingga secara
ekonomis akan tidak menguntungkan lagi. Penggunaan awal rumpon laut dalam
di Sorong tahun 1986, ternyata hasil tangkapan total dapat meningkat sebesar
105% dari hasil tangkapan per satuan upaya, dapat meningkatkan pendapatan
pemilik rumpon sebesar 367%, mengurangi pemakaian bahan bakar minyak
untuk kapal sebesar 64.3% serta mengurangi pemakaian umpan hidup sebesar
50% (Naamin 1987). Namun saat ini dengan bertambahnya penggunaan rumpon
di perairan Sorong terlihat kecederungan menurunnya hasil tangkapan per satuan
upaya (CPUE).
Hasil penelitian Yusfiandayani (2004), menyatakan bahwa jumlah rumpon
di perairan sekitar Pasauran Selat Sunda telah melebih kapasitas sehingga
memberikan dampak secara lansung pada hasil tangkapan nelayan semakin
menurun dan ukuran ikan semakin kecil, sehingga diperlukan rasionalisasi
dengan penurunan jumlah rumpon. Dampak pengurangan jumlah rumpon yang
akan dipasang akan berpengaruh terhadap nelayan payang Bugis, oleh karena itu
di perlukan pengelolaan bersama penggunaan satu rumpon yang akan
dimanfaatkan oleh beberapa nelayan sehingga pendapatan taraf hidup nelayan
dapat meningkat. Menurut Preston et al., 1982, penempatan rumpon laut dalam
harus disesuaikan dengan kondisi perairan setempat dengan memperhatikan
beberapa faktor di suatu perairan yaitu:
- Lokasi perairan di lewati ruaya ikan cakalang dan tuna
- Dasar perairan yang rata
- Kekuatan arus dan angin tidak terlalu besar
Lebih lanjut menurut Jusuf (1999), beberapa kondisi lingkungan perairan
yang diperlukan dalam pemasangan rumpon, antara lain :
- Perairan yang akan ditempatkan rumpon merupakan daerah/habitat
kelompok ikan pelagis kecil di lokasi tersebut
- Perairan kaya dengan unsur hara atau nutrein
- Kekutan arus dan angin tidak terlalu besar
- Diutamakan merupakan lokasi pertemuan arus panas dan arus dingin
Teknologi penangkapan ikan tepat guna adalah untuk mendapatkan jenis
alat tangkap ikan yang mempunyai keragaman yang baik ditinjau dari aspek
biologi, teknis, sosial dan ekonomi, sehingga merupakan alat tangkap yang cocok
untuk dikembangkan. Menurut Haluan dan Nurani (1988), untuk pengembangan
teknologi penangkapan ikan, ada aspek-aspek yang harus dipenuhi yaitu:
41

- Tidak merusak biologi dan kelestarian sumberdaya,


- Secara teknis efektif digunakan
- Secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan,
- Secara ekonomi dapat menguntungkan,
- Memperoleh izin dari pemerintah.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji atribut-atribut sensitif pada


dimensi ekologi perikanan rumpon berkelanjutan di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara.

Metode Penelitian

Pengambilan data
Penelitian ini dilakukan di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara, yang meliputi kawasan perairan pulau Kei Besar, yaitu
perairan Udar, Lerohoilim, Nerong dan desa Ngan, sedangkan Pulau Kei Kecil
meliputi perairan Pulau Watsit, Pulau Daar, Mastur Lama, Mastur Baru, Denfet
dan Sathean Kabupaten Maluku Tenggara. Penelitian ini berlangsung selama 12
bulan (Januari 2014 - Januari 2015). Pengambilan data lapangan terhadap data
ekologi perairan dilakukan pada tanggal 25-27 Februari 2014 dengan
mengunakan alat carrent meter, thermometer batang, PH meter, BOD meter,
COD meter, hand GPS garmin, GPS garmin. Data yang lain di peroleh melalui
wawancara langsung terhadap nelayan rumpon pada desa-desa nelayan yang
ditentukan sebagai sampel.
Tekanan pemanfaat perairan atau tingkat intensitas pemanfaatan perairan
oleh berbagai kegiatan secara langsung akan mempengaruhi kondisi ekologi
perairan pemasangan rumpon. Semakin tinggi tingkat pemanfaatan (tekanan)
perairan maka akan menyebabkan semakin menurunnya kualitas perairan
tersebut. Tekanan perairan ini dapat berupa pemanfaatan laut sebagai lahan
budidaya laut, jalur-jalur sarana lalu lintas transportasi laut, tempat pembuangan
sampah, daerah penangkapan ikan padat dan sebagainya.
Perubahan ukuran ikan dan jenis ikan dalam satutahun terakhir akan
menggambarkan dampak akibat terjadinya perubahan ekologi. Jika ukuran ikan
semakin kecil maka dapat dikatakan lingkungan perairan dan sumberdaya
perikanan pelagis kecil mengalami kerusakan (degradasi), begitu juga yang
terjadi pada perubahan jenis ikan yang tertangkap dimana ikan yang tertangkap
semakin kecil dari masa kemasa. Kondisi yang demikian dapat dikategorikan
growth overfishing yaitu terjadi manakala stok ikan yang ditangkap rata-rata
ukurannya lebih kecil daripada ukuran yang seharusnya untuk berproduksi pada
tingkat per recruit yang maksimum Fauzi (2005).

Analisis data
Kajian dimulai dengan analisis keberlanjutan dari kondisi saat ini
pemasangan rumpon di lokasi penelitian melalui proses ordinasi menggunakan
algoritma The Rapid Appraisal of The Status Of Fisheries (RAPFISH) (Kavanagh
2001) dengan metode Multidimensional Scaling (MDS). Menggunakan MDS,
diperoleh posisi relatif keberlanjutan pengelolaan rumpon yang dikaji terhadap
42

dua titik acuan yaitu titik “baik (good)” dan titik “buruk (bad)”. Analisis
keberlanjutan dilakukan melalui tahapan penentuan atribut atau kriteria
pengelolaan rumpon berkelanjutan mencakup dimensi ekologi. Analisis MDS,
sekaligus dilakukan leverage, analisis Monte Carlo, penentuan nilai Stress, dan
nilai Koefisien Determinasi (R2)). Analisis Leverage digunakan untuk mengetahui
atribut yang sensitif, ataupun intervensi yang dapat dilakukan terhadap atribut
yang sensitive untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan rumpon.
Analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat dalam
proses analisis yang dilakukan, pada selang kepercayaan 95%. Nilai stress dan
keefesien determinasi (R2) berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya
penambahan atribut, untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat.
Menurut Kavanagh et al. (2004), model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress
dibawah nilai 0.25, dan nilai R2 di atas kepercayaan 95% sehingga kualitas dari
analisis MDS dapat dipertangung jawaban.

Penentuan atribut dan analisis skoring dimensi ekologi menurut Code of


Conduct Responsible Fisheries (CCRF)
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh atribut dari dimensi
ekologi suatu wilayah perairan yang dijadikan sebagai lokasi penempatan rumpon.
Atribut yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan aspek biologi ikan, fisika
perairan dan kimia perairan. Hal ini penting agar rumpon yang dikembangkan
benar-benar dapat menjadi daerah penangkapan ikan pelagis yang baru disamping
itu tidak menyebabkan konflik pengelolaan. Terkait dengan ini, maka rumpon
harus dipasang pada wilayah perairan yang tepat dan menjamin keberlanjutan.
Atribut ekologi ini didasarkan pada CCRF dan disesuaikan dengan kebutuhan di
tiap daerah untuk mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
Adapun atribut dari dimensi ekologi yang dianalisis terkait dengan
pengelolaan rumpon ini yaitu tingkah laku ikan, suhu perairan, salinitas perairan,
arus perairan, kedalaman, kawasan pengelola rumpon, perubahan ukuran ikan
tertangkap dan perubahan jenis ikan yang tertangkap maupun batas wilayah,
secara rinci, atribut dari dimensi ekologi dapat dijelaskan :
- Tingkah laku ikan. Tingkah laku ikan yang diperhatikan adalah ikan pelagis,
seperti ikan layang (Decapterus spp), kembung (Rastrelliger spp), selar hijau
(Atule mate), selar kuning (Selaroides leptolopis), selar bentong (Selar
crumenopthalmus) dan tongkol (Auxis spp). Tingkah laku ikan tersebut perlu
dipelajari sehingga dukungan pemasangan rumpon terhadap pengembangan
habitat dapat diketahui.
- Suhu air laut. Suhu air laut diperlukan untuk kesesuaian suhu air lokasi
rumpon dengan kebutuhan dari alga, ikan kecil, ikan sedang, dan ikan besar
membentuk ekosistem di kawasan rumpon.
- Salinitas air laut. Salinitas air perlu dianalisis untuk mengetahui kesesuaian
salinitas air lokasi rumpon untuk kelangsungan ekosistem di kawasan rumpon
(terdiri dari alga, ikan kecil, ikan sedang, dan ikan besar). Salinitas perairan
tersebut sebaiknya sekitar 33% (Besweni 2009).
- Arus laut. Arus air laut juga perlu diketahui untuk mengetahui kesesuaian
arus dengan kebiasaan hidup ikan-ikan target penangkapan dan kesesuaian
penempatan rumpon. Kesesuaian ikan target, arus air sebaiknya tidak terlalu
43

besar dan tidak terlalu kecil, dan diutamakan merupakan wilayah pertemuan
arus. Kekuatan arus diperlukan juga untuk mempertimbangkan kesesuaian
keberadaan rumpon di sekitar lokasi pemasangan.
- Kedalaman laut dan atraktor rumpon. Kedalaman perairan menentukan jenis
rumpon yang dipasang dan kedalaman atraktor rumpon karena berkaitan
dengan jenis ikan target yang ditangkap. Kedalaman juga akan
mempengaruhi kecerahan yang tinggi, sehingga cahaya matahari bisa tembus.
- Kawasan lokasi pengelolaan rumpon dapat dilakukan pada lokasi kawasan
pemanfaatan atau kawasan pengelolaan bukan pada kawasan lindung dengan
status kawasan perlindungan, kawasan rehabilitasi, kawasan inti atau
sejenisnya yang disterilkan dari aktivitas pemanfaatan. Kemudian juga
diperhatikan zona yang berkaitan dengan aktivitas lainya seperti palayaran
dan wisata bahari.
- Batas wilayah lokasi pengelolaan rumpon perlu dihindari pada wilayah laut
yang menjadi perbatasan negara dengan negara lain. Pengelolaan dapat
dilakukan pada wilayah laut perbatasan antara provinsi atau antar kabupaten
asalkan ada kesempatan antara pihak-pihak di kedua provinsi atau di kedua
kabupaten. Hal ini penting untuk menghindari klaim pengelolaan dan konflik
pemanfaatan.

Skor yang diberikan untuk setiap atribut dalam analisis dimensi ekologi dari
pengelolaan rumpon disajikan pada Tabel 17.
44

Tabel 17 Atribut dan skor analisis dimensi ekologi pengelolaanperikanan rumpon


di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

No Atribut Skala Skor Buruk Baik


1 Tingkah laku ikan 0 Ikan tidak ada di sekitar rumpon 0 3
1 Ikan menyebar dengan kepadatan
rendah di sekitar rumpon
2 Ikan menyebar dengan kepadatan
sedang di sekitar rumpon
3 Ikan menyebar dengan kepadatan
tinggi
2 Suhu perairan 0 Suhu perairan <10 0C atau>30 0C 0 2
1 Suhu perairan 10-180C
2 Suhu perairan 19-30C
3 Salinitas perairan 0 Salinitas < 27 0 3
1 Salinitas > 36
2 Salinitas 28-31
3 Salinitas 32-35
4 Arus perairan 0 Arus terlalu besar 0 3
1 Arus terlalu kecil
2 Arus tidak terlalu besar dan tidak
terlalu kecil, tidak di wilayah
pertemuan arus
3 Arus tidak terlalu besar atau dan
tidak terlalu kecil, dan di wilayah
pertemuan arus
5 Zona/kawasan 0 Zona/kawasan inti dan 0 2
pengelolaan perlindungan yang steril
rumpon 1 Zona/kawasan konservasi dengan
pemanfaatan terbatas
2 Zona/kawasan pemanfaatan
6 Kedalaman 0 Kedalaman > 15 m 0 3
atraktor rumpon di 1 Kedalaman 11-15 m
perairan 2 Kedalaman 7-10 m
3 Kedalaman 2- 6 m
7 Batas wilayah 0 Di wilayah laut negara lain 0 3
1 Di wilayah laut perbatasan dengan
negara lain
2 Di wilayah laut perbatasan antar
provinsi atau antar kabupaten
3 Di wilayah laut dalam batas
administrasi wilayah sendiri
8 Perubahan ukuran 0 Tidak berubah 0 2
ikan tertangkap 1 Sedikit menurun
2 Menurun banyak
9 Perubahan jenis 0 Tidak ada 0 3
ikan yang 1 Berkurang 1-2 jenis
tertangkap 2 Berkurang 3-24 jenis
3 Berkurang > 25 jenis
Sumber : Martosubroto et al(1989)
45

Hasil dan Pembahasan

Status keberlanjutan pengelolaan rumpon pada dimensi ekologi


Terkait dengan hasil penelitian yang dilaksanakan di Selat Nerong
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara dapat dihasilkan melalui dimensi
ekologi dan hasil ini, dianalisis dengan menggunakan analisis Multidimensional
Scaling (MDS). Hal ini dapat mempertimbangkan beberapa atribut yang
berpengaruh terhadap keberadaan rumpon dan ikan pelagis di Selat Nerong, untuk
menghasilkan indeks keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon. Maka atribut
yang sangat dipertimbangkan dalam analisis Multidimensional Scaling (MDS),
dari dimensi ekologi terdiri dari: (1) tingkah laku ikan di sekitar rumpon, (2) suhu
perairan, (3) salinitas perairan, (4) arus perairan, (5) kedalaman atraktor rumpon
di perairan, (6) zona kawasan pengelolaan rumpon, (7) batas wilayah administrasi
pengelolaan rumpon, (8) perubahan ukuran ikan pelagis yang tertangkap pada
rumpon dan (9) perubahan jenis ikan yang tertangkap.
Berdasarkan hasil analisis MDS terhadap dimensi ekologi diketahui bahwa
indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dan ikan pelagis adalah 62.87 pada
skala keberlanjutan 1-100. Nilai indeks ini menunjukkan bahwa dari analisis
sembilan atribut yang ada, terlihat hasil keberlanjutan pengelolaan rumpon dan
ikan pelagis di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara termasuk “cukup” jika dilihat secara ekologi. Menurut Jhonson 1992),
kategori cukup bila nilai indeks berada pada kisaran 57-75. memperlihatkan hasil
analisis Multidimensional Scaling (MDS), yang menunjukkan nilai indeks
keberlanjutan pengelolaan rumpon dan ikan pelagis di perairan Kepulauan Kei
Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara.

Tingkah laku ikan


Peran rumpon sebagai wahana pengumpulan ikan di perairan Indonesia
sejak lama telah dimanfaatkan oleh nelayan karena adanya kecenderungan ikan-
ikan pelagis untuk bergerombol di sekitar rumpon. Subani (1972) mengemukakan,
bahwa ikan-ikan lemah (seperti cakalang kecil) yang berada di sekitar rumpon
berenang pada sisi sebelah atas rumpon. Kadang-kadang bergerak ke kiri dan
kekanan, tetapi selalu kembali ke tempat semula dan umumnya berenang
menentang arus. Ikan berenang menghadang arus dan berada di depan rumpon.
Ikan yang berukuran sedang biasanya ditemui di bawah gerombolan ikan ukuran
kecil dengan gerakan yang sama dengan gerakan juga dengan ukuran tersebut.
Pada umunya ikan yang bergerombolan mempunyai ukuran yang sama (umur,
panjang, berat), dan akan memudahkan dalam menangkap mangsanya
(Djatikusumo 1977).
Tingkah laku ikan pada daerah penangkapan ikan mempunyai hubungan
dengan berbagai faktor lingkungan dan ekologi sehingga dapat diketahui cara
yang dapat meningkatkan efesiensi serta pengunaan alat tangkap untuk
meningkatkan hasil tangkapan (Gunarso 1985). Pergerakan horizontal pada jenis
cakalang (K.pelamis) dapat mencapai pengerakan sekitar 2 mil dari rumpon
dengan kecepatan renang 1.2-2.4 knot. Ikan madidihang (T. albacares)
memperlihatkan pengerakan horizontal sejauh 1 mil kemudian menghilang tetapi
akhirnya ditemukan pada rumpon lain dalam satu perairan dan esok harinya ikan
46

tersebut kembali lagi ke rumpon semula (Cayre 1991). Hasil pengamatan vertikal
menunjukkan bahwa kedalaman renang ikan cakalang pada malam hari cederung
berada di perairan lebih dalam (100-150 m) sedangkan pada siang hari berada
pada kedalaman 0-20 m. Ikan madidihang pada siang hari mencapai kedalaman
antara 70 - 100 m dengan suhu > 25-270C dan pada malam hari 40-70 m dengan
suhu >270C, pada umumnya ikan madidihang berenang mendekati permukaan
pada malam hari dan mulai cenderung berenang semakin dalam pada pagi hari
sesudah matahari terbit. Nilai tengah kedalaman ikan madidihang yang berasosiasi
dengan rumpon sekitar 5.3 meter, sedangkan di luar rumpon sekitar 85.2 meter.
Hasil penelitian Yusfiandayani (2004) menyatakan bahwa rumpon akan
menarik perhatian ikan karena atraktor rumpon melambai-lambai di perairan.
Ikan-ikan bergerak mendekati rumpon karena beberapa sebab antara lain mencari
makan, berkumpul berasosiasi maupun sebagai reference point bagi ikan pelagis
kecil yang melakukan migrasi dan melewati perairan tersebut. Perairan selat sunda
dan Samudera Hindia, rumpon sudah dapat dipasang pada kedalaman 25-30 m,
dan lebih jauh dan dalam tergantung ukuran rumpon dan armada nelayan yang
menangkap ikan serta ikan target di sekitar rumpon tersebut. Hal ini ditunjang
hasil penelitian Soedharma (1994) tentang tingkah laku ikan membentuk
komunitas di sekitar rumpon berdasarkan kelengkapan rantai makanan yang
tersedia. Ikan kelompok besar akan datang bila ada ikan kecil atau sedang yang
menjadi mangsanya di lokasi, begitu juga hal dengan ikan sedang atau kecil. Ikan-
ikan tersebut akan datang dan pergi secara berkelompok dengan periode dan lama
menetap tergantung jumlah makanan dan wilayah migrasi ikan tersebut.
Hasil penelitian Jeujanan (2008) rumpon di perairan Kepulauan Kei Selat
Nerong Kabupaten Maluku Tenggara menunjukkan bahwa untuk menghadang
ikan pelagis kecil yang sedang beruaya agar terkonsentrasi di sekitar rumpon. Hal
tersebut sangat mendukung kesuksesan pengoperasian alat tangkap jaring bobo
,pancing ulur dan pancing tonda karena alat tangkap ini dapat menangkap lebih
dari satu jenis ikan pelagis kecil dengan jumlah ikan yang lebih banyak. Nelayan
di desa Sathen, Danbuk, Mastur lama, Mastur baru, Lerohoilim, Udar, Nerong
serta desa Ngan dalam mengoperasikan jaring bobo menggunakan rumpon
sebagai alat bantu penangkapan. Masing-masing armada penangkapan
mempunyai sekitar 1-5 buah rumpon. Rumpon dipasang pada 1 sampai 2 mil laut
dari pantai dan bergantung pada kecerahan perairan. Rumpon dilengkapai dengan
bendera tanda dengan jarak pemasangan rumpon kurang dari 10 mil laut dari
fishing base ke fishing ground. Daerah penangkapan berdasarkan pada rumpon
yang telah dipasang pada perairan. Nelayan jaring bobo dan pancing tonda dan
pancing ulur bisa saja melakukan operasi penangkapan ikan pada rumpon yang
bukan milik mereka,berdasarkan kesepakatan antara nelayan yang bersangkutan
dengan pemilik rumpon.
Komponen material rumpon yang digunakan terdiri atas pelampung rakit
yang terbuat dari batangan bambu, yang dilengkapi dengan alat pengumpul ikan
(atraktor) yang terbuat dari daun kelapa, tali pengikat dan tali pemberat dari
polyethylene, tali kawat dan swivel serta pemberat atau jangkar yang terbuat dari
drum yang dicor beton. Sebaliknya pada rumpon drum plastik sebagian besar
bahan yang digunakan bukan dari alam melainkan berasal dari buatan seperti
bahan sintesis drum plastik, bambu, daun kelapa serta semen cor.
47

Suhu perairan
Suhu perairan, salinitas serta arus merupakan parameter yang umumnya
digunakan dalam pendekatan untuk melihat hubungan antara lingkungan dan
tingkah laku ikan serta distribusinya. Parameter tersebut diatas sangat dipengaruhi
oleh kondisi meteorologi perairan. Suhu permukaan perairan di Indonesia
umumnya berkisar antara 25-300C dan mengalami penurunan satu atau dua derajat
dengan bertambahnya kedalaman hingga 80 db (8 m), sedangkan salinitas
permukaan laut berkisar antara 31.5-34.5 psu (Tomascik et al. 1997).
Suhu air laut di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku
Tenggara menunjukkan nilai cukup beragam. Sebaran suhu permukaan saat
pengamat pada posisi pemasangan rumpon dan pengoperasian alat tangkap jaring
bobo menunjukkan 28.7 sedangkan suhu minimum di bagian timur pulau Kei
Kecil 26.17-26.240C dan bagian utara pulau Kei Besar 29.82-30.020C, hangatnya
suhu permukaan perairan ini disebabkan pengaruh pemanasan pada permukaan
sekitarnya, dan juga diduga karena pengaruh massa air pada permukaan laut
Banda yang hangat pada musim barat (Desember-Februari). Ilahude et al. (1996)
mengatakan bahwa suhu permukaan bagian sentral Laut Banda pada musim Barat
berkisar antara 29.61-30.320C, lebih tinggi dari suhu pada musim timur berkisar
antara 25.70-26.100C.
Perbedaan sebaran suhu secara spasial pada setiap lapisan kedalaman ini
diduga karena pengaruh pasang surut, letak geografi, perubahan musim maupun
perubahan kontur kedalaman perairan. Fenomena ini menunjukkan bahwa suhu
perairan dekat daerah pemasangan rumpon dan daerah terbuka sangat berpengaruh
terhadap hasil tangkapan ikan pelagis kecil.
Kondisi penangkapan yang berfluktuasi dalam beberapa kondisi suhu serta
hubungannya dengan sebaran suhu permukaan laut di perairan Kepulauan Kei.
Kecenderungan ikan pelagis kecil memiliki kemampuan beradaptasi pada kisaran
suhu hasil pengukuran yakni 280C-300C. Namun kecenderungan penangkapan
optimal berada pada kisaran suhu 290C-300C. Reddy (1993) menyatakan bahwa,
ikan adalah hewan berdarah dingin, yang suhu tubuhnya selalu menyesuaikan
dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan mempunyai
kemampuan untuk mengenali dan memilih kisaran suhu tertentu yang
memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan pada
akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya.

Salinitas perairan
Salinitas juga merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi ikan
pada perairan, Menurut Laevastu et al. (1981) salinitas mempengaruhi
osmoregulasi dalam tubuh ikan dan berpengaruh besar terhadap fertilisasi dan
perkembangan telur. Spesies yang berbeda pada umunya memiliki kemampuan
adaptasi yang berbeda pula terhadap perubahan pada salinitas. Volume air dan
kosentrasi garam-garam dalam tubuh ikan atau kerang-kerangan dipengaruhi oleh
kosentrasi garam-garam dari lingkungan. Toleransi salinitas yang disukai oleh
organisme laut berbeda sesuai dengan fase hidupnya seperti untuk telur, larva,
juvenil, dan dewasa. Salinitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi
keberhasilan reproduksi pada beberapa ikan dan distribusi berbagai stadia hidup
(Reddy 1993). Nybakken (1982) menyatakan bahwa salinitas di daerah paparan
48

lebih bervariasi dari pada di laut terbuka atau laut dalam, kecuali di daerah dekat
sungai-sungai besar yang mensuplai sejumlah besar air tawar, salinitas tidak
berubah banyak sehingga banyak menimbulkan berbedaan ekologi.
Sebaran salinitas permukaan perairan Selat Nerong Kepulauan Kei saat
pengamat 34 psu dengan nilai rata sebesar psu. Salinitas maksimum teramati di
bagian Timur Pulau Kei Kecil dan sebelah Utara Barat Pulau Kei Besar kawasan
perairan pada posisi pemasangan rumpon 132° 44.70’ BT 5° 40.07’ LS.
Rendahnya salinitas perairan disebabkan oleh aliran air tawar dari sumber mata air
di daratan Pulau Kei Besar melalui celah bebatuan dan masuk ke perairan pantai
hingga ke laut setiap harinya, maupun turunnya hujan sehingga dapat
mempengaruhi salinitas perairan.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa salinitas permukaan mengalami
peningkatan hingga lapisan kedalaman 100 m walaupun peningkatannya sangat
sempit antara setiap lapisan kedalaman. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan
homogen atau tercampur mencapai kedalam 100 m.

Arus perairan
Faktor penting lain yang turut mempengaruhi penyebaran ikan di laut adalah
arus. Sikulasi arus yang baik dapat mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan
dari daerah peminjahan ke daerah pembesaran dan ke tempat mencari makan.
Ikan-ikan dewasa memanfaatkan arus sebagai alat orentasi dan bentuk rute alami.
Arus pasut secara langsung mempengaruhi distribusi ikan-ikan dewasa dan tidak
langsung mempengaruhi pengelompokan makanan (Levastu dan Hayes 1981).
Reddy (1993) menyatakan bahwa ikan bergerak secara langsung terhadap
perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh arus dengan mengarahkan dirinya
secara langsung pada arus. Arus tampak jelas dalam organ yang ada pada
organisme yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis dalam
lingkungan seperti gerakan, tegangan atau tekanan.
Kecepatan dan arah arus di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong
Kabupaten Maluku Tenggara memperlihatkan variasi cukup beragam. Kecepatan
arus pada daerah pemasangan rumpon atau permukaan perairan saat pengamatan
berkisar antara 0.15-0.91 cm/detik dengan nilai rata-rata 0.26 cm/detik. Kecepatan
dan arah arus berubah-ubah pada setiap lapisan kedalaman hingga kedalaman 100
m. Kecepatan maksimum di Bagian Timur ke arah Utara perairan Pulau Kei Kecil
dengan arah arus dominan ke arah Barat ke Selatan Pulau Kei Besar. Pada saat
pengamatan arus terhadap pemasangan rumpon dengan mengunakan jaring bobo
untuk menangkap ikan pelagis kecil faktor yang sangat dominan mempengaruhi
adalah arus, angin dan musim. Nurhayati (2002) menyatakan bahwa sirkulasi arus
yang terjadi di suatu perairan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: musim,
angin, topografi perairan, morfologi pantai dan kedalaman laut.

Zona kawasan pengelolaan rumpon


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pasal 1 ayat (11)
mendefinisikan zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara
berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya.
49

Selanjutnya pada ayat (12) dinyatakan bahwa zonasi adalah suatu bentuk rekayasa
teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan
potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang
berlansung sebagai satu kesatuan dalam ekosistim pesisir. Rencana zonasi adalah
rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap-tiap satuan
perencanaan disertai dengan penetapan stuktur dan pola ruang pada kawasan
perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh
dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh ijin.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Per.02/Men/2009 Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan
pasal 1 ayat (1) mendefinisikan kawasan konservasi perairan adalah kawasan
perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan
pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungan secara berkelanjutan. Selanjutnya
pada pasal 2 ayat (1), dimana pelaksanaan penetapan kawasan konservasi perairan
dilaksanakan dengan tujuan:
a) Melindungi dan melestarikan sumberdaya ikan serta tipe-tipe ekosistem
penting di perairan untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya.
b) Mewujudkan pemanfaatkan sumberdaya ikan dan ekosistem serta jasa
lingkungan secara berkelanjutan;
c) Melestarikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan di dalam
dan/atau di sekitar kawasan konservasi perairan
d) Meningkatkan kesejahtreaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi
perairan.
Sasaran kawasan konservasi sendiri pada ayat (2) adalah pemanfaatan
berkelanjuatan sumberdaya ikan dan ekosisistimnya, serta jasa lingkungan yang
ada di dalamnya, dengan tetap menjaga kearifan lokal yang ada, sehingga dapat
menjamin ketersediaan, kesinambungan dan peningkatan kualitas nilai serta
keanekaragamannya, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di
sekitar kowasan konservasi perairan. Zonasi kawasan merupakaan pembagian
kawasan (zona) yang mencerminkan ada suatu perlakuan tertentu di masing-
masing zona tersebut. Penataan zonasi bertujuan untuk optimalisasi fungsi dan
peruntukkan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem pada setiap bagian
kawasan.
Aspek negatif dari suatu perencanaan zonasi yaitu kelihatan sangat kaku
dalam menyederhanakan kompleksnya masalah konservasi. Hal yang tidak mudah
dalam perencanaan zonasi adalah menentukan batas-batas di laut tetapi hal ini
dapat ditunjukkan oleh titik terluar dari setiap kegiatan yang diatur dan dibatasi
secara jelas untuk menegaskan batasnya Laffoley (1995). Memahami peranan
sonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah dengan memahami
fungsinya. Suatu kawasan dilindungi harus dapat menggambarkan tiga fungsi
dasar yang biasanya di jelaskan ke dalam tiga peran Laffoley (1995), yaitu peran
konservasi (konservasi terhadap genetik dan ekosistem), peran logistik (partisipasi
dalam penelitian dan monitoring), dan peran pembangunan (kerjasama dengan
masyarakat lokal di sekitar kawasan konservasi untuk mempromosikan bentuk
pembangunan berkelanjutan yang cocok dengan tujuan konservasi). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa sistim zonasi yang digunakan dalam kawasan konservasi harus
mengandung ketiga peranan tersebut, yang dijelaskan sebagai: zona inti (core
area), yaitu wilayah dengan tujuan utama konservasi; zona penyangga (buffer
50

zone), yaitu wilayah yang membatasi maksud dari pengelolaan; dan zona transisi
(transition area), yaitu wilayah kerjasama dengan masyarakat sekitarnya.
Zonasi merupakan salah satu metode pengelolaan wilayah pesisir (Clark
1974). Zonasi mempunyai dua tujuan yaitu pencegahan kerusakan dan kemudahan
pengaturan. Zonasi diharapkan dapat mengurangi konflik pengguna sumberdaya
dan lingkungan sehinga keberlanjutan pembangunan dapat tercapai. Secara umum
sangat sedikit alasan ekologis yang dijadikan dasar untuk menentukan batasan dan
zonasi kawasan konservasi, karena selama ini batas kawasan konservasi didasrkan
pada karakteristik geologis kawasan batas administratif atau faktor biaya. Tidak
ada aturan baku yang menetapkan ukuran optimal dan rancangan dari suatu
kawasan konservasi, yakni: kategori disagregasi (sekelompok kawasan konsevasi
berukuran besar). Setiap kategori ukuran memiliki keunggulan sendiri. Kawasan
konservasi yang berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis
biota dengan relung yang berbeda-beda, serta tidak merusak semua kawasan
konservasi secara bersamaan bila terdapat bencana. Kawasan koservasi yang
berukuran besar menuntut adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung
pengelolaan yang efektif bagi berbagai pemanfaatan secara berkelanjutan. Adanya
zonasi maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif guna
mencapai sasaran dan tujuan kawasan konservasi.
Zona pengelolaan rumpon di Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten
Maluku Tenggara dapat dibagi dalam lima zona yaitu zona budidaya rumpun laut
yaitu zona ini sangat berpengaruh terhadap aktivitas pelayaran transfortasi dari
Kei Kecil ke Kei Besar dan menghambat aktivitas penangkapan nelayan
tradisinal, zona budidaya mutiara merupakan zona yang dilakukan oleh pengusaha
dan zoni ini dalam pemasangan long line masuk ke wilayah perairan desa taar dan
desa Sathean sehingga terjadi konflik antar pengusaha mutiara dan anggota
masyarakat, zona bagan apung zona ini juga menggangu alur pelayaran aktifitas
dari kedua pulau tersebut yaitu pulau Kei Kecil dan pulau Kei Besar dan juga
dalam pemasangannya dekat dengan daerah pemasangan rumpon sehingga
berpengaruh cahaya lampu petromaks terhadap tingkah laku ikan pada rumpon.
Zona penempatan rumpon merupakan zona inti dalam penelitian ini namun dalam
penempatan rumpon di Selat Nerong dari segi zona perairan sangat menghambat
arus pelayaran di Selat Nerong karena jarak penampatan rumpon sangat dekat dan
ditempatkan di daerah pesisir perairan Desa Udar, Leroholim, Nerong dan Desa
Ngan sehingga banyak menggalami konflik antar nelayan rumpon dan nelayan
jaring bobo terhadap area perairan petuanan desa tersebut. Hal ini jika tidak
ditangani dengan baik maka lima tahun kedepatan akan terjadi overfishing dan
nelayan akan lebih jauh untuk mencari daerah operasi penangkapan. Oleh karena
itu perlu ada dukungan dari pemerintah daerah maupun instansi teknis dalam hal
ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara dan akademisi
yang dapat melakukan kegiatan penelitian sehingga dapat mengatasi masalah
tersebut.

Jarak atraktor rumpon di perairan


Menurut Tim Pengkajian Rumpon Fakultas Perikanan Istitut Pertanian
Bogor (1987), persyaratan umum dari atraktor adalah (1) mempunyai daya
pengumpul yang baik terhadap ikan, (2) tahan lama, (3) mempunyai bentuk posisi
51

potongan vertikal dengan arah ke bawah, (4) melindungi ikan-ikan kecil serta (5)
terbuat dari bahan yang kuat dan murah. Atraktor yang banyak digunakan berupa
daun-daunan alami seperti daun kelapa, jaring dan kumpulan tali-tamali yang
diikatkan bagian rakit telah berhasil meningkatkan efektivitas rumpon dalam
memikat kelompok ikan.
Nelayan tradisional di Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku
Tenggara memilih daun-daun alami sebagai atraktor, hal ini dikarenakan jauh
lebih murah dibandingkan dengan daun buatan. Daun yang banyak digunakan
sebagai atraktor adalah dari famili Cycadaceae seperti daun kelapa, jumlah daun
kelapa yang digunakan nelayan untuk satu buah rumpon sebanyak 50 sampai 100
pelepah daun kelapa. Kedalaman daerah pemasangan rumpon rata-rata 150-200 m
dan untuk kedalaman pemasangan atraktor pada rumpon rata-rata 15-25 m.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap nelayan di perairan Selat Nerong
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara menunjukkan bahwa daya tahan dari
atraktor daun kelapa adalah 3-4 minggu sedangkan daya tahan rumpon 1-2 tahun.
Setelah 7 hari pemasangan rumpon, maka nelayan dapat melakukan kegiatan
penangkapan di rumpon tersebut. Atraktor yang terlalu lama diletakan pada
rumpon akan meyebabkan semakin sedikit ikan-ikan berkumpul di sekitarnya, hal
ini terlihat jelas dari hasil penangkapan menurun sedangkan nelayan kebanyakan
mendatangkan pelepah daun kelapa berasal dari Pulau Kei Besar.

Batas wilayah
Luas wilayah Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara 4 212.51 km2
dengan luas daratan 1 081.81 km2 dan luas perairannya 3 180.70 km2. Kabupaten
Maluku Tenggara/Kepulauan Kei menurut Astronomi terletak antara 50 sampai
6,50 Lintang Selatan dan 1320 sampai 1 3350 Bujur Timur. Adapun letak menurut
georafisnya antara lain: Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura, sebelah
Utara dengan Irian Jaya Bagian Selatan, sebelah Timur berbatasan dengan
Kepulauan Aru dan sebelah Barat berbatasan dengan Kota Tual dan Laut Banda
bagian Utara Kepulauan Tanimbar.
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara hanya terdiri atas 3 gugusan
Kepulauan yaitu gugusan Kepulauan pulau Dullah merupakan tempat Ibu Kota
Tual, sedangkan pulau Kei Kecil merupakan Ibu Kota Kabupaten Maluku
Tenggara dan kepulauan Kei Besar. Selat Nerong merupakan tempat lokasi
penelitian Selat Nerong dapat memisakan antara Pulau Dullah, Pulau Kei Kecil
dan Pulau Kei Besar jika dilihatan dari aktivitas penduduk yang mendiami ketiga
pulau tersebut sebagian besar melakukan aktivitas di Pulau Dullah dan Pulau Kei
Kecil menggunakan kapal laut sebagai transportasi pulang pergi antara 3 pulau
tersbut.
Nelayan yang berada di ketiga pulau tersebut menggunakan Selat Nerong
sebagai tempat aktivitas penangkapan maupun budidaya yaitu tempat budidaya
mutiara, budidaya rumput laut dan tempat operasi penangkapan bagan apung,
sedangkan tempat untuk penampatan rumpon lebih banyak ditempatkan di daerah
pesisir pulau Kei Besar. Dilihat dari aktivitas nelayan yang menggunakan rumpon
sebagai tempat operasi penangkapan jaring bobo banyak berasal dari pulau Kei
Besar dan Pulau Kei Kecil yaitu desa Sathean, Mastur Lama, Mastur baru Danfet,
52

Lerohoilim, Udar, Nerong serta desa Ngan. Hasil obsevasi lapangan dan
wawancara terhadap nelayan yang berada di desa-desa tersebut mereka
mengungkapkan bahwa apabila dari pengusaha rumpon maupun alat tangkap
jaring bobo jika ditempatkan di wilayah perairan petuwanan desa A maka perlu
ada kesepakan antara desa A dengan pihak pengusaha rumpon maupun jaring
bobo. Hasil kesepakatan antara pihak desa dan nelayan yang berada di desa
tersebut adalah apabilah pengusaha menggunakan perairan sebagai tempat
pemasangan rumpon dan operasi penangkapan jaring bobo maka perlu ada
dispensasi tertentu yakni pengusaha rumpon menyediakan bahan rumpon dan
dikerjakan oleh nelayan setempat maupun ABK jaring bobo juga berasal dari desa
setempat. Oleh karena itu perlu adanya pengaturan pengelolaan berkelanjutan
yang lebih jelas dari pihak pemerintah daerah sehingga tindak mengganggu alur
pelayaran transporatsi laut dari pulau Kei Besar ke Pulau Kei Kecil maupun
aktivitas penangkapan ikan di Selat Nerong sehingga tidak menimbulkan konflik
antara desa yang menggunakan Selat Nerong sebagai tempat operasi rumpon dan
jaring bobo terhadap ikan pelagis kecil.

Perubahan ukuran ikan


Daerah penangkapan ikan jaring bobo di perairan Selat Nerong Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara masih tergolong daerah pantai karena
kedalamannya 150-200 m. Ikan-ikan yang bermigrasi ke pantai karena faktor
geografi dan lingkungan seperti arus, salinitas, temperatur air, musim dan pasang
surut dan mungkin makanan menyebabkan daerah tersebut menjadi fishing
ground bagi jaring bobo. Jaring bobo dengan alat bantu rumpon akan menarik
perhatian ikan karena daya tarik atraktor rumpon yang melambai-lambai di
perairan. Ikan-ikan akan bergerak mendekati sumber atraktor atau rumpon karena
beberapa sebab antara lain karena mencari makan, berkumpul atau berasosiasi
maupun sebagai reference point bagi ikan-ikan pelagis kecil yang melakukan
migrasi dan melewati daerah tersebut.
Ikan-ikan yang mencari makan, apabila tersedia makanan maka akan tinggal
lama di sekitar atraktor rumpon untuk makan dan sebaliknya akan segera
meninggalkan daerah tersebut jika tidak tersedia makanan. Ikan-ikan yang sedang
bermain akan berasosiasi di sekitar atraktor rumpon. Saat tersebut, nelayan
melakukan operasi penangkapan dengan jaring bobo di sekitar rumpon ikan-ikan
yang meloloskan diri dari jaring bobo akan berenang menghindari jaring dan
menjauhi atau mendekati rumpon. Secara skematis analisis proses tertangkapnya
ikan pada jaring bobo.
Hasil penelitian di Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara menunjukkan bahwa pada musim barat dari bulan Januari sampai bulan
April hasil tangkapan dengan menggunakan alat tangkap jaring bobo pada alat
bantu rumpon. Total ikan pelagis kecil yang dominan tertangkap dapat ditemukan
empat jenis yaitu; layang (Decapterus russelli), dengan kisaran ukuran antara
12.5-24.36 cm TL cm, selar (Atule mate) 12.7-24.36 TL cm, tongkol (Auxis
thazard) 18. 24-26.4 TL cm kembung 12.7-24.3 TL dapat disajikan pada Tabel
18.
53

Tabel 18 Ukuran panjang (cm) TL dari ke empat spesies ikan pelagis di


Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Panjang Total (cm)


Jenis ikan
minimum maksimum
Layang (Decapterus russelli) 12.5 24.36
Selar (Selaroides leptolepis) 12.7 24.36
Tongkol (Auxis thazard) 18.24 26.4
Kembung(Rastrelliger brachysoma) 12.7 24.3
Sumber: data primer (2014)

Berdasarkan panjang ikan (Tabel 18) dan distribusi panjang total empat
jenis ikan tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar ikan hasil tangkapan
nelayan dengan alat tangkap jaring bobo pada alat bantu rumpon di Selat Nerong
sudah mencapai ukuran dewasa jika dibandingkan dengan ukuran pada saat
dewasa jenis-jenis ikan tersebut terbanyak ditemukan pada ukuran 23-26 cm.
Hasil penelitian Jeujanan 2008 di perairan Kepulauan Kei ukuran minimum 12.0
cm dan ukuran maksimum 24-26 cm, sedangkan hasil penelitian Tanjaya 2011 di
perairan Kepulauan Kei panjang ikan-ikan yang tertangkap berkisar mulai dari
15.5-15.9 cm hingga 27-27.9 cm.

Status keberlanjutan pengelolaan rumpon dimensi ekologi


Analisis MDS untuk dimensi ekologi dengan mempertimbangkan beberapa
atribut yang berpengaruh terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon pada
ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku
Tenggara yang kemudian disingkat Peng-RUMPON-ekologi. Atribut yang
dipertimbangkan dalam analisis MDS dari dimensi ekolologi ini terdi dari : (1)
tingkah laku ikan di sekitar rumpon, (2) suhu perairan, (3) salinitas perairan, (4)
arus perairan, (5) zona kawasan pengelolaan rumpon, (6) kedalaman atraktor
rumpon di perairan, (7) batas wilayah, (8) perubahan ukuran ikan tertangkap, (9)
perubahan jenis ikan yang tertangkap.
Hasil analisis MDS, diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan pengelolaan
rumpon pada ikan pelagis kecil pada dimensi ekologi (PENGRUMPON- Ekologi)
adalah 62.87. Skala keberlanjutan 1-100. Nilai indeks ini menunjukan bahwa dari
analisis sembilan atribut yang ada, status keberlanjutan pengelolaan rumpon pada
ikan pelagis kecil diperairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku
Tenggara termasuk katagori “ cukup” secara ekologi. Menurut Krustal dalam
Jhonson et al. (1992), kategori cukup bila nilai indeks berada pada kisaran 51-75.
Gambar 8 memperlihatkan hasil analisis MDS yang menunjukkan nilai indeks
keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di perairan kepulauan
kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara dari dimensi ekologi dapat
disajikan pada Gambar 8.
54

60,00
UP
40,00
Nilai Tekanan Terhadap Sumberdaya

20,00

Real Fisheries
0,00 BAD GOOD
References
0,00 20,00 40,00 60,00
62,87 80,00 100,00
Anchors
-20,00

-40,00
DOWN
-60,00
Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon

Gambar 8 Status keberlanjutan perikanan rumpon pada dimensi ekologi di


Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Hasil analisis MDS yang dilakukan, diketahui bahwa nilai indeks


keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan
Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara dari dimensi ekologi, maka
dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage yang dilakukan
diketahui bahwa atribut yang sensitif paling tinggi adalah zona kawasan
pengelolaan rumpon dengan nilai 14.94. Atribut lainnya yang kontribusi cukup
besar terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis
kecil dari dimensi ekologi adalah arus perairan dengan nilai 9.37, kedalaman
atraktor di perairan dengan nilai 7.32, salinitas perairan dengan nilai 7.19 dan
batas wilayah 6.56. Secara jelas kontribusi setiap atribut terkait dengan dimensi
ekologi disajikan pada Gambar 9.
55

Perubahan jenis ikan yang tertangkap 1,09

Perubahan ukuran ikan yang tertangkap 2,79

Batas wilayah 6,56

Kedalaman atraktor rumpon di perairan 7,32

Zona kawasan pengelolaan rumpon


Atribut

14,94

Arus perairan 9,37

Salinitas perairan 7,19

Suhu perairan 4,43

Tingkalah laku ikan disekitar rumpon 3,15

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Perubahan Root Mean Square (RMS) Ordinasi Jika Salah Satu


Atribut Dihilangkan (Pada Skala Keberlanjuatan 0 - 100)

Gambar 9 Peran atribut dari dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk
perubahan nilai RMS di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi dapat digambarkan


dengan diagram layang-layang kite diagram, dapat disajikan pada Gambar 10.

TEKNOLOGI
100
80 71,57
60
40
62,87 20
EKOLOGI 0 EKONOMI
62,17

53,92

SOSIAL

Gambar 10 Kite diagram keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di


Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Sembilan atribut pada dimensi ekologi yang dianalisis, terdapat lima atribut
yang sensitif dan berpengaruh atau perlu diperhatikan untuk meningkatkan status
keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan
Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara. Atribut atribut yang sensitif
tersebut adalah seperti yang dapat disajikan pada Tabel 19.
56

Tabel 19 Atribut ekologi yang sensitif mempengaruh indeks keberlanjutan


pengelolaan rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

No Dimensi Pengelolaan Atribut Yang Sensitif


1 Ekologi · Zona kawasan pengelolaan rumpon
· Arus perairan
· Kedalaman atraktor rumpon di perairan
· Salinitas perairan
· Batas wilayah

Diketahui bahwa apakah hasil analisis MDS pada atribut dimensi ekologi
(multidimensional) layak dan menyurupai kondisi sebenarnya kegiatan
pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di periran Kepulauan Kei Selat
Nerong Kabupaten Maluku Tenggara maka perlu dilakukan uji terhadap koefisien
diterminasi (R2) dan nilai stress. Bila uji hasil statistik tidak sesuai dengan yang
dipersyaratkan, maka perlu dilakukan kroscek dan penambahan atribut baru dalam
analisis. Adapun hasil uji statistik terhadap koefisien diterima (R2) dan nilai stress
di dapat disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20 Hasil uji statistik terhadap koefisien diterminasi (R2) dan Stress

Hasil Uji
Dimensi Ekologi
Stess 13.54
R2 94.08

Selanjutnya dalam tingkat keberlanjutan rumpon pada ikan pelagis kecil di


perairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara juga
dilakukan uji Monte Carlo, untuk dapat mengklarifikasi apa hasil penggujian
tingkat kepercayaan nilai indeks keberlanjuatan pengelolaan rumpon baik untuk
dimensi ekologi dengan hasil uji Monte Carlo. Hasil analisis Monte Carlo tersebut
dapat disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21 Analisis Monte Carlo terkait nilai indeks keberlanjutan

Dimensi Nilai Indeks Keberlanjutan


Penegelolaan Analisis MDS Analisis Monte Carlo Keterangan
Dimensi Ekologi 62.87 58.84 Indentik
57

Kesimpulan

1) Hasil analisis terhadap kodisi keberlanjutan perikanan rumpon dalam dimensi


ekologi menunjukkan bahwa, hanya 4 (empat) dari 9 kegiatan perikanan
berbasisis rumpon yang dapat di kategorikan mempunyai tingkat sensitif yang
harus diperbaiki tingkat keberlanjutan.
2) Secara keseluruhan, status keberlanjutan dimensi ekologi terhadap sembilan
atribut yang dianalisis mempunyai nilai indeks keberlanjutan 51-75 (cukup
berkelanjutan).
58

4 KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN RUMPON PADA


DIMENSI TEKNOLOGI

Pendahuluan

Pengembangan perikanan tangkap baik berupa permasalahan sosial ataupun


kerusakan lingkungan dan menurunya stok sumberdaya ikan sebenarnya telah
lama timbul sejak manusia menggunakan laut atau perairan umum sebagai sumber
untuk mendapatkan bahan pangan. Namun saat itu bobot permasalahan yang
timbul tidak seberat apa yang dihadapi pada saat sekarang ini, dimana baik
konflik sosial yang timbul akibat konpotisi besar-besaran dalam memperebutkan
ikan yang menjadi tujuan penangkapan, ataupun kerusakan lingkungan dengan
punahnya beberapa spesies ikan yang diakibatkannya telah menunjukkan
indikator yang sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup generasi
mendatang Purbayanto et al. (1999).
Para ahli telah mulai memberikan perhatian sangat besar terhadap
pembangunan berkelanjutan di semua sektor pembangunan, termasuk di bidang
perikanan yang dikenal dengan perikanan berkelanjutan yang dilaksanakan
melalui paradigma perikanan berwawasan lingkungan. Misinya teknologi
berwawasan lingkungan harus dapat diterjemahkan lagi kedalam bentuk teknologi
yang rama lingkungan.
Teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan adalah upaya
sadar dan berencana dalam menggunakan alat tangkap untuk mengelola
sumberdaya secara bijaksana dalam pembangunan bersinambungan untuk
meningkatkan mutu hidup tanpa mempengaruhi atau mengganggu kualitas dari
lingkungan hidup Martasuganda (2002).
Monintja (1999) mengemukakan bahwa dalam proses pemanfaatan
sumberdaya ikan, disamping perlu menjamin produk yang kompetitif, juga perlu
memenuhi persyaratan sebagai produk yang berwawasan lingkungan, sehingga
teknologi penangkapan ikan yang digunakan dalam proses produksi akan
dihadapkan pada beberapa persyaratan, yaitu; (1) tidak membahayakan kelestarian
target spesies, (2) tidak mengakibatkan tertangkapnya atau terancamnya
kehidupan hewan atau tanaman air yang dilindungi; (3) tidak mengganggu
keseimbangan ekologis; (4) tidak merusak habitat dan (5) tidak membahayakan
keselamatan pelaku penangkapan ikan dan kesehatan konsumen. Selanjutnya
dikatan bahwa cepat atau lambat, persyaratan tersebut di atas akan diberlakukan
terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan di Indonesia. Hal ini perlu diantisipasi
oleh para pengelola perikanan di indonesia, karena untuk menjamin keberlanjutan
usaha penangkapan maka ketentuan yang ditetapkan dalam Code of Conduct for
Responsible Fisheries oleh FAO (1995) sudah saatnya dipatuhi. Arimoto et al.
(2000) menyarankan perlunya melakukan evaluasi ini dapat dilakukan dalam 2
tahap yaitu; (1) analisis data tangkapan (catch data analysis) jangka panjang
terhadap ukuran dan spesies hasil tangkapan; (2) melakukan evaluasi dampak
negatif penangkapan terhadap lingkungan (fishing ground), hilangnya alat
tangkap, polusi yang ditimbulkan, dampak biodiversity (komposisi hasil
tangkapan, bycatch dan discard catch) dan dampak terhadap target sumberdaya
(penangkapan yang intensif dan tertangkapnya ikan-ikan muda).
59

Sejak beberapa dekade terakhir ini terjadi perubahan dramastis dalam


eksplotasi sumberdaya ikan sebagai akibat kemajuan di bidang teknologi.
Pengembangan teknologi dibidang penangkapan dengan menggunakan alat bantu
rumpon pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas penangkapan
untuk memenuhi permintaan konsumsi yang terus meningkat baik kebutuhan
pasar lokal maupun internasional. Di sisi lain perbaikan dan pengembangan
teknologi penangkapan pada alat bantu rumpon juga terjadi dengan tujuan untuk
meningkatkan daya saing sesama nelayan karena semakin terbatasnya sumberdaya
ikan. Pengeseran teknologi ke arah semakin efektif ini pada akhirnya untuk
beberapa lokasi tertentu akan berdampak terhadap penurunan ketersediaan
sumberdaya ikan. Pengeseran teknologi ke arah semakin efektif ini seperti
memperbaiki ukuran mata jaring dan menambah kedalaman jaring.
Persaingan dalam teknologi penangkapan biasanya ditandai dengan
dioperasikannya alat penangkapan ikan pada rumpon yang makin produktif
namun karena ramah lingkungan bahkan bersifat deskruktif dan dampak lebih
jauh biasanya menimbulkan konflik antara nelayan Kei Kecil yang
mengoperasikan alat tangkap jaring bobo pada alat bantu rumpon dan
mendapatkan hasil tangkapan ikan pelagis kecil yang produktivitasnya tinggi, jika
dibandingkan dengan nelayan Kei Besar mengunakan alat tangkap pancing ulur
dan pancing tonda tanpa menggunakan rumpon produksivitas hasil tangkapan
rendah. Kondisi seperti ini sangat jelas terjadi di wilayah penelitian di perairan
Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara dengan dipasang
rumpon di wilayah pesisir pulau Kei Besar. Kajian dimensi teknologi sangat
penting karena aplikasi teknologi dapat mengambarkan serapan teknologi oleh
masyarakat pengguna pada sektor perikanan tangkap apabila teknologi dapat juga
mengambarkan skala usaha dan klaster perikanan tangkap.
Interaksi teknologi dengan ekonomi dan sosial dapat berdampak langsung
dan jangka panjang terhadap kondisi dimensi teknologi juga dapat
mengindikasikan etika operator perikanan dalam memanfaatkan teknologi rumpon
terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara dan pada akhirnya aplikasi teknologi yang tidak dapat memicu
terjadinya kerusakan lingkungan bahkan dapat menyalakan konflik sosial antara
nelayan. Tujuan keberlanjutan pengelolaan rumpon terhadap ikan pelagis kecil,
maka ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan aplikasi teknologi dalam
pemanfaatan rumpon sebagai pengelolaan perikanan pelagis kecil telah banyak
dijelaskan dalam penatalaksaan perikanan yang bertangungjawab (FAO-CCRF,
1995).
Beberapa kriteria untuk teknologi penangkapan ikan dan alat bantu rumpon
ramah lingkungan telah dijelaskan oleh Monintja (2001) yaitu (1) selektivitas
tinggi, tidak destruktif terhadap habitat, tidak membahayakan nelayan (operator),
menghasilkan ikan bermutu baik, produk tidak membahayakan kesehatan
konsumen, minimum hasil tangkapan yang terbuang, dapak minimum terhadap
keanekaragaman sumberdaya hayati, tidak menangkap spesies yang dilindungi
atau terancam punah, dan diterima secara sosial. Oleh karena itu lebih lanjut
dijelaskannya bahwa kriteria untuk kegiatan penangkapan ikan berkelanjutan
harus menerapkan TPIRL dan pertimbangan lain yang dapat mendukung berbagai
aspek keberlanjutan perikananan tangkap berbasis rumpon seperti pertimbangan
60

JTB (TAC), keuntungan usaha, besaran investasi, penggunaan BBM serta


ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Menentukan status keberlanjutan perikanan rumpon dimensi teknologi.
2) Mengkaji atribut-atribut sensitif pengelolaan perikanan rumpon pada dimensi
teknologi di perairan Kepulauan Kei.

Metode Penelitian

Pengambilan data
Rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan pelagis kecil dengan
menggunakan alat tangkap jaring bobo, pancing ulur dan pancing tonda yang
sering digunakan nelayan di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara. Jika dilihat dari atribut yang digunakan untuk menganalisis
rumpon dan alat tangkap tersebut dalam penelitian ini ada 7 atribut yaitu
penerapan teknologi ramah lingkungan, rasio hasil tangkapan terhadap TAC,
keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar rumpon, tingkat investasi
pengusahaan rumpon, penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon, ukuran
kapal penangkapan dan tingkat akuntabilitas.
Atribut alat bantu rumpon dan alat tangkap ramah lingkungan dapat
mengambarkan berapa jumlah alat bantu rumpon maupun alat tangkap yang
dioperasikan di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara. Atribut rasio hasil tangkapan terhadap TAC berapa besar hasil
tangkapn yang diperoleh atribut keuntungan nelayan dapat memberikan informasi
tentang keuntungan nelayan selama musim Barat yaitu bulan Januari-April, atribut
BBM dapat mengambarkan informasi tentang pengunaan bahan bakar minyak
satu kali trip dari fishing base ke fishing ground dan kembali ke fishing base,
atribut selektivitas alat tangkap mengambarkan tentang ukuran mata jaring
terhadap hasil tangkapan, atribut ukuran kapal penangkap mengambarkan tentang
panjang kapal, tinggi kapal dan volume kapal, atribut akuntabilitas
menggambarkan bagaimana hukum peraturan daerah sampai pusat tentang aturan
pemasangan rumpon dan atribut berapa jarak pemasangan rumpon
menggambarkan tentang berapa mil dari garis pantai dan berapa jarak antara satu
rumpon terhadap rumpon yang lain.

Analisis data
Penentuan indeks status keberlanjutan teknologi rumpon terhadap ikan
pelagis kecil dimulai dengan pembuatan skor setiap atribut pada dimensi
teknologi kondisi realita data di lapangan baik dengan wawancara dan
pengamatan langsung terhadap nelayan rumpon dan jaring bobo pancing ulur dan
pancing tonda pada saat operasi penangkapan. Penyusunan skor ini berdasarkan
acuan-acuan yang telah dibuat baik melalui literatur maupun judgment dari
penulis dengan asumsi-asumsi dan dasar-dasar ilmiah. Skor yang diperoleh
kemudian dimasukkan ke dalam program microsoft excel dengan template
teknologi yang telah disiapkan sebelum kemudian di-run sehinga diperoleh nilai
Multidimensional Scaling dari RAPFISH yang lebih dikenal dengan indeks
keberlanjutan.
61

Nilai indeks keberlanjutan rumpon dan ikan pelagis kecil ini pada metode
Rapfish diketahui mempunyai reference dari bad (buruk) sampai good (baik)
dalam selang 0-100. Penentuan status keberlanjutan pengelolaan rumpon dan ikan
pelagis kecil di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara maka selang dari bad (0) sampai good (100) tersebut di bagi menjadi
beberapa bagian, yaitu dengan membagi empat selang 0 - 100 tersebut. Selang
indeks keberlanjutan tersebut yaitu selang 0-25 dalam status buruk, selang 26-50
dalam status kurang, selang 51-75 dalam status cukup dan selang 76 - 100 dalam
status baik. Pembagian selang yang menggambarkan status indeks keberlanjutan
teknologi tersebut dapat disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22 Selang indeks dan status keberlanjutan teknologi pengelolaan perikanan


rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

No Selang Indeks Keberlanjutan Status Keberlanjutan


1 ≤ 25 Buruk/tidak berkelanjutan
2 25-49 Kurang berkelanjutan
3 50-75 Cukup berkelanjutan
4 >75 Baik/sangat berkelanjutan
Sumber: Soesilo (2003)

Penentuan atribut dan analisis skoring dimensi teknologi


Dimensi ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian dari dimensi teknologi
terkait pemanfaat rumpon. Dimensi ini penting untuk menyeleksi sifat keandalan
teknik dan tepat guna dari pemanfaatan rumpon dan alat tangkap yang
dioperasikan di sekitar rumpon. Atribut yang digunakan untuk faktor teknologi
dari pemanfaatan rumpon ini mengacu kepada kaidah Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF). Skor yang diberikan untuk setiap atribut dalam
dimensi teknologi dari efektivitas rumpon dapat disajikan pada Tabel 23.
62

Tabel 23 Atribut dan skor analisis dimensi teknologi pengelolaan perikanan


rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

No Atribut Skala Skor Buruk Baik


1 Penerapan 0 Memenuhi 2 kriteria alat 0 3
teknologi ramah tangkap/operasi rama lingkungan
lingkungan 1 Memenuhi 3 - 5 kriteria alat
tangkap/oprasi ramah lingkungan
2 Memenuhi 5 - 7 kriteria alat
tangkap/operasi ramah lingkungan
3 Memenuhi seluruh kriteria alat
tangkap/operasi ramah lingkungan
2 Rasio hasil 0 Hasil tangkapan >100% dari TAC 0 3
tangkapan terhadap 1 Hasil tangkapan < 80% dari TAC
TAC 2 Hasil tangkapan 80% < x< 100%
dari TAC
3 Hasil tangkapan 80 % dari TAC
3 Keuntungan 0 Keuntungan lebih kecil dari Rp 5 00 0 3
nelayan dari 000 per bulan
penangkapan di 1 Keuntungan antara Rp 5 00 000- Rp
sekitar rumpon 1 000 000 per bulan
2 Keuntungan antara Rp 1 000 000-
Rp 1 500 000 per bulan
3 Keuntungan lebih besar dari Rp
1 500 000 per bulan
4 Tingkat investasi 0 Investasi lebih besar dari Rp 2 000 0 3
pengusahaan 000 per unit/nelayan
rumpon 1 Investasi antara Rp 1 000 000 - Rp
2 000 000 per unit/nelayan
2 Investasi antara dari Rp 500 000 -
1 000 000 per unit/nelayan
3 Investasi lebih kecil dari Rp 5 00
000 per unit/nelayan
5 Penggunaan BBM 0 Penggunaan BBM lebih besar dari 0 3
untuk penangkapan 15 liter per trip
di rumpon 1 Penggunaan BBM antara 10 -15
liter per trip
2 Penggunaan BBM antara 5-10 liter
per trip
3 Penggunaan BBM lebih kecil dari 5
liter per trip
6 Ukuran kapal 0 2 -5 m 0 2
penangkapan 1 > 5-10 m
2 > 10 m
7 Tingkat 0 Pengelolaan rumpon memenuhi 1 0 3
akuntabilitas : dari 4 kriteria
1) CCRF, 1 Pengelolaan rumpon memenuhi 2
63

Lanjutan Tabel 23
2) UU tentang dari 4 kriteria yang ada
perikanan 2 Pengelolaan rumpon memenuhi 3
3) Peraturan daerah dari 4 kriteria
dan 4) Hukum adat 3 Pengelolaan rumpon memenuhi
semua kriteria yang ada
Sumber : CCRF, Jusuf (1999)

Hasil dan Pembahasan

Penerapan teknologi ramah lingkungan


Menurut Monintja (2001), ada sembilan kriteria alat penangkapan ikan yang
ramah lingkungan, yaitu mempunyai seletivitas yang tinggi, tidak merusak
habitat, menghasilkan ikan yang berkualitas tinggi, tidak membahayakan nelayan,
produksi tidak membahayakan konsumen, by-catch rendah, dampak terhadap
biodiversity rendah, tidak membahayakan ikan yang dilindungi, dan diterima
secara sosial.
Suatu alat tangkap dikatakan mempunyai selektivitas yang tinggi bila alat
tangkap tersebut dalam operasionalnya hanya menangkap ikan dengan jenis dan
ukuran yang sesuai. Alat tangkap yang tidak merusak habitat adalah alat tangkap
yang tidak merusak terumbu karang dan ekosistim lainnya sebagai tempat hidup
dan berkembang berbagai jenis ikan dasar. Terkait ini, maka penilaian tingkat
kerusakan habitat yang terjadi akibat operasi alat tangkap, dapat disarkan pada
tingkatan kerusakan: (1) menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang lebih
luas, (2) menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit, (3)
menyebabkan kerusakan sebagian habitat pada wilayah yang sempit dan (4) aman
bagi habitat.
Suatu alat tangkap dapat dikatakan mempunyai by-catch rendah bila hasil
sampingan/hasil bukan target penangkapan yang dihasilkannya rendah. Ada
beberapa kemungkinan by-catch yang didapat dalam penangkapan adalah : (a) by-
catch ada beberapa spesies dan tidak laku dijual di pasar; (b) by-catch kurang dari
tiga jenis dan mempunyai harga yang tinggi. Alat tangkap dikatakan mempunyai
dampak terhadap biodoversity rendah bila pengoperasian alat tangkap tersebut
tidak merusakan pertumbuhan dan kehidupan suatu ikan tertentu. Serta tidak
membahayakan ikan yang dilindungi bila alat tangkap tersebut dalam operasinya
tidak atau minimal dalam menangkap ikan-ikan yang dilindungi baik karena
kelengkapannya maupun karena peran pentingnya dalam ekosistim perairan.

a. Aspek berkelanjutan
Hasil seleksi aspek berkelanjutan dari setiap unit penangkapan ikan yang
beroperasi diperairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara disajikan pada
Tabel 24. Berdasarkan Tabel 24 diketahui bahwa alat tangkap pancing tonda
memperoleh nilai tertinggi (3.83) pada beberapa kriteria berdasarkan penangkapan
ikan yang berkelanjutan seperti menerapkan teknologi ramah lingkungan (nilai 4),
jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC (nilai 4), menguntungkan (nilai 4),
investasi rendah (nilai 3), penggunaan BBM rendah (nilai 4), memenuhi ketentuan
hukum yang berlaku (nilai 4) diikuti oleh alat tangkap pancing ulur, pancing tegak
(nilai 3.66), dan jaring insang permukaan (nilai 3) dan jaring insang lingkar serta
jaring insang dasar (nilai 3.5). Alat tangkap bubu (nilai 3) dan alat tangkap bagan
64

apung (nilai 2.5) menduduki urutan ketiga. Alat tangkap pukat tarik (nilai 2) serta
alat tangkap sero tancap (nilai 1.8), dari kedua alat tersebut tidak memperhatikan
kriteria-kriteria aspek berkelanjutan sehingga alat tangkap ini menduduki urutan
yang paling akhir dalam penilaian skoring berdasarkan aspek berkelanjutan dapat
disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24 Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang berkelanjutan di Kepulauan


Kei Kabupaten Maluku Tenggara

No Unit Kriteria Unit Penangkapan Ikan Yang Total Rata-


Penangkapan Berkelanjutan Skor rata
Ikan A B C D E F
1 Pukat Cincin 2 3 4 3 3 3 18 3
2 Bagan 2 3 2 2 3 3 15 2.5
3 Jaring Insang 4 3 3 3 2 3 18 3
Hanyut
4 Jaring Insang 4 3 3 4 4 3 21 3.5
Tetap
5 Jaring Insang 4 3 3 4 4 3 21 3.5
Lingkar
6 Bubu 3 4 2 4 4 2 18 3
7 Pancing Tegak 4 3 4 4 4 3 22 3.6
8 Pancing Ulur 4 3 4 4 4 3 22 3.6
9 Pancing Tonda 4 4 4 3 4 4 23 3.83
10 Sero tancap 1 2 2 2 2 2 11 1.8
11 Pukat tarik 2 2 2 2 2 2 12 2
Ket : A = menerapkan teknologi ramah lingkungan, B = Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi
TAC, C= menguntungkan, D = investasi rendah, E = penggunaan BBM rendah, F =
memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku

b. Aspek ramah lingkungan


Hasil seleksi aspek ramah lingkungan dari setiap unit penangkapan ikan
yang beroperasi diperairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara disajikan
pada Tabel 25. Berdasarkan hasil nilai skor aspek ramah lingkungan (Tabel 25)
terlihat bahwa dari ketiga alat tangkap pancing mempunyai nilai yang sama yaitu
(nilai 3.44) cukup sempurna dapat mewakili keseluruhan penilaian berdasarkan
aspek ramah lingkungan seperti: selektivitas tinggi (nilai 4), tidak destruktif
terhadap habitat (nilai 3), hasil tangkapan berkualitas tinggi (nilai 4), tidak
membahayakan nelayan (nilai 4), produk tidak membahayakan konsumen (nilai
4), by-catch dan discard minim (nilai 3), tidak menangkap spesies yang hampir
punah (nilai 3), dampak minimum terhadap biodiversity (nilai 3), serta dapat
diterima secara sosial di masyarakat (nilai 3).
Selanjutnya dari ketiga alat tangkap jaring insang mempunyai nilai yang
sama yaitu (3.44) menduduki urutan kedua dan urutan ketiga alat tangkap jaring
bobo (nilai 2.55) serta bagan apung (nilai 2.77), sedangkan bubu (nilai 2.11),
pukat tarik (nilai 1.88) serta sero tancap (nilai 1.77) ketiga alat tangkap ini adalah
merupakan alat tangkap yang menduduki urutan terakhir berdasarkan hasil nilai
skor unit penangkapan ikan ramah lingkungan sehingga dapat dikatakan bahwa
alat tangkap ini tidak memperhatikan aspek ramah lingkungan. Hasil penelitian
Nanlohy 2013 tentang evaluasi alat tangkap ikan pelagis yang ramah lingkungan
65

di perairan Maluku dengan mengunakan prinsip CCRF (Code of Conduct for


Responsible Fisheries) dapat disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25 Hasil seleksi unit penangkapan ikan berdasarkan aspek ramah


lingkungan di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

N Unit Penangkapan Kriteria Unit Penangkapan Ikan Total Rata-


o ikan yang ramah lingkungan Skor rata
A B C D E F G H I
1 Pukat Cincin 1 2 3 3 3 3 3 2 3 23 2.5
2 Bagan 2 3 3 3 3 3 3 2 3 25 2.7
3 Jaring Insang Hanyut 4 3 3 4 4 3 3 3 3 30 3.33
4 Jaring Insang Tetap 4 3 3 4 4 3 3 3 3 30 3.33
5 Jaring Insang Lingkar 4 3 3 4 4 3 3 3 3 30 3.33
6 Bubu 2 1 2 2 2 3 2 2 3 19 2.11
7 Pancing Tegak 4 3 4 4 4 3 3 3 3 31 3.44
8 Pancing Ulur 4 3 4 4 4 3 3 3 3 31 3.44
9 Pancing Tonda 4 3 4 4 4 3 3 3 3 31 3.44
10 Sero tancap (Set Net) 1 2 2 2 2 2 2 1 2 16 1.77
11 Pukat tarik 1 2 2 2 2 2 2 2 2 17 1.88
Keterangan : A = selektifitas tinggi, B = tidak destruktif terhadap habitat, C = hasil tangkapan
berkualitas tinggi, D = tidak membahayakan nelayan, E = produknya tidak
membahayakan konsumen, F = by-catch dan discard minim, G = tidak menangkap
spescies yang hampir punah, H = dampak minimum terhadap biodiversity, I = dapat
diterima secara sosial.

Rasio hasil tangkapan terhadap TAC


Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap, akan sangat tergantung
pada kondisi sosial, ekonomi dan budaya di suatu tempat. Suatu alat diterima
secara sosial oleh masyarakat bila: (1) biaya investasi murah, (2) menguntungkan
secara ekonomi, (3) tidak bertentangan dengan budaya setempat, (4) tidak
bertentangan dengan peraturan yang ada. Pembobotan kriteria ditetapkan dengan
menilai kenyataan di lapangan bahwa (dari yang rendah hingga yang tinggi):
- Alat tangkap memenuhi satu dari empat butir persyaratan di atas;
- Alat tangkap memenuhi dua dari empat butir persyaratan di atas;
- Alat tangkap memenuhi tiga dari empat butir persyaratan di atas;
- Alat tangkap memenuhi semua persyaratan di atas.
Bila ke empat kriteria ini dilaksanakan secara konsisten oleh semua pihak
yang terlibat dalam kegiatan perikanan, dapat dikatakan ikan dan produk
perikanan akan tersedia secara berkelanjutan. Hal yang penting diingat adalah
bahwa generasi saat ini memiliki tangungjawab moral untuk memastikan bahwa
kita tidak mengurangi ketersediaan ikan bagi generasi yang akan datang dengan
memanfaatkan sumberdaya ikan yang berlebihan. Perilaku yang bertangungjawab
ini akan memberikan sumbangan yang penting bagi ketahanan pangan, dan
peluang pendapatan yang berkelanjutan.
Adapun pengembangan perikanan yang berkelanjutan bertujuan untuk
mengetahui tingkat bahaya alat tangkap ikan yang digunakan terhadap kelestarian
sumberdaya ikan yang ada. Menurut Monintja (2001), kriteria alat tangkap
berkelanjutan mempunyai enam kriteria yang digunakan yaitu : (1) menerapkan
66

teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan (2) jumlah hasil tangkapan tidak
melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) (3) produk mempunyai
pasar yang baik (4) investasi yang digunakan rendah (5) pengunaan bahan bakar
rendah (6) secara hukum alat tangkap tersebut legal.
Menjaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada, maka ditentukan nilai TAC
sebesar 80% dari nilai potensi lestari maksimum (MSY). Usaha penangkapan,
informasi tentang lestari maksimum dari suatu sumberdaya sangat diperlukan.
Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual belum dapat
menghitungkan secara baik dalam penentuan TAC untuk daerah perairan di Selat
Nerong Kepulauan Kei. Penentuan bobot didasarkan pada jumlah hasil tangkapan
ikan pelagis kecil yang tertangkap pada rumpon dan ukuran ikan tiap bulan dan
tahun yang tercatat pada data statistik Kabupaten Maluku Tenggara.

Keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar rumpon


Kondisi ekonomi nelayan di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong
Kabupaten Maluku Tenggara diketahui dari pendapatan bersih yang mereka
peroleh dari hasil penjualan ikan hasil tangkapan dalam bentuk segar maupun
hidup. Semua ikan hasil tangkapan tidak pernah dijual dalam bentuk olahan tetapi
semuanya dalam bentuk segar, tidak seperti tangkapan nelayan perikanan pelagis
kecil terutama ikan layang, kembung, selar dan tongkol yang semuanya dijual di
pasar maupun perusahan perikanan yang ada di Kabupaten Maluku Tenggara.
Data yang diperoleh tidak bisa diterima dari semua nelayan, karena ada sebagian
kecil nelayan yang tidak mau menginformasikan pendapatannya. 140 responden
nelayan di Kepulauan Kei yang tersebar di enam desa yang dijadikan sampel ada
120 responden yang mau menginformasikan pendapatannya, sedangkan 20
responden tidak bersedia, dengan demikian untuk mengetahui kondisi keuntungan
nelayan penangkapan di sekitar rumpon ditentukan dari 120 responden tersebut.
Hasil analisis terhadap pendapatan nelayan rumpon seperti dapat disajikan pada
Tabel 26.

Tabel 26 Pendapatan nelayan dari penangkapan di sekitar rumpon di Kepulauan


Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Pendapatan (Rp) Jumlah Responden (org) Persentase (%)


< 2 000 000 35 25
2 000 000 - 4 000 000 84 60
4 500 000 - 6 000 000 7 5
6 000 000 - 9 000 000 6 4.28
9 000 000 - 12 000 000 8 5.71
Jumlah 140 100

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa nelayan penangkapan ikan


disekitar rumpon di Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara
memiliki pendapatan yang cukup tinggi. Pendapatan paling rendah yang diterima
nelayan adalah Rp 1 500 000 sebanyak 25% sedangkan tertinggi adalah Rp 12
000 000. sebanyak 5.71%. Nelayan dengan pendapatan di atas 2 000 000 - 4 000
67

000, sebanyak 60% bahkan lebih dari setengah populasi dan di atas Rp 4 000 000
- 6 000 000 sebesar 5%. Nelayan dengan pendapatan 6 000 000 - 9 000 000,
sebesar 4.28%. Nelayan yang memiliki pendapatan di atas Rp 9 000 000 /bulan
adalah nelayan yang menangkap dan menjual ikan layang. Selain pendapatan yang
diterima nelayan melalui penjualan ikan, ternyata ada anggota keluarga nelayan
juga yang ikut bekerja. Pendapatan yang diterima anggota keluarga lain yang
bekerja antara Rp 750 000 - 1 500.000/bulan.
Nelayan juga memanfaatkan waktu luang saat tidak melaut untuk berkebun,
umumnya nelayan yang berkebun adalah mereka yang memiliki dusun/tanah
terutama bagi penduduk asli. 40.45% nelayan memanfaatkan waktu luangnya
untuk berkebun, dengan demikian kebutuhan hariannya juga didapatkan dari
kebun. Nelayan yang tidak memiliki tanah untuk berkebun mereka menggunakan
waktu luang dengan bekerja sebagai buruh bangunan, tukang ojek dan lainnya
dengan pendapatan sekitar Rp750.000/bulan. Nelayan yang berkebun, kebutuhan
konsumsi harian keluarga didapatkan dari kebun sedangkan bagi nelayan yang
tidak memiliki kebun semua kebutuhan konsumsi keluarga dibeli di pasar.
Rumah yang ditempati nelayan umumnya dimiliki sendiri, hasil penelitian
ini mendapati bahwa hanya 9.6% nelayan yang belum memilki rumah tetap,
mereka tinggal pada rumah orang lain atau pada orang tua, sedangkan 90.4%
nelayan sudah memiliki rumah tetap. Rumah yang ditempati nelayan 20.03%
adalah rumah parmanen, 68.43% semi parmanen dan 11.54% adalah non
parmanen. Rumah-rumah nelayan juga 60.60% diantaranya sudah memiliki
fasilitas MCK yang cukup memadai sedangkan 39.40% sisanya belum memiliki
fasilitas MCK. Semua rumah (100%) rumah yang ditempati nelayan sudah dialiri
listrik. Nelayan juga memiliki berbagai peralatan elektronik seperti TV, DVD,
radio dan lain-lain, hanya 5.54% keluarga nelayan yang tidak memiliki fasilitas
tersebut.
Sisi keuangan, nelayan juga sudah menggunakan jasa - jasa keuangan resmi
seperti perbankan. 120 responden yang bersedia memberikan informasi keuangan
keluarga, 70% diantaranya memiliki tabungan sedangkan 30% sisanya tidak
memiliki tabungan. 70% nelayan yang memiliki tabungan, 40.43% diantaranya
menyimpan uangnya di bank, 2.2% menyimpan uangnya di bank dan di rumah
sedangkan 37.37% menyimpan uangnya di rumah. Hasil analisis ini juga
mendapati bahwa nelayan yang menggunakan jasa perbankan untuk meminjam
uang sebesar 2%, yang meminjamkan uang ke majikan hanya 25% dan
meminjamkan ke tempat lain ada 30%, sedangkan 43% nelayan tidak pernah
meminjam uang ke pihak manapun.
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa karakteristik nelayan yang miskin,
pendidikan rendah dan predikat negatif (rendah lainnya di masyarakat)
sebagaimana ditemukan pada nelayan perikanan pelagis kecil di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara. Mukaffi (2008) menjelaskan bahwa masyarakat
nelayan di Indonesia merupakan golongan masyarakat yang dianggap miskin
secara absolut, bahkan paling miskin diantara penduduk miskin (the poorest of the
poor), hal yang hampir sama disampaikan oleh Kusnadi 2002, Budi 2008 yang
dikutip Kinseng (2011), Kusnadi et al. (2002); Wahyono et al. (2001). Faktor
utama yang memungkinkan kondisi ekonomi keluarga nelayan di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara dan sekitarnya memiliki pendapatan yang tinggi
68

adalah ketersediaan sumberdaya perikanan pelagis dan ditunjang dengan daya


serap pasar yang tinggi.

Penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon


Operasi penangkapan ikan pelagis kecil oleh nelayan jaring bobo di lokasi
pemasangan rumpon sampel Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara rata-rata 1-2 jam per trip. Hal ini kegiatan penangkapan nelayan bersifat
one-day-fishing. Musim barat operasi paling cepat adalah 1 jam per trip,
sebaliknya waktu terlama mencapai 1-2 jam per trip. Rata-rata operasi
penangkapan pada rumpon mencapai 17 trip per bulan, dimana trip terendah
hanya 5 trip per bulan dengan kegiatan penangkapan tertinggi mencapai 25 trip
per bulan. Jenis bahan bakar yang digunakan dalam operasi penangkapan pada
rumpon adalah bahan bakar minyak (BBM) sebagai komponen utama dan
rancum. Komponen BBM mencakup bensin, minyah tanah dan pelumas. Rata-rata
bensin, minyak tanah dan pelumas yang digunakan oleh jaring bobo dan lampu
petromaks pada rumpon dalam operasi penangkapan per trip secara berturut-turut
adalah 20 liter untuk bensin, minyak tanah 150 liter ditambah 10 liter untuk
pemakaian lampu petromaks di tiap-tiap rumpon sedangkan pelumas 6 liter.
Kecederungan pemakaian BBM yang meningkat disebabkan daya mesin bergerak
lebih besar dan operasi jaring bobo mencapai daerah pemasangan rumpon lebih
jauh. Berdasarkan hasil wawancara, nelayan yang berbasis penangkapan di
Sathean, Mastur dan Danfet Kecematan Kei Kecil Timur untuk penangkapan di
perairan sekitar pulau Kei Besar Bagian Barat dengan mengunakan motor tempel
Yamaha 40 PK sebanyak 3 buah per trip, bahan BBM yang dikeluarkan satu kali
operasi penangkapan dari fishing base ke fishing ground dapat disajikan pada
Tabel 27.

Tabel 27 Penggunaan BBM untuk penangkapan ikan pada rumpon di Kepulauan


Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Biaya Operasional (Rp/trip)


No Jenis bahan
Biaya/liter Biaya total
1 Minyak tanah 150 liter 4 500 650 000
2 Bensin 20 liter 6 600 132 000
3 Pelumas Oli 2T 6 liter 45 000 270 000
4 Minyak tanah 10 liter 4 500 45 000
untuk lampu petromaks di
rumpon
Total 60 600 1 097 000

Tetapi dalam perkembangannya, pemasangan rumpon selain menimbulkan


efek positif juga menimbulkan beberapa masalah, antara lain akibat pemasangan
rumpon yang tidak teratur dan lokasi berdekatan dapat merusakan pola ruaya ikan
yang bermingrasi jauh sehingga mengganggu keseimbangan dan konflik antara
nelayan, kemudian penangkapan ikan dengan menggunakan rumpon dapat
menimbulkan overfishing. Terlepas dari itu, semua pengelolaan rumpon sebagai
alat bantu penangkapan ikan di Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara telah berkembang dengan baik dan hasil nyatanya untuk membantu
69

nelayan kecil dan menengah dalam penangkapan ikan cukup jelas dan
memuaskan. Saat ini, tinggal diupayakan bagaimana pengelolaan rumpon di
perairan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara dapat
berkelanjutan dan apakah semua dimensi pengelolaan yang ada di Selat Nerong
mendukung keberlanjutan pengelolaan rumpon di kawasan.

Ukuran kapal penangkapan


a. Kapal jaring bobo
Nurhakim et al. (1995); Potier et al. (2003) dan Atmaja (2003) dapat
diketahui bahwa armada penangkap ikan dengan alat tangkap purse-seine pertama
kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1972, dengan ukuran panjang total
kapal (LOA) 20 meter, lebar 4 meter, dalam 1.5 meter dan ukuran propulsi
(kekuatan) mesin sebesar 120 PK. Selanjutnya sekitar tahun 1975, diperkenalkan
armada penangkap ikan purse-seine yang ukurannya lebih kecil dan dikenal
dengan sebutan kapal mini purse-seine. Armada penangkapan ikan ini mempunyai
ukuran panjang total kapal 8-15 meter, dengan propulsi mesin 25-60 PK. Dengan
adanya kebijakan pemerintah yang melarang beroperasinya alat tangkap trawl
melalui Kepres. No. 39 tahun 1980, armada penangkap ikan dengan menggunakan
alat tangkap purse-seine mengalami perkembangan sangat pesat, baik dilihat dari
jumlah unit maupun teknologinya (Susilowati et al. 2005).
Nurhakim et al. (1995) dan Atmaja (2003) diketahui bahwa data pada tahun
1981 menunjukkan ukuran panjang total kapal purse-seine yang ada berkisar
antara 18,2-28,6 meter, dengan lebar 5.58-7.2 meter dan dalam antara 1.36-2.35
meter. Kapal penangkap ikan ini menggunakan propulsi mesin antara 90-160 PK.
Kapal yang digunakan untuk mengoperasikan jaring bobo menggunakan
dua tipe kapal di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara tipe (two boat sytem) yaitu terdiri atas kapal utama (tipe lembut) yang
berfungsi untuk melingkarkan jaring bobo pada saat operasi penangkapan
berlangsung dan menarik jaring bobo setelah pelingkaran jaring bobo selesai, dan
kapal johnson (slep) yang berfungsi untuk membawa hasil tangkapan ke fishing
base. Kedua kapal terbuat dari bahan kayu. Kapal utama (tipe lembut), memiliki
ukuran berkisar 13.21-15, 5-10 GT dengan panjang (L) antara 17 m, lebar (B)
2.15 m dan dalam (D) 1.90 m (Gambar 11). Kapal Jhonson (slep) (Gambar 12)
memiliki ukuran 5.40-7.60, 5-7 GT dengan panjang antara 13 m lebar 2.20 m dan
dalam 1.30 m. Tenaga peggerak yang digunakan untuk kedua kapal adalah sama
yaitu menggunakan mesin tempel (outboard) masing-masing berjumlah dua buah
dengan kekuatan 40 PK yang bermerek Yamaha. Tenaga penggerak pada kedua
kapal menggunakan bahan bakar campuran yaitu minyak tanah, bensin dan oli
dapat disajikan pada Gambar 11 dan 12.
70

Gambar 11 Kapal utama (tipe lembut)

Gambar 12 Kapal johnson (tipe slep)

Kapal utama dilengkapi dengan palka kapasitas dari kapal tersebut dapat
memuat hasil tangkapan sekitar 2-3 ton. Palka ini hanya dipergunakan jika pada
saat kegiatan penangkapan memperoleh hasil tangkapan yang banyak dan pada
kapal johnson tidak dapat lagi menampung hasil tangkapan, namun pada
umumnya hasil tangkapan yang diperoleh akan diletakkan pada kapal Johnson.
Kapasitas hasil tangkapan untuk kapal johnson berkisar antara 4-6 ton.
Perawatan kapal jaring bobo biasanya dilakukan setiap bulan pada saat tidak
melakukan kegiatan penangkapan, yaitu pada saat bulan purnama. Kapal jaring
bobo dalam sebulan tidak melakukan kegiatan penangkapan selama 7-10 hari.
Perawatan yang dilakukan meliputi pengecetan atau perbaikan-perbaikan jika
kerusakan pada kapal.

b. Kapal pancing tonda


Kapal pancing tonda yang digunakan berukuran 13 x 1.20 x 1 m dengan
tenaga penggerak berkekuatan 40 PK sebanyak 1 buah. Bagian dalam kapal
digunakan untuk tempat peletakan jaring alat pancing tonda dapat disajikan pada
Gambar 13.
71

Gambar 13 Kapal pancing tonda Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

c. Kapal pancing ulur


Seluruh kontruksi badan kapal dibuat dari fiberglass, kapal jenis ini juga
masih tergolong pada kapal-kapal kecil, terutama pada kapal penangkap ikan,
keperluan olah raga dan lain-lain. Pembuatan kapal fiberglass lebih mudah,
konstruksi sederhana, kapal dapat dibuat secara seri dan lebih ringan dari kayu,
kapal fiberglass perawatan juga lebih sederhana karena tahan terhadap korosi,
tidak ada sambungan, tidak ada penyusutan dan tidak ada binatang laut yang
menempel. Data pengukuran serta desain dari kapal/sampan yang ditemui di
lokasi penelitian dapat disajikan pada Gambar 14. Data ukuran dan bagian-bagian
kapal dapat disajikan pada Tabel 28.

Gambar 14 Kapal yang terbuat dari fiberglass yang dipakai dalam penelitian
72

Tabel 28 Ukuran serta bagian-bagian dari kapal fiberglass

No. Bagian-bagian kapal Ukuran kapal (cm)


1. Panjang Kapal 690
2. Lebar kapal 90
3. Tinggi bodi 80
4. Panjang lunas 645

Tingkat akuntabilitas
Isu internasional tentang rumpon (FAD) sebagai alat bantu dalam
penangkapan ikan mengancam sumberdaya ikan di perairan berkembang sejak
Konferensi Internasional tentang FAD di Martinuque, Perancis pada tahun 1999.
Tentu saja isu ini berdasar pada Code of Conduct For Responsible Fisheries yang
dikeluarkan oleh FAO pada tahun 1995 Yusfiandayani (2004). Hal ini
dikarenakan alat tangkap purse seine yang berkembang dengan pesat di Samudera
Pasifik bagian Timur yang diopersikan pada drifting fish aggregating device
menekankan ikan tuna berukuran kecil yang belum matang gonad. Terdapat pro
dan kontra tentang hal itu karena FAD merupakan alat bantu yang diyakini sangat
efektif dalam menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap purse seine
payang dan pancing.
Isu regional tentang perkembangan penggunaan rumpon yang pesat
menimbulkan berbagai masalah diantaranya (Direktorat Jenderal Perikanan 1996):
- Ketidak seimbangan produktivitas alat tangkap yang digunakan nelayan di
Philipina dengan nelayan plasma di maluku dan Irian Jaya, dimana
produktivitas purse seine Philipina jauh lebih tinggi dari pada pancing ulur
nelayan plasma di Maluku dan Irian Jaya.
- Lokasi pemasangan rumpon laut dalam tidak mencerminkan komposisi yang
seimbang antara kepentingan perikanan industri (Philipina) yang mengguasai
hampir seluruh kawasan ZEE Laut Sulawesi dan Pasifik, sedangkan BUMN
dan plasmanya terbatas di beberapa tempat perairan Maluku dan sebagian
kecil di Samudera Pasifik yeitu utara Irian Jaya dan Maluku.
- Pemasangan rumpon oleh nelayan Philipina bahkan semakin cederung tidak
terkontrol, walaupun pembatasan sudah dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Perikanan, sehingga menimbulkan situasi padat rumpon yang menimbulkan
keresahan nelayan-nelayan pole and line di Sulawesi Utara dan Maluku
kerena rumpon tersebut diduga telah menghalagi ruaya ikan dari Laut
Sulawesi dan pasifik yang menuju ke perairan Maluku dan Laut Banda.
- Pemasangan rumpon laut dalam oleh perusahan perikanan di lepas pantai Jawa
Barat dan lepas pantai Flores dan Timor telah menimbulkan gejolak sosial
(konflik sosial) karena telah mengganggu produktivitas nelayan-nelayan
setempat.

Berdasarkan aturan dan kebijakan dari dinas Kelautan dan Perikanan


Kabupaten/kota ada beberapa tata cara pemasangan rumpon. Syarat-syarat
pemasangan rumpon (1) tidak boleh melanggar alur pelayaran, (2) tidak boleh
dipasang dengan jarak pemasangan antara rumpon satu dengan rumpon yang lain
kurang dari 10 mil laut, (3) tidak boleh mengganggu pengerakan ikan di perairan
73

laut, (4) tidak boleh dipasang kurang dari 12 mil laut di ukur dari garis pasang
surut terendah pada waktu air surut dari setiap pulau, (5) tidak bole dipasang
dengan cara pemasangan yang menggakibatkan efek pagar (zig-zag) yang
mengancam kelestarian jenis ikan pelagis. Kewenagan pusat Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap diatas 12 mil laut dan ZEE Indonesia mendapat usulan posisi
pemasangan rumpon dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi.
Berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2014 terjadi
perubahan kewenangan pengelolaan laut Provinsi yang semula 4-12 mil laut kini
menjadi 0-12, pengelolaan perairan yang dilakukan sebelumnya oleh pemerintah
Kabupaten/Kota diambil alih oleh pemerintah Provinsi, salah satu kewenangan
zonasi, laut yang dahulu 0-4 mil laut, kini menjadi 0-12 mil laut. Adapun
perorangan atau perusahan berbadan hukum yang akan memasang rumpon wajib
terlebih dahulu memperoleh izin.
Pengaturan Pemasangan rumpon:

- Dinas Perikanan dan Kelautan baik Provinsi dan Kabupaten harus terlebih
mengetahui betul lokasi tempat rumpon tersebut akan dipasang baik
menyangkut masalah biologis ikan (populasi dan migrasinya) maupun
masalah legalitas seperti misalnaya peruntukan wilayah perairan tersebut
termasuk juga kepentingan sektor/subsektor lain misalnya pelayaran, daerah
latihan militer, cagar alam dan lain-lain.
- bagi pengusaha perikanan/nelayan yang akan memasang rumpon mengajukan
permohonan izin pemasangan kepada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap,
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai dengan
kewenangan pemberi izin sesuai dengan Kepmen Kelautan dan Perikanan
Nomor 26/PERMEN/2014 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon.
- dalam pemasangan rumpon setelah memperhatikan pengajuan permohonan
izin pemasangan rumpon tersebut agar melakukan penilaian baik terhadap
administrasi permohonan tersebut penilaian terhadap lokasi dimana rumpon
tersebut akan dipasang.
Hukum atau aturan sasi di Kepulauan Kei sudah berlangsung sangat lama,
sejak zaman datuk-datuk (nenek moyang) namun susah dilacak informasi autontik
tahun pastinya. Penelusuran kepada tokoh masyarakat juga tidak ada yang
mengetahui asal usulnya, kecuali pada persoalan bahwa sasi adalah hukum adat
lokal yang sudah turun temurun sejak nenek moyang mereka mendiami wilayah
ini. Berdasarkan penelusuran literatur, sejarah sasi laut terbentuk lebih lama
dibandingkan sasi darat, karena negeri (desa) dipantai pesisir adalah perkem-
bangan baru negeri/desa di perairan Kepulauan Kei. Bentuk sasi di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara diperlakukan pada dua bentuk jenis sumberdaya,
yaitu untuk sumberdaya di darat disebut sasi darat dan sumberdaya di laut disebut
sasi laut. Sasi darat mengatur sumberdaya hutan batas wilayah tanah, kayu, dan
kelapa. Sasi laut mengatur batas wilayah perairan berupa ikan, teripang dan kima.
Hukum adat sasi ditemukan di semua desa pada enam Kecamatan di
Kabupaten Maluku Tenggara dan masih berjalan efektif. Sasi laut biasanya tidak
bermotif pengaturan kegiatan ekonomi, melainkan lebih kepada kepentingan
konservasi dan sosial. Hukum sasi laut di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara telah dipahami dan secara turun temurun berlaku. Implementasinya, sasi
menjadi mekanisme pengaturan yang sangat efektif karena masyarakat di
74

Kepulauan Kei sangat menghormati hukum adat tersebut, sebagaimana


menghormati hukum agamanya. Meskipun juga begitu beberapa kali terjadi
pelenggaran terhadap aturan-aturan sasi sehingga berlaku sanksi terhadap
pelangaranya.
Sasi darat memiliki motif pengaturan kegiatan ekonomi masyarakat yang
cukup kuat, namun sasi laut banyak bermotif pengaturan kegiatann ekonomi,
melainkan lebih kepada kepentingan batas wilayah perairan, konservasi dan
sosial, dapat ditemukan bahwa sasi laut dibuka jika ada keperluan dana untuk
keperluan mesjid dan gereja dan keperluan pembangunan fasiltas umum lainnya.
Sasi di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara telah mengalami
evolusi kelembangaan, jika tadinya sasi terkait hanya dengan adat, maka seiring
dengan waktu sasi menjadi bagian praktek kehidupan sosial yang menyentu
dengan lembaga agama. Biasanya di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
dikenal dengan sasi gereja dan sasi mesjid.

Jarak rumpon yang dioperasikan


Daerah penangkapan ikan potensial untuk nelayan jaring bobo berbasis
rumpon di Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara kegiatan
penangkapan dilakukan pada pagi hari maupun malam hari. Nelayan rumpon
berangkat mulai pukul 5.00 WIT sore hari ke lokasi pemasangan rumpon untuk
tujuan pemasangan lampu petromaks pada rumpon dengan membutuhkan waktu
30-60 menit dan diperkirakan 1 sampai 2 mil. Nelayan jaring bobo biasanya
menunggu informasi balik dari nelayan rumpon baru menuju ke daerah fishing
ground yaitu tempat pemasangan rumpon bisanya pukul 3.00 WIT dini hari,
sedangkan melakukan proses operasi penangkapan pada rumpon biasanya
membuhtukan waktu 30 menit sampai 60 menit atau 1 jam operasi dimulai dari
jam 5.00 sampai 6.00 WIT pagi hari.
Hasil wawancara dengan nelayan rumpon maupun nelayan jaring bobo dari
desa Udar memiliki sepuluh rumpon yang dioperasikan di Selat Nerong
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Permasalahan yang dihadapi adalah
kapal yang digunakan nelayan menuju ke rumpon untuk proses pemasangan
lampu petromaks pada rumpon hanya menggunakan satu kapal. Hal ini
menggakibatkan proses penangkapan pada rumpon terbatas hanya satu rumpon
dan rumpon yang lain juga membutukan untuk proses operasi penangkapan
karena ada ikan, namun keterbatasan jaring bobo sehingga tidak dilakukan operasi
penangkapan, hal tersebut sangat mengecewakan nelayan Desa Udar.
Hasil penelitian Yusfiandayani 2004 di perairan Pasauran menunjukkan
bahwa jumlah rumpon 4 unit membutukan luas perairan seluas 115.4 km2 atau
rata-rata jarak antara rumpon sekitar 5 km (3 mil laut). Hasil penelitian di lokasi
pemasangan rumpon di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara menunjukkan bahwa jumlah rumpon yang dioperasikan nelayan rumpon
yang berasal dari desa Sathean, Danfet, Mastur Lama, Mastur Baru, Lerohoilim,
Udar, Nerong serta desa Ngan berjumlah 36 buah rumpon. Kebanyakan
penempatan rumpon difokuskan pada daerah perairan pesisir Pulau Kei Besar
bagian Barat, dari hasil pengamatan lapangan kedalaman perairan Selat Nerong
rata-rata 150-200 meter. Jarak antara pemasangan rumpon yang satu dengan
rumpon yang lain kurang dari 10 mil laut. Berdasarkan hasil pengamatan langsung
75

dan wawancara dengan nelayan rumpon menunjukkan bahwa jarak antara rumpon
saling berdekatan mengakibatkan terjadinya penurun hasil tangkapan yang
diperoleh oleh nelayan. Pemasangan rumpon saling berdekatan juga
pengoperasikan bangan apung (lift net) juga difokuskan di perairan Selat Nerong
dan berdekatan dengan daerah pemasangan rumpon menggakibatkan cahaya
lampu petromaks pada bagan apung dapat mempengaruhi ruaya ikan sehingga
hasil tangkapan pada rumpon menurun. Hal tersebut juga disampaikan oleh
beberapa pengusaha rumpon dan nelayan jaring bobo mereka mengeluh semakin
sedikit ikan di sekitar rumpon, sehingga harus melakukan penangkapan di tempat
yang lebih jauh, misalnya di perairan sebelah timur pulau Kei Besar dan perairan
pulau Kur.
Penelitian terhadap pengoperasian purse seine yang menggunakan cahaya
dan rumpon sebagai pemikat ikan serta dideteksi dengan sonar di perairan
Pekalongan telah dilakukan oleh Suryawan (1999). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa perbedaan waktu setting di lokasi fishing ground yang sama
tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah hasil tangkapan. Perbedaan waktu
setting hanya berpengaruh terhadap jenis ikan yang tertangkap, dimana pada
malam hari jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan adalah selar bentong
dan kembung, sedangkan pada dini hari adalah selar dan jepuh. Selanjutnya
dikatakan bahwa berbedaan kedalaman fishing ground berpengaruh terhadap
komposisi hasil tangkapan dimana selar bentong mendominasi pada fishing
ground dengan kedalaman 41-50 m, 50-60 m dan 81-90 m. Hasil tangkapan pada
kedalaman 71-80 m didominasi oleh selar.
Jumlah rumpon yang beroperasi di Selat Nerong memperlihatkan bahwa
telah over kapasitas sehingga memberikan dampak secara langsung kepada
nelayan bahwa hasil tangkapan yang diperoleh semakin sedikit. Jika operasi
penangkapan dilakukan terus menerus maka akan dapat membahayakan
kelestarian sumberdaya ikan.

Status keberlanjutan pengelolaan rumpon dimensi teknologi


Terkait dengan dimensi teknologi ini, analisis MDS dengan
mempertimbangkan beberapa atribut yang berpengaruh menghasilkan indeks
keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis di perairan Kepulauan Kei
Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara yang kemudian disingkat Rap-
RUMPON-teknologi. Atribut-atribut yang dipertimbangkkan dalam analisis MDS
dari dimensi teknologi ini adalah: (1) penerapan teknologi ramah lingkungan, (2)
rasio hasil tangkapan terhadap TAC, (3) keuntungan nelayan dari penangkapan di
sekitar rumpon, (4) penggunaan BBM, (5) ukuran kapal penangkapan, (6) tingkat
akuntabilitas, (7) jarak antara rumpon yang dioperasikan.
Berdasarkan hasil analisis MDS, diketahui nilai indeks keberlanjutan
pengelolaan perikanan rumpon pada dimensi teknologi adalah 71.57 pada skala
keberlanjutan 1-100. Nilai indeks ini menunjukan bahwa dari analisis tujuh atribut
yang ada, status keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis diperairan
Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara termasuk katagori
“cukup” secara teknologi. Menurut Jhonson (1992), kategori cukup bila nilai
indeks berada pada kisaran 51-75. Gambar 10 memperlihatkan hasil analisis MDS
yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan
76

pelagis di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara dari
dimensi teknologi dapat disajikan pada Gambar 15.

60,00
UP
Nilai Tekanan Terhadap Sumberdaya

40,00

20,00 71,57
Real Fisheries
0,00 BAD GOOD References
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00
Anchors
-20,00

-40,00
DOWN
-60,00
Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan rumpon

Gambar 15 Status keberlanjutan perikanan rumpon pada dimensi teknologi di


Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Hasil analisis MDS yang dilakukan, diketahui bahwa nilai indeks


keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis di perairan Kepulauan Kei
Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara dari dimensi teknologi, maka
dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage yang dilakukan
diketahui bahwa atribut yang sensitif adalah (1) penggunaan BBM untuk
penangkapan di rumpon merupakan nilai sensitif yang paling tinggi dengan skor
50.55, (2) keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar rumpon dengan nilai
50.50, (3) penerapan teknologi ramah lingkungan dengan nilai 5.25, (4) jarak
antara rumpon yang dioperasikan dengan nilai 4.50, (5) dan tingkat akuntabilitas
dengan nilai 4.13. Secara jelas untuk atribut yang sensitif terkait dengan dimensi
teknologi dapat disajikan pada Gambar 16.
77

Jarak antara rumpon yang dioperasi 4,50

Tingkat akuntabilitas, CCRF, UU Perikanan, Peraturan


daerah, dan hukum adat
4,13

Ukuran kapal penankapan 3,55


Atribut

Penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon 5,55

Keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar


rumpon
5,50

Rasio hasil tangkapan terhadap TAC 0,30

Penerapan teknologi ramah lingkungan 5,26

0 2 4 6
Penerapan Root Mean Square (RMS) Ordinasi Jika Salah satu Atribut
Dihilangkan (pada Skala Keberlanjutan 0 - 100)

Gambar 16 Peran atribut dari dimensi teknologi yang dinyatakan dalam


bentuk perubahan nilai RMS di Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara

Adapun nilai indeks keberlanjutan dari dimensi teknologi digambarkan


dengan menggunakan diagram layang-layang (kite diagram) dapat disajikan pada
Gambar 17.

TEKNOLOGI
100
80 71,57
60
40
62,87 20
EKOLOGI 0 EKONOMI
62,17

53,92

SOSIAL

Gambar 17 Kite diagram keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di


Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
78

Tujuh atribut pada dimensi teknologi yang dapat dianalisis, terdapat empat
atribut yang sensitif dan berpengaruh atau perlu diperhatikan untuk meningkatkan
status keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis di perairan Kepulauan
Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara. Atribut-atribut yang sensitif
tersebut adalah seperti yang disajikan pada Tabel 29.

Tabel 29 Atribut teknologi yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan


pengelolaan rumpon di Kepulauan Kei kabupaten Maluku Tenggara.

No Dimensi Pengelolaan Atribut yang sensitif


1 Teknologi · Penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon
· Keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar
rumpon
· Penerapan teknologi ramah lingkungan
· Jarak antara rumpon yang dioperasikan

Diketahui bahwa apakah hasil analisis MDS pada atribut dimensi teknologi
(multidimensional) layak dan menyurupai kondisi sebenarnya kegiatan
pengelolaan rumpon pada ikan pelagis di periran Kepulauan Kei Selat Nerong
Kabupaten Maluku Tenggara maka perlu dilakukan uji terhadap koefisien
diterminasi (R2) dan nilai stress. Bila uji hasil statistik tidak sesuai dengan yang
dipersyaratkan, maka perlu dilakukandan penambahan atribut baru dalam analisis.
Adapun hasil uji statistik terhadap koefisien diterima (R2) dan nilai stress dapat
disajikan pada Tabel 30.

Tabel 30 Hasil uji statistik terhadap koefisien diterminasi (R2) dan Stress

Hasil Uji
Dimensi Teknologi
Nilai Stess 14.20
Nilai Square (R2 ) 94.76

Selanjutnya dalam tingkat keberlanjutan rumpon pada ikan pelagis di


perairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara juga
dilakukan uji Monte Carlo, untuk dapat mengklarifikasi apa hasil penggujian
tingkat kepercayaan nilai indeks keberlanjuatan pengelolaan rumpon baik untuk
demensi teknologi dengan hasil uji Monte Carlo. Hasil analisis Monte Carlo
tersebut dapat disajikan pada Tabel 31.

Tabel 31 Analisis Monte Carlo dan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi

Dimensi Pengelolaan Nilai Indeks Keberlanjutan


Analisis MDS Analisis Monte Carlo Keterangan
Dimensi Teknologi 71.57 70.22 Identik
79

Kesimpulan

1) Secara keseluruhan kegiatan perikanan rumpon yang dioperasikan di perairan


Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara mempunyai nilai indeks
keberlanjutan yang dikategori cukup sehingga tergolong dalam status cukup
berkelanjutan (51-75)
2) Hasil analisis keberlanjutan perikanan rumpon dari dimensi teknologi
menunjukkan bahwa hanya 4 (empat) atribut yang berada pada tingkat sensitif
yang harus diperbaiki tingkat keberlanjutan dan sisanya tetap dipertahangkan
tingkat keberlanjutan.
80

5 KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN RUMPON PADA


DIMENSI EKONOMI

Pendahuluan

Sistem ekonomi dunia tergantung sepenuhnya pada pasokan sumberdaya


alam, namun belum tentu stok sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan dalam jangka panjang. Kebutuhan hidup dan tuntutan ekonomi
manusia yang terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dunia telah
berimplikasi pada kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan umum
maupun perairan laut Purbayanto et al. (2010). Di sisi lain, sifat sumberdaya
perikanan milik bersama rawan terhadap tangkap lebih atau over fishing
(Monintja 1999). Pertanyaannya berapa banyak ikan dapat diambil tampah
menggangu keberadaan stok, atau lebih tepatnya bagaimana panen biomassa ikan
dapat dimaksimumkan, tanpa menggangu prospek eksplotasi perikanan yang
bersangkutan di masa depan. Pertanyaan sederhana ini merupakan landasan dari
semua analisis produksi perikanan, kegagalan dalam menjawabnya dengan baik
dapat menimbulkan kesalahan dalam pengelolaan perikanan Pitcher et al. (1982).
Sumberdaya perikanan merupakan sumber kehidupan manusia maka
pemanfaatnnya haruslah diupayakan berjalan dengan sangat bijaksana.
Pengambilan keputusan dari ekosistem (fish, invertebrata and others) tidak boleh
merusak tanaman integritas ekosistem dimana ikan-ikan hidup, satu dikenal
sebagai pemanfaatan sumberdaya secara lestari atau berkelanjutan (Murdianto
2006). Pengembangan penangkapan ikan dengan rumpon pada hakekatnya
mengarah pada pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil secara optimal dan
nasional bagi kesejahteraan masyarakat pada umunya dan nelayan di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara pada khususnya tanpa menimbulkan
kerusakan sumberdaya daya itu sendiri maupun lingkungannya (Baskoro 2006).
Kenyataan menunjukkan telah terjadi pemanfaatan beberapa sumberdaya
perikanan yang tidak terkendali atau penangkapan yang berlebihan (Baskoro
2006; Purbayanto et al. 2010; FAO 1995; Myers (Worm 2003). Hal ini
memungkinkan berkurangnya sumberdaya ekonomis penting tersebut dan jika
tidak dikendalikan akan terjadi kepunahan. Sejalan dengan itu, pengembangan
teknologi penangkapan ikan berbasis rumpon di suatu wilayah tidak hanya
didasarkan pada keinginan dan tuntutan para pemaku kepentingan (stakeholders)
semata, tetapi lebih dari itu dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan
stok sumberdaya ikan (fish stock availability) daya dukung (earying capacity) di
suatu wilayah perairan (Purbayanto et al. 2010).
Bagaimana manfaatkan sumberdaya tersebut sehingga menghasilkan
manfaat ekonomi yang tinggi tetapi kelestarian sumberdaya tersebut selalu
terjaga. Kaitan dengan ini maka ada dua isu yang harus dijawab bersama, yakni
isu ekonomi dan biologi (Zulbainarni 2012). Kaitan dengan isu ekonomi maka
rantai sumberdaya terkait dengan derajat pengelolaan perikanan. Rantai negatif
dihasilkan dari pengelolaan perikanan yang buruk sebaliknya rantai posetif
dihasilkan dari pengelolaan yang baik (Fauzi 2010).
Menurut Satria (2001), program pemberdaya ekonomi masyarakat pesisir
bisa dilakukan untuk semua strata dan latar belakang usaha masyarakat pesisir,
81

dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan dan menghargai posisi dan


stratifikasi sosial yang ada. Terkait dengan ini, maka perluasan akses dan
peningkatan partisipasi masyarakat pesisir dalam kaitan dengan ekonomi pesisir
sangatlah penting memperhatikan latar belakang setiap masyarakat pesisir
sehingga tidak menimbulkan kerugian/strata tertentu. Program pemberdayaan
harus dilakukan beriringan dengan perbaikan sistem pendukungnya yang
mendorong peningkatan produksi dan pendapatan serta mempercepat proses
penangulangan kemiskinan masyarakat pesisir. Sumberdaya manusia adalah
komponen input dari setiap subsistem (komponen). Produk barang dan jasa adalah
output dari setiap subsistem. Interaksi antara sistem diwujudkan tidak hanya
dalam bentuk aliran barang dan jasa, tetapi juga respon pelaku internal.
Kebijakan yang dapat diambil berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi
masyarakat pesisir, sebaiknya mencakup aspek usaha, sumberdaya manusia, dan
lingkungan, pemberdaya usaha merupakan upaya peningkatan kualitas usaha
perikanan. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan aspek usaha ini, yaitu :
- Inovasi teknologi dalam peningkatan akses informasi, pasar, bantuan modal
dan tranfer pengetahuan yang dapat mendorong efisiensi produk, efektivitas
manajemen dan modernisasi alat-alat maupun faktor produksi, menjadi
tahapan yang harus ditempuh.
- Pengembangan asuransi perikanan tangkap. Pengembangan asuransi ini
penting untuk mengurangi tingginya tingkat risiko kegiatan penangkapan yang
dilakukan nelayan kecil.
- Program kemitraan yang diarahkan untuk menciptakan hubungan yang paling
menguntungkan baik secara sosial maupun ekonomi antara kelompok pelaku
usaha besar dengan nelayan kecil.
Pengembangan lingkungan merupakan langkah penting dalam mencegah
dan mengatasi terjadinya kemiskinan alamiah sekaligus merupakan pintu bagi
terwujudnya perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries). Langkah
pemberdayaan lingkungan tersebut mencakup peningkatan kesadaran dan
kemampuan masyarakat pesisir dalam konservasi sumberdaya perikanan tangkap.
Konservasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat pesisir dapat berupa
penyebaran bibit ikan potensial, perlindungan kawasan pengelolaan rumpon dan
ikan pelagis kecil.
Kajian ekonomi sangat penting mengingat berbagai interaksi dalam kegiatan
perikanan tangkap dengan menggunakan alat bantu rumpon untuk menangkap
ikan pelagis kecil. Perikanan tangkap skala kecil seperti interaksi teknologi dan
sosial selalu terkait dengan alasan atau tujuan ekonomi. Berbagai referensi
berkaitan dengan skala usaha seperti perbandingan situasi sosio ekonomi-teknis
antara nelayan tradisional dengan nelayan industri (Kesteven 1973), demikian
juga dengan 9 ciri/karakteristik perikanan tradisional yang diungkapkan Smith
(1983). Perikanan tangkap skala kecil dapat diklasifikasi dalam kondisi/karakter
usaha dari nelayan sebagai operator usaha. Operator usaha perikanan tangkap
skala kecil diklasifikasikan sebagai nelayan kecil.
Undang-undang nomor 31 tahun 2004 mendefinisikan nelayan kecil sebagai
orang yang mata pencariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Pendefinisian tersebut hampir sama dengan istilah
subsisten yaitu sebutan untuk kegiatan memperoleh makanan secara sederhana
dan diambil seperlunya dari sumberdaya yang ada, serta lebih ditujukan untuk
82

dikonsumsi sendiri (subsistence economic) dari pada untuk tujuan penukaran


(commerical economic). Nelayan menggantungkan hidupnya kepada sistem
ekonomi subsistem sumberdaya laut umumnya mengembangkan cara-cara
menangkap ikan dengan mengunakan alat bantu rumpon.
Masyarakat kawasan pesisir Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
sangat tergantung pada sumberdaya perikanan pelagis yang dihasilkan melalui
pemanfaatan rumpon sebagai produksi perikanan pelagis kecil untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Namun ruangan pemanfatannya dibatasi karena kawasan
pemanfaatan sumberdaya perikanan pelagis kecil berbasis rumpon tersebut telah
ditetapkan peruntukannya bagi kepentingan yang lebih besar dan tujuan untuk
kelestarian sumberdaya. Diperlukan kajian yang baik dan terukur untuk
selanjutnya menetapkan ruang-ruang tertentu yang dapat dimanfaatkan
masyarakat bagi kepentingan pemanfaatan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi
mereka yang berkelanjutan.
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Menganalisis perikanan rumpon pada dimensi ekonomi.
2) Mengkaji kelayakan finansial usaha penangkapan ikan di perairan Kepulauan
Kei.

Metode Penelitian

Pengambilan data
Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari 2013 sampai Januari 2014
berlokasi di Selatan Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara yang
terdiri dari Pulau Kei Kecil yaitu Desa Sathean, Desa Danbuk, Desa Mastur
Lama, Desa Mastur Baru sedangkan di Pulau Kei Besar yaitu Desa Leroholim,
Desa Udar, Desa Nerong serta Desa Ngan Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi
Maluku. Desa-desa ini dipilih karena merupakan pusat nelayan rumpon dan
nelayan jaring bobo. Data primer berupa ekonomi masyarakat nelayan berupa
harga ikan, biaya produksi, dan pendapatan tiap unit rumpon dan alat tangkap
secara purposif. Data primer yang terkumpul dan kemudian diseleksi untuk
menghitung rata-rata biaya, harga ikan, pendapatan tiap-tiap dari masing-masing
unit rumpon dan alat tangkap jaring bobo, pancing tonda dan pancing ulur serta
kapal.
Metode yang digunakan dalam penelitian bab ini sama seperti pada bab-bab
yang dibahas sebelumnya, yaitu gabungan antara penelitian deskriptif dan survei
langsung (pengamatan dan wawancara). Data tentang pendapatan nelayan rumpon
skala kecil, rasio usaha perikanan tangkap bergantung rumpon, pertumbuhan
usaha pendukung penangkapan, konsumsi rumah tangga nelayan rumpon skala
kecil diperoleh melalui wawancara langsung dengan nelayan rumpon maupun
nelayan jaring bobo di lokasi penelitian. Data kontribusi perikanan terhadap nilai
produksi dan nilai B/C dengan nelayan rumpon diperoleh melalui laporan Dinas
Perikanan dan Kelautan, Badan Pusat Statistik, dan dinas-dinas terkait yang
berwewenang mengeluarkan data-data tersebut.
Metode penentuan indeks keberlanjutan ekonomi pengelolaan rumpon
terhadap ikan pelagis kecil dengan teknik RAPFISH dilakukan dengan sistimatika
yang sama dengan bab-bab yang sebelumnya. Indeks status keberlanjutan
83

ekonomi perikanan pelagis kecil dengan alat bantu rumpon di mulai dengan
pembuatan skor setiap atribut pada dimensi ekonomi berdasarkan kondisi realita
data di lapangan baik dengan wawancara dan pengamatan (data primer) maupun
dengan mengunakan data sekunder. Penyusunan skor ini berdasarkan acuan-acuan
yang telah dibuat baik melalui literatur maupun judgment dari penulis dengan
asumsi-asumsi dan dasar-dasar ilmiah. Skor yang diperoleh kemudian dimasukan
dalam program Microsoft Excel dengan template ekonomi yang telah dipersiapkan
sebelumnya kemudian di-run sehingga diperoleh nilai Multidimensional Scaling
dari RAPFISH yang lebih dikenal dengan indeks keberlanjutan.

Analisis data
Kajian dimulai dengan analisis keberlanjutan dari kondisi saat ini
pemasangan rumpon di lokasi penelitian melalui proses ordinasi menggunakan
algoritma The Rapid Appraisal of the Status of Fisheries (RAPFISH) (Kavanagh
2001) dengan metode Multidimensional Scaling (MDS). Dengan menggunakan
MDS, diperoleh posisi relatif keberlanjutan pengelolaan rumpon yang dikaji
terhadap dua titik acuan yaitu titik “baik (good)” dan titik “buruk (bad)”. Analisis
keberlanjutan dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) tahapan penentuan
atribut atau kriteria pengelolaan rumpon berkelanjutan, mencakup dimensi
ekonomi; (2) tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan
kriteria pengelolaan, setiap dimensi; (3) tahap analisis ordinal nilai indek
keberlanjutan dengan menggunakan metode MDS. Analisis MDS, sekaligus
dilakukan leverage, analisis Monte Carlo, penentuan nilai Stress, dan nilai
Koefisien Determinasi (R2). Analisis Leverage digunakan untuk mengetahui
atribut yang sensitif, ataupun intervensi yang dapat dilakukan terhadap atribut
yang sensitif untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan rumpon.
Analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat dalam
proses analisis yang dilakukan pada selang kepercayaan 95%. Nilai stress dan
koefisien determinasi (R2) berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya
penambahan atribut, untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat.
Menurut Kavanagh et al. (2004), model yang baik ditunjukan dengan nilai stress
di bawah nilai 0.25 dan nilai R2 di atas kepercayaan 95% sehingga kualitas dari
analisis MDS dapat dipertangungjawabkan.

Penentuan atribut dan analisis skoring dimensi ekonomi


Dimensi ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian dari dimensi ekonomi
pengelolaan rumpon berupa manfaat finansial dari keberadaan rumpon bagi
nelayan, serta kontribusi dalam meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat dan
daerah sekitar. Dimensi finansial ini dilakukan dengan membandingkan semua
penerimaan yang diperoleh akibat investasi pengelolaan rumpon, dengan semua
pengeluaran yang harus dikeluarkan selama proses investasi dilaksanakan. Baik
penerimaan maupun pengeluaran dinyatakan dalam bentuk uang agar dapat
dibandingkan dan harus dihitung pada waktu yang sama. Manfaat ekonomi yang
dimaksud dalam hal ini adalah keuntungan yang diperoleh oleh nelayan
berdasarkan total biaya yang dikeluarkan dalam operasional rumpon dan kapal
yang digunakan.
84

Pengaruh terhadap kondisi ekonomi masyarakat dan daerah sekitar dapat


diketahui dari rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon,
pertumbuhan usaha perikanan tangkap yang mendukung usaha penangkapan,
kontribusi terhadap nilai produksi, pendapatan nelayan terutama nelayan skala
kecil, dan kemampuan memenuhi bahan pokok konsumsi rumah tangga nelayan.
Skor yang diberikan untuk setiap atribut dari dimensi eknomi dapat disajikan pada
Tabel 32.

Tabel 32 Atribut dan skor analisis dimensi ekonomi pengelolaan perikanan


rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

No Atribut Skala Skor Buruk Baik


1 Rasio usaha 0 R≤5% 0 3
perikanan tangkap 1 15 % < R ≤ 15 %
yang bergantung 2 15 % < R ≤ 25 %
rumpon 3 R > 25 %
2 Pertumbuhan usaha 0 Tidak ada 0 2
pendukung 1 Usaha penyedia kebutuhan
penangkapan melaut akan pemasaran sedikit
2 Usaha penyedia kebutuhan
melaut dan pemasaran banyak
3 Nilai B/C ratio 0 Nilai B/C ratio: < 1 0 3
1 Nilai B/C ratio: 1
2 Nilai B/C ratio: 1 < - < 1.5
3 Nilai B/C ratio: ≥ 1.5
4 Nilai produksi 0 Tidak ada 0 2
1 Kecil
2 Diperhitungkan
5 Pendapatan nelayan 0 Pendapatan nelayan : < UMR 0 2
rumpon (terutama 1 Pendapatan nelayan : 1 kali
nelayan skala kecil) UMR
2 Pendapatan nelayan: > UMR
6 Komsumsi rumah 0 Konsumsi beras : < 270 0 3
tangga nelayan kg/tahun
rumpon (terutama 1 Konsumsi beras : 270-370
nelayan skala kg/tahun
kecil), diukur dari
2 Konsumsi beras : 380-480
komsumsi beras per
kg/tahun
tahun
3 Konsumsi beras : > 480
kg/tahun
7 Berapa besar 1 Rp 1 000 000-Rp 5 000 000
pembuatan rumpon 2 Rp 5 000 000 -Rp10 000 000
3 > Rp10 000 000
Sumber: disesuaikan dengan obyek analisis (rumpon)

Analisis kelayakan usaha

Kelayakan usaha perikanan rumpon penting untuk dianalisis sehingga


kinerja dan tingkat dukungan terhadap kesejahteraan nelayan dapat diketahu
85

termasuk pada kondisi produksi cederung turun. Menurut Gaspersz 1992 dan
Cahyono 1995, kelayan usaha dapat diukur dari parameter Net Present Value
(NPV), Internal Rate of Return (IRR), Return of Investment (ROI) dan Benefit-
Cost Ratio (BCR).

Hasil dan Pembahasan

Nilai investasi rumpon


Investasi merupakan modal kerja permen atau biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk mendapatkan barang investasi. Usaha perikanan, barang investasi adalah
kapal, alat tangkap, mesin dan alat bantu penangkapan rumpon serta barang
lainnya yang diperlukan untuk menghasilkan produksi (ikan hasil tangkapan).
Komponen biaya investasi untuk perikanan jaring bobo sebesar Rp. 319 100 000
dan alat bantu rumpon sebesar Rp. 14 464 000 dapat disajikan pada Tabel 33.
Teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan rumpon sebagai alat
bantu penangkapan ikan, banyak dilakukan pada hampir seluruh dunia mulai dari
perikanan tangkap skala kecil, menengah sampai dengan perikanan tangkap skala
besar. Perikanan tangkap skala kecil yang menggunakan rumpon banyak
dilakukan di perikanan pantai, sedangkan untuk perikanan skala menengah dan
besar, banyak dilakukan di perairan lepas pantai.
Tujuan pemasangan rumpon di suatu perairan adalah untuk memikat ikan
yang beruaya agar mau singgah, beristirahat, atau terkosentrasi di sekitar rumpon,
sehingga akan mempermudah nelayan dalam menentukan daerah penangkapan
ikan (fishing ground), dengan adanya kepastian daerah penangkapan ikan, maka
waktu dan biaya operasi penangkapan bisa diprediksi secara akurat, sehingga
usaha penangkapan ikan akan dapat menjadi lebih efektif dan efisien
(Martasuganda 2008).
Perkembangan dalam hal penggunaan teknologi rumpon untuk menarik
kehadiran ikan di suatu perairan khususnya perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara mulai diadopsi masyarakat pesisir khususnya nelayan
Kabupaten Maluku Tenggara sejak tahun 1980-an, dengan teknologi sederhana
yang dinamakan “rumpon”. Pengapung terbuat dari potongan bambu, tali jangkar
dari tali PE ukuran kecil, jangkar dari semen cor pengumpul dari daun kelapa.
Alat tangkap ikan yang dioperasikan di sekitar rumpon adalah jaring bobo,
pancing ulur dan pancing tonda. Banyak manfaat yang didapat dari pemanfaatan
teknologi rumpon ini antara lain: (1) daerah penangkapan dapat ditentukan sejak
awal, (2) meningkatkan hasil tangkapan, (3) meningkatkan pendapatan pemilik
rumpon, (4) meningkatkan pendapatan nelayan, dan (5) mengurangi pemakaian
bahan bakar (Jeujanan 2008).
Ada tiga hal yang menyebabkan ketertinggalan nelayan di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara dalam memanfaatkan teknologi
rumpon ini antara lain: (1) kurangnya kesadaran nelayan di dalam pemanfaatan
teknologi rumpon, (2) modal yang dimiliki oleh nelayan di dalam penyediaan
rumpon dengan armada penangkapan yang lebih maju cukup terbatas, dan (3)
Kurangnya perhatian pemerintah terutama dinas terkait di dalam mengadopsi dan
mengembangkan teknologi rumpon ini Jeujanan (2008).
Tradisi rumpon adalah suatu tradisi yang mengarah pada pemberian hak
pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya ikan di suatu kawasan yang batas-
86

batasnya ditentukan berdasarkan kesepakatan. Proses pembuatan hingga


pemasangan rumpon terjadi di masa lalu dan sekarang. Selain terjadi perubahan
bahan dan bentuk rumpon dahulu dengan rumpon sekarang, proses pembuatan
rumpon dahulu memerlukan dana kecil dan selalu disertai dengan ritual,
sementara pembuatan rumpon sekarang tidak disertai dengan proses ritual.
Adapun perubahan tersebut terjadi pada bahan dan bentuk bahan rumpon di
masa lalu, yaitu bambu yang berfungsi sebagai pelampung di permukaan laut,
rotan yang berfungsi sebagai riri (daun kelapa), sedangkan daun kelapa berfungsi
sebagai atraktor tempat ikan berkumpul dan batu kali digunakan sebagai
pemberat. Sementara rumpon yang dibuat sekarang dengan menggunakan bahan-
bahan seperti kayu sebagai rangka, drum plastik sebagai pelampung, semen cor
sebagai pemberat dan tali nylon PE tali jangkar dan sebagai tempat pemasangan
atraktor daun kelapa. Menurut Kuswadi (2007), investasi adalah suatu keputusan
yang diambil oleh seseorang untuk mengalokasikan sumberdaya yang berupa
sejumlah dana yang ia miliki saat sekarang dengan tujuan mendapatkan
keuntungan atau meningkatkan nilai sumberdaya tersebut dikemudian hari dapat
disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33 Investasi pengusahaan rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara
Biaya Investasi (Rp) Umur
No Jenis Bahan Volume teknis
Biaya/jenis Biaya total
bahan (tahun)
1 Kayu miranti 50 buah 80 000 4 000 000 2
2 Atap rumbia 50 buah 2 000 100 000 0.50
3 Drum plastik 10 buah 350 000 3 500 000 2
4 Baut 12 cm 50 buah 3 000 150 000 2
5 Paku 8 cm 7 kg 20 000 140 000 2
6 Tali nylon 16 mm 1 bal 1 200 000 1 200 000 2
7 Tali nylon12 mm 1 bal 1 050 000 1 050 000 2
8 Tali nylon 8 mm 1 bal 600 000 600 000 2
9 Semen tonasa 2 sak 62 000 124 000 2
10 Daun kelapa 100 buah 2 000 200 000 0.25
11 Biaya kerja 4 orang 500 000 2 000 000 2
12 Lampu petromaks 4 buah 350 000 1 400 000 1
Total 14 464 000

Tabel 33 menunjukkan bahwa rumpon dengan ukuran panjang 4 meter dan


lebar 4 meter dengan biaya total yang dikeluarkan oleh pengusaha rumpon adalah
Rp. 14 464 000.-. Oleh karena itu biaya yang dikeluarkan sangat tinggi sehingga
tidak dapat dijangkau oleh nelayan rumpon, dari hasil wawancara dengan nelayan
rumpon yang berasal dari Desa Udar, Desa Mastur Lama dan Mastur Baru bahwa
biasanya rumpon dikerjakan oleh pemilik jaring bobo (pengusaha) sampai dan
dengan penempatan rumpon pada lokasi fishing ground. Penempatan rumpon di
lokasi fishing ground biasanya dilakukan koordinasi dengan pihak wilayah
petuanan perairan desa yang biasanya dijadikan sebagai tempat penempatan
rumpon sehingga tidak menimbulkan konflik antar desa. Nelayan rumpon
biasanya berasal dari wilayah petuanan perairan desa yaitu Desa Leroholim, Desa
Udar, Desa Nerong serta Desa Ngan semua desa ini bertempat di pulau Kei Besar
karena pengoperasian rumpon kebanyakan di pesisir Pulau Kei Besar dan
87

sebagian kecil nelayan rumpon berasal dari Desa Sathean, Danbuk, Mastur Baru
dan Mastur Lama. Hasil pangamatan lapangan menunjukkan bahwa kebanyakan
nelayan jaring bobo semua berasal dari pulau Kei Kecil serta tempat pendaratan
ikan di Desa Sathean dikarenakan pulau Kei Kecil dekat dengan pasar lokal dan
perusahaan-perusahaan perikanan.
Hasil penelitian Telaumbanua 2004 menunjukkan bahwa rumpon yang
dipasang di perairan Sumatera Barat oleh nelayan Sibolga (Sumatera Utara) telah
mempunyai teknologi yang baik, hal ini dapat terlihat dari material yang
digunakan seperti pengapung dari plat besi dan diisi dengan sterofoam cor, tali
pemberat dari rantai dan tali serat sintesis, pemberat dari coran beton seberat 1
800 kg (18 buah) dan material pemikat dari daun nibung yang dipasang pada
kedalaman perairan sekitar 2 000 meter. Biaya pembuatan atau pemasangan
rumpon ini sekitar Rp. 28 892 000.-
Hasil penelitian Handayani (2013) di Manggar Baru Balikpapan
menunjukkan bahwa investasi rumpon merupakan alat yang obyek dan
strukturnya bersifat permanen atau sementara yang didesain dan
dikonstruksi/dirangkai dari jenis material alami dan buatan yang berjangkar tetap
di laut atau dapat dipindahkan di laut dalam atau dangkal untuk maksud memikat
ikan dengan efek utama memusatkan ikan agar memudahkan dalam
penangkapannya. Material rumpon terdiri dari tali, karung pemberat, material
pemberat atau jangkar, pelepah daun kelapa serta pelampung. Selain material
rumpon, biaya transportasi dan tenaga kerja termasuk dalam biaya investasi
rumpon. Transportasi digunakan untuk membawa rangkaian rumpon yang sudah
jadi ke tengah laut untuk dipasang, sedangkan biaya tenaga kerja ialah biaya yang
dikeluarkan untuk melakukan kegiatan penyelaman saat memasang rumpon sesuai
titik koordinat yang diinginkan. Total biaya pembuatan rumpon sekitar Rp. 11 410
000.
Alat tangkap yang digunakan nelayan untuk pengoperasian pada rumpon
adalah alat tangkap jaring bobo. Investasi yang dikeluarkan untuk membangun
sebuah alat tangkap jaring bobo di perairan Kepulauan Kei dapat disajikan pada
Tabel 34.
Tabel 34 Biaya investasi jaring bobo di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara
No Uraian Volume Satuan Harga (Rp) Jumlah (Rp)
1 Kapal
a. Kapal utama 1 Buah 75 000 000 75 000 000
b. Kapal Jhonson 1 Buah 35 000 000 35 000 000
2 Alat tangkap
a. Jaring 36 Bal 85 000 3 060 000
b. pelampung 1 150 Buah 12 000 13 800 000
c. Timah 1 kg 60 Buah 35 000 2 100 000
d. Timah cincin 1.2 kg 115 Buah 35 000 4 025 000
e. Tali Pelampung 10 mm 5 Rol 600 000 3 000 000
f. Tali timah 5 mm 2 Rol 300 000 600 000
g. Tali cincin 16 mm 2 Rol 1 100 000 2 200 000
h. Benang jahit D16 3 Bal 125 000 375 000
i. Biaya kerja 1 Unit 15 000 000 15 000 000
3 Mesin Yamaha 40 PK 4 Buah 38 000 000 152 000 000
Total 306 160 000
88

Hasil analisis jaring bobo yang ditunjukkan pada Tebel 34 nilai investasi
yang dikeluarkan untuk membangun sebuah alat tangkap jaring bobo diperairan
Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara sebesar Rp. 306 160
000. Investasi yang dikeluarkan dari pengusaha jaring bobo bertempat Desa
Sathean sedangakan untuk pengoperasian alat tangkap atau ABK sebagian kecil
berasal dari desa sathean. Nelayan sebagian besar berasal dari desa Danbuk,
Mastur Lama dan Mastur Baru, hasil wawancara dengan pengusaha rumpon dan
jaring bobo dapat menjelaskan bahwa untuk mengembalikan dana yang
dikeluarkan cukup satu kali musim penangkapan dalam satu tahun dana investasi
yang dikeluarkan bisa dikembalikan. Pengusaha rumpon dan jaring bobo yang ada
di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara sangat menguntungkan
dan dapat menggurangi angka kemiskinan dan pengangguran yang ada di daerah
tersebut.

Konsumsi rumah tangga nelayan jaring bobo dan rumpon


Menurut Rachman (2001), konsumsi atau pengeluaran rumah tangga
umumnya berbeda antara kelompok pendapatan dan etnis/suku. Struktur
pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan
rumah tangga. Hal ini rumah tangga dengan pangsa pengeluaran pangan tinggi
tergolong rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan rendah. Setiap rumah
tangga memiliki pola tertentu dalam pengeluaran atau pembelanjaan
pendapatannya untuk kebutuhan sehari-hari. Pengeluaran konsumsi pertama-tama
ditentukan oleh tingkat pendapatan, faktor lain yang mempengaruhi tingkat
konsumsi yaitu jumlah anggota keluarga, tingkat usia dan faktor-faktor lainnya
seperti harga-harga nisbah berbagai jenis barang konsumsi juga berarti penting
sebagai penentu.
Nelayan di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara merupakan
nelayan tipe semi komersil, dimana mereka tidak menjual seluruh hasil tangkapan
ikannya. Hal ini dapat terlihat jelas ketika terjadinya musim paneklik, dimana
sebagian hasil tangkapannya mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi rumah tangga. Stuktur pengeluaran rumah tangga pada umumnya lebih
besar untuk pengeluaran pangan.
Presentase pengeluaran untuk konsumsi pangan rumah tangga nelayan
dengan alat tangkap jaring bobo dan rumpon per tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa kesejahteraan rumah tangga nelayan masih rendah dan sesuai dengan apa
yang disampaikan oleh Rachmat (2001). Pengeluaran pangan terbesar yaitu untuk
konsumsi makanan pokok (beras) sebesar 41.49% untuk rumah tangga nelayan
jaring bobo dan rumpon. Besarnya rata-rata konsumsi beras ini tergantung dari
banyaknya anggota keluarga dalam rumah tangga yang tinggal sama dalam satu
atap.
Kebiasaan masyarakat di wilayah lainnya di Indonesia yang menjadikan
beras sebagai bahan makanan pokok sehari-hari, jenis pangan ini mendapatkan
porsi terbesar dalam stuktur pengeluaran pangan dalam rumah tangga. Konsumsi
rumah tangga nelayan, khususnya untuk pemenuhan pangan cenderung tetap
setiap harinya.
89

Rata-rata setiap rumah tangga nelayan mengkonsumsi beras berkisar antara


1 sampai dengan 2.5 kg/hari. Pemilihan ikan (kususnya ikan hasil tangkapan,
seperti ikan layang, ikan kembung, ikan selar dan ikan tongkol sebagai lauk pauk
utama dalam menu makanan sehari hari hampir sama untuk semua rumah tangga
nelayan. Jika ikan yang diperoleh jumlahnya sedikit maka ikan itu akan dibawa
pulang untuk dimakan bersama anggota keluarganya. Konsumsi rumah tangga di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara dapat disajikan pada Tabel 35.

Tabel 35 Nilai pengeluaran rumah tangga nelayan jaring bobo dan nelayan
rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Rumah tangga nelayan jaring bobo


No Jenis Komsumsi dan Pengeluaran dan rumpon
Nilai (Rp/RTR/Tahun) (%)
1 Konsumsi Pangan (P)
- Padi-padian (beras/kg) 4 320 000 41.49
- Ikan laut (kg) 2 160 000 20.74
- Daging ayam (kg) 360 000 3.46
- Telur (kg) 444 000 4.26
- Susu 72 000 0.69
- Sayur-sayuran 240 000 2.30
- Minyak (minyak goreng) 360 000 3.46
- Bumbu-bumbuhan 87 273 0.84
- Kopi 318 545 3.06
- Gula 384 000 3.69
- Teah 139 639 1.34
- Rokok 1 527 273 14.67
Jumlah 1 10 412 730 100.00
2 Bukan makanan
A.Perumahan dan fasilitas rumah
- Fasilitas rumah tanggah 840 000 26.14
- Rekening listrik 660 000 20.54
- Telpon/pulsa 288 000 8.96
- Rekening PDAM 420 000 13.07
- Pajak dan asuransi 144 000 4.48
B.Barang dan jasa
- Minyak tanah 225 000 7.00
- Perlengkapan mandi dan cuci 96 000 2.99
- Pendidikan formal 300 000 9.34
- Kesehatan 240 000 7.47
Jumlah 2 3 213 000 100.00
Jumlah total 13 625 730
Keterangan : RTR Rumah tangga nelayan rumpon, RTMP Rumah tangga jaring bobo

Biaya pengeluaran atau konsumsi yang dihitung adalah dalam kurun waktu
satu tahun, yang terdiri dari pengeluaran untuk kebutuhan pangan dan non
pangan. Biaya pengeluaran konsumsi lainnya yang tertera pada pengeluaran non
pangan adalah berbagai jenis biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga nelayan
dalam kurun waktu satu tahun yang terdiri dari biaya rekening listrik, PBB,
pendidikan anak, pembelian sandang pakian dan lain-lain. Rata-rata pengeluaran
rumah tangga nelayan jaring bobo dan rumpon dalam satu tahun adalah sebesar
90

Rp. 13 625 730/tahun. Hal ini disebabkan persentase pengeluaran atau konsumsi
pangan yang besar untuk masing-masing rumah tangga. Tidak adanya pengaruh
secara signifikan besarnya pendapatan terhadap pengeluaran untuk kebutuhan
primer, namun besarnya tingkat pendapatan berpengaruh terhadap kebutuhan
sekunder, seperti pendidikan, pembayaran pajak dan pembelian barang jasa.

Pendapatan nelayan jaring bobo dan nelayan rumpon


Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa kebijakan pembangunan
perikanan khususnya perikanan tangkap tidak dapat dipisahkan dengan upaya
meningkatkan kesejahteraan nelayan. Hal ini hanya mungkin tercapai apabila
pendapatan mereka dapat ditingkatkan, karena dengan meningkatnya pendapatan,
mereka dapat memenuhi kebutuhannya seperti pangan, sandang, papan,
pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Sementara disisi lain, kegiatan
pembangunan perikanan baik langsung maupun tidak langsung diharapkan dapat
menyentuh dan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat yang ada di kawasan
tersebut. Oleh karena itu disamping aspek pertumbuhan, maka aspek pemerataan
dalam menikmati hasil perikanan merupakan faktor yang sangat penting untuk
diperhatikan.
Setiap kegiatan ekonomi termasuk usaha penangkapan ikan, pengusaha atau
nelayan akan selalu berpikir bagaimana mengalokasikan input produksi yang
dimiliki seefisien mungkin, untuk menghasilkan produksi yang maksimum
(Soekartawi 2003). Cara berpikir demikian adalah wajar, karena pengusaha atau
nelayan selalu berupaya memaksimumkan keuntungan yang dalam konsep
ekonomi dikenal dengan pendekatan memaksimumkan keuntungan (profit
maximization). Disisi lain, pada saat pengusaha atau nelayan berhadapan dengan
keterbatasan biaya, konsep diatas akan tetap dijalankan melalui pendekatan
meminimumkan biaya (cost minimization).
Nelayan rumpon yang ada di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong
Kabupaten Maluku Tenggara terdiri dari desa-desa nelayan pesisir yang tersebar
di pulau Kei Kecil dan pulau Kei Besar pulau Kei Kecil terdiri dari desa Sathean,
Danfet, Mastur Lama dan Mastur Baru. Nelayan rumpon di pulau Kei Besar yaitu
Desa Lerohoilim, Udar, Nerong dan desa Ngan desa-desa pesisir lain yang
tersebar di kedua pulau tersebut juga menggunakan rumpon sebagai tempat
operasi penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap jaring bobo pancing
tonda dan pancing ulur. Biasanya nelayan rumpon berangkat dari fishing base ke
fishing ground puku 05.00 sore dan tiba di rumpon pukul 06.00 sore sekaligus
menyalakan lampu petromaks sebanyak 3-4 buah di rumpon untuk menarik
perhatian ikan pelagis kecil. Menunggu ikan tertarik pada rumpon nelayan
rumpon juga melakukan penangkapan sampingan yaitu dengan melakukan
pancing dasar sambil menunggu ikan tertarik pada cahaya lampu petromaks yang
dinyalakan pada rumpon, jika nelayan rumpon sudah mengamati posisi atraktor
daun kelapa apabila ada ikan maka nelayan rumpon menghubungi nelayan jaring
bobo dengan mengunakan handphone. Biasanya nelayan jaring bobo menuju ke
rumpon pukul 03.00 dini hari dan proses penangkapan berlangsung pukul 05.30
sampai pukul 07.00 pagi hari. Hal ini dilakukan setiap operasi penangkapan
berlangsung apabila ada ikan pada rumpon sehingga menghemat bahan bakar
minyak (BBM) yang dikeluarkan.
91

Hasil yang diperoleh pada usaha perikanan rumpon di lokasi penelitian


adalah berdasarkan sistem bagi hasil dengan potensi yang berbeda. Walaupun
demikian dari semua sistem bagi hasil yang berlaku, persentasi terbesar diterima
pengusaha/pemilih alat dan rumpon. Bagian yang merupakan hak pemilik alat dan
rumpon kemudian dikurangi biaya tetap, sisanya merupakan keuntungan usaha.
Besarnya pendapatan dan keuntungan yang diperoleh, maka pada penelitian ini
dilakukan perhitungan terhadap alat bantu penangkapan rumpon dengan data
harian selama satu tahun.
Pendapatan usaha alat bantu penangkapan rumpon yang dilakukan di
Kabupaten Maluku Tenggara tidak tetap sepanjang tahun tetapi sangat
berfluktuasi. Ini disebabkan karena hasil tangkapan sangat berfluktuasi dari satu
bulan dengan bulan yang lain. Kondisi ini secara langsung mempengaruhi
keuntungan usaha yang didapat, terlihat bahwa fluktuasi pendapatan diikuti
dengan fluktuasi keuntungan yang didapat jaring bobo dan rumpon sepanjang
tahun, hasil analisa pendapatan usaha rumpon dapat disajikan pada Tabel 36.

Tabel 36 Usaha rumpon dan keuntungan pada musim penangkapan di Kepulauan


Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Keuntungan Keuntungan
Musim Bulan Keuntungan Keuntungan
Jenis nelayan Pemilik
penang- Penang- musim nelayan jaring
Usaha rumpon Usaha
kapan kapan Penangkapan bobo (25%)
(25%) (50%)
Rumpon Puncak Jan-Apr 400 350 000 100 087 500 200 175 000 100 087 500
laut Sedang Mei-Agust 204 375 000 51 093 750 102 187 500 51 093 750
dangkal Panceklik Sept-Des 51 847 500 12 961 875 25 923 750 12 961 875
Total 656 572 500 164 143 125 328 286 250 164 143 125
Data pimer diolah (2014)

Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan alat bantu penangkapan


rumpon di Perairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara
cukup tinggi dengan total pendapatan pertahun mencapai Rp 656 572 500.
Keuntungan yang diperoleh nelayan rumpon sebesar Rp 164 143 125, keuntungan
pemilik usaha Rp 328 286 250 dan keuntungan untuk nelayan jaring bobo (ABK)
Rp 164 143 125. Nilai keuntungan yang didapat pada penelitian ini belum
termasuk pajak. Pendapatan tertinggi yang diperoleh nelayan rumpon pada musim
puncak yakni pada bulan Januari sampai bulan April dengan rata-rata pendapatan
Rp 400 350 000.- dan pendapatan terendah yang diperoleh nelayan rumpon yakni
pada musim panceklik dengan rata-rata pendapatan Rp 51 847 500.-
Tinggi rendah pendapatan yang berdampak pada keuntungan yang diperoleh
ternyata berhubungan dengan perubahan musimyang terjadi. Total pendapatan
dan keuntungan tertinggi secara musiman maupun bulanan terjadi pada musim
barat yaitu bulan Desember sampai April, dan terendah pada musim pancarobah
satu. Perbedaan dan keuntungan pada musim timur dan musim barat memiliki
perbedaan sangat jauh musim barat lebih tinggi dari musim timur.
Hasil penelitian lapangan dan wawancara langsung dengan nelayan rumpon
dan nelayan jaring bobo serta pemilik alat tangkap dan rumpon. Operasional yang
dikeluarkan untuk satu kali trip melaut dari fishing base ke fishing ground dan
kembali ke fishing base dapat disajikan pada Tabel 37.
92

Tabel 37 Biaya opersional yang dikeluarkan untuk satu kali trip melaut pada alat
bantu rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Biaya Operasional (Rp/trip)


No Jenis bahan Vol Satuan
Biaya (Rp) Jumlah (Rp)
1 Minyak tanah untuk mesin 32 liter 4 500 144 000
Jhonson dan penerangan
lampu petromaks
2 Bensin untuk mesin 5 liter 6 600 33 000
Jhonson
3 Pelumas Oli 2T untuk 1 liter 45 000 45 000
mesin Jhonson
4 Rokok 1 bks 15 000 15 000
5 Makanan 1 paket 35 000 35 000
Total 272 000

Tabel 37 menunjukkan bahwa biaya operasional yang dibutuhkan oleh


nelayan rumpon untuk satu kali trip melaut sebesar Rp 272 000. Hasil wawancara
dengan nelayan rumpon dan pengusaha alat tangkap jaring bobo dan rumpon
biasanya ada kesepakatan yang dibuat nelayan rumpon yaitu nelayan rumpon
mengambil bahan bakar minyak (BBM) dari pengusaha dengan ketentuan bahwa
hasil yang diperoleh dari rumpon akan dipotong untuk membayar harga BBM
yang digunakan untuk satu kali trip penangkapan. Sistem pembagian hasil jaring
bobo dan nelayan rumpon sudah diatur berdasarkan kesepakatan antara penjaga
rumpon, pengusaha/pemilik unit penangkapan dan para nelayan. Setelah diperoleh
hasil penjualan, kemudian dibagi menjadi 3 bagian yakni 25% hasil penjualan
menjadi hak/pemilik penjaga rumpon, 50% pemilik usaha sedangkan 25% dibagi
rata untuk nelayan jaring bobo. Rata-rata pemilik berperan juga sebagai juragan
laut (fishing master) dapat disajikan pada Gambar 18.

Hasil

Laba bersih

25% 50% 25%


Nelayan Rumpon Pemilik Usaha Untuk nelayan
jaring Bobo

Gambar 18 Sistem bagi hasil perikanan rumpon dan jaring bobo di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara
93

Sistem bagi hasil nelayan rumpon dan jaring bobo di perairan Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Handayani Boa, 2013 bahwa pendapatan merupakan hasil bersih setelah dikurangi
atau dikeluarkan biaya-biaya. Adapun penerimaan yang diperoleh nelayan dari
hasil jual ikan tangkapan perbulan setiap rumpon dengan asumsi semua hasil
tangkapan dijual yaitu sekitar Rp 31 334 000, kemudian biaya pengeluaran ke
fishing ground per bulan per rumpon dalam rupiah, terdiri dari biaya tetap dan
biaya tidak tetap atau biaya operasional. Estimasi biaya tetap pejala rumpon
Manggar Baru Rp. 1 038 600 perbulan setiap rumpon terdiri dari penyusutan
komponen rumpon, penyusutan pelampung, mesin, kapal dan jala serta biaya
pemeliharaan. Estimasi biaya operasional terdiri dari bahan bakar, lampu,
konsumsi dan es yakni sekitar Rp 1 740 000 sehingga kalkulasi pendapatan pejala
rumpon sekitar Rp 28 600 000 perbulan setiap rumpon. Asumsi pendapatan yang
diperoleh tersebut apabila kegiatan ke fishing ground dilakukan sekitar bulan
Oktober sampai dengan April, yaitu saat gelombang laut tidak tinggi atau tidak
berbahaya.

Nilai produksi
Pengembangan usaha perikanan tangkap secara umum bisa dilakukan
dengan peningkatan produksi dan produktivitas usaha perikanan yang ditujukan
untuk meningkatkan pendapatan nelayan, produk domestik bruto, devisa negara,
pendapatan asli daerah, pemenuhan gizi masyarakat dan penyerapan tenaga kerja,
tanpa menganggu dan merusak kelestarian sumberdaya perikanan. Produksi hasil
tangkapan ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara cenderung lebih besar dibandingkan hasil tangkapan ikan demersal, ikan
lainnya, udang dan cumi-cumi.
Produksi hasil tangkapan ikan pelagis kecil oleh nelayan di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara dari tahun 2010-2014 cenderung
mengalami peningkatan, dengan rata-rata produksi pertahunnya sebesar 599.42
ton. Berdasarkan data pada gambar 19, produksi hasil tangkapan terbanyak jenis
ikan selar 3 236.9 ton terjadi pada tahun 2013 dan terendah jenis ikan kembung
sebesar 1 789.7 ton pada tahun 2010. Rata-rata produksi tertinggi adalah jenis
ikan selar sebesar 998.54 ton dan yang terendah adalah jenis ikan kembung
367.39 ton. Hasil penelitian 2014 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi produksi hasil tangkapan ikan pelagis di perairan Kepulauan Kei
yaitu musim penangkapan, jumlah kapal penangkapan ikan, dan efektivitas alat
bantu penangkapan ikan dapat disajikan pada Gambar 19.
94

1400
PRODUKSI (Ton/Tahun)
1200
1000
800
600
400
200
0
2010 2011 2012 2013 2014

Selar Layang Kembung Tongkol

Gambar 19 Produksi hasil tangkapan ikan pelagis menurut jenis sumberdaya ikan
di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Nilai B/C ratio penangkapan pada rumpon


Parameter Net Present Value (NPV) digunakan untuk mengetahui kelayakan
usaha perikanan jaring bobo, pancing tonda dan pancing ulur, berdasarkan selisih
antara nilai sekarang (present) dari penerimaan dengan nilai sekarang dari
pengeluaran pada tingkat bunga tertentu yang berlaku yang terjadi selama operasi
tiga usaha perikanan tersebut. Suku bunga yang berlaku pada periode tersebut 7%.
Hasil analisis kelayakan usaha perikanan jaring bobo, pancing tonda serta pancing
ulur pada alat bantu rumpon di Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara berdasarkan Net Present Value (NPV) dapat disajikan pada Tabel 38.

Tabel 38 Kondisi penerimaan dari operasi jaring bobo pancing tonda dan pancing
ulur di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Musim Jaring bobo Pancing Tonda Pancing ulur


Puncak 400 350 000 208 000 000 162 240 000
Sedang 204 375 000 120 000 000 93 600 000
Paceklik 51 847 500 60 000 000 46 800 000
Total (Rp) 656 572 500 388 000 000 302 640 000
Sumber : hasil analisis data lapang (2014)

Kelayakan saha berdasarkan Net Present Value (NPV)


Parameter Net Present Value (NPV) digunakan untuk mengetahui kelayakan
usaha perikanan jaring bobo, pancing tonda dan pancing ulur berdasarkan selisih
antara nilai sekarang (present) dari penerimaan dengan nilai sekarang dari
pengeluaran pada tingkat bunga tertentu yang berlaku yang terjadi selama operasi
ketiga usaha perikanan tersebut. Suku bunga yang berlaku pada periode tersebut
sekitar 7% (Bank Indonesia, 2013). Hasil analisis kelayakan usaha perikanan
95

jaring bobo, pancing tonda di perairan Kepulauan Kei berdasarkan Net Present
Value (NPV) dapat disajikan pada Tabel 39.

Tabel 39 Kelayakan usaha perikanan berdasarkan Net Present Value (NPV)

Jenis usaha perikanan Standar Nilai Keterangan


NPV (Rp)
Jaring bobo >0 2 036 965 551 Layak
Pancing Tonda >0 1 990 631 251 Layak
Pancing Ulur >0 985 228 416 Layak
Sumber : Hasil analisis data lapang (2014)

Berdasarkan Tabel 39 tersebut, nilai NPV jaring bobo paling tinggi (Rp 2
036 965 551). Hal ini menunjukkan bahwa jaring bobo dapat memberikan
keuntungan bersih sebesar Rp 2 036 965 551 selama masa operasinya jika diukur
dari nilai sekarang yaitu setelah mempertimbangkan kondisi bunga bank sekitar 7
%. Hasil survei lapang menunjukkan bahwa usaha perikanan jaring boobo,
pancing tonda dan pancing ulur dapat dioperasikan secara layak/normal selama 5
tahun. Keuntungan bersih ini lebih disebabkan oleh penerimaan bersih jaring bobo
yang tinggi, yaitu mencapai Rp 656 572 250, sementara biaya operasional relatif
standar (Rp 436 000 per trip atau Rp 52 320 000 per tahun). Terkait dengan ini,
maka dari segi NPV, usaha perikanan jaring bobo mempunyai prospek yang
sangat baik untuk pengembangannya termasuk sebagai usaha perikanan unggulan
di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Menurut Hanley dan
Spash (1993), nilai NPV tersebut cerminan keuntungan bersih yang didapat
pelaku usaha pada kondisi terakhir saat keuntungan dihitung.
Terhadap kondisi tersebut, maka jaring bobo, pancing tonda dan pancing
ulur di perairan Kepulauan Kei tidak perlu diragukan lagi sumbangan
keuntungannya, meskipun ketiga menggunakan ABK yang cukup banyak dalam
setiap trip operasi penangkapan yang dilakukannya. Hal ini tentu sangat baik,
mengingat usaha perikanan tersebut telah dikuasai nelayan di perairan Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara tinggal melanjutkannya (Wudianto, 2001).

Kelayakan usaha berdasarkan Internal Rate Return (IRR)


Paramater Internal Rate Return (IRR) merupakan parameter untuk
mengetahui batas untung rugi suatu usaha perikanan, yang ditunjukkan oleh suku
bunga maksimal yang menyebabkan NPV = 0. Dari tiga usaha perikanan tersebut,
pancing tonda mempunyai nilai IRR paling tinggi (456.59 %). Nilai IRR ini
memberi pengertian bahwa menginvestasikan uang pada usaha perikanan pancing
tonda di perairan Kepulauan Kei akan mendatangkan keuntungan sekitar 456.59
% per tahunnya dapat disajikan pada Tabel 40.
96

Tabel 40 Kelayakan usaha perikanan berdasarkan Internal Rate Return (IRR)

Jenis usaha perikanan Standar Nilai Keterangan


IRR (%)
Jaring bobo >7% 132.24 Layak
Pancing Tonda >7% 456.59 Layak
Pancing Ulur >7% 358.47 Layak
Sumber : hasil analisis data lapang (2014)

Nilai IRR untuk pancing ulur dan jaring bobo termasuk bagus, karena suku
bunga bank yang berlaku hanya 7% (bunga deposito). Oleh karena semua
parameter finansial penting dari analisis kelayakan usaha dapat dipenuhi dengan
baik oleh usaha perikanan pancing tonda, pancing ulur dan jaring bobo, maka
ketiga usaha perikanan ini sangat layak tanpa syarat finansial apapun dilanjutkan
termasuk menjadikannya sebagai usaha perikanan unggulan dan penopang
kesejahteraan nelayan di kawasan perairan Kepulauan Kei. Mekanisme operasi
yang dilakukan selama ini, termasuk waktu operasi, lama operasi per trip, dan
lainnya dapat terus dilanjutkan karena sudah termasuk efektif.

Kelayakan usaha berdasarkan Benefit-Cost (B/C Ratio)


Penelitian ini, parameter Benefit-Cost Ratio (B/C Ratio) digunakan untuk
kelayakan usaha perikanan dengan melihat perimbangan antara penerimaan usaha
perikanan tersebut dengan pembiayaan yang dikeluarkan untuk mengoperasikan
usaha perikanan tersebut. Berdasarkan Tabel 41, usaha perikanan jaring bobo,
pancing tonda dan pancing ulur layak dilanjutkan di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara karena mempunyai nilai B/C Ratio yang lebih dari 1
(satu).
Pancing tonda misalnya, setiap 1 (satu) satuan biaya yang dikeluarkan untuk
menjalankan usaha pancing tonda tersebut di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara, maka akan mendatangkan penerimaan bersih sekitar 18.74
satuan. Hal yang sama juga untuk pancing ulur dan jaring bobo, dimana setiap 1
satuan biaya yang dikeluarkan, maka akan mendatangkan penerimaan bersih
masing-masing 14.73 satuan dan 5.62 satuan. Secara sepintas, jumlah penerimaan
bersih berdasarkan analisis B/C Ratio ini tidak terlalu besar. Hal ini karena
pembandingnya merupakan akumulasi biaya yang dikeluarkan selama
menjalankan usaha perikanan tersebut (5 tahun). Setiap nelayan berangkat melaut,
maka sebagian dari penerimaannya, digunakan kembali menjadi biaya operasional
dan diawal operasi nelayan juga sudah mengeluarkan biaya untuk investasi. Bila
semua biaya-biaya tersebut diperhitungkan, maka tentu sangat banyak, sehingga
sangat wajar bila rasio penerimaan dikatakan baik dengan hanya lebih beberapa
satuan dari akumulasi biaya tersebut (Hanley dan Spash, 1993).
Terlepas dari ini semua, jaring bobo, pancing tonda dan pancing ulur layak
untuk dikembangkan lanjut di kawasan perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara, karena semua parameter finansial yang dipersyaratkan dapat
dipenuhi dengan baik. Bila ketiga usaha perikanan tersebut diperbandingkan,
maka pancing tonda paling layak. Pancing tonda dan pancing ulur mempunyai
nilai paling baik untuk parameter IRR, ROI, maupun B/C Ratio sedangkan jaring
97

bobo mempunyai nilai paling baik untuk parameter NPV. Terkait dengan ini,
maka pengembangan ketiga usaha perikanan tersebut perlu dipertahankan karena
dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan perekonomian di kawasan perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara dapat disajikan pada Tabel 41.

Tabel 41 Kelayakan usaha perikanan berdasarkan Benefit-Cost Ratio (B/C Ratio)

Jenis usaha perikanan Standar Nilai Keterangan

Net B/C
Jaring bobo >1 5.62 Layak
Pancing Tonda >1 18.74 Layak
Pancing Ulur >1 14.73 Layak
Sumber : hasil analisis data lapang (2014)

Kelayakan usaha berdasarkan Return of Investment (ROI)


Hasil analisis kelayakan terhadap ketiga usaha perikanan tersebut
berdasarkan parameter Return of Investment (ROI). Berdasarkan Tabel 27,
tersebut jaring bobo, pancing tonda dan pancing ulur layak dikembangkan di
kawasan perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara ROI > 1. Nilai
ROI yang tinggi ini terjadi karena ketiga usaha perikanan tersebut mempunyai
penerimaan yang sangat baik sementara biaya investasinya relatif standar.
Misalnya pada usaha perikanan jaring bobo dapat memberi penerimaan sekitar Rp
656 572 250 per tahun atau sekitar Rp. 2 036 965 551 selama masa operasinya,
sementara biaya investasi yang dibutuhkan untuk pengadaan jaring bobo tersebut
sekitar Rp. 426 875 000. Menurut Setiawan. et al (2007), termasuk penciri penting
kelayakan investasi karena menunjukkan kelipatan jumlah investasi yang bisa
dikembalikan bila usaha perikanan tersebut dilakukan di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara.
Alat tangkap jaring bobo, bila membutuhkan biaya investasi untuk
pengadaan kapal, alat tangkap, dan alat pendukung penangkapan sekitar Rp 440
589 00, maka setelah 5 tahun pengoperasiannya akan dapat mengembalikan biaya
investasi tersebut sebesar 1.37 kalinya. Hal yang sama juga untuk pancing tonda
dan pancing ulur, yaitu dapat membayar masing-masing sebesar 5.57 dan 4.59
dari biaya investasi yang dikeluarkannya pada saat awal usaha perikanan tersebut
dapat disajikan pada Tabel 42.

Tabel 42 Kelayakan usaha perikanan berdasarkan Return of Investment (ROI)

Usaha perikanan Standar Nilai Keterangan

ROI
Jaring bobo >1 1.37 Layak
Pancing Tonda >1 5.57 Layak
Pancing Ulur >1 4.59 Layak
Sumber : hasil analisis data lapang (2014)
98

Pertumbuhan usaha pendukung penangkapan


Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia
untuk meningkatkan produksi dalam bidang perikanan dan sekaligus
meningkatkan pendapatan melalaui penerapan teknologi yang lebih baik. Menurut
Undang-Undang Republuk Indinesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan,
tujuan perikanan tangkap adalah (1) meningkatkan kesejahteraan nelayan dan (2)
menjaga kelestarian sumberdaya ikan (SDI) dan lingkungannya. Tujuan tersebut
dewasa ini diperluas cakupannya untuk membantu perokonomian negara, baik
dalam penyedian lapangan kerja, penerimaan devisa melalui ekspor, maupun
pemasukan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) (Barani, 2005).
Melihat peluang pengembangan dan memininalisir kelemahan dan acaman
dalam pengembangan suatu usaha perikanan tangkap dengan menggunakan alat
bantu rumpon di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara, maka
dapat dilakukan dengan analisis SWOT. Langkah-langkah yang diambil dalam
analisis SWOT ini adalah dengan mengidentifikasi faktor-faktor internal dan
faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan perikanan tangkap
terutama alat bantu rumpon dan jaring bobo di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara.

a. Faktor internal
Faktor internal yang berpengaruh dalam pengembangan perikanan tangkap
jaring bobo dan alat bantu penangkapan ikan rumpon di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara, seperti kekuatan adalah tingkat pengusahaan
teknologi oleh nelayan cukup tinggi, sehingga dalam pengoperasian penangkapan
cukup untuk menghasilkan hasil tangkapan yang banyak. Hal ini dapat dilihat
dengan tingkat produksi yang cukup tinggi setiap tahun.
Perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara merupakan daerah
yang menyimpan potensi perikanan pelagis yang melimpah. Ini terlihat dengan
intensitas penangkapan ikan pelagis di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara dari hasil produksinya tinggi. Di samping itu dengan kegiatan
perikanan tangkap dengan menggunakan alat bantu rumpon yang tinggi, jumlah
nelayan cukup besar mengindikasi bahwa potensi perikanan pelagis di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara cukup besar, jumlah armada jaring
bobo dan alat bantu penangkapan rumpon, teknologi penangkapan yang dikuasai
dan produksi hasil perikanan yang cukup besar merupakan suatu kekuatan internal
dalam pengembangan perikanan jaring bobo dan alat bantu penangkapan rumpon.
Selain itu, faktor internal yang juga menjadi kekuatan berdasarkan
penelitian ini yaitu jumlah hari penangkapan dan jumlah alat bantu rumpon.
Jumlah hari penangkapan dan jumlah rumpon yang dioperasikan akan
berpengaruh nyata terhadap produksi hasil tangkapan. Artinya bahwa setiap
penambahan hari operasi penangkapan ikan akan memberikan kontribusi positif
terhadap produksi hasil tangkapan. Juga dengan jumlah rumpon yang ditempatkan
di wilayah perairan fishing ground dan juga setiap penambahan rumpon akan
meningkatkan jumlah operasi penangkapan.
Faktor internal yang merupakan kelemahan dalam pengembangan perikanan
tangkap jaring bobo dan alat bantu penangkapan rumpon di perairan Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara adalah jumlah alat tangkap jaring bobo tidak
seimbang dengan jumlah rumpon sehingga kebanyakan jaring bobo tidak
99

dioperasikan sebagian rumpon yang ada ikan, sedangkan sisi lain tidak
tersedianya tempat pendaratan ikan (TPI), yang sangat berpengaruh terhadap
kegiatan operasi penangkapan. Ini diindikasikan oleh kegiatan pendaratan ikan
dilakukan di tempat yang berdekatan dengan sang pemilik usaha masing-masing,
sehingga tidak dapat menyerap pembeli yang besar. Tingkat pendidikan anak
buah kapal (ABK) dan nelayan rumpon yang rendah juga merupakan kelemahan
yang dapat menghambat pengembangan perikanan jaring bobo dan alat bantu
rumpon, ini dapat berakibat langsung pada ABK. Keadaan ini menyebabkan ABK
tidak dapat mandiri dalam mengembangkan usahanya sendiri dan selalu
bergantung pada pemilik/pengusaha. Faktor-faktor internal yang berpengaruh
pada pengembangan jaring bobo dan alat bantu rumpon dapat disajikan pada
Tabel 43. Penelitian sama dilakukan Mustaruddin (2012) di Banyuwangi dengan
menggunakan analisis SWOT terhadap faktor internal dan eksternal terhadap
pengembangan perikanan tangkap bersinergi aspek lingkungan sosial dan
ekonomi dapat disajikan pada Tabel 43.

Tabel 43 Faktor-faktor internal perikanan jaring bobo dan alat bantu rumpon di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Faktor Internal
Kekuatan (Strength)
1 Teknologi jaring bobo dan alat bantu rumpon di kuasai nelayan
2 Produksi hasil perikanan pelagis yang cukup besar
3 Sumberdaya manusia sebagai nelayan banyak tersedia
4 Jumlah hari penangkapan dan jumlah alat tangkap serta alat bantu rumpon
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produksi hasil perikanan
5 Tinggi jaring/kedalaman jaring dan jumlah rumpon akan menentukan tingkat
produksi hasil tangkapan
Kelemahan (Weaknesses)
1 Tidak tersedianyaTPI
2 Tingkat pendidikan ABK yang rendah
3 Fasilitas permodalan tidak mendukung usaha perikanan
4 Jumlah jaring bobo tidak sebanding dengan jumlah rumpon
sumber : Data primer diolah, (2014)

b. Faktor-faktor eksternal
Ruang yang menjadi faktor eksternal untuk pengembangan jaring bobo dan
alat bantu rumpon di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara adalah
potensi perikanan pelagis cukup tinggi, permintaan perikanan sangat tinggi baik
ditingkat lokal maupun nasional untuk konsumsi protein ikan. Hal ini ditandai
dengan peningkatan konsumsi ikan sebagai kandungan gizi. Peningkatan
konsumsi ikan mendukung pengembangan perikanan jaring bobo dan alat bantu
rumpon.
Selain potensi yang cukup besar ini, ternyata terdapat beberapa ancaman
anatara lain hasil produksi ikan tidak diimbangi dengan kemampuan pembeli
sehingga menyebabkan harga ikan tidak stabil. Seringkali daya beli masyarakat
tidak dapat mengimbangi tingkat produksi jaring bobo yang dihasilkan lewat alat
bantu penangkapan rumpon. Disamping itu, kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) yang cukup tinggi menggakibatkan para pengusaha sering mengeluarkan
100

biaya yang lebih besar untuk persediaan BBM setiap kali melakukan operasi
penangkapan. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan
perikanan jaring bobo dan alat bantu penangkapan rumpon di perairan kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara dapat disajikan pada Tabel 44.

Tabel 44 Faktor-faktor eksternal perikanan pada jaring bobo dan rumpon di


Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Faktor Eksternal
Peluang (Opportunities)
1 Potensi sumberdaya ikan tersedia
2 Meningkatnya permintaan ikan
3 Adanya dukungan Pemda untuk pembangunan usaha perikanan
Ancaman (Threats)
1 Harga ikan tidak stabil
2 Harga BBM yang tinggi
3 Harga ikan masih dikuasai pedangang pengumpul
Sumber : data primer diolah, (2014)

Hal tersebut juga dilakukan Tahapary (2010) bahwa pemanfaatan


sumberdaya ikan pelagis kecil perlu dilakukan secara optimal. Didukung dengan
alat teknologi alat bantu penangkapan rumpon dan alat penangkapan ikan tepat
guna yang memiliki kriteria berikut: (1) dari aspek biologi penangkapan yang
dikembangkan tidak merusak atau menggangu kelestariaan sumberdaya ikan, (2)
secara teknik efektif digunakan. (3) dari aspek sosial dapat diterima oleh
masyarakat, dan (4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan
Haluan et al. (1988). Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan pelagis kecil
berbasis rumpon di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara perlu
ditetapkan strategi pengembangan agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai.
Strategi pengembangan ditetapkan berdasarkan pada sumberdaya ikan (SDI)
pelagis kecil, sumberdaya manusia (SDM), teknologi, sarana dan prasarana, dan
pasar. Pelaku perikanan yang ada juga menentukan dalam pengambilan keputusan
agar kepentingan-kepentingan pelaku dapat berjalan.

Rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung rumpon


Tujuan dari setiap usaha penangkapan ikan komersial adalah menciptakan
keuntungan, oleh karena itu setiap pengusaha menghendaki pendapatan dari
penjualan hasil akan melebih biaya operasi. Cara terbaik mempersiapkan
pengusaha dalam menanggani usaha penangkapan adalah mengajarkan bagaimana
meramalkan biaya dan pendapatan. Data tersebut kemudian perlu dianalisis untuk
menentukan kelayakan finansialnya, apalagi jika usaha itu ingin menggunakan
jasa kredit bank (Mantjoro 1996). Studi kelayakan usaha ialah suatu studi untuk
melakukan penilaian terhadap proyek tertentu yang sedang atau akan dilaksanakan
(Primyastanto 2011; Kadariah 1978). Studi kelayakan yang dilakukan untuk usaha
usaha perikanan tangkap dengan menggunakan jaring bobo dengan alat bantu
rumpon layak untuk dikembangkan di kawasan perairan Selat Nerong Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara, karena semua parameter finansial yang
disyaratkan dapat dipenuhi dengan baik.
101

Status keberlanjutan pengelolaan rumpon dimensi ekonomi


Terkait dengan dimensi ekonomi ini, analisis MDS dengan
mempertimbangkan beberapa atribut yang berpengaruh menghasilkan indeks
keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan
Kei Selat Nerong yang kemudian disingkat peng-rumpon-ekonomi. Atribut yang
dipertimbangkan dalam analisis MDS dari dimensi ekonomi adalah : (1) rasio
usaha perikanan tangkap yang bergantung rumpon, (2) pertumbuhan usaha
penndukung penangkapan, (3) nilai B/C, (4) nilai produksi, (5) pendapatan
nelayan rumpon (terutama nelayan skala kecil), (6) konsumsi rumah tangga
nelayan (terutama nelayan skala kecil) diukur dari konsumsi beras per tahun, (7)
nilai investasi rumpon.
Berdasarkan hasil analisis MDS, diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan
pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil pada dimensi ekonomi
(PENGRUMPON-ekonomi) adalah 62.17 pada skala keberlanjutan 1-100. Nilai
indeks ini menunjukkan bahwa dari analisis tujuh atribut, status keberlanjutan
pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil diperairan Kepulauan Kei Selat
Nerong termasuk kategori “cukup” secara ekonomi. Menurut Krustal dalam
Jhonson et al. (1992), kategori cukup bila nilai indeks berada pada kisaran 51-75.
Gambar 20 memperlihatkan hasil analisis MDS yang menunjukkan nilai indeks
keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan
Kei Selat Nerong dari dimensi ekonomi dapat disajikan pada Gambar 20.

60,00
UP
Nilai Tekanan Terhadap Sumberdaya

40,00

20,00
Real Fisheries
References
0,00 BAD GOODAnchors
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00
-20,00 62,17

-40,00
DOWN
-60,00
Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon

Gambar 20 Status keberlanjutan perikanan rumpon pada dimensi ekonomi di


Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Hasil analisis MDS yang dilakukan, diketahui bahwa nilai indeks


keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan
Kei Selat Nerong dari dimensi ekonomi, maka dilakukan analisis leverage.
Berdasarkan hasil analisis leverage yang dilakukan diketahui bahwa atribut yang
sensitif yang paling tinggi adalah nilai B/C ratio penangkapan pada rumpon
dengan skor nilai 7.79. Atribut-atribut lainnya yang kontribusi cukup besar
terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil
102

dari dimensi ekonomi adalah pendapatan nelayan rumpon dengan skor nilai 6.44,
nilai produksi dengan skor nilai 5.30,nilai investasi rumpon dengan skor nilai
4.94. Secara jelas kontribusi setiap atribut terkait dengan dimensi ekonomi dapat
disajikan pada Gambar 21.

Nilai investasi Rumpon 4,94

Konsumsi rumah tangga nelayan rumpon 1,34

Pendapatan nelayan penjaga rumpon 6,44


Atribut

Nilai Produksi 5,30

Nilai B/C ratio penangkapan pada rumpon 7,79

Pertumbuhan usaha pendukung penangkapan 3,33

Rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung


rumpon 4,11

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Perubahan Root Square (RMS) Ordinasi Jika Salah Satu Atribut


Dihilangkan (Pada Skala Keberlanjutan 0 - 100)

Gambar 21 Peran atribut dari dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk
perubahan nilai RMS di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara
103

Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi dapat digambarkan


dengan diagram layang-layang (kite diagram) dapat disajikan pada Gambar 22.

NILAI KEBERLANJUTAN NILAI MONTE CARLO

TEKNOLOGI
80 71,57
60
40
20
62,87 62,17
EKOLOGI 0 EKONOMI

50,6

SOSIAL

Gambar 22 Kite diagram keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di


Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Tujuh atribut pada dimensi teknologi yang dianalisis, terdapat empat atribut
yang sensitif dan berpengaruh atau perlu diperhatikan untuk meningkatkan status
keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan
Kei Selat Nerong. Atribut atribut yang sensitif tersebut adalah seperti yang dapat
disajikan pada Tabel 45.

Tabel 45 Atribut ekonomi yang sensitif mempengaruh indeks keberlanjutan


pengelolaan rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

No Dimensi Pengelolaan Atribut Yang Sensitif


1 Ekonomi · Nilai B/C ratio penangkapan pada rumpon
· Pendapatan nelayan rumpon
· Nilai produksi
· Nilai investasi rumpon

Diketahui bahwa apakah hasil analisis MDS pada atribut dimensi ekonomi
(multidimensional) layak dan menyerupai kondisi sebenarnya dengan kegiatan
pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan Kei Selat
Nerong maka perlu dilakukan uji terhadap koefisien determinasi (R2) dan nilai
stress. Bila uji hasil statistik tidak sesuai dengan yang disyaratkan, maka perlu
dilakukan dan penambahan atribut baru dalam analisis. Adapun hasil uji statistik
terhadap koefisien diterima (R2) dan nilai stress dapat disajikan pada Tabel 46.
104

Tabel 46 Hasil uji statistik terhadap koefisien determinasi (R2) dan Stress

Hasil Uji
Dimensi Ekonomi
Nilai Stress 14.04
Nilai R2 94.47

Selanjutnya dalam tingkat keberlanjutan perikanan rumpon pada ikan


pelagis di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong juga dilakukan uji Monte Carlo,
untuk dapat melihat apakah hasil penggujian tingkat kepercayaan nilai indeks
keberlanjutan pengelolaan rumpon baik untuk dimensi ekonomi. Hasil analisis
Monte Carlo dapat disajikan pada Tabel 47.

Tabel 47 Analisis Monte Carlo terkait nilai indeks keberlanjutan

Nilai Indeks Keberlanjutan


Dimensi Penegelolaan AnalisisMonte
Analisis MDS Keterangan
Carlo
Dimensi Ekonomi 62.17 61.64 Identik

Kesimpulan

1) Ketiga usaha perikanan tangkap yang dioperasikan pada rumpon layak untuk
dikembangkan di perairan Kepulauan Kei kerena mempunyai nilai NPV,IRR,
ROI dan nilai B/C lebih baik dari yang dipersyaratkan.
2) Secara umum, status keberlanjutan dimensi ekonomi terhadap tujuh atribut
pengelolaan rumpon yang dikaji mempunyai rata-rata nilai indeks
keberlanjutan 62.17 (cukup berkelanjutan). Namun, dari ketujuh atribut yang
dianalisis atribut B/C ratio penangkapan pada rumpon memiliki tingkat
sensifitas yang tinggi tingkat keberlanjutan. Pengembangan yang berpeluang
dilakukan melalui suatu kebijakan yangdiarahkan untuk perbaikan nilai atribut-
atribut keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon dimensi ekonomi terutama
pada atribut pendapatan nelayan rumpon, nilai produksi dan nilai investasi
rumpon dengan tidak mengecilkan pengembangan dari atribut lainnya.
105

6 KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN RUMPON PADA


DIMENSI SOSIAL

Pendahuluan

Secara umum Indonesia memiliki keragaman kebudayaan yang berdampak


pada keragaman lingkungan sosial. Keragaman lingkungan sosial ini dapat
berbentuk karena adanya dinamika masyarakat yang berbeda, kondisi geografis
dan negara ekosistem (Purba 2002). Demikian keragaman lingkungan sosial di
Indonesia dapat dilihat berdasarkan lokalitas/geografis yang dibagi menjadi
lingkungan sosial pesisir dan pedalaman atau perairan daratan. Berdasarkan
bentuk mata pencaharian dapat dibagi menjadi lingkungan sosial terbaru, meramu,
berladang berotasi atau petani tidak menetap, petani menetap dan musiman, serta
industri dan jasa. Berdasarkan administratif, dapat dibagi menjadi lingkungan
sosial pedesaan dan perkotaan. Khusus untuk lingkungan sosial pedesaan terdiri
dari lingkungan sosial nelayan dan wilayah pesisir perairan.
Pendekatan geografi-budaya lingkungan sosial pesisir secara umum
mencakup kesatuan-kesatuan hidup manusia yang berdiam dan mengembangkan
kehidupan sosialnya di daerah yang relatif dekat dengan laut. Dengan kata lain
yang termasuk dalam kategori lingkungan sosial pesisir adalah masyarakat yang
mendiami daratan dekat dengan laut dan masyarakat yang secara khas
menghabiskan sebagian besar masa hidupnya diatas perairan laut. Pengertian ini
kominitas perairan sepertti orang laut di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara, tergolong kedalam lingkungan sosial pesisir. Bagi komunitas ini
ketergantungan hidup mereka kepada sumberdaya alam daratan juga sama
besarnya dengan ketergantungan mereka kepada sumberdaya perairan.
Tipologi masyarakat pesisir di Indonesia diketagorikan berdasarkan
hubungan, adaptasi dan pemahaman terhadap daerah pesisir dengan segala kondisi
geografisnya dapat di bagi menjadi tiga katagori yaitu masyarakat perairan,
masyarakat nelayan, dan masyarakat pesisir tradisional. Masyarakat nelayan
dianggap sebagai kelompok masyarakat pesisir yang paling banyak memanfaatkan
hasil laut dan potensi lingkungan perairan dan pesisir untuk kelangsungan
hidupnya.
Masyarakat nelayan pada umumnya telah bermukim secara tetap di daerah-
daerah yang mudah mengalami kontak-kontak dengan masyarakat lain. Dengan
demikian sistem ekonomi masyarakat nelayan pada umumnya tidak dapat lagi
dikatogorikan masih berada pada tingkat subsisten, tetapi sudah masuk ke sistem
perdangangan, karena hasil laut yang mereka peroleh tidak dikonsumsi sendiri,
tetapi didistribusikan dengan imbal ekonomis kepada pihak-pihak lain.
Masyarakat nelayan dapat dikategorikan sebagai bagian dari satu suku
bangsa yang besar misalnya masyarakat nelayan Bagan Siapiapi (bagian dari suku
bangsa cina), nelayan Madura, Muara Karang dan Cilincing di Jakarta Utara
(bagian suku bangsa Batawi), nelayan Pelabuhanratu (bagian suku bangsa Sunda),
nelayan Cilacap dan Tegal (bagian suku bangsa Jawa) dan kelompok masyarakat
nelayan daerah lainnya.
Aspek sosial dalam kajian ini difokuskan pada kajian dimensi sosial yang
terkait dengan keberlanjutan perikanan ikan pelagis berbasis rumpon skala kecil
106

dilokasi yang telah ditentukan. Kajian perikanan pelagis berbasis rumpon pada
dimensi sosial dilakukan untuk menggambarkan kehidupan nelayan sebagai
manusia yang harus beradaptasi dengan lingkungan sosial dan sumberdaya
perikanan sebagai sumber kehidupannya. Aspek sosial selama ini terabaikan perlu
mendapatkan perhatian serius dalam upaya mengelola sumberdaya perikanan laut,
sehingga upaya pencapaian distribusi, pemerataan pendapatan, dan penanganan
konflik yang proporsional diantara berbagai kelompok pengguna sumberdaya
dapat tercapai.
Analisis RAPFISH pada dimensi sosial dalam penelitian ini terdiri dari
sembilan atribut yaitu tingkat pendidikan nelayan, kemudahan mendapatkan
pelayanan kesehatan, status penggunaan bahan berbahaya, pengaruh terhadap
habitat, pengaruh terhadap kehidupan nelayan, keamanan hasil tangkapan nelayan
rumpon bagi konsumen, potensi konflik stakeholdrs antar nelayan, pengaruh
terhadap keanegaragaman hayati, dan pengaruh terhadap ikan-ikan yang
dilindungi.
Atribut tentang tingkat pendidikan nelayan berguna untuk mengetahui
tingkat pendidikan nelayan rumpon dan nelayan jaring bobo dalam tingkat
penerapan alat penangkapan. Atribut status penggunaan bahan berbahaya yaitu
untuk mengetahui sejauh mana nelayan yang ada di Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara terutama di kawasan Selat Nerong apakah dalam penangkapan
ikan menggunakan bahan berbahaya seperti bom, potasium, dan bahan kimia yang
lain, atribut pengaruh terhadap habitat yaitu untuk mengetahui sejauh mana
tingkat penerapan alat tangkap dan alat bantu penangkapan apakah ramah
terhadap habitat dan selektif terhadap hasil tangakapn atau tidak, atribut pengaruh
terhadap kehidupan nelayan yaitu untuk mengetahui sejauh mana tingkat
kehidupan nelayan rumpon dan nelayan jaring bobo dari tingkat pendapatannya,
atribut keamanan hasil tangkapan nelayan rumpon bagi konsumen yaitu untuk
mengetahu bagaimana dalam tingkat keamanan nelayan dalam menjaga rumpon
dan hasil tangkapan yang diperoleh dari alat tangkap jaring bobo untuk tingkat
penanganan hasil tangkapan sampai ke tingkat konsumen, atribut potensi konflik
stakeholders antara nelayan yaitu untuk menjaga keseimbangan antara nelayan
rumpon dan nelayan jaring bobo dalam penggunaan kedua alat tersebut dalam
pengelolaan wilayah perairan sehingga tindak menimbulkan konflik antar
nelayan, atribut pengaruh terhadap keanekaragaman hayati yaitu untuk
mengetahui tingkat penerapan alat tangkap dan alat bantu penangkapan dalam
penerapan tidak merusak keanekaragaman sumberdaya yang ada dan juga
menjaga wilayahnya sehingga dapat berkelanjutan, dan atribut pengaruh terhadap
ikan-ikan yanng dilindungi yaitu untuk mengetahu sejauh mana ikan yang
dilindungi turut tertangkap dengan alat tanggkap jaring bobo pada alat bantu
rumpon.
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Menentukan status keberlanjutan perikanan rumpon dalam perspektif
keberlanjutan menurut dimensi sosial.
2) Mengkaji atribut-atribut yang sensitif terhadap pengelolaan perikanan rumpon
di perairan Kepulauan Kei.
107

Metode Penelitian

Pengambilan data dilakukan pada dimensi sosial dilakukan pada bulan April
2013 sampai Juni 2014 difokuskan di 3 lokasi yaitu Kecamatan Kei Kecil Timur
yaitu Desa Sathean, Desa Danbuk, Desa Mastur Lama dan Desa Mastur Baru.
Kecamatan Kei Besar yaitu Desa Lerohoilim, Desa Udar, Desa Nerong serta Desa
Ngan. Data sekunder yang diperuntukkan untuk mendukung analisis ini di telusuri
baik di ibu kota Provinsi (Kota Ambon), Ibu Kota Kabupaten (Kota Langgur), Ibu
Kota Kota Tual (Tual). Disamping itu data pendukung lainya juga ditelusuri dari
nelayan rumpon dan nelayan jaring bobo, nelayan pancing ulur serta nelayan
pancing tonda di berbagai desa-desa tersebut.
Jenis data penelitian yang digunakan dalam pengambilan data dimensi sosial
budaya adalah merupakan jenis penelitian survei, yang mana data informasi utama
dikumpulkan dari responden melalui kuisioner. Pengambilan data dilakukan
melalui dua pendekatan yakni: pertama: pendekatan kelompok diskusi terfokus
(focus group discusions) yang diperuntukan bagi tokoh agama, tokoh adat, dan
pemerintah desa. Data dan informasi yang ingin diperoleh dari kelompok diskusi
ini adalah pengelolaan rumpon dan alat tangkap jaring bobo, alat tangkap pancing
ulur serta alat tangkap pancing tonda berbasis kearifan lokal, sejarah
perkembangan pembangunan desa, bentuk-bentuk implementasi kebijakan baik
ditingkat pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan maupun pada tingkat Desa serta
arahan dan harapan pengembangan masyarakat ke depan. Kedua metode
wawancara langsung (tatap muka) dengan responden, yang dilengkapi dengan
kuesioner. Tahapan ini penentuan sampel dilakukan dengan pendekatan
pengambilan sampel secara acak dengan jumlah responden yang sama pada
seluruh desa sampel (proporsive random sampling) yakni total jumlah responden
yang diharapkan adalah sebanyak 130 responden yang dilakukan pada 7 desa,
dimana masing-masing desa ditentukan sebanyak 15 responden. Jenis dan jumlah
responden telah ditentukan sesaran proposional yakni nelayan rumpon (7 orang ),
nelayan jaring bobo (5 orang), nelayan pancing ulur (3 orang) serta nelayan
pancing tonda (3 orang) petani (3 orang). Desa-desa yang menjadi target
pengambilan sampel ini adalah desa-desa yang masyarakatnya selama ini
mengakses mata pencahariannya adalah nelayan rumpon dan nelayan jaring bobo,
nelayan pancing ulur serta nelayan pancing tonda.

Analisis data
Kajian dimulai dengan analisis keberlanjutan dari kondisi saat ini
pemasangan rumpon di lokasi penelitian melalui proses ordinasi menggunakan
algoritma RAPFISH (The Rapid Appraisal of the Status of Fisheries) (Kavanagh
2001) dengan metode Multidimensional Scaling (MDS). Dengan menggunakan
MDS, diperoleh posisi relatif keberlanjutan pengelolaan rumpon yang dikaji
terhadap dua titik acuan yaitu titik “baik (good)” dan titik “buruk (bad)”.
Analisis keberlanjutan dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) tahapan
penentuan atribut atau kriteria pengelolaan rumpon berkelanjutan, mencakup
dimensi sosial (2) tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan
kriteria pengelolaan, setiap atribut, (3) tahap analisis ordinal nilai indek
keberlanjutan dengan menggunakan metode MDS. Analisis MDS, sekaligus
108

dilakukan leverage, analisis Monte Carlo, penentuan nilai stress, dan nilai
Koefesien Determinasi (R2)). Analisis leverage digunakan untuk mengetahui
atribut yang sensitif, ataupun intervensi yang dapat dilakukan terhadap atribut
yang sensitif untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan rumpon.
Analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat dalam
proses analisis yang dilakukan, pada selang kepercayaan 95%. Nilai stress dan
koefisien determinasi (R2) berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya
penambahan atribut. Mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat. Menurut
Kavanagh et al. (2004), model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress di bawah
nilai 0.25, dan nilai R2 di atas kepercayaan 95% sehingga kualitas dari analisis
MDS dapat dipertangung jawabkan.

Penentuan atribut dan analisis skoring dimensi sosial


Dimensi ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian atribut dari dimensi
sosial dan lingkungan rumpon. Analisis ini penting untuk menyeleksi sifat
destruktif aktivitas pengelolaan rumpon termasuk pengoperasian alat tangkap di
sekitarnya rumpon terhadap sumberdaya ikan pelagis yang tertangkap, nelayan
rumpon, konsumen/masyarakat, konflik stakeholders, keanekaragaman hayati,
dan ekosistem, dan lingkungan sekitar.
Atribut yang digunakan untuk analisis dimensi sosial ini mengacu kepada
prinsip-prinsip pengelolaan yang rama lingkungan dan berkelanjutan. Skor yang
digunakan untuk memberi nilai atribut dari dimensi lingkungan sosial ini
bervariasi tergantung klasifikasi dukungan atribut terhadap dimensi lingkungan
sosial. Semakin tinggi dukungan atau kesesuaian pengelolaan rumpon dengan
kriteria prinsip-prinsip pengelolaan yang rama lingkungan dan berkelanjutan,
maka semakin tinggi skor yang diperoleh, dan bila sebaliknya maka semakin
rendah skor yang diberikan (Monintja 2001). Secara spesifik, skor yang diberikan
untuk setiap atribut dari dimensi sosial dan lingkungan ini dapat disajikan Tabel
48.
109

Tabel 48 Atribut dan skor analisis dimensi sosial pengelolaan perikanan rumpon
di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

No Atribut Skala Skor Buruk Baik


1 Tingkat pendidikan 0 Tidak tamat SD 0 3
nelayan 1 Tamat SD, tetapi tidak tamat
SMP
2 Tamat SMP, tetapi tidak tamat
SMA
3 Tamat SMA/masuk perguruan
tinggi
2 Kemudahan 0 Sulit 0 2
mendapatkan 1 Biasa saja
pelayanan kesehatan 2 Mudah
3 Status penggunaan 0 Ada bahan utama operasi 0 3
bahan berbahaya menggunakan bahan peledak,
bahan kimia, atau bahan
beracun
1 Ada 2 bahan pendukung
operasi menggunakan bahan
peledak, bahan kimia, atau
bahan beracun
2 Ada satu bahan pendukung
operasi menggunakan bahan
peledak, bahan kimia, atau
bahan beracun
3 Tidak ada penggunaan bahan
peledak, bahan kimia, atau
bahan beracun
4 Pengaruh terhadap 0 Menyebabkan kerusakan 0 3
habitat habitat pada wilayah yang luas
1 Menyebabkan kerusakan
habitat pada wilayah yang
sempit
2 Menyebabkan kerusakan
sebagian habitat pada wilayah
yang sempit
3 Aman bagi habitat
5 Pengaruh terhadap 0 Bisa mengakibatkan kematian 0 3
kehidupan nelayan pada nelayan
1 Bisa berakibat cacat permanen
pada nelayan
2 Hanya bersifat gangguan
kesehatan yang bersifat
sementara
3 Aman bagi nelayan
6 Keamanan hasil 0 Berpeluang besar 0 3
tangkapan sekitar menyebabkan kematian pada
rumpon bagi konsumen
konsumen 1 Berpeluang menyebabkan
gangguan kesehatan pada
110

Lanjutan Tabel 48
konsumen
2 Relatif aman bagi konsumen
3 Aman bagi konsumen
7 Potensi konflik 0 Menimbulkan konflik dan 0 3
stakeholders (antar tidak terselesaikan
nelayan) 1 Menimbulkan konflik, tapi
terselesaikan
2 Tidak menimbulkan konflik
namun tidak menyelesaikan
konflik yang sudah ada
3 Tidak menimbulkan konflik,
dan menyelesaikan konflik
yang sudah ada
8 Pengaruh terhadap 0 Menyebabkan kematian semua 0 2
keanekaragaman makluk hidup dan merusak
hayati habitat
1 Menyebabkan kematian
beberapa species dan merusak
habitat
2 Menyebabkan kematian
beberapa spesies tetapi tidak
merusak habitat
3 Aman bagi biodiversity
9 Pengaruh terhadap 0 Ikan yang dilindungi sering 0 3
ikan-ikan yang tertangkap
dilindungi 1 Ikan yang dilindungi beberapa
kali tertangkap
2 Ikan dilindungi pernah
tertangkap
3 Ikan dilindungi tidak pernah
tertangkap
Sumber : Monintja (2001)

Hasil dan Pembahasan

Status tingkat pendidikan nelayan


Pendidikan merupakan salah unsur terpenting dalam pengembangan suatu
wilayah karena dengan pendidikan dapat menciptakan sumberdaya manusia
(SDM) yang berkulitas. Suatu wilayah walaupun sumberdaya alamnya (SDA)
melimpah akan tetapi jika tidak terdapat sumberdaya manusia (SDM) berkualitas,
maka wilayah tersebut akan tertinggal dibandingkan dengan wilayah lain yang
mempunyai SDM yang berkualitas. Konteks pengembangan SDM di wilayah
pesisir di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara, dibutuhkan
tenaga pendidik yang berkualitas yang dapat disebarkan ke seluruh wilayah
Kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara. Disamping itu diperlukan
ketersediaan sarana prasarana pendidikan yang baik pada setiap wilayah
Kecamatan dan desa sehingga dapat menampung anak usia sekolah di Kabupaten
Maluku Tenggara. Pengembangan Kabupaten Maluku Tenggara ke depan sangat
dibutuhkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, handal dan berdaya
111

guna pada semua sektor pembangunan. Di bawah ini dapat digambarkan


kelulusan murid berdasarkan tingkat pendidikan di Kabupaten Maluku Tenggara.
Pendidikan responden bervariasi dari SD sampai sarjana (S1) (Tabel 49).
Data pada Tabel 49 menunjukkan bahwa nelayan perikanan pelagis dangan
menngunakan alat bantu rumpon di Kepulauan Kei Selat Nerong semuanya telah
mengenyam pendidikan, dan kebanyakan mereka (50.30%) telah tamat Sekolah
Dasar SD dan sekolah menegah pertama 27.69%, Sekolah Menengah Atas 16.92,
sedangkan 2.30% tidak bersekolah dan dari jumlah nelayan sebagai responden
yang tamat dari perguruan tinggi 0.76%. Ini menunjukkan bahwa nelayan
perikanan pelagis dan nelayan rumpon di Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten
Maluku Tenggara memiliki tingkat pendidikan yang cukup, berbeda dengan
tempat lain di Indonesia dapat disampaikan beberapa peneliti Laila (2009)
menyatakan bahwa selama ini nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional
salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan penguasaan
nelayan terhadap teknologi.
Hal yang hampir sama dikatakan oleh Mukaffi (2009) bahwa satu aspek
yang menjadi akar kemiskinan nelayan adalah rendahnya tingkat pendidikan.
Hasil wawancara terhadap nelayan yang berpendidikan sarjana mendapati bahwa
pekerjaan sebagai nelayan yang mereka jalani saat ini bukanlah pilihan, tetapi
sementara karena belum punya pekerjaan tetap sebagai PNS atau swasta yang
sesuai. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan sebagai nelayan dari mereka yang
berpendidikan sarjana dilakukan karena belum punya pekerjaan tetap, atau
pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan antara, sambil menunggu peluang
kerja pada bidang lainnya. Walaupun demikian, bagi mereka pekerjaan sebagai
nelayan perikanan pelagis pada rumpon bukanlah terpaksa tetapi pilihan yang
memberikan pendapatan finansial yang lebih baik jika dibandingkan dengan
pekerjaan tidak tetap lainnya dapat disajikan pada Tabel 49.

Tabel 49 Pendidikan usia dan status pernikahan dari nelayan perikanan pelagis
pada rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Pendidikan Usia Status pernikahan


Jenjang Jumlah persen Tahun jumlah persen Status jumlah persen
Tidak 3 2.30 21-30 56 93.33 Menikah 116 89.23
Sekolah
SD 68 52.30 30-40 39 60 Belum 14 10.76
SMP 36 27.69 40-50 18 30
SMA 22 16.92 40-50 10 16.6
D3 1 0.76 50-60 7 11.66
S1 1 0.76 >60 0
Jumlah 131 100 60 100 130 100

Usia nelayan juga bervariasi, antara 21-60 tahun, dengan persentasi yang
berbeda menurut tingkat umur. Didapati nelayan dengan usia kurang dari 60 tahun
namun masih aktif bekerja, walaupun demikian aktivitas penangkapan ikan
dilakukan pada waktu malam dan pagi hari dengan jarak daerah penangkapan
dekat dengan lokasi pemukiman. Lebih banyak nelayan berada pada usia 21-30
tahun sebesar 93.33%, selanjutnya 30-40 tahun sebesar 60 % dan umur 40-50
tahun sebesar 16.6 % sedangkan yang paling sedikit di bawah 60 tahun sebesar
112

11.66 %. Hasil ini menunjukkan bahwa tenaga kerja yang bekerja sebagai nelayan
pada usaha perikanan pelagis pada rumpon dan alat tangkap jaring bobo di
Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara adalah orang-orang
produktif dengan komposisi tenaga-tenaga masih muda jauh lebih banyak dari
yang tua. Hal ini membuktikan bahwa pekerjaan sebagai nelayan membutuhkan
orang-orang dengan kemampuan kerja dan daya tahan yang tinggi. Kondisi ini
dimungkinkan karena kadang mereka berhadapan dengan kondisi lingkungan
terutama angin dan ombak yang cukup mengancam walaupunhanya di wilayah
pesisir. Selain itu, aktivitas penangkapan yang mereka lakukan umumnya pada
malam hari, sehingga membutuhkan tenaga kerja dengan daya tahan yang kuat
yang terseleksi secara alamiah.
Hasil penelitian mendapatkan juga bahwa tenaga kerja yang bekerja sebagai
nelayan perikanan pelagis pada rumpon dan alat tangkap jaring bobo di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara 89.23 % sebagai kepala keluarga dan
10.76% sisanya belum berkeluarga. Jumlah anak dari nelayan yang telah
berkeluarga antara 1-7 orang. Ada 17.64% nelayan yang sudah menikah belum
punya anak, sedangkan 42,15% jumlah anak 1-2 orang, 31.7% jumlah anak 3-4
orang dan 8.82% jumlah anak 5-7 orang. Anak-anak nelayan ada yang belum
bersekolah dan ada yang bersekolah dari SD sampai perguruan tinggi, ada juga
yang putus sekolah. Hasil penelitian ini mendapati bahwa anak-anak nelayan yang
putus sekolah tidak berhubungan dengan biaya pendidikan tetapi dari anak itu
sendiri, terutama karena menikah. Hasil penelitian ini mendapati bahwa dari 90
responden yang memiliki anak sekolah, 15 responden atau 16.66% diantaranya
memiliki tanggungan anak yang sementara studi di perguruan tinggi (kuliah), 28
responden atau 31.11% sekolah lanjutan atas (SMA) dan sisanya SMP, SD dan
TK, dengan jumlah tanggungan anak sekolah 1-6 orang. Hasil ini menunjukkan
bahwa kesadaran nelayan terhadap pendidikan sudah cukup tinggi, hal ini terbukti
dengan tingkat pendidikan nelayan itu sendiri dan tanggung jawabnya dalam
menyekolahkan anak dapat disajikana pada Tabel 50.

Tabel 50 Jumlah anak, tangungan anak sekolah dan anggota keluarga para nelayan
yang berkerja di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Anggota keluarga lain


Jumlah Anak Tangungan anak sekolah
yang bekerja
Respon- Respon-
Jumlah Persen Persen Persen
den Jumlah den Status Jumlah
anak (%) (%) (%)
(org) (org)
0 18 17.64 0 15 16.66 Bekerja 44 61.11
1-2 43 42.15 1-2 36 40 Tidak 28 38.88
3-4 32 31.37 3-4 27 30
5-7 9 8.82 5-6 12 13.33
Jumlah 102 100 90 100 72 100

Data pada Tabel 50 di atas menunjukkan bahwa ada 102 responden nelayan
yang berstatus kepala keluarga, dan 90% diantaranya punya tanggung jawab
terhadap pendidikan anak-anaknya. Dengan demikian jika pendapatan mereka
rendah, kemungkinan tanggung jawab pendidikan anak menjadi terabaikan jika
tidak ditunjang oleh yang lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari
113

102 responden yang berstatus kepala keluarga, jumlah anggota keluarga lain yang
bekerja atau yang turut membantu dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga
adalah 44 responden atau 61.11% sedangkan 28 atau 38.88% belum bekerja. Bagi
nelayan yang lain, semua tanggung jawab ekonomi keluarga berada pada nelayan
itu sendiri. Dengan demikian jika pendapatan mereka rendah maka kemungkinan
kondisi ekonomi keluarga menjadi terpuruk.

Mendapatkan pelayanan kesehatan


Status kesehatan masyarakat di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara secara umum masih rendah dibandingkan daerah lain di Indonesia,
disebabkan belum terselenggaranya akses pelayanan kesehatan secara paripurna.
Status kesehatan yang masih rendah tersebut diukur dari angka harapan hidup
pada tahun 2013 sekitar 41.2%, angka kematian ibu melahirkan masih 428 per
100 000 kelahiran, angka kematian bayi 31 per 1 000 kelahiran hidup, penyebaran
status gizi kurang 8.22% dan gizi buruk 1.20%,) dan tingginya prevalensi ganguan
akibat kekurangan yodium (GAKY), tingginya prevalensi penyakit menular
seperti malaria, TBC paru, frambusia, pneumonia, vilariasis, HIV/AIDS, kusta,
dan lain-lain. Sungguhpun saat ini telah tersedia 17 Puskesmas dan jaringannya
yaitu 52 puskesmas pembantu dan puskesmas keliling, namun demikian
pemerataan dan keterjangkauan pelayanan masih saja dihadapkan dengan kendala
biaya dan jarak transportasi. Rendahnya derajat kesehatan tersebut disebabkan
juga karena belum terselenggaranya pelayanan kesehatan secara paripurna
menyangkut aspek promotif, aspek preventif, aspek kuratif dan aspek rehabilitatif.
Ketersediaan tenaga kesehatan, terutama di daerah pedesaan dan terpencil, masih
sangat terbatas. Masalah-masalah ini dipengaruhi juga oleh kondisi geografis
Kepulauan Kei yang menjadi faktor penghambat, dan biaya tinggi bagi
masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan pada institusi yang tersedia
BPS Malra (2013).
Kesehatan rumah tangga adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan
sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomis. Menurut BPS Malra (2013), kriteria kesehatan rumah tangga yaitu
banyaknya anggota keluarga yang sering mengalami sakit dalam satu bulan.
Kesehatan anggota keluarga nelayan buruh rumpon dilihat dari berbagai kriteria
seperti, baik jika seluruh anggota rumah tangga dalam satu bulan kurang dari 25
% sering sakit (skor 3), cukup baik apabila anggota rumah tangga dalam satu
bukan antara 25-50 % sering mengalami sakit (skor 2), dan kurang baik jika
seluruh anggota keluarga dalam satu bulan lebih dari 50% sering mengalami sakit
(skor 1). Indikator kesehatan rumah tangga buruh nelayan rumpon di Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara dapat disajikanpada Tabel 51.
114

Tabel 51 Indikator kesehatan rumah tangga rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten


Maluku Tenggara

Kesehatan Anggota rumah Jumlah nelayan


skor Presentase (%)
tangga rumpon (Orang)
Baik (< 25% sering sakit) 3 66 66.04
Cukup (25 – 50% sering sakit) 2 27 27.84
Kurang (> 5% sering sakit) 1 4 4.12
Jumlah 97 100

Tabel 51 dapat dilihat bahwa sebagian besar anggota rumah tangga nelayan
buruh rumpon tergolong baik (< 25% sering sakit) yaitu sebesar 66.04%. Penyakit
yang dialami hanya penyakit ringan seperti batuk, flu, pusing dan sakit perut.
27.84% anggota rumah tangga pedagang tergolong cukup (25-50% sering sakit)
biasanya sakit yang dialami yang harus dilakukan perawatan intersif. 4.12%
anggota rumah tangga buruh nelayan rumpon tergolong kurang ( >5% sering
sakit) biasanya sakit yang dialami sudah parah hingga menyebabkan kematian.
Kriteria-kriteria yang mendukung dalam indikator kemudahan mendapatkan
pelayanan kesehatan meliputi jarak rumah sakit terdekat, jarak ke
poliklinik/puskesmas/posyandu, biaya berobat, penanganan berobat, alat
kontrasepsi, konsultasi KB, dan harga obat-obatan. Tabel 52 menjelaskan
indikator kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan pada rumah tangga buruh
nelayan rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Berdasarkan
Tabel 52 terdapat 41.24% rumah tangga buruh nelayan rumpon yang memiliki
jarak terdekat antara 0.01 - 3 km dengan rumah sakit, sedangkan 58.76% rumah
tangga buruh nelayan rumpon memiliki jarak terdekat dengan rumah sakit. Buruh
nelayan rumpon yang memiliki jarak terdekat antara tempat tinggal dengan
poloklinik/puskesmas/posyandu yaitu 0.01-2 km sebanyak 24.74%, dan yang
memiliki jarak terdekat sebanyak 75.26%. Hal ini ditunjang dengan fasilitas yang
diberikan pemerintah dalam melayani kesehatan bagi masyarakat. Selain itu,biaya
berobat yang ditetapkan oleh suatu lembaga bagi 31% responden terjangkau,
48.45% responden yang merasa cukup terjangkau dan kurang terjangkau 20.62%.
Sebanyak 46.39% responden mengatakan bahwa penanganan tenaga medis
sudah baik, namun 53.61% responden lainnya mengatakan cukup baik. Mengenai
alat kontrasepsi responden yang menyatakan mudah didapat terdapat sebanyak
26.8% responden dan 50.52% responden lainnya menyatakan cukup mudah
didapat. Hal ini tidak jauh berbeda dengan respon nelayan tentang konsultasi KB
sebanyak 23.71% responden menyatakan mudah, 38.14% responden cukup
mudah dan 15.46% responden menyatakan sulit dalam melakukan konsultasi KB
kepada tim medis. Harga obat-obatan yang harus dikeluarkan oleh responden
apabila mengalami sakit terbilang terjangkau bagi 39.18% responden dan 60.82%
responden menyatakan cukup terjangkau.
Berdasarkan penilaian akan kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan
seperti yang ditujukkan pada Tabel 52 77.32% responden menyatakan mudah
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan sedangkan 22.68% responden lain
mengatakan cukup mudah mendapatkan pelayanan kesehatan dapat disajikan pada
Tabel 52.
115

Tabel 52 Kriteria kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan pada rumah


tangga buruh nelayan rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara

Jumlah Nelayan
No Kriteria Presentase (%)
(orang)
1 Mudah (Skor 8-9) 75 77.37
2 Cukup (Skor 6-7) 22 22.68
3 Sulit (Skor 3-5 ) - -
Jumlah 97 100

Status penggunaan bahan berbahaya


Potensi sumberdaya perikanan tangkap yang tersedia di wilayah laut
perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara sangat besar, namun potensi
yang besar tersebut belum dapat dimanfaatkan secara baik oleh nelayan guna
peningkatan taraf hidup mereka, sehingga sumberdaya perikanan yang besar
tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh nelayan dari luar daerah. Sebagai
nelayan lokal, mereka hidup dalam kemiskinan, hal ini disebabkan karena sarana
prasarana penangkapan ikan yang dimiliki oleh nelayan lokal sangat tradisional
dan terbatas, sehingga berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan ikan, dan
dapat menyebabkan hasil tangkapan nelayan menjadi kecil. Oleh karena itu perlu
adanya program pemberdayaan nelayan dengan cara penyediaan modal dan sarana
prasarana penangkapan ikan yang memadai sehingga nelayan dapat
memanfaatkan sumberdaya perikanan yang tersedia secara berkelanjutan untuk
peningkatan pendapatan nelayan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan habitat
terhadap potensi perikanan tangkap pada wilayah pesisir perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara. Hal ini disebabkan nelayan lokal selalu melakukan
kegiatan penangkapan ikan di sekitar pesisir pantai karena kepemilikan sarana-
prasarana penangkapan ikan yang sangat tradisional dan ukuran armada yang
sangat kecil seperti perahu tanpa mesin, sehingga daya jangkauan nelayan sangat
terbatas, dan tidak mampu untuk melakukan penangkapan ikan pada wilayah laut
luas. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu berupaya untuk meningkatkan
kemampuan armada nelayan dari ukuran kecil (tradisional) ke ukuran besar
berupa kapal motor bergros ton, agar dapat menjangkau lautan luas sehingga
dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan sekaligus mengurangi
kerusakanyang terjadi pada wilayah pesisir.
Mencegah terjadinya illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan asing yang
selama ini masih tetap melakukan kegiatan mencuri (penangkapan) ikan
diperairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Kegiatan illegal fishing
oleh nelayan asing, terdapat juga kegiatan penangkapan ikan dengan cara tidak
bertanggung jawab, dimana penggunaan potasium, dinamit (bahan peledak), dan
pestisida yang dilakukan oleh nelayan lokal sehingga dapat mengakibatkan
kerusakan habitat perikanan dan matinya ikan-ikan kecil. Oleh karena itu
masyarakat nelayan lokal dan pemerintahan desa tertentu telah berusaha untuk
mengurangi kegiatan penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab tersebut
dengan cara pengawasan dan pelarangan terhadap nelayan yang melakukan
116

kegiatan terlarang tersebut. Dinas terkait dan aparat kepolisisan juga telah
melakukan kegiatan penyuluhan kepada nelayan agar dapat menghentikan
kegiatan penangkapan ikan dengan cara tidak bertanggung jawab tersebut.
Bom/peledak atau dinamit adalah sejenis alat tangkap tidak ramah
lingkungan yang sudah dilarang oleh pemerintah, namun alat ini secara sembunyi
-sembunyi masih banyak digunakan oleh nelayan pada hampir seluruh wilayah di
Indonesia. Alat ini mulanya diperkenalkan oleh tentara Jepang pada Perang Dunia
II di Filipina. Tentara Jepang menggunakan alat sejenis granat untuk menangkap
ikan. Nelayan lokal meniru penggunaan alat ini karena dirasakan relatif murah,
mudah dan efektif walaupun dengan risiko kecelakaan yang cukup besar.
Berakhirnya PD II, nelayan kesulitan untuk mendapatkan bahan-bahan peledak.
Akhirnya, mereka mencari bahan-bahan yang tersedia secara lokal, seperti
campuran pupuk nitrat dan minyak tanah sebagai bahan dasar.
Beberapa nelayan mengkhususkan untuk menciptakan sumbu ledak.
Pengalaman ini dibawa secara berantai dari Filipina menuju Kalimantan dan
Sulawesi. Sekarang, jenis alat ini sudah menyebar pada hampir seluruh wilayah di
Indonesia. Bom utamanya digunakan untuk menangkap ikan-ikan yang
bergerombol, seperti ikan-ikan pelagis kecil (lemuru, tembang, layang dan selar
atau ekor kuning). Informasi dari nelayan Nusa Tenggara Timur mendapatkan
bahwa alat ini juga bisa digunakan untuk menangkap ikan tongkol dan tuna. Pada
operasi di daerah terumbu karang, bom ditujukan untuk menangkap ikan-ikan
seperti ekor kuning dan beronang. Hasil wawancara dengan nelayan dan
pengamatan di lapangan ternyata sebagian nelayan yang ada di perairan
Kepulauan Kei menggunakan bom untuk menangkap ikan pelagis kecil seperti
ikan kembung dan ikan tongkol.
Ternyata tidak semua barang-barang bekas bisa dijadikan rumpon di dalam
laut. Ban bekas misalnya, dulu yang dipercaya mampu meningkatkan populasi
ikan disuatu wilayah, kini keberadaannya justru berbahaya. Menurut Kepala Pusat
Data, Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Soenan
H. Poernomo. Rumpon dari bahan ban bekas ini ini diduga mengandung racun
dioxin yang dapat menyerang syaraf manusia. Ternyata tidak semua barang-
barang bekas bisa dijadikan rumpon di dalam laut. Ban bekas misalnya, dulu yang
dipercaya mampu meningkatakan populasi ikan disuatu wilayah, kini
keberadaannya justru berbahaya.
Menurut Poernomo (2011) Rumpon dari bahan ban bekas ini diduga
mengandung racun dioxin yang dapat menyerang syaraf manusia.“ Kami sudah
melakukan sosialisasi, supaya tidak membuat rumpon dari ban bekas, sebab
sangat berbahaya. Amerika Serikat saja melarang pembuatan rumpon dari ban
bekas,” tegasnya.
Ban bekas mengandung senyawa dioksin, yaitu 2.3.7,8 toxic strong TCDD
yang membahayakan kesehatan makhluk hidup. Studi Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) itu menyebutkan, senyawa itu mengandung racun yang berbahaya
dan memicu penyebab kanker.
Amerika Serikat, pemakaian rumpon ban bekas gencar dilakukan pada
tahun 1970-an, tapi kini mulai berupaya untuk mengangkatnya kembali dari laut.
tahun 1997 di AS masih ada nelayan yang menggunakan ban sebagai rumpon,
namun mulai tahun 2005 negara ini mulai melakukan pengangkatannya hingga
117

kini. Tidak kurang dari US$ 34 juta untuk mengambil rumpon ban bekas dari laut
Poernomo (2011).
Tingkat bahaya atau risiko yang diterima oleh nelayan dalam
mengoperasikan alat tangkap sangat tergantung pada jenis alat tangkap dan
keterampilan yang dimiliki oleh nelayan. Risiko tingkat bahaya yang dialami oleh
nelayan didasarkan pada dampak yang mungkin diterima, yaitu: (1) Bisa berakibat
kematian pada nelayan; (2) Bisa berakibat cacat permanen pada nelayan; (3)
Hanya bersifat gangguan kesehatan yang bersifat sementara; (4) Aman bagi
nelayan.

Pengaruh terhadap habitat


Perairan Kepuluan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara memiliki
peranan yang sangat besar bagi masyarakat pesisir Kabupaten Maluku Tenggara
karena memiliki kontribusi penting terhadap berbagai aktivitas pembangunan
diantaranya sebagai alur pelayaran, pelabuhan dan daerah penangkapan ikan.
Sebagian masyarakat nelayan memfokuskan segenap aktivitas penangkapannya
diwilayah ini, karena merupakan daerah tangkapan yang cukup produktif.
Disamping itu, Selat Nerong juga dijadikan alur pelayaran yang sangat padat
untuk kapal-kapal yang mengangkut minyak dan kapal-kapal penumpang dari
pulau Kei Kecil ke pulau Kei Besar. Peranan wilayah ini tidak hanya ditinjau dari
satu sektor saja namun berbagai sektor yang dapat dilakukan di wilayah ini.
Kawasan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten maluku Tenggara memiliki luas
sebesar 167 km2 (dengan lebar rata-rata 6 km dan panjang 28 km) (Husnah et al.,
2008).
Selat Nerong terletak berhadapan langsung dengan sebelah Timur pulau Kei
Kecil dan sebelah Barat pulau Kei Besar dan setiap harinya dipengaruhi oleh
pasang surut air laut. Akibat dipengaruhi oleh pasang surut air, maka salinitas
perairan ini berfluktuasi cukup tinggi yaitu 11-24 permil (Husnah et al 2008).
Aktivitas penangkapan di Selat Nerong cukup tinggi terutama pada bulan Januar -
April, dimana saat itu merupakan musim barat. Musim barat hasil tangkapan ikan
didominasi ikan pelagis. Hasil tangkapan ikan pelagis dengan menggunakan
jaring bobo yang dioperasikan pada alat bantu rumpon yang ditempatkan di Selat
Nerong tersebut hasil tangkapan bisa mencapai 200-500 kg/hari/nelayan, sehingga
banyak nelayan yang mengalihkan penangkapan pada ikan pelagis.
Hasil penelitian Jeujanan (2008) menunjukkan bahwa sebagian besar hasil
tangkapan ikan laut dilakukan di kawasan Selat Nerong, penangkapan ini
dilakukan oleh nelayan tradisional. Selanjutnya Tanjaya (2011) mengidentifikasi
perairan Kepulauan Kei Selat Nerong merupakan tempat utama daerah
penangkapan yang cukup produktif di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara. Jika diperkirakan hasil tangkapan ikan di wilayah ini sebesar 25% dari
hasil tangkapan ikan laut maka selama setahun produksi dapat mencapai 35 000
ton/tahun. Tahun 2006 di Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual terjadi
penurunan hasil tangkapan yang berasal dari perairan umum yakni dari 7 535.4
ton pada tahun 2005 menurun menjadi 7 448.6 ton pada tahun 2006 (Dinas
Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual, 2007). Penurunan hasil
tangkapan nelayan di perairan umum juga dialami oleh kabupaten lainnya di
Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual, dengan kisaran 1-3%.
118

Beberapa hasil penelitian di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku


Tenggara dapat ditemukan nelayan mengoperasikan alat penangkapan yang
merusak habitat perairan dan menurunkan hasil penangkapan adalah:
a. Menggunakan racun sianida
Penggunaan racun sianida ini (sodium sianida) yang dilarutkan dalam air
laut banyak digunakan untuk menangkap ikan atau organisme yang hidup di
terumbu karang dalam keadaan hidup. Racun sianida yang sering disebut
sebagai bius. biasanya merupakan cara favorit untuk menangkap ikan hias,
ikan karang yang dimakan (seperti keluarga kerapu dan Napoleon), dan udang
karang (Panulirus spp).
Penangkapan ikan seperti ini melibatkan penyelam langsung atau
menggunakan kompresor yang membawa botol berisi cairan sianida dan
kemudian disemprotkan ke ikan sasaran untuk mengejutkannya. Jumlah yang
memadai, racun ini membuat ikan atau organisme lain yang menjadi sasaran
terbius sehingga para penangkap ikan dengan mudah mengumpulkan ikan
yang pingsan tersebut. Seringkali, ikan dan udang karang yang menjadi target
bersembunyi di dalam terumbu, dan para penangkap ikan ini membongkar
terumbu karang untuk menangkap ikan tersebut.
Cairan sianida yang digunakan untuk menangkap ikan berukuran besar,
biasanya berupa larutan pekat yang dapat mematikan sejumlah organisme
yang hidup di terumbu karang, termasuk ikan-ikan kecil, invertebrata yang
bergerak, dan yang paling parah, racun sianida juga mematikan karang keras.
Racun sianida, bukan saja mencemari ekosistem terumbu karang yang
dapat mematikan organisme yang tidak menjadi sasaran. Terumbu karang
dapat rusak karena dibongkar oleh para penangkap ikan untuk mengambil ikan
yang terbius tersebut di rongga-rongga di dalam terumbu. Selain itu, dalam
jangka waktu yang lama, ekosistem yang terkena racun sianida yang terus
menerus dapat memberikan dampak buruk bagi ikan dan organisme lain dalam
komunitas terumbu karang, juga bagi manusia.
b. Bubu
Alat tangkap bubu adalah perangkap yang terbuat dari anyaman bambu
yang banyak digunakan di seluruh Indonesia. Belakangan ini, bubu kembali
popular karena digunakan untuk penangkapan ikan perdagangan ikan karang
hidup. Meskipun pada dasarnya alat ini tidak merusak, namun pemasangan
dan pengambilannya sering kali merusak terumbu karang. Bubu biasanya
dipasang dan diambil oleh para penangkap ikan dengan cara menyelam
dengan menggunakan kompresor. Dibandingkan dengan penangkapan yang
merusak lainnya, bubu tidak terlalu merusak karena biasanya diletakkan di
dasar lereng terumbu.
Ada pula perangkap yang dipasang dari perahu dan diikat dengan tali
yang dipancangkan. Bubu seperti inilah yang sering merusak terumbu karang.
Hal ini karena bubu dipasangi pemberat yang saat ditenggelamkan dari perahu
menabrak percabangan terumbu karang. Bubu seperti ini terutama merusak
terumbu karang pada saat bubu ditarik oleh tali pemancang untuk
mengangkatnya. Bila penggunaan bubu seperti ini terus meningkat, terutama
untuk menangkap ikan kerapu, kegiatan penangkapan dengan alat bubu akan
menjadi sumber kerusakan terumbu karang di perairan Kepulauan Kai Selat
Nerong Kabuapaten Maluku Tenggara.
119

c. Pukat harimau
Pukat harimau merupakan cara penangkapan yang merusak lainnya.
Pukat harimau merusak terumbu karang, karena biasanya digunakan di dasar
(substrat) yang lunak untuk menjaring udang. Pukat harimau dilarang
digunakan di Indonesia karena jaring/pukat ini dapat merusak hamparan laut
dan menangkap organisme yang bukan sasaran penangkapan (by-catch).
Namun demikian, meskipun kini penangkap ikan dengan pukat harimau jarang
dijumpai, kegiatan ini masih ditemukan, terutama di wilayah perbatasan.
Berdasarkan definisinya, pukat harimau tidak termasuk dalam jenis alat
tangkap ikan yang merusak. Namun demikian alat tangkap ini memberikan
pengaruh yang luar biasa buruk terhadap sumberdaya laut khususnya terumbu
karang, karena kemampuannya mengeruk sumberdaya perikanan tersebut.
Pukat harimau dengan model yang baru, yang dioperasikan di Selat Lembeh
pada tahun 1996 hingga 1997 selama 11 bulan.
Pukat ini menggunakan jerat-jaring yang sangat besar dan menangkap 1
400 ikan pari (manta), 750 marlin, 550 paus, 300 ikan hiu (termasuk hiu paus),
dan 250 lumba-lumba (Pet-Soede dan Erdmann, 30 Oktober 2006. Dampak
penangkapan ikan dengan menggunakan pukat tersebut terhadap kegiatan
ekowisata mulai terasa, karena berkurangnya kelimpahan organisme laut yang
menjadi modal utama industri ekowisata ini.
d. Pukat dasar
Pukat dasar/lampara dianggap sebagai salah satu penyebab berkurangnya
ketersediaan ikan di Indonesia. Hal ini karena pukat dasar yang sering
digunakan untuk menangkap udang, juga .menangkap. ikan dan organisme lain
serta karena mobilitasnya dapat mengeruk dasar laut sehingga menimbulkan
kerusakan ekosistem yang parah. Pukat dasar berinteraksi secara langsung
dengan sedimen dasar yang dapat menyebabkan hilang atau rusaknya yang
organisme hidup tidak bergerak seperti rumput laut dan terumbu karang. Pukat
dasar, dengan kemampuan pengerukkannya, dapat pula membongkar terumbu
karang atau batu dalam ukuran besar. Di dasar yang berpasir atau berlumpur,
pukat ini dapat memicu kekeruhan yang tinggi dan berakibat buruk bagi
kelangsungan hidup terumbu karang. Terhadap jenis (spesies), kerugian
utama yang ditimbulkan pukat dasar adalah tertangkapnya organisme kecil dan
jenis-jenis yang bukan sasaran penangkapan (non-target), yang biasanya
dibuang begitu saja di laut. Dampak terhadap spesies ini dapat dikurangi
dengan menggunakan jaring dengan ukuran tertentu yang dapat mengurangi
peluang tertangkapnya organisme yang berukuran kecil.

Pengaruh terhadap kehidupan nelayan


Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa unit penangkapan yang digunakan
nelayan untuk mengeksploitasikan sumberdaya perikanan pelagis di perairan
Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara adalah jaring bobo,
pancing ulur dan pancing tonda. Alat tangkap jaring bobo, pancing ulur dan
pancing tonda digunakan untuk penangkapan ikan pelagis pada rumpon,
sedangkan gillnet untuk perairan dangkal dan karang. Hal ini belum ada sentuhan
teknologi dalam penggunaan alat tangkap maupun metode penangkapan. Nelayan
selama ini menggunakan cara-cara konvensional untuk menemukan gerombolan
120

ikan maupun operasi penangkapan. Kapal yang digunakan semuanya ukuran


kecil, dengan ukuran panjang antara 16-17 m, lebar 110-120 cm dan tinggi 70-80
cm. Bahan dasar kayu dan fiberglass, atau bahan dasar kayu yang dilapisi
fiberglass. Mesin penggeraknya adalah mesin tempel Yamaha 40 PK, ada juga
yang menggunakan tenaga manusia. Kapal-kapal dengan mesin tempel yang
dipasang pada kapal jaring bobo umumnya lebih besar dari kapal-kapal yang
digunakan untuk pemasangan lampu petromaks pada rumpon dan pengoperasian
alat tangkap pancing tonda dan pancing ulur.
Semua kapal tidak memiliki alat navigasi, karena daerah penangkapan
berada diwilayah pesisir dengan jarak tempuh paling lama 1 jam perjalanan.
Setiap kapal jaring bobo dioperasikan oleh 12-17 orang nelayan sedangkan kapal
rumpon, pancing tonda dan pancing ulur biasanya nelayan 3-4 orang. Semua
kegiatan operasi menggunakan tenaga manusia. Kapal-kapal ini tidak memiliki
palka ikan, namun memiliki kotak pendingin yang diberi es untuk mengawetkan
ikan hasil tangkapan. Alat tangkapan jaring bobo dengan menggunakan alat bantu
rumpon produktivitas yang tinggi per/trip penangkapan sampai mencapai sampai
satu stengah ton sedangkan pancing ulur dan pancing tonda memiliki
produktivitas hasil tangkapan yang rendah dan tidak mencapai satu ton dalam satu
kali trip/penangkapan. Semua hasil tangkapan untuk kepentingan komersial, untuk
memenuhi kebutuhan pasar lokal melalui pedagang pengumpul sedangkan pasar
ekspor melalui kapal-kapal penampung dan perusahan perikanan di Kabupaten
Maluku Tenggara.
Daerah penangkapan ikan pelagis pada alat bantu rumpon menyebar merata
mengelilingi Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara, sehingga
di setiap desa terdapat daerah penangkapan ikan pelagis. Walaupun demikian satu
daerah penangkapan biasanya diklaim menjadi milik desa atau kecamatan
tertentu. Masyarakat tidak bebas menangkap pada semua daerah penangkapan.
Musim penangkapan untuk semua daerah penangkapan adalah berbeda
berdasarkan posisinya. Jazirah Selat Nerong aktivitas penangkapan dengan alat
tangkap jaring bobo berlangsung dari bulan Januari sampai April atau pada awal
musim Barat dan pancaroba pertama mulai bulan Mei-Juli nelayan mengalihkan
penangkapan dengan menggunakan alat tangkap bagan apung, pancing ulur dan
pancing tonda dengan tujuan penangkapan ikan teri, ikan tongkol dan ikan
demersal. Penangkapan ikan di luar Selat Nerong dilakukan pada musim Timur
yaitu bulan Agustus sampai Oktober yang difokuskan di jazirah pulau Dulah,
Toyando dan Kur.
Musim Timur (Juni-Agustus) dengan curah hujan disertai kecepatan angin
yang tinggi dari arah tenggara laut banda mengakibatkan kondisi laut di sebelah
Selatan pulau Kei Kecil sampai Selat Nerong sangat bergelombang dengan
gelombang dapat mencapai 3 m. Kondisi ini mengakibatkan pada bulan-bulan
tersebut aktivitas penangkapan tidak dapat dilakukan. Di sebelah barat (Pulau
Dullah) kondisi lautnya tenang, karena tidak mendapat pengaruh angin saat itu.
Sebaliknya pada musim Barat di jazirah pulau Kei Kecil dan pulau Kei Besar
maupun Selat Nerong tekanan akibat bertiupnya angin utara dan barat rendah
sehingga proses penangkapan dapat berlangsung di Selat Nerong.
Semua ikan hasil tangkapan adalah untuk dipasarkan, terutama jenis-jenis
ikan dengan nilai ekonomis tinggi seperti kembung, selar dan layang. Nelayan
akan memanfaatkan ikan-ikan yang nilai jualnya rendah untuk dikonsumsikan,
121

bahkan waktu-waktu tertentu semua hasil tangkapan dijual dan untuk konsumsi
keluarga mereka membeli ikan-ikan pelagis dengan nilai jual yang lebih rendah.
Hasil tangkapan dijual di pasar lokal di Kota Langgur dan Kota Tual yang ada di
Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual. Hasil tangkap ikan lebih dari satu
ton biasanya di jual di kapal penampung atau perusahan Sinar Jaya yang berada di
Kota Langgur dan Maluku Banda Sejahtera di Kota Tual. Hasil ini menunjukkan
bahwa orientasi menangkap ikan oleh nelayan-nelayan perikanan pelagis di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara adalah untuk kepentingan komersal
bukan untuk konsumsi sehingga dapat melengkapi kebutuhan hidup sehari-hari
maupun memperbaiki perumahan, pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian
mereka bukan lagi termasuk nelayan subsisten atau tergolong nelayan komersal.
Charles (2001), menggolongkan nelayan ke dalam empat tipe yaitu 1)
Nelayan subsisten (subsistence fishery), nelayan yang menangkap ikan hanya
untuk konsumsi sendiri; 2) Nelayan asli (native/indigenous/aboriginal fishers),
yaitu nelayan yang sedikit banyaknya memiliki karakter yang sama dengan
kelompok pertama, namun sebagian hasil tangkapannya untuk dijual; 3) Nelayan
rekreasi (recreational fishers) yaitu orang yang menangkap ikan untuk tujuan
rekreasi atau bersenang-senang; 4) Nelayan komersial (commercial fishers) yaitu
mereka yang menangkap ikan untuk tujuan komersial yang hasil tangkapannya
dipasarkan di pasar lokal maupun ekspor. Nelayan skala kecil menurut UU No 45
Tahun 2009 tentang perikanan adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang
mengunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT).
Sebelumnya Smith (1983) membuat klasifikasi skala usaha perikanan dengan cara
membandingkan perikanan berdasarkan situasi technico-socio-economic nelayan
dan membaginya ke dalam dua golongan besar yaitu nelayan industri dan nelayan
tradisional.
Kesteven (1973) yang diacu dalam Smith (1983) mengelompokkan nelayan
ke dalam tiga kelompok yaitu nelayan industri, artisanal dan subsisten, dimana
nelayan industri dan artisanal berorientasi komersal sedangkan hasil tangkapan
nelayan subsistem biasanya tidak dijual di pasar tetapi lebih mengutamakan
pemenuhan kebutuhan konsumsi sendiri beserta keluarganya atau untuk dijual
secara barter. Berdasarkan pembagian ini, maka Smith (1983) membuat rincian
perbandingan perikanan tradisional dan industri berdasarkan technico-socio-
economic seperti pada Tabel 53.
Mengacu pada berbagai pendapat ahli dan UU No 45 tahun 2009, maka
perikanan pelagis di Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara
dikatagorikan sebagai nelayan skala kecil. Berdasarkan technico-socio-economic
sebagaimana dikemukakan oleh Smith (1983), perikanan pelagis di Kepulauan
Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara dikategorikan sebagai nelayan
artisanal. Selanjutnya dari sisi komersal, sesuai kategori yang disampaikan oleh
Kesteven (1973) dan Charles (2001) maka dapat disimpulkan bahwa semua
nelayan perikana pelagis di Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku
Tenggara dikategorikan sebagai nelayan komersal, karena semua hasil tangkapan
mereka untuk kepentingan komersial, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal
maupun untuk kepentingan ekspor dapat disajikan pada Tabel 53.
122

Tabel 53 Perbandingan situasi technico-socio-economic antara nelayan


tradisional dengan nelayan industri

No Uraian Nelayan Industri Tradisional


Artisanal Subsisten
1 Unit Penangkapan Tepat, dengan divisi Tepat, kecil, Tenaga sendiri
pekerjaan dan spesialisasi dengan atau keluarga,
prospek jelas pekerjaan yang atau grup
tidak terbagi masyarakat
2 Kepemilikan Dikosentrasikan Biasanya dimiliki Tersebar
beberapa oleh nelayan yang diantara
pengusaha, kadang berpengalaman, partisipan-
bukan nelayan. atau nelayan- partisipan
nelayan gabungan.
3 Komitmen waktu Biasanya penuh Seringkali Kebanyakan
waktu merupakan paruh waktu
pekerjaan
sampingan
4 Kapal Bertenaga, dengan Kecil, dengan Tidak ada atau
peralatan yang motor di dalam berbentuk kano
memadai atau motor tempel
kecil.
5 Perlengkapan Buatan mesin atau Sebagian atau Meterial buatan
pemasangan lainnya seluruhnya tangan yang
menggunakan dipasang
material buatan pemiliknya
mesin
6 Sifat pekerjaan Dengan bantuan Bantuan mesin Dioperasikan
mesin yang minim dengan tangan

7 Investasi Tinggi, dengan Rendah; Sangat rendah


proporsi yang besar penghasilan sekali
di luar nelayan nelayan seringkali
diambil dari
pembeli hasil
tangkapan
8 Penangkapan per Besar Menengah Rendah hingga
unit sangat rendah
9 Produktivitas per Besar atau rendah Menengah atau Rendah hingga
orang sangat rendah
10 Pengolahan hasil Diolah menjadi Beberapa Kecil atau tidak
tangkapan tepung ikan atau dikeringkan, ada sama sekali,
untuk bahan diasap, diasinkan semuanya untuk
konsumsi bukan untuk kebutuhan dikonsumsi
untuk manusia manusia
11 Keberadaan Sering kali kaya Golongan Minimal
ekonomi nelayan menengah ke
bawah
12 Kondisi sosial Terpadu Kadang terpisah Masyarakat
yang terisolasi
123

Keamanan hasil tangkapan di sekitar rumpon


Bahaya atau risiko yang diterima oleh nelayan dalam mengoperasikan suatu
alat tangkap secara umum dapat disebabkan oleh 2 faktor yaitu faktor internal
(berhubungan dengan keahlian nelayan) dan faktor eksternal faktor alam dan jenis
alat tangkap yang digunakan (Sarmintohadi 2002).
Kualitas ikan hasil tangkapan sangat ditentukan oleh jenis alat tangkap yang
digunakan, metode penangkapan dan penanganannya. Menentukan tingkatan
kualitas ikan dengan berbagai jenis alat tangkap didasarkan pada kondisi hasil
tangkapan yang teridentifikasi secara morfologis, yaitu:(1) Ikan mati dan busuk;
(2) Ikan mati, segar, cacat fisik; (3) Ikan mati dan segar; (4) Ikan hidup
Tingkat bahaya yang diterima oleh konsumen terhadap produksiyang
dimanfaatkan tergantung dari ikan yang diperoleh dari proses penangkapan.
Apabila dalam proses penangkapan, nelayan menggunakan bahan-bahan beracun
atau bahan-bahan berbahaya lainnya, maka akan berdampak pada tingkat
keamanan konsumsi pada konsumen. Tingkat bahaya yang mungkin dialami oleh
konsumen, antara lain: (1) berpeluang besar menyebabkan kematian pada
konsumen; (2) berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan pada konsumen; (3)
relatif aman bagi konsumen; (4) aman bagi konsumen.
Semua alat tangkap yang legal beroperasi di perairan Kepulauan Kei Selat
Nerong Kabupaten Maluku Tenggara umumnya aman terhadap nelayan (kecuali
yang menggunakan kompresor dan bahan peledak) dan keaneka ragaman hayati.
Hasil wawancara dengan para nelayan terungkap bahwa keamanan terhadap
operator hanya berisiko terhadap alat tangkap yang illegal, seperti penggunaan
bom. Selama nelayan rumpon dan nelayan jaring bobo, pancing tonda, serta
pancing ulur mengoperasikan alat tangkap di sekitar rumpon di perairan
Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara belum pernah terjadi
nelayan menggunakan alat penangkap ikan yang berbahaya terhadap nelayan
seperti bom, sianida. Hal ini jika dilihat dari hasil penangkapan yang diperoleh
nelayan di sekitar perairan penempatan rumpon hasil yang diperoleh masih
bersifat segar dan jauh dari formalin sebagai pengawet karena daerah
pengoperasiaan alat tangkap dan penempatan rumpon tidak jauh dari fishing base,
tingkat kesegaran tetap baik sampai ke pedangang pengumpul, perusahan
perikanan dan pasar lokal.
Selain tingkat kesegaran perlu diperhatikan tingkat keamanan nelayan
rumpon maupun nelayan jaring bobo, pancing tonda serta pancing ulur harus
memperhatikan musim penangkapan karena musim penangkapan sangat
berpengaruh besar terhadap hasil tangkapan maupun keamanan nelayan. Hal
tersebut pernah terjadi pada tahun 2014 pada saat penelitian lapangan bulan
Pebruari nelayan rumpon tidak bisa untuk melakukan pengamatan ikan di sekitar
rumpon karena gelombang tinggi, angin kencang dan arus kuat sampai
menengelamkan perahu milik nelayan dan mesin tempel sampai tenggelam di
dasar perairan dan tidak dapat ditemukan. Hal ini mengakibatkan nelayan yang
ada di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara sampai
sekarang sangat waspada terhadap faktor musim dan apabila ada tanda-tanda
untuk hujan dan angin kecang nelayan tidak melakukan operasi penangkapan pada
rumpon.
Hasil wawancara dari desa-desa nelayan rumpon menggungkapkan bahwa
dari hasil penangkapan yang diperoleh dari rumpon lebih segar dan lebih banyak
124

dan lebih mengguntungkan nelayan. Hasil tangkapan yang diperoleh dari alat
tangkap yang tidak menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapan dari
hasil yang diperoleh lebih sedikit dan kwalitas mutu tidak terjamin membutukan
waktu yang lama baru mendapatkan hasil yang memuaskan. Hal ini jika
dibandingkan dengan alat tangkap jaring bobo dengan menggunakan alat bantu
rumpon sebagai tempat penangkapan ikan pelagis waktu yang diperoleh lebih
singkat dan hasil sangat memuaskan tingkat kesegaran dapat terjamin sampai ke
pasar lokal maupun perusahan dan dapat mengguntungkan nelayan rumpon dan
nelayan jaring bobo.

Potensi konflik stakeholders (antar nelayan)


Konflik merupakan proses dinamis dan dapat dipandang sebagai katalis
positif bagi perubahan. Namun demikian, konflik sering juga dipandang sebagai
hal yang negatif, tetapi pendapan ini tidak seluruhnya benar Budiono et al. (2005).
berpendapat bahwa konflik dapat diartikan negatif jika secara agregasi kelompok
tidak memperoleh manfaat dari adanya konflik (zero-sugame) atau dimana terjadi
deadweight loss sumberdaya sosial sebagai akibat dari “gunus vs butter”.
Bennett et al. (2000) yang diacu dalam Budiono (2005), menyatakan bahwa
konflik sifatnya multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam
suatu hubungan yang kompleks. Lebih lanjut, disebutkan terdapat tiga dimensi
yang mempengaruhi terjadinya konflik, yaitu: aktor, ketersediaan sumberdaya dan
dimensi lingkungan. Menganalisis peranan ketersediaan sumberdaya terjadinya
konflik, Bennett et al (2000) yang diacu dalam Budiono (2005), berpendapat
bahwa interaksi antara sumberdaya yang menjadi konflik dengan ekosistem juga
harus mendapat perhatiaan karena perubahan salah satu sistem dari ekosistem
akan mempengaruhi ekosistem yang lain secara keseluruhan. Schlager et al.
(1992) yang diacu dalam Bodiono (2005), menyebutkan tiga jenis eksternalitas
yang menjadi dilema dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, yaitu:
a. Appropriation externalities
Perhitungan ekonomi, ketika seorang nelayan menangkap ikan dari stok
ikan yang tersedia dilaut, proses tersebut meningkatkan biaya marjinal dari
setiap tambahan ikan yang ditangkapnya sekaligus menurunkan manfaat
marjinal dari setiap tambahan upaya penangkapan. Dengan demikian,
peningkatan biaya pendapatan ikan karena mengecilnya stok ikan di laut tidak
hanya berpengaruh pada nelayan yang menangkap ikan, tetapi juga nelayan
lainnya yang ikut memanfaatkan stok ikan tersebut;
b. Technological externalities
Exsternalities ini mucul ketika para nelayan secara fisik saling
melakukan intervensi di lokasi penangkapan ikan yang pada akhirnya dapat
memicu timbulnya konflik. Tecnological externalities dapat didefenisikan
sebagai terjadinya pelanggaran alat tangkap terhapat alat tangkap lainnya atau
bentuk-bentuk ketersinggungan fisik lainnya yang muncul akibat nelayan
melakukan penangkapan ikan sangat berdekatan.
c. Assignment problems
Assignment problems muncul ketika nelayan menangkap ikan secara
tidak terkoordinasi sehingga tidak mampu mengalokasikan diri mereka secara
efesien pada daerah tangkap tersebut. Permasalahan muncul mengenai
125

siapakah yang memiliki akses ke daerah produktif tersebut dan bagaimana


akses tersebut harus ditetapkan/dibagikan. Kegagalan dalam memecahkan
assignment problems dapat memicu konflik dan meningkatkan biaya produksi.
Pengelolaan perikanan tangkap, terdapat tujuh penyebab konflik seperti
dijelaskan berikut ini Budiono (2005).
Pertama, konflik yang timbul karena prepsepsi politis yang keliru dalam
memahami batas-batas perairan wilayah setelah diperlakukannya otonomi
daerah. Para nelayan menentukan sendiri batas-batasnaya wilayah perairannya.
Presepsi demikian, kelompok-kelompok nelayan yang berasal dari suatu
daerah/kabupaten dilarang melaut di perairan daerah/kabupaten lain.
Konflik jenis ini, biasanya tingkat kencanggihan peralatan tangkap bukan
sebagai faktor utama, faktor utama adalah asal-usul daerah/kabupaten nelayan;
Kedua, konflik yang terjadi karena perebutan daerah/lokasi tangkapan.
Daerah/lokasi demikian sudah diperesepsi oleh nelayan memiliki potensi
perikanan yang cukup banyak. Nelayan-nelayan yang terlibat memiliki tingkat
kualitas peralatan tangkap yang sama dan menangkap jenis sumberdaya perikanan
yang sama, fokus utama konflik adalah perebutan daerah/lokasi penangkapan;
Ketiga, konflik yang terjadi karena perbedaan kapasitas peralatan tangkap
antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang sama. Akibatnya, bisa
mengurangi hasil tangkapan nelayan yang memiliki kapasitas peralatan tangkap
yang lebih rendah;
Keempat, konflik yang terjadi karena perbedaan kualitas peralatan tangkap
antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang berbeda, tetapi pada
daerah penangkapan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan
yang memiliki kualitas peralatan tangkap yang lebih rendah. Hal ini dapat
dicontohkan antara nelayan yang mengoperasikan jaring bergerak dengan nelayan
yang mengoperasikan jaring menetap;
Kelima, konflik yang timbul karena pelanggaran batas wilayah perairan.
Misalnya, perairan pantai diperuntukkan untuk nelayan-nelayan tradisional, tetapi
nelayan-nelayan yang memiliki peralatan tangkap yang lebih canggih menangkap
jenis ikan yang sama di perairan pantai;
Keenam, konflik yang timbul karena operasi perahu sekelompok nelayan
merusak/menerjang peralatan tangkap nelayan lain. Tingkat kualitas peralatan
tanggkap mereka bisa berbeda tetapi menangkap jenis ikan yang sama dan
berbeda dalam lokasi penangkapan yang sama;
Ketujuh, konflik yang timbul karena pelanggaran hak ulayat laut masyarakat
lokal. Hal ini bisa terjadi karena pelenggaran batas-batas perairan milik
masyarakat adat oleh nelayan-nelayan lain atau pengambilan sumberdaya
perikanan di willayah perairan hak ulayat laut yang tidak sesuai dengan norma-
norma lokal, baik dilakukan oleh nelayan lokal, maupun nelayan lain.
Terkait dengan ketujuh konflik yang telah diulaskan maka konflik yang
terjadi di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara adalah konflik
antara nelayan rumpon dan nelayan jaring bobo yang berasal dari pulau Kei Kecil
menempatkan rumpon dan melakukan operasi penangkapan ikan masuk ke
wilayah perairan pulau Kei Besar. Hal ini mengakibatkan terjadi dua kali
pengrusakan alat tangkap dan rumpon yang dimiliki nelayan berasal dari Pulau
Kei Kecil mengoperasikan alat tangkap dan penempatan rumpon di wilayah
perairan Pulau Kei Besar. Hasil wawancara dengan nelayan rumpon dan nelayan
126

jaring bobo mereka mengatakan bahwa memang sudah terjadi pengrusakan alat
tangkap dan rumpon sudah dua kali namun ada jalan keluar untuk mengatasi
masalah tersebut adalah kesepakan dari pemilik alat tangkap dan pihak desa yang
memiliki wilayah perairan.
Konflik antar nelayan adalah salah satu fonemena konflik yang marak
terjadi dalam kurun lima tahun terakhir. Terkait dengan konflik nelayan, identitas
nelayan yang berkonflik sering dikategorikan berdasarkan alat atau teknologi
yang digunakan. Konflik kenelayanan bisa saja terjadi antar nelayan yang
memiliki alat sama. Meskipun benar kesenjangan atau perbedaan teknologi telah
memicu konflik, tetapi isu identitas sosial, dalam hal ini etnisitas dan asal daerah
nelayan menjadi sangat penting untuk diperhitungkan dalam memahami konflik
kenelayanan.
Pertanyaan-pertanyaan pokok diajukan, meliputi (1) peristiwa konflik
nelayan apa saja yang telah terjadi, (2) bagaimana tipologi konfliknya, (3) faktor
identitas sosial (identitas asal kampung dan etnisitas) dalam mempengaruhi
terjadinya konflik, serta (4) bagaimana nelayan menyelesaikan konflik-konflik
yang terjadi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif
di wilayah Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Berdasarkan hasil
penelitian disimpulkan bahwa : pertama, peristiwa konflik yang terjadi di lokasi
penelitian, umumnya dilatarbelakangi oleh tiga aspek yaitu : (a) alat tangkap, (b)
pelanggaran aturan wilayah penangkapan dan penampatan rumpon, dan (c)
dampak penegakan hukum. Kedua, tipologi konflik kenelayanan di Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara didominasi oleh : (a) konflik internal "perang
alat tangkap", (b) konflik eksternal "nelayan tangkap vs alat bantu penangkapan
rumpon", (c) konflik yurisdiksi perikanan "openacces vs 'common property'
berbasis masyarakat" dan (d) konflik mekanisme pengelolaan, terkait penegakan
yang "eksensif (berlebihan) ringan".
Ketiga, pengaruh identitas sosial, (a) asal daerah nelayan terlihat dari aturan
pelarangan yang dibuat nelayan lokal terhadap nelayan pendatang atas perbedaan
asal daerah nelayan "desa" dan "kabupaten", sedangkan (b) pengaruh etnisitas
terkait dengan adanya perbedaan budaya, sifat dan karakter dalam proses
penangkapan nelayan pendatang, yang dianggap mengkhawatirkan oleh nelayan
lokal. Keempat, usaha penyelesaian konflik kenelayanan di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara telah dilakukan oleh berbagai pihak dengan berbagai
pendekatan. Baik melalui pendekatan aparat hukum, pemerintah lokal, tokoh-
tokoh nelayan, dan hubungan kekeluargaan. Akan tetapi, usaha penyelesaian
konflik terkendala oleh berbagai hal seperti: penegakan hukum yang tidak
konsisten, masih kurangnya aturan-aturan antar pengguna sumberdaya, kurangnya
alternatif mata pencaharian dan permodalan, serta lainnya. Oleh karena itu,dalam
rangka penyelesaian konflik kenelayanan di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara, nelayan mengusulkan perlunya penegakan hukum yang konsisten,
bantuan permodalan, pembangunan usaha alternatif mata pencaharian, aturan-
aturan baik di lokasi penangkapan maupun aturan antar nelayan lokal dan
pendatang.
Studi yang dilakukan pada komunitas nelayan yang ada di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara, terlihat bahwa alat tangkap dan alat bantu
penangkapan rumpon, pelanggaran aturan wilayah penangkapan, dampak
penegakan hukum serta masalah yurisdiksi perikanan yang open acces merupakan
127

aspek yang utama dalam konflik masyarakat nelayan. Studi yang dilakukan oleh
peneliti juga terkait dengan alat tangkap, wilayah penangkapan serta masalah
kepemilikan laut yang open acces. Studi yang dilakukan hanya melihat alat
tangkap saja yang menyebabkan konflik sedangkan aspek alat bantu penangkapan
juga dapat memicu konflik selain masalah kepemilikan laut yang masih open
acces.

Pengaruh terhadap keanekaragaman hayati


Perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara memberikan banyak
keuntungan dan kerugian bagi nelayan tradisional. Letak geografis sangat
menguntungkan, mengakibatkan keanekaragaman hayati terbesar di wilayah
tersebut. Keanekaragaman tersebar di berbagai wilayah, daratan maupun lautan.
Lautan merupakan salah satu sumber kekayaan alam tak terbatas yang dimiliki
masyarakat Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Keanekaragaman hayati
di laut lebih sukar diamati dibandingkan keanekaragaman hayati di darat. Laut
yang terbagi-bagi menurut kedalamannya menyimpan banyak misteri yang sampai
saat ini terus diteliti oleh para ilmuwan. Tingginya keanekaragaman hayati dan
persebarannya dilaut tidak luput dari faktor yang mempengaruhinya.
Temperatur, dan salinitas merupakan tiga besar yang penting di laut. Dari
ketiga faktor penting tersebut, faktor yang akan dikaji secara mendalam yakni
faktor suhu. Hukum Toleransi Shelford (Eugene P. Odum), salah satu faktor
pembatas yang mempengaruhi suatu organisme untuk dapat bertahan hidup yakni
faktor panas (suhu). Suhu merupakan parameter yang sangat penting dalam
lingkungan laut, karena memberikan pengaruh langsung maupun tidak langsung
terhadap ekosistem maupun kondisi fisik laut. Menurut Soesono dalam Abd
Rasyid (2010), mengatakan bahwa suhu merupakan salah satu sifat fisika air laut
yang dapat mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan organisme perairan,
selain itu suhu juga sangat berpengaruh terhadap jumlah oksigen yang terlarut di
dalam air. Suhu merupakan parameter oseanografi perairan di Indonesia berkisar
antara 270C-310C Abd Rasyid (2010).
Adanya persebaran suhu yang tidak merata di laut turut mempengaruhi
perkembangan organisme di dalamnya. Salah satu organisme laut yang
perkembangannya sangat dipengaruhi oleh suhu adalah ikan pelagis kecil. Ikan
pelagis kecil merupakan salah satu penghuni laut yang memiliki nilai komersial
tinggi. Perkembangannya, suhu sangat mempengaruhi daya kecepatan berenang
ikan pelagis kecil, perkembanbiakannya, dan ketersediaan sumber makanannya.
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan
organisme di perairan, karena suhu secara langsung maupun tidak langsung turut
mempengaruhi baik aktivitas maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut.
Oleh karena itu tidak heran jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis
organisme laut yang terdapat di berbagai tempat di dunia yang mempunyai
toleransi tertentu terhadap suhu. Ada yang mempunyai toleransi yang besar
terhadap perubahan suhu, disebut bersifat euryterm. Sebaliknya ada pula yang
toleransinya kecil, disebut bersifat stenoterm. Sebagai contoh organisme laut di
daerah sub-tropis dan kutub mampu mentolerir suhu yang rendah, sedangkan yang
hidup di daerah tropis menyukai suhu yang hangat. Suhu optimum dibutuhkan
128

oleh organisme laut untuk pertumbuhannya. Mereka yang berada pada suhu yang
cocok, memiliki selera makan yang lebih baik (Kitagawa. 2006).
Suhu di perairan dapat mempengaruhi kelarutan dari oksigen. Apabila suhu
meningkat maka kelarutan oksigen berkurang. Oksigen terlarut yang biasanya
dihasilkan oleh fitoplankton dan tanaman laut, keberadaannya sangat penting
bagi organisme yang memanfaatkannya untuk kehidupan, antara lain pada proses
respirasi dimana oksigen dibutuhkan untuk pembakaran bahan organik sehingga
terbentuk energi yang diikuti dengan pembentukan CO2 dan H2O. Oksigen
sebagai bahan pernafasan dibutuhkan oleh sel untuk berbagai reaksi metabolisme.
Oleh sebab itu kelangsungan hidup organisme laut ditentukan oleh kemampuan
memperoleh oksigen yang cukup dari lingkungannya. Berkurangnya oksigen
terlarut sudah tentu akan berpengaruh terhadap fisiologi respirasi dan hanya
organisme yang memiliki sistem respirasi yang sesuai dapat bertahan.
Keanekaragaman sumberdaya perairan di Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara dapat diuraikan sebagai sumberadaya dapat pulih (renewable
resources) yaitu sumberdaya hayati laut dengan ekosistem yang menyusunnya
meliputi hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, rumput laut dan
perikanan laut.

Habitat utama/ekosistem pesisir dan laut di perairan Kepulauan Kei


a. Lamun
Komunitas lamun merupakan komponen kunci dalam ekosistem pesisir di
seluruh dunia. Selain nilai secara hakiki tersebut, lamun sebagai penyedia
makanan, sebagai tempat berlindung beberapa jenis ikan dan krustasea komersil
penting. Namun keberadaan komunitas lamun untuk setiap perairan pantai
bervariasi karena diduga oleh perbedaan karakteristik lingkungan perairan
pantainya. Lamun, stasiun pengamatan di perairan Kepulauan Kei, dijumpai enam
spesies lamun diantaranya Halodule pinifolia, Thalassia hemprichii, Halophyla
ovalis, Cymodocea otundata, Enhalus acoroides dan Thalassodendrom ciliatum
seperti yang dapat disajikan pada Tabel 54.

Tabel 54 Jenis-Jenis lamun yang ditemukan pada perairan pantai Kecamatan Kei
Kecil Timur

Total
Frekuensi Persen
No. Jenis Jumlah Kerapatan
Kehadiran Tutupan
Tegakan
1. Halodule pinifolia 2 100 210.00 0.50 65
2. Thalassia hemprichii 468 46.80 0.50 35
3. Halophila ovalis 428 42.80 0.20 15
4. Cymodocea 384 38.40 0.60 10
rotundata
5. Enhalus acoroides 104 10.40 0.20 10
6. Thalassodendrom 48 4.80 0.10 25
ciliatum
129

Kerapatan lamun di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara


berdasarkan hasil perhitungan ditemukan sebesar 253.20 tegakan/m2, dimana
kerapatan tertinggi ditemukan pada jenis Halodule pinifolia dengan nilai
kerapatan sebesar 210.00 tegakan/m2 diikuti oleh jenis Thalassia hemprichii
sebesar 46.80 tegakan/m2, Halophyla ovalis sebesar 42.80 tegakan/m2 ,
Cymodocea rotundata sebesar 38.40 tegakan/m2, Enhalus acoroides sebesar
10.40 tegakan/m2, dan terendah pada jenis Thalassodendrom ciliatum sebesar 4.80
tegakan/m2. Nilai kerapatan jenis yang ada berbanding lurus dengan tingkat
persen tutupan untuk kelima jenis yang ada.

b. Alga
Dunia tumbuh-tumbuhan alga dikenal sebagai tumbuhan talus
(Thallophyta), karena organ-organ berupa akar, batang dan daunnya belum
terdiferensiasi dengan jelas. Alga (jamak) dan alga (tunggal), berasal dari bahasa
latin “algor” yang berarti dingin. Bahasa Yunani alga berasal dari kata “Phycos”.
ilmu yang mempelajari tentang alga disebut fikologi atau algologi. Berdasarkan
ukuran tubuhnya, alga dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu alga yang berukuran
besar (makro alga) dan alga berukuran kecil (mikro alga). Makro alga merupakan
tumbuhan makro fito bentik (besar dan melekat pada substrat di lautan). Menurut
Luning (1990), Indonesia memiliki tidak kurang dari 628 jenis makro alga dari
sekitar 8 000 jenis makro alga yang ada di seluruh dunia. Oleh Smith (1955),
makro alga dibagi menjadi 3 divisi berdasarkan pigmen fotosintesis yang
dimilikinya, yaitu: Chlorophyta, Phaeophyta dan Rhodophyta.
Berdasarkan pengamatan terhadap keragaman jenis di perairan Kepulauam
Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara ditemukan bahwa wilayah ini
cukup memiliki jenis-jenis makro alga yang beragam yaitu sebanyak 11 spesies,
yang dapat diklasifikasikan ke dalam 14 genus, 11 famili, 7 ordo, dan 3 devisi.
Secara keseluruhan spesies yang ditemukan tersebut dapat dikelompokan ke
dalam 3 devisi utama yaitu alga hijau (Chlorophyta) terdiri dari 6 spesies, alga
coklat (Phaeophyta) terdiri dari 3 spesies, dan alga merah (Rhodophyta) yang
terdiri dari 2 spesies. Kehadiran spesies Chlorophyta di perairan Kepulauan Kei
Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara ternyata lebih dominan daripada
spesies-spesies dari devisi lainnya. Semua jenis yang ditemukan, ada jenis-jenis
yang memiliki nilai ekonomis penting yaitu dari genus: Ulva, Caulerpa dan
Gracilaria.

c. Terumbu Karang
Hasil penelitian DKP Malra 2013 melalui analisis data citra satelit serta
pengecekan lapangan, diperoleh luas terumbu karang di perairan pesisir
Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara mencapai 75.46 Km2.
Pengambilan data terumbu karang dilakukan di perairan pesisir Mastur, Raat dan
Danar. Karang batu yang menempati areal terumbu perairan pesisir Kepulauan
Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara sebanyak 99 spesies, termasuk
dalam 40 marga dan 14 suku. Suku karang batu dengan kekayaan spesies
menonjol adalah Acroporidae (32 spesies) dan Faviidae (17 spesies). Sekitar
48,53% dari spesies karang di areal terumbu karang Kabupaten Maluku Tenggara
(204 spesies) bisa ditemukan di terumbu karang Selat Nerong. Terumbu karang di
pesisir pesisir Mastur memiliki kekayaan spesies karang batu relatif lebih tinggi
130

dibanding lokasi Danar dan terutama Raat. (Tabel 55). Spesies karang batu yang
umum ditemukan serta memiliki sebaran luas di perairan pesisir Kecamatan Kei
Kecil Timur adalah Acropora palifera, A. tenuis, A. hyacinthus, A. humilis, A.
microphthalma, Pocillopora verrucora, Stylophora pistillata, Porites lutea, P.
cylindrica, Favia pallida, Favites abdita, Diploastrea heliopora, Fungia repanda,
Lobophyllia corymbossa dan Herpolitha limax. Pada bagian lain, spesies karang
batu dengan sebaran tergolong terbatas atau hanya ditemukan di perairan pesisir
Kecamatan Kei Kecil Timur adalah Seriatopora chaliendrum, Hydnophora exesa
dan Symphyllia radian.
Hasil analisis menunjukkan nilai persen tutupan dasar terumbu oleh
komponen biotik di perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur lebih tinggi
(55.08%) dari komponen abiotik (44.92%). Akan tetapi bila diamati secara
spasial, maka persen tutupan komponen abiotik di perairan pesisir Danar dan Raat
lebih tinggi dari komponen biotik. Sebaliknya, persen tutupan komponen biotik
pada perairan pesisir Mastur sangat tinggi (77.94%) dibanding komponen abiotik
(22.16%). Secara keseluruhan, sumbangan terbesar terhadap persen tutupan
komponen biotik di perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur berasal dari
karang batu (karang hidup) dapat disajikan pada Tabel 55.

Tabel 55 Kekayaan spesies, persen tutupan karang batu dan komponen penyusun
terumbu karang di perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Tutupan Komponen Penyusun Terumbu (%)


Lokasi Jml
Terumbu Jenis Karang Non Fauna Komp.
Acropora Alga
Batu Acropora Lain Abiotik
Matur 65 51.24 25.50 25.74 9.98 16.72 22.16
Raat 48 15.74 2.34 13.40 21.42 7.20 55.64
Danar 59 33.56 18.28 15.28 0.16 9.3 56.98
Kec. KKT 70 33.51 15.37 18.14 10.52 11.07 44.92

Data pada Tabel 55 diatas, nilai persen tutupan karang batu pada kondisi
terumbu karang di perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur termasuk kategori
Rusak (Fair). Akan tetapi sesuai lokasi pengamatan, maka terumbu karang
perairan pesisir Mastur termasuk kategori Baik (Good). Sebaliknya, kondisi
terumbu karang di perairan pesisir Danar berada pada kategori Rusak (Fair) dan
lokasi Raat telah masuk kategori Sangat Rusak (Poor). Hasil analisis menunjukan
sumbangan persen tutupan karang batu bentuk tumbuh Acropora dan Non-
Acropora sama besar terhadap persen tutupan karang batu di perairan pesisir
Mastur. Bagian lain, sumbangan persen tutupan karang batu bentuk tumbuh Non-
Acropora tergolong besar terhadap persen tutupan karang batu lokasi Raat. Selain
itu, sumbangan persen tutupan karang batu bentuk tumbuh Acropora relatif lebih
besar terhadap persen tutupan karang batu di perairan pesisir Danar. Persen
tutupan fauna bentik lain tergolong besar di terumbu karang Raat, dimana karang
lunak (soft coral) memberi sumbangan yang besar, yaitu mencapai 19.56%.
131

Ternyata sumbangan persen tutupan karang batu bentuk tumbuh Non-


Acropora relatif tinggi terhadap persen tutupan karang batu dibanding karang batu
bentuk tumbuh Acropora. Karang batu Non-Acropora bentuk tumbuh karang
masif (CM) memiliki persen tutupan yang tinggi (12.74%) pada areal terumbu
Mastur dan areal terumbu Raat (10.24). Bagian lain, karang batu bentuk tumbuh
Acropora bercabang (ACB) memiliki persen tutupan substrat dasar terumbu yang
tinggi pada lokasi Danar, yaitu sebesar 14.89%. Uraian tentang sumbangan karang
batu menurut bentuk tumbuh koloni terhadap persen tutupan karang batu
menunjukkan sumbangan persen tutupan karang batu bentuk tumbuh Acropora
sangat kecil di perairan pesisir lokasi Raat. Hal ini mengindikasikan karang batu
bentuk tumbuh Acropora telah mengalami kerusakan yang besar. Sesuai
pengamatan lapangan, maka rusaknya karang batu bentuk tumbuh Acropora yang
besar itu akibat tekanan pemanfaatan sumberdaya perikanan terumbu karang serta
penggunaan lahan terumbu karang untuk berbagai kepentingan. Tampak jelas
persen tutupan komponen abiotik yang besar di perairan pesisir Raat itu
didominasi oleh patahan karang mati dari bentuk tumbuh Acropora.

d. Sumberdaya ikan pelagis


Jenis-jenis sumberdaya ikan pelagis kecil ekonomis penting yang terdapat
di Kecamatan Kei Kecil Timur antara lain, ikan teri (Stolephorus spp.), ikan
layang (Decapterus spp.), ikan kembung (Rastrelliger spp.), ikan selar (Selaroides
spp.), ikan tembang (Sardinela spp.), ikan terbang (Cypsilurus spp.) dan lain
sebagainya. Analisa hasil pendeteksian dengan teknik hidroakustik pada 17 titik di
perairan Kecamatan ini menunjukkan bahwa kepadatan ikan pelagis kecil berkisar
dari 813-114.500 individu/km2 atau 0.06-8.59 ton/km2, dengan nilai rata-rata
sebesar 35.022 indivdu/km2 atau 2.63 ton/km2 dapat disajikan pada Tabel 56.

Tabel 56 Kepadatan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Kecamatan Kei


Kecil Timur menurut posisi pengamatan di Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara

Posisi Kepadatan Ikan


Pengamatan
Bujur Timur Lintang Selatan Ind./km2 Ton/km2
1. 132° 44.70’ 5° 40.07’ 25 660 1.92
2. 132° 44.83’ 5° 40.36’ 52 850 3.96
3. 132° 46.57’ 5° 42.01’ 112 200 8.42
4. 132° 48.03’ 5° 43.24’ 19 440 1.46
5. 132° 48.37’ 5° 43.57’ 16 250 1.22
6. 132° 49.74’ 5° 44.84’ 33 870 2.54
7. 132° 49.50’ 5° 46.97’ 49 740 3.73
8. 132° 49.44’ 5° 47.46’ 114 500 8.59
9. 132° 49.34’ 5° 49.39’ 64 690 4.85
10. 132° 49.26’ 5° 50.84’ 1 138 0.09
11. 132° 49.24’ 5° 50.85’ 28 770 2.16
12. 132° 49.44’ 5° 52.54’ 20 390 1.53
13. 132° 48.23’ 5° 54.53’ 27 740 2.08
14. 132° 47.91’ 5° 54.92’ 813 0.06
15. 132° 47.16’ 5° 56.53’ 7 016 0.53
16. 132° 30.06’ 5° 51.41’ 11 250 0.84
17. 132° 30.66’ 5° 49.99’ 9 062 0.68
Rata-rata 35 022 2.63
132

Kecamatan Kei Kecil Timur memiliki perairan seluas 577.26 km2. Luas
perairan ini, biomassa sumberdaya ikan pelagis kecil dikalkulasi sebesar 1 518.20
ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB) sebesar 607.28
ton/tahun.

e. Sumberdaya ikan pelagis besar


Jenis-jenis ikan pelagis besar yang dominan dijumpai di perairan Kecamatan
Kei Kecil Timur adalah ikan madidihang (Thunnus albacares), cakalang
(Katsuwonus pelamis) dan tongkol (Euthynus affinis, Auxis thazard) dan lainnya.
Kepadatan sumberdaya ikan pelagis besar di SWP Laut Banda dan kalkulasi
biomassa dan JTB untuk perairan Kecamatan Kei Kecil Timur, dapat disajikan
pada Tabel 57.

Tabel 57 Kepadatan, biomassa dan jumlah tangkapan yang dibolehkan dari


sumberdaya ikan pelagis besar di perairan Kecamatan Kei Kecil Timur
di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Luas Perairan
Kepadatan Kec. Biomassa JTB
No Jenis Ikan
(ton/km2) Kei Kecil Timur (ton/tahun) (ton/tahun)
(km2)
1. Madidihang 84.06 577.26 48.52 19.41
2. Cakalang 235 577.26 135.66 54.26
3. Tongkol 136 577.26 78.51 31.40

Data pada tabel 57 di atas menunjukkan bahwa ikan cakalang memiliki nilai
JTB tertinggi (54.26 ton/tahun), kemudian diikuti oleh JTB ikan tongkol (31.40
ton/tahun) dan madidihang (19.41 ton/tahun).

f. Sumberdaya ikan demersal


Jenis-jenis sumberdaya ikan demersal ekonomis penting yang terdapat di
Kecamatan Kei Kecil Timur antara lain, samandar, sikuda, lencam, bambangan,
kerapu dan lain-lain dapat disajikan pada Tabel 58.
133

Tabel 58 Kepadatan sumberdaya ikan demersal di perairan Kecamatan Kei Kecil


Timur menurut posisi pengamatan di Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara

Posisi Kepadatan Ikan


Pengamatan Bujur Lintang
Ind./km2 Ton/km2
Timur Selatan
1. 132° 44.83’ 5° 40.36’ 36 690 3.67
2. 132° 46.57’ 5° 42.01’ 39 480 3.95
3. 132° 48.03’ 5° 43.24’ 52 980 5.30
4. 132° 48.37’ 5° 43.57’ 25 610 2.56
5. 132° 49.74’ 5° 44.84’ 10 730 1.07
6. 132° 49.50’ 5° 46.97’ 10 370 1.04
7. 132° 49.44’ 5° 47.46’ 80 990 8.10
8. 132° 49.34’ 5° 49.39’ 73 860 7.39
9. 132° 49.26’ 5° 50.84’ 81 330 8.13
10. 132° 49.24’ 5° 50.85’ 7 677 0.77
11. 132° 49.44’ 5° 52.54’ 4 967 0.50
12. 132° 48.23’ 5° 54.53’ 7 972 0.80
13. 132° 47.91’ 5° 54.92’ 9 272 0.93
14. 132° 47.16’ 5° 56.53’ 1 023 0.10
15. 132° 30.06’ 5° 51.41’ 29 320 2.93
16. 132° 30.66’ 5° 49.99’ 4 906 0.49
17. 132° 32.21’ 5° 48.22’ 45 500 4.55
Rata-rata 30 746 3.07

Kepadatan sumberdaya ikan demersal di perairan ini adalah berkisar dari


0.10-8.13 ton/km2 dengan nilai rata-rata sebesar 3.07ton/km2, sementara wilayah
batimetri 0-200 m seluas 263 km2. Dengan demikian, pada luas wilayah perairan
tersebut biomassa ikan demersal dihitung sebesar 808 ton per tahun dengan JTB
sebesar 323 ton per tahun.

g. Sumberdaya ikan karang


Pengambilan data ikan karang pada perairan karang Kecamatan Kei Kecil
Timur dilakukan pada 4 lokasi pengamatan, yakni di Isso, Raat, Mastur dan
Danar. Perairan pesisir Kecamatan ini memiliki 198 spesies ikan karang dari 92
marga dan 33 suku. Suku ikan karang dengan kelimpahan spesies tinggi pada
areal terumbu karang perairan pesisir Kei Kecil Timur adalah Pomacentridae (40
spesies), Labridae (38 spesies), Chaetodontidae (18 spesies), Scaridae (14 spesies)
dan Acamthuridae (12 spesies). Kelimpahan spesies ikan karang tertinggi berada
di terumbu karang Mastur dan terendah di terumbu karang Danar, demikian juga
kelimpahan taksa pada tingkat marga. Pada tingkat suku, kelimpahan taksa
tertinggi juga dijumpai di terumbu karang Mastur, tetapi terendah di terumbu
karang Raat.
Data yang disajikan pada Tabel 59 juga memperlihatkan bahwa baik secara
keseluruhan maupun berdasarkan lokasi pengamatan, maka jumlah spesies ikan
karang kategori ikan hias lebih tinggi dari jumlah spesies ikan karang kategori
ikan konsumsi. Jumlah spesies ikan karang kategori ikan hias dan ikan konsumsi
134

tertinggi berada di terumbu karang Mastur dan terendah di terumbu karang Danar
dapat disajikan pada Tabel 59.

Tabel 59 Komposisi dan kelimpahan taksa, serta kepadatan ikan karang di


perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara

Loaksi Kekayaan Taksa Ikan Karang Kepadatan (Ind/m2)


Terumbu
Karang IH IK Total Marga Suku IH IK Total
Isso 38 33 71 47 21 0.59 1.99 2.58
Raat 58 35 93 54 20 10.00 5.98 15.98
Mastur 73 50 123 67 26 1.93 1.01 2.94
Danar 36 30 66 44 21 0.39 2.12 2.51
Kei Kecil Timur 116 82 198 92 33 3.23 2.78 6.01
Keterangan: IH (Ikan Hias); IK (Ikan Konsumsi)

Hasil analisis dalam Tabel 59 menunjukkan kepadatan ikan karang di


perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur sebesar 6.0 ind/m2. Kepadatan ikan
karang tertingi berada di terumbu karang Raat dan terendah di terumbu karang
Danar. Berdasarkan kriteria pemanfaatan, maka secara keseluruhan kepadatan
ikan karang kategori ikan hias lebih tinggi dibanding ikan karang kategori ikan
konsumsi, kecuali di Isso dan Danar yang memiliki kepadatan ikan karang
kategori ikan konsumsi lebih tinggi dari ikan hias. Kepadatan ikan konsumsi
tertingi dijumpai di terumbu karang Raat dan terendah di terumbu karang Mastur,
sedangkan kepadatan ikan hias tertingi dijumpai di terumbu karang Raat dan
terendah di terumbu karang Danar dapat disajikan pada Tabel 60.

Tabel 60 Sediaan cadang dan potensi ikan karang di perairan pesisir Kecamatan
Kei Kecil Timur Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Sediaan Cadang (Individu) Potensi (Ton)


Sumberdaya
Ikan Besar Besar
MSY JTB MSY JTB
Sumber Sumber
Ikan Hias 436 694 218 347 174 678 - - -
Ikan Konsumsi 375 662 187 831 150 265 93.92 46.96 37.57
Total 812 356 406 178 324 942 - - -

Hasil analisis dalam Tabel 60 menunjukkan nilai sediaan cadang ikan


karang kategori ikan hias relatif lebih besar dibanding ikan karang kategori ikan
konsumsi di terumbu karang Kecamatan Kei Kecil Timur. Hasil perhitungan
menunjukkan total sediaan cadang sumberdaya ikan karang pada areal terumbu
Kecamatan ini tergolong kecil. Menggunakan konstanta yang dikeluarkan oleh
Badan Pengkajian Stok Ikan Nasional, maka hasil analisis menunjukkan potensi
ikan karang kategori ikan konsumsi di terumbu karang Kecamatan Kei Kecil
Timur tergolong rendah, disertai jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB)
juga termasuk rendah. Dengan demikian, pemanfatan sumberdaya ikan karang di
135

perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur ini memerlukan upaya pengelolaan
yang berkelanjutan.

Pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi


Kawasan perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara memiliki
tingkat konsentrasi keanekaragaman biota laut tertinggi di perairan Maluku,
dengan prosentase 75% dari seluruh jenis terumbu karang di Maluku dan
sedikitnya terdapat 1 320 spesies ikan dengan berbagai jenis. Pemerintah
Kabupaten Maluku Tenggara telah mengidentifikasi perikanan tangkap dan
budidaya sebagai bagian penting dari ekonomi lokal yang perlu dikembangkan
untuk dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
secara berkelanjutan dan juga sebagai salah satu obyek yang perlu diperhatikan
guna menambah sumber-sumber penerimaan kepada daerah dalam rangka
mendukung proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara
bertahap dan berkesinambungan.
Mewujudkan cita-cita dan harapan sebagaimana dikemukakan diatas, serta
memperhatikan semangat otonomi yang diamanatkan dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Maka Bupati Kabupaten
Maluku Tenggara sesuai kewenangannya menjamin pembangunan perikanan
berkelanjutan serta mendukung pengembangan perikanan tangkap dan budidaya,
telah menerbitkan Surat Edaran Bupati Nomor 430/4071/20l0 tanggal 13 Oktober
2010 tentang larangan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak,
bahan-bahan racun, kompresor, jenis muroami, bubu dan jaring hela serta dilarang
menangkap biota lainnya yang dilindungi antara lain ikan hiu, ikan pari, ikan hias,
ikan lumba-lumba (dolphin) dan penyu, termasuk pula dilarang melakukan
kegiatan penangkapan ikan pada daerah wisata bahari dan daerah konservasi yang
telah ditetapkan.
Hasil penelitian yang dilakukan tahun 2014 yang tersebar di desa-desa
wilayah pesisir yang terdapat di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara. Hasil wawancara dan pengamatan langsung pada empat desa di
Kecamatan Kei Kecil yaitu Desa Sathean, Danbuk, Mastur Lama dan Mastur Baru
dan empat desa di Kecamatan Kei Besar yaitu Desa Lerohoilim, Udar, Nerong
dan Desa Ngan alat tangkap yang biasanya digunakan nelayan adalah jaring bobo,
pancing tonda, pancing dasar, bubu dan jaring hela. Hasil tangkapan yang
dihasilkan dari beberapa alat tangkap yang dioperasikan nelayan adalah ikan
pelagis besar, pelagis kecil, ikan demersal dan ikan karang bahkan ikan-ikan yang
dilindungi seperti ikan lumba-lumba, penyu, ikan pari dan ikan hiu beberapa kali
tertangkap dengan alat tangkap jaring bobo, pancing dasar dan pancing tonda
bahkan juga menangkap dengan cara pembiusan maupun tombak. Hal tersebut
sering terjadi karena kurang pengawasan dan sosalisasi tentang aturan-aturan
maupun undang-undang perikanan dari pemerintah daerah Kabupaten Maluku
Tenggara dalam hal ini instansi teknis Dinas Kelautan dan Perikanan. Adapun
jenis-jenis ikan ikan yang dilindungi di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong
dapat dijelaskan sebagai berikut.
136

a. Paus
Berdasarkan hasil penelitian DKP Malra (2013) tentang migrasi paus serta
pengamatan di lapangan menunjukkan setidaknya perairan pesisir dan laut
Kecamatan Kei Kecil Timur dilalui oleh 4 jenis paus, yaitu Balaenoplera borealis
(Sei whale), Balaenoplera musculatus (Blue whale), Balaenoplera physalis (Fin
whale), Physeter catodon (Sperm whale), dan Orcinus orca (Killer whale).
Diduga rute migrasi dari jenis paus biru dan Sei Whale dari samudera Pasifik
menuju samudera Indonesia atau sebaliknya melintasi perairan Laut Banda dan
membelok ke perairan Kabupaten Maluku Tenggara, kemudian tersebar ke
perairan Kecamatan Kei Kecil Timur. Jenis paus pembunuh yang habitat aslinya
di perairan kutub selatan atau perairan sekitar Australia, ditemukan hadir di
perairan pesisir dan laut Kecamatan Kei Kecil Timur pada musim tertentu,
bertepatan dengan kondisi suhu perairan yang agak dingin akibat upwelling di
Laut Banda, dan juga bersamaan dengan musim peningkatan populasi cumi-cumi
serta ikan pelagis kecil di perairan pesisir dan laut Kecamatan Kei Kecil Timur.
Semua jenis paus yang hadir di wilayah perairan pesisir dan laut Kecamatan ini
termasuk mamalia laut yang dilindungi, sehingga kehadirannya di perairan pesisir
dan laut Kecamatan ini sebagai ruang migrasi maupun kepentingan berbagai
aktivitas hidupnya perlu ditata dan selanjutnya dikelola secara baik.

b. Lumba-Lumba
Berdasarkan hasil pengamatan DKP Malra (2013), terdapat lima jenis
lumba-lumba di perairan pesisir dan laut Kecamatan Kei Kecil Timur, yaitu
Globicephala macrorhynchus, Pseudorca crassidens, Delphinus delphis dan D.
capensis (lumba-lumba biasa), serta Tursiops truncatus (lumba-lumba hidung
botol). Jenis lumba-lumba yang umum ditemukan di perairan pesisir dan laut
Kecamatan ini adalah lumba-lumba biasa dan lumba-lumba hidung botol. Kedua
jenis lumba-lumba ini bermigrasi hingga ke perairan dangkal. Semua jenis lumba-
lumba yang menempati perairan pesisir dan laut Kecamatan ini adalah mamalia
laut yang dilindungi, sehingga kebutuhan ruang bagi eksistensinya menjadi
penting dan perlu mendapat perhatian dalam penyusunan rencana pengelolaan
wilayah pesisir dan laut Kecamatan ini.

c. Dugong (Duyung)
Salah satu jenis mamalia laut yang cukup penting dan diketahui hadir di
perairan pesisir yang relatif dangkal adalah Dugong dugon (duyung). Hasil
pengamatan DKP Malra (2013) dan laporan masyarakat yang bermukim di pesisir
menunjukkan Duyung hadir di beberapa bagian perairan pesisir Kecamatan Kei
Kecil Timur. Kehadiran duyung yang terbatas pada beberapa bagian perairan
pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur ini berkaitan dengan kehadiran lamun sebagai
sumber makananya. Hasil penelitian menunjukkan terdapat jenis lamun Halodule
pinifolia, Halophila ovalis dan Cymodecea rotundata yang merupakan sumber
makanan (nutrisi) utama Dugong. Informasi dari masyarakat mengindikasikan
populasi duyung telah menurun akibat intensitas penggunaan padang lamun untuk
berbagai kepentingan cenderung meningkat, sehingga menghambat tujuan migrasi
Duyung untuk aktivitas hidupnya, terutama mencari makan di padang lamun.
Duyung adalah jenis mamalia laut yang dilindungi, sehingga konservasi padang
lamun sebagai habitat utamanya menjadi sangat penting.
137

d. Penyu
Berdasarkan hasil pengamatan DKP Malra 2013 ternyata tiga jenis penyu
menempati perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur, yaitu penyu sisik
(Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu belimbing
(Dermochelys coriacea). Penyu sisik lebih umum ditemukan menempati perairan
pesisir dan laut Kecamatan Kei Kecil Timur dibanding penyu hijau. Selain itu,
penyu belimbing (Dermochelys coriacea) yang tampak di perairan pesisir
Kecamatan ini hanya secara insidetil dalam migrasinya. Fakta lapangan
menunjukkan jenis penyu sisik menyebar di terumbu karang sebagai tempat
mencari makan, dan penyu hijau memanfaatkan padang lamun untuk mencari
makan. Kehadiran penyu belimbing di perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil
Timur bersamaan dengan blooming ubur-ubur yang merupakan sumber makanan
utamanya.
Melalui pengamatan lapangan dan informasi dari nelayan maupun
masyarakat pesisir dengan pendekatan metode PRA, ternyata kehadiran penyu
sisik di perairan pesisir kecamatan Kei Kecil Timur sangat dominan. Jenis-jenis
penyu yang menempati perairan pesisir dan laut Kecamatan ini merupakan reptilia
laut yang dilindungi, karena populasinya di alam telah menurun akibat diburu
untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup dan kepentingan ritual adat. Pada
bagian lain, frekuensi kehadiran penyu di perairan pesisir dan laut Kecamatan ini
telah berkurang seiring menurunnya areal dan kualitas terumbu karang serta
padang lamun akibat tekanan pemanfaatan. Uraian di atas menghendaki adanya
upaya konservasi terhadap sumberdaya penyu beserta habitatnya, serta rehabilitas
habitatnya menjadi sangat penting.

Status keberlanjutan pengelolaan rumpon dimensi sosial


Terkait dengan dimensi sosial ini, analisis MDS dengan mempertimbangkan
beberapa atribut yang berpengaruh menghasilkan indeks keberlanjutan
pengelolaan rumpon pada ikan pelagis di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong
Kabupaten Maluku Tenggara yang kemudian disingkat PENGRUMPON-Sosial.
Atribut-atribut yang dipertimbangkan dalam analisis MDS dari dimensi sosial ini
adalah : (1) tingkat pendidikan nelayan, (2) kemudahan mendapatkan pelayanan
kesehatan, (3) status penggunaan bahan berbahaya, (4) pengaruh terhadap habitat,
(5) pengaruh terhadap kehidupan nelayan, (6) keamanan hasil tangkapan sekitar
rumpon bagi konsumen, (7) potensi konflik stakeholders (antara nelayan), (8)
pengaruh terhadap keanekaragaman hayati, (9) pengaruh terhadap ikan-ikan yang
dilindungi.
Berdasarkan hasil analisis MDS, diketahui nilai indeks keberlanjutan
pengelolaan rumpon pada ikan pelagis pada dimensi sosial (PENGRUMPON-
sosial) adalah 53.92 pada skala keberlanjutan 1-100. Nilai indeks ini menunjukkan
bahwa dari analisis sembilan atribut yang ada, status keberlanjutan pengelolaan
rumpon pada ikan pelagis diperairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten
Maluku Tenggara termasuk katagori “cukup” secara sosial. Menurut Krustal
dalam Jhonson et al (1992), kategori cukup bila nilai indeks berada pada kisaran
51-75. Gambar 23 memperlihatkan hasil analisis MDS yang menunjukkan nilai
indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis di perairan
138

Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara dari dimensi sosial
dapat disajikan pada Gambar 23.

RAPFISH Ordination
60,00
UP
40,00
Nilai Tekanan Terhadap Sumberdaya

20,00

Real Fisheries
0,00 BAD GOOD
References
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00
53,92 Anchors
-20,00

-40,00
DOWN
-60,00
Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan rumpon

Gambar 23 Status keberlanjutan perikanan rumpon pada dimensi sosial di


Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Hasil analisis MDS yang dilakukan, diketahui bahwa nilai indeks


keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis di perairan Kepulauan Kei
Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara dari dimensi sosial, maka dilakukan
analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage yang dilakukan diketahui
bahwa atribut yang sensitif adalah (1) potensi konflik antara nelayan merupakan
nilai sensitif yang paling tinggi dengan skor nilai 3.62; (2) pengaruh terhadap
habitat dengan nilai 2.66; (3) status penggunaan bahan berbaya dengan nilai 2.41;
(4) pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi dengan nilai 1.98;. Secara jelas
untuk atribut yang sangat sensitif terkait dengan dimensi sosial dapat disajikan
pada Gambar 24.
139

pengaruh terhadap ikan ikan yang dilindungi 1,98


Pengaruh terhadap keanekaragaman hayati 0,42
potensi konflik stakeholder (antar nelayan rumpon) 3,62
keamanan hasil tangkapan sekitar rumpon bagi
konsumen 0,92
Atribut

pengaruh terhadap kehidupan nelayan 0,98


pengaruh terhadap habitat 2,66
Status penggunaan bahan berbahaya 2,41
Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan 1,35
Tingkat pendidikan nelayan 1,14

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4

Perubahan Root Square (RMS) Ordinasi Jika Salah Satu Atribut Dihilangkan
(Pada Skala Keberlanjutan 0 - 100)

Gambar 24 Peran atribut dari dimensi sosial yang dinyatakan dalam bentuk
perubahan nilai RMS Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial dapat digambarkan


dengan diagram layang-layang kite diagram dapat disajikan pada Gambar 25.

TEKNOLOGI
100
80 71,57
60
40
62,87 20
EKOLOGI 0 EKONOMI
62,17

53,92

SOSIAL

Gambar 25 Kite diagram keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di


Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

Sembilan atribut pada dimensi sosial yang dianalisis, terdapat empat atribut
yang sensitif dan berpengaruh atau perlu diperhatikan untuk meningkatkan status
keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan
Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara. Atribut atribut yang sensitif
tersebut adalah seperti yang dapat disajikan pada Tabel 61.
140

Tabel 61 Atribut sosial yang sensitif mempengaruh indeks keberlanjutan


pengelolaan rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara

No Dimensi Pengelolaan Atribut yang Sensitif


1 Sosial · Potensi konflik stakeholders antar nelayan
· Pengaruh terhadap habitat
· Status penggunaan bahan berbahaya
· Pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi

Diketahui bahwa apakah hasil analisis MDS pada atribut dimensi sosial
(multidimensional) layak dan menyerupai kondisi sebenarnya kegiatan
pengelolaan rumpon pada ikan pelagis di periran Kepulauan Kei Selat Nerong
Kabupaten Maluku Tenggara maka perlu dilakukan uji terhadap koefisien
diterminasi (R2) dan nilai stress. Bila uji hasil statistik tidak sesuai dengan yang
dipersyaratkan, maka perlu dilakukan pemeriksaan kembali dan penambahan
atribut baru dalam analisis. Adapun hasil uji statistik terhadap koefisien diterima
(R2) dan nilai stress dapat disajikan pada Tabel 62.

Tabel 62 Hasil uji statistik terhadap koefisien determinasi (R2) dan Stress

Hasil Uji
Dimensi Sosial
Stress 14.63
R2 94.65

Tingkat keberlanjutan rumpon pada ikan pelagis di perairan Kepulauan Kei


Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara juga dilakukan uji Monte Carlo, untuk
dapat mengetahui apa hasil penggujian tingkat kepercayaan nilai indeks
keberlanjuatan pengelolaan rumpon baik untuk demensi sosial dengan hasil uji
Monte Carlo dapat disajikan pada Tabel 63.

Tabel 63 Analisis Monte Carlo terkait nilai indeks keberlanjutan

Nilai Indeks Keberlanjutan


Dimensi Pengelolaan
Analisis MDS Analisis Monte Carlo Keterangan
Dimensi sosial 53.92 52.84 Indentik
141

Kesimpulan

1) Konflik yang terjadi di perairan Kepulauan Kei yaitu perebutan daerah


penyebaran rumpon antara nelayan jaring bobo dan nelayan penjaga rumpon
yang memiliki hak ulayat perairan.
2) Secara umum, satus keberlanjutan dimensi sosial terhadap sembilan atribut
yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan 53.92 (cukup berkelanjutan)
namun dalam pengembangannya diperlukan suatu perbaikan dalam
peningkatan status keberlanjutan dari sembilan atribut pengungkit di sisi sosial
ini telah mendekati batas menuju status kurang berkelanjutan.
142

7 PEMBAHASAN UMUM

Rumpon merupakan salah satu alat bantu penangkapan ikan untuk


menangkap ikan pelagis. Penggunaan rumpon dalam kegiatan penangkapan ikan,
dengan menggunakan berbagai alat tangkap telah meningkatkan efektivitas dan
efisiensi penangkapan. Perkembangan penggunaan rumpon yang berlangsung
sangat pesat telah menimbulkan keperdulian yang besar terhadap kelestariaan
sumberdaya. Pengelolaan perikanan rumpon perlu memperhatikan aspek-aspek,
lokasi, ekologi perairan, teknologi penangkapan, sosial dan ekonomi.
Rumpon yang dioperasikan nelayan di perairan Kepulauan Kei Kabupatan
Maluku Tenggara adalah rumpon menetap dan masih bersifat tradisional. Material
yang digunakan sebagian besar masih berasal dari bahan lokal yaitu kayu, bambu,
atap daun rumbia dan atraktor daun kelapa sedangkan mateial yang lain datang
dari luar daerah yaitu drum plastik, tali nylon (PE) dan pemberat cor beton.
Jumlah rumpon pada tahun 2010 meningkat sebanyak 53 unit (24,8%) dan
pada tahun 2014 menurun sebanyak 36 unit (16.8%). Hal ini disebabkan karena
jumlah nelayan penjaga rumpon dari tahun 2010 sampai 2014 juga berfluktuasi
pada tahun 2013 jumlah nelayan penjaga rumpon untuk satu unit rumpon 4 orang
152 (26.16%) dan tahun 2011 jumlah rumpon meningkat 46 unit (21.49%)
sedangkan jumlah nelayan penjaga rumpon menurun karena untuk satu unit
rumpon 2 orang nelayan penjaga rumpon 92 orang (15.83%). Jumlah alat tangkap
jaring bobo dan nelayan jaring bobo dari tahun 2010 sampai 2014 juga
berfluktuasi yaitu tahun 2013 meningkat sebanyak 4 unit (33.3%) sedangkan pada
tahun 2014 menurun hanya 1 unit jaring bobo (8.3%). Tahun 2013 jumlah nelayan
jaring bobo meningkat 80 orang (32.9%) untuk satu trip operasi penangkapan
membutuhkan nelayan 20 orang sedangkan tahun 2014 jumlah nelayan menurun
karena satu trip operasi penangkapan membutuhkan nelayan 17 orang.
Hasil penelitian pada tahun 2014 di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara menunjukkan bahwa jumlah rumpon tidak lagi diimbangi
dengan luas perairan Kepulauan Kei yang difokuskan penangkapan pada Selat
Nerong. Jarak dari fishing base ke fishing ground membuhtukan waktu 30-60
menit, kedalaman perairan penempatan rumpon berkisar antara 150-200 meter.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa luasan area pemasangan rumpon di
perairan Kepulauan Kei Selat Nerong 211.131 km2 dengan luasan area per unit
rumpon 5 864 km2 dengan luas rata-rata jarak antara rumpon berjarak 3.16 mil
laut. Hasil wawancara dan pengamatan langsung terhadap nelayan penjaga
rumpon, jaring bobo, pancing tonda dan pancing ulur mereka menggemukakan
bawah hasil tangkapan semakin menurun dan jumlah hari operasi penangkapan
juga menurun serta mencari daerah penangkapan semakin jauh sehingga
pengeluaran bahan bakar minyak (BBM) semakin tinggi.
Hasil penelitian Yusfiandayani (2004) pada perikanan rumpon di perairan
Pasauran seluas 115.4 km2 memperlihatkan bahwa hasil tangkapan diperoleh dari
sebuah kapal payang tergantung dari jumlah rumpon yang dimiliki kapal tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat jumlah rumpon masih sedikit hasil
tangkapan terus meningkat. Hasil tangkapan bertambah terus sampai suatu ketika
akan mencapai maksimum, yaitu ketika penambahan rumpon tidak lagi diikuti
dengan penambahan jumlah hasil tangkapan melainkan dengan penurunan yang
143

cukup signifikan. Apabila jumlah rumpon terus ditambah, maka hasil tangkapan
cenderung menurun. Hal ini dikarenakan usaha perikanan berbasis rumpon
bersifat open access yang mempunyai ciri khas yaitu perkembangan jumlah
rumpon tidak terkontrol, penangkapan ikan secara de facto berlangsung tanpa ada
yang mengendalikan sehingga nelayan yang ada bebas melakukan penangkapan
ikan baik secara teknologi maupun daerah penangkapan. Oleh karena tidak
terkendalinya penangkapan tersebut, maka penambahan rumpon terus dilakukan
meskipun secara ekonomi sudah tidak memberikan keuntungan lagi.
Apabila pemasangan rumpon diatur oleh sebuah otoritas pengelolaan
perikanan keberadaan rumpon di suatu kawasan akan menunjukkan adanya
aktivitas pengelolaan perikanan. Adanya pengelolaan perikanan ini dapat dilihat
dari kegiatan yang paling sederhana, yaitu pendaftaran atau registrasi rumpon atau
pemilik atau penggunannya. Pemerintah sudah menerbitkan peraturan tentang
penggunaan rumpon ini, yaitu Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
26/PERMEN/2014 yaitu rumpon hanyut dan rumpon menetap dengan jarak
pemasangan rumpon yang satu dengan rumpon yang lain 10 mil laut.
Kegiatan perikanan tangkap di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara lebih didominasi usaha perikanan tangkap skala kecil, karena teknologi
penangkapan yang digunakan masih tergolong sederhana. Secara keseluruhan
jenis kapal penangkap ikan didominasi oleh perahu tanpa motor dan motor tempel
3-5 GT sebesar (80%). Menurut Charles (2001) mengatakan bahwa skala usaha
perikanan dapat dilihat dari berbagai aspek diantaranya berdasarkan ukuran kapal
yang dioperasikan. Armada penangkapan dengan jenis kapal penangkap ikan ini
dapat dikatakan bahwa kegiatan perikanan tangkap di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara sampai saat ini adalah usaha perikanan tangkap
skala kecil dan masih bersifat tradisional.

Aspek keberlanjutan pada dimensi ekologi, teknologi, ekonomi dan sosial

Atribut zona/kawasan pengelolaan rumpon sebagai atribut sensitif, karena


saat ini pemasangan rumpon di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara saat ini belum mempertimbangkan zona/kawasan pengelolaan
rumpon secara ekologi. Penetapan zonasi merupakan sesuatu yang penting karena
zona merupakan ruang yang berdasarkan karakteristik biologi dan potensi
sumberdaya merupakan daya dukung pada satu kesatuan ekosistem. Atribut arus
dan salinitas perairan sebagai atribut sensitif karena penempatan rumpon dengan
parameter fisika dan kimia merupakan daya dukung lingkungan perairan tempat
kehidupan ikan yang berasosiasi dengan rumpon. Apabila daya dukung perairan
terhadap ikan pelagis rendah maka produktivitasnya juga rendah sehingga
mempengaruhi keberlanjutan rumpon yang dipasang. Atribut kedalaman atraktor
rumpon merupakan atribut sensitif karena atraktor merupakan satu komponen
utama rumpon yang berfungsi sebagai alat pengumpul ikan. Menurut Tim
Pengkajian Rumpon Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor (1987),
persyaratan umum dari atraktor adalah (1) mempunyai daya pengumpul yang baik
terhadap ikan, (2) tahan lama, (3) mempunyai bentuk posisi potongan vertikal
dengan arah ke bawah, (4) melindungi ikan-ikan kecil serta (5) terbuat dari bahan
yang kuat dan murah. Atraktor yang banyak digunakan berupa daun-daunan alami
144

seperti daun kelapa, jaring dan kumpulan tali-tamali yang diikatkan bagian rakit
telah berhasil meningkatkan efektivitas rumpon dalam memikat kelompok ikan.
Atribut batas wilayah perairan juga merupakan atribut sensitif karena berkaitan
erat dengan batas wilayah pengelolaan rumpon. Berlakunya Undang-Undang
Otonomi Daerah Nomor. 23 Tahun 2014, terjadi perubahan kewenangan
pengelolaan laut Provinsi yang semula 4-12 mil laut kini menjadi 0-12 mil laut,
pengelolaan perairan yang di lakukan sebelumnya oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota diambil alih oleh pemerintah Provinsi, salah satunya kewenangan
zonasi laut yang dahulu 4-12 mil laut, kini menjadi 0-12 mil laut menjadi
kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pengelolaan perikanan rumpon di
perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara sampai saat ini masih
menggunakan hak ulayat sebagai pengelolaan perikanan rumpon.
Atribut penggunaan bahan bakar minyak (BBM) menjadi atribut sensitif
karena biaya penggunaan bahan bakar minyak untuk penangkapan ikan 50-60%
dari biaya total operasional. Sesuai dengan CCRF (1995) hendaknya
mengkonsumsi bahan bakar minyak rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
operasional yang dikeluarkan untuk satu kali trip melaut membutuhkan biaya
bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 263 000. Penelitian Yeheskel (2015) di
perairan Malalayang Manado biaya bahan bakar minyak (BBM) per trip melaut ke
rumpon sebesar Rp. 175 000 lebih kecil dibandingkan dengan operasional bahan
bakar minyak (BBM) yang digunakan di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara. Atribut sensitif keuntungan nelayan dari penangkapan di
sekitar rumpon dengan nilai teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan
alat bantu rumpon. Secara umum, baik dalam operasi jaringg bobo, pancing tonda
dan pancing ulur dengan sistem operasi one day fishing, yaitu satu trip dilakukan
dalam satu hari. Hasil penelitian Jeujanan 2008 menunjukkan bahwa musim
penangkapan di perairan Kepulauan Kei terbagi 3 yaitu musim puncak/Barat
(Desember-Maret), musim paceklik/peralihan I (April-Juli), musim Timur (Juni-
Agustus) dan musim sedang/peralihan II (September-November). Atribut sensitif
penerapan teknologi ramah lingkungan, melalui selektifitas alat tangkap maka
rasio penangkapan akan tidak melebihi TAC sehingga keuntungan nelayan
menangkap ikan di sekitar rumpon selalu berkelanjutan. Semua atribut sensitif
harus menjadi perhatian berdasarkan dengan CCRF (1995) sehingga dapat
meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan rumpon di periran Kepulauan Kei.
Atribut sensitif jarak rumpon dilakukan dengan mempertimbangkan pula daya
dukung sumber daya ikan dan lingkungannya serta aspek sosial budaya
masyarakat setempat.
Atribut rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon
sebagai atribut sensitif dengan nilai paling besar pada dimensi ekonomi
disebabkan karena dengan pemanfaatan rumpon sebagai alat bantu penangkapan
ikan rasio usaha penangkapan ikan yang bergantung pada rumpon semakin
meningkat. Usaha perikanan jaring bobo, pancing tonda dan pancing ulur layak
dilanjutkan di Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara karena
mempunyai nilai B/C Ratio > 1. Atribut pendapatan nelayan yang memfaatkan
rumpon di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei muncul sebagai atribut sensitif
karena dengan adanya rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan jumlah hasil
tangkapan meningkat. Hal ini juga dapat memberikanan keuntungan yang lebih
besar bagi nelayan jaring bobo pancing tonda dan pancing ulur bahkan satu
145

musim penangkapan yang dilakukan keuntungan dua kali lipat dibandingkan


dengan nelayan yang lain. Atribut nilai produksi muncul sebagai atribut sensitif,
karena di Kabupaten Maluku Tenggara dimasukkan ke dalam WPP 714 (Laut
Banda) sehingga dapat mewakili potensi perikanan tangkap perairan laut
Kepulauan Kei. Produksi perikanan tahun 2014 sebesar 6 712.09 ton dan jumlah
tangkapan diperbolehkan (JTB) dengan nilai produksi 5 369.67 rupiah. Produksi
perikanan tersebut di peroleh dari komoditi-komoditi perikanan seperti ikan
pelagis, ikan demersal dan ikan karang dan non ikan (DKP Maluku Tenggara dan
Kota Tual 2014). Atribut investasi rumpon juga muncul sebagai atribut sensitif
karena salah satu faktor penentu dalam peningkatan usaha perikanan tangkap di
perairan Kepualau Kei. Investasi merupakan modal kerja yang di keluarkan untuk
membangun kapal, alat tangkap, mesin dan alat bantu penangkapan rumpon.
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa untuk membangun satu unit
rumpon di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei sebesar Rp. 13 564 000,. Hasil
penelitian Handayani Boa (2013) menunjukkan bahwa investasi rumpon di
Manggar Baru Balikpapan sebesar Rp. 11 410 000 lebih rendah.
Atribut potensi konflik stakeholders antar nelayan muncul sebgai atribut
sensitif karena adanya kecemburuan sosial antara nelayan yang memanfaatkan
rumpon dengan nelayan yang tidak memanfaatkan rumpon sebagai tempat
pengoperasian alat tangkap sehingga menimbulkan konflik antar nelayan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sudah terjadi 3 (tiga) kali konflik antara
pengusaha rumpon dan nelayan rumpon yang mengklaim terhadap wilayah
penempatan rumpon dan sering kali mereka merusak rumpon serta memutuskan
tali rumpon. Penelitian Bennett dan Neiland (2000) yang diacu dalam Budiono
(2005), menyatakan bahwa konflik sifatnya multidimensional dan umumnya
melibatkan berbagai pihak dalam suatu hubungan yang kompleks. Terdapat tiga
dimensi yang mempengaruhi terjadinya konflik, yaitu: aktor, ketersediaan
sumberdaya dan dimensi lingkungan. Pengaruh terhadap keanekaragaman hayati
merupakan atribut yang paling rendah kontribusinya terhadap indeks
keberlanjutan pengelolaan rumpon di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei. Hal
ini bisa terjadi karena pengoperasian rumpon tidak menggangu dan tidak merusak
habitat keanekaragaman hayati dan tidak dipermasalahkan secara sosial. Atribut
pengaruh terhadap habitat sebagai atribut sensitif karena keberadaan rumpon akan
mempengaruhi habitat sumberdaya ikan apabila ditempatkan tidak sesuai
mengakibatkan kerusakan habitat sumberdaya laut lainnya. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah menganggu aktifitas operasi penangkapan alat tangkap serta
transportasi kapal laut yang ada di perairan Kepulauan Kei. Atribut status
penggunaan bahan berbahaya muncul sebagai atribut sensitif karena seringkali
nelayan menggunakan bahan-bahan beracun dan bom seperti nelayan lokal
menggunakan akar tubah untuk membunuh ikan di wilayah pasang surut terendah
pada bulan Oktober.
Atribut pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi muncul sebagai atribut
sensitif karena saat ini tingkat sosial nelayan rendah sehingga tidak mempedulikan
jenis dan ukuran ikan yang diperbolehkan di tangkap. Hal ini terbukti dengan
banyaknya ikan-ikan yang berukuran kecil serta ikan-ikan dilindungi turut
tertangkap dan tetap dijual.
146

Analisis kebijakan pengelolaan rumpon berkelanjutan di perairan


Kepulauan Kei

Keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei


Kabupaten Maluku Tenggara ditentukan oleh kondisi pengelolaan yang ada saat
ini, pihak yang berkepentingan (aktor), dimensi dan atribut yang mempengaruhi
pengelolaan rumpon, alternatif kebijakan pengelolaan yang ditawarkan serta
strategi implementasi kebijakan yang akan diterapkan.
Hasil kajian pendahuluan di lokasi penelitian ada 4 (empat) pihak yang
berkepentingan yaitu pemerintah, pengusaha, ilmuan dan nelayan. Faktor yang
mempengaruhi pengelolaan perikanan rumpon saat ini, yaitu dimensi ekologi,
teknologi, ekonomi dan sosial. Hasil analisis Multidimensional Scaling (MDS)
pada Sub-Bab sebelumnya telah dikaji status keberlanjutan pengelolaan perikanan
rumpon di perairan Kepulauan Kei yang kemudian menjadi perhatian penting
dalam analisis ini. Berdasarkan analisis akhir dari MDS terkait tingkat
kepentingan berbagai atribut yang sensitif baik dari dimensi ekologi, teknologi,
ekonomi dan sosial diperoleh 16 (enam belas) atribut yang sensitif artinya yang
memberikan kontribusi atau pengungkit terhadap keberlanjutan pengelolaan
perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei. Atribut sensitif ini digunakan untuk
pencapaian dimensi yang dikelompokkan ke dalam empat dimensi pengelolaan
perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei yang telah dianalisis sebelumnya.
Atribut sensitif pengelolaan perikanan rumpon yang berkelanjutan ditempatkan
sebagai alternatif kebijakan yang akan direkomendasikan untuk pengelolaan
perikanan rumpon yang berkelanjutan di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara. Analisis terhadap alternatif kebijakan ini merupakan tahapan
akhir dari analisis terkait penentuan kebijakan terbaik/prioritas dalam pengelolaan
perikanan rumpon yang berkelanjutan untuk mengakomodir pihak yang
berkepentingan dengan dipengaruhi dimensi ekologi, teknologi, ekonomi dan
sosial yang mempunyai kepentingan.
Pengisian kuesioner disampaikan kepada stakeholders yang prominent di
wilayah kajian. Keinginan dan preferensi stakeholder merupakan aspirasi
pemerintah, pengusaha, nelayan, dan ilmuan terhadap kebijakan yang
diinginkannya terkait dengan pengelolaan perikanan rumpon yang berkelanjutan
di Kepulauan Kei, baik untuk kepentingan saat ini maupun di masa yang akan
datang. Penentuan prioritas kebijakan dilakukan dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan agar diperoleh hasil yang partisipatif dan akomodatif
sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat dilaksanakan dan didukung oleh semua
stakeholder. Analisis dilakukan pada penentuan kebijakan dalam pengelolaan
perikanan rumpon yang berkelanjutan di perairan Kepulauan Kei.
Berdasarkan hasil analisis nelayan mempunyai nilai paling besar yang
mempunyai kepentingan utama dalam penentuan kebijakan pengelolaan perikanan
rumpon di perairan Kepulauan Kei. Hal ini menunjukkan bahwa aspirasi nelayan
menjadi fokus perhatian dalam penentuan kebijakan yang akan diterapkan dalam
keberlanjutan perikanan rumpon. Aktor yang menjadi prioritas kedua adalah
pengusaha. Pengusaha merupakan aktor penting dalam tahap implementasi
kegiatan karena investasi rumpon modalnya berasal dari pengusaha, sehingga
keberlanjutan rumpon perlu melibatkan pengusaha dalam tiap tahap kegiatan
mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Oleh karena itu pengusaha
147

dan nelayan merupakan dua aktor yang bermitra dalam pengelolaan rumpon di
perairan Kepulauan Kei. Selain itu, pengusaha juga memegang peranan penting
dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya di lokasi penelitian.
Pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah dan pusat merupakan aktor
prioritas ketiga dalam pengelolaan perikanan rumpon karena memegang otoritas
dalam pengaturan keberlanjutan perikanan rumpon mulai dari perencanaan sampai
dengan evaluasi untuk menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya perikanan
untuk kesejahteraan masyarakat dengan didukung peran aktif ilmuwan dalam
membuat kajian ilmiah.
Hasil analisis rasio kepentingan setiap dimensi yang mempengaruhi
keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei yaitu
dimensi ekologi sebesar 62.87, teknologi sebesar 71.57, ekonomi sebesar 62.17
dan sosial sebesar 53.92. Hal ini merupakan indikator bahwa pada umumnya
stakeholder mementingkan aspek ekonomi karena tujuan dari keberadaan rumpon
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan khususnya nelayan yang memanfaatkan
rumpon dan mendukung usaha yang berkaitan dengan keberadaan rumpon dalam
usaha penangkapan ikan di perairan Kepulauan Kei.
Dimensi ekologi atribut zona/kawasan yang mempunyai kepentingan utama
dibandingkan dengan atribut lainnya. Hal ini disebabkan karena kepentingan
zona/kawasan pengelolaan rumpon berkaitan dengan kelestarian sumberdaya ikan
khususnya bagi ukuran ikan yang tertangkap. Apabila ukuran ikan target
tangkapan tidak diperhatikan maka keberadaan rumpon tidak lestari dan
mengakibatkan ketidak berlanjutan perikanan rumpon dalam hal ini rumpon laut
dangkal karena daya dukung sumberdaya ikan menurun. Namun yang lebih
penting lagi, dengan adanya zona pengelolaan rumpon berbasis hak ulayat maka
rumpon yang dipasang dapat lebih bermanfaat dan dapat mengurangi konflik
sehingga dapat diterima oleh semua yang berkepentingan pemanfaatan lokasi
perairan Kepulauan Kei.
Atribut penggunaan BBM dari dimensi teknologi, merupakan paling utama
dan setelah itu baru atribut keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar
rumpon dalam keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di perairan
Kepulauan Kei. Hal ini disebabkan karena penggunaan BBM yang rendah
merupakan hal yang penting dalam usaha penangkapan ikan di laut tergantung
pada teknologi kapal yang digunakan karena merupakan komponen biaya
operasional yang terbesar. Oleh sebab itu ketersediaan dan penggunaan BBM
sangat penting dalam usaha penangkapan ikan berbasis rumpon. Penggunaan
BBM yang rendah dengan biaya yang terjangkau oleh nelayan merupakan salah
satu kriteria pada pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab (Code of
Conduct for Responsible Fisheries). Keuntungan nelayan dari penangkapan di
sekitar rumpon merupakan hal yang penting dalam pengelolaan usaha perikanan
tangkap karena penggunaan teknologi rumpon dan alat tangkap akan berkaitan
dengan hasil yang diperoleh dalam operasi penangkapan serta dapat
meningkatkan kesejahterahan nelayan.
Dimensi ekonomi yang merupakan prioritas kepentingan utama, diperoleh
atribut nilai B/C ratio penangkapan pada rumpon memiliki kepentingan utama dan
kemudian diikuti oleh atribut pendapatan nelayan penjaga rumpon, atribut nilai
produksi dan nilai investasi rumpon. Nilai B/C ratio karena dengan melihat
perimbangan antara penerimaan dengan pembiyaan yang dikeluarkan untuk
148

mengoperasikan usaha perikanan rumpon. Hal ini disebabkan karena keberadaan


rumpon memang sangat penting bagi nelayan karena dapat meningkatkan
pendapatannya dan meningkatkan pertumbuhan usaha pendukung rumpon serta
keberadaan rumpon akan meningkatkan ketergantungan usaha perikanan lainnya.
Dimensi sosial mempunyai prioritas keempat dalam kepentingan
pengelolaan perikanan rumpon yang berkelanjutan disebabkan keberadaan
rumpon telah memberikan manfaat yang nyata bagi nelayan maupun bagi usaha
yang berkaitan dengan rumpon dan usaha pendukung perikanan tangkap lainnya.
Namun jumlah nelayan yang belum dapat memanfaatkan rumpon jauh lebih besar
dibandingkan dengan yang telah memanfaatkannya dan memicu potensi konflik.
Oleh karena itu diperlukan pengaturan dimensi sosialnya sehingga dapat
meminimalkan konflik. Pentingnya dimensi ekologi dalam pengelolaan rumpon
adalah karena mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan yang menjadi target
penangkapan pada pengusahaan rumpon dan daya dukung perairan sehingga
rumpon dapat berkelanjutan.
Menurut Dahuri (2000) pembangunan kelautan dan perikanan yang
berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan yang diarahkan pada aspek teknis,
ekologis, sosial ekonomi dan hukum. Keterpaduan aspek ini untuk pemanfaatan
sumberdaya perikanan dan kelautan yang harus memperhatikan keharmonisan
spasil (ruang), daya dukung perairan dan pemanfaatan secara berkelanjutan.
Pengaturan ruang laut memang sesuatu yang sudah harus diperlukan dan
merupakan kebutuhan utama dalam pengelolaan perikanan dan kelautan yang
berkelanjutan. Zona merupakan ruang yang penggunaannya disepakati bersama
antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya.
Penetapan zona khususnya di perairan Kepulauan Kei bertujuan sebagai dasar
dalam rangka penataan ruang laut untuk perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan. Adanya zona maka diperoleh zonasi-zonasi yang
mempertimbangkan keselarasan, keserasian keseimbangan dengan daya dukung
ekosistem, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial serta ekonomi
dan keterpaduan pemanfaatan sumberdaya. Hal ini mengingat bahwa di perairan
Kepulauan Kei merupakan perairan yang kaya akan keanekaragaman sumberdaya
laut.
Perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara mempunyai potensi
juga untuk pengembangan sumberdaya laut lainnya yaitu budidaya laut, daerah
penangkapan ikan, lokasi pemijahan penyu dan ikan-ikan tertentu dan juga
merupakan suatu kawasan wisata laut yang indah dan alur perairan kapal-kapal
penangkap ikan yang akan mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Dumar. Hal
ini berarti bahwa dengan keberadaan rumpon sangat memberikan tingkat
keuntungan yang relatif baik bagi nelayan sehingga kecenderungan semakin
banyaknya rumpon yang akan diusahan. Jangka pendek memang memberikan
keuntungan yang nyata bagi nelayan, apalagi ikan hasil tangkapan rumpon
mempunyai harga lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak dirumpon atau
penambahan jumlah rumpon semakin meningkat, sehingga ekploitasi ikan di
rumpon semakin meningkat. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka jangka
panjang dapat menurunkan hasil tangkapan karena kapastian daya dukungnya
dalam hal ini stok sumberdaya ikan menurun sehingga keuntungan yang diperoleh
juga akan menurun.
149

Penetapan zona pengelolaan rumpon, maka kapastian rumpon dapat


ditentukan di suatu zonasi yang merupakan zona dengan mempertimbangkan
kesesuaian ekologi, teknologi, ekonomi dan sosial nelayan dan pelaku usaha
penangkapan ikan di perairan Kepulauan Kei, sehingga daya dukung sumberdaya
ikan target dapat berlanjut dalam jangka panjang. Selain itu dengan penetapan dan
pengaturan zona pengelolaan rumpon di perairan Kepulauan Kei, pelaku usaha
yang berkepentingan harus mentaatinya sehingga akan dapat meminimalisasikan
potensik konflik antar nelayan bahkan antar pengguna kawasan laut lainnya yang
merupakan ancaman yang cukup besar dalam keberlanjutan perikanan rumpon
tersebut. Penetapan zona pengelolaan rumpon dapat dilakukan oleh pemerintah
pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat adat yang
memiliki hak ulayat perairan yang terkait yang harus ditaati oleh pelaku usaha
rumpon di perairan Kepulauan Kei. Kepentingan ilmuan dalam meneliti zona
pengelolaan tersebut sangatlah penting dalam mendukung keberlanjutan rumpon
di perairan Kepulauan Kei. Saat ini, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 26 tahun 2014 tentang Pemanfaatan dan Pemasangan Rumpon
menimbulkan beberapa kerancuan dalam pemasangan rumpon. Pada Keputusan
ini, bahwa belum diatur secara jelas penetapan zona pemasangan rumpon, hanya
lebih mengatur kewenangan pemasangan rumpon dan pemeberian ijin.
Selanjutnya pada keputusan tersebut diatur bahwa pemasangan rumpon
mempunyai jarak minimal 10 mil antar rumpon yang lainnya sedangkan
pemasangan rumpon di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong yaitu 3.16 mil
kurang dari 10 mil. Hal lain yang harus diperhatikan bahwa lebar Selat Nerong
kurang dari 10 mil apabila di sesuaikan dengan aturan tersebut maka jumlah
rumpon hanya mencapai 5 unit sedangkan jumlah rumpon saat ini sebanyak 36
unit. Perlu diperhatikan pula bahwa pengelolaan rumpon di perairan Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara saat ini masih menggunkan hak ulayat sebagai
zona pengelolaan perikanan rumpon.

Strategi implementasi pengelolaan rumpon berkelanjutan di perairan


Kepulauan Kei

Berdasarkan analisis kebijakan, penetapan zona pengelolaan rumpon di


perairan Kepualaun Kei Kabupaten Maluku Tenggara, dapat direkomendasikan
sebagai prioritas pertama kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan,
maka diperlukan strategi implementasinya yaitu :

1. Pemerintah dalam hal ini pusat dan daerah sebagai regulator menyediakan
kebijakan penetapan zona pengelolaan rumpon di perairan Kepulauan Kei
termasuk perairan Selat Nerong. Perlu adanya pengaturan kembali bentuk
pengelolaan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei karena saat ini
jumlah rumpon yang ditempatkan di Selat Nerong sebanyak 36 unit. Hasil
kajian ilmiah terhadap luasan perairan Selat Nerong 542.00 km2 apabila
dikaitkan dengan Peraturan Menteri No.26/PERMEN/2014 dari jarak antar
rumpon minimal 10 mil maka rumpon yang ditempatkan di Selat Nerong hanya
sebanyak 5 unit rumpon dan pengelolaan rumpon selama ini masih
menggunakan hak ulayat perairan.
150

2. Permerintah pusat, daerah dan kepala desa serta para pengusaha yang memiliki
hak ulayat perairan perlu adanya kesepakan terhadap pengelolaan rumpon di
perairan Kepulauan Kei. Keadaan eksisting di perairan Kepulauan Kei Selat
Nerong dengan jumlah rumpon 36 unit rumpon yang dimiliki pengusaha
rumpon, dapat mempertimbangkan kembali dengan solusi yang ditawarkan
yaitu 12 unit rumpon yang disiapkan oleh pengusaha rumpon dan dapat
disepakati oleh 4 desa yang memiliki hak ulayat perairan dengan ketentuan
setiap desa mengelola 3 unit rumpon dan memberi kesempatan kepada jaring
bobo untuk dapat mengoperasikan pada setiap rumpon, nelayan penjaga
rumpon harus berasal dari 4 desa tersebut.
3. Perlu adanya pencatatan ukuran ikan hasil tangkapan yang diperoleh pada
setiap alat tangkap yang dioperasikan pada rumpon sehingga dapat mengontrol
ukuran ikan yang tertangkap. Apabila ukuran ikan yang tertangkap dominan
ukuran kecil maka perlu adannya penutupan penangkapan pada waktu tertentu
dengan mempertimbangkan musim penangkapan ikan pelagis.
4. Perlu adanya pengelolaan terhadap ikan pelagis di perairan selat dan teluk serta
daerah kepulauan sehingga tetap menjaga tingkat keberlanjutan bagi generasi
yang akan datang.
5. Monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan rumpon monitoring dilakukan
oleh pemerintah untuk memastikan rumpon yang dipasang berada pada zona
yang telah ditetapkan, sedangkan evaluasi dilakukan untuk mengetahui
kelestarian sumberdaya ikan yang ditangkap di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara.
6. Pembinaan oleh pemerintah terhadap nelayan pemanfaatan rumpon di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Agar keberadaan rumpon dapat
berlanjut maka perlu dilakukan pembinaan terhadap pengelolaan rumpon
tersebut.
151

8 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kesepakatan berbasis hak ulayat mendukung keberlanjutan perikanan rumpon


di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara, dengan tetap
memperhatikan peraturan yang relevan.
2. Secara keseluruhan, pengelolaan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei
ditinjau dari dimensi ekologi, teknologi, ekonomi dan sosial menunjukkan
status cukup berkelanjutan.

Saran

1. Diperlukan penelitian secara ilmiah tentang zona pengelolaan rumpon


berdasarkan daya dukung dimensi ekologi, teknologi, ekonomi dan sosial
sehingga dapat direkomendasikan penetapan zona pengelolaan rumpon dan
kapasitas penangkapan ikan dengan rumpon di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara.
2. Aturan dan kebijakan pemerintah saat ini tentang pemanfaatan rumpon harus
mempertimbangkan kondisi wilayah perairan apakah di pesisir atau di daerah
lepas pantai > 12 mil.
152

DAFTAR PUSTAKA

Arifin T. 2008. Akuntablitas dan Keberlanjutan pengelolaan Kawasan Terumbu


Karang di Selat Lembah, Kota Bitung. Disertasi SPS-IPB. Bogor.
Arimoto T. 2000. Research and Education System of Fishing Technology in
Japan. TUF-JSPS International Project. Vol. 8. March 2000. Proceeding the
3 rd JSPS International Seminar on Fisheries sciences in Tropical Area
Sustainable Fishing Technology in Asia Towards the 21 st Century. Tokyo
University of Fisheries. p 32-37.
Atmaja SB, Nugroho D, Suwarso T, Hariati, Mahisworo. 2003. Pengkajian Stok
Ikan di WPP.Laut Jawa. Prosiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut 2003.
(WPP Samudra Hindia; Laut Arafura; Laut Cina Selatan dan Laut Jawa).
Jakarta. Pusat Riset Perikanan.
Barus HR. 1982. Perikanan Rumpon di Sulawesi Tengah. Laporan Penelitian
Perikanan Laut. No. 23 Tahun 1982.
Barani HM. 2005. Profil Pendapatan Usaha Penangkapan Berdasarkan Jenis Alat
Tangkap di Perairan Sulawesi Selatan Bagian Selatan. Fakultas Perikanan
dan Kelautan, IPB. Buletin PSP. 14(2).
Baskoro MS. 2006. Alat Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Di dalam:
Sondita MFA dan Solihin I, Editor. Kumpulan Pemikiran tentang Teknologi
Penangkapan yang bertanggungjawab. Kenangan Purnabakti Prof. Dr. Ir.
Daniel R. Monintja. Depertemen Pemanfaatan Sumberdaya Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor 2006. Hal 7 – 18.
Bennet 2000. Manajemen Sumberdaya Manusia, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen
Jakarta.
Besweni 2009. Kebijakan Pengelolaan yang Berkelanjutan di Barat Daya Perairan
Pelabuhan Ratu.
Budi 2008. Teori Belajar (Inisiasi PKN).
Budiono A. 2005. Keefektifan Pengelolaan Konflik pada Perikanan Tangkapdi
Perairan Selatan Jawa Timur. PPS IPB. Bogor.
Cahyono BT. 1995. Manajemen Strategi Pemasaran. Sekolah Tinggi Ilmu
ekonomi IPWI Program Magister Manajemen. Badan Penerbit IPWI
Jakarta.
Cayre P. 1991. Behaviour Of Yellowfin (Thunnus albacares) and Skipjack Tuna
(Katsuwonus pelamis) around FADs as Determineted by Sonic Tagging
Symposium On Artificial Reef and Fish Agregating Devices as Tools for the
Management and Enhancement of Marine Fishery Resourse. Colombo, Sri
Lanka, 14-17 May 1990. 41.
Cayre P, J Chabanne. 1986. Marquage acoustigue et comportment de thons
tropicaux (albacore: Thunnus albacares, es listao: Katsuwonus pelamis) au
vosinage d’un dispositif concentrateur de poisons. Oceanogr. Trop. 21 :
167-183.
Charles AT. 2001. Sustainable Fishery System. Saint Mary,s University Halifax,
Nova Scotia Canada.
Clark J. 1974. Coastal Ecosystems, Macmillan Publishing Clone, New York.
Clark JR. 1992. Integrated Management of Coastal Zones. FAO Fisheries
Technical Paper No 327. Pome. Italy. 60 p.
153

Cochrane MA, Caurance WF. 2000. Fire as a large-scole edge effect in


Amazonian Forests. Jounal of Tropical Ecology 18 (03) 11-25.
Dagorn LE, Josse P, Bach. 2000. Individual differences in horizontal movement
of yellowfin tuna in near shore areas in french polynesia, determined using
ultrasonic telemetry. Aquat Living Resour. 13: 193–202.
Dahuri R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan
Rakyat. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia (LISPI):
Jakarta. 165 hal.
Dahuri RJ, Rais SP, Ginting, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradya Paramita. Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan 2008. Perencanaan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Permen No. Per.16/Men/2008. Jakarta.
Djatikusumo EW. 1977. Biologi Ikan Ekonomis Penting. Akademi Usaha
Perikanan. Jakarta. 30-32 hal.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara. 2013. Kajian Potensi
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Tahun.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara. 2014. Laporan
Tahunan Statistik Perikanan Tahun.
Ditjen KP3K. 2007. Pedoman Penyusunan Rencana Zonasi Kawasan Pesisir dan
Laut. Edisi ke II. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1996. Buku petunjuk Pelaksanaan Stuktur
Organisasi dan Manajemen Pangkapalan pendaratan Ikan (PPI).
DirektoratBina Prasarana. Jakarta.
Douvere F, C Ehler. 2009. Marine Spatial Planning: A Step-by-Step Approach
Toward Ecosystem-based Management. IOC Manual and Guides No. 53,
ICAM Dossier No. 6. Intergovern mental Oceano-graphic Commission and
Man and the Biosphere Programme. Paris: UNESCO. 99 hlm.
Evans JR. 1991. Creative thinking in the decision and management sciences.
Cincinati: South-Western Publishing Co.
Fauzi A. 2005. Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan [paper]. Tidak
dipublikasikan. Institut Pertanian Bogor. 27 hlm.
Fauzi A. 2010. Ekonomi Perikanan. Teori Kebijakan dan Pengelolaan. Penerbit
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
FAO 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome: Food and
Agriculture Organization of the United Nations; 1995.
Gaspersz V. 1992. Analisis Sistem Terapan Berdasarkan Pendakatan Teknik
Industri. Tarsito Press. Bandung.
Gunarso W. 1985. Tingkah Laku Ikan. Diktat Kuliah. Jurusan Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor (tidak
dipublikasikan). Bogor.
Haluan J, Nurani TW. 1988. Penerapan metoda skoring dalam penelitian
teknologi penangkapan ikan yang sesuai untuk dikembangkan di suatu
wilayah perairan. Fakultas Perikanan, IPB. Bulletin PSP. 2(1).
Hanley ND, Spash C. 1993. Cost-Benefic Analysis and the Environment. Edward
Elgar,Cheltenham, UK.
Hanaf. 1994. Mengenali Hak Ulayat dan Hak-Hak Perorangan Masyarakat Adat.
Majalah Kehutanan. MKI Edisi 10 Tahun 1993/1994. Biro Humas
Departemen Kehutanan. Jakarta.
154

Handayani Boa. 2013. Studi Pendapatan Penjala Rumpon di Manggar Baru


Balikpapan. Hal 82.
Hilborn R, Medley. 1989. Tuna Purse Seine Fishing with Fish Aggregating
Devices (FADs) : Model of Tuna FADs Interaction Canadian Jounal Fish
Aguatic. Sei. 46 : 28-32.
Holland KN, Brill RW, Chang RKC. 1990. Horizontal and vertical movements of
yellowfin and bigeye tuna associated with fish aggregating devices. Fish.
Bull., U.S. 88,493-507.
Husnah DWH, Tjahjo A, Nastiti D, Oktaviani S.H, Nasution & Sulistiono. 2008.
Status Keanekaragaman Hayati Sumberdaya Perikanan Perairan Umum di
Sulawesi. Balai Riset Perairan Umum. 140 p.
Ilahude AG, AL Gordon. 1996. Thermocline Stratification within the Indonesia
Seas. J. Geophys. Res. 101:12.401-12.409.
Imron M, MS Baskoro. 2006. Rekayasa Teknik dan Quality Control (Kapal, Api
dan Rumpon) untuk Laut Dalam, Dalam Rangka Akselerasi Pembangunan
Perikanan Tangkap di Pantai Selatan Jawa Barat. Bogor: Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK IPB, dan Dinas Perikanan
Propinsi Jawa Barat.
Jeujanan B. 2008. Efektivitas Pemanfaatan Rumpon dalam Operasi Penangkapan
Ikan di Perairan Maluku Tenggara Tesis (tidak dipublikasikan). Bogor.
Program Pascasarjana Institut pertanian Bogor. 76 hal.
Johnson RA, Wichern DW. 1992. Applied Multivariate. Analysis, Third Edition,
Prentice Hall Inc, New Jersey. Montgomery.
Jusuf G. 1999. The Indonesian Fishery Policy. Proceedings of The 3rd JSPS
International Seminar on Fisheries Science in Tropical Area. Bali Island–
Indonesia, 19-21 August 1999.
Kadariah 1978. Evaluasi Proyek. Analisis Ekonomi. Edisi ke dua. Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisal Of Fisheries (Rapfish) project. Rapfish
Software Description. University of british Columbia.
Kavanagh P, TJ Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel Software for
Rapfish: A Technigue for the Rapid Appraisal of Fisheries Status. Fisheries
Centre Research Reports 12 (12). University of British Columbia,
Vancouver, Canada.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1980. Tentang
Penghapusan Jaring Trawl.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2010. Tentang Penetapan Kawasan Minapolitan.
Kesteven GL. 1973. Manual of Fisheries Science. Part I. An Introduction of
Fisheries Sceince. FAO Fisheries Technical Paper. No. 118. Rome. 43 hal.
Kleiber P, J Hampton. 1994. Modelling effects ofF ADs and islands on movement
of skipjack tuna (Katsuwonus pelamis): estimating parameters from tagging
data. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 51: 2642–2653.
Kinseng RA. 2011. Konflik Kelas Nelayan di Indonesia. Tinjauan Kasus
Balikpapan. Penerbit IPB Pres 2011. 179 hal.
Kitagawa S. 2006. Inhibitory Effect of Polyphenols on P-Glycoprotein-Mediated
Transport. Biol, Pharm, Bull, 29: 1-6.
155

Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan. Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya


Alam. Penerbit LKIS Yokyakarta:188.
Kuswadi. 2007. Analisis Keekonomian Proyek, PT.Andi, Yogyakarta.
Laevastu T. Hayes ML. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. England
(GB). Fishing News Books. Ltd. 199 p.
Laffoley D. 1995. The management of natural coastal carbon sinks. (G.
Grimsditch, Ed.) Gland, Switzerland: IUCN.
Laila Noor. 2009. “Pengaruh Pendekatan CTL (Contextual Teaching and
Learning) terhadap hasil belajar matematika”. Cakrawala Pendidikan.
Volume XXVIII Nomor 3.
Luasunaung A. 1999. Perikanan “Soma Pajeko” dengan Rumpon : Interaksi
antara Ikan Malalugis Biru (Decapterus macaellus) dan Rumpon di Perairan
Sekitar Molibagu, Teluk Tomini, Sulawesi Utara. Tesis Magister Program
Pancaserjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hal. 16-47 (tdak
dipublikasikan).
Luning K. 1990. Seaweeds, Their Environment, Biogeography and
Ecophysiology. A Wiley Interscoemce Publication, John Wiley and Sons
Inc., Newyork.
Mantjoro. 1996. Ilmu Ekonomi Bisnis Kelautan. Laboratorium Ekonomi dan
Bisnis Perikanan Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi. Seri
Dokumentasi dan Publikasi Ilmiah, Dharma Pendidikan.
Martasuganda S. 2002. Jaring insang (gillnet). Bogor: Jurusan Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. 67 hlm.
Martasuganda S. 2008. Rumpon Rumah Pondokan Ikan ( Fish Aggregation
Device). Hal 45.
Martosubroto PN, Naamin BB, A Malik. 1989. Potensi dan Penyebaran
Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Ditjen Perikanan, puslitbang
Perikanan dan Puslitbang Oseanologi.
Merta IGS, T Suhendrata. 1991. Preferensi Makanan Ikan Cakalang, Katsuwonus
pelamis di Peraiaran Sorong. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 440.
Monintja RD. 1987. Laporan Akhir Survey Lokasi dan Desain Rumpon di
PeraranTernate, Tidore, Bacan, dan Sekitarnya (tidak dipublikasikan).
Bogor: Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan
Ilmu Kelautan,Institut Pertanian Bogor.
Monintja DR. 1993. Study on the Develoment of Rumpon as Fish Aggregating
Devices (FADs). Maritek, Bulletin ITK, FPIK-IPB, 3(2) : 137 p.
Monintja DR. 1993. Pengelolaan Rumpon Laut Dalam. Diktat Kuliah Depertemen
PSP IPB. Bogor.
Monintja DR. 1999. Prosiding Pelatihan untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Ambon: Hal 45-57
Monintja DR, Mathews CP 1999. The Skipjack Fishery in Eastern Indonesia:
Distingguishing the Effects of Increasing Effort and Deploying Rumpon
FAD on the stock. Dalam Jean-Yves Le Gall, Patrice Cayre, Marc Taguet
(editor), Phecche Thoniere et Dispositifs de Concentration de Poissons.
Colloque Caraibe-Mainique, Trois-Ilets, 15-19 Ocober 1999, hal. 435-448.
Monintja DR. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan
Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.Pusat
156

Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.Bogor. 156


hal.
Mukaffi Z. 2008. Kemiskinan Nelayan Bagaimana Solusinya.
Mukaffi 2009. Studi Komparasi Semangat Belajar Antar Siswa Program IPA
Dengan Program IPS, Sumenep: Program PAI STKA.
Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Cofish Project.
Jakarta.
Murdianto B. 2006. Looking PSP Another Way. Di dalam: Sondita MFA dan
Solihin I. Editor. Kumpulan Pemikiran tentang Teknologi Penangkapan
yang bertanggungjawab. Kenangan Purnabakti Prof. Dr. Ir. Daniel R.
Monintja. Depertemen Pemanfaatan Sumberdaya Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor 2006. Hal7- 18.
Mustaruddin 2012. Pengembangan perikanan tangkap yang bersinergi dengan
aspek lingkungan dan sosial ekonomi: studi kasus di perairan Kabupaten
Banyuwangi. Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan 1(1): 17 – 29.
Myers RA, Worm B. 2003. Rapid worldwide depletion of predatory fish
communities. NATURE VOL 423 15 MAY 2003 www.nature.com/nature.
Naamin N. 1987. Perikanan Laut di Indonesia : Prospek dan Problema
Pengembangan Sumberdaya Perikanan Laut. Seminar Laut Nasional II,
Jakarta.
Nanlohy A. 2013. Evaluasi Alat Tangkap Ikan Pelagis yang Ramah Lingkungan
di Perairan Maluku dengan Menggunakan Prinsip CCRF (Code of Conduct
for Responsible Fisheries).
Nurhakim SB, Sadhotomo, M Potier. 1995. Composite model on small pelagic
resources. In Potier & S. Nurhakim (eds): Biodynex. Seminar Biology,
Dynamics, and Exploitation of small pelagic in Java Sea. Jakarta, 21 until
25 March 1994. AARD/EEC/ORSTOM. 145-153.
Nurhayati 2002. Karakteristik hodrografi dan Arus di Perairan Selat Malaka.
Didalam: Ruyitno, Mochtar M dan Supangkat I, editor. Perairan Indonesia
Oseonologi, biologi dan Lingkungan. Pusat Penelitian Oseanologi LIPI
2002. Jakarta.
Nybakken W. 1982. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemakan oleh
HM. Eidman, Koesbiono, M.Sc., Dietriech GB. Malikkusworo Hutomo dan
Skristinono Sukarjo, 1992, Marine Biology and Ecologikal Approach, First
Edition. Penerbit PT.Gramedia Pusaka Utama, Jakarta. Hal. 36-56.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Per.02/Men/2009. Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi
Perairan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26/PERMEN/2014. Tentang
Pemasangan dan pemanfaatan Rumpon.
Pitcher TJ, Paul JB Hart. 1982. Fisheries Ekology The Avi Publishing Company,
Inc. Westport. Connectilut. 414 hlm.
Pollnac RB, Sondita F. Crawford BR. Manjoro E. 1998. Baseline assessment of
socioeconomic aspects of resource use in Bentenan and Tumbak. Coastal
Resources Management Project – Indonesia, Coastal Resources Center –
University of Rhode Island, USA.
Preston TR, MB Willis. 1982. Intensif Beef Production. The Second Ed.
Pergamon Press,Oxford-New York-Toronto-Sydney-Paris- Frankfurt.
157

Primyastanto 2011. Feasibility Study Usaha Perikanan (Sebagai Aplikasi dari


Teori Studi Kelayakan Usaha Perikanan). Universitas Brawijaya Press.
Malang.
Purbayanto A. 1999. Behavioral Studies For Improving Survival of Fish in Mesh
Selectivityof Sweepin Trammel Net. Graduate School of Fisheries, Tokyo
University of Fisheries. 217p.
Purbayanto AM, Riyanto ADP, Fitri. 2010. Fisiologi dan Tingkah Laku Ikan Pada
Perikanan Tangkap. Penerbit PT. IPB Press
Purba 2002. Studi Kelayakan dan Evaluasi Bisnis, USU Pers, Medan.
Poernomo H. 2011. Rumpon Berbahan Ban Bekas Potensi Sebabkan Kanker.
Rachman 2001. Dinamika Perkembangan Usaha, Pendapatan dan Konsumsi
Rumah Tangga Perikanan Tangkap, Budidaya dan Pertambak Garam.
Rasyid J. 2010. Distribusi Suhu Permukaan Pada Musim Peralihan Barat-Timur
Terkait Dengan Fishing Ground Ikan Pelagis Kecil di Perairan Spermonde.
Reddy MPM. 1993. Influence of the Various Oceanographic Parameters on the
Abundance of Fish Catch. Proceeding of International workshop on
Apllication of Satellite Remote Sensing for Identifying and Forecasting
Potential Fishing Zones in Developing Countries, India, 7-11 December
1993.
Ruddle KH, viding E, Johannes RE. 1992. Marine resource management in the
context of customary tenure. Marine Resource Economics, (7), pp. 249-273.
Saad Sudirman. 2000. Perkembangan Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Laut. Jurnal Hukum Clavia, Fakultas Hukum Univeristas“45”
Makassar. Vol 1.
Sarmintohadi 2002. Seleksi Teknologi Penangkapan Ikan Karang Berwawasan
Lingkungan di Perairan Pesisir Dulah Laut Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara. [Tesis] (tidak dipublikasikan). Bogor : Program Pasca
Sarjana Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan,
InstitutPertanian Bogor.
Satria A. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan: Formasi Sosial dan Mo-bilitas
Nelayan. Bandung : HUP.
Setiawan I, Monintja DR, Nikijuluw VPH, Sondita MFA. 2007. Analisis
Ketergantungan Daerah Perikanan sebagai Dasar Pelaksanaan Program
Pemberdayaan Nelayan :Studi Kasus di Kabupaten Cirebon dan Indramayu.
Buletin PSP Vol.XVI. 2 : 188-200.
Smith IR. 1983. A Research Framework for Traditional Fiishery. ICLARM
Studies and Reviews No. 2. ICLARM. 45 p.
Smith HP. 1955. Farm Machinery and Equipment. Mc Graw-Hill Book Co., Inc.
Fourth Edition, New York
Soedharma D. 1994. Studi hubungan nutrisi dengan perilaku ikan membentuk
komunitas di perairan laut. Fakultas Perikanana IPB. Bogor.
Schlager E, Ostrom E. 1992 Property rights regimes and natural resources: a
conceptual analysis. Land Economics 68: 249–262.
Soekartawi 2003. Prinsip Ekonomi Pertanian. Rajawali Press. Jakarta.
Sondita MFA. 2011. Sebuah Perspektif: Rumpon sebagai alat Pengelolaan
Sumber daya Ikan. Buku II New Paradigm in Marine Fisheries. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
158

Subani W. 1972. Alat Cara Penangkapan Ikan Indonesia. Jilid 1. Lembaga


Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. Hal 85-104.
Subani W. 1986. Telaah Penggunaan Rumpon dan Payaos dalam Perikanan
Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. BPPI, 35 : 35-45.
Subani W, Barus HR. 1988/1989. Alat Pengkapan Ikan dan Udang Laut di
Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta.
Sugiyono 2006. Statistika Untuk Penelitian, Cetakan Ketujuh, Bandung: CV.
Alfabeta
Susilowati MH, Dewi. 2005. Perilaku Penduduk Kota Depok dalam Memilih
Lokasi Wisata, FMIPA UI, 24-26 November 2005.
Susilo SB. 2003. Keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil: studi kasus
kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 233 hlm.
Tahapary J. 2010. Strategi Pengembangan Perikanan Pelagis Kecil di Perairan
Kabupaten Maluku Tenggara. Hal 285-297.
Tanjaya E. 2011. Kajian Perikanan Purse Seine Mini di Desa Sathean Kabupaten
maluku Tenggara [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascaserjana Institut Pertanian
Bogor.
Telaumbanua SJ. 2004. Studi Pemanfaatan Teknologi Rumpon Dalam
Pengeporasian purse seine di Perairan Sumatera Barat.
Tim Pengkajian Rumpon Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 1987.
Laporan Akhir Survai Lokasi dan Desain Rumpon di Perairan Ternate,
Tidore, Bacan dan sekitarnya. Laporan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hal. V. 54-
58 (Tidak dipublikasikan).
Tomascik T, Mah AJ, Nonjji A, Moosa MK. 1997. The Ekology of Indonesia
Series. Vol 3. New York: Pargamon Pr. 253p.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007. Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 2004. Tentang Perikanan.
Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2014. Pembagian
Kewenangkan Pusat dan Daerah Dalam Pengelolaan Laut.
Wahyono. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Media Presindo,
Yogyakarta.
White AL, LZ Hale Y, Renard, L Cortesi. 1994. Collaborative and Community
Based Management of Coral Reef: lessons from experience. Kumarian
Press, Inc., West Hartford, Connecticut.
Widodo. 2006. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut. Gadjah Mada
Universitas Press. Yogyakarta.
Wudianto. 2001. Analisis Sebaran dan Kelimpahan Ikan Lemuru (Sardinella
lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali: Kaitannya dengan Optimasi
Penangkapan, Program Pascasarjana, IPB.
Yeheskel T. 2015. Analisis Usaha Rumpon pada Kelompok Tani Nelayan Malos
Malalayang Kota Manado.
Yusfiandayani R. 2004. Studi Tentang Mekanisme Berkumpulnya Ikan Pelagis
Kecil di Sekitar Rumpon dan Pengembangan Perikanan di Perairan
Pasauran, Provinsi Banten 231 hal.
159

Yusfiandayani R, Indrajaya, MS Baskoro. 2006. Penerapan Model Hilborn Dan


Medley (1989) Pada Rumpon Laut Dangkal Pada Perikanan Payang Bugis
Di Perairan Pasauran. Prosiding Departemen PSP-FPIK IPB. Bogor.
Zulbainarni N. 2012. Teori dan Praktik Permodelan Bioekonomi dalam
Pengelolaan Perikanan Tangkap. Dari overfishing (kelebihan tangkap)
menuju sustainability (keberlanjutan). Penerbit IPB Press. Kampu IPB
Taman Kencana Bogor.
160

LAMPIRAN
161

Lampiran 1 Data potensi produksi dan produksi jaring bobo pada rumpon di
perairan Kepulauan Maluku Tenggara

No Nama Pemilik Usaha Produksi ABK BBM HP GT


1 Hj.Lajani Yamlean 159 19 23 250 120 9
2 Hj.Jainudin Yamlean 152 16 21 735 115 8
3 Hj.Jalani Yamlean 139 19 20 790 110 8
4 Ladatimo Yamlean 91 17 18 430 95 6
5 Musa Yamlean 143 17 21 530 105 7
6 Julkifli Yamlean 108 16 17 400 100 6
7 YahyaYamlean 137 16 20 240 110 7
8 Abu Yamlean 134 19 18 792 108 8
9 Jailani 87 18 17 240 90 8
10 Musa Yamlean 2 122 17 20 805 105 7
11 Gani Buton 102 17 17 522 98 6
12 Abdullah 127 17 20 160 115 8

Keterangan :
Produksi (ton/tahun)
ABK : Jumlah Nenaga Kerja
BBM : Jumlah bahan Bakar Minyak
HP : (Hari Penangkapaan)
GT : Gross Tonage
162

Lampiran 2 Asumsi dan koefisien

Nilai
No Uraian Satuan Nilai Perubahan
Akhir
1 Produktivitas
Trip/musim puncak Trip/musim 85 0 85
Trip/musim sedang Trip/musim 25 0 25
Trip/musim paceklik Trip/musim 15 0 15
2 Pendanaan
Modal sendiri % 100 0 0
Pinjaman %/tahun 0 0 0
Jumlah waktu tahun 0 0 0
pengembalian
3 Sistim bagi hasil
Pemilik penjaga rumpon % 25 0 25
Pemilik Usaha % 25 0 25
Operasional % 25 0 25
Nelayan ABK % 25 0 25
4 Lain-lain
Pajak % 0 0 0
Retribusi % 0 0 0
Upah minimum regional Rp/tahun 0 0 0
Biaya perawatan Rp/tahun 15 000 000 0 15 000 000
5 Distribusi jumlah krew
Juragan laut orang - - 1
Juru mmesin orang - - 2
Nelayan rumpon orang - - 2
Nelayan ABK orang - - 13
Jumalah krew orang - - 18
163

Lampiran 3 Pendapatan Nelayan jaring bobo pada rumpon di perairan Kepulauan


Kei

No Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


1 Pendapatan Musim Puncak
Layang Kg/trip 340 6 000 2 040 000
Komu Kg/trip 127 6 000 760 000
Selar Kg/trip 230 5 000 1 150 000
Kembung Kg/trip 127 6 000 760 000
Jumlah trip musiman Trip/musim 69.983 - 85
Pendapatan tahunan Rp/musim - - 400 350 000
2 Pendapatan musim sedang
Layang Kg/trip 157 12 500 1 958 333
Komu Kg/trip 57 12 500 716 667
Selar Kg/trip 77 10 000 766 667
Kembung Kg/trip 52 12 500 645 833
Pendapatan per trip 342 - - 4 087 500
Jumlah trip per musiman 8.558 - - 25
Pendapatan tahunan - - - 102 187 500
3 Pendapatan Musim Paceklik
Layang Kg/trip
Komu Kg/trip
Selar Kg/trip
Kembung Kg/trip
Pendapatan per trip
Jumlah trip per musiman
Pendapatan tahunan
Total pendapatan tahunan Rp/tahun 502 537 500
164

Lampiran 4 Model dan pendapatan nelayan jaring bobo pada rumpon di perairan
Kepulauan Kei Maluku Tenggara

No Uraian Satuan Volume Harga Jumlah


1 Pendapatan
a. Pendapatan musim Rp/musim 1 400 350 000 400 350 000
puncak
b. Pendapatan musim Rp/musim 1 102 187 500 102 187 500
sedang
c. Pendapatan musim Rp/musim 1 - -
paceklik
Total pendapatan 502 537.500
2 Pengeluaran
a. Biaya operasional
Minyah tanah Rp/trip 110 480 000 52 800 000
Bensin Rp/trip 110 75 000 8 250 000
Oli Rp/trip 110 50 000 5 500 000
Sub total Rp/trip - - 89 650 000
b. Biaya retribusi Rp/trip - -
Sub total Rp/trip - - -
Total pengeluaran Rp/trip - - 89 650 000

3 Pendapatan setelah Rp/tahun - - 412 887 500


retribusi
4 Sistim bagi hasil
a. Pemilik penjaga Rp - - 103 221 875
rumpon
b. Pemilik usaha Rp - - 206 443 750
c. Nelayan Rp - - 103 221 875
d. Nelayan ABK Rp/orang - - 6 451 369

Lampiran 5 Investasi dan penyusutan jaring bobo serta rumpon di perairan


Kepulauan Kei

No Uraian Nilai Peru- Nilai Akhir Umur Nilai Penyusutan


(Rp) bahan Ekonomis sisa
1 Investasi 72 462 000
Kapal 86 000 000 0 86 000 000 10 - 8 600 000
Alat tangkap 146 060 000 0 146 060 000 5 - 29 212 000
Mesin pendorong 152 000 000 0 152 000 000 5 - 30 400 000
Rumpon 2 - 4 250 000
2 Biaya Modal kerja 0 0 0 0 0 0
392 560 000
165

Lampiran 6 Koordinat penempatan rumpon di perairan Kepulauan Kei Selat


Nerong Kabupaten Maluku Tenggara

Jenis Rumpon Posisi rumpon


LS BT
RP 1 50 58.142’ 1320 50.275’
RP 2 50 57.392’ 1320 51.045’
RP 3 50 56.033’ 1320 49.865’
RP 4 50 55.455’ 1320 49.572’
RP 5 50 55.254’ 1320 50.207’
RP 6 50 55.098’ 1320 50.839’
RP 7 50 54.766’ 1320 51.252’
RP 8 50 54.463’ 1320 51.026’
RP 9 50 54.289’ 1320 51.418’
RP 10 50 54.219’ 1320 51.803’
RP 11 50 53.931’ 1320 51.074’
RP 12 50 53.547’ 1320 51.498’
RP 13 50 53.132’ 1320 51.699’
RP 14 50 52.865’ 1320 51.388’
RP 15 50 52.072’ 1320 51.314’
RP 16 50 54.286’ 1320 49.703’
RP 17 50 52.150’ 1320 51.406’
RP 18 50 53.767’ 1320 49.989’
RP 19 50 53.390’ 1320 50.230’
RP 20 50 52.952’ 1320 50.268’
RP 21 50 52.465’ 1320 50.366’
RP 22 50 50.758’ 1320 51.471’
RP 23 50 50.250’ 1320 52.230’
RP 24 50 49.561’ 1320 52.286’
RP 25 50 48.728’ 1320 52.844’
RP 26 50 47.860’ 1320 52.984’
RP 27 50 47.852’ 1320 52.378’
RP 28 50 47.288’ 1320 53.984’
RP 29 50 46.646’ 1320 53.376’
RP 30 50 45.518’ 1320 53.690’
RP 31 50 45.015’ 1320 52.940’
RP 32 50 44.373’ 1320 54.527’
RP 33 50 42.968’ 1320 54.056’
RP 34 50 41.754’ 1320 53.531’
RP 35 50 41.084’ 1320 54.926’
RP 36 50 39.323’ 1320 54.720’
Keterangan: RP Rumpon, LS Lintang Selatan dan BT Bujur Timur
166

Lampiran 7

Konstruksi rumpon yang diteliti di perairan Kepulauan Kei

Konstruksi rumpon Bahan - bahan rumpon

Rumpon yang ditempatkan Rumpon kontruksi bambu dan


di fishing ground Drum plastik yang ditempatkan
di fishing ground
167

Lampiran 8

Armada penangkapan jaring bobo

Kapal jaring bobo Kapal pancing tonda

Kapal pancing ulur


168

Lampiran 9

Proses penangkapan dengan jaring bobo

Saat setting jaring bobo Saat hauling jaring bobo

Saat pemasukan hasil tangkapan


dikapal penampung
169

Lampiran 10

Hasil tangkapan pada rumpon

Hasil tangkapan di kapal penampung Jenis hasil tangkapan

Ukuran hasil tangkap Pembongkaran hasil tangkapan


170

Lampiran 11

Stakeholders kelompok nelayan rumpon

Diskusi dengan kelompok nelayan di Diskusi dengan kelompok nelayan


desa Mastur lama dan desa Mastur baru di desa Lerohoilim dan desa Udar

Diskusi dengan kelompok nelayan


di desa Nerong dan desa Ngan
RIWAYAT HIDUP
Benediktus Jeujanan lahir di Bombay (Maluku
Tenggara) tanggal 7 Juni 1973, adalah anak ke lima dari
enam bersaudara. Nama ayah Fransiskus Jeujanan dan Ibu
Yustina Fautngil/J (almh). Penulis menamatkan pendidikan
menengah atas pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri
1 Tual tahun 1993, sarjana (S1) pada Fakultas Perikanan
Universitas Pattimura Ambon tahun 1999 dan meraih gelar
Magister Sains (M.Si) pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008. Bulan
Agustus 2011 penulis diterima dan mengikuti pendidikan
Doktor (S3) pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP)
Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Proyek
Fish-4 NUFFIC Politeknik Perikanan Negeri Tual.
Tahun 2002 sampai saat ini, penulis bekerja pada Politeknik Perikanan
Negeri Tual Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan (TPI). Beberapa karya
ilmiah yang dihasilkan selama mengikuti Program S3 adalah: 1) Sustainability of
Fad-Based Pelagic Fisheries Around Kei Islands, South-East Maluku Regency.
International Jounal of Sciences Basic and Applied Research (IJSBAR), 2)
Pengelolaan Rumpon Berkelanjutan pada Dimensi Ekonomi di Perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai