Anda di halaman 1dari 223

ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN

PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN


DI KABUPATEN INDRAMAYU

HAMDAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Kebijakan

Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu adalah

karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi

yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

disertasi ini.

Bogor, Januari 2007

Hamdan
NIM. C526010144
ABSTRAK
HAMDAN. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di
Kabupaten Indramayu (Dibimbing oleh DANIEL R. MONINTJA, JOKO PURWANTO,
SUGENG BUDIHARSONO, dan ARI PURBAYANTO

Pembangunan perikanan pada masa lalu belum dapat memecahkan berbagai


permasalahan yang dihadapi, diantaranya adalah rendahnya tingkat kesejahteraan
nelayan dan adanya indikasi tangkap lebih (over fishing) di beberapa wilayah perairan
seperti Selat Malaka dan pantai Utara Pulau Jawa. Permasalahan lain yang timbul
adalah kecenderungan beberapa daerah menjadikan sumberdaya ikan (SDI) sebagai
sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Keadaan ini dikhawatirkan dapat
menambah tekanan terhadap SDI akibat penangkapan ikan yang tidak terkendali
karena tidak memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat
yang memberikan sumbangan terbesar terhadap produksi perikanan yaitu sekitar 43%
dari total produksi perikanan tangkap Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2004 tingkat
pemanfaatan SDI sebesar 203, 91% dari nilai MSY atau sebesar 32.754 ton.
Penelitian ini bertujuan mengkaji status keberlanjutan perikanan tangkap di
Kabupaten Indramayu, mengkaji faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh serta
menentukan strategi pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu. Metode
yang digunakan adalah Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) untuk mengetahui
status keberlanjutan perikanan dan Data Envelope Analysis (DEA) untuk mengetahui
jumlah alat tangkap yang optimal.
Hasil analisis menunjukkan bahwa status perikanan tangkap di Kabupaten
Indramayu tidak berkelanjutan baik ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial,
teknologi, etika maupun kelembagaan dengan masing-masing nilai indeknya di bawah
50, yaitu indek ekologi 25,27 – 26,34; ekonomi 39,72 – 39,95; sosial 43,10 – 43,61;
teknologi 38,00 – 38,08; etika 29,33 – 30,85 dan kelembagaan 37,32 – 37,44 pada
selang kepercayaan 95%. Hasil analisis menunjukkan tekanan lahan mangrove,
besarnya subsidi, tingkat pendidikan yang rendah, mitigasi habitat dan transparansi
merupakan faktor pengungkit utama.
Terdapat 8 jenis alat tangkap utama yang digunakan para nelayan Indramayu
yaitu purse seine, gillnet, lampara, jaring klitik, pancing, sero, pukat pantai dan dogol.
Jumlah alat tangkap tersebut saat ini berdasarkan hasil analisis sudah melampaui
carrying capacity yang ada. Alat tangkap yang efisien dengan nilai efisiensi 100%
adalah jaring klitik, payang, gillnet, dan purse seine. Sedangkan, Alat tangkap yang tidak
efisien adalah dogol (80%), sero (76,83%), pancing (66,55), dan pukat pantai (46,16%).
Kondisi ini menunjukan bahwa alat-alat tangkap yang memiliki daerah penangkapan di
luar Kabupaten Indramayu umumnya lebih efisien.
Langkah-langkah kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan perikanan
tangkap di Kabupaten Indramayu adalah (1) konservasi dan rehabilitasi hutan
mangrove, (2) pengaturan jumlah alat tangkap, (3) penanganan pasca panen, (4)
modernisasi armada besar yang beroperasi di wilayah lepas pantai, (5) pengurangan
armada kecil yang tidak efisien dan tidak ramah lingkungan, (6) pengembangan industri
pengolahan ikan, (7) peningkatan kapasitas kelembagaan perikanan dan kelautan, (8)
penyediaan mata pencaharian alternatif, dan (9) program pengkayaan stok.

Kata Kunci: tangkap lebih, prinsip pembangunan berkelanjutan, kebijakan, perikanan


tangkap, Indramayu.
ABSTRACT

HAMDAN. Policy Analysis on Sustainability of Capture Fisheries Management in


Indramayu District. Under the direction of DANIEL R. MONINTJA, JOKO
PURWANTO, SUGENG BUDIHARSONO, and ARI PURBAYANTO .

Fisheries development at past time have not been able to solve


encountered problems, such as low fishermen’s prosperity and an existing
indication of over fishing in a several areas i.e. Malacca Strait and northern of
Java island. Other problem occurred is the tendency of some regions to put
marine resources as primarily revenue occurred in the regions. These conditions
may increase the pressure to fisheries resource due to uncontrolled fishing
activity that is not conducted based on sustainability development principle.
Indramayu is one of districts in West Java Province which contributes
fisheries product that is around 43% of total fish production in West Java
Province. In 2004 the level of exploitation was 203,91% of MSY (32.754 tons).
The objectives of this study were to review the status of fishing
sustainability in Indramayu, to analysis leverage factors that influence on
management strategic of capture fisheries in Indramayu. The method used was
Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) to clarify the status of sustainability, and
Data Envelope Analysis (DEA) to know optimum fishing number can be used in
Indramayu water.
The analysis result showed that status of capture fisheries in Indramayu
was not sustained based on ecology, economic, social, technology, ethic and
institutional aspects with index value was less than 50. The value of ecology
index was 25,27 – 26,34; economic index was 39,72 – 39,95; social index was
43,10 – 43,61; technology index was 38,00 – 38,08; ethic index was 29,33 –
30,85; and institutions index was 37,32 – 37,44 along with a significant test of
confidence limit at 95%. Analysis result showed that the pressures on mangrove
trees, subsidies, lower education level, and mitigation habitat were the main
leverage factors.
Eight types of the main fishing gears were used by Indramayu fishermen
that are purse seine, gillnet, lampara, shrimp gillnet, lines, guiding barrier trap,
beach seine, and shrimp boat seine net. Based on analysis result, the existing
total number of fishing gears had exceeded carrying capacity. The most efficient
fishing gear with 100% values are shrimp gillnet, payang gillnet, and purse seine.
Where areas inefficient fishing gear are shrimp boat seine net (80%), guiding
barrier trap (76,83%), pole and line (66,55%),and beach seine (46,16%). This
condition showed that fishing gear with fishing ground in outside Indramayu water
were mostly efficient.
The alternative policies should be taken for fisheries management in
Indramayu District are (1) mangrove conservation and rehabilitation, (2) fishing
gear’s amount supervision, (3) after harvest handling, (4) offshore operating large
vessel modernization, (5) inefficient and responsible small vessel reduction, (6)
fisheries Industry development, (7) increasing the capacity of fisheries and
marine institution, (8) providing alternative livelihoods, and (9) stock
enhancement program.

Keywords: overfishing, sustainable development principle, policy, capture


fisheries, Indramayu.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
Bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya.
ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN
PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN
DI KABUPATEN INDRAMAYU

HAMDAN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Disertasi : Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan
Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten
Indramayu
Nama Mahasiswa : Hamdan
Nomor Pokok : C526010144
Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja Dr. Ir. Joko Purwanto, DEA (Alm.)
Ketua Anggota

Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc


Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 19 Januari 2007 Tanggal Lulus:


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Oktober 1959 di Cipanas, Cianjur


Jawa Barat dari bapak bernama Nanang Abdullah (alm) dan ibu bernama Aan
Dasinah (alm). Pada tanggal 9 Desember 1984 penulis menikah dengan
Tammani dan sampai saat ini telah dikaruniai satu orang putera yaitu : Oky
Zulfikar Rahman dan satu orang puteri yaitu Anisa Hamdan.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri V
Cipanas tahun 1972. Pada tahun 1975 penulis menyelesaikan Sekolah
Menengah Pertama Negeri Cipanas dan selanjutnya menyelesaikan Sekolah
Pertanian Menengah Atas (SPMA) Negeri di Bogor pada tahun 1979. Pada akhir
tahun 1979 penulis diterima di Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian
Bogor melalui jalur PMDK. Sejak tahun 1981, penulis mengikuti kuliah S-1 di
Fakultas Perikanan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan Institut
Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1984.
Pada tahun 1985 penulis diangkat menjadi staf pada Direktorat Jenderal
Perikanan Departemen Pertanian. Kegiatan-kegiatan kursus yang pernah diikuti
selama menjadi staf tersebut adalah Orientasi Penyuluh Pertanian Spesialis
(PPS) pada tanggal 24 Pebruari sampai 16 Maret 1985; kursus Administrasi dan
Manajemen Pembangunan Pertanian di Universitas Indonesia mulai tanggal 23
Juni sampai 30 Agustus 1986. Selanjutnya pada tanggal 3 September sampai
27 Nopember 1990 penulis mengikuti General Course in Fisheries Science di
Institute of Oceanography and Fisheries di kota Split – Yugoslavia. Pada tanggal
13 Desember 1994 Penulis diangkat sebagai Kepala Seksi Pelaksanaan
Program pada Direktorat Bina Program Ditjen Perikanan. Dalam jabatan tersebut
penulis berkesempatan mengikuti Pelatihan Pemantapan Perencanaan
Pembangunan Perikanan yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal
Perikanan dari tanggal 22 sampai 27 Januari 1995. Pada tanggal 26 Nopember
1997 sampai 26 Januari 1998 mengikuti Diklat Administrasi Umum (ADUM) yang
diselenggarakan di BPLP Bogor. Selanjutnya pada tanggal 8 Juni 1999
mendapat alih tugas sebagai Kepala Seksi Wilayah I.
Pada tahun 2000 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Sekolah
Pascasarjana (S-2) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) IPWI Jakarta. Pada
tanggal 6 Juni 2000 penulis diangkat sebagai Kepala Bagian Perencanaan dan
Penganggaran di Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DELP.
Selanjutnya pada tanggal 5 April 2001 mendapat alih tugas menjadi Kepala
Bagian Program karena perubahan nomenlatur organisasi. Pada tanggal 26 Juni
2002 penulis mendapat alih tugas kembali sebagai Kasubdit Inventarisasi
Sumberdaya Laut Potensial. Pada masa jabatan ini yakni tanggal 17 sampai 27
Juni 2003 mengikuti Training Marine Protected Area Management di James Cook
University kota Townsville Australia. Sehubungan perubahan nomenklatur, pada
tanggal 9 Agustus 2005 penulis menjadi Kasubdit Identifikasi dan Pemetaan
Konservasi. Pada tanggal 25 sampai 26 Agustus 2005 penulis mengikuti
Workshop Sulu Sulawesi Seascape Trinational Collaborator’s Discussion di Kota
Kinabalu Sabah Malaysia. Sejak tanggal 5 Desember 2005 penulis diangkat
menjadi Asisten Deputi Urusan Industri Strategis pada Kantor Menko Bidang
Perekonomian.
Penulis menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana (S-3) Program Studi
Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor sejak tanggal 20 Oktober 2001 dan
pada tanggal 19 Januari 2007 penulis dinyatakan lulus pada sidang Ujian
Terbuka dihadapan Dewan Penguji yang terdiri dari Dr. Ir. Kadarwan Supardi
(Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan selaku pimpinan sidang); Prof. Dr.
Daniel R. Monintja (Ketua Komisi Pembimbing); Dr. Ir. Sugeng Budiharsono dan
Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc (selaku Anggota Komisi Pembimbing); Dr. Ir. Sugeng
Hari Wisudo (mewakili Ketua Program Studi); serta Dr. Ir. Mulyono Baskoro,
M.Sc dan Dr. Maman Hermawan, M.Sc (selaku Penguji Luar Komisi).
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
disertasi pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul “Analisis Kebijakan Pengelolaan
Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu“.
Pada kesempatan ini penulis secara tulus menyampaikan ucapan terima
kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja, Dr. Ir. Joko Purwanto, DEA. (Alm.),
Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc., dan Dr. Ir. Sugeng Budiharsono sebagai
Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan semangat, arahan dan
bimbingan kepada penulis.
2. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan staf, Ketua
Program Studi Teknologi Kelautan, atas segala bantuan, perhatian dan
penyediaan fasilitas selama penulis melaksanakan pendidikan.
3. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. (Ketua Program Studi), Dr. Ir. Mulyono
Baskoro, M.Sc dan Dr. Maman Hermawan, M.Sc (Penguji Luar Komisi), Dr.
Ir. Sugeng Hari Wisudo, MS dan Dr. Ir. Akhmad Fa atas saran-saran
penyempurnaan disertasinya.
4. Ir. Bambang Wahyudi, M.Sc yang telah memberikan ijin belajar saat
menjabat Sekretaris Ditjen P3K Departemen Kelautan dan Perikanan;
5. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., Dr. Ir. V. Nikijuluw, M.Sc, keluarga besar
Dit. KTNL dan Deputi IV Kantor Menko Perekonomian atas bantuannya.
6. Akhmad Solihin, S.Pi, Hawis S.Pi, M.Si, Amak Priatna S.Pi, S.Pi; Ir. RIP
Lestari serta semua pihak yang telah memberikan sumbangan tenaga,
pemikiran, informasi dan data yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
7. Dra Hj. Tammani isteri setia, Oky dan Nisa ananda tersayang, Hj. Hasunah
ibunda tercinta, Muzni Nazar yang dan seluruh keluarga atas segala kasih
sayang, doa dan pengorbanannya.
Akhirnya semoga Allah SWT membalas sesuai amal baiknya..

Bogor, Januari 2007

Hamdan

i
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vii
1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 6
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ......................................... 7
1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................... 7
1.6 Hipotesis ......................................................................................... 8

2 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................... 9

3 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 17
3.1 Analisis Kebijakan........................................................................... 17
3.2 Pengelolaan Perikanan ................................................................... 19
3.3 Pembangunan Berkelanjutan ........................................................ 20
3.4 Kebijakan Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan .......................... 25
3.5 Kebijakan Pemerintah ..................................................................... 36
3.6 Aspek Pengelolaan Daerah Penangkapan Ikan ........................... 40
3.7 Partisipasi Masyarakat .................................................................... 42
3.8 Dasar Hukum Pengelolaan Perikanan Tangkap ............................ 44

4 METODE PENELIT IAN ........................................................................ 70


4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian .......................................................... 70
4.2 Kerangka Metodologi ...................................................................... 70
4.3 Pengumpulan Data ......................................................................... 71
4.4 Analisis Data dan Informasi............................................................ 73

5 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ....................................... 83


5.1 Letak Geografis dan Wilayah Administrasi..................................... 83
5.2 Oseanografi..................................................................................... 85

ii
5.3 Potensi Sumber Daya Hayati.......................................................... 86
5.4 Perikanan ........................................................................................ 87
5.5 Sosial, Ekonomi dan Budaya ......................................................... 91
5.6 Pulau-pulau Kecil .......................................................................... 91

6 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 94


6.1 Keragaan Sumber Daya Perikanan Tangkap................................. 94
6.2 Analisis Kondisi dan Status Perikanan Tangkap Kabupaten
Indramayu........................................................................................ 99
6.3 Analisis Tingkat Pemanfaatan Potensi Perikanan Tangkap .......... 135
6.4 Pengukuran Kapasitas Perikanan Tangkap dengan
Data Envelopment Analysis (DEA) ................................................. 140

7 ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP .. 150


7.1 Faktor Pengungkit Dimensi Ekologi ................................................ 151
7.2 Faktor Pengungkit Dimensi Ekonomi ............................................. 155
7.3 Faktor Pengungkit Dimensi Sosial.................................................. 157
7.4 Faktor Pengungkit Dimensi Teknologi ............................................ 160
7.5 Faktor Pengungkit Dimensi Etika.................................................... 161
7.6 Faktor Pengungkit Dimensi Kelembagaan ..................................... 162
7.7 Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap................................... 163

8 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 170


8.1 Kesimpulan...................................................................................... 170
8.2 Saran .............................................................................................. 171

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 172


LAMPIRAN.................................................................................................. 177

iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Indikator pembangunan perikanan bertanggung jawab dan
berkelanjutan ..................................................................................... 14

2 Jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan SK Menteri


Pertanian No.607/1976 ..................................................................... 38

3 Jenis dan sumber pengambilan data ............................................... 72

4 Indeks keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu . 77

5 Jenis-jenis ikan laut ekonomis penting yang didaratkan


di Kabupaten Indramayu ................................................................... 89

6 Perkembangan luas lahan budidaya tambak di Kabupaten


Indramayu tahun 1996 – 2000 .......................................................... 90

7 Perkembangan produksi dan nilai produksi perikanan laut di


Kabupaten Indramayu pada tahun 1995-2004................................. 95

8 Perkembangan jumlah RTP dan armada berbagai jenis


kapal di Kabupaten Indramayu pada tahun 1995-2004 ................... 96

9 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Indramayu pada


tahun 1995 - 2004 ............................................................................. 97

10 Jenis mangrove yang tumbuh di Kabupaten Indramayu ................. 103

11 Hasil analisis Monte Carlo indeks status perikanan tangkap


Kabupaten Indramayu dengan selang kepercayaan 95 % .............. 132

12 Hasil kajian nilai indeks dan nilai statistik pembangunan perikanan


tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu .............................. 134

13 Total produksi aktual tangkapan tahunan seluruh alat tangkap


yang beroperasi di dalam dan di luar perairan Kabupaten
Indramayu (dalam ton) ..................................................................... 136

14 Total produksi aktual tangkapan tahunan alat tangkap yang beroperasi


di dalam perairan Kabupaten Indramayu (dalam ton)...................... 139

15 Data input dan output dalam analisis DEA Frontier ......................... 142

16 Hasil analisis DEA Frontier dengan memasukkan seluruh variable.. 142

17 Faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh terhadap keberlanjutan


sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu ..................................... 151

18 Proyeksi PAD bidang perikanan dan kelautan Kabupaten Indramayu


tahun 2001-2005 ............................................................................... 156

iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman

1 Diagram alir tahapan pelaksanaan penelitian .................................. 16

2 Bentuk penyusunan kebijakan publik ............................................... 18

3 Bentuk pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan


kerangka trans-disiplin ...................................................................... 23

4 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan .................................. 25

5 Lokasi penelitian................................................................................ 70

6 Kerangka metodologi........................................................................ 71

7 Prosedur RAPFISH menggambarkan perikanan berkelanjutan ...... 74

8 Proses aplikasi RAPFISH untuk data perikanan .............................. . 75

9 Pembatasan produksi model CCR ................................................... 78

10 Pembatasan produksi model BBC.................................................... 78

11 Perkembangan total produksi tahunan perikanan


laut di Kabupaten Indramayu pada tahun 1995-2004 ...................... 95

12 Grafik perkembangan jumlah tangkap utama per tahun di


Kabupaten Indramayu tahun 1995-2004 .......................................... 97

13 Hasil ordinasi RAPFISH: indeks ekologi Kabupaten Indramayu...... 100

14 Hasil analisis atribut pengungkit (Leverage Attributes) RAPFISH


dimensi ekologi ................................................................................. 101

15 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi


ekologi .............................................................................................. 106

16 Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi ekonomi Kabupaten


Indramayu.......................................................................................... 108

17 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi ekonomi ......... 109

18 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi


ekonomi ............................................................................................ 114

19 Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi sosial Kabupaten


Indramayu.......................................................................................... 115

20 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi sosial ............. 116

v
21 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi
sosial ................................................................................................. 119

22 Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi teknologi Kabupaten


Indramayu.......................................................................................... 120

23 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi teknologi ......... 121

24 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi


teknologi ........................................................................................... 123

25 Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi etika Kabupaten


Indramayu.......................................................................................... 124

26 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi etika ............... 125

27 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi


etika .................................................................................................. 127

28 Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi kelembagaan Kabupaten


Indramayu.......................................................................................... 128

29 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi kelembagaan.. 129

30 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi


kelembagaan ..................................................................................... 131

31 Hasil analisis Monte Carlo indeks status perikanan tangkap


Kabupaten Indramayu dengan selang kepercayaan 95% ............... 133

32 Total produksi aktual tangkapan seluruh alat tangkap yang beroperasi


di dalam dan di luar perairan Kabupaten Indramayu dibandingkan
dengan produksi lestari (dalam ton) ................................................. 137

33 Produksi aktual semua alat tangkap yang beroperasi di dalam dan


di luar perairan Kabupaten Indramayu dan produksi lestari
perikanan tangkap (dalam ton) ......................................................... 138

34 Total produksi aktual tangkapan alat tangkap yang beroperasi di


dalam perairan Kabupaten Indramayu dibandingkan dengan
produksi lestari (dalam ton)............................................................... 139

35 Produksi aktual seluruh alat tangkap yang beroperasi di dalam


perairan Kabupaten Indramayu dan produksi lestari perikanan
tangkap (dalam ton) .......................................................................... 140

36 Distribusi efisiensi alat tangkap perikanan di Kabupaten


Indramayu.......................................................................................... 143

37 Potensi perbaikan efisiensi alat tangkap .......................................... 144

38 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap pukat pantai ................... 146

vi
39 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap pancing........................... 147

40 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap sero ................................ 148

41 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap dogol .............................. 149

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Potensi perikanan tangkap Jawa Barat ............................................ 178

2 Dimensi dan Atribut RAPFISH.......................................................... 179

3 Analisis MDS dengan menggunakan RAPFISH di Kabupaten


Indramayu.......................................................................................... 185

4 Daftar nama responden RAPFISH................................................... 191

5 Daftar nama responden DEA............................................................ 194

6 Gambar alat tangkap di Kabupaten Indramayu................................ 195

viii
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan perikanan pada masa pemerintahan orde baru belum

dapat memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi, antara lain

rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan dan adanya indikasi overfishing

(tangkap lebih) di beberapa wilayah perairan seperti pantai Utara Pulau Jawa

dan perairan Selat Malaka. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pada

masa lalu yang lebih berorientasi kepada pembangunan di darat (continental

oriented), sedangkan sektor perikanan dan kelautan belum mendapat perhatian

dan bahkan menjadi sektor pinggiran (pheripheral sector).

Memasuki era reformasi, sistem pemerintahan telah bergeser dari

sentralistik menjadi desentralistik dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor

22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kini diganti oleh Undang-

undang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-undang ini mengatur tentang

kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya di wilayah laut yang meliputi:

(1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; (2)

pengaturan administratif; (3) pengaturan tata ruang; (4) penegakan hukum; (5)

pemeliharaan keamanan; dan (6) pertahanan kedaulatan negara.

Pada awal pelaksanaan undang-undang tersebut muncul berbagai

permasalahan di wilayah pesisir dan laut yang disebabkan oleh kurangnya

sosialisasi kepada masyarakat. Contoh dari permasalahan tersebut adalah

timbulnya konflik antar nelayan yang domisilinya berbeda kabupaten. Dalam ilmu

sosiologi, konflik ini dikenal dengan istilah konflik primordial. Mereka

beranggapan bahwa, nelayan dari kabupaten lain tidak boleh melakukan

penangkapan ikan di wilayah perairannya. Hal ini merupakan penafsiran yang

keliru terhadap Pasal 3 dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999


yang dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 18. Pada

pasal tersebut disebutkan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumber

daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke

arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3

(sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Pasal 3 dan

Pasal 10 Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 atau Pasal 18 Undang-undang

No. 32 Tahun 2004 dimaknai oleh daerah sebagai daerah kekuasaan atau

demarkasi. Padahal, makna kedua pasal tersebut adalah sebagai daerah

pengelolaan dalam menjamin pembangunan perikanan yang berkelanjutan

(sustainable fisheries) dan bertanggung jawab (responsible fisheries).

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kesalahan penafsiran ini antara lain

disebabkan oleh kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Ironisnya, maraknya

multi tafsir yang salah yang dilakukan masyarakat daerah terhadap kedua pasal

tersebut, pemerintah belum membuatkan aturan turunan atau peraturan

pelaksanaan mengenai kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya di

wilayah laut.

Masalah lain yang timbul di sektor perikanan dan kelautan adalah adanya

kecenderungan di beberapa daerah yang menjadikan sumber daya ikan menjadi

salah satu sumber utama penghasilan asli daerah (PAD). Hal ini dikhawatirkan

dapat menambah tekanan terhadap sumber daya ikan akibat penangkapan yang

tidak terkendali karena tidak memperhatikan aspek-aspek pembangunan

berkelanjutan.

Di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Indramayu merupakan yang paling

menonjol dalam perolehan PAD yang diantaranya dari sub sektor perikanan laut.

Sekitar 43% produksi ikan laut Provinsi Jawa Barat berasal dari daerah ini.

Namun yang mengkhawatirkan adalah tingkat pemanfaatan sumber daya ikan

pada tahun 2004 yang sudah mencapai 254,89% dari jumlah tangkapan yang

2
diperbolehkan (JTB) atau sekitar 203,91% dari hasil tangkapan maksimum lestari

(maximum sustainable yield/MSY) yang hanya sebesar 32.754,12 ton per tahun

(Darsono. 2004). Hal ini dikhawatirkan upaya perikanan tangkap di Kabupaten

Indramayu tidak sesuai dengan kaidah pembangunan berkelanjutan. Dalam teori

pembangunan berkelanjutan, selain aspek ekologi juga aspek sosial, ekonomi,

hukum dan kelembagaan memegang peranan yang penting.

Berdasarkan aspek ekonomi, pada umumnya nelayan, lebih khusus lagi

para buruh nelayan masih miskin. Hal ini diperlihatkan dari pendapatan rata-rata

nelayan di daerah pesisir Indramayu masih sekitar Rp 13.000 per hari (Bappeda

Indramayu 2000). Masih banyaknya masyarakat nelayan yang miskin

merupakan indikasi bahwa upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan bukanlah

merupakan hal yang mudah. Ada beberapa hal yang menyebabkan produktivitas

dan pendapatan nelayan belum optimal, antara lain: (1) kualitas sumber daya

manusia relatif masih rendah; (2) sarana dan prasarana perikanan belum

memadai; (3) teknologi masih tertinggal; dan (4) kondisi lingkungan cenderung

menurun (Bappeda Indramayu 2000).

Berbagai masalah sosial, antara lain rendahnya kualitas SDM anggota

rumah tangga nelayan (RTP) terlihat dari jumlah buta huruf mencapai 14,6%

serta banyaknya jumlah anak usia sekolah yang tidak sekolah sekitar 31,81%

(Supriyanto, 2003). Selain itu banyaknya pengangguran terselubung masyarakat

pesisir Indramayu terlihat dari tingginya angka beban tanggungan atau rasio

ketergantungan yang menggambarkan jumlah orang yang secara ekonomi tidak

aktif per seratus penduduk yang aktif secara ekonomi. Peningkatan jumlah

nelayan sebesar 72,16% dalam tujuh tahun terakhir yaitu dari 6.325 rumah

tangga pada tahun 1993, menjadi 11.496 rumah tangga pada tahun 2000 yang

sebagian besar merupakan nelayan skala kecil yang melakukan kegiatan

penangkapan di daerah dekat pantai (kurang dari 4 mil). Kondisi ini berpotensi

3
memunculkan berbagai macam konflik persaingan dalam memanfaatkan sumber

daya ikan (Bappeda Indramayu 2000).

Berdasarkan aspek ekologi, terjadi kerusakan hutan mangrove sekitar

50% dari 17.782 ha luas hutan mangrove yang ada serta kerusakan terumbu

karang di Pulau Biawak dan sekitarnya mencapai 47,58% (Diskan Jabar, 2004)

mengakibatkan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas sumber daya ikan.

Hal ini disebabkan oleh kegiatan pemanfaatan sumber daya yang berlebihan

tanpa memperhatikan kaidah ekologis. Hal lain yang mempengaruhi kelestarian

sumber daya ikan di Indramayu adalah pencemaran. Di perairan Indramayu,

pencemaran berasal dari tumpahan atau kebocoran pipa minyak PT Pertamina,

limbah industri, sampah domestik maupun sedimentasi yang berasal dari sungai

(Kompas, 2005).

Berdasarkan aspek hukum dan kelembagaan, belum adanya peraturan

daerah yang mengatur pengelolaan perikanan, khususnya perikanan tangkap

yang berkelanjutan. Hal ini merupakan akar permasalahan tersebut di atas,

karena tidak adanya perangkat hukum sebagai acuan dalam koordinasi antar

instansi yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan sumber daya ikan,

sehingga penegakan hukum tidak dapat terlaksana dengan baik.

Fenomena permasalahan tersebut di atas mengakibatkan terjadinya

konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan dalam pengelolaan perikanan

tangkap di Kabupaten Indramayu. Dalam jangka panjang, contoh kasus tersebut

dapat berdampak negatif terhadap kelangsungan sumber daya ikan,

berkurangnya keanekaragaman hayati hingga kepunahan beberapa jenis sumber

daya ikan. Dengan demikian, perlu segera dilakukan langkah-langkah antisipatif

untuk membenahi pengelolaan sumber daya ikan. Langkah-langkah pengelolaan

perikanan tangkap yang berkelanjutan hendaknya mempertimbangkan berbagai

aspek, yakni aspek ekologi, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan kelembagaan.

4
Diharapkan melalui analisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di

Kabupaten Indramayu dengan merujuk pada prinsip pembangunan berkelanjutan

sebagai implementasi perikanan yang bertanggung jawab dalam kerangka code

of conduct for responsible fisheries (CCRF) 1995 dari FAO, maka permasalahan

yang ada dapat di eliminasi dan diatasi dengan baik.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan yang ada di Kabupaten Indramayu dapat diidentifikasi

sebagai berikut: (1) kerusakan lingkungan, (2) over fishing, (3) konflik, (4)

rendahnya tingkat pendapatan nelayan. Melihat banyaknya permasalahan yang

ada dalam sektor perikanan dan kelautan khususnya perikanan tangkap, maka

sudah saatnya kebijakan pengelolaan perikanan tangkap bersifat antisipatif

dengan menekankan pada pentingnya suatu kelembagaan yang mampu

meminimumkan kerusakan lingkungan dan mendorong akselerasi perekonomian

serta perlindungan bagi masyarakat nelayan yang berpotensi menjadi korban

kerusakan lingkungan. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu

selaku pengambil kebijakan harus melihat potensi sumber daya ikan dan sumber

daya manusia sebagai suatu modal pembangunan. Peluang daerah sangat besar

dalam mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya ikan dengan

mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, budaya masyarakat dan kelestarian

fungsi ekologis sumber daya pesisir dan lautan. Pengelolaan potensi sumber

daya ikan harus terencana dan terkendali pemanfaatannya agar dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada masa kini dan masa yang akan

datang.

Di wilayah perairan Indramayu diduga potensi perikanannya sudah kritis,

sehingga harus ada upaya dari pemerintah daerah untuk mengendalikan over

fishing, agar dalam jangka panjang dapat memberikan manfaat dan dapat

5
meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi para nelayan. Apabila kita

membiarkan perikanan dalam kondisi produksi faktual saat ini, dikhawatirkan

tidak akan menghasilkan produksi perikanan yang efisien dan berkelanjutan.

Oleh karenanya, perhatian terhadap tekanan pemanfaatan sumber daya ikan

yang dikaitkan dengan jumlah potensi lestari harus menjadi fokus utama dalam

menciptakan pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

Berbagai kajian telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya

dengan topik dan tujuan yang berbeda (Lampiran 2). Sehubungan dengan fakta-

fakta empiris di atas, maka fokus penelitian ini disusun dalam bentuk

pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

(1) Bagaimana status keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu

ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika, dan

kelembagaan?

(2) Faktor-faktor pengungkit apa saja yang berpengaruh terhadap menciptakan

keberlanjutan sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indramayu?

(3) Strategi apakah yang dapat diterapkan di Kabupaten Indramayu?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan alternatif

kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten

Indramayu. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Mengkaji status keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu

ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika, dan

kelembagaan.

(2) Mengkaji faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh terhadap keberlanjutan

sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indramayu.

(3) Menyusun strategi pengelolaan perikanan tangkap di lokasi penelitian.

6
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji mengenai kebijakan

pengelolaan perikanan tangkap berdasarkan analisis keberlanjutan sumber daya

dan efisiensi penggunaan alat tangkap dengan membandingkan rencana

strategis (Renstra) yang disusun Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu,

khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan untuk jangka waktu lima tahun.

Sedangkan batasan penelitian ini adalah:

(1) Mengukur status keberlanjutan sumber daya perikanan tangkap di Kabupaten

Indramayu atas dasar enam indikator keberlanjutan, yaitu ekologi, ekonomi,

sosial, teknologi, etika dan kelembagaan.

(2) Data produksi perikanan tangkap serta jumlah alat tangkap yang digunakan

untuk menganalisis kebijakan ini diperoleh dari Dinas Perikanan dan

Kelautan Kabupaten Indramayu, dengan mengenyampingkan daerah

penangkapannya (fishing ground).

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

(1) Bagi para pemangku kepentingan perikanan tangkap terutama pemerintah

daerah, dunia usaha dan masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan masukan dalam pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan.

(2) Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perikanan tangkap,

penelitian ini diharapkan memberikan gambaran status keberlanjutan

perikanan tangkap.

(3) Bagi pengelolaan perikanan tangkap, penelitian ini diharapkan memberikan

solusi yang konstruktif dalam menciptakan pengelolaan perikanan yang

berkelanjutan berdasarkan CCRF 1995.

7
(4) Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan menjadi rujukan terutama mengenai

kondisi keberlanjutan sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indramayu.

1.6 Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : Pemanfaatan

sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu pada masa kini tidak berkelanjutan.

8
2 KERANGKA PEMIKIRAN

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian

yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai

dengan memperhatikan potensi stok sumber daya ikan yang telah dikaji oleh

Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2004 yang menyatakan bahwa

perikanan tangkap di kabupaten Indramayu sudah over fishing. Kenapa hal ini

terjadi apakah jumlah alat tangkap dan armada kapal perikanan yang ada saat ini

sudah melebihi batas yang optimum? Bagaimana kebijakan-kebijakan yang

dibuat oleh pemerintah daerah di bidang perikanan tangkap baik sebelum

maupun sesudah ditetapkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah ?. Khusus untuk efektivitas kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya ikan perlu

diketahui lebih lanjut adalah:

(1) Apakah di dalam proses penyusunan kebijakan-kebijakan tersebut, sudah

melibatkan masyarakat terkait dan bagaimana implikasinya di lapangan ?.

(2) Apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan konflik ?.

(3) Apakah kebijakan tersebut dapat dilaksanakan serta diterima masyarakat ?.

(4) Bagaimana dampak pemanfaatan sumber daya ikan terhadap aspek ekologi,

ekonomi, sosial, teknologi, etika dan kelembagaan.

Apabila hal tersebut telah dilaksanakan, maka akan diketahui status

perikanan tangkap berdasarkan tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan,

yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Berdasarkan penelitian pendahuluan

diperoleh hasil bahwa:


(1) Dari faktor ekologi terdapat tiga indikasi permasalahan, yaitu penangkapan

sumber daya ikan berlebih (over fishing), kerusakan lingkungan, dan

degradasi ekosistem pesisir (mangrove dan terumbu karang).

(2) Dari faktor sosial ekonomi diperoleh informasi bahwa tingkat kesejahteraan

dan pendapatan nelayan sangat rendah, sumber daya manusia rendah, serta

belum ada budaya konservasi.

(3) Dari faktor teknologi terlihat bahwa produksi perikanan sudah tinggi, masih

terdapat alat tangkap ilegal seperti jaring arad serta penggunaan bom dan

racun yang tidak ramah lingkungan.

Ada berbagai metode yang dapat digunakan untuk mengevaluasi aspek

keberlanjutan pemanfaatan sumber daya ikan, salah satunya adalah RAPFISH

(Rapid Appraisal for Fisheries). Metode RAPFISH adalah teknik analisis yang

dipakai untuk mengevaluasi keberlanjutan suatu kegiatan perikanan secara

multidisipliner. Teknik RAPFISH didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan

sesuatu pada urutan atribut yang terukur) secara Multi Dimensional Scaling

(MDS). MDS sendiri pada dasarnya merupakan teknik statistik melalui

transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Dimensi dalam

RAPFISH menyangkut aspek keberlanjutan ekologi, ekonomi, teknologi, sosial,

etika dan kelembagaan. Setiap dimensi memiliki atribut atau indikator yang

terkait dengan keberlanjutan sebagaimana diisyaratkan dalam Code of Conduct

for Responsible Fisheries (CCRF) FAO1995.

Menurut Imron (2000) terdapat tiga pendekatan yang dapat dipergunakan

sebagai dasar pengelolaan sumber daya, yaitu (1) berdasarkan pertimbangan

historis, (2) pertimbangan kepentingan ekonomi dan (3) pertimbangan aspek bio-

oseanografi jangka panjang. Ketiga pendekatan ini sangat fungsional untuk

dapat menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan pengalokasiannya

bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Pembangunan perlu melandaskan

10
pada kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan untuk memastikan bahwa

ketersediaan sumber daya alam dapat dinikmati oleh generasi berikutnya.

Pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini

tanpa merusak atau menurunkan generasi mendatang untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya (WCED, 1987).

Sumber daya ikan merupakan salah satu sumber daya hayati yang

terbukti memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kesejahteraan

bangsa. Sifat sumber daya ikan meskipun dapat diperbaharui (renewable) namun

perlu kehati-hatian dalam pemanfaatannya untuk menjamin keberlanjutan. Hal ini

dikarenakan, sifat dari sumber daya ikan yang dikenal open acces telah memberi

peluang dan anggapan bahwa setiap orang berhak dan bebas memanfaatkan

dan memiliki sumber daya tersebut secara bersama-sama (common property

resources ). Tidak ada pelarangan sekaligus privilage bagi orang per orang atau

kelompok dalam memanfaatkan sumber daya ikan. Sifat sumber daya yang

demikian menjadikan masyarakat perikanan banyak terjun dalam ranah

perikanan tangkap.

Usaha penangkapan memang diyakini mendatangkan keuntungan yang

lebih besar dibanding ranah usaha perikanan lainnya seperti budidaya dan

pengolahan. Upaya penangkapan diukur oleh seberapa besar produksi yang

dihasilkan dari upaya tangkap. Sumber daya hayati yang melimpah ditambah

sifat sumber daya yang open access mendorong masyarakat pemanfaat sumber

daya ikan menjadikan produksi sebagai indikator dan target dalam pemenuhan

aktivitas usaha penangkapan. Kondisinya menjadi berbahaya ketika upaya

penangkapan tidak mengindahkan kaidah-kaidah keberlanjutan sumber daya.

Akhirnya kelestarian sumber daya ikan menjadi terancam dan itu berarti

keberlanjutan sumber daya juga terancam.

11
Tahapan kedua dalam kajian ini adalah mengetahui sejauh mana status

perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu dengan mendasarkan pada

pertimbangan berbagai aspek. Diketahuinya status perikanan bertujuan untuk

menentukan langkah-langkah kebijakan yang perlu diambil dalam rangka

pembangunan perikanan berkelanjutan. Penilaian kelestarian sumber daya ikan

umumnya didasarkan pada parameter dimensi biologi dan ekonomi sebagai

indikator. Dengan perubahan paradigma pembangunan menuju ke arah

paradigma pembangunan berkelanjutan, maka penilaian kelestarian sumber

daya ikan mencakup lebih banyak aspek yang menjadi fokus kajian. Interaksi

aspek-aspek tersebut menjadi indikator bagi keberlanjutan usaha perikanan

tangkap. Beberapa aspek tersebut antara lain adalah aspek ekologi, ekonomi,

sosial, teknologi, etika dan kelembagaan. Keenam aspek ini dipandang cukup

merepresentasikan dan dapat mengindikasikan status usaha perikanan yang

dilakukan di suatu wilayah/unit analisis. Penilaian dimensi ini diturunkan lagi

dalam berbagai atribut yang mencirikan dimensi tersebut dengan mengacu pada

Alder et al. (2000).

Aspek ekologi dan teknologi menjadi barometer utama dalam penilaian

status. Hal ini dikarenakan begitu pentingnya keberlanjutan lingkungan perairan

beserta ekosistem dan biota didalamnya yang merupakan landasan bagi

dibangunnya aspek lainnya. Dimensi ekologi diturunkan lagi menjadi beberapa

atribut penciri seperti status ekploitasi, variabel peremajaan, perubahan rantai

makanan, jarak migrasi dan atribut lainnya. Selanjutnya upaya penangkapan

tentu didorong oleh motif ekonomi dan pemenuhan kebutuhan guna peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Kegiatan usaha penangkapan tidak bisa dilepaskan

dari kondisi sosial masyarakat perikanan/nelayan yang berada di wilayah

tersebut dan memanfaatkan sumber daya ikan. Perilaku dan kondisi sosial

12
tersebut perlu “dipotret” untuk memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya

ikan berjalan dengan baik dan berkelanjutan.

Pemanfaatan sumber daya ikan tidak bisa dilepaskan dari pemanfaatan

teknologi yang menjadi sarana dalam usaha perikanan tangkap. Untuk itu

evaluasi terhadap dimensi teknologi beserta atribut pendukung juga tidak bisa

dipisahkan. Pemanfaatan sumber daya ikan akan menjadi bias dan destruktif

jika tidak dilandaskan pada kaidah-kaidah yang berlaku dan berkesesuaian

dengan etika lingkungan. Tanpa mengindahkan etika lingkungan, maka jaminan

kelestarian sumber daya ikan menjadi isapan jempol semata. Oleh karenanya,

etika menjadi salah satu dimensi yang harus dikaji. Selanjutnya yang terakhir

adalah dimensi kelembagaan. Kebijakan dan peraturan serta sumber-sumber

aturan lokal yang berjalan di tengah masyarakat merupakan penentu bagi

berjalannya arah usaha penangkapan. Aturan yang tidak berpihak dan bias, akan

menghasilkan upaya-upaya penangkapan ynag destruktif dan pada gilirannya

akan mengancam kelestarian sumber daya ikan.

Indikator-indikator kelestarian sumber daya alam di atas sebelumnya

telah diintrodusir dan diterima dalam komunitas ahli perikanan secara luas.

Acuan dasar dalam penetapan dimensi dan atribut tersebut mengacu pada

indikator yang dikembangkan oleh FAO dalam rangka implementasi CCRF 1995.

Berdasarkan indikator tersebut dilakukan analisis status masing-masing

aspek/dimensi kelestarian, apakah mendukung atau tidak terhadap kelestarian

sumber daya ikan dalam suatu wilayah tertentu untuk jenis perikanan yang

spesifik. Hasil analisis ini sangat penting agar dapat merumuskan kebijakan yang

spesifik dapat dilakukan untuk aspek tertentu. Dasar dari penentuan status ini

nantinya menjadi barometer dalam penentuan kebijakan apa yang harus

dilakukan guna terjaminnya keberlanjutan sumber daya ikan. Adapun indikator

13
pembangunan perikanan bertanggung jawab berkelanjutan dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1 Indikator pembangunan perikanan bertanggung jawab dan


berkelanjutan

ASPEK INDIKATOR

• Status eksploitasi • Perubahan ukuran ikan


• Keragaman rekrutmen • Penangkapan ikan
Ekologi • Tekanan terhadap terumbu sebelum dewasa
karang • Jarak migrasi
• Tekanan terhadap mangrove • Jumlah spesies tertangkap
• Tingkat abrasi • Sedimentasi
• Sektor tenaga kerja • Besarnya pasar
• Sumber pemasukan lain • Transfer keuntungan
Ekonomi • Penghasilan terhadap UMR • Kontribusi PAD
• Sarana Ekonomi • GDP per orang
• Besarnya subsidi • Keuntungan
• Waktu • Tingkat pendidikan
• Waktu perbaikan • Pengetahuan lingkungan
• Peran masyarakat • Pertumbuhan tenaga kerja
Sosiologi • Partisipasi keluarga • Jumlah tenaga kerja
• Frekuensi konflik pemanfaat
• Sosialisasi terhadap isu
perikanan
• Penanganan di atas kapal • Kekuatan alat tangkap
• Penanganan pasca panen • Ukuran kapal
Teknologi • Alat tangkap destruktif • Rambu lalu lintas
• Fish Aggregating Divice • Jenis alat tangkap
• Alat tangkap selektif • Penyebaran TPI
• Pengaturan perundangan • Mitigasi ekosistem
• Ikan yang terbuang • Aturan pengelolaan
Etika • Perikanan ilegal • Equity in entry
• Hak untuk memasarkan • Alternatif
• Mitigasi habitat • Kedekatan dan
kepercayaan
• Lembaga kemitraan • Fungsionalisasi
• Limited entry • Personil
Kelembagaan • Intensitas pemanfaatan • Penyuluhan
• Zonasi peruntukkan’ • Peraturan adat istiadat dan
• Transparansi nilai-nilai
• Peraturan formal
Diolah dari Alder et al. (2000)

Setelah mengevaluasi kebijakan yang ada, maka akan dicari suatu

alternatif alokasi jumlah alat tangkap yang optimum dioperasikan menurut

14
jenisnya di wilayah perairan kabupaten Indramayu sebagai salah satu alternatif

kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan melalui analisis tingkat

efisiensi pemanfaatan menggunakan metode Data Envelope Analysis (DEA).

DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai (value free)

karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan

penilaian (judgement) dari pengambil keputusan (Korhumen et.al., 1998 dalam

Fauzi dan Anna, 2005). Pada analisis ini dibutuhkan data output (penerimaan

bersih dan tenaga kerja) dan input (investasi, biaya per trip, biaya tetap, GT kapal

serta jumlah hari dalam 1 trip.

Selanjutnya dalam melakukan analisis tersebut juga harus memperhatikan

peraturan perundang-undangan nasional yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun

2004 tentang Perikanan dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya serta

memperhatikan ketentuan internasional seperti CCRF 1995. Adapun tujuan dan

target dari pengelolaan tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan

pendapatan nelayan, meningkatkan PAD perikanan tangkap, menyerap tenaga

kerja perikanan, dan mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan yang

didasarkan pada pembangunan nasional berkelanjutan dengan memperhatikan

aspek sosial, budaya, ekonomi, ekologi, hukum dan teknologi.

Penyusunan analisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap

berkelanjutan di Kabupaten Indramayu dijelaskan pada diagram alir tahapan

pelaksanaan penelitian seperti pada Gambar 1 berikut ini.

15
SUMBER DAYA IKAN Upaya Penangkapan
(Jenis, Sebaran, Potensi Lestari/MSY)

Hasil Tangkapan

KEBIJAKAN Tingkat Pemanfaatan


Otonomi daerah
PENGELOLAAN PERIKANAN

STATUS PERIKANAN TANGKAP

EKOLOGI SOSIAL EKONOMI TEKNOLOGI

Over fishing Kesejahteraan Rendah, Berbagai jenis alat


Kerusakan Lingkungan Tidak Ada Budaya Konservasi, tangkap, ukuran kapal,
Perairan, SDM Rendah dan fishing ground
Lingkungan Pesisir yang semakin jauh

EVALUASI KEBIJAKAN

Partisipasi Masyarakat Peraturan Perundang-undangan

Pembangunan Berkelanjutan Ketentuan Internasional


Sosiologi Ekonomi Budaya
Teknologi Hukum Ekologi

Alternatif Kebijakan Pengelolaan


Perikanan Tangkap Berkelanjutan

PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN

TUJUAN DAN TARGET PENGELOLAAN


Peningkatan Kesejahteraan dan Pendapatan Nelayan,
Peningkatan PAD Perikanan Tangkap,
Penyerapan Tenaga Kerja Perikanan,
Mewujudkan Perikanan Tangkap Berkelanjutan

Gambar 1 Diagram alir tahapan pelaksanaan penelitian.


Keterangan:
Batas Penelitian

Feed Back
Keterkaitan dan Hubungan

16
3 TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Analisis Kebijakan

Kebijakan adalah suatu peraturan yang mengatur atau mengubah suatu

kondisi ke kondisi yang lebih baik (Murtadi 1999). Manusia menetapkan suatu

kebijakan merupakan upaya manusia untuk mengetahui dan mengatasi sesuatu.

Kebijakan dapat dibedakan menjadi kebijakan publik (public policy) dan kebijakan

pribadi (privat policy). Salah satu kebijakan publik adalah pengelolaan perikanan

tangkap. Mustodidjaja (1992) mendefinisikan bahwa kebijakan publik merupakan

suatu keputusan untuk mengatasi masalah tertentu, kegiatan tertentu atau untuk

mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang secara

formal dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Menurut Hogwood dan Gun (1984) kebijakan publik adalah tindakan

kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimasi untuk

mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan pribadi (individu

atau lembaga swasta). Kebijakan publik memiliki dua ciri pokok, yaitu: (1) dibuat

atau diproses oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang

ditetapkan oleh pemerintah; dan (2) bersifat memaksa atau berpengaruh

terhadap tindakan pribadi masyarakat luas (public). Kebijakan privat adalah

tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat

memaksa kepada orang lain atau lembaga lain.

Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang

menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan

dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga

dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-

masalah kebijakan. Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang


menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga memberi

landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn 1998).

Analisis kebijakan dilakukan untuk menentukan alternatif kebijakan terbaik guna

mengatasi permasalahan atau untuk mencapai sejumlah tujuan yang diinginkan.

Metode analisis kebijakan diambil dari dan memadukan elemen-elemen

dari berbagai disiplin: ilmu politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, filsafat. Analisis

kebijakan sebagian bersifat deskriptif, diambil dari disiplin-disiplin tradisional

(misalnya ilmu politik) yang mencari pengetahuan tentang sebab dan akibat dari

kebijakan-kebijakan publik. Namun analisis kebijakan juga bersifat normatif;

tujuan lainnya adalah menciptakan dan melakukan kritik terhadap klaim

pengetahuan tentang nilai kebijakan publik untuk generasi masa lalu, masa kini

dan masa mendatang (Dunn, 1998)

Hogwood dan Gunn (1984) membagi dua proses perumusan suatu

kebijakan, yaitu studi kebijakan dan analisis kebijakan. Studi kebijakan

dipergunakan untuk menggambarkan proses pengetahuan tentang suatu

kebijakan atau proses kebijakan itu sendiri. Di dalam studi kebijakan terdapat

beberapa aktivitas yaitu studi isi kebijakan dan studi evaluasi kebijakan

sebagaiman Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Bentuk penyusunan kebijakan publik (Hogwood dan Gunn 1984).

18
Analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian

teori deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi, karena masalah-masalah

kebijakan cukup kompleks. Oleh karena itu, teori-teori semacam ini sering gagal

untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil keputusan

mengendalikan dan memanipulasi proses kebijakan. Analisis kebijakan juga

menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat

dimanfaatkan untuk memecahkan masalah. Selain itu, analisis kebijakan juga

menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik.

Dengan demikian, analisis kebijakan meliputi evaluasi maupun anjuran

kebijakan.

Dunn (1998) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah jenis analisis

yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi

para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisis”

digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung

menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya

pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-komponen tapi juga

merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini

meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah yang

mendahului atau untuk mengevaluasi program yang sudah selesai. Terdapat 3

pendekatan dalam analisis kebijakan, yaitu: (1) pendekatan empiris, (2)

pendekatan evaluatif dan (3) pendekatan normatif.

3.2 Pengelolaan Perikanan

Dalam Ketentuan Umum Bab I pasal 1 ayat 7 Undang-undang Perikanan

Nomor 31 Tahun 2004 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan

perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam

pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan

19
keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum

dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh

pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan

produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.

3.3 Pembangunan Berkelanjutan

Istilah berkelanjutan berasal dari Bahasa Inggris yaitu “sustainability”.

Istilah ini sebetulnya bukan istilah baru. Di bidang kelautan dan perikanan istilah

ini telah lama digunakan, yaitu maximum sustainable yield dan maximum

sustainable catch. Istilah ini menunjukan besarnya hasil atau tangkapan

maksimum yang dapat diperoleh secara lestari (Supardi 2003). Dengan kata lain,

agar pemanfaatan sumber daya lestari, maka laju pemanfaatan itu harus lebih

kecil atau sama dengan laju proses pemulihan sumber daya tersebut.

Akhir-akhir ini, istilah berkelanjutan digunakan untuk konsep

pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai

pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa

mengurangi kemampuan generasi yang akan datang. Konsep pembangunan

berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi,

ekonomi, dan sosial (Munasinghe 2002).

Kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan untuk kelangsungan

hidup hayati dan kebutuhan untuk kehidupan manusiawi. Kebutuhan untuk

kelangsungan hidup hayati adalah kebutuhan yang paling esensial, meliputi

udara, air dan pangan yang harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang

memadai untuk dapat hidup sehat. Sedangkan kebutuhan untuk kehidupan

manusiawi mempunyai arti untuk menaikan martabat dan status sosial (Supardi

2003).

20
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali dipublikasikan oleh The

World Concervation Strategy pada tahun 1980 di Gland, Swiss dan menjadi

pusat pemikiran untuk pembangunan dan lingkungan. Pada WCS tersebut

pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai berikut : Sustainable

development – maintenance of essential ecological processes and life support

systems, the preservation of genetic diversity, and the sustainable utilization of

species and ecosystems. Definisi lain yang terkenal dikemukakan oleh World

Commission on Environtment and Development (WCED) 1978, yang dikenal pula

dengan nama Komisi Bruntland, adalah “pembangunan yang memenuhi generasi

kini tanpa membahayakan generasi mendatang untuk dapat memenuhi sendiri

kebutuhan mereka” (Budiharsono, 2006). Komisi tersebut terdiri dari banyak

perwakilan dari negara maju dan berkembang serta melakukan pertemuan

terbuka di berbagai negara.

Dengan menjelaskan pengertian pembangunan berkelanjutan serta

menerangkan implikasi dibaliknya, Komisi Bruntland kemudian

mengidentifikasikan tujuh tujuan penting untuk kebijakan pembangunan dan

lingkungan. Ketujuh tujuan tersebut, yaitu:

(1) Memikirkan kembali makna pembangunan.

(2) Merubah kualitas pertumbuhan (lebih menekankan pada pembangunan dari

pada sekedar pertumbuhan).

(3) Memenuhi kebutuhan dasar akan lapangan kerja, makanan, energi, air dan

sanitasi.

(4) Menjamin terciptanya keberlanjutan pada satu tingkat pertumbuhan

penduduk tertentu.

(5) Mengkonversi dan meningkatkan sumber daya.

(6) Merubah arah teknologi dan mengelola resiko.

21
(7) Memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan

keputusan.

Menindaklanjuti publikasi Our Common Future, banyak upaya telah

dilakukan untuk mengembangkan pedoman dan prinsip-prinsip pembangunan

berkelanjutan. Hal ini dikarenakan, tanpa pedoman atau prinsip, tidak mungkin

menentukan apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat dikatakan

berkelanjutan, atau apakah suatu prakarsa konsisten dengan pembangunan

berkelanjutan. Berdasarkan tujuan kebijakan dan lingkungan di atas, selain dapat

meningkatkan kualitas hidup manusia, pembangunan juga mendukung prinsip-

prinsip kehidupan yang berkelanjutan. Adapun prinsip-prinsip tersebut yaitu: (1)

menghormati dan memelihara komunitas kehidupan, (2) memperbaiki kualitas

hidup manusia, (3) melestarikan daya hidup dan keragaman bumi, (4)

menghindari sumber daya - sumber daya yang tidak terbarukan, (5) berusaha

tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi, (6) mengubah sikap dan gaya

hidup orang per orang, (7) mendukung kreativitas masyarakat untuk memelihara

lingkungan sendiri, (8) menyediakan kerangka kerja nasional untuk memadukan

upaya pembangunan pelestarian, dan (9) menciptakan kerja sama global

(Supardi 2003).

Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang

sangat diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan (Gambar 3). Setiap

komponen tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh

kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumber daya

manusia, khususnya melalui peningkatan konsumsi barang-barang dan jasa

pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem

ekologi. Sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia,

pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi

(Munasinghe 2002).

22
Gambar 3 Bentuk pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan kerangka
trans-disiplin (Munasinghe 2002).

Munasinghe (2002) menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan

harus berdasarkan pada empat faktor, yaitu: (1) terpadunya konsep “equity”

lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan

secara khusus aspek ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus aspek

lingkungan; dan (4) dipertimbangkan secara khusus aspek sosial budaya. Dahuri

(2001) menyatakan ada tiga prasyarat yang dapat menjamin tercapainya

pembangunan berkelanjutan yaitu: keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi,

dan pemanfaatan berkelanjutan.

Dari Gambar 3 mengindikasikan bagaimana menggabungkan kerangka

“sustainomics”, dan dasar hubungan pengetahuan trans-disiplin, akan

mendukung pendugaan komprehensif dan keseimbangan trade-off dan sinergi

yang mungkin terjadi dalam pembangunan berkelanjutan antara dimensi

ekonomi, sosial dan lingkungan. Keseimbangan juga diperlukan dalam

pembangunan secara tradisional. Pendekatan dalam pembangunan

berkelanjutan terus berkembang seiring kemajuan jaman, sehingga perlu adanya

23
perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan tempat. Secara ideal

pembangunan berkelanjutan tujuannya sangat tidak tersentuh. Oleh karena itu,

berdasarkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan sumber

daya pesisir dan lautan harus memperhatikan dimensi ekonomi, sosial,

lingkungan, dan hukum. Hal ini berguna untuk menjamin keberlanjutan sumber

daya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif (Munasinghe 2002).

Munasinghe (2002) lebih lanjut menyatakan bahwa perkembangan

dimensi ekonomi seringkali dievaluasi dari makna manfaat yang dihitung sebagai

kemauan untuk membayar (willingnes to pay) terhadap barang dan jasa yang

dikonsumsi. Konsep modern dari keberlanjutan ekonomi adalah mencari untuk

memaksimalkan aliran pendapatan atau konsumsi yang dapat menghasilkan.

Efisiensi ekonomi memainkan peranan dalam memastikan alokasi sumber daya

dalam produksi dan efisiensi konsumsi yang memaksimalkan pemanfaatan.

Menurut Charles (2001) konsep pembangunan berkelanjutan

mengandung aspek :

(1) Keberlanjutan ekologi: memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga

melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas

ekosistem dengan perhatian utama.

(2) Keberlanjutan sosio-ekonomi: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan

pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai

tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian

keberlanjutan.

(3) Keberlanjutan komunitas: keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas

atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang

berkelanjutan.

(4) Keberlanjutan kelembagaan: menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan

administrasi yang sehat sebagai prasyarat ketiga pembangunan perikanan.

24
Gambar 4 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles 2001).

Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan

pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan

antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi (dalam hal ini

kebijakan perikanan tangkap) yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah,

pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi

bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Dalam konteks hubungan

antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi

masyarakat dan swasta.

3.4 Kebijakan Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sumber daya ikan yang

sangat besar baik ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas. Potensi lestari

sumber daya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,26 juta ton per tahun

yang terdiri atas potensi di perairan wilayah Indonesia sekitar 4,40 juta ton per

tahun dan perairan ZEE Indonesia sekitar 1,86 juta ton per tahun. Berdasarkan

pengelompokan jenis ikan, maka potensi perikanan pelagis besar 1,05 juta ton,

25
pelagis kecil 3,24 juta ton, demersal 1,79 juta ton, dan udang 0,08 juta ton (DKP

dan PKSPL 2001).

Sumber daya ikan bisa diperbaharui, namun sumber daya ikan

mempunyai batas-batas tertentu. Apabila sumber daya ikan dimanfaatkan tanpa

batas atau tidak rasional serta melebihi batas optimal (MSY), maka dapat

mengakibat kerusakan dan terancamnya kelestarian (Tribawono, 2002). Oleh

karena itu, untuk menciptakan pemanfaatan yang berkelanjutan, maka diperlukan

suatu kebijakan terpadu untuk mengelola sumber daya ikan.

Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pada

Pasal 1 butir disebutkan bahwa sumber daya ikan adalah potensi semua jenis

ikan. Sedangkan pada butir 4 disebutkan bahwa ikan adalah segala jenis

organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam

lingkungan perairan. Sebagaimana yang tertuang dalam penjelasan Undang-

undang No. 31 Tahun 2004, yang dimaksud dengan "jenis ikan" adalah:

(1) Pisces (ikan bersirip);

(2) Crustacea (udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya);

(3) Mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan sebangsanya);

(4) Coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya);

(5) Echinodermata (tripang, bulu babi, dan sebangsanya);

(6) Amphibia (kodok dan sebangsanya);

(7) Reptilia (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air, dan sebangsanya);

(8) Mammalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung, dan sebangsanya);

(9) Algae (rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air);

dan

(10) Biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut di

atas

26
Besarnya potensi sumber daya ikan di atas disertai dengan kompleksitas

permasalahan, baik struktural maupun fungsional, khususnya pada era

pemerintahan orde baru yang sentralistik. Hal ini dicerminkan dengan kemiskinan

yang masih melilit masyarakat nelayan. Padahal laut Indonesia menyimpan

potensi sumber daya ikan yang sangat besar. Adrianto dan Kusumastanto (2004)

mengatakan bahwa paling tidak ada tiga hal yang menjadi penyebab

ketidakseimbangan dalam pembangunan perikanan Indonesia, yaitu: (1) masih

rendahnya muatan teknologi di sektor kelautan dan perikanan, yang dicerminkan

dengan 87% perikanan tradisional; (2) lemahnya pengelolaan; dan (3) masih

kurangnya dukungan ekonomi-politik. Dengan demikian, agar tercipta

pembangunan perikanan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan perikanan.

Menurut Jones (1977), kebijakan perikanan adalah serangkaian

keputusan yang saling berhubungan yang dibuat oleh seorang aktor perikanan

berkenaan dengan pemilihan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan dalam

situasi yang dikuasai oleh aktor atau kelompok tersebut. Lebih lanjut Jones

(1977) menyatakan kebijakan perikanan adalah suatu keputusan pemerintah

untuk memecahkan masalah-masalah negara atau masyarakat nelayan.

Kebijakan (policy) adalah rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis besar

dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan untuk meningkatkan

sasaran pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

Pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan merupakan suatu proses

mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia yakni

dengan cara menyerasikan aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan daya

dukung sumber daya alam. Perairan laut bersifat milik bersama (common

resources ), sehingga siapa pun dapat memanfaatkan sumber daya hayati yang

ada didalamnya. Menurut Smith dan Marahuddin (1986), menyatakan bahwa

istilah ‘milik bersama’ merupakan pembagian hak-hak milik atas sumber daya

27
dimana beberapa pemilik mempunyai hak yang sama untuk menggunakan

sumber daya ikan tersebut. Agar tidak terjadi konflik diantara pemanfaat laut,

maka perlu dibuat peraturan perundang-undangan perikanan, baik yang berlaku

secara lokal, nasional, regional maupun internasional.

Dengan demikian, pengelolaan perikanan merupakan upaya yang

dinamis, yaitu sesuai dengan perspektif para stakeholder yang senantiasa

berkembang. Sebagai implikasi dari perkembangan perspektif tersebut,

penyesuaian atau perubahan dapat terjadi pada tujuan, strategi dan kegiatan

pengelolaan perikanan. Pada awalnya pengelolaan perikanan cenderung hanya

bertujuan melestarikan sumber daya ikan. Namun pada perkembangan

selanjutnya, tujuan ini semakin luas dengan adanya keprihatinan terhadap para

pelaku utama, sehingga pengelolaan perikanan harus juga menguntungkan

mereka. Pada saat kekayaan alam dianggap sebagai milik rakyat maka muncul

perhatian agar sumber daya ikan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi

masyarakat luas. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan saat ini bertujuan untuk

melestarikan sumber daya ikan dan kondisi lingkungan, memaksimumkan

manfaat ekonomi sumber daya ikan, dan memastikan diterapkannya keadilan

terhadap para pengguna yang telah memanfaatkan sumber daya alam milik

umum tersebut (Sondita 2004). Dengan tujuan-tujuan tersebut, kegiatan

perikanan diharapkan berkelanjutan.

Sementara itu, kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan ialah

keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong,

mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan dan kelautan guna

mewujudkan tujuan pembangunan nasional (Simatupang 2001). Kebijakan ini

harus dipandang dalam konteks pembangunan nasional yang tujuannya tidak

hanya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan saja tetapi kesejahteraan

seluruh rakyat. Ini berarti bahwa kebijakan pengelolaan perikanan dan kelautan

28
termasuk ke dalam kategori kebijakan publik, dilakukan oleh pemerintah dan

berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat luas.

Untuk mewujudkan keberhasilan pencapaian pengembangan kawasan

pesisir, maka penanganan kawasan ini perlu memperhatikan pembangunan yang

berorientasi kepada (DKP dan PKSPL 2001):

(1) Kebijakan yang didasarkan kepada kesesuaian dengan adat istiadat dan

budaya setempat.

(2) Berbasis kepada masyarakat.

(3) Berwawasan lingkungan dengan pengelolaannya yang berdasarkan pada

azas lestari dan berkelanjutan.

(4) Tidak diskriminatif terhadap semua pelaku pembangunan dan stakeholder di

kawasan pesisir, namun mempunyai jiwa kepeloporan dalam pembangunan.

Menurut Charles (2001), terdapat tiga komponen kunci dalam sistem

perikanan berkelanjutan, yaitu: (1) sistem alam (natural system ) yang mencakup

ikan, ekosistem, dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human system)

yang mencakup nelayan, sektor pengolah, pengguna, komunitas perikanan,

lingkungan sosial/ekonomi/budaya; dan (3) sistem pengelolaan perikanan

(fishery management system ) yang mencakup perencanaan dan kebijakan

perikanan, manajemen perikanan, pembangunan perikanan, dan penelitian

perikanan.

Dengan demikian, dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa sistem

perikanan adalah sistem yang kompleks. Kompleks didefinisikan apabila sistem

tersebut memiliki sejumlah unsur yang terkait satu sama lain secara dinamik

maupun statis (Charles 2001). Selanjutnya Charles (2001) mengungkapkan,

bahwa dalam prakteknya, keragaman sistem perikanan bersumber dari beberapa

hal, yaitu: (1) banyaknya tujuan dan seringkali menimbulkan konflik antar tujuan;

(2) banyaknya spesies dan interaksi antar spesies dalam konteks level tropik; (3)

29
banyaknya kelompok nelayan beserta interaksinya dengan sektor rumah tangga

dan komunitas; (4) banyaknya jenis alat tangkap dan interaksi antar mereka; (5)

struktur sosial dan pengaruhnya terhadap perikanan; (6) dinamika informasi

perikanan dan diseminasi; (7) dinamika interaksi antara sumber daya ikan,

nelayan dan lingkungan; (8) ketidakpastian dalam masing-masing komponen

sistem perikanan.

Sementara itu, menurut Bailey (1988), kebanyakan penangkapan ikan di

daerah pantai di Asia Tenggara sedang mendekati atau telah melampaui

ambang penangkapan yang menjadi syarat bagi pemanfaatan maksimum ,

karena peningkatan-peningkatan luar biasa dalam usaha penangkapan ikan

selama dua dasawarsa terakhir ini. Jumlah nelayan kecil yang terus meningkat

dan digunakannya alat penangkap ikan yang sangat efektif seperti pukat harimau

telah menciptakan suatu ancaman yang serius terhadap sumber daya ikan yang

cukup rentan ini. Ada pengakuan yang semakin besar akan perlunya

menetapkan rencana-rencana pengelolaan yang efektif atas penangkapan ikan

di daerah pantai guna menjamin terpeliharanya hasil-hasil yang tinggi untuk

jangka panjang.

Menurut Azis et al. (1998), wilayah penangkapan ikan di Laut Jawa

diindikasikan telah mengalami over fishing pada berbagai jenis stok sumber daya

ikan seperti udang, ikan pelagis kecil, dan cumi-cumi. Beberapa hal yang

mempengaruhi terjadinya over fishing, yaitu jumlah nelayan, jumlah armada

penangkapan, serta jumlah dan jenis alat tangkap yang dipakai dalam perikanan

tangkap di suatu wilayah perairan. Penangkapan ikan dengan metode tidak

ramah lingkungan akan mempercepat terjadinya over fishing karena kegiatan

penangkapan yang semakin tidak selektif dan terjadinya kerusakan habitat

sebagai akibat dari metode penangkapan yang merusak. Namun alat tangkap

30
legal juga tetap menyebabkan over fishing jika penerapan effort dilakukan

melebihi kapasitas yang mungkin bagi stok sumber daya dalam melakukan

pemulihan (DKP 2003).

Terjadinya penangkapan secara berlebihan disebabkan oleh:

(1) meningkatnya jumlah penduduk sehingga meningkatkan tekanan terhadap

sumber daya, termasuk perikanan tangkap; (2) sumber daya ikan bersifat akses

terbuka sehingga setiap orang berhak untuk melakukan penangkapan secara

bebas dan; (3) gagalnya manajeman perikanan` (DKP 2003a). Laju eksploitasi

sumber daya ikan yang tinggi dan melebihi daya dukungnya berdampak

langsung terhadap keberlanjutan ketersediaan sumber daya, mempercepat

proses kerusakan sumber daya ikan dan menurunnya pertumbuhan ekonomi

jangka panjang dengan cepat dan tidak dapat dihindari. Model pembangunan di

masa mendatang tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan

perikanan berkelanjutan.

Menurut Gulland (1983), indikator terjadinya over fishing ditunjukkan

dengan menurunnya ukuran ikan yang ditangkap, dan makin menurunnya CPUE.

Berkurangnya jumlah dan komposisi spesies ikan merupakan indikator integritas

biotik ekosistem perairan. Hal ini diakibatkan selain oleh penangkapan berlebih

juga oleh adanya tekanan terhadap perairan sehubungan dengan pemanfaatan

lahan di wilayah pesisir terutama konversi kawasan mangrove menjadi tambak

dan sebagainya.

Sumber daya ikan perlu dikelola secara baik untuk menjamin

kelestariannya. Sumber daya ikan memiliki kelimpahan yang terbatas, sesuai

daya dukung habitatnya. Sumber daya ikan dikenal sebagai sumber daya milik

bersama yang rawan over fishing (Monintja dan Yusfiandayani 2001). Menurut

Boer dan Azis (1995), salah satu tugas pengelola sumber daya ikan adalah

menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable

31
Catch (TAC) yang akan didistribusikan menjadi porsi nasional (Domestic

Harvesting Capacity/DHC). Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai

hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan

dari seluruh potensi sumber daya ikan tersebut sebesar 5.01 juta ton per tahun

atau sekitar 80% dari potensi lestari (DKP 2002).

Dengan asumsi bahwa pemerintah sepenuhnya dapat mengendalikan

kondisi over fishing dan jumlah nelayan, maka menurut Nikijuluw (2002)

pemerintah dapat mengambil beberapa bentuk kebijakan dalam rangka

pengelolaan sumber daya ikan. Beberapa tindakan pengelolaan perikanan dalam

melakukan pengendalian sumber daya, diantaranya yaitu: pengendalian

terhadap masukan (input controls), pengendalian keluaran (output controls),

tindakan teknik (technical measures), pengelolaan berbasis ekologi (ecologically

based management), dan instrumen ekonomi tidak langsung (indirect economic

instruments) (Charles 2001).

3.4.1 Pengendalian terhadap masukan (input controls)

Ide dasar input controls adalah mengatur upaya tangkapan (fishing effort).

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam input controls, diantaranya yaitu:

(1) Pembatasan masukan (limiting entry)

(2) Pembatasan kapasitas kapal (limiting the capacity per vessel)

(3) Pembatasan intensitas operasi (limiting the intensity of operation)

(4) Pembatasan waktu penangkapan (limiting time fishing)

(5) Pembatasan lokasi penangkapan (limiting the location of fishing)

3.4.2 Pengendalian terhadap keluaran (output controls)

Ketika input controls fokus pada pembatasan berbagai komponen upaya

tangkapan, output controls fokus pada seluruh tangkapan yang diambil dari stok

32
ikan. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam output controls,

diantaranya yaitu:

(1) Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch)

(2) Kuota individu (individual quota)

(3) Kuota masyarakat (community quota)

(4) Pengendalian (escapement controls)

3.4.3 Tindakan teknik (technical measures)

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam tindakan teknik,

diantaranya yaitu:

(1) Pembatasan alat tangkap (gear restrictions)

(2) Kebijakan ini pada dasarnya ditujukan untuk melindungi sumber daya ikan

dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak atau destruktif.

Disamping itu, kebijakan ini juga dapat dilakukan dengan alasan sosial politik

untuk melindungi nelayan yang menggunakan alat tangkap yang kurang atau

tidak efisien.

(3) Pembatasan ukuran (size limits)

(4) Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau

mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini

dilakukan dalam rangka memberi kesempatan pada ikan yang masih muda

untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan

berproduksi sebelum ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak

pada komposisi hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yang tertangkap.

Penerapan kebijakan ini secara tunggal (tidak diikuti oleh kebijakan lain),

akan mengakibatkan tidak terkontrolnya jumlah hasil tangkapan, karena

jumlah kapal yang melakukan penangkapan tidak terkontrol.

(5) Penutupan kawasan (closed area)

33
(6) Kebijakan ini pada dasarnya mempunyai pengertian menghentikan kegiatan

penangkapan ikan di suatu perairan. Kebijakan ini dapat bersifat permanen,

atau dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Dampak dari kebijakan

ini relatif sama dengan kebijakan penutupan musim. Dalam hal ini terdapat

beberapa negara yang menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan

ukuran tertentu dan atau alat tangkap tertentu.

(7) Penutupan musim (closed season)

(8) Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan

sumber daya ikan, yang umumnya dilakukan di negara dimana sistim

penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan

pada sifat sumber daya ikan yang sangat tergantung pada musim, dan sering

kali hanya ditujukan pada satu spesies saja dalam kegiatan perikanan yang

bersifat multi species. Beddington dan Ratting diacu dalam Nikijuluw (2002)

mengemukakan adanya dua bentuk penutupan musim, yaitu : (1) Penutupan

musim penangkapan ikan pada waktu tertentu, untuk memungkinkan ikan

melakukan aktivitas pemijahan & berkembang biak (2) Penutupan kegiatan

penangkapan ikan dengan alasan sumber daya ikan telah mengalami

degradasi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Oleh karena itu,

dilakukan kebijakan ini untuk membuka peluang pada sumber daya ikan yang

masih tersisa untuk memperbaiki populasinya.

3.4.4 Pengelolaan berbasis ekologi (ecologically based management)

Pengelolaan berbasis ekologi merupakan salah satu metoda alternatif

untuk pengelolaan ekosistem sumberdaya ikan. The Ecosystem Principles

Advisory Panel (EPAP), menyatakan bahwa pengelolaan berbasis ekologi

mengemban sedikitnya empat aspek utama, yaitu: (1) interaksi antara target

species dengan predator, kompetitor dan spesies mangsa; (2) pengaruh musim

34
dan cuaca terhadap biologi dan ekologi ikan; (3) interaksi antara ikan dan

habitatnya; dan (4) pengaruh penangkapan ikan terhadap stok ikan dan

habitatnya, khususnya bagaimana menangkap satu spesies yang mempunyai

dampak terhadap spesies lain di dalam ekosistem (Wiyono 2006).

Selanjutnya Wiyono (2006) menjelaskan bahwa pada tataran

pelaksanaan, EBM sering dikaitkan dengan marine protected area (MPA), yang

didefinisikan sebagai suatu wilayah yang populasi sumberdayanya bebas

eksploitasi. Tujuan MPA adalah untuk melindungi sumber daya dari eksploitasi

agar sumber daya tersebut pulih kembali. Disamping meningkatkan ukuran ikan,

MPA juga diharapkan mampu mengembalikan stok sumber daya yang telah

rusak. Khususnya bagi pengelolaan perikanan di Indonesia, mereka secara tegas

mengusulkan untuk mengganti metoda pendekatan pengelolaan perikanan yang

selama ini didasarkan pada nilai MSY dengan MPA.

3.4.5 Instrumen ekonomi tidak langsung (indirect economic instruments)

Dalam mengelola sumber daya ikan, pemerintah dapat pula mengambil

kebijakan-kebijakan yang bersifat tidak langsung. Kebijakan ini pada umumnya

berkaitan erat dengan biaya dan harga, diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Penerapan Pajak dan Subsidi

Penerapan pajak maupun subsidi pada hakekatnya adalah kebijakan yang

dapat diambil oleh pemerintah, dan akan berpengaruh pada struktur biaya

produksi. Pencabutan atau penurunan pajak serta pemberian subsidi akan

memberikan pengaruh pada semakin rendahnya biaya produksi, dari sini

diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan pada tingkat

produksi yang sama. Sebaliknya, pengenaan pajak serta pencabutan subsidi

akan berdampak pada meningkatnya biaya produksi, dan hal ini dapat

35
mempengaruhi kesejahteraan nelayan, termasuk kelestarian sumber daya

ikan.

2) Strategi Harga dan Pemasaran

Kebijakan ini adalah bentuk lain dari upaya yang dapat dilakukan oleh

pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan. Sistem

pemasaran serta harga yang baik akan memberikan dampak peningkatan

pada kesejahteraan nelayan, dan pada akhirnya diharapkan akan berdampak

pula pada semakin ringannya tekanan terhadap sumber daya ikan yang ada.

Hal ini disebabkan strategi harga dan pemasaran yang tepat, dapat

berdampak pada perolehan harga ikan yang optimal dan pada akhirnya akan

memberikan pendapatan yang optimal pula.

3.5 Kebijakan Pemerintah

Dalam Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.

18/Men/2002 tentang Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan

Tahun 2001-2004, disebutkan bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan

sebagai suatu organisasi perikanan yang bertanggung jawab melaksanakan

sebagian tugas pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. Lembaga ini

memiliki tugas pokok dalam membantu presiden dalam menyelenggarakan

sebagian tugas pemerintahan dalam bidang kelautan dan perikanan.

Adapun fungsinya antara lain adalah melakukan:

(1) Penetapan kebijakan di bidang kelautan dan perikanan untuk mendukung

pembangunan secara makro.

(2) Penetapan pedoman pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam di

bidang kelautan dan perikanan.

(3) Pengaturan tata ruang perairan di luar 12 mil.

36
(4) Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, pengelolaan

dan pemanfaatan sumber daya alam perairan di wilayah laut diluar 12 mil,

termasuk perairan nusantara dan dasar lautnya serta Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia dan landas kontinennya.

(5) Penetapan kebijakan dan pengaturan batas-batas maritim yang meliputi

batas-batas daerah otonom di laut dan batas-batas ketentuan hukum laut

internasional.

(6) Pemberian ijin di bidang kelautan dan perikanan, di wilayah luar 12 mil,

termasuk perairan nusantara dan dasar lautnya, serta Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia dan landas kontinennya.

Over fishing secara simultan disebabkan oleh baik armada perikanan

tangkap skala industri (industrial fisheries), perikanan sekala kecil (artisanal

fisheries), perikanan yang bersifat rekreasional maupun komersial, penangkapan

oleh nelayan asing maupun lokal, dan penangkapan dengan menggunakan alat

tangkap yang illegal maupun legal. Perikanan skala kecil menjadi sensitif karena

eksploitasi biasanya dilakukan di sekitar pantai yang menjadi wilayah kritis bagi

keberlanjutan stok sumber daya. Perikanan skala besar yang sangat potensial

sebagai penyebab over fishing terutama karena lemahnya penegakkan hukum

dan aturan-aturan terhadap jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan ukuran

effort. Sistem manajemen perikanan konvensional saat ini masih berpedoman

pada: (1) pembatasan volume hasil tangkapan; (2) pembatasan alat tangkap

(ukuran mata jaring), (3) pembatasan effort (jumlah alat tertentu).

Menurut Fauzi dan Anna (2005) dari hasil analisis ekonomi sumber daya

didapatkan kondisi perairan pesisir yang sangat padat. Hal ini dapat terjadi

karena perikanan bersifat quasi open accees. Untuk efisiensi pemanfaatan

sumber daya ikan harus melakukan rasionalisasi armada penangkapan dengan

membatasi jumlah armada. Pengaturannya yaitu kapasitas 0 – 10 GT izin

37
operasinya tetap di perairan pesisir hingga 4 mil. Untuk kapasitas 20 – 30 GT

sebaiknya diarahkan beroperasi ke perairan yang berjarak lebih dari 12 mil. Jalur

penangkapan ikan bertangung jawab disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan SK Menteri Pertanian


No.607/1976

Jalur
Tertutup bagi
penangkapan
Kapal penangkapan ikan bermesin dalam (Inboard) berukuran
diatas 5 GT atau berkekuatan di atas 10 DK; semua jenis
0 – 3 mil jaring Trawl, jaring pukat (Purse Seine), jaring lingkar (Gillnet),
jaring hanyut tongkol (Drift gill net) dan jaring (pukat) di atas
120 meter panjang rentang (Saine Nets Longer)

Kapal penangkap ikan inboard berukuran di atas 25 GT atau


berkekuatan di atas 25 GT atau berkekuatan di atas 50 DK;
3 – 7 mil jaring Trawl dasar berpanel (Otter Board) yang panjang taliris
atas/ bawahnya di atas 12 meter, jaring trawl melayang
(Pelagic Trawl), jaring trawl yang di tarik 2 kapal (Pair Trawl),
dan pukat cincin yang panjangnya di atas 300 meter

Kapal penangkap ikan inbord berukuran di atas 100GT atau


berkekuatan di atas 200 DK; jaring trawl dasar dan melayang
7 – 12 mil berpanel (Otter Board) yang panjang tali ris atas/ bawahnya di
atas 20 meter, pair trawl, dan pukat cincin yang panjangnya di
atas 600 meter.

12 – 200 mil Pair trawl, kecuali di perairan Samudra Indonesia

Dalam konsep pembangunan perikanan berkelanjutan sebagaimana

diamanatkan FAO melalui perikanan yang bertanggung jawab (code of conduct

for responsible fisheries) dan kelestarian sumber daya ikan dengan cara

memanfaatkannya seoptimum mungkin, menjadi fokus perhatian dunia. Upaya

perencanaan kebijakan dan pengelolaan sumber daya ikan secara komprehensif

dan berhasil guna, hendaknya ditindak-lanjuti dengan penyiapan pembangunan

yang baik. Dengan pengelolaan yang tepat dan optimal, maka diharapkan dapat

meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat nelayan (Purbayanto

et al. 2004).

38
Sumber daya ikan itu sangat penting bagi pembangunan yang berbasis

sumber daya (resource-based development). Tanpa sumber daya,

pembangunan perikanan tidak akan ada. Oleh karena itu, pengelolaan sumber

daya ikan adalah jantungnya pembangunan perikanan. Jika ada upaya untuk

mengelola sumber daya ikan, secara implisit hal tersebut berarti menyusun

langkah-langkah untuk membangun perikanan. Sebab itu, tujuan mengelola

sumber daya sering juga disamakan dengan tujuan pembangunan perikanan

(Nikijuluw 2002).

Di kawasan Asia Tenggara, tujuan sosial dan ekonomi seringkali

bertentangan dalam pengelolaan penangkapan ikan daerah pantai. Di negara

yang pemerintahannya menekankan tujuan-tujuan ekonomi, kebijaksanaan

ditujukan untuk menjamin persediaan ikan yang memadai dengan harga yang

dapat dijangkau oleh para konsumen lokal, guna meningkatkan pendapatan

valuta asing dari sektor produk-produk perikanan seperti udang, dan untuk

meningkatkan efisiensi ekonomi (tingkat keuntungan) dalam sektor perikanan

(Bailey 1988).

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu

hasil kesepakatan dalam konferensi FAO pada tanggal 31 Oktober 1995 untuk

menyusun petunjuk teknis perikanan bertanggung jawab. Tata laksana ini

menjadi azas dan standar internasional mengenai pola perilaku praktek

bertanggung jawab dalam pengusahaan sumber daya perikanan dengan maksud

untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan

pengembangan efektif sumber daya hayati akuatik berkenaan dengan

pelestarian ekosistem dan sumber daya hayati (DKP, 2003a).

Kebijakan dan perencanaan perikanan merupakan elemen paling kritis

dalam sistem pengelolaan perikanan. Efektivitas pengelolaan perikanan

39
didasarkan pada tujuan sosial dan melalui penggunaan kebijakan serta

perangkat birokrasi yang sesuai (Charles 2001).

Perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi yang mencakup

penangkapan/pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut secara

bebas. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan

manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus

meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik.

Terdapat beberapa aspek yang berpengaruh dalam kegiatan perikanan tangkap

untuk dikembangkan di suatu kawasan konservasi, antara lain: (1) aspek biologi,

berhubungan dengan sediaan sumber daya ikan, penyebarannya, komposisi

ukuran hasil tangkapan dan spesies, (2) aspek teknis, berhubungan dengan unit

penangkapan, jumlah kapal, fasilitas penanganan di kapal, fasilitas pendaratan

dan fasilitas penanganan ikan di darat, (3) aspek sosial, berkaitan dengan

kelembagaan dan tenaga kerja serta dampak usaha terhadap nelayan, dan (4)

aspek ekonomi, berkaitan dengan hasil produksi dan pemasaran serta efisiensi

biaya operasional yang berdampak kepada pendapatan bagi stakeholders

(Charles 2001).

3.6 Aspek Pengelolaan Daerah Penangkapan Ikan

Meskipun sumber daya ikan mempunyai sifat dapat pulih tetapi mudah

mengalami kemunduran akibat adanya gangguan-gangguan lingkungan

termasuk kegiatan penangkapan yang berlebihan. Berdasarkan hal tersebut,

maka perlindungan sumber daya ikan terhadap upaya penangkapan yang lebih

harus dilakukan secara seksama, dan dengan selalu mengikuti perkembangan

tingkat eksploitasi dari sumber daya ikan tersebut.

Pengalihan daerah penangkapan ikan perlu dilakukan apabila produksi

hasil tangkapan di perairan daerah-daerah penangkapan tersebut telah melebihi

40
potensi lestari, untuk itu diperlukan daerah penangkapan baru yang belum

terjangkau banyak oleh nelayan. Pemanfaatan sumber daya ikan yang

berkelanjutan menuntut pemanfaatan yang tidak melebihi ambang batas dari

daya replika dan reproduksi dari sumber daya ikan dalam periode waktu tertentu.

Oleh karena itu, laju pemanfaatan sumber daya ikan tidak boleh lebih dari

ambang pulih (potensi lestari). Dalam bidang perikanan tangkap, pedoman

tingkat penangkapan suatu stok ikan tidak boleh melebihi 80% dari nilai MSY.

Menurut DKP (2003b), konsep dasar program sistem intensif CCRF

adalah:

(1) Pemeliharaan dan perlindungan ekosistem perairan.

(2) Pengembangan organisasi, manajemen, dan kelembagaan.

(3) Pengembangan teknologi alat penangkap ikan yang selektif dan ramah

lingkungan.

(4) Peningkatan pemahaman terhadap penangkapan ikan yang berwawasan

lingkungan.

(5) Peningkatan mutu hasil perikanan.

(6) Peningkatan keselamatan dan keamanan aktifitas penangkapan ikan.

(7) Integrasi perikanan tangkap dengan pengelolaan kawasan pesisir.

Menurut DKP (2003b), dalam pemanfaatan sumber daya ikan yang

bertanggung jawab (responsible fisheries) harus mengedepankan prinsip-prinsip

kehati-hatian (precautionary approach) baik dalam pengelolaan, penelitian,

teknologi, dan introduksi spesies. Dalam pendekatan kehati-hatian ini

perhitungan ketidakpastian dalam sistem perikanan dan kebutuhan mengambil

tindakan dengan pengetahuan yang terbatas. Maksud diberlakukannya CCRF

dalam sub sektor perikanan tangkap adalah untuk menjamin konservasi,

pengelolaan dan pengembangan efektif sumber daya hayati perairan melalui

41
perlindungan ekosistem dan keragaman hayati. Oleh karena itu harus

memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut :

(1) Pertimbangan akan kebutuhan generasi mendatang dan menghindari

perubahan-perubahan yang secara potensial tidak pulih.

(2) Identifikasi sebelumnya tentang akibat yang tidak diinginkan dan langkah-

langkah yang akan menghindari atau memperbaikinya dengan segera.

(3) Setiap langkah-langkah perbaikan yang diperlukan harus mencapai

tujuannya segera.

(4) Jika dampak yang mungkin timbul dari pemanfaatan sumber daya ikan

adalah tidak pasti, maka prioritas harus diberikan pada melestarikan

kapasitas produksi dari sumber daya tersebut.

(5) Kapasitas pemanenan dan pengolahan harus sepadan dengan tingkat

perkiraan lestari sumber daya dan bahwa peningkatan kapasitas harus

dipertahankan apabila produktivitas sumber daya sangat tidak pasti.

(6) Semua kegiatan penangkapan ikan harus mempunyai otoritas terlebih dahulu

dan mengacu pada tinjauan ulang secara berkala.

(7) Perlu sebuah kerangka hukum dan kelembagaan yang ditetapkan bagi

pengelolaan perikanan.

(8) Penempatan yang tepat dari beban bertanggung jawab pembuktian yang

memuaskan dengan cara mengikuti syarat-syarat sebelumnya.

3.7 Partisipasi Masyarakat

Untuk mencapai pemanfaatan sumber daya ikan secara berkelanjutan

dan demi menghindari apa yang umumnya dikenal dengan “tragedi milik

bersama”, pengelolaan harus dilakukan secara bersungguh-sungguh. Umumnya

diasumsikan bahwa pengelolaan sumber daya ikan adalah tanggung jawab

pemerintah. Sebaliknya pengguna atau mereka yang memanfaatkan sumber

42
daya terdiri dari nelayan, koperasi nelayan, masyarakat desa pantai, perusahaan

swasta dan asing, merasa tidak memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan

sumber daya ikan (Bailey 1988).

Peran serta mengandung arti: (1) kegiatan atau pernyataan untuk ikut

mengambil bagian dalam suatu kegiatan; (2) kerjasama dalam suatu hubungan

yang saling menguntungkan. Peran serta dalam pengelolaan lingkungan berarti

peran serta seseorang atau sekelompok masyarakat dalam proses pemanfaatan,

pengendalian dan penilaian lingkungan baik dalam bentuk pernyataan maupun

dalam bentuk kegiatan dengan memberikan masukan berupa pikiran, tenaga,

waktu, keahlian , modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati

hasil-hasil pengelolaan lingkungan. Besarnya manfaat lingkungan yang dapat

dinikmati oleh pelaku peran serta sangat tergantung pada mutu sumbangannya

dalam pengelolaan lingkungan. Sementara itu besar dan mutu sumbangannya

dalam pengelolaan sangat tergantung pada tingkat kemampuan serta tingkat

kesempatan yang diperoleh untuk berperan serta dalam proses pengelolaan

lingkungan tersebut (Bailey 1988).

Pengelolaan sumber daya ikan sebagai pedoman dalam pengelolaaan

perikanan tangkap yang merupakan alat untuk memacu produktivitas dan

evaluasi serta pengawasan. Menurut Bailey (1988), sasaran-sasaran sosial

dalam pengelolaan industri penangkapan ikan akan meningkatkan penciptaan

kesempatan kerja dan hasil yang wajar bagi jumlah terbesar mereka yang

membutuhkan pekerjaan. Kriteria ini menguntungkan kebijakan yang mendukung

unit-unit produksi ukuran kecil yang mempekerjakan lebih banyak orang dalam

jumlah yang cukup besar per satuan investasi, yang mengakibatkan pembagian

pendapatan yang lebih luas dan lebih wajar, dan penyebaran pemilikan modal

bagi banyak rumah tangga.

43
Pentingnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan

keputusan pengelolaan perikanan tangkap, yaitu: (1) langkah awal

mempersiapkan masyarakat untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung

jawab masyarakat setempat terhadap program pengelolaan perikanan tangkap

yang dilaksanakan; (2) sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai

kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat setempat; dan (3) masyarakat

mempunyai hak urun rembuk dalam menentukan program pengelolaan

lingkungan yang akan dilaksanakan di wilayah mereka (Nikijuluw 2002).

3.8 Dasar Hukum Pengelolaan Perikanan Tangkap

3.8.1 Hukum internasional

1) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut atau

yang juga dikenal dengan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law

of the Sea) banyak mengatur mengenai pengelolaan perikanan. UNCLOS 1982

ditandatangani oleh 119 negara di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10

Desember 1982 yang terdiri dari 17 bab, 320 pasal dan 9 lampiran serta

beberapa resolusi pendukungnya. Peristiwa ini merupakan puncak dari kegiatan-

kegiatan United Nation Sea-Bed Committee dan Konferensi PBB. Sebagai suatu

perangkat hukum laut yang baru, di samping mencerminkan hasil usaha

masyarakat internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan

internasional yang telah ada, UNCLOS 1982 ini juga menggambarkan suatu

perkembangan yang progresif (progresive development) dalam hukum

internasional.

Di dalam UNCLOS 1982, pengaturan hal-hal yang berkaitan dengan

perikanan dimasukan ke dalam Bab 5 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. UNCLOS

1982 menetapkan berbagai aturan untuk perlindungan dan pemanfaatan dari

44
sumber-sumber perikanan dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) serta hak-hak

dan kewajiban negara pantai dalam kaitan dengan sumber-sumber hayati

tersebut.

Pada Pasal 61 UNLOS 1982 diatur mengenai negara pantai (coastal

state) yang harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang

diperbolehkan di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), yang didasarkan pada bukti

ilmiah terbaik (the best scientific evidence) agar terhindar dari kegiatan

eksploitasi yang berlebihan. Tindakan-tindakan tersebut bertujuan dalam

memelihara atau memulihkan populasi jenis yang dapat dimanfaatkan pada

tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari.

Aturan selanjutnya adalah mengenai kegiatan kerjasama penangkapan

ikan di ZEE. Pada Pasal 62 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa bagi negara pantai

yang tidak mempunyai kemampuan dalam memanfatkan sumber daya ikan dari

alokasi yang ditetapkan, maka negara pantai dapat memberikan kesempatan

kepada negara lain untuk turut serta dalam pemanfaatan sumber daya ikan

tersebut. Biasanya, hal ini dilakukan dengan mengadakan bentuk kerjasama

penangkapan ikan pada ZEE dengan suatu perjanjian khusus.

UNCLOS 1982 juga mengatur mengenai persediaan ikan pada ZEE yang

berada di dua negara atau lebih. UNCLOS 1982 menghendaki untuk

diadakannya persetujuan internasional di dalam dua hal, yaitu: pertama, apabila

sumber daya ikan berada di dalam ZEE dari dua negara pantai atau lebih, dan

kedua, dalam hal sumber daya ikan berada di dalam ZEE serta di laut di luar

ZEE, maka negara pantai dan negara penangkap ikan dapat mengadakan

persetujuan melalui organisasi regional perihal pengaturan konservasi dan

pengembangan dari stok tersebut (Pasal 63 UNCLOS 1982).

Selain itu, secara jelas UNCLOS 1982 mengatur mengenai pengelolaan

berbagai jenis sumber daya ikan, yaitu: (1) jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly

45
migratory species), (2) mamalia laut (marine mammals), (3) persediaan jenis ikan

anadrom (anadromous stockls), (4) jenis ikan katadrom (catadromous species ),

(5) jenis sedenter (sedentary species).

2) Agenda 21

Agenda 21 adalah satu dari tiga dokumen yang disepakati dalam

Konferensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan PBB (United Nations

Conference on Environment and Development/UNCED) dan telah diadopsi oleh

178 negara, termasuk Indonesia. Konferensi yang diselenggarakan di Rio de

Jeneiro, Brazil pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992 ini merupakan pertemuan

lanjutan negara-negara yang berorientasi pada penyelematan bumi, sehingga

konferensi ini dikenal dengan sebutan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi.

Sesuai dengan hasil kesepakatan negara-negara dalam UNCED, konsep

pembangunan berkelanjutan (sustainibility development) harus

diimplementasikan oleh negara-negara melalui hukum lingkungan nasionalnya

masing-masing. Secara konseptual, pembangunan berkelanjutan harus

dilaksanakan berlandaskan kemitraan antara negara maju dengan negara

berkembang untuk dapat menyelaraskan pembangunan dengan perlindungan

lingkungan.

Salah satu keluaran yang dihasilkan pada konferensi tersebut adalah Rio

Declaration on Environment and Development atau disebut Rio Principles,

berisikan 27 prinsip, yaitu:

(1) Prinsip Pertama. Manusia merupakan sasaran utama pembangunan

berkelanjutan, sehingga manusia berhak memperoleh kehidupan yang layak

dan produktif yang serasi dengan alam.

(2) Prinsip Kedua. Setiap negara, berdasarkan piagam PBB dan prinsip-prinsip

hukum internasional, diakui memiliki kedaulatan penuh untuk memanfaatkan

46
sumberdaya alam mereka, sesuai dengan kebijakan bidang lingkungan dan

pembangunan masing-masing dan juga berkewajiban menjaga agar kegiatan

yang berlangsung di dalam wilayahnya atau berada di bawah

pengawasannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan negara lain atau

wilayah di luar batas wilayah nasional negara-negara.

(3) Prinsip Ketiga. Hak pembangunan harus dilaksanakan sedemikian rupa

sehingga memenuhi kebutuhan pembangunan dan lingkungan hidup, baik

bagi generasi masa kini dan masa depan.

(4) Prinsip Keempat. Perlindungan lingkungan harus diperhitungkan sebagai

bagian terpadu proses pembangunan, tidak dapat dipandang sebagai suatu

yang terpisah.

(5) Prinsip Kelima. Kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan

kemiskinan, prasyarat perwujudan pembangunan berkelanjutan, untuk

mengurangi kesenjangan batas hidup layak (standard of living).

(6) Prinsip Keenam. Prioritas dan perlakuan utama bagi negara-negara

berkembang dan negara-negara terbelakang dan rawan lingkungan

hidupnya.

(7) Prinsip Ketujuh. Setiap tingkat tanggung jawab negara-negara dalam

usaha pelestarian, perlindungan dan pemulihan kondisi dan keterpaduan

ekosistem bumi, berbeda-beda sesuai dengan pengrusakan yang

ditimbulkannya.

(8) Prinsip Kedelapan. Penghapusan pola produksi maupun konsumsi yang

tidak layak dan peningkatan kependudukan yang tepat.

(9) Prinsip Kesembilan. Kerjasama antar pemerintah dalam rangka

peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan

pembangunan, penyesuaian, pemberesan dan alih teknologi.

47
(10) Prinsip Kesepuluh. Peningkatan kesempatan masyarakat untuk

memperoleh informasi lingkungan, termasuk konsumsi bahan berbahaya di

sekitar mereka, serta partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan.

(11) Prinsip Kesebelas. Pemberlakuan ketentuan lingkungan secara efektif.

Penetapan persyaratan baku mutu lingkungan dan standar lain yang

seimbang antara pembangunan dan perlindungan lingkungan, sesuai

kondisi setempat.

(12) Prinsip Keduabelas. Pembebanan persyaratan lingkungan dalam bidang

perdagangan, yang bertujuan memperbaiki lingkungan, tidak boleh

dianggap sebagai perdagangan tidak jujur.

(13) Prinsip Ketigabelas. Penyusunan hukum tentang denda dan ganti rugi, baik

secara nasional maupun internasional, oleh setiap pemerintah negara

untuk keperluan perlindungan hak-hak korban pencemaran atau kerusakan

lingkungan lainnya.

(14) Prinsip Keempatbelas. Pencegahan peralihan bahan perusak lingkungan

dari satu negara ke negara lainnya oleh setiap pemerintah.

(15) Prinsip Kelimabelas. Penerapan pendekatan preventif dalam masalah

lingkungan hidup sesuai kemampuan masing-masing negara.

(16) Prinsip Keenambelas. Penerapan prinsip ”pencemar harus menanggung

kerugian yang timbul akibat pencemaran yang dibuatnya” untuk

meningkatkan swadaya biaya-biaya lingkungan.

(17) Prinsip Ketujuhbelas. Penerapan wajib AMDAL terhadap setiap kegiatan

yang potensial dampak.

(18) Prinsip Kedelapanbelas. Setiap pemerintah hendaknya memberitahukan

secara dini kemungkinan bahaya lingkungan yang bersifat tiba-tiba. Setiap

negara berusaha membantu negara lainnya dalam mengatasi masalah

tersebut.

48
(19) Prinsip Kesembilanbelas. Setiap pemerintah hendaknya memberi

peringatan dini dan setepat mungkin serta informasi lainnya yang

sepatutnya kepada negara-negara tetangganya yang terancam dampak

negatif yang bersifat antar wilayah.

(20) Prinsip Keduapuluh. Pengakuan peran serta wanita dalam pembangunan

berkelanjutan.

(21) Prinsip Keduapuluh Satu. Penggalangan semangat dan kreativitas generasi

muda dalam rangka menumbuhkan kemitraan global.

(22) Prinsip Keduapuluh Dua. Kewajiban pemerintah untuk menghormati tradisi,

pengetahuan dan peran penduduk asli dalam pengelolaan lingkungan dan

pembangunan, memelihara jatidiri, kebudayaan dan kepentingan mereka.

(23) Prinsip KeduapuluhTiga. Keharusan perlindungan lingkungan hidup milik

bangsa tertindas atau terjajah.

(24) Prinsip Keduapuluh Empat. Perlindungan lingkungan hidup pada masa

perang.

(25) Prinsip Keduapuluh Lima. Perdamaian, pembangunan dan perlindungan

lingkungan merupakan masalah saling berkaitan.

(26) Prinsip Keduapuluh Enam. Kewajiban penyelesaian sengketa lingkungan

secara damai.

(27) Prinsip Keduapuluh Tujuh. Pelaksanaan prinsip-prinsip deklarasi

berdasarkan kerjasama pemerintah dan anggota masyarakat, berdasarkan

itikad baik, semangat kemitraan bersama.

3) Agreement to Promote Compliance with International Conservation and


Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (1993)

UNCLOS 1982 mensyaratkan kewajiban semua negara yang memanfaatkan

sumber daya ikan di laut lepas untuk saling bekerja sama dalam menciptakan

49
kelestarian sumberdaya ikan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 117 dan

Pasal 118. Oleh karenanya, untuk menciptakan kelestarian tersebut, maka pada

tanggal 24 November 1993 FAO menetapkan Agreement to Promote Compliance

with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel

on the High Seas (FAO Compliance Agreement 1993). Tujuan ditetapkannya

aturan hukum internasional yang hanya berisi 16 pasal ini adalah untuk

meletakkan dasar-dasar praktik penangkapan ikan di laut lepas (high seas) dan

menerapkan langkah-langkah konservasi sumber daya hayati laut dengan

meningkatkan peranan organisasi perikanan multilateral.

Prinsip-prinsip umum dalam FAO Compliance Agreement 1993, yaitu:

(1) Laut lepas terbuka untuk semua negara atau laut lepas bukan merupakan

suatu wilayah kedaulatan negara manapun, sehingga setiap negara

mempunyai kebebasan untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas.

(2) Kewajiban setiap negara di laut lepas adalah menjaga kelestarian

sumberdaya ikan dengan cara melakukan kerjasama dengan negara-negara

lain dalam pelestarian sumberdaya ikan.

(3) Konsevasi dan pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di laut

lepas harus berdasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjuutan.

Adapun materi pokok FAO Compliance Agreement 1993 diantara yaitu:

(1) eberlakuan dari perjanjian atau aplikasi.

(2) Tanggung jawab dari negara bendera kapal.

(3) Pencatatan kapal-kapal nelayan.

(4) Kerjasama internasional.

(5) Pertukaran informasi.

(6) Kerjasama dengan negara-negara berkembang.

(7) Hubungan perjanjian dengan negara-negara yang tidak menjadi anggota.

(8) Penyelesaian sengketa.

50
4) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995.

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995 yang

dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) ditetapkan dalam

suatu konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober 1995. CCRF

dimulai pada pertemuan Committee on Fisheries (COFI) bulan Maret 1991 yang

memunculkan rekomendasi penting agar FAO membangun sebuah konsep

perikanan yang bertanggung jawab (responsible fisheries) (Adrianto, 2005).

Munculnya CCRF 1995 tidak lepas dari dorongan kedua konferensi, yaitu

KTT Bumi 1992 dan Konferensi Perikanan Internasional yang berlangsung

sebulan sebelum pelaksanaan KTT Bumi 1992. CCRF 1995 merupakan buku

petunjuk yang sangat berguna bagi seluruh masyarakat perikanan internasional,

sehingga setiap negara dituntut untuk menyusun kebijakan perikanan yang

berbekelanjutan (sustainable fisheries).

Dalam Pasal 1 ayat (2), disebutkan bahwa CCRF 1995 dapat menjadi

pedoman bagi stakeholders perikanan dalam menetapkan kebijakan atau

tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksploitasi, konservasi, pengolahan

hasil dan pemasaran sumberdaya perikanan. Hal ini dikarenakan, CCRF 1995

disusun dengan merujuk berbagai aturan konservasi internasional yang relevan,

seperti Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, Agenda 21 dan Prinsip-prinsip

Deklarasi Rio 1992, serta kebijakan internasional lainnya. Sedangkan dalam

hubungannya dengan perdagangan perikanan, CCRF 1995 merujuk pada

perjanjian World Trade Organizational (WTO) sebagaimana tercantum pada

Pasal 6 ayat (14).

Secara garis besarnya, CCRF 1995 mengatur enam tema besar

permasalahan perikanan, yaitu pengelolaan perikanan (fisheries management),

operasi perikanan (fisheries operation), pembangunan budidaya perikanan

(aquaculture development), integrasi pengelolaan perikanan hingga wilayah

51
pesisir (integration of fisheries into coastal area management), praktik-praktik

perdagangan dan pasca-panen (post-harvesting practices and trade), dan

penelitian perikanan (fisheries research).

Dalam Pasal 6, tertuang prinsip-prinsip umum (general principles) yang

harus dijadikan pedoman dalam setiap aktivitas perikanan, yaitu:

(1) Negara dan para pengguna (users) sumberdaya hayati harus melestarikan

ekosistem perairan;

(2) Pengelolaan perikanan harus mendorong terciptanya pelestarian kualitas,

keragaman, dan kuantitas persediaan sumberdaya yang memadai bagi

generasi sekarang dan masa depan, dalam konteks jaminan ketersediaan

pangan, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan.

(3) Negara harus mencegah terjadinya kegiatan penangkapan ikan yang berlebih

(overfishing) dan melampaui kapasitas perikanan;

(4) Keputusan tentang pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan harus

didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terbaik (the best scientific evidence);

(5) Negara dan organisasi yang melakukan pengelolaan perikanan, baik dalam

tingkatan regional maupun sub-regional harus melakukan pendekatan kehati-

hatian (precautionary aprroach);

(6) Seleksi terhadap penggunaan alat tangkap harus lebih dibangun dan

dilaksanakan;

(7) Pemanenan, penanganan, pengolahan dan distribusi ikan dan produk

perikanan harus dilakukan dengan cara-cara tertentu, sehingga akan

menjaga nilai gizi, kualitas dan keamanan produknya, mengurangi sampah

serta meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan;

(8) Semua habitat ikan di laut dan ekosistem air tawar, seperti hutan basah,

hutan mangrove, terumbu karang, danau, rawa, daerah pemijahan serta

daerah pembesaran harus dilindungi dan direhabilitasi;

52
(9) Negara harus menjamin agar kepentingan sumber daya perikanan, termasuk

kebutuhan akan kelestarian sumberdaya, diperhitungkan dalam berbagai

bentuk penggunaan wilayah pesisir dan mengintegrasikannya dalam

pengelolaan, perencanaan dan pembangunan;

(10) Sesuai kemampuannya masing-masing dan berdasarkan pada hukum

internasional, negara harus menjamin pemenuhan dan penegakan tindakan

pengelolaan dan konservasi serta mekanisme yang efektif untuk memantau

dan mengontrol aktivitas kapal ikan, termasuk ke dalamnya adalah kerangka

kerja organisasi pengelolaan dan pelestarian perikanan baik tingkat regional

maupun sub-regional;

(11) Negara yang mengizinkan kapal-kapal ikan beroperasi di wilayahnya harus

melakukan pengawasan yang efektif terhadap aktivitas kapal-kapal tersebut

guna menjamin pelaksanaan CCRF 1995;

(12) Sesuai kemampuannya masing-masing dan berdasarkan pada hukum

internasional, perjanjian internasional atau kesepakatan lainnya, negara

harus melakukan kerjasama di tingkat sub-regional, regional, dan global

dalam organisasi pengelolaan perikanan untuk mendorong pengelolaan dan

konservasi, menjamin perikanan yang bertanggung jawab, dan menjamin

perlindungan serta pelestarian yang efektif sumberdaya hayati akuatik;

(13) Sejauh dimungkinkan oleh hukum nasionalnya, negara harus menjamin

proses pengambilan keputusan yang transparan dan tepat waktu dalam

menyelesaikan masalah-masalah yang mendesak. Berdasarkan pada

ketepatan prosedur, negara harus memfasilitasi konsultasi dan partisipasi

yang efektif dari pihak industri, pekerja perikanan, organisasi lingkungan dan

organisasi lainnya dalam pembuatan keputusan tentang pembangunan

hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan,

pembangunan, bantuan dan pinjaman internasional;

53
(14) Perdagangan internasional pada ikan dan produk perikanan harus

dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip, hak-hak dan kewajiban-kewajiban

yang tercantum pada perjanjian WTO dan perjanjian internasional lainnya

yang relevan. Negara harus menjamin agar kebijakan, program-program

serta praktik-parktik mereka yang berkaitan dengan perdagangan ikan dan

produk perikanan tidak menimbulkan hambatan dalam perdagangan,

degradasi lingkungan atau dampak sosial yang negatif, termasuk masalah

gizi;

(15) Negara harus bekerjasama untuk mencegah terjadinya sengketa. Semua

sengketa yang berkaitan dengan praktek dan kegiatan perikanan harus

diselesaikan tepat waktu, damai dan kerjasama, sesuai dengan perjanjian

internasional atau kesepakatan antar para pihak. Kalau pun penyelesaian

sengketa ditunda, negara yang bertikai harus membuat kesepakatan

sementara yang bersifat praktis, tanpa harus mengabaikan upaya pelestarian

sengketa secara final;

(16) Pengakuan terhadap arti penting pekerja perikanan dan nelayan dalam

memahami pengelolaan dan pelestarian sumber daya perikanan, negara

harus meningkatkan kesadaran perikanan yang bertanggung jawab melalui

pelatihan dan pendidikan. Negara harus menjamin pekerja perikanan dan

nelayan terlibat dalam penyusunan kebijakan dan proses pelaksanaannya,

juga memfasilitasi pelaksanaan CCRF 1995;

(17) Negara harus menjamin fasilitas dan perlengkapan perikanan serta semua

aktivitas perikanan yang aman, sehat, terbuka, kondisi kehidupan dan

pekerjaan yang adil, serta memenuhi standar internasional yang telah

ditetapkan oleh organisasi internasional yang relevan;

(18) Dengan adanya pengakuan terhadap pentingnya sumbangan nelayan kecil

dalam penyediaan lapangan kerja, pendapatan dan keamanan pangan,

54
negara harus melindungi hak pekerja perikanan dan nelayan, khususnya

nelayan yang tergolong nelayan subsisten;

(19) Negara harus mempertimbangkan budidaya air, termasuk budidaya

berbasis perikanan, sebagai sarana mendukung diversifikasi pangan dan

pendapatan. Namun demikian, negara harus menjamin penggunaan

sumberdaya yang bertanggung jawab, menjaga dampak terhadap lingkungan

dan komunitas masyarakat lokal.

5) Agreement For The Implementation Of The Provisions Of The United


Nations Convention On The Law Of The Sea Of 10 December 1982
Relating To The Conservation And Management Of Straddling Fish
Stocks And Highly Migratory Fish Stocks (1995)

Pola migrasi dan siklus hidup ikan yang bermigrasi jauh (Highly Migratory

Fish Stocks) dan bermigrasi terbatas (Straddling Fish Stocks) membuat rentan

dalam pemanfaatan sumber daya ikan. Hal ini dikarenakan, pemanfaatan yang

berlebihan menyebabkan menurunnya ketersediaan sumber daya ikan. Lebih

dari itu, permasalahan ini berujung pada konflik kepentingan antara negara

pantai (coastal state) dengan negara penangkap ikan jarak jauh (distant water

fisheries nation). Oleh karena itu, diperlukan kerjasama pengelolaan perikanan,

baik di tingkat sub-regional, regional maupun global, diharapkan menjadi solusi

dalam mengatasi permasalahan perikanan ini.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pada tahun 1995 PBB

menyusun suatu perjanjian baru untuk mengimplementasikan ketentuan

UNCLOS 1982, yaitu disahkannya Agreement for the Implementation of the

Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and

Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (UN

Fish Stock Agreement atau UNIA). UN Fish Stock Agreement 1995 merupakan

persetujuan multilateral yang mengikat para pihak dalam masalah konservasi

55
dan pengelolaan jenis-jenis ikan yang bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas,

sebagai pelaksanaan dari Pasal 63 dan Pasal 64 Konvensi Hukum Laut 1982.

UN Fish Stock Agreement 1995 terdiri dari 50 pasal dan dua lampiran, yaitu:

(1) Lampiran I: Persyaratan standar dan pertukaran data;

(2) Lampiran II: Petunjuk bagi pelaksanaan titik rujuk pencegahan dalam

konservasi dan pengelolaan stok ikan yang bermigrasi terbatas dan

bermigrasi jauh;

(3) Uraian mengenai kewajiban negara-negara anggota berkaitan dengan kapal

perikanan yang mengibarkan bendera yang melakukan kegiatan

penangkapan ikan di laut lepas;

(4) Memperkenalkan ketentuan yang berkaitan dengan persyaratan bagi negara-

negara berkembang;

(5) Pengumpulan dan penyajian informasi dan kerjasama penelitian ilmiah;

(6) Sistem monitoring, controlling dan surveilance;

(7) Persyaratan standar pengumpulan dan pertukaran data.

Adapun prinsip-prinsip umum UN Fish Stock Agreement 1995

sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5, yaitu:

(1) Mengambil tindakan-tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang

stok ikan yang bermigrasi terbatas dengan stok ikan yang bermigrasi jauh

dan mendorong tujuan penggunaan optimal mereka;

(2) Menjamin bahwa tindakan-tindakan tersebut didasarkan pada bukti ilmiah

terbaik dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan stok ikan pada

tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari;

(3) Menerapkan prinsip kehati-hatian sesuai dengan Pasal 6;

(4) Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya dan

faktor-faktor lingkungan terhadap stok target dan spesies yang termasuk

56
dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau tergantung

pada stok target;

(5) Apabila diperlukan, mengambil tindakan konservasi dan pengelolaan untuk

spesies dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau

tergantung pada stok target tersebut, dengan tujuan untuk memelihara atau

memulihkan populasi dari spesies tersebut di atas tingkat, dimana

reproduksinya dapat sangat terancam;

(6) Meminimalkan pencemaran, sampah, barang-barang buangan serta

tangkapan yang tidak berguna atau alat tangkap yang ditinggalkan,

tangkapan spesies yang bukan target (baik spesies ikan maupun bukan

spesies ikan), dan dampak terhadap spesies, melalui tindakan yang lazim,

pengembangan dan penggunaan yang efektif, alat tangkap dan teknik yang

aman secara lingkungan dan murah;

(7) Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut;

(8) Mengambil tindakan untuk mencegah atau mengurangi kegiatan

penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan untuk menjamin bahwa

tingkat usaha penangkapan tidak melebihi tingkat yang sepadan dengan

penggunaan lestari sumberdaya ikan;

(9) Memperhatikan kepentingan nelayan pantai dan nelayan subsisten;

(10) Mengumpulkan dan memberikan, pada saat yang tepat data yang lengkap

dan akurat mengenai kegiatan-kegiatan perikanan, antara lain posisi kapal,

tangkapan spesies target dan non-target, dan usaha penangkapan ikan

sebagaimana tercantum di dalam lampiran I, juga informasi dari program

riset nasional dan internasional;

(11) Mendorong dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi

yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan;

57
(12) Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan

melalui pemantauan, pengawasan dan pengamatan.

6) The FAO International Plan of Action (IPOA) 1999

Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini FAO disibukan dengan negosiasi

yang banyak berkaitan dengan masalah pengelolaan perikanan. Pembahasan

yang intensif di forum internasional tersebut akhirnya berhasil menyepakati tiga

instrumen penting, yaitu (Fontaubert, Charlotte de and Indrani Lutchman, 2003):

(1) IPOA for Reducing Incidental Catch of Seabirds in Longline Fisheries.

Tujuan tindakan pengaturan pada bagian ini adalah untuk mengurangi

tangkapan sampingan (by catch) alat tangkap longline berupa burung-

burung laut yang tertangkap karena memakan umpan dalam pancing.

(2) IPOA for the Conservation and Management of Sharks. Rencana nasional

harus didasarkan pada pendugaan rutin terhadap stok ikan dan bisa

digunakan untuk menggambarkan perubahan pada beberapa stok.

Beberapa tujuan rencana pengelolaan ikan hiu antara lain, yaitu: (1)

menjamin kegiatan penangkapan hiu berkelanjutan (2) pendugaan

terhadap populasi hiu menentukan dan melindungi habitat kritis dan

mengimpmentasikan strategi panen berkelanjutan (3) identifikasi dan

perlindungan dari hal-hal yang mengancam stok ikan hiu (4) meminimalisir

kecelakaan dalam penangkapan ikan hiu (5) meminimalisir sampah dan

buangan dari penangkapan hiu dan (6) meningkatkan penggunaan penuh

dari hasil tangkapan ikan hiu.

(3) IPOA for the Management of Fishing Capacity. Tujuan utama IPOA

mengenai pengelolaan kapasitas perikanan adalah agar negara dan

organisasi regional yang meliputi seluruh dunia mencapai pengelolaan

kapasitas perikanan yang efisien, adil dan transaparan.

58
(4) IPOA to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated

(IUU) Fishing. Tujuan IPOA ini untuk memberantas praktik perikanan yang

illegal (seperti pencurian ikan, dan kegiatan melawan hukum lainnya),

unreported (mencakup unreported, misreported, atau under-reported), dan

unregulated (yakni tidak diatur pengelolaannya).

3.8.2 Hukum nasional

Undang-undang tentang perlindungan sumber daya ikan di Indonesia

telah diterbitkan pada tahun 1914 tentang kerang mutiara, teripang dan bunga

karang pada perairan di dalam batas tiga mil dari garis pantai (Monintja, 2006).

Pada tanggal 14 September 2004, Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang

Perikanan diganti oleh Undang-undang No. 31 Tahun 2004. Beberapa alasan

dilakukan perubahan diantaranya, yaitu:

(1) Menyesuaikan dengan perkembangan ketersediaan, kelestarian dan

perkembangan sistem manajemen perikanan nasional dan internasional.

(2) Menyesuaikan dengan ketentuan baru peraturan perundang-undangan

nasional, seperti Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah yang kemudian diganti oleh Undang-undang No. 32 Tahun 2004.

(3) Penyeimbangan orientasi perikanan tangkap dengan perikanan budidaya.

(4) Terdapatnya sejumlah materi penting yang belum terjamah pengaturan,

untuk efisiensi pengelolaan perikanan, seperti penelitian dan pengembangan,

data dan informasi, pengadilan perikanan, sanksi hukum dan lain-lain.

(5) Penyeimbangan sektor perikanan dangan sektor lain yang telah mapan,

seperti halnya sektor pertanian, sektor kehutanan, dan lain-lain.

59
Namun demikian, pada intinya, dilakukannya perubahan pada Undang-

undang No. 9 Tahun 1985 disebabkan masih banyaknya permasalahan yang

belum tertampung. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang tertuang dalam

konsideran menimbang butir c, bahwa Undang-undang No. 9 Tahun 1985

tentang Perikanan yang berlaku hingga sekarang belum menampung semua

aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi

perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi dalam rangka

pengelolaan sumber daya ikan dan oleh karena itu perlu diganti.

Ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2004 lebih

banyak, dari pada yang tertuang dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1985. Pada

Undang-undang No. 31 Tahun 2004 terdapat 17 bab dan 111 pasal, sedangkan

pada Undang-undang No. 9 Tahun 1985 hanya terdapat 11 bab dan 35 pasal.

Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang No. 31 Tahun 2004, pengelolaan

perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,

pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang

berkelanjutan. Sedangkan tujuan pengelolaan perikanan yang tertuang dalam

Pasal 3, yaitu:

(1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.

(2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara.

(3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja.

(4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan.

(5) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan.

(6) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing.

(7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan.

(8) Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan secara optimal; dan

(9) Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata

ruang.

60
Sementara itu, jauh sebelum Undang-undang No. 31 Tahun 2004

ditetapkan, Pemerintah Indonesia banyak mengeluarkan berbagai peraturan

perundang-undangan beserta turunannya yang mengatur pengelolaan sumber

daya ikan. Peraturan perundang-undangan tersebut, meliputi yaitu:

(1) Undang-undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.

(2) Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia.

(3) Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi Hukum Laut

1982.

(4) Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.

(5) Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

Selanjutnya kebijakan pelaksanaan dari undang-undang diatur dalam

empat Peraturan Pemerintah (PP), dimana tiga diantaranya mengatur mengenai

usaha perikanan dan sisanya mengatur pengelolaan sumber kekayaan hayati di

ZEEI. Keempat PP tersebut, yaitu:

(1) Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber

Kekayaan Hayati di ZEEI.

(2) Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan.

(3) Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 1993 tentang Perubahan Peraturan

Pemerintah No.15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan.

(4) Peraturan Pemerintah No. 141 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan.

(5) Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.

Selain itu, juga terdapat dua kebijakan umum yang berbentuk Keputusan

Presiden (Keppres), yaitu:

(1) Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl.

(2) Keputusan Presiden No. 85 Tahun 1982 tentang Penggunaan Pukat Udang.

61
Kebijakan pelaksanaan juga tersedia dalam bentuk Keputusan Menteri

(SK Menteri) yang mencapai 39 buah, yaitu:

(1) SK Menteri Pertanian No. 01/Kpts/Um/1/1975 tentang Pembinaan

Kelestarian Kakayaan yang Terdapat dalam Sumber Daya Perikanan

Indonesia.

(2) SK Menteri Pertanian No. 503/Kpts/Um/9/1980 tentang Langkah-langkah

Penghapusan Jaring Trawl Tahap Pertama.

(3) SK Menteri Pertanian No. 123/Kpts/Um/3/1975 tentang Ketentuan Lebar

Mata Jaring Purse Seine untuk Penangkapan Ikan Kembung, Layang,

Selar, Lemuru, dan Ikan Pelagis Sejenisnya.

(4) SK Menteri Pertanian No. 769/Kpts/HK210/10/1988 tentang Penggunaan

Jaring Lampara Dasar.

(5) SK Menteri Pertanian No. 473a/Kpts/IK.250/6/1985 tentang Penetapan

Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia.

(6) SK Menteri Pertanian No. 607/Kpts/Um/9/1976 tentang Jalur-jalur

Penangkapan Ikan.

(7) SK Menteri Pertanian No. 608/Kpts/Um/9/1976 tentang Penetapan Jalur

Penangkapan Bagi Kapal-kapal Ikan Milik Perusahaan Perikanan Negara.

(8) SK Menteri Pertanian No. 609/Kpts/Um/9/1976 tentang Daerah Penangkapan

Kapal Trawl.

(9) SK Menteri Pertanian No. 300/Kpts/Um/5/1978 tentang Pemasangan Tanda

Pengenal Jalur Penangkapan Ikan Pada Kapal-kapal Ikan.

(10) SK Menteri Pertanian No. 475 /Kpts/IK/120/7/1985 tentang Izin

Penangkapan Ikan oleh Nelayan Asing atau Badan Kebijakan Asing yang

Beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

62
(11) SK Menteri Pertanian No. 476/Kpts/IK.120/7/1985 tentang Penetapan

Tempat Melapor Bagi Kapal Perikanan yang Beroperasi di Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia.

(12) SK Menteri Pertanian No. 477/Kpts/IK120/7/1985 tentang Pungutan

Perikanan yang Dikenakan Kepada Orang atau Badan Kebijakan Asing

yang Melakukan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

(13) SK Menteri Pertanian No. 438/Kpts/IK120/7/1986 tentang Tambahan

terhadap SK Mentan No.477/Kpts/IK120/7/1985 tentang Pungutan

Perikanan yang Dikenakan kepada Orang atau Badan Kebijakan Asing

yang Melakukan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

(14) SK Menteri Pertanian No. 277/Kpts/IK120/5/1987 tentang Perizinan Usaha

dibidang Penangkapan Ikan di Perairan Indonesia dan Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia.

(15) SK Menteri Pertanian No. 417/Kpts/IK.250/6/1988 tentang Pengawasan

Pemanfaatan Sumber daya Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

(16) SK Menteri Pertanian No. 477/Kpts/IK120/7/1988 tentang Perubahan

Besarnya Pungutan Penangkapan Ikan Bagi Orang atau Badan Kebijakan

Asing yang Melakukan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia.

(17) SK Menteri Pertanian No. 900/Kpts/IK.250/12/1988 tentang Kewajiban

Mengekspor atau Menjual Hasil Tangkapan Kapal Perikanan Asing di

Pasar Dalam Negeri.

(18) SK Menteri Pertanian No. 815/Kpts/IK 120/11/1990 tentang Perizinan

Usaha Perikanan.

(19) SK Menteri Pertanian No. 816/Kpts/!K 120/11/1990 tentang Penggunaan

Kapal Perikanan Asing dengan Cara Disewa untuk Penangkapan Ikan di

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

63
(20) SK Menteri Pertanian No. 144/Kpts/IK 410/2/1993 tentang Penetapan

Pelabuhan sebagai Pangkalan Bagi Kapal Perikanan Asing yang Disewa

Perusahaan Indonesia untuk Menangkap.

(21) SK Menteri Pertanian No. 57/Kpts/IK.410/1/1995 tentang Perubahan SK

Mentan No. 144/Kpts/IK.410/2/1993 tentang Penetapan Pelabuhan

sebagai Pangkalan Bagi Kapal Perikanan Asing yang Disewa Perusahaan

Indonesia untuk Menangkap.

(22) SK Menteri Pertanian No. 805/Kpts/IK.120/12/1995 tentang Ketentuan

Penggunaan Kapal Pengangkut Ikan.

(23) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45 Tahun 2000 tentang Perizinan

Usaha Perikanan.

(24) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No.Kep.84 /Men/2000 tentang

Pedoman Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu.

(25) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 23/MEN/2001 tentang

Produktivitas Kapal Penangkap Ikan.

(26) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.45/Men/2001 tentang

Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.

(27) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.46/Men/2001 tentang

Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.

(28) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.47/Me n/2001 tentang Format

Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.

(29) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.46/Men/2001 tentang

Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.

(30) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.60 /Men/2001 tentang

Penataan Penyusunan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia.

64
(31) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep 58/Men/2001 tentang Tata

Cara Pelaksanaan Siswasmas dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan

Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.

(32) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.2/Men/2002 tentang

Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Penangkapan Ikan.

(33) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.3/Men/2002 tentang Log

Book Penangkapan dan Pengangkutan Ikan.

(34) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.10 /Men/2002 tentang

Pedoman Umum Perencanaan PPT.

(35) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.12 /Men/2002 tentang

Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Tahap Kedua.

(36) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep 62 /Men/2002 tentang Tarif

Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak.

(37) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.10/Men/2003 tentang

Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Selanjutnya juga terdapat kebijakan

yang bersifat teknis, sebagai kelanjutan dari kebijakan pelaksanaan diatas,

yaitu Keputusan Dirjen Perikanan No.IK 210/DJ.569/1993 tentang Forum

Koordinasi Pengendalian dan Pengawasan Pemanfaatan Sumber daya

Ikan.

(38) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 38/Men/2003 tentang Produktivitas

Kapal Penangkap Ikan.

(39) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per 06/Men/2005

tentang Penggantian Bentuk dan Format Perizinan Usaha Penangkapan

Ikan.

Seiring dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan oleh Undang-undang No. 32

Tahun 2004, maka terjadi perubahan kewenangan dalam pengelolaan sumber

65
daya perikanan tangkap, yaitu daerah memiliki kewenangan dalam mengelola

sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab

memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Disamping itu, daerah juga memiliki beberapa kewenangan

pengelolaan di wilayah laut, yaitu sepanjang 12 mil untuk provinsi dan 3 mil untuk

kabupaten/kota yang meliputi: (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan

pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; (2) pengaturan

kepentingan administratif; (3) pengaturan tata ruang; (4) penegakan kebijakan

terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan

kewenangannya oleh Pemerintah; dan (5) bantuan penegakan keamanan dan

kedaulatan negara.

Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang

Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom

yang dijelaskan pada Pasal 2 ayat (3), pemerintah pusat memiliki beberapa

kewenangan, meliputi: (1) penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi,

konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam perairan di

wilayah laut di luar perairan 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar

lautnya serta zona ekonomi ekslusif Indonesia dan landas kontinen Indonesia; (2)

penetapan kebijakan dan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan benda

berharga dari kapal tenggelam di luar perairan laut 12 mil; (3) penetapan

kebijakan dan pengaturan batas-batas maritim yang meliputi batas-batas daerah

otonom di laut dan batas-batas ketentuan kebijakan laut internasional; (4)

penetapan standar pengelolaan pesisir pantai dan pulau-pulau kecil; dan (5)

penegakan kebijakan di wilayah laut di luar perairan 12 mil dan di dalam

perairan 12 mil yang menyangkut hal spesifik serta berhubungan dengan

internasional.

66
Sementara itu, kewenangan provinsi di wilayah laut sebagaimana

dijelaskan pada Pasal 3 ayat (5), meliputi: (1) penataan dan pengelolaan perairan

di wilayah laut provinsi; (2) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan

kekayaan laut sebatas wilayah laut kewenangan provinsi; (3) konservasi dan

pengelolaan plasma nuftah spesifik lokasi serta suaka perikanan di wilayah laut

kewenangan provinsi; (4) pelayanan izin usaha pembudidayaan dan

penangkapan ikan pada perairan laut di wilayah laut kewenangan provinsi; dan

(5) pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah laut kewenangan

provinsi.

3.8.3 Kebijakan daerah

Kebijakan daerah yang ada adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa

Barat No. 8 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi

Tingkat I Jawa Barat No. 10 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pelelangan

Ikan. Peraturan Daerah ini mengacu pada beberapa peraturan perundang-

undangan, seperti Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan,

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-

undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan

Pemerintah No. 64 Tahun 1957 tentang Penyerahan Sebagian dari Urusan

Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Peraturan Pemerintah No. 15

Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan, dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun

2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai

Daerah Otonom.

Sementara itu, beberapa peraturan daerah yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Kabupaten Indramayu yang berkaitan dengan kegiatan perikanan,

diantaranya yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 20 Tahun 2002

tentang Retribusi Usaha Perikanan, Penangkapan Ikan, Pembudidayaan dan

67
Pengolahan Hasil Ikan Laut. Bentuk surat izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah

Kabupaten Indramayu berdasarkan peraturan daerah ini, yaitu: (1) Ijin Usaha

Perikanan (IUP), untuk 5 GT ke bawah dan untuk 6 - 10 GT; (2) Surat

Keterangan Penangkapan Ikan (SKPI) untuk masing-masing alat tangkap, (3)

Surat Keterangan Pembudidayaan Ikan (SKPBI), (4) Surat Keterangan

Pengolahan Hasil Ikan (SKPHI). Peraturan daerah lain yang telah dikeluarkan

oleh Pemerintah Kabupaten Indramayu adalah Nomor: 556/kep.528-

diskanla/2004 penetapan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan

konservasi dan wisata laut.

Berdasarkan penelaahan terhadap peraturan daerah tersebut di atas, terlihat

bahwa kebijakan tersebut hanya mengatur tentang kegiatan ekonomi di bidang

perikanan atau hanya aspek ekonomi dan sosial, sedangkan aspek ekologi belum

mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Terdapat tiga aspek yang belum

diatur pada periode sentralistik, meliputi:

(1) Aspek transparansi dalam mekanisme pengelolaan.

(2) Aspek sosialisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang

konservasi dan pengelolaan.

(3) Aspek industri penangkapan yang mendorong perikanan yang bertanggungjawab.

Sedangkan memasuki periode desentralistik, pemerintah perlu

menyediakan 11 aspek kebijakan, yang meliputi:

(1) Pemulihan sumber daya yang terancam kepunahan.

(2) Pencegahan pencemaran lingkungan.

(3) Pengaturan upaya penangkapan.

(4) Pengaturan jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap.

(5) Pengaturan musim penangkapan.

(6) Pengaturan zonasi dan jalur penangkapan.

68
(7) Partisipasi masyarakat.

(8) Identifikasi stakeholders.

(9) Kelembagaan.

(10) Pembangunan prasarana perikanan.

(11) Pengaturan pendidikan pelatihan dan penyuluhan.

Berpijak pada kondisi tersebut, seharusnya kebijakan pengelolaan

perikanan ke depan pemerintah daerah harus lebih proaktif sebagaimana yang

diamanatkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, melalui pembuatan kebijakan

pelaksanaan berupa peraturan daerah yang melengkapi, menggantikan dan atau

menyempurnakan kebijakan pelaksanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Selain

itu, kebijakan pelaksanaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah hendaknya

konsisten dengan Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu

mendukung paradigma pembangunan berkelanjutan.

69
4 METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai dari bulan Juli sampai

bulan Desember 2005 di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat yang

terletak pada posisi geografis 107o52’ - 108 o36’ Bujur Timur dan 6o 14’ - 6 o 40’

Lintang Selatan. Penelitian ini difokuskan pada 16 wilayah sentra produksi

perikanan laut di daerah pesisir Kabupaten Indramayu yaitu Tegal Agung,

Dadap, Juntinyuat, Lombang, Limbangan, Majakerta, Balongan, Singaraja,

Karangsong, Brondong, Sindang, Cangkring, Eretan Wetan, Eretan Kulon, Bugel,

dan Ujung Gebang (Gambar 5).

Gambar 5 Lokasi penelitian.

4.2 Kerangka Metodologi

Kerangka metodologi sebagaimana diuraikan pada Gambar 6, meliputi

analisis keberlanjutan sumber daya ikan dengan menggunakan metode

RAPFISH dan analisis efisiensi atau optimalisasi penggunaan alat tangkap ikan
dengan menggunakan metode Data Envelope Analysis (DEA) atau Frontier

analysis.

Dimensi Tingkat
Keberlanjutan Analisis Analisis Pemanfaatan
SDI RAPFISH DEA SDI

Ekologi Status Rekomendasi Produksi


Keberlanjutan Optimalisasi Perikanan
Ekonomi Alat Tangkap Tangkap
Sosial Faktor
Pengungkit Jumlah Alat
Teknologi Tangkap

Etika

Kelembagaan Renstra Dinas Kelautan dan


Perikanan Kab. Indramayu

Rencana Pengelolaan

Gambar 6 Kerangka metodologi.

4.3 Pengumpulan Data

4.3.1 Jenis data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Jenis data yang dikumpulkan adalah data potensi sumber daya ikan,

produksi ikan, jenis dan jumlah alat tangkap, jenis dan jumlah armada kapal,

rumah tangga perikanan (RTP), kondisi hutan mangrove, kondisi terumbu

karang, sosial ekonomi masyarakat, kebijakan perikanan tangkap, serta kondisi

pembangunan perikanan tangkap ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial dan

budaya (Tabel 3).

71
Tabel 3 Jenis dan sumber pengambilan data

4.3.2 Metode pengumpulan data

Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung di

lapangan, diskusi dan wawancara menggunakan kuesioner dengan stakeholders.

Wawancara dimaksudkan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap

kebijakan pengelolaan perikanan tangkap serta alternatif kebijakan yang perlu

diambil untuk mengatasi permasalahan di Kabupaten Indramayu. Data sekunder

diperoleh melalui studi pustaka/literatur dan berbagai laporan yang dikeluarkan

oleh instansi pemerintah digunakan untuk mendeskripsikan keadaan umum

wilayah penelitian meliputi aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya wilayah

pesisir Indramayu, sebagai dasar perumusan kebijakan.

72
Responden yang dijadikan sample dalam kajian ini ditentukan

berdasarkan teknik purposive sampling dengan pertimbangan, bahwa responden

adalah pelaku (individu atau lembaga) yang terlibat dalam kegiatan perikanan

tangkap. Responden adalah para pemangku kepentingan (stakeholders), yaitu

pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan anggota

masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan analisis stakeholder, jumlah responden

yang dijadikan sampel dalam penelitian ini sebanyak 56 orang dan 11 orang

diantaranya sebagai responden utama (key stakeholders) Rapfish dan 8 orang,

sebagai responden utama DEA.

4.4 Analisis Data dan Informasi

4.4.1 Teknik RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries)

Keberlanjutan (sustainability) merupakan kunci kebijakan yang

dibutuhkan untuk perikanan di seluruh dunia. Sampai saat ini masih sulit untuk

menghitung perikanan berkelanjutan, khususnya ketika dihubungkan dengan

informasi dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Teknik RAPFISH (Rapid

Appraisal for Fisheries) adalah suatu metode multi disiplin terkini yang digunakan

untuk mengevaluasi perbandingan perikanan berkelanjutan berdasarkan jumlah

atribut yang banyak tetapi mudah untuk dinilai. Ordinasi RAPFISH dibentuk oleh

aspek ekologi, ekonomi, etika, sosial dan teknologi. Hasil statusnya

menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek yang disajikan dalam bentuk

skala 0 sampai 100%.

Manfaat dari teknik RAPFISH ini adalah dapat menggabungkan berbagai

aspek untuk dievaluasi komponen keberlanjutannya dan dampaknya terhadap

perikanan dalam ekosistem laut dan dapat menduga hubungannya dengan FAO

Code of Conduct (Alder et al. 2000). Penggunaan Teknik RAPFISH mempunyai

berbagai keunggulan diantaranya adalah sangat sederhana, mudah dinilai, cepat

73
serta biaya yang diperlukan relatif murah (Pitcher, 1999). Selain itu, teknik ini

dapat menjelaskan hubungan dari berbagai aspek keberlanjutan, dan juga

mendefenisikan perikanan yang fleksibel (Gambar 7).

Gambar 7 Prosedur RAPFISH menggambarkan perikanan berkelanjutan


(Alder et al. 2000).

RAPFISH akan menghasilkan gambaran yang jelas dan komprehensif

mengenai kondisi sumber daya ikan, khususnya di daerah penelitian, sehingga

akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk

mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan, sebagaimana diisyaratkan dalam Code of Conduct for Responsible

Fisheries (FAO, 1995).

RAPFISH didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada

urutan atribut yang terukur) dengan Multi-Dimensional Scaling (MDS), dengan

prosedur seperti ditampilkan pada Gambar 8.

74
Gambar 8 Proses aplikasi RAPFISH untuk data perikanan (Alder et al. 2000).

Di dalam penelitian ini prosedur analisis RAPFISH dilakukan melalui

beberapa tahapan (Fauzi dan Anna, 2005), yaitu:

(1) Analisis terhadap data perikanan Kabupaten Indramayu melalui data statistik,

studi literatur, dan pengamatan di lapangan.

(2) Melakukan skoring dengan mengacu pada literatur (aspek ekologi dari

RAPFISH mengacu pada Alder et al. 2000) dengan Microsoft Excell.

(3) Melakukan analisis MDS dengan software SPSS untuk menentukan ordinasi

dan nilai stress melalui ALSCAL Algoritma.

Teknik ordinasi (penentuan jarak) di dalam MDS didasarkan pada jarak

Euclidian yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut:

d = ( x1 − x 2 + y1 − y 2 + z1 − z 2 + ...)
2 2 2

75
Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atau titik di dalam MDS kemudian

diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (dij) dari titik i ke titik j

dengan titik asal (dij) sebagaimana persamaan berikut:

d ij = α + βδ ij + ε

Metode ALSCAL mengoptimasi jarak kuadrat (squared distance=dijk)

terhadap kuadrat (titik asal=0ijk), yang dalam tiga dimensi (i, j, k) ditulis dalam

formula yang disebut S-Stress sebagai berikut:

1 m  i
∑ ∑ (d 2
)
2 2
− oijk
ijk

S= ∑ j

m k =1  ∑ ∑j oijk 
4

 i

Dimana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot, atau ditulis:

d ijk = ∑ wka (xia − x ja )


r
2 2

a =1

(4) Melakukan “rotasi” untuk menentukan posisi perikanan pada ordinasi “bad”

dan “good” dengan Excell dan Visual Basic.

Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang

dihitung berdasarkan nilai S. Nilai Stress yang rendah menunjukkan good fit,

sementara nilai S yang tinggi menunjukkan bad fit. Di dalam Rapfish, model

yang baik ditunjukkan jika nilai stress lebih kecil dari 0.25 (S < 0.25).

(5) Melakukan sensitivity analysis dan Monte Carlo Analysis untuk

memperhitungkan aspek ketidakpastian.

Nilai indeks keberlanjutan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu

pada Susilo (2003) yang membagi status keberlanjutan dalam 4 kategori, yaitu

(1) tidak berkelanjutan, (2) kurang bekelanjutan, (3) cukup berkelanjutan dan (4)

bekelanjutan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.

76
Tabel 4 Indeks keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu

Nilai Indeks Kategori

0 - 25 Tidak berkelanjutan / buruk

> 25 - = 50 Kurang berkelanjutan

> 50 - = 75 Cukup berkelanjutan

> 75 - = 100 Berkelanjutan

Sumber: Susilo, 2003 dan Hermawan, 2006

4.4.2 Analisis efisiensi/kapasitas perikanan

Dalam rangka analisis efisiensi mengunakan metode Data Envelope

Analysis (DEA) atau Frontier analysis. DEA menggunakan teknik seperti program

matematis yang dapat menangani variabel dan kendala dalam jumlah besar, juga

memudahkan kebutuhan yang sering timbul disebabkan keterbatasan data,

sehingga bisa dipilih hanya beberapa variable input dan output. Perhitungan DEA

menghasilkan skor efisiensi dimana alat tangkap merupakan Decision Making

Unit. Hasil tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk membandingkan efisiensi

tiap alat tangkap, dimana efisiensi tertinggi akan dijadikan acuan. Fluktuasi

angka efisiensi tiap alat tangkap menggambarkan kondisi efisiensi relatif setiap

alat tangkap perikanan di Indramayu secara umum apakah dalam kondisi

inefisiensi.

Model terpenting dari DEA adalah CCR (Charnes, Cooper and Rhodes,

1978). Menurut Cooper et al. (2004), ada dua model DEA yang berkembang

yaitu CCR dan BCC (Banker-Charnes-Cooper). Model BCC merupakan

pengembangan dari CCR. Perbedaan CCR dan BCC terletak pada acuan yang

digunakan untuk menetukan batas titik-titik efisiensi DMU (Decision Making Unit)

77
dalam suatu frontier. Garis batas terluar efisiensi dalam CCR ditarik dari satu titik

efisiensi terluar berupa garis lurus, sedangkan dalam model BCC batas efisiensi

ditarik oleh garis yang menghubungkan titik-titik terluar efisiensi (Gambar 9 dan

Gambar 10). Baik model CCR maupun BCC dibagi menjadi dua tipe, yaitu input-

oriented dan output-oriented dengan notasi CCR-I; CCR-O; BCC-I; BCC-O. Tipe

input-oriented digunakan untuk meminimalkan input, sedangkan output oriented

digunakan untuk memaksimalkan output, perhitungan kedua tipe akan

menghasilkan angka efisiensi yang sama (Cooper et al. 2004).

Gambar 9 Pembatasan produksi model CCR.

Gambar 10 Pembatasan produksi model BBC.

78
Berdasarkan data yang ada, dapat dihitung efisiensi suatu DMU

menggunakan data input dan output. Jumlah variabel input dan output bisa satu

atau lebih. Apabila ada n DMU: DMU1, DMU2,….., dan DMUn dimana j = 1, ….,

n, sedangkan ada sejumlah m input dan s output, maka input data untuk DMUj

menjadi (X1j, X2j,…,Xmj) dan output datanya adalah (Y1j, Y2j,…, Ysj). Matriks

input data X dan output data Y dapat ditulis sebagai berikut.

 
 
 x11 x12 ... x1 n  …..…….………………….(2.1)
X =  x 21 x22 ... x2n 
 
. . . 
x xm2 xmn 
 m1

 
y y12 ... y1n 
 11 ……………………..……...(2.2)
Y =  y21 y22 ... y2 n 
 
. . . 
y ysn 
 s1 ys2

Salah satu cara untuk menganalisa kapasitas perikanan adalah dengan

DEA, dimana pendekatannya berdasarkan input dan output. Seperti dirujuk oleh

Fauzi dan Anna (2005), konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Charles,

Cooper, dan Rhodes atau dikenal sebagai CCR. Di Indonesia konsep ini telah

diterapkan oleh Fauzi dan Anna pada tahun 2002 untuk mengukur efisiensi

kapasitas perikanan di DKI Jakarta (Fauzi dan Anna, 2005).

Pengukuran efisiensi pada dasarnya merupakan rasio antara output dan

input, atau:

Output
Efisiensi = ........................................................................(2.3)
Input

Pengukuran efisiensi yang menyangkut multiple input dan output dapat

dilaksanakan dengan menggunakan pengukuran efisiensi relatif yang dibobot

sebagaimana tertulis berikut:

79
Jumlah output yang sudah dibobot
Efisiensi = ............................(2.4)
Jumlah input yang sudah dibobot

Atau dapat ditulis :

w1 y1 j + w2 y 2 j + ...
Efisiensi dari unit j = .....................................(2.5)
v1 x1 j + v 2 x 2 j + ...

Keterangan :
w1 = Pembobotan untuk output i
y1j = Jumlah output 1 dari unit j
v1 = Pembobotan untuk input 1
x1j = Jumlah dari input 1 ke unit j

Namun demikian, pengukuran tersebut tetap memiliki keterbatasan

berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output.

Keterbatasan tersebut kemudian dijembatani dengan konsep DEA, efisiensi tidak

semata-mata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor

pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan. Pada pembahasan

DEA, efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum

dengan kendala relatif efisiensi dan seluruh unit yang tidak boleh melebihi 100%.

Secara matematis, efisiensi dalam DEA merupakan solusi dan persamaan

berikut:

∑w y i ijm
Max Em = m
....................................................................(2.6)
∑v y
k
k kjm

Dengan kendala :

∑w y i ijm
i
≤ 1 untuk setiap unit ke j ............................................(2.7)
∑v y
k
k kjm

wi , vk ≥ ε

Pemecahan masalah pemrograman matematis di atas akan

menghasilkan nilai E m yang maksimum sekaligus nilai bobot (w dan v) yang

80
mengarah ke efisiensi. Jadi jika nilai E m =1, maka unit ke m tersebut dikatakan

efisien relatif terhadap unit lainnya. Sebaliknya jika nilai E m lebih kecil dari 1,

maka unit yang lain dikatakan lebih efisien relatif terhadap unit m, meskipun

pembobotan dipilih untuk memaksimisasi unit m.

Salah satu kendala dan pemecahan persamaan (2.7) adalah persamaan

tersebut berbentuk fractional sehingga sulit untuk dipecahkan melakukan

pemograman linear. Namun demikian, dengan melakukan linearisasi, persamaan

(2.6) dapat diubah menjadi persamaan linear sehingga pemecahan melalui

pemograman linear (linear programming) dapat dilakukan. Linearisasi persamaan

(2.6) di atas menghasilkan persamaan sebagai berikut:

Max Em = ∑ wi yijm .......................................................................(2.8)


i

Dengan kendala:

∑vk
k xkjm = ϖ
................................................................(2.9)
∑w y
i
i ijm − ∑ v k xkjm ≤ 1
k

ωi , v k ≥ ε

Salah satu manfaat dilakukannya linearisasi, kita dapat melakukan

pemecahan pemrograman linear di atas dengan melakukan pemecahan dual dari

persamaan (2.9). Sebagaimana ciri yang dimiliki oleh pemograman linear,

pemecahan baik primal maupun dual akan menghasilkan solusi yang sama,

namun demikian sering pemecahan dengan dual lebih sederhana karena

berkurangnya dimensi kendala. Primal dan dual variable dari persamaan (2.9) di

atas dapat ditulis kembali sebagai sebagai:

Model Primal Variabel Dual

Max Em = ∑ wiy ijm Z


i

81
Dengan kendala

∑ vkxkjm = ϖ ?o
………………(2.10
k
)
∑ wi yijm - ∑ vkxkjm ≤ 1 j = 1,2 ... n
i k

− vk ≤ - ε k = 1,2 ... m Sk−

− ωi ≤ −ε i = 1,2, ...t Sk+

Dengan demikian, dual dari persamaan (2.10) dapat ditulis sebagai;

min ϖ Zm -ε ∑ Si+ − ε ∑ Sk−


i k

Dengan kendala:

xkj - S -k - ∑ Xkj λ j = 0 k = 1 ... m .................................................(2.11)


j

S +i + ∑ yij λ j = yijm i = 1... t


j

λj , S i+ , S k− ≥ 0

Hasil dari perhitungan DEA ini kemudian di plot dalam bentuk efficiency

frontier untuk mengetahui posisi relatif dari hasil sensisitvity analysis dengan

kondisi aktual. Analisis selanjutnya adalah memanfaatkan data 8 alat tangkap

dari sampel tahun 2006 untuk menghitung efisiensi tiap kapal dengan DEA

menggunakan multiple input variable dan multiple output variable. Variabel input

terdiri dari investasi, biaya, effort (upaya) dalam satuan hari melaut (fishing days),

dan kekuatan mesin (GT). Variabel output terdiri dari penerimaan bersih serta

variabel tenaga kerja yang digunakan. Data-data tersebut dimasukan ke dalam

rumus DEA sebagai berikut:

∑w y i ijm ∑wy i ijm


Max Em = m
Dengan kendala : i
≤ 1 untuk setiap unit ke j
∑v y
k
k kjm ∑v y
k
k kjm

82
5 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

5.1 Letak Geografis dan Wilayah Administrasi

Kabupaten Indramayu terletak di ujung timur laut Provinsi Jawa Barat

pada posisi geografis 107°52' - 108°36' Bujur Timur (BT) dan 6°14' - 6°40'

Lintang Selatan (LS). Batas wilayah di sebelah barat adalah Kabupaten Subang

dan Kabupaten Sumedang, sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah timur

dengan Laut Jawa dan Kabupaten Cirebon dan sebelah selatan dengan

Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka. Luas wilayah Kabupaten

Indramayu 204.000 ha dan memiliki garis pantai sepanjang 114 km, yang secara

administratif dibagi ke dalam 24 kecamatan, 8 kelurahan, dan 302 desa, dan 37

desa diantaranya adalah desa pesisir yang terdapat dalam 9 kecamatan

Di wilayah Kabupaten Indramayu, terdapat pulau-pulau kecil yaitu Pulau

Biawak, Pulau Gosong dan Pulau Candikian. Secara administratif termasuk ke

dalam wilayah Desa Pabean Ilir, Kecamatan Kota, Indramayu. Pulau Biawak

terletak di lepas pantai Laut Jawa, sekitar + 40 km di sebelah Utara pantai

Indramayu pada posisi geografis 05o56’002” LS dan 108o22’015” BT.

Berdasarkan hasil survey lapangan DKP (2003a), keadaan topografinya datar,

beberapa bagian pulau yang ditumbuhi mangrove tergenang air laut, terutama

pada saat pasang naik. Luas pulau Biawak + 120 ha, terdiri dari ± 80 ha hutan

bakau dan ± 40 ha hutan pantai/darat. Panjang pulau dari timur ke barat ± 1 km

dan dari utara ke selatan ± 0.5 km (DKP, 2003a).

Pulau Gosong terletak pada posisi 05o52’076” LS dan 108 o24’337” BT

atau sekitar 5 km arah timur laut Pulau Biawak seluas + 525 ha. Pulau ini

berbentuk cincin akibat pengerukan yang dilakukan oleh Pertamina Balongan

(Exor I) untuk penimbunan wilayah pantai di kawasan industri pada awal tahun
1990-an. Di pulau ini dapat dijumpai hanya beberapa vegetasi tumbuhan. Pulau

ini merupakan karang dan biasanya muncul pada saat sedang surut.

Pulau Candikian (Pulau Rakit Utara) terletak pada posisi 05o48’089” LS

dan 108 o25’487” BT atau sekitar 14 km arah timur laut Pulau Biawak seluas + 97

ha. Vegetasi tumbuhan yang ada adalah jenis ketapang (Terminilia cattapa) dan

jenis bakau kerdil menyerupai perdu. Pada saat surut, daratan pulau ini terlihat

luas, hal ini menandakan bahwa pulau ini dikelilingi oleh karang.

Berdasarkan ketinggian, Kabupaten Indramayu tergolong dataran rendah

yakni berada pada 0 – 7 meter di atas permukaan laut. Sedangkan topografi

pantainya sendiri berdasarkan data dari Dinas Hidro Oseonografi TNI Angkatan

Laut Tahun 2000, yaitu:

- Tepi pantai (batas pasang tertinggi ) : 1- 2 dpl

- Pantai (batas surut terendah) : 3 – 8,2 dpl

Pulau Biawak tersusun dari batu-batu karang dan hancuran batu

karang, pasir putih/kersik lumpur dan humus terutama dijumpai di bagian barat

laut dan utara dan merupakan hutan bakau dengan jenis tumbuhan Bruguiera sp.

yang berakar jangkar pendek. Formasi geologi wilayah pesisir pantai utara

Indramayu tersusun atas batuan sedimen yang terdiri dari campuran hancuran

bahan literit serta jenis batuan pliocene sedimentary facies serta aluvium.

Pulau Gosong merupakan kawasan batu karang yang membentuk

lingkaran seperti cincin (karang atol) hal ini terjadi akibat dari hasil pengerukan

yang dilakukan oleh Pertamina Balongan (Exor I). Bentuk karang atol ini dapat

terlihat pada waktu surut. Untuk masuk ke dalam lingkaran tersebut terdapat

celah yang cukup besar bagi kapal-kapal yang ingin berlabuh agar terlindung dari

kerasnya gelombang. Daratan yang tampak pada saat survey terlihat seluas

84
± 10 m2 yang ditumbuhi jenis rerumputan dan jenis mangrove Avicenia sp,

kondisi pulau terlihat pada saat pasang air laut.

Pulau Candikian tersusun dari batu karang dan hancuran terumbu

karang, pasir putih dan merupakan hutan bakau Brugiera sp. Pada waktu surut

jelas terlihat batu-batu karang yang merupakan bagian dari pulau tersebut. Luas

daratan pulau tersebut ± 20 m2 dan terpisah menjadi dua bagian daratan pasir

putih.

5.2 Oseanografi

1) Iklim

Iklim di Kabupaten Indramayu dipengaruhi oleh angin munson yang

mengakibatkan dua musim yaitu musim barat dan musim timur. Angin umumnya

berasal dari barat laut (29,35%), timur laut (22,01%), dan utara (18,32%) dengan

kecepatan angin umumnya berkisar antara 3 – 5 meter per detik. Musim barat

terjadi pada bulan Desember sampai bulan Februari, dimana angin umumnya

(30 – 40%) bertiup dari arah barat laut dengan kecepatan 4 – 6 meter per detik.

Pada musim barat, sebagian kecil (10%) angin bertiup dari arah barat daya

dengan kecepatan angin 3 meter per detik. Selanjutnya pada bulan Juni sampai

bulan Agustus merupakan puncak musim timur dimana angin umumnya (30 –

40%) bertiup dari arah timur laut dengan kecepatan 3 – 6 meter per detik (DKP

dan PKSPL, 2001).

2) Pasang surut

Pasang surut merupakan gerakan permukaan air laut yang teratur secara

periodik dan secara umum dipengaruhi oleh posisi bulan dan matahari disamping

karakter perairan pantai seperti wilayah kepulauan dan kedalaman juga

mempengaruhi sifat pasang surut secara lokal. Pengaruh posisi bulan dapat

85
dicirikan dengan adanya pasang purnama dan pasang perbani, sedangkan

karakteristik pantai akan mempengaruhi tipe pasang surut seperti diurnal,

semidiurnal, dan campuran. Sifat diurnal apabila hanya mengalami satu kali

pasang dan satu kali surut dalam satu hari, semidiurnal terjadi jika pantai

mengalami dua kali pasang dan dua kali surut dengan ketinggian yang sama.

Sifat pasang surut campuran terjadi apabila pantai mengalami dua kali pasang

dan dua kali surut dengan ketinggian yang berbeda. Berdasarkan data prakiraan

dari stasiun Tanjung Priok dan Cirebon, tipe pasang surut di Kabupaten

Indramayu termasuk kategori campuran mengarah ke semidiurnal. Kisaran

pasang surut terbesar adalah 1 meter dan kisaran pasang surut kedua adalah

0,5 – 0,7 meter (DKP dan PKSL, 2001).

5.3 Potensi Sumber Daya Hayati

1) Mangrove

Berdasarkan laporan DKP dan PKSPL (2001), hutan mangrove di

Kabupaten Indramayu dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu hutan

mangrove binaan dan hutan alami. Hutan mangrove binaan terdapat di

Indramayu daratan dan berada di bawah pengelolaan Bagian Kesatuan

Pemangkuan Hutan (BKPH) Indramayu. Berdasarkan pengelolaannya, hutan

mangrove binaan tersebut dapat dibagi menjadi empat Resort Pemangkuan

Hutan (RPH), yaitu RPH Cemara, Cangkring, Purwa dan Pabean Ilir.

Keseluruhan wilayah RPH berada di dalam wilayah Losarang, Sindang dan

Indramayu. Wilayah di luar tiga kecamatan tersebut tidak memiliki hutan

mangrove.

Kepadatan hutan mangrove yang tertinggi berada di daerah tanah timbul

seperti di Desa Cemara, Desa Cangkring dan muara Sungai Cimanuk.

Kepadatan mangrove mencapai 0,8 ind/m2 di Desa Cemara, 0,21 ind/m2 di Desa

86
Cangkring dan 3,62 ind/m2 di muara Sungai Cimanuk. Jenis mangrove yang

ditemukan dengan kerapatan jenis terbesar adalah bakau (Rhizophora

macronata) dan api-api (Avicenia alba). Di muara Sungai Cimanuk ditemukan

jenis mangrove drujon/jeruju (Acanthis ilicifolius, L) yang tumbuh dominan di

hutan mangrove yang rusak (DKP dan PKSPL, 2001).

Selain di wilayah daratan tersebut di atas, Pulau Biawak juga merupakan

pulau hutan mangrove yang banyak ditumbuhi berbagai jenis bakau sebagai ciri

khas ekosistem mangrove yang didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata.

Kondisi ekosistem mangrove masih baik dengan tumbuhnya berbagai ragam

jenis mangrove yang sudah langka sebagaimana jarang dijumpai di pantai utara

Jawa.

2) Terumbu Karang

Terumbu karang di daerah Indramayu terdapat di Pulau Biawak dan

sekitarnya. Berdasarkan laporan Dinas Perikanan Jawa Barat tahun 2004 tingkat

kerusakan terumbu karang di sekitar Pula Biawak mencapai 47,58%. Hal ini

terjadi akibat masih adanya kegiatan penangkapan ikan menggunakan bahan

peledak dan potasium sianida serta penangkapan ikan yang kurang ramah

lingkungan. Di wilayah Pulau Gosong dan Pulau Candikian jarang ditemukan

terumbu karang yang berukuran besar, akibat dari pengerukan dan penangkapan

ikan dengan menggunaan bom serta potasium sianida seperti halnya yang terjadi

di Pulau Biawak.

5.4 Perikanan

1) Perikanan laut

Usaha perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu dilakukan di dalam

dan diluar wilayah perairan Kabupaten Indramayu. Jenis usaha perikanan

87
tangkap yang dilakukan di dalam wilayah perairan Kabupaten Indramayu

umumnya dilakukan oleh nelayan yang berdomisili di sepanjang jalur pantai

dengan menggunakan alat tangkap anco, sero, pancing, jaring klitik, jaring

insang hanyut, jaring lapis tiga (trammel net), pukat pantai, payang atau lampara

dan dogol. Sedangkan jenis usaha penangkapan yang dilakukan di luar wilayah

perairan Kabupaten Indramayu dilakukan dengan alat tangkap yang berskala

sedang sampai besar seperti dogol, trammel net, jaring insang hanyut dan purse

Seine dengan kapal motor skala sedang sampai skala besar dan sebagai alat

tangkap andalan adalah purse Seine dan pancing (DKP dan PKSPL, 2001).

Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten

Indramayu pada tahun 2004, jumlah nelayan sebanyak 30.256 orang dengan

jumlah armada penangkapan ikan sebanyak 4.541 armada, serta produksi

perikanan laut sebesar 66.789,40 ton dengan nilai produksi mencapai

Rp. 376.034.710,-. Kondisi perikanan laut didukung juga oleh jumlah perusahaan

pengalengan ikan 1 buah dan pabrik es sebanyak 5 buah. Kabupaten Indramayu

memiliki panjang pantai 114 km yang membentang sepanjang Cirebon hingga

Subang, dan jarak 4 mil dari pantai merupakan wewenang kabupaten (sesuai

Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

Potensi sumber daya ikan di wilayah perairan Kabupaten Indramayu

berdasarkan data laporan yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Perikanan dan

Kelautan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2004 adalah sekitar 32.754,12 ton.

Adapun jumlah sarana pangkalan pendaratan ikan (PPI) di sepanjang pantai

Indramayu tercatat 14 buah tersebar mulai dari perbatasan Cirebon sampai

kabupaten Subang.

Jenis-jenis ikan laut ekonomis penting yang di daratkan di 14 buah PPI

tersebut antara lain : tongkol, kuro, biji nangka, bawal, mata besar, tenggiri,

belanak, teri, tembang, alu-alu, beronang, kerapu, kakap, kepiting, rajungan,

88
ekor kuning, peperek, layang, layur, ikan lidah dan jenis ikan lanilla selengkapnya

dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5 Jenis-jenis ikan laut ekonomis penting yang didaratkan di Kabupaten


Indramayu

No Nama ikan Nama ilmiah No Nama ikan Nama ilmiah


1 Tongkol Euthynnus affinis 16 Bandeng Chanos chanos
2 Kuro Eletheronema tetradactylum 17 Kepiting Scylla sp
3 Biji nangka mulidae 18 rajungan Portunus pelagicus
4 Bawal stromatidae 19 Ekor Kuning Caesio sp
5 Mata besar Priacentus tayayenus 20 Caerio chrynozonus
6 Selar Caranx sp 21 Peperek, , -
7 Tebal bibir Balistoides spp 22 Layang -
8 tenggiri Scomberocus spp 23 Pari Dasyatidae
9 Belanak Mugil sp 24 Layur Trihiuriedae
10 Teri - 25 Ikan lidah Solidae
11 Tembang clupeidae
12 Alu-alu Sphyraena sp
13 beronang Siganus spp
14 Kerapu Epinephelus spp
15 Kakap Lates calcaliver
Sumber Data : Data Statistik Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu 2004

Sebagaimana kegiatan perikanan tangkap di pantai utara pada umumnya,

kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu dipengaruhi oleh dua

musim dengan arah dan cuaca tahunan, yaitu musim timur dan musim barat.

Musim timur, yaitu musim yang disebabkan bertiupnya angin dari arah timur ke

barat yang terjadi pada bulan Mei sampai September. Musim barat, yaitu musim

yang disebabkan oleh bertiupnya angin dari arah barat yang biasanya terjadi

antara bulan Oktober hingga Maret (Juwono, 1998). Perbedaan musim tersebut

mempengaruhi kapasitas kapal serta penggunaan alat tangkap dalam melakukan

penangkapan ikan.

Sementara itu, berdasarkan daerah tangkapan (fishing ground), secara

umum jenis usaha perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan yang berasal

89
dari Kabupaten Indramayu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu nelayan

yang melakukan penangkapan ikan di dalam wilayah Kabupaten Indramayu,

seperti yang menggunakan alat tangkap pancing, sero, jaring klitik, payang,

dogol, pukat pantai. Sedangkan kelompok kedua yang melakukan penangkapan

ikan di luar wilayah Kabupaten Indramayu adalah jaring insang dan purse seine.

2) Perikanan budidaya

Kegiatan budidaya ikan di Kabupaten Indramayu di dominasi oleh

budidaya tambak yang tersebar di Kecamatan Indramayu, Centigi (Sindang),

Balongan, Arahan (Lohbener), Krangkeng (Karang Ampel), Juntinyuat, Losarang,

Kandanghaur dan Sukra. Dari daerah pertambakan tersebut Centigi (Sindang)

merupakan yang terluas sedangkan Juntinyuat merupakan yang terkecil.

Kegiatan budidaya tambak yang terdapat di wilayah tersebut adalah kegiatan

pembesaran ikan bandeng dan atau udang (DKP dan PKSPL, 2001). Gambaran

selengkapnya perkembangan luas lahan budidaya tambak dari tahun 1996 –

2000 dapat diikuti pada Tabel 6. Pada tahun 2001 luas areal tambak telah

mencapai 13.735,4 ha, dengan produksi ikan/udang hasil budidaya tambak

sebesar 10.621,5 ton, dan jumlah rumah tangga perikanan (RTP) 5.082 RTP.

Tabel 6 Perkembangan luas lahan budidaya tambak di Kabupaten Indramayu


tahun 1996 – 2000

(Ha)
No Kecamatan 1996 1997 1998 1999 2000
1 Indramayu 2.121 2.141 1.978 2.090 2.391
2 Centigi (Sindang) 4.341 5.240 5.377 5.446 4.755
3 Balongan 39 34 54 54 81
4 Arahan (Lohbener) 326 326 237 244 514
5 Krangkeng (K.Ampel) 321 361 340 491 976
6 Juntinyuat 0 0 10 21 49
7 Losarang 2.226 2.264 3.001 3.005 4.143
8 Kandanghaur 327 329 304 341 451
9 Sukra 247 249 247 247 138
Jumlah 9.948 10.944 11.548 11.939 13.497
Diolah dari DKP dan PKSPL, 2001

90
5.5 Sosial, Ekonomi dan Budaya

1) Kependudukan

Penduduk kawasan pesisir Kabupaten Indramayu merupakan penduduk

asli dan pendatang. Para penduduk asli lebih banyak tinggal di daerah perbatasan,

sedangkan para pendatang banyak yang bermukim di daerah perkotaan. Pada

tahun 2000 jumlah penduduk sebanyak 1.588.255 jiwa, sedangkan jumlah

pendud uk akhir tahun 2001 yaitu 1.569.468 jiwa (laki- laki 805.191 jiwa dan

perempuan sebanyak 791.277 jiwa sex ratio sebesar 101,76 maka laju

pertumbuhan penduduk pada tahun 2001 adalah 0,52% penduduk paling banyak

pada di Kecamatan Haurgeulis sebanyak 134.435 jiwa (8,42%), dan Kecamatan

Indramayu 104.136 (6,47%) jumlah penduduk, paling sedikit di Kecamatan

Balongan yakni 21.472 jiwa (1,34%).

2) Struktur ekonomi regional

Kabupaten Indramayu memiliki potensi sumber minyak bumi yang tinggi,

oleh sebab itu sektor pertambangan dan galian memegang peranan penting

dalam perekonomian wilayah pesisir indramayu. Dalam pendapatan daerah

regional bruto (PDRB) tahun 1998 nilainya mencapai 61,902% (BAPPEDA,

2000). Namun mengingat sifat sumberdaya minyak bumi ini terbatas maka perlu

dicarikan alternatif lain untuk meningkatkan PDRB dan peningkatan pendapatan

perkapita masyarakat.

5.6 Pulau-pulau Kecil

Secara umum wilayah pantai dan laut Kabupaten Indramayu berada pada

pantai terbuka dan berhadapan langsung dengan Laut Jawa di wilayah ini

91
terdapat tiga buah pulau kecil. Kondisi saat ini, Pulau Biawak dan sekitarnya

dihuni oleh pengawal mercusuar secara tetap, sedangkan Pulau Gosong dan

Pulau Rakit Utara/Pulau Candikian belum dihuni oleh manusia. Status

kepemilikan yang demikian itu akan memudahkan dalam menetapkan dan

menata kawasan. Persepsi sebagian besar masyarakat/nelayan beranggapan

bahwa pulau-pulau kecil pulau yang ada di wilayah Kabupaten Indramayu

merupakan milik pemerintah. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.

595/Kpts-II/1997 tentang penunjukkan tanah seluas ± 934 hektar yang terletak di

Pulau Biawak dan blok/kelompok hutan cemara rambatan, Kecamatan Losarang

dan Sindang, Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu, Provinsi Daerah Tingkat I

Jawa Barat menjadi kawasan hutan yang pengelolaanya diserahkan kepada

Perhutani.

Sedangkan berdasarkan Surat Keputusan Nomor: 556/kep.528-

diskanla/2004 tertanggal 7 april 2004 tentang Penetapan Pulau Biawak dan

Sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut. Pulau Biawak dan

sekitarnya sebagai kawasan terumbu karang dan tempat berkembangbiaknya

berbagai biota laut dan merupakan kawasan yang belum terekspoitasi dengan

optimal sehingga perlu dilakukan pengelolaan secara optimal dengan

memperhatikan kaidah-kaidah keberlanjutan dan perlindungan kelestarian,

mengemban visi konservasi dan misi pelestarian, pendidikan dan ekonomi.

Pembagian kawasan konservasi dan wisata laut Pulau Biawak dan

sekitarnya dibagi menjadi dua zona dengan kategori sebagai berikut:

(1) Internal zone yang merupakan kawasan perlindungan habitat dan populasi

sumber daya hayati.

(2) Eksternal zone yang merupakan perlindungan dan pemanfaatan wisata.

Di Pulau Biawak tidak ada perkampungan penduduk, yang ada hanya

petugas penjaga mercusuar dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Para

92
petugas bergilir untuk masa-masa tertentu. Pada umumnya untuk selama enam

bulan mereka bertugas menjaga mercusur. Jumlah petugas rata-rata tiga orang,

biasanya petugas tersebut membawa keluarga. Di pulau ini dibangun rumah

penjaga sebagai tempat tinggal para petugas, gudang, sebuah kamar atau

rumah mesin diesel dan mercusuar.

Kondisi pulau yang jaraknya relatif jauh dari daratan Indramayu (Pulau

Jawa) menjadikan pulau ini jarang dikunjungi kecuali nelayan-nelayan yang

melakukan penangkapan ikan di sekitar perairan pulau tersebut. Umumnya

nelayan yang melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan tersebut adalah

nelayan yang berasal dari pantai utara Jawa Barat (Indramayu, Cirebon, dan

Subang). Terkadang ada yang mengunjungi pulau tersebut untuk melakukan

ziarah ke makam Kyai Syarief Hasan yang merupakan situs peninggalan budaya.

Selain itu, juga terdapat makam Belanda serta tugu menara suar yang dibangun

tahun 1872 dengan titik fokus lampu 50 meter yang diresmikan Z.M. Williem III,

merupakan daya tarik pengunjung untuk menaiki menara suar tersebut sambil

melihat panorama sekitar pulau.

Sedangkan pada Pulau Gosong dan Pulau Candikian sama sekali tidak

ada penduduk yang menghuni. Kedua pulau tersebut dikunjungi hanya untuk

menangkap ikan. Pulau gosong sendiri dijadikan tempat berlabuh bagi para

nelayan ketika terjadi badai agar dapat terhindar dari arus gelombang yang

tinggi.

93
6 HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Keragaan Sumber Daya Perikanan Tangkap

Analisis kebijakan yang diutarakan sebelumnya bertujuan untuk

mengetahui implementasinya di lapangan dengan melihat kondisi sumber daya

dan status perikanan tangkap saat ini. Sumber daya ikan yang terdata di lokasi

penelitian berdasarkan pengamatan langsung di beberapa pangkalan

pendaratan ikan seperti Karangsong, Eretan, Dadap, Tegal Agung dan

Juntinyuat serta hasil wawancara dengan nelayan dan Dinas Perikanan dan

Kelautan Kabupaten Indramayu adalah ikan layang, kembung, selar, bawal,

tongkol, tenggiri, kakap, cucut dan pari serta berbagai jenis ikan lainnya termasuk

udang dan cumi.

Perkembangan produksi perikanan laut sejak tahun 1995 sampai dengan

tahun 2004 terlihat mengalami fluktuasi (Tabel 7 dan Gambar 11), sedangkan

nilai produksinya menunjukkan kecenderungan terus meningkat dari tahun ke

tahun secara signifikan. Kenaikan angka produksi terjadi pada tahun 1997 dan

2004. Kenaikan angka produksi pada tahun 1997 dimungkinkan oleh

meningkatnya harga jual ikan seiring dengan meningkatnya nilai tukar mata uang

dollar Amerika pada saat itu. Peningkatan angka produksi tahun 2004 diduga

karena terjadinya peningkatan jumlah unit tangkapan ikan.

Berdasarkan data runtun dari tahun 1995-2004 sebagaimana tercantum

pada Tabel 8, diketahui bahwa jumlah rumah tangga perikanan (RTP) di lokasi

penelitian meningkat setiap tahunnya yaitu dari 25.898 RTP pada tahun 1995

menjadi 30.256 RTP pada tahun 2004. Peningkatan ini diduga sebagai dampak

resesi ekonomi, dimana banyak tenaga kerja perusahaan industri yang


mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) beralih ke industri perikanan baik

sebagai buruh atau nelayan tangkap.

Tabel 7 Perkembangan produksi dan nilai produksi perikanan laut di


Kabupaten Indramayu pada tahun 1995-2004

PRODUKSI NILAI PRODUKSI


Tahun
TAHUNAN (ton) (Rp)
1995 60.217,00 153.047.390.000
1996 62.131,60 167.905.772.000
1997 65.320,70 186.398.385.000
1998 61.968,00 424.653.070.000
1999 60.976,50 421.386.315.000
2000 61.897,50 421.978.210.000
2001 61.062,15 430.440.798.000
2002 59.584,08 520.866.439.000
2003 59.242,50 404,479.407.500
2004 66.789,40 376.034.710.000
Sumber: DKP Jabar dan Kabupaten Indramayu (1995-2004)

68,000.00

66,000.00
Produksi (Ton)

64,000.00

62,000.00

60,000.00

58,000.00

56,000.00

54,000.00
95

99
96

97

98

00

01

02

03

04
19

19
19

19

19

20

20

20

20

20

Tahun

Gambar 11 Perkembangan total produksi tahunan perikanan laut di Kabupaten


Indramayu pada tahun 1995-2004.

Perkembangan jumlah nelayan juga diikuti oleh perkembangan armada

kapal (Tabel 8). Peningkatan jumlah armada tanpa adanya kontrol diduga akan

95
meningkatkan tekanan terhadap stok sumberdaya ikan akibat peningkatan upaya

penangkapan.

Tabel 8 Perkembangan jumlah RTP dan armada berbagai jenis kapal


di Kabupaten Indramayu pada tahun 1995-2004

JENIS ARMADA KAPAL (unit)


Tahun RTP
PTM Motor Tempel Kapal Motor
1995 25.898 - 3.999 136
1996 26.019 - 3.923 220
1997 26.500 - 3.935 225
1998 26.702 - 3.950 239
1999 26.802 - 3.782 242
2000 27.985 160 3.718 213
2001 28.667 160 3.788 283
2002 29.721 160 3,.878 285
2003 30.256 78 4.143 320
2004 30.256 78 4.143 320
Sumber: DKP Jabar dan Kabupaten Indramayu (1995-2004)

Sejalan dengan perkembangan nelayan dan armada penangkapan ikan,

secara langsung berdampak pula terhadap perkembangan jumlah alat tangkap di

masing-masing lokasi penelitian. Jenis alat tangkap yang banyak dipergunakan

oleh nelayan adalah payang atau lampara, jaring insang hanyut, dan jaring klitik.

Namun, khusus untuk jaring klitik terjadi penurunan sangat drastis pada tahun

2002 (Tabel 9).

Gambaran mengenai perkembangan jumlah alat tangkap per tahun

khususnya untuk empat alat tangkap terbanyak digunakan di Kabupaten

Indramayu adalah payang atau lampara, purse seine, jaring insang hanyut dan

jaring klitik. Perkembangan alat tangkap dari tahun 1995 sampai tahun 2004

dapat dilihat pada Gambar 12. Mempertimbangkan bahwa wilayah pengelolaan

Kabupaten/kota menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 adalah sejauh 4

mil, maka dipilih pendekatan sumber daya ikan pelagis kecil dan demersal

dengan alat tangkap yang dominan digunakan nelayan.

96
Tabel 9 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Indramayu
pada tahun 1995-2004

ALAT TANGKAP (unit)

Lampara
Payang/

Pancing
Hanyut
Insang
Pantai

Jaring

Jaring
Purse
Dogol

Pukat

Seine

Sero
Tahun

Klitik
1995 537 95 77 63 1.591 3.274 350 92
1996 539 95 77 65 1.598 3.274 353 92
1997 548 100 91 76 1.706 3.277 351 92
1998 553 100 91 84 1.717 3.280 354 92
1999 673 81 62 75 1.326 2.652 160 270
2000 1.198 191 268 76 1.948 811 338 322
2001 157 111 318 89 2.249 722 313 237
2002 1.198 111 288 146 2.366 811 338 186
2003 1.281 205 288 156 2.091 870 332 80
2004 1.486 2.698 288 156 2.390 870 332 80
Sumber: DKP Jabar dan Kabupaten Indramayu (1995-2004)
Jumlah Alat Tangkap (Unit)

3,500
Purse Seine
3,000
Gillnet
2,500
Lampara
2,000 J. Klitik
1,500 Pancing
Sero
1,000
Pukat Pantai
500
Dogol
0
96

97

01

02
95

98

99

00

03

04
19

19

20

20
19

19

19

20

20

20

Tahun

Gambar 12 Grafik perkembangan jumlah alat tangkap utama per tahun di


Kabupaten Indramayu tahun 1995-2004.

Memperhatikan perkembangan produksi yang terus meningkat dari tahun

ke tahun sampai di atas 200% dari MSY dan JTB yang diakibatkan

bertambahnya jumlah RTP dan armada penangkapan menjadikan perikanan

tangkap di Kabupaten Indramayu sangat menarik. Hal ini dimungkinkan karena

banyak nelayan Indramayu yang melakukan penangkapan ikan jauh di luar

97
wilayahnya sampai ke perairan Bangka Belitung, Selat Bali, Selat Makasar dan

wilayah perairan lainnya. Hal ini menguatkan pendapat bahwa stok sumberdaya

ikan di perairan Indramayu telah mengalami penurunan. Over-fishing secara

simultan disebabkan oleh armada perikanan tangkap skala industri (industrial

fisheries), perikanan skala kecil (artisanal fisheries), perikanan yang bersifat

rekreasional maupun komersial, dan penangkapan dengan menggunakan alat

tangkap yang ilegal maupun legal.

Perikanan skala kecil (artisanal) menjadi sensitif karena eksploitasi

biasanya dilakukan di sekitar pantai yang menjadi wilayah kritis bagi

keberlanjutan stok sumber daya ikan. Perikanan skala besar yang sangat

potensial sebagai penyebab over fishing terutama karena lemahnya penegakan

hukum dan aturan-aturan terhadap jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan

ukuran effort. Penangkapan ikan dengan metode tidak ramah lingkungan akan

mempercepat proses terjadinya over-fishing karena hasil tangkapan yang tidak

selektif dan kerusakan habitat sebagai akibat dari metode penangkapan yang

merusak. Namun alat tangkap legal juga tetap menyebabkan over fishing jika

penerapan effort dilakukan melebihi kapasitas yang mungkin bagi stok sumber

daya dalam melakukan pemulihan.

Terjadinya penangkapan secara berlebihan disebabkan oleh :

(1) Meningkatnya jumlah penduduk sehingga meningkatkan tekanan terhadap

sumber daya ikan akibat kegiatan perikanan tangkap.

(2) Perikanan tangkap bersifat akses terbuka sehingga setiap orang berhak

untuk melakukan penangkapan secara bebas.

(3) Gagalnya pengelolaan perikanan.

98
6.2 Analisis Kondisi dan Status Perikanan Tangkap Kabupaten Indramayu

Untuk mengetahui kondisi dan status perikanan tangkap di Kabupaten

Indramayu, dilakukan analisis terhadap enam dimensi keberlanjutan sumber

daya, yaitu: ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika, dan kelembagaan. Dengan

menganalisa keenam dimensi tersebut maka didapatkan indeks keberlanjutan

perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu. Sebagaimana yang tersaji pada

Tabel 1 Bab 2, keenam dimensi tersebut memiliki 60 atribut. Hasil pengkajian

terhadap status perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu yang

terdiri atas dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika, dan kelembagaan

diuraikan sebagai berikut:

6.2.1 Dimensi ekologi

Hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak RAPFISH

menunjukkan bahwa indeks dimensi ekologi sebesar 25,07. Nilai indeks dimensi

ekologi tersebut berada pada kisaran 25 - 50 (Gambar 13). Kondisi demikian

menjelaskan bahwa berdasarkan krtiteria status keberkelanjutan, indeks dimensi

ekologi di Kabupaten Indramayu berada pada kategori kurang berkelanjutan.

Masalah utama yang dihadapi perikanan tangkap pada umumnya adalah

menurunnya hasil tangkapan, yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan (over

fishing) terhadap sumber daya ikan dan degradasi kualitas fisik, kimia serta

biologi lingkungan perairan. Dari segi dimensi ekologi menunjukkan kondisi

sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu dalam keadaan kurang berkelanjutan.

Hal ini disebabkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan belum memperhatikan

kelestarian sumber daya yang berdampak pada terjadinya peningkatan

degradasi.

99
60
RAPFISH Ordination

UP

40
Features

20
Features
Other Distingishing

25,07
0 BAD GOOD
Other Distinguishing

0 20 40 60 80 100 120

-20

-40

DOWN

-60

Dimensi Ekologi Berkelanjutan

Real Fisheries References Anchors

Gambar 13 Hasil ordinasi RAPFISH: indeks ekologi Kabupaten Indramayu.

Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi ekologi dari analisis

menggunakan perangkat lunak RAPFISH mengenai kondisi dan status perikanan

tangkap, selanjutnya dapat dilakukan analisis leverage (pengungkit).

Kegunaannya adalah untuk mengetahui atribut yang sensitif terhadap indeks

kondisi dan status perikanan tangkap. Perhitungan leverage ini didasarkan pada

perbedaan standard error antara skor dengan atribut atau sebaliknya skor

dengan tidak adanya atribut. Hasil analisis atribut pengungkit (leverage

attributes) RAPFISH untuk dimensi ekologi ditunjukkan pada Gambar 14. Pada

Gambar 15 ditunjukkan hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi ekologi.

100
Leverage of Attributes

Tekanan terumbu
1,02
karang

Jumlah spesies 1,26

Kedewasaan ikan
0,58
tertangkap

Sedimentasi
Sedimentasi 3,22
Tekanan thd
Tekanan lahan
Attribute

mangrove 4,90
mangrove

keragaman rekruitment 1,83

Jarak migrasi 1,95

Perubahan ukuran ikan 1,37

Abrasi 2,02

Status pemanfaatan 0,20

0 1 2 3 4 5 6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 14 Hasil analisis atribut pengungkit (Leverage Attributes) RAPFISH


dimensi ekologi.

Pada Gambar 14 tersebut di atas menunjukkan bahwa indikator yang

menjadi pengungkit utama (leverage attributes) dimensi ekologi, yaitu :

1) Tekanan terhadap lahan mangrove

Produk yang paling memiliki nilai ekonomis dari ekosistem mangrove

adalah perikanan pantai. Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi

menghabiskan sebagian siklus hidupnya pada daerah mangrove, kakap (Lates

calcalifer), kepiting bakau (Scylla serrata) serta beberapa jenis ikan lainnya

merupakan jenis ikan yang secara langsung bergantung kepada habitat

mangrove. Ikan menjadikan areal mangrove sebagai tempat untuk pemijahan,

habitat permanen atau tempat berkembang biak. Sebagai tempat pemijahan,

areal mangrove berperan penting karena menyediakan tempat berlindung dari

serangan predator.

101
Seiring dengan terjadinya tekanan terhadap lahan mangrove, maka

masyarakat nelayan merasakan telah terjadi penurunan produksi tangkapan

sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu. Hal ini disadari oleh para nelayan

bahwa penurunan hasil tangkapan dipengaruhi oleh adanya deforestasi hutan

mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu.

Kabupaten Indramayu termasuk salah satu wilayah yang memiliki tingkat

kerusakan hutan mangrove terparah di Jawa Barat. Tercatat dari 17.782 ha

hutan mangrove, 50% diantaranya tergolong rusak berat dan sekitar 8.233 ha

lahan yang tercakup dalam delapan kecamatan dikategorikan sebagai daerah

kritis. Sebagai tinjauan kasus konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak

pada tahun 1997, lahan tambak Kabupaten Indramayu seluas 10.944 ha

meningkat 9,10% dari tahun 1996, sedangkan pada tahun 1998 luas areal

tambak meningkat 5,23% (604 ha). Tahun 2000 meningkat 11.55% (1.558,26 ha)

dari tahun 1999 sebesar 11.939 ha. Daerah mangrove yang banyak dijadikan

tambak terdapat di sekitar blok Karangkaji Desa Cangkring dan Cantigi (DKP dan

PKSPL, 201). Berdasarkan kecenderungan perkembangan luas lahan tambak di

wilayah Kabupaten Indramayu, diduga pada tahun 2005 luas lahan budidaya

tambak di wilayah Kabupaten Indramayu akan bertambah menjadi 16.154,12

hektar (Satria, 2002).

Penyusutan hutan mangrove berdampak negatif pada ekosistem dan

kenyataannya dampak tersebut sering dilupakan dalam pembangunan perikanan

berkelanjutan. Fauzi (2001) mengungkapkan bahwa pemanfaatan sumber daya

haruslah tidak melebihi daya dukung ekologis. Untuk itu dilakukan sedemikian

rupa untuk tidak merusak keberadaan sumber daya yang ada.

Kawasan hutan mangrove yang ada di Kabupaten Indramayu merupakan

habitat buatan, sehingga jenis mangrove yang ada di sana relatif terbatas, yaitu

hanya mencakup jenis-jenis Rhizopora spp (Tabel 10). Jenis mangrove yang

102
ditemukan dengan kerapatan jenis tertinggi adalah bakau (Rhizophora

macronata) dan api-api (Avecenia alba). Di Muara Sungai Cimanuk ditemukan

jenis mangrove jeruju (Acanthus ilicifolius. L) yang tumbuh dominan di hutan

mangrove rusak.

Tabel 10 Jenis mangrove yang tumbuh di Kabupaten Indramayu

Jumlah
No Nama Pulau Nama ilmiah
Jenis
Rhizopora stylosa, Rhizopora Muncurota,
Pulau Biawak Sonneratia alba, Brugueria exirtata, Avicennia
1 11
(Pulau Rakit) marina, Ceseolaris tagal, Nipa spp, Achanthus
spp, Ceriops spp, Aegicera dan Lumnitzera.
2 Pulau Gosong 2 Rhizopora stylosa, dan Avicennia marina

Pulau Rakit
Rhizopora stylosa, Sonneratia alba, Avicennia
3 Utara 4
marina, dan Ceseolaris tagal
(P.Candikian)
Rhizopora mucronata, Rhizopora conjugata,
Rhizopora stylosa, Avicennia marina, Bruguiera
Muara Sungai parviflora, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops
4 11
Cimanuk candoleana, Onchospermae filamentosa,
Excoecaria agallocha, Ceras corniculatum, dan
Sonnerataria alba
Sumber Data : Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, 2004

2) Sedimentasi

Indikator dari dimensi ekologi yang menjadi faktor pengungkit utama

kedua adalah sedimentasi yang tinggi di perairan Kabupaten Indramayu.

Penebangan hutan, perubahan tata guna lahan, dan praktek pertanian yang

buruk, semuanya menyebabkan peningkatan sedimentasi dan masuknya unsur

hara ke daerah tangkapan air.

Sedimentasi dalam kolom air dapat sangat mempengaruhi pertumbuhan

karang, atau bahkan menyebabkan kematian karang. Kandungan unsur hara

yang tinggi dari aliran sungai dapat merangsang pertumbuhan alga yang

beracun. Keadaan ini mendorong pertumbuhan alga lain yang tidak saja

103
memanfaatkan energi matahari, tetapi juga menghambat kolonisasi larva karang

dengan cara menumbuhi substrat yang merupakan tempat penempelan larva

karang.

Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh sedimentasi di pesisir

Kabupaten Indramayu adalah kesulitan nelayan dalam melabuhkan

perahu/kapal. Misalnya yang terjadi di Pelabuhan Karangsong, nelayan yang

biasa berlabuh di Pelabuhan Karangsong ini mengeluh karena terjadinya

pendangkalan hebat di bagian muara sungai yang menjadi jalur utama keluar

masuk kapal dan perahu nelayan. Pendangkalan yang diakibatkan

menggunungnya pasir di bagian muara sungai, kapal dan perahu sulit berlabuh

itu menjadikan para nelayan menderita kerugian ratusan juta rupiah. Hal ini

terungkap dari pernyataan beberapa nelayan, dan salah satu diantaranya adalah

Tholib, salah seorang nelayan setempat yang juga juragan kapal motor "Laju

Suud" mengaku akibat kondisi tersebut dirinya menderita kerugian besar. Dalam

sehari ia merugi antara Rp 5.000.000 - Rp 10.000.000. Hal ini dikarenakan, kapal

motor miliknya yang berbobot di atas 15 GT, telah 15 hari lebih terdampar di

Pelabuhan Karangsong (Pikiran Rakyat, 5 Juni 2006).

Dampak lain dari terjadinya pendangkalan di Muara Karangsong adalah

sepinya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karangsong. TPI yang biasanya ramai

oleh aktivitas pelelangan ikan, dalam dua pekan terakhir juga terlihat lengang

karena tidak ada kapal atau perahu nelayan yang membongkar dan menjual ikan

hasil tangkapan. Hal ini dibenarkan Tarika, Manajer TPI Karangsong KUD Mina

Sumitra. Akibat terjadinya pendangkalan pasir di lokasi muara, menurut Tarika,

aktivitas TPI terjadi penurunan begitu pula halnya dengan besar pendapatan,

yakni pendapatan bulan sebelumnya yang mencapai Rp 7,9 miliar setelah muara

mengalami pendangkalan, pendapatannya hanya berkisar Rp 4,7 miliar (Pikiran

Rakyat, 5 Juni 2006).

104
Selain itu, di bagian utara Indramayu, sedimentasi telah menyebabkan

lahan bermasalah sekitar 12.000 ha. Lahan tersebut setiap tahun terkena banjir

dan kekeringan akibat dangkalnya sungai dan saluran pembuang. Oleh karena

itu, gejala sedimentasi perlu mendapat perhatian, karena berdampak besar

terhadap kehidupan sosial dan lingkungan. Proses-proses geologi yang sedang

berlangsung di Kabupaten Indramayu dapat ditafsirkan dari peta geologi kuarter

(Hanafi, M. 2005) yaitu :

(1) Proses pembentukan endapan dataran banjir yang menutupi sebagian besar

wilayah bagian utara.

(2) Proses pendangkalan daratan ke arah laut, diperlihatkan oleh terjadinya

endapan laut muda dan endapan dataran banjir di atas endapan laut,

membentuk delta Sungai Cimanuk.

(3) Proses abrasi di daerah pantai Eretan, yang diperlihatkan oleh bentuk garis

pantai dan endapan yang relatif tua, yang tidak tertutupi endapan dataran

banjir.

105
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing
95%Confidence of Median)

60

Features
Other Distingishing Features 40

20
Other Distinguishing

0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40

-60
Fisheries Sustainability

RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot

60

40
Features
Other Distingishing Features

20
Other Distinguishing

0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 15 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFIS H dimensi
ekologi.

106
6.2.2 Dimensi ekonomi

Di kawasan Asia Tenggara, tujuan sosial dan ekonomi seringkali

bertentangan dalam pengelolaan penangkapan ikan perairan pantai. Di negara

dimana pemerintahnya menekankan tujuan-tujuan ekonomi, kebijakan ditujukan

untuk menjamin persediaan ikan yang memadai dengan harga yang dapat

dijangkau oleh para konsumen lokal, guna meningkatkan pendapatan valuta

asing dari produk-produk perikanan seperti udang, dan untuk meningkatkan

efisiensi ekonomi (tingkat keuntungan) dalam sektor perikanan (Bailey 1988).

Pengelolaan dimensi ekonomi dapat mengalokasikan sumber daya ikan

dengan daya dukung ekonomi secara efisien yaitu bagaimana pemanfaatan

sumber daya ikan dapat meningkatkan keuntungan dalam ukuran uang dan

meningkatkan pendapatan nelayan secara merata dengan tetap

mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta produktivitas sumber daya secara

terus menerus.

Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan antara

lain dengan meningkatkan produksi hasil tangkapan melalui penggunaan unit

penangkapan yang produktif dan efisien sesuai dengan kondisi wilayah setempat

dan tidak merusak kelestarian sumber daya ikan. Pengelolaan perikanan tangkap

diarahkan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan, meningkatkan ekonomi

masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan dan penerimaan pendapatan asli

daerah dari sektor perikanan dan kelautan.

Peningkatan pendapatan nelayan merupakan dampak program kerja

yang sangat berarti dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan. Pendapatan

nelayan dapat meningkat melalui optimasi produktivitas usaha dan adanya daya

serap produksi yang memadai secara berkelanjutan. Oleh karena itu fungsi

pengaturan, pelayanan dan pembinaan secara komprehensif merupakan bagian

terpenting untuk memfasilitasi tercapainya peningkatan pendapatan.

107
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak

RAPFISH menunjukkan bahwa indeks dimensi ekonomi sebesar 39,72. Nilai

indeks dimensi ekonomi ini berada pada kisaran 25 - 50 (Gambar 16). Kondisi

demikian menjelaskan bahwa berdasarkan penilaian status pembangunan

berkelanjutan, indeks dimensi ekonomi di Kabupaten Indramayu berada pada

kategori kurang berkelanjutan.

RAPFISH Ordination
60

UP

40
Features
Distingishing Features

20
Distinguishing

39,72
0 BAD GOOD
0 20 40 60 80 100 120
Other

-20
Other

-40

DOWN

-60

Dimensi Ekonomi Berkelanjutan

Real Fisheries References Anchors

Gambar 16 Hasil ordinasi RAPFISH: indeks dimensi ekonomi Kabupaten


Indramayu.

Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi ekonomi dari analisis

RAPFISH, selanjutnya dapat dilakukan analisis leverage (pengungkit). Hasil

analisis atribut pengungkit (leverage attributes) RAPFISH untuk dimensi ekonomi

ditunjukkan pada Gambar 17. Pada Gambar 18 ditunjukkan hasil analisis Monte

Carlo untuk dimensi Ekonomi.

108
Leverage of Attributes

Tekanan kerja
Penyerapan TK 0,30

Pendapapatan di luar
2,67
tangkap

Penghasilan thd UMR 0,95

Sarana ekonomi 1,29


Attribute

Besarnya
Besarnya subsidi
Subsidi 4,58

Besarnya pasar 2,37

Transfer keuntungan 2,98

Kontribusi PAD
Kontribusi PAD 4,01

GDP/PDRB
GDP/orang (1000s) 2,73

Keuntungan 1,13

0 1 2 3 4 5 6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 17 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi ekonomi.

Pada Gambar 17 tersebut di atas menunjukkan bahwa indikator yang

menjadi pengungkit utama (leverage attributes) dimensi ekonomi, yaitu:

1) Besarnya subsidi

Nelayan di Kabupaten Indramayu dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu

(1) kelompok nelayan tetap, yaitu nelayan setempat yang seluruh waktunya

digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan; (2) nelayan

sambilan, yaitu nelayan setempat yang sebagian waktunya digunakan untuk

melakukan operasi penangkapan ikan; dan (3) nelayan pendatang, yaitu nelayan

dari daerah lain yang ikut melakukan operasi penangkapan di daerah tersebut.

109
Nelayan ini dikenal pula dengan nelayan musiman yang berpindah-pindah

daerah penangkapannya. Sedangkan berdasarkan kepemilikan modal usaha

penangkapan, maka nelayan Kabupaten Indramayu digolongkan menjadi dua,

yaitu: nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah nelayan yang

memiliki usaha penangkapan ikan atau sering disebut sebagai juragan,

sedangkan nelayan buruh yaitu nelayan yang bekerja di kapal dan diberi upah

oleh nelayan pemilik atau sering juga disebut sebagai anak buah kapal (ABK).

Nelayan di Kabupaten Indramayu mengalami perkembangan setiap

tahunnya. Hal ini dapat menggambarkan bahwa sektor perikanan dan kelautan

dapat digunakan sebagai penghasil bagi nelayan. Nelayan sambilan dan nelayan

pendatang pada tahun tertentu mengalami penurunan karena beberapa nelayan

harus memilih pekerjaan. Beberapa diantaranya menjadi juragan yang hanya

sesekali pergi melaut, mengurus tambak dan lain sebagainya. Adapun nelayan

pendatang di daerah Indramayu untuk melakukan operasi penangkapan

tergantung pada musim ikan yang terjadi di daerah tersebut (DKP Indramayu,

2003).

Nelayan di Kabupaten Indramayu dalam pengembangan usahanya

senantiasa dihadapkan pada permasalahan-permasalahan. Fauzi (2005)

mengungkapkan bahwa paling tidak terdapat dua faktor umum yang menjadi

sandungan dalam pengembangan perikanan di luar konteks sumberdaya alam

itu sendiri. Pertama adalah faktor struktural berupa hambatan kelembagaan bagi

nelayan untuk melakukan mobilitas vertikal. Hal ini terlihat dari kelembagaan

pemasaran maupun kelembagaan usaha produksi yang kurang kondusif bagi

nelayan untuk berkembang. Kedua adalah faktor teknis yang terkait dengan

lemahnya permodalan yang menyebabkan rendahnya produktivitas dan

pendapatan nelayan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah telah

mengeluarkan beberapa kebijakan yang bersifat pemberian bantuan kredit

110
(subsidi), seperti kredit investasi kecil/kredit modal kerja permanen (KIK/KMKP)

yang merupakan kredit jangka menengah dan jangka panjang untuk keperluan

rehabilitasi, modernisasi dan perluasan proyek. Kebijakan yang sekarang

dilakukan oleh pemerintah adalah pemberdayaan eknomi masyarakat pesisir

(PEMP). Pada awalnya program PEMP ini diinisiasi untuk memberdayakan

masyarakat pesisir sekaligus mengatasi dampak kenaikan harga bahan bakar

minyak (BBM) terhadap perekonomian masyarakat pesisir, yang difokuskan pada

penguatan modal melalui perguliran dana ekonomi produktif.

Secara umum, pemberian subsidi telah menyebabkan terjadinya over

capacity di bidang perikanan. Fauzi (2005) mengungkapkan bahwa subsidi yang

diberikan pada perikanan yang nota bene merupakan sumber daya yang bersifat

common property, justru hanya akan menimbulkan economic waste. Hal ini

dikarenakan, dalam jangka pendek kredit di bidang perikanan memang dapat

membantu industri perikanan tersebut untuk mencapai akselerasi dalam

produktivitas. Termasuk juga kredit yang terjadi pada perikanan di Indonesia,

seperti halnya program motorisasi perikanan dan kredit KIK/KMKP. Dampak

jangka pendek dari kredit tersebut terlihat dari pesatnya pertumbuhan perikanan

dan meningkatnya produksi perikanan secara aggregat. Namun demikian, dalam

jangka panjang hal ini harus dicermati karena sifat sumberdaya ikan yang sangat

khas, justru dikhawatirkan malah akan meningkatkan kapasitas perikanan yang

berakibat pada penurunan manfaat ekonomi dan timbulnya over eksploitasi yang

berlebihan. Hal ini sudah terlihat di perikanan yang padat seperti halnya

perikanan pantai utara Jawa, termasuk didalamnya adalah Indramayu, dimana

produktivitas nelayan terlihat mengalami tren yang menurun dan berkurangnya

sumber daya ikan (trip yang makin lama dan daerah penangkapan yang makin

jauh).

111
2) Pendapatan asli daerah

Pasca dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 32

Tahun 2004, Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten

Indramayu “menggenjot” sumber-sumber pendapatan yang berbasiskan sumber

daya seperti sumber daya pesisir dan laut untuk membangun daerahnya. Apabila

fokus peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui sumber daya pesisir

dan laut ini tidak diiringi dengan konsep pengelolaan (konservasi) yang jelas,

dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang berujung pada

over fishing dan kemiskinan masyarakat nelayan.

Dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Pemerintah Daerah

(Provinsi dan Kabupaten) memiliki wewenang ekonomi kewenangan untuk

mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur

dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk

provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk

Kabupaten/kota. Adapun kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di

wilayah laut tersebut meliputi: (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan

pengelolaan kekayaan laut, (2) pengaturan administratif, (3) pengaturan tata

ruang, (4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah

atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, (5) ikut serta dalam

pemeliharaan keamanan dan (6) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pemerintah Daerah, maka ada

beberapa implikasi terhadap eksploitasi sumber daya pesisir dan laut, khususnya

dalam hal perwilayahan daerah penangkapan ikan, yaitu pemerintah daerah

harus dengan lebih pasti mengetahui potensi perikanan serta batas-batas

wilayahnya sebagai dasar untuk menentukan jenis dan tipe kegiatan perikanan

yang sesuai di daerahnya. Apabila tidak, maka dikhawatirkan terjadi kerusakan

112
sumber daya yang berujung pada pemiskinan masyarakat setempat, khususnya

masyarakat nelayan.

Kekhawatiran tersebut di atas nampaknya terjadi di Kabupaten Indramayu,

sejak tahun 1999, angka perkembangan alat tangkap meningkat secara

signifikan. Hal ini mencerminkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten

Indramayu lebih mementingkan tingkat produksi, sementara potensi sumber daya

ikannya jauh di bawah angka tangkapan faktual. Dengan demikian, fokus

peningkatan PAD hanya akan mendorong perikanan di Kabupaten Indramayu ke

arah tidak berkelanjutan.

113
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing
95%Confidence of Median)

60

40
Features
Other Distingishing Features

20
Other Distinguishing

0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40

-60
Fisheries Sustainability

RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot

60

40
Features
Other Distingishing Features

20
Other Distinguishing

0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 18 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi
ekonomi.

114
6.2.3 Dimensi Sosial

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak

RAPFISH menunjukkan bahwa indeks dimensi sosial sebesar 43,10. Nilai indeks

ini berada pada kisaran 25 - 50 (Gambar 19). Kondisi demikian menjelaskan

bahwa berdasarkan penilaian status keberlanjutan, indeks dimensi sosial di

Kabupaten Indramayu berada pada kategori kurang berkelanjutan.

RAPFISH Ordination
60

UP

40
Features
Distingishing Features

20
Distinguishing

0 BAD GOOD
0 20 40 60 80 100 120
43,10
Other

-20
Other

-40

DOWN

-60

Dimensi Sosial Berkelanjutan

Real Fisheries References Anchors

Gambar 19 Hasil ordinasi RAPFISH: indeks dimensi sosial Kabupaten


Indramayu.

Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi sosial, selanjutnya dapat

dilakukan analisis leverage (pengungkit). Hasil analisis atribut pengungkit

(leverage attributes) RAPFISH untuk dimensi sosial ditunjukkan pada Gambar

20. Sedangkan Pada Gambar 21 ditunjukkan hasil analisis Monte Carlo untuk

dimensi sosial.

115
Leverage of Attributes

Waktu
Waktu untuk pekerjaan 0,29

Upaya perbaikan
Waktudari
ekosistem perbaikan
Pemda 0,07

Peran masyarakat 0,40

Partisipasi keluarga 1,58

Frekuensi
FrekuensiKonflik
Attribute

konflik 3,50

Tingkat
Tingkat pendidikan
Pendidikan 4,23

Pengetahuan thd
Pengetahuan 2,54
lingkungan

Pertumbuhan TK 0,36

Jumlah RT pekerja
Jumlah pemanfaat
TK pemanfaat
SDI 0,77

Sosialisasi thd isu


Sosialisasi thd pekerjaan 0,52
perikanan

0 1 2 3 4 5 6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 20 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi sosial.

Pada Gambar 20 tersebut di atas menunjukkan bahwa indikator yang

menjadi pengungkit utama (leverage attributes) dimensi sosial, yaitu:

1) Tingkat pendidikan

Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat nelayan lainnya, rendahnya

tingkat pendidikan ini menyebabkan rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat

nelayan dalam bidang pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan. Hal ini

dicerminkan dengan fenomena kerusakan lingkungan pesisir dan laut Kabupaten

Indramayu tidak hanya disebabkan oleh aktivitas industrialisasi dan aktivitas

Pertamina Balongan, akan tetapi juga disebabkan oleh penduduk miskin yang

116
rendah pendidikan, yang karena terpaksa harus melakukan eksploitasi sumber

daya yang secara ekologis rentan atau dengan cara-cara yang tidak ramah

lingkungan seperti penggunaan bahan peledak (dinamit) dan racun sianida untuk

menangkap ikan. Penggunaan racun sianida umumnya dilakukan oleh nelayan

yang menangkap ikan hias.

2) Frekuensi konflik

Dalam dunia perikanan, khususnya kegiatan penangkapan ikan, konflik

merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan nelayan. Konflik

sosial antar nelayan telah terjadi sejak tahun 1970-an, misalnya konflik antara

nelayan skala kecil (tradisional) dengan nelayan skala besar (modern) yang

menggunakan alat tangkap pukat harimau atau yang lebih dikenal dengan istilah

‘trawl”. Akibat maraknya konflik yang disebabkan oleh penggunaan alat tangkap

trawl ini, maka pada tahun 1980, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Keputusan Presiden (Kepres) No. 38 Tahun 1980 tentang Penghapusan Trawl.

Dengan demikian, konflik sosial antar nelayan sering disebabkan oleh perebutan

sumberdaya ikan yang jumlahnya terbatas. Perebutan ini muncul karena

karakteristik sumberdaya ikan yang bersifat terbuka (open acces).

Secara anatomis, sebenarnya konflik dalam masyarakat pesisir,

khususnya nelayan, dapat dikategorikan ke dalam berbagai macam berdasarkan

faktor-faktor penyebabnya. Kinseng (2006) membagi konflik sosial dikalangan

nelayan menjadi tiga tipe, yaitu:

(1) Konflik kelas, adalah konflik yang terjadi antar kelas seperti antara buruh

(anak buah kapal/ABK) dengan pemilik (majikan) dan antara nelayan

kecil/tradisional dengan nelayan besar/modern.

(2) Konflik identitas, adalah konflik yang terjadi antar kelompok nelayan berbasis

identitas seperti daerah asal dan etnis.

117
(3) Konflik alat tangkap, adalah konflik yang terjadi antar kelompok nelayan yang

berbasis alat tangkap yang berbeda.

Berdasarkan pembagian tipe konflik nelayan di atas, ketiga jenis konflik

tersebut di atas terjadi di Kabupaten Indramayu. Konflik yang umumnya terjadi

adalah konflik antara nelayan kecil dengan nelayan besar di jalur tangkapan 1

(jalur satu) yang diperuntukan bagi nelayan kecil. Sedangkan konflik identitas,

biasanya konflik antara nelayan yang berasal dari Indramayu dengan nelayan

luar. Dan konflik alat tangkap biasanya terjadi antara nelayan yang

menggunakan alat tangkap legal dengan alat tangkap illegal, yaitu arad. Meski

dalam data statistik perikanan Kabupaten Indramayu, alat tangkap arad tidak

terdaftar, namun pada kenyataannya di lapangan masih banyak ditemukan

nelayan yang menggunaan alat tangkap arad.

118
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing
95%Confidence of Median)

60

Other DistingishingFeatures
Features 40

20
Other Distinguishing

0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40

-60
Fisheries Sustainability

RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot

60

40
Other DistingishingFeatures
Features

20
Other Distinguishing

0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 21 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH


dimensi sosial.

119
6.2.4 Dimensi teknologi

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak

RAPFISH menunjukkan bahwa indeks dimensi teknologi sebesar 38,00. Nilai

indeks dimensi ekonomi tersebut berada pada kisaran 25 – 50 (Gambar 22).

Kondisi demikian menjelaskan bahwa berdasarkan penilaian status

keberlanjutan, indeks dimensi teknologi di Kabupaten Indramayu berada pada

kategori kurang berkelanjutan.

RAPFISH Ordination
60

UP

40
Features
Features

20
Distinguishing
Other Distingishing

38,00
0 BAD GOOD
0 20 40 60 80 100 120
Other

-20

-40

DOWN

-60

Dimensi Teknologi Berkelanjutan

Real Fisheries References Anchors

Gambar 22 Hasil ordinasi RAPFISH dimensi teknologi Kabupaten


Indramayu.

Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi teknologi, selanjutnya

dapat dilakukan analisis leverage (pengungkit). Hasil analisis atribut pengungkit

(leverage attributes) RAPFISH untuk dimensi teknologi ditunjukkan pada Gambar

120
23. Sedangkan pada Gambar 24 ditunjukkan hasil analisis Monte Carlo untuk

dimensi teknologi.

Leverage of Attributes

Penanganan di atas
0,01
kapal
Penanganan pasca
2,27
panen

Alat Alat
Tangkap Destruktif
tangkap destruktif 3,07

FADS 2,00

Selektivitas alat
Attribute

Alat selektif 0,28

Kekuatan alat tangkap


Kekauatan alat 0,65

Ukuran kapal 1,30

Rambu lalu lintas 1,35

Mobilitas Alat Tangkap


Jenis alat 2,41

Penyebaran TPI 1,48

0 1 2 3 4 5 6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 23 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH: dimensi teknologi.

Pada Gambar 23 tersebut di atas menunjukkan bahwa indikator yang

menjadi pengungkit utama (leverage attributes) dimensi teknologi, yaitu:

1) Alat tangkap destruktif

Penerapan teknologi memberikan arti yang signifikan terhadap

keberlanjutan sumber daya. Penerapan teknologi dalam penangkapan ikan harus

tepat guna, menumbuh-kembangkan peningkatan produksi dan meminimumkan

kerusakan lingkungan. Penangkapan ikan dengan metode tidak ramah

lingkungan akan mempercepat proses terjadinya over fishing karena rendahnya

selektivitas alat tangkap dan penggunaan metode penangkapan ikan yang

bersifat merusak telah mengakibatkan kerusakan sumber daya ikan dan habitat

121
perairan. Namun alat tangkap legal juga tetap menyebabkan over fishing jika

penerapan effort dilakukan melebihi kapasitas yang memungkinkan bagi stok

sumber daya ikan untuk melakukan pemulihan (DKP, 2003).

Terjadinya penangkapan secara berlebihan disebabkan oleh

(1) meningkatnya jumlah penduduk sehingga meningkatkan tekanan terhadap

sumber daya, termasuk perikanan tangkap, (2) perikanan tangkap bersifat akses

terbuka sehingga setiap orang berhak untuk melakukan penangkapan secara

bebas dan; (3) gagalnya manajeman perikanan. Oleh karena itu, perlu

penegakan hukum dalam pelarangan penggunaan alat tangkap yang merusak.

Mengingat, di Kabupaten Indramayu masih ditemukan alat tangkap arad, meski

tidak tercatat dalam statistik perikanan, maka pengawasan terhadap alat ini

harus lebih diintensifkan lagi. Selain itu, beberapa nelayan kecil/tradisional juga

disinyalir ikut berperan dalam merusak ekosistem laut, karena mereka

menggunakan alat tangkap yang merusak seperti potasium sianida di sekitar

pulau. Pada dasarnya, nelayan-nelayan kecil/tradisional tersebut menyadari

bahwa pengeboman dan penggunaan racun sianida dapat merusak lingkungan,

akan tetapi mereka tidak mampu menghentikannya karena tuntutan kebutuhan

ekonomi yang mendesak.

2) Mobilitas alat tangkap

Semakin banyak alat tangkap yang digunakan terutama yang bergerak

(mobile), maka semakin kuat tekanannya terhadap sumber daya ikan. Lebih dari

itu, beragamnya jenis alat tangkap tersebut ditambah lagi dengan banyaknya

jumlah dari masing-masing alat tangkap. Dengan demikian, perlu pengaturan

mengenai jumlah dari masing-masing alat tangkap yang digunakan. Adapun alat

tangkap yang tercatat dalam statistik perikanan Dinas Perikanan dan Kelautan

Kabupaten Indramayu sebagaimana yang tersaji dalam Tabel 9, diantaranya

122
yaitu payang/lampara, dogol, pukat pantai, purse seine, jaring insang hanyut,

jaring klitik, pancing, dan sero. Alat tangkap yang diduga paling dominan

merusak sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indramayu adalah dogol dan

pukat pantai.

RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing


95%Confidence of Median)

60

40
Features
Other Distingishing Features

20
Other Distinguishing

0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40

-60
Fisheries Sustainability

RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot

60

40
Features
Distingishing Features

20
Distinguishing

0
0 20 40 60 80 100 120
Other Other

-20

-40

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 24 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH: dimensi
teknologi.

123
6.2.5 Dimensi etika

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak

RAPFISH menunjukkan bahwa nilai indeks dimensi etika sebesar 29,33. Nilai

indeks ini berada pada kisaran 25 - 50 (Gambar 25). Kondisi demikian

menjelaskan bahwa berdasarkan penilaian status keberlanjutan, indeks dimensi

etika di Kabupaten Indramayu berada pada kategori kurang berkelanjutan.

RAPFISH Ordination
60

UP

40
Features
Distingishing Features

20
Other Distinguishing

29,33

0 BAD GOOD
0 20 40 60 80 100 120
Other

-20

-40

DOWN

-60

Dimensi Etika Berkelanjutan

Real Fisheries References Anchors

Gambar 25 Hasil ordinasi RAPFISH: indeks dimensi etika kabupaten


. Indramayu

Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi etika dari analisis

menggunakan perangkat lunak RAPFISH, selanjutnya dapat dilakukan analisis

leverage (pengungkit). Hasil analisis atribut pengungkit (leverage attributes)

124
RAPFISH untuk dimensi etika ditunjukkan pada Gambar 24. Sedangkan Pada

Gambar 25 ditunjukkan hasil analisa Monte Carlo untuk dimensi etika.

Leverage of Attributes

Pengaturan
Peraturan perundangan 0,01
Perundangan

JumlahIkan
ikan terbuang
terbuang 1,30

Perikanan illegal 3,11

Marketable right 2,69


Attribute

Mitigasi
Mitigasi habitat
Habitat 4,15

Mitigasi
Mitigasi ekosistem 4,00
Ekosistem

Aturan pengelolaan 3,90

Equity in Entry 3,94

PekerjaanAlternatif
alternatif 1,11

Kedekatan dan
1,88
Kepercayaan

0 1 2 3 4 5 6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 26 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH: dimensi etika.

Pada Gambar 26 tersebut di atas menunjukkan bahwa indikator yang

menjadi pengungkit utama (leverage attributes) dimensi etika, yaitu:

1) Mitigasi habitat dan ekosistem

Mitigasi habitat dan ekosistem merupakan suatu keharusan dalam

mewujudkan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang berkelanjutan di

Kabupaten Indramayu. Hal ini dikarenakan, baik kawasan mangrove dan

ekosistem terumbu karang telah banyak mengalami kerusakan.

125
2) Akses terhadap sumber daya (equity in entry)

Di Kabupaten Indramayu, untuk melakukan kegiatan perikanan tidak

berdasarkan pada sejarah hak penangkapan (fishing right). Oleh karenanya,

semua orang berhak atau bisa melakukan penangkapan ikan, kapan, dan

dimana saja. Hal ini dikarenakan, tidak adanya tradisi atau kearifan lokal yang

secara turun-temurun mengatur penangkapan sumber daya ikan.

126
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing
95%Confidence of Median)

60

Features
40
Distingishing Features

20
Distinguishing

0
0 20 40 60 80 100 120
Other Other

-20

-40

-60
Fisheries Sustainability

RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot

60

40
Features
Other Distingishing Features

20
Other Distinguishing

0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 27 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH:


dimensi etika.

127
6.2.6 Dimensi Kelembagaan

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak

RAPFISH menunjukkan bahwa nilai indeks dimensi kelembagaan sebesar

37,32. Nilai indeks ini berada pada kisaran 25 - 50 (Gambar 28). Kondisi

demikian menjelaskan bahwa berdasarkan penilaian status keberlanjutan, indeks

dimensi kelembagaan di Kabupaten Indramayu berada pada kategori kurang

berkelanjutan.

RAPFISH Ordination
60

UP

40
Features
Distingishing Features

20
Distinguishing

37,32
0 BAD GOOD
0 20 40 60 80 100 120
Other

-20
Other

-40

DOWN

-60

Dimensi Kelembagaan Berkelanjutan


Real Fisheries References Anchors

Gambar 28 Hasil ordinasi RAPFISH: indeks dimensi kelembagaan


Kabupaten Indramayu.

Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi kelembagaan, selanjutnya

dapat dilakukan analisis leverage (pengungkit). Hasil analisis atribut pengungkit

(leverage attributes) RAPFISH untuk dimensi kelembagaan ditunjukkan pada

128
Gambar 29. Sedangkan pada Gambar 30 ditunjukkan hasil analisis Monte Carlo

untuk dimensi kelembagaan.

Leverage of Attributes

Lembaga Kemitraan
Kelembagaan kemitraan 0,83

Limited entry 0,97

Intensitas
Intenstitas 2,01
pemanfaatan
Pemanfaatan

Zonasi peruntukan 1,77


Attribute

Transparansi
Transparansi 2,84

Fungsionalisasi 1,20

Personil
Personil penegak hukum 0,28

Penyuluhan ikan 0,16

Peraturan adap
Peraturan adat dan
0,45
nilai
kepercayaan

Peraturan formal 0,19

0 1 2 3 4 5 6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 29 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH: dimensi kelembagaan.

Pada Gambar 29 tersebut di atas menunjukkan bahwa indikator yang

menjadi pengungkit utama (leverage attributes) dimensi kelembagaan, yaitu:

1) Transparansi

Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi

setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan suatu

kegiatan atau program, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan

129
dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Prinsip transparansi ini

memiliki dua aspek, yaitu: (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak

masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika

lembaga yang bertanggung jawab tidak menangani kinerjanya dengan baik.

Secara ringkas dapat disebutkan bahwa, prinsip transparasi paling tidak dapat

diukur melalui sejumlah indikator seperti:

(1) Mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standardisasi dari

semua proses -proses pelayanan publik.

(2) Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang

berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses di dalam

sektor publik.

(3) Mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi

maupun penyimpangan tindakan aparat publik di dalam kegiatan pelayanan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh di masyarakat, bahwa prinsip-

prinsip transparansi dari penyusunan hingga evaluasi program atau kegiatan

yang akan dilaksanakan di pesisir dan laut Kabupaten Indramayu, umumnya

masyarakat tidak tahu dan tidak dilibatkan. Oleh karenanya, masyarakat apatis

terhadap program atau kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan

demikian, agar masyarakat peduli dan merasa memiliki keberpihakan terhadap

program yang akan dilaksanakan, maka perlu dilibatkan baik dalam penyusunan

maupun pengawasan atau evaluasinya.

2) Intensitas pemanfaatan

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa tingkat pemanfaatan sumber

daya ikan di kawasan pantai utara, khususnya di Kabupaten Indramayu sangat

tinggi, sehingga angka tangkapan ikan aktual telah melebihi angka potensi

lestari.

130
RAPFISH Ordination ( Monte Carlo Scatter Plot showing
95%Confidence of Median)

60

40
Features
Other Distingishing Features

20
Other Distinguishing

0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40

-60
Fisheries Sustainability

RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot

60

40
Features
Other Distingishing Features

20
Other Distinguishing

0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 30 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH:


dimensi kelembagaan.

131
6.2.7 Status Sumber Daya di Kabupaten Indramayu Berdasarkan Hasil
Skor RAPFISH dan Monte Carlo

Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai indeks kondisi dan

status sumber daya pesisir dan lautan di Kabupaten Indramayu yang berada

pada selang kepercayaan 95% ternyata nilai indeksnya tidak terlalu banyak

berubah dari nilai semula. Perubahan yang relatif kecil dari analisis Monte Carlo,

menunjukkan bahwa analisis MDS tentang kondisi dan status perikanan tangkap

di Kabupaten Indramayu pada taraf kepercayaan tinggi dan signifikan (Tabel 11).

Tabel 11 Hasil analisis Monte Carlo indeks status perikanan tangkap


Kabupaten Indramayu dengan selang kepercayaan 95%

Indeks Status Hasil RAPFISH Hasil Monte Carlo Selisih


(1) (2) (2) – (1)
Ekologi 25,27 26,34 1,07
Ekonomi 39,72 39,95 0,23
Sosial 43,10 43,61 0,51
Teknologi 38,00 38,08 0,08
Etika 29,33 30,85 1,52
Kelembagaan 37,32 37,44 0,12

132
Ekologi
50
40
30
Kelembagaan Ekonomi
20
10
0

Etika Sosial

Teknologi

Hasil Rapfish Hasil Monte Carlo

Gambar 31 Hasil analisis Monte Carlo indeks status perikanan tangkap


Kabupaten Indramayu dengan selang kepercayaan 95%

Analisis keenam dimensi menggambarkan kondisi dan status perikanan

tangkap. Nilai indeksnya berturut-turut adalah ekologi 25,27, ekonomi 39,72,

sosial 43,10, teknologi 38,00, etika 29,33, dan kelembagaan 37,32. Dari keenam

indeks tersebut, indeks ekologi termasuk dalam kategori paling rendah, yang

artinya bahwa pemanfaatan sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu belum

memperhatikan kelestarian ekosistem sumber daya. Meskipun Kabupaten

Indramayu merupakan daerah yang mempunyai nelayan yang banyak, namun

dari segi etika terlihat belum ada keinginan yang kuat untuk membuat suatu

aturan yang dapat diterapkan bersama untuk memanfaatkan sumber daya ikan

secara berkelanjutan. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya nilai indeks etika yaitu

29,33. Tingginya nilai indeks ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya ikan

lebih mendorong peningkatan produksi tanpa memperhatikan keberlanjutan

sumber daya itu sendiri. Sedangkan untuk nilai indeks sosial yang tinggi lebih

133
disebabkan oleh besarnya nilai produksi secara keseluruhan, namun besarnya

nilai produksi tersebut hanya dinikmati oleh kelompok pemilik atau juragan.

Dengan kata lain, kelompok nelayan buruh senantiasa akan berada dalam

lingkaran kemiskinan dengan pendapatan yang rendah. Indeks dimensi teknologi

masuk dalam kategori pertengahan dari nilai indeks lainnya, sehingga masih

harus terus dilakukan pengawasan terhadap penggunaan alat tangkap yang

ramah lingkungan. Secara kelembagaan, nilai indeks menunjukkan nilai yang

kurang untuk tujuan penerapan hukum dan aturan dalam perikanan tangkap.

Oleh karena itu perlu evaluasi terhadap kelembagaan di Kabupaten Indramayu.

Hasil Kajian nilai indeks dan nilai statistik enam pilar pembangunan perikanan

tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Hasil kajian nilai indeks dan nilai statistik pembangunan perikanan
tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu

Nilai Indeks Dimensi dan Nilai Indeks


dan Statistik Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi Etika Kelembagaan
Indeks 25,07 39,73 43,10 38,00 29,33 37,32
Stress 0,135 0,137 0,140 0,141 0,135 0,146
R2 0,954 0,953 0,952 0,952 0,954 0,949
Jumlah iterasi 2 2 2 2 2 2
o
Sudut Rotasi ( ) 179,916 138,575 145,286 185,359 198,616 152,299

Pada Tabel 12 di atas menunjukkan bahwa nilai statistik dari keenam pilar

pembangunan berkelanjutan tersebut memiliki nilai stress yang sesuai dengan

mengacu pada RAPFISH yaitu lebih kecil dari 25%, sedangkan tingkat R2

menunjukkan nilai yang sangat signifikan yaitu rata-rata 0,95 dengan selang

kepercayaan 95%. Dengan demikian semua atribut yang menjadi indikator dalam

penelitian ini dapat menerangkan kondisi dan status perikanan tangkap di

Kabupaten Indramayu.

134
Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, maka Hipotesis yang

menyatakan “Pemanfaatan Sumber daya Ikan di Kabupaten Indramayu Tidak

Berkelanjutan” ditolak karena hasil analisis secara keseluruhan mulai aspek

ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika dan kelembagaan menunjukkan pada

kategori kurang berkelanjutan.

6.3 Analisis Tingkat Pemanfaatan Potensi Perikanan Tangkap

Untuk melihat tingkat pemanfaatan potensi perikanan tangkap di

Kabupaten Indramayu, penulis mencoba melakukan analisis terhadap

penggunaan alat tangkap dengan dua cara. Pertama, menganalisis semua alat

tangkap yang mendaratkan ikan di Kabupaten Indramayu, baik yang beroperasi

di dalam maupun di luar wilayah perairan Kabupaten Indramayu. Alat tangkap

yang dianalisis yang mendaratkan ikan di Kabupaten Indramayu antara lain, yaitu

purse seine, jaring insang hanyut, lampara, jaring klitik, pancing, sero, pukat

pantai, dan dogol. Kedua, menganalisis alat tangkap yang mendaratkan ikan di

Kabupaten Indramayu, dan hanya beroperasi di dalam wilayah perairan

Kabupaten Indramayu. Adapun alat tangkap tersebut, yaitu lampara, jaring klitik,

pancing, sero, pukat pantai, dan dogol. Dengan demikian, perbedaan analisis ini

terdapat pada dimasukan atau tidaknya alat tangkap purse seine dan jaring

insang hanyut yang merupakan alat tangkap skala besar.

(1) Analisis terhadap seluruh alat tangkap yang beroperasi di dalam dan di
luar perairan Kabupaten Indramayu

Produksi dari masing-masing alat tangkap berfluktuasi setiap tahunnya,

namun memiliki kecenderungan menurun. Meski mengalami tren penurunan, alat

tangkap jenis purse seine, gillnet dan lampara masih mendominasi kegiatan

penangkapan ikan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13. Produksi tahun 2004

135
yang dihasilkan oleh ketiga alat tangkap ini berada di atas 10.000 ton, yaitu purse

seine 13.931,0 ton, gillnet 15.382,1 ton, dan lampara 11.410,3 ton.

Tabel 13 Total produksi aktual tangkapan tahunan seluruh alat tangkap


yang beroperasi di dalam dan di luar perairan Kabupaten Indramayu
(dalam ton)

Purse Jaring Pukat


Tahun Gillnet Lampara Pancing Sero Dogol
seine Klitik Pantai
1995 5.229,0 19.569,3 18.258,0 3.928,8 5.810,0 1.683,6 2.926,0 1.634,0
1996 10.283,0 46.022,4 13.582,8 982,2 4.200,7 2.005,6 5.844,3 3.477,0
1997 15.032,8 55.274,4 14.302,8 3.277,0 4.422,6 2.033,2 6.561,1 3.680,0
1998 15.288,0 12.877,5 13.659,1 4.264,0 4.212,6 1.950,4 5.978,7 3.530,0
1999 15.235,5 12.848,9 13.224,5 3.765,8 4.099,2 2.000,7 6.218,6 3.574,5
2000 16.570,1 11.891,0 13.034,7 3.028,6 4.556,0 1.864,0 5.970,6 3.364,4
2001 14.941,1 12.956,7 13.396,0 3.625,5 4.370,0 1.056,0 5.958,5 3.933,4
2002 21.191,1 19.175,1 5.276,5 1.934,8 5.013,0 36,7 3.461,2 3.638,8
2003 11.395,9 15.360,0 10.064,0 6.442,5 3.115,0 2.130,0 6.501,0 4.990,2
2004 13.931,0 15.382,1 11.410,3 5.049,9 2.488,0 2.802,1 5.221,0 2.697,5

Sumber: DKP Jabar dan Kabupaten Indramayu (1995-2004)

Masih tingginya produksi ketiga alat tangkap tersebut dikarenakan purse

seine, gillnet, dan lampara dijadikan salah satu sasaran dalam meningkatkan

jumlah armada pada kebijakan yang ditetapkan oleh Dinas Perikanan Kabupaten

Indramayu. Adapun sasaran pembangunan di bidang penangkapan ikan

tersebut, yaitu (Dinas Perikanan Indramayu, 1995):

(1) Menuju pengembangan alat tangkap dan teknik penangkapan yang produktif

dengan memasyarakatkan fish finder, dan pengembangan purse seine,

lampara serta gillnet.

(2) Menuju pengembangan daerah penangkapan lepas pantai dengan dilengkapi

alat navigasi GPS (Global Positioning System) dan SSB (Single Side Band)

serta pengembangan gross tonage. Upaya tersebut merupakan modernisasi

penangkapan ikan (UMPAN).

(3) Pengembangan sarana dan prasarana penangkapan seperti pengembangan

motorisasi.

136
(4) Peningkatan pelayanan dan keterampilan bagi nelayan.

(5) Pengembangan alat tangkap ikan yang kurang produktif menjadi alat tangkap

yang produktif.

Sementara itu, dari seluruh jenis alat tangkap di atas, produksi dari alat

tangkap gillnet telah melampaui angka potensi lestari perikanan Kabupaten

Indramayu, yaitu pada tahun 1996 dengan jumlah produksi tangkapan sebesar

46.022,40 ton, dan tahun 1997 sebesar 55.274,40 ton. Angka potensi lestari

perikanan Kabupaten Indramayu hingga saat ini tercatat sebesar 32.754,12 ton

(Dinas Perikanan Kab. Indramayu, 1998). Dengan demikian, total tangkapan

gillnet pada tahun 1996-1997 telah mengalami over fishing. Secara lebih

jelasnya, total produksi aktual tangkapan per alat tangkap di Kabupaten

Indramayu dibandingkan dengan produksi lestari dapat dilihat pada Gambar 32.

60,000

50,000

Purse Seine
40,000 Gilnet
Produksi (Ton)

Lampara
J Kelitik
30,000
Pancing
Sero
20,000
Pukat
Dogol
MSY
10,000

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Tahun
Gambar 32 Total produksi aktual tangkapan seluruh alat tangkap yang
beroperasi di dalam dan di luar perairan Kabupaten Indramayu
dibandingkan dengan produksi lestari (dalam ton).

Apabila dijumlahkan keseluruhan produksi aktual masing-masing alat

tangkap dari tahun 1995 hingga tahun 2004, maka dihasilkan informasi yang

tersaji pada Gambar 33. Pada Gambar 33 tersebut terlihat bahwa telah terjadi

137
over fishing di perairan Kabupaten Indramayu sejak tahun 1995 hingga tahun

2004. Hal ini dicerminkan dengan angka garis produksi aktual jauh berada di atas

angka produksi lestari. Puncak over fishing terjadi pada tahun 1997, yang pada

waktu itu dipengaruhi oleh meningkatnya harga jual ikan, seiring dengan

meningkatnya nilai tukar dollar.

120,000

100,000

80,000
ProduksiProduksi
(Ton)

Produksi Aktual
60,000
Produksi Lestari
40,000

20,000

0
95

97

00

02
99

01

04
96

98

03
19

19

20

20
19

20

20
19

19

20
Tahun

Gambar 33 Produksi aktual semua alat tangkap yang beroperasi di dalam dan
di luar perairan Kabupaten Indramayu dan produksi lestari
perikanan tangkap (dalam ton).

(2) Analisis terhadap alat tangkap yang beroperasi di dalam perairan


Kabupaten Indramayu

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa analisis kedua ini

hanya dilakukan pada alat tangkap yang melakukan operasi penangkapan di

dalam wilayah perairan Kabupaten Indramayu. Dengan demikian, alat tangkap

purse seine dan jaring insang hanyut tidak diikutsertakan dalam analisis ini.

Produksi dari masing-masing alat tangkap berfluktuasi setiap tahunnya,

namun memiliki kecenderungan menurun. Meski mengalami tren penurunan, alat

tangkap lampara masih mendominasi kegiatan penangkapan ikan. Hal ini dapat

dilihat pada Tabel 14. Produksi tahun 2004 yang dihasilkan oleh alat tangkap

lampara ini berada di atas 10.000 ton, yaitu 11.410,3 ton.

138
Tabel 14 Total produksi aktual tangkapan tahunan alat tangkap
yang beroperasi di dalam perairan Kabupaten Indramayu (dalam
ton)

Pukat
Tahun Lampara Jaring Klitik Pancing Sero Dogol
Pantai
1995 18.258,0 3.928,8 5.810,0 1.683,6 2.926,0 1.634,0
1996 13.582,8 982,2 4.200,7 2.005,6 5.844,3 3.477,0
1997 14.302,8 3.277,0 4.422,6 2.033,2 6.561,1 3.680,0
1998 13.659,1 4.264,0 4.212,6 1.950,4 5.978,7 3.530,0
1999 13.224,5 3.765,8 4.099,2 2.000,7 6.218,6 3.574,5
2000 13.034,7 3.028,6 4.556,0 1.864,0 5.970,6 3.364,4
2001 13.396,0 3.625,5 4.370,0 1.056,0 5.958,5 3.933,4
2002 5.276,5 1.934,8 5.013,0 36,7 3.461,2 3.638,8
2003 10.064,0 6.442,5 3.115,0 2.130,0 6.501,0 4.990,2
2004 11.410,3 5.049,9 2.488,0 2.802,1 5.221,0 2.697,5

Sumber: DKP Jabar dan Kabupaten Indramayu (1995-2004)

Namun demikian, dari semua jenis alat tangkap di atas, tidak ada satu

alat tangkap pun yang telah melampaui angka potensi lestari perikanan

Kabupaten Indramayu. Angka potensi lestari perikanan Kabupaten Indramayu

hingga saat ini tercatat sebesar 32.754,12 ton. Secara lebih jelasnya, total

produksi aktual tangkapan per alat tangkap di Kabupaten Indramayu

dibandingkan dengan produksi lestari dapat dilihat pada Gambar 34.

35,000.00
30,000.00 Lampara
Jaring Klitik
Produksi (ton)

25,000.00
Pancing
20,000.00
Sero
15,000.00
Pukat Pantai
10,000.00
Dogol
5,000.00 MSY
0.00
98

03
95
96
97

99
00
01
02

04
19

20
19
19
19

19
20
20
20

20

Tahun

Gambar 34 Total produksi aktual tangkapan alat tangkap yang beroperasi di


dalam perairan Kabupaten Indramayu dibandingkan dengan
produksi lestari (dalam ton).

139
Apabila dijumlahkan keseluruhan produksi aktual masing-masing alat

tangkap dari tahun 1995 hingga tahun 2004, maka dihasilkan informasi yang

tersaji pada Gambar 35. Pada Gambar 35 tersebut terlihat bahwa fenomena over

fishing di perairan Kabupaten Indramayu sejak tahun 1995 hingga tahun 2004

terjadi secara fluktuatif. Hal ini dicerminkan dengan angka garis produksi aktual

yang naik-turun diantara angka produksi lestari. Namun demikian, angka

produksi aktual tidak melabung jauh di atas angka produksi lestari sebagaimana

yang terjadi pada Gambar 33. Bahkan pada Gambar 35 menunjukkan telah

terjadi angka penurunan produksi aktual yang tajam pada tahun 2002, yaitu

sebesar 19.361,00 ton.

40,000.00
35,000.00
30,000.00
Produksi (ton)

25,000.00
Produksi Aktual
20,000.00
MSY
15,000.00
10,000.00
5,000.00
0.00
95
96
97

98
99
00
01

02
03
04
19
19
19

19
19
20
20

20
20
20

Tahun

Gambar 35 Produksi aktual seluruh alat tangkap yang beroperasi di dalam


perairan Kabupaten Indramayu dan produksi lestari perikanan
tangkap (dalam ton).

6.4 Pengukuran Kapasitas Perikanan T angkap dengan Data Envelopment


Analysis (DEA)

Salah satu metode pengukuran kapasitas perikanan adalah mengetahui

kondisi efisiensi relatif dari perikanan tangkap di perairan laut Indramayu dengan

Data Envelopment Analysis (DEA). DEA dapat digunakan untuk mengukur

140
efisiensi relatif pada kasus entitas yang memiliki multiple inputs atau multiple

outputs (Cooper, et al, 2004).

Dalam analisis efisiensi armada penangkapan dengan DEA frontier ini,

hal pertama yang dilakukan adalah mencoba memasukkan semua jenis alat

tangkap dan seluruh variabel untuk melihat efisiensi relatif setiap alat tangkap

dari setiap variabel yang diperoleh. Jenis alat tangkap dalam analisis ini yaitu

dogol, gillnet, jaring klitik, pancing, payang, pukat pantai, purse seine dan sero

yang berbasis di Indramayu. Variabel yang digunakan dalam analisis DEA ini

yaitu investasi, penerimaan bersih (keuntungan), biaya operasional per trip, biaya

tetap per tahun, jumlah tenaga kerja per trip, kekuatan mesin yang digunakan

armada penangkapan, dan jumlah hari dalam 1 trip penangkapan.

Untuk mengukur dan membandingkan efisiensi setiap alat tangkap yang

berbasis di Indramayu, maka Decision Making Unit (DMU)-nya adalah 8 alat

tangkap dengan data primer (survei) tahun 2006. Data yang digunakan dalam

analisis efisiensi menggunakan DEA frontier dibedakan menjadi 2 jenis yaitu data

input dan data output, dimana input merupakan kendala dan output merupakan

hasil yang diharapkan. Input yang digunakan dalam analisis ini ada 5 yaitu

investasi yang digunakan, biaya operasional per trip, biaya tetap per tahun,

kekuatan mesin (GT) dan jumlah hari dalam 1 trip penangkapan, sedangkan

output yang digunakan ada 2 yaitu keuntungan (penerimaan bersih) yang

diperoleh dan tenaga kerja yang diserap (Sularso, 2006). Data input dan output

yang digunakan dalam analisis DEA Fontier ini dapat dilihat pada Tabel 15.

141
Tabel 15 Data input dan output dalam analisis DEA Frontier

Σ hari
Penerimaan Biaya Biaya Σ
Investasi GT dalam
Alat tangkap Bersih per trip Tetap TK
(Rp) (Rp) 1 trip
(Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
(Rp)
Dogol 38.000.000 300.000 100.000 2.750.000 4 26 1
Gillnet 530.000.000 30.000.000 50.000.000 5.400.000 10 100 40
Jaring klitik 12.600.000 578.000 72.000 2.450.000 5 16 1
Pancing 45.000.000 1.500.000 2.000.000 5.000.000 5 66 5
Payang 66.000.000 2.000.000 1.000.000 5.000.000 15 26 4
Pukat pantai 17.000.000 400.000 600.000 6.700.000 3 26 3
Purse seine 730.000.000 125.000.000 250.000.000 17.200.000 30 100 15
Sero 11.500.000 180.000 120.000 580.000 1 8 1
Sumber : Data primer hasil survei lapang (2006)

Pengolahan data dalam DEA Frontier dengan menggunakan software

Frontier Analyst. Hasil yang diperoleh dari pengolahan DEA frontier ini yaitu

terdapat 4 jenis alat tangkap yang paling efisien (mencapai skor 100) antara lain

jaring klitik, payang, gillnet dan purse seine. Sedangkan yang lainnya yaitu dogol

(80,00), sero (76,83), pancing (66,55) dan yang paling rendah efisiensinya

adalah pukat pantai (46,16). Untuk lebih jelas hasil dari pengujian dapat dilihat

pada Tabel 16.

Tabel 16. Hasil analisis DEA Frontier dengan memasukkan seluruh variabel

Jenis Alat Tangkap Nilai (%)


Jaring klitik 100,00
Payang 100,00
Gillnet 100,00
Purse seine 100,00
Dogol 80,00
Sero 76,83
Pancing 66,55
Pukat pantai 46,16

142
Selanjutnya dengan software frontier analyst (Frontier, 2003), didapatkan

distribusi angka efisiensi dan potensi perbaikan efisiensi sebagaimana terlihat

pada Gambar 36.


Jumlah Alat Tangkap

Nilai Persentase DEA

Gambar 36 Distribusi efisiensi alat tangkap perikanan di Kabupaten Indramayu.

Grafik distribusi menunjukkan bahwa dari 8 jenis alat tangkap yang

beroperasi di Indramayu, 4 diantaranya sudah efisien dan 4 lainnya kurang

efisien. Berdasarkan grafik tersebut dapat ditetapkan angka yang dianggap

efisien bernilai di atas 90 % atau mencapai nilai 100%, selanjutnya alat tangkap

dengan angka efisiensi di bawah 90 % memerlukan perbaikan. Hal ini tentu

sangat tergantung dari kebijakan dalam pengelolaan perikanan di Indramayu

sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Alat tangkap yang efisiensinya di

bawah 90% namun masih di atas 50% masih dapat diperbaiki, namun alat

tangkap yang efisiensinya sangat rendah (di bawah 50%) dapat diperbaiki tapi

sangat memerlukan perbaikan yang sangat besar, oleh karena itu dapat

dipertimbangkan tidak dipergunakan lagi, dengan pemikiran penggunaan alat

143
tangkap tersebut sudah tidak menguntungkan. Dalam konteks ini angka efisiensi

dapat dijadikan acuan untuk menentukan kebijakan penggunaan alat tangkap

yang berbasis di Indramayu.

DEA dapat pula digunakan untuk menghitung perbaikan angka efisiensi,

secara prinsip adalah dengan mengurangi input atau menambah output (Cooper

et al., 2004). DEA menghasilkan suatu resume potensi perbaikan angka efisiensi

secara total maupun setiap alat tangkap dalam bentuk besaran persentase

pengurangan input atau penambahan output tiap variabel. Tampilan resume total

potensi perbaikan angka efisiensi ditunjukkan dalam pie chart sebagaimana

Gambar 37.

Gambar 37 Potensi perbaikan efisiensi alat tangkap.

Gambar 37 tersebut di atas memperlihatkan bahwa efisiensi secara

umum bisa ditingkatkan dengan cara mengurangi effort (jumlah hari per trip)

sebesar 19,14 %, pengurangan kekuatan mesin (GT) sebesar 21,93 %,

penurunan biaya tetap per tahun sebesar 14,36 %, penurunan biaya operasional

144
per trip sebesar 15,25 % dan penurunan investasi sebesar 18,4 %. Khusus

berkaitan dengan biaya operasional penangkapan, mengandung arti bahwa saat

ini biaya operasional penangkapan ikan di Indramayu terlalu tinggi (high cost).

Jumlah hari per trip (effort) dan kekuatan mesin (GT) merupakan variabel yang

dapat dijadikan instrumen pengendalian kapasitas. Gambar 37 juga dapat

menjelaskan bahwa kondisi faktual penangkapan ikan di Indramayu sebagian

besar sudah melebih kapasitas (over capacity ) dilihat dari berlebihnya

pemanfaatan (utility) faktor input seperti jumlah hari per trip atau effort, kekuatan

mesin atau GT dan biaya.

Proyeksi perbaikan angka efisiensi setiap alat tangkap yang tidak efisien

dalam bentuk besaran persentase pengurangan input atau penambahan output

tiap variabel, yaitu :

1. Pukat pantai

Pukat pantai memperoleh nilai efisiensi 46,16%. Untuk meningkatkan

efisiensi alat tangkap pukat pantai dilakukan dengan cara mengurangi input

berupa jumlah hari per trip (effort) sebesar 79,87%, kekuatan mesin kapal (GT)

kapal sebesar 63,07%, biaya tetap sebesar 78,04%, biaya operasional per trip

sebesar 74,59%, dan investasi sebesar 53,84%. Selengkapnya dapat dilihat

pada Gambar 38.

145
Gambar 38 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap pukat pantai.

2. Pancing

Alat tangkap pancing memperoleh nilai efisiensi 66,55%. Untuk

meningkatkan efisiensi alat tangkap pancing dilakukan dengan cara mengurangi

input berupa jumlah hari per trip (effort) sebesar 53,80%, kekuatan mesin kapal

(GT) kapal sebesar 64,80%, biaya tetap sebesar 33,45%, biaya operasional per

trip sebesar 33,45%, dan investasi sebesar 33,45%. Peningkatan efisiensi dapat

pula dilakukan dengan meningkatkan output, antara lain peningkatan jumlah

tenaga kerja sebesar 36,55%. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 39.

146
Gambar 39 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap pancing.

3. Sero

Alat tangkap sero memperoleh nilai efisiensi 76,83%. Untuk meningkatkan

efisiensi alat tangkap sero dilakukan dengan cara mengurangi input berupa

jumlah hari per trip (effort) sebesar 64,13%, kekuatan mesin kapal (GT) kapal

sebesar 70,98%, biaya tetap sebesar 23,17%, biaya operasional per trip sebesar

23,17%, dan investasi sebesar 48,60%. Peningkatan efisiensi alat tangkap sero

dapat pula dilakukan dengan meningkatkan output, antara lain peningkatan

jumlah tenaga kerja sebesar 33,65%. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar

40.

147
Gambar 40 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap sero.

4. Dogol

Alat tangkap dogol memperoleh nilai efisiensi 80,00%. Untuk

meningkatkan efisiensi alat tangkap dogol dilakukan dengan cara mengurangi

input berupa jumlah hari per trip (effort) sebesar 20,00%, kekuatan mesin kapal

(GT) kapal sebesar 50,77%, biaya tetap sebesar 28,73%, biaya operasional per

trip sebesar 42,40%, dan investasi sebesar 73,47%. Peningkatan efisiensi alat

tangkap dogol dapat pula dilakukan dengan meningkatkan output, antara lain

peningkatan penerimaan bersih sebesar 54,13%. Selengkapnya dapat dilihat

pada Gambar 41.

148
Gambar 41 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap dogol.

149
7 ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGELOLAAN
PERIKANAN TANGKAP

Berdasarkan uraian pada bab terdahulu pemanfaatan sumber daya ikan

di Kabupaten Indramayu secara ekologis, ekonomi, sosial, teknologi, etika, dan

kelembagaan dalam kondisi tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu dilakukan

rencana pengelolaan guna menciptakan kegiatan perikanan yang berkelanjutan

sebagaimana yang tertuang dalam visi dan misi Rencana Strategi Dinas

Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu.

Adapun Visi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu yaitu

“Menjadikan Dinas Perikanan dan Kelautan sebagai pendorong terwujudnya

masyarakat perikanan dan kelautan yang sejahtera, maju, mandiri, dan

berorientasi bisnis dalam tatanan pengelolaan sumber daya yang efisien dan

lestari”. Sedangkan Misi pembangunan perikanan dan kelautan Dinas Perikanan

dan Kelautan Kabupaten Indramayu adalah:

(1) Mengembangkan sumber daya manusia aparatur dan nelayan.

(2) Penataan dan pengembangan landasan hukum, kelembagaan, sarana, dan

prasarana perikanan/kelautan.

(3) Pemulihan dan perlindungan sumber daya hayati perikanan dan kelautan.

Untuk mencapai Visi dan Misi tersebut di atas, perlu disusun rencana

pengelolaan sumber daya ikan yang dikaji dari faktor-faktor pengungkit yang

berpengaruh dalam keberlanjutan sumber daya yang dikaitkan dengan rencana

strategi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. Secara lebih

lengkap, faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh terhadap keberlanjutan

sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu ditunjukan pada Tabel 17.


Tabel 17 Faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh terhadap keberlanjutan
sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu

No. Dimensi Faktor Pengungkit


1. Ekologi • Tekanan terhadap lahan mangrove
• Sedimentasi
2. Ekonomi • Besarnya subsidi
• Pendapatan asli daerah
3. Sosial • Tingkat pendidikan
• Frekuensi konflik
4. Teknologi • Alat tangkap destruktif
• Mobilitas alat tangkap
5. Etika • Mitigasi habitat dan ekosistem
• Aturan pengelolaan
6. Kelembagaan • Transparansi
• Intensitas pemanfaatan

7.1 Faktor Pengungkit Dimensi Ekologi

1) Tekanan terhadap lahan mangrove

Sebagaimana pada Bab 6, bahwa Kabupaten Indramayu termasuk salah

satu wilayah yang memiliki tingkat kerusakan hutan mangrove terparah di Jawa

Barat. Hampir 50% dari 17.782 ha hutan mangrove diantaranya, tergolong rusak

berat dan sekitar 8.233 ha lahan yang tercakup dalam delapan kecamatan

dikategorikan sebagai daerah kritis. Salah satu faktor meningkatnya tekanan

terhadap lahan mangrove adalah konversi hutan mangrove menjadi lahan

tambak. Hal ini dikarenakan, tingginya tingkat permintaan terhadap produksi

udang tambak menjadi dorongan yang kuat untuk membuka hutan mangrove

menjadi tambak.

Ironisnya, sistem budidaya tambak yang dilakukan dengan pola intensif

cenderung tidak berkelanjutan. Hal yang terjadi adalah budidaya tambak yang

colaps (tidak berkelanjutan) sehingga menyebabkan areal bekas hutan mangrove

yang dijadikan tambak menjadi terbengkalai (idle). Kondisi ini selain memberi

dampak negatif terhadap kualitas lingkungan di wilayah pesisir Kabupaten

151
Indramayu juga memberi dampak secara ekonomi karena lahan tersebut menjadi

lahan yang tidak produktif. Sementara itu, maraknya pembukaan hutan

mangrove menjadi lahan tambak disebabkan oleh kebijakan yang tertuang dalam

Rencana Strategis Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu tahun

2001-2005 yang lebih memfokuskan pada peningkatan produksi melalui luasan

tambak. Bahkan, dalam kurun waktu tersebut Rencana Strategis Dinas

Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu merencanakan perluasan tambak

seluas 450 ha (90 ha per tahun).

Oleh karena itu, untuk menuntaskan masalah tekanan terhadap hutan

mangrove salah satunya perlu dilakukan rehabilitasi terhadap hutan mangrove.

Rehabilitasi hutan mangrove terutama ditujukan untuk kawasan-kawasan

perlindungan dan budidaya perikanan, yaitu mulai dari muara Sungai Cilet

kecamatan Kandanghaur sampai dengan muara Sungai Prawira Kepolo Desa

Singaraja Kecamatan Indramayu sepanjang 36,6 km. Apabila lebar hutan

mangrove ke arah daratan 5 km, maka luas kawasan menjadi 18.300 ha,

sedangkan kondisi yang ada sekarang di bawah pengawasan Perhutani hanya

sekitar 5.823 ha. Hal ini masih memerlukan rehabilitasi yang cukup luas agar

sesuai dengan fungsi dari hutan mangrove berfungsi dengan baik. Jenis

mangrove yang ditanam harus disesuaikan dengan kondisi alam wilayahnya.

Rehabilitasi hutan mangrove akan mengindikasikan bahwa kesadaran akan

pentingnya pelestarian hutan mangrove di wilayah Kabupaten Indramayu

semakin meningkat. Namun demikian, perbaikan ekosistem kawasan pesisir dan

laut, khususnya hutan mangrove tidak bisa dilaksanakan secara parsial tetapi

harus sinergis dan melibatkan berbagai kelompok masyarakat pesisir dan pelaku

pembangunan lainnya agar pengelolaan pesisir dapat terintegrasi dengan baik

dan berkelanjutan.

152
Selain program rehabilitasi hutan mangrove, penyusunan tata ruang

wilayah pesisir secara terpadu juga merupakan hal yang harus segera dilakukan.

Secara keseluruhan, rencana tata ruang diharapkan dapat mewujudkan

keterkaitan antar kegiatan dengan memanfaatkan ruang dalam kurun waktu 10

tahun mendatang yang terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya.

Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan

sumber daya buatan untuk pembangunan berkelanjutan. Sedangkan kawasan

budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

membudidayakan berdasarkan keadaan dan potensi sumber daya alam dan

manusia. Kawasan budidaya meliputi kawasan pertanian, kawasan hutan

produksi, kawasan pemukiman, kawasan industri dan kawasan wisata.

Penataan ruang wilayah pesisir, yang pada dasarnya merupakan rencana

pengalokasian potensi sumberdaya alam dan SDM, dilakukan berdasarkan

sistem zonasi. Setiap zona yang telah ditetapkan peruntukannya harus dikaji

daya dukungnya untuk menetapkan pengalokasian kegiatan-kegiatan serta

rencana pengendaliannya melalui mekanisme perizinan. Sebagai contoh, zona

pertambakan (yang biasanya memanfaatkan hutan mangrove) perlu ditetapkan

luas maksimum area yang akan dikembangkan serta jenis teknologi yang akan

diintroduksikan. Pembatasan luas areal maksimum dimaksudkan untuk

mengendalikan kegiatan pemanfaatan agar tidak melampaui daya dukung hutan

mangrove dan lingkungan pesisir serta ekosistem pantai secara keseluruhan.

Sedangkan pembatasan terhadap introduksi teknologi dimaksudkan untuk

mencegah benturan kepentingan dalam pemanfaatan ruang dengan kegiatan-

kegiatan produktif lainnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pendekatan yang dapat

digunakan dalam memecahkan masalah eksploitasi hutan mangrove adalah

153
pembagian peran antara pemerintah dan masyarakat. Peran pemerintah dalam

menjaga kerusakan mangrove antara lain:

(1) Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum

(2) Penyediaan bibit dan dana penanaman hutan mangrove

(3) Mengadakan sosialisasi/penyuluhan ke semua lapisan masyarakat tentang

dampak penggundulan hutan mangrove

(4) Mengajak partisipasi masyarakat untuk penanaman, perawatan dan

melindungi hutan mangrove

(5) Membuat peraturan dengan sanksi yang tegas bagi perusak tanaman

reboisasi dan melaksanakan reboisasi/penanaman bakau di sepanjang jalur

hijau.

Sedangkan peran masyarakat dalam melestarikan hutan mangrove

antara lain adalah:

(1) Mematuhi dan menjalankan konservasi tanaman hutan mangrove

(2) Ikut mengawasi kelestarian hutan

(3) Melaksanakan reboisasi swadaya

(4) Menjaga hutan mangrove dengan melaporkan pada aparat yang terdekat

(5) Menyebarluaskan informasi kepada masyarakat lain agar hutan mangrove

jangan ditebang, masyarakat sebagai pengelola hutan mangrove, dan

masyarakat ikut mengawasi berkembangnya reboisasi yang sudah dilakukan

oleh pemerintah.

2) Sedimentasi

Pengaruh sedimentasi dari sungai akan menyebabkan pendangkalan di

sekitar muara sungai tempat keluar dan masuk kapal nelayan dan menimbulkan

penambahan lahan di sekitar sungai. Proses sedimentasi menjadi berlebihan

154
apabila aktivitas di hulu seperti eksploitasi hutan yang tidak terkendali (illegal

logging), erosi, dan aktivitas manusia lainnya tidak bisa terhubungkan sesuai

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Untuk itu, pendekatan yang dapat digunakan dalam memecahkan

masalah sedimentasi adalah pembagian peran antara pemerintah dan

masyarakat. Peran pemerintah yang perlu dilakukan menurut masyarakat antara

lain adalah memberikan penyuluhan dan pelatihan tentang pengelolaan

mangrove, membuat bendungan (dam), pengawasan terhadap penebangan liar,

memasang patok dan batas hutan pantai, pembentengan sungai 200 m dari garis

pantai, pemasangan klep pada tempat yang tepat, mengeruk alur keluar masuk

kapal perikanan, penyediaan sumur bor (bantuan), dan memasang pemecah

ombak di pantai. Sementara itu masyarakat berperan dalam hal menghindari

penebangan pohon/hutan, ikut gotong-royong menjaga hutan mangrove dan

perawatan bendungan serta sumur bor yang ada, masyarakat tidak menambang

pasir sembarangan, menanam mangrove secara swadaya serta ikut

melaksanakan reboisasi hutan pantai.

7.2 Faktor Pengungkit Dimensi Ekonomi

1) Besarnya subsidi

Pemberian subsidi di bidang perikanan tangkap perlu diperhatikan secara

seksama, karena dalam jangka pendek subsidi tersebut dapat meningkatkan

angka produksi hasil tangkapan. Namun demikian, dalam jangka panjang subsidi

dapat menciptakan penurunan potensi sumber daya ikan (over fishing). Oleh

karena itu, pemerintah daerah Kabupaten Indramayu, khususnya Dinas

Perikanan dan Kelautan harus lebih berhati-hati dalam memberikan dana

bantuan yang bersifat pemberdayaan kepada masyarakat nelayan. Program

pemberian subsidi yang lebih cocok untuk masyarakat nelayan Kabupaten

155
Indramayu adalah peningkatan permodalan dalam rangka pengembangan

armada dan modernisasi alat tangkap guna meningkatkan daya jangkau

penangkapan ikan. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Strategi

Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu.

2) Pendapatan Asli Daerah

Tekanan paling besar terhadap sumber daya ikan yang berujung pada

kelangkaan sumber daya di perairan Kabupaten Indramayu salah satunya

disebabkan oleh peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini dikarenakan,

pemerintah daerah Kabupaten Indramayu terlalu berharap pada sektor perikanan

dan kelautan, khususnya sub sektor perikanan tangkap. Besarnya harapan

pemerintah daerah Kabupaten Indramayu terhadap sektor perikanan

tergambarkan dalam proyeksi PAD bidang perikanan dan kelautan tahun 2001

sampai tahun 2005 (Tabel 18).

Berdasarkan Tabel 18, sangat jelas bahwa tiap tahun sektor perikanan

dan kelautan diharapkan memberikan sumbangan PAD yang besar bagi

pemasukan keuangan Kabupaten Indramayu. Oleh karenanya sangat wajar, bila

terjadi over fishing di wilayah perairan Kabupaten Indramayu, karena sumber

daya ikan mendapatkan tekanan yang tinggi.

Tabel 18 Proyeksi PAD bidang perikanan dan kelautan Kabupaten Indramayu


tahun 2001-2005

Proyeksi
No. Tahun
PAD (Rp) Kenaikan (%)
1. 2001 912.752.200 -
2. 2002 1.395.606.000 34,59
3. 2003 1.604.945.900 14,99
4. 2004 1.845.687.785 15,00
5. 2005 2.045.606.000 10,83

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu (2001)

156
7.3 Faktor Pengungkit Dimensi Sosial

1) Tingkat pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat nelayan di Kabupaten

Indramayu mendorong mereka dalam melakukan kegiatan perikanan yang

cenderung merusak. Seperti penggunaan alat tangkap yang merusak (potasium)

dan penebangan hutan mangrove yang banyak digunakan untuk bahan bakar

(arang).

2) Frekuensi konflik

Padatnya jumlah armada penangkapan ikan yang beroperasi di perairan

pantai telah mengakibatkan tingkat persaingan yang sangat tinggi dalam

penggunaan teknologi penangkapan efektif dan perebutan daerah penangkapan

yang potensial. Sementara itu, terjadinya konflik antar nelayan dalam

penangkapan ikan merupakan ekses dari kelangkaan sumber daya ikan itu

sendiri. Artinya, konflik antar nelayan akan senantiasa terjadi bila sumber daya

ikan di suatu wilayah sudah sangat berkurang.

Konflik antar nelayan yang terjadi di perairan Kabupaten Indramayu dapat

dibagi menjadi empat jenis, yaitu: (1) konflik antara nelayan arad dengan nelayan

sero; (2) konflik antara nelayan arad dengan nelayan trammel net (nelayan

rajungan); (3) konflik antara nelayan arad dengan nelayan payang; dan (4) konflik

dalam pemanfaatan ruang, terutama dalam pemanfaatan tanah timbul akibat

sedimentasi (Satria, et al, 2002).

Dari ketiga jenis konflik di atas, yang sering terjadi adalah konflik fishing

ground yang disebabkan oleh pelanggaran jalur-jalur penangkapan ikan. Oleh

karena itu, untuk menuntaskan masalah ini perlu penegakkan hukum yang tegas,

khususnya pelaksanaan Keputusan Menteri Pertanian No. 392/Kpts/IK.120/4/99.

SK Mentan ini merupakan suatu upaya menuju kepada kegiatan penangkapan

157
yang lebih teratur sehingga dapat menjamin keberlanjutan usaha dan mencegah

timbulnya konflik perebutan daerah penangkapan ikan. Pelaksanaan penetapan

jalur penangkapan tersebut di lapangan hingga saat ini masih sulit dilakukan,

karena lemahnya sosialisasi dan pelaksanaan MCS (Monitoring, Controlling dan

Surveilance) di tingkat stakeholders. Adapun pengaturann sebagaimana yang

diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 392/Kpts/IK.120/4/99, yaitu:

(1) Jalur penangkapan ikan :

1) Jalur-jalur penangkapan I adalah perairan pantai selebar 3 mil laut yang

diukur dari titik terendah pada waktu air surut;

2) Jalur-jalur penangkapan II adalah perairan selebar 4 mil laut yang diukur

dari garis luar jalur penangkapan I;

3) Jalur-jalur penangkapan III adalah perairan selebar 5 mil laut yang diukur

dari garis luar jalur penangkapan II;

4) Jalur-jalur penangkapan IV adalah perairan di luar jalur penangkapan III.

(2) Penggunaan kapal dan alat tangkap pada masing-masing jalur diatur sebagai

berikut:

1) Jalur Penangkapan I tertutup bagi:

Kapal penangkap ikan bermesin dalam (inboard) berukuran di atas 5

GT atau berkekuatan di atas 10 DK; semua jenis jaring trawl, pukat

cincin (purse seine), jaring lingkar (gill net) di atas 120 m panjang

rentangan.

2) Jalur Penangkapan II tertutup bagi:

Kapal penangkap ikan inboard berukuran di atas 25 GT atau di atas 50

DK; jaring trawl dasar berpanel (otter board) yang panjang tali ris

atas/bawahnya di atas 12 m, jaring trawl melayang (pelagic trawl),

158
jaring trawl yang ditarik 2 kapal (pair trawl), dan pukat cincin yang

panjangnya di atas 300 meter.

3) Jalur Penangkapan III tertutup bagi:

Kapal penangkap ikan inboard berukuran di atas 100 GT atau di atas

200 DK; jaring trawl dasar dan melayang berpanel (otter board) yang

panjang tali ris atas/bawahnya di atas 20 m, pair trawl , dan pukat cincin

yang panjangnya di atas 600 m.

4) Jalur Penangkapan IV tertutup bagi : Pair trawl di perairan Samudera

Indonesia

(3) Semua jaring yang ukuran matanya kurang dari 25 mm dan purse seine yang

ukuran matanya kurang dari 60 mm dilarang digunakan di semua jalur

penangkapan.

(4) Di perairan Selat Madura dan Selat Bali tertutup bagi penggunaan beam

trawl, otter trawl, dan pair trawl untuk penangkapan ikan dasar atau pelagis.

Sementara itu, dengan telah ditetapkannya Undang-Undang No. 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan oleh

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, maka semakin jelas bahwa daerah

berwenang dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah

yang menjadi kewenangannya. Pemerintah Kabupaten dan kota diberikan

kewenangan untuk mengelola wilayah perairan pantai hingga 4 mil laut,

sedangkan pemerintah provinsi memiliki kewenangan untuk mengelola wilayah

perairan dari batas 4 mil laut hingga 12 mil laut.

159
7.4 Faktor Pengungkit Dimensi Teknologi

1) Alat tangkap destruktif

Sudah dapat dipastikan bahwa penggunaan alat tangkap yang merusak

(destructive fishing gear) adalah salah satu faktor yang paling berpengaruh

dalam terciptanya pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa rusaknya sumber daya

ikan di pesisir pantai disebabkan oleh penggunaan alat tangkap mini trawl di

Kabupaten Indramayu lebih dikenal dengan sebutan alat tangkap arad. Meski

tidak terdaftar dalam data statistik perikanan, penggunaan alat tangkap arad

masih dapat kita temukan di lapangan. Penggunaan alat tangkap inilah yang

kerap menimbulkan konflik di pesisir dan laut Kabupaten Indramayu. Selain itu,

penggunaan alat tangkap yang merusak yang kerap dilakukan oleh nelayan-

nelayan Kabupaten Indramayu adalah penggunaan racun potasium sianida

dalam menangkap sumber daya ikan hias di sekitar ekosistem terumbu karang.

Akibat penggunaan racun potasium sianida, terumbu karang di Pulau Biawak dan

sekitarnya banyak yang mati.

2) Mobilitas alat tangkap

Semakin banyak ragam jenis alat tangkap yang digunakan, berarti

tekanan terhadap sumber daya ikan itu sendiri semakin kuat. Oleh karena itu,

ragam dan jumlah alat tangkap yang banyak, maka pemerintah daerah

Kabupaten Indramayu, khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan perlu

melakukan kebijakan pembatasan ragam dan jumlah alat tangkap yang selama

ini digunakan. Disamping bertujuan untuk menciptakan efektivitas dan

optimalisasi penggunaan alat tangkap dalam mewujudkan pengelolaan perikanan

tangkap yang berkelanjutan, juga bertujuan untuk menghindari konflik alat

tangkap dan fishing ground yang berkepanjangan.

160
7.5 Faktor Pengungkit Dimensi Etika

1) Mitigasi habitat dan ekosistem

Seiring dengan semakin menurunnya luasan hutan mangrove dan

rusaknya terumbu karang serta terjadinya over fishing, maka Dinas Kelautan dan

Perikanan perlu mengeluarkan kebijakan tentang perlindungan terhadap habitat

dan ekosistem yang rusak tersebut. Untuk langkah hukum, telah diterbitkan Surat

Keputusan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu No.

556/kep.528-diskanla/2004 tentang Penetapan Pulau Biawak dan sekitarnya

sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut. Artinya, aturan tersebut masih

parsial karena hanya mengatur ekosistem di Pulau Biawak dan sekitarnya saja.

Padahal yang diperlukan adalah aturan hukum yang bersifat holistik, mengatur

pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di seluruh Kabupaten Indramayu.

Untuk itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu perlu mengeluarkan

Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Pesisir dan laut di Kabupaten Indramayu.

2) Aturan pengelolaan

Peraturan daerah di bidang perikanan yang dikeluarkan oleh Kabupaten

Indramayu umumnya masih mencerminkan kepentingan ekonomi yang dominan.

Dengan kata lain, peraturan daerah yang sifatnya memberikan perlindungan

ekologi masih kurang. Hal ini dapat terlihat pada beberapa peraturan daerah

yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Indramayu, seperti

Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 20 Tahun 2002 tentang Retribusi

Usaha Perikanan, Penangkapan Ikan, Pembudidayaan dan Pengolahan Hasil

Ikan Laut. Dalam peraturan daerah tersebut hanya mengatur mengenai perizinan

untuk menarik retribusi. Oleh karenanya, penyusunan dan penetapan peraturan

daerah tentang pengelolaan perikanan tangkap Kabupaten Indramayu adalah

suatu keharusan. Peraturan daerah Kabupaten Indramayu yang dapat

161
dikeluarkan dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan berkelanjutan

diantaranya adalah meliputi:

(1) Pemulihan sumber daya yang terancam punah.

(2) Pencegahan pencemaran lingkungan.

(3) Pengaturan upaya penangkapan.

(4) Pengaturan jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap.

(5) Pengaturan musim penangkapan.

(6) Pengaturan zonasi dan jalur penangkapan.

(7) Partisipasi masyarakat.

(8) Pembangunan prasarana perikanan.

(9) Pengaturan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan.

7.6 Faktor Pengungkit Dimensi Kelembagaan

1) Transparansi

Kegagalan dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan

yang berkelanjutan adalah aspek transparansi, baik dalam penyusunan maupun

pengawasan. Aspek transparansi terkait dengan pelibatan stakeholder secara

partsipatif, khususnya masyarakat nelayan yang menjadi pelaku utama dalam

kegiatan penangkapan ikan. Apabila hal ini diabaikan, maka kegagalan akan

terjadi karena masyarakat nelayan tidak akan peduli atau apatis dan tidak

pernah merasa memiliki. Oleh karena itu, agar suatu kebijakan pengelolaan

sumber daya ikan berlaku secara efektif di masyarakat maka dalam setiap

penyusunan kebijakan perlu melibatkan stakeholder, khususnya masyarakat

nelayan.

162
2) Intensitas pemanfaatan

Dari hasil analisis serta keragaan sumber daya ikan di Kabupaten

Indramayu memperlihatkan bahwa intensitas pemanfaatan terhadap sumber

daya ikan laut sangat kuat, sehingga mempengaruhi keberlanjutan sumber daya.

Untuk menurunkan intensitas pemanfaatan perlu penutupan beberapa wilayah

tangkapan pada wilayah yang terumbu karangnya masih bagus. Ini bertujuan

untuk pemulihan (restocking) alamiah. Selain itu, perlu dilakukan relokasi nelayan

dari pantai utara Kabupaten Indramayu ke pantai selatan Kabupaten Indramayu.

Mengingat, pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah pantai selatan Kabupaten

Indramayu masih rendah.

7.7 Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap

Keberhasilan sebuah kebijakan pengelolaan dapat diamati dari kinerja

dan hasil kebijakan yang ada. Proses evaluasi merupakan mekanisme untuk

melihat dan memantau sejauh mana kinerja dan hasil kebijakan dapat berjalan

sesuai dengan sasaran atau tujuan ditetapkannya kebijakan. Evaluasi kebijakan

merupakan pantauan kritis atas kondisi yang ada, dihadapkan kepada visi dan

misi serta rencana strategis pengelolaan perikanan tangkap. Mac Kenzie (1983)

menyatakaan bahwa intervensi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya ikan

meliputi tiga kegiatan pokok yaitu: (1) melakukan pengendalian atas output

(output control); (2) mengatur input (to regulate input); dan (3) menyediakan dana

yang dibutuhkan (financial support) bagi perusahaan atau individu yang terkena

imbas atas regulasi tersebut.

Berdasarkan hasil analisis status sumber daya ikan yang dikaji pada

bagian sebelumnya terlihat bahwa setiap tahun produktivitas perikanan di

perairan Kabupaten Indramayu mengalami tren yang terus menurun. Kondisi

tersebut menunjukkan terjadi penurunan CPUE yang sangat signifikan pada

163
periode 1995-2004. Penurunan grafik produksi tersebut diindikasikan karena

terjadi peningkatan effort (trip) yang tinggi tiap tahunnya. Peningkatan effort

merupakan satu upaya rasional untuk meningkatkan produksi penangkapan.

Namun peningkatan effort yang tidak diiringi dengan regulasi yang ketat tentang

pengaturan alat tangkap ditambah dengan tidak adanya upaya restocking

sumber daya ikan pada perairan yang ada, maka hanya akan mengakibatkan

terjadinya degradasi lingkungan yang selanjutnya akan berakibat buruk kepada

menurunnya produksi perikanan.

Peningkatan effort ditandai dengan peningkatan jumlah beberapa alat

tangkap yang dalam rentang waktu 1995-2004 yang meningkat secara signifikan

antara lain alat tangkap jaring insang hanyut, payang/lampara, jaring klitik dan

purse seine. Peningkatan alat tangkap pada tahun 1995-2004 berturut-turut

menurut peringkat empat besar yaitu jaring klitik, jaring insang hanyut, payang

dan purse seine. Peningkatan effort/trip ironisnya tidak melihat kondisi

lingkungan pesisir dan lautan yang makin mengalami degradasi seiring dengan

rusaknya ekosistem pesisir. Selain karena rusaknya lingkungan pesisir, kebijakan

terkait dengan pembatasan sarana dan armada tangkap belum diatur dengan

jelas dan diturunkan dalam perangkat kebijakan yang lebih operasional. Hal itu

dapat dilihat dari kebijakan yang tertera dalam Rencana Strategis Dinas

Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu.

Selain karena persoalan kebijakan yang cenderung tidak tegas, masalah

lainnya yang menimbulkan terjadinya over fishing adalah lemahnya upaya

penegakan hukum. Lemahnya penegakan hukum tercermin dari masih maraknya

penggunaan alat tangkap terlarang seperti arad di perairan Indramayu.

Penggunaan alat tangkap terlarang arad (baca: mini trawl) tidak hanya merusak

lingkungan laut tetapi juga menimbulkan konflik antar nelayan. Jaring arad

secara ekonomi sangat efisien, secara teknis alat ini mengadopsi alat tangkap

164
pukat harimau (trawl) yang memang telah terbukti sangat efisien dalam operasi

penangkapan.

Pada tahun 1980 alat tangkap trawl sebetulnya telah dilarang untuk

dioperasikan di seluruh perairan Indonesia. Sementara kebijakan Dinas

Perikanan dan Kelautan terkait masih belum tegas dan masih ambigu. Sifat

ambiguitas tersebut tercermin dari tidak adanya ketegasan Dinas Perikanan dan

Kelautan Kabupaten Indramayu, baik dalam upayanya mencegah ataupun

mendorong kegiatan penangkapan dengan menggunakan alat tersebut. Namun

karena secara ekonomi alat ini sangat ekonomis, maka atas dasar peningkatan

produksi terlihat bahwa alat tangkap ini cenderung diabaikan, sehingga

perkembangannya justru sangat pesat pada beberapa daerah pusat pendaratan

ikan di pantai utara Jawa. Asumsi bahwa pelarangan jaring arad akan mematikan

nelayan, dalam jangka pendek dapat dibenarkan, namun tidak demikian halnya

dalam jangka panjang. Sebaliknya, dalam jangka panjang penggunaan jaring

arad justru akan menghancurkan sistem perikanan di pantai utara Jawa.

Hal ini terjadi karena jaring arad secara ekologis, teknis, sosial dan etika

mempunyai tingkat kelestarian yang sangat rendah. Pada level permasalahan

seperti ini yang dibutuhkan adalah ketegasan dan kejelasan kebijakan serta

program pemerintah daerah, khususnya Departemen Kelautan dan Perikanan

dan lebih spesifik lagi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu

untuk mencarikan alternatif solusi bagi pengganti penggunaan jaring arad.

Kondisinya ternyata sangat berbeda, saat pelarangan jaring arad dilakukan,

pemerintah terlambat dalam menyediakan alternatif alat tangkap atau pun usaha

lainnya yang senilai dengan penggunaan jaring arad untuk menggantikan alat

tersebut.

Lemahnya penegakan hukum dalam jangka panjang, juga dapat

menggeser rezim perikanan. Seperti yang lazim diketahui, bahwa wilayah pesisir

165
dan lautan oleh sebagian pakar digolongkan sebagai open acces. Lemahnya

penegakan hukum dapat mendorong adanya hak kepemilikan yang tidak diatur

secara legal, namun terjadi karena proses pengakuan secara ilegal hak

mengelola bagi sebagian individu atau kelompok. Sebagai akibat lemahnya

hukum, batas-batas kewenangan menjadi bias dan berlaku hukum rimba, dimana

yang kuat akan menguasai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Charles (2001)

yang menyatakan bahwa open acces dapat terjadi pada private property, dan

sebagai konsekuensinya akan muncul masalah penegakan hukum (enforcement

problem).

Evaluasi terhadap kebijakan dapat ditelusuri juga dengan melihat

Rencana Strategis Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. Dalam

sasaran pembangunan perikanan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten

Indramayu, terlihat ada upaya peningkatan sarana, prasarana penangkapan dan

budidaya ikan serta terlaksananya kegiatan peningkatan pemulihan dan

perlindungan sumber daya dan lingkungan. Dalam rencana strategis khususnya

dalam kebijakan dan kegiatannya terlihat adanya upaya modernisasi perikanan

melalui peningkatan sarana dan prasarana perikanan dan kelautan yang

memadai dan terpelihara. Sayangnya, upaya peningkatan sarana dan prasarana

perikanan dalam Renstra tidak diikuti secara tegas dengan upaya pelestarian

sumberdaya hayati dan penataan kelembagaan hukum. Salah satu penataan

kelembagaan dalam Renstra tertulis penyusunan peraturan daerah perikanan

dan kelautan. Namun faktanya, sampai saat ini peraturan daerah tentang

pemanfaatan sumber daya ikan belum tersedia. Kekosongan hukum ini

dimanfaatkan oleh sebagian kelompok dan individu untuk memanfaatkan sumber

daya ikan tanpa melihat daya dukung lingkungan.

Pengaturan sumber daya ikan juga tidak bisa dilepaskan dari pengakuan

dan persepsi terhadap rezim perikanan. Perspektif masa lalu, perairan pesisir

166
dan lautan diyakini sebagai open acces. Dalam rezim perikanan open acces,

semua pelaku perikanan berhak memanfaatkan sumber daya tanpa ada

pelarangan karena belum ada kewenangan dan kepemilikan terhadap sumber

daya. Rezim open acces meyakini bahwa sumber daya adalah milik bersama

oleh karena itu siapapun berhak memanfaatkannya. Karena setiap orang dan

pelaku perikanan memanfaatkan tanpa batas dan pengakuan terhadap

kewenangan pelaku lainnya, maka terjadilah apa yang oleh Ostrom, E. (2001)

dikatakan sebagai the tragedy of the common. Terjadinya kerusakan sumber

daya ikan sebagai akibat tidak adanya pengaturan dan pembatasan dalam

pemanfaatan sumber daya ikan. Tidak adanya pengakuan dan pengaturan rezim

perikanan terbukti berdampak kepada konflik nelayan dan degradasi lingkungan

pesisir dan laut.

Pelaksanaan pengelolaan perikanan yang masih bersifat open acces,

mendorong pemanfaatan sumber daya ikan tidak berjalan efektif. Hasil penelitian

menggambarkan beberapa bias pengelolaan yang diakibatkan belum adanya

pengakuan terhadap hak kepemilikan (property right) dan dominannya

pengelolaan yang bersifat open acces. Selama periode sentralistik sampai

desentralistik kebijakan pengelolaan perikanan belum memiliki kriteria kebijakan

perikanan tangkap yang tepat, seperti: (1) transparansi dalam mekanisme

pengelolaan perikanan, (2) sosialisasi kebijakan dan peraturan perundang-

undangan tentang konservasi dan pengelolaan, (3) industri penangkapan yang

mendorong pengelolaan perikanan bertanggungjawab (Suseno, 2004).

Indikasi lainnya dari tidak adanya kejelasan dalam pengaturan hak

kepemilikan adalah inkonsistensi kebijakan perikanan tangkap nasional dalam

mengikuti aturan dan kebijakan perikanan tangkap internasional. Hal tersebut

dapat dilihat dari kurangnya perangkat teknis baik di tingkat pusat maupun

daerah yang mengarah kepada standar internasional. Kebijakan umum

167
pengelolaan perikanan tangkap nasional sudah terlihat cenderung mengarah ke

paradigma konservasi, namun belum dapat dijabarkan dan didukung oleh

kebijakan, baik di tingkat pusat maupun daerah yang masih menganut paradigma

rasional.

Sementara itu, bila hasil analisis Rapfish dihubungkan dengan DEA dapat

diketahui bahwa kedelapan alat tangkap yang dianalisis dapat dikelompokkan

menjadi dua, yaitu alat tangkap yang beroperasi di dalam dan di luar wilayah

perairan Kabupaten Indramayu, seperti purse seine, gillnet, lampara, jaring klitik,

pancing, sero, pukat pantai, dan dogol. Sedangkan alat tangkap yang beroperasi

di dalam wilayah perairan Kabupaten Indramayu, seperti lampara, jaring klitik,

pancing, sero, pukat pantai, dan dogol. Berdasarkan hal ini, dapat diberlakukan

dua strategi pengelolaan, yaitu:

(1) pengelolaan di dalam wilayah perairan Kabupaten Indramayu

Menurut Pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah kabupaten

memiliki kewenangan mengelola sumber daya laut dan ikan di wilayah

perairan sampai 4 mil. Adapun alat tangkap yang perlu diatur dalam

wilayah ini, yaitu lampara, jaring klitik, pancing, sero, pukat pantai, dan

dogol. Strategi yang dapat dilakukan pada wilayah ini antara lain, yaitu:

stock enhancement, penyedian mata pencaharian alternatif, dan

rasionalisasi alat tangkap yang tidak efisien sebagaimana yang dihasilkan

DEA (pukat pantai, pancing, sero, dan dogol).

(2) pengelolaan di luar wilayah perairan Kabupaten Indramayu

Menurut Pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah provinsi

memiliki kewenangan mengelola sumber daya laut dan ikan di wilayah

perairan dari 4 sampai 12 mil. Adapun alat tangkap yang perlu

diperhatikan oleh Kabupaten Indramayu yang beroperasi di wilayah ini,

168
yaitu purse seine dan gillnet. Hal ini dikarenakan, kedua alat tangkap ini

melakukan operasi penangkapan lintas batas, sehingga dikhawatirkan

akan terjadi konflik, khususnya konflik fishing ground. Oleh karena itu,

strategi yang dapat dilakukan oleh Kabupaten Indramayu antara lain,

yaitu: melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah lain, peningkatan

ukuran armada, dan penggunaan teknologi modern.

169
8 KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan

Kondisi perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu kurang

berkelanjutan, yang disebabkan antara lain oleh rusaknya ekosistem mangrove,

masih beroperasinya alat tangkap tidak ramah lingkungan, belum adanya

pengelolaan kegiatan pengelolaan perikanan tangkap, dan lemahnya

penegakkan hukum. Kompleksitas permasalahan perikanan tangkap di

Kabupaten Indramayu disebabkan oleh belum adanya rencana pengelolaan

sumber daya ikan secara holistik dan integratif dalam mewujudkan

pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

Faktor pengungkit dalam pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten

Indramayu adalah aspek ekologi (tekanan terhadap lahan mangrove dan

sedimentasi), aspek ekonomi (besarnya subsidi dan pendapatan asli daerah),

aspek sosial (tingkat pendidikan dan frekuensi konflik), aspek teknologi (alat

tangkap destruktif, mobilitas alat tangkap, dan penanganan pasca panen), aspek

etika (mitigasi habitat dan ekosistem, aturan pengelolaan, dan akses terhadap

sumber daya), dan aspek kelembagaan (transparansi dan intensitas

pemanfaatan).

Strategi kebijakan yang harus dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya

ikan di Kabupaten Indramayu adalah (1) konservasi dan rehabilitasi hutan

mangrove; (2) pengaturan jumlah alat tangkap, (3) penanganan pasca panen, (4)

modernisasi armada besar yang beroperasi di wilayah lepas pantai, (5)

pengurangan armada kecil yang tidak efisien dan tidak ramah lingkungan, (6)

pengembangan industri pengolahan ikan, (7) peningkatan kapasitas


kelembagaan perikanan dan kelautan, (8) penyediaan mata pencaharian

alternatif, dan (9) program pengkayaan stok (stock enhancement).

8.2 Saran

Agar pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu dapat

berjalan secara efektif, efisien, dan tepat guna, maka dapat disarankan sebagai

berikut:

(1) Untuk pemerintah daerah, perlu disusun rencana pengelolaan sumber daya

ikan yang holistik dan integratif.

(2) Perlu dilakukan rasionalisasi atau pengurangan jumlah alat tangkap yang

berkorelasi negatif dengan produksi perikanan seperti pukat pantai, pancing,

sero, dan dogol.

(3) Untuk pelaku usaha penangkapan ikan perlu modernisasi armada besar yang

daerah operasinya di zona 12 mil hingga Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia.

(4) Untuk pengembangan ilmu pengetahuan perlu penelitian lebih lanjut

mengenai detil desain masing-masing alternatif kebijakan.

171
DAFTAR PUSTAKA

Adrianto, L. dan Tridoyo Kusumastanto, 2004. Penyusunan Rencana


Pengelolaan Perikanan (Fisheries Management Plan) dan Rencana
Pengelolaan Kawasan Pesisir (Coastal Management Plan). Makalah pada
Training of Trainer (TOT) Marginal Fishing Community Development Pilot.
Bappenas. Cipayung, 8 Oktober 2004. 42 hal.

Alder, J., T.J. Pitcher, D.Preikshot, K. Kaschner, and B. Ferris. 2000. How Good
is Good ?. A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of the
Sustainability Status of Fisheries of The North Atlantic. 136-182 p.

Azis, K.A., M. Boer, Widodo, J., Naamin, N., Amarullah, M.H., Bidawi, H.,
Djamali, A. Priyono, B.E. 1998. Potensi Pemanfaatan dan Peluang
Pengembangan Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta:
Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Perikanan Laut.

[Bappeda Indramayu] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten


Indramayu, 2000. Studi Penyusunan Strategi Pengelolaan Terpadu
Wilayah Pesisir Kabupaten Indramayu. Bappeda Kabupaten Indramayu

Bailey, C. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Penyunting D.C. Korten


dan Sjahrir. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 420 hal.

Boer, M. dan K.A. Azis. 1995. Prinsip-prinsip Dasar Pengelolaan Sumber Daya
Perikanan Melalui Pendekatan Bio-Ekonomi. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan
dan Perikanan Indonesia. Bogor: IPB.

Budiharsono S. 2006. Konsep Perencanaan Pembangunan Kelautan dan


Perikanan Berkelanjutan. Bimbingan Teknis Perencanaan Program dan
Kegiatan Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Departemen Kelautan dan
Perikanan. Hal 1 – 25.

Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery System . Blackwell Science Ltd. Oxford.
370 p.

Charlotte de Fontaubert and Indrani Lutchman. 2003. Achieving Sustainable


Fisheries: Implementing the New International Legal Regime. IUCN-The
World Conservation Union. Cambridge-UK. 177 p.

Coastal Research Management Project. 1998. Profil Perikanan Tangkap di


Provinsi Lampung. Lampung.

Dahuri, R., 2001. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor


Perikanan dan Kelautan. Jakarta: Lembaga Informasi dan Studi
Pembangunan Indonesia (LISPI).

Darsono, 2004. Keberadaan Trawl di Perairan Jawa Barat. Bandung: Dinas


Perikanan Provinsi Jawa Barat. 5 hal.
[Diskan] Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat. 2004. Kegiatan Penyusunan Profil
Pulau-pulau Kecil. Pulau Biawak, Pulau Rakit Utara, Pulau Gosong,
Kabupaten Indramayu. Dinas Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Bandung.
Hal III-19.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Laporan Akhir Penyusunan


Data Base Kondisi Potensi Sumberdaya Alam Laut (Provinsi DKI Jakarta,
Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara). Jakarta:
Direktorat Jenderal Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan
dan Perikanan.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003a. Perikanan Berkelanjutan


dan Peranan Kawasan Konservasi Laut. Prosiding Lokakarya. Direktorat
Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP dan Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dephut. Jakarta

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003b. Modul sistem insentif


Implementasi Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRP).
Jakarta: Direktorat Kelembagaan Internasional Direktorat Jenderal
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran DKP.

[DKP & PSKPL] Departemen Kelautan dan Perikanan & Pusat Kajian Sumber
Daya Pesisir dan Lautan. 2001. Penyusunan Model Perencanaan di Zona
Penyangga dan Pemanfaatan Kawasan Sumber Daya Pesisir (Terumbu
Karang, Mangrove, Pantai) yang Berbasis Masyarakat di Indramayu Jawa
Barat. Hal 2-35.

[DP] Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 1996. Laporan Tahunan 1995.


Indramayu: Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 165 hal.

[DP] Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 1997. Laporan Tahunan 1996.


Indramayu: Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 178 hal.

[DP] Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 1998. Laporan Tahunan 1997.


Indramayu: Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 180 hal

[DP] Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 1999. Laporan Tahunan 1998.


Indramayu: Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 169 hal.

[DP] Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 2000. Laporan Tahunan 1999.


Indramayu: Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 146 hal.

[DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. 2001. Laporan


Tahunan 2000. Indramayu: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Indramayu.

[DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. 2002. Laporan


Tahunan 2001. Indramayu: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Indramayu. 39 hal.

[DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. 2003. Laporan


Tahunan 2002. Indramayu: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Indramayu. 37 hal.

173
[DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. 2004. Laporan
Tahunan 2003. Indramayu: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Indramayu. 27 hal.

[DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. 2005. Laporan


Tahunan 2004. Indramayu: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Indramayu. 28 hal.

Dunn, W.N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. 687 hal.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Code of Conduct for


Responsible Fisheries. Rome, Italy: United Nations. Viale delle Terme di
Caracalla. 00100. 45 p.

Fauzi, A. 2001. Pelatihan Rapfish (Multi Dimensional Scaling). Bogor: Center for
Resource Economics and Policy Studies (CREPS).

Fauzi A dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan:
untuk Analisis Kebijakan. PT Gramedia Pustaka Utama. 343 hal.

Gulland, J.A. 1983. Fish Stock Assessment. A Manual of Basic Methods. A wiley
Publication. 223 p.

Hanafi, Mustafa. 2005. Hubungan Faktor Perilaku Manusia, Faktor Alam dengan
Perubahan Garis Pantai untuk Optimisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir di
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Tesis Program Pascasarjana ITB.

Hermawan, M. 2006. Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil. Disertasi


Sekolah Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Hogwood, B.W. dan L.A. Gunn. 1984. Policy Analysis for the Real World. Oxford
University Press. London. 289 p.

Imron, M. 2000. Stok Bersama dan Pengelolaan Sumber Daya Ikan di Wilayah
Perairan Indonesia. Buletin PSP, Vol IX, No. 2. Oktober 2000. Jurusan
Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan-IPB. Hal 41-52.

Jones, C. O. 1977. An Introduction to the Study of Public Policy. Edisi Kedua.


Massachusates. Duxbury Press.

Juwono, P.S.H. 1998. Ketika Nelayan Harus Sandar Dayung: Studi Nelayan
Miskin di Desa Kirdowono. Konphalindo. Jakarta.

Kinseng, R.A. 2006. Konflik Kelas di Kalangan Kaum Nelayan di Indonesia


(Sebuah Catatan Awal). Makalah disampaikan pada Workshop Nasional
Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Bogor, 2-3 Agustus 2006.
19 hal.

Kompas. 2005. Diduga akibat Peningkatan Suhu Laut dan Pencemaran, Ikan di
Pantura Mati. Kamis 26 Mei 2005.

174
Korhonen, P., A. Silijamaki dan M.Soisma. 1998. Practical Aspect of Value
Efficiency Analysis. Interim Report IR-98-042 IIASA

Lossin ES. 1995. Data Envelope Análisis Accounting for a Stochastic Component
in the Data. Berlin: Institut fur Statistik und Okonometrie Humboldt
Universitat zu Berlin

Monintja, D.R., Mulyono S. Baskoro, Ari Purbayanto, Diniah, Sulaeman


Martasuganda. 1992. Studi tentang Klasifikasi, Sebaran, dan Tingkat
Teknologi Unit Penangkapan Ikan di Perairan Selatan Jawa dan Barat
Sumatera. Program Studi Ilmu Kelautan dan Teknologi Kelautan, Fakultas
Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Monintja, D.R. dan R. Yusfiandayani. 2001. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir


dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan
WIlayah Pesisir Terpadu. Bogor:IPB.

Monintja, D.R. 2006. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Tangkap Perlu


Diwujudkan di Laut Arafura. Di dalam Daniel R. Monintja, Aji Sularso, M.
Fedi A. Sondita, Ari Purbayanto, editor. Perspektif Pengelolaan Perikanan
Tangkap Laut Arafura. Departemen Pemanfaatan Sumber Daya
Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor:IPB. hlm 1-10.

Munasinghe, M. 2002. Analysing the nexus of sustainable and climate change:


An overview. France: OECD. 53 p.

Murtadi S. 1999. Pengantar Kuliah Kebijakan Pembangunan Perikanan. Bahan


Kuliah (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor. 20 hal

Mustodidjaja. 1992. Kebijakan Pembangunan Proses Masalah dan Praktek.


Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Nikijuluw., V., 2002. Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan. Pusat


Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R). Jakarta. 254 hal.

Ostrom, E. 2001. The Drama of the Commons. National Academy Press.


Washington DC. 521 p.

Pikiran Rakyat. 2006. Pendangkalan Hebat Terjadi di Pelabuhan Karangsong


Dikeluhkan Nelayan Sejak Sebulan Lalu. 5 Juni 2006. 47 p.

Pitcher TJ. 1999. RAPFISH, A Rapid Appraisal Technique for Fisheries, and Its
Aplication to the Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome: FAO

Purbayanto, A., Sugeng Hari Wisudo, Joko Santoso, Mita Wahyuni, Ronny I.W.,
Dinarwan, Zulkarnain, Sarmintohadi, Akmala Dwi Nugraha, Deni A
Soeboer, Beni Pramono, Azmar Marpaung, Mochammad Riyanto. 2004.
Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil
Tangkap Sampingan Pukat Udang di Laut Arafura. Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Papua dan SUCOFINDO. Jakarta.

175
Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesindo. Jakarta. 130
hal.

Satria, A., Abu Bakar Umbari, Ahmad Fauzi Syam, Ari Purbayanto, Endriatmo
Sutarto, Ismudi Muchsin, Istiqlaliyah Muflikhati, Muhamad Karim, Sudirman
Saad, Wawan Oktariza, Zulhamsyah Imran. 2002. Menuju Desentralisasi
Pengelolaan Kelautan. Pustaka Cidesindo. Jakarta. 210 hal.

Simatupang, P. 2001. Konsepsi Teoritis Analisis Kebijakan Kelautan dan


Perikanan. Makalah pada Seminar Forum Riset Sosial Ekonomi Kelautan
dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Smith, I.A. dan F. Marahuddin. 1986. Ekonomi Perikanan: Dari Teori Ekonomi ke
Pengelolaan Perikanan. PT. Gramedia. Jakarta.

Sondita, M.F.A. 2004. Monitoring Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya


Ikan. Makalah disampaikan dalam Workshop-2 Rencana Pengelolaan
Perikanan Layur, Kerjasama COFISH dan Dinas Kelautan dan Perikanan
Trenggalek, Kediri 20-23 Juli 2004.

Sularso, A. 2006. Alternatif Pengelolaan Perikanan Udang di Laut Arafura.


Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 130 hal.

Supardi, Imam. 2003. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. PT. Alumni.


Bandung.

Supriyanto. 2003. Profil Perekonomian dan Kesejahteraan Rumah Tangga


Perikanan Laut dan Budidaya Tambak. Kabupaten Indramayu. 2003.
Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. Jakarta. 168 hal.

Suseno. 2004. Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan


Tangkap: Kasus Pantai Utara Jawa Tengah. Disertasi Program Studi
Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Susilo B.S. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus


Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari. Kepulauan Seribu. DKI
Jakarta. Disertasi Sekolah Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Tribawono, D. 2002. Hukum Perikanan Indonesia.. PT. Citra Aditya Bakti.


Bandung. 228 hal.

United Nation Convention on the Law of the Sea. 1982.

Undang-Undang Republik Indonesia No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.


Jakarta. 35 hal.

Undang-Undang Republik Indonesia No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan


Daerah. Jakarta. 94 hal.

Wiyono, E.S. 2006. Mengapa Sebagian Besar Perikanan Dunia Overfishing?


(Suatu Telaah Manajemen Perikanan Konvensional). Artikel dimuat pada
Buletin INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006. 5 hal.

176
LAMPIRAN
Lampiran 1. Potensi perikanan tangkap Jawa Barat

KABUPATEN / Pelagis Pelagis


Demersal Udang Ikan Karang Lain-lain Jumlah
KOTA Kecil Besar
SELATAN
Ciamis 17,387.56 394.28 4,087.32 247.08 78.86 26.29 22,221.39
Tasikmalaya 17,619.39 399.53 4,141.82 250.37 79.91 26.64 22,517.66
Garut 19,010.40 421.07 4,468.81 270.14 86.21 28.74 24,285.37
Cianjur 18,083.06 410.05 4,250.82 256.96 82.01 27.34 23,110.24
Sukabumi 27,124.59 615.07 6,376.23 385.44 123.01 41.00 34,665.34
Sub Jumlah 99,225.00 2,240.00 23,325.00 1,409.99 450.00 150.01 126,800.00
UTARA
Bekasi 5,875.86 4,179.18 4,449.27 589.00 346.05 169.50 15,608.86
Karawang 4,220.69 6,284.82 3,195.27 432.08 248.57 121.75 14,503.18
Subang 5,213.79 10,732.27 3,947.94 522.63 307.06 150.40 20,874.09
Indramayu 9,517.24 14,241.26 7,206.56 954.01 560.51 274.54 32,754.12
Cirebon 5,627.59 11,425.64 4,621.27 561.11 331.43 162.33 22,729.37
Kota Cirebon 744.83 5,644.83 563.99 74.66 43.87 21.49 7,093.67
Sub Jumlah 31,200.00 52,508.00 23,984.30 3,133.49 1,837.49 900.01 113,563.29
JUMLAH TOTAL 130,425.00 54,748.00 47,309.30 4,543.48 2,287.49 1,050.02 240,363.29

Sumber data: Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat 2004

178
Lampiran 2. Dimensi dan a tribut RAPFISH

DIMENSI DAN ATRIBUT

No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Hasil Keterangan


Survei
EKOLOGI
Mengacu pada skala FAO
1 Status pemanfaatan sumberdaya ikan 0, 1, 2 0 2 2 (0) kurang-Penuh, (1) Penuh-Berat, (2) Lebih Tangkap-Hancur

2 Abrasi 0, 1, 2 0 2 2 (0) Rendah (1) Sedikit (2) Tinggi

3 Perubahan ukuran ikan yang tertangkap Mengacu pada Rapfish


0, 1, 2 0 2
5 tahun terakhir 2 (0) Tidak berubah, (1) Sedikit menurun, (2) Menurun banyak

4 Jarak migrasi 0, 1, 2 0 2 2 (0) sedikit (1) sedang (2) banyak

(0) Rendah (< 40 %) , (1) sedang (40 – 100 %) ,


5 Keragaman rekruitmen 0, 1, 2 0 2 2 (2) tinggi (>100 %)

6 Tekanan lahan mangrove 0, 1, 2 0 2 1 (0) kurang, (1) Sedang, (2) Tinggi

7 Sedimentasi 0, 1, 2 0 2 2 (0) Rendah (1) Sedikit (2) Tinggi

Kedewasaan ikan yang tertangkap (persentase


8 0, 1, 2 0 2 2 (0) Tidak ada, (1) sedikit (>30 % ) , (2) banyak (>60%)
ikan tertangkap sebelum dewasa)

9 Jumlah Spesies yang tertangkap 0, 1, 2 0 2 2 (0) Rendah (1-10) , (1) sedang (10-100) , (2) tinggi (>100)

10 Tekanan terhadap terumbu karang 0, 1, 2 0 2 2 (0) kurang, (1) Sedang, (2) Tinggi

179
No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Hasil Keterangan
Survei
EKONOMI
Mengacu pada Skala Rapfish
1 Keuntungan usaha penangkapan ikan 0, 1, 2 0 2 2 (0) Menguntungkan, (1) Kembali Modal, (3) Rugi

Mengacu pada Skala Rapfish


2 Kontribusi terhadap GDP/PDRB ? 0, 1, 2 0 2 0 (0) Rendah, (1) Sedang, (2) Tinggi

(0) Rendah, (1) Sedang, (2)Tinggi


3 Kontribusi terhadap PAD 0, 1, 2, 0 2 0

Mengacu pada Skala Rapfish


(0) Terutama berada di orang lokal, (1) Seimbang antara orang
4 Transfer keuntungan 0, 1, 2 0 2 2 lokal dan orang luar, (2) Keuntungan lebih banyak orang
luar

Mengacu pada Skala Rapfish


5 Besarnya pasar 0, 1, 2 0 2 1 (0) Pasar Lokal, (1) Pasar nasional, (2) Pasar Internasional

6 Mengacu pada Skala Rapfish


Besarnya subsidi 0, 1, 2 0 2
2 (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Besar
7 Perubahan jumlah sarana ekonomi (10 tahun 1 (0) Kurang, (1) Tetap, (2) Tambah
0, 1, 2 0 2
terakhir)
8 Mengacu pada Skala Rapfish
Rata-rata penghasilan relatif dan nelayan terhadap
0, 1, 2 0 2 2 (0) dibawah, (1) Sama, (3) Lebih Tinggi,
UMR
9 2 (0) Tidak tetap (1) paruh waktu (2) musiman
Pendapatan diluar usaha penangkapan 0, 1, 2 0 2
10 1 (0) Kecil, (1) Sedang, (2) Cukup
Penyerapan tenaga kerja 0, 1, 2 0 2

180
No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Hasil Keterangan
Survei
SOSIAL
Mengacu pada Skala Rapfish
Soaialisasi terhadap pekerjaan sumberdaya
1 0, 1, 2 0 2 1 (0) Pekerjaan dilakukan secara individu, (1) Kerjasama satu
pesisir
keluarga, (2) kerjasama satu kelompok
1 Mengacu pada Skala Rapfish
2 Jumlah rumah tangga pekerja pemanfaat SDI 0, 1, 2 0 2 (0) <1/3 (1) 1/3 - 2/3, (2) > 2/3 dari total jumlah komunitas
yang bersangkutan
3 Pertumbuhan tenaga kerja pemanfaat SDI (10 1 Mengacu pada Skala Rapfish
0, 1, 2 0 2 (0) <10 % (1) 10 – 30 %, (2) >30 %
tahun terakhir)
4 2 (0) Sangat minim, (1) Cukup, (2) Banyak
Pengetahun terhadap lingkungan 0, 1, 2 0 2
5 2 (0) Tidak tamat SD dan Tamat SD, (1) Tamat SMP-SMA, (2)
Tingkat pendidikan relatif masyarakat pesisir 0, 1, 2 0 2
Tidak tamat PT atau tamat PT
6 1 (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Banyak
Frekuensi konflik 0, 1, 2 0 2
7 1 (0) Tidak ada, (1) 1- 3 anggota keluarga, (2) > 3 anggota
Partisipasi keluarga terhadap pemanfaatan SDI 0, 1, 2 0 2 keluarga,
8 Peran masyarakat dalam pengelolaan 1 (0) Negatif, (1) Netral, (2) Positif,
0, 1, 2 0 2
sumberdaya perikanan

9 Upaya perbaikan ekosistem dari Pemda 0, 1, 2 0 2 2 (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Banyak

10 Waktu yang dialokasikan untuk pekerjaan 0, 1, 2 0 2 0 (0) Hobi dan Paruh waktu (1) Musiman (2) Penuh Waktu

181
No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Hasil Keterangan
Survei
TEKNOLOGI
1 1 Mengacu pada skala Rafish
Penyebaran tempat pendaratan ikan (TPI) 0, 1, 2 0 2
(0) tersebar, (1) Terpusat, (2) Ikan didaratkan ditempat lain
2 1 Modifikasi dari Rafish
Mobilitas alat tangkap 0, 1, 2 0 2
(0) Mayoritas pasif, (1) Seimbang, (2) Aktif
3 2 (0) Tidak ada, (1) ada sedikit, (2) Ada cukup banyak
Ketersediaan rambu-rambu lalu lintas pelayaran 0, 1, 2 0 2
4 Ukuran kapal (rata-rata panjang kapal) 0, 1, 2 2 Mengacu pada skala Rafish
0 2
(0) Tidak ada, (1) Sedang, (2) Banyak dan Dominan
Kekuatan alat tangkap ( apakah nelayan
5 mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
0 2
tangkapan setelah lebih dari lima tahun dengan 0, 1, 2 2 0) Tidak ada, (1) ada sedikit, (2) Ada cukup banyak
alat tangkap dan kapal yang lebih besar).
6 1 Mengacu pada skala Rafish
Selektifitas alat 0, 1, 2 0 2
0) Kurang Selektif, (1) Agak selektiif, (2) Sangat Selektif
2 Mengacu pada skala Rafish
penggunaan alat bantu penangkapan (Fish
7 0, 1, 2 0 2 0) Tidak ada, (1) Digunakan Umpan saha, (2) Digunakan
attraction device, FADS)
Umpan atraktif lain
8 1 Mengacu pada skala Rafish
Penggunaan alat perikanan yang destruktif 0, 1, 2 0 2
0) Tidak ada, (1) Sedang, (2) Banyak dan Dominan
9 Penanganan pasca panen ikan didaratkan sebelum 2 Mengacu pada skala Rafish
0, 1, 2 0 2
dipasarkan (0) Tidak ada, (1) Ada sedikit, (2) Ada dan Cukup lengkap
10 1 Mengacu pada skala Rafish
Penanganan ikan diatas kapal 0, 1, 2 0 2
0) Tidak ada, (1) Sedang, (2) Banyak dan Dominan

182
No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Hasil Keterangan
Survei
ETIKA
1 Kedekatan dan kepercayaan 0, 1, 2 1 (0) Tidak dekat/tidak mempercayai , (1) Ada kedekatan/ sedikit
0 2
percaya (2) Ada kedekatan/ sangat mempercayai
2 Pekerjaan alternatif dalam komunitas 0, 1, 2 2 (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Banyak
0 2
3 Akses thd sumber daya (Equaty to entry) 0, 1, 2 1 (0) Tidak dipertimbangkan, (1) Dipertimbangkan, (2) Nelayan
0 2
tradisional asli
4 Aturan pengelolaan (Pelibatan stakeholder 0, 1, 2 1 (0) Tdak ada ada, (1) Konsultasi, (2) Co-Manajemen
pengambilan keputusan) 0 2

5 Mitigasi ekosistem 0, 1, 2 2 (0) Tidak ada, (1) Ada tapi sedikit, (2) Banyak mitigasi
0 2

6 Mitigasi Habitat 0, 1, 2 2 (0) Tidak ada, (1) Ada tapi sedikit, (2) Banyak mitigasi
0 2

7 Marketable right 0, 1, 2 1 (0) Quota, (1) Sedikit, (2) Sebanding


0 2

8 Perikanan ilegal 2 (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Banyak


0, 1, 2 0 2

9 Jumlah ikan terbuang 0, 1, 2 2 (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Banyak
0 2

10 Peraturan perundangan 0, 1, 2 0 (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Banyak


0 2

183
No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Hasil Keterangan
Survei
KELEMBAGAAN
Ketersediaan peraturan pengelolaan secara (0) Kurang (1) Cukup, (2) Banyak
1 0, 1, 2 0 2 2
formal
Ketersediaan peraturan adat dan kepercayaan / (0) Tidak ada, (1) Ada sedikit, (2) Cukup banyak
2 0, 1, 2 0 2 1
agama
Penyuluhan hukum pengelolaan sumberdaya (0) Tidak pernah, (1) Jarang, (2) Sering
3 0, 1, 2 0 2 2
alam dan lingkungan
(0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Banyak
4 Ketersediaan personil penegak hukum dilokasi 0, 1, 2 0 2 2

(0) Ada Tdak Berfungsi, (1) Kurang berfungsi, (2) Ada dan
5 Fungsionalisasi Lembaga pengawas local 0, 1, 2 0 2 1 Berfungsi
(0) Tidak transparan, (1) Kadang-kadang transparan, (2)
6 Transparansi dalam kebijakan 0, 1, 2 0 2 2 Sangat Transparan

(0) Tidak ada, (1) Ada tapi dilanggar, (2) Ada dan ditaati
7 Zonasi peruntukan perairan / pemetaan SDI 0, 1, 2 0 2 1

(0) Tidak ada, (1) Ada sedikit, (2) Banyak


8 Intensitas pemanfaatan yang melanggar hukum 0, 1, 2 0 2 2

Mengacu pada Rafish


9 Ada tidaknya Limeted Entry 0, 1, 2 0 2 1 (0) tidak ada, (1) Ada sedikit, (2) Sangat banyak

(0) Ada dan Berfungsi, (1) Ada tapi kurang berfungsi (2) Tidak
10 Kelembagaan kemitraan 0, 1, 2 0 2 1 ada (2) Ada Tidak Fungsi

184
Lampiran 3. Analisis MDS dengan menggunakan Rapfish di Kabupaten
Indramayu

Dimensi Ekologi

185
Dimensi Ekonomi

186
Dimensi Sosial

187
Dimensi Teknologi

188
Dimensi Etika

189
Dimensi Kelembagaan

190
Lampiran 4. Daftar nama responden RAPFISH

No. Nama Responden Keterangan


1 Ir. H. Darsono Kepala Dinas Perikanan Provinsi Jawa
Barat

2 Ir. Tatang Sulaeman MS Kasubdin Produksi dan Konservasi


Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat

3 Ir. Hj. Atih Rachlan, MM Kasubdin Bina Usaha Dinas Perikanan


Provinsi Jawa Barat

4 Ir. Ade Kusmana, MM Kasie Kerjasama Subdin Kelautan


Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat

5* Ir. A. Rasyid Hakim Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan


(DPK) Kabupaten Indramayu

6 Ir. Tirman Parma Saputra Kasubdin Kelautan DPK Kabupaten


Indramayu

7 Sutaryat, APi Kasie Pengelolaan Sumber daya Laut


DPK Kabupaten Indramayu

8 Saefudin, S.Pi Kasie Pengelolaan Kekayaan Laut


DPK Kabupaten Indramayu

9 Edi Umaedi, S.P Kasubag Perencanaan dan Evaluasi


DPK Kabupaten Indramayu

10 Sutarno Dinas Kehutanan dan Perkebunan


Kabupaten Indramayu

11* Drs. Suherman Kasie Sumber Hayati Dinas


Pertambangan dan Lingkungan Hidup

12 Aris Susanto Staf Dinas Pertambangan dan


Lingkungan Hidup

13* Ucep A. Anwar Kantor Badan Perencanaan


Pembangunan Daerah Indramayu

14 Tonni S Kantor Badan Perencanaan


Pembangunan Daerah Indramayu

15 Drs. Umar Budi Dinas Pariwisata dan Budaya


Kabupaten Indramayu

16 Sofyandi Kepala Kantor Syahbandar Kabupaten


Indramayu

191
17 Koko Sudiaswara KPLP Kantor Syahbandar Kabupaten
Indramayu

18* Ony Thayib, S.Hut Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat


Siklus Kabupaten Indramayu

19 Drs. Madri Divisi Pengembangan dan


Pemberdayaan Masyarakat LSM Siklus
Kab. Indramayu

20* Entus Hikmana, S.Pi Lembaga Pengabdian Masyarakat


Universitas Wiralodra Indramayu

21 Sugianto Aparat Kecamatan Balongan

22 Drs. Firdaus Kasie Pemerintahan Kecamatan


Indramayu

23 Suwarno Aparat Kecamatan Indramayu

24* A. Sam’un, S.P Kepala Cabang Dinas Kecamatan


Juntinyuat

25 Eddy Marwadi Kepala Cabang Dinas Kecamatan


Kandanghaur

26 M. Sam’un Kepala Cabang Dinas Kecamatan


Indramayu

27 Jaelani, SH Kepala Cabang Dinas Kecamatan

28* H. Cartisa Juragan nelayan Desa Paoman


Kecamatan Indramayu

29 Karwita Nelayan Desa Brondong Kecamatan


Indramayu

30* Tasid Nelayan Desa Brondong Kecamatan


Pasekan

31 Kaprawi Tokoh nelayan Desa Brondong


Kecamatan Pasekan Kabupaten
Indramayu
32 Warsidi Tokoh Masyarakat nelayan Desa
Pabean Ilir

33* Sukardi Nelayan Desa Brondong Kecamatan


Pasekan

192
34 Mama Solihin Tokoh masyarakat nelayan Eretan
Desa Ilir Kecamatan Kandanghaur

35 H. Nasfiah Ketua KUD Mina Sejati Desa


Limbangan Kecamatan Juntinyuat

36 Toni Hermanto Staf Dinas Perikanan dan Kelautan


Kabupaten Indramayu

37 Dulmin Syamsul Hadi Ketua Pusat Koperasi Perikanan


Indramayu

38 Drs. Wirya Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh


Indonesia Kabupaten Indramayu

39 Mukhtar Pemuda Pelopor Bidang Kelautan


Kabupaten Indramayu

40* H. R. Herbayu Ketua KUD Mina Semitra Desa


Karangsong Kecamatan Indramayu

41 Tawajud Manager KUD Niba Semitra Desa


Karangsong Kecamatan Indramayu

42 Kapleng Anggota Kelompok Petani Tambak


Desa Karangsong Kecamatan
Indramayu
43 Kadma Tokoh masyarakat Desa Brondong
Kecamatan Pasekan

44 Kamaludin Koordinator LSM KOMPI Desa


Brondong Kecamatan Pasekan

45 H. Tasman Ketua Kelompok Petani Tambak Jaka


Kencana Ds Pabean Udik Kec.
Indramayu
46 Latif Sekretaris Kelompok Petani Tambak
Jaka Kencana Ds Pabean Udik Kec.
Indramayu
47* Nano Sudarsono Anggota LSM KOMPI Desa Brondong
Kecamatan Indramayu

48 Saefudin Zuhri Sekretaris LSM KOMPI Desa Brondong


Kecamatan Indramayu

* key stakeholder

193
Lampiran 5. Daftar nama responden DEA

Pengalaman Menjadi
No. Nama Responden Alat Tangkap
Nelayan
1 H. Nasor Purse Seine 15 Tahun

2 H. Rahmat Gillnet 15 Tahun

3 Kadiran Dogol 20 Tahun

4 Tohari Jaring Klitik 20 Tahun

5 Sawidi Pancing 30 Tahun

6 Samsudin Payang 30 Tahun

7 Ipin Pukat Pantai 40 Tahun

8 Sarif Sero 30 Tahun

194
Lampiran 6 Gambar alat tangkap di Kabupaten Indramayu

Gambar Alat Tangkap Purse Seine


Sumber: Coastal Research Management Project (1998)

195
Gambar Alat Tangkap Gillnet
Sumber: Coastal Research Management Project (1998)

196
Gambar Alat Tangkap Payang
Sumber: Coastal Research Management Project (1998)

197
Gambar Alat Tangkap Dogol
Sumber: Coastal Research Management Project (1998)

198
Gambar Alat Tangkap Pukat Pantai
Sumber: Coastal Research Management Project (1998)

199
Gambar Alat Tangkap Sero
Sumber: Coastal Research Management Project (1998)

200
Gambar Alat Tangkap Pancing Rawai
Sumber: Monintja, et.al. (1992)

201
Gambar Alat Tangkap Jaring Klitik
Sumber: Monintja, et.al. (1992)

202
Lampiran . Kuisioner DEA

ALAT TANGKAP : …………………..

1 Nama : ………………… Nama Kapal : ……………………..

2 Pengalaman menjadi nelayan : …………………………..

3 Jumlah trip dalam setahun : …………………….. Kali

4 Jumlah hari dalam 1 trip operasi penangkapan : …………………… hari

5 Rata-rata produksi per 1 trip operasi penangkapan : ………………………….. Kg

6 Rata-rata penerimaan kotor (sebelum biaya) per 1 trip operasi penangkapan : Rp. ………………………

7 Rata-rata penerimaan bersi h (setelah biaya) per 1 trip operasi penangkapan : Rp. ………………………

8 Jenis perahu :
a. Perahu tanpa motor
b. Motor tempel
c. Kapal motor

9 Bobot perahu :
a. < 5 GT c. 10 - 30 GT
b. 5 - 9 GT d. > 30 GT

10 Kekuatan mesin kapal :


a. 0 - 5 PK d. 21 - 30 PK
b. 6 - 10 PK e. 31 - 100 PK
c. 11 - 20 PK f. > 100 PK
11 Istirahat panjang (tidak melaut dalam waktu lama) pada bulan : …………….. Selama ……………….. Hari / minggu / bulan

12 Jarak operasi penangkapan per trip :


a. 0 - 2 mil laut c. 5 - 12 mil laut
b. 3 - 4 mil laut d. > 12 mil laut

13 Daerah fishing ground : …………………..

14 Jumlah tenaga kerja termasuk ABK per 1 trip penangkapan : …………………….. Orang

15 Penerimaan (tangkapan rata-rata per trip)

15.A. Pada saat musim banyak ikan dalam setahun, selama ……..... bulan yaitu pada bulan ……………...
Jenis Ikan Produksi (kg) Harga per kg (Rp) Jumlah (Rp)
1.
2.
JUMLAH

16.B. Pada saat musim sedikit ikan dalam setahun, selama …………... bulan yaitu pada bulan ………………..
Jenis Ikan Produksi (kg) Harga per kg (Rp) Jumlah (Rp)
1.
2.
JUMLAH

16.C. Pada saat musim ikan biasa dalam se tahun, selama ……………..... bulan yaitu pada bulan ………………….
Jenis Ikan Produksi (kg) Harga per kg (Rp) Jumlah (Rp)
1.
2.
JUMLAH

197
17 Biaya Variabel (dalam 1 kali operasi penangkapan)
Biaya per satuan pengeluaran
Jenis Pengeluaran Jumlah pegeluaran Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
1. Solar
2. Es
3. Garam
4. Oli
5. Restribusi
6. Bekal konsumsi
7. Minyak tanah
8. Air tawar
9.
10.
JUMLAH

18 Sistem bagi hasil :


(Ceritakan sistem bagi hasil yang digunakan seperti berapa bagian / persentase untuk pemilik, nahkoda, ABK dan lain-lain. Biasanya sistem bagi
hasil merupakan hasil bersih dari penerimaan dikurangi biaya variabel) :

Penerima bagi hasil Persentase / bagian


1. Pemilik %
2. Nahkoda %
3. Juru Mesin %
4. Alat tangkap %
5. Kapal %
6. ABK (Anak Buah Kapal) % Jumlah ABK : ……………… orang
7. %
Total bagian 100 %

198
19 Biaya Tetap (dihitung per 1 tahun, misalkan perbaikan mesin setiap 3 bulan maka dikalikan 4 untuk memperoleh data 1 tahun) :
Biaya per satuan pengeluaran
Jenis Pengeluaran Jumlah pengeluaran Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
1. Perijinan
2. Perbaikan kapal
3. Perbaikan alat tangkap
4. Perbaikan mesin
5.
JUMLAH BIAYA TETAP PER TAHUN

20 Investasi
Jenis investasi Umur teknis Harga (Rp)
1. Kapal
2. Alat tangkap
3. Mesin
4.
5.
6.
TOTAL INVESTASI

199

Anda mungkin juga menyukai