PENDAHULUAN
1
Agar peneliti dapat mengetahaui bagaimana cara pola penggunaan obat anti hipertensi pasien
rawat inap di RSUP Persahabatan Jakarta
1.5 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah pemilihan obat bergantung pada klasifikasi Hipertensi yang di
derita
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
Hipertensi dapat diakibatkan oleh penyebab spesifik (hipertensi sekunder) atau
dari etiologi yang tidak diketahui (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi sekunder
(<10% kasus) biasanya disebabkan oleh penyakit ginjal kronis (CKD) atau penyakit
renovaskular. Kondisi lain adalah sindrom Cushing, koarktasio aorta, apnea tidur
obstruktif, hiperparatiroidisme, pheochromocytoma, aldosteronisme primer, dan
hipertiroidisme. Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah termasuk
kortikosteroid, estrogen, obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), amfetamin,
sibutramine, cyclosporine, tacrolimus, erythropoietin, dan venlafaxine.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi primer
termasuk Abnormalitas humoral yang melibatkan sistem renin-angiotensin-
aldosteron (RAAS), hormon natriuretik, atau resistensi insulin dan
hyperinsulinemia :
Gangguan pada SSP, serabut saraf otonom, reseptor adrenergik, atau
baroreseptor
Kelainan pada proses autoregulatory ginjal atau jaringan untuk ekskresi
natrium, volume plasma, dan penyempitan arteriol
Defisiensi sintesis zat vasodilatasi pada endotel vaskular (prostasiklin,
bradikinin, dan oksida nitrat) atau substansi vasokonstriksi berlebih
(angiotensin II, endotelin I); Asupan sodium tinggi atau kekurangan
kalsium diet.
Penyebab utama kematian adalah kecelakaan serebrovaskular, kejadian
kardiovaskular (CV), dan gagal ginjal. Probabilitas kematian dini berkorelasi
dengan tingkat keparahan elevasi BP. ( Phamacoterapy Handbook ed 9th )
B. Landasan Teori
1. Definisi Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai kenaikan tekanan darah arterial yang persisten
(Wells et all, 2015). JNC 7 mengklasifikasikan tekanan darah pada pasien dewasa
sebagai berikut :
3
Klasifikasi Tekanan Darah Dewasa (Anonim, 2003)
Klasifikasi Sistolik ( mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Pre‐hipertensi 120‐139 Atau 80‐89
Stage 1 hipertensi 140‐159 Atau 90‐99
Stage 2 hipertensi ≥ 160 Atau ≥ 100
Krisis hipertensi merupakan suatu kondisi klinik yang ditandai dengan tingginya tekanan darah
yaitu >180/120 mmHg yang dapat menyebabkan kerusakan organ. Krisis hipertensi dibedakan
menjadi dua yaitu hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah
kenaikan tekanan darah ekstrim yang diikuti kerusakan organ tubuh dan harus dilakukan
penanganan segera untuk mencegah kerusakan organ lebih lanjut. Hipertensi urgensi merupakan
kenaikan darah ekstrim tanpa disertai kerusakan organ. (Anonim, 2006 )
2. Epidemiologi
Sekitar 31% dari populasi mempunyai tekanan darah >140/90 mmHg. Jumlah penderita lakilaki
lebih besar daripada perempuan pada usia di bawah 45 tahun, namun pada usia 4554 penderita
perempuan sedikit lebih banyak. Pada usia >54 tahun penderita perempuan lebih banyak
daripada lakilaki.
Tekanan darah meningkat seiring bertambahnya usia, dan hipertensi umum terjadi pada orang
tua. Peluang seseorang menderita hipertensi pada usia ≥ 55 tahun, walaupun mempunyai tekanan
darah normal, adalah 90%. Kebanyakan orang menderita prehipertensi sebelum akhirnya
didiagnosa menderita hipertensi dimana diagnosa terjadi pada dekade ketiga sampai kelima
dalam kehidupan. (diPiro et all, 2005).
3. Etiologi
Kurang dari 10% pasien menderita hipertensi sekunder yang disebabkan karena penyakit lain
atau karena penggunaan obat tertentu. Kebanyakan hipertensi sekunder disebabkan karena
disfungsi ginjal yang menyebabkan severe chronic renal disease atau renovaskular. Jika
4
penyebab kenaikan tekanan darah sudah diketahui, maka penyebab tersebut dihindari atau
penyebab tersebut diterapi ( jika penyebab adalah penyakit utama). (diPiro et all, 2005)
4. Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi berdasarkan etiologi patofisiologinya dibagi menjadi dua yaitu hipertensi primer atau
esensial yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder atau non esensial yang
diketahui penyebabnya (Depkes RI, 2006).
a. Hipertensi Primer
Penyakit Obat
5
Penyakit ginjal kronis Kortikosteroid, ACTH
Hiperaldosteronisme primer Estrogen (biasanya pil KB dengan kadar
estrogen tinggi)
Penyakit renovaskular NSAID, cox-2 inhibitor
Sindroma cushing Fenilpropanolamin dan analog
Phaeochromocytoma Siklosforin dan takromilus
Koarktasi aorta Eritropoietin
Penyakit tiroid atau paratiroid Sibutramin
Antidepresan (terutama venlafaxine)
Klasifikasi tekanan darah menurut WHO / ISH
6
kemudian menetap atau cenderung menurun. Selain itu, peningkatan umur akan
menyebabkan beberapa perubahan fisiologis, seperti peningkatan resistensi perifer
dan aktivitas simpatik. Pengaturan tekanan darah yaitu refleks baroresptor pada
usia lanjut akan mengalami penurunan sensivitas, serta fungsi ginjal juga sudah
berkurang yang menyebabkan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomelurus
menurun. (Kumar et al., 2008).
Ras/etnik
Hipertensi bisa mengenai siapa saja. Bagaimanapun, biasa sering muncul
pada etnik Afrika Amerika dewasa daripada Kaukasia atau Amerika Hispanik.
Jenis Kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada
wanita. Wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause
sehingga pria lebih beresiko terkena hipertensi(Cortas K et.al., 2008). Wanita
yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang
berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar
kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah
terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai
penjelasan adanya imunitas wanita pada usia menopause. Pada pramenopause
wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormone estrogen yang selama ini
melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana
hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara
alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun. (Kumar et al.,
2008).
Riwayat Keluarga
Penderita hipertensi mempunyai faktor hipertensi dalam keluarganya
sebesar 70-80%. Berbagai penelitian dan studi kasus menguatkan bahwa faktor
keturunan merupakan salah satu penyebab terjadinya hipertensi, dimana jika
dalam keluarga/orangtua ada yang menderita hipertensi, 25-60% akan terjadi pada
anaknya(Lili & Tantan, 2007).
Menurut Sheps (2005), jika salah satu dari orangtua menderita hipertensi
maka sepanjang hidup kita beresiko menderita hipertensi pula. Dan jika kedua
orangtua menderita hipertensi, resikonya meningkat menjadi sekitar 60% untuk
mengalaminya.
Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan
ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak terjadi pada kembar
monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang
penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila
diberikan secara alamiah tanpa intervensi terapi, akan menyebabkan hipertensinya
7
berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala.
(Chunfang Qiu et.al., 2003).
Kebiasaan Gaya Hidup tidak Sehat
Gaya hidup tidak sehat yang dapat meningkatkan hipertensi, antara lain minum
minuman beralkohol, kurang berolahraga, dan merokok.
o Merokok
Merokok menyebabkan peningkatan tekanan darah. Perokok berat
dapat dihubungkan dengan peningkatan insidensi maligna dan resiko
terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami aterosklerosis
(Armilawaty, 2007).
Laporan dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa upaya
menghentikan kebiasaan merokok dalam jangka waktu 10 tahun dapat
menurunkan insiden penyakit jantung koroner (PJK) sekitar 24.4%
(Karyadi 2002).Tandra (2003) menyatakan bahwa nikotin mengganggu
sistem saraf simpatis yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan
oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan merokok, nikotin juga
meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, dan
kebutuhanoksigen jantung, merangsang pelepasan adrenalin, serta
menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin juga mengganggu kerja
saraf, otak, dan banyak bagian tubuh lainnya.
o Kurangnya aktifitas fisik
Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan darah. Pada
orang yang tidak aktif melakukan kegiatan fisik cenderung mempunyai
frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan
otot jantung bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras usaha
otot jantung dalam memompa darah, makin besar pula tekanan yang
dibebankan pada dinding arteri sehingga meningkatkan tahanan perifer
yang menyebabkan kenaikkan tekanan darah. Kurangnya aktifitas fisik
juga dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan yang akan
menyebabkan risiko hipertensi meningkat.
Studi epidemiologi membuktikan bahwa olahraga secara teratur
memiliki efek antihipertensi dengan menurunkan tekanan darah sekitar 6-
15 mmHg pada penderita hipertensi. Olahraga banyak dihubungkan
dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat
menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah.
Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi
6. Diagnosis Hipertensi
8
Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat menggunakan
sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengukuran dalam
posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja dengan posisi telapak tangan
menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran dilakukan
dalam keadaan tenang. Pasien diharapkan tidak mengonsumsi makanan dan minuman
yang dapat mempengaruhi tekanan darah misalnya kopi, soda, makanan tinggi kolesterol,
alkohol dan sebagainya.
Pasien yang terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan tindakan lebih lanjut yakni :
7. Komplikasi Hipertensi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endotel arteri
dan mempercepat aterosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ
tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah perifer.Hipertensiadalah
faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transient ischemic
attack), penyakit arteri koroner (infark miokard,angina), gagal ginjal, dementia, dan
atrial fibrilasi (Dosh, 2001).
8. Penatalaksaan Hipertensi
9
Ada 9 kelas obat antihipertensi yang umum digunakan.Obat-obat ini baik secara
tunggal atau kombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan
hipertensi karena terbukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa
dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas
dimana memiliki perbedaan dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek
samping. Penyekat alfa 1, agonis alfa 2 sentral, penghambat adrenergik, dan
vasodilator digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping
obat utama. ( Depkes, 2006 )
Evidence-based medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas bukti terbaik yang
ada dalam mengambil keputusan saat memilih obat secara sadar, jelas, dan bijak
terhadap masing-masing pasien dan/atau penyakit. Praktik evidence-based untuk
hipertensi termasuk memilih obat tertentu berdasarkan data yang menunjukkan
penurunan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular atau kerusakan organ target
akibat hipertensi.
10
Loops Menghambat Bumetamide, 0.5-4 2 Pemberian pagi dan
reabsorpsi elektrolit Furosemide, 20-80 2 sore untuk mencegah
di ansa henle Torsemide 5 1 diuresis malam hari;
assendens di bagian dosis lebih tinggi
epitel tebal, di mungkin diperlukan
permukaan sel untuk pasien dengan
epitel bagian GFR sangat rendah
luminal sehingga atau gagal jantung
menyebabkan
meningkatnya
eksresi K+, Ca 2+
dan Mg 2+
Hemat Mengurangi Amiloride, Pemberian pagi dan
Kalium absorbs Na+ di Triamteren 50-100 1 sore untuk mencegah
tubulus dan duktus diuresis malam hari;
kolektivus diuretik lemah,biasanya
dikombinasi dengan
diuretik tiazid
untuk meminimalkan
hipokalemia; karena
hipokalemia dengan
dosis rendah tiazid
11
(± ClCr < 30ml/min);
dapat menyebabkan
hiperkalemia, terutama
kombinasi dengan
ACEI, ARB, atau
suplemen kalium)
ACEInhibit Menghambat secara Benazepril, 10-40 1 atau 2 Dosis awal harus
langsung Captopril, 12.5-150 2 atau 3 dikurangi 50% pada
Or
angiotensin Enalapril, 5-40 1 atau 2 pasien yang sudah
converting enzyme Fosinopril, 10-40 1 dapat diuretik, yang
(ACE) dan Lisinopril, 10-40 1 kekurangan cairan, atau
Menghambat Moexipril, 7.5-30 1 atau 2 sudah tua sekali karena
Konversi Perindopril, 4-16 1 resiko hipotensi; dapat
angiotensin-1 Quinapril, 10-80 1 atau 2 menyebabkan
Menjadi Ramipril, 2.5-10 1 atau 2 hiperkalemia pada
angiotensin-2 Trandolapril 1-4 pasien dengan penyakit
sehingga terjadi ginjal kronis atau
vasodilatasi dan pasien yang juga
penurunan sekresi mendapat diuretik
Aldosterone penahan kalium,
antagonis aldosteron,
atau ARB; dapat
menyebabkan
gagal ginjal pada
pasiendengan renal
arteri stenosis;
jangan digunakan pada
perempuan hamil atau
pada pasien dengan
sejarah angioedema
12
ARB Menghambat secara Candesartan, 8-32 1 atau 2 Dosis awal harus
langsung reseptor Eprosartan, 600-800 1 atau 2 dikurangi 50% pada
angiotensin-2 tipe 1 Irbesartan, 150-300 1 pasien yang sudah
(AT1) yang Losartan, 50-100 1 atau 2 dapat diuretik, yang
memediasi efek Olmesartan, 20-40 1 kekurangan cairan, atau
angiotensin-2 yaitu Telmisartan, 20-80 1 sudah tua sekali karena
vasokonstriksi, Valsartan 80-320 1 resiko hipotensi; dapat
pelepasan menyebabkan
aldosteron, aktivasi hiperkalemia pada
saraf simpatik, pasien dengan penyakit
pelepasan hormon ginjal kronis atau
antidiuretik, dan pasien yang juga
konstriksi arteriol mendapat diuretik
eferen dari penahan kalium,
glomerulus. antagonis aldosteron,
atau ACEI; dapat
menyebabkan gagal
ginjalpada pasien
dengan renal arteri
stenosis; tidak
menyebabkan batuk
kering seperti
ACEI;jangan
digunakan pada
perempuan hamil
β-blocker Kardioselekt Mengurangi curah Atenolol, 25-100 1 Pemberhentian tiba-
if jantung melalui Betaxolol, 5-20 1 tiba dapat
efek inotropik dan Bisoprolol, 2.5-10 1 menyebabkan rebound
kronotropik Metoprolol, 50-200 1 hypertension; dosis
negative dan 50-200 1 rendah s/d sedang
menghambat menghambat reseptor
pelepasan renin dari β1, pada dosis tinggi
ginjal menstimulasi reseptor
β2;dapat menyebabkan
eksaserbasi asma bila
selektifitas hilang;
keuntungan tambahan
pada pasien dengan
atrial takiaritmia atau
preoperatif hipertensi
Nonselektif Nadolol, 40-120 1 Pemberhentian tiba-
Propanolol, 160-480 2 tiba dapat
Timolol 80-320 1 menyebabkan rebound
hypertension,
menghambat reseptor
β1 dan β2 padasemua
dosis; dapat
memperparah asma;
ada keuntungan
tambahan pada pasien
dengan essensial
tremor,
migraine,tirotoksikosis
13
Aktifitas Acebutolol, 200-800 2 Pemberhentian tiba-
Simpatomim Carteolol, 2.5-10 1 tiba dapat
etikintrinsik Penbutolol, 10-40 1 menyebabkan rebound
Pindolol 10-60 2 hypertension; secara
parsial merangsang
reseptor β sementara
menyekat terhadap
rangsangan tambahan;
tidak ada keuntungan
tambahan untuk obat-
obat ini kecuali
pada pasien-pasien
dengan bradikardi,
yang harus mendapat
penyekat
beta;kontraindikasi
pada pasien pasca
infark miokard, efek
samping dan efek
metabolic lebih sedikit,
tetapi tidak
kardioprotektif seperti
penyekat beta yang
lain.
Campuranα- Carvedilol, 12.5-50 2 Pemberhentian tiba-
dan Labetolol 200-800 2 tiba dapat
β-blockers menyebabkan rebound
hypertension;
penambahan penyekat
α mengakibatkan
hipotensi ortostatik
Calcium Dihidropridi Merelaksasi otot Amlodipine, 2.5-10 1 Dihidropiridin yang
channel n jantung dan otot Felodipine, 5-20 1 bekerja cepat (long-
blockers polos dengan cara Isradipine, 5-10 2 acting) harusdihindari,
memblok kanal ion Nicardipine, 5-20 1 terutama nifedipin dan
kalsium sehingga Nifedipine, 60-120 2 nicardipin
mengurangi Nisoldipine 30-90 1 dihidropiridin
masuknya kalsium 10-40 1 adalah vasodilator
ekstraseluler ke perifer yang kuat dari
dalam sel. pada non dihidropiridin
dan dapat
menyebabkan
pelepasan simpatetik
refleks(takhikardia),
pusing, sakit kepala,
14
N hipertensi; obat obat
ini menyekat slow
channels di jantung dan
menurunkan denyut
jantung;dapat
menyebabkan
heartblock; keuntungan
tambahan untuk pasien
dengan atrial
takhiaritmia
Penyekat Menghambat Doxazosine, 1-8 1 Dosis pertama harus
pengambilan Prazosine, 2-20 2 atau 3 diberikan malam
alfa-1
katekolamin pada Terazosine 1-20 1 atau 2 sebelum tidur;
sel otot halus, beritahu pasien untuk
Menyebabkan berdiri perlahan-lahan
vasodilatasi dan dari posisi
Menurunkan duduk atau berbaring
tekanan darah untuk meminimalkan
resiko hipotensi
ortostatik;
keuntungan tambahan
untuk laki-laki dengan
BPH (benign prostatic
hyperplasia)
Agonis alfa- Merangsang Klonidin, 01-0.8 2 Pemberhentian tiba-
2 sentral reseptor alfa-2 Metildopa 250-1000 2 tiba dapat
adrenergik di otak menyebabkan rebound
Sehingga hypertension; paling
menurunkan aliran efektif bila diberikan
simpatik dari pusat bersama diuretik untuk
vasomotor di otak, mengurangi retensi
curah jantung,dan cairan.
tahanan perifer
Vasodilator Merelaksasi Minoksidil, 10-40 1 atau 2 Gunakan dengan
langsung otot polos Hydralazine 20-100 2 atau 4 diuretic dan penyekat
Arteri
arteriolar dengan beta untuk mengurangi
Langsung cara meningkatkan retensi cairan dan
konsenstrasi cGMP refleks takhikardi
Intraseluler
Peripheral Mendeplesi Reserpin 0.05-0.25 Gunakan dengan
adrenergic norepinefrin dari diuretik untuk
antagonist ujung saraf simpatis mengurangi retensi
dan memblok cairan
Transportasi
Norepinefrin
kedalamnya.
15
Terapi non farmakologis
Untuk hipertensi tingkat 1 tanpa faktor risiko dan kerusakan organ target, perubahan pola
hidup dapat dicoba sampai 12 bulan. Sedangkan bila disertai kelainan penyerta (compelling
indications) seperti gagal jantung, pasca infark miokard, penyakit jantung koroner, diabetes
mellitus dan riwayat stroke, maka terapi farmakologi harus dimulai lebih dini mulai dari
hipertensi tingkat 1. Bahkan untuk pasien dengan kelainan ginjal atau diabetes, pengobatan
dimulai pada tahap prehipertensi dengan target tekanan darah <130/80 mmHg (Gunawan, dkk.,
2007).
16
9. Resep
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian : “Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter
gigi, kepadaapoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk
menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku.”
b) Klasifikasi
- Klasifikasi berdasarkan Kepemilikan
Klasifikasi berdasarkan kepemilikan terdiri dari rumah sakit pemerintah dan
swasta. Rumah sait pemerintah terdiri dari rumah sakit pusat yang langsung
dikelola oleh Dinas Kesehatan, rumah sait pemerintah daerah, rumah sakit
militer, dan rumah sakit BUMN.
- Klasifikasi berdasarkan Jenis Pelayanan
Dibedakan menjadi rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit
umum memberikan pelayanan kepada berbagai jenis kesakitan. Rumah sakit
khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan diagnosis dan
pengobatan dengan kondisi medik tertentu baik bedah maupun nonbedah.
- Klasifikasi berdasarkan Afiliasi Pendidikan
Terdiri dari dua jenis yaitu rumah sakit pendidikan dan rumah sakit
nonpendidikan. Rumah sakit pendidikan adalah rumah sakit yang mengadakan
program pelatihan residensi dalam medik, bedah, pediatrik, dan bidang
spesialis lain. (Siregar, 2004)
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan merupakan rumah sakit yang berada di
Kota Administrasi Jakarta Timur. RSUP Persahabatan terletak di Jl. Persahabatan
Raya No 1, Jakarta Timur 13230
2) Misi
17
Melaksanakan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada mutu
dan keselamatan pasien.
Melaksanakan pendidikan, penelitian dan pelatihan kedokteran dan
tenaga kesehatan lain.
Mengembangkan pelayanan yang terintegrasi dengan penelitian
dan pendidikan dalam bidang kesehatan respirasi
Melaksanakan tata kelola rumah sakit dan tata kelola klinis yang
berstandar internasional.
- Motto
“ Melayani Secara Bersahabat “ ( rsuppersahabatan.co.id)
b) Tujuan
Tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian adalah untuk memberikan
perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh atau menetapkan
sediaan farmasi, mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan
pekerjaan kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga
kefarmasian. (Anonim, 2014).
Defined Daily Dose (DDD) merupakan unit satuan yang digunakan dalam
sistem ATC/DDD. DDD diasumsikan sebagai dosis pemeliharaan rata- rata perhari
yang digunakan untuk indikasi utamanya orang dewasa. DDD hanya dimiliki oleh
obat yang mempunyai kode ATC (WHO, 2006).Unit ini memiliki keunggulan yaitu
dapat merefleksikan dosis obat secara global tanpa dipengaruhi oleh variasi genetik
dari setiap etnik. DDD tidak diberikan untuk sediaan topical, sera, vaksin, agen
antineoplastik, ekstrak allergen, anastesi umum dan lokal, serta media kontras.
Analisis penggunaan obat dalam unit kuantitas dapat membantu dalam
mengidentifikasi penggunaan yang overuse dan underuse dalam pengobatan sendiri
dan kelompok. (WHO Collaborating Centre for Drug Statistics Methodology, 2014).
18
Jumlah unit DDD yang direkomendasikan pada pengobatan mungkin
dinyatakan dalam satuan gram untuk sediaan padat oral seperti tablet dan kapsul, atau
milliliter untuk sediaan cair oral dan sediaan injeksi. Perubahan data penggunaan
dapat diperoleh dari data catatan inventaris farmasi atau data statistik pejualan yang
akan menunjukan nilai DDD kasar untuk mengidentifikasi seberapa potensial terapi
harian dari pengobatan yang diperoleh, terdistribusi atau yang dikonsumsi.
Unit DDD dapat digunakan untuk membandingkan penggunaan obat yang
berbeda dalam satu kelompok terapi yang sama, dimana mempunyai kesamaan
efikasi tapi berbeda dalam dosis kebutuhan, atau pengobatan dalam terapi yang
berbeda. Penggunaan obat dapat dibandingkan setiap waktu untuk memonitor tujuan
dan untuk menjamin dari adanya intervensi komite terapi medik dalam meningkatan
pengggunaan obat. Klasifikasi ATC dan metode DDD biasa digunakan untuk
membandingkan konsumsi penggunaan obat antar negara. Apabila diterapkan di
lingkungan rumah sakit maka perhitungan DDD/100-patient days atau DDD/100 bed
days adalah yang paling direkomendasikan. Sementara untuk perhitungan antar
negara biasanya digunakan DDD/100-inhibitans per day atau DDD per inhibitans per
year.Sebagai contoh, nilai 10 DDDs/1000 inhabitants/day dapat di artikan bahwa 1%
dari populasi rata-rata mendapatkan terapi obat tersebut setiap harinya (WHO,
2003).Penetapan DDD ditetapkan dengan prinsip umum sebagai berikut :
a. Dosis rata-rata yang digunakan untuk indikasi utama pada orang dewasa. Orang
dewasa dianggap memiliki berat badan 70 kg. Pada keadaan yang khusus,
terutama untuk anak-anak (seperti mixture, suppositoria) digunakan DDD untuk
orang dewasa. Kecuali yang dibuat khusus untuk anak-anak, seperti hormon
pertumbuhan dan tablet fluoride.
b. Dosis pemeliharaan (dosis terapi jangka panjang lebih diutamakan dalam
menetapkan DDD daripada dosis inisial). Beberapa obat digunakan dalam dosis
yang berbeda tetapi tidak direfleksikan dalam DDD.
c. DDD biasanya ditetapkan berdasarkan kekuatan zat aktif dalam sediaan. Zat aktif
dalam bentuk garam biasanya tidak memberikan DDD yang berbeda kecuali
untuk beberapa obat pengecualian.
d. Pada umumnya dosis yang digunakan adalah dosis pengobatan, namun jika
indikasi utama obat adalah untuk profilaksis maka dosis inilah yang digunakan,
misalnya tablet fluoride (A01AA01) dan beberapa antimalaria.
e. Bentuk stereoisomerik yang berbeda memberikan DDD dan kode ATC yang
berbeda.
f. Untuk beberapa golongan sediaan obat, diciptakan prinsip khusus untuk
menetapkan DDD.
g. Prodrug yang tidak diberikan kode ATC yang berbeda tidak memiliki DDD yang
berbeda pula.
19
h. DDD untuk suatu obat dalam berbagai kekuatan sediaan adalah sama. DDD yang
berbeda diberikan untuk sediaan yang bioavailabilitasnya berbeda karena rute
pemberian yang berbeda atau bentuk sediaan dengan indikasi utama yang
berbeda.
i. Sediaan parenteral dengan rute administrasi yang berbeda memiliki DDD yang
sama.
DDD untuk sediaan kombinasi didasarkan pada prinsip utama yaitu
perhitungan kombinasi sebagai satu dosis harian tanpa memperhatikan jumlah zat
aktif yang terkandung dalam kombinasi. Jika pengobatan pasien menggunakan dua
sediaan dengan masing-masing satu zat aktif tunggal maka DDD akan dihitung dari
masing-masing sedian dengan zat aktif tunggal secara terpisah. Namun jika
pengoabtan pasien menggunakan satu sediaan kombinasi yang mengandung dua zat
aktif maka DDD akan lebih kecil karena digunakan DDD untuk kombinasi.
Contoh :
a. Untuk sediaan kombinasi (selain yang digunakan untuk hipertensi) dimana zat
aktif utamanya terdapat dalam kode ATC (kombinasi seri 50 dan 70 dan untuk
beberapa kombinasi level empat), DDD sediaan kombinasi tersebut sama dengan
DDD zat akif utamanya.
b. Untuk sediaan kombinasi yang digunakan untuk hipertensi (kelompok ATC C02,
C03, C07, C08 dan C09), DDD didasarkan jumlah rata-rata interval dosis per hari.
Hal ini berarti DDD 1 tablet untuk sediaan yang diebrikan 1 kali sehari, DDD 2
tablet untuk sediaan yang diberikan 2 kali sehari, dan DDD 3 tablet untuk sediaan
yang diberikan 3 kali sehari, dan seterusnya.
Perhitungan Kuantitas Penggunaan obat dengan unit pengukuran DDD dapat
dilakukan sebagai berikut :
a. Dihitung data total penggunaan obat dalam unit; tablet, vial dan kekuatan; g, iu
dan kemudian disesuaikan dengan ATC.
b. Dihitung total kuantitas yang dikonsumsi (unit dikali dengan kekuatan)
c. Dibagi total kuantitas dengan DDD yang ditetapkan (DDD definitif)
d. Dibagi kuantiti total (DDD) dengan jumlah pasien. (WHO, 2006).
20
13. DU 90%
DU 90% merupakan jumlah obat yang membentuk 90% obat yang
digunakan.Indikator ini dapat digunakan untuk menentukan kualitas peresepan obat
dan untuk membandingkan kesesuaian obat yang digunakan dengan formularium
yang ada. DU 90% dapat diperoleh dengan cara mengurutkan obat berdasarkan
volume penggunaannya dalam DDD kemudian diambil obat yang memenuhi segmen
90% penggunaan. Obat tersebut kemudian dapat dilihat kecocokannya dengan
formularium yang ada. (Bergman, 1997).
Penelitian penggunaan obat (DUR) dapat dibagi menjadi studi deskriptif dan
analitik. Perhatian khusus dilakukan untuk mengambarkan penggunaan obat dan
untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi. Pada studi analitik mencoba untuk
melihat data penggunaan obat sehingga dapat diketahui morbiditas, hasil dari
pengobatan dan kualitas pengobatan dengan penggunaan obat yang rasional. (Sjoquist
dan Birket, 2003).
21
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
Bahan :
Pasien Rawat Inap Penyakit Hipertensi
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif yaitu dengan mengevaluasi
penggunaan obat antihipertensi, dengan desain cross sectional yaitu pengumpulan data
variabel untuk mengetahui kuantitas penggunaan obat antihipertensi dalam satuan
DDD/100 patient-days.
22
Kriteria Inklusi merupakan kriteria dimana subyek penelitian mewakili sampel
penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel. Kriteria inklusi untuk
sampel dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Pasien rawat inap bulan Juli – October 2018
b. Pasien yang di dalam rekam medisnya terdiagnosa Hipertensi yang
mengkonsumsi antihipertensi
c. Pasien dengan rekam medis yang lengkap dan jelas terbaca
- Kriteria Ekslusi
Kriteria ekslusi merupakan kriteria dimana keadaan yang menyebabkan subjek
yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikut sertakan. Kriteria ekslusi
untuk sampel dalam penelitian ini sebagai berikut:
1) Pasien pulang paksa sebelum terapi selesai dilaksanakan.
2) Wanita hamil.
3) Rekam medis yang tidak lengkap, tidak jelas dan hilang.
4) Antihipertensi yang butuh penyesuaian dosis pada pasien gagal ginjal
(ex:amlodipin, ramipril, nicardipine) (Drug Information Handbook 21th
edition).
23
Bagan Alur Penelitian
Persiapan (permohonan izin penelitian)
Pencatatan Data
Pengolahan Data
Menganalisis data
F. Analisa Data
Analisa data yang dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2010 akan dianalisis
dengan analisa univariat dan metode DDD/ATC sebagai berikut:
Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap
variabel (terikat maupun bebas) yang akan diteliti secara deskriptif. Data yang
telah dikategorikan ditampilkan sebagai frekuensi kejadian. Adapun pengolahan
data dengan menggunakan analisis univariat ialah :
a. Karakteristik pasien:
Usia
24
Jenis Kelamin
Penyakit Penyerta
Tekanan Darah
b. Penggunaan antihipertensi
c. Jumlah hari rawat (Length of Stay)
Analisis Data dengan Metode DDD/ATC
Analisis dilakukan dengan menghitung kuantitas penggunaan antihipertensi pada
pasien hipertensi dengan metode DDD, yang diproses dengan kombinasi program
Microsoft Excel 2010. Berikut tata cara analisis dengan menggunakan metode
DDD:
a. Klasifikasi kode Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) suatu
antihipertensi berdasarkan guidelines yang telah ditetapkan oleh WHO
Collaborating Centre tahun 2011.
b. Identifikasi jenis antihipertensi, baik tunggal maupun kombinasi, yang
digunakan.
c. Identifikasi Defined Daily Dose (DDD) untuk masing-masing antihipertensi,
berdasarkan guidelines yang telah ditetapkan oleh WHO Collaborating Centre
tahun 2012.
d. Hitung jumlah kekuatan antihipertensi (dalam miligram) yang digunakan.
e. Hitung jumlah hari rawat pasien hipertensi di rawat inap RSUD Kota
Tangerang tahun 2015.
f. Hitung nilai DDD/100 patient-days untuk masing-masing jenis antihipertensi
atau kombinasi antihipertensi dengan menggunakan rumus seperti yang tertera
dibawah ini.
DDD/100 patient-days=
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑔 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑎𝑛𝑡𝑖ℎ𝑖𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 100
𝑥
𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟𝑑 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐷𝐷𝐷 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑎𝑛𝑡𝑖ℎ𝑖𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑊𝐻𝑂 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑚𝑔 ( 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑂𝑆 )
Untuk mengetahui nilai standar DDD WHO dalam miligram (per-
antihipertensi/per-kombinasi antihipertensi) yang digunakan, dapat dilihat
pada website WHO resmi.
g. Data hasil perhitungan DDD/100 patient-days diubah dalam bentuk persentase
kemudian dikumulatifkan. Dari hasil kumulatif tersebut didapatkan Drug
Utilization 90% (DU 90%) untuk dikelompokkan dalam segmen 90%.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 2003, JNC 7 Express, The Seventh Report of The Joint National
Committe on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High
Blood Pressure, U.S department of Health and Human Service
2. Anonim, 2006, Pharmaceutical care untuk Penyakit Hipertensi, Direktorat
Bina Farmasi Klinik dan Komunitas, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI
3. www.rsuppersahabatan.co.id
4. Dosh, S.A. 2001.The diagnosis of essential and secondary hypertension in
adults.J.FamPract. 707-712
5. diPiro,J.T., Talbert,R.L., Yee,G.C., Matzke,G.R., Wells,B.G., Posey,L.M.,
2005, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Sixth Edition,
McGrawHill Education
6. Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.12-54
7. Weber, et.al. 2014. Clinical practice guidelines for the management of
hypertension in the community a statement by the American society of
hypertension and the international society of hypertension. J Hypertens.3-15
8. Robbins, L.S. Cotran, S.R. dan Kumar, V. 2007.Buku Ajar Patologi.Volume
2,Edisi 7, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 379-383
9. Gunawan, dkk. 2007.Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.Hal: 341-
360
10. Cortas K, et.al. Hypertension. Last update May 11 2008. [cited 2015 Jan
10]. Available from: http//:www.emedicine.com.
11. Chunfang Qiu, Michelle A. Williams, Wendy M. Leisenring, et.al. 2003.
Family History of Hypertension. North Seattle: American Heart Association.
408.
12. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Hypertensive Vascular Disease. Dalam:
Robin and Cotran Pathologic Basis of Disease, 7th edition. Philadelpia:
Elsevier Saunders, 2005.p 528- 529
13. Sheps, Sheldon G. 2005. Mayo Clinic Hipertensi Mengatasi Tekanan Darah
Tinggi.Jakarta: PT. Intisari Mediatama
26
14. Karyadi, E. 2002. Hidup Bersama Penyakit Hipertensi, Asam Urat dan
Jantung Koroner. Intisari Mediatama, Jakarta.
15. Armilawaty, Amalia H, Amirudin R.2007.Hipertensi dan Faktor Risikonya
dalam Kajian Epidemiologi. Bagian Epidemiologi FKM UNHAS.
16. Chobanian, et.al. 2004.The Seventh Report of the Joint National Committee
on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure. US Departement of Health and Human Services, Boston.2560-
2572
17. Marliyani Lili dan H. Tantan. 2007. 100 Questions & Answer Hipertensi.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
18. WHO Int WG for Drug Statistics Methodology.2003. Introduction to Drug
Utilization Research Solutions.1-48
19. Siregar, C., 2004, Farmasi Rumah Sakit Teori dan Terapan, Penerbit EGC,
Jakarta
20.Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.12-54
21.WHO Collaborating Centre for Drug Statistics Methodology. 2014.
Guideliness for ATC classification and DDD assignment 2015. Oslo,
Norway. Diunduh dari
http://www.whocc.no/filearchive/publications/2015_guidelines.pdf pada
tanggal 10 Januari 2016.
22. Bergman, Uet.al. 1998. Drug utilization 90%--a simple method for
assessing the quality of drug prescribing. Diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/962691416 pada tanggal 06 Januari
2016. 113-118
23. Anonim, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 58
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
24. Permenkes/RI/58/2014/STANDARPELAYANANKKEFARMASIAN
25. J.TDiPiro.2015.Pharmacoterapy Handbook 9th ed. McGrawHill : US
26. Hapsari, S.W,dkk,. 2017. Pola Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien
Antihipertensi Rawat Jalan BPJS di RSUD KRJ Satjonegoro Wonosobo,.
Univeristas Muhammadiyah Magelang : Magelang
27