Anda di halaman 1dari 14

DAYA DUKUNG KAWASAN

UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT


BERDASARKAN KAPASITAS ASIMILASI

Heri Apriyanto

DAYA DUKUNG KAWASAN UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT


BERDASARKAN KAPASITAS ASIMILASI

1.

PENDAHULUAN

umput

laut merupakan salah satu komoditas strategis dalam bidang sumber

hayati laut. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia

memiliki luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut mencapai 1.110.900 ha, tetapi
pengembangan budidaya rumput laut baru memanfaatkan lahan seluas 222.180 ha atau
20% dari luas areal potensial. Produksi rumput laut hingga saat ini sangat besar bahkan
sekitar 30 persen dari total produksi perikanan
budidaya secara nasional adalah rumput laut.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP), total produksi rumput laut di
Indonesia pada 2009 berjumlah 2,252 juta ton atau
naik 5 persen dari 2008 sebanyak 2,145 juta ton.
Dengan produksi sebesar itu rumput laut menyumbangkan volume produksi nasional
sebesar hampir 2/3 dari total produksi nasional yang volumenya sebesar 4.708.565 ton.
Target produksi rumput laut untuk tahun 2014 adalah 10 juta ton Peran Indonesia dalam
kontribusi bahan baku rumput laut sudah diakui internasional, namun masih perlu
peningkatan industri pengolahan rumput laut dalam negeri.
Beberapa marga rumput laut yang memiliki nilai komersial, yaitu rumput laut merah
(Rhodophyceae) seperti Eucheuma sp, Gracillaria sp,
Gelidium sp, rumput laut coklat (Phaeophyceae) seperti
Sargassumsp dan Laminaria sp. karena merupakan bahan
baku industri agar, karaginan dan alginat

yang berguna

untuk industri makanan, minuman, farmasi, industri non


pangan dan lain-lain. Untuk itu jenis rumput laut ini banyak
dikembangkan di Indonesia.
Spesies Carrageenophytes termasuk Kappaphycus al Silva (Doty) Doty varezii ex,
masih merupakan jenis rumput laut yang penting dan banyak kegiatan budidaya rumput
1

laut jenis ini di beberapa negara, terutama di Asia Tenggara dan Afrika. Jenis ini
merupakan sumber karaginan, sehingga rumput laut sp ini sangat berharga di seluruh
dunia. Saat ini Filipina, Indonesia, Malaysia, Fiji dan Tanzania adalah produsen utama,
dengan jumlah penjualan sekitar 1.000 juta ton . Pada dekade sebelumnya, produksi di
seluruh dunia spesies Eucheuma telah meningkat dari kurang dari 1.000 ton berat kering
hingga saat ini hampir mencapai lebih dari 10.000 juta ton. Namun produksi hasil
budidaya Eucheuma ini belum mampu memenuhi kebutuhan, setidaknya dalam kualitas,
harga dan volume untuk kebutuhan industri pengolahan karagenan (Sahu, N., et.al,
2010).
Potensi rumput laut yang besar dan permintaan pasar domestik maupun luar negeri yang
terus meningkat dari tahun ke tahun ini, memberikan peluang yang besar untuk
mengembangkan budidaya rumput laut. Diharapkan pengembangan komoditas ini dapat
dijadikan sebagai penggerak utama perekonomian masyarakat

pesisir

untuk

menggantikan perikanan tangkap. Untuk mewujudkan hal ini maka salah satu hal
penting adalah diperlukannya kesesuaian lokasi yang sesuai untuk budidaya rumput laut
ini.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan wilayah pesisir khususnya bagi kegiatan budidaya
rumput laut maka haruslah bertumpu pada keberadaan sumberdaya lingkungan
khususnya lingkungan perairan pesisir. Sumberdaya lingkungan perairan pesisir erat
kaitannya dengan kualitas fisik, kimia, dan biologi yang menjadi parameter utama untuk
kesesuaian lokasi budidaya rumput laut.
Namun tidak dipungkiri bahwa di wilayah pesisir, pemanfaatannya tidak hanya untuk
budidaya perikanan perairan, tetapi juga kegiatan ekonomis yang lain, seperti media
transportasi, pariwisata, perdagangan, dan sebagainya. Dan yang paling menyedihkan
adalah adanya anggapan bahwa perairan pesisir adalah tempat yang praktis sebagai
tempat pembuangan limbah dari berbgai kegiatan manusia baik yang berasal dari
wilayah pesisir maupun di luarnya (lahan atasan dan laut/perairan lepas). Bahan
pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan industri, pertanian, dan domestik di
daratan akan berpengaruh terhadap penurunan kualitas perairan pesisir. Sebagian besar
(lebih kurang 80% bahan pencemar yang ditemukan di periaran pesisir berasal dari
kegiatan manusia di daratan (UNEP, 1993).

Secara normal, perairan memiliki kapasitas (daya) asimilasi untuk memroses dan
mendaur ulang bahan-bahan pencemar yang masuk ke dalamnya. Akan tetapi dengan
semakin tingginya konsentrasi akumulasi bahan pencemar ke dalam perairan laut akan
mengakibatkan daya asimilatif laut sebagai gudang sampah menjadi menurun dan
menimbulkan masalah lingkungan.

Salah satu dampaknya adalah akan memberi

pengaruh negatif terhadap kegiatan budidaya rumput laut. Untuk itu perlu dipahami
aspek-aspek yang terkait dengan daya dukung kawasan perairan, terutama kapasitas
asimilasinya dalam rangka mendukung pengembangan budidaya rumput laut sehingga
dapat menghasilkan produksi yang optimal.
Makalah ini akan membahas tentang daya dukung kawasan untuk budidaya rumput
ditinjau dari kapasitas asimilasi perairan. Pemahaman terhadap kapasitas asimilasi
perairan ini penting terutama digunakan sebagai acuan/masukan untuk mengetahui
status kualitas atau pencemaran polutan yang terjadi di kawasan budidaya rumput laut
lebih lanjut. Lebih luas lagi digunakan untuk menentukan strategi pengelolaan kawasan
budidaya rumput laut. (Chopin, T.,et.al, 2001), menyatakan bahwa kurangnya
pemahaman terhadap kapasitas asimilatif perairan pesisir dan pemodelan prediktif akan
menyebabkan kita tidak sadar bahwa pengembangan pembangunan di dunia khususnya
bidang akuakultur yang semakin intensif akan berdampak negatif (terjadinya tekanan
lingkungan) terutama di wilayah-wilayah sub optimal. Lebih lanjut dinyatakan bahwa
praktek-praktek budidaya perikanan harus didasarkan pada pendekatan pengelolaan
ekosistem seimbang, sehingga terjadi integrasi fungsi biologis dan lingkungan dari
berbagai kelompok organisme ke dalam suatu sistem terpadu, sehingga memungkinkan
ekosistem berfungsi secara berkelanjutan. Selain itu dengan mengintegrasikan
akuakultur seperti ikan dan udang dengan akuakultur ekstraktif anorganik dan organik
(rumput laut dan kerang), limbah dari satu pengguna sumber daya menjadi sumber daya
(makanan untuk yang lain). Saat ini beberapa metoda penentuan kapasitas asimilasi
perairan

telah

kekurangannya.

banyak

berkembang,

maisng-masing

dengan

kelebihan

dan

Pemahaman terhadap kapasitas asimilasi perairan dan metode

penentuannya untuk menunjang daya dukung kawasan budidaya rumput laut merupakan
tujuan dari penulisan makalah ini.

2.

BUDIDAYA RUMPUT LAUT

Rumput Laut dengan jenis-jenisnya yang beragam merupakan salah satu sumberdaya
perikanan yang cukup potensial karena mempunyai nilai ekonomis penting. Beberapa
jenis rumput laut merupakan komoditas yang menjadi komoditi ekspor Indonesia. Jenisjenis tersebut mengandung senyawa polisakarida, seperti keraginan yang berasal dari
Eucheuma spp., agar-agar yang berasal dari Gracilaria spp., Gelidium spp., dan alginat
dari Sargassum spp., Turbinaria spp., dan Laminaria spp. Karaginan berperan sebagai
pengatur keseimbangan dan pengemulsi yang banyak digunakan pada industi instant,
makanan, farmasi dan kosmetik. Jenis-jenis rumput inilah yang telah banyak di
budidayakan
Rumput laut tumbuh hampir diseluruh bagian hidrosfer sampai batas kedalaman sinar
matahari masih dapat mencapainya. Selain itu, hidup sebagai fitobentos dengan
menancap atau melekatkan dirinya pada substrat lumpur, pasir, karang, fragmen karang
mati, batu, kayu, dan benda keras lainnya, serta ada pula yang menempel pada
tumbuhan lain.
Metode budidaya yang akan dilakukan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
rumput laut itu sendiri. Sampai saat ini telah dikembangkan 5 metode budidaya rumput
laut berdasarkan pada posisi tanaman terhadap dasar perairan. Metoda-metoda tersebut
meliputi : metoda lepas dasar, metoda rakit apung, metode long line dan metode jalur
serta metode keranjang. Adapun metoda budidaya rumput laut yang telah
direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Perikanan, meliputi: metoda lepas dasar,
metoda apung (rakit), metode long line dan metode jalur. Namun dalam penerapannya,
keempat macam metoda tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perairan di mana
lokasi budidaya rumput laut akan dilaksanakan. Perairan laut yang digunakan untuk
kegiatan budidaya umumnya merupakan perairan yang relatif terlindungi seperti teluk,
selat, dan shallaow sea. Keterlindungan lokasi budidaya terutama dari gempuran ombak
besar, badai, dan angin kencang.
Keberhasilan budidaya rumput laut bergantung salah satunya pada pemilihan lokasi
yang tepat. Pemahaman terhadap kondisi biofisik air laut yang diperlukan untuk
budidaya rumput laut penting diketahui agar tidak timbul masalah yang dapat
menghambat usaha itu sendiri dan mempengaruhi mutu hasil yang dikehendaki. Lokasi
4

dan lahan budidaya untuk pertumbuhan rumput laut di wilayah pesisir dipengaruhi
berbagai faktor ekologi oseanografis yang meliputi parameter lingkungan fisik, biologi
dan kimiawi perairan. Kondisi perairan laut dapat dijadikan sebagai salah satu indikator
kelayakan suatu perairan untuk kegiatan budidaya laut. Salah satu acuan yang
digunakan untuk analisis data parameter kualitas perairan yaitu Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.51 Tahun 2004, tentang Baku Mutu
Air Laut, terutama baku mutu air laut untuk Biota Laut (Tabel 1).
Tabel 1.
Baku Mutu Kualitas Air Laut untuk biota laut (KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004)
No
1

2
3
4

Parameter
Fisika
Kecerahan

Kebauan
Kekeruhan
Padatan
tersuspensi
Total

Sampah

Suhu

1
2

3
4
5

Lapisan
Minyak
Kimia
pH
Salinitas

Satuan

Baku Mutu

No.

Parameter

Satuan

Baku mutu

karang : > 5
mangrove :
lamun : > 3

6
7
8
9

mg/l
mg/l
mg/l
mg/l

0.015
0.0008
0.5
0.01

NTU
mg/l

alami
<5
karang : 20

10
11
12
13

mg/l
g/l
mg/l
MBAS
mg/l

0.003
0.01
1

mangrove : 80
lamun : 20
nihil

14
15

Fosfat (PO4-P)
Nitrat (NO3-N)
Sianida (CN-)
Sulfida (H2S)
Senyawa fenol
total
PCB total
Surfaktan
(Deterjen)
Minyak &
lemak
Pestisida
TBT
(Tribulintin)

g/l
g/l

0.01
0.01

coral : 28 -30
mangrove : 28-32
lamun : 28-30
nihil

1
2

Logam Berat
Raksa (Hg)
Arsen (As)

mg/l
mg/l
mg/l

0.001
0.005

3
4
5
6
7

Kadmium (Cd)
Tembaga (Cu)
Tombal (Pb)
Seng (Zn)
Nikel (Ni)

mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l

0.012
0.001
0.008
0.005
0.005

Biologi
Coliform (total)

MPN/
100ml
Sel/100
ml
Sel/100
ml

1000

oC

o/oo

Oksigen
Terlarut
BOD5

mg/l

7 - 8.5
alami
coral : 33-34
mangrove : s/d34
lamun : 33-34
>5

mg/l

20

Patogen

Amonia Total
(NH3-N)

mg/l

0.3

Plankton

Sumber : Kepmen LH No 51/2004

nihil
tidak bloom

3.

DAYA DUKUNG KAWASAN

Dewasa ini pemakaian daya dukung lingkungan dalam perencanaan suatu design
budidaya laut terus berkembang. Pengertian daya dukung ini dapat berbeda antara satu
ahli dengan ahli yang lain tergantung dari sudut pandang yang digunakan dan tujuan
yang akan dicapai. Daya dukung lingkungan perairan dapat didefinisikan sebagai suatu
yang berhubungan erat dengan produktifitas lestari perairan tersebut. Artinya daya
dukung lingkungan adalah nilai suatu mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi
dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan
ekosistem. Pengertian ini apabila diterapkan sebagai daya dukung lingkungan pesisir
menjadi kemampuan badan air atau perairan di kawasan pesisir dalam menerima limbah
organik. Termasuk didalamnya adalah kemampuan mendaur ulang atau mengasimilasi
limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan perairan.
Kemampuan badan air dalam menerima limbah yang masuk ditentukan oleh
kemampuan pencucian (flushing) dan purifikasi (kapasitas asimilasi) dari perairan
tersebut. Apabila beban limbah yang masuk melebihi kemampuan daur ulang dan
kekuatan pencucian badan air maka perairan menjadi tercemar.
Quano (1993) menyatakan bahwa daya dukung adalah kemampuan perairan dalam
menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air
yang ditetapkan. Menurut Krom (1986), daya dukung lingkungan adalah kemampuan
suatu ekosistem pesisir untuk menerima sejumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi
terjadinya kerusakan lingkungan. Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya
dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang
dapat dibuang kedalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993).
Kemampuan pengenceran pesisir untuk menerima limbah sangat dipengaruhi oleh laju
pengenceran (flushing time), volume air yang tersedia dan beban limbah yang masuk ke
perairan. Flushing time diartikan sebagai waktu yang diperlukan dari suatu unit volume
massa air berdiam (tinggal) dalam suatu area tertentu sebelum digantikan oleh unit
volume massa air yang baru.

4.

KAPASITAS ASIMILASI DAN BEBAN PENCEMAR

4.1

Kapasitas Asimilasi

Limbah pada dasarnya dapat menjadi sumberdaya (resources) dan dapat juga menjadi
pencemar. Beberapa peneliti menyatakan bahwa bahan limbah cair buangan ke laut,
dengan rancangan yang sesuai untuk saluran pembuangan, ternyata lebih banyak
6

keuntungan yang didapat dari pada kerugian bagi lingkungan. Perbedaan utama dari
sumberdaya dan pencemar itu adalah meliputi karakteristik dari lingkungan penerima
limbah, kualitas dari limbah yang dibuang, dan waktu limbah dibuang. Perairan sebagai
tempat penerima limbah organik (padat maupun cair) mempunyai kemampuan
purifikasi atau kapasitas asimilasi yang terbatas. Kemampuan terebut terjadi karena
adanya pengenceran (hidrodinamika) maupun proses perombakan.
Kapasitas asimilasi di definisikan oleh Quano (1993) sebagai kemampuan air atau
sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukkannya. Sementara itu
konsentrasi dari partikel polutan yang masuk ke perairan akan melalui tiga macam
fenomena, yaitu pengenceran (dilution), penyebaran (dispertion) dan reaksi penguraian
(decay or reaction). Pengenceran terjadi pada arah vertikal ketika air limbah sampai di
permukaan perairan. Peristiwa penguraian merupakan pengenceran pada permukaan
perairan ketika limbah tercampur karena gelombang.
Menurut Quano (1993) mengemukakan beberapa metode yang biasa digunakan untuk
menentukan nilai kapasitas asimilasi diantaranya adalah dengan menggunakan
hubungan antara kualitas air dan beban limbahnya. Metode lain untuk menentukan
kapasitas asimilasi diantaranya :
a) Metode Penghitungan Pengurangan Limbah Awal, Dispersi dan Penguraian.
Metode ini dapat ditentukan nilai kapasitas asimilasi melalui penggabungan nilai
pengurangan limbah awal, nilai dispersi limbah dan nilai pengurangan limbah.
Limbah awal dapat ditentukan dengan beberapa faktor antara lain kecepatan
pencampuran antara limbah dan air sungai, kedalaman air limbah yang mengalir di
badan air, lebar penyebaran limbah dan debit air limbah. Untuk menentukan nilai
dispersi limbah, tergantung dari faktor jarak sepanjang garis aliran limbah, kecepatan
pencampuran dan lebar dari sistem penyebaran limbah. Selanjutnya untuk penentuan
penguraian limbah perlu di hitung waktu yang dibutuhkan untuk mencapai nilai 90%
bakteri mati, kecepatan pencampuran dan jarak air limbah.
Kelebihan dari metode ini adalah bahwa penghitungan lebih ditekankan pada faktorfaktor fisik, sehingga ketepatan perhitungannya tinggi. Adapun kelemahannya,
metode ini kurang memperhitungkan faktor-faktor kimia dimana perbedaan jenis
limbah yang masuk ke perairan tidak diperhatikan.
b) Metode Arus Bermuatan Partikel
Nilai kapasitas asimilasi pada metode ini ditentukan dengan cara membandingkan
konsentrasi limbah dengan konsentrasi air sungai yang menerima limbah. Hal-hal
7

yang diperhitungkan antara lain kecepatan aliran, perbedaan konsentrasi dan debit air
sungai. Metode ini memperlihatkan perbandingan antara profil konsentrasi pada arus
ringan yang mengalir dengan air penerima yang memiliki kepekatan yang sama.
Kelebihan metode ini adalah adanya pembanding antara konsentrasi limbah dan air
sungai yang sangat penting bagi penentuan kapasitas asimilasi. Kelemahannya
adalah kesulitan dalam penghitungan konsentrasi limbah berupa bahan kimia yang
masuk ke perairan yang membutuhkan waktu yang lama.
c) Metode Penurunan Oksigen dari Streeter dan Phelps
Metode ini bertujuan untuk menentukan nilai asimilasi dengan cara mengamati
pengurangan nilai oksigen terlarut. Faktor-faktor yang diperhitungkan antara lain
waktu perjalanan limbah di sungai dan konsentrasi asam karbonat yang tetap pada
saat perjalanan limbah.
Dengan metode ini penghitungan dilakukan terus-menerus secara rutin. Hal ini
merupakan suatu kesulitan karena tentu akan membutuhkan waktu yang lama.
Sementara itu kelebihannya adalah penghitungan akan lebih teliti karena dilakukan
penghitungan waktu perjalanan limbah.
d) Metode Hubungan Kualitas Air dan Beban Limbahnya
Dalam metode ini, kapasitas asimilasi ditentukan dengan cara memplotkan nilai-nilai
kualitas air suatu perairan pada kurun waktu tertentu dengan beban limbah yang
dikandungnya ke dalam suatu grafik, yang selanjutnya direferensikan dengan nilai
baku mutu air yang diperuntukkan bagi biota laut berdasarkan Kep-Men KLH No.
51/MenKLH/2004 tentang Baku Mutu Air Laut (khususnya Lampiran 3). Nilai yang
diperoleh dari titik perpotongan pada grafik inilah yang dimaksud dengan kapasitas
asimilasi.

4.2

Beban Pencemar

Pembahasan terhadap kapasitas asimilasi tidak terlepas dari nilai beban pencemar.
Beban pencemar didefinisikan sebagai jumlah total bahan pencemar yang masuk ke
lingkungan dalam hal ini perairan baik langsung maupun tidak langsung, dalam kurun
waktu tertentu. Beban pencemar berasal dari berbagai aktivitas manusia misalnya
industri dan rumah tangga. Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung dari
aktivitas manusia di sekitar perairan dan bagian hulu sungai yang mengalir ke arah laut.
Kuantitas beban pencemar selain ditentukan oleh aktivitas manusia, juga dipengaruhi
oleh kondisi pasang surut wilayah pantai. Beban masukan limbah sangat kecil saat
8

terjadinya pasang karena sungai akan tertahan oleh peningkatan massa air pantai.
Kondisi sebaliknya terjadi yaitu beban limbah ke kawasan pantai akan lebih besar pada
saat surut tiba. Hal ini karena aliran dapat menembus masuk tanpa terhalang oleh massa
air laut. Perhitungan beban pencemar dapat dilakukan dengan mengalikan konsentrasi
dengan debit aliran sungai dalam satuan waktu tertentu. Sebelumnya debit aliran sungai
dapat diperoleh dengan mengalikan luas penampang aliran sungai dengan kecepatan
aliran sungai. Model perhitungan beban pencemaran adalah sebagai berikut :
BP

= Q x C x 3600 x 24 x 30 x 1 x 10-6

Keterangan:
BP
Q
C

= Beban pencemaran yang masuk dari sungai (ton/bulan)


= Debit sungai (m3/detik)
= Konsentrasi limbah (mg/l)

Total beban pencemaran dari seluruh sungai yang bermuara di perairan pesisir dihitung
dengan persamaan:

Keterangan : TBP = Total beban pencemaran


n = Jumlah sungai
i = Beban limbah sungai ke-i

4.3

Perhitungan Kapasitas Asimilasi dengan Metode Hubungan Kualitas Air dan


Beban Pencemar

Data yang diamati merupakan data kualitas air yang mempengaruhi kualitas air sungai
dan perairan pesisir. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peubah pencemaran di
sungai secara matematis dapat dituliskan sebagai :
Y = f (x)
Secara matematis persamaanya regresi linearnya dapat dituliskan;
y = a + bx
Keterangan:
a = koefisien yang menyatakan nilai y pada perpotongan antara garis linear dengan
sumbu vertikal
b = koefisien regresi untuk parameter muara sungai
x = beban pencemaran
y = konsentrasi polutan
9

Untuk menghitung kapasitas asimilasi perairan danau terhadap beban pencemaran


dilakukan dengan menggunakan
metode
hubungan
antara
konsentrasi parameter limbah di
perairan danau dengan total beban
limbah tersebut di muara sungai.
Nilai
kapasitas
asimilasi
didapatkan dengan cara membuat
grafik hubungan antara nilai
konsentrasi
masing-masing
parameter limbah di perairan
danau dengan parameter limbah tersebut di muara sungai. Selanjutnya dianalisis dengan
memotongkan dengan garis nilai baku mutu air air laut untuk biota laut. Titik potong
tersebut adalah kapasitas asimilasi perairan yang ada.
Untuk mengetahui apakah kondisi kapasitas asimilasi beban pencemar belum
terlampaui atau sudah terlampaui adalah dengan membandingkan nilai beban pencemar
(BP) dengan nilai kapasitas asimilasi, yaitu :

5.

Jika Kapasitas Asimilasi > Beban Pencemar, maka diduga ada indikasi bahwa
proses kapasitas asimilasi masih berada dalam kondisi belum terlampaui (under
capacity)

Jika Kapasitas Asimilasi < Beban Pencemar, maka diduga ada indikasi bahwa
proses kapasitas asimilasi sudah berada dalam kondisi terlampaui (over
capacity).

TANTANGAN TERHADAP PEMAHAMAN KAPASITAS ASMILASI

Salah satu tugas yang sulit bagi penentu kebijakan di sektor sumber daya air/perikanan
adalah memahami kapasitas asimilatif di ekosistem pesisir, khususnya di wilayah pantai
dan sekitarnya yang terdapat peningkatan kegiatan antropogenik yang sangat intensif
(menimbulkan limbah cair, limbah perkotaan/pedesaan, pertanian/runoff industri,
perikanan, dll). Kebanyakan studi/kajian tentang dampak terhadap kegiatan akuakultur
biasanya hanya terfokus pada bahan organik/pengendapan lumpur saja, karena substansi
inilah yang mudah terlihat dan terukur. Limbah anorganik, seperti nitrogen dan fosfor,
yang tidak terlihat atau mudah diukur, umumnya mendapat perhatian jauh lebih sedikit
(bahkan sering ditinggalkan) karena sikap manusia umum yang mencari mudahnya saja.
(Chopin, T., et. al. 2001).

10

Tantangan yang lain adalah adanya teknologi budidaya rumput laut secara bebas
mengambang dengan menggunakan tangki dan kolam (tambak). Teknologi ini termasuk
baru. Kelebihan teknologi ini jika dibandingkan dengan membuka budidaya perairan,
maka potensi produksinya lebih tinggi, mudahnya melakukan pengontrolan dan
pengaturan mekanisasi, dan kemungkinan untuk menggunakan kolam air laut sebagai
biofilter untuk kolam ikan dan limbah cair lainnya. Kelemahannya adalah biaya yang
tinggi dibandingkan dengan metode budidaya lainnya. Biaya tinggi terutama karena
konstruksi kolam, energi yangdibutuhkan untuk pergerakan air dan pemompaan air laut,
dan mungkin untuk pengayaan CO2 mungkin dan pupuk (Friedlander dan Levy, 1995
dalam Michael Friedlander, 2008). Dengan teknologi yang mampu mengontrol kualitas
air, maka penentuan kapasitas asimilasi perairan kemungkinan relatif tidak banyak
digunakan lagi.

6.

PENUTUP

Budidaya rumput laut sangat potensial dikembangkan di Indonesia mengingat


permintaan pasar akan produksi rumput laut baik dari dalam negeri maupun luar negeri
masih besar, sedangkan pasokan masih kurang. Masih sekitar 80% luas areal yang
potensial untuk mengembangkan budidaya rumput laut belum tergarap. Rumput laut
menjadi komoditas unggulan, selain areal potensi untuk budidaya rumput laut cukup
luas, juga karena beberapa jenis dari rumput laut ini merupakan bahan baku industri
agar, karaginan dan alginat yang berguna untuk industri makanan, minuman, farmasi,
industri non pangan dan lain-lain.
Pengembangan budidaya rumput laut sangat tergantung dengan kondisi perairan yang
ada. Daya dukung perairan, terutama kapasitas asimilasi perairan di areal
pengembangan budidaya rumput laut perlu diketahui, karena kapasitas asimilasi
perairan tersebut mempunyai batas dimana jika beban pencemar yang masuk ke
perairan lebih besar maka perairan akan tercemar yang akan berdampak terhadap
kelangsungan dan mutu produksi rumput laut. Sebagai dasar perhitungan untuk
penentuan kapasitas asimilasi perairan untuk daya dukung kawasan rumput laut, maka
salah satu metoda yang dapat digunakan adalah model hubungan kualitas air dan beban
pencemar yang dilengkapi dengan baku mutu air laut untuk biota laut (rumput laut).
Perhitungan kapasitas asimilasi sangat spesifik untuk setiap lokasi, dengan tergantung
hidrodinamika perairan tempat dimana terdapat budidaya rumput laut. Karakteristik
hidrodinamika yang berpengaruh adalah proses percampuran, pengenceran dan waktu
pembilasan, kemudian terjadinya degradasi bahan pencemar.
11

7.

DAFTAR PUSTAKA

Amarullah, 2007, Pengelolaan Sumberdaya Perairan Teluk Tamiang Kabupaten


Kotabaru Untuk Pengembangan, Budidaya Rumput Laut (Eucheuma
cottonii), Tesis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Chopin,T., et.al., 2001, Integrating Seaweeds into Marine Aquaculture Systems: a Key
Toward Sustainability, Minireview, J. Phycol.37, 975986 (2001).
Friedlander, M., 2008, Israeli R & D Activities in Seaweed Cultivation, Israel Journal of
Plant Sciences Vol. 56 2008 pp. 1528, 10.1560/IJPS.56.12.15, Israel
Oceanographic and Limnological Research (retired), Israel.
Kemeneg LH, 2004, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia
No.51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
Krom, M.D., 1986. An Evaluasi of The Concept of Assimilative Capacity as Aplied to
Marine Water. Ambio. XV (4) : 208-214.
Quano, 1993, Training Manual on Assesment of the Quantity and Type of Land Based
Pollutant Discharge into the Marine and Coastal Enviromental UNEF,
Bangkok.
Sahu, N., et.al., 2010, Effect of Grafting on The Properties of Kappa-Carrageenan of
The Red Seaweed Kappaphycus Alvarezii (Doty) Doty Ex Silva,
J.Carbpol.2010.12.034.
Ratni, R., 2004, Kapasitas Asimilasi Beban Pencemar di Perairan Teluk Jobokuto,
Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Tesis, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
UNEP, 1993, Training Manual on Assessment of the Quantity and Type of Land-Based
Pollution Disharges Into the Marine and Coastel Enviroment. United
Nation Enviroment Progamme RCU/EAS Technical Reports Series No 1.

12

13

Anda mungkin juga menyukai