Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Ekosistem air laut dibedakan atas ekosistem lautan, ekosistem pantai, ekosistem
estuari (muara), dan ekosistem terumbu karang. Ekosistem laut ditandai dengan salinitas
(kadar garam) yang tinggi terutama di daerah laut tropik. Ekosistem pantai letaknya
berbatasan dengan darat, laut dan daerah pasang surut. Ekosistem estuari merupakan tempat
bersatunya sungai dengan laut. Ekosistem terumbu karang terdiri dari didominasi karang batu
dan organisme-organisme lainnya, daerah ini masih dapat ditembus cahaya matahari sehingga
fotosintesis dapat berlangsung.

Salah satu indicator dari ekosistem itu adalah ekosistem rumput laut. Ekosistem
rumput laut adalah lokasi perkembangbiakan ikan dan kerang yang mendukung ketersediaan
pangan bagi manusia. Rumput laut adalah salah satu sumberdaya hayati yang terdapat di
wilayah pesisir dan laut. Dalam bahasa Inggris, rumput laut diartikan sebagai seaweed.
Sumberdaya ini biasanya dapat ditemui di perairan yang berasosiasi dengan keberadaan
ekosistem terumbu karang. Rumput laut alam biasanya dapat hidup di atas substrat pasir dan
karang mati. Beberapa daerah pantai di bagian selatan Jawa dan pantai barat Sumatera,
rumput laut banyak ditemui hidup di atas karang-karang terjal yang melindungi pantai dari
deburan ombak. Di pantai selatan Jawa Barat dan Banten misalnya, rumput laut dapat ditemui
di sekitar pantai Santolo dan Sayang Heulang di Kabupaten Garut atau di daerah Ujung
Kulon Kabupaten Pandeglang. Sementara di daerah pantai barat Sumatera, rumput laut dapat
ditemui di pesisir barat Provinsi Lampung sampai pesisir Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh
Darussalam. Selain hidup bebas di alam, beberapa jenis rumput laut juga banyak
dibudidayakan oleh sebagian masyarakat pesisir Indonesia. Contoh jenis rumput laut yang
banyak dibudidayakan diantaranya adalah Euchema cottonii dan Gracelaria sp. Beberapa
daerah dan pulau di Indonesia yang masyarakat pesisirnya banyak melakukan usaha budidaya
rumput laut ini diantaranya berada di wilayah pesisir Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu, Provinsi Kepulauan Riau, Pulau Lombok, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Ekosistem rumput laut dunia tengah menghadapi krisis lingkungan dan perubahan
iklim. Setiap tahun, sebanyak 7% hamparan rumput laut dunia hilang akibat ulah manusia.
Tingkat kerusakan ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan kenaikan permukaan
air laut akibat pemanasan global. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru yang diterbitkan
dalam jurnal “Global Change Biology” yang disusun oleh Dr. Megan Saunders, peneliti dari
Global Change Institute, milik University of Queensland. Ia dan tim bekerja sama dengan
Centre of Excellence for Environmental Decisions (CEED) meneliti ekosistem rumput laut
dunia.

Menurut Dr. Saunders, ancaman terbesar bagi ekosistem rumput laut dunia adalah
hilangnya akses terhadap cahaya matahari. Saat kondisi perairan semakin keruh dan dalam
akibat ulah manusia serta kenaikan air laut, hamparan rumput laut semakin sulit mendapatkan
akses terhadap sinar matahari yang penting bagi pertumbuhannya.

Ekosistem rumput laut adalah ekosistem laut yang sering kali “terlupakan”. “Rumput
laut tidak banyak mendapatkan perhatian dari media maupun pemangku kebijakan
sebagaimana terumbu karang,” tuturnya. Padahal fungsi dari terumbu karang sangat penting
bagi samudra dan masyarakat. Rumput laut dapat menyerap emisi karbon dalam jumlah yang
sangat besar. Sehingga peran rumput laut dalam mengurangi dampak pemanasan global dan
perubahan iklim juga besar. Rumput laut menyerap 48-112 juta ton karbon setiap tahun. Saat
rumput laut rusak karbon-karbon ini akan terlepas kembali ke atmosfer memicu pemanasan
global. Rumput laut juga membersihkan lautan dengan cara menangkap sedimen dan nutrisi
yang masuk ke laut. Menurut Dr. Saunders jika kita bisa menjaga luas wilayah rumput laut,
kita bisa memerlambat pemanasan global sekaligus mengembalikan potensi perikanan dunia.
BAB II
PEMBAHASAN

Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi


daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan
pendapatan penduduk. Sumber daya kelautan tersebut mempunyai keunggulan komparatif
karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat dimanfaatkan
dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu menciptakan kapasitas
penawaran yang kompetitif. Di sisi lain, kebutuhan pasar sangat besar karena
kecenderungan permintaan pasar global yang terus meningkat. Untuk memenuhi hal
tersebut maka akselerasi pembangunan kelautan merupakan sebuah jawaban yang tepat.
Indonesia menyimpan potensi sumber daya kelautan, baik hayati ataupun non-hayati yang
cukup menjanjikan untuk di kelola. Potensi ini bukan hanya menjadi aset lokal namun juga
dapat dirasakan manfaatnya secara nasional jika dikelola dan dimanfaatkan dengan arif dan
bijaksana. Salah satu komoditas marikultuer yang saat ini sedang dikembangkan dan
merupakan salah satu program pengembangan ekonomi adalah rumput laut (seaweed).

Rumput laut telah dikenal sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun yang lalu di
Indonesia maupun di mancanegara. Pada umumnya rumput laut digunakan sebagai bahan
makanan dan minuman, namun seiring dengan berkembangnya IPTEK dewasa ini rumput
laut dapat di kembangkan dan manfaatkan dalam berbagai macam industri misalnya tekstil,
kosmetik, dan industri kefarmasian.

2.1 Potensi Sumber Daya Laut Indonesia

Indonesia terkenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan potensi sumberdaya
laut dan pesisir yang sangat menjanjikan. Wilayah pesisir dan lautan merupakan wilayah
yang memiliki arti penting secara ekonomi dan politik bagi kehidupan masyarakat di
Indonesia sejak dahulu. Sumberdaya di wilayah pesisir merupakan penopang hidup bagi
masyarakat yang hidup di pesisir untuk memperoleh makanan, kayu bakar, bangunan, dan
fungsi lainnya.

 Potensi Terumbu Karang


Ikawati et al. (2001) dalam Gianto (2007), mengatakan, salah satu dari sekian
banyak ekosistem yang dimiliki Indonesia adalah ekosistem terumbu karang.
selanjutnya kurang lebih 14% terumbu karang dunia berada di Indonesia yakni
mencapai luas sekitar 75.000 Km2. Terumbu karang mempunyai fungsi yang
penting, antara lain sebagai penahan ombak dan pelindung pantai dari abrasi, tempat
berkumpul dan berkembang biaknya ikan-ikan dan biota laut lain yang merupakan
sumber protein dan sumber bahan obat. Manuputty (2008) melaporkan, terumbu
karang juga memiliki fungsi sebagai tempat rekreasi bawah air dengan panorama
keindahan bawah air yang menarik yang berbeda dengan di darat, oleh karena itu
ekosistem terumbu karang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Konferensi kelautan dunia (WOC) yang berlangsung di Manado, Sulawesi
Utara 11-15 Mei 2009 menyepakati bahwa untuk mengurangi bencana akibat
perubahan iklim tentu harus dihindari dengan mengurangi tingkat emisi karbon.
Negara-negara berkembang mesti menjaga kelestarian laut dan hutan sebagai paru-
paru dunia. Potensi terumbu karang di Indonesia sebagai paru-paru dunia di dasar
laut bahwa untuk mengatasi perubahan iklim pengaruh emisi karbon sangat besar
(Protopo, 2009).
 Potensi Perikanan
Sektor perikanan, potensi perikanan Indonesia secara keseluruhan mencapai
65 juta ton, terdiri 7,3 juta ton pada sektor perikanan tangkap khususnya ikan-ikan
pelagis dan 57,7 juta ton pada sektor perikanan budidaya (Kusuma, 2004). Sektor
budidaya biota laut yang di budidaya seperti ikan belanak, ikan kakap putih, udang,
kepiting bakau, dan teripang. Tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia mencapai
20,18 kg perkapita pertahun, dan mengalami peningkatan 4,5% pertahun (Dahuri,
2003).
Tingkat konsumsi dan permintaan ikan dunia cenderung meningkat. Sejak
tahun 1990, dunia sebenarnya telah mengalami kekurangan pasokan ikan
diperkirakan sebesar 19,6 juta ton pada tahun 2000; 37,5 juta ton pada tahun 2010
dan 62,4 juta ton pada tahun 2020 (FAO, 2000). Hingga saat ini Indonesia
menempati urutan ke-12 sebagai Negara pengekspor produk perikanan di bawah
posisi Thailand dan Vietnam (Kusuma, 2004).
Potensi perikanan Indonesia yang mencapai 65 juta ton sebenarnya cukup
untuk mencukupi kebutuhan ikan dalam negeri dan kebutuhan ikan dunia. Indonesia
mempunyai potensi ikan yang banyak tetapi banyak ikan juga dicuri oleh nelayan-
nelayan asing dan alat tangkap nelayan Indonesia masih banyak yang kurang
mendukung sehingga potensi ikan di Indonesia belum dikelola dengan baik.
 Potensi Rumput Laut
Rumput laut merupakan salah satu sumberdaya kelautan yang telah dikenal
sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun di indonesia bahkan manca negara.
Umumnya rumput laut digunakan sebagai bahan makanan dan minuman, namun
seiring dengan perkembangan iptek dewasa ini rumput laut dapat dikembangkan dan
dimanfaatkan dalam berbagai macam industri misalnya tekstil, kosmetik dan industri
kefarmasian (Syafikri, 2009).
Rumput laut yang banyak dimanfaatkan adalah dari jenis ganggang merah
(Rhodophyceae) karena mengandung agar-agar, keraginan, porpiran, furcelaran
maupun pigmen fikobilin (terdiri dari fikoeretrin dan fikosianin) yang merupakan
cadangan makanan yang mengandung banyak karbohidrat. Ada juga yang
memanfaatkan jenis ganggang coklat (Phaeophyceae). Ganggang coklat ini banyak
mengandung pigmen klorofil a dan c, beta karoten, violasantin dan fukosantin,
pirenoid, dan lembaran fotosintesa (filakoid). Selain itu ganggang coklat juga
mengandung cadangan makanan berupa laminarin, selulose, dan algin. Selain bahan-
bahan tadi, ganggang merah dan cokelat banyak mengandung yodium (Prabowo,
2007).
 Potensi Hutan Mangrove
Indonesia mempunyai mempunyai salah satu hutan mangrove yang terluas di
dunia yaitu sekitar 4,25 juta ha sebelum tahun 1969. Luas ekosistem mangrove di
Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27%
dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah
memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia (Dahuri, 2002 dalam Kusuma,
2002).
Kusuma (2002) menjelaskan, mangrove merupakan sumberdaya alam yang
dapat dipulihkan (renewable resources atau flow resources) yang mempunyai
manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Manfaat ekonomis diantaranya
terdiri atas hasil berupa kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi, dan lain-lain) dan
hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata). Kawaroe (2001) menyebutkan
manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan
ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, di antaranya:
sebagai proteksi dari abrasi atau erosi, gelombang atau angin kencang, tsunami,
pengendali intrusi air laut, habitat berbagai jenis fauna, sebagai tempat mencari
makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang, pembangun
lahan melalui proses sedimentasi, pengontrol penyakit malaria, memelihara kualitas
air, penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain.
 Potensi Padang Lamun
Di Indonesia, lamun yang ditemukan terdiri atas tujuh marga, dari 20 jenis
lamun yang dijumpai di perairan Asia Tenggara, 12 di antaranya dijumpai di
Indonesia. Penyebaran padang lamun di Indonesia cukup luas, mencakup hampir
seluruh perairan Nusantara yakni Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua. Jenis Thalassia hemprichii merupakan yang
paling dominan di Indonesia (Husein, 2005).
Sebagaimana terumbu karang, padang lamun menjadi menarik karena
wilayahnya sering menjadi tempat berkumpul berbagai flora dan fauna akuatik lain
dengan berbagai tujuan dan kepentingan (Arlyza, 2007). Di padang lamun juga
hidup alga (rumput laut), kerang-kerangan (moluska), beragam jenis Echinodermata
(teripang- teripangan), udang, dan berbagai jenis ikan. Ikan- ikan amat senang
tinggal di padang lamun. Ada jenis ikan misalnya yang sepanjang hayatnya tinggal
di padang lamun, termasuk untuk berpijah, tetapi beberapa jenis lain memilih
tinggal sejak usia muda (juvenil) hingga dewasa, kemudian pergi untuk berpijah di
tempat lain. Ada juga yang hanya tinggal selama juvenil, sebagian lagi memilih
tinggal hanya sesaat.
Penyu hijau (Chelonia mydas) dan ikan duyung atau dugong (Dugong dugon)
adalah dua hewan ‘pencinta berat’ padang lamun, yang merupakan beberapa contoh
hewan laut yang cukup banyak dijumpai. Boleh dikatakan, dua hewan ini amat
bergantung pada lamun, kebergantungan kedua hewan ini terhadap lamun karena
tumbuhan tersebut merupakan sumber makanan penyu hijau dan dugong. Penyu
hijau biasanya menyantap jenis lamun Cymodoceae, Thalassia, dan Halophila,
sedangkan dugong senang memakan jenis Poisidonia dan Halophila. Dugong
mengkonsumsi lamun terutama bagian daun dan akar rimpangnya karena dua bagian
ini memiliki kandungan nitrogen cukup tinggi (Aswandi, 2008).
Wilayah pesisir dan laut Indonesia telah menjadi tumpuan harapan dimasa
depan baik untuk pemenuhan kebutuhan bangsa dan dunia. Harus disadari bahwa
sumberdaya kelautan kalau tidak dikelola dengan baik akan mengalami kerusakan
dan kerugian yang besar. Agar bisa mengelola sumberdaya kelautan secara
berkelanjutan salah satu faktor penting adalah perlu menguasai sains dan teknologi
secara terpadu.

2.2 Rumput Laut

Rumput laut merupakan merupakan salah satu tumbuhan yang masuk ke dalam
divisi Thallophyta (tumbuhan berthallus) yaitu suatu tumbuhan yang akar, batang dan daun
yang merupakan bentuk dari batang (thallus). Rumput laut memiliki alat perekat atau
penempel yang disebut holdfast. Holdfast bukan merupakan akar seperti yang dimiliki
tumbuhan tingkat tinggi yang berfungsi menyerap air atau nutrien. Holdfast hanya berfungsi
sebagai alat penempel pada substrat yang keras. Selain itu, rumput laut memiliki jaringan
yang sederhana; mereka tidak menghasilkan bunga atau benih seperti yang dimiliki
tumbuhan tingkat tinggi (Sverdrup et al., 2000). Menurut Pulido dan Mc Cook (2008)
rumput laut dapat diklasifikasikan menjadi 3 divisi berdasarkan kandungan pigmennya yang
digunakan dalam proses fotosintesis, yaitu: Chlorophyta (hijau), Phaeophyta (cokelat) dan
Rhodophyta (merah)

Tabel 1. Jumlah Spesies dan Sifat Hidup Divisi Alga (Soegiharto et al., 1992)

No Divisi Jumlah jenis Proporsi Sifat Hidup


1 Chlorophyta 7000 13% Bentos
Crysophyta
6.000-1000 96% Planktonik
-Diatome

2 -Coccolithophoroid 200 30-50% Planktonik


3 Phyrophyta

-Dinoflagellata 1,100 93% Planktonik


4 Phaeophyta 1,500 99,7% Bentos
5 Rhodophyta 4,000 98% Bentos
6 Cyanophyta 7,500 75% Bentos

2.1.1. Phaeophyta (Rumput Laut Cokelat)

Istilah Phaeophyta berasal dari bahasa yunani “phaios” yang berarti cokelat dan
“phyton” tumbuhan: alga cokelat (Pulido dan Mc Cook, 2008). Rumput laut cokelat
merupakan salah satu divisi makroalga dari kelas Phaeophceae yang berbentuk menyerupai
seperti lembaran, bulat dan menyerupai batang. Thalus dari alga ini berbentuk filamen,
bercabang dan berbentuk seperti lembaran daun. Karakteristik lainnya dari rumput laut
tersebut adalah dengan bentuk holdfast yang menyerupai cakram yang digunakan untuk
menempel pada substrat. Makroalga divisi Phaeophyta (Alga coklat) hidup di pantai, warna
coklat karena adanya pigmen fikosantin (coklat), klorofil a, klorofil b dan xantofil. memiliki
bentuk thalli lembaran, bulat atau menyerupai batang. Thallus tersebut berwarna coklat,
berbentuk filament bercabang dan bentuk seperti lembaran daun (Dawes, 1981).

Keanekaragaman alga cokelat mencapai lebih dari 250 genus dan 1500 spesies
(Norton, et al., 1996 dalam Graham dan Wilcox, 2000). Selain itu biomassa dari divisi
Phaeophyta sangat besar baik di perairan laut maupun tawar. Bentuk struktur alga ini terdiri
dari ukuran filamen mikroskopik hingga ukuran raksasa seperti giant kelp. Kelp raksasa dapat
menghasilkan tingkat produktivitas hingga mencapai 1 kg C m-2 yr -1, dengan tingkat
pertumbuhan terbesar pada musim dingin. Alga cokelat dapat membentuk biomassa pada
daerah intertidal dan subtidal di seluruh dunia. Daerah pantai yang kaya akan kepadatan
Phaeophycean berada di negara seperti Jepang, Amerika utara, Australia bagian Selatan, dan
Inggris. Selain itu Phaeophycean tumbuh optimal di perairan tropis dan subtropis (Graham
dan Wilcox, 2000)

Rumput laut cokelat atau disebut juga dengan Phaeophyta umumnya hidup di air laut,
khusunya laut yang agak dingin dan sedang. Biasanya hidup pada perairan sublitoral yaitu
alga yang berada di bawah permukaan air dan intertidal yaitu alga secara periodik muncul
kepermukaan karena naik turun air akibat pasang surut (Graham dan Wilcox, 2000).
2.1.2. Rumput laut Merah (Rhodophyta)

Istilah Rhodophyta berasal dari bahasa yunani “rhodo” yang berarti merah dan
“phyton” tumbuhan: alga merah (Pulido dan Mc Cook, 2008). Menurut Romimohtarto dan
Juwana (1999) terdapat sebanyak 17 marga dari 34 jenis rumput laut merah di Indonesia
Rumput laut dari divisi Rhodophyta atau alga merah memiliki ciri thallus berbentuk silindris,
pipih dan lembaran. Thallus tersebut berwarna merah, ungu, pirang, cokelat dan hijau (Toni,
2006). Beragamnya warna yang dihasilkan makroalga ini disebabkan oleh pigmen caroten,
fuxoxanthin serta klorofil-a dan c. Dilihat dari bentuknya kelompok rumput laut ini memiliki
ukuran dan bentuk yang beragam. Kelompok makroalga merah sebagian besar bersifat epifit,
tumbuh di permukaan substrat yang keras seperti batu dan cangkang kerang. Alga merah
hidup di daerah intertidal dan sub-tidal perairan yang dalam (Dhargalkar dan Kavlekar,
2004).

Lobban dan Wynne (1981) melaporkan bahwa terdapat sebanyak 4100 spesies dalam
675 genus Rhodophyta atau alga merah di dunia. Namun di Indonesia menurut Romimohtarto
dan Juwana (1999) terdapat sebanyak 17 marga dari 34 jenis rumput laut merah di Indonesia.
Rhodophyta terbagi menjadi 2 kelas yaitu Florideophyceae dan Bangiophycidae. Menurut
Dixon (1973) dalam Lobban dan Wynne (1981) kelas Florideophyceae memiliki 12 famili
dimana 3 famili dari kelas ini (8 genus dan 90 spesies) hidup di periran tawar. Selebihnya
sebanyak 8 famili dari kelas Florideophyceae hidup di laut. Sementara itu 1 famili,
Acrochaetaetiaceae tersebar baik di perairan tawar maupun laut. Kelas Bangiophycidae
memiliki 5 ordo, 30 genus dan 110 spesies. Sebagian besar spesies dari kelompok ini hidup di
perairan tawar. Rhodophyta umumnya bersifat autotrof, ada juga yang heterotrof, yaitu yang
tidak memiliki kromatofora dan biasanya parasit pada ganggang lain. Rumput laut dari jenis
ini hidup di perairan yang lebih dalam dibandingkan rumput laut cokelat (Phaeophyta)
(Luning, 1990)

2.1.3. Rumput laut hijau (Chlorophyta)

Istilah Chlorophyta berasal dari bahasa yunani “chloro” yang berarti hijau dan
“phyton” tumbuhan: alga hijau (Pulido dan Mc Cook, 2008). Rumput laut hijau dikenal
sebagai Chlorophyta karena mereka tampak berwarna hijau seperti kebanyakan tumbuhan
tingkat tinggi dan bersifat uniseluler maupun multiseluler. Dilihat dari ukurannya, jenis alga
hijau ini terdiri dari berukuran mikroskopik dan makroskopik (Dhargalkar dan Kavlekar,
2004). Rumput laut ini memiliki thallus berbentuk membran, filamen, dan tabung (Toni.
2006). Hal ini disebabkan keberadaan klorofil yang terdapat pada alga hijau tersebut.

Rumput laut hijau tersebar luas di lingkungan perairan tepi pantai dan menempal pada
substrat di dasar perairan laut, seperti karang mati, pasir, dan pecahan karang. Hidup di air
laut, keberadaannya dapat dijumpai di paparan terumbu karang dengan kedalaman 1 – 200 m.
Penyebaran rumput laut ini terutama di mintakat litorial bagian atas, khususnya dibelahan
bawah dari mintakat pasang surut dan tepat di daerah bawah pasang surut sampai kedalaman
10 meter atau lebih, sehingga beberapa rumput laut dari jenis Chlorophyta mendapat
penyinaran matahari yang bagus (Romimohtarto dan Juwana, 2007).
2.2. Morfologi Rumput Laut

Bentuk morfologi rumput laut berbeda dengan tumbuhan tingkat tinggi. Rumput laut
tidak memiliki, batang, daun akar yang sebenarnya (Romimohtarto dan Juwana, 2005).
Beberapa jenis rumput laut yang terlihat memiliki batang, akar, daun seperti tumbuhan
tingkat tinggi, namun pada dasarnya mereka adalah thallus. Bentuk thallus yang dimiliki
rumput laut beraneka ragam, diantaranya adalah bulat, pipih, gepeng, tabung seperti rambut
dan sebagainya. Sedangkan percabangan thallus yaitu dichotomous (dua-dua terus-menerus),
pinnate (dua-dua berlawanan sepanjang thallus utama), irregular ( pola cabang tidak
beraturan), ferticillate (berpusat melingkar axis atau batang utama) dan terdapat thallus yang
tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga bervariasi ada yang lunak seperti gelatin
(gelatinous), keras yang mengandung zat kapur (calcareous}, lunak seperti tulang rawan
(cartilagenous), berserabut (spongeous) dan sebagainya. Seperti tumbuhan darat lainnya,
rumput laut memiliki pigmen fotosintesis untuk menghasilkan makanan dengan bantuan
cahaya matahari dan nutrien di perairan (Soegiharto et al., 1978).

2.3. Substrat Rumput Laut

Substrat merupakan salah satu komponen terpenting dalam keberadaan dan


pertumbuhan jenis rumput laut. Bold (1985) dalam Indrawati, et al. (2009) menyatakan
bahwa rumput laut merupakan makrobentos yang tumbuh melekat pada berbagai jenis tipe
substrat seperti bervariasi seperti lumpur atau pasir, pada batu-batuan atau karang, dengan
kata lain pada kondisi atau tipe substrat yang sesuai suatu jenis rumput laut ditemukan
melimpah. Menurut Lunning (1990) substrat yang mengandung kalsium seperti karangmati
(dead coral) ditumbuhi oleh beberapa spesies dari kelompok rumput laut merah dan hijau.

Sze membagi jenis substrat perairan pantai menjadi 4 bagian, yaitu:

1. Mud (lumpur), berasal dari aliran (run off) yang berasal dari daratan yang kemudian
terendap di dasar perairan. Substrat ini memberikan pengaruh negatif berupa
gangguan pernafasan bagi organisme perairan dan memiliki kandungan oksigen
terlarut yang rendah

2. Sand (pasir), kandungan pasir tergantung letak geografis suatu daerah. Wilayah perpantai
yang memiliki substrat ini memiliki kandungan oksigen terlarut cukup tinggi

3. Rock (batu), areal bebatuan biasanya di tempati oleh berbagai organism, sebagai tempat
untuk tumbuh dan berlindung. Cakupan oksigen terlarut dan persediaan nutrient di
substrat ini cukup banyak.

4. Piling, habitan buatan berupa kayu dermaga, kapal dan sebagainya.

Rumput laut hidup sebagai fitobentos yaitu dengan cara menancapkan atau melekat
pada substrat, pasir, lumpur, karang mati, kayu dan batu. Selain itu, ditemukan juga jenis
rumput laut yang bersifat epifitik yaitu melekat pada tanaman lain (Soegiarto et al, 1992).
Wilayah sebaran rumput laut tersebar di hampir seluruh perairan laut Indonesia yang
memiliki hamparan atau rataan terumbu karang (Anggadiredja et al., 2006). Tumbuhan ini
melekat pada substrat seperti batu, karang mati, kerang dan beberapa melekat pada
tumbuhan lain (Kannan, 2011).
2.4 Interaksi Rumput Laut

 Efek Herbivora pada rumput laut karang


Karang dapat dihuni oleh beragam kelompok herbivora termasuk ikan, landak
laut, kura-kura, manatee, dugong, kepiting, amphipods, polychaetes, dan invertebrata
lainnya. Keragaman sejarah kehidupan herbivora, ukuran, bagian mulut, dan fisiologi
pencernaan membuat itu, jika tidak mungkin, untuk rumput laut karang yang
melarikan diri atau menghalangi semua herbivora. Namun, jika rumput laut dapat
bertahan pada terumbu, mereka harus menurunkan herbivora ke tingkat yang
memungkinkan produksi melebihi penghapusan. Banyak penelitian eksperimental
memiliki mendokumentasikan efek besar ikan dan landak laut di karang rumput
laut karang (Birkeland 1989; Hay 1991a). Sebagai contoh, ketika Lewis (1986) Ikan
dikecualikan dari daerah karang dangkal di Belize selama 10 minggu, kelimpahan
makroalga enak meningkat secara dramatis, selama tumbuh dan membunuh karang
dan beberapa kurang rumput laut lezat. Ketika ikan diizinkan untuk memasukkan
kembali daerah ini, hampir semua ini meningkatkan massa alga adalah dikonsumsi
dalam waktu 48 jam. hasil yang sama dramatis terjadi ketika landak laut dikecualikan
dari terumbu mana mereka uberlimpah (Carpenter 1986; Morrison 1988; Lessios
1988).Dalam banyak kasus, rumput laut lezat bertahan di tropis masyarakat hanya
karena mereka tumbuh di hutan bakau, padang lamun tidur, batu karang, atau daerah
topografi sederhana yang melayani pengungsi sebagai spasial dari herbivora terumbu
(Hay 1981a, 1984b, 1985, 1991a), rupanya karena herbivora berada dirisiko yang
lebih besar dari predasi di habitat ini.
Beberapa studi menunjukkan bahwa pemanenan ikan di terumbu karang
memungkinkan populasi landak laut untuk memperluas karena lebih sedikit Ikan
predator dan bersaing (Hay 1984a; Hay dan Taylor 1985; Carpenter 1986, 1990;
McClanahan dan Shafir 1990). Ketika Carpenter (1986) dievaluasi penggembalaan
oleh ikan dibandingkan landak laut pada karang di St. Croix, ia menemukan bahwa
kelompok memiliki efek yang berbeda di alga berdiri saham, tapi itu baik ikan atau
landak laut saja bisa menghapus produksi hampir semua alga. Ini menunjukkan bahwa
penghapusan bulu babi sendiri atau ikan saja mungkin tidak secara signifikan
menurunkan herbivora pada rumput laut di habitat ini; Namun, peristiwa terbaru
menunjukkan penghapusan bahwa dari kedua kelompok memungkinkan rumput laut
untuk melarikan diri kontrol oleh herbivora, kadang-kadang membunuh seluruh
sistem karang. Hughes (1994) menyediakan dokumentasi mengesankan bagaimana
overfishing terumbu di Jamaika tampaknya tidak memiliki Efek dramatis pada
terumbu sampai Diadema antillarum landak laut (landak laut Hitam), yang terjadi ada
di kepadatan yang sangat tinggi, mengalami kematian massal karena penyakit
(Lessios 1988). Setelah tidak kelompok herbivora adalah umum di terumbu Jamaika,
penutup rumput laut meningkat dari 4% menjadi 92% dan tutupan karang menurun
dari 52% menjadi 3% pada 9 terumbu. Hughes belajar sepanjang 300 km dari garis
pantai. Meningkat penutup rumput laut dicegah rekrutmen karang, banyak karang
dewasa yang tewas, dan efektif dihancurkan Terumbu Jamaika
Meskipun herbivora lainnya, seperti kepiting (Coen 1988; Stachowicz dan
Hay 1996), Chitons (Littler et al. 1995), atau keong (Steneck 1997) dapat memiliki
effek penting pada skala spasial yang terbatas, Ikan dan invertebrata besar seperti
landak laut tampaknya bertanggung jawab untuk sebagian besar herbivora pada
terumbu karang (Carpenter 1986; Klumpp dan Pulfrich 1989; Hay dan Steinberg
1992). Bahwa kelompok-kelompok ini mengerahkan efek terumbu karang kua dari
pada tropis beriklim terumbu karang juga ditunjukkan oleh terbaru yang baik
beriklim sedang dan tropis landak laut sukai beriklim lebih dari rumput laut tropis dan
bahwa sebagian besar preferensi mereka dapat dijelaskan oleh deterrency lebih besar
dari kimia ekstrak dari rumput laut tropis (Bolser dan Hay 1996). Dengan demikian,
herbivora besar pada terumbu tropis tampaknya memiliki mengakibatkan pertahanan
kimia yang lebih kuat di antara tropis, sebagai lawan sedang, rumput laut.
Semua pertimbangan ini menunjukkan bahwa seleksi untuk ciri-ciri itu
menghalangi herbivora terumbu akan lebih besar di daerah tropis daripada di daerah
beriklim sedang dan akan dihasilkan oleh beragam himpunan ikan generalis dan
invertebrata yang berbeda di mobilitas, kebutuhan habitat, mode makan, dan fisiologi
pencernaan. Dalam menghadapi jenis difusi Tekanan herbivora (Fox 1981), pilihan
harus mendukung rumput laut dengan ciri-ciri yang luas aktif terhadap berbagai jenis
herbivora. Karena kelompok tunggal herbivora seperti bulu babi sendiri atau bulu babi
saja mampu memakan semua produksi alga di beberapa habitat (Carpenter 1986),
evolusi spesies-spesifilc atau bahkan group spesifik pencegah herbivora mungkin nilai
terbatas kecuali mereka ditambah dengan pertahanan tambahan yang menghalangi
herbivora lainnya. Ini mungkin mengapa rumput laut di herbivore-terumbu karang
yang kaya sehingga sering menggunakan kombinasi struktural, morfologi, dan
pertahanan kimia dan, dalam beberapa kasus, koordinasi pertahanan ini dengan pola
temporal dan mikrohabitat escape (Hay 1984b; Paul dan Hay 1986; Lewis et al. 1987;
Paul dan Van Alstyne 1988a; Hay dan Fenical 1988; Hay 1996). Beberapa sekunder
metabolit yang telah dibuktikan secara luas jera terhadap berbagai herbivora terumbu
bisa juga berfungsi untuk mencegah pengotoran atau mungkin mikroba patogen
(Schmitt et al. 1995). Ini peran ganda untuk single Metabolit lebih membatasi
pentingnya individu spesies herbivora dalam memilih untuk sifat tanaman tertentu.

 Pertahanan rumput laut terhadap herbivora


Rumput laut tropis memiliki morfologi, struktur, mineral (=CaCO3), dan sifat-sifat
kimia yang mencegah herbivora terumbu (Hay dan Fenical 1988, 1996; Duffy dan
Hay 1990; Hay dan Steinberg 1992; Paul 1992; Hay 1996). Banyak rumput laut
menggabungkan beberapa dari sifat-sifat defensif dan, di beberapa kasus, ini
bertindak additively atau sinergis untuk mengurangi kerugian herbivora (Hay et al
1994;. Schupp dan Paul 1994; Meyer dan Paul 1995; Hay 1996; Pennings et al.
1996).
2.5 Pemanfaatan Rumput Laut

Rumput laut dari jenis algae merah lebih banyak dibudidayakan dibandingkan
rumput laut dari jenis algae hijau dan coklat. Untuk algae coklat baru Sargasum yang
mendapatkan perhatian, itupun masih sebatas penelitian, sedangkan untuk usaha budidaya
sampai saat ini belum dikembangkan. Algae coklat menghasilkan Alginat. Sementara itu
rumput laut merah khususnya jenis Eucheuma menghasilkan polisakarida dalam bentuk
Agar dan Karagenan. Kedua polisakarida ini banyak dimanfaatkan di berbagai bidang
industri. Oleh karena itu mereka mempunyai nilai secara ekonomis cukup tinggi. Dan
permintaan pasar dunia akan kedua polisakarida tersebut dari tahun ketahun mengalami
peningkatan. Secara umum ketiga hasil metabolit sekunder tiga jenis rumput laut di atas
memiliki fungsi yang sama dalam dunia industri yaitu digunakan sebagai bahan pengental,
pensuspensi, penstabil dan pengemulsi.

Pemanfaatan rumput laut sebagai bahan makanan, kosmetika dan obat-obatan


tradisional sudah lama dikenal oleh masyarakat. Sedangkan pemanfaatannya sebagai bahan
industri yang memungkinkan untuk diekspor atau bahkan sebagai bahan energi alternatif
(blue ocean energy) baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir ini, sehingga
merangsang pengembangan untuk budidaya rumput laut

 Agar

Pemanfaatan utama dari agar adalah "melting point "nya yang tinggi. Dalam dunia
farmasi agar digunakan sebagai laxative untuk constipation yang kronis, sering dengan
penambahan obat-obatan anthraquinone, sebagai motor obat serta sebagai substrat untuk
kultur bakteri agar juga memainkan peranan yang penting. Agar juga bekerja sebagai
stabiliser untuk emulsi, constituent of ointment, lotion, dll. Hawkins dan O'Neill melaporkan
bahwa granuloma akan muncul setelah diinjeksi dengan agar. Menurut Gerber dkk, agar dan
juga karagenan melindungi embrio ayam melawan infeksi yang disebabkan virus influense
B dan mump-virus. Agar juga dimanfaatkan dalam dunia Kedokteran Gigi. Dalam pratikum
di laboratorium agar dimanfaatkan secara optimal untuk beberapa penelitian. Agar juga
dimanfaatkan dalam dunia tehnologi pangan dan industri.

 Agarose.

Penggunaan agarose dalam Immunologi adalah yang sangat menarik sekali. Agarose
gel telah membuktikan lebih banyak digunakan daripada agar gel yang tidak terfraksionasi,
karena kandungan sulfat yang rendah dan sebab memberikan gel yang jernih. Guiseley
melaporkan tentang viscometric determination dari agarose. Ahli Virologi dan Bakteriologi
memerlukan produk agar dengan titik didih yang rendah.

 Karagenan.

Karagenan adalah ekstrak yang tidak berubah dari karagenofit. Carrageenate adalah
garam tertentu dari asam karagenik. Karagenan adalah hidrokoloid yang mengandung sulfat
tinggi. Karagenan sering kali digunakan dalam industri farmasi sebagai pengemulsi (sebagai
contoh dalam emulsi minyak hati), sebagai larutan granulation dan pengikat (sebagai contoh
tablet, elexier, sirup, dll). Karagenan digunakan juga dalam industri kosmetika sebagai
stabiliser, suspensi dan pelarut. Produk kosmetik yang sering menggunakan adalah salep,
kream, lotion, pasta gigi, tonic rambut, stabilizer sabun, minyak pelindung sinar matahari,
dll. Selain itu ada beberapa kemungkinan dari aplikasi karagenan dalam industri teknologi
pangan dan telah banyak dilakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan masalah ini.
Selain tehnik ynag berkualitas, karagenan itu juga digunakan dalam industri kulit, kertas,
tekstil, dll.

 Klorofil

Klorofil dibentuk melalui proses fotosintesis di dalam tanaman disimpan pada bagian
daun tanaman. Klorofil kaya akan sumber mineral alami, vitamin, protein, elemen dan
mikro-nutrien. Semua zat-zat tersebut penting untuk menjaga kesehatan, terutama
menyeimbangkan kandungan asam dan basa di dalam tubuh. Membersihkan dan
mengeluarkan racun dari dalam tubuh secara sangat alami dan tanpa efek samping.
Membantu menyeimbangkan hormon dan kandungan asam basa dalam tubuh yang memang
sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia guna memaksimalkan kondisi tubuh yang sehat dan
prima, mengandung banyak serat. memberikan pemeliharaan nutrisi dalam pembentukan
darah untuk meningkatkan kadar oksigen dan jumlah sel darah merah dalam tubuh manusia.

Informasi terbaru saat ini adalah bahwa struktur kimia dari senyawa klorofil memiliki
bentuk yang hampir sama atau memiliki kemiripan dengan struktur kimia hemoglobin.
Artinya informasi ini bisa dikembangkan lebih lanjut bila melihat kemiripan sacara
struktural senyawanya ada kemungkinan klorofil juga dapat menggantikan peran dari
hemoglobin dengan kata lain subsitusi darah menggunakan klorofil mungkin dapat terjadi.
Dengan demikian kita tidak akan kehabisan stok darah.

 Energi Alternatif

Keberadaan rumput laut sebagai sumber alternatif energi merupakan hal baru yang
harus didukung dan dikembangkan. Rumput laut sebagai biodisel dinilai lebih kompetitif
dibandingkan komoditas lainnya. Dimana, 1 ha lahan rumput laut dapat menghasilkan
58.700 liter (30% minyak) pertahunnya atau jauh lebih besar dibandingkan jagung (172
liter/tahun) dan kelapa sawit (5.900 liter/tahun). Selain itu, rumput laut juga tidak
dihadapkan pada masalah baru pada saat didorong sebagai sumber energi karena rumput laut
tidak dikonsumsi setiap hari, dan budidayanya tidak memerlukan waktu yang lama.

2.5 Kajian Ekonomi, Sosial, Ekologi dan Biologi

Aspek ekonomis, rumput laut merupakan komoditas yang potensial untuk


dikembangkan mengingat nilai gizi yang dikandungnya. Selain itu, rumput laut dapat
dijadikan sebagai bahan makanan seperti agar-agar, sayuran, kue dan menghasilkan bahan
algin, karaginan dan fluseran yang digunakan dalam industri farmasi, kosmetik, tekstil, dan
lain sebagainya.

Dari sudut pandang lain budidaya rumput laut sangat menguntungkan karena dalam
proses budidayanya tidak banyak menuntut tingkat keterampilan tinggi dan modal yang
besar, sehingga dapat dilakukan oleh semua anggota keluarga nelayan termasuk ibu rumah
tangga dan anak-anak. Selain itu masa panen atau produksinya relatif singkat jika
dibandingkan dengan budidaya laut yang lain misalnya bandeng, udang dan kerang. Pangsa
pasar rumput laut juga sangat luas baik dalam ataupun luar negeri. Bahkan untuk tingkat
konsumsi (pasar) taraf lokalpun para pembudidaya masih kualahan untuk mencukupinya,
belum lagi ditambah permintaan luar negeri yang kian hari semakin meningkat, bahkan bisa
dikatakan tidak terbatas.

Ditinjau dari sisi lahan, usaha budidaya rumput laut tidak banyak kendala. Budidaya
dapat dilakukan dihampir seluruh perairan laut nusantara, namun tergantung pada jenis dan
metode budidayanya serta jenis rumput laut yang akan di budidayakan. Dari sisi penerapan
teknologi, budidaya rumput laut juga jauh lebih mudah, efisien serta ekonomis
dibandingkan teknologi yang digunakan dalam budidaya produk kelautan lainnya.
Dengan adanya aktifitas budidaya tentunya keuntungan yang bisa didapatkan diantaranya;
berkurangnya jumlah pengangguran, meningkatnya pendapatan masyarakat, bertambahnya
pendapatan asli daerah (PAD), persaingan usaha semakin ketat sehingga roda perekonomian
akan terus berjalan dan terciptanya iklim usaha yang kondusif dan pada akhirnya akan
tercipta kesejahteraan hidup masyarakat.

Aspek Sosial, perkembangan usaha budidaya rumput laut memberikan keuntungan bagi
kehidupan masyarakat disekitar lokasi budidaya. Keuntungan yang diperoleh diantaranya
adalah kesempatan kerja yang tersedia dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dukungan dari masyarakat sekitar dan nelayan yang beroperasi diperairan sekitar lokasi
budidaya sangat diperlukan. Dengan adanya usaha budidaya rumput laut ini dan juga
tersedianya potensi pasar yang luas diharapkan mampu menumbuhkan semangat kerja dan
semangat berwirausaha masyarakat setempat.

Aspek ekologis, komoditas rumput laut memberikan banyak manfaat terhadap


lingkungan sekitarnya antara lain adalah dapat mengkonservasi lahan pesisir terhadap
berbagai aktivitas penangkapan yang tidak berwawasan lingkungan, seperti penggunaan
racun/bom untuk penangkapan ikan. Rumput laut juga merupakan salah satu bagian penting
dari ekosistem pesisir, yang secara ekologis memiliki peranan dan fungsi ekologis yang
sama dengan ekosistem pesisir lainnya seperti; mangrove, lamun dan karang. Selain untuk
mendapatkan keuntungan secara ekonimis, diharapkan usaha budidaya ini juga merupakan
salah satu cara untuk melestarikan ekosistem rumput laut itu sendiri dan juga turut serta
dalam upaya mengembangkannya yaitu melalui memanfaatkan kecanggihan ilmu
pengetahuan dan teknologi misalnya dengan teknik kloning dan sistem kultur.

Aspek biologis, rumput laut memiliki klorofil yang berperan dalam proses fotosintesis
di perairan. Sehingga tumbuhan ini memegang peranan sebagai produsen primer penghasil
bahan organik dan oksigen di lingkungan perairan. Aspek dampak lingkungan, sebagaimana
biasanya, budidaya pasti mensyaratkan lokasi yang bebas dari polusi dan pencemaran air.
Selama masa pemeliharaan sampai dengan masa panen, rumput laut tidak diberikan pakan,
akan tetapi rumput laut mendapatkan makanan dan nutrisi dari yang tersedia di perairan laut.
Dengan demikian budidaya rumput laut ini tidak mencemari dan merusak lingkungan
disekitar.
2.6 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Rumput Laut

Dalam pertumbuhan rumput laut di dalam laut dipengaruhi oleh faktor fisik maupun
kimiawi yang ada di lautan, beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya:

2.6.1. Arus

Arus adalah gerakan air yang mengakibatkan perpindahan horizontal massa air. Arus
merupakan salah satu faktor terpenting dalam mempengaruhi kesuburan laut. Arus dapat
membawa nutrisi dari suatu perairan ke perairan lainnya. Adanya arus di lautan sangat
penting dalam membawa unsur hara atau nutrisi dari satu perairan ke perairan lainnya. Oleh
karena itu arus merupakan faktor terpenting dalam mempengaruhi kesuburan daerah suatu
perairan laut (Sverdrurp et al., 2004).

Kecepatan arus di suatu perairan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi dan
mengontrol pertumbuhan rumput laut. Selain dapat menyediakan nutrien bagi rumput laut,
arus juga dapat mengontrol peningkatan suhu air (Radiarta et al, 2007 dalam
Tiensongrusmee, 1990). Pengaruh arus cukup besar dalam menghalau sisa-sisa metabolisme
atau limbah, percampuran dan penyebaran nutrien serta gas-gas. Oleh karena itu arus dapat
dijadikan sebagai indikator tingginya laju produktivitas perairan. Selain itu, kenaikan
kecepatan arus meningkatkan proses fotosintesis, tetapi pada level tertentu laju fotosintesis
tetap (Supriharyono, 2008). Menurut Mubarak et al., (1990) kecepatan arus yang optimal
bagi pertumbuhan rumput laut di suatu perairan pantai adalah berkisar antara 20-40 cm/detik.

2.6.2 Temperatur

Suhu di lautan merupakan faktor lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan
organisme laut (Hutabarat, 1986). Besar suhu air laut berkisar antara -2 sampai 40oC.
Temperatur mempunyai pengaruh yang besar pada makhluk hidup yaitu pada proses
pertukaran zat (Soeseno, 1970). Temperatur merupakan faktor penting dalam lingkungan
perairan, karena suhu mempunyai pengaruh universal dan sering menjadi faktor pembatas
dalam suatu pertumbuhan (Odum, 1971). Menurut Lunning (1990), temperatur optimal untuk
pertumbuhan algae di daerah tropis adalah 15ºC – 30ºC. Menurut Van Den Hoek (1982),
perubahan temperatur yang ekstrim akan mengakibatkan kematian bagi rumput laut,
terganggunya tahap-tahap reproduksi dan terhambatnya pertumbuhan. Selain itu, Kenaikan
temperatur yang tinggi mengakibatkan thallus rumput laut menjadi pucat kekuning-kuningan
yang menjadikan rumput laut tidak dapat tumbuh dengan baik (Luning. 1990).

2.6.3 Salinitas

Salinitas merupakan nilai total garam-garam terlarut di laut. Nilai rata-rata salinitas
perairan laut rata-rata sebesar 35 ppt dan stabil ketika berada di perairan laut terbuka
(Sverdrurp et al. 2004). Rumput laut umumnya hidup di laut dengan salinitas antara 30‰-
32‰ (Luning, 1990). Namun banyak jenis makroalga mampu hidup pada kisaran salinitas
yang besar. Fucus misalnya, mampu hidup pada kisaran salinitas antara 8‰ - 34‰. Salinitas
berperan penting dalam kehidupan makroalgae. Salinitas yang terlalu tinggi atau terlalu
rendah akan menyebabkan gangguan pada proses fisiologis. Menurut Graham dan Wilcox
(2000) kenaikan salinitas menyebabkan stress dan percepatan plasmolisis sel rumput laut.
Adanya fluktuasi salinitas mempengaruhi dalam pertumbuhan, stabilitas dan bentuk rumput
laut (Lunning, 1990). Salinitas juga mempengaruhi penyebaran makroalga di lautan. Rumput
laut yang hidup didaerah intertidal memiliki kisaran toleransi yang tinggi terhadap salinitas
antara 10-100 ppt, sementara itu pada daerah subtidal dapat hidup pada kisaran salinitas
sebesar18-52 ppt (Graham dan Wilcox, 2000).

2.6.4. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di
dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari kemampuan air
untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya
(Fardiaz, 1992). Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi berkisar antara 0-10 ml/L di dalam
laut. Kandungan oksigen terlarut lebih dari 2 ppm bagi organisme akuatik yang mendukung
pertumbuhannya (Pescod,1973) sedangkan (Larger (1962), menyatakan bahwa kadar oksigen
yang baik untuk kehidupan organisme air berkisar 4-12 ppm.

2.7 Ancaman Utama Ekosistem Rumput Laut

Ekosistem rumput laut memiliki beberapa factor yang menjadi ancaman seperti

Pengambilan rumput laut secara berlebih dari alam lokasi budidaya yang rawan terjadi

pencurian, sabotase, konflik kepentingan dan adanya jalur pelayaran disekitar ekosistem

rumput laut tersebut.

Faktor alam juga dapat menjadi ancaman dalam pengelolaan ekosisem rumput laut,

seperti hilangnya akses terhadap cahaya matahari. Saat kondisi perairan semakin keruh dan

dalam akibat ulah manusia serta kenaikan air laut, hamparan rumput laut semakin sulit

mendapatkan akses terhadap sinar matahari yang penting bagi pertumbuhannya. anomali

cuacah yang mengakibatkan perubahan suhu dan salinitas air laut yang berdampak pada

kelangsungan hidup rumput laut.

2.8 Kendala Pengelolaan Ekosistem Rumput Laut

Kurangnya pengetahuan para petani rumput laut tentang mengelola ekosistem rumput

laut secara baik dan benar sehingga berdampak pada kerusakan ekosistem. Keadaaan wilayah

yang kurang mendukung dapat berpengaruh terhadap ekosistem, seperti pencemaran

disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan air menjadi keruh sehingga menghalangi proses

fotosintesis pada rumput laut. Dan pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.
2.9 Pencegahan Kerusakan Ekosistem Rumput Laut

 Melakukan penebaran bibit rumput laut

 Membuat tempat penangkaran untuk menjaga populasi rumput laut

 Menindak secara hukum orang-orang yang merusak ekosistem. Agar orang tersebut

tidak mengulaingi perbuatan yang merugikan ekosistem tersebut

 Memberikan pengetahuan kepada para petani rumput laut tentang pentingnya menjaga

kelangsungan ekosistem rumput laut tersebut agar dapat dikelola secara baik dan

benar.

2.10 Wilayah Sebaran Rumput Laut di Indonesia

Sumber daya ini biasanya dapat ditemui di perairan yang berasosiasi dengan
keberadaan ekosistem terumbu karang. Gulma laut alam biasanya dapat hidup diatas substrat
pasir dan karangmati. Di beberapa daerah pantai di bagian selatan Jawa dan pantai barat
Sumatera, gulma laut banyak ditemui hidup di atas karang-karang terjal yang melindungi
pantai dari deburan ombak. Di pantai selatan Jawa Barat dan Banten misalnya, gulma laut
dapat ditemui di sekitar pantai Santolo dan Sayang Heulang di Kabupaten Garut atau di
daerah Ujung Kulon Kabupaten Pandeglang. Sementara di daerah pantai barat Sumatera,
gulma laut dapat ditemui di pesisir barat Provinsi Lampung sampai pesisir Sumatera utara
dan Aceh/Nanggroe Aceh Darussalam.
Selain hidup bebas di alam, beberapa jenis gulma laut juga banyak dibudidayakan
oleh sebagian masyarakat pesisir Indonesia. Contoh jenis gulma laut yang banyak
dibudidayakan diantaranya adalah Euchema cottonii dan Gracilaria spp. Beberapa daerah
dan pulau di Indonesia yang masyarakat pesisirnya banyak melakukan usaha budidaya gulma
laut ini di antaranya berada di wilayah pesisir Kabupate nAdministrasi Kepulauan Seribu,
Provinsi Kepulauan Riau, Sulawesi, Maluku Pulau Lombok dan Papua.
Wilayah sebaran jenis rumput laut ekonomis penting di Indonesia, tersebar diseluruh
kepulauan. Untuk rumput laut yang tumbuh alami (wild stock) terdapat di hampir seluruh
perairan dangkal Laut Indonesia yang mempunyai rataan terumbu karang. Sedangkan sebaran
rumput laut komersial yang dibudidayakan hanya terbatas jenis Eucheuma dan Glacelaria.
Jenis Eucheuma dibudidayakan di laut agak jauh dari sumber air tawar, sedang Glacelaria
dapat dibudidayakan dilaut dekat dengan muara sungai karena untuk jenis ini salinitas yang
sesuai berkisar antara 15 – 25 per mil. Lokasi budidaya Eucheuma tersebar diperairan pantai
di beberapa Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Lampug selatan, Pulau Panjang (Banten)
Pulau Seribu, Karimun Jawa (Jawa tengah) Selatan Madura, Nusa dua, Nusa Lembongan dan
Nusa Penida (Bali), Lombok barat,Lombok tengah (Teluk Ekas) Sumbawa, Larantuka Teluk
Maoumere, Sumba, Alor, Kupang, P Rote, Sulawesi utara, Gorontalo, Bualemo, Bone
Bolango, Samaringa (Sulawesi tengah) Sulawesi tenggara, Jeneponto, Takalar, Selayar, Sinjai
dan Pangkep (Sulawesi selatan), Seram Ambon, dan Aru (Maluku), Biak serta Sorong.
Sementara untuk budidaya Glacelaria dalam tambak tersebar luas di daerah daerah serang
(Banten) Pantai Utara Jawa (Bekasi, Karawang, Subang Cirebon, Indramayu Pemalang,
Brebes, dan Tegal). Sebagian pantai utara Jawa timur (Lamongan dan Sidoarjo) untuk derah
di luar pulau Jawa hampir di semua perairan tambak Sulawesi selatan dan Lombok barat serta
Sumbawa. Produksi rumput laut nasional tahun 2010 mencapai 3,082 juta ton, di atas target
yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebesar 2,574 juta ton dan rumput laut
sudah menjadi komoditas unggulan dan menjadi penyumbang utama produksi perikanan
budidaya. (KKP,2010) Untuk menopang salah satu produk unggulan ini, maka hal hal yang
harus diketahui adalah pengenalan jenis rumput laut yang ada di Indonesia serta penanganan
sampai menjadi produk setengah jadi atau rumput laut kering.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Budidaya rumput laut ini memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi dan
juga kehidupan sosial masyarakat.
2. Untuk masa yang akan datang, budidaya rumput laut sangat prospektif, karena
permintaan pasar akan produk rumput laut baik dalam ataupun luar negeri akan terus
meningkat.
3. Menurut Dr. Saunders kunci menyelamatkan ekosistem rumput laut bergantung pada
kemampuan kita mengendalikan erosi dan pembuangan limbah dari sungai atau saluran
air setempat. Cara ini bisa diwujudkan dengan menghijaukan kembali kawasan pesisir
pantai dan pinggiran sungai, serta mengelola limbah cair masyarakat agar tidak
terbuang ke laut tanpa pengolahan.
4. Untuk itu, peran pemerintah lokal penting dalam menciptakan kebijakan laut dan
wilayah pesisir yang lestari guna menjaga agar ekosistem rumput laut mampu bertahan
di tengah ancaman kenaikan permukaan air laut. Pemerintah diharapkan bisa mencegah
pembangunan bangunan penahan gelombang, jalan dan perumahan di sekitar wilayah
pesisir pantai.
5. Rumput laut tersebar diseluruh kepulauan, jenis Eucheuma dibudidayakan di laut agak
jauh dari sumber air tawar, sedang Glacelaria dapat dibudidayakan dilaut dekat dengan
muara sungai karena untuk jenis ini salinitas yang sesuai berkisar antara 15 – 25 per
mil.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gianto. 2007. Perdagangan karang hias: suatu ancaman terhadap ekosistem terumbu
karang? J. Oseana 32 (4): 21-27
2. Manuputty, A.E.W. 2008. Oktoral penghasil antivirus. J. Oseana. 33(1): 19-24
3. Protopo, W.M. 2009. Merawat laut demi kehidupan. J. Ilmu- ilmu hayati 9 (4) 2009.
4. Dahuri, R. 2003. Kenakaragaman hayati laut. Aset pembangunan berkelanjutan
Indonesia. PT. Gramedia Pustaka utama. Jakarta.
5. Kusuma. 2002. Pengelolaan Ekositem mangrove secara berkelanjutan dan berbasis
masyarakat. Lokakarya ekosistem mangrove. Jakarta.
6. Kusuma. 2004. Departemen Kelautan targetkan produksi perikanan 2009 10 juta ton.
http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=UFBb DFZUBltW
7. Kawaroe, M. 2001. Kajian pemenuhan kebutuhan pangan pada musim timur dan
musim barat kaitanya dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir. J. Pesisir dan
Kelautan 3(3): 3-12.
8. Prabowo, A.Y. 2007. Budi daya rumput laut. teknik budidaya
Agrokompleks.(http://teknik-budidaya.blogspot.com/2007/10/budidaya-rumput-
laut.html
9. Syafikri, D. 2009. Budidaya rumput laut dalam mendukung pembangunan ekonomi
berbasis kelautan di kabupaten sumba. Sumba New.com. (http:// www.Sumbawa
news.com/berita/opini/prospek-bu-didaya-rumput-laut-dalam-mendukung-
pembanguan- ekonomi-kelautan-di-kabupaten-sumba.html.
10. Aswandi, I. 2008. Crustacean sebagai konsumen di padang lamun. J. Oseana. 33 (1):
1-9
11. Arlyza, I.S. 2007. Bahan Aktif dari organisme laut sebagai pengendali biota
penempel. J. Oseana. 32 (1): 39-48

Anda mungkin juga menyukai