Anda di halaman 1dari 142

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN BIOREPRODUKSI TIRAM

DAGING (Crassostrea gigas) DI PERAIRAN PESISIR KOTA


BANDA ACEH

DISERTASI

LILI KASMINI
128109003

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

Universitas Sumatera Utara


ANALISI PERTUMBUHAN DAN BIOREPRODUKSI TIRAM
DAGING (Crassostrea gigas) DI PERAIRAN PESISIR KOTA BANDA
ACEH

DISERTASI

Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Program Studi Biologi, di bawah
pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof xxxxxxx, dipertehankan pada tanggal 24
Januari 2019, di Medan, Sumatera Utara

LILI KASMINI

128109003

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN ORISINALITAS

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN BIOREPRODUKSI TIRAM


DAGING (Crassostrea gigas) DI PERAIRAN PESISIR KOTA BANDA
ACEH

DISERTASI

Saya menyatakan bahwa disertasi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, September 2019

Lili Kasmini

128109003

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama : Lili Kasmini
NIM : 128109003
Program Studi : Doktor Ilmu Biologi
Jenis Karya Ilmiah : Disertasi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty
Free Right) atas disertasi saya yang berjudul :

Analisis Pertumbuhan dan Bioreproduksi Tiram Daging (Crassostrea gigas) di Perairan


Pesisir Kota Banda Aceh

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif
ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat,
mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan disertasi saya tanpa
meminta izin dari saya selama mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai
pemegang dan atau sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, September 2019

Lili Kasmini

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Telah diuji dan dinyatakan lulus pada

Tanggal : September, 2019

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Pimpinan Sidang : Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum Rektor USU

Ketua : Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc USU Medan

Anggota : Dr. Kerista Sebayang, M.S USU Medan

Prof. Dr. Syafruddin Ulyas, M.Biomed USU Medan

Prof. Dr. Ali Sarong, M.Si USU Medan

Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si USU Medan

Prof. Dr. rer. nat. Binari Manurung, M.Si UNIMED

ii

Universitas Sumatera Utara


RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri
Nama : Lili Kasmini, M.Si
Tempat dan Tanggal Lahir : Trung Campli, 17 Desember 1968
Agama : Islam
NIP/NIK : 012409682005
Golongan/Pangkat : IIId/Penata Tk I
Pekerjaan : Staf STKIP Bina Bangsa Getsempena
Jabatan Fungsional : Lektor
Alamat : Tanggul Krueng Aceh, No 34 Rukoh, Darussalam-Banda
Aceh
Telp./Faks : 082366919644/-
Alamat e-mail : lili@stkipgetsempena.ac.id

B. Riwayat Pendidikan
1990-1994 : Universitas Medan Area Jurusan Biologi
2001-2004 : Universitas Andalas Padang Jurusan Biologi
2013-2019 : Universitas Sumatera Utara Jurusan Biologi

C. Riwayat Pekerjaan
2008-2014 : Staf pengajar program studi biologi STKIP
2014-sekarang : Ketua Sekolah Tinggi STKIP Bina Bangsa Getsempena

D. Publikasi Ilmiah
No. Tahun Judul Penerbit/Jurnal
1 2015 Pengaruh Eksperimen Sains pada materi Jurnal Buah Hati
mencampur warna terhadap perkembangan (Volume III Nomor 1.
kognitif Anak kelompok B2 pada TK Pertiwi Maret 2015):
Banda Aceh
2 2015 Pengaruh Metode Bermain Sentra Bahan Alam Jurnal BUAH HATI
Terhadap Perkembangan Kreativitas Anak (Volume II Nomor 2.
Oktober 2015)
3 2016 Pengaruh Metode Bermain Sentra Bahan Alam Jurnal BUAH HATI
Terhadap Perkembangan Kreativitas Anak (Volume III Nomor 1.
Oktober 2016)
4 2016 Upaya Meningkatkan Kepercayaan Diri Pada Prosiding Seminar
Anak Melalui Kegiatan Bermain Peran Nasional Kepastian
Hukum,
Nondiskriminasi dan

iii

Universitas Sumatera Utara


perlindungan terhadap
perempuan dan anak
ISBN: 978-602-0898-
22-3

5 2016 Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Prosiding Seminar


Tipe Think Pair Share (TPS) Untuk Nasional Akselerasi
Meningkatkan Hasil Belajar Pada Materi Inovasi Pendidikan
Budaya Hidup Sehat Terhadap Siswa SMA Dalam Membentuk
Negeri 3 Banda Aceh Karakter Bangsa ISBN:
978-602-74564-0-2

6 2016 Implementation of Big Book Media to Increase Kumpulan Abstrak :


Language Skills of Children In Group B PAUD Association Of
Permata Hati Banda Aceh Malaysian Researchers
and Sociall Services,
Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh
7 2016 Desain Pembelajaran Pendidikan Seks ISBN : 978-602-1632-80-2
bernuansa islami untuk AUD
8 2017 Penerapan Model Pembelajaran Tgt (Teams Jurnal Tunas Bangsa
Games Tournament) Untuk Meningkatkan Volume IV Nomor 2 Edisi
Hasil Belajar Siswa Pada Materi Sumber Daya maret 2017
Alam Di Kelas Iii Sd N 70 Kuta Raja Banda
Aceh
9 2018 Analisis Minat Belajar Siswa Pada Tema Peduli Jurnal Tunas Bangsa
Terhadap Mahluk Hidup Di Kelas Iv Sd Negeri Volume V Nomor 1
7 Bies Edisi maret 2018
10 2018 Morphometric study of pacyfic oyster Prosiding Seminar
(Crassostrea gigas) in Banda ACEH Internasional
SEMIRATA ICST 2018

iv

Universitas Sumatera Utara


ANALISIS POLA PERTUMBUHAN DAN BIOREPRODUKSI
TIRAM DAGING (Crassostrea gigas) DI PERAIRAN PESISIR KOTA
BANDA ACEH

ABSTRAK

Tiram merupakan salah satu komoditas perikanan yang diminati oleh masyarakat
Aceh, termasuk di Kota Banda Aceh. Eksploitasi berupa penangkapan berlebihan dan
pencemaran pada perairan menyebabkan penurunan kuantitas maupun kualitas tiram
daging di perairan Banda Aceh. Studi mengenai aspek pertumbuhan dan biologi
reproduksi tiram butuh dilakukan untuk mendukung upaya budidaya dimasa mendatang
dibutuhkan untuk menjaga tiram sehingga dapat terus lestari. Penelitian dilakukan selama
enam bulan sejak Juli hingga Desember 2017. Sampel diambil dari dua lokasi penelitian
yaitu perairan Tibang dan Ulee Lheu, dengan masing-masing lokasi dibagi kembali
menjadi tiga titik stasiun pengambilan sampel. Metode penelitian yang digunakan adalah
purposive random sampling. Analisis data meliputi pengukuran morfometrik, prediksi
usia, laju mortalitas, pola rekruitmen, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan
gonad, fekunditas, dismorfisme seksual, rasio jenis kelamin, dan analisis siklus
reproduksi. Analisis parameter kualitas perairan dan keragaman fitoplankton juga
dilakukan di agar dapat diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan bioreproduksi
tiram. Sampel tiram yang didapatkan dari dua lokasi penelitian memiliki karakter
morfologi yang berbeda secara signifikan (p<0,05). Pertumbuhan tiram terjadi secara
allometrik negatif, sebagian besar tiram yang diambil berumur 1 tahun. Tiram jantan
pertama kali matang gonad pada ukuran 26,40 mm di Tibang dan 25,45 mm di Ulee
Lheue. Tiram betina pertama kali matang gonad pada ukuran 20,46 mm di Tibang dan
25,24 mm di Ulee Lheue. Puncak pemijahan terjadi pada bulan Agustus, dengan rerata
fekunditas 17.360.821 telur/ekor pada Tibang dan 17.108.206 telur/ekor pada Ulee Lheue.
Pada penelitian ini didapatkan tiram berjenis kelamin hermafrodit. Lingkungan perairan
di kedua lokasi penelitian masih mendukung pertumbuhan tiram. Kelimpahan plankton
pada kedua perairan tidak mempengaruhi jenis kelamin dan rasio seksual tiram.

Kata Kunci : bioreproduksi, Crassostrea gigas, pertumbuhan

Universitas Sumatera Utara


ANALYSIS OF GROWTH AND BIOLOGICAL REPRODUCTION
OF OYSTER (Crasosstrea gigas) IN THE COASTAL AREA OF
BANDA ACEH

ABSTRACT

Oysters are one of the fisheries commodities that people in Aceh are interested in.
Exploitation in the form of overfishing and water pollution causes a decrease in the
quantity and quality of meat oysters in the coastal area of Banda Aceh. Studies related to
growth and the reproductive biology of oysters need to be carried out to support
cultivation efforts for the preservation of oysters. The study was conducted for six months
from July to December 2017. Samples were taken from two research sites in Tibang and
Ulee Lheue, with each location being divided into three sampling stations. The research
method uses purposive random sampling. Data analysis included morphometric
measurements, age prediction, mortality rate, recruitment pattern, gonadal maturity level,
gonadal maturity index, fecundity, sexual dysmorphism, sex ratio, and reproductive cycle
analysis. Analysis of the parameters of water quality and phytoplankton diversity was also
carried out in order to determine the effect on the growth and bioreproduction of oysters.
Samples obtained from the two study sites had significantly different morphological
characters (p <0.05). Oyster growth is allometrically negative, most oysters taken are 1
year old. The male oyster gadads were first matured at 26.40 mm in Tibang and 25.45
mm at Ulee Lheue. The female oyster gonads were first matured at 20.46 mm in Tibang
and 25.24 mm in Ulee Lheue. The peak spawning period occurred in August, with an
average fecundity of 17,360,821 eggs/oysters in Tibang and 17,108,206 eggs/oysters at
Ulee Lheue. In this study, hermaphrodite sex oysters were obtained. The aquatic
environment in both research locations is able to support the growth of oysters. Plankton
abundance in both study locations did not affect the sex ratio of oysters

Keywords : bioreproduction, Crassotrea gigas, growth

vi

Universitas Sumatera Utara


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian yang telah
dilaksanakan sejak bulan Juli hingga Desember 2017 ini berjudul Analisis Pertumbuhan
dan Bioreproduksi Tiram Daging (Crassostrea gigas) di Perairan Pesisir Kota Banda
Aceh. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

a) Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Rektor USU atas kesempatan dan
fasilitas yang diberikan untuk penulis menyelesaikan program pendidikan Doktor
dalam bidang Ilmu Biologi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Sumatera Utara Medan.
b) Dr. Kerista Sebayang, MS selaku dekan FMIPA USU dan Prof. Dr. Syarifruddin
Ilyas, M.biomed selaku Ketua Program Studi Ilmu Biologi yang telah memberi
dukungan dan motivasi pada penulis.
c) Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc., Prof. Dr. Ali Sarong, M.Si., Dr. Miswar
Budi Mulya, M.Si., selaku pembimbing atas waktu, ilmu, arahan, dan kesabaran
dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan disertasi ini,
d) Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed dan Prof. Dr. rer.nat Binari Manurung, M.Si
selaku penguji atas segala waktu, saran dan masukan membangun yang telah
diberikan terhadap disertasi ini,
e) Yayasan Pendidikan Getsempena dan seluruh civitas STKIP Bina Bangsa
Getsempena yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melanjutkan
pendidikan ke Universitas Sumatera Utara,
f) Dr. Agung Setia Batubara, M.Si yang telah banyak membantu dalam penyelesaian
disertasi ini,

Penulis juga mengucapkan terimakasih setinggi-tingginya pada suami tercinta


Hidayatullah Daud, MT dan anak-anak tersayang yang telah memberikan dukungan dan
bantuan selama penulis menyelesaikan pendidikan ini. Penulis berharap karya ilmiah ini
dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membutuhkan.

Banda Aceh, 24 Januari 2019

Lili Kasmini

vii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

PENGESAHAN TESIS I
PANITIA PENGUJI II
RIWAYAT HIDUP III
ABSTRAK V
ABSTRACT VI
PRAKATA VII
DAFTAR ISI VIII
DAFTAR TABEL XI
DAFTAR GAMBAR XIII
DAFTAR LAMPIRAN XVII

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.4 Kebaruan Penelitian 6
1.5 Manfaat Penelitian 6
1.6 Ruang Lingkup Penelitian 7

BAB II TINJUAN PUSTAKA 8


2.1. Morfologi Tiram Daging 8
2.1.1. Cangkang Tiram 8
2.1.2. Mantel Tiram 11
2.1.3. Sistem Pencernaan 12
2.1.4. Gonad Tiram 13
2.2 Aspek Biologi 14
2.2.1. Dasar Taksonomi atau Klasifikasi 14
2.2.2. Tingkatan Taksonomi 15
2.2.3. Klasifikasi dan Habitat 16
2.2.4 Substrat Dasar 18
2.2.5 Peranan Tiram Daging Terhadap Ekosistem 19
2.3 Kebiasaan Makan Tiram Daging 19
2.3.1 Regulasi Volume Ingesti pada Tiram Daging 19
2.3.2 Seleksi Partikel Sebelum Proses Ingesti 20
2.4 Pertumbuhan Tiram Daging 20
2.4.1 Laju Pertumbuhan Tiram Daging 21
2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan 21
2.4.4 Kurva Pertumbuhan 23
2.5 Dinamika Populasi 24
2.5.1 Dinamika Populasi dan Stok 24

viii

Universitas Sumatera Utara


2.5.2 Rekruitmen 25
2.5.3 Mortalitas 26
2.6 Biologi Reproduksi Tiram 28
2.6.1 Organ reproduksi pada tiram 28
2.6.2 Rasio Seksualitas Tiram 29
2.6.3 Tingkat Kematangan Gonad 30
2.6.4 Indeks Kematangan Gonad 31
2.6.5 Fekunditas 31
2.6.6 Dismorfisme Seksual 32
2.6.7 Rasio Seksual 33
2.7 Fase Kematangan Gonad 33
2.7.1 Gametogenesis Jantan 34
2.7.2 Gametogenesis Betina 35
2.7.3 Faktor yang Mempengaruhi Gametogenesis 36
2.8 Pemijahan 37
2.9 Faktor Lingkungan 40
2.9.1 Suhu 40
2.9.2 Salinitas 40
2.9.3 Kedalaman 41
2.9.4 Tekstur subtrat 41
2.9.5 Derajat keasaman (PH) 41
2.9.6 Oksigen terlarut 42
2.9.7 Komposisi C- Organik 42
2.10 Crassostrea Sp. 43
2.10.1 Manfaat Crassostrea gigas Terhadap Ekologi 47

BAB III METODELOGI PENELITIAN 48


3.1 Metode Penelitian 48
3.2 Alat dan Bahan Penelitian 48
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 49
3.3.1 Penentuan Stasiun Pengamatan 51
3.4 Pengumpulan Data 51
3.4.1 Metode Identifikasi 52
3.4.2 Transek Pengambilan Sampel 52
3.4.3 Pengambilan Sampel Tiram, Air, dan Substrat 52
3.5. Analisis Data 53
3.5.1. Parameter pertumbuhan 53
3.5.1.1 Pengukuran morfometrik 53
3.5.1.2 Distribusi frekuensi – panjang 54
3.5.1.3 Analisa pertumbuhan 54
3.5.1.4 Hubungan Panjang dan Berat 56
3.5.2. Parameter biologi reproduksi 57
3.5.2.2 Indeks kematangan gonad (IKG) 62
3.5.2.4 Analisis histologi dan siklus reproduksi 63
3.5.2.5 Sex Ratio 63

ix

Universitas Sumatera Utara


3.5.3 Pengambilan Sampel Fitoplankton 63
3.5.4 Parameter kualitas perairan 64

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 65


4.1 Hasil Parameter Pertumbuhan 65
4.1.1 Analisis morfometrik 65
4.1.2 Pola Pertumbuhan Crassostrea gigas 68
4.1.3 Pertumbuhan Crassostrea gigas Berdasarkan Jenis Kelamin 72
4.1.4. Dinamika Populasi 80
4.2 Parameter Biologi Reproduksi 83
4.2.2 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) 86
4.3 Kualitas Perairan 91

BAB V PEMBAHASAN UMUM 94


5.1 Gambaran Umum Kawasan Penelitian 94
5.2 Analisis Pertumbuhan 95
5.3 Biologi Reproduksi 101

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 105


6.1 Kesimpulan 105
6.2 Saran 105

DAFTAR PUSTAKA 107


LAMPIRAN 117
DAFTAR SINGKATAN 121

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Nomor
Judul Tabel Halaman
Tabel
2.1 Karakteristik cangkang dalam identifikasi spesies 9
2.2 Keterangan pengukuran morfologi tiram 23
Kesesuaian perairan berdasarkan nilai TSS untuk kepentingan
2.3 42
perikanan
3.1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian 49
3.2 Pengukuran traditional morphometric 55
Hasil uji statistik karakter morfometrik pada setiap populasi
4.1 tiram. Nilai yang diikuti superscript yang berbeda 66
menunjukkan berbeda signifikan (P<0.05)
Nilai Eagenvalues, % variance and matrix structure karakter
4.2 morfometrik tiram. Tanda bintang menunjukkan kontribusi 68
karakter pada fingsi berkenaan
Pertumbuhan tiram (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram
4.3 (Crassostrea gigas) di kawasan perairan Tibang dan Ulee 72
Lheue, Kota Banda Aceh
Pertumbuhan (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram
4.4 (Crassostrea gigas) jantan di kawasan perairan Tibang dan 73
Ulee Lheue, Kota Banda Aceh
Pertumbuhan (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram
4.5 (Crassostrea gigas) betina di kawasan perairan Tibang dan 74
Ulee Lheue, Kota Banda Aceh
Pertumbuhan (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram
4.6 (Crassostrea gigas) hermaprodit di kawasan perairan Tibang 74
dan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh
4.7 Parameter pertumbuhan dinamika populasi 83

4.8 ex rasio (SR) dan indeks kematangan gonad (IKG) tiram 85


pedaging (Crassostrea gigas) lokasi Tibang
4.9 Sex ratio (SR) dan indeks kematangan gonad (IKG) tiram 86
pedaging (Crassostrea gigas) lokasi Ulee Lheue
4.10 Tingkat kematangan gonad (TKG) tiram jantan lokasi Tibang 87
dan Ulee Lheue
4.11 Tingkat kematangan gonad (TKG) tiram betina lokasi Tibang 88
dan Ulee Lheue
4.12 Kelimpahan plankton rata-rata/jenis selama 6 bulan penelitian 93
di perairan Tibang dan Ulee Lheue
4.13 Hubungan kelimpahan plankton terhadap nilai sex rasio pada 93
tiram lokasi Tibang dan Ulee Lheue

xi

Universitas Sumatera Utara


4.14 Parameter kimia-fisika di perairan Tibang dan Ulee Lheue 94

xii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Nomor
Judul Halaman
Gambar
Penampakan cangkang eksternal (a) Ostrea edulis tampak
lebih sirkular, (b) dan (c) cangkang eksternal Crassostrea
2.1 27
gigas berbentuk tidak simetris (Sumber : McKnight dan
Chudleigh, 2015)
Penampakan bagian dalam dari Crassostrea gigas, dapat
2.2 diamati bagian gonad, insang, mantel, dan otot-otot. (Sumber 27
: McKnight dan Chudleigh, 2015)
2.3 Sistem pencernaan tiram daging (Sumber : Gosling E, 2003) 29
Gambaran potongan melintang kelenjar pencernaan,
menunjukkan absorpsi dan pencernaan intraselular dari
2.4 30
material yang masuk ke lambung dan keluarnya zat sisa dari
proses pencernaan. (Sumber: Gosling E, 2003)
Urutan taksonomi dari terbesar hingga terkecil, semakin ke
2.5 32
bawah organisme semakin spesifik
Teknik pengukuran morfologi tiram dilakukan dengan cara
2.6 mengukur panjang total, lebar, dan tinggi dari cangkang 39
(Sumber : Octavina, 2014)
Kurva pertumbuhan menurut von Bertalanffy digunakan
2.7 untuk memperkirakan panjang bivalvia pada umur tertentu 41
(Sumber: Suradi W, 2007)
Keseimbangan dinamika populasi di suatu wilayah
dipengaruhi oleh natalitas, imigrasi, mortalitas, dan emigrasi
2.8 41
(diadaptasi dari: Suradi W, 2007)

Keseimbangan stok dipengaruhi oleh komponen


2.9 pertumbuhan, rekruitmen, penangkapan, dan mortalitas 42
(diadaptasi dari: Suradi W, 2007)
Catch curve, menunjukkan algoritme alami dari jumlah
2.10 spesies berbanding dengan pertambahan usia (Sumber: Suradi 44
W, 2007)
Stadium kematangan gonad (a) tipe gonad belum dapat
dibedakan antara jantan dan betina, (b) gonad jantan (panah
merah menggambarkan sel sperma yang telah matang), (c)
2.11 gonad betina (panah hitam menunjukkan oosit matang), (d) 50
hermafrodit betina terlihat lebih banyak oosit daripada sel
sperma, (e) hermafrodit jantan menunjukkan lebih banyak sel
sperma daripada oosit. (Sumber: Octavina, 2014)

xiii

Universitas Sumatera Utara


Stadium kematangan gonad jantan. (a) proliferasi, (b)
kematangan dini, (c) kematangan sempurna, (d) pemijahan
2.12 52
sebagian (partially spawned), (e) pemijahan selesai. (Sumber
: Octavina, 2014)
Stadium kematangan gonad betina. (a) proliferasi, (b)
kematangan dini, (c) kematangan sempurna, (d) pemijahan
2.13 52
sebagian (partially spawned), (e) pemijahan selesai. (Sumber:
Octavina, 2014)
Siklus hidup tiram daging. Tiram jantan dan betina akan
melepaskan spermatozoa dan oosit ke dalam air sehingga
memungkinkan terjadinya fertilisasi. Oosit yang dibuahi
kemudian berkembang menjadi larva hingga kemudian
menjadi pediveliger, larva yang telah memiliki kaki, berfungsi
untuk membantu larva mencari substrat yang sesuai untuk
perlekatan. Fase hingga menjadi larva pediveliger
membutuhkan waktu kira-kira 2 minggu pada kondisi yang
2.14 55
optimal. Setelah mendapatkan substrat yang sesuai untuk
melekat, larva lalu berkembang menjadi tiram muda dan
berkonsentrasi untuk membentuk cangkangnya. Setelah 1
hingga 3 tahun kemudian, tiram muda telah menjadi tiram
dewasa. Tiram berusia lebih dari 1 tahun sudah dapat
melepaskan spermatozoa atau oosit kembali ke dalam air, dan
meneruskan proses reproduksi (Sumber: Karen R, dalam
Lowe M et al, 2012)
Pertumbuhan Crassostrea sp. (A). Larva muda (B). Larva
pediveliger sudah memiliki kaki untuk berenang dan mencari
2.15 substrat yang sesuai (C). Larva pada stadium lebih lanjut (D). 56
Cangkang tiram (E). Cangkang tiram dewasa (Sumber:
Invasive Species Compendium, 2018)
Penampakan makroskopis dari Crassostrea sp. Memiliki dua
1.16 tangkup cangkang berbentuk ireguler (Sumber: Thunberg, 61
dalam Nehring S, 2011).
Contoh Crassostrea sp. dengan berbagai ukuran dan warna
2.17 yang berbeda sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungannya 61
(Sumber: Feng et al, 2015)
Anatomi Crassostra sp.: (A) penampakan eksternal. (B)
Penampakan cangkang dengan sebagian penampakan internal.
(C) penampakan internal dengan gambaran detail muskulus
adductor (mi). (D) region sub-umbonal pada bagian anterior
(E) detail tepi mantel postero-ventral, terlihat muskulus palial.
2.18 64
(F) penampakan umum bagian kanan tiram, cangkang sudah
dilepaskan. (G) palps, anterior dengan sedikit gambaran
ventral. (H) tepi lobus kanan, bagian ventral-media,
menunjukkan papilla dari lekukan internal dan media, terlihat
jantung aksesori (ah). (I) mantel kiri, terlihat detail bagian

xiv

Universitas Sumatera Utara


postero-dorsal (J) insang, bagian dalam dari bagian media. (K)
detail dari rectum (rt) dan anus (an). (Sumber: Amaral, 2014)
Peta lokasi penelitian. Penelitian di dua lokasi yaitu Tibang
3.1 dan Ulee Lheue, dengan masing-masing lokasi dibagi menjadi 68
3 titik pengambilan sampel.
Teknik pengukuran traditional morphometric dilakukan
3.2 dengan mengukur panjang, lebar, dan tinggi dari cangkang 71
tiram (Sumber: Octavina, 2014).
Stadium kematangan gonad jantan. (A) Proliferasi (X 100).
3.3 (B) Maturasi (X 400). (C) Partially spawned (X 400).(D) 77
Totally spawned (X 400) (Sumber: Gosling E, 2003).
Stadium kematangan gonad betina (X 400). (A) Proliferasi.
3.4 (B) Maturasi. (C) Partially spawned.(D) Totally spawned 79
(Sumber: Gosling E, 2003).
Scatter plot discriminant function analysis (DFA) karakter
4.1 87
morfometrik dari 6 populasi sampel tiram
Gambaran pertumbuhan tiram pada perairan Tibang, dimana
a) Bulan Juli, b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan
4.2 88
Oktober, e) Bulan November dan f) Bulan Desember tahun
2017
Gambaran pertumbuhan tiram pada perairan Ulee Lheue,
dimana a) Bulan Juli, b) Bulan Agustus, c) Bulan September,
4.3 89
d) Bulan Oktober, e) Bulan November dan f) Bulan Desember
tahun 2017
Pertumbuhan tiram jantan pada perairan Tibang, dimana a)
Bulan Juli, b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan
4.4 93
Oktober, e) Bulan November dan f) Bulan Desember tahun
2017
Pertumbuhan tiram jantan pada perairan Ulee Lheue, dimana
a) Bulan Juli, b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan
4.5 94
Oktober, e) Bulan November dan f) Bulan Desember tahun
2017
Pertumbuhan tiram betina pada perairan Tibang, dimana a)
Bulan Juli, b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan
4.6 95
Oktober, e) Bulan November dan f) Bulan Desember tahun
2017
Pertumbuhan tiram betina pada perairan Ulee Lheu, dimana a)
Bulan Juli, b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan
4.7 96
Oktober, e) Bulan November dan f) Bulan Desember tahun
2017
Pertumbuhan tiram hermafrodit pada perairan Tibang, dimana
a) Bulan Juli, b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan
4.8 97
Oktober, e) Bulan November dan f) Bulan Desember tahun
2017

xv

Universitas Sumatera Utara


Pertumbuhan tiram hermafrodit pada perairan Ulee Lheu,
dimana a) Bulan Juli, b) Bulan Agustus, c) Bulan September,
4.9 98
d) Bulan Oktober, e) Bulan November dan f) Bulan Desember
tahun 2017
Grafik frekuensi panjang berdasarkan kelas panjang tiram
4.10 99
pada lokasi Tibang dan Ulee Lheue
Gambar 4.11 Grafik pertumbuhan Von Bentalaffy Growth
4.11 100
Function (VBGF) tiram pada dua lokasi penelitian.
Grafik (a) laju mortalitas tertuama terjadi pada saat tiram
berusia satu tahun, dan (b) laju probabilitas penangkapan
4.12 101
menunjukkan peningkatan ukuran akan meningkatkan
penangkapan tiram
Grafik laju rekruitmen tiram, dimana J adalah bulan Januari, F
4.13 adalah Februari dan bulan seterusnya selama setahun. Puncak 102
rekruitmen terjadi pada bulan Juni dan Agustus
Grafik sex rasio (SR) tiram (Crassostrea gigas), dimana a)
4.14 104
lokasi Tibang dan b) lokasi Ulee Lheue.
Persentase TKG tiram jantan selama 6 bulan penelitian,
4.15 106
dimana a) lokasi Tibang dan b) lokasi Ulee Lheue
Persentase TKG tiram betina selama 6 bulan penelitian,
4.16 106
dimana a) lokasi Tibang dan b) lokasi Ulee Lheue
Regresi antara panjang total (mm) dan fekunditas tiram
4.17 (telur/ind), dimana a) merupakan perairan Tibang dan b) 108
perairan Ulee Lheue.
4.18 Histologi gonad tiram jantan 109
4.19 Histologi gonad tiram betina 109
4.10 Histology gonad tiram hermaprodit 110

xvi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Nomor
Judul Halaman
Lampiran
1 Pengukuran Panjang total dan panjang gonad 117
2 Variasi ukuran tiram yang diperoleh saat penelitian 117
3 Sampling dan analisis sampel di laboratorium 118
4 Pengukuran kualitas perairan (DO, pH, Salinitas) 118
5 Pengamatan telur tiram 119
6 Data klimatologi banda aceh dari januari-desember 2017 120

xvii

Universitas Sumatera Utara


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar, dengan posisi geografis yang
diapit oleh dua samudra dan dua benua serta memiliki luas perairan yang sangat besar.
Dengan 17.499 pulau, luas perairan mencapai 5,9 juta km2, 17.499 pulau dan garis pantai
sekitar 81.000 km2, menyebabkan Indonesia merupakan salah satu kawasan perairan
tropis yang memiliki daya dukung alam tinggi dengan kemampuan mega biodiversity.
Laut telah menjadi salah satu aset kekayaan nasional karena fungsi vitalnya yang berperan
sebagai deposit sumber daya alam. Sumber daya alam yang terkandung dalam laut telah
memberikan jaminan terhadap kelangsungan hidup masyarakat Indonesia, salah satunya
bagi masyarakat di Provinsi Aceh, terutama masyarakat pesisir Kota Banda Aceh.
Provinsi Aceh berbatasan langsung dengan Samudera India dan Selat Malaka,
menyebabkan Aceh memiliki sumber daya kelautan dan perikanan yang banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat. Provinsi Aceh memiliki 1.660 km panjang garis pantai
dan luas perairan laut 295.370 km2, terdiri dari wilayah perairan dan kepulauan seluas
56.563 km2 dan zona ekonomi ekslusif ( ZEE) seluas 238.807 km2 (Juanda dan Martunis,
2014). Aceh memiliki wilayah yang mempunyai potensi tinggi terhadap sumber daya laut,
sehingga peran sumber daya kelautan dan perikanan berkontribusi tinggi dalam
perekonomian masyarakat Aceh (Herdiana et al., 2008).
Banda Aceh merupakan ibukota dari Provinsi Aceh, memiliki luas daratan 6.136
km2 dan jumlah penduduk mencapai 224.209 individu (BPS Aceh, 2016). Kota Banda
Aceh memiliki sembilan kecamatan, dan 90 gampong (desa). Oleh karena Kota Banda
Aceh dikelilingi oleh lautan, kawasan pesisir menjadi salah satu tempat yang paling ramai
diduduki oleh masyarakat.
Kawasan pesisir Kota Banda Aceh terdapat sumber daya alam yang sangat
beragam dan dapat diandalkan sebagai sumber pangan dan mata pencaharian bagi
masyarakat disekitarnya. Potensi yang ada di wilayah pesisir laut masih sangat perlu untuk

Universitas Sumatera Utara


2

dikembangkan dan dilestarikan demi kepentingan bersama. Salah satu sumber daya alam
komoditas pesisir yang dimanfaatkan masyarakat untuk sumber kehidupan adalah tiram.
Tiram merupakan salah satu organisme dari Filum Molusca, Kelas Bivalvia dan Ordo
Ostreoidea. Tiram dikenal memiliki banyak manfaat, terutama sebagai salah satu sumber
makanan bergizi. Selain itu, tiram juga memiliki peran penting terhadap sumber
kehidupan masyarakat nelayan khususnya nelayan wanita. Hal ini dikarenakan keahlian
nelayan wanita yang terbatas sehingga sangat bergantung pada sumberdaya yang lebih
mudah dijangkau, salah satunya adalah dengan mengambil tiram. Hal ini dilakukan untuk
dapat membantu perekonomian keluarga di saat kepala keluarga kurang mendapatkan
hasil tangkapan di laut.
Saat ini banyak warga kampung pesisir yang mengeluhkan bahwa jumlah tiram
terus menurun. Turunnya jumlah tiram dapat disebabkan oleh eksploitasi berlebihan
sehingga ukuran yang didapatkan semakin kecil akibat umur tiram yang masih relatif
muda saat dilakukan pemanenan langsung di alam. Selanjutnya kualitas tiram juga terus
mengalami penurunan akibat pencemaran sehingga diperlukan pengelolaan sumber daya
tiram berbasis lingkungan (Octavina et al. 2014). Eksploitasi berlebihan tanpa
memperkirakan dan mempertimbangkan daya dukung dan kapasitas berkelanjutan yang
dimiliki ekosistem pesisir akan berakibat pada degradasi kapasitas sumber daya alam yang
terkandung didalamnya, baik pemanfaatan dari sisi ekonomi maupun kelestarian
lingkungan.
Kawasan pesisir Kota Banda Aceh menjadikan tiram sebagai komoditi utama
terutama masyarakat Gampong Tibang dan masyarakat Gampong Ulee Lheue. Gampong
Tibang sebagai salah satu gampong yang berada dalam kawasan Kecamatan Syiah Kuala,
berbatasan dengan Gampong Alue Naga dan Gampong Deah Raya. Perempuan di
Gampong ini sebagian besar bekerja sebagai penangkap dan penjual tiram. Masyarakat
tersebut sudah menjadi petani tiram turun temurun sejak dahulu, sehingga menjadikan
Gampong Tibang sebagai kawasan komoditi penghasil tiram yang sangat potensial.
Gampong Ulee Lheue merupakan kawasan pesisir yang sangat dipengaruhi oleh
perairan laut, memiliki dua muara sungai yang bermuara ke Selat Malaka. Sumber air
payau yang bermuara ke lautan Ulee Lheue berasal dari Krueng Daroy masuk ke saluran

Universitas Sumatera Utara


3

sekunder dan saluran primer dengan bermuara ke Selat Malaka. Aliran air darat atau
sungai tidak deras menuju ke Ulee Lheue sehingga distribusi air laut lebih besar pada
perairan Gampong Ulee Lheue. Kedua Gampong Tibang dan Ulee Lheue merupakan
kawasan yang umum digunakan sebagai lokasi kegiatan perikanan, terutama penangkapan
ikan dan kerang. Perairan Gampong Tibang dan Ulee Lheue memiliki potensi
pertumbuhan tiram Crassostrea gigas yang baik, setiap harinya para nelayan tiram
menangkap tiram, baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual ke pasar. Kegiatan
penangkapan dilakukan ketika air sedang surut dan berakhir jika pasang datang.
Survei awal menunjukkan bahwa satu orang nelayan tiram atau kerang dapat
menangkap minimal lima hingga sepuluh kilogram tiram dalam satu periode tangkap, dan
diperkirakan dalam sebulan terdapat sekitar 700 kg tiram diambil dari habitatnya (asumsi
jika dalam satu hari terdapat 2 – 3 nelayan yang menangkap tiram). Tiram dijual bersih
tanpa cangkang sehingga pembeli dapat langsung mengolah tiram. Nilai jual tiram
bervariasi tergantung dari ukurannya. Harga bersih dari tiram berukuran 4 – 5 cm dijual
seharga Rp 40.000/kg, sedangkan tiram berukuran 3 – 4 cm dijual seharga Rp 30.000/kg.
Crassostrea gigas adalah tiram daging yang termasuk dalam kelas bivalvia, family
Ostreidae, yang memiliki cangkang setangkup kasar dan umumnya berbentuk irregular.
Tiram menyukai perairan yang hangat dan terlindung dengan salinitas 20 sampai 25‰.
Reproduksi tiram sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, diantaranya kondisi fisika-
kimiawi air dan kondisi substrat. Kejutan salinitas terbukti berpengaruh terhadap laju
pemijahan tiram (Santoso, 2010). Umumnya tiram berada pada perairan dengan
permukaan landai bersubstrat seperti lumpur, pasir, kerikil, atau batu. Tiram melekat di
akar pohon mangrove dan puing-puing bangunan, kaki jembatan, dan di kapal-kapal yang
sedang parkir di dermaga. Octavina et al. (2014) menyatakan bahwa di Kuala Gigieng
Aceh Besar terdapat 5 spesies tiram daging yang terdiri dari 2 genus, yaitu dari genus
Ostrea dan genus Crassostrea, terdiri dari Crasosstrea virginica, Crassostrea gigas,
Crassostrea iridescens, Crassostrea angulata dan Ostrea edulis. Berdasarkan
penelitian tersebut, salah satu spesies terbanyak yang ditemukan adalah Crassostrea
gigas.

Universitas Sumatera Utara


4

Crassostrea gigas merupakan jenis tiram daging yang paling banyak dan paling
sering ditemukan. Hal ini disebabkan Crassostrea gigas lebih mampu beradaptasi
terhadap lingkungan yang bervariasi, jika dibandingkan tiram daging lainnya. Dengan
kemampuan adaptasi tinggi, Crassostrea gigas memiliki bentuk dan warna cangkang yang
berbeda-beda sesuai substrat yang ditempatinya. Selain mudah didapatkan, Crassostrea
gigas memiliki daging yang lebih besar dan lebih empuk sehingga disenangi masyarakat.
Penelitian tentang tiram daging Crasostrea sp. masih sangat minim dilakukan
diAceh. Adapun penelitian yang telah dilakukan diantaranya : Analisis Kandungan
Logam Berat Pb Pada Tiram Crassostrea Cucullata Di Pesisir Krueng Raya, Aceh Besar
(Astuti et al. 2016),; Struktur Komunitas Tiram Daging Di Perairan Estuaria Kuala
Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh (Octavina et al., 2014); Keragaman
Makrozoobenthos Di Perairan Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh Besar (Fadli et al. 2012);
Kontaminasi Cadmium, Timbal Dan Seng Pada Tiram Daging (Crassostrea Gigas) Yang
Dipanen Dari Muara Sungai Lamnyong, Banda Aceh, Indonesia (Sarong et al. 2015); dan
Hubungan Panjang-Berat Family Ostreidae Di Muara Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh
Besar, Indonesia (Octavina et al. 2015). Namun penelitian terkait biologi reproduksi tiram
belum dilakukan, sehingga penting dilakukan agar dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan tiram di Aceh pada masa mendatang, khususnya untuk konservasi atau
budidaya tiram.

1.2 Perumusan Masalah


Tiram merupakan salah satu komoditas perikanan yang sangat diminati oleh
masyarakat Aceh. Selain memiliki rasa yang gurih, diketahui bahwa tiram memiliki nutrisi
tinggi khususnya protein. Sehingga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Masyarakat
pesisir sangat bergantung kepada sumberdaya tiram selain ikan hasil tangkapan laut.
Sumberdaya tiram sangat berkontribusi terhadap sumber penghasilan nelayan wanita.
Namun akibat eksploitasi dan pencemaran menyebabkan kualitas dan kuantitas tiram
semakin menurun (Octavina et al. 2014), sehingga perlu dilakukan upaya budidaya di
masa mendatang. Oleh karena itu studi tentang biologi reproduksi yang berkaitan dengan
lingkungan perlu dilakukan sebagai informasi dasar upaya konservasi spesies ini ke depan.

Universitas Sumatera Utara


5

Analisis tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad terhadap


pertumbuhan dan umur tiram penting diketahui mengingat banyaknya penangkapan yang
tidak memandang ukuran demi menjaga kelestarian tiram di masa yang akan datang.
Adapun analisis biologi reproduksi seperti tingkat kematangan gonad (TKG), indeks
kematangan gonad (IKG), melihat rasio jantan dan betina pada tiram menentukan
fekunditas penting dilakukan untuk melihat kemampuan regenerasi tiram berbanding
dengan kematian akibat penangkapan dan kematian alami, sehingga dapat diprediksi
jumlah populasi tiram yang berkurang setiap tahunnya (Kudale dan Rathod, 2016).
Siklus reproduksi tiram dapat di lihat berdasarkan umur tiram dan masa pemijahan,
hal ini penting di ketahui agar dapat memberi informasi kira kira kapan waktu pemijahan
yang terjadi di lingkungan sebagai informasi agar saat saat tersebut di kurangi
pengambilan demi konservasi tiram di masa mendatang.
Tercatat 6 spesies tiram yang terbagi menjadi 2 genus (Crassostrea dan Ostrea)
terdapat di Perairan Aceh, yaitu C. gigas, C. iridescens, C. angulata, C. virginica, C.
cucullata dan Ostrea edulis (Octavina et al. 2014). Berdasarkan penelitian Octavina et al.
(2014) kepadatan dan penyebaran tertinggi diantara kelima spesies tersebut didapatkan
pada Crassostrea gigas, hal ini disebabkan Crassostrea gigas dapat beradaptasi lebih baik
dengan mempercepat pertumbuhannya sehingga proses reproduksi lebih cepat terjadi
dibandingkan jenis lain.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis perbedaan karakter morfologi Crassostrea gigas berdasarkan
perbedaan habitat di kawasan pesisir Kota Banda Aceh
2. Menganalisis pola pertumbuhan tiram daging Crassostrea gigas di kawasan
pesisir Kota Banda Aceh.
3. Menganalisis dinamika populasi tiram daging Crassosstrea gigas di kawasan
pesisi Kota Banda Aceh.
4. Menganalisis aspek biologi reproduksi tiram daging Crassostrea gigas di kawsan
pesisir Kota Banda Aceh.

Universitas Sumatera Utara


6

5. Menganalisis fase kematangan gonad tiram daging Crassostrea gigas berdasarkan


umur di kawasan pesisir Kota Banda aceh.
6. Menganalisis kualitas perairan terhadap reproduksi tiram daging Crassostrea
gigas kawasan perairan pesisir Kota Banda Aceh.

1.4 Kebaruan Penelitian


Penelitian tentang tiram daging Crassostrea gigas belum banyak dilakukan,
khususnya di perairan pesisir Kota Banda Aceh. Beberapa kebaruan dalam penelitian ini
diantaranya adalah:
1. Puncak pemijahan Crassostrea gigas pada lokasi penelitian terjadi pada bulan
Agustus.
2. Crassostrea gigas pertama kali matang gonat pada umur 1 tahun.
3. Tiram jantan pertama kali matang gonad berukuran 25,45 - 26,40 mm dan tiram
betina 20,46 – 25,24 mm.

1.5 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang
terkait dalam penelitian, diantaranya :
1. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Program Studi
Biologi Universitas Sumatera Utara.
2. Menambah referensi untuk bahan penelitian lanjutan yang lebih mendalam terkait
tiram daging dimasa mendatang.
3. Memberikan pengembangan ilmu terkait informasi pola pertumbuhan dan biologi
reproduksi tiram daging sebagai masukan atau dasar upaya budidaya tiram daging
di perairan pesisir Kota Banda Aceh kedepannya.
4. Dapat menjadi kebijakan dan pertimbangan pada instansi yang berwenang dalam
upaya pelestarian tiram di Banda Aceh.
5. Menambah wawasan kepada masyarakat terutama nelayan tiram waktu-waktu
yang tepat melakukan penangkapan.

Universitas Sumatera Utara


7

1.6 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian atau batasan masalah bertujuan untuk mempermudah
dan menjadikan penelitian terarah sehingga mencegah perluasan masalah dalam
penelitian. Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Objek penelitian adalah tiram daging spesies Crassostrea gigas yang terdapat pada
lokasi penelitian yang telah ditentukan. .
2. Subjek penelitian adalah parameter sebagai berikut :
a. Pertumbuhan Crassostrea gigas mencakup :
- Pengukuran morfometrik berupa ukuran panjang, lebar, dan tebal umbo
pada kedua cangkang tiram.
- Analisa pertumbuhan tiram yang meliputi frekuensi panjang, prediksi usia,
laju mortalitas, dan pola rekruitmen.
b. Biologi reproduksi tiram Crassostreea gigas meliputi :
- Tingkat kematangan gonad, baik secara visual maupun melalui
pemeriksaan histologi.
- Indeks kematangan gonad, fekunditas, dismorfisme seksual, sex ratio,
serta analisis siklus reproduksi.
c. Parameter kualitas air berdasarkan :
- Pengambilan sampel fitoplankton dari masing-masing lokasi pengambilan
sampel.
- Pengukuran parameter kualitas perairan melalui suhu, salinitas, pH, dan
oksigen terlarut (dilakukan setiap bulan selama pengumpulan sampel).

Universitas Sumatera Utara


8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Morfologi Tiram Daging


Filum moluska adalah salah satu kelompok kingdom animalia yang paling besar
dan paling bervariasi. Terdapat lebih dari 50.000 spesies termasuk dalam filum ini, dengan
30.000 diantaranya dapat ditemukan di lautan. Moluska merupakan hewan bertubuh
lunak, namun sebagian besar ditutupi atau dilindungi oleh cangkang protektif yang keras.
Moluska dibagi menjadi enam kelas besar, yaitu Gastropoda, Bivalvia, Octopus,
Polyplacophora, Scaphopoda, dan Monoplacophora. Bivalvia merupakan kelas dengan
spesies kedua terbanyak setelah Gastropoda pada filum Moluska.

2.1.1. Cangkang Tiram


Cangkang moluska memiliki beberapa fungsi, diantaranya sebagai skeleton tempat
melekatnya otot, melindungi dari predator, dan pada spesies yang berliang, cangkang
membantu keluarnya lumpur dan pasir dari rongga mantel. Komponen utama dari
cangkang adalah kalsium karbonat dan terbentuk dari deposisi kristalium garam dari
matriks organik sebuah protein yang disebut dengan conchiolin. Tiga lapisan yang
membentuk cangkang adalah (1) lapisan tipis terluar periostratum dari conchiolin, lapisan
ini sering tereduksi akibat abrasi mekanik, organisme pembusuk, dan parasit atau penyakit
(2) lapisan tengah prismatik dari aragonit atau calcite, yaitu bentuk kristalium dari
kalsium karbonat, dan (3) lapisan dalam berkapur, dapat memiliki tekstur yang kasar
maupun lembut tergantung spesies.
Pada perkembangan awal larva, sel ektodermal di regio dorsal dari embrio
mensekresikan cangkang pertama larva. Sekresi cangkang kedua larva dan bagian mantel
kemudian akan terjadi sesaat setelah cangkang pertama selesai. Berlangsungnya
metamorfosis menginisiasi pembentukan cangkang dewasa pada bivalvia. Pada
pembentukan cangkang dewasa, lipatan mantel luar akan mensekresikan lapisan
periostracum dan prismatik, sedangkan lapisan dalam berkapur disekresikan oleh

Universitas Sumatera Utara


9

permukaan mantel secara general. Cangkang lalu tumbuh dengan bertambahnya material
yang didapatkan dan menebal sesuai dengan deposisi zat yang berasal dari permukaan
mantel. Kalsium untuk pertumbuhan mantel didapatkan dari makanan atau kalsium yang
terdapat di perairan. Sedangkan karbonat merupakan turunan bikarbonat dari jaringan.
Warna, bentuk, dan garis pada cangkang bivalvia sangat bervariasi antar genus, sehingga
mengetahui karakteristik cangkang dapat digunakan sebagai identifikasi spesies seperti
yang tertera pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Karakteristik cangkang dalam identifikasi spesies

Karakter Variasi
Bentuk cangkang Oval, sirkular, triangular, elongasi, quadran
Katup cangkang Kedua katup sama (equivalve) atau tidak sama
(inequivalve)
Warna Bagian luar : permukaan, pola ; bagian dalam : putih,
pearly, dll
Ukiran (sculpturing) Garis konsentrik, rigi, lekukan
Ligamen Posisi (internal, eksternal)
Umbo Posisi (anterior, terminal, subterminal)
Adductor scars Jumlah, ukuran, posisi
(Sumber : Gosling E, 2003)

Dua genus tiram daging yang cukup sering dijumpai adalah dari kelompok Ostrea
dan Crassostrea. Pada tiram Ostrea, bentuk cangkang hampir sirkular dan menempel
bersama pada sisi dorsal oleh sebuah ligamen. Katup kanan berbentuk datar sedangkan
bagian kiri seperti menangkup atau melengkung. Sedangkan pada Crassostrea, kedua
katup tidak sama persis, secara umum bentuk cangkang lebih seperti elongasi, bagian
katup kiri menangkup lebih dalam daripada cangkang pada Ostrea seperti yang terlihat
pada Gambar 2.1.
Pada kedua spesies ini, warna cangkang bervariasi antara putih, kuning atau krem,
namun sering pula ditemukan berwarna keunguan atau kecoklatan. Bagian dalam katup
cangkang berwarna pearly-white dan terdapat sebuah lekukan yang besar yang dapat
dilihat pada Gambar 2.2. Cangkang keduanya tebal dan solid, memiliki ukiran konsentrik
yang berbeda, dengan permukaan katup yang menangkup lebih meninggi.

Universitas Sumatera Utara


10

b)

c)c)

Gambar 2. 1 Penampakan cangkang eksternal (a) Ostrea edulis tampak lebih sirkular, (b)
dan (c) cangkang eksternal Crassostrea gigas berbentuk tidak simetris
(Sumber : McKnight dan Chudleigh, 2015).

Gambar 2.2 Penampakan bagian dalam dari Crassostrea gigas, dapat diamati bagian
gonad, insang, mantel, dan otot-otot. (Sumber : McKnight dan Chudleigh,
2015).

Universitas Sumatera Utara


11

2.1.2. Mantel Tiram


Pada bivalvia, mantel terdiri dari dua lobus jaringan yang secara utuh ditutupi oleh
cangkang. Di antara mantel dan organ internal terdapat sebuah rongga atau ruang yang
disebut dengan rongga mantel. Umumnya mantel merupakan bagian yang tipis dan
transparan, namun di bagian tepi dan sifon berwarna lebih gelap, diduga berfungsi untuk
memberikan perlindungan terhadap efek membahayakan dari radiasi solar.
Mantel terdiri dari jaringan ikat dengna pembuluh haemolymph (seperti pembuluh
darah), saraf, dan otot yang sebagian berkembang dekat dengan pinggiran mantel. Cilia
pada permukaan dalam mantel memiliki peranan penting dalam mengarahkan partikel
yang masuk ke insang dan mendefleksikan material yang berat sepanjang traktus rejeksi
melalui pembukaan inhalan yang merupakan titik masuk air pada mantel. Secara periodik,
material yang ditolak atau dikeluarkan akan dieksresikan melalui penutupan spontan dan
paksa pada katup cangkang.
Gaya pada penutupan tersebut cukup untuk mengalirkan material yang ingin
dibuang dari rongga mantel melalui pembukaan inhalan. Mantel juga berperan penting
dalam bioakumulasi logam dan kontaminan organik. Kontaminan organik yang
terakumulasi secara aktif dimetabolisme dan dieliminasi melalui ginjal, sedangkan logam
berat akan bersekuestrasi oleh kelompok protein khusus yang disebut metallothioneins
pada insang, mantel, atau jaringan kelenjar digestif.
Pinggiran atau margin mantel terdiri dari tiga bagian : bagian terluar bersebelahan
dengan cangkang, fokus pada sekresi cangkang; bagian tengah memiliki fungsi sensorik;
bagian dalam merupakan otot dan berfungsi mengendalikan aliran air yang masuk dalam
rongga mantel. Rongga kecil mengandung cairan pallial memisahkan mantel dengan
cangkang, kecuali pada bagian perlekatan otot. Material berkapur dan organis untuk
pembentukan cangkang dideposit pada rongga ini. Mantel melekat dengan cangkang
melalui serat otot pada lekukan dalam; garis perlekatan yang disebut dengan garis pallial
melintang dalam bentuk semisirkular pada jarak dekat dari ujung cangkang. Pada sebagian
besar bivalvia, pinggiran mantel berfusi antara pembukaan inhalan dan ekshalan.

Universitas Sumatera Utara


12

2.1.3. Sistem Pencernaan


Kelenjar pencernaan yang umumnya berwarna coklat atau kehitaman terdiri dari
tubulus yang terhubung ke lambung melalui beberapa duktus bersilia. Situs ini merupakan
situs utama terjadinya pencernaan intraselular. Di dalam duktus ini, terdapat aliran
berkelanjutan dari material yang memasuki kelenjar untuk dicerna secara intraselular dan
di absorpsi, serta aliran sisa-sisa metabolisme yang meninggalkan lambung dan usus.
Struktur tubulus terdiri dari dua jenis sel yaitu sel pencernaan dan sel basofil
(sekretori). Sel pencernaan mengambil material dengan cara pinositosis (mengambil
cairan ekstraselular ke dalam sel) kemudian mencernanya dalam vakuola sel. Sel
pencernaan sewaktu-waktu dapat mengalami kerusakan dan digantikan dengan sel yang
baru.

Gambar 2.3 Sistem pencernaan tiram daging (Sumber : Gosling E, 2003)

Zat sisa dari pencernaan tersebut akan dilepaskan secara langsung dan tertahan
pada membran badan residual. Nantinya zat ini akan dilepaskan ke lumen tubulus,
kemudian dialirkan ke lambung dan usus. Zat sisa ini juga dapat mengandung enzim
pencernaan yang bisa dimanfaatkan lambung untuk pencernaan ekstraselular.

Universitas Sumatera Utara


13

Gambar 2.4 Gambaran potongan melintang kelenjar pencernaan, menunjukkan absorpsi


dan pencernaan intraselular dari material yang masuk ke lambung dan
keluarnya zat sisa dari proses pencernaan. (Sumber: Gosling E, 2003)

Sel basofil membawa sintesis protein yang berlebih, namun fungsi atau peranan
utamanya belum diketahui. Lambung, kelenjar pencernaan, dan usus memproduksi enzim
pencernaan yang beragam. Amilase yang berfungsi memecah karbohidrat ditemukan
dalam konsentrasi tinggi, sedangkan selulase, laminarinase, beta galaktosidase, dan
enzim-enzim lain sebagian besar ditemukan hanya di kelenjar pencernaan saja. Enzim
pemecah lemak seperti esterasi dan alkaline fosfatase dapat ditemukan di lambung,
kelenjar pencernaan, dan usus dari tiram. Kelenjar pencernaan juga memiliki peranan
penting dalam menyimpan cadangan metabolik yang digunakan sebagai sumber energi
selama proses gametogenesis dan periode adanya stres fisiologis. Partikel yang dibuang
dari lambung sebagai material sisa kelenjar pencernaan akan melewati usus dan
membentuk pelet feses yang akan dikeluarkan melalui anus dan tersapu melalui
pembukaan ekshalan.

2.1.4. Gonad Tiram


Pada umumnya sistem reproduksi pada kelas bivalvia cukup sederhana. Gonad
dihasilkan berpasangan namun biasanya terletak sangat berdekatan sehingga sulit untuk
dideteksi. Setiap gonad memiliki tubulus bercabang, dengan gamet terdapat pada setiap
lapisan epitel tubulus ini. Tubulus akan bersatu untuk membentuk saluran yang mengarah
kepada saluran yang lebih besar dan akhirnya berujung pada gonoduct.

Universitas Sumatera Utara


14

Pada bivalvia primitif, gonoduct terbuka ke bagian dalam ginjal, sehingga sel telur
dan sperma akan keluar dari pembukaan ginjal atau yang disebut dengan nephridiopora
ke rongga mantel. Namun pada sebagian besar bivalvia lainnya (termasuk tiram),
gonoduct terbuka melalui pori-pori terpisah menuju ke rongga mantel, dekat dengan
nephridiopora. Pada Crassostrea sp. yang sudah matur, gonad biasanya memiliki
ketebalan 6 – 8 mm dan mungkin merupakan sepertiga dari total berat badannya.

2.2 Aspek Biologi


2.2.1. Dasar Taksonomi atau Klasifikasi
Taksonomi atau klasifikasi adalah suatu cara mengelompokkan makhluk hidup
berdasarkan dari ciri atau karakteristik tertentu. Sistem klasifikasi digunakan oleh semua
ahli biologi sehingga dapat digolongkan dalam jenis yang sama. Hingga saat ini telah
banyak sistem taksonomi yang telah dikembangkan, namun yang masih cukup umum
digunakan hingga saat ini adalah sistem taksonomi Linnaeus karena dianggap lebih
sederhana dan fleksibel sehingga memudahkan proses klasifikasi. Nama yang digunakan
pada sistem taksonomi Linnaeus ditulis dalam bahasa Latin. Menurut Soepomo (1987),
dasar-dasar klasifikasi makhluk hidup adalah sebagai berikut :
a) Berdasarkan persamaan yang dimiliki, misalnya persamaan ciri-ciri dan pola
hidup sehingga dapat digolongkan dalam jenis yang sama
b) Berdasarkan perbedaan yang dimiliki, selain ada persamaan antar beberapa
makhluk hidup, terdapat pula perbedaan antar makhluk hidup tersebut
c) Berdasarkan ciri morfologi dan anatomi, mengelompokkan makhluk hidup
berdasarkan persamaan dan perbedaan yang tambah berdasarkan bentuk dan
susunan tubuh
d) Berdasarkan ciri biokomia, penilaian dilakukan dari jenis-jenis enzim, jenis
protein, dan jenis DNA yang menjadi penyusun tubuh
e) Berdasarkan manfaat, berdasarkan manfaat maka dapat ditentukan langkah yang
tepat dalam memanfaatkan kelebihan suatu kelompok individu secara lebih
optimal

Universitas Sumatera Utara


15

2.2.2. Tingkatan Taksonomi


1) Kingdom
Kingdom adalah takson tingkatan tertinggi makhluk hidup. Sebagian besar ahli
berpendapat bahwa secara garis besar makhluk hidup dikelompokkan dalam 5 kingdom
yaitu Monera (bakteri), Protista (sebagian besar organisme sel tunggal dan beberapa
algae), Fungi (jamur), Plantae (tumbuhan), dan Animalia (hewan). Tiram daging berasal
dari kingdom Animalia atau hewan.

Gambar 2.5 Urutan taksonomi dari terbesar hingga terkecil, semakin ke bawah organisme
semakin spesifik.

2) Filum/Divisio (Keluarga Besar)

Istilah filum digunakan pada kingdom animalia, sedangkan pada kingdom plantae
(tumbuhan), istilah yang digunakan adalah divisio. Filum/divisio merupakan kumpulan
atau himpunan beberapa kelas yang memiliki satu atau lebih ciri yang sama. Tiram daging
berada pada filum moluska yang memiliki ciri bertubuh lunak dengan dilapisi bagian kulit
keras serta tidak bertulang belakang. Tubuh moluska pada umumnya terdiri dari kaki,

Universitas Sumatera Utara


16

massa visceral, dan mantel. Ukuran dan bentuk tubuh jenis moluska dapat beragam,
seperti keong, siput, kerang, serta tiram.
3) Kelas/Class

Beberapa ordo dengan persamaan ciri dimasukkan dalam satu kelas. Tiram daging
termasuk dalam kelas bivalvia yang mencakup seluruh kerang-kerangan. Bivalvia juga
berarti dua cangkang. Contoh organisme yang termasuk dalam kelas bivalvia adalah tiram,
kerang, kupang, remis, kiji, dll.
4) Ordo
Kelompok organisme dari kelas yang sama dengan persamaan yang lebih spesifik
dari klasifikasi sebelumnya.
5) Famili
Famili adalah klasifikasi lebih lanjut dari ordo dengan persamaan atau
karakteristik yang lebih spesifik lagi.
6) Genus
Genus adalah kelompok spesies yang berhubungan dekat. Nama genus dituliskan
pada bagian awal nama biologi dari suatu organisme.
7) Spesies
Spesies adalah gabungan organisme yang dapat melakukan perkawinan satu
dengan yang lain dan menghasilkan keturunan.

2.2.3. Klasifikasi dan Habitat


Tiram adalah organisme makrozoobenthos karena bersifat mendiami dasar
perairan selama hidupnya (benthos) (Fadli et al. 2012) dan berukuran kasat mata. Tiram
daging merupakan golongan bivalvia (kerang-kerangan) yang memiliki bentuk, tekstur,
dan ukuran berbeda-beda antar spesiesnya. Ciri utama kelompok bivalvia yaitu memiliki
tubuh lunak yang dilindungi oleh dua katup cangkang. Sebagian besar bivalvia bersifat
filter feeder, yaitu mengambil makanan dengan menyaring air, sedangkan sebagian
lainnya adalah karnivora dan scavenger.
Kelas bivalvia memiliki kurang lebih 1500 spesies, umumnya hidup di kedalaman
perairan laut yang beragam. Biota jenis ini dapat dimanfaatkan manusia, baik daging

Universitas Sumatera Utara


17

maupun cangkangnya. Daging bivalvia mengandung nilai gizi tinggi sehingga sangat baik
untuk dikonsumsi, sedangkan cangkangnya mengandung CaCO3, Mg, dan Na yang dapat
dimanfaatkan sebagai aksesori dan ornamental industri (Yulianda 2003; Sahin et al. 2006;
Nadjib 2008).
Tiram daging (famili Ostreidae) merupakan salah satu famili dari kelas bivalvia
yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Tiram daging memiliki cangkang dengan
tekstur kasar, irregular, dan tebal. Tiram ini berperan penting dalam pembentuk ekosistem,
dalam siklus nutrien, dan sebagai penghubung antar bentik-pelagis. Peningkatan populasi
tiram daging akan membantu dalam mengurangi eutrofikasi antropogenik. Selain itu, nilai
gizi tiram daging menjadikannya sebagai komoditas ekonomi bagi masyarakat.
Berdasarkan penelitian (Delmendo 1989; Izwandy 2006), tiram memiliki daging yang
rendah kalori, energi 78 kcal, protein 9,70 g, lemak 1,80 g, gula 5 g, kalsium 55 mg, besi
3,60 g, vitamin A 55 IU, vitamin B1 0,16 mg, vitamin B2 0,32 mg, dan vitamin C 4 mg,
sehingga tiram daging kerap diperjualbelikan masyarakat sebagai makanan bergizi.
Born (1778) menyatakan klasifikasi tiram daging adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Filum : Moluska
Kelas : Bivalvia
Ordo : Ostreoida
Famili : Ostreidae
Genus : Crassostrea
Spesies : Crassostrea sp.

Tiram daging umumnya terdistribusi hampir di setiap perairan pesisir, hidup di


perairan yang hangat dan terlindung seperti laut dangkal, estuaria, teluk, dan laguna. Biota
ini menyukai permukaan landai dengan berbagai jenis substrat seperti lumpur, pasir,
kerikil, serta kayu hingga batu. Tidak jarang tiram daging tumbuh melekat pada puing-
puing bangunan di tepi laut (Dame et al. 2001; Lejart dan Hily 2011).

Universitas Sumatera Utara


18

Menurut Klinbunga et al. (2005) tiram hidup pada kawasan pesisir, perairan
dangkal, teluk dan muara, dimana penyebarannya meliputi daerah tropis dan subtropis.
Daerah tropis menyediakan hutan mangrove yang luas, dimana tiram menyukai batang
mangrove sebagai media melekatnya sepat tiram (Trivedi et al. 2015). Selanjutnya
menurut Wang et al. (2013) menyebutkan bahwa penyebaran tiram sangat dipengaruhi
oleh arus yang berperan membawa larva tiram sampai menemukan media melekat yang
sesuai. Karena memiliki siphon yang pendek, tiram memiliki kebiasaan makan dengan
cara menyaring makanan melalui air (filter feeder). Oleh karena cara makan ini, tiram
dapat menyerang sebagian besar air beserta kandungan unsur didalamnya, termasuk
plankton, sehingga tiram dapat dijadikan sebagai bioindikator dari perairan.

2.2.4 Substrat Dasar


Substrat merupakan campuran dari fraksi lumpur, pasir, dan liat yang ada dalam
tanah. Keberadaan organisme di suatu perairan sangat ditentukan oleh karakteristik dasar
dari perairan tersebut, seperti substrat dasar berupa batu-batu pipih dan bebatuan kerikil
merupakan lingkungan yang baik bagi kehidupan benthos (Odum 1971). Hal ini
menyebabkan pada perairan dengan substrat dasar tersebut kepadatan dan
keanekaragaman dari benthos akan tinggi.
Menurut Nybakken (1992) substrat berpasir dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe
substrat berpasir halus dan substrat berpasir kasar. Laju pertukaran air pada tipe substrat
berpasir kasar lebih cepat dan kandungan bahan organik rendah, menyebabkan oksigen
terlarut akan terus tersedia sehingga proses dekomposisi berlangsung secara aerob dan
keadaan toksik dapat diminimalisasikan. Sedangkan tipe substrat berpasir halus memiliki
laju pertukaran air yang lambat sehingga kurang baik untuk pertumbuhan organisme
perairan. Substrat kasar umumnya lebih sering ditemukan pada perairan dengan arus kuat
karena pada perairan jenis ini, partikel kecil akan terbawa arus ke tempat yang lebih
rendah, sedangkan partikel besar akan mengendap (Odum 1971). Penangkapan bivalvia
secara terus menerus akan mempengaruhi kestabilan substrat sebab substrat berpotensi
teraduk oleh alat tangkap yang digunakan.

Universitas Sumatera Utara


19

2.2.5 Peranan Tiram Daging Terhadap Ekosistem


Crassostrea sp. dapat menjadi pembentuk ekosistem yang efisien, terutama pada
lingkungan dengan sedimentasi halus melalui pembentukan batu karang biogenik.
Struktur keras ini menyediakan habitat untuk spesies yang beragam karena memberikan
permukaan untuk melekat, proteksi terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim, berlindung
dari predator, atau tempat berkembang biak. Karena kebiasaan makan berupa filter
feeders, Crassostrea gigas dapat membantu menghilangkan substansi dalam air dan
mengonversikan nutrien menjadi bentuk yang dapat diakses, sehingga secara tidak
langsung meningkatkan efisiensi produksi primer dari vegetasi akuatik (Shumway et al.
2003; Ruesink et al. 2005). Selain itu, tiram dapat menjadi indikator kualitas air, karena
memiliki kemampuan untuk menyaring racun dan mikroba dari lingkungan sekitarnya.
Hasil dari analisis indicator kualitas perairan melalui tiram dapat membantu dan menjadi
dasar pertimbangan dalam aspek kesehatan masyarakat pula.

2.3 Kebiasaan Makan Tiram Daging


Sebagian besar bivalvia menggunakan insang untuk makan. Metode makan ini
disebut dengan suspensi atau filter feeding karena insang yang memiliki traktur siliar
berbeda dapat menyaring partikel tersuspensi dari perairan masuk ke dalam rongga
mantel. Insang ini membagi rongga mantel menjadi dua bukaan yaitu bukaan inhalan dan
bukaan ekshalan. Air yang masuk ke bukaan inhalan atau disebut juga dengan siphon,
akan dibawa dari bukaan inhalan ke bukaan ekshalan oleh silia yang terdapat pada insang
dan permukaan mantel, kemudian keluar melalui bukaan ekshalan.

2.3.1 Regulasi Volume Ingesti pada Tiram Daging


Pada tiram, insang memiliki fungsi makan sekaligus fungsi respirasi sehingga
penting bagi kelompok bivalvia memiliki mekanisme yang memisahkan kedua fungsi ini.
Seluruh partikel yang ditangkap oleh insang akan dibawa menuju lipatan labia sepanjang
lekukan insang bagian ventral meskipun konsentrasi partikel tinggi. Satu-satunya struktur
yang mampu untuk memproduksi pseudofaeeces untuk membantu kontrol volume ingesti
adalah lipatan labia.

Universitas Sumatera Utara


20

Spesies golongan bivalvia memiliki kemampuan untuk menutup lekukan insang


bagian ventral setelah paparan berkepanjangan terhadap suatu konsentrasi partikel
sehingga dapat menghentikan fungsi makan dari insang. Material yang masuk terlalu
banyak akan terakumulasi disekitar mulut dan kemudian melewati lipatan labia kembali
untuk dikeluarkan.

2.3.2 Seleksi Partikel Sebelum Proses Ingesti


Sumber makanan tiram terdiri dari berbagai jenis partikel tersuspensi seperti
bakteri, fitoplankton, mikrozooplankton, detritus, dan juga terdapat material organik
seperti asam amino dan gula. Namun, material organik tersebut terlarut bersama dengan
pasir atau lumpur yang konsentrasinya lebih tinggi. Sebagai kompensasi terhadap dilusi
dari material organik, bivalvia memiliki kemampuan untuk memisahkan material organik
(misalnya algae) dengan material inorganik. Selain itu, bivalvia juga memiliki
kemampuan untuk memilah alga berdasarkan ukurannya. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Shumway et al. (1985), suatu spesies alga dapat di filtrasi oleh beberapa
spesies bivalvia, tetapi juga dapat ditolak oleh beberapa spesies bivalvia yang berbeda.
Lokasi anatomi sebagai tempat pemilahan berbeda antar setiap spesies bivalvia. Lokasi
tersebut dapat berada pada insang atau pada lipatan labia.
Pada keadaan medium dengan konsentrasi partikel terlarut rendah, maka bivalvia
akan menyaring semua partikel tersebut. Berbeda halnya apabila bivalvia berada di
lingkungan dengan konsentrasi partikel yang melebih ambang batasnya, maka rasio
partikel yang disaring menjadi konstan dan konsentrasi partikel yang berlebih akan
dibuang sebagai pseudofaeces. Ambang batas konsentrasi setiap bivalvia bervariasi,
bergantung pada spesies, ukuran tubuh individu, dan jenis partikel yang disaring.

2.4 Pertumbuhan Tiram Daging


Menurut Effendie (1997) pertumbuhan adalah perubahan ukuran panjang atau
berat dalam periode waktu tertentu. Pertumbuhan dapat digambarkan sebagai
pertambahan aspek panjang, berat basah atau berat kering, dan volume suatu organisme
dalam waktu tertentu. Secara fisik pertumbuhan dinilai dari adanya perubahan ukuran atau

Universitas Sumatera Utara


21

jumlah sel penyusun jaringan tubuh, sedangkan secara morfologis pertumbuhan


digambarkan melalui adanya perubahan bentuk. Secara energetik, pertumbuhan dinilai
dari perubahan kandungan total energi tubuh pada perioder tertentu. Pertumbuhan
dibedakan menjadi dua menurut Effendie (1997), yaitu pertumbuhan mutlak dan
pertumbuhan nisbi.
a) Pertumbuhan mutlak adalah perbedaan panjang atau berat pada dua waktu yang
berbeda.
b) Pertumbuhan nisbi adalah panjang atau berat yang dicapai dalam suatu periode
tertentu, yang dihubungkan dengan panjang atau berat awal periode.

2.4.1 Laju Pertumbuhan Tiram Daging


Tiram daging memiliki laju pertumbuhan tercepat pada tiga bulan pertama
kehidupannya. Umumnya tiram dapat bertumbuh sekitar 10 mm/bulan. Pertumbuhan
dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama adalah ketersediaan makanan. Makanan atau
nutrisi yang tersedia harus dalam jumlah dan kualitas yang baik. Makanan bagi tiram
diantaranya adalah algae, bakteria, detritus, dan organisme kecil lainnya yang berukuran
sepuluh mikron atau lebih kecil. Peningkatan temperatur dan salinitas juga dapat
meningkatkan laju pertumbuhan. Pertumbuhan akan terus terjadi sepanjang tahun kecuali
adanya periode musim dingin atau periode pemijahan.
Pada masa mendekati pemijahan, pertumbuhan tiram akan melambat karena
sebagian besar energi yang didapatkan dari makanan digunakan untuk perkembangan dan
pembentukan gamet. Glikogen adalah substansi yang digunakan sebagai energi cadangan
pada pembentukan gonad.

2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan


Pertumbuhan tiram mencakup pertumbuhan daging dan cangkang. Faktor yang
mempengaruhi keduanya dapat berbeda, sehingga kecepatan pertumbuhan daging tidak
selalu seiring dengan pertumbuhan cangkangnya. Kecepatan pertumbuhan daging
dipengaruhi oleh ketersediaan sumber makanan, kematangan gonad, dan perubahan

Universitas Sumatera Utara


22

setelah pelepasan gonad. Pertumbuhan cangkang dipengaruhi oleh kadar kalsium yang
terdapat dalam perairan.
Indeks kematangan Gonad (IKG) adalah hasil persentase (%) dari perbandingan
gonad dengan berat tubuh (jaringan lunak). IKG berfungsi untuk mengetahui perubahan
kualitatif yang terjadi pada tiram, sehingga diharapkan dapat diketahui kapan kira-kira
pemijahan terjadi (Fisher et al. 1996). Alokasi energi pada pertumbuhan somatik ke
jaringan atau organ reproduksi membentuk hubungan berbanding terbalik (Octavina et al.
2014). Pertumbuhan somatic direpresentasikan melalui nilai Indeks Berat Daging (IBD),
sedangkan IKG digunakan sebagai pembeda kematangan gonad berdasarkan berat gonad.
IKG akan secara alami berhubungan dengan ukuran dan berat tubuh.
Menurut penelitian yang dilakukan Octavina et al. (2014), saat IKG meningkat,
terjadi penurunan IBD yang diduga karena pada saat terjadi pemijahan, maka terjadi
pengalihan energi yang signifikan dari pertumbuhan somatik ke pertumbuhan reproduksi
dan proses lainnya, seperti vitellogenesis. Setelah proses pemijahan selesai, maka IBD
akan kembali meningkat. Hal ini juga berlaku sebaliknya, saat IBD meningkat, maka IKG
akan menurun diduga karena tiram sedang berada dalam masa pertumbuhan.

Gambar 2.6 Teknik pengukuran morfologi tiram dilakukan dengan cara mengukur
panjang total, lebar, dan tinggi dari cangkang (Sumber : Octavina, 2014).

Universitas Sumatera Utara


23

Tabel 2.2 Keterangan pengukuran morfologi tiram

No Kode Karakter Keterangan


1 PT Panjang Jarak yang diukur dari bagian anterior hingga posterior
Total tiram.
2 L Lebar Jarak yang diukur dari sisi kiri hingga kanan tiram.
3 T Tinggi Jarak yang diukur dari bagian atas hingga bawah tiram.

2.4.4 Kurva Pertumbuhan


Pertumbuhan pada bivalvia biasanya dilihat pada perubahan ukuran dan berat dari
setiap spesies dalam satuan umur. Laju pertumbuhan paling tinggi terjadi pada tahun
pertama dari kehidupan dan semakin melambat sesuai dengan bertambahnya usia.
Beberapa rumus dapat digunakan untuk menghitung kurva pertumbuhan, namun rumus
von Bertalanffy (1938) adalah rumus yang paling lazim digunakan.
Persamaan rumus ini adalah :

lt = L•(1 - exp[-k(t - t0)] (2.1)


dimana :
l panjang saat umur t
L. merupakan ukuran maksimal yang dapat dicapai dalam habitat bivalvia
–k merupakan pertumbuhan konstan yang menunjukan L. telah tercapai.

Rumus pertumbuhan ini dapat digunakan dengan asumsi bahwa bivalvia memiliki
batasan pertumbuhan maksimal yang dapat tercapai selama masa hidupnya. Namun pada
beberapa jenis bivalvia yang hidup dalam habitat tertentu, terdapat kemungkinan
terjadinya pertumbuhan yang tidak terbatas selama masa kehidupan. Dalam kasus in,
kalkulasi pertumbuhan bivalvia dapat dikerjakan menggunakan pengukuran polynomial.
Modifikasi nilai L. dan –k dapat dikerjakan dengan menggunakan rumus Ford-
Walford dimana panjang saat umur t dapat menggunakan t+1 tahun, dan nilai L. yang
dapat digunakan adalah nilai dimana kurva mencapai 45o atau dengan persamaan :
y/1-Slope (2.2)
dimana y merupakan titik potong paling tinggi pada y Axis.

Universitas Sumatera Utara


24

Gambar 2.7 Kurva pertumbuhan menurut von Bertalanffy digunakan untuk


memperkirakan panjang bivalvia pada umur tertentu (Sumber: Suradi W,
2007).

2.5 Dinamika Populasi


2.5.1 Dinamika Populasi dan Stok
Dinamika populasi merupakan suatu kondisi perubahan, baik penambahan
maupun pengurangan dari suatu populasi. Penambahan populasi dapat terjadi karena
masuknya individu lain yang berasal dari perairan berbeda (imigrasi) dan adanya
kelahiran (natalitas). Sedangkan pengurangan populasi dapat dikarenakan kematian
(mortalitas) atau keluarnya individu dari populasi sebelumnya ke wilayah lain.

Gambar 2.8 Keseimbangan dinamika populasi di suatu wilayah dipengaruhi oleh natalitas,
imigrasi, mortalitas, dan emigrasi (diadaptasi dari: Suradi W, 2007).

Universitas Sumatera Utara


25

Sekelompok organisme dari spesies yang sama dengan karakteristik yang sama
dan menempati suatu daerah geografis tertentu disebut sebagai stok. Stok adalah
organisme dengan batas geografis yang dapat ditentukan, dan kegiatan penangkapan atau
eksploitasi kelompok tersebut juga dapat ditentukan. Stok juga bersifat dinamis karena
dapat mengalami penambahan maupun pengurangan. Penambahan terjadi melaui
pertumbuhan dan rekruitmen, sedangkan pengurangan terjadi karena mortalitas alami dan
penangkapan.

Gambar 2.9 Keseimbangan stok dipengaruhi oleh komponen pertumbuhan, rekruitmen,


penangkapan, dan mortalitas (diadaptasi dari: Suradi W, 2007).

2.5.2 Rekruitmen
Rekruitmen adalah penambahan baru organisme ke dalam stok perikanan
(Effendie, 1997). Stok merupakan kelompok ukuran ikan (dapat juga tiram) yang tersedia
dalam periode waktu tertentu sehingga dapat ditangkap dengan alat. Rekruitmen sangat
dipengaruhi oleh jumlah organisme yang siap memijah setiap musim pemijahan, dan laju
mortalitas pada rentang waktu pada periode pemijahan sampai mencapai ukuran stok
(mortalitas pre-rekruitmen). Mortalitas pre-rekruitmen terdiri dari mortalitas terkait
kepadatan (density dependent) dan mortalitas yang tidak terkait dengan kepadatan (density
independent). Contoh mortalitas yang tidak terkait dengan kepadatan adalah perubahan
kualitas air dan penangkapan.
Ricker (1975) menjelaskan keterkaitan antara stok jumlah organisme yang siap
memijah dan penambahan anggota baru dengan pertumbuhan populasi sebagai berikut :
1) Bila tidak terjadi pemijahan, maka tidak ada rekruitmen

Universitas Sumatera Utara


26

2) Masing-masing populasi memiliki kapasitas untuk tumbuh, kecuali populasi yang


akan punah
3) Keterbatasan jumlah suatu populasi karena adanya faktor alam yang dapat
meningkatkan laju mortalitas sehingga pertumbuhan populasi terhambat

2.5.3 Mortalitas
Mortalitas yang terjadi pada bivalvia dapat diakibatkan oleh faktor ekstrinsik
seperti suhu yang ekstrim, faktor biologis seperti predator, penyakit, dan pencemaran
lingkungan. Selain itu, penangkapan yang berlebihan juga merupakan faktor penting
dalam peningkatan laju mortalitas pada bivalvia. Pada stadium larvae, bivalvia sangat
rentan terhadap ancaman dari predator. Hal ini mengakibatkan adanya penurunan jumlah
larvae bivalvia secara signifikan yang dapat mencapai usia dewasa. Seiring dengan
peningkatan usia, mortalitas yang terjadi secara alami akan berkurang secara drastis.
Biasanya mortalitas yang terjadi secara alami diakibatkan oleh adanya perubahan
ekosistem secara masif yang menimbulkan konsekuensi pada kehidupan bivalvia, seperti
turunya kadar oksigen karena peningkatan jumlah algae secara drastis. Satu hal yang
paling sering mengakibatkan peningkatan laju mortalitas pada bivalvia dewasa adalah
tingginya aktifitas penangkapan untuk konsumsi manusia.
Salah satu cara untuk menghitung jumlah mortalitas dengan persamaan adalah
dengan menghitung jumlah organisme yang bertahan hidup seiring dengan pertambahan
usia sebagai suatu catch curve. Pada spesies yang diasumsikan sebagai suatu komoditas
yang ditangkap untuk dikonsumsi dengan asumsi bahwa laju mortalitas alami konstan,
jumlah spesies yang bertahan cenderung berkurang secara eksponensial seiring dengan
waktu dan pertambahan usia.
Hal ini dapat dirumuskan dalam persamaan :

lnNt =lnN0 –Zt (2.3)

dengan Nt adalah jumlah spesies yang bertahan hidup dalam t tahun


No merupakan jumlah spesies diawal waktu pertumbuhan
Z sebagai total mortalitas saat waktu t

Universitas Sumatera Utara


27

Apabila persamaan ini ditransformasikan kedalam suatu grafik makan Nt akan


terlihat sebagai suatu kurva lurus yang dinamakan Catch curve (Gambar 2.10).

Gambar 2.10 Catch curve, menunjukkan algoritme alami dari jumlah spesies berbanding
dengan pertambahan usia (Sumber: Suradi W, 2007).

Kematian secara alami pada bivalvia dapat dilakukan dengan penghitungan secara
langsung dengan menggunakan metode kohort atau dengan menghitung jumlah cangkang
yang ditemukan dan di analisa. Metode ini dilakukan dengan pengambilan sampel pada
intertidal dan subtidal ditambah dengan analisa pada jumlah kematian spesies yang
dilakukan pada periode waktu tertentu. Cara ini merupakan cara yang paling efektif dalam
menentukan jumlah kematian alami pada bivalvia. Kekurangan metode ini adalah skala
yang digunakan pada penelitian terbatas hanyak pada skala kecil.
Analisa menggunakan cangkang mati hanya dapat dilakukan pada beberapa grup
seperti kerang dan tiram yang dapat ditentukan usianya dari garis pertumbuhan cangkang.
Metode ini menggunakan bivalvia dengan cangkang mati yang masih utuh dan belum
terbuka. Pada kematian secara alami, cangkang akan terfiksasi oleh ligamen dari bivalvia,
hal ini berbeda dengan kematian akibat penangkapan oleh manusia yang biasanya
dilakukan ekstraksi pada bivalvia dengan menghancurkan ligamen dari organisme
tersebut.

Universitas Sumatera Utara


28

Kematian akibat penangkapan dapat diestimasikan dengan menghitung tingkat


kepadatan sebelum dan sesudah penangkapanm atau dengan swept-area methods.
Penggunaan metode ini disesuaikan dengan alat yang dimiliki. Pada swept-area methods,
mortalitas dapat dikalkulasikan menggunakan formula :
F = fe(a/A) (2.4)
Dimana:
fe adalah jumlah unit yang digunakan pada tahun tersebut
e adalah efisiensi dari mesin penangkapan
a adalah jumlah area yang dijangkau oleh unit penangkapan
A adalah jumlah keseluruhan lapangan penangkapan yang tersedia

Formula ini dapat digunakan dengan asumsi bahwa penangkapan dilakukan secara
acak pada lapangan penangkapan yang tersedia. Permasalahan yang masih banyak
ditemukan di lapangan adalah nelayan cenderung mengambil bivalvia pada satu tempat
tertentu hingga jumlahnya mencapai jumlah minimal, kemudian berpindah ke tempat
lainya. Hal ini mengakibatkan adanya bias karena perhitungan.

2.6 Biologi Reproduksi Tiram


2.6.1 Organ reproduksi pada tiram
Alat reproduksi merupakan bagian penting dari kelangsungan hidup suatu
organisme, jika organ reproduksi pada organisme tidak baik, maka keseimbangan
organisme tersebut di alam dapat mengalami gangguan. Secara keseluruhan hewan
mempunyai dua jenis kelamin yaitu jantan yang mengeluarkan cairan sperma untuk
berkembang biak dan betina yang mengeluarkan sel telur untuk bereproduksi. Tiram
bersifat dioecius yang berarti mempunyai dua organ seksual yang terpisah. Tiram pada
individu yang sama dapat bersifat jantan, dapat bersifat betina ataupun pada kondisi yang
sama dapat bersifat jantan-betina. Oleh sebab itu tiram merupakan hewan yang bersifat
hermaprodit, yaitu hewan yang mempunyai dua jenis kelamin.
Terdapat bermacam-macam hermaprodit yang ada pada hewan:

Universitas Sumatera Utara


29

1. Hermaprodit singroni yaitu bila di dalam gonad suatu individu terdapat dua sel
kelamin jantan dan betina dan matang bersamaan.
2. Hermaprodit protandi yaitu di dalam tubuh suatu organisme akan berubah dari satu
jenis kelamin ke kelamin yang lain akibat proses diferensiasi, yaitu dari jenis
kelamin jantan menjadi kelamin betina. Hermaprodit ini dapat dipengaruhi oleh
kondisi nutrisi di alam. Tiram kebanyakan bersifat hermaprodit protandi.
3. Hermaprodit protogini yaitu diferensiasi dari jenis kelamin betina ke kelamin
jantan.

Pada tiram ketiga macam hermaprodit tersebut dapat di alami. Pada masa
pertumbuhan awal, umumnya tiram akan memiliki organ seksual jantan. Setelah
pemijahan pertama, jika kondisi lingkungan mendukung tiram tersebut dapat berubah
menjadi tiram betina. Pada beberapa kondisi tiram juga dapat bersifat hermaprodit
protogini.

2.6.2 Rasio Seksualitas Tiram


Berdasarkan penjelasan di materi sebelumnya bahwa tiram bersifat dioecious,
yaitu organisme jantan dan betina merupakan organisme yang terpisah, sehingga
reproduksi dilakukan secara seksual. Tiram daging umumnya memulai hidup dengan jenis
kelamin jantan, kemudian berubah menjadi betina jika lingkungan perairan kondusif, dan
dapat kembali lagi menjadi jantan. Fenomena ini disebut dengan hermafrodit protandi.
Pada masa pemijahan pertama, sebagian besar individu muda adalah jantan. Setelah masa
pemijahan kedua, jumlah individu dalam populasi total untuk tiap jenis kelamin hampir
setara.
Protandri (pergantian jenis kelamin) terjadi diantara masa pemijahan. Hermafrodit
fungsional (baik pada jantan maupun betina) dapat ditemukan pula pada tiram dewasa,
namun hanya sekitar kurang dari 1% dari seluruh populasi tiram dewasa, tetapi dapat
ditemukan hampir 99% pada seluruh area populasi tiram.
Rasio seksual setelah masa pemijahan sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan
dan stress fisiologis pada tiram. Tiram daging yang hidup di lingkungan perairan kurang

Universitas Sumatera Utara


30

baik atau mengalami jejas fisik cenderung tidak akan berkembang menjadi betina, sebab
untuk menjadi tiram betina dibutuhkan energi lebih pada proses perkembangan gonad.
Lingkungan dan kondisi fisiologis yang tidak mendukung dapat membatasi jumlah energi
yang dapat disimpan untuk perkembangan gonad betina.
Siklus seksual dimulai dengan pemijahan yang dipengaruhi oleh suhu perairan.
Gametogenesis serta maturasi ovum dan sperma mengikuti peningkatan temperatur,
karena temperatur mampu menstimulasi terjadinya pemijahan. Selain itu, faktor lain yang
mempengaruhi masa pemijahan adalah salinitas, umumnya lebih dari 10 ppt. Fitoplankton
juga dapat menstimulasi tiram daging untuk memijah melalui induksi kimiawi. Pada
kondisi normal, pelepasan simultan dari sperma dan ovum ke air memegang peranan
penting dalam kesuksesan reproduksi tiram. Adanya sperma dan ovum tersebut akan
menstimulasi tiram daging lain untuk ikut memijah karena munculnya respon hormonal.
Tiram betina membutuhkan stimulasi yang lebih kuat dari sperma jantan untuk
memastikan bahwa ovum tidak dilepaskan pada saat tidak adanya sperma. Fertilisasi
terjadi jika ovum dibuahi oleh sperma yang sudah dilepaskan ke air.

2.6.3 Tingkat Kematangan Gonad


Tingkat kematangan gonad adalah tahapan tertentu pada perkembangan gonad
sebelum dan sesudah pemijahan (Effendie, 1979). Proses ini akan memberikan gambaran
perubahan telur dari segi bentuk, ukuran maupun warna. Perkembangan gonad akan
semakin matang menjelang terjadinya pemijahan, dan sebagian besar hasil metabolisme
dan nutrisi yang diperoleh tertuju pada perkembangna gonad. Penilaian tingkat
kematangan gonad penting utuk mengetahui perbandingan organisme yang bereproduksi
atau tidak, serta dapat mengetahui kapan terjadinya pemijahan pada suatu organisme.
Terdapat enam tahapan perkembangan Gonad menurut Mikolsky (1969) dan Fajar
(1999), yaitu sebagai berikut :
a. Tingkat 1 : Tahap muda (immature), gonad berukuran sangat kecil, organisme
belum memasuki masa untuk bereproduksi.
b. Tingkat 2A : Tahap istirahat (resting stage), gonad belum berubah, telur belum
dapat dideteksi atau dibedakan tanpa alat, produk seksual belum berkembang.

Universitas Sumatera Utara


31

c. Tingkat 2B : Tahap proses pematangan, secara kasat mata telur sudah dapat
dibedakan, terdapat peningkatan laju pertumbuhan dan peningkatan berat gonad
secara cepat.
d. Tingkat 3 : Tahap maturasi (mature), gonad mencapai berat maksimum dan
produk seksual telah matur/matang, telur siap dikeluarkan untuk pemijahan.
e. Tingkat 4 : Tahap reproduksi (spawning/reproduction), produk seksual yang
sudah matur akan dilepaskan, berat gonad akan menurun seiring pemijahan terjadi
hingga selesai.
f. Tahap 5 : Kondisi salin (spent condition), pemijahan telah selesai, ovum dalam
gonad hanya terisi telur sisi, testis berisi sperma sisa.

2.6.4 Indeks Kematangan Gonad


Indeks kematangan gonad adalah gambaran perubahan yang terjadi pada gonad
secara kuantitatif. Indeks kematangan gonad dinilai berdasarkan perbandingan berat
gonad dengan berat tubuh keseluruhan dinyatakan dalam persentase, sehingga perubahan
nilai indeks kematangan gonad berhubungan erat dengan tahapan perkembangan telur.
Pertumbuhan ukuran gonad dan diameter telur didalamnya akan membuat gonad semakin
bertambah berat dan mencapai batas maksimum saat pemijahan terjadi (Effendie, 1997).
Perhitungan IKG berdasarkan formula Gaughan dan Mitchell (2000) :
Wg
IKG = x 100% (2.5)
Wt

Dimana:
IKG = indeks kematangan gonad (%);
Wg = berat gonad (gram);
Wt = berat tubuh (gram).

2.6.5 Fekunditas
Fekunditas merupakan jumlah telur yang matang sebelum dilepaskan pada masa
pemijahan, disebut juga sebagai fekunditas individu atau fekunditas mutlak. Sedangkan
fekunditas relatif adalah jumlah telur persatuan panjang atau berat. Besarnya fekunditas
dipengaruhi oleh umur serta panjang atau berat tubuh organisme. Ukuran tubuh betina

Universitas Sumatera Utara


32

dapat digunakan dalam memperkitakan potensi telur yang dapat dihasilkan oleh
organisme tersebut (Chondar, 1977).
Menurut Effendie (1997), karena penyusutan panjang relatif lebih kecil daripada
berat yang dapat berkurang dengan mudah, fekunditas lebih erat dihubungkan dengan
panjang daripada berat.
Perhitungan fekunditas dapat dilakukan menggunakan rumus metode gravimetrik
(Andy dan Omar, 20015) sebagai berikut :
F = Bg x Fs (2.6)
Bs

Dimana:
F = jumlah telur total (butir);
Bg = berat gonad total;
Bs = berat gonad sebagian;
Fs = jumlah telur sebagian gonad (butir).

Selain fekunditas mutlak dan relatif, terdapat fekunditas populasi yang merupakan
jumlah semua telur dari fekunditas mutlak betina yang akan mengalami pemijahan, atau
dengan kata lain adalah semua telur yang dilepaskan dalam satu kali musim pemijahan
(Bagenal 1978) (Effendie, 1997). Fekunditas populasi dapat diperkirakan berdasarkan
persebaran umur dan jumlah masing-masing anggota yang telah diketahui. Penilaian
fekunditas dan indeks kematangan gonad menjadi salah satu aspek penting dalam bidang
biologi perikanan karena berkaitan erat dengan dinamika populasi, produksi, dan pola
rekruitmen suatu organisme.

2.6.6 Dismorfisme Seksual


Dismorfisme seksual adalah perbedaan karakteristik antara jantan dan betina
dalam satu spesies selain organ seksualnya. Perbedaan karakteristik dapat berupa warna,
bentuk, ukuran, struktur. Perbedaan ini juga dapat berupa fisiologis maupun sikap.

Universitas Sumatera Utara


33

2.6.7 Rasio Seksual


Rasio seksual adalah perbandingan jantan dan betina dalam suatu populasi. Rasio
seksual dapat bervariasi pada populasi yang berbeda-beda. Rasio seksual dapat dihitung
menggunakan rumus Adenike (2003) sebagai berikut :
Rasio seksual = Jumlah jantan/ jumlah betina (2.7)

2.7 Fase Kematangan Gonad


Sugiwara (in Imai 1982). Siklus gametogenesis dibagi menjadi beberapa kategori
untuk perkembangan jantan dan perkembangan betina sebagai berikut :
Stadium 0 : belum berkembang secara seksual. Folikel belum ada atau masih kecil
dan bentuknya memanjang. Dinding ditutupi oleh epitel germinativum yang belum
berdiferensiasi. Jaringan ikat sudah berkembang secara luas. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Octavina (2014) terhadap tiram di Kuala Gigieng Banda Aceh, tipe gonad
tiram daging di Kuala Gigieng adalah seperti pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.11 Stadium kematangan gonad (a) tipe gonad belum dapat dibedakan antara
jantan dan betina, (b) gonad jantan (panah merah menggambarkan sel
sperma yang telah matang), (c) gonad betina (panah hitam menunjukkan
oosit matang), (d) hermafrodit betina terlihat lebih banyak oosit daripada
sel sperma, (e) hermafrodit jantan menunjukkan lebih banyak sel sperma
daripada oosit. (Sumber: Octavina, 2014).

Universitas Sumatera Utara


34

2.7.1 Gametogenesis Jantan


1. Stadium I : Proliferasi. Spermatogonia dan beberapa spermatosit dapat terlihat di
epitel germinativum. Jaringan ikat berlimpah. Dengan meningkatnya proliferasi,
spermatosit dan spermatid akan membentuk semacam pita disepanjang dinding
folikular. Belum ada spermatozoa bebas yang terobservasi dalam lumen.
2. Stadium IIa : Kematangan dini. Komponen sel dari rangkaian proses
spermatogenesis dapat diamati melalui lumen folikel. Jaringan ikat akan
berkurang seiring dengan terjadinya kematangan. Spermatozoa bebas dapat dilihat
pada lumen.
3. Stadium IIb : Kematangan sempurna. Jaringan interfolikular dan epitel
germinativum mencolok.
Folikel dipenuhi oleh spermatozoa yang tersusun secara padat, dengan ekor
spermatozoa menghadap ke lumen. Terkadang beberapa spermatosit sudah dapat
diamati disekitar dinding folikel.
4. Stadium III : Partially spawned. Sebagian folikel mulai terlihat kosong, terdapat
spermatozoa dalam jumlah besar tersusun secara longgar. Pita kecil dari
spermatosit dan spermatid dapat diobservasi sepanjang dinding folikel.
5. Stadium IV : Totally spawned. Ukuran folikel berkurang secara drastic namun
beberapa spermatozoa masih menetap di lumen. Dinding folikel mengandung
beberapa sel germinativum yang menyebar.
6. Stadium V : Post-spawning. Jaringan ikat kembali berkembang secara cepat
disekitar folikel yang telah kolaps. Spermatozoa residual dan sel fagositik dapat
dilihat pada lumen halus dalam folikel.

Universitas Sumatera Utara


35

Gambar 2. 12 Stadium kematangan gonad jantan. (a) proliferasi, (b) kematangan dini, (c)
kematangan sempurna, (d) pemijahan sebagian (partially spawned), (e)
pemijahan selesai. (Sumber : Octavina, 2014)

2.7.2 Gametogenesis Betina

Gambar 2.13 Stadium kematangan gonad betina. (a) proliferasi, (b) kematangan dini, (c)
kematangan sempurna, (d) pemijahan sebagian (partially spawned), (e)
pemijahan selesai. (Sumber: Octavina, 2014)

Universitas Sumatera Utara


36

1. Stadium I : Proliferasi. Folikel dalam gonad mulai mengembangkan sel sekunder


yang menutupi dinding folikel. Pada stadium yang lebih lanjut, pertumbuhan
folikel dan oosit dapat diamati.
2. Stadium IIa : Kematangan dini. Beberapa oogami dan oosit previtellogenik
terlihat di dinding folikel. Pada lumen dapat dilihat adanya oosit vitellogenik
pedunkulata.
3. Stadium IIb : Kematangan sempurna. Batasan antara folikel tidak dapat
dibedakan. Lumen terisi penuh dengan oosit vitellogenik berbentuk polihedrikal.
Secara makroskopik, terlihat gonad berwarna putih dan teksturnya lembut.
4. Stadium III : Partially spawned. Oosit bebas tersusun longgar dalam jumlah
besar, dan terdapat ruang kosong yang bisa diamati dalam lumen. Dapat terlihat
pula oosit yang melekat pada dinding folikel.
5. Stadium IV : Totally spawned. Terlihat folikel kolaps, sebagian kecil oosit yang
tidak dilepaskan tetap secara bebas berada di dalam lumen.
6. Stadium V : Post-spawning. Folikel telah kolaps dan berukuran kecil. Sel
fagositik dapat ditemukan dalam jumlah besar dan oosit residual mengalami
sitolisis. Jaringan ikat mulai berkembang kembali. Frekuensi relatif dari stadium
perkembangan gonad diperoleh melalui siklus tahunan.

2.7.3 Faktor yang Mempengaruhi Gametogenesis


Suhu merupakan faktor eksogen tunggal yagn paling sering disebutkan berperan
dalam mempengaruhi gametogenesis pada bivalvia. Bayne (1975) melaporkan bahwa
terdapat hubungan linier antara gametogensis dan laju perubahan suhu. Setiap spesies
memiliki kisaran batas atas dan batas bawah suhu untuk hidup spesies tersebut. Pada
kisaran suhu ini gametogenesis terjadi saat suhu mencapai suhu optimum untuk tumbuh.
Pada beberapa spesies, persediaan makanan menjadi faktor yang lebih penting daripada
suhu untuk menentukan kapan terjadinya gametogenesis. Hal ini disebabkan kebutuhan
energi meningkat pada proses gametogenesis sehingga bergantung pada ketersediaan
makanan, cadangan energi yang tersimpan, atau keduanya. Faktor lingkungan seperti
suhu dan persediaan makanan diketahui berperan melalui reseptor

Universitas Sumatera Utara


37

sensoris pada nervus ganglia. Sel neurosekretori pada ganglia yang terstimulasi akan
mensekresi neurohormon yang merangsang efek fisiologis pada gonad. Sebagian besar sel
neurosekretori dapat ditemukan pada ganglia serebropleural. Aktivitas sel ini rendah selama
fase istirahat gametogenesis dan akan meningkat secara progresif seiring dengan
perkembangan gonad, mencapai aktivitas maksimum sesaat sebelum pemijahan.

2.8 Pemijahan
Tiram merupakan biota laut yang bersifat dicecious yaitu memiliki dua jenis
kelamin jantan dan betina. Umumnya pada jenis bivalvia hanya terjadi reproduksi secara
seksual yang terdiri dari fase perkembangan gonad, fase pemijahan dan pembuahan, serta
fase perkembangan dan pertumbuhan. Fase perkembangan gonad dibagi menjadi stadium
berkembang dan stadium matur (matang). Pada stadium berkembang, terjadi beberapa
substadium yang nantinya akan menjadi stadium matur saat rongga folikel terisi oleh sel-
sel telur atau spermatozoa. Pada fase pemijahan dan pembuahan, sel telur atau sperma
yang telah matur siap untuk dipijah dan menjalani pembuahan.

Pembuahan terjadi melalui adanya stimulasi-stimulasi alami seperti perubahan


suhu, salinitas, cahaya, tekanan, arus, dan sifat fisika kimia perairan lainnya. Pemijahan
tiram biasanya terjadi sepanjang tahun di perairan tropis (Bae et al. 1978; Almeida et al.
1999; Barber 1996). Tiram dapat bertelur dalam tahun pertama kehidupannya. Tiram yang
lebih besar akan memproduksi gamet lebih banyak dibandingkan yang berukuran kecil
(Brusca et al. 1974; Mann et al, 1991). Terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kelangsungan proses bertelur tiram.

Universitas Sumatera Utara


38

Gambar 2.14 Siklus hidup tiram daging. Tiram jantan dan betina akan melepaskan
spermatozoa dan oosit ke dalam air sehingga memungkinkan terjadinya
fertilisasi. Oosit yang dibuahi kemudian berkembang menjadi larva hingga
kemudian menjadi pediveliger, larva yang telah memiliki kaki, berfungsi
untuk membantu larva mencari substrat yang sesuai untuk perlekatan. Fase
hingga menjadi larva pediveliger membutuhkan waktu kira-kira 2 minggu
pada kondisi yang optimal. Setelah mendapatkan substrat yang sesuai
untuk melekat, larva lalu berkembang menjadi tiram muda dan
berkonsentrasi untuk membentuk cangkangnya. Setelah 1 hingga 3 tahun
kemudian, tiram muda telah menjadi tiram dewasa. Tiram berusia lebih
dari 1 tahun sudah dapat melepaskan spermatozoa atau oosit kembali ke
dalam air, dan meneruskan proses reproduksi (Sumber: Karen R, dalam
Lowe M et al, 2012).

Untuk bertelur, tiram perlu mendapat asupan yang cukup yang berasal dari
fitoplankton, kemudian menggunakan energi yang dihasilkan untuk pertumbuhan gonad,
dapat berupa oosit maupun spermatozoa nantinya. Peningkatan suhu air diikuti dengan
peningkatan atau penurunan salinitas umumnya memberikan stimulus kepada tiram untuk
perkembangan gonad. Proses ini dapat berlangsung hingga dua bulan (Bochenek et al.
2001). Saat tiram jantan melepaskan spermatozoa nya ke air, maka tiram disekitarnya

Universitas Sumatera Utara


39

akan menyaring air tersebut sehingga dapat mendeteksi adanya spermatozoa. Hal ini akan
memicu tiram betina untuk melepaskan oosit untuk menyempurnakan proses reproduksi.
Spermatozoa dan oosit akan bertemu satu sama lain dalam air, kemudian terjadi proses
fertilisasi, dimana hasil fertilisasi ini (embrio) dapat terbawa ke tempat lain yang berbeda
dengan tempat induk menetaskannya.

Gambar 2.15 Pertumbuhan Crassostrea sp. (A). Larva muda (B). Larva pediveliger sudah
memiliki kaki untuk berenang dan mencari substrat yang sesuai (C). Larva
pada stadium lebih lanjut (D). Cangkang tiram (E). Cangkang tiram dewasa
(Sumber: Invasive Species Compendium, 2018).

Telur yang sudah dibuahi akan mengalami pembelahan sel hingga membentuk
larva muda (juvenile larvae). Larva tiram dapat hidup selama 2 minggu kedepan dan
mengalami proses maturasi melalui beberapa tahap berbeda. Larva berenang dalam air
untuk mengikuti fitoplankton yang merupakan sumber makanan utamanya. Larva tiram
tidak dapat berenang secara horizontal, namun dapat bergerak secara vertikal pada
ketinggian tertentu.
Saat larva sudah berumur sekitar 2 minggu dan sudah dalam stadium pediveliger
(larva dengan kaki), larva ini mulai terkonsentrasi di bawah perairan untuk menjadi
substrat yang keras. Kaki ini membantu larva untuk merangkak ke sekitarnya agar bisa
menemukan substrat yang sesuai untuk mereka melekat (Borges 2002). Saat larva sudah

Universitas Sumatera Utara


40

berhasil melekat pada lokasi yang sesuai, mereka mulai melekat dengan cangkangnya dan
mengalami metamorphosis sempurna secara anatomi. Tiram ini kemudian mulai makan
dan mentransfer seluruh energi yang dihasilkannya untuk pembentukan cangkang dengan
cara mensekuestrasikan kalsium karbonat dari perairan. Tiram ini menjadi tiram muda
pada usia 1 tahun, dan menjadi tiram dewasa setelah 3 tahun. Umumnya tiram bertumbuh
satu inchi tiap tahunnya, bergantung pada salinitas dan kualitas dari perairan. Pada lokasi
dengan salinitas yang lebih tinggi, tiram akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan
salinitas rendah (CSIRO 2002).
Pada dasarnya aspek biologi reproduksi tiram masih banyak belum diketahui.
Menurut Angell (1986) secara reproduksi parameter suhu tidak berperan signifikan
terhadap kematangan gonad tiram. Selanjutnya hasil penelitian Priyantini et al., (2016)
menyebutkan bahwa fase bulan tidak mempengaruhi tingkat kematangan gonad tiram.
Oleh karena itu aspek reproduksi sangat penting diteliti secara konferensif pada penelitian
ini sehingga memberikan data yang dapat digunakan sebagai pedoman upaya
pengembangan tiram ini kedepan.

2.9 Faktor Lingkungan


2.9.1 Suhu
Data suhu perairan umumnya dimanfaatkan dalam mempelajari gejala-gejala fisik
dalam laut serta membantu menganalisis kaitannya dengan kehidupan, baik hewan
maupun tumbuhan (Nontji 1993). Suhu merupakan salah satu faktor yang cukup banyak
diperhatikan dalam pengkajian kelautan. Suhu menjadi faktor pembatas terhadap
pertumbuhan dan distribusi benthos, termasuk bivalvia. Suhu optimal untuk pertumbuhan
tiram berkisar antara 25 – 300C, suhu air pada 27 – 310C juga masih dianggap kondusif
untuk pertumbuhan tiram.

2.9.2 Salinitas
Salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam satuan gram) yang terlarut
dalam satu liter air, umumnya salinitas dinyatakan dalam satuan permil, gram perliter.

Universitas Sumatera Utara


41

Salinitas disebut juga sebagai kadar garam, dan berfungsi dalam menunjukkan jumlah ion
terlarut.
Perubahan salinitas memberikan dampak terhadap proses difusi dan osmotik.
Menurut Nybakken (1992), musim, topografi, pasang surut dan jumlah air tawar yang
masuk mempengaruhi gradien salinitas pada suatu perairan. Di Indonesia, variasi salinitas
berkisar antara 15 – 32 0/00 gram/liter.

2.9.3 Kedalaman
Diantara kedalaman rendah, kedalaman rata-rata, dan kedalaman maksimum,
perairan dengan kedalaman rata-rata rendah cenderung memiliki produktivitas lebih baik
daripada perairan dalam. Hal ini disebabkan rasio daerah photic dan aphotic lebih besar
pada perairan dangkal karena cahaya matahari dapat menjangkau hingga ke disarm
sehingga kandungan oksigen tinggi dan fotosintesis dapat berlangsung. Perbedaan
kedalaman perairan berpengaruh penting dalam frekuensi kehadiran tiram. Umumnya
tiram hidup secara berkoloni pada kedalaman sekitar 80 cm hingga 200 cm.

2.9.4 Tekstur subtrat


Menurut Fitriani (2003) substrat merupakan tempat hidup dan tempat mencari
makanan bagi hewan, baik epifauna maupun infauna. Pada daerah estuari, substrat yang
mendominasi adalah substrat berlumpur, berasal dari sedimen air tawar, air laut, dan/atau
pembusukan serasah yang jatuh ke dasar perairan. Umumnya substrat dasar perairan
merupakan kombinasi dari lumpur, pasir, dan tanah liat. Substrat dasar perairan
berpengaruh pada kepadatan, komposisi, dan distribusi tiram di suatu perairan.

2.9.5 Derajat keasaman (PH)


Derajat keasaman atau pH berkisar dari 0 (sangat asam) hingga 14 (sangat basa),
berguna menilai jumlah atau aktivitas ion Hidrogen dalam perairan. Penambahan kadar
organik dalam perairan akan menurunkan nilai pH akibat penguraian dari bahan organic
tersebut akan menghasilkan CO2. Perubahan pH dapat berakibat buruk terhadap

Universitas Sumatera Utara


42

kehidupan biota laut. Derajat keasaman air yang optimal untuk pertumbuhan tiram adalah
berkisar antara 7,8 – 8,6.

2.9.6 Oksigen terlarut


Oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO) merupakan komponen penting dalam
sistem perairan karena oksigen terlarut ini merupakan kebutuhan dasar untuk proses
respirasi organisme akuatik, termasuk benthos. Jumlah oksigen terlarut meningkat seiring
dengan penurunan suhu, dan menurun seiring dengan peningkatan salinitas perairan.
Kepekatan oksigen terlarut bergantung kepada suhu, adanya tanaman yang
melakukan fotosintesis, tingkat penetrasi cahaya (kedalaman dan kekeruhan air),
kederasan aliran perairan, dan jumlah bahan organik yang diurai dalam periran
(Sastrawijaya, 2000). Kadar oksigen terlarut minimal untuk menjamin keberlangsungan
kehidupan di air kurang lebih sekitar 5 ppm, selain bergantung kepada ketahanan
organisme, derajat keaktifan, kehadiran bahan pencemar, suhu, dll.

2.9.7 Komposisi C- Organik


Komposisi C-organik perairan merupakan kandungan bahan-bahan organik yang
mampu meningkatkan kesuburan unsur kimia, fisika, dan biologi tanah. Kandungan bahan
organik terlarut ini akan mempengaruhi pertumbuhan, frekuensi kehadian, dan kepadatan
organisme dalam perairan tersebut (Levinton 1982). Salah satu daerah yang memiliki
sejumlah besar bahan organik adalah daerah estuari (Nybakken 1992).

Universitas Sumatera Utara


43

2.10 Crassostrea Sp.

Gambar 2.16 Penampakan makroskopis dari Crassostrea sp. Memiliki dua tangkup
cangkang berbentuk ireguler (Sumber: Thunberg, dalam Nehring S, 2011).

Berdasarkan penelitian oleh Octavina et al. (2014) di Kuala Gigieng Aceh Besar,
diantara genus Crassostrea sp, spesies yang paling banyak ditemukan adalah Crassostrea
gigas. Crassostrea gigas, yang juga dikenal sebagai tiram pasifik, Giant Oyster, tiram
Jepang, tiram Portugis, merupakan moluska bivalvia yang termasuk dalam Famili
Ostreidae. Spesies ini berasal dari Jepang, namun saat ini sudah berkembang di sebagian
besar Negara di dunia sejak abad 20 (Olsen 1994).

Gambar 2.17 Contoh Crassostrea sp. dengan berbagai ukuran dan warna yang berbeda
sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungannya (Sumber: Feng et al,
2015).

Universitas Sumatera Utara


44

Crassostrea gigas merupakan jenis tiram daging yang paling banyak ditemukan
didunia, dan terbukti telah mengalami adaptasi terhadap banyak lingkungan dimana ia
menetap. Gambaran makroskopis tiram Crassostrea gigas dapat dilihat pada Gambar
2.18. Menurut Castanos et al. (2009), sebuah individu atau spesies tertentu yang memiliki
kemampuan untuk tumbuh di kondisi lingkungan secara luas merupakan individu yang
“teliti” untuk mempersiapkan ketahanan dari larvanya.
Bentuk cangkang Crassostrea gigas berbeda saat ia melekat pada substrat yang
berbeda-beda, begitu pula warna cangkangnya untuk beradaptasi dengan lingkungannya,
seperti pada Gambar 2.19 (Borges et al, 2002). Tiram yang melekat pada substrat lunak
relative memiliki laminar yang lebih sedikit daripada tiram yang melekat pada substrat
keras. Selain itu, tiram yang melekat pada batuan keras umumnya memiliki cangkang
yang lebih datar dan menyerupai batu. Meskipun kedua cangkang sama-sama bertekstur
kasar dan berbentuk konkaf (cekung) dan memiliki cekungan bergelombang, namun
kedua cangkang dapat berbeda dalam hal ukuran dan bentuk. Cangkang bagian bawah
memiliki rigi yang lebih jelas dan terkonsentrasi, sedikit lebih besar dan memiliki
cekungan lebih dalam dibandingkan cangkang atasnya. Umumnya panjang cangkang dari
Crassostrea sp. kurang dari 20 cm, namun terdapat beberapa literature yang menyebutkan
bahwa beberapa Crassostrea sp. dapat tumbuh hingga 40 cm dan dapat hidup hingga 30
tahun.
Bagian lunak dari tubuh tiram dapat dibagi menjadi empat bagian: massa visceral
(mengandung sebagian besar sistem organ mayor), muskulus adductor (paling dekat
dengan cangkang), insang, dan dua lobus mantel asimetris seperti terlihat pada Gambar
2.20. Lobus ini sebagian terhubung dengan massa visceral dan terbagi menjadi tiga bagian
oleh Evseev dan Yakovlev (1994) yaitu tebal, tipis, dan mantel marginal. Palp labial
terhubung dengan massa visceral dan matel. Bagian palp yang berhadapan satu sama lain
diselubungi oleh rigi.
Organ yang terdapat dalam massa visceral adalah sebagai berikut:
- Cavitas pericardium: mencakup dua jantung aksesori yang berlokasi pada lobus
mantel dari ruang epibrachial

Universitas Sumatera Utara


45

- Sistem pencernaan: terdiri dari esophagus, lambung, kantung kristalin, dan


intestinal (usus). Lambung berbentuk seperti dumb-bell. Setelah melalui lambung,
terdapat intestinal yang berlekuk di sekitar lambung dan berujung pada anus
sederhana.
Crassostrea sp. merupakan organisme filter feeder, berarti tiram ini akan
menangkap fitoplankton, bakteri, detritus, dan bahan organik lainnya yang tersuspensi
dalam air, proses ini dibantu oleh alat penangkap khusus (siphon) dalam tubuh
Crassostrea sp. saat air mengalir melaluinya. Crassostrea sp. berukuran sedang mampu
menyaring 30 liter air perjam.
Crassostrea sp., terutama Crassostrea gigas diketahui memiliki toleransi baik
terhadap jangkauan suhu dan kondisi lingkungan, sehingga menjadikannya spesies yang
paling banyak dibudidayakan di dunia (NIMPIS 2002). Salinitas yang dapat ditoleransi
untuk pertumbuhan Crassostrea sp. berkisar antara 10 – 42‰, sedangkan ia
membutuhkan salinitas sekitar 23-36‰ untuk proses fertilisasi. Sumber lain menyebutkan
bahwa salinitas yang optimal untuk pertumbuhan tiram adalah sekitar 20 hingga 25‰
meskipun spesies ini masih bisa ditemukan pada salinitas di bawah 10‰ dan masih bisa
bertahan diatas salinitas 35‰ (Sakai et al. 2001).
Salinitas yang terlalu rendah dapat mempengaruhi gametogenesis tiram.
Crassostrea sp. dapat tumbuh pada suhu 4 – 35oC, dan masih dapat bertahan pada suhu -
5oC. Crassostrea sp. relatif membutuhkan suhu hangat untuk bertelur (diatas 18oC) dan
untuk perkembangan larva (diatas 22oC), sehingga musim panas merupakan masa musim
reproduksi bagi Crassostrea sp (Child dan Laing 1998).
Crassostrea sp. adalah hermafrodit protandi, yang berarti tiram ini dilahirkan
sebagai jantan, dan akan tetap menjadi jantan hingga fase bertelur pertama. Namun tiram
dapat berganti menjadi betina sesuai perubahan lingkungan selama kehidupannya. Jika
sumber makanan memenuhi kebutuhan, tiram jnatan akan bertransformasi menajdi betina
dan bereproduksi, begitu pula sebaliknya jika sumber makanan sulit didapatkan. Tiram
betina dapat memproduksi 50 hingga 100 juta telur setiap musim bertelur, yang dapat
diamati sebagai warna putih susu kekeruhan di dalam air (Wang et al. 2007).

Universitas Sumatera Utara


46

Gambar 2.18 Anatomi Crassostra sp.: (A) penampakan eksternal. (B) Penampakan
cangkang dengan sebagian penampakan internal. (C) penampakan internal
dengan gambaran detail muskulus adductor (mi). (D) region sub-umbonal
pada bagian anterior (E) detail tepi mantel postero-ventral, terlihat
muskulus palial. (F) penampakan umum bagian kanan tiram, cangkang
sudah dilepaskan. (G) palps, anterior dengan sedikit gambaran ventral. (H)
tepi lobus kanan, bagian ventral-media, menunjukkan papilla dari lekukan
internal dan media, terlihat jantung aksesori (ah). (I) mantel kiri, terlihat
detail bagian postero-dorsal (J) insang, bagian dalam dari bagian media.
(K) detail dari rectum (rt) dan anus (an). (Sumber: Amaral, 2014)

Universitas Sumatera Utara


47

2.10.1 Manfaat Crassostrea gigas Terhadap Ekologi


Crassostrea gigas dapat menjadi teknisi ekosistem yang efisien, terutama pada
lingkungan dengan sedimentasi halus melalui pembentukan batu karang biogenik.
Struktur keras ini menyediakan habitat untuk spesies yang beragam karena memberikan
permukaan untuk melekat, proteksi terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim, berlindung
dari predator, atau tempat berkembang biak.
Kebiasaan makan tiram yang berupa berupa filter feeders menyebabkan
Crassostrea gigas dapat membantu menghilangkan substansi dalam air dan
mengonversikan nutrien menjadi bentuk yang dapat diakses, sehingga secara tidak
langsung meningkatkan efisiensi produksi primer dari vegetasi akuatik (Shumway et al.
2003; Ruesink et al. 2005). Selain itu, tiram dapat menjadi indikator kualitas air, karena
memiliki kemampuan untuk menyaring racun dan mikroba dari lingkungan sekitarnya.
Hasil dari analisis indicator kualitas perairan melalui tiram dapat membantu dan menjadi
dasar pertimbangan dalam aspek kesehatan masyarakat pula.

Universitas Sumatera Utara


48

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Metode yang digunakan dalam pengambilan data penelitian ini adalah purposive
random sampling yang merupakan suatu teknik penentuan sampel melalui pertimbangan
tertentu untuk suatu tujuan, sampel diambil secara acak dari populasi yang sudah
ditentukan (Sugiyono 2011).

3.2 Alat dan Bahan Penelitian


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dilampirkan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
NO Alat dan Bahan Jumlah Fungsi
1 GPS 1 Buah Dokumentasi
2 Kamera Digital 1 Buah Dokumentasi
3 Alat Tulis 1 Set Dokumentasi
4 Parang dan Palu 2 buah Pengambilan tiram
5 Timbangan digital 1 buah Alat Penimbang
6 Alkohol 70% 10 Liter Bahan Pengawet
7 Botol Sampel 20 buah Menyimpan sampel
8 Cool Box 10 Buah Tempat Penyimpanan
9 Es Batu Secukupnya Mengawetkan sampel
10 Formalin 10% 35 Liter Bahan Pengawet
11 Termometer raksa 2 buah Pengukur suhu air
12 Refraktometer 1 buah Pengukur salinitas air
13 pH meter digital 1 buah Pengukur pH air
14 Jangka sorong 1 buah Mengukur panjang tiram
15 Gunting 1 Buah Alat Bedah
16 Pisau bedah 1 Buah Alat Bedah
17 Consecutive bath 4 buah Tempat pencampuran
18 Larutan Davidson 4 botol Fiksasi sayatan jaringan
19 Etanol 4 botol Bahan dehidrasi jaringan
20 Xylene 4 botol Bahan dehidrasi jaringan
21 Paraffin Medium sampel
22 Pewarna Haematoxylin- 4 botol Pewarna jaringan
Eosin (HE)
23 Mikroskop Cahaya 2 buah Pengamatan histologi

Universitas Sumatera Utara


49

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di perairan pesisir Kota Banda Aceh sejak Juli hingga
Desember 2017. Pengambilan sampel dilakukan setiap bulan mengikuti arus pasang surut
dan mengikuti data klimatologi yaitu bulan Juli sampai Agustus mewakili musim
kemarau, September musim peralihan antara kemarau dan musim hujan, dan pada bulan
Oktober sampai Desember musim Hujan. Peta lokasi penelitian tertera pada Gambar 3.1.

Universitas Sumatera Utara


50

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian. Penelitian di dua lokasi yaitu Tibang dan Ulee Lheue, dengan masing-masing lokasi dibagi
menjadi 3 titik pengambilan sampel.

Universitas Sumatera Utara


51

3.3.1 Penentuan Stasiun Pengamatan


Penentuan jarak dan letak stasiun didasarkan topografi perairan pesisir Kota Banda
Aceh yang langsung dipengaruhi oleh arus pasang surut air laut dan terkait akses kegiatan
masyarakat terhadap lokasi tersebut. Dengan kondisi kawasan pesisir Kota Banda Aceh
maka ditetapkan 2 stasiun untuk pengambilan sampel yang terletak di Gampong Tibang
dan Ulee Lheu. Kawasan Gampong Tibang ditetapkan 3 stasiun yaitu kawasan mangrove
sebagai stasiun 1, mulut muara sebagai stasiun 2 dan kawasan waduk sebagai stasiun 3.
Kawasan perairan Gampong Ulee Lheue ditetapkan 3 stasiun, yaitu kawasan mangrove
sebelah selatan Pelabuhan Ulee Lheue sebagai stasiun 1, kawasan SPBN (stasiun
pembelian bahan bakar nelayan) sebagai stasiun 2 dan mulut muara sebagai stasiun 3.

3.4 Pengumpulan Data


Data primer didapatkan langsung dengan mengambil tiram yang melekat pada
substrat tertentu pada titik-titik setiap stasiun yang telah ditentukan. Urutan penelitian
meliputi observasi atau pengamatan, pengambilan sampel, pengukuran, dan analisis
laboratorium. Alat bantu yang dibutuhkan untuk memisahkan tiram dari substrat yang
keras adalah parang dan palu. Sampel yang di koleksi minimal 50 individu perbulan dari
setiap stasiun sejak bulan Juli hingga Desember 2017. Pengumpulan data dilakukan secara
primer dan sekunder. Data sekunder didapatkan dari wawancara bersama masyarakat
pesisir di sekitar stasiun pengambilan sampel yang bermata pencaharian sebagai pencari
dan penjual tiram.
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan beberapa informasi seperti daerah
tempat menangkap tiram, kebiasaan atau prilaku menangkap tiram, alat tangkap, hasil
tangkapan, dan waktu-waktu tertentu untuk mendapatkan tiram secara optimal. Pada
setiap stasiun dilakukan wawancara bersama minimal 5 koresponden yang bermata
pencaharian sebagai nelayan tiram. Wawancara juga dilakukan bersama beberapa anggota
Panglima Laot Banda Aceh yang saat ini sedang melakukan budidaya tiram di perairan
Ulee lheu.

Universitas Sumatera Utara


52

3.4.1 Metode Identifikasi


Invertebrata makroskopis berupa tiram daging yang diambil dari masing-masing
stasiun diidentifikasi menggunakan panduan pada buku Panduan Lapangan Identifikasi
Ikan Karang dan Invertebrata Laut oleh Setiawan (2010), serta kunci identifikasi pada
buku Fish and Shellfish Identification oleh Foster (2002).
3.4.2 Transek Pengambilan Sampel
Sampel tiram dan substrat diambil menggunakan metode transek kuadrat
berukuran 1 x 1 meter. Transek akan dipasang sebanyak 3 buah transek garis (line
transect) dengan jarak antar transek adalah 50 meter yang dimulai dari garis pantai ke arah
laut pada saat surut kemudian pada masing-masing transek garis diletakkan kuadran
berukuran 1 x 1 meter. Seluruh tiram yang diambil dari masing-masing transek kemudian
dikelompokkan berdasarkan lokasi stasiun dan dihitung jumlahnya untuk di kelompokkan
berdasarkan ukuran.

3.4.3 Pengambilan Sampel Tiram, Air, dan Substrat


Setiap bulan diambil minimal 50 tiram dari setiap stasiun sesuai dengan arus
pasang surut. Sampel yang diambil di label berdasarkan tanggal pengambilan, waktu
pengambilan, dan lokasi stasiun penelitian, kemudian di masukkan ke dalam cool box dan
dibawa ke laboratorium untuk pengukuran lebih lanjut. Setiap sampel tiram yang
didapatkan diukur panjang dan lebarnya menggunakan jangka sorong, lalu didistribusikan
menurut ukurannya. Berat tiram diukur menggunakan timbangan digital. Pengawetan
tubuh tiram di gunakan NBF (Neutral Buffer Formalin) 10%. Kegiatan pengukuran ini
akan dilakukan di Laboraturium Terpadu FKIP Unsyiah. Untuk analisis bioreproduksi
tiram meliputi pemeriksaan histologi, tingkat kematangan gonad, dan fekunditas di
lakukan di Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah.
Sampel air yang diambil akan dimasukkan dalam botol atau tabung sampel,
kemudian dimasukkan ke cool box dan dibawa ke Laboratorium untuk analisis lebih
lanjut. Penilaian tekstur dan kandungan N-total dan C-organik pada substrat disetiap
stasiun penelitian akan dianalisis di Laboratorium Penelitian Tanah dan Tanaman
Unsyiah.

Universitas Sumatera Utara


53

3.5. Analisis Data


3.5.1. Parameter pertumbuhan
3.5.1.1 Pengukuran morfometrik
Menurut Ferreira et al. (2006) ciri morfometrik yang umum dilakukan pada
moluska adalah panjang, lebar, dan tebal umbo di kedua cangkang. Pengukuran panjang,
lebar, dan tebal umbo dilakukan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0.01 mm.
Panjang cangkang diukur dari ujung anterior hingga tepi ujung posterior, lebar cangkang
diukur dari arah dorsoventral secara vertikal, dan tebal cangkang diukur dari tepi
cangkang bagian atas ke tepi cangkang bagian bawah (Octavina 2014).
Pengukuran berat tubuh total (beserta cangkang) dilakukan menggunakan
timbangan digital dengan ketelitan 0.0001 gram. Bagian interior tubuh tiram dipisahkan
dari cangkangnya untuk pengukuran berat daging tiram. Berat gonad diasumsikan sebagai
berat kedua gonad beserta mantel pada sisi kiri dan kanan cangkang. Hal ini disebabkan
gonad berada disepanjang mantel, sehingga sangat sulit untuk memisahkan keduanya
(Allison 2008). Sampel tiram yang telah diawetkan, diukur karakter morfometrik. Metode
yang digunakan dengan pengukuran traditional morphometric. Pengukuran traditional
morphometric mengacu pada Batista et al. (2008) dan Octavina et al. (2014). Perhitungan
pengukuran dilakukan seperti pada Gambar 3.2 dan Tabel 3.2.

Gambar 3. 2 Teknik pengukuran traditional morphometric dilakukan dengan mengukur


panjang, lebar, dan tinggi dari cangkang tiram (Sumber: Octavina, 2014).

Universitas Sumatera Utara


54

Tabel 3.2 Pengukuran traditional morphometric

No Kode Karakter Keterangan


1 PT Panjang Total Jarak yang diukur dari bagian anterior hingga posterior
tiram.
2 L Lebar Jarak yang diukur dari sisi kiri hingga kanan tiram.
3 T Tinggi Jarak yang diukur dari bagian atas hingga bawah tiram.

Hasil pengukuran selanjutnya ditransformasikan melalui microsoft exceel dengan


rumus mengacu pada Schindler dan Schmidt (2006) sebagai berikut:

M×100
= (3.1)
TL

Dimana:
Mtrans = transformasi data
M = data hasil pengukuran
TL = Panjang total.

Data yang telah ditransformasikan dimasukkan dalam aplikasi SPSS versi 22.0 dan
dilakukan uji Univariate (ANOVA) dan Multivariate (discriminant function analysis,
DFA) (Batista et al., 2008). Hasil analisis yang didapat menjelaskan tingkat kedekatan
karakter morfologi antar populasi berbeda namun dalam spesies yang sama.

3.5.1.2 Distribusi frekuensi – panjang


Dugaan kelompok ukuran dilakukan dengan melakukan analisis terhadap
frekuensi panjang. Frekuensi panjang tiram yang diambil di distribusikan ke dalam
beberapa kelompok dengan asumsi sebaran data normal. Distribusi frekuensi panjang
diperoleh dengan cara menentukan selang kelas, nilai tengah kelas, dan frekuensi dalam
setiap kelompok panjang (Komala et al. 2011).

3.5.1.3 Analisa pertumbuhan


Analisis pertumbuhan atau khususnya dinamika populasi tiram menggunakan
metode pertumbuhan Von Bentalaffy. Analisis dilakukan meliputi frekuensi panjang,

Universitas Sumatera Utara


55

prediksi umur, laju mortalitas (mortalitas total, alami, penangkapan dan eksploitasi) dan
proses rekruitmen. Data yang dikoleksi selama 6 bulan penelitian selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan program FISAT II.
Pertumbuhan tiram dianalisa menggunakan persamaan Von Bertalanffy (Sparred
dan Venema 1999) sebagai berikut :
Lt = L∞ (1 − exp− ( − )
) (3.2)
Dimana:
Lt = panjang tiram pada umur t (mm);
L∞ = panjang infinitif (mm);
K = koefisien pertumbuhan perhari;
t0 = dugan umur teoritis tiram pada panjang nol.

Analisa struktur umur menggunakan metode pergeseran kelas modus dengan


Model Von Bertalanffy sebagai berikut :
(∆L/∆t) = (L2 – L1)/(t2 – t1) (3.3)
L(t) = (L2 + L1) (3.4)
Dimana:
(∆L/∆t) = pertumbuhan relatif;
∆L = panjang tiram;

∆t = selisih waktu;
L(t) = panjang rata-rata dari modus data

Dengan memplot nilai L(t) dan (∆L/∆t) dapat diperoleh persamaan sederhana linier :
Y = a + bx (3.5)
Dimana :
a = ((∑bivalvia/n) – (b(∑x/n))
b = (n∑(xy) – (∑x)(∑bivalvia)) / (n∑x2 – (∑x)2)

Universitas Sumatera Utara


56

Nilai panjang rata-rata modus dari metode tersebut digunakan untuk menghitung
panjang asimtotik (L∞), koefisien pertumbuhan (K) yaitu :
K = -b (3.6)
L∞ = -a/b

Untuk mengetahui umur teoritik t0 (waktu teoritik saat panjang tiram nol)
menggunakan persamaan Pauly (1979) dalam Craig (1999) sebagai berikut :
Log(-t0) = 0.3922 – 0.2752 Log (L∞) – 1.0382 Log k (3.7)

Untuk mendapatkan umur relatif pada berbagai ukuran panjang digunakan


penurunan rumus Model Von Bertalanffy oleh Gulland (1976) yaitu :
-ln (1 – Lt/L∞) = -K (t0) + K (t) (3.8)
t = t0 – ln*(1 – 1(Lt/L∞)) (3.9)

3.5.1.4 Hubungan Panjang dan Berat


Pola pertumbuhan tiram dapat diketahui dengan adanya hubungan panjang
cangkang dan berat tubuh yang dianalisis melalui hubungan persamaan power regression
sebagai berikut :
W = aLb (3.10)
Dimana:
W = berat total (gram);
L = panjang total (mm);
a dan b = konstanta.

Persamaan tersebut kemudian diubah menjadi bentuk linier sebagai berikut Log W = log
a + b log L, sehingga :
∑ log W x ∑(log L)2− ∑(log L x log W)
Log a = (3.11)
N x ∑(log L)2− (∑ log L)2
∑ log W−N x log a
b= (3.12)
∑ log L

Universitas Sumatera Utara


57

Nilai b = 3 merepresentasikan pertumbuhan isometrik atau pertambahan panjang


seimbang dengan peningkatan berat tubuh. Nilai b ≠ 3 menunjukkan pertumbuhan dengan
sifat allometrik, dimana b < 3 menunjukkan bahwa pertambahan panjang lebih cepat
daripada peningkatan berat tubuh, sedangkan b > 3 menunjukkan peningkatan berat tubuh
lebih cepat dari pertambahan panjang (Effendie 1997).
Pengujian nilai b ≥ 3 atau b < 3 dilakukan uji T (T-test) dengan hipotesis :
H0: b ≥ 3, hubungan panjang – berat bersifat allometrik positif.
H1 : b < 3, hubungan panjang – berat bersifat allometrik negatif.
Analisis data dan uji T-test ini dilakukan menggunakan program SPSS for
Windows versi 23.0. Jika didapatkan nilai p atau probabilitas < 0.05 maka H0 diterima,
sedangkan jika nilai p > 0.05 maka H0 ditolak (Komala et al. 2011).

3.5.2. Parameter biologi reproduksi


3.5.2.1 Tingkat kematangan gonad (TKG)
Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) dilakukan secara visual dengan
mengacu pada Angell (1986). Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui kematangan
dan organ reproduksi betina dan jantan, sehingga dapat diketahui dugaan ukuran tubuh
tiram pada saat terjadi kematangan gonad. Untuk tujuan ini dilakukan pengambilan tiram
dengan berbagai ukuran, lalu didistribusikan dalam beberapa kelompok atau kelas
berdasarkan ukuran tubuhnya. Data kematangan gonad dikorelasikan dengan panjang dan
berat tubuh tiram pada setiap kelas. Sampel tiram yang tertangkap dibedah perutnya,
kemudian diamati bentuk gonad, ukuran, warna dan tekturnya serta keberadaan cairan
sperma atau oosit. Kemudian gonad diawetkan dan diperiksa secara histologi sesuai
prosedur yang telah dijelaskan sebelumnya.
Tingkat kematangan gonad ditentukan berdasarkan gambaran anatomi dan morfologi
gonad, penimbangan berat gonad, penentuan indeks kematangan gonad, dan berdasarkan
hasil pengamatan dari preparat histologi Roberts (2012).
1. Mula-mula massa visceral tiram dipisahkan dari cangkangnya, lalu dilakukan
pengambilan gonad. Gonad dicuci menggunakan normal saline NaCl 0,9% lalu
direndam dalam larutan Buoin selama 24 jam (campuran 15 cc asam pikrat jenuh

Universitas Sumatera Utara


58

+ 5 cc formalin pekat). Kemudian gonad dipindahkan dalam larutan alkohol 70%


beberapa kali hingga warna kekuningan hilang.
2. Dehidrasi I. Gonad direndam dalam beberapa konsentrasi alkohol yaitu 30%,
50%, 70%, 80%, 90%, dan 95% selama 2 jam, lalu direndam dalam alkohol 100%
I, 100% II, 100% III masing-masing selama 1 jam.
3. Penjernihan I. Gonad direndam dalam campuran larutan alkohol 100% dan xylen
dengan perbandingan 1 : 1 selama 45 menit, lalu direndam dalam xylol I, xylol II,
xylol III, masing-masing selama 45 menit.
4. Infiltrasi. Organ gonad dimasukkan dalam campuran xylol dan parafin dengan
perbandingan 1: 1 pada suhu sekitar 650C selama 45 menit, kemudian direndam
dalam parafin I, parafin II, parafin III masing-masing pada suhu 630C selama 45
menit.
5. Penanaman. Gonad ditanam dalam balok paraffin hingga paraffin mengeras,
umumnya membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
6. Pemotongan. Pemotongan dilakukan dengan mikrotom dengan cara memotong
spesimen secara tipis (5 – 6 µm), lalu preparat diletakkan di atas gelas objek
dengan bantuan diapungkan di atas air hangat dengan suhu kira-kira 500C.
7. Deparafinasi. Deparafinasi adalah sebuah tahap menjelang pewarnaan xilol untuk
membersihkan paraffin dari jaringan yang telah disiapkan. Tahapan ini dilakukan
dengan cara merendam preparat secara berturut-turut dalam xylol I, xylol II,
masing-masing selama 5 menit.
8. Dehidrasi. Preparat kemudian direndam dalam alkohol 100% I, 100% II, 95%,
90%, 80%, 70%, masing-masing selama 2 -3 menit, lalu direndam dalam air biasa
agar spesimen berwarna bening.
9. Pewarnaan. Pewarna yang digunakan adalah Hematoxylin eosin. Preparat
direndam dalam hematoxylin selama 3 menit, lalu dicuci dengan air mengalir yang
tidak terlalu deras. Preparat kemudian direndam dalam eosin selama beberapa
menit, lalu cuci kembali dengan air mengalir.
10. Dehidrasi II. Preparat direndam dalam alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100% I,
100% II, masing-masing selama 1 menit.

Universitas Sumatera Utara


59

11. Penjernihan II. Preparat direndam dalam xylol I, xylol II, perendaman masing-
masing dilakukan selama 1 menit.
12. Penutupan. Preparat diberikan label sesuai dengan perlakukan atau nama,
kemudian ditutup menggunakan gelas penutup dengan perekat atau Canada
balsam, lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 12 jam.
Jaringan gonad diklasifikasikan berdasarkan skala kematangan yang digunakan oleh
Sugiwara (in Imai 1982). Siklus gametogenesis dibagi menjadi beberapa kategori untuk
perkembangan jantan dan perkembangan betina sebagai berikut :
Stadium 0 : belum berkembang secara seksual. Folikel belum ada atau masih kecil
dan bentuknya memanjang. Dinding ditutupi oleh epitel germinativum yang belum
berdiferensiasi. Jaringan ikat sudah berkembang secara luas. Stadium perkembangan
gonad tiram jantan dapat dilihat pada Gambar 10, dan perkembangan gonad tiram betina
dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 3. 3 Stadium kematangan gonad jantan. (A) Proliferasi (X 100). (B) Maturasi (X
400). (C) Partially spawned (X 400).(D) Totally spawned (X 400) (Sumber:
Gosling E, 2003).

Universitas Sumatera Utara


60

Perkembangan Jantan
Stadium I : Proliferasi. Spermatogonia dan beberapa spermatosit dapat terlihat di epitel
germinativum. Jaringan ikat berlimpah. Dengan meningkatnya proliferasi, spermatosit
dan spermatid akan membentuk semacam pita disepanjang dinding folikular. Belum ada
spermatozoa bebas yang terobservasi dalam lumen.
Stadium IIa : Kematangan dini. Komponen sel dari rangkaian proses spermatogenesis
dapat diamati melalui lumen folikel. Jaringan ikat akan berkurang seiring dengan
terjadinya kematangan. Spermatozoa bebas dapat dilihat pada lumen.
Stadium IIb : Kematangan sempurna. Jaringan interfolikular dan epitel germinativum
mencolok. Folikel dipenuhi oleh spermatozoa yang tersusun secara padat, dengan ekor
spermatozoa menghadap ke lumen. Terkadang beberapa spermatosit sudah dapat diamati
disekitar dinding folikel.
Stadium III : Partially spawned. Sebagian folikel mulai terlihat kosong, terdapat
spermatozoa dalam jumlah besar tersusun secara longgar. Pita kecil dari spermatosit dan
spermatid dapat diobservasi sepanjang dinding folikel.
Stadium IV : Totally spawned. Ukuran folikel berkurang secara drastic namun beberapa
spermatozoa masih menetap di lumen. Dinding folikel mengandung beberapa sel
germinativum yang menyebar.
Stadium V : Post-spawning. Jaringan ikat kembali berkembang secara cepat disekitar
folikel yang telah kolaps. Spermatozoa residual dan sel fagositik dapat dilihat pada lumen
halus dalam folikel.

Perkembangan Betina
Stadium I : Proliferasi. Folikel dalam gonad mulai mengembangkan sel sekunder yang
menutupi dinding folikel. Pada stadium yang lebih lanjut, pertumbuhan folikel dan oosit
dapat diamati.
Stadium IIa : Kematangan dini. Beberapa oogami dan oosit previtellogenik terlihat di
dinding folikel. Pada lumen dapat dilihat adanya oosit vitellogenik pedunkulata.

Universitas Sumatera Utara


61

Gambar 3.4 Stadium kematangan gonad betina (X 400). (A) Proliferasi. (B) Maturasi. (C)
Partially spawned.(D) Totally spawned (Sumber: Gosling E, 2003).

Stadium IIb : Kematangan sempurna. Batasan antara folikel tidak dapat dibedakan.
Lumen terisi penuh dengan oosit vitellogenik berbentuk polihedrikal. Secara
makroskopik, terlihat gonad berwarna putih dan teksturnya lembut.
Stadium III : Partially spawned. Oosit bebas tersusun longgar dalam jumlah besar, dan
terdapat ruang kosong yang bisa diamati dalam lumen. Dapat terlihat pula oosit yang
melekat pada dinding folikel.
Stadium IV : Totally spawned. Terlihat folikel kolaps, sebagian kecil oosit yang tidak
dilepaskan tetap secara bebas berada di dalam lumen.
Stadium V : Post-spawning. Folikel telah kolaps dan berukuran kecil. Sel fagositik dapat
ditemukan dalam jumlah besar dan oosit residual mengalami sitolisis. Jaringan ikat mulai
berkembang kembali. Frekuensi relatif dari stadium perkembangan gonad diperoleh
melalui siklus tahunan.

Universitas Sumatera Utara


62

3.5.2.2 Indeks kematangan gonad (IKG)


Pengukuran IKG dilakukan dengan cara mengambil sampel tiram yang sudah
ditimbang berat dan diukur panjang tubuhnya, kemudian dilakukan pembedahan untuk
memisahkan gonad, lalu ditimbang menggunakan timbangan digital. Indeks kematangan
gonad dihitung dengan mengacu pada Gaughan dan Mitchell (2000), dengan rumus:

Wg
IKG = x 100% (3.13)
Wt

Dimana:
IKG = indeks kematangan ginad (%);
Wg = berat gonad (gram);
Wt = berat tubuh (gram).

3.5.2.3 Fekunditas
Perhitungan fekunditas dilakukan menggunakan mikroskop binokuler
dikarenakan ukuran sampel telur hanya ±50 µm/butir. Sampel telur terlebih dahulu
ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0.00 gram. Gonad yang telah
ditibang selanjutnya dibedah menggunakan pisau bedah. Gonad yang telah dibedah
selanjutnya dihitung sebagian dibawah mikroskop, dimana sebagian sampel gonad yang
diamati juga telah ditimbang. Hasil hitungan dibawah mikroskop kemudian dicatat dibuku
dokumentasi. Fekunditas ditentukan dengan menggunakan rumus metode gravimetrik
(Andy dan Omar 2005) sebagai berikut :
F = Bg x Fs (3.14)
Bs

Dimana:
F = jumlah telur total (butir);
Bg = berat gonad total;
Bs = berat gonad sebagian;
Fs = jumlah telur sebagian gonad (butir).

Universitas Sumatera Utara


63

3.5.2.4 Analisis histologi dan siklus reproduksi


Jenis kelamin dan kematangan gonad setiap tiram ditentukan berdasarkan
pemeriksaan histologi. Prosedur pembuatan preparat histologi dengan metode irisan
dilakukan mengacu pada Roberts (2012).

3.5.2.5 Sex Ratio


Analisis sex ratio bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara jumlah
individu jantan dan betina dalam suatu populasi. Dari hasil pengamatan TKG dan
pemeriksaan histologi akan dapat diketahui dengan pasti jenis kelamin setiap individu
tiram sampel, sehingga dapat di hitung perbandingan jumlah individu antara betina dan
jantan. Sex ratio dihitung dengan rumus Adenike (2013) sebagai berikut :
Jumlah jantan
Sex ratio = (3.15)
Jumlah betina

3.5.3 Pengambilan Sampel Fitoplankton


Pengambilan sampel plankton dilakukan pada titik stasiun pengamatan yang sama
dengan pengukuran parameter kualitas air dengan menggunakan Plankton net nomor 25.
Plankton net tersebut dilengkapi dengan botol penampung untuk menampung sampel
yang tersaring. Pada setiap titik pengamatan (3 stasiun per lokasi) dilakukan penyaringan
air sebanyak 100 liter melalui jaring Plankton net dengan menggunakan ember plastik
volume 10 liter sebanyak 10 kali pengambilan, sehingga dihasilkan air sampel yang
tertampung di dalam botol sampel (botol film) volume 25 mL.
Sampel tersebut diawetkan dengan menggunakan larutan formalin 4%. Fitoplankton
yang diperoleh diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi Marine Plankton
(Newell dan Newell, 1977), The Fresh Water Algae (Prescod, 1979).
a) Identifikasi sampel plankton
Botol sampel yang berisi sampel plankton digoyang secara perlahan hingga
homogen, kemudian sampel diambil menggunakan pipet tetes dan diteteskan ke
dalam ruang kaca benda. Kaca benda diletakkan di bawah mikroskop kemudian
dilakukan pencacahan serta identifikasi dengan metode lapang pandang.

Universitas Sumatera Utara


64

b) Kelimpahan plankton
Kelimpahan jenis fitoplankton dihitung berdasarkan rumus mengacu pada APHA
(1989) sebagai berikut:

N = x x
1
x (3.16)

dengan :
N = Jumlah individu per liter (ind/l)
Oi = Luas gelas penutup preparat (mm2)
Op = Luas satu lapangan pandang (mm2)
Vr = Volume air tersaring (ml)
Vo = Volume satu tetes air contoh (ml)
Vs = Volume air yang disaring oleh jaring plankton (L)
n = Jumlah plankton pada seluruh lapangan pandang
p = Jumlah lapangan pandang yang teramati

3.5.4 Parameter kualitas perairan


Parameter kualitas perairan yang diukur adalah temperatur, salinitas, dan pH
dicatat setiap bulan selama periode pengumpulan sampel. Alat yang digunakan untuk
mengukur ketiga faktor ini adalah thermometer raksa, refraktometer, dan pH meter digital.
Pengukuran temperatur, salinitas, dan pH dilakukan secara insitu.

Universitas Sumatera Utara


65

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Parameter Pertumbuhan


4.1.1 Analisis morfometrik
a. Univariate analysis
Hasil uji statistik terhadap karakter morfometrik tiram yang diteliti menunjukkan
berbeda nyata (P<0.05) pada setiap karakter dari 6 populasi tiram (Tabel 4.1). Hal ini
menunjukkan terdapat perbedaan karakter morfologi yang terjadi pada 6 populasi tiram
walaupun spesies yang sama. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena perbedaan keadaan
lingkungan sehingga mempengaruhi bentuk morfologi tiram.

Tabel 4.1 Hasil uji statistik karakter morfometrik pada setiap populasi tiram. Nilai yang
diikuti superscript yang berbeda menunjukkan berbeda signifikan (P<0.05).

Karakter Gampong Tibang Gampong Ulee Lheue Sig


(Kode) St I St II St III St I St II St III (P)
27.81- 33.22- 20.46- 24.22-51.50 20.40-39.71 22.95-
Panjang
72.77 82.63 76.04 (36.47±0.94) (32.30±0.68) 72.70
Total (PT) b a 0.00
(71.02±0.2 (77.95±2.6 (72.04±0.5 (39.88±1.2
(mm)
1) c 9) d 0) cd 2) b
42.93- 42.60- 39.94- 35.76- 40.54-96.36 27.79-
Lebar (L) 117.58 116.70 123.21 137.54 (65.94±1.87) 124.66
a
0.00
(mm) (77.96±2.1 (75.76±2.1 (75.60±2.1 (77.17±3.54) (59.53±2.3
0) b 9) b 6) b b
4) a
23.38- 21.83- 20.63- 25.40-94.69 21.04- 12.81-
Tinggi (T) 72.15 140.31 108.06 (44.07±1.80) 118.85 55.03
c
0.00
(mm) (40.18±1.5 (37.96±2.3 (37.99±1.8 (39.89±2.58) (29.76±1.3
4) bc 7) b 3)b bc
7) a
Ket: superscript (a, b, ab, c, cd, d) menunjukkan signifikansi (perbedaan nyata) antar karakter morfometrik
yang diuji statistic.

Hasil analisis morfometrik tiram menunjukkan bahwa perbedaan lokasi dapat


menyebabkan variasi karakter morfologi tiram pada spesies yang sama. Hal ini
kemungkinan terjadi akibat lingkungan hidup tiram yang berbeda. Perbedaan faktor

Universitas Sumatera Utara


66

lingkungan kemungkinan memberikan kontribusi signifikan terhadap bentuk karakter


morfologi meliputi panjang, lebar, dan tinggi. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Wu et
al. (2013) bahwa tiram yang dikoleksi dari tempat berbeda memiliki karakter morfologi
yang berbeda karena faktor fisika, biologi dan kimia mempengaruhi rasio pertumbuhan
dan panambahan bobot daging tiram. Menurut Amaral dan Simone (2014), variasi
morfologi tiram terjadi akibat tingginya variasi intra-spesifik yang menyebabkan kesulitan
dalam proses identifikasi. Selain itu dikarenakan sifat hidupnya yang mendiami dasar
perairan (benthos) memungkinkan tiram terpapar bahan pencemar sangat tinggi sehingga
berpengaruh terhadap pertumbuhannya akibat energi tiram banyak dihabiskan untuk
beradaptasi.
Hasil analisis univariate menunjukkan PT, L dan T tiram yang dikoleksi dari
Gampong Tibang nilainya lebih tinggi berbanding dengan tiram yang dikoleksi dari
Gampong Ulee Lheue. Hal ini menjelaskan bahwa ukuran tiram dari Gampong Tibang
lebih besar berbanding dengan tiram dari Gampong Ulee Lheue. Variasi morfologi yang
terjadi kemungkinan terdapat perbedaan keadaan lingkungan yang terjadi pada 2 lokasi
tempat observasi penelitian. Selain faktor perbedaan jenis tiram (Batista et al., 2008),
faktor genetik juga berperan penting terhadap variasi morfologi yang terjadi pada tiram
(Wang et al., 2004). Selanjutnya faktor genetik juga menunjukkan kekhususan terhadap
jenis dan habitat tiram yang berlainan jenis (Lam dan Morton, 2003).

b. Multivariate analysis
Hasil discriminant function analysis (DFA) menunjukkan bahwa 6 populasi tiram
didiskriminasikan menjadi dua kelompok yang berbeda, dimana Tibang I, Tibang II dan
Tibang III dikelompokkan ke dalam kelompok yang sama (Kelompok I), sedangkan Ulee
Lheue I, Ulee Lheue II dan Ulee Lheue III didiskriminasikan ke dalam kelompok yang
berbeda ( Kelompok II) (Gambar 4.1). Analisis DFA menghasilkan 3 fungsi, dimana
fungsi 1 memiliki nilai eagenvalues 2,31 menjelaskan 94,4% total variance, fungsi 2
memiliki nilai eagenvalues 0,13 menjelaskan 5,5% total variance dan fungsi 3 memiliki
nilai eagenvalues 0,004 menjelaskan 0,1% total variance (Tabel 4.2). Sebagai tambahan,

Universitas Sumatera Utara


67

1 karakter morfometrik yaitu PT berkontribusi pada fungsi 1, sedangkan fungsi 2 yang


berkontribusi dua karakter yaitu L dan T (Tabel 4.2.).

Tabel 4.2 Nilai Eagenvalues, % variance and matrix structure karakter morfometrik tiram.
Tanda bintang menunjukkan kontribusi karakter pada fingsi berkenaan.
Function 1 2 3
Eagenvalues 2.31 0.13 0.004
% Variance 94.4 5.5 0.1
Canonical Correlation 0.83 0.34 0.06
Panjang Total (PT) 0.695* -0.640 0.328
Lebar (L) 0.193 0.747* -0.636
Tinggi (T) 0.029 0.849* 0.528

Hasil uji discriminant function analysis (DFA) menunjukkan tiram pada populasi
Gampong Tibang saling tumpang tindih dan berkumpul pada kelompok yang sama,
sedangkan populasi tiram dari Gampong Ulee Lheue terpisah di kelompok lainnya. Hal
ini menunjukkan bahwa karakter morfologi tiram pada lokasi yang sama memiliki
keriripan karakter yang tinggi sehingga berkumpul pada satu klaster di scatter plot
(Gambar 4.1).

Universitas Sumatera Utara


68

Gambar 4.1 Scatter plot discriminant function analysis (DFA) karakter morfometrik dari
6 populasi sampel tiram

4.1.2 Pola Pertumbuhan Crassostrea gigas


Hasil analisis menunjukkan pola pertumbuhan (b) tiram (Crassostrea gigas)
adalah alometrik negatif (<3) pada 2 lokasi observasi (Tibang dan Ulee Lheue) (Tabel
4.3). Hal tersebut menunjukkan penambahan bobot dan panjang tidak seimbang, dimana
penambahan panjang lebih cepat berbanding dengan penambahan bobot tiram sehingga
tiram terlihat kurus. Hasil rerata b selama 6 bulan observasi menunjukkan bahwa lokasi
Ulee Lheue (1.97) lebih baik berbanding Tibang (1.81) (Gambar 4.2. dan 4.3). walaupun
terdapat perbedaan nilai b, namun tidak terlihat signifikan. Adapun hasil analisis pola
pertumbuhan tiram pada 2 lokasi penelitian menunjukkan similaritas tinggi antara hasil
pengukuran dan prediksi (Gambar 4.4 dan 4.5).

Universitas Sumatera Utara


69

Gambar 4. 2 Gambaran pertumbuhan tiram pada perairan Tibang, dimana a) Bulan Juli,
b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan
November dan f) Bulan Desember tahun 2017

Universitas Sumatera Utara


70

Gambar 4.3 Gambaran pertumbuhan tiram pada perairan Ulee Lheue, dimana a) Bulan
Juli, b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan
November dan f) Bulan Desember tahun 2017

Faktor kondisi Fulton (K) menunjukkan nilai yang sangat baik yaitu >1.6 pada
lokasi Tibang dan Ulee Lheue, sehingga dapat diartikan lingkungan masih dalam keadaan
yang baik untuk menaungi kehidupan tiram. Hal ini juga dapat diartikan pada habitat tiram
yang diteliti masih cukup akan makanan untuk keberlangsungan hidup tiram. Berdasarkan
nilai rerata K selama 6 bulan observasi menunjukkan bahwa lokasi Tibang (5.06) memiliki

Universitas Sumatera Utara


71

nilai lebih tinggi berbanding Ulee Lheue (5.03). Hal ini dapat dapat diartikan naungan
lingkungan Tibang lebih baik berbanding Ulee Lheue terhadap keberlangsungan hidup
organisme tersebut.

Tabel 4.3 Pertumbuhan tiram (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram (Crassostrea gigas)
di kawasan perairan Tibang dan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh

Tibang Ulee Lheue


Bulan
N b K Wr r N b K Wr r
Juli 150 2.10 5.05 102.25 0.87 150 1.94 4.72 102.60 0.82
Agustus 150 1.95 5.19 103.24 0.77 150 2.01 5.15 103.53 0.90
September 150 1.94 4.88 102.43 0.86 150 2.50 4.91 107.22 0.82
Oktober 150 1.67 5.17 102.47 0.81 150 1.41 5.12 102.31 0.77
November 150 1.68 4.99 101.79 0.91 150 1.99 5.25 103.54 0.88
Desember 150 1.52 4.92 101.67 0.81 150 1.97 5.22 103.78 0.79
Rerata 150 1.81 5.03 102.30 0.84 150 1.97 5.06 103.83 0.83
Ket: r adalah koefesien korelasi

Faktor kondisi berat relatif (Wr) antar kedua lokasi penelitian menunjukkan nilai
>100, dimana menunjukkan jumlah predator dan keadaan lingkungan yang stabil.
Berdasarkan nilai Wr selama 6 bulan observasi menunjukkan lokasi Ulee Lheue (103.83)
memiliki nilai lebih tingi bebanding Tibang (102.30) sehingga dapat disimpulkan
berdasarkan nilai ini lokasi Ulee Lheue lebih baik berbanding Tibang.
Adapun nilai koefesien korelasi (r) menunjukkan adanya hubungan positif
terhadap penambahan bobot dan panjang tiram (Gambar 4.2 dan 4.3). Hal ini dapat
diartikan bahwa dengan meningkatnya panjang tiram, maka bobot juga akan bertambah.
Berdasarkan nilai r rerata selama 6 bulan penelitian menunjukkan bahwa Tibang
dan Ulee Lheue memiliki nilai yang relatif sama (0.84 dan 0.83). Dengan demikian
berdasarkan nilai rerata r selama penelitian pada dua lokasi observasi terdapat hubungan
yang erat (>0.75) antara penambahan bobot dan panjang tiram.

Universitas Sumatera Utara


72

4.1.3 Pertumbuhan Crassostrea gigas Berdasarkan Jenis Kelamin


Pada kedua lokasi Tibang dan Ulee Lheue, didapatkan Faktor kondisi Fulton (K)
menunjukkan nilai yang sangat baik yaitu >1.6. Nilai rerata K selama 6 bulan observasi
menunjukkan bahwa lokasi Tibang (5.04) memiliki nilai sama dengan Ulee Lheue (5.04)
terhadap pertumbuhan tiram jantan. Hal ini dapat dapat diartikan naungan lingkungan
Tibang sama baiknya dengan lingkungan Ulee Lheue terhadap keberlangsungan hidup
bagi tiram jantan. Sedangkan rerata nilai K selama 6 bulan untuk lingkungan Ulee Lheu
lebih tinggi pada gambaran pertumbuhan tiram betina (5,10) dibandingkan dengan
lingkungan Tibang (5,02) yang menggambarkan bahwa naungan lingkungan Ulee Lheu
lebih baik terhadap keberlangsungan tiram betina dibandingkan Tibang (Tabel 4.5). Nilai
rerata K pada Tibang (5,03) sedikit lebih tinggi daripada di Ulee Lheu (5,00) pada
pertumbuhan tiram hermafrodit. Secara keseluruhan, naungan lingkungan Tibang maupun
Ulee Lheu masih dalam keadaan yang baik untuk kehidupan tiram.

Tabel 4.4 Pertumbuhan (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram (Crassostrea gigas) jantan
di kawasan perairan Tibang dan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh.

Tibang Ulee Lheue


Bulan
N b K Wr r N b K Wr r
Juli 32 2,07 5,04 102,68 0,75 49 1,72 4,62 102,64 0,76
Agustus 31 1,66 5,24 103,05 0,74 39 2,14 5,29 102,67 0,92
September 22 2,3 4,82 101,28 0,88 54 2,56 4,91 107,99 0,82
Oktober 47 1,64 5,18 102,13 0,85 38 1,48 4,99 102,53 0,71
November 22 1,86 4,99 101,57 0,92 31 2,18 5,18 104,22 0,87
Desember 28 1,99 4,94 102,47 0,81 42 2,12 5,24 104,45 0,78
Rerata 30,33 1,92 5,04 102,20 0,83 42,17 2,03 5,04 104,08 0,81

Faktor kondisi berat relatif (Wr) antar kedua lokasi penelitian menunjukkan nilai
>100, dimana menunjukkan jumlah predator dan keadaan lingkungan yang stabil untuk
semua jenis kelamin tiram. Berdasarkan nilai Wr selama 6 bulan observasi pada ketiga
jenis kelamin tiram menunjukkan lokasi Ulee Lheue memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan Tibang sehingga dapat disimpulkan berdasarkan nilai ini lokasi Ulee Lheue
relatif lebih baik daripada Tibang. Adapun nilai koefesien korelasi (r) menunjukkan

Universitas Sumatera Utara


73

adanya hubungan positif terhadap penambahan bobot dan panjang tiram (Gambar 4.4, 4.5,
4.6, 4.7, 4.8, dan 4.9). Hal ini dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya panjang tiram,
maka bobot juga akan bertambah.

Tabel 4.5 Pertumbuhan (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram (Crassostrea gigas) betina
di kawasan perairan Tibang dan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh.

Tibang Ulee Lheue


Bulan
N b K Wr r N b K Wr r
Juli 103 2,12 5,07 102,17 0,92 86 2,06 4,78 102,55 0,88
Agustus 100 1,88 5,2 103,34 0,76 100 1,89 5,18 103,89 0,85
September 86 2 4,9 102,53 0,83 90 2,54 4,9 106,82 0,78
Oktober 72 1,65 5,13 102,43 0,82 69 1,44 5,13 102,29 0,81
November 112 1,63 4,99 101,77 0,85 95 1,69 5,32 105,27 0,79
Desember 113 1,6 4,84 102,58 0,74 96 1,97 5,27 104,88 0,7
Rerata 97,67 1,81 5,02 102,47 0,82 89,33 1,93 5,10 104,28 0,80

Tabel 4.6 Pertumbuhan (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram (Crassostrea gigas)
hermaprodit di kawasan perairan Tibang dan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh.

Tibang Ulee Lheue


Bulan
N b K Wr r N b K Wr r
Juli 15 2,22 4,89 101,27 0,91 15 1,46 4,63 101,52 0,77
Agustus 19 2,19 5,11 101,79 0,88 11 2,21 5,01 101,44 0,98
September 42 1,7 4,86 92,88 0,82 6 1,63 5,18 104,38 0,81
Oktober 31 1,77 5,23 102,07 0,79 43 1,29 5,23 102,02 0,74
November 16 1,67 5,01 102,23 0,94 24 2,29 4,96 102,66 0,93
Desember 9 1,25 5,05 101,88 0,85 12 2,18 4,97 100,92 0,817
Rerata 22,00 1,80 5,03 100,35 0,87 18,50 1,84 5,00 102,16 0,84

Nilai r rerata selama 6 bulan penelitian pada ketiga jenis kelamin menunjukkan
bahwa Tibang dan Ulee Lheue memiliki nilai yang relatif sama. Kedua lokasi memiliki
nilai rerata r lebih dari 0,75 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan erat antara
penambahan bobot dan panjang tiram.

Universitas Sumatera Utara


74

Gambar 4.4 Pertumbuhan tiram jantan pada perairan Tibang, dimana a) Bulan Juli, b)
Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan November
dan f) Bulan Desember tahun 2017

Universitas Sumatera Utara


75

Gambar 4.5 Pertumbuhan tiram jantan pada perairan Ulee Lheue, dimana a) Bulan Juli,
b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan
November dan f) Bulan Desember tahun 2017

Universitas Sumatera Utara


76

Gambar 4.6 Pertumbuhan tiram betina pada perairan Tibang, dimana a) Bulan Juli, b)
Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan November
dan f) Bulan Desember tahun 2017

Universitas Sumatera Utara


77

Gambar 4.7 Pertumbuhan tiram betina pada perairan Ulee Lheu, dimana a) Bulan Juli, b)
Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan November
dan f) Bulan Desember tahun 2017

Universitas Sumatera Utara


78

Gambar 4.8 Pertumbuhan tiram hermafrodit pada perairan Tibang, dimana a) Bulan Juli,
b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan
November dan f) Bulan Desember tahun 2017

Universitas Sumatera Utara


79

Gambar 4.9 Pertumbuhan tiram hermafrodit pada perairan Ulee Lheu, dimana a) Bulan
Juli, b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan
November dan f) Bulan Desember tahun 2017

Universitas Sumatera Utara


80

4.1.4. Dinamika Populasi


A. Frekuensi Panjang
Hasil analisis data dinamika populasi tiram berdasarkan frekuensi panjang bahwa
kelas 40-50 mm merupakan ukuran dominan yang ditemukan di dua lokasi penelitian
(Tibang dan Ulee Lheue). Jumlah sampel yang ditemukan pada kelas panjang 40-50 mm
mencapai 689 sampel (38.28%) dari total 1800 sampel tiram. Selanjutnya sampel dominan
ke dua dan ke tiga adalah pada kelas panjang 30-40 mm dan 50-60 mm dengan nilai
masing-masing mencapai 544 sampel (30.22%) dan 332 sampel (18.44%) (Gambar 4.10).

800
689
700
600 544
Individu (N)

500
400 332
300
200 96
90
100 37 4 4 3 0 0 1
0

Class of Lenght (mm)

Gambar 4.10 Grafik frekuensi panjang berdasarkan kelas panjang tiram pada lokasi
Tibang dan Ulee Lheue

Analisis laju pertumbuhan Von Bentalaffy Growth Function (VBGF)


menunjukkan dominan tiram yang tertangkap diestimasikan berumur 1 tahun (Gambar
4.11). Pertumbuhan Crassostrea gigas dalam 2 tahun pertama terlihat pada grafik
pertumbuhan VBGF, dan pertumbuhan tiram terjadi dengan cepat (optimal) namun di
tahun selanjutnya melambat.

Universitas Sumatera Utara


81

Gambar 4.11 Grafik pertumbuhan Von Bentalaffy Growth Function (VBGF) tiram pada
dua lokasi penelitian.

b. Mortalitas
Analisis laju mortalitas tiram menunjukkan laju mortalitas total (Z) mencapai
7.22year-1 ,laju mortalitas alami (M) 1.27year-1, laju mortalitas penangkapan (F) 5.95year-1
dan laju eksploitasi (E) 0.82year-1 (Tabel 4.7). Adapun nilai Z disebabkan oleh
penangkapan dan kematian tiram di alam. Nilai M dikarenakan oleh penyakit dan umur
tiram sudah tua, selanjutnya nilai F ditentukan oleh tangkapan yang dilakukan di alam.
Berdasarkan data laju eksploitasi menunjukkan bahwa aktivitas penangkapan
tiram sudah masuk dalam kategori overeksploitasi (overfishing). Hal ini ditunjukkan oleh
nilai laju eksploitasi (E) mencapai 0.82year-1 (Gambar 4.12) atau 82% kematian tiram
year-1
dikarenakan penangkapan, sedangkan batas lestari seharusnya adalah 0.50 (Tabel
4.7). Oleh karena itu perlu strategi manajemen penangkapan untuk menjaga populasi tiram
agar tetap lestari kedepannya.

Universitas Sumatera Utara


82

Tabel 4.7 Parameter pertumbuhan dinamika populasi

No Parameter Hasil
1 Panjang infiniti (L∞) 141.75 mm
2 Panjang optimum penangkapan (Lopt) 45.72 mm
3 Koefesien pertumbuhan (K) 1.1year-1
4 Laju mortalitas total (Z) 7.22year-1
5 Laju mortalitas alami (M) 1.27year-1
6 Laju mortalitas penangkapan (F) 5.95year-1
7 Laju eksploitasi (E) 0.82year-1

Hasil analisis menunjukkan bahwa laju kematian dominan terjadi pada waktu
tiram berumur 1 tahun (Gambar 4.12a). Selanjutnya panjang optimum penangkapan (Lopt)
terjadi pada ukuran 45.72 mm (Tabel 4.7), berdasarkan grafik VBGF (Gambar 4.11)
diestimasikan pada ukuran tersebut tiram berumur 1 tahun. Berdasarkan analisis
probabilitas bahwa dengan meningkatnya ukuran maka kemungkinan tiram ditangkap
semakin tinggi (Gambar 4.12b).

Gambar 4.12 Grafik (a) laju mortalitas tertuama terjadi pada saat tiram berusia satu tahun,
dan (b) laju probabilitas penangkapan menunjukkan peningkatan ukuran
akan meningkatkan penangkapan tiram

Universitas Sumatera Utara


83

c. Rekruitmen
Hasil analisis kemampuan rekruitmen tiram menunjukkan bahwa tiram melakukan
pemijahan sepanjang tahun. Namun pada bulan tertentu proses rekruitmen terjadi sangat
sedikit, yaitu pada bulan Januari dan Desember (Gambar 4.13). Berdasarkan analisis
puncak rekruitmen terjadi 2 kali, yaitu pada bulan Juni dan Agustus (Gambar 4.13).

Gambar 4.13 Grafik laju rekruitmen tiram, dimana J adalah bulan Januari, F adalah
Februari dan bulan seterusnya selama setahun. Puncak rekruitmen terjadi
pada bulan Juni dan Agustus

4.2 Parameter Biologi Reproduksi


4.2.1 Sex Rasio (SR) Dan Indeks Kematangan Gonad (GSI)
Hasil analisis sex rasio (SR) jantan ditemukan nilai tertinggi pada bulan Oktober
(31.33%) di lokasi Tibang dan bulan September (36%) di lokasi Ulee Lheue. Pada betina
ditemukan SR tertinggi pada bulan Desember (75.33%) di lokasi Tibang dan bulan
Agustus (66.67%) di lokasi Ulee Lheue. Selanjutnya pada penelitian ini ditemukan tiram
kelamin hermaprodit, dimana nilai SR tertinggi ditemukan pada bulan September
(28.00%) di lokasi Tibang dan bulan Oktober (28.67%) di lokasi Ulee Lheue (Tabel 4.8

Universitas Sumatera Utara


84

dan 4.9). Hasil analisis menunjukkan bahwa sex rasio (SR) tiram yang dikaji pada 2 lokasi
penelitian (Tibang dan Ulee Lheue) didominasi jenis kelamin betina dengan nilai rerata
65.11% di daerah Tibang dan 59.55% di lokasi Ulee Lheue.

Tabel 4.8 Sex rasio (SR) dan indeks kematangan gonad (IKG) tiram pedaging
(Crassostrea gigas) lokasi Tibang
Jantan Female Hermaprodite
Bulan Jumlah SR
SR (%) GSI (%) SR (%) GSI (%) GSI (%)
(%)
0.53-8.51 0.08-14.32 0.40-6.89
Juli 150 21.33 2.73±1.45 68.67 2.57±1.83 10.00 3.24±1.93
1.22-8.60 0.50-17.67 0.54-7.87
Agustus 150 20.67 3.71±1.62 66.67 3.85±2.31 12.67 3.44±1.80
0.82-5.93 1.08-12.27 0.88-11.85
September 150 14.67 2.82±1.37 57.33 3.78±1.83 28.00 3.80±1.85
0.41-11.57 0.31-11.97 0.80-18.60
Oktober 150 31.33 3.81±2.77 48.00 4.53±2.46 20.67 4.81±4.26
1.43-7.33 0.48-11.25 0.75-6.88
November 150 14.67 74.67 10.67
3.81±1.64 4.18±1.98 3.89±1.75
0.39-6.38 0.58-9.91 0.75-5.17
Desember 150 18.67 75.33 6.00
3.25±1.70 3.53±1.98 2.84±1.73

Pada tiram kelamin jantan memiliki nilai SR rerata 20.22% pada lokasi Tibang
dan 28.11% pada lokasi Ulee Lheue. Pada penelitian ini ditemukan tiram berjenis kelamin
hermaprodit, dimana nilai rerata rasio 14.67% pada lokasi Tibang dan 12.33% di lokasi
Ulee Lheue. Berdasarkan hasil SR rerata bahwa jenis kelamin betina dan hermaprodit
pada lokasi Tibang lebih tinggi berbanding Ulee Lheue, namun lebih rendah berbanding
nilai rerata SR kelamin jantan (Tabel 4.8 dan 4.9).

Universitas Sumatera Utara


85

Tabel 4.9 Sex ratio (SR) dan indeks kematangan gonad (IKG) tiram pedaging
(Crassostrea gigas) lokasi Ulee Lheue
Jantan Female Hermaprodite
Bulan Jumlah
SR (%) GSI (%) SR (%) GSI (%) SR (%) GSI (%)
0.04-6.97 0.11-5.58 0.35-4.81
Juli 150 32.67 57.33 10.00
0.78±1.40 1.47±1.37 1.72±1.45
0.04-6.26 0.01-12.17 0.57-6.99
Agustus 150 26 1.85±1.33 66.67 2.64±2.13 7.33 3.50±1.76
0.77-13.85 0.30-16.73 0.39-2.97
September 150 36 60 4
4.06±3.05 3.61±2.66 1.77±1.04
0.42-12.36 0.60-10.26 0.77-10.24
Oktober 150 25.33 46.00 28.67
3.25±2.23 3.87±1.92 3.81±2.03
1.02-19.06 0.34-16.56 0.35-9.54
November 150 20.67 63.33 16.00
5.11±3.35 4.80±2.44 4.54±2.33
0.95-8.10 0.05-16.56 1.58-9.55
Desember 150 28.00 3.00±1.56 64.00 3.56±2.42 8.00 5.05±2.62

Nilai SR tiram setiap bulan mengalami fluktuasi, dimana yang paling signifikan
terlihat pada kelamin hermaprodit. Pada lokasi Tibang di bulan Juli hinga September nilai
SR hermaprodit mengalami kenaikan dan mengalami penurunan pada bulan Oktober
hingga Desember, sedangkan pada lokasi Ulee Lheue nilai SR hermaprodit pada bulan
Juli hingga September terus mengalami penurunan dan mengalami peningkatan pada
bulan Oktober, namun mengalami penurunan lagi pada bulan November hingga Desember
(Gambar 4.14a dan 4.14b).

a) 120
b) 120

100 100

80 80

60 60

40 40

Female Female
20 20
Hermaprodite Hermaprodite

0 M ale 0 M ale
July August September October November Desember July August September October November Desember

Month Month

Gambar 4.14 Grafik sex rasio (SR) tiram (Crassostrea gigas), dimana a) lokasi Tibang
dan b) lokasi Ulee Lheue.

Universitas Sumatera Utara


86

Hasil analisis indeks kematangan gonad (IKG) tiram betina menunjukkan nilai
tertinggi rerata ditemukan pada bulan Oktober (4.53%) di Tibang dan November (4.80%)
di Ulee Lheue. Nilai IKG jantan rerata tertinggi ditemukan pada bulan Oktober (3.81%)
di Tibang dan November (5.11%) di Ulee Lheue. Selanjutnya nilai IKG hermaprodit rerata
tertinggi ditemukan pada bulan Oktober di Tibang (4.81%) dan Desember (5.05%) di
Ulee Lheue (Tabel 4.8 dan 4.9).

4.2.2 Tingkat Kematangan Gonad (TKG)


Pada penelitian ini ditemukan tiram jantan pertama kali matang gonad yaitu pada
ukuran 26,40 mm di Tibang dan 25.45 mm di Ulee Lheue. Hal ini menunjukkan ukuran
matang gonad tiram jantan tidak signifikan terjadi antar dua lokasi yang berbeda.
Selanjutnya selama enam bulan penelitian ditemukan tiram dalam keadaan matang gonad
(TKG IV) tertinggi di dua lokasi terjadi pada bulan Agustus dengan masing-masing nilai
96,77% (Tibang ) dan 92,31% (Ulee Lheue) (Tabel 4.10, Gambar 4.15 dan 4.16).

Tabel 4.10 Tingkat kematangan gonad (TKG) tiram jantan lokasi Tibang dan Ulee Lheue
Tibang Ulee Lheue
Bulan TKG (%) TKG (%)
Jumlah Jumlah
I II III IV V I II III IV V
Juli 32 3.13 0.00 3.13 90.63 3.13 49 73.47 6.12 4.08 16.33 0.00
Agustus 31 0.00 0.00 3.23 96.77 0.00 39 7.69 0.00 0.00 92.31 0.00
September 22 0.00 50.00 27.27 18.18 4.55 54 20.37 59.26 9.26 9.26 1.85
Oktober 47 0.00 14.89 14.89 44.68 25.53 38 0.00 15.79 21.05 28.95 34.21
November 22 0.00 9.09 63.64 27.27 0.00 31 3.23 16.13 35.48 45.16 0.00
Desember 28 0.00 0.00 53.57 42.86 3.57 42 0.00 4.76 21.43 73.81 0.00

Pada penelitian ini ditemukan tiram betina pertama kali matang gonad yaitu pada
ukuran 20,46 mm di Tibang dan 25,24 mm di Ulee Lheue. Selanjutnya selama enam bulan
penelitian ditemukan tiram dalam keadaan matang gonad (TKG IV) tertinggi di dua lokasi
(Tibang dan Ulee Lheue ) terjadi pada bulan Agustus dengan nilai yang sama yaitu
mencapai mencapai 96% (Tabel 4.11).

Universitas Sumatera Utara


87

120 120

100 100

80 80

60 60
TKG V
T KG V

T KG IV TKG IV
40 40

T KG III TKG III

20 20
T KG II TKG II

0 T KG I 0 TKG I
July Sept ember November July September November
August October Desember August October Desember

Month Month

Gambar 4.15 Persentase TKG tiram jantan selama 6 bulan penelitian, dimana a) lokasi
Tibang dan b) lokasi Ulee Lheue

Tabel 4.11 Tingkat kematangan gonad (TKG) tiram betina lokasi Tibang dan Ulee Lheue
Tibang Ulee Lheue
Bulan TKG (%) TKG (%)
Jumlah Jumlah
I II III IV V I II III IV V
Juli 103 2.91 2.91 9.71 77.67 6.80 86 5.81 5.81 33.72 48.84 5.81
Agustus 100 0.00 0.00 2.00 96.00 2.00 100 3.00 0.00 1.00 96.00 0.00
September 86 3.49 13.95 24.42 24.42 33.72 90 18.89 18.89 23.33 25.56 13.33
Oktober 72 0.00 30.56 20.83 33.33 15.28 69 1.45 17.39 27.54 47.83 5.80
November 112 0.00 0.89 27.68 71.43 0.00 95 0.00 16.84 32.63 50.53 0.00
Desember 113 0.00 2.65 35.40 61.95 0.00 96 3.13 8.33 33.33 55.21 0.00

120
120

100
100

80
80

60
TKG V 60
TKG V

TKG IV
40 TKG IV
40
TKG III
TKG III
20 20
TKG II TKG II

0 TKG I 0 TKG I
July September November July September November
August October Desember August October Desember

Month Month

Gambar 4.16 Persentase TKG tiram betina selama 6 bulan penelitian, dimana a) lokasi
Tibang dan b) lokasi Ulee Lheue

Universitas Sumatera Utara


88

4.2.3 Histologi Gonad


Hasil histologi gonad menunjukkan tiram secara reproduksi bersifat hermaprodit.
Selanjutnya tiram betina yang matang gonad memiliki ukuran maksimal telur ±50 µm
sehingga secara kasat mata telur tidak dapat dilihat secara visual. Ukuran tiram matang
gonad di Tibang berkisar antara 20,46-94,30 mm dengan kisaran fekunditas antara
7.487.888-34.511.625 telur dengan rerata fekunditas mencapai 17.360.821 telur/ekor.
Selanjutnya ukuran tiram matang gonad di Ulee Lheue berkisar antara 25.24-110,87 mm
dengan kisaran fekunditas antara 9.237.258-40.575.863 telur dengan rerata fekunditas
mencapai 17.108.206 telur/ekor.
Hasil regresi menunjukkan hubungan sangat erat (Tibang r = 0.95% dan Ulee
Lheue r = 0.953%), dimana jumlah telur akan bertambah diiringi dengan bertambahnya
ukuran titam (Gambar 4.17). Dengan demikian ukuran tiram sangat penting sebagai
indikasi produktifitas telur. Ukuran tersebut menunjukkan performa reproduksi dan
kaitannya dalam proses rekruitmen keturunan baru. Gambaran histologi gonad tiram
jantan, betina, dan hermaprodit dapat dilihat pada Gambar 4.18, 4.19, dan 4.20.

Universitas Sumatera Utara


89

a) 40000000
35000000
30000000
25000000

Egg/Ind
20000000 y = 367548x - 7943.8
15000000 r² = 0.9573
10000000
5000000
0
20 70 120
Total Length (mm)

b) 50000000
45000000
40000000
35000000
Egg/Ind

30000000
25000000
20000000
15000000 y = 368933x - 125288
10000000 r² = 0.9531
5000000
0
20 70 120
Total Length (mm)

Gambar 4.17 Regresi antara panjang total (mm) dan fekunditas tiram (telur/ind), dimana
a) merupakan perairan Tibang dan b) perairan Ulee Lheue.

Pada tiram jantan berdasarkan jumlah setiap bulan jauh lebih sedikit berbanding
tiram betina, sehingga kemapuan regenerasi tiram sangat cepat disebabkan peran tiram
betina sangat signifikan dari aspek produksi sel telur. Pada setiap bulan ditemukan tiram
mengalami matang gonad, sehingga diperkirakan tiram dapat memijah sepanjang tahun.

Universitas Sumatera Utara


90

Gambar 4.18 Histologi gonad tiram jantan

Gambar 4.19 Histologi gonad tiram betina

Universitas Sumatera Utara


91

Gambar 4.20 Histology gonad tiram hermaprodit

4.3 Kualitas Perairan


4.3.1 Biologi Perairan
Analisis biologi perairan menyangkut dengan kelimpahan fitoplankton
menunjukkan bahwa perairan Tibang didominasi jenis yang berbeda dengan perairan Ulee
Lheue. Perairan Tibang didominasi jenis plankton Rhizosolenia formosa dengan
kelimpahan mencapai 20734.87 ind/L, sedangkan perairan Ulee Lheue didominasi jenis
Gossleriella tropica dengan kelimpahan mencapai 9553.79 ind/L (Tabel 4.12). Selain
dominasi jenis yang berbeda antar lokasi, berdasarkan kelimpahan juga berbeda.
Walaupun dari segi kelimpahan perairan Tibang lebih tinggi, namun berdasarkan jumlah
jenis terlihat perairan Ulee Lheue lebih tinggi berbanding perairan Tibang.
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kelimpahan plankton tidak
mempengaruhi rasio seksual tiram di ke dua lokasi penelitian (Tibang dn Ulee Lheue).
Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefesien korelasi (r2) dibawah 0.30 (kurang dari 30%)
(Tabel 4.13). Rendahnya nilai koefesien korelasi dikarenakan fluktuasi nilai rasio seksual
tiram sangat tinggi. Namun demikian faktor lain kemungkinan dapat berkontribusi dalam
rasio seksual tiram.

Universitas Sumatera Utara


92

Tabel 4.12 Kelimpahan plankton rata-rata/jenis selama 6 bulan penelitian di perairan


Tibang dan Ulee Lheue

Tibang Ulee Lheue


No. Nama Spesies ∑ Kelimpahan
∑ Kelimpahan (ind/L)
(ind/L)
1 Rhizosolenia formosa 20734.87 52.49
2 Gossleriella tropica 2887.13 9553.79
3 Rhizosolenia pungens 1889.76 2309.71
4 Guinardia deliculata 104.99 629.92
5 Dactyliosolen antarcticus 52.49 419.95
6 Azpeitia tabularis 2467.19 1522.31
7 Ceratium furca 262.47 52.49
8 Rhizosolenia furca 52.49 52.49
9 Pseudo-nitzschia turgidula 0.00 104.99
10 Cylindrotheca closterium 0.00 104.99
11 Ceratium lineatum 0.00 52.49

Tabel 4.13 Hubungan kelimpahan plankton terhadap nilai sex rasio pada tiram lokasi
Tibang dan Ulee Lheue.

Lokasi Jenis Kelamin Sex rasio (%) ∑ Plankton/L r

Tibang Jantan 14,67-31,33 (20,22) 2451,46- 0,29


45390,82
Betina 48-75,33 (65,11) 0,24
(32893,7)
Hermaprodit 6-28 (14,67) 0,09

Ulee Lheue Jantan 20,67-36 (28,11) 12552,15- -0,08


19914,74
Betina 46-66,67 (59,55) (17033,45) -0,26

Hermaprodit 4-28,67 (12,33) 0,26

4.2.1. Kimia-Fisika Perairan


Pengukuran parameter kimia-fisika perairan terlihat bahwa semua parameter
masih mendukung untuk menaungi kehidupan tiram. Namun demikian suhu, pH dan
salinitas perairan Tibang lebih tinggi berbanding perairan Ulee Lheue, tetapi kandungan

Universitas Sumatera Utara


93

DO lebih rendah (Tabel 4.14). Hal ini kemungkinan terjadi karena lingkungan antar lokasi
berbeda.

Tabel 4.14 Parameter kimia-fisika di perairan Tibang dan Ulee Lheue

Bulan Tibang Ulee Lheue


Suhu pH Salinitas DO Suhu pH Salinitas DO
Juli 31 7,6 31,6 4,1 27,8 7,4 27,8 3,4
Agustus 33 7,6 32,2 4,4 31,6 7,7 31,1 3,6
September 32 7,8 31,8 3,9 26,6 7,9 24,5 3,3
Oktober 31 7,6 31,7 4,2 26,2 7,5 24,7 3,1
November 30 7,8 31,0 3,8 27,4 7,4 25,6 3,3
Desember 31 7,9 30,6 4,2 29,0 7,7 26,3 3,2
Rerata 31,3 7,7 31,4 4,1 28,1 7,6 26,6 3,3

Universitas Sumatera Utara


94

BAB V
PEMBAHASAN UMUM

5.1 Gambaran Umum Kawasan Penelitian


Secara geografis, Banda Aceh terletak 05 16’ 15” – 05 36’ 16” LU dan 95 16’ 15”
– 95 22’ 35” BT dengan tinggi rata-rata 0,80 meter di atas permukaan laut. Kota Banda
Aceh berbatasan dengan Selat Malaka di utara, serta berbatasan dengan kecamatan-
kecamatan di Aceh besar di Selatan, Timur, dan Barat. Wilayah Kota Banda Aceh terdiri
dari sembilan kecamatan dan 90 desa (gampong). Oleh karena Kota Banda Aceh
dikelilingi oleh lautan, kawasan pesisir menjadi salah satu tempat yang paling ramai
diduduki oleh masyarakat.
Tibang merupakan salah satu kawasan pesisir di Kota Banda Aceh. Secara
geografis, Tibang terletak di bagian Utara Kota Banda Aceh dengan luas daerah 254,2 Ha,
dan 154 Ha diantaranya adalah perairan. Tibang termasuk dalam Kecamatan Syiah Kuala,
berbatasan dengan Gampong Alue Naga, Jeulingke, Lambaro Skep, dan Baet Aceh Besar.
Secara turun temurun masyarakat di Gampong Tibang sudah menjadi nelayan tiram,
menjadikan daerah ini sebagai salah satu kawasan komoditi penghasil tiram yang paling
potensial di Banda Aceh. Ulee Lheue juga merupakan kawasan pesisir dan termasuk
dalam Kecamatan Meuraksa, berbatasan dengan Selat Malaka pada arah utara dan barat.
Perairan Ulee Lheue sangat dipengaruhi oleh perairan laut, dan memiliki dua muara
sungai. Sumber air payau yang bermuara ke Ulee Lheue berasal dari Krueng Daroy.
Perairan Tibang dan Ulee Lheue berpotensi besar dalam menjadi habitat bagi
tiram, dan berpotensi untuk menjadi lokasi budidaya tiram kedepannya. Kegiatan
penangkapan tiram di kedua perairan ini dipengaruhi oleh arus pasang surut. Pada survey
lapangan didapatkan perairan Ulee Lheue aktif digunakan sebagai stasiun tempat
berlabuhnya kapal ferry maupun kapal perikanan, sedangkan perairan Tibang hanya
dilabuhi oleh beberapa kapal kecil. Perairan Ulee Lheue memiliki satu stasiun pengisian
bahan bakar minyak untuk kapal, sehingga dapat dikatakan aktifitas masyarakat pada
perairan Ulee Lheue ini lebih tinggi daripada di perairan Tibang. Hal ini berdampak pula

Universitas Sumatera Utara


95

pada peningkatan jumlah polusi di perairan Ulee Lheue, baik secara suara maupun limbah
kimiawi yang dihasilkan dari kapal atau aktifitas masyarakat.

5.2 Analisis Pertumbuhan


Hasil analisis morfometrik tiram menunjukkan bahwa perbedaan lokasi dapat
menyebabkan variasi karakter morfologi tiram pada spesies yang sama. Hal ini
kemungkinan terjadi akibat lingkungan hidup tiram yang berbeda. Perbedaan faktor
lingkungan kemungkinan memberikan kontribusi signifikan terhadap bentuk karakter
morfologi meliputi panjang, lebar, dan tinggi. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Wu et
al. (2013) bahwa tiram yang dikoleksi dari tempat berbeda memiliki karakter morfologi
yang berbeda karena faktor fisika, biologi dan kimia mempengaruhi rasio pertumbuhan
dan panambahan bobot daging tiram. Menurut Amaral dan Simone (2014), variasi
morfologi tiram terjadi akibat tingginya variasi intra-spesifik yang menyebabkan kesulitan
dalam proses identifikasi. Selain itu dikarenakan sifat hidupnya yang mendiami dasar
perairan (benthos) memungkinkan tiram terpapar bahan pencemar sangat tinggi sehingga
berpengaruh terhadap pertumbuhannya akibat energi tiram banyak dihabiskan untuk
beradaptasi.
Tiram bersifat menetap pada media keras di dasar perairan, sehingga pertumbuhan
dan kesuburan tiram tergantung keberadaan sumber makanan yang tersedia pada sekitar
perairan. Tiram yang hidup pada lingkungan yang subur maka akan mudah membentuk
cangkang, sehingga ukuran cangkang akan berbeda dengan tiram yang hidup di
lingkungan nutrisi yang minim. Nutrisi yang cukup akan menghasilkan tiram terlihat lebih
besar dan tebal berbanding dengan tiram yang hidup di lingkungan yang tidak subur.
Menurut Melo et al. (2010) keadaan lingkungan berperan besar terhadap pembentukan
cangkang tiram. Adapun faktor lingkungan tersebut meliputi iklim, sumber makanan,
suhu, arus, kuantitas bahan pencemar dan salinitas perairan (Wu et al., 2013; Ferreira et
al., 2006; Amaral dan Simone, 2014).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lindawaty et al (2016), perairan Ulee


Lheue Kota Banda Aceh memiliki jenis substrat pasir berlempung dan lempung liat

Universitas Sumatera Utara


96

berpasir. Organisme benthos sangat bergantung pada jenis dari substrat tempat
perlekatannya untuk tumbuh dan berkembang. Substrat jenis pasir memiliki kelebihan
karena dapat memudahkan biota untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Sedangkan substrat lumpur cenderung memiliki kandungan oksigen yang lebih sedikit
sehingga mengharuskan organisme beradaptasi dengan kondisi tersebut. Menurut
Vercaeemer et al (2006), tiram daging Ostrea dan Crassostrea dapat tumbuh optimal pada
substrat pasir berlempungm kerikil, dan bebatuan, sehingga substrat pada kedua lokasi
penelitian ini sesuai untuk habitat tiram yang kondusif. Suhu di kedua lokasi penelitian
cenderung stabil dengan suhu rata-rata pada Tibang adalah 31,30C dan Ulee Lheue 28,10C.
Kisaran suhu pada kedua lokasi penelitian masih mendukung untuk pertumbuhan dan
perkembangan tiram daging. Crassostrea dapat hidup dengan baik pada suhu perairan
berkisar antara 50C – 350C (Nehring, 2006). Suhu optimum untuk pertumbuhan tiram
daging adalah 110C – 340C, sehingga suhu perairan pada Tibang dan Ulee Lheue masuk
dalam kategori suhu optimum pertumbuhan tiram daging.
Tingkat keasaman (pH) air laut pada perairan Tibang dan Ulee Lheue yaitu 7,7
dan 7,6. Adanya pasokan air tawar yang masuk ke kedua perairan ini menyebabkan nilai
pH yang cukup stabil. Menurut Yonvitner (2001), hampir selurut biota perairan bersifat
sensitif terhadap perubahan pH yang terjadi. Umumnya biota akuatik dapat hidup optimal
pada pH yang berkisar antara 7,0 hingga 8,5. Tiram daging dapat hidup pada perairan
dengan pH antara 6,8 – 9,25 (Diederich, 2006). Kisaran pH yang terlalu tinggi atau terlalu
rendah dapat menyebabkan peningkatan angka kematian atau abnormalitas pertumbuhan
pada tiram. Nilai salinitas terukur lebih tinggi pada perairan Tibang karna lokasi penelitian
ini berhubungan langsung dengan laut lepas. Salinitas pada Ulee Lheue, salinitas lebih
rendah dapat disebabkan adanya aliran air masuk dari sungai. Menurut Nybakken (1992),
penambahan air tawar yang mengalir dan masuk ke perairan laut dapat menurunkan
salinitas dari perairan laut. Salinitas mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah makanan
yang dikonsumsi, dan daya ketahanan hidup makrozoobenthos. Secara umum perairan
Tibang dan Ulee Lheu masih memiliki salinitas dalam kisaran toleransi tiram daging.
Tiram daging mampu hidup dalam kisaran salinitas 10 – 30 ‰ dengan salinitas optimal
20 – 30 ‰ (Mann et al, 2009). Menurut Santoso (2010), kejut salinitas terbukti

Universitas Sumatera Utara


97

mempengaruhi laju pemijahan pada tiram daging. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
yang didapatkan, yaitu pemijahan tertinggi didapatkan pada bulan Agustus dan seiring
dengan salinitas perairan yang didapatkan lebih tinggi daripada bulan-bulan lainnya.
Kandungan bahan organik dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan oksigen
terlarut menjadi rendah. Sisa bahan organik seperti kotoran hewan atau kotoran manusia
dan sampah-sampah yang ada di perairan akan mengalami pembusukan oleh organisme
sapovor yang membutuhkan oksigen terlarut dalam air, sehingga semakin banyak bahan
organik yang mengalami pembusukan akan semakin menurunkan oksigen yang terlarut
dalam air. Kadar rata-rata DO pada lokasi Tibang adalah 4,1 mg/l dan lokasi Ulee Lheue
3,3 mg/l, dimana kadar oksigen terlarut pada lokasi penelitian Ulee Lheue lebih rendah
daripada Tibang. Hal ini dapat disebabkan karena perairan Ulee Lheue merupakan
perairan yang digunakan pula sebagai stasiun berlabuhnya kapal-kapal perikanan dan
tempat pengisian bahan bakar kapal.

Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004, baku


mutu oksigen terlarut bagi biota perairan adalah lebih dari 5 mg/l, sehingga pada kedua
perairan lokasi penelitian Tibang dan Ulee Lheue memiliki kadar DO yang lebih rendah
dari baku mutu yang seharusnya. Aktivitas perkapalan di perairan dapat menyebabkan
konsentrasi bahan organik lebih tinggi di kedua perairan tersebut. Menurut Effendie
(2003), kadar oksigen terlarut dipengaruhi oleh suhu, salinitas, aliran atau turbulensi air,
dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen juga dapat dipengaruhi oleh limbah yang masuk ke
perairan, pergerakan massa air, serta aktivitas fotosintesis dan respirasi.

Hasil analisis univariate menunjukkan PT, L dan T tiram yang dikoleksi dari
Gampong Tibang nilainya lebih tinggi berbanding dengan tiram yang dikoleksi dari
Gampong Ulee Lheue. Hal ini menjelaskan bahwa ukuran tiram dari Gampong Tibang
lebih besar berbanding dengan tiram dari Gampong Ulee Lheue. Variasi morfologi yang
terjadi kemungkinan terdapat perbedaan keadaan lingkungan yang terjadi pada 2 lokasi
tempat observasi penelitian. Selain faktor perbedaan jenis tiram (Batista et al., 2008),
faktor genetik juga berperan penting terhadap variasi morfologi yang terjadi pada tiram

Universitas Sumatera Utara


98

(Wang et al., 2004). Selanjutnya faktor genetik juga menunjukkan kekhususan terhadap
jenis dan habitat tiram yang berlainan jenis (Lam dan Morton, 2003).
Menurut Hoellein dan Zarnoch (2014) mengemukakan bahwa tiram dilingkungan
perairan berfungsi sebagai filtrasi, bioremediasi dan berperan terhadap proses siklus
nitrogen. Selanjutnya bahan anorganik yang terdapat diperairan dapat menjadi residu yang
akan mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup tiram serta berbahaya bagi
manusia yang mengkonsumsinya (Sarong et al., 2015). Penelitian sebelumnya oleh
Langdon et al. (2016) tentang efek bocornya minyak ke perairan fenomena Deepwater
Horizon, USA bahwa menyebabkan dampak buruk signifikan terhadap pertumbuhan dan
rekruitmen tiram (Crassostrea virginica) akibat tersuspensinya minyak di dalam perairan.
Hasil senada juga ditunjukkan pada uji DFA, dimana karakter morfologi tiram
pada lokasi yang sama akan berkumpul pada satu kelompok yang sama dikarenakan
kemiripan karakter yang tinggi. Adapun tiram dari lokasi yang berbeda terdiskriminasikan
terpisah dengan tiram dari lokasi yang lain. Walaupun terdapat variasi morfologi sehingga
membentuk klaster yang berbeda, namun tiram pada lokasi Gampong Tibang dan
Gampong Ulee Lheue terlihat saling berdekatan di scatter plot DFA. Hasil penelitian
sebelumnya oleh Grizzle et al. (2016) tentang pertumbuhan, variasi morfometrik dan jenis
makanan pada Crassostrea Virginica di New Hampshire, USA menyebutkan bahwa
terjadinya variasi morfometrik disebabkan oleh musim, konsentrasi nutrient, konsentrasi
carbon dan nitrogen dalam perairan. Dapat disimpulkan bahwa spesies tiram pada lokasi
Gampong Tibang dan Gampong Ulee Lheue adalah spesies yang sama.
Analisis pertumbuhan tiram di perairan Tibang dan Ulee Lheue Kota Banda Aceh
menunjukkan nilai b rerata 1.81 dan 1.97 (alometrik negatif) yaitu penambahan bobot
tiram tidak secepat penambahan panjang tiram. Hal ini juga sejalan dengan hasil yang
didapatkan dari setiap jenis kelamin, pada jantan, betina, maupun hermafrodit. Dari
penelitian ini didapatkan Crassostrea gigas pada perairan Tibang dan Ulee Lheue
memiliki laju penambahan panjang yang lebih cepat daripada penambahan berat
dagingnya, sehingga tiram terkesan kurus. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Octavina (2014) di Kuala Gigieng, Aceh Besar yang mendapatkan kurva
hubungan panjang dan bobot tiram cenderung landai, menunjukkan pertambahan bobot

Universitas Sumatera Utara


99

dan pertumbuhan cenderung tidak seimbang. Menurut Bacher dan Gangnery (2006),
alokasi energi terbesar pada tiram digunakan untuk pertumbuhan terutama pembesaran
cangkang, disamping untuk reproduksi.
Pertumbuhan adalah meningkatnya ukuran panjang dan bobot atau berat dari
tiram. Kastoro (1992) menyatakan pertumbuhan pada bivalvia terjadi paling dominan
pada bagian cangkang, sehingga pertumbuhan diinterpretasikan sebagai pertambahan
panjang cangkang dilanjutkan dengan pertambahan bobot tubuh. Menurut Kang et al.,
(2003) pertumbuhan somatik tidak meningkat signifikan pada masa memijah karena
adanya pengalihan energi pada organ lainnya, terutama untuk kematangan gonad. Setelah
masa pemijahan, berat daging atau bobot tiram akan kembali meningkat seiring dengan
penurunan indeks kematangan gonad (Effendie, 1979).
Tiram yang didapatkan dari kedua lokasi sebagian besar pada fase TKG 4 yaitu
sedang dalam masa pemijahan. Hal ini yang dapat menyebabkan tiram cenderung kurus
karena energi diutamakan untuk kematangan gonad selama proses pemijahan
berlangsung. Penelitian Octavina (2014) juga mendapatkan pertumbuhan tiram yang
cenderung kurus di Kuala Gigieng Aceh Besar umumnya terjadi pada tiarm yang berada
pada fase TKG 3 dan TKG 4. Pada dua lokasi penelitian tersebut nilai b tidak terlihat
perbedaan signifikan, sehingga sampel hasil observasi terlihat relatif sama secara visual.
Berdasarkan nilai b yang relatif sama pada dua lokasi penelitian menunjukkan keadaan
habitat yang relatif homogen. Selanjutnya Arredondo et al. (2016) menyebutkan bahwa
nilai b dengan selisih nilai berdekatan menunjukkan bahwa keadaan 2 lokasi yang berbeda
terdapat kesamaan dalam hal sumber makanan bagi organisme yang diteliti. Menurut
Froese (2006) bahwa faktor lingkungan yang homogen akan mengindikasikan
pertumbuhan hewan sejenis terjadi simililaritas tinggi.
Adapun nilai faktor kondisi Fulton’s (K) menunjukkan rerata pada lokasi Tibang
(5.03) relatif sama berbanding Ulee Lheue (5.06). Walaupun terdapat perbedaan nilai
rerata K, namun tidak berbeda signifikan. Berdasarkan nilai K di dua lokasi penelitian
menunjukkan keadaan lingkungan yang stabil (>1.6) (Morton dan Routledge, 2006).
Muchlisin et al. (2010) menjelaskan bahwa keadaan stabil menjelaskan bahwa perairan
organisme hidup minim akan predator dan kompetitor. Selanjutnya Jin et al. (2015)

Universitas Sumatera Utara


100

menyebutkan bahwa keadaan perairan stabil mengindikasikan sumber makanan yang


tersedia bagi organisme yang diteliti. Nilai faktor kondisi berat relatif (Wr) rerata
menunjukkan lokasi Ulee Lheue (103.83) lebih tinggi berbanding dengan Tibang
(102.30). Hasil ini menunjukkan perairan Ulee Lheue lebih stabil berbanding Tibang,
namun nilai Wr kedua lokasi menunjukkan keadaan yang stabil (>100). Menurut
Muchlisin et al. (2015) nilai Wr yang stabil mengindikasikan bahwa perairan masih
mampu menaungi kehidupan organisme yang diteliti. Selain itu sumber makanan menjadi
faktor penting terhadap keberlangsungan hidup organisme perairan (Zubia et al., 2014).
Walaupun nilai rerata b tiram pada 2 lokasi menunjukkan pertumbuhan negatif,
namun lingkungan masih dalam keadaan stabil yang dibuktikan dengan nilai K dan Wr.
Hal ini kemungkinan dikarenakan sumber makanan tersedia, namun tidak mampu
mencukupi kebutuhan nutrisi tiram. Selanjutnya hal tersebut kemungkinan juga terjadi
karena faktor fisika kimia perairan yang cenderung buruk, sehingga mempengaruhi sistem
fisiologi tiram dan menghabiskan banyak energi untuk proses berdaptasi. Faktor fisika
kimia dapat disebabkan oleh pemanasan global, sedimentasi dan pencemaran. Hasil
penelitian sebelumnya oleh Sarong et al. (2015) di Sungai Lamnyong Banda Aceh dan
Astuti et al. (2016) di pesisir Krueng Raya Aceh Besar menunjukkan bahwa tiram di
lokasi telah tercemar logam berat, sehingga faktor pencemaran berkontribusi terhadap
rendahnya nilai b tiram.
Dinamika populasi merupakan perubahan baik penambahan maupun pengurangan
individu tersebut dalam suatu lingkungan. Penambahan dapat terjadi karena pemijahan
dan migrasi dari suatu lingkungan ke lingkungan yang lain. Menurut Efendi (1997)
penambahan baru organisme ke dalam suatu lingkungan di sebut dengan rekruetrmen.
Rekrutmen sangat tergantung pada organisme yang siap memijah. Pengurangan
organisme di sebabkan oleh mortalitas, baik mortalitas akibat penangkapan maupun
mortalitas alami. Hasil pengukuran Tiram yang tertangkap di dua lokasi penelitian
ditemukan ukuran yang dominan tertangkap adalah 40-50 mm. Di perkirakan tiram yang
tertangkap berumur 1 tahun. Pertumbuhan tiram memiliki laju tercepat pada 3 bulan
pertama, umumnya tiram dapat bertumbuh sekitar 10 mm/bulan., dan tumbuh 1 inci setiap
tahunnya. Pertumbuhan dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama adalah ketersediaan

Universitas Sumatera Utara


101

makanan. Ketersediaan sumber makanan pada lokasi penelitian sangat mendukung untuk
pertumbuhan tiram pada lokasi tersebut. Pada kedua lokasi naungan lingkungan cukup
baik sehingga ukuran tiram yang tertangkap juga cukup besar.
Hasil analisis dinamika populasi menunjukkan tiram di dua lokasi penelitian
(Tibang dan Ulee Lheue) telah di eksploitasi berlebihan, dimana berdasarkan nilai E
0.82year-1 menjelaskan kematian tiram akibat aktivitas penangkapan mencapai 82% atau
melebihi nilai batas lestari yaitu 50%. Selain itu hasil analisis menunjukkan dominasi
tiram tertangkap yaitu pada ukuran panjang kelas 40-50 mm. Hal ini sesuai dengan hasil
analisis panjang optimum penangkapan (Lopt) yaitu ditemukan pada ukuran 45.72 mm.
Dengan demikian berdasarkan ukuran tiram yang dominan tertangkap di estimasikan
berumur 1 tahun. Namun secara keseluruhan 1800 sampel tiram yang tertangkap
diestimasikan berumur 2-3 tahun. Pemijahan tiram pada perairan tropis dapat terjadi
sepanjang tahun ( Bat et al 1978; Almaeda et al ,1999 ; Barber 1996 ). Namun dari hasil
penelitian pada dua lokasi tersebut di temukan rekruetmen tiram terjadi pada bulan Juni
dan Agustus. Namun puncak rekruetmen di temukan pada bulan Agustus. Salah satu
faktor eksternal lingkungan yang sangat berpengaruh dalam proses gametogenesis pada
Bivalvia adalah suhu. Pada bulan Agustus suhu perairan penelitian sangat panas, di
karenakan puncak musim kemarau di Kota Banda Aceh, sedangkan faktor lingkungan
yang lain masih layak untuk pertumbuhan dan pemijahan tiram di dua lokasi tersebut.
Kematian alami yang terjadi pada tiram pada lokasi penelitian umumnya akibat perusakan
habitat saat penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. Penangkapan oleh nelayan dapat
meningkatkan risiko kerusakan pada koloni tiram jika proses panen dilakukan pada tiram
yang belum layak diambil, sehingga turut mempengaruhi kestabilan subtrat tempat
perlekatan. Sedangkan kondisi perairan baik fisik, kimia dan biologi pada kedua lokasi
penelitian masih sangat layak untuk kehidupan tiram.

5.3 Biologi Reproduksi


Berdasarkan identifikasi jenis kelamin ditemukan tiram hermaprodit selain jantan
dan betina. Rasio jenis kelamin (SR) selama penelitian detemukan tiram didominasi
kelamin betina pada dua lokasi, dimana nilai rerata 65.11% di daerah Tibang dan 59.55%

Universitas Sumatera Utara


102

di lokasi Ulee Lheue. Nilai SR tiram setiap bulan mengalami fluktuasi, dimana yang
paling signifikan terlihat pada kelamin hermaprodit. Pada lokasi Tibang di bulan Juli
hinga September nilai SR hermaprodit mengalami kenaikan dan mengalami penurunan
pada bulan Oktober hingga Desember, sedangkan pada lokasi Ulee Lheue nilai SR
hermaprodit pada bulan Juli hingga September terus mengalami penurunan dan
mengalami peningkatan pada bulan Oktober, namun mengalami penurunan lagi pada
bulan November hingga Desember.
Analisis aspek reproduksi tiram menunjukkan puncak pemijahan terjadi pada
bulan Agustus. Hal ini dikarenakan pada bulan tersebut tiram jantan dan betina didominasi
TKG IV (kategori matang). Hasil ini sesuai dengan analisis laju rekruitmen tiram
menggunakan aplikasi Fisat II, sehingga memperkuat kesimpulan puncak pemijahan tiram
terjadi pada bulan Agustus. Pada bulan Agustus khususnya di Banda Aceh merupakan
puncak musim kemarau terjadi, dimana suhu relatif tinggi dan hujan tidak terjadi. Musim
kemarau yang terjadi di bulan Agustus menyebabkan salinitas di perairan habitat tiram
meningkat dan hal ini kemungkinan penyebab terjadinya musim pemijahan pada tiram.
Selanjutnya pada penelitian ini ditemukan tiram jantan pertama kali matang gonad
yaitu pada ukuran 26,40 mm di Tibang dan 25.45 mm di Ulee Lheue. Hal ini menunjukkan
ukuran matang gonad pertama kali tiram jantan tidak signifikan terjadi antar dua lokasi
yang berbeda. Berdasarkan ukuran pertama kali matang gonad tiram diestimasikan
berumur 1 tahun berdasarkan grafik VBGF. Selanjutnya pada tiram betina pertama kali
matang gonad yaitu pada ukuran 20,46 mm di Tibang dan 25,24 mm di Ulee Lheue,
dimana diestimasikan berumur 1 tahun berdasarkan grafik VBGF.
Analisis biologi perairan menyangkut dengan kelimpahan plankton menunjukkan
bahwa perairan Tibang didominasi jenis yang berbeda dengan perairan Ulee Lheue.
Perairan Tibang didominasi jenis plankton Rhizosolenia formosa dengan kelimpahan
mencapai 20734.87 ind/L, sedangkan perairan Ulee Lheue didominasi jenis Gossleriella
tropica dengan kelimpahan mencapai 9553.79 ind/L. Selain dominasi jenis yang berbeda
antar lokasi, berdasarkan kelimpahan juga berbeda. Walaupun dari segi kelimpahan
perairan Tibang lebih tinggi, namun berdasarkan jumlah jenis terlihat perairan Ulee Lheue
lebih tinggi berbanding perairan Tibang. Hal ini kemungkinan terjadi karena lingkungan

Universitas Sumatera Utara


103

antar lokasi berbeda, dimana hasil pengukuran parameter kimia-fisika perairan terlihat
bahwa semua parameter masih mendukung untuk menaungi kehidupan tiram. Namun
demikian suhu, pH dan salinitas perairan Tibang lebih tinggi berbanding perairan Ulee
Lheue, tetapi kandungan DO lebih rendah.
Dari analisis biologi yang dilakukan terhadap kelimpahan fitoplankton berbeda
antara lokasi penelitian Tibang dan Ulee Lheue. Tibang memiliki kelimpahan fitoplankton
yang lebih tinggi daripada Ulee Lheue, namun jumlah jenis di Ulee Lheue lebih tinggi
daripada Tibang. Hal ini dapat disebabkan oleh parameter kualitas perairan yang berbeda
antara kedua lokasi penelitian. Menurut Clark (1977) dalam Widjaja (1994), salinitas
menjadi faktor yang penting dalam penentuan kelimpahan fitoplankton karena
fitoplankton yang berasal dari Genus berbeda memiliki toleransi salinitas berbeda untuk
tumbuh dan hidup secara optimal. Dari hasil pengukuran parameter kualitas perairan,
didapatkan Tibang memiliki rata-rata salinitas yang lebih tinggi daripada perairan Ulee
Lheue selama periode penelitian.
Welch (1980) menyatakan bahwa salinitas dan DO pada perairan berasal dari
difusi oksigen dari udara yang masuk dari lapisan permukaan air, aliran air yang masuk
ke perairan tersebut, curah hujan, dan hasil fotosintesis fitoplankton. Semakin tinggi
kelimpahan fitoplankton akan menghasilkan oksigen yang lebih banyak sehingga
meningkatkan DO. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang mendapatkan kadar DO
pada perairan Tibang lebih tinggi dari Ulee Lheue, dapat disebabkan oleh kelimpahan
fitoplankton pada perairan Tibang yang juga lebih tinggi. Selain itu, dari sisi pertumbuhan,
tiram yang berasal dari Tibang juga didapatkan lebih besar daripada tiram dari Ulee
Lheue. Menurut Gosling (2003), bivalvia dapat memakan partikel-partikel tersuspensi di
perairan seperti mikrozooplankton, fitoplankton, bakteri, detritus, serta bahan organik
terlarut lainnya. Namun sumber makanan utama yang digemari bivalvia adalah
fitoplankton. Suplai makanan yang semakin banyak akan semakin mempercepat
pertumbuhan.
Hasil analisis regresi pada penelitian ini menunjukkan bahwa kelimpahan plankton
tidak mempengaruhi rasio seks pada kedua lokasi penelitian. Fluktuasi nilai rasio seks
tiram yang sangat tinggi dapat menjadi penyebab rendahnya koefisien kolerasi antara

Universitas Sumatera Utara


104

kelimpahan plankton dan rasio seks tiram. Menurut Gosling (2003) rasio seksual setelah
masa pemijahan sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan dan stress fisiologis pada
tiram. Tiram daging yang hidup di lingkungan perairan baik cenderung akan berkembang
menjadi betina. Pada kedua lokasi, didapatkan SR utama yang ditemukan adalah tiram
betina. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi perairan baik untuk perkembangan tiram.

Universitas Sumatera Utara


105

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Terdapat perbedaan signifikan (P<0.05) terhadap karakter morfologi tiram pada 2
lokasi penyamplingan yang berbeda, sehingga dapat mempengaruhi struktur
morfologi tiram dan terdapat variasi bentuk morfologi.
2. Pertumbuhan tiram pada perairan Tibang dan Ulee Lheue berlangsung secara
alometrik negative, keadaan lingkungan pada lokasi penelitian masih dalam keadaan
stabil, sehingga perairan Tibang dan Ulee Lheue masih dapat mendukung kehidupan
tiram.
3. Tiram (Crassostrea gigas) yang diperoleh dari Tibang dan Ulee Lheue secara
keseluruhan diestimasikan berumur 1-3 tahun, dan didominasi oleh ukuran berumur 1
tahun.
4. Tiram jantan pertama kali matang gonad yaitu pada ukuran 26,40 mm di Tibang dan
25,45 mm di Ulee Lheue berumur 1 tahun. Tiram betina pertama kali matang gonad
yaitu pada ukuran 20,46 mm di Tibang dan 25,24 mm di Ulee Lheue berumur 1 tahun.
5. Tiram yang di peroleh pada lokasi penelitian lebih banyak berjenis kelamin betina dan
puncak pemijahan terjadi di bulan Agustus. Di mana pada bulan tersebut di dominasi
oleh TKG IV ( katagori matang ).
6. Parameter lingkungan perairan masih mendukung pertumbuhan tiram, dan
kelimpahan plankton tidak berpengaruh terhadap jenis kelamin atau sex ratio tiram.

6.2 Saran
Adapun rekomendasi berdasarkan hasil penelitian yaitu:
1. Pada penelitian selanjutnya, sebaiknya sampel tiram yang diteliti adalah tiram yang
telah dibudidaya untuk dapat mengidentifikasi durasi yang dibutuhkan tiram dalam
proses kematangan gonad setiap siklus pemijahan.

Universitas Sumatera Utara


106

2. Pada saat puncak pemijahan direkomendasikan dengan cara sosialisasi oleh stake
holder bekerja sama dengan peneliti kepada nelayan pencari tiram agar tidak
melakukan pengambilan tiram terkhusus pada bulan Agustus, agar populasi tiram
lestari dan pemanfaatannya maksimal.
3. Sebaiknya dilakukan budidaya tiram agar kelestariannya tetap terjaga.

Universitas Sumatera Utara


107

DAFTAR PUSTAKA

Adenike, F.A. 2013. The sex ratio, gonadosomatic index, stages of gonadal development
and fecundity of Sompat Grunt, Pomadasys jubelini (Cuvier, 1830). Pakistan
Journal of Zoology, 45(1): 41-46.

Almeida MJ, Machado J, Coimbra J, 1999. Growth and biochemical composition of


Crassostrea gigas (Thunberg) and Ostrea edulis (Linné) in two estuaries from the
north of Portugal. Journal of Shellfish Research, 18(1):139-146.

Amaral VS, Simone L. 2014. Revision of genus Crassostrea (bivalvia:ostreidae) of brazil.


Journal of the Marine Biological Association of the United Kingdom, p. 1 – 26.

Angell, C.L. 1986. The biology and culture of tropical oysters. Published by the
International Center for Living Aquatic Resources Management, Makati, Metro
Manila, Philippines.

Arredondo, M.S.I., E.M. Enriquez, X.G.M. Sanchez, L.A.A. Cardenas, J.S.R. Perez. 2016.
Weight-length relationship and condition factor of leopard grouper
Mycteroperca rosacea (Perciformes: Serranidae) from the Gulf of California.
California Fish and Game, 102(2): 50-54.

Astuti, I., S. Karina, I. Dewiyanti. 2016. Analisis kandungan logam berat Pb pada tiram
Crassostrea cucullata di pesisir Krueng Raya, Aceh Besar. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah, 1(1): 104-113.

Bae PA, Pyen CK, Ko CS, Kim Y, Kang PA, 1978. Studies on suspended culture of oyster
Crassostrea gigas in the Korean coastal waters. 4. On the environmental factors
of oysters culturing farms and the growth rate of oysters. Bull. Fish. Res. Dev.
Agency, Busan, 20:109-119.

Bacher C, Gangnery A. 2006. Use of dynamic energy budget and individual based models
to simulate the dynamics of cultivated oyster populations. Jou Sea Res, 56: 140-
155.

Barber BJ, 1996. Gametogenesis of eastern oysters, Crassostrea virginica and Pacific
oyster C. gigas in disease-endemic lower Chesapeake Bay. J. Shellfish Res.,
15(2):285-290.

Universitas Sumatera Utara


108

Batista, F.M., R. Ben-Hamadou, V.G. Fonseca, N. Taris, F. Ruano, M.A. Reis-Henriques,


P. Boudry. 2008. Comparative study of shell shape and muscle scar pigmentation
in the closely related cupped oysters Crassostrea angulata, C. gigas and their
reciprocal hybrids. Aquatuc Living Resource, 21: 31-38.

Bochenek EA, Klinck JM, Powell EN, Hofmann EE, 2001. A biochemically based model
of the growth and development of Crassostrea gigas larvae. Journal of Shellfish
Research, 20(1):243-266.

Borges ME, Dos Santos E, Cazzaniga NJ, 2002. Density and Growth of Pacific oyster
Crassostrea gigas in an intertidal oyster reef in the southern Atlantic coast of
Buenos Aires Province, Argentina.

BPS Aceh. 2016. Aceh Dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Banda
Aceh.

Brower JE, Zar JH. 1977. Field and laboratory method for general ecology. Dubuque,
Iowa (US): Wm.C Brown Pulb.

Brusca G, Ardil D, 1974. Growth and survival of oyster Crassostrea gigas, C. virginica,
and Ostrea edulis in Mauritius. Revue Agricole et Sucrière de l’Ile Maurice,
53:111-131.

Castanos C, Pascual M, Camacho AP. 2009.Reproductive biology of the nonnative oyster,


Crassostrea gigas (Thuberg, 1793), as a key factor for its successful spread along
the rocky shores of northern Patagonia, argentina. Journal of Shellfish Research,
Vol. 28, No.4, 837 – 847.

Child, A.R.: Laing, I.Comparative low temperature tolerance of small juvenile European,
Ostrea edulis L., and Pacific oysters, Crassostrea gigas Thunberg.: Aquac-res.
Oxford : Blackwell Science, c1995-. Feb 1998. v. 29 (2) p. 103-113.

Clausen, I. & Riisgård, U. (1996) Growth, filtration and respiration in the mussel Mytilus
edulis: no evidence for physiological regulation of the filter-pump to nutri- tional
needs. Mar. Ecol. Prog. Ser., 141, 37–45.

CSIRO. 2002. Australians select best Pacifics collaborative breeding program. Fish
Farming International, 29(10):34-35.

Dame R F, Bushek D, Prins T. 2001. Benthic suspension feeders as determinants of


ecosystem structure and function in shallow coastal waters.Ecol. Stud. 151:11–
37.

Universitas Sumatera Utara


109

Delmendo, M. 1989. Bivalve Farming: an Alternative Economic Activity for Small-Scale


Coastal Fishermen in The Asean Region. ASEAN/UNDP/FAO Regional Small-
Scale Coastal Fisheries Development Project. Philippines.

DeRobertis, A., K. William. 2008. Weight-length relationship in fisheries studies: the


standard allometric model should be applied with caution. Journal of
Transactions of the American Fisheries Society, 137(1): 707-719.

Deshmukh, A.V., S.R. Kovale, M.S. Sawant, M.M. Shirdhankar, A.B. Funde. 2010.
Reproductive biology of Sardinella longiceps along Ratnagiri coast off
Maharshtra. Indian Journal of Marine Science, 39(2): 274-279.

Diederich, S. 2006. High survival and growth rates of introduced pacific oyster may cause
restrictions on habitat use by native mussesls in the Wadden Sea. Journal of
Experimentalmarine Biology and Ecology, 328(2): 211-227.

Effendie H. 2003. Telaah kualiatas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan
perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Effendie, MI. 1979. Metode biologi perikanan. Bogor (ID): Yayasan Dewi Sri.

Evseev, G. A. & Yakovlev. M. 1996. The Anatomy of the Pacific Oyster, Crassostrea
gigas (Thurnberg) (Bivalvia: Ostreidae). Publications of Seto Marine Biological
Laboratory 37: 239-255.

Fadli, N., I. Setiawan, N. Fadhilah. 2012. Keragaman makrozoobenthos di perairan Kuala


Gigieng, Kabupaten Aceh Besar. Depik, 1(1): 45-52.

Famme, P., Riisgård, H.U. & Jørgensen, C.B. (1986) On direct measurements of pumping
rates in the mussel Mytilus edulis. Mar. Biol., 92, 323–27.

Feng, Dandan & Li, Qi & Yu, Hong & Zhao, Xuelin & Kong, Lingfeng. 2015.
Comparative Transcriptome Analysis of the Pacific Oyster Crassostrea gigas
Characterized by Shell Colors: Identification of Genetic Bases Potentially
Involved in Pigmentation.

Ferreira, M.A.P., L.F. Paixao, C.P. Alcantara-Neto, S.S.D. Santos, R.M. Rocha. 2006.
Morphological and morphometric aspects of Crassostrea rhizophorae
(Guilding, 1828) oocytes in three stages of the gonadal cycle.
International Journal of Morphology, 24(3): 437-442.

Universitas Sumatera Utara


110

Fisher WS, Winstead JT, Oliver LM, Edmiston L, Bailey GO. 1996. Physiologic
variability of eastern oysters from Apalachicola Bay, Florida. J. Shell. Res.
15(3): 543-553.

Froese, R. 2006. Cube law, condition factor and weight–length relationships: history,
meta-analysis and recommendations. Journal of Applied Ichthyology, 22(4):
241-253.

Gaughan, D.J., R.W.D. Mitchell. 2000. The biology and stock assessment of the tropical
sardine, Sardinella lemuru, off the mid-west coast of Western Australia.
Fisheries Research Report. Published by Fisheries Western Australia, Perth.

Grizzle, R.E., K.M. Ward, C.R. Peter, M. Cantwell, D. Katz, J. Sullivan. 2016. Growth,
morphometrics and nutrient content of farmed eastern oysters, Crassostrea
virginica (Gmelin), in New Hampshire, USA. Aquaculture Research, 1-13.

Gosling, E. 2003. Bivalve molluscs : biology, ecology, and culture. Fishing New Books,
UK. 433 pp.

Herdiana, Y., S. Campbell, A. Baird. 2008. Systematic marine conservation planning:


towards a marine representative areas network in Nanggroe Aceh Darussalam,
Indonesia. Procceding. The 11th International Coral Reef Symposium, Ft.
Lauderdale, Florida. Page 1112-1115.

Hoellein, T.J., C.B. Zarnoch. 2014. Effect of eastern oysters (Crassostrea virginica) on
sediment carbon and nitrogen dynamics in an urban estuary. Ecological
Applications, 24(2): 271-286.

Imai, T. 1982. The evolution of oyster culture. In: Aquaculture in shallow seas. Kotheker,
V.S., editor. India. New Delhi:Pauls Press. pp. 135–204.

Invasive Species Compendium. 2018. Crassostrea gigas. UK: England and Wales
Licence.

Izwandy. 2006. Pengaruh Faktor-Faktor Persekitaran terhadap Pertumbuhan dan


Kemandirian Tiram Komersil, (Crassostrea iredalei Faustino 1932) di Kawasan
Penternakan Tiram di Kg. Telaga Nenas, Perak. [Tesis]. Malaysia (MLY): USM.

Jin, S., X. Yan, H. Zhang, W. Fan. 2015. Weight–length relationships and


Fulton’scondition factors of skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) in the western
and central Pacific Ocean. PeerJ, 9: 1-11.

Universitas Sumatera Utara


111

Juanda, Martunis. 2014. Analisa kelayakan finansial pegembangan Cold Storage Plant di
Pelabuhan Perikanan Lampulo Baru Banda Aceh. Jurnal Teknologi dan Industri
Pertanian Indonesia, 6(1): 2014.

Kang G. 2003. Enzyme-linked immunosorbent assay (elisa) used in quantification of


reproductive output in the pacific oyster, Crassostrea gigas, in Korea. JEMBE,
282(1-2):1-21.

Kastoro WW. 1992. Beberapa aspek biologi dan ekologi dari jenis-jenis moluska laut
komersial yang diperlukan untuk menunjang usaha budidayanya. Prosiding
Temu Ilmiah Potensi Sumberdaya Kekerangan Sulawesi Selatan dan Tenggara
Watampone; 1992 Feb 17-18; Maros: Badan Penelitian Perikanan Budidaya
Pantai.

Klinbunga, S., B. Khamnamtong, N. Puanglarp, P. Jarayabhand, W. Yoosukh, P.


Menasveta. 2005. Molecular taxonomy of cupped oysters (Crassostrea,
Saccostrea and Striostrea) in Thailand based on COI, 16S, and 18S rDNA
polymorphism. Marine Biotechnology, 7: 306-317.

Kudale, R.G., J.L. Rathod. 2016. Maturation and spawning in the fringe scale sardine,
Sardinella fimbriata (Cuvier and Valenciennes, 1847) from Karwar Waters,
Uttar Kannada District, Karnataka. International Journal of Fisheries and
Aquatic Studies, 4(2): 96-99.

Lam, K., B. Morton. 2003. Morphological and mitochondrial DNA characteristics of two
cultured species of cupped-oysters (Bivalvia: Ostreidae) in Hong Kong: towards
a significant taxonomic name change. Proceedings of an International Workshop
Reunion Conference, Hong Kong 21-26 October 2001.

Lejart M, Hily C. 2011. Differential response of benthic macrofauna to the formation of


novel oyster reefs (Crassostrea gigas, thunberg) on soft and rocky substrate in
the intertidal of the Bay of Brest, France. J Sea Research, 65: 84-93.

Levinton JS. 1982. Marine ecology. Printice-Hall Inc., Englewood Cliff, N.J. p.526.

Lindawaty, I. Dewiyanti, K. Sofyatuddin. 2016. Distribusi dan kepadatan kerang darah


(andara sp) berdasarkan tekstur substrat di perairan Ulee Lheue Banda Aceh.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah, 1 (1): 114-123.

Ludwig, JA, Reynold, JF. 1988. Statistical Ecology. A. Primer on Method on Competing:
Jhon Willey and Sons.

Universitas Sumatera Utara


112

Lowe M, Gereffi G, Stokes S, Wunderink S. 2012. Restoring Gulf Oyster Reefs. Center
on Globalization, Governance, & Competitiveness, Duke University.

Mann, R., J.M. Harding, M. Southworth. 2009. Reconstructing precolonial oyster


demographics in the Chesapeake Bay, USA. Estuarine, Coastal and Shelf
Science. 85: 217-222.

Mann R, Burreson EM, Baker PK, 1991. The decline of the Virginia oyster fishery in
Chesapeake Bay: considerations for introduction of a non-endemic species,
Crassostrea gigas (Thunberg, 1793). J. Shellfish Res., 10(2):379-388.

McKnight, W., Chudleigh, I.J. 2015. Pacific oyster Crassostrea gigas control within the
inter-tidal zone of the North East Kent Marine Protected Areas,
UK. Conservation Evidence, 12: 28-32.

Melo, A.G.C.D., E.S. Varela, C.R. Beasley, H. Schneider, I. Sampaio, P.M. Gaffney, K.S.
Reece, C.H. Tagliaro. 2010. Molecular identification, phylogeny and geographic
distribution of Brazilian mangrove oysters (Crassostrea). Genetics and
Molecular Biology, 33(3): 564-572.

Morton, A., R.D. Routledge. 2006. Fulton’s condition factor: is it a valid measure of sea
lice impact on juvenile salmon?. North American Journal of Fisheries
Management, 26: 56-62.

Muchlisin, Z.A., M. Musman, M.N. Siti-Azizah. 2010. Length-weight relationships and


condition factors of two threatened fishes, Rasboratawarensis and Poropuntius
tawarensis, endemic to Lake Laut Tawar, AcehProvince, Indonesia. Journal of
Applied Ichthyology, 26: 949-953.

Muchlisin, Z.A., A.S. Batubara, M.N. Siti-Azizah, M. Adlim, A. Hendri, N. Fadli, A.A.
Muhammadar, S. Sugianto. 2015. Feeding habit and length weight relationship
of keureling fish, Tor tambra Valenciennes, 1842 (Cyprinidae) from the western
region of Aceh Province, Indonesia. Biodiversitas, 16(1): 89-94.

Nadjib MM. 2008. Studi pemanfaatan kulit kerang sebagai bahan penyusun pada
pembuatan lem kaca jurusan kimia. Hayati, 13: 153–156.

National Introduced Marine Pest Information System (NIMPIS). 2002. Crassostrea gigas
species summary. National Introduced Marine Pest Information System. Web
publication.

Universitas Sumatera Utara


113

Nehring S, 2006. NOBANIS – invasive alien species fact sheet – Crassostrea gigas –
From: Online database of the North European and Baltic Network on Invasive
Alien Species – NOBANIS www.nobanis.org,5/2007.

Nybakken, JW. 1992. Biologi laut, suatu pendekatan ekologis. Jakarta (ID): Gramedia.
Penerjemah: Eidman dkk.

Octavina, C. (2014). Aspek Pemanfaatan Sumberdaya Tiram Daging (Ostreidae) sebagai


Upaya Pengelolaan Berbasis Struktur Populasi di Kuala Gigieng, Aceh Besar.
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Octavina, C., F. Yulianda, M. Krisanti. 2014. Struktur komunitas tiram dagingdi perairan
estuaria Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Depik, 3(2):
108-117.

Octavina, C., F. Yulianda, M. Krisanti, Z.A. Muchlisin. 2015. Length-weight relationship


of Ostreidae in the Kuala Gigieng estuary, Aceh Besar District, Indonesia.
AACL Bioflux, 8(5): 817-823.

Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company Ltd. Philadelphia.

Okgerman, BIVALVIA. 2005. Seasonal variation of the length weight and condition
factor of Rudd (Scardinius erythrophthalmus L) in Spanca Lake. International
Journal of Zoological Research, 1(1): 6-10.

Olsen AM, 1994. The history of development of the Pacific oyster Crassostrea gigas
(Thunberg) industry in South Australia. Trans. R. Soc. S. Aust., 118(3-4):253-
259.

Prasad, R.D., Y.P. Rao. 2015. Studies on food and feeding habits of Harpiosquilla harpax
(de Haan, 1844) (Crustacea: Stomatopoda) represented in the shrimp trawl net
by-catches off Visakhapatnam, east coast of India. International journal of
Advanced Research, 3(7): 1578-1584.

Priyantini, D.F., D. Arfiati, A. Kurniawan. 2016. Analisis berat daging dan IKG (indeks
kematangan gonad) tiram Crassostrea iredalei berdasarkan fase bulan.
Prosiding. Seminar Nasional Kelautan 2016, Universitas Trunojoyo Madura.

Roberts, R.J. 2012. Fish pathology fourth edition. Blackwell Publishing Ltd. Hoboken,
New Jersey, USA.

Ruesink, J.L., Lenihan, H.S., Trimble, A.C., Heiman, K.W., Micheli, F., Byers, J.E. &
Kay, M.C. 2005.Introduction of Non-Native Oysters: Ecosystem Effects and

Universitas Sumatera Utara


114

Restoration Implications. Annual Review of Ecology, Evolution, and


Systematics 36: 643-689.

Rypel, A.L., T.J. Richter. 2008. Empirical Percentile standard weight equation for the
Blacktail Redhorse. North American Journal of Fisheries Management, 28(1):
1843-1846.

Sahin C, Ertug D, Ibrahim O. 2006. Seasonal variasion in condition index and gonadal
development of the introduced blood cockle Anadara inaequaivalvis (Brugiere,
1789) in The Southeastern Black Sea Coast, Turkish. JFAS, 6: 155-163.

Sakai A.K., Allendorf F.W., Holt J.S., Lodge D.M., Molofsky J., With K.A., Baughman
S., Cabin R.J., Cohen J.E., Ellstrand N.C., McCauley D.E., Neil P.O., Parker
I.M., Thompson J.N., Weller S.G.. (2001). Population Biology of Invasive
Species. Annual Review of Ecology and Systematics, Vol. 32: 305-332

Santoso P. 2010. Pengaruh kejut salinitas terhadap pemijahan tiram (Crassostrea


cucullata Born). Ilmu Kelautan, 15(3): 159-162.

Sarong, M.A., C. Jiha, Z.A. Muchlisin, N. Fadli, S. Sugianto. 2015. Cadmium, lead and
zinc contamination on the oyster Crassostrea gigas muscle harvested from the
estuary of Lamnyong River, Banda Aceh City, Indonesia. AACL Bioflux, 8(1):
1-6.

Schindler, I. and J. Schmidt. 2006. Review of mouthbrooding Betta (Teleostei,


Osphronemidae) from Thailand, with description of two new species. Journal of
Zeitschrift fur Fischkunde, Vol 8(1): 47-69.

Shumway, S.E., Cucci, T.L., Newell, R.C. & Yentch, C.M. (1985) Particle selection,
ingestion, and absorption in filter-feeding bivalves. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 91,
77– 92.

Shumway, S.E., Davis, R., Downey, R., Karney, J., Kraeuter, J., Parsons, Rheault, R. &
Wikfors, G. 2003. Shellfish aquaculture – in praise of sustainable economies and
environments. World Aquaculture 34: 8-10.

Sudjadi, M. dan I. M. Widjik S. 1972. Metoda Analisa Air Irigasi. Publikasi No. 8/72,
Lembaga Penelitian Tanah, Bogor.

Suradi WJ. 2003. Mata Kuliah Dinamika Populasi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro.

Universitas Sumatera Utara


115

Tack JF, Berghe E, Polk PH (1992) Ecomorphology of Crassostrea cucullata (Born, 1778)
(Ostreidae) in a man- grove creek (Gazi, Kenya). Hydrobiologia 247, 109–117.

Theede, H. (1963) Experimentelle Untersuchungen über die Filtrationsleistung der


Miesmuschel Mytilus edulis L. Kieler Meeresforschungen, 21, 153–166.

Trivedi, S., A.A. Aloufi, A.A. Ansari, S.K. Ghosh. 2015. Molecular phylogeny of oysters
belonging to the genus Crassostrea through DNA barcoding. Journal of
Entomology and Zoology Studies, 3(1): 21-26.

Vercaeemer, B., K. Spence, C. Herbinger, S. Lapegues, E. Kenchington. 2006. Genetic


diversity of the european oyster (Ostrea edulis) in Nova Scotia: assessment and
implications for broodstock management, Journal of Shell Research, 25:543-
551.

Wang, Y., Z. Xu, X. Guo. 2004. Differences in the rDNA-bearing chromosome divide the
Asian-Pacific and Atlantic species of Crassostrea (Bivalvia, Mollusca). Biol.
Bull., 206: 46-54.

Wang, H., L. Qian, A. Wang, X. Guo. 2013. Occurrence and distribution of Crassostrea
sikamea (Amemiya 1928) in China. Journal of Shellfish Research, 32(2): 439-
446.

Wang J, Christoffersen K, Buck S, Tao BIVALVIA. 2007. The pacific oyster (Crassostrea
gigas) in the Isefjord, Denmark. Dept of Environmental, Social, and Spacial
Change, Denmark.

Welch, E.B. 1980. Ecological effect of waste water. Cambridge Univ. Press. Cambridge :
xvi + 357 hal.

Widjaja, F., S. Suwignyo, F. Yulianda & H. Effendi. 1994. Komposisi jenis, kelimpahan
dan penyebaran plankton laut di Teluk Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor : x+95 hal.

Wilson, J.H. & Seed, R. (1974) Laboratory experiments in pumping and filtration in
Mytilus edulis L. using suspensions of colloidal graphite. Ir. Fish. Invest. Series
B, 14, 1–20.

Wu, X., S. Xiao, Z. Yu. 2013. Mitochondrial DNA and morphological identification of
Crassostrea zhanjiangensis sp. nov. (Bivalvia: Ostreidae): a new species in
Zhanjiang, China. Aquatic Living Resources, 26: 273-280.

Universitas Sumatera Utara


116

Yulianda F. 2003. Beberapa aspek biologi reproduksi keong macan (Babylonia spirata
Linnaeus, 1758). [Disertasi]. Bogor (ID): IPB.

Yonvitner. 2001. Struktur Komunitas Makrozoobenthos dan Pertumbuhan Kerang Hijau


(Perna viridis, Linn, 1758) di Perairan Muara Kamal dan Bojonegoro [tesis].
Program Pasca Sarjana, Institut Petanian Bogor. Bogor.

Zubia, M., BIVALVIA. Rehana, S.BIVALVIA. Muhammad, M.T. Omer, L. E-Zehra,


S.O. Adeyemi. 2014. Length-weight relationship, condition and relative
condition factor of four mugilid species (Family Mugildae) from the Karachi
Coast of Pakistan. Journal of Coastal Development, 17(1): 2-6.

Universitas Sumatera Utara


117

LAMPIRAN

Lampiran 1. Pengukuran Panjang total dan panjang gonad

Lampiran 2. Variasi ukuran tiram yang diperoleh saat penelitian

Universitas Sumatera Utara


118

Lampiran 3. Sampling dan analisis sampel di laboratorium

Lampiran 4. Pengukuran kualitas perairan (DO, pH, Salinitas)

Universitas Sumatera Utara


119

Lampiran 5. Pengamatan telur tiram

Universitas Sumatera Utara


120

Lampiran 6. Data klimatologi banda aceh dari januari-desember 2017

(Sumber: BMKG 2019)

Universitas Sumatera Utara


121

DAFTAR SINGKATAN

q = Gram
Mm = Milimeter
ph = Derajat Keasaman
C = Celcius
DO = Dissolved Oxygen
PPM = Part Per Million
CO2 = Carbon Dioksida
Ind = Individu

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai