Anda di halaman 1dari 83

ANALISIS RISIKO PRODUKSI DAN RISIKO HARGA CABAI

MERAH KERITING DI KABUPATEN CIANJUR

IRAWAN WIBISONYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Risiko Produksi
dan Risiko Harga Cabai Merah Keriting di Kabupaten Cianjur adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2019

Irawan Wibisonya
NIM H351150171
RINGKASAN
IRAWAN WIBISONYA. Analisis Risiko Produksi dan Risiko Harga Cabai
Merah Keriting di Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan
SITI JAHROH.

Salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi tinggi yaitu
cabai merah. Komoditas cabai telah menjadi komoditas pokok nasional dan perlu
dikembangkan. Cabai tercatat memiliki berkontribusi sebesar 6.72 persen atas
produksi sayuran Indonesia dengan total produksi 1 074 602 ton. Sehingga hal ini
perlu dilakukan pengembangan terhadap komoditas cabai agar terus meningkat.
Pengembangan yang dilakukan berdasarkan cluster yang difokuskan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan.
Salah satu persoalan pokok yang berkaitan dalam pengembangan usaha di
bidang pertanian khususnya cabai merah adalah masalah produksi. Masalah
produksi diantaranya berkenaan dengan sifat usahatani yang selalu tergantung
pada alam, didukung faktor risiko karena penggunaan pupuk kimia yang
berlebihan, sehingga produktivitas lahan rendah dan tidak stabil, bahkan hal ini
dapat menyebabkan tingginya peluang-peluang untuk terjadinya kegagalan
produksi. Keragaman dalam hasil produksi membuat harga cabai menjadi tidak
stabil, bahkan cenderung mengalami fluktuasi. Hal ini menjadikan cabai merah
tidak terlepas dari potensi risiko yang hadir dan dihadapi oleh petani, seperti
risiko produksi dan risiko harga.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor produksi yang
mempengaruhi risiko produksi cabai merah keriting, lalu tingkat risiko harga
cabai merah keriting, serta mengetahui preferensi petani dalam menghadapi risiko
produksi. Lokasi dalam penelitian ini meliputi wilayah Kecamatan Sukanagara
dan Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Sampel yang digunakan sebanyak 66
petani dengan penentuan sampel ditentukan secara purposif. Model yang
digunakan untuk menganalisis adalah model Just dan Pope dengan
mengaplikasikan model cob douglas dan dianalisis melalui analisis regresi linear
berganda, untuk tingkat risiko harga digunakan analisis varians serta analisis
fungsi utilitas untuk mengetahui preferensi petani dalam menghadapi risiko
produksi cabai merah keriting.
Faktor-faktor produksi seperti penggunaan luas lahan, benih, pupuk,
pestisida dan tenaga kerja merupakan faktor yang dapat menambah tingkat
produksi cabai merah keriting, sedangkan musim tanam merupakan faktor yang
dapat mengurangi produksi cabai merah keriting. Untuk tingkat risiko produksi,
faktor-faktor seperti luas lahan, benih, pupuk, tenaga kerja dan musim tanam
merupakan faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko produksi cabai merah
keriting. Sedangkan penggunaan pestisida mampu menjadika faktor produksi
yang mengurangi tingkat risiko produksi cabai merah keriting. Secara risiko
harga, nilai rata-rata koefisien variasi seluruh petani sampel yaitu 0.59,
menunjukkan bahwa risiko harga di tingkat petani cukup tinggi. Preferensi risiko
petani terhadap penggunaan input usahatani berupa luas lahan, pupuk, pestisida
dan tenaga kerja adalah bersifat risk taker.

Kata kunci: Cabai, Risiko, Preferensi, Just dan Pope


SUMMARY

IRAWAN WIBISONYA Analysis of Production Risk and Price Risk of Red


Curly Chili in Cianjur Regency. Supervised by ANNA FARIYANTI dan SITI
JAHROH.

One of the horticultural commodities that has high economic value is red
chili. Chili has become a national staple commodity and needs to be developed.
During chili contributed 6.72 percent to Indonesia's vegetable production with a
total production of 1 074 602 tons. So this needs to be done development of the
chili commodity so that it continues to increase. Development is based clusters
that are focused on promoting regional economic growth.
One of the main problems related to business development in agriculture is the
problem of production.
Production problems are related to the nature of farming which is always
dependent on nature, supported by risk factors due to excessive use of chemical
fertilizers, so that land productivity is low and unstable, even this can lead to high
opportunities for production failure. The diversity in production results makes
chili prices unstable, and even tends to fluctuate. This makes red peppers
inseparable from the potential risks that are present and faced by farmers, such as
production risks and price risks.
This study aims to analyze the factors of production that affect the risk of
curly red chili production, then the level of risk of curly red chili prices, and
determine the preferences of farmers in dealing with production risks. The
locations in this study include the districts of Sukanagara and Pacet, Cianjur. The
sample used was 66 farmers with the determination of the sample determined
purposively. The model used to analyze is the Just and Pope model by applying
the Cob Douglas model and analyzed through multiple linear regression analysis.
For the price risk level, variance analysis and utility function analysis are used to
determine the preferences of farmers in dealing with the risk of curly red chili
production.
Production factors such as land use, seeds, fertilizers, pesticides and labor
are factors that can increase the level of curly red chili production, while the
growing season is a factor that can reduce curly red chili production. For the level
of production risk, factors such as land area, seeds, fertilizer, labor and planting
season are factors that can increase the risk of curly red chili production. While
the use of pesticides can be a factor of production which reduces the risk of curly
red chili production. In terms of price risk, the average value of the coefficient of
variation for all sample farmers is 0.59, indicating that the price risk at the farm
level is quite high. Farmers' risk preferences for the use of farming inputs in the
form of land area, fertilizer, pesticides and labor are risk takers.

Keywords : Chili, Risk, Preference, Just and Pope


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS RISIKO PRODUKSI DAN RISIKO HARGA CABAI
MERAH KERITING DI KABUPATEN CIANJUR

IRAWAN WIBISONYA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Netti Tinaprilla MM
Judul Tesis : Analisis Risiko Produksi dan Risiko Harga Cabai Merah
Keriting di Kabupaten Cianjur
Nama : Irawan Wibisonya
NIM : H351150171

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Anna Fariyanti MSi Dr Siti Jahroh BSc MSc


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina MS Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi MEng

Tanggal Ujian: 21 Agustus 2019 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2017 ini adalah
tingkat risiko produksi dan risiko harga cabai merah keriting, dengan judul
Analisis Risiko Produksi dan Risiko Harga Cabai Merah Keriting di Kabupaten
Cianjur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti M.Si dan
Ibu Dr. Siti Jahroh B.Sc M.Sc selaku pembimbing, terima kasih pula disampaikan
kepada Bapak Dr. Ir. Suharno MAdev selaku moderator ketika penulis
melaksanakan kolokium dan juga Bapak Dr. Suprehatin SP MAB sebagai penguji
pada sidang hasil penulis, Ibu Dr. Ir. Netti Tinaprilla MM selaku penguji luar
komisi pada sidang hasil penulis, dan Ibu Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina MS selaku
ketua program studi. Serta jajaran staf pengajar di lingkungan Magister Sains
Agribisnis untuk limpahan ilmu yang diberikan dan staf pengelola jurusan
agribisnis. Selain itu kepada Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, serta
Kepala Balai Penyuluh dan jajarannya di Kecamatan Sukanagara dan Kecamatan
Pacet. Di samping itu, terima kasih juga yang sebesar-besarnya penulis sampaikan
kepada teman-teman seperjuangan di Magister Sains Agribisnis angkatan 2015
atas bantuan dan semangatnya. Serta yang tidak terlupakan, ungkapan terima
kasih juga disampaikan teruntuk Ayah, Ibu, serta seluruh keluarga, atas segala
doa, dukungan dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2019

Irawan Wibisonya
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR LAMPIRAN iii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 6
Tujuan Penelitian 9
Manfaat Penelitian 9
Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian 9
2 TINJAUAN PUSTAKA
Risiko Produksi dan Faktor-Faktor yang memengaruhinya serta
Risiko Harga 10
Preferensi Risiko Petani 12
3 KERANGKA PEMIKIRAN 13
Kerangka Pemikiran Teoritis 13
Kerangka Pemikiran Operasional 21
Hipotesis 23
4 METODE PENELITIAN 23
Lokasi Penelitian 23
Jenis dan Sumber Data 23
Metode Penentuan Sample 23
Metode Pengolahan dan Analisis Data 24
5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELTIAN 30
Gambaran Umum Kabupaten Cianjur 30
Karakteristik Petani Sampel 32
Identifikasi Risiko Produksi Cabai Merah Keriting di Kabupaten
Cianjur 38
6 HASIL DAN PEMBAHASAN 40
Analisis Risiko Produksi Cabai Merah Keriting 40
Uji Asumsi Klasik 41
Analisis Faktor-Faktor yang Memegaruhi Produksi Cabai Merah
Keriting 42
Analisis Faktor-Faktor yang Memegaruhi Risiko Produksi Cabai
Merah Keriting 46
Analisis Risiko Harga Cabai Merah Keriting 50
Preferensi Risiko Produksi Petani Cabai Merah Keriting 53
7 KESIMPULAN DAN SARAM 56
KESIMPULAN 56
SARAN 57
DAFTAR PUSTAKA 57
LAMPIRAN 62
DAFTAR TABEL

1 Perkembangan luas panen dan produksi komoditas hortikultura 1


di Indonesia tahun 2013 dan 2014
2 Total Konsumsi Cabai di Indonesia tahun 2011 sampai 2015 3
3 Produksi cabai merah keriting tahun 2014 – 2015 di Kabupaten
Cianjur 31
4 Keragaan umur petani cabai merah keriting di Kabupaten
Cianjur, tahun 2017 32
5 Keragaan tingkat pendidikan petani cabai merah keriting
di Kabupaten Cianjur tahun 2017 33
6 Pengalaman berusahatani petani cabai merah keriting
di Kabupaten Cianjur tahun 2017 34
7 Kepemilikan lahan petani cabai merah keriting di Kabupaten
Cianjur tahun 2017 35
8 Luas lahan petani cabai merah keriting di Kabupaten Cianjur
tahun 2017 35
9 Status usahatani petani cabai merah keriting di Kabupaten
Cianjur tahun 2017 36
10 Jumlah tanggungan keluarga petani cabai merah keritin
di Kabupaten Cianjur tahun 2017 36
11 Pola tanam petani cabai merah keriting di Kabupaten Cianjur
tahun 2017 37
12 Sistem pemasaran cabai merah keriting di Kabupaten Cianjur
tahun 2017 38
13 Deskripsi statistik faktor-faktor yang mempengaruhi usahatani
cabai merah keriting di Kabupaten Cianjur tahun 2017 41
14 Hasil pendugaan fungsi produksi usahatani cabai merah keriting
di Kabupaten Cianjur 42
15 Hasil pendugaan fungsi risiko produksi usahatani cabai merah
keriting di Kabupaten Cianjur tahun 2017 47
16 Pengukuran tingkat risiko harga cabai merah keriting 51
17 Preferensi risiko produksi petani cabai merah keriting
di Kabupaten Cianjur terhadap penggunaan input produksi 53
DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan produktivitas bulanan cabai merah di Indonesia 2014


sampai 2018 3
2 Perkembangan harga cabai merah keriting bulanan di Indonesia 2014
sampai 2018 5
3 Produktivitas cabe merah di Kabupaten Cianjur Januari sampai
Desember Tahun 2013 sampai 2015 7
4 Respon produktivitas terhadap penggunaan pestisida dengan
kondisi curah hujan yang berbeda 16
5 Hubungan risiko produksi, pendapatan, dan keputusan produksi 17
6 Teori utilitas dari pilihan-pilihan yang mengandung risiko 20
7 Kerangka pemikiran penelitian 22
8 Spesifikasi pola tanam petani cabai merah keriting di Kabupaten
Cianjur 37

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji asumsi klasik 62


2 Hasil regresi fungsi produksi 63
3 Hasil regresi fungsi risiko produksi 64
4 Produktivitas Hasil perhitungan AR 65
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang mempunyai
prospek untuk dikembangkan. Prospek tersebut dapat dilihat dari kontribusi
subsektor hortikultura terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dimana pada
tahun 2015 kontribusi hortikultura terhadap PDB Indonesia sebesar 11.23 persen
(BPS 2015). Subsektor hortikultura memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga
agribisnis hortikultura dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan petani mulai
dari yang berskala kecil sampai besar. Hortikultura memiliki keunggulan
dibandingkan subsektor lainnnya seperti nilai jual yang tinggi, keragaman jenis,
dan potensi serapan pasar domestik dan dunia yang terus meningkat.
Namun, potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena
agribisnis hortikultura masih menghadapi beberapa permasalahan. Beberapa
faktor yang menghambat pengembangannya, antara lain rendahnya produktivitas,
lokasi yang terpencar, skala usaha yang sempit dan belum efisien, serta kurangnya
dukungan kebijakan dan regulasi di bidang perbankan, transportasi dan
perdagangan. Kondisi tersebut menyebabkan daya saing komoditas-komoditas
hortikultura nasional relatif kurang jika dibandingkan dengan negara lain. Hal ini
juga terlihat semakin banyaknya produk komoditas hortikultura impor yang
tersebar di pasar domestik.
Subsektor hortikultura yang terdiri dari komoditas sayuran, buah-buahan,
tanaman hias, dan tanaman obat, terus mengalami perkembangan. Berdasarkan
Tabel 1 tercatat laju pertumbuhan produktivitas komoditas sayuran mengalami
pertumbuhan yang positif. Namun, laju pertumbuhan komoditas sayuran ini
mengalami perkembangan yang terkecil dibandingkan komoditas lainnya. Hal ini
dikarenakan pertumbuhan produktivitas sayuran hanya sebesar 0.8 persen lebih
rendah dari komoditas lainnya. Selain itu, pertumbuhan luas lahan jauh lebih
besar yakni 2.3 persen dibandingkan dengan pertumbuhan produksinya sebesar
0.3 persen.

Tabel 1 Perkembangan luas panen dan produksi komoditas hortikultura di


Indonesia tahun 2013 dan 2014
Luas lahan Produksi (ton) Produktivitas Per
Tumb
Komoditas 2013 2014 2013 2014 2013 2014 uhan
1 099 1 125 11 558 11 918
Sayuran 846 063 449 571 10.51 10.59 0.8%
829 18 288 19 805
Buah-buahan 563 873 833 279 976 22.05 22.67 2.8%
Tanaman
Hias Bunga
Potong* 1 940 1 809 684 098 740 892 352.63 409.56 16.1%
Tanaman
Biofarmaka 20 963 22 035 453 206 484 012 21.62 21.97 1.6%
Ket: * tangkai
Sumber : Kementerian Pertanian (2015)
2

Komoditas sayur-sayuran merupakan komoditas hortikultura yang telah


mampu berkontribusi bagi pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, seperti pemenuhan gizi masyarakat sebagai pelengkap
makanan empat sehat lima sempurna, komoditas ini juga sangat potensial dan
prospektif untuk diusahakan karena metode pembudidayaan cenderung mudah
dan sederhana. Kegiatan usahatani sayur-sayuran juga berperan besar dalam
peningkatan pendapatan masyarakat, hal ini dikarenakan komoditas tersebut
memiliki nilai komersial yang cukup tinggi dibandingkan dengan komoditas yang
lainnya. Selain sebagai komoditas unggulan, komoditas sayuran juga berperan
sebagai sumber gizi masyarakat, penghasil devisa negara, penunjang kegiatan
agrowisata dan agroindustri.
Cabai (Capsicum annuum L) termasuk salah satu komoditas sayuran yang
mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena peranannya yang cukup
besar untuk memenuhi kebutuhan domestik serta komoditas ekspor dan industri
pangan (Hartuti dan Sinaga 1997). Kebutuhan cabai untuk kota besar yang
berpenduduk satu juta atau lebih sekitar 800 000 ton/tahun atau 66 000 ton/bulan.
Pada musim hari besar keagamaan, kebutuhan cabai biasanya meningkat sekitar
10 sampai 20 persen dari kebutuhan normal. Untuk memenuhi kebutuhan bulanan
masyarakat perkotaan diperlukan luas panen cabai sekitar 11 000 ha/bulan,
sedangkan pada musim hari besar keagamaan luas area panen cabai yang harus
tersedia berkisar antara 12 100-13 300 ha/bulan. Belum lagi kebutuhan cabai
untuk masyarakat pedesaan atau kota-kota kecil serta untuk bahan baku olahan.
Selama 2016 volume ekspor cabai ke beberapa negara mencapai 433 828 ton dan
nilai ekspor US$ 587 079 (Kementerian Pertanian 2016). Untuk memenuhi
seluruh kebutuhan cabai tersebut diperlukan pasokan cabai yang mencukupi.
Apabila pasokan cabai kurang atau lebih rendah dari konsumsi maka akan terjadi
kenaikan harga. Sebaliknya apabila pasokan cabai melebihi kebutuhan maka
harga akan turun.
Pada tahun 2014 komoditas cabai telah menjadi komoditas pokok nasional
dan perlu dikembangkan. Selama 2014 cabai berkontribusi sebesar 6.72 persen
atas produksi sayuran Indonesia dengan total produksi 1 074 602 ton. Sehingga
hal ini perlu dilakukan pengembangan terhadap komoditas cabai agar terus
meningkat. Pengembangan yang dilakukan berdasarkan cluster yang difokuskan
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan. Salah satu sasaran
pengembangan yang perlu dilakukan diutamakan untuk peningkatan ekspor
(Kementerian Pertanian 2015). Hal ini dikarenakan peluang ekspor untuk
komoditas cabai merah yang masih belum optimal.
Salah satu jenis cabai yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah jenis
cabai merah. pada tabel 2 terlihat bahwa selama 2011 sampai 2015 total konsumsi
cabai merah di Indonesia mencapai 7.57 kg/kapita lebih besar bila dibandingkan
cabai rawit sebesar 6.46 kg/kapita dan cabai hijau yang sebesar 1.07 kg/kapita.
Cabai merah banyak dikonsumsi masyarakat baik untuk dikonsumsi rumah tangga
maupun industri makanan. Hal ini menjadi penting selain potensi cabai merah
yang memiliki prospek yang cerah namun disisi lain perlu untuk bagaimana dapat
menstabilkan pasokan cabai merah agar dapat tetap mudah dikonsumsi
masyarakat.
3

Tabel 2 Total konsumsi cabai di Indonesia tahun 2011 sampai 2015


Konsumsi (Kg/Kapita/Tahun)
Jenis Cabai Rata-rata
2011 2012 2013 2014 2015
Cabai Merah 1.49 1.65 1.42 1.46 1.53 1.51
Cabai Hijau 0.26 0.21 0.19 0.21 0.19 0.21
Cabe Rawit 1.21 1.40 1.27 1.26 1.31 1.29
Sumber : Kementerian Pertanian 2016

Kontribusi produksi cabai merah Indonesia lebih didominasi oleh produksi


dari pulau Jawa. Pada tahun 1980 sampai 2015 produksi cabai di Jawa mencapai
57.21 persen dari total produksi cabai Indonesia, sedangkan Luar Jawa sebesar
42.79 persen. Berdasarkan rata-rata produksi tahun 2011 sampai 2015, Jawa Barat
memberikan kontribusi sebesar 22.95 persen terhadap total produksi cabai merah
Indonesia, Sumatera Utara 17.94 persen, Jawa Tengah 14.68 persen, Jawa Timur
9.59 persen, Sumatera Barat 5.83 persen, Aceh 4.56 persen dan Bengkulu sebesar
3.77 persen (Kementerian Pertanian 2016).
Salah satu persoalan pokok yang berkaitan dalam pengembangan usaha di
bidang pertanian adalah masalah produksi. Masalah produksi diantaranya
berkenaan dengan sifat usahatani yang selalu tergantung pada alam, didukung
faktor risiko karena penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, sehingga
produktivitas lahan rendah dan tidak stabil, bahkan hal ini dapat menyebabkan
tingginya peluang-peluang untuk terjadinya kegagalan produksi.
Petani dalam setiap memulai kegiatan produksinya senantiasa dihadapkan
dengan pengambilan keputusan dalam penggunaan input-input produksi.
Penggunaan input oleh petani dalam kegiatan produksi akan berpengaruh terhadap
jumlah produksi yang dihasilkan. Keengganan petani untuk mengalokasikan input
sesuai dengan rekomendasi disebabkan oleh ketakutan terhadap risiko produksi
dan selanjutnya dapat menyebabkan petani berproduksi secara tidak efisien (Ellis
1988).
ton/ha
4.1
4.0
3.9
2014
3.8
2015
3.7
2016
3.6
2017
3.5
2018
3.4
3.3
3.2

Gambar 1 Perkembangan produktivitas bulanan cabai merah di Indonesia 2014


sampai 2018
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2019)
4

Perkembangan produktivitas cabai merah di Indonesia dalam waktu 5 tahun


terakhir dalam tiap bulannya cenderung mengalami fluktuasi. Hal ini terlihat dari
pergerakan produktivitas cabai merah pada Gambar 1. Fluktuasi produktivitas
cabai merah ini dapat mengindikasikan adanya gap produksi cabai merah yang
merupakan ciri dari risiko produksi cabai merah di Indonesia. Risiko produksi
pada cabai merah dapat berasal dari berbagai sumber seperti iklim, sumber daya
manusia, hama dan penyakit, serta lainnya, yang secara menyeluruh dapat
memberikan dampak kerugian bagi petani. Dampak dari risiko produksi dapat
berupa penurunan kualitas cabai merah ataupun penurunan jumlah produksi.
Risiko dalam produksi cabai merah tersebut dapat terjadi pada semua wilayah
produksi, terutama daerah sentra produksi cabai merah.
Salah satu risiko dalam produksi yang bersumber dari eksternal dan sulit
diperkirakan adalah iklim. Terjadinya perubahan iklim yang ekstrim berdampak
cukup besar terhadap tanaman semusim. Salah satu unsur cuaca yang dapat
digunakan sebagai indikator dalam kaitannya dengan tanaman adalah curah hujan.
Mengingat curah hujan merupakan unsur iklim yang fluktuasinya tinggi dan
pengaruhnya terhadap produksi tanaman cukup signifikan. Jumlah curah hujan
secara keseluruhan sangat penting dalam menentukan hasil produksi pertanian
(Anwar et al. 2015). Kejadian iklim ekstrim La-Nina atau curah hujan hampir
sepanjang tahun selama tahun 2010 telah menyebabkan menurunnya produksi
berbagai komoditas hortikultura, baik kuantitats maupun kualitas. Produksi
mangga, apel, pisang, dan jeruk turun 20-25 persen, manggis 15-20 persen,
beberapa jenis tanaman sayuran 20-25 persen, dan pada tanaman hias sangat
beragam (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2010).
Disisi lain, komoditas cabai merah tergolong mempunyai nilai ekonomi
yang tinggi, namun komoditas cabai merah menuntut pengelolaan usahatani
secara intensif, memiliki risiko gagal panen tinggi dan produktivitas yang jatuh,
dan memiliki karakteristik mudah rusak (perishable) sehingga dapat berdampak
terhadap produksi dan pendapatan petani. Dalam pengembangan usaha
budidayanya komoditas cabai merah sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik
faktor yang dapat dikendalikan petani yang sifatnya internal maupun faktor yang
tidak dapat dikendalikan petani yang sifatnya eksternal. Ketika menjelang musim
panen raya dan terjadi intensitas hujan yang tinggi maka produksi dan kualitas
cabai merah mengalami penurunan. Terjadinya serangan organisme pengganggu
tanaman (OPT) dan intensitas hujan yang tinggi menjelang musim panen
merupakan risiko produksi yang harus dihadapi petani, karena terjadinya serangan
OPT dan intensitas hujan tidak dapat diduga pada saat awal musim tanam.
Seiring dengan adanya fluktuasi pada produksi cabai merah, membuat
supply cabai merah menjadi beragam tiap waktunya. Ditingkat nasional cabai
merah tercatat komoditas yang menyumbang cuku tinggi terhadap kenaikan
inflasi nasional. Inflasi yang diakibatkan dari pergerakan harga cabai merah (BPS
2019) tercatat sebesar 0.22. Pemerintah dengan kebijakannya telah mengantisipasi
mengenai hal ini melalui Bank Indonesia dengan pembentukan Tim Pengendalian
Inflasi Daerah (TPID), lalu pembentukan beberapa kawasan pengembangan cabai
dengan penentuan petani champion di dalamnya. Namun belum tersosialisasi
dengan baik di tingkat daerah.
5

Fluktuasi harga yang terjadi membuat timbulnya risiko harga untuk


komoditas cabai merah ditingkat petani. Petani juga dihadapkan dengan masalah
terhadap risiko harga. Masalah yang terjadi pada petani berupa harga jual sayuran
yang berfluktuasi atau tidak selalu stabil setiap waktunya. Petani dalam setiap
memulai kegiatan usahataninya selalu tidak mengetahui berapa harga jual cabai
yang akan didapat ketika musim panen tiba. Artinya keputusan petani dalam
melakukan usahatani cabai tanpa didasarkan kepastian harga jual akan datang. Hal
ini menyebabkan timbulnya kesenjangan terhadap pendapatan aktual dan
pendapatan yang diharapkan petani.
75000
65000
55000
2014
45000
2015
35000 2016
25000 2017
15000 2018

Gambar 2 Perkembangan harga cabai merah keriting eceran dalam bulanan di


Indonesia 2014 sampai 2018
Sumber: Kementerian Pertanian (2019)

Bila melihat perkembangan harga cabai Indonesia di tinkat eceran dari


tahun 2014 sampai 2018 secara bulanan terlihat mengalami fluktuasi. Dari
Gambar 2 terlihat bahwa kenaikanuntuk harga cabai cenderung terjadi Januari
hingga April serta Oktober hingga Desember. Selain karena faktor kesediaan,
kenaikan yang terjadi pada bulan-bulan tertentu merupakan indikasi dari
banyaknya permintaan terhadap komoditas cabai pada waktu tertentu seperti hari
besar keagamaan. Fluktuasi yang terjadi pada harga cabai merah tersebut juga
berkaitan dengan fluktuasi yang terjadi pada produksi cabai merah, baik itu harga
jual produsen maupun harga beli konsumen. Fluktuasi pada harga cabai merah
terjadi tiap bulan, minggu bahkan tiap hari. Ketersediaan cabai merah di pasar
akan berpengaruh terhadap tingkat harga cabai merah yang terjadi di pasar.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas menunjukkan perlunya menganalisis
risiko produksi dan harga cabai merah sebagai komoditas strategis. Selain itu
perlu juga dilakukan analisis mengenai preferensi risiko petani dalam menghadapi
risiko yang ada. Hal ini dikarenakan petani setiap melakukan kegiatan
usahataninya selalu dihadapkan terhadap adanya risiko produksi dan risiko harga,
namun petani selalu memutuskan untuk tetap berusahatani cabai merah. Karena
dalam setiap keiatan usahataninya petani juga dihadapkan dengan kepuasan
terhadap apa yang didapatkan, dalam hal ini keuntungan dari usahataninya,
membuat petani berdasarkan kepuasannya mampu membentuk keputusan untuk
usahatani berikutnya. Sehingga perlu dilihat bagaimana prefrensi petani terhadap
risiko yang dihadapinya.
6

Perumusan Masalah

Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi sentra cabai merah terbesar di


Indonesia dengan nilai produksi 22.95 persen pada tahun 2015. Jawa Barat dinilai
mampu menghasilkan produksi yang meningkat dari tahun ke tahun dengan nilai
pertumbuhan produksi sebesar 0.95 persen. Potensi akan cabai merah di Provinsi
Jawa Barat menjadikan peluang pengembangan budidaya cabai dan meninkatkan
kontribusi terhadap produksi cabai merah di Indonesia.
Pertumbuhan produktivitas sangat berpengaruh terhadap tingkat produksi di
masing-masing sentra Jawa Barat. Kabupaten Cianjur merupakan salah satu sentra
produksi cabai merah di Provinsi Jawa Barat yang memiliki rata-rata pertumbuhan
produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Hal ini
menjadikan Kabupaten Cianjur memiliki potensi besar untuk produksi cabai
besar. Kabupaten Cianjur mampu memiliki rata-rata pertumbuhan produktivitas
sebesar 18.80 persen dari tahun 2011 hingga 2015. Hal ini mengindikasikan
bahwa selama 5 tahun terakhir Kabupaten Cianjur mampu memperbaiki sistem
produktivitas cabai merah dan menyumbang sebesar 25.84 persen produksi cabe
merah untuk Jawa Barat (Kementerian Pertanian 2016).
Kecamatan Sukanagara merupakan sentra tanaman cabai merah di
Kabupaten Cianjur. Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Kabupaten Cianjur 2016, kecamatan Sukanagara menyumbang 25.44 persen dari
total produksi cabai merah di Kabupaten Cianjur. Hal ini mengindikasikan bahwa
produksi cabai merah di Kabupaten Cianjur sangat bergantung pada budidaya
cabai merah di Kecamatan Sukanegara.
Sebagian besar petani cabai merah di Kabupaten Cianjur merupakan petani
cabai merah dengan skala kecil serta masih tradisional, hal ini dilihat dari kegiatan
produksi yang dilakukan secara tradisional. Keberhasilan dalam pemberdayaan
pertanian skala kecil akan berdampak pada pembangunan dari eksistensi pertanian
itu sendiri karena dapat berimplikasi langsung pada ketahanan pangan,
pengentasan kemiskinan, penyerapan tenaga kerja, dan sosial budaya suatu
bangsa.
Budidaya tanaman cabai merah dihadapkan pada risiko produksi yang relatif
tinggi. Risiko produksi ditandai dengan terjadinya fluktuasi hasil produksi pada
tanaman yang dibudidayakan. Risiko produksi terdiri dari risiko yang bersumber
dari faktor internal dan faktor eksternal. Kendala interal yang terjadi berupa
berbagai penggunaan input yang tidak sesuai kebutuhan, seperti penggunaan
pupuk, bibit, fungisida, tenaga kerja, rentannya terhadap serangan hama serta
penyakit tanaman. Kendala eksternal dapat berupa cuaca serta iklim yang
berubah-ubah.
Salah satu penanda terjadinya risiko produksi adalah adanya gap
produktivitas cabai merah dari tahun ketahun. Berdasarkan Gambar 3 dapat
diindikasikan terjadinya fluktuasi produktivitas dari bulan januari hingga
desember 2015. Produktivitas cabai merah di Kabupaten Cianjur terlihat fluktuasi
selang waktu pada bulan maret hingga oktober tahun 2015. Beberapa penyebab
fluktuasinya produktifitas cabai merah dikarenakan serangan hama dan penyakit
yang menyerang tanaman cabai merah serta curah hujan yang terlalu tinggi. Hama
dan penyakit tersebut mengalami peningkatan saat memasuki musim penghujan.
Timbulnya hama dan penyakit tentu menjadikan kendala dalam kegiatan produksi
7

petanian, hal ini dikarenakan hama dan penyakit merupakan sumber risiko
tertinggi dalam produksi (Tamandala 2013). Penggunaan input yang tidak sesuai
dengan standar yang dianjurkan dapat juga memengaruhi hasil panen yang
diperoleh. Jumlah dan jenis input yang digunakan petani akan memengaruhi risiko
produksi yang dihadapi oleh petani, hal ini dikarenakan penggunaan input
usahatani bisa bersifat sebagai pengurang risiko atau meningkatkan risiko
produksi.
ton/ha
15
14
13
12
11
10
9 2015
8 2014
7
6 2013
5

Gambar 3 Produktivitas cabe merah di Kabupaten Cianjur Januari


sampaiDesember tahun 2013 sampai 2015
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab Cianjur (2016)

Faktor cuaca sangat memengaruhi produksi hasil pertanian, yang sifatnya


tidak terlepas dan sangat bergantung pada alam. Hal tersebut juga terjadi pada
komoditas cabai merah. Cabai merah merupakan salah satu tanaman yang rentan
dengan cuaca khususnya curah hujan berlebihan. Pada musim hujan kandungan
air pada tanah cendrung meningkat, selain itu keberadaan hama dan penyakit pada
tanaman cabai merah meningkat pada saat musim hujan berkepanjangan serta
cuaca ekstrim. Hasil penelitian Maulidah et al. (2012) dalam menemukan bahwa
iklim yang beragam sangat berpengaruh terhadap jumlah produksi cabai di Jawa
Timur, curah hujan yang tinggi menyebabkan produksi cabe menurun selang
waktu 2009 sampai 2010 sebesar 49.72 persen.
Disisi lain, fluktuasi produktivitas usahatani menunjukan bahwa usahatani
cabai merah di Kabupaten Cianjur mempunyai risiko produksi. Namun dengan
adanya risiko produksi tersebut, tidak membuat petani meninggalkan
usahataninya. Hal ini karena bertani juga merupakan salah satu budaya mata
pencaharian daerah setempat. Hal ini menjadi penting untuk dikaji mengenai
preferensi petani dalam menghadapi risiko produksi usahatani cabai merah. Sikap
petani terhadap risiko berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam
mengalokasikan faktor-faktor produksi. Tenaga kerja dapat menjadi pengurang
risiko (Fauziyah 2010; Qomaria 2011; dan Nurhapsa 2013) dan dapat menjadi
penambah risiko (Fariyanti 2008; Tiedeman dan Lohmann, 2012; Villano dan
Fleming 2006). Luas lahan dapat menjadi faktor pengurang risiko (Fariyanti
2008) dan dapat juga menjadi penambah risiko (Villano dan Fleming 2006;
Tiedeman dan Lohmann 2012 ). Pupuk dapat menjadi pengurang risiko (Guan dan
Wu 2009) dan dapat menjadi penambah risiko (Villano dan Fleming 2006;
8

Rahayu 2011). Bibit dapat menjadi pengurang risiko (Edeman dan Lohmann
2012; Fariyanti 2008) dan juga apat menjadi penambah risiko (Nurhapsa 2013;
Qomaria 2011). Pestisida dapat menjadi pengurang risiko (Fauziyah 2010;
Rahayu 2010) dan dapat menjadi penambah risiko (Qomaria 2011).
Selain kendala produksi, petani juga seringkali mengalami kendala lain
berupa harga jual cabai merah yang berfluktuasi atau tidak selalu stabil.
Perkembangan harga cabai senantiasa mengalami perubahan yang cenderung
tidak stabil disetiap waktunya, hal ini membuat harga cabai selalu berfluktuasi.
Fluktuasi bisa terjadi karena kondisi pendapatan dan penawaran di pasar, sehingga
pada kondisi tertentu harga sayuran bisa sangat tinggi dan bisa juga sangat rendah.
Fluktuasi yang terjadi tersebut tentunya akan memengaruhi terhadap tingkat
pendapatan petani. Fariyanti (2008) menyebutkan adanya risiko harga
menyebabkan penurunan tingkat pendapatan usahatani petani.
Dalam analisis risiko produksi, perlu juga dilakukan analisis mengenai
preferensi petani dalam menghadapi risiko karena pengetahuan akan preferensi
tersebut dapat memberikan dasar pemahaman bagi petani tentang permasalahan
produktivitas usahatani. Disamping itu Kumbhakar (2002) mengungkapkan
bahwa mengabaikan keberadaan risiko dan preferensi risiko akan menimbulkan
bias terhadap estimasi parameter-parameter produksi, dan efisiensi teknis
sehingga akan menimbulkan kesalahan penafsiran terhadap fenomena terjadinya
penurunan produktivitas.
Preferensi petani dalam menghadapi risiko produksi akan memengaruhi
keputusan petani mengenai seberapa besar alokasi input-input produksi yang akan
digunakan dalam kegiatan usahatani cabai merah. Petani dalam mengahadapi
risiko produksi dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu perilaku
menghindari risiko produksi (risk averse), netral terhadap risiko produksi (risk
neutral), dan perilaku berani mengambil risiko produksi (risk taker) (Kumbhakar
2002). Ellis (1988) mengemukakan bahwa sebagian besar petani kecil di
kebanyakan negara berkembang berperilaku menghindari risiko produksi (risk
averse).
Preferensi petani menghindari risiko produksi menyebabkan alokasi
penggunaan input tidak efisien, sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap
tingkat produktivitas usahatani. Jumlah input produksi yang digunakan oleh petani
yang berperilaku sebagai penghindar risiko produksi (risk averse) akan berbeda
dengan jumlah input yang dialokasikan oleh petani yang berperilaku sebagai
berani mengambil risiko produksi (risk taker) (Ellis 1988). Selanjutnya perilaku
petani dalam menghadapi risiko produksi cabai merah erat kaitanya dengan latar
belakang sosial ekonomi petani, sehingga latar belakang sosial ekonomi petani
mampu membentuk sikap petani dalam menghadapi adanya risiko produksi cabai
merah.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan
usahatani cabai merah keriting terdapat risiko produksi yang diduga dipengaruhi
oleh faktor eksternal yaitu curah hujan berlebihan, serta penyakit dimana pada
satu musim terakhir tanaman cabai merah banyak yang terserang penyakit patek
yang keduanya mengakibatkan penurunan produksi cabai merah di Kabupaten
Cianjur dan faktor internal yaitu penggunaan input produksi. Beberapa petani
beralih menanam cabai besar namun ada juga petani yang tetap menanam cabai
merah. Disisi lain, adanya risiko produksi akan berdampak pada pendapatan
9

usahatani cabai merah. Namun hal ini tidak menjadikan petani cabai merah di
Kabupaten Cianjur meninggalkan usahatani tersebut. Beberapa petani memilih
penggunaan teknologi berupa benih unggul dalam kegiatan budidayanya dengan
harapan tingkat produksi yang lebih tinggi. Sehingga dirumuskan permasalahan
yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu :
1. Faktor apa saja yang memengaruhi risiko produksi cabai merah keriting?
2. Seberapa besar tingkat risiko harga pada petani cabai merah keriting?
3. Bagaimanakah preferensi petani cabai merah keriting dalam menghadapi
risiko?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan,


maka tujuan dari penelitian ini adalah
1. Menentukan faktor-faktor yang memengaruhi risiko produksi cabai merah
keriting di Kabupaten Cianjur
2. Mengukur tingkat risiko harga yang dihadapi petani cabai merah keriting di
Kabupaten Cianjur
3. Menentukan preferensi petani dalam menghadapi risiko cabai merah keriting
di Kabupaten Cianjur

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana preferensi petani


dalam menghadapi adanya risiko sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi
petani dalam mengalokasikan input faktor produksi secara efisien agar diperoleh
pendapatan yang maksimal dan bisa meminimalkan risiko. Serta diharapkan dapat
berguna bagi pemerintah atau lembaga dalam menentukan kebijakan untuk
pengembangan usahatani cabai merah keriting.

Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dibatasi Kecamatan Sukanagara dan Kecamatan Pacet,


Kabupaten Cianjur sehingga berdasarkan tujuan yang ingin dicapai maka yang
menjadi objek dalam penelitian ini adalah petani cabai dengan spesifikikasi jenis
merah keriting yang berada di wilayah tersebut. Penelitian ini menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi risiko produksi, tingkat risiko harga dan
preferensi petani dalam menghadapi risiko. Periode produksi yang dianalisis
hanya satu periode terakhir. Hal ini dilakukan karena pada umumnya informasi
penggunaan sarana produksi dan hasil produksi masih diingat oleh petani.
10

2 TINJAUAN PUSTAKA

Risiko Produksi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhinya serta Tingkat


Risiko Harga

Setiap kegiatan usaha tani yang dilakukan oleh petani seringkali dihadapkan
pada kemungkinan adanya risiko. Risiko yang sering terjadi disebabkan oleh
faktor eksternal dimana kegiatan budidaya usaha tani yang masih bergantung pada
kondisi alam sepenuhnya seperti iklim, curah hujan, hama, dan penyakit, serta
bencana alam. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian (Bachus et al. 1997) bahwa
keadaan alam yang dihadapi petani, bisa dikatakan sebuah risiko apabila dapat
diketahui kemungkinan terjadinya serta kemungkinan hasil yang diperoleh. Selain
itu, risiko juga disebabkan oleh faktor internal seperti penggunaan berbagai input
produksi yang tidak sesuai anjuran. Penggunaan berbagai input produksi sebagai
awal dalam proses kegiatan produksi menjadi pertimbangan penting dalam
menghadapi risiko. Dampak input produksi yang diberikan dapat mengurangi
risiko produksi maupun menambah risiko produksi. Dengan adanya gambaran
mengenai input-input produksi mana yang meningkatkan risiko dan yang
mengurangi risiko akan membantu petani dalam manajemen risiko produksi untuk
mencapai produksi dan produktivitas yang optimum. Robison dan Barry (1987)
menyatakan bahwa penggunaan input juga berpengaruh pada risiko produksi yang
dihadapi oleh pengambil keputusan. Input produksi yang secara langsung dapat
memengaruhi adanya risiko antara lain tenaga kerja, luas lahan, jumlah pupuk,
serta penggunaan bibit.
Tenaga kerja memiliki peranan penting dalam proses kegiatan produksi.
Keberadaan tenaga kera terampil dapat memberikan dampak positif yakni dapat
mengurangi adanya risiko, disisi lain tenaga kerja yang tidak terampil akan
membuat risiko produksi semakin meningkat. Dalam penelitiannya (Fariyanti
2008; Tiedeman dan Lohmann 2012; Villano dan Fleming 2006) menyatakan
bahwa tenaga kerja merupakan input yang meningkatkan risiko produksi. Namun
hal ini berbeda dengan apa yang didapat oleh (Namun Fauziyah 2010; Qomaria
2011; dan Nurhapsa 2013) dimana menurut hasil penelitian yang diperoleh
menemukan bahwa input tenaga kerja dapat mengurangi risiko.
Lahan dalam kegiatan usahatani merupakan unsur terpenting sekaligus
modal awal dalam memulai kegiatan produksi. Besaran luas lahan dapat
mepengaruhi tingkat produksi yang dihasilkan. Beberapa studi dilakukan untuk
melihat pengaruh besaran luas lahan terhadap tingkatan risiko produksi yang
dihasilkan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa besaran luas lahan (Villano
dan Fleming 2006; Tiedeman dan Lohmann 2012) dapat meningkatkan risiko
produksi. Hal ini dikarenakan semakin besar luas lahan yang digunakan maka
risiko yang akan ditimbulkan akan seakin tinggi dan bertambah. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Guan dan Wu (2009) yang menemukan bahwa
skala usaha yang lebih besar dapat meningkatkan risiko produksi petani di
Belanda. Namun untuk kasus Indonesia Fariyanti (2008) menemukan hasil yang
berbeda dimana luas lahan merupakan input yang mengurangi risiko produksi
pada komoditas kentang.
11

Penggunaan pupuk pada kegiatan usahatani umum digunakan dalam


mengoptimalkan hasil produksi. Pemberian pupuk pada tanaman haruslah sesuai
standar dan kebutuhan tanaman tersebut. Dalam kaitanya risiko produksi,
penggunaan pupuk dapat mengurangi tingkat risiko produksi, hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Guan dan Wu (2009) dimana pupuk
merupakan input yang mengurangi risiko produksi. Berbeda dengan hasil yang
didapat oleh Guan dan Wu, menurut (Villano dan Fleming 2006; Rahayu 2011)
menyatakan bahwa pupuk merupakan input yang meningkatkan risiko produksi.
Saptana (2011) menyebutkan bahwa pupuk ZPT dan pupuk K2O bersifat
meningkatkan risiko produksi cabai merah. Sedangkan Hidayati (2016)
menyebutkan bahwa pupuk kandang, pupuk kompos, dan pupuk nabati bersifat
menurunkan risiko produksi kubis organik.
Obat-obatan dalam budidaya berperan penting untuk membasmi hama yang
timbul selama proses produksi. Fariyanti (2008) menyatakan bahwa obat-obatan
dapat mengurangi risiko produksi kentang. Fauziyah (2010) menemukan bahwa
pestisida dan fungisida merupakan input yang mengurangi risiko. Begitu juga
Rahayu (2010) menyatakan bahwa pestisida dapat mengurangi risiko produksi.
Namun, Qomaria (2011) menemukan hasil yang berbeda dimana pestisida
merupakan input yang meningkatkan risiko produksi.
Selanjutnya, penggunaan bibit diduga juga berpengaruh terhadap tingkatan
risiko produksi yang dihasilkan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh (Tiedeman
dan Lohmann 2012) menyatakan bahwa bibit merupakan input yang dapat
mengurangi risiko produksi. Namun, Nurhapsa (2013) dan Qomaria (2011)
menemukan hasil yang berbeda dimana bibit merupakan input yang meningkatkan
risiko.
Hutabarat dalam Fariyanti (2008) menunjukkan bahwa pada musim hujan
input benih, pupuk nitrogen, pupuk phospor, kepemilikan lahan dan insektisida
merupakan faktor yang menyebabkan risiko. Sedangkan Budiman dalam Fauziyah
(2010) menambahkan benih, pupuk nitrogen, pospat, dan luas areal lahan bersifat
sebagai peningkat risiko.
Fariyanti (2018), risiko harga memengaruhi dalam penggunaan luas lahan
garapan, dan ekspektasi harga akan memengaruhi penggunaan benih dan pupuk
N. Sikap rumah tangga petani kentang dengan memperhatikan parameter variasi
harga termasuk dalam golongan risk neutral. Broll et al. (2012), dalam
penelitiannya mengungkapkan bahwa ekonomi, petani, dan perusahaan agribisnis
mempunyai tingkatan risiko yang tinggi karena faktor terbaru dari kepastian
seperti volatilitas harga input dan ouput yang lebih besar, perubahan cuaca,
pembatasan perdagangan internasional, dan standar keamanan pangan yang lebih
ketat. Peneliti menguji mengenai pengelolaan risiko secara optimal terhadap
keputusan dari petani yang termasuk dalam golongan risk averse terlihat adanya
sumberdaya ganda dari harga komoditi yang tidak pasti.
Sehingga dari uraian tersebut didapat bahwa input yang digunakan petani
akan memengaruhi risiko produksi yang dihadapi petani. Selain itu, dari berbagai
penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa input usahatani dapat bersifat
mengurangi risiko (risk decreasing) atau memperbesar risiko (risk increasing).
12

Preferensi Risiko Petani


Petani dalam setiap kegiatan usahataninya memiliki preferensi yang
berbeda-beda dalam menghadapi risiko. Ada petani yang suka terhadap risiko
(risk taker), ada yang netral terhadap risiko (risk neutral), dan ada juga yang
bersifat menghindari risiko (risk averse). Ellis (1988) dan Rieger et al. (2013)
mengemukakan bahwa petani kecil pada umumnya bersifat risk averse. Petani
kecil yang bersifat risk averse akan lebih terhambat dalam proses adopsi inovasi
yang mampu meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Menganalisis preferensi
petani dalam menghadapi risiko sangat penting untuk memahami keputusan
manajerial mereka. Petani-petani membuat keputusan manajerial lebih didasarkan
pada tujuan untuk menurunkan risiko walaupun pendapatannya lebih rendah.
Artinya petani-petani perlu difasilitasi dan diberikan jaminan atau asuransi pada
usahataninya (Binici et al. 2003).
Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa petani pada umumnya
memilih sebagai penghindar risiko (Binswanger 1980; Dillon dan Scandizzo
1978). Preferensi tersebut mengindikasikan bahwa petani memperhitungkan
secara matang dalam setiap awal memulai usaha taninya, hal ini dikarenakan agar
dapat memberikan rasa aman walaupun harus mengorbankan sebagian
pendapatannya. Penelitian tentang perilaku risiko produksi juga telah dilakukan
oleh Roger dan Engler (2008) menurut hasil penelitian mereka keputusan-
keputusan petani sebagain besar dipengaruhi oleh risiko dan pilihan risiko.
Penelitian mengenai preferensi risiko petani juga telah dilakukan di
beberapa negara. Penelitian yang dilakukan oleh Dadzie dan Acquah (2012) di
Ghana menemukan bahwa sebagian besar yakni 67.5 persen petani tanaman
pangan memiliki sikap menghindari risiko (risk averse) dan hanya 10 persen yang
memiliki sikap berani mengambil risiko. Guan dan Wu (2009) menyatakan bahwa
temuan empiris menunjukkan petani di Belanda bersifat risk averse. Ghartey et al.
(2014) menemukan bahwa baik petani miskin maupun petani kaya di Ghana
sebesar 82 persen bersifat risk averse. Lebih lanjut, Villano et al. (2005) juga
mendapati hal yang sama, dimana preferensi risiko petani padi lahan tadah hujan
di Philippina bersifat risk averse.
Preferensi risiko petani di Nigeria menurut hasil penelitian didapat lebih
bervariasi. Menurut Ayinde et al. (2008) Preferensi risiko petani di Kwara State
berbeda-beda ada petani yang menyukai terhadap adanya risiko, netral terhadap
risiko dan takut terhadap risiko. Petani yang skala usahataninya kecil, tidak
semuanya takut terhadap risiko. Aye dan Oji (2004) yang menyatakan bahwa
Pertanian di Nigeria Sebagian besar petani yakni sebanyak 71.7 persen termasuk
dalam kategori risk averse.
Beberapa penelitian mengenai preferensi risiko petani juga telah dilakukan
di Indonesia, dimana hasilnya ditemukan bahwa petani umumnya pada umumnya
bersifat risk averse. Rahayu (2011) menemukan bahwa sebagian besar petani padi
organik di Kabupaten Sragen bersifat risk averse. Selain itu ditemukan bahwa
petani yang memiliki pendapatan dari luar usahatani padi akan bersifat risk taker
dan petani dengan status lahan milik sendiri akan lebih berani dalam menghadapi
risiko produksi. Fariyanti (2008) menemukan bahwa dengan adanya risiko
produksi menyebabkan rumahtangga petani sayuran berperilaku risk averse.
Adanya risiko produksi menyebabkan rumahtangga petani sayuran yang risk
13

averse melakukan pengambilan keputusan produksi dengan mengurangi


penggunaan input seperti benih, pupuk, obat-obatan, serta pengurangan luas lahan
garapan. Hal ini dikarenakan upaya yang dilakukan oleh rumahtangga petani
untuk mengatasi risiko membutuhkan biaya, sehingga pendapatan dan
ketersediaan dana untuk membeli input menjadi berkurang. Senada dengan
penelitian sebelumnya, Fauziyah (2010) juga menemukan bahwa petani tembakau
di Kabupaten Pamekasan sebagian besar memiliki perilaku sebagai risk averse.
Pilihan petani yang sebagian besar ini sebgai risk averse memiliki konsekuensi
terhadap alokasi input yang digunakan. Semakin takut petani terhadap risiko
produksi, maka semakin sedikit alokasi input yang digunakan sehingga
produktivitas yang diperoleh semakin kecil.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, Qomaria (2011) menemukan bahwa
petani talas di Bogor bersifat risk taker. Preferensi risiko petani terhadap
penggunaan input-input pada produksi talas bersifat risk taker karena meskipun
talas merupakan komoditi lokal tapi berorientasi pasar. Saptana (2011)
menemukan bahwa secara rataan petani cabai berperilaku netral terhadap risiko
produktivitas. Secara relatif petani yang berperilaku netral terhadap risiko dan
mengarah ke berani mengambil risiko mengalokasikan input produksi lebih tinggi,
sehingga berdampak terhadap tingkat produktivitas dan tingkat pendapatan yang
lebih tinggi.
Penelitian yang menganalisis besaran risiko produksi telah dilakukan (Just
dan Pope 1979; Eggert dan Tveteras 2004). Para peneliti terdahulu menganalisis
preferensi risiko produksi dengan mengasumsikan fungsi utilitas secara eksplisit.
Model Kumbhakar (2002) dapat digunakan untuk menganalisis fungsi produksi,
fungsi risiko produksi dan fungsi inefisiensi teknis secara simultan. Model yang
dikembangkan juga dapat digunakan untuk mengkaji perilaku petani dalam
menghadapi risiko produksi. Model yang dikembangkan Kumbhakar ini telah
digunakan oleh (Villano et al. 2005; Fauziyah, 2010; Qomaria, 2011; Saptana,
2011; dan Nurhapsa 2013) dalam melihat risiko produksi dan perilaku risiko
petani.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep Risiko Produksi dan Risiko Harga


Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1999), produksi adalah perubahan dari dua
atau lebih input (sumber daya) menjadi satu atau lebih output. Dalam berproduksi
diperlukan sejumlah input, dimana umumnya input yang diperlukan adalah
kapital, tenaga kerja dan teknologi. Dengan demikian terdapat hubungan antara
produksi dengan input, yaitu output maksimal yang dihasilkan dengan input
tertentu atau disebut fungsi produksi.
Debertin (2012) menjelaskan bahwa fungsi produksi merupakan gambaran
hubungan teknis yang mengubah input (sumber daya) menjadi output
(komoditas). Menurut Frank (2015) produksi merupakan kombinasi antara input
seperti tenaga kerja dan modal untuk menciptakan output. Teori produksi terdiri
14

dari beberapa analisa mengenai bagaimana seharusnya seorang pengusaha dalam


tingkat teknologi tertentu, mampu mengkombinasikan berbagai macam faktor
produksi untuk menghasilkan sejumlah produk tertentu dengan seefisien mungkin.
Penekanan proses produksi dalam teori produksi adalah suatu aktivitas ekonomi
yang mengkombinasikan berbagai macam masukan (input) untuk menghasilkan
suatu keluaran (output).
Just dan Pope (1978) berpendapat bahwa terdapat delapan postulat untuk
fungsi produksi stokastik yang mereka anggap sesuai berdasarkan pengamatan
empiris. Beberapa postulat Just and Pop memberlakukan pembatasan pada fungsi
rata-rata yang analog dengan yang berlaku pada spesifikasi deterministik biasa.
Namun, ada juga beberapa persyaratan fleksibilitas tambahan untuk varian output.
Persyaratan penting untuk fungsi varians output adalah bahwa risiko marjinal
positif, nol, dan dimungkinkan negatif pada tingkat input masing-masing. Dengan
kata lain, input diperbolehkan untuk meningkatkan atau mengurangi tingkat risiko
output. Ini adalah salah satu pembeda dari spesifikasi fungsi produksi log seperti y
= f (x) eε, di mana f (x) diberi parameter sebagai Cobb-Douglas atau translog, dan
e adalah kejutan stokastik eksogen. Untuk spesifikasi seperti itu, risiko marjinal
selalu positif. Untuk spesifikasi aditif umum y = f (x) + e, di mana varians e
adalah konstan, risiko marjinal selalu nol.
Just dan Pope mengemukakan fungsi produksi yang memenuhi delapan
postulat dengan bentuk Just dan Pope yang telah menjadi bentuk dominan dalam
penelitian teoritis dan empiris mengenai risiko produksi. Dalam bentuknya yang
paling umum, fungsi produksi Just dan Pope P ditentukan sebagai berikut:

y = f(x; α) + h(z; β)ε .............................................(1)

dimana: y adalah output rata-rata, x menunjukkan jenis input yang


digunakan, z adalah input quasi fixed, f(X;α) menjelaskan fungsi output rata-rata,
g(X;β) menunjukkan fungsi risiko produksi dan ε (error term) menunjukkan
ketidakpastian produksi yang diasumsikan identically and independently
2
distributed (0,1) .
Salah satu fungsi produksi yang dapat digunakan untuk mewakili kondisi
yang sesungguhnya adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi Cobb-
Douglas merupakan salah satu model yang umum dibahas dan digunakan oleh
para peneliti. Fungsi ini menunjukkan hubungan antara variabel independen (X)
dengan variabel dependen (Y). Dalam kasus produksi pertanian, variabel
independen mewakili faktor produksi sedangkan variabel dependen mewakili
hasil produksi (Debertin 2012).
Petani selalui dihadapi pada situasi di mana hasil dapat berfluktuasi. Alam
memiliki dampak signifikan pada pertanian. Misalnya, kemungkinan tidak hujan
atau kemungkinan curah hujan tinggi. Dengan demikian pertanian terkait dengan
kondisi alam. Kondisi pasar juga memengaruhi pendapatan petani. Ketika petani
belum panen harga jual tinggi, namun sebaliknya ketika petani panen harga jual
rendah. Harga untuk komoditas pertanian sangat ditentukan oleh kekuatan di luar
kendali individu petani. Pertanian berlangsung di sebuah lingkungan yang
ditandai dengan adanya risiko (Debertin 2012).
15

Pembahsan dalam risiko yang dihadapi pada suatu kegiatan usahatani,


terlebih dahulu perlu dijelaskan mengenai pengertian risiko dan bedanya dengan
ketidakpastian. Suatu kegiatan atau aktivitas dan keputusan yang diambil oleh
pelaku usaha atau petani selalu dihadapkan pada berbagai risiko. Menurut
Debertin (2012) menyebutkan bahwa Frank Knight membedakan antara risiko dan
ketidakpastian. Risiko merupakan suatu kejadian yang merugikan dimana peluang
kejadian tersebut dapat diukur oleh pengambil keputusan, sedangkan
ketidakpastian merupakan kejadian yang merugikan dimana peluang kejadiannya
tidak dapat diukur oleh pengambil keputusan. Ellis (1988) juga menjelaskan
bahwa risiko merupakan peluang terjadinya suatu kondisi dimana pendapatan di
atas atau di bawah rata-rata dari pendapatan yang diharapkan dalam serangkaian
musim panen. Jika peluang suatu kejadian dapat diketahui oleh pembuat
keputusan yang didasarkan pada pengalaman, maka hal tersebut menunjukkan
konsep risiko. Jika peluang suatu kejadian tidak dapat diketahui oleh pembuat
keputusan, maka hal tersebut menunjukkan konsep ketidakpastian.
Petani dalam menjalankan usahanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
dapat dikontrol (internal) maupun faktor-faktor di luar kontrol petani (eksternal),
menyebabkan petani dihadapkan pada risiko atau ketidakpastian usaha. Sebagai
akibat dari struktur pertanian yang ada di negara-negara berkembang, risiko
usahatani lebih banyak terkonsentrasi di pihak individu petani kecil (Barry 1984).
McConell dan Dillon (1997) menambahkan bahwa sumber risiko yang dihadapi
petani dalam sistem usahatani berasal dari dua hal, yaitu pertama eksternal sistem
usahatani, antara lain keadaan alam, ekonomi, keadaan sosial, kebijakan
pemerintah dan kondisi politik. Usaha pertanian sangat tergantung dengan
keadaan cuaca dengan segala ketidakpastiannya seperti musim kemarau yang
berkepanjangan, banjir, badai atau dalam jangka panjang berupa terjadinya
perubahan iklim. Kedua internal dalam sistem usahatani, terutama disebabkan
karena faktor kesehatan, hubungan antar personal (dipengaruhi oleh personaliti,
kebiasaan dan aspirasi), serta faktor pendekatan yang dilakukan petani sebagai
manager.
Usaha pertanian sangat tergantung dengan keadaan cuaca dengan segala
ketidakpastiannya seperti musim kemarau yang berkepanjangan, banjir, badai atau
dalam jangka panjang berupa terjadinya perubahan iklim. Kedua internal dalam
sistem usahatani, terutama disebabkan karena faktor kesehatan, hubungan antar
personal (dipengaruhi oleh personaliti, kebiasaan dan aspirasi), serta faktor
pendekatan yang dilakukan petani sebagai manager. Risiko yang dihadapi petani
bisa berupa risiko hasil atau risiko produksi, risiko penggunaan input dan risiko
harga jual produksi. Risiko hasil ditimbulkan antara lain karena adanya serangan
hama dan penyakit, kondisi cuaca/alam, pasokan air yang bermasalah dan variasi
input yang digunakan. Serangan hama dan penyakit yang diatasi secara organik
mempunyai dampak terhadap variasi produksi yang lebih tinggi dari pada jika
serangan hama penyakit diatasi secara kimia. Kondisi alam juga berpengaruh
terhadap variasi hasil misalnya dengan kondisi curah hujan yang sangat besar
ataupun curah hujan yang sangat kecil bisa menimbulkan gagal panen, seperti
diilustrasikan pada Gambar 4.
16

Gambar 4 Respon produktivitas terhadap penggunaan pestisida dengan kondisi


curah hujan yang berbeda
Sumber : McConnell dan Dillon (1997)

Gambar 4 menjelaskan mengenai pengaruh curah hujan terhadap risiko


produktivitas yang dihadapi oleh petani. Dalam pemakaian input berupa pestisida
yang sama, yaitu sebesar 50 kg per hektar, kemudian akan memberikan hasil yang
berbeda karena dipengaruhi oleh tingkat curah hujan yang berbeda pula, yaitu
kondisi curah hujan tinggi yang mendukung tingginya produktivitas dan curah
hujan rendah yang menyebabkan turunnya produktivitas.
Melakukan kegiatan usaha dibidang pertanian selalu erat kaitannya dengan
adanya risiko yang lebih besar dibandingkan dengan usaha lainnya. Oleh karena
itu, petani perlu mengelola risiko tersebut agar usahanya dapat berjalan secara
berkesinambungan. Petani memiliki banyak pilihan dalam mengelola risiko usaha
yang dihadapinya antara lain dengan melakukan diversifikasi usaha, integrasi
vertikal, kontrak produksi, kontrak pemasaran, perlindungan nilai, asuransi.
Menurut Debertin (2012) bahwa salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh
petani untuk mengurangi kerugian ketika alam dan pasar dalam kondisi kurang
menguntungkan adalah dengan melakukan diversifikasi usaha.
Implikasi analisis risiko produksi dalam model neoklasik yang
mengjelaskan tentang keputusan produksi di bawah risiko dijelaskan oleh Ellis
(1988) dapat dilihat pada Gambar 4. Dalam gambar tersebut diilustrasikan tiga
respon yang berbeda dari output terhadap satu input variabel yaitu dalam hal ini
pupuk dalam terminologi nilai (value terms), sehingga dapat diperoleh
keuntungan dan kerugian. Gambar tersebut dibangun untuk mengeksplorasi
pendekatan varian pendapatan dan penolakan risiko.
Keputusan produksi di bawah risiko dengan pendekatan varian pendapatan
dikemukakan oleh (Ellis, 1988) :
1. Pemakian input x1 yang efisien dengan efisiensi alokatif adalah TVP1
memberikan keuntungan terbesar pada ab yang mungkin dicapai jika cuaca
baik; jika ternyata cuaca buruk, nilai kerugian yang ditanggung sebesar bj.
Petani yang beroperasi di titik ini dapat digolongkan sebagai petani yang
berani mengambil risiko produksi (risk taker), sebab petani sebagai
pengambil keputusan tetap mengambil peluang operasi pada X1 meskipun
secara subyektif kalkulasinya menyatakan probabilitasnya 0.6.
17

2. Penggunaan input x2 konsisten dengan efisiensi alokatif pada TVP2. Pada


kondisi ini jika cuaca baik petani memperoleh keuntungan sebesar ce; dan
jika cuaca buruk petani masih memperoleh keuntungan sebesar de. Petani
yang beroperasi pada titik ini dapat digolongkan sebagai petani menolak
risiko produksi (risk averse).
3. Kondisi ini konsisten dengan efisiensi alokatif yang berimbang pada dua
probabilitas kejadian iklim. Pada TVP1 keuntungan yang diperoleh sebesar fh
(lebih kecil dari ab) dan pada TVP2 kerugian yang ditanggung sebesar hi
(lebih kecil dari bj). Petani yang beroperasi pada titik ini dapat digolongkan
sebagai petani yang netral terhadap risiko produksi (risk neutral).

Gambar 5 Hubungan risiko produksi, pendapatan, dan keputusan produksi


Sumber: Ellis (1988)
Keterangan :
TVP1 = Respon nilai produk total (total value product) terhadap peningkatan
tingkat penggunaan nitrogen pada tahun tanam dengan iklim baik.
TVP2 = Respon nilai produk total (total value product) terhadap peningkatan
tingkat penggunaan nitrogen pada tahun tanam dengan iklim buruk.
E(TVP) = Nilai produk total yang diharapkan (expected total value product)
berdasarkan pandangan subyektif petani mengenai perilaku musim.
TFC = Biaya faktor total (Total Factor Cost) yang menggambarkan garis biaya
total.

Selain risiko produksi, petani juga dihadapkan dengan adanya risiko harga
produk. Analisis risiko harga produk tidak dilakukan seperti analisis risiko
produksi. Hal ini dikarenakan data yang tidak memadai sehingga tidak
dimungkinkan dilakukan analisis seperti risiko produksi. Data yang tidak
memadai disini mencakup variabel-variabel yang memengaruhi harga produk.
Dengan demikian, analisis risiko harga produk di analisis dengan menggunakan
perhitungan variance secara manual yang merupakan penjumlahan selisih kuadrat
harga produk dengan ekspektasi harga dikalikan dengan peluang dari setiap
kejadian. Adapun formulasi umum untuk mengestimasi risiko harga sebagai
berikut (Ellis, 1988):
18

𝑛𝑖
σ2 = 𝑖=1 𝑃𝑖 (𝑅𝑖 − Ȓ𝑖).......................................(2)

dimana σ2 merupakan variasi harga yang menunjukan adanya risiko harga, Pi


merupakan peluang kejadian, Ri merupakan harga komoditas, Ȓ𝑖 merupakan
ekspektasi harga komoditas.
Harga produksi hasil pertanian yang selalu berfluktuasi bergantung dari
perubahan yang terjadi pada permintaan dan penawaran. Naik turunnya harga
dapat terjadi dalam jangka pendek yaitu per bulan, per minggu, bahkan per hari,
atau dapat terjadi dalam jangka panjang. Harga barang komoditas cabai merah
termasuk berfluktuasi. Harga sayuran seringkali bergejolak akibat berbagai
faktor, baik fenomena alam (iklim), kegagalan pasar, juga masalah kelancaran
distribusi.

Teori Preferensi Risiko Petani


Sebagian besar petani di Indonesia merupakan petani kecil. Reifeld (1982)
mendefinisikan petani kecil adalah orang-orang desa yang mengendalikan dan
mengolah tanah untuk menyambung hidupnya, dengan satu sistem ekonomi yang
menggunakan teknologi, ketrampilan, sistem pembagian kerja secara sederhana,
hubungan dengan pasar yang sangat terbatas, dan skala produksi yang kecil.
Kesediaan petani sebagai pengambil keputusan untuk memilih atau
berperilaku terhadap risiko produksi, pada dasarnya akan tergantung pada sifat
pembawaan psikis dan kepuasan yang diterima petani dari hasil keluaran. Faktor-
faktor tersebut akan menentukan preferensi dan strategi petani dalam menghadapi
risiko produksi. Perbedaan preferensi risiko petani dalam menghadapi risiko
produksi akan memengaruhi keputusan mereka dalam mengalokasikan input
produksi yang digunakan. Selanjutnya alokasi input yang digunakan akan
memengaruhi tingkat efisiensi dan produktivitas yang dicapai oleh petani.
Sikap petani sebagai pembuat keputusan dalam menghadapi risiko produksi
dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori sebagai berikut: Robinson dan Barry
(1987) pertama, pembuat keputusan yang menghindari risiko produksi (risk
aversion). Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam (variance)
dari keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menaikkan
keuntungan yang diharapkan yang merupakan ukuran tingkat kepuasan (utilitas).
Kedua, pembuat keputusan yang berani menghadapi risiko produksi (risk taker).
Jika terjadi kenaikan ragam keuntungan maka pembuat keputusan akan
mengimbangi dengan menurunkan keuntungan yang diharapkan. Ketiga, pembuat
keputusan yang netral terhadap risiko produksi (risk neutral). Jika terjadi
kenaikan ragam keuntungan maka pembuat keputusan tidak akan mengimbangi
dengan menaikkan atau menurunkan keuntungan yang diharapkan (Gambar 6).
Melakukan kegiatan usaha dibidang pertanian selalu erat kaitannya dengan
adanya risiko yang lebih besar dibandingkan dengan usaha lainnya. Oleh karena
itu, petani perlu mengelola risiko tersebut agar usahanya dapat berjalan secara
berkesinambungan. Petani memiliki banyak pilihan dalam mengelola risiko usaha
yang dihadapinya antara lain dengan melakukan diversifikasi usaha, integrasi
vertikal, kontrak produksi, kontrak pemasaran, perlindungan nilai, asuransi.
Menurut Debertin (2012) bahwa salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh
petani untuk mengurangi kerugian ketika alam dan pasar dalam kondisi kurang
menguntungkan adalah dengan melakukan diversifikasi usaha.
19

Setiap melakukan kegiatan usahatani petani lebih memilih menggunakan


input x dengan jumlah tertentu dengan harapan mampu memaksimalkan utilitas
yang didapat (dalam hal ini utilitas petani didekati dengan besarnya penerimaan).
Dengan asumsi bahwa fungsi utilitas merupakan fungsi yang memaksimalkan
utilitas yang diharapkan (EU/expected utility) maka (Debertin 2012) :

EU [π(x;p,w)]..................................................(3)

dapat ditulis sebagai :

U = U [E(π(.)), var(π(.))]........................................(4)

dimana Eπ(.) adalah fungsi keuntungan dan var π(.) adalah variansnya. Jadi fungsi
U merupakan suatu fungsi utilitas yang terdiri dari keuntungan dan varians dari
keuntungan tersebut,

Eπ = p.g(x) – w’x = p. Ey – w’x dan var π = p2. var y.................(5)



∂U/∂Eπ(.) > = 0 maka petani bisa bersifat risk averse, risk taker dan risk
neutral. Dengan penggunaan model fungsi Just Pope, maksimisasi terhadap
utilitas yang diharapkan adalah sama dengan memaksimalkan rata-rata standar
deviasi, atau

EU (π(x; p, w)) = max V(μ, σ) .......................................(6)


dimana :
μ = Eπ = p.g(x) – w’x
σ = p.h(x)σε

Hubungan antara tingkat utilitas dengan income petani pada preferensi


risiko petani dalam menghadapi risiko diilustrasikan pada Gambar 6 Garis DC
merupakan garis linier yang mengambarkan hubungan antara utilitas dan income
dan mempunyai kemiringan/slope positif, yang berarti semakin banyak income,
semakin besar kepuasan atau utilitas seseorang. I1 dan I2 merupakan income
dengan tingkat risiko yang berbeda dengan kemungkinan kejadian p1 dan p2
dimana p1 + p2 = 1. Apabila seseorang mempunyai income sebesar IA dimana IA
mempunyai utilitas yang sama dengan IE dan orang tersebut akan menolak untuk
mendapatkan income yang lebih besar dari IA (yaitu IE) dengan tujuan untuk
mencari kepastian income, maka orang tersebut dikatakan bersifat risk averse,
seperti yang ditunjukkan dalam fungsi utilitas DAC yang bersifat decreasing
marginal utility. Apabila seseorang yang utilitasnya sama antara income yang
pasti diperoleh (IE) dan dengan income yang beresiko (IA dan IB) dan dia
memilih untuk mendapatkan income sebesar IE, maka orang tersebut dikatakan
bersifat risk neutral, seperti ditunjukkan dalam garis fungsi utilitas DC.
Sedangkan apabila seseorang lebih suka untuk memilih income yang lebih tinggi
lagi untuk mencapai utilitasnya, dan orang tersebut tidak memilih untuk income
sebesar IA ataupun IE, tetapi akan memilih untuk mencapai income sebesar IB,
maka orang tersebut bersifat risk taker, dengan kurva utilitas DBC yang bersifat
increasing marginal utility (Elis 1988).
20

Gambar 6 Teori utilitas dari pilihan-pilihan yang mengandung risiko


Sumber : Ellis (1988)
Menurut Ellis (1988), beberapa persoalan utama yang banyak menjadi topik
perhatian penelitian yang mencakup aspek perilaku risiko petani dan menyangkut
mata pencaharian atau sumber pendapatan yang diperoleh petani kecil beserta
keluarganya antara lain :
1. Petani kecil pada umumnya bersifat risk averse. Sifat ini diindikasikan
mengakibatkan ketidakefisienan dalam penggunaan sumber daya pada tingkat
petani.
2. Petani kecil dengan sifat risk averse akan menyebabkan pola tanam atau pola
pengelolaan usahatani, akan lebih ditujukan pada kecukupan kebutuhan
pangan keluarga, dibandingkan dengan usaha memaksimalkan hasil ataupun
memaksimalkan keuntungan.
3. Sifat risk averse petani akan menurun atau berkurang sejalan dengan
peningkatan income atau kesejahteraan. Kesejahteraan yang lebih tinggi yang
dicapai petani akan akan berpengaruh pada kemampuan petani dalam menutup
kerugian yang mungkin disebabkan karena pengambilan keputusan yang
berisiko. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi income petani,
diharapkan akan lebih efisien dalam pengelolaan usahataninya, sehingga lebih
mempunyai keinginan untuk melakukan suatu inovasi baru dan lebih besar
akses yang dimiliki petani terhadap kredit perbankan.

Model Risiko dan Perilaku Petani


Beberapa hal yang menjadi indikasi adanya risiko dalam kegiatan bisnis
maupun usahatani adalah terdapat variasi, fluktuasi atau volalitas pada hasil yang
diharapkan oleh pebisnis. Menurut Elton dan Gruber (1995) ukuran-ukuran untuk
mengukur risiko antara lain variance, standard deviation dan coefficient
variation. Ketiga ukuran ini saling berkaitan satu sama lain. Standard deviation
menggambarkan rata-rata perbedaan penyimpangan. Semakin bervariasi hasil atau
return maka risiko akan semakin besar.
Dalam analisis risiko umumnya menggunakan fungsi produksi yang
merupakan fungsi produksi rata-rata (mean production function) dan produksi
variance (variance production function), yang masing-masing dipengaruhi oleh
penggunaan input dalam proses produksi. Model ini telah digunakan oleh Walter
et al. (2004) dalam menganalisis tentang risiko produksi. Sedangkan Just dan
21

Pope (1979) melihat risiko pada produksi yang diukur dari varian output, dan
menyarankan menggunakan spesifikasi fungsi produksi. Model Just dan Pope
fokus pada alokasi input yang dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan
risiko.
Pada penelitian ini ditujukan untuk melihat risiko produksi dan perilaku
risiko. Hal ini dikarenakan perbedaan perilaku petani dalam menghadapi risiko
produksi akan memengaruhi keputusan petani dalam mengalokasikan input-input
produksi yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut analisis risiko produksi pada
penelitian ini menggunakan Model Just dan Pope. Dalam menentukan risiko
produksi dapat digunakan dengan berbagai pendekatan salah satunya dengan
pendekatan fungsi produksi Just dan Pope (Robison dan Barry 1987).
Analisis risiko produksi yang dikemukakan oleh Just dan Pope adalah
mengembangkan model umum untuk penanganan risiko produksi ekonometri dan
digunakan untuk menganalisis faktor produksi namun tidak mengabaikan tingkat
risiko yang kemungkinan akan terjadi pada produksi tersebut yang dapat
menyebabkan kesalahan dalam perhitungan. Dalam model Just dan Pope
memasukkan unsur error agar unsur risiko dapat diperhitungkan dalam analisis
produksi. Sehingga tingkat kesalahan dalam perhitungannya menjadi kecil.
Konsep dasar yang diperkenalkan oleh Just dan Pope adalah untuk membangun
fungsi produksi sebagai jumlah dari dua komponen, satu berkaitan dengan tingkat
output, dan satu yang berkaitan dengan variabilitas output.
Penggunaan metode fungsi produksi Just dan Pope ini dapat diketahui
pengaruh penggunaan faktor produksi terhadap risiko produksi yang ditunjukkan
dengan adanya variasi pada produktivitas output. Faktor produksi tersebut
dibedakan menjadi dua yaitu faktor produksi yang mengurangi risiko (risk
reducing factors) dan faktor produksi yang menyebabkan risiko (risk inducing
factors). Menurut Robison dan Barry (1987) beberapa contoh yang termasuk
dalam faktor produksi pengurang risiko adalah sistem irigasi, pestisida, biaya
yang dikeluarkan untuk jasa informasi pasar, penggunaan konsultan profesional
dan membeli peralatan baru. Sedangkan penggunaan benih dan pupuk dapat
menyebabkan peningkatan risiko produksi.

Kerangka Pemikiran Operasional

Produktivitas dan harga cabai merah di Kabupaten Cianjur yang fluktuatif


mengindikasikan adanya risiko produksi di dalam kegiatan usaha taninya, karena
adanya gap produksi dan harga cabai merah yang merupakan ciri risiko produksi
membuat ketidakpastian dalam kegiatan produksi dan berakibat pada tingkat
produktivitas yang berfluktuasi. Risiko produksi yang terjadi dapat bersumber dari
penggunaan input produksi usahatani. Faktor tersebut berupa tenaga kerja, luas
lahan, penggunaan pupuk, pestisida, serta benih. Adanya risiko produksi akan
menghasilkan respon petani berupa perilaku terhadap risiko. Preferensi risiko
petani dalam menghadapi risiko berbeda-beda, ada petani yang takut atau
menghindari risiko (risk averse), berani menghadapi risiko (risk taker), dan netral
terhadap risiko (risk neutral). Kehadiran risiko produksi akan memengaruhi
produksi usaha tani cabai merah. Kehadiran risiko harga dan produksi hasil usaha
tani pada akhirnya akan memengaruhi pendapatan usaha tani petani cabai merah.
22

Tujuan pertama penelitian mengenai analisis faktor faktor yang


memengaruhi risiko produksi dianalisis menggunakan model risiko produksi Just
and Pope dengan pendekatan fungsi produksi dan fungsi risiko produksi. Tujuan
kedua menggunakan nilai koefisien variasi dan tujuan ketiga mengenai perilaku
petani dalam menghadapi risiko produksi menggunakan fungsi absolute risk
aversion R(y) yang dihubungkan dengan fungsi utilitas yang dimiliki petani U(π).
Alur penelitian yang lebih jelas dapat dilihat pada diagram alur kerangka berpikir
dalam Gambar 7.

Adanya fluktuasi produktivitas dan harga cabai


merah keriting di Kabupaten Cianjur

Risiko harga Risiko produksi

Sumber risiko
eksternal
Tingginya curah
hujan

Sumber risiko internal


Alokasi penggunaan
input produksi usahatani:
1. Benih
2. Tenaga kerja,
3. Penggunaan pupuk
4. Pestisida
Preferensi risiko petani
terhadap risiko produksi
1. risk taker
Produksi cabai merah 2. risk averse
3. risk neutral

Kesimpulan dan Kebijakan

Gambar 7 Kerangka pemikiran penelitian


23

Hipotesis

1. Alokasi penggunaan input produksi usahatani memiliki pengaruh terhadap


risiko produksi tanaman cabai merah keriting.
2. Diduga terdapat adanya risiko harga cabai merah keriting di tingkat petani
3. Diduga bahwa preferensi risiko petani cabai merah keriting terhadap risiko
produksi adalah risk averse.

4 METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Sukanegara dan Kecamatan


Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pemilihan lokasi didasarkan karena
Kecamatan Sukanegara merupakan sentra produksi cabai merah di Kabupaten
Cianjur dengan produksi sebesar 33 093 ton pada 2016. Sedangkan Kecamatan
Pacet dipilih karena merupakan daerah pengembangan kawasan cabai dimana
didaerah tersebut terdapat petani champion yang ditetapkan oleh Dirjen
Hortikultura, Kementerian Pertanian. Selain itu perbedaan demografi juga diduga
dapat menjadi pembeda dalam perlakuan budidaya tanaman cabai merah keriting.
Selain itu lokasi dan jarak dengan pasar yang berbeda dan sistem jual hasil panen
keduanya yang berbeda menjadikan keragaan dalam penelitian ini. Penelitian ini
dilakukan pada waktu November 2017 hingga Januari 2018.

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data kuantitatif. Sumber data pada penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang
dibutuhkan untuk menjawab tujuan penelitian, diperoleh langsung dari petani
sampel melalui wawancara menggunakan panduan kuesioner. Data primer yang
dikumpulkan meliputi data profil petani, luas lahan, harga cabai, serta data
aktivitas produksi. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi yang
berhubungan dengan penelitian, baik di tingkat pusat (Badan Pusat Statistik,
kementrian pertanian) maupun daerah (BPS provinsi dan kabupaten, dinas
pertanian provinsi dan kabupaten, statistik kecamatan, kelembagaan kelompok
tani atau gapoktan, serta literatur yang terkait dengan penelitian).

Metode Penentuan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara purposive. Petani


yang dipilih adalah petani yang telah dan sedang mengusahakan cabai merah
keriting pada saat penelitian, karena data terbaru mengenai jumlah populasi petani
cabai merah keriting di Kabupaten Cianjur tidak tersedia. Seluruh petani yang
menjadi sampel adalah petani cabai merah di Kecamatan Sukanagara dan
24

Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Jumlah sampel yang diambil
yaitu sebanyak 66 petani. Sebanyak 36 orang petani dipilih di Kecamatan
Sukanagara, sedangkan sebanyak 30 orang dipilih dari Kecamatan Pacet.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara kuantitatif dan


kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Analisis deskriptif dilakukan untuk
mengetahui karakteristik responden. Untuk menganalisis permasalahan pertama
menggunakan model fungsi produksi Just dan Pope, dan permasalahan kedua
menggunakan analisis perilaku petani dengan model fungsi utilitas. Serta untuk
risiko harga dianalisis menggunakan expected return, varian, standar deviasi dan
koefisien variasi.

Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan metode dalam meneliti status kelompok,
manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran maupun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir 2005). Analisis deskriptif dipilih untuk
menjelaskan karakteristik responden yaitu terkait dengan jenis kelamin, usia,
pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Pada penelitian ini dilakukan analisis
deskriptif berdasarkan sampel yang merupakan petani cabai merah keriting. Data
primer yang diperoleh melalui pengisian kuesioner ditabulasikan dalam kerangka
tabel yang selanjutnya dianalisis.

Analisis Data untuk Permasalahan Risiko Produksi


Analisis risiko produksi yang dijelaskan oleh Just dan Pope adalah
mengembangkan model umum untuk penanganan risiko produksi dan digunakan
untuk menganalisis faktor produksi namun tidak mengabaikan tingkat risiko yang
kemungkinan akan terjadi pada produksi tersebut yang dapat menyebabkan
kesalahan dalam perhitungan. Terdapat unsur error dalam model Just dan Pope
agar unsur risiko dapat diperhitungkan dalam analisis produksi sehingga tingkat
kesalahan menjadi lebih rendah.
Pada penelitian ini ditujukan untuk melihat risiko produksi dan perilaku
risiko. Hal ini dikarenakan perbedaan perilaku petani dalam menghadapi risiko
produksi akan memengaruhi keputusan petani dalam mengalokasikan input-input
produksi yang digunakan. Dalam analisis risiko umumnya menggunakan fungsi
produksi yang merupakan fungsi produksi rata-rata (mean production function)
dan produksi variance (variance production function), yang masing-masing
dipengaruhi oleh penggunaan input dalam proses produksi.
Asche dan Tveteras (1999) menjelaskan bahwa fungsi produksi dalam
model Just dan Pope yang menggunakan prosedur dua langkah adalah fungsi
produksi Cobb-Douglas dalam bentuk logaritma natural. Dalam fungsi produksi,
fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan suatu fungsi produksi yang
memperlihatkan pengaruh input yang digunakan dengan output yang diharapkan.
Sedangkan dalam dunia ekonomi, pendekatan Cobb-Douglas merupakan bentuk
fungsional dari fungsi produksi secara luas digunakan untuk mewakili hubungan
output untuk input. Untuk menganalisis fungsi produksi dan fungsi risiko cabai
25

merah diasumsikan menggunakan model fungsi tipe Cobb-Douglas. Selanjutnya


model Cobb-Douglas akan diregresikan dengan metode Ordinary Least Square
(OLS). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dan menyesuaikan dengan kondisi
dilapangan, maka faktor produksi yang memengaruhi produksi cabai merah, yaitu
benih, pestisida, pupuk, tenaga kerja, dan dummy musim. Agar hasil perhitungan
terhindar dari bias, maka pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan
produktivitas. Adapun fungsi produksi dan fungsi risiko produksi cabai merah
keriting sebagai berikut:

y = f(x, α) + u = f(x, α) + g(x, β)ε ............................................(7)

Fungsi Produksi Y = f (X)


f(x) = Ln Y = α0 + α 1LnX1 + α 2LnX2 + α 3LnX3 + α 4LnX4 + α 5D + є..............(8)
Fungsi Risiko Produksi εi2= (Yi-𝑌𝑖̂)2
2
g(x) = Ln εi = β 0 + β 1LnX1 + β 2LnX2 + β 3LnX3 + β 4LnX4 + β 5D +є...........(9)
Dimana :
f(x) = fungsi produksi
g(x) = fungsi risiko produksi
Y = Produktivitas aktual (ton/ha)
𝑌𝑖̂ = Produktivitas dugaan (ton/ha)
X1 = Benih (kg/ha)
X2 = Pestisida (liter/ha)
X3 = Pupuk (kg/ha)
X4 = Tenaga Kerja (HOK/ha)
D = Dummy musim (1 = saat musim hujan, 0 = saat musim kemarau)
α 1, α 2,,... α 6 = Koefisien parameter dugaan produksi X1,X2, X3,...X5
β 1, β 2,,.... β 6 = Koefisien parameter dugaan risiko produksi X1, X2, X3,.....X5
є = Unsur error

Faktor-faktor produksi yang digunakan diatas diperoleh dari penelitan


terdahulu yang memasukan benih, pestisida, pupuk, dan tenaga kerja menjadi
faktor-faktor yang memengaruhi produksi. Jika koefisien-koefisien dari parameter
dugaan dari fungsi produksi dan varian lebih besar dari nol artinya semakin
banyak input yang digunakan untuk proses produksi maka rata-rata hasil dan
varian produksi cabai merah akan semakin meningkat. Dan jika terdapat coefisien
variance bertanda negatif maka input tersebut adalah faktor produksi yang
mengurangi risiko dan jika koefisien variasinya bertanda positif maka input
tersebut adalah sebagai faktor produksi yang menimbulkan risiko. Dalam
penentuan dummy musim dilakukan pengelompokan berdasarkan data curah hujan
pada saat periode tanam petani dilakukan yaitu tahun 2016 dan 2917 dengan
menggunakan data yang bersumber dari BMKG. Produktivitas dugaan didapat
dari hasil perhitungan fungsi produksi dengan memasukkan besaran variabel input
yang digunakan oleh masing-masing petani sampel.

Analisis Risiko Harga


Beberapa ukuran yang digunakan untuk mengukur penyimpangan
diantaranya adalah varians (variance), simpangan baku (standart deviation) dan
koefisien variasi (coefficient variation) (Fariyanti et al. 2007). Risiko harga di
26

ukur dengan mengukur nilai ekspektasi dan variance harga cabai merah.
Ekspektasi harga dan varian dihitung sebagai berikut (Robison dan Barry 1987) :

EXPHRG = ptHRGT + pr HRGR + pn HRGN..........................(10)

Peluang adalah suatu kejadian pada kegiatan usaha yang dapat diukur
berdasarkan pengalaman yang telah di alami pelaku bisnis dalam menjalankan
usahanya. Pada kondisi aktual mengukur peluang kejadian dapat dilakukan
dengan melihat frekuensi dari masing-masing kejadian untuk periode waktu
tertentu. Peluang adalah kuantifikasi ketidakpastian seseorang yang dinyatakan
dalam bilangan antara 0-1. Untuk menggambarkan tingkat kepercayaan seseorang
terhadap kejadian yang mungkin terjadi dari suatu kejadian yang tidak pasti.

VARHRG = pt[HRGT–EXPHRG] 2 + pr[HRGR– EXPHRG] 2


+ pn [HRGN –EXPHRG] 2 .............................................(11)

Nilai varians berbanding lurus dengan nilai penyimpangan dan risiko.


Semakin kecil nilai varians, maka semakin kecil penyimpangannya dan semakin
kecil tingkat risiko yang dihadapinya dalam menjalankan usaha.

σ=√σ² ............................................................(12)

Standar deviasi dapat di ukur dari akar kuadrat nilai variansnya. Secara
matematis rumus menghitung standar deviasi dapat dilihat pada persamaan. Nilai
yang ditunjukkan dari perhitungan standar deviasi memiliki arti yang sama
dengan nilai variansn. Dimana semakin kecil nilai standar deviasi, maka semakin
kecil risiko yang dihadapinya.
σ
CV= 𝐸𝑋𝑃𝐻𝑅𝐺 .....................................................(13)

Nilai koefisien variasi dapat diukur dari rasio standar deviasi dengan
ekspektasi harga. Semakin kecil nilai koefisien variasi, maka akan semakin rendah
tingkat risiko yang dihadapi. Koefisien variasi adalah angka yang menunjukkan
perbandingan antara risiko yang harus ditanggung dengan pendapatan tunai yang
akan diperoleh. Dengan kata lain koefisien variasi digunakan untuk
membandingkan risiko yang dihadapi terhadap harga yang diterima.
Dimana :
EXPHRG = ekspektasi harga produk
Pt = peluang petani cabai mendapat harga tertinggi (%)
Pr = peluang petani cabai mendapat harga terendah (%)
Pn = peluang petani cabai mendapat harga normal (%)
HRGT = harga tertinggi yang pernah diperoleh petani cabai (Rp/Kg)
HRGR = harga terendah yang pernah diperoleh petani cabai (Rp/Kg)
HRGN = harga normal yang sering diterima petani cabai (Rp/Kg)
27

Analisis Perilaku Petani


Pada penelitian ini diasumsikan bahwa petani dalam melakukan
usahataninya berusaha untuk memaksimalkan utilitas dan maksimisasi utilitas
didekati dengan maksimisasi pendapatan dalam berusahatani, dan petani
mendapatkan hasil produksi y pada tingkat harga p, maka maksimisasi utilitas
petani adalah utilitas (U) dari keuntungan (π) (Robison dan Barry 1987), maka :

Max U(π)
π = p.y – r.x – C...............................................(14)

dimana :
π = keuntungan usahatani
r = harga input
x = jumlah input yang digunakan
C = biaya tetap usahatani
p = harga output
y = output

Output usahatani adalah :

Y = f(x) + g(x) ..............................................(15)

Dengan mensubtitusikan persamaan Max U(π) ke dalam persamaan Y, maka


diperoleh :

U(π) = p.f(x) + p.g(x) – r.x – C............................(16)

Fungsi utilitas untuk petani cabai merah [U(πo)] dibagi menjadi dua, yakni saat
peani menanam pada musim kemarau dan menanam musim hujan. Untuk fungsi
keduanya tersebut adalah :

U(πo)mk = p.f(X1, X2,..., X5) + p.g(X1, X2, ..., X5) – ri (X1, X2, ..., X5,) – C.....(17)

dan

U(πo)mh = p.f(X1, X2, ..., X5) + p.g(X1, X2, ..., X5) – ri (X1, X2, ..., X5,) – C....(18)

dimana :
U(πo)mk = utilitas petani cabai merah pada musim kemarau
U(πo)mh = utilitas petani cabai merah pada musim hujan
f(x) = fungsi produksi
g(x) = fungsi risiko
p = harga output (Rp)
ri = harga input ke-i (Rp)
xi = jumlah input ke-i
C = biaya tetap usaha tani
X1 = Benih (kg/musim)
28

X2 = Pestisida (liter/musim)
X3 = Pupuk (Kg/musim)
X4 = Tenaga Kerja (HOK)

Dari persamaan di atas, dicari First Order Condition (FOC) dan Second
Order Condition (SOC) yang selanjutnya digunakan untuk menganalisis nilai
perilaku risiko petani dengan mengadopsi Arrow-Pratt absolute risk aversion
(AR) yang diperoleh dari rasio antara nilai SOC dan FOC dari fungsi utilitas,
sebagai berikut:

𝑈 ′′ 𝜋
ARmk/mh = − ............................................(19)
𝑈 ′ (𝜋)

Dimana :
ARmk = Absolute risk averse pada musim kemarau
ARmh = Absolute risk averse pada musim hujan
U’(πi) = First Order Condition dari fungsi utulitas
U’’(πi) = Second Order Condition dari fungsi utilitas

Menurut Robison and Barry (1987), petani dapat dikatakan bersifat : (1) risk
averse apabila AR > 0, (2) risk taker apabila AR < 0, dan (3) risk neutral apabila
AR = 0.

Hipotesis
1. Hipotesis fungsi produksi
Hipotesis yang digunakan sebagai dasar pertimbangan adalah bahwa
petani bertindak rasional dalam melakukan proses produksi sehingga setiap
faktor produksi berpengaruh positif terhadap rata-rata hasil produksi cabai
merah keriting. Adapun penjelasan hipotesis tersebut adalah sebagai berikut:
A. Luas lahan (X1)
α > 0, artinya bahwa semakin luas lahan yang digunakan akan semakin
meningkatkan produksi cabai merah keriting.
B. Benih (X2)
α > 0, artinya bahwa semakin banyak benih yang digunakan akan semakin
meningkatkan produksi cabai merah keriting.
C. Pupuk (X3)
α > 0, artinya bahwa semakin banyak pupuk yang digunakan akan semakin
meningkatkan produksi cabai merah keriting.
D. Pestisida (X4)
α > 0, artinya bahwa semakin banyak penggunaan pestisida yang
digunakan akan semakin meningkatkan produksi cabai merah keriting.
E. Tenaga kerja (X5)
α > 0, artinya bahwa semakin banyak tenaga kerja digunakan akan
semakin meningkatkan produksi cabai merah keriting.
F. Musim (D1)
α > 0, artinya apabila penanaman dilakukan pada musim kemarau maka
produksi cabai merah keriting akan lebih besar daripada penanaman pada
musim hujan
29

2. Hipotesis fungsi risiko produk


Hipotesis yang digunakan sebagai dasar pertimbangan adalah bahwa tidak
semua faktor produksi berpengaruh positif terhadap risiko produksi cabai
merah keriting. Adapun penjelasan hipotesis tersebut adalah sebagai berikut:
A. Luas lahan (X1)
β < 0, artinya bahwa semakin luas lahan yang digunakan maka varian
produksi cabai merah keriting akan menurun sehingga luas lahan termasuk
faktor yang mengurangi risiko.
B. Benih (X2)
β > 0, artinya bahwa semakin banyak benih yang digunakan maka varian
produksi cabai merah keriting akan meningkat sehingga benih tanaman
termasuk faktor yang menimbulkan risiko
C. Pupuk (X3)
β > 0, artinya bahwa semakin banyak pupuk yang digunakan maka varian
produksi cabai merah keriting akan meningkat sehingga pupuk termasuk
faktor yang menimbulkan risiko
D. Pestisida (X4)
β < 0, artinya bahwa semakin tinggi penggunaan pestisida maka varian
produksi cabai merah keriting akan menurun sehingga pestisida termasuk
faktor yang mengurangi risiko.
E. Tenaga kerja (X5)
β < 0, artinya bahwa semakin banyak jumlah hari orang kerja maka varian
produksi cabai merah keriting akan menurun sehingga tenaga kerja
termasuk faktor yang mengurangi risiko.
F. Musim (D1)
β > 0, artinya apabila penanaman dilakukan pada musim hujan maka maka
varian produksi cabai merah keriting akan meningkat sehingga musim
tanam termasuk faktor yang menimbulkan risiko.

Hipotesis dalam penelitian ini didasarkan pada teori yang terkait, studi
empiris dan fakta yang terdapat di lokasi penelitian. Hipotesis luas lahan, pestisida
dan tenaga kerja dikategorikan sebagai faktor yang megurangi risiko karena, obat-
obatan hanya akan digunakan ketika terdapat hama dan penyakit tanaman.
Semakin banyak tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani maka akan
semakin baik dalam proses budidaya sehingga tenaga kerja masukdalam kategori
yang mengurangi risiko. Hipotesis pupuk dan benih dikategorikan sebagai faktor
yang meningkatkan risiko karena pupuk dan benih telah terdapat standar
pemakaian, sehingga apabila pupuk digunakan tidak sesuai dengan prosedur maka
akan menigkatkan risiko. Hipotesis musim hujan dikategorikan sebagai faktor
yang meningkatkan risiko karena merupakan gangguan yang sifatnya berasal dari
alam yang sulit dihindari dan musim hujan secara ekstrim merupakan salah satu
sumber risiko produksi eksternal.

Definisi Operasional
1. Produksi adalah jumlah total panen cabai merah segar yang diukur dalam
satuan ton per periode tanam.
2. Luas lahan adalah luas areal yang akan ditanam cabai merah pada musim
tanam tertentu dan diukur dalam satuan meter persegi.
30

3. Benih adalah jumlah benih cabai merah yang digunakan untuk memproduksi
dan diukur dalam satuan kilogram per periode tanam.
4. Pestisida adalah jumlah pemakaian jenis pestisida yang secara khusus dibuat
dan digunakan untuk mengendalikan (membunuh, menghambat atau
mencegah) hama. Fungisida digunakan dalam satuan liter per periode tanam.
5. Pupuk kandang adalah jumlah pupuk yang berasal dari kotoran ayam yang
digunakan dalam persiapan lahan yang berguna untuk untuk memperbaiki
sifat fisik, kimia, dan biologi pada tanah. Pupuk kandang digunakan dalam
satuan kilogram per periode tanam.
6. Pupuk anorganik adalah pemberian pupuk yang berguna untuk memacu
pertumbuhan tanaman.
7. Tenaga kerja adalah jumlah orang yang digunakan dalam proses budidaya
cabai, mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, hingga
pemanenan, yang diukur dalam satuan hari orang kerja (HOK) per periode
tanam.
8. Perilaku petani adalah tindakan atau aktivitas dari petani terhadap adanya
risiko yang timbul dalam proses produksi cabai merah, meliputi menghindari
risiko produksi (risk aversion), berani menghadapi risiko produksi (risk
taker), atau netral dalam menghadapi risiko (risk neutral).
9. Umur petani adalah usia petani yang diukur dengan tahun.
10. Tingkat pendidikan adalah suatu kondisi jenjang (lamanya) pedidikan yang
dimiliki oleh petani melalui pendidikan formal yang diukur dengan tahun.
11. Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya keluarga (orang) yang masuk
dalam tanggungan petani sampel.
12. Risiko Produksi merupakan gap hasil produksi yang diharapkan dengan yang
diestimasi. Risiko produksi diindikasikan dengan adanya fluktuasi produksi
tiap panen.

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambaran Umum Kabupaten Cianjur

Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak di tengah Provinsi Jawa Barat,


diantara 6021’ - 7025’ Lintang Selatan dan 106042’ - 107025’ Bujur Timur.
Wilayah Kabupaten Cianjur terbagi dalam 3 bagian : Wilayah Cianjur Utara,
Wilayah Cianjur Tengah, dan Wilayah Cianjur Selatan. Wilayah Cianjur Utara
yang merupakan dataran tinggi terletak di kaki Gunung Gede dengan titik
tertinggi pada ketinggian 2 962 mdpl (meter di atas permukaan laut). Wilayahnya
juga meliputi daerah Puncak dengan ketinggian sekitar 1 450 m, Kota Cipanas
(Kecamatan Cipanas dan Pacet) dengan ketinggian sekitar 1 110 m, serta Kota
Cianjur dengan ketinggian sekitar 450 m di atas permukaan laut. Sebagian
wilayah ini merupakan dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan
perkebunan dan persawahan. Wilayah Cianjur Tengah merupakan perbukitan,
tetapi juga terdapat dataran rendah persawahan, perkebunan yang dikelilingi oleh
bukit - bukit kecil. Wilayah Cianjur Selatan merupakan dataran rendah yang
31

terdiri dari bukit-bukit kecil dan diselingi oleh pegunungan. Dataran terendah di
selatan Cianjur mempunyai ketinggian sekitar 7 mdpl.
Secara Administrasi Wilayah Kabupaten Cianjur memiliki luas kurang lebih
361 435 Ha. Dari luas wilayah Kabupaten Cianjur 361 435 Ha, pemanfaatannya
meliputi 23.71 persen berupa hutan produktif dan konservasi, 16.59 persen berupa
tanah pertanian lahan basah, 27,76 persen berupa lahan pertanian kering dan
tegalan, 16.49 persen berupa tanah perkebunan, 0.10 persen berupa tanah dan
penggembalaan/pekarangan, 0.035 persen berupa tambak/kolam, 7.20 persen
berupa pemukiman/pekarangan dan 6.42 persen berupa penggunaan lain-lain
Kabupaten cianjur secara administrasi terdiri dari 32 kecamatan yang
tersebar di wilayah seluas 361 434,98 ha. Dua kecamatan diantaranya yakni
Kecamatan Pacet dan Kecamatan Sukanagara merupakan daerah dengan potensi
produksi hortikultura yang tinggi. Kecamatan Pacet dan Kecamatan Sukanagara
masing-masing memiliki lahan seluas 1181,88 ha dan 737,79 ha yang
diperuntukan untuk lahan pertanian hortikultura. Salah satu tanaman hortikultura
yang hampir terdapat di sebagian besar kecamatan di Kabupaten Cianjur
merupakan tanaman jenis cabai merah keriting.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Cianjur adalah daerah dataran tinggi
dengan rentang ketinggian antara 7 hingga 2 962 mdpl. Kecamatan Pacet
merupakan salah satu kecamatan dengan dataran tertinggi yakni terletak di 2 962
mdpl, sedangkan Kecamatan Sukanagara memiliki ketinggian 1 200 mdpl.
Wilayah dengan dataran tinggi tersebut sangat cocok untuk ditanami cabai merah
keriting. Selain itu perbedaan ketinggian dikedua wilayah tersebut
mengindikasikan adanya perbedaan pula dalam melakukan proses penanganan
budidaya tanaman cabai serta kendala iklim dan cuaca yang dialami.

Tabel 3 Produksi cabai merah keriting tahun 2014 - 2015 di Kabupaten Cianjur
2014 2015
Wilayah Jumlah Persentase Jumlah Persentase
(kw) (%) (kw) (%)
Kecamatan Sukanagara 334 021 58 331 562 56
dan Pacet
Kecamatan lainnya 244 633 42 258 637 46
Total 578,660 100 590,199 100
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur (2017)

Total produksi cabai merah di Kabupaten Cianjur pada tahun 2014 hingga
2015 menalami peningkatan, dimana pada Tabel 3 terlihat pada tahun 2014 total
produksi cabai merah di Kabupaten Cianjur sebesar 578 660 kw meningkat
menjadi 590 199 kw ditahun 2015. Sebesar 58 persen atau 334 021 kw pada tahun
2014 dihasilkan oleh produksi cabai merah di Kecamatan Sukanagara dan
Kecamatan Pacet dan sebesar 56 persen atau 331 562 kw cabai merah dihasilkan
oleh Kecamatan Sukanagara dan Kecamatan Pacet pada tahun 2015. Hal ini
menjadikan Kecamatan Sukanagara dan Kecamatan Pacet menjadi dominan
dalam kontribusi hasil produksi cabai merah untuk Kabupaten Cianjur.
Sejak tahun 2016 Kabupaten Cianjur ditetapkan menjadi salah satu kawasan
pengembangan cabai di Indonesia. Kecamatan Pacet merupakan daerah terpilih
sebagai pemusatan kawasan pengembangan cabai untuk Kabupaten Cianjur.
32

Melalui Direktorat Jenderal Hortikultura, kawasan pengembangan cabai terpilih


diberikan fasilitasi berupa input dan sarana produksi. Input dan sarana produksi
yang dimaksud meliputi, benih, pupuk dan mulsa.
Berbeda dengan Kecamatan Sukanagara yang sistem pemasaranya masih
bertumpu pada pedagang pengumpul, Kecamatan Pacet sejak 2 tahun yang lalu
melalui gapoktan multi jaya giri telah melakukan kemitraan untuk pasar dengan
restoran Sari Ratu di Jakarta. Bentuk kemitraan tersebut sebatas penjualan cabai
merah keriting dengan harga kontrak. Dalam satu mingu rata-rata cabai yang
dipasarkan ke restoran sari ratu berjumlah 500 kg, dengan penentuan harga
sebesar Rp 15 000 sampai Rp 25 000. Hal ini setidaknya dapat membantu petani
dan melindungi petani dari kemunkinan mendapatkan harga cabai merah keriting
terendah.

Karekteristik Petani Sampel

Petani yang dipilih sebagai sampel berasal dari dua kecamatan di Kabupaten
Cianjur, yakni Kecamatan Pacet dan Kecamatan Sukanagara. Selanjutnya petani
responden diuraikan karakteristiknya berdasarkan: umur petani, pendidikan
petani, pengalaman berusahatani, luas lahan garapan, kepemilikan lahan, status
usahatani, jumlah anggota tanggungan keluarga petani, pola tanam dan sistem
pemasaran. Dari hasil wawancara terhadap 66 petani sampel didapat gambaran
mengenai karakteristik sosial ekonomi petani di Kabupaten Cianjur.
Umur Petani
Umur erat kaitannya dengan pengalaman dan kematangan petani dalam
berusahatani. Umur akan memengaruhi kemampuan fisik dan respon terhadap hal-
hal baru dalam melakukan usahatani. Sehingga adanya kecenderungan bahwa
petani muda lebih berinovasi karena mempunyai semangat untuk mengetahui dan
mencari tahu apa yang belum diketahuinya. Umur yang semakin tua juga
membuat kemampuan fisik petani dalam melakukan usahataninya menurun.

Tabel 4 Keragaan umur petani cabai merah keriting di Kabupaten Cianjur tahun
2017
Umur Petani Jumlah Persentase
(Tahun) (orang) (%)
<40 27 41
40-60 34 51
>60 5 8
Total 66 100

Dari Tabel 3 diketahui bahwa 34 petani atau 51 persen petani cabai merah
keriting di lokasi penelitian berada pada rentang umur antara 40-60. Umur petani
selanjutnya adalah berada pada umur < 40 tahun dengan tingkat persentase 41
petani, dilanjutkan pada usia > 60 tahun sebanyak 5 petani. Petani berusia muda di
lokasi penelitian berada pada kategori yang cukup banyak yakni 41 persen, hal ini
dikarenakan sebagian besar petani muda telah dikenalkan dengan kegiatan
usahatani cabai merah keriting dan diberikan lahan sebagai tempat untuk
33

berusahatani dari orang tuanya, walaupun sebagian pemuda masih ada yang tidak
berminat berusaha dibidang pertanian dan lebih memilih bekerja di luar bidang
pertanian dan di luar kota. Secara menyeluruh sebanyak 92 persen petani cabai
merah keriting berada dalam usia yang produktif. Usia produktif manusia berada
pada usia antara 15 sampai 60 tahun, kondisi ini sangat menguntungkan karena
tingkat usia yang produktif biasanya dengan mudah mampu menerima teknologi
baru yang dapat. Pada usia produktif sangat mendukung untuk seseorang
meningkatkan kinerjanya, karena kinerja seseorang akan menurun bersamaan
dengan bertambahnya usia seseorang.

Tingkat Pendidikan Petani


Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan
kemampuan dan pengetahuan dalam rangka meningkatkan ketrampilan. Tingkat
pendidikan yang tinggi diharapkan akan lebih mudah dalam mengetahui dan
menerapkan segala bentuk ide baru yang ditawarkan.

Tabel 5 Keragaan tingkat pendidikan petani cabai merah keriting di Kabupaten


Cianjur tahun 2017
Jumlah Persentase
Pendidikan Petani
(orang) (%)
Tidak Lulus SD 5 8
SD 36 54
SMP 15 23
SMA 8 12
Diploma/S1 2 3
Total 66 100

Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani didominasi


oleh lulusan SD sebanyak 54 persen, banyaknya petani dengan latar belakang
pendidikan SD disebabkan karena keterbatasan ekonomi untuk melanjutkan
sekolah, selain itu dahulu peran pendidikan dinilai masih rendah serta masih
sulitnya keberadaan sekolah untuk lanjutan setelah SD. Dilanjutkan dengan petani
dengan lulusan SMP dan SMA masing-masing sebanyak 23 persen dan 12 persen.
Namun terdapat pula petani dengan latar belakang pendidikan sarjana sebanyak 3
persen, petani dengan pendidikan sarjana tersebut merupakan petani yang
sebelumnya bekerja sebagai karyawan. Sisanya yaitu sebanyak 8 persen adalah
mereka yang putus sekolah.
Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani masih relatif
rendah, pendidikan yang rendah selain berakibat pada kurang terkoordinirnya
perencanaan dalam berusahatani, juga akan berpengaruh pada jenis pekerjaan lain
yang dapat dilakukan petani dalam upaya peningkatan pendapatan.

Pengalaman Berusahatani
Pengalaman berusahatani yang dimiliki petani secara tidak langsung akan
memengaruhi pola pikir petani. Petani yang memiliki pengalaman berusahatani
lebih lama akan lebih mampu merencanakan usahatani dengan lebih baik, karena
sudah memahami segala aspek dalam berusahatani. Sehingga semakin lama
pengalaman yang dimiliki petani dalam berusahatani memungkinkan produksi
34

menjadi lebih tinggi karena mampu meminimalisir permasalahan yang sama.

Tabel 6 Pengalaman berusahatani petani cabai merah keriting di Kabupaten


Cianjur tahun 2017
Pengalaman berusahatani Jumlah Persentase
(Tahun) (orang) (%)
<15 26 39
15-35 34 52
>35 6 9
Total 66 100

Pengalaman petani dalam berusahatani di daerah penelitian sebagian besar


kurang dari 35 tahun. Dari Tabel 6 terlihat bahwa pengalaman petani dalam
berusahatani cabai merah keriting sebagian besar 52 persen didominasi pada
rentang antara 15 sampai 35 tahun. Sisanya sebanyak kurang dari 15 tahun
sebesar 39 persen dan pengalaman dengan waktu lebih 35 tahun sebanyak 9
persen. Beberapa petani yang memiliki pengalaman berusahatani lama merupakan
petani cabai murni, dimana petani tersebut semenjak memulai usaha dibidang
pertanian telah memulainya dengan berusahatani cabai. Pengalaman petani
biasanya didapat dari turun temurun.
Pengalaman dalam melakukan usahatani akan memengaruhi pada perilaku
petani dalam mengatasi permasalahan. Petani dengan pengalaman bertani dalam
waktu yang lama akan memiliki keterampilan yang lebih baik, dan lebih sering
dihadapi dengan permasalahan seputaran usahatani cabai merah keriting. Setiap
pelajaran dari setiap kejadian dalam bertani dapat meningkatkan keterampilan
petani dalam menghadapai masalah dan mampu dengan baik mencari solusi untuk
permasalahan yang sama. Sehingga semakin lama pengalaman usahatani akan
semakin banyak ilmu usahatani cabai yang dimiliki petani.

Luas Lahan
Lahan merupakan modal utama dalam kegiatan berusahatani, selain sebagai
asset petani dalam menghasilkan produksi, lahan juga merupakan sumber
pendapatan petani. Ketersediaan lahan baik dalam hal lokasi maupun luas lahan
akan memengaruhi keputusan petani dalam memilih jenis komoditi yang akan
ditanam ataupun pola tanam usahataninya. Lahan yang luas membuat petani bisa
leluasa menanam beberapa komoditi sekaligus dalam satu musim tanam.
Begitupun dengan sistem rotasi tanamnya, lahan yang lebih luas lebih mudah
dalam hal sistem rotasi tanam guna menjaga kesuburan lahan yang ada.
Luas atau sempitnya lahan juga berpengaruh terhadap tingkat pendapatan
bagi petani yang mengusahakan tanamannya pada lahan tersebut. Hal ini
dikarenakan semakin luas lahan yang diusahakan maka peluang mendapatkan
hasil dari usahataninya dapat lebih besar dan berimplikasi pada pendapatan yang
diperoleh petani yang semakin besar. Sehingga semakin luasnya usaha tani maka
semakin besar penghasilan rumah tangga petani, namun bila lahan yang
diusahakan petani tersebut sempit maka pendapatannya akan rendah.
35

Tabel 7 Luas lahan petani cabai merah keriting di Kabupaten Cianjur, Tahun 2017
Luas Lahan Jumlah Persentase
(ha) (orang) (%)
<0.25 47 71
0.25 – 0.5 16 24
>0.5 3 5
Total 66 100

Luas lahan di lokasi penelitian pada Tabel 7 terlihat sebagian besar yakni 71
persen lahan memiliki luas kurang dari 0.25 ha. Selanjutnya sebanyak 24 persen
petani memiliki lahan dengan luas antara 0.25 hingga 0.5 ha. Hanya 5 persen
petani yang memiliki luas lahan lebih dari 0.25 ha hingga paling luas yakni 1 ha.
Rata-rata penggunaan lahan petani di lokasi penelitian yaitu 0.2 ha.

Kepemilikan Lahan
Kepemilikan lahan pertanian di Indonesia khususnya wilayah pedesaan
sebagian masih menggunakan budaya warisan yang mengakibatkan makin
sempitnya kepemilikan lahan pertanian dari generasi ke generasi selanjutnya.
Sejalan dengan hal tersebut, semakin sempitnya lahan juga disebabkan karena
pertumbuhan penduduk yang diikuti pembagian harta warisan, sehingga
pemilikan lahan usahatani menjadi terpecah-pecah dalam luasan yang kecil-kecil
dan menyebar letaknya.

Tabel 8 Kepemilikan lahan petani cabai merah keriting di Kabupaten Cianjur,


Tahun 2017
Kepemilikan Lahan Jumlah Persentase
(orang) (%)
Milik 56 85
Sewa 10 15
Total 66 100

Status kepemilikan lahan petani cabai merah keriting dapat dilihat pada
Tabel 8. Bberdasarkan pada status kepemilikan lahan menunjukkan sekitar 85
persen petani mempunyai lahan milik sendiri, sedangkan 15 persen petani cabai
merah keriting sampel tidak memiliki lahan sendiri. Lahan milik petani sebagian
besar merupakan lahan warisan dari keluarga sebelumnya. Sedangkan lahan
bukan milik petani keseluruhannya merupakan lahan sewa, baik yang disewa oleh
perorangan atau perhutani. Lahan sewa perorangan keseluruhannya berada pada
wilayah penelitian di Kecamatan Pacet yakni dengan harga sewa rata-rata Rp 200
000 per patok (setara 0.04 ha). Sedangkan lahan sewa untuk Kecamatan
Sukanagara merupakan lahan milik Perhutani, adapun untuk biaya sewa lahan
yang diberlakukan oleh Perhutani belum ada ketentuan secara tertulis, hanya
berupa masa kontrak tidak terbatas, namun harus bersedia mengembalikan lahan
ketika akan dikelola kembali oleh Perhutani.
36

Status Usahatani
Status usahatani yang dimaskud yakni jenis pekerjaan utama yang dilakukan
tiap harinya. Status usahatani dibagi menjadi dua, usahatani sebaga pekerjaan
utama atau pekerjaan sampingan. Dari Tabel 9 diketahui bahwa seluruh petani
responden menjadikan petani sebagai pekerjaan utama. Responden tidak memiliki
pilihan lain selain menjadi petani sebagai pekerjaan utama, meskipun beberapa
petani sampel memiliki pekerjaan lain diluar usahataninya, penjual sayuran,
saprotan, serta sembako. Namun penghasilan utama tetap berasal dari usahatani.
Penghasilan menjadi petani masih dianggap cukup besar dibandingkan dengan
pekerjaan lain, selain itu rendahnya pendidikan juga menjadi alasan petani sampel
tetap menjadikan usahatani sebagai sumber pendapatannya.

Tabel 9 Status usahatani petani cabai merah keriting di Kabupaten Cianjur tahun
2017
Status Usahatani Jumlah Persentase
(orang) (%)
Pekerjaan Utama 66 100
Pekerjaan Sampingan 0 0
Total 66 100

Jumlah Anggota Tanggungan Keluarga Petani


Jumlah tanggungan keluarga merupakan jumlah seluruh orang yang berada
dalam satu rumah yang menjadi tanggungan kepala keluarga. Besar kecilnya
jumlah anggota keluarga dalam suatu rumahtangga menunjukkan besarnya beban
tanggungan yang harus dipikul oleh kepala keluarga. Jumlah anggota keluarga
yang besar dapat menurunkan kesejahteraan petani, karena semakin besar biaya
yang akan dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam keluarga. Di sisi
lain jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan petani dapat juga
membantu kegiatan produksi petani. Anggota keluarga yang dimaksud dapat
menjadi sumber tenaga kerja dalam keluarga, sehingga dapat menjadi pengganti
tenaga kerja luar keluarga yang pada akhirnya mampu menekan biaya usahatani.
Jumlah tanggunan keluarga di lokasi penelitian yakni sebanyak 88 persen petani
memiliki tanggungan keluarga 1 sampai 3 orang, sedangkan sisanya sebanyak 12
persen petani memiliki tanggunan keluarga sebanyak lebih dari 3 orang.

Tabel 10 Jumlah tanggungan keluarga petani cabai merah keriting di Kabupaten


Cianjur, Tahun 2017
Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah Persentase
(orang) (orang) (%)

1-3 58 88
4-5 8 12
Total 66 100

Pola Tanam
Pola tanam merupakan usaha penanaman pada sebidang lahan dengan
mengatur susunan tata letak dan urutan tanaman selama periode tertentu. Pola
tanam dibedakan menjadi pola tanam monokultur yaitu penanaman satu jenis
37

komoditi, atau pola tanam polikultur yaitu menanam lebih dari satu jenis
komoditas dalam lahan yang sama. Pola tanam secara polikultur atau sering juga
disebut tumpangsari mengharuskan petani mengeluarkan modal lebih besar
sekaligus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan pemilihan komoditas,
waktu tanam, maupun jarak tanam antar tanaman.

Tabel 11 Pola tanam petani cabai merah keriting di Kabupaten Cianjur tahun
2017
Pola Tanam Jumlah Persentase
(orang) (%)
Polikultur 51 72
Monokultur 15 28
Total 66 100

Di lokasi penelitian, selain menanam cabai merah keriting secara


monokultur sebagian petani sampel melakukan pola tanam secara polikultur
dengan beberapa jenis komoditas sayuran lainnya. Berdasarkan hasil wawancara,
sebanyak 72 persen petani sampel melakukan pola tanam polikultur. Sedangkan
sisanya sebanyak 28 persen petani sampel melakukan pola tanam secara
polikultur. Beberapa petani yang memutuskan melakukan pola tanam monokultur
dikarenakan terbatasnya modal dan luas lahan yang digunakan dalam
berusahatani. Sedangkan sebagian petani yang memutuskan melakukan pola
tanam polikultur dikarenakan untuk memanfaatkan sisa lahan yang ada, selain itu
petani melakukan pola tanam polikultur dalam upaya menambah pendapatan,
menjadi modal untuk usahatani cabainya, sekaligus sebagai langkah untuk
mengurangi kerugian yang mungkin terjadi pada salah satu jenis tanaman karena
gagal panen atau terserang hama dan penyakit. Beberapa komoditas yang ditanam
oleh petani sampel sebagai tanaman polikultur diantaranya, sawi, buncis, dan
bawang daun.

Gambar 9 Spesifikasi pola tanam petani cabai merah keriting di Kabupaten


Cianjur
38

Sebagian besar petani melakukan pola tanam dengan kombinasi (1) sawi +
cabai, (2) Bawang daun + cabai, (3) Buncis + cabai dan (4) Sawi + Bawang
daun/bucis + Cabai. Penanaman antar komoditas ini (Gambar 9) dilakukan pada
lahan yang sama (tumpangsari), sehingga penanaman tanaman untuk tumpang sari
dilakukan pada awal tanam. Penanaman tanaman tumpangsari diawal tanam ini
salah satunya agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman utama yaitu cabai
tetap maksimal ketika memasuki usia panen. Diharapkan dengan melakukan
tumpangsari petani mendapat keuntungan maksimal dari beberapa komoditas
tanaman yang diusahakan. Sedangkan dalam mengantisipasi menurunnya kadar
unsur hara pada tanah, petani memberikan selang waktu 1 hingga 1.5 bulan untuk
pengistirahatan tanah.

Sistem Pemasaran
Pasar merupakan aspek penting bagi petani untuk menjual hasil
produksinya. Namun tidak sedikit petani mengalamai permasalahan dalam
menjual hasil panennya. Petani memiliki saluran pemasaran yang berbeda untuk
menjual hasil panennya. Petani bisa menjual sendiri hasil panennya langsung ke
konsumen maupun ke pasar. Selain itu juga petani bisa menjual hasil panennya
melalui pihak lain, yaitu pedagang pengumpul, gapoktan maupun koperasi.
Sebanyak 55 persen petani sampel menjual hasil panennya kepada gapoktan,
sedangkan sisanya sebanyak 45 persen petani sampel menjual hasil panennya
kepada pedagang pengumpul. Penjualan hasil panen kepada gapoktan tedapat di
lokasi penelitian Kecamatan Pacet, dimana gapoktan menjual kembali cabai
merah keriting melalui kontrak kemitraan bersama dirjenhorti dan restoran di
Jakarta, sedangkan penjualan kepada pedagang pengumpul terdapat di lokasi
peneliti di Kecamatan Sukanagara, dimana pedagang pengumpul melakukan
penjualan cabai merah keriting kembali ke pasar tradisonal di Bogor.

Tabel 12 Sistem pemasaran cabai merah keriting di Kabupaten Cianjur tahun


2017
Sistem Pemasaran Jumlah Persentase
(orang) (%)
Pedagang Pengumpul 36 55
Gapoktan 30 45
Total 66 100

Identifikasi Risiko Produksi Cabai Merah Keriting di Kabupaten Cianjur

Kegiatan usahatani senantiasa selalu dihadapi dengan adanya risiko.


Usahatani cabai merah keriting di lokasi penelitian selalu dihadapi dengan risiko
produksi serta risiko harga produk. Indikasi adanya risiko produksi dan harga
ditunjukkan dengan adanya fluktuasi dikeduanya baik produksi dan harga cabai
merah keriting di Kabupaten Cianjur. Beberapa sumber risiko yang dianggap oleh
petani sampel sebagai penyebab risiko diantaranya sebagai berikut:
39

1. Hama dan Penyakit Tanaman


Tanaman cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki
sejarah serangan hama dan penyakit yang cukup banyak. Hal tersebut
menyebabkan produksi yang dihasilkan tidak seperti yang diharapkan, karena
adanya fluktuasi produksi yang tidak dapat diprediksi secara tepat oleh petani.
Bahkan adanya hama dan penyakit pada tanaman mampu menyebabkan gagal
panen, termasuk di lokasi penelitian yang banyak terserang hama dan penyakit
dan mengakibatkan petani harus panen cabai hijau. Berkaitan risiko yang
bersumber dari hama dan penyakit ini petani harus cerdik dalam mengatasi
permasalahan tersebut dengan insentif melakukan pencegahan dan pengendalian
yang tepat sasaran agar terhindar dari gagal panen dan membengkaknya biaya
produksi.
Dalam budidaya cabai merah keriting di Kabupaten Cianjur, ditemukan
banyak tanaman cabai merah keriting yang terkena hama jenis thrips, lalat buah,
kutu daun dan tungau. Sedangkan untuk penyakit yang ditemukan ditanaman
cabai merah keriting yakni antraknosa (banyak petani menyebut patek), layu
fusarium dan virus kuning. Serangan hama pada tanaman sering terjadi dalam
intensitas besar di musim kemarau, sebaliknya pada musim hujan masalah yang
banyak timbul adalah serangan penyakit pada tanaman cabai merah keriting.
Serangan hama dan penyakit pada cabai merah keriting berpotensi menurunkan
produksi cabai. Banyak sedikitnya hasil panen cabai tentu berkaitan dengan harga
yang timbul dipasaran.
Kaitannya dengan penanganan hama dan penyakit, petani sampel
menanggulanginya dengan melakukan penyemprotan atau pemberian pestisida.
Penyemprotan obat-obatan tersebut rata-rata dilakukan mulai 1 hingga 3 hari
sekali. Namun frekuensi penyemprotan pada tanaman tergantung pada kondisi
cuaca, karena kondisi cuaca erat kaitannya dengan populasi hama dan penyakit
yang timbul. Pada saat musim hujan yang mana keadaan curah hujan yang tinggi
dan udara lembab, populasi hama dan penyakit tanaman sangat tinggi terlebih
untuk serangan penyakit. Sedangkan pada musim kemarau keadaan curah hujan
yang rendah dan udara kering hama dan penyakit tanaman lebih rendah, walaupun
penyakit yang menyerang tanaman masih mendominasi pada musim kemarau.
Sehingga penyemprotan obat-obatan tanaman dapat dikatakan berbeda-beda.
Petani berharap perlakuan dengan penyemprotan tersebut diharapkan dapat
mempertahankan produksi cabai merah keriting sesuai dengan yang diharapkan.
2. Kondisi Cuaca dan Iklim
Selain faktor teknis budidaya, iklim dan cuaca yang tidak menentu juga
dapat berpengaruh pada kesuksesan dalam budidaya cabai. Cuaca dan iklim
menjadi salah satu faktor munculnya risiko dalam usahatani cabai merah keriting.
Hal ini dikarenakan cuaca saat ini sangat sulit diprediksi akibat adanya pemanasan
global. Dahulu cuaca lebih mudah untuk diprediksi dengan siklus tahunan yang
relatif sama. Perubahan cuaca yang tidak menentu membuat BMKG kesulitan
untuk memprediksi curah hujan pada tahun berikutnya. Sehingga berakibat petani
kesulitan dalam menentukan musim tanamnya.
Cuaca juga erat kaitannya dengan timbulnya serangan hama dan penyakit.
Musim hujan yang relatif tinggi dan lama juga berdampak pada tingginya
serangan penyakit terhadap tanaman, sebaliknya intensitas hujan yang jarang
cenderung membuat lahan kering juga berdampak pada tingginya serangan hama,
40

disisi lain banyak petani kesulitan dalam pencarian sumber air dan juga harus ada
biaya ekstra untuk penyemprotan air selama musim kemarau. Menurut BPS
(2018) dalam kurun waktu 2017 Kabupaten Cianjur cenderung mengalami hari
hujan sepanjang tahun, dimana hanya dibulan agustus dan september yang
mengalami hari hujan 4 hingga 6 hari. Pada kondisi di lapangan terdapat beberapa
lahan tanaman cabai yang mengalami kerusakan, seperti tanaman cabai yang
merebah dan ajir serta mulsa yang terlepas akibat hujan deras yang disertai angin
cukup kencang.
3. Kesuburan Lahan
Sebagian besar petani melakukan penanaman cabai secara rutin di lahan
yang sama sepanjang tahun. Kondisi ini menyebabkan tingkat kesuburan lahan
semakin menurun karena dengan tingkat intensitas pemanfaatan lahan yang tinggi
menyebabkan semakin banyak pengambilan unsur hara di dalam lahan tanam,
sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman cabai merah keriting di musim
berikutnya. Pada akhirnya berdampak pada tingkat produktivitas yang menurun.
Disisi lain banyak petani kurang menyadari pentingnya kesuburan lahan, karena
jarangnya petani melakukan rotasi tanam atau melakukan usaha pengembalian
kesuburan lahan seperti pemberian kapur untuk menetralisir keasaman tanah.

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Risiko Produksi Cabai Merah Keriting

Risiko dalam kegiatan usahatani yang dihadapi oleh petani cabai merah
keriting diantaranya risiko produksi dan risiko harga. Risiko yang terjadi
diindikasikan dengan terjadinya fluktuasi pada tingkat produksi dan tingkat harga
di petani. Risiko produksi cabai merah keriting dapat berasal dari faktor internal
dan juga eksternal. Risiko produksi yang diakibatkan oleh faktor internal yang
dapat memengaruhi hasil produksi cabai merah keriting diantaranya ditimbulkan
dari pengunaan input-input produksi. Pada penelitian ini perhitungan nilai risiko
produksilebih mendekatkan pada sisi produktivitas, sehingga untuk input produksi
yang dapat memengaruhi produktivitas dan risiko produktivitas cabai merah
keriting yaitu penggunaan benih, pengunaan pupuk, pengunaan pestisida, dan
pengunaan tenaga kerja. Sedangkan faktor eksternal salah satunya timbul dari
iklim dan cuaca yang menyertai pada saat kegiatan usahatani cabai merah
keriting.
Penelitian ini menggunakan metode yang dikembangkan oleh Just and
Pope. Model Just and Pope yang digunakan menghasilkan dua persamaan fungsi
yaitu fungsi produksi dan fungsi risiko produksi. Fungsi produksi menunjukkan
bagaimana pengaruh penggunaan input-input produksi cabai merah keriting
terhadap produksi cabai petani sampel. Fungsi risiko menunjukkan bagaimana
pengaruh penggunaan input terhadap kesenjangan produksi yang dihasilkan.
Kedua fungsi tersebut menggunakan fungsi Cobb-Douglas. Faktor produksi yang
diduga berpengaruh terhadap produksi dan risiko produksi meliputi luas lahan,
41

penggunaan benih, pengunaan pupuk, pengunaan pestisida, pengunaan tenaga


kerja, dan dummy musim.
Vaiabel pupuk tidak dapat dipisahkan menjadi pupuk organik dan pupuk
kimia, dikarenakan setelah dianalisis dalam model, penggabungan tersebut
memberikan hasil yang lebih baik, begitupun dengan variabel penggunaan
pestisida. Statistik deskriptif produksi dan variabel-variabel yang berpengaruh
terhadap tingkat produksi dan risiko produksi secara lengkap dapat dilihat pada
Tabel 13. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan proram
statistik SPSS versi 23.

Tabel 13 Deskripsi statistik variabel yang memengaruhi usahatani cabai merah


keriting di Kabupaten Cianjur, Tahun 2017
Variabel Satuan Minimum Maksimum Rata-rata Std. Dev
Produksi kg/ha 1 200.00 13 400.00 8 405.01 2599.59
Benih kg/ha 0.05 0.35 0.17 0.07
Pupuk kg/ha 13 000.00 23 977.00 11 017.50 6478.25
Pestisida l/ha 0.96 20.88 10.24 56.68
Tenaga Kerja HOK/ha 65.83 412.00 178.95 72.07

Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik adalah persyaratan statistik yang harus terpenuhi pada
analisis linear berganda yang berbasis Ordinary Least Square (OLS). Suatu fungsi
yang diperoleh dari hasil pendugaan dengan metode OLS dari koefisien regresi
adalah penduga tak bias linear terbaik jika semua asumsi yang mendasari model
tersebut terpenuhi. Uji asumsi klasik yang dilakukan adalah uji normalitas, uji
autokerelasi, uji multikolinearitas, dan uji heteroskedastisitas. Uji asumsi klasik
dilakukan dengan menggunakan program statistik SPSS versi 23.
Berdasarkan hasil olahan data menggunakan uji normalitas kolmogorov-
smirmov didapat nilai signifikansi sebesar 0.200, hasil tersebut lebih besar dari
pada taraf nyata sebesar 0.05. sehinggaa dapat disimpulkan bahwa data telah
menyebar dengan normal. Uji normalitas diperlukan karena pada sampel yang
terbatas atau tidak, saat melakukan Uji T, Uji F atau Chi Square mensyaratkan
asumsi normalitas.
Uji multikolinieritas digunakan untuk mengetahui apakah masing-masing
variabel independen yang dimasukkan dalam model saling berhubungan secara
linear. Adanya multikolinieritas dalam model dapat menyebabkan estimasi
pengaruh dari semua parameter variabel independen terhadap variabel dependen.
Untuk mengetahui adanya gejala multikoliniearitas dapat dilihat dari nilai
Variable Inflation Factor (VIF). Dari hasil perhitungan didapat bahwa untuk
keseluruhan variabel meliputi luas lahan, benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja dan
dummy musim pada fungsi produksi dan fungsi risiko produksi memiliki nilai
yang lebih kecil dari 10, sehingga dapat dikatakan model fungsi produksi dan
model fungsi risiko produksi cabai merah keriting tidak mengandung
multikolinieritas.
42

Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat adanya pengaruh dari observasi


sebelumnya. Penelitian ini menggunakan data cross section sehingga uji
autokorelasi tidak perlu dilakukan. Adanya gejala autokorelasi dalam model dapat
menyebabkan variabel penjelas menjadi tidak dapat diestimasikan dengan baik
karena nilai Uji T dan Uji F mengalami penyimpangan. Dengan menggunakan
bantuan program SPSS versi 23, nilai Durbin Watson pada fungi produksi sebesar
1.875 dan untuk fungsi risiko sebesar 1.976. Jumlah variabel pada penelitian ini
yaitu 5 variabel dengan data sebanyak 66 sampel, maka diperoleh nilai DU
sebesar 1.767 dan nilai 4-DU sebesar 2.235. Bila dibandingkan nilai DW hitung,
maka nilai DW hitung lebih besar dari nilai DU dan lebih kecil dari nilai 4-DU
maka dikatakan tidak ada autokerelasi. Berdasarkan hasil perbadinan nilai DW
hitung dengan DW tabel dapat dikatakan bahwa fungsi produksi dan fungsi risiko
produksi tersebut tidak terdapat autokorelasi karena nilai DW hitung berada
diantara nilai DU dan nilai 4-DU
Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat ketidaksamaan varian error
dari residual satu ke pengamatan yang lainnya. Model regresi harus memiliki
kesamaan antara varians error dari residual satu ke pengamatan yang lain. Jika
secara statistik nilai signifikansi lebih besar dari 0.05, maka tidak terjadi
heteroskedastisitas. Dalam pengujian heteroskedastisitas ini digunakan uji
Glejser. Hasil Uji Glejser didapat bahwa keseluruhan variabel memiliki nilai
signifikansi lebih dari 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa residual tidak
mengandung heteroskedastisitas. Secara lebih rinci menenai hasil perhitungan uji
asumsi klasik dapat dilihat pada Lampiran 1.

Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Produksi Cabai Merah


Keriting

Faktor-faktor yang memengaruhi produksi cabai merah keriting dapat


dilihat dari hasil analisis untuk fungsi produksi. Model pendugaan untuk fungsi
produksi cabai merah keriting didapat dengan memasukkan faktor input produksi
sebagai variabel independen dan produksi cabai merah keriting sebagai variabel
dependen. Pengaruh faktor produksi terhadap risiko produksi ini didapat dengan
melihat pengaruh faktor produksi. Faktor-faktor yang menjadi variabel bebas
dalam model merupakan faktor-faktor produksi yang diduga dapat memengaruhi
produksi cabai merah keriting yang dihasilkan.

Tabel 14 Hasil pendugaan fungsi produksi usahatani cabai merah keriting di


Kabupaten Cianjur
Koefisien
Variabel Std. Error T Hitung P-Value
Regresi
Constant 5.791 0.792 7.312 0.000
Ln Benih 0.152 0.108 1.405 0.165*
Ln Pupuk 0.077 0.052 1.474 0.146*
Ln Pestisida 0.210 0.055 3.804 0.000***
Ln Tenaga Kerja 0.224 0.091 2.460 0.017*
Dummy Musim -0.339 0.072 -4.672 0.972
Keterangan: *** nyata 0.05 (5%), ** nyata 0.10 (10%), *nyata 0.20 (20%)
43

Hasil dari pendugaan model fungsi produksi memberikan nilai koefisien


determinasi (R2) sebesar 0.517 atau 51.7 persen dengan nilai koefisien determinasi
terkorelasi (adj R2) sebesar 0.477 atau 47.7 persen. Nilai adj R2 pada fungsi
produksi menunjukkan bahwa 47.7 persen keragaman produksi cabai merah
keriting dapat dijelaskan oleh faktor produksi benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja
dan dummy musim.
Faktor-faktor produksi yang dimasukkan dalam model diduga berpengaruh
terhadap produksi cabai merah keriting. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa
tidak semua faktor produksi tersebut berpengaruh nyata terhadap produksi cabai
merah keriting. Faktor produksi mana saja yang berpengaruh signifikan terhadap
produktsi cabai merah keriting dapat ditentukan dengan menggunakan nilai
P-Value dan T hitung. Jika nilai P-Value lebih kecil dari taraf nyata, maka
variabel tersebut berpengaruh signifikan. Selebihnya arti nilai koefisien regresi
dan P-Value untuk setiap variabel yang dianalisis akan dijelaskan seebagai
berikut:

Benih
Benih tanaman memiliki nilai P- Value sebesar 0.165, sehingga variabel
benih tanaman berpengaruh nyata terhadap produksi cabai merah keriting pada
taraf nyata 20 persen. Nilai pendugaan parameter terhadap variabel benih
memiliki nilai positif yakni sebesar 0.152, yang artinya bahwa setiap kenaikan
satu persen dari penggunan benih tanaman akan mendorong kenaikan produksi
cabai merah sebesar 0.152 persen, dengan asumsi variabel produksi lainnya
dianggap tetap atau cateris paribus. Hasil pendugaan parameter tersebut sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Saptana (2011) dimana pada hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa variabel benih tanaman berpengaruh positif
terhadap produksi cabai merah besar dan cabai merah keriting di Jawa Tengah.
Benih yang digunakan oleh sebagian besar petani sampel yaitu jenis varietas
bianka dan juga OR 42. Varietas tersebut menurut petani merupakan varietas yang
cocok ditanam di dataran rendah hingga dataran tinggi. Selain itu penggunaan
benih dinilai memiliki produksi yang tinggi. Rata-rata varietas tersebut memiliki
waktu panen pertama sekitar 60 HST dengan tingkat produksi setiap tanamannya
sebesar 0.7 kg.
Penggunaan input berupa benih di Kabupaten Cianjur rata-rata sebanyak
0.17 kg/ha. Beberapa varietas benih yang digunakan berasal dari produksi lokal,
varietas tersebut diantaranya, OR 42, Bianka, TM, Kastilo F1, Phoenix dan
Rimbun. Namun sebagian besar petani sampel paling sering menggunakan benih
jenis OR 42 dan bianka. Kedua varietas tersebut dinilai memiliki kualitas yang
bagus dan tahan terhadap beberapa jenis hama dan penyakit. Rata-rata harga benih
yang dibeli yaitu Rp 160 000 per kemasan (10 gram). Untuk penanamanya
dilakukan pada benih berumur antara 25 hingga 30 hari setelah penyemaian.

Pupuk
Variabel pupuk memiliki nilai P-Value sebesar 0.146, sehingga variabel
pupuk berpengaruh nyata terhadap produksi cabai merah keriting hingga pada
taraf nyata 20 persen. Nilai pendugaan parameter terhadap variabel pupuk
memiliki nilai positif yakni sebesar 0.077, yang artinya bahwa setiap kenaikan
satu persen dari input pupuk akan mendorong kenaikan produksi cabai merah
44

sebesar 0.077 persen, dengan asumsi variabel produksi lainnya dianggap tetap
atau cateris paribus. Hasil pendugaan parameter tersebut sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Saptana (2011) dimana pada hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa variabel pupuk yang di dalamnya terdapat pupuk kimia dan
pupuk organik berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi cabai merah
besar dan cabai merah keriting di Jawa Tengah.
Dalam penggunaan input berikutnya berupa pupuk, petani sampel
menggunakan pupuk kimia dan pupuk organik sebagai pupuk dasar. Pupuk kimia
yang digunakan untuk pupuk dasar yaitu pupuk ZA, pupuk urea, pupuk TSP,
pupuk KCL, pupuk NPK dan pupuk kandang (jenis kotoran ayam dan sapi).
Pupuk susulan dilakukan kembali namun dengan dosis yang berbeda, biasanya
dimulai pada waktu tanaman cabai mulai berbunga atau 25 HST hingga 120 HST.
Jumlah pupuk yang digunakan petani sampel rata-rata yaitu 11 017.50 kg/ha.
Pemakaian pupuk terbesar yaitu pupuk kandang dengan rata-rata sebanyak 10
064.79 kg. Dosis untuk setiap tangkai tanaman cabai sebaiknya tidak lebih dari
7.5 g per tanaman. Sedangkan para petani mendapatkan pupuk dengan harga beli
pupuk sebesar rata-rata Rp 4 477.32 per kg.

Pestisida
Variabel pestisida memiliki nilai P-Value sebesar 0.000, sehingga variabel
pestisida berpengaruh nyata terhadap produksi cabai merah keriting hingga pada
taraf nyata 5 persen. Nilai pendugaan parameter terhadap variabel pestisida
memiliki nilai positif yakni sebesar 0.210, yang artinya bahwa setiap kenaikan
satu persen dari input pestisida akan mendorong kenaikan produksi cabai merah
sebesar 0.210 persen, dengan asumsi variabel produksi lainnya dianggap tetap
atau cateris paribus. Hasil pendugaan parameter tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mahananto et al. (2009) dan Alifiati et al. (2014)
namun berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Saptana (2011)
dimana pada hasil penelitiannya menyebutkan bahwa variabel pestisida
berpengaruh negatif terhadap peningkatan produksi cabai.
Jenis pestisida yang digunakan untuk sebagian besar petani yaitu jenis
insektisida dan juga fungisida. Hal ini dikarenakan lebih banyak hama dan
penyakit yang menyerang tanaman cabai merah keriting di lokasi penelitian.
Sebagian petani banyak yang melakukan penambahan dosis obat ketika
dihadapkan dengan serangan hama dan penyakit, sehingga berakibat penggunaan
pestisida yang tidak sesuai rekomendasi baik dari dinas pertanian dan juga pihak
swasta yang memproduksi obat-obatan tersebut. Penggunaan pestisida yang sesuai
dengan ketentuan tentunya akan membuat hasil produksi menjadi maksimal.
Walaupun secara prefentif, petani diharapkan mampu menggunakan pestisida
sesuai batasan tertentu. Sehingga hasil cabai yang diproduksi masih relatif aman
untuk tetap dikonsumsi.
Untuk penggunaan obat-obatan, petani sampel menggunakan pestisida
dalam bentuk padat dan cair. Penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani
disesuaikan dengan kondisi iklim dan lahan pertanian. Kondisi pada musim hujan
dengan curah hujan tinggi menyebabkan kondisi lahan yang basah menimbulkan
hama dan penyakit yang lebih cepat berkembang. Penggunaan pestisida untuk cair
rata-rata 10.24 l/ha sedangkan untuk pestisida padat rata penggunaannya 17.88
kg/ha. Pestisida tersebut termasuk di dalamnya yaitu jenis insektisida, fungisida
45

dan herbisida. Harga rata-rata untuk pestisida cair yakni Rp 3 501.00 per ml dan
harga untuk pestisida padat sebesar Rp 159 874.72 per kg. Sebagian besar petani
sampel mengeluhkan tingginya biaya yang ditimbulkan untuk penggunaan obat-
obatan. Bahkan menjadi biaya terbesar untuk penggunaan input selama produksi.

Tenaga Kerja
Variabel tenaga kerja memiliki nilai P-Value sebesar 0.017, sehingga
variabel pupuk berpengaruh nyata terhadap produksi cabai merah keriting hingga
pada taraf nyata 20 persen.Input tenaga kerja memiliki tanda positif yang artinya
setiap penambahan tenaga kerja akan memingkatkan produksi cabai merah
keriting. Hal ini berarti produksi cabai merah keriting masih bisa ditingkatkan
melalui penambahan penggunaan input tenaga kerja. Nilai koefisien parameter
input tenaga kerja adalah 0.224, artinya setiap penambahan penggunaan tenaga
kerja sebesar 1 persen dapat meningkatkan produksi cabai merah keriting sebesar
0.224 persen dengan asumsi variabel produksi lainnya tetap. Variabel tenaga kerja
memiliki pengaruh yang nyata dengan taraf kepercayaan 5 persen terhadap
produksi. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2011)
dan Alfiati et al. (2014) yang menyatakan bahwa tenaga kerja memberikan
pengaruh positif terhadap peningkatan hasil produksi usahatani.
Dalam penggunaan tenaga kerja dibedakan menjadi kategori tenaga kerja
wanita dan pria. Sedangkan untuk sumbernya, penggunaan tenaga kerja dibedakan
menjadi tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga dan berasal dari luar
keluarga. Sebagian besar tenaga kerja yang digunakan selama proses produksi
yakni pengolahan lahan, penanaman, penyulaman, pemupukan serta
penyemprotan adalah tenaga kerja pria, tenaga kerja wanita yang ada dalam
proses ini keseluruhan merupakan tenaga kerja dalam keluarga (istri/anak) untuk
membantu pekerjaan kepala keluarganya. Tenaga kerja wanita dari luar keluarga
banyak digunakan selama proses pemanenan.
Penggunaan tenaga kerja oleh petani sampel banyak dipengaruhi oleh
luasnya lahan garapan petani sampel. Semakin luas lahan garapan tanaman cabai
merah keritingnya maka tenaga kerja yang digunakan lebih banyak bila
dibadingkan petani sampel yang memiliki lahan kecil. Perhitungan tenaga kerja
dikonversi kedalam tenaga kerja orang (HOK) dengan rata-rata jam kerja 5 jam
per hari. Besaran penggunaan tenaga kerja di lokasi penelitian paling banyak
berasal dari dalam keluarga, hal ini dikarenakan banyak petani sampel melibatkan
anggota keluarganya untuk membantu keiatan usahatani cabai merah keriting.
Selain itu tenaga kerja di luar keluarga lumayan sedikit ketersediaanya, karena
banyaknya petani sampel lainnya yang menggunakan tenaga kerja luar juga. Hal
ini juga yang membuat petani sampel memiliki tenaga kerja tetap, tenaga kerja
tetap disini merupakan kontrak tidak tertulis untuk tetap bekerja pada satu petani
sampel saja. Keterbatasan tenaga kerja juga yang membuat musim tanam di lokasi
penelitian berbeda-beda. Sebanyak 97.87 HOK merupakan tenaga kerja dari
dalam keluarga, sedangkan sebanyak 85.49 HOK berasal dari luar keluarga.
Untuk biaya pengunaan tenaga kerja di lokasi penelitian rata-rata Rp 43 636,
biaya tenaga kerja tertinngi yakni Rp 50 000 per hari di Kecamatan Pacet dan
terendah Rp 35 000 di Kecamatan Sukanagara.
46

Musim Tanam
Musim penanaman adalah variabel dummy. Variabel musim tanam memiliki
nilai P-Value sebesar 0.000. nilai P-Value tersebut lebih besar dari a= 5 persen,
yang berarti variabel dummy musim tanam berpengaruh secara nyata terhadap
produksi cabai merah keriting dengan taraf nyata 5 persen. Nilai koefisien
parameter dugaan untuk variabel dummy musim adalah negatif 0.339. Hasil ini
menandakan bahwa produksi cabai di lokasi penelitian yang ditanam pada musim
kemarau lebih tinggi daripada produksi tanaman cabai merah keriting yang
ditanam pada saat musim hujan.
Penanaman tanaman cabai merah keriting pada musim kemarau dilakukan
sebagian besar petani sampel di lokasi penelitian. Musim kemarau di Kabupaten
Cianjur selama tahun 2016 hingga 2017 setiap bulannya masih terdapat hari
hujan, sehingga petani menilai curah hujan yang tidak berlebihan sangat
mendukung keiatan usahatani cabai. Pada musim kemarau sebagian besar petani
tidak mengalami kesulitan air untuk pengairan selama budidaya. Disisi lain
musim hujan yang terjadi sering sekali dengan dibarengi oleh cuaca ekstrim yang
menganggu kegiatan budidaya cabai merah keriting. Namun ditengah kondisi saat
ini yang keadaan cuacnya sulit diperkirakan membuat petani merasa sama saja
menanam cabai merah keriting dimusim keduanya.
Hasil analisis mengenai fungsi produksi menghasilkan koefisien regresi
untuk setiap variabel. Nilai koefisien regresi masing-masing variabel dapat
dijumlahkan untuk mengetahui parameter keuntungan atas skala produksi. Hasil
penjumlahan dari koefisien fungsi produksi yaitu sebesar 0.324. Hasil
penjumlahan koefisien dapat disimpulkan bahwa parameter keuntungan atas skala
produksi cabai merah keriting adalah keuntungan yang semakin meningkat atas
skala produksi. Jadi ketika terjadi peningkatan satu persen produksi secara
bersamaa-sama akan meningkatkan prouktivitas cabai merah keriting di lokasi
penelitian sebesar 0.324 persen.

Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Risiko Produksi Cabai


Merah Keriting

Risiko yang dimaksud dalam penelitian ini adalah adanya fluktuasi hasil
produksi cabai merah keriting. Selain itu, indikator risiko dalam penelitian ini
yaitu adanya selisih antara produksi aktual dengan produksi dugaan pada msing-
masing petani sampel. Fungsi produksi yang telah dihasilkan sebelumnya,
digunakan untuk menghasilkan nilai produksi dugaan pada masing-masing
sampel. Fungsi varians produksi digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang
memengaruhi risiko produksi cabai merah keriting. Karena pada penelitian ini
lebihmendekatkan pada sisi produktivitas, maka faktor-faktor produksi yang
digunakan dan diduga dapat memengaruhi risiko produksi cabai meah keriting
yaitu benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja dan dummy musim.
Hasil perhitungan selisih antara produktivitas aktual dengan produktivitas
dugaan akan bernilai positif dan nilai negatif. Nilai negatif mengindikasikan
adanya risiko yang dihadapi oleh petani, sedangkan nilai positif mengindikasikan
bahwa petani memiliki peluang mendapatkan keuntungan yang lebih. Selisih
produksi aktual dan produksi dugaan pada penelitian ini digunakan untuk melihat
47

berapa besar risiko yang dihadapi oleh petani cabai merah keriting di lokasi
penelitian. Sebanyak 53 persen petani sampel memiliki nilai produksi aktual lebih
besar dari produksi dugaan, sehingga didaptkan petani sampel memiliki
keuntungan yang sesuai dengan harapan, sedangkan sebanyak 47 persen petani
memiliki nilai produksi aktual lebih kecil dengan produksi dugaan, sehingga
petani memilki keuntungan yang sedikit atau tidak sesua harapan. Maka risiko
yang dihadapai petani cabai merah keriting di lokasi penelitian tergolong rendah.
Hasil analisis fungsi risiko produksi di Kecamatan Sukanagara dan
Kecamatan Pacet menunjukkan nilai adj R2 pada fungsi risiko produksi
menunjukkan bahwa 47.8 persen keragaman risiko produksi cabai merah keriting
dapat dijelaskan oleh faktor produksi luas lahan, benih, pupuk, pestisida, tenaga
kerja dan dummy musim. Sisanya sebesar 52.2 persen dijelaskan oleh faktor
produksi lain di luar model. Sedangkan nilai signifikasi F-hitung sebesar 0.000
yang berarti lebih kecil dari a = 5 persen. Maka dapat disimpulkan bahwa model
dugaan yang dihasilkan signifikan secara statistik.

Tabel 15 Hasil pendugaan fungsi risiko produksi usahatani cabai merah keriting
di Kabupaten Cianjur tahun 2017
Koefisien
Variabel Std. Error T Hitung P-Value
Regresi
Constant 21.444 4.417 4.885 0.000
Ln Benih 0.329 0.603 0.545 0.588
Ln Pupuk -0.605 0.292 -2.068 0.043**
Ln Pestisida 0.097 0.308 0.325 0.754
Ln Tenaga Kerja -0.445 0.508 -0.876 0.385
Dummy Musim 2.896 0.404 0.693 0.000***
Keterangan: *** nyata 0.05 (5%), ** nyata 0.10 (10%), *nyata 0.20 (20%)

Faktor-faktor produksi yang menjadi variabel bebas dalam model


merupakan faktor-faktor produksi yang diduga dapat memengaruhi nilai varians
risiko produksi cabai merah keriting. Berdasarkan hasil pendugaan fungsi risiko
produksi diketahui bahwa faktor produksi yang berpengaruh yaitu luas lahan,
benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja dan dummy musim. Jika dilihat dari nilai
pedugaan parameter terhadap faktor-faktor produksi, variabel luas lahan, benih,
pupuk, tenaga kerja dan dummy musim merupakan variabel yang dapat
menimbulkan risiko produksi cabai merah keriting, sedangkan variabel pestisida
menjadi faktor produksi yang dapat mengurangi risiko produksi. Selebihnya untuk
faktor-faktor produksi yang memengaruhi produksi cabai merah keriting
dijelaskan sebagai berikut.

Benih
Berdasarkan hasil pendugaan terhadap fungsi risiko produksi cabai merah
keriting menunjukkan bahwa nilai pendugaan parameter terhadap variabel benih
memiliki nilai positif sebesar 0.329. Nilai tersebut menujukkan bahwa
penambahan variabel benih sebanyak satu persen akan meningkatkan nilai varians
produksi cabai merah keriting sebesar 0.329 persen dengan asumsi semua variabel
lain tetap (cateris paribus). Variabel benih merupakan variabel yang tidak
berpengaruh nyata terhadap risiko produksi cabai merah keriting hingga taraf
48

nyata 20 persen, hal ini diketahui bila melihat hasil P-Value yang sebesar 0.588.
Hasil ini sejalan dengan penelitian Nurhapsa (2013) dan Qomaria (2011) dimana
bibit merupakan input yang meningkatkan risiko pada produksi kentang dan talas.
Namun berbeda dengan (Tiedeman dan Lohmann 2012) menyatakan bahwa bibit
merupakan input yang dapat mengurangi risiko produksi.
Petani sampel dilokasi penelitian merupakan petani yang fanatik terhadap
satu jenis varietas cabai saja. Dua varietas yang banyak digemari petani yaitu jenis
bianka dan juga OR 42. Varietas tersebut menurut petani merupakan varietas yang
mampu menghasilkan produksi lebih tinggi dan lebih tahan terhadap beberapa
serangan hama dan penyakit. Namun di lapangan, sebagian besar petani dalam
beberapa waktu terakhir kesulitan mendapatkan benih varietas tersebut. Meskipun
ada di pasaran, namun menurut petani harga yang ditawarkan jauh melonjak
tinggi. Hal ini menjadikan beberapa petani beralih menggunakan jenis benih
dengan varietas baru.

Pupuk
Hasil pendugaan fungsi risiko produksi menunjukkan bahwa variabel pupuk
merupakan variabel produksi yang dapat mengurangi risiko produksi. Koefisien
parameter menunjukkan nilai negatif yang artinya setiap peningkatan peggunaan
pupuk dapat mengurangi risiko produksi cabai merah keriting. Nilai koefisien
parameter untuk pupuk yaitu negatif 0.605 yang artinya setiap penambahan
penggunaan pupuk satu persen dapat mengurangi risiko produksi cabai merah
sebesar 0.605 persen dengan asumsi semua variabel lain tetap (cateris paribus).
Sedangkan berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan variabel pupuk
berpengaruh nyata terhadap risiko produksi cabai merah keriting karena nilai P-
Value sebesar 0.043 lebih besar dari taraf nyata 0.5 persen.
Pupuk kimia dalam variabel ini terdiri dari pupuk TSP, pupuk NPK
Phonska, pupuk KCL, pupuk ZA dan pupuk SP-36. Penggunaan pupuk terbanyak
terdapat pada pupuk TSP dan ZA dimana keduanya memiliki jumlah pemakaian
rata-rata 260 dan 267 kg/ha. Jumlah ini masih dibawah dosis yang disarankan oleh
Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur yaitu 275 kg/ha. Namun apabila dibandingkan
dengan penambahan pupuk kimia jenis lainnya, dosis penggunaan pupuk kimia
petani sampel telah melebihi dosis yang direkomendasikan. Sehingga penggunaan
pupuk petani sampel masih dapat ditingkatkan kembali. Namun dengan
mengurangi dosis penggunaan pupuk kimia lainnya dan meningkatkan
penggunaan pupuk organik.
Pemberian variabel pupuk merupakan salah satu bentuk usaha dari petani
untuk dapat meningkatkan hasil produksi hingga mendapatkan tingkat produksi
maksimal. Namun penggunaan pupuk, baik itu pupuk organik dan pupuk kimia
pada umumnya sudah ditentukan jumlah standar penggunaannya. Jika
penggunaannya sesuai dengan batas standar maka dimungkinkan berakibat pada
keadaan produktivitas cabai merah yang terus meningkat. Hasil estimasi variabel
pupuk mengurangi risiko ini sejalan dengan penelitian Guan dan Wu (2009),
Suharyanto (2013) dan Asnah et al. (2015).
49

Pestisida
Variabel pestisida dalam hasil estimasi fungsi risiko produksi cabai merah
keriting memiliki tanda positif yang artinya variabel pestisida merupakan variabel
yang dapat meningkatkan risiko. Nilai koefisien parameter pestisida sebesar
0.097, yang artinya setiap penambahan pestisida sebesar satu persen dapat
menambah risiko produksi sebesar 0.097 persen dengan asumsi semua variabel
lain tetap (cateris paribus). Akan tetapi, variabel pestisida tidak berpengaruh
nyata terhadap risiko produksi, karena nilai P-value yang didapat sebesar 0.754
lebih besar dari taraf nyata 0.2.
Pestisida yang digunakan oleh petani cabai merah keriting di Kabupaten
Cianjur meliputi fungisida, insektisida dan herbisida. Petani menggunakan
fungisida untuk mengatasi jamur dan penyakit seperti layu fusarium, virus kuning,
dan antraknosa. Untuk insektisida digunakan untuk menanggulangi serangan
hama seperti thrips, lalat buah, kutu daun serta ulat. Sedangkan herbisida
digunakan untuk menghilangkan gulma yang tumbuh di lahan tanaman cabai
merah keriting. Dalam penggunaannya, petani sampel memberikan obat-obatan
berdasarkan kondisi di lapangan, banyak sedikitnya obat-obatan yang digunakan
tergantung masalah yang timbul dan mengganggu tanaman, sehingga dosisnya
tidak menentu. Berbeda dengan pupuk, penggunaan obat-obatan tanaman tidak
memiliki standar. Hal tersebut yang membuat penggunaan pestisida berbeda
diantara petani dan lebih cenderung menimbulkan risiko. Petani sampel memilih
untuk menambah dosis pemberian pestisida ketika dihadapi oleh serangan hama
dan penyakit. Hasil estimasi penggunaan pestisida ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Epinoza dan Rand (2015) serta Nurhapsa (2013) dimana
penggunaan pestisida yang tidak tepat mampu dapat meingkatkan risiko.

Tenaga Kerja
Berdasarkan hasil pendugaan terhadap fungsi risiko produksi cabai merah
keriting menunjukkan bahwa nilai pendugaan parameter terhadap variabel tenaga
kerja memiliki nilai negatif sebesar 0.445. Nilai terebut menujukkan bahwa
penambahan variabel tenaga kerja sebanyak satu persen akan mengurangi nilai
varians produksi cabai merah keriting sebesar 0.445 persen dengan asumsi semua
variabel lain tetap (cateris paribus). Berdasarkan hasil P-Value sebesar 0.385
mengindikasikan bahwa variabel tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap
risiko produksi cabai merah keriting hingga dengan taraf nyata 20 persen.
Tenaga kerja merupakan elemen terpenting dalam kelancaran dan
keberhasilan dalam budidaya tanaman cabai merah keriting. Ketersediaan tenaga
kerja di lokasi penelitian cukup terbatas, banyak petani menggunakan tenaga kerja
dengan sistem tetap, dalam arti pekerja tersebut hanya bekerja untuk petani
sampel selama semusim. Ini merupakan upaya petani agar tidak kehilangan tenaga
kerjanya. Disisi lain petani juga banyak yang menggunakan tenaga kerja dengan
latar belakang berpengalaman dalam usaha budidaya cabai merah keriting. Hal ini
yang membuat tenaga kerja dapat menjadi mengurangi risiko dalam kegiatan
produksi tanaman cabai merah keriting. Hasil ini sejalan dengan yang ditemukan
oleh Fauziyah (2010), Rahayu (2011), Kurniati (2012), Nurhapsa (2013) dan
Apriana (2017), dimana dalam fungsi risiko input tenaga kerja merupakan
komponen yang mampu mengurangi risiko produksi.
50

Musim tanam (dummy)


Musim tanam memiliki nilia P-Value sebesar 0.000 atau lebih kecil dari
taraf nyata 5 persen. Hal itu membuat variabel musim tanam memiliki pengaruh
signifikan terhadap risiko produksi cabai merah keriting di lokasi penelitian pada
taraf 20 persen. Koefisien parameter dugaan untuk variabel dummy musim pada
hasil estimasi risiko produksi memiliki tanda positif yaitu sebesar 2.896. Hasil
tersebut mengartikan bahwa varian produksi cabai merah keriting di Kabupaten
Cianjur pada musim tanam hujan lebih berisiko dari pada produksi di waktu
musim kemarau. Sehingga pada musim hujan penanaman cabai lebih memiliki
tingkat risiko produksi yang lebih rendah. Hasil ini sejaan dengan penelitian yang
dilakukan Hutabarat dalam Fariyanti (2008) menunjukkan bahwa pada musim
hujan input benih, pupuk nitrogen, pupuk phospor, kepemilikan lahan dan
insektisida merupakan faktor yang menyebabkan risiko.
Petani dalam hal menghadapi musim tanam cenderung terjadwal, petani
melakukan tanam cabai dengan melihat pola tanam petani lainnya atau dengan
kata lain petani sampel saling berusaha menghindari kemungkinan tanam cabai
merah keriting secara serentak. Selama tahun 2016 hingga 2017, musim kemaran
dan musim hujan ditentukan dengan melihat banyaknya curah hujan pada setiap
bulannya, lalu dibandingkan dengan rata-rata curah hujan setahun. Bulan Juni
hingga Agustus 2016 dan Bulan Mei hingga September 2017 dikelompokkan
menjadi musim hujan, hal ini dikarenakan pada bulan tersebut curah hujan yang
terjadi dibawah rata-rata gurah hujan setahun. Berdasarkan hasil penelitian di
lapangan, diketahui bahwa produktivitas cabai merah keriting tertinggi terjadi
pada musim kemarau yakni sebesar 8.67 ton/ha, sedangkan pada musim hujan
tingkat produktivitas yang tercapai sebesar 7.91 ton/ha. Lebih tingginya capaian
produktivitas pada musim kemarau dikarenakan walaupun musim kemarau namun
tiap bulannya masih terdapat curah hujan hariannya. Berbeda pada musim hujan,
curah hujan yang terjadi cenderung rutin dalam setiap harinya dan intensitas yang
lebih besar. Sehingga pada periode tersebut produktivitas pada musim kemarau
capaiannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanam musim hujan.

Analisis Risiko Harga Cabai Merah Keriting

Cabai merah keriting merupakan salah satu komoditas yangmemiliki harga


jual yang berfluktuasi khususnya ditingkat petani. Perubahan harga jual cabai
merah keriting bahkan terjadi hampir setiap hari. Bahkan kenaikan harga cabai
mampu menyebabkan inflsi, inflasi pada tahun 2017 tercatat sebanyak 0.46 persen
berasal dari kenaikan harga untuk komoditas sayauran di mana cabai merah
keriting termasuk di dalamnya. Pergerakan harga cabai merah keriting tidak
terlepas dari ketersediaan cabai merah keriting di tingkat petani. Pada musim
tertentu, dimana cuaca ekstrim banyak mengakibatkan petani gagal panen. Hal
tersebut membuat pasokan cabai dari petani terbatas, sehingga harga cabai
mengalami kenaikan. Begitupula ketika memasuki hari raya, dimana permintaan
yang banyak juga mampu meningkatkan harga cabai di pasaran.

Petani sampel di lokasi penelitian mengalami tinggi rendahnya harga jual


cabai merah keriting. Selama pengalaman dalam berusahatani, rata-rata petani
51

mengalami harga tertinggi sebesar Rp 48 500 per kg dengan harga tertinggi


mencapai Rp 75 000 per kg. Sedangkan harga terendah yang pernah dialami
petani rata-rata sebesar Rp 4 800 per kg dengan harga terendah mencapai Rp 2000
per kg. Sedangkan harga normal yang dialami petani rata-rata sebesar Rp 16 000
per kg. Harga tertinggi yang dialami petani selama berusahatani cabai yaitu terjadi
pada tahun 2010, 2014 dan 2015 sedangkan harga terendah yang dialami petani
terjadi pada tahun 2011 dan 2013.
Penilaian risiko pada penelitian ini didasarkan pada pengukuran
penyimpangan terhadap return dari suatu aset. Beberapa ukuran yang dapat
digunakan untuk megukur penyimpanan tersebut adalah varian (variance), standar
deviasi (standard deviation), dan koefisien variasi (coefficient variationi).
Ukuran-ukuran tersebut merupakan ukuran statistik yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat risiko harga yang terjadi pada harga jual yang dilakukan oleh
petani. Pada pengukuran ini dibagi mejadi dua, meliputi wilayah penelitian di
Kecamatan Sukanagara dan Kecamatan Pacet. Pembagian tersebut dikarenakan
adanya perbedaan jarak menuju pasar, dan juga perbedaan pasar untuk saat ini.

Tabel 16 Pengukuran tingkat risiko harga cabai merah keriting


Kecamatan Kecamatan
Ukuran Rata-rata
Sukanagara Pacet
Expected price Rp 19 389 Rp 16 873 Rp 18 322
Variance 126 778 082 112 719 784 120 813 956
Standard deviation 10 802 10 375 10 622
Coefficient variation 0.558 0.623 0.585

Pada Tabel 16 didapat bahwa peluang menunjukkan distribusi frekuensi


terhadap suatu kejadian. Kondisi lingkungan internal maupun eksternal dapat
memengaruhi besar atau kecilnya suatu peluang. Peluang yang didapatkan oleh
petani cabai merah keriting mempunyai peluang yang berbeda-beda untuk
mendapatkan harga yang rendah, normal dan tinggi. Peluang untuk petani
mendapatkan harga rendah sebesar 0.12, untuk harga tertinggi sebesar 0.11,
sedangkan peluang untuk mendapatkan harga nomal merupakan peluang tertinggi
dengan nilai sebesar 0.77.
Nilai expected price dapat dihitung dengan mengakumulasikan seluruh nilai
penjualan cabai merah keriting pada suatu periode yang dikalikan dengan peluang
kejadiannya, berdasarkan hasil perhitungan, diketahui bahwa nilai expected price
penjualan cabai merah keriting di Kecamatan Sukanagara sebesar Rp 19 389 per
kg. Lebih tinggi bila dibandingkan nilai expected price penjualan yang dilakukan
petani cabai merah keriting di Kecamatan Pacet yang sebesar Rp 16 873. Hasil ini
lebih dikarenakan para petani sampel di Kecamatan Sukanagara memiliki lahan
yang lebih luas dibandingkan dengan Kecamatan Pacet.
Varians merupakan akumulasi selisih kuadrat dari harga dengan expected
price yang dikalikan dengan peluang dari setiap periode. Berdasarkan hasil
perhitungan diperoleh nilai varians harga penjualan yang dilakukan petani di
Kecamatan Pacet adalah 112 719 784. Sedangkan varians harga penjualan cabai
merah keriting yang dilakukan oleh petani sampel di Kecamatan Sukanagara
adalah 126 778 082. Berdasarkan nilai varians dapat diketahui bahwa penjualan
cabai merah keriting yang dilakukan petani sampel di Kecamatan Pacet lebih kecil
52

bila dibandingkan dengan nilai varians petani sampel di Kecamatan Sukanagara.


Hal ini menunjukkan bahwa penyimpangan lebih kecil dari tingkat risiko harga
petani di Kecamatan Pacet lebih kecil bila dibandingkan Kecamatan Suakanagara.
Nilai standar deviasi dapat diperoleh dengan menghitung akar kuadrat dari
nilai varians. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai standar deviasi petani
di Kecamatan Pacet sebesar 10 375. Sedangkan standar deviasi penjualan cabai
pada petani sampel di Kecamata Sukanagara adalah sebesar 10 802. Berdasarkan
nilai standar deviasinya, dapat diketahui bahwa penjualan petani cabai di
Kecamatan Pacet memiliki standar deviasi lebih kecil yang menunjukkan tingkat
risiko harga yang lebih kecil juga.
Elton dan Gruber (1995) menjelaskan bahwa penilaian risiko dengan
menggunakan nilai varians dan standar deviasi merupakan ukuran yang absolut
dan tidak mempertimbangkan risiko dalam hubungannya dengan hasil yang
diharapkan. Jika nilai varian dan standar deviasi digunakan untuk mengambil
keputusan dalam membandingkan risiko yang dihadapi dikhawatirkan akan terjadi
pengambilan keputusan yang kuran tepat. Hasil keputusan yang tepat dalam
menganalisis risiko suatu usaha harus menggunakan perbandingan dengan satuan
yang sama. Koefisien variasi merupakan ukuran yang dapat membandingkan
dengan satuan yang sama dengan mempertimbangkan risiko yang dihadapi untuk
setiap return yang diperoleh.
Nilai koefisien variasi dapat dihitung dengan mengukur rasio nilai standar
deviasi dengan tingkat pengembalian yang diharapkan. Berdasarkan hasil
perhitungan yang diperoleh, nilai koefisien harga penjualan yang dilakukan petani
cabai merah keriting di Kecamatan Sukanagara sebesar 0.558. Sedangkan nilai
koefisien variasi yang dilakukan pada petani sampel di Kecamatan Pacet sebesar
0.623. Berdasarkan nilai koefisien variasinya, dapat diketahui bahwa penjualan
yang dilakukan petani di Kecamatan Sukanagara memiliki nilai koefisien variasi
yang lebih kecil, hal ini menunjukkan tingkat risiko harga yang lebih kecil bila
dibandingkan risiko harga pada petani sampel di Kecamatan Pacet.
Jika dilihat dari tingkat pengembalian yang diharapkan, penjualan yang
dilakukan petani di Kecamatan Sukanagara lebih besar jika dibandingkan dengan
penjualan yang dilakukan petani sampel di Kecamatan Pacet. Namun begitu,
dilihat dari tingkat risikonya, jika dilihat dari nilai varians dan standar deviasi
secara menyeluruh penjualan petani sampel di Kecamatan Pacet lebih tinggi jika
dibandingkan dengan penjualan oleh petani sampel di Kecamatan Sukanagara.
Berdasarkan nilai koefisien variasi, dari setiap Rp 10 000 yang diharapkan petani
di Kecamatan Sukanagara maka akan ada risiko harga sebesar Rp 5 580.
sedangkan jika petani sampel di Kecamatan Pacet, dari setiap Rp 10 000 yang
diharapkan maka akan ada risiko harga yang dihadapi sebesar Rp 6 230.
Secara keseluruhan rata-rata untuk nilai koefisien variasi cabai merah
keriting pada penelitian ini sebesar 0.585. Hasil koefisien variasi ini lebih tinggi
bila dibandingkan dengan nilai koefisien variasi cabai merah di Kediri Jawa
Timur, dimana menurut Hariyani et al. (2017) menyebutkan bahwa nilai koefisien
variasi cabai merah di Kediri sebesar 0.32. Namun nilai koefisien variasi pada
cabai merah keriting ini lebih kecil bila dibandingkan dengan komoditas tomat,
dimana meurut Mustainah et al. (2017) menyebutkan nilai koefisien variasi untuk
komoditas tomat di Jember Jawa Timur sebesar 0.78. Hasil berbeda didapat oleh
Rahmawati (2018) dimana dalam hasil penelitiannya didapat untuk beberapa
53

komoditas sayuran unggulan indonesia memiliki nilai koefisien variasi yang


beragam, seperti tomat sebesar 0.482, cabai 0.349, kubis 0.209 dan kubis 0.195.
Petani sampel di Kecamatan Sukanagara secara keseluruhan masih
mengandalkan hasil penjualan panennya kepada pedagang pengumpul yang
selanjutnya dijual kembali ke pasar di Bogor. Penentuan harga yang diterima
petani tentunya berdasarkan harga yang terdapat di pasar. Sedangkan petani
sampel di Kecamatan Pacet dalam 2 tahun terakhir telah melakukan penjualan
kepada gapoktan. Dimana gapoktan yang ada telah bekerja sama dengan
Perusahaan restoran dan juga dirjen hortikultura untuk penjualan hasil panennya.
Kerjasama ini menghasilkan harga kontrak antara Rp 15 000 hingga Rp 25 000.
Sehingga pada petani sampel di Kecamatan Pacet hampir dipastikan tidak
mendapat harga terendah hingga Rp 2 000 atau bahkan dibawah Rp 15 000 dalam
2 musim terakhir.
Nilai penerimaan yang diperoleh petani cabai merah keriting akan
berpengaruh terhadap keputusan petani dalam usahatani pada musim berikutnya.
Apabila keuntungan yang diperoleh petani semakin meningkat, maka petani akan
semakin berani dalam menghadapi risiko. Sedangkan apabila keuntungan yang
diperoleh petani semakin menuru, maka petani akan semakin kurang berani dalam
menghadapi risiko.

Preferensi Petani dalam Menghadapi Risiko Produksi Cabai Merah Keriting

Setelah mengetahui risiko produksi yang dihadapi petani dalam usahatani


cabai merah keriting, maka perlu juga mengetahui bagaimana sikap petani dalam
menghadapi risiko. Dalam melakukan estimasi terhadap nilai preferensi risiko
atau nilai Absolute Risk averse (AR), petani dapat dikatakan risk averse jika
memiliki nilai AR lebih besar dari 0, petani dikatakan risk neutral jika memiliki
nilai AR sama dengan 0, serta petani dikatakan risk taker jika memiliki nilai AR
kurang dari 0.

Tabel 17 Preferensi risiko produksi petani cabai merah keriting di Kabupaten


Cianjur terhadap penggunaan input produksi
Rata-rata nilai AR Preferensi
Input Produksi
Musim Kemarau Musim Hujan Risiko
Benih 0.03147369476 0.01953090946 Risk Averse
Pupuk -0.00002622723 -0.00002216061 Risk Taker
Pestisida -0.00000000428 -0.00000000018 Risk Taker
Tenaga Kerja -0.00004707342 -0.00001601065 Risk Taker

Berdasarkan hasil pada Tabel 17, dapat dilihat bahwa penggunaan input
pupuk, pestisida dan tenaga kerja bersifat risk taker. Petani cabai merah keriting
di Kabupaten Cianjur berani menggunakan input lahan, pupuk, pestisida, dan
tenaga kerja untuk meningkatkan produksi meskipun menghadapi risiko.
Sedangkan untuk pengunaan input benih, petani sampel bersifat risk averse, hal
ini menunjukkan petani tidak berani mengambil risiko untuk penggunaan benih
54

cabai merah keriting. Penjelasan masing-masing perilaku petani dalam


penggunaan input akan dijelaskan sebagai berikut:

Benih
Petani cabai merah keriting di lokasi penelitian sebagian besar berperilaku
risk averse baik pada penanaman cabai merah keriting dimusim kemarau dan
musim hujan. Musim tidak membedakan petani dalam hal penggunaan benih
ketika dihadapkan oleh risiko. Petani yang memiliki sifat risk averse ini akan
sedikit mengurangi dan tidak berani meningkatkan penggunaan input benihnya
dalam kegiatan usahatani cabai merah keriting saat kondisi risiko. Selain itu di
lapangan sebagian besar petani yang fanatik terhadap varietas tertentu juga
membuat petani tidak berani menggunakan varietas lainnya. Beberapa petani
bahkan menunda tanam ketika tidak mendapatkan benih yang sesuai, sebagian
petani tetap menanam dengan varietas lain namun dengan skala usaha yang lebih
kecil. Penggunaan benih ini terkait dengan kualitas benih yang mampu
menghasilkan cabai lebih banyak sekaligus menghasilkan tanaman cabai yang
tidak mudah terdampak akan serangan hama dan penyakit. Rata-rata penggunaan
benih cabai merah keriting di lokasi penelitian yaitu 0.17 kg/ha. Penggunaan
benih pada musim hujan tercatat lebih besar bila dibandingkan dengan musim
kemarau. Pada musim hujan rata-rata penggunaan benih sebanyak 0.19 kg/ha,
sedangkan pada musim kemarau rata-rata penggunaan benih sebanyak 0.15 kg/ha.
Tingginya penggunaan pada musim hujan dikarenakan petani melakukan
penyemaian yang lebih banyak untuk mengantisipasi serangan hama patek
dikemudian hari. Hasil estimasi ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rahayu (2011) yang menemukan bahwa sebagian besar petani padi organik di
Kabupaten Sragen bersifat risk averse dalam penggunaan benih padi.

Pupuk
Perilaku petani dalam menggunakan pupuk menunjukkan bahwa petani
sampel merupakan petani yang berani mengambil risiko. Pada musim kemarau
maupun musim hujan, petani tetap saja berani melakukan penambahan input
pupuk walaupun berpeluang mengurangi keuntungan yang didapat. Penggunaan
pupuk kimia di lokasi penelitian rata-rata sebanyak 224 kg dan masih dapat
dilakukan penambahan pupuk kimia hingga mendapati standar penggunaan pupuk
kimia yang ditentukan dinas pertanian yang berkisar antara 275 higga 330 kg/ha.
Begitu juga dengan pengunaan pupuk kandang yang saat ini rata-rata
penggunaannya masih sebesar 2.8 ton. Namun begitu untuk pupuk kimia
komposisi yang digunakan antar petani relatif sama. Berdasarkan musim,
penggunaan pupuk pada musim hujan tercatat yang tertinggi dengan jumlah
penggunaan pupuk rata-rata sebesar 12 859 kg/ha, sedangkan pada musim
kemarau penggunaan pupuk rata-rata hanya sebesar 9 189 kg/ha. Pupuk yang
dimaksud merupakan pupuk gabungan antara pupuk kimia dan pupuk organik.
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2016) dan
Apriana (2017) dimana preferensi risiko petani terhadap penggunaan input pupuk
adalah risk taker.
55

Pestisida
Penggunaan pestisida oleh petani sampel cenderung bersifat preventif,
petani bersedia mengeluarkan biaya lebih untuk penggunaan pestisida walaupun
risiko produksi yang diterima belum pasti. Baik musim hujan maupun musim
kemarau memiliki peluang untuk dapat menimbulkan kerugian hasil panen akibat
serangan hama atau penyakit, sehingga petani dalam hal penggunaan pestisida
baik pada musim hujan dan musim kemarau tetap saja memiliki sifat risk taker.
Petani dalam penggunaannya tidak terlepas dari pengalaman selama berusahatani
cabai merah keriting sebelumnya. Karena berbeda dengan pupuk, untuk
penggunaan pestisida tidak memiliki standar ketentuan penggunaan, sehingga
antar petani memiliki jumlah penggunaan pestisida yang berbeda. Banyak petani
yang bersifat preventif dalam penggunaan pestisida dikarenakan keberlangsungan
tanaman cabai merah keriting bergantung pada penanganan terhadap hama dan
penyakit. Rata-rata penggunaan pestisida padat sebanyak 12.8 kg dan pestisida
cair 4.1 liter. Penggunaan pestisida oleh petani sampel di musim hujan relatif
lebih besar bila dibandingkan dengan penggunaan di musim kemarau. Petani
sampel menggunakan pestisida rata-rata sebesar 7.7 liter/ha, sedangkan pada pada
musim kemarau, rata-rata penggunaan pestisida hanya sebanyak 5.1 liter/ha.
Petani yang bersifat risk taker dalam penggunaan pupuk ini sejalan dengan
penelitian Nurhapsa (2013) dan Apriana (2017) yang menunnjukan bahwa petani
cenderung memiliki sifat risk taker dalam penggunaan pestisida untuk tanaman
kentang dan padi. Namun berbeda dengan Hidayati (2016) serta Epinoza dan
Rand (2015) yang menemukan bahwa terdapat petani yang memiliki sifat risk
averse terhadap penggunaan pupuk.

Tenaga kerja
Tenaga kerja merupakan input yang banyak mengeluarkan biaya selama
produksi usahatani. Namun petani cabai merah keriting dalam menggunakan
tenaga kerja tetap sesuai dengan kebutuhan, serta keseluruhan petani juga
menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga dalam setiap aktivitas budidayanya.
Besaran biaya tenaga kerja di lokasi penelitian yaitu antara Rp 40 000 hingga Rp
50 000 dengan durasi waktu kerja antara 5 – 7 jam per hari. Tetapi hal ini tidak
menutup untuk petani menambah tenaga kerjanya dikemudian hari. Walaupun
untuk saat ini ketersediaan tenaga kerja di lokasi penelitian terbatas. Dilihat dari
Hari Orang Kerja, pada musim kemarau relatif lebih lama hari kerja bagi petani,
yakni selama 180 HOK, sedangkan pada musim hujan, jumlah hari kerja yang
dilakukan rata-rata selama 177 HOK. Hasil estimasi ini sesuai dengan Fauziyah
(2010) dan Apriana (2017) yang masing-masing medapatkan bahwa preferensi
petani terhadap penggunaan tenaga kerja adalah risk taker. Namun berbeda
dengan Fariyanti (2008) dan Nurhapsa (2013) dimana preferensi risiko produksi
petani terhadap tenaga kerja bersifat risk averse.
Hasil estimasi secara menyeluruh menunjukkan bahwa peferensi risiko
petani untuk keseluruhan input baik penanaman pada musim kemarau ataupun
musim hujan, menunjukkan bahwa seluruh petani cabai merah keriting yang ada
di lokasi penelitian bersifat risk taker. Dilihat dari nlai rata-ratanya AR
keseluruhan menunjukkan bahwa tingkatpreferensi petani pada musim kemarau
sebesar -0.168 sedangkan preferensi petani pada penanaman musim hujan sebesar
-0.151. Petani lebih cenderung memiliki sifat risk taker pada musim kemarau, hal
56

ini dikareakan pada umumnya petani lebih sering dihadapi oleh penyakit
antraknosa atau patek pada musim hujan. Rata-rata nilai AR seluruh petani sampel
yakni sebesar -0.025. Walaupun tanaman cabai merah keriting merupakan salah
satu tanaman yang paling rentan terhadap serangan hama dan penyakit petani
tetap melakukan usahatani cabai merah keriting secara rutin, terlebih di
Kecamatan Sukanagara yang sebagian besar merupakan petani cabai merah
keriting. Pengalaman panjang para petani sampel dalam berusahatani juga
menjadi dasar untuk petani tetap menjalankan usahataninya di tengah kecemasan
akan serangan hama dan penyakit serta ancaman gagal panen. Disisi lain petani
sampel banyak juga yang melakukan sistem tanam tumpangsari, sehingga dalam
satu musim petani dapat keuntungan hasil tanam selain tanaman cabai. Adanya
fasilitasi dari dirjen horti berupa bantuan benih, mulsa dan pupuk juga
mengindikasikan beberapa petani yang bersifat risk taker. Menurut petani fasilitas
bantuan tersebut setidaknya mengurangi beban biaya produksi hingga 30 persen.
Selain itu pendampingan dari dinas terkait lainnya seperti penyuluh lapangan
mampu menjadikan sumber informasi seputar kegiatan usahatani cabai merah
keriting.
Hasil penelitian yang didapat ini sejalan dengan Apriana (2017) yang
menunjukkan bahwa petani padi di Kabupaten Bojonegoro memiliki sifat risk
taker dalam menghadapi risiko produksi padi yang bersumber dari bencana banjir.
Selain itu Rahayu (2011) juga menemukan hal yang sama yaitu petani tembakau
dengan sistem kemitraan bersifaat risk taker karena terdapat pendampingan
terhadap kegiatan usahataninya. Namun berbeda dengan Fariyanti (2008)
menemukan bahwa dengan adanya risiko produksi menyebabkan rumahtangga
petani sayuran berperilaku risk averse. Begitu juga Fauziyah (2010) juga
menemukan bahwa petani tembakau di Kabupaten Pamekasan sebagian besar
memiliki perilaku sebagai risk averse. Selain itu, Villano (2005), Kumbakar
(2001) dan Kahan (2008) yang menemukan hal yang sama yaitu petani yang
bersifat risk averse, sehingga petani lebih memilih berpendapatan rendah dari
pada merugi.

7 KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Setelah melakukan analisis dan pembahasan dari bab sebelumnya, maka


dari penelitian ini ditarik kesimpulan :
1. Faktor-faktor produksi seperti penggunaan benih, pupuk, pestisida dan
tenaga kerja merupakan faktor yang dapat menambah tingkat produksi cabai
merah keriting, sedangkan musim merupakan faktor yang dapat mengurangi
produksi cabai merah keriting. Untuk tingkat risiko produksi, faktor-faktor
seperti benih, pestisida, dan musim merupakan faktor-faktor yang dapat
meningkatkan risiko produksi cabai merah keriting. Sedangkan penggunaan
pupuk dan tenaga kerja mampu mengurangi tingkat risiko produksi cabai
merah keriting.
57

2. Nilai rata-rata koefisien variasi seluruh petani sampel yaitu 0.585, hasil ini
meunjukkan bahwa tingkat risiko harga di lokasi penelitian tergolong tinggi.
Kecamatan Pacet memiliki nilai koefisien variasi yang lebih tinggi yakni
sebesar 0.623, lebih tinggi bila dibandingkan penjulan oleh petani di
Kecamatan Sukanagara.
3. Preferensi risiko petani terhadap penggunaan input usahatani berupa pupuk,
pestisida dan tenaga kerja adalah bersifat risk taker, sedangkan dalam
penggunaan benih petani cenderung bersifat risk averse. namun secara
keseluruhan petani di Kabupaten Cianjur memiliki sifat risk taker terhadap
adanya risiko produksi cabai merah keriting.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran yang dapat disampaikan, yaitu:


1. Pembatasan penggunaan faktor-faktor produksi seperti benih dan pestisida
yang dapat menimbulkan risiko produksi sudah seharusnya dilakukan.
Beberapa faktor produksi seperti pupuk sudah memiliki dosis yang telah
direkomendasikan oleh instansi terkait. Kurangnya informasi ke petani
menjadi salah satu kendala yang harus dapat segera ditangan. Diharapkan
ada peran lebihpenyuluh dalam mensosialisasikan kembali pengunaan
pupuk yang tepat.
2. Tingkat risiko harga dapat diminimalisir dengan beberapa penanganan yang
salah satunya yaitu pemilihan saluran pemasaran yang tepat. Pemilihan
saluran yang tepat dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi
tingkat risiko.
3. Menjadi bahan pertimbangan utuk penelitian lanjutan yang diperlukan
dalam penentuan preferensi petani dalam menghadapi risiko harga cabai
merah keriting.

DAFTAR PUSTAKA

Aini HD, Febriarti EP, Wuryaningsih DS. 2015. Analisis pendapatan dan risiko
usahatani kubis pada lahan kering dan lahan sawah tadah hujan di
Kecamatan Gisting,Kabupaten Tanggamus. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis 3
(1) :1-9
Alifiati S. 2014. Analisispenggunaan faktor produksi pada usahatani padi di
Kabupaten Ogan Komening Ilir. Jurnal Ilmiah Agriba. 2:157-168
Alkay A, Martinsson P, Medhin H, Trautmann ST. 2009. Attitudes Toward
Uncertainty among the Poor: Evidence from Rural Ethiopia. IZA Discussion
Paper. 4225.
Amaefula C, Chukwukere AO, Remigus M. 2012. Risk attitude and insurance: a
causal analysis. American Journal of Economics 2(3): 26-32
Anwar MR, Liu DL, Farquharson R, Macadam I, Abadi A, Finlayson J, Wang B,
Ramilan T. 2015. Climate change impacts on phenology and yields of five
58

broadacre crops at four climatologically distinct locations in Australia.


Agricultural Systems 132: 133-144.
Apriana N. 2017. Analisis Risiko Produksi Petani Padi di Daerah Aliran Sungai
Bengawan Solo, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur. [Tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Aye GC, KO Oji. 2004. Effect of Poverty on Risk Attitude of Farmers in Benue
State Nigeria. Department of Agricultural Economics, University of
Agriculture, Makurdi.
Ayinde OE, OA Omotesho, MO Adewumi. 2008. Risk Attitudes and Management
Strategies of Small Scale Crop Producer in Kwara State, Nigeria: A
Ranking Approach. African Journal of Business Management. 2(12):217-
221.
Arikunto S. 2010. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta. (ID): Jakarta
Asnah, Masyuri, Jangkung HM, Slamet H. 2015. Tinjauan Teoritis dan Empiris
Efisiensi, Risiko, dan Perilaku Risiko Usahatani serta Implikasinya dalam
upaya pencapaian swasembada pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi.
33(2): 81-94
Asche F, Tveteras R. 1999. Modeling production risk with a two-step prosedure.
Journal of Agricultural and Resource Economics 24(2):424-439.
Bachus GBC, VR Eidman, AA Dijkhuizen. 1997. Farm Decision MakingUnder
Risk and Uncertainty. Neitherlands Journal of Agricultural Science. 45
(1997):307-328.
Barry P J. 1984. Risk Management in Agriculture. Iowa State University Press,
Ames, Iowa.
Binici T, KO Ali, CR Zulauf, A Bayaner. 2003. Risk Attitudes of Farmers in
Terms of Risk Aversion: A Case Study of Lower Seyhan Plain Farmers in
Adana Province Turkey. Turkey Journal Agricultural. 27(2):305-312.
Binswanger HP. 1980. Attitudes Toward Risk: Experimental Measurement in
Rural India. American Journal of Agricultural Economics. 62(3):395-407.
[BPS] Badan Pusat Statistika Provinsi Banten. 2015. Provinsi Banten Dalam
Angka 2015 [Internet]. [diunduh 2016 Sept 16] Badan Pusat Statistika
Provinsi Banten. (ID): Banten
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2016. Pendapatan Nasional Indonesia 2011-2015
[Internet]. [diunduh 2016 Sept 17] Badan Pusat Statistika Provinsi Banten.
(ID): Jakarta
Broll U, Welzel P, Wong KP. 2013. Price Risk and Risk Management in
Agriculture. Contemporary Economics. 7(2):17-20
Coelli T, DSP Rao, GE Battese. 1998. An Introduction to Efficiency and
Productivity Analysis. Kluwer Academic Publishers, London.
Dadzie SKN, Acquah HDG. 2012. Attitudes Toward Risk and Coping Responses:
The Case of Food Crop Farmers at Agona Duakwa in Agona East District
of Ghana. International Journal of Agriculture and Forestry. 2(2):29-37.
Debertin DL. 2012. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing
Company, New York.
Dillon JL, Scandizzo PP. 1978. Risk Attitude of Subsistence Farm in Northeast
Brazil : A Sampling Approach. Development Research Center, Discussion
Papers World Bank. DRD17.
59

Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. 2017. Data Luas Panen dan Produksi Cabai
Merah dan Cabai Rawit di Kabupaten Cianjur Tahun 2010-2015. Cianjur
(ID): Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur
Direktorat Jenderal Hortikultura. 2019. Data Luas Panen dan Produksi Cabai
Merah di Indonesia Tahun 2014-2018. Jakarta (ID): Sesditjen Horti
Direktorat Perlindungan Hortikultura. 2010. Mengenal AWS Telemetri.
http://ditlin.hortikultura.pertanian.go.id
Eggert H, R Tveteras. 2004. Stochastic Production and Heterogeneous Risk
Preferences : Commercial Fisher’s Gear Choice. American Journal of
Agricultural Economics. 86(1):199-212.
Ellis F. 1988. Peasant Economics : Farm Households and Agrarian Development.
Cambridge University Press, Cambridge.
Elton EJ, MJ Gruber. 1995. Modern Portofolio Theory and Invesment Analysis.
Fifth Edition. John Wiley and Sons Inc. New York.
Espinoza CS, John R. 2015. Pesticide Use and Agricultural Risk. The case of rice
producers in Vietnam. The Latin American and Caribbean Economic
Association.
Fariyanti A. 2008. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Sayuran dalam
Menghadapi Risiko Produksi dan Harga Produk di Kecamatan
Pangalengan Kabupaten Bandung [Disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Fauziyah E. 2010. Pengaruh Perilaku Petani dalam Menghadapi Risiko Produksi
terhadap Alokasi Input Usahatani Tembakau: Pendekatan Fungsi Produksi
Frontir Stokastik [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Frank RH. 2015. Microeconomics and Behavior Ninth Edition. New York (US):
McGraw Hill International Edition
Ghartey W, Dadzie SKN, Weittey M. 2014. Poverty and Risk Attitudes: The Case
of Cassava Farmers in Awutu-senya District of the Central Region of
Ghana. Asian Journal of Agricultural Extension, Economics & Sociology.
3(2):164-178.
Guan Z, Wu F. 2009. Specification and Estimation of Heterogeneous Risk
Preference. Beijing, China. Contributed Paper prepared for Presentation at
the 27th International Conference of Agricultural Economists (IAAE).
Hariyanti N, Koestiono D, Muhaimin W. 2017. The Risk Level of Production and
Price of Red Chili Farming in Kediri Regency. Agricultural Socio-
Economics Journal. 17(2):81-87
Hartati A. 2007. Pengaruh perilaku petani terhadap risiko keefisienan usahatani
kentang di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Agroland jurnal ilmu-ilmu
pertanian.14(3):165-171
Hartuti N, Sinaga R M. 1997. Pengeringan Cabai. Balai Penelitian Tanaman
Sayuran. (ID): Bandung
Hidayati R. 2016. Pengaruh Efisiensi Teknis dan Preferensi Risiko Petani
Terhadap Penerapan Usahatani Kubis Organik di Kecamatan Baso
Kabupaten Agam Sumatera Barat [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Just ER, R.D. Pope. 1979. Production Function Estimation and Related Risk
Consideration. American Journal of Agricultural Economics. 6(2):276-
284.
60

Kahan D. 2008. Managing risk in farming. Food and Agriculture Organization of


United Nations
Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Hortikultura. 2015. Statistik Produksi
Hortikultura 2014. (ID) : Jakarta
Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Hortikultura. 2016. Program
Peningkatan Produksi Dan Produktivitas Hortikultura Ramah Lingkungan
Tahun 2015. (ID) : Jakarta
Kementerian Pertanian. 2016. Produktivitas Cabai merah di Indonesia 2005-2014
[Internet]. [diunduh 2016 Sept 16] Kementerian Pertanian. (ID): Jakarta
Kumbhakar CS. 2002. Specification and Estimation of Production Risk, Risk
Preferences and Technical Efficiency. American Journal of Agricultural
Economics. 84(1):8-22.
Kurniati D. 2012. Analisis Risiko Produksi dan Faktor-faktor yang
Memengaruhinya pada Usahatani Jagung di Kecamatan Menpawah Hulu
Kabupaten Landak. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. 1(3): 60-68
Love HA, ST Buccola (1991), "Joint risk preference-technology estimation with a
primal system", American Journal of Agricultural Economics. 73:765-774.
Mahananto, Salyo S, Chandra FA. 2009. Faktor-faktor yang Memengaruhi
Produksi Padi Studi Kasus di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa
Tengah. Journal of The Humanities of Indonesia 12(1):179-191
Maulidah S, Santoso H, Subagyo H, Rifqiyyah Q. 2012. Dampak Perubahan Iklim
SEPA 8(2): 51-182.
McConnell DJ, JL Dillon. 1997. Farm management for asia: a system approach.
Roma (IT): Food and agricultural organization.
Mustainah A, Hani E S, Sudarko. 2017. Analisis Risiko pada Usahatani Tomat di
Kecamatan Ledokombo Kabupaten Jember. Jurnal Agribest. 1(2):136-151
Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia
Nurhapsa. 2013. Analisis Efisiensi Teknis dan Perilaku Risiko Petani serta
Pengaruhnya terhadap Penerapan Varietas Unggul pada Usahatani
Kentang di Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan [Disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pindyck RS, Rubinfeld DL. 1999. Mikro Ekonomi. Terjemahan. Jakarta [ID] :
Edisi Keempat Belas, Erlangga.
Qomaria N. 2011. Analisis Preferensi Risiko dan Efisiensi Teknis Usahatani Talas
di Kota Bogor [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahayu RB. 2011. Preferensi Risiko Petani pada Usahatani Padi Organik di
Kabupaten Sragen [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahmawati A, Fariyanti A. 2018. Analisis Risiko Harga Komoditas Sayuran
Unggulan Indonesia. Forum Agribisnis.8(1):35-60
Reifeld R. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Penerbit CV. Rajawali.
Jakarta.
Rieger MO, Wang M, Hens T. 2013. Risk preferences around the World.
Management Science
Robinson LJ, PJ Barry. 1987. The Competitive Firm’s Response to Risk.
Macmillan Publisher, London.
Roger TT, A Engler. 2008. Risk Preferences Estimation for Small Rasberry
Producers in the Bio-Bio Region Chile. Chilean Journal of Agricultural
Research. 68(4):175-182
61

Saha A, CR Shumway, H Talpaz (1994), "Joint estimation of risk preference


structure and technology using expo-power utility", American Jottrnal of
Agricultural Economics. 76:173-184.
Saptana. 2011. Efisiensi Produksi dan Perilaku Petani Terhadap Risiko
Produktivitas Cabai Merah di Provinsi Jawa Tegah [Disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Suharyono. 2015. Analisis Risiko Produksi Padi Sawah di Provinsi Bali. Journal
of Agribusiness and Rural Development Research 1(2):70-77
Tamandala MP. 2014. Risiko Produksi dan Perilaku Petani Terhadap Risiko
Produktivitas Anggrek Dendrobium di Cibitung Kabupaten Bekasi
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Tiedemann T, Lohmann UL. 2012. Production Risk and Technical Efficiency in
Organic and Conventional Agriculture: The Case of Arable Farm in
Germany. Journal of Agricultural Economics. 64(1):73-96
Villano RA, O`Donnell CJ, Battese GE. 2005. An Investigation of Production
Risk, Risk Preferences and Technical Efficiency : Evidence from Rainfed
Lowland Rice Farms in the Philippines. Australia: Working Paper Series
in Agricultural and Resource Economics. University of New England.
(1):1-24.
Villano R, E Fleming. 2006. Technical Inefficiency and Production Risk in Rice
Farming : Evidence from Central Luzon Philippines. Asian Economic
Journal. 20(1) : 29-49.
Walter JT, RK Roberts, JA Larson, BC English, DD Howard. 2004. Effects of
Risk, Disease and Nitrogen Source on Optimal Nitrogen Fertilization
Rates in Water Production. Paper. Southern Agricultural Economics
Association, Tulsa, Oklahoma.
62

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Uji Asumsi Klasik


One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 66
a,b
Normal Parameters Mean .0000000
Std. Deviation .20436242
Most Extreme Differences Absolute .056
Positive .040
Negative -.056
Test Statistic .056
c,d
Asymp. Sig. (2-tailed) .200

a. Test distribution is Normal.


b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.

Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized
Residual

N 66
a,b
Normal Parameters Mean .0000000
Std. Deviation .20436242
Most Extreme Differences Absolute .056
Positive .040
Negative -.056
Test Statistic .056
c,d
Asymp. Sig. (2-tailed) .200

a. Test distribution is Normal.


b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.
63

Lampiran 2. Hasil Regresi Fungsi Produksi

b
Model Summary

Adjusted Std. Error Change Statistics

R R of the R Square F Sig. F Durbin-


Model R Square Square Estimate Change Change df1 df2 Change Watson
a
1 .719 .517 .477 .27291 .517 12.870 5 60 .000 1.875

a. Predictors: (Constant), DUMMY MUSIM, LN TENAGA KERJA, LN PUPUK, LN PESTISIDA, LN BENIH


b. Dependent Variable: LN PRODUKTIVITAS

a
ANOVA

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.


b
1 Regression 4.793 5 .959 12.870 .000

Residual 4.469 60 .074


Total 9.261 65

a. Dependent Variable: LN PRODUKTIVITAS


b. Predictors: (Constant), DUMMY MUSIM, LN TENAGA KERJA, LN PUPUK, LN PESTISIDA, LN
BENIH

a
Coefficients
Unstandardized Standardized Collinearity
Coefficients Coefficients Statistics
Toleranc
Model B Std. Error Beta t Sig. e VIF
1 (Constant) 5.791 .792 7.312 .000
LN BENIH .152 .108 .171 1.405 .165 .544 1.837
LN PUPUK .077 .052 .164 1.474 .146 .648 1.542
LN
.210 .055 .439 3.804 .000 .603 1.658
PESTISIDA
LN
TENAGA .224 .091 .229 2.460 .017 .931 1.074
KERJA
DUMMY
-.339 .072 -.452 -4.672 .000 .859 1.164
MUSIM
a. Dependent Variable: LN PRODUKTIVITAS
64

Lampiran 3 Hasil Regresi Fungsi Risiko Produksi

Model Summaryb
Change Statistics
R Adjusted Std. Error of R Square Sig. F Durbin-
Model R Square R Square the Estimate Change F Change df1 df2 Change Watson
1 .533a .284 .224 1.81606 .284 4.759 5 60 .001 2.408
a. Predictors: (Constant), DUMMY MUSIM, LN TENAGA KERJA, LN PUPUK, LN PESTISIDA, LN BENIH
b. Dependent Variable: LN PRODUKTIVITAS
65

a
ANOVA

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.


b
1 Regression 149.401 5 29.880 12.898 .000

Residual 138.998 60 2.317

Total 288.399 65

a. Dependent Variable: LN PRODUKTIVITAS


b. Predictors: (Constant), DUMMY MUSIM, LN TENAGA KERJA, LN PUPUK, LN PESTISIDA, LN
BENIH

a
Coefficients
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Std.
Model B Error Beta t Sig. Tolerance VIF
1 (Constant) 21.444 4.417 4.855 .000
LN BENIH .329 .603 .066 .545 .588 .544 1.837
LN PUPUK -.605 .292 -.230 -2.068 .043 .648 1.542
LN PESTISIDA .097 .308 .036 .315 .754 .603 1.658
LN TENAGA
-.445 .508 -.081 -.876 .385 .931 1.074
KERJA
DUMMY MUSIM 2.896 .404 .693 7.164 .000 .859 1.164
a. Dependent Variable: LN PRODUKTIVITAS

Lampiran 4 Hasil Perhitungan AR

No AR LH AR BN AR PK AR PS AR TK Rata-Rata AR
1 -0.59063130501 0.01418395219 -0.0000054412 -0.00000000002 -0.0000122966 -0.1441131985
2 -0.01105399398 0.00325720041 -0.0000007433 -0.00000000002 -0.0000066878 -0.0019493842
3 -0.04250970044 0.00186782367 -0.0000009216 -0.00000000001 -0.0000024917 -0.0101606996
4 -0.77411348449 0.01399375928 -0.0000012802 -0.00000000003 -0.0000198721 -0.1900302513
5 -0.72531584724 0.05622645388 -0.0000072102 -0.00000000013 -0.0000153824 -0.1672741509
6 -0.66348691526 0.00376192997 -0.0000019403 -0.00000000002 -0.0000123568 -0.1649317314
7 -0.40494050837 0.00317955596 -0.0000030765 -0.00000000002 -0.0000034602 -0.1004410072
8 -0.07894386894 0.00119397471 -0.0000008599 -0.00000000002 -0.0000024323 -0.0194376885
9 -0.37264053694 0.00163252207 -0.0000070281 -0.00000000009 -0.0000080309 -0.0927537607
10 -0.80392993494 0.01049530642 -0.0000113421 -0.00000000002 -0.0000065692 -0.1983614926
11 -0.69003088595 0.01768828611 -0.0000076938 -0.00000000070 -0.0000193587 -0.1680875736
12 -0.14678430522 0.01598091430 -0.0000078514 -0.00000000004 -0.0000275811 -0.0327028105
13 -0.52029611504 0.01906857225 -0.0000033684 -0.00000000006 -0.0000067103 -0.1253077278
14 -0.56808325142 0.00597505781 -0.0000013929 -0.00000000002 -0.0000053499 -0.1405273966
15 -0.89680549846 0.01176709799 -0.0000096653 -0.00000000318 -0.0000158468 -0.2212620172
16 -0.79985107141 0.01230055681 -0.0000027646 -0.00000000002 -0.0000083584 -0.1968883198
17 -0.79231728556 0.01239551519 -0.0000112565 -0.00000000018 -0.0000137623 -0.1949832567
18 -0.38756393871 0.03089108513 -0.0000395232 -0.00000000001 -0.0000079378 -0.0891780942
66

No AR LH AR BN AR PK AR PS AR TK Rata-Rata AR
19 -0.87232407781 0.04343778904 -0.0000047469 -0.00000000003 -0.0000304622 -0.2072227589
20 -0.98016068020 0.00422639960 -0.0000020981 -0.00000000002 -0.0000149619 -0.2439840947
21 -0.94368846659 0.01061868098 -0.0000108754 -0.00000000005 -0.0000171540 -0.2332701652
22 -0.49834894904 0.00304010974 -0.0000006168 -0.00000000001 -0.0000076538 -0.1238273640
23 -0.49745028395 0.00616454822 -0.0000005927 -0.00000000007 -0.0000127310 -0.1228215821
24 -0.54573741110 0.00309124549 -0.0000009968 -0.00000000003 -0.0000127454 -0.1356617906
25 -0.50479661306 0.00233199369 -0.0000010093 -0.00000000005 -0.0000039567 -0.1256164071
26 -0.90926437622 0.01536359731 -0.0000034847 -0.00000000021 -0.0000136779 -0.2234760659
27 -0.77335245240 0.00495251574 -0.0000022264 -0.00000000006 -0.0000105480 -0.1921005408
28 -0.68749310635 0.00801809488 -0.0000023656 -0.00000000007 -0.0000241691 -0.1698693443
29 -0.48439104068 0.00344389319 -0.0000016785 -0.00000000011 -0.0000120136 -0.1202372065
30 -0.99449693018 0.01216580698 -0.0000265943 -0.00000000024 -0.0000151986 -0.2455894294
31 -0.85562213192 0.00467490064 -0.0000038976 -0.00000000002 -0.0000106071 -0.2127377822
32 -0.75534495991 0.00507556538 -0.0000022327 0.00000000000 -0.0000087383 -0.1875679068
33 -0.56487390800 0.00291737497 -0.0000016487 -0.00000000003 -0.0000084643 -0.1404895454
34 -0.83161944537 0.00443017458 -0.0000026257 0.00000000000 -0.0000080922 -0.2067979741
35 -0.90715353642 0.01159455324 -0.0000062586 -0.00000000008 -0.0000124980 -0.2238913104
36 -0.92688535821 0.01351567079 -0.0000203026 0.00000000000 -0.0000213255 -0.2283474975
37 -0.57993881265 0.00864041357 -0.0000016879 -0.00000000001 -0.0000121795 -0.1428250217
38 -0.08541075911 0.00419197091 -0.0000011688 -0.00000000002 -0.0000073019 -0.0203049892
39 -0.95276086503 0.01143310051 -0.0000394150 -0.00000000008 -0.0000387181 -0.2353417949
40 -0.91980819571 0.06022051226 -0.0002305501 0.00000000000 -0.0000319135 -0.2149545584
41 -0.94368846659 0.01864305512 -0.0000252521 -0.00000000010 -0.0000096658 -0.2312676659
42 -0.20191567011 0.00426628048 -0.0000032809 -0.00000000002 -0.0000101460 -0.0494131676
43 -0.99381965043 0.03270473329 -0.0000914609 -0.00000000001 -0.0000552690 -0.2403015945
44 -0.53799757571 0.00620428491 -0.0000030175 -0.00000000011 -0.0000068711 -0.1329490771
45 -0.01559464830 0.00125351301 -0.0000000864 0.00000000000 -0.0000009176 -0.0035853054
46 -0.93756507753 0.19826377238 -0.0003341268 -0.00000000004 -0.0000263984 -0.1849088580
47 -0.56107188605 0.01428567544 -0.0000101403 -0.00000000008 -0.0000249701 -0.1366990877
48 -0.55086947824 0.00896411575 -0.0000147017 -0.00000000012 -0.0000214301 -0.1354800161
49 -0.91267349456 0.24836986208 -0.0000771126 0.00000000000 -0.0000059567 -0.1660951862
50 -0.99705319858 0.17232771006 -0.0000488804 -0.00000000010 -0.0000226056 -0.2061935922
51 -0.34009842290 0.00273813026 -0.0000060695 -0.00000000005 -0.0000074506 -0.0843415905
52 -0.54744646523 0.00587379685 -0.0000047762 -0.00000000005 -0.000008657 -0.1353943611
53 -12.4697981524 0.03736711161 -0.0000363302 -0.00000000001 -0.0000410116 -3.1081168427
54 -0.47397863709 0.00720453860 -0.0000068647 -0.00000000004 -0.0000082112 -0.1166952408
55 -0.95766965924 0.14481840032 -0.0000551880 -0.00000000005 -0.0000315896 -0.2032266117
56 -0.33856736933 0.03673029597 -0.0000327417 -0.00000000001 -0.0000184564 -0.0754674537
57 -0.09825752001 0.00388619428 -0.0000021630 -0.00000000002 -0.0000100662 -0.0235933721
58 -0.48331864961 0.10524147314 -0.0002508260 -0.00000000002 -0.0012720076 -0.0945820006
59 -0.34228407941 0.00713489179 -0.0000115168 -0.00000000002 -0.0000055947 -0.0837901761
67

No AR LH AR BN AR PK AR PS AR TK Rata-Rata AR
60 -0.40048860274 0.00814443063 -0.0000062715 -0.00000000008 -0.0000083355 -0.0980876109
61 -0.85485303593 0.13725824404 -0.0000132615 0.00000000000 -0.0000127467 -0.1794020133
62 -0.51845709033 0.00884639413 -0.0000021886 -0.00000000003 -0.0000047646 -0.1274032212
63 -0.81261078279 0.01218130148 -0.0000021223 0.00000000000 -0.0000121431 -0.2001079009
64 -0.30571076875 0.01048087540 -0.0000010438 -0.00000000012 -0.0000127467 -0.0738077343
65 -0.52329550125 0.00940514550 -0.0000040804 -0.00000000003 -0.0000143829 -0.1284736090
66 -3.34732109491 0.08920370378 -0.0000791256 -0.00000000003 -0.0000240316 -1.0598593146
Rata2 -0.83040342099 0.01257523734 -0.0000244403 -0.00000000011 -0.0000334246 -0.2044631560
68

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa


Tengah pada tanggal 5 Juli 1990, dari pasangan Pajar
Cahyawan dan Titi Indraningsih. Penulis merupakan putera
pertama dari dua bersaudara. Penulis menempuh pendidikan
dasar di SD Negeri 01 Ceger Jakarta dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan pendidikan menengah
di SMP Negeri 196 Jakarta. Penulis melanjutkan pendidikan di
SMA Negeri 105 Jakarta dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun
itu juga penulis melanjutkan pendidikan di Program Sarjana untuk jurusan
Agribisnis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis lulus dari Sarjana pada
tahun 2013. Pada tahun 2015, penulis melanjutkan pendidikan pada program
Pascasarjana Magister Sains Agribisnis. Karya jurnal ilmiah yang berjudul
Preferensi Petani dalam Menghadapi Risiko Produksi Cabai Merah Keriting di
Kabupaten Cianjur akan terbit pada jurnal ilmiah Agrisep edisi selanjutnya yaitu
volume 19 No. 1 Maret 2020.

Anda mungkin juga menyukai