Anda di halaman 1dari 15

PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM

Pada tanggal 2 – 12 Maret 2015 Sofyan Rivai, A.Md.Pi, SE (Kepala Sub Bidang Program pada
Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan) dan Fahrur Razi, SST Penyuluh Perikanan Muda pada
Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, diberi kesempatan untuk mengikuti The Regional
Training Courses on Essential Ecosystem Approach to Fisheries Management (E-EAFM) and the E-
EAFM Training for the Trainer (E-EAFM TOT) yang diselenggarakan oleh Training Departement
Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) di Mae Pim Resort, Rayong Province,
Thailand.
Kegiatan Regional Training Courses ini diikuti oleh 23 orang peserta yang berasal dari 4
negara: (1) Indonesia : 5 orang (Sofyan Rivai, Dewi Setianingrum, Siti Matoya, Aris Budiarto dan
Fahrur Razi); (2) Malaysia : 5 orang (Saufi Affandi Bin Talib, Haji Ismail Bin Ibrahim, Fairol Tajuddin
Bin Suhaili, Rusman Bin Rusdy dan Muhammad Zahir Bin Zakaria); (3) Thailand : 5 orang (Weerapol
Thitipongtrakul, Chalit Sa-nha-ngam, Montri Sumontha, Sarayut Komjanarta, dan Nuntapon
Sukanumran); (4) Myanmar : 5 orang (Aye Thandar Lwin, Ni Ni Win, Thura Moe Aung, Sitt Swamm Yi
Myo Thann, dan Htet Myat Aung) dan (5) Staf SEAFDEC : 3 orang (Thanyaluk S., Woraluk
Meesomwat, dan Weerasak Yingyuad. Beberapa point penting tentang pengelolaan perikanan yang
kami peroleh dari kegiatan Regional Training Courses ini antara lain sebagai berikut:

1. Konsep Pengelolaan Perikanan Berpendekatan Ekosistem


Perikanan memberikan manfaat sosial, ekonomi, dan budaya yang besar dan penting.
Telah diperkirakan bahwa 12,5 juta orang bekerja dalam kegiatan yang berhubungan dengan
perikanan dan nilai ikan yang diperdagangkan secara internasional diperkirakan mencapai US
$ 60 miliar pada 2012. Total produksi dari perikanan tangkap dan budidaya pada periode yang
sama mencapai 145 juta ton - 90 juta ton dari perikanan tangkap dan 55 juta ton dari
budidaya. Membuat perikanan tangkap Asia-Pasifik naik sekitar 50 persen dan budidaya
mencapai 90 persen dari produksi ikan global.
Wilayah Asia-Pasifik memiliki jumlah nelayan skala kecil tertinggi dan petani budidaya di
dunia. Mata pencaharian jutaan orang bergantung pada perikanan dan perikanan budidaya,
sebagian besar dengan beberapa alternatif untuk menambah penghasilan mereka. Salah urus
perikanan laut dan sumber daya pesisir memiliki dampak yang lebih besar pada masyarakat
pesisir yang miskin. Dampak dari salah urus terlihat pada kapal yang menganggur sepanjang
pantai dan di pelabuhan; pengangguran yang tinggi; keuntungan yang lebih rendah; lama
perjalanan memancing (dengan risiko keselamatan meningkat); dan migrasi nelayan untuk
mencari pekerjaan baik di dalam negara mereka sendiri maupun di luar negeri; nelayan
menjadi tertekan terhadap kebutuhan hidup karena penyakit; meningkatnya biaya hidup; dan
perambahan pengguna lain.
Perairan pesisir kawasan Asia-Pasifik adalah yang paling produktif dan beragam secara
hayati di dunia, tapi puluhan tahun penangkapan ikan yang berlebihan telah menyebabkan
perubahan pada sektor perikanan. Sebagian besar sumber daya yang ditemukan di perairan ini
overfished cepat tumbuh, spesies berumur pendek dan sebagian besar stock perikanan
memiliki tingkat turnover tinggi dan periode pemulihan yang singkat untuk rehabilitasi
biomassa. Pembatasan usaha, perlindungan habitat, dan tindakan pengelolaan lainnya
memiliki potensi untuk menghasilkan hasil yang positif langsung dalam hal pemulihan stock.
Spesies lagi-hidup yang telah mengalami tangkapkapan serius akan memakan waktu lebih
lama untuk pulih, jika pernah, dan akan memerlukan tindakan tambahan tertentu.

Penerapan PE membantu untuk menyeimbangkan tiga tujuan konservasi Konvensi


Keanekaragaman Hayati; pemanfaatan secara berkelanjutan; dan pembagian yang adil dan
merata dari keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya genetik. Akibatnya,
PE dapat dianggap sebagai cara untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan, konsep yang
menggantikan kebijakan sebelumnya pembangunan berdasarkan pertumbuhan ekonomi saja.
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh Brundtland (1987) sebagai: "Pembangunan
yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri."
Manfaat manajemen EAFM (SEAFDEC 2015), meliputi:
1. pertimbangan yang lebih luas dari hubungan antara ekosistem dan perikanan;
2. kontribusi bagi perencanaan penggunaan sumber daya yang lebih efektif;
3. fasilitasi trade-off antara prioritas pemangku kepentingan yang berbeda, menyeimbangkan
manusia dan kebutuhan ekologis;
4. partisipasi stakeholder meningkat yang mengarah ke: (1) perencanaan yang lebih baik dari
sumber daya menggunakan; dan
5. penggunaan yang lebih adil dari sumber daya alam (baik perikanan dan non-perikanan
terkait);
6. bantuan dengan menyeimbangkan produksi ikan dengan konservasi keanekaragaman
hayati dan habitat perlindungan;
7. bantuan dengan menyelesaikan atau mengurangi konflik antara para pemangku
kepentingan;
8. pengakuan yang lebih besar dari nilai-nilai budaya dan tradisional dalam pengambilan
keputusan; dan
9. memungkinkan untuk skala yang lebih besar, masalah jangka panjang untuk diakui dan
dimasukkan ke dalam perikanan dan pengelolaan sumber daya pesisir (misalnya implikasi
jangka panjang dari perubahan iklim dan pengasaman laut, degradasi habitat,
pertumbuhan penduduk, pembangunan ekonomi, globalisasi, dll).

Kesejahteraan Kesejahteraan
Ekologi Tata kelola Manusia
yang benar

Untuk generasi yang akan datang

Gambar 1. Pembangunan berkelanjutan – keseimbangan kesejahteraan ekologi dan kesejahteraan


manusia melalui tata kelola yang baik (SEAFDEC, 2015)

Pembangunan berkelanjuatan diterima secara luas bahwa "kesejahteraan" adalah sebuah


konsep yang mengacu pada keadaan sistem (misalnya ekosistem atau sistem sosial). Aspek-
aspek tertentu dari dua dimensi kesejahteraan dan apa yang dimaksud dengan tata kelola
yang baik adalah sebagai berikut:
a. Kesejahteraan Ekologi, berkaitan dengan ekosistem laut dan pesisir, terdiri dari sedikitnya
lima aspek utama: (a) Ekosistem yang sehat memaksimalkan barang dan jasa ekosistem; (b)
keanekaragaman hayati yang mengarah ke ketahanan ekosistem; (c) struktur yang
mendukung ekosistem dan habitat (termasuk DAS terhubung.); (d) lautan sehat, daerah
pesisir dan daerah aliran sungai; dan (e) jaring makanan berdasarkan berbagai sumber
produksi primer. Kesehatan ekosistem sering dinyatakan dengan menggunakan indikator
dalam hal karakteristik terukur yang menggambarkan: (i) proses kunci yang menjaga
ekosistem yang stabil dan berkelanjutan (misalnya ada tidak adanya ganggang biru-hijau);
(ii) zona dampak manusia tidak memperluas atau memburuk (misalnya pengurangan batas
spasial limbah nitrogen); dan (iii) habitat kritis tetap utuh (misalnya padang lamun).
b. Kesejahteraan Manusia, mengacu pada semua komponen manusia yang tergantung pada,
dan mempengaruhi, ekosistem. Kesejahteraan manusia mencerminkan berbagai kegiatan
atau prestasi yang merupakan kehidupan yang baik. Hal ini juga diterima bahwa
kesejahteraan adalah konsep multidimensional yang mencakup semua aspek kehidupan
manusia. Penghasilan, dengan sendirinya, meskipun komponen penting, bisa tidak cukup
menangkap luas atau kompleksitas kesejahteraan manusia. Delapan aspek kesejahteraan
manusia adalah: (a) Standar bahan hidup (pendapatan, makanan dan kekayaan); (b)
Kesehatan; (c) Pendidikan; (d) Kegiatan Pribadi (rekreasi dan pekerjaan); (e) Suara politik
dan pemerintahan; (f) Hubungan sosial dan hubungan; Lingkungan Hidup (kondisi sekarang
dan masa depan); dan (g) Keamanan Ekonomi dan keselamatan manusia. Aspek-aspek
tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa mengukur kesejahteraan manusia melampaui
laporan subjektif diri dan persepsi, dan harus mencakup ukuran yang objektif dari tingkat
rakyat "set kesempatan" dan kapasitas mereka (atau kebebasan) untuk memilih dari
peluang tersebut dalam kehidupan mereka nilai. Kedua faktor obyektif dan subyektif yang
penting dalam pengukuran delapan aspek yang tercantum di atas.
c. Tata Kelola yang baik, mengacu pada institusi dan pengaturan yang efektif untuk
menetapkan dan menerapkan aturan dan peraturan. Singkatnya, tata kelola yang baik
terkait dengan kepengurusan di mana individu, organisasi, komunitas dan masyarakat
berusaha untuk mempertahankan kualitas ekosistem yang sehat dan tangguh dan populasi
manusia yang terkait. Stewardship mengambil pandangan jangka panjang dan
mempromosikan kegiatan yang menyediakan untuk kesejahteraan kedua ini dan masa
depan generasi. Manajemen berbasis ekosistem (MBE) sering digunakan bergantian
dengan PE, tetapi dalam beberapa konteks, lebih memfokuskan pada dimensi
ekologi/lingkungan pembangunan berkelanjutan.

2. Pentingnya Pendekatan Ekosistem Untuk Pengelolaan Perikanan


Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang dikaruniai dengan ekosistem perairan
tropis memiliki karakterstik dinamika sumberdaya perairan, termasuk di dalamnya
sumberdaya ikan, yang tinggi. Tingginya dinamika sumberdaya ikan ini tidak terlepas dari
kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu
ciri dari ekosistem tropis. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan yang tujuan ultimatnya
adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak dapat
dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumberdaya ikan itu
sendiri. Gracia and Cochrane (2005) memberikan gambaran model sederhana dari
kompleksitas sumberdaya ikan sehingga membuat pendekatan terpadu berbasis ekosistem
menjadi sangat penting.

Gambar 2. Interaksi dan Proses Antar Komponen dalam Pengelolaan Perikanan


(Turner, et.al, 2001)
Pada Gambar 2 disajikan model sederhana dari interaksi antar komponen dalam
ekosistem yang mendorong pentingya penerapan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan
perikanan (EAFM). Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa interaksi antar komponen abiotik dan
biotik dalam sebuah kesatuan fungsi dan proses ekosistem perairan menjadi salah satu
komponen utama mengapa pendekatan ekosistem menjadi sangat penting. Interaksi
bagaimana iklim mempengaruhi dinamika komponen abiotik, mempengaruhi komponen
biotik dan sebagai akibatnya, sumberdaya ikan akan turut terpengaruh, adalah contoh
kompleksitas dari pengelolaan sumberdaya ikan. Apabila interaksi antar komponen ini
diabaikan, maka keberlanjutan perikanan dapat dipastikan menjadi terancam. Pada Gambar 2
juga dijelaskan bahwa EAFM sesungguhnya bukan hal yang baru. EAFM merupakan
pendekatan yang ditawarkan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan yang sudah ada
(conventional management). Pada Gambar tersebut, proses yang terjadi pada conventional
management digambarkan melalui garis tebal, sedangkan pengembangan dari pengelolaan
konvensional tersebut melalui EAFM digambarkan melalui garis putus-putus. Sebagai contoh,
pada pengelolaan konvensional kegiatan perikanan hanya dipandang secara parsial bagaimana
ekstraksi dari sumberdaya ikan yang didorong oleh permintaan pasar. Dalam konteks EAFM,
maka ekstraksi ini tidak bersifat linier namun harus dipertimbangkan pula dinamika pengaruh
dari tingkat survival habitat yang mensupport kehidupan sumberdaya ikan itu sendiri.

3. Implementasi Pendekatan Ekosistem Untuk Pengelolaan Perikanan Tangkap


di Indonesia

Menurut Gracia and Cochrane (2005), sama dengan pendekatan pengelolaan


konvensional, implementasi EAFM memerlukan perencanaan kebijakan (policy planning),
perencanaan strategi (strategic planning), dan perencanaan operasional manajemen
(operational management planning). Perencanaan kebijakan diperlukan dalam konteks makro
menitikberatkan pada pernyataan komitmen dari pengambil keputusan di tingkat nasional
maupun daerah terkait dengan implementasi EAFM. Dalam perencanaan kebijakan juga perlu
dimuat pernyataan tujuan dasar dan tujuan akhir dari implementasi EAFM melalui
penggabungan tujuan sosial ekonomi dan pertimbangan lingkungan dan sumberdaya ikan.
Selain itu, dalam perencanaan kebijakan juga ditetapkan mekanisme koordinasi pusat dan
daerah, koordinasi antar sektor, dan hubungan antara regulasi nasional dan internasional
terkait dengan implementasi EAFM secara komprehensif.
Sementara itu, perencanaan strategi (strategies planning) lebih menitikberatkan pada
formulasi strategi untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pada rencana
kebijakan (policy plan). Strategi yang dipilih bisa saja berasal dari kesepakatan strategi yang
berlaku secara umum baik di level nasional maupun internasional misalnya pengurangan non-
targeted fish dan by-catch practices; penanggulangan pencemaran perairan; pengurangan
resiko terhadap nelayan dan sumberdaya ikan; penetapan kawasan konservasi, fish refugia
site approach, dan lain sebagainya.
Smith and Zang (2008) menyebutkan "seafood berkelanjutan" adalah semua langkah
yang dilakukan agar populasi spesies ikan yang sedang dikelola dengan cara yang dapat
menyediakan kebutuhan hari ini tanpa merusak kemampuan spesies untuk mereproduksi dan
mempertahankan populasi berlimpah untuk generasi masa depan konsumen. Langkah yang
dilakukan untuk menuju Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan dimulai dengan
menentukan sebagian besar masalah utama perairan dan indikator. Tujuan jangka panjang
dari Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan termasuk pengembangan prinsip-
prinsip, kriteria dan indikator untuk mendukung pengambilan keputusan dan identifikasi
peluang untuk kolaborasi.
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan menekankan pada perlunya kolaborasi
dan komitmen untuk interdisipliner, antar-yurisdiksi, dan kolaborasi cross-ownership yang
mengidentifikasi dan mendukung baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan
wilayah pengelolaan sumberdaya perairan.

Langkah dalam pergerakan prinsip-prinsip menuju aksi:


1. Dari prinsip untuk tujuan kebijakan
Terjemahan dimulai dengan mengubah prinsip-prinsip tingkat tinggi membimbing ke
tujuan kebijakan. Banyak dari prinsip-prinsip yang mendasari berharga EAFM begitu
generik yang mereka dapat benar-benar dicapai dalam arti praktis. Selain itu, banyak dari
karakteristik ekosistem, seperti kesehatan ekosistem, integritas, ketahanan sulit untuk
mengukur konsep yang tidak sepenuhnya dipahami dan sulit diterapkan dalam praktek.
Prinsip-prinsip ini sering dimasukkan dalam tujuan kebijakan-tingkat yang lebih tinggi,
misalnya melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan habitat perikanan,
melindungi penting fungsi rantai makanan dan sebagainya, yang biasanya menjadi dasar
kebijakan dan rencana nasional.
2. Dari tujuan kebijakan terhadap isu-isu dan tujuan pengelolaan
Tujuan kebijakan-tingkat yang lebih tinggi ini maka perlu dipecah menjadi tujuan
pengelolaan yang lebih spesifik. Hal ini dicapai dengan mengidentifikasi dan
memprioritaskan isu-isu dan kemudian mengembangkan tujuan manajemen untuk setiap
masalah. Pada tingkat operasional ini, prioritas dapat diatur melalui proses penilaian risiko
dan trade-off dan saldo dicapai melalui konsensus. Tujuan-tujuan ini harus cukup spesifik
bahwa satu atau tindakan manajemen lainnya dapat mengatasi mereka dan keberhasilan
(atau sebaliknya) dari intervensi ini dapat dipantau dan dinilai.
3. Dari tujuan tindakan manajemen
Setiap tujuan pengelolaan dapat dicapai dengan pelaksanaan tindakan manajemen
(misalnya memperkenalkan batas pada jumlah kapal penangkap ikan, meningkatkan
ukuran mesh jaring, penanaman mangrove, memperkenalkan KKL, dll). Seringkali, satu
tindakan manajemen dapat mengatasi beberapa tujuan. Asalkan ada keterkaitan yang baik
antara tujuan tingkat tinggi kebijakan dan tujuan pengelolaan, tindakan manajemen dalam
rencana EAFM menerapkan kebijakan.

Rencana pengelolaan perikanan yang baik, setidaknya memiliki sifat:

1. Membuat prinsip-prinsip umum dan tingkat tujuan yang lebih tinggi: untuk prinsip-prinsip
EAFM secara umum efektif dan tujuan kebijakan tingkat yang lebih tinggi perlu
diterjemahkan ke dalam tujuan manajemen. Tujuan operasional merupakan tujuan
pengelolaan yang manajemen tepat. Misalnya, "Mempromosikan pembangunan
berkelanjutan perikanan" tidak dapat diatasi langsung oleh manajemen, tetapi tujuan
operasional "Mengurangi jumlah kapal nelayan" dapat diatasi dengan ukuran manajemen.
2. Memberikan arahan: perencanaan memberikan arah yang jelas untuk kegiatan
manajemen. Ini memperkuat kepercayaan para pemangku kepentingan dan mendorong
mereka untuk bergerak sepanjang jalan yang dipilih, sementara juga menjelaskan tindakan
yang harus mereka ambil untuk mencapai tujuan.
3. Pertimbangkan program alternatif tindakan: perencanaan memungkinkan manajer untuk
memeriksa dan menganalisa program alternatif tindakan dengan pemahaman yang lebih
baik dari kemungkinan konsekuensi mereka.
4. Mengurangi ketidakpastian: Pasukan perencanaan manajer dan para pemangku
kepentingan untuk melihat melampaui keprihatinan langsung. Hal ini mendorong mereka
untuk menganalisis kompleksitas dan ketidakpastian lingkungan dan berusaha untuk
mendapatkan kontrol.
5. Minimalkan keputusan impulsif dan sewenang-wenang: perencanaan cenderung untuk
meminimalkan kejadian keputusan impulsif dan sewenang-wenang dan tindakan ad hoc.
Ini mengurangi kemungkinan kesalahan utama dan kegagalan dalam tindakan manajerial.
Ini menyuntikkan ukuran disiplin dalam pemikiran dan tindakan.
6. Memberikan dasar untuk manajemen yang lebih baik: ia menyediakan dasar bagi fungsi
manajerial lainnya. Dengan demikian, perencanaan adalah fungsi sentral sekitar yang
fungsi lain (misalnya monitoring, kontrol dan pengawasan (MCS)) dirancang.
7. Sertakan respon adaptif: perencanaan cenderung untuk meningkatkan kemampuan
manajemen untuk beradaptasi secara efektif dan menyesuaikan kegiatan dan arah dalam
menanggapi perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal.
8. Aktifkan tindakan proaktif: sementara adaptasi dilakukan sebagai reaksi dan respon
terhadap beberapa perubahan di dunia luar, tidak cukup dalam beberapa situasi. Dalam
pengakuan kenyataan ini, perencanaan merangsang manajemen untuk memutuskan di
muka pada tindakan apa yang harus diambil ketika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana
(aturan kontrol).
9. Meningkatkan transparansi: membuat pengambilan keputusan yang transparan dan
tersedia bagi semua pemangku kepentingan.

Menurut Cochrane (2002), rencana strategi tersebut paling tidak juga memuat
instrument aturan main dan perangkat pengelolaan input dan output control yang disusun
berdasarkan analisis resiko terhadap keberlanjutan sistem perikanan itu sendiri.
Secara diagramatik, proses implementasi EAFM dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini:
Gambar 3. Proses Implementasi EAFM (Modifikasi dari FAO, 2003)

Sedangkan rencana pengelolaan (management plan) menitikberatkan pada rencana


aktivitas dan aksi yang lebih detil termasuk di dalamnya terkait dengan aktivitas stakeholders,
rencana pengendalian, pemanfaatan dan penegakan aturan main yang telah ditetapkan dalam
rencana strategis. Dalam rencana pengelolaan, mekanisme monitoring dan pengawasan
berbasis partisipasi stakeholders juga ditetapkan.

Gambar 4. Langkah EAFM (SEAFDEC, 2015)

Lampiran 1

JADWAL KEGIATAN THE REGIONAL TRAINING COURSES E-EAFM AND E-EAFM TOT

DATE TIME ACTIVITIES


2 March 2015 (Mon.) 09.00-09.30 Registration
09.30-10.15 Opening ceremony
10.15-10.45 Group photo
- Coffe break
10.45-11.15 Course orientation
- Trainer and participant introductions
- Participants complete pre-course assessment individually
- Course overview
11.15-12.00 Ice breaking avtivities
12.00-13.00 Lunch
13.00-15.00 Threats and issue in current fisheries management
15.00-15.15 Coffe break
15.15-16.15 Fisheries management and the ecosystem approach
16.15-16.30 Warp up day one activities homework and daily monitoring
18.00-19.30 Welcome dinner
3 March 2015 (Tue.) 08.30-09.30 What and why of EAFM
09.30-09.45 Coffe break
09.45-12.00 Principle of EAFM
12.00-13.00 Lounch
13.00-14.15 Hoe much EAFM are you already doing?
14.15-14.30 Coffe break
14.30-16.10 Moving toward EAFM
16.10-16.30 Wrap up day two activities: homework and daily monitoring
4 March 2015 (Wed.) 08.30-09.00 EAFM plan: the link between policy and action
09.00-09.50 EAFM process overview
09.50-10.10 Coffe break
10.10-12.15 Starup A: Preparing the ground
12.15-13.15 Lunch
13.15-15.00 Starup B: Stakeholder engagement
15.00-15.15 Coffe break
15.15-16.00 EAFM step 1: Define and scope the Fisheries Managemen Unit
(FMU)
- Understand an practice FMU defining and scoping
16.00-16.30 Wrap up day three activities and daily monitoring
5 March 2015 (Thu.) 08.30-10.10 EAFM steps 1: Define and scope the Fisheries Management Unit
(FMU) (cont’d)
10.10-10.30 Coffe break
10.30-12.00 Step 2: Identify and priority issues and goals
- Identify FMU – specific issue
- Discuss how to prioritize issues through risk
- Develop goals for EAFM plan
DATE TIME ACTIVITIES
5 March 2015 (Thu.) 12.00-12.30 Really check I
- Identify the constraints and opportunities in meeting your
FMU goals
- Use fasilitation skills with co-management partners in focus
group discussion (FGDs)
- Understand the need for conflict management in EAFM
management and practice a range of conflict management
techniques
12.30-13.30 Lunch
13.30-16.30 Reality check I (cont’d)
16.30-17.00 Wrap up day four activities and daily monitoring
6 March 2015 (Fri.) 08.30-10.10 Step 3.1-3.2 Develop EAFM plan:
- Objectives, Indicator and Benchmarks
10.10-10.30 Coffe break
10.30-11.50 Step 3.3-3.5: Develop EAFM plan:
- Management actions, compliance, finance and finalize EAFM
plan
11.50-12.30 Step 4: Implementation the plan:
- Formalize, plan, communicate and engage
12.30-13.30 Lunch
13.30-15.05 Reality check II
15.05-15.20 Coffe break
15.20-16.30 Step 5: Monitoring, evaluate and adapt:
- Monitoring performance of management sctions to meet
objectives and goals
- Understand what has to be monitored, when how and by
whom
- Evaluate the monitoring information and report on
performance
- Adapt the plan
EAFM quiz
16.30-17.00 Wrap up day five activities and daily monitoring
7 March 2015 (Sat.) 08.00-17.00 Field work: PRA at Fishing Villages, Rayong Province
8 March 2015 (Sun.) 08.00-17.00 Participants work on the assignment
9 March 2015 (Mon.) 08.30-10.10 Participant work: refining EAFM plans and preparing
presentations
10.10-10.30 Coffe break
10.30-12.00 Participants presentation on EAFM key elements to illustrate
learning
- Feedback on presentations
12.00-13.30 Lunch
13.30-14.45 Course review, group course evaluation individual action
planning
14.45-15.05 Coffe break
15.05-16.00 Closing ceremony
10-12 March 2015 08.00-17.00 E-EAFM Training for the Trainer (E-EAFM TOT)

Lampiran 2
DOKUMENTASI KEGIATAN THE REGIONAL TRAINING COURSES E-EAFM AND E-EAFM TOT
Lampiran 3
MATERI POKOK PADA THE REGIONAL TRAINING COURSES E-EAFM AND E-EAFM TOT

Anda mungkin juga menyukai