DISERTASI
LILI KASMINI
128109003
DISERTASI
Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Program Studi Biologi, di bawah
pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof xxxxxxx, dipertehankan pada tanggal 24
Januari 2019, di Medan, Sumatera Utara
LILI KASMINI
128109003
MEDAN
2019
DISERTASI
Saya menyatakan bahwa disertasi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Lili Kasmini
128109003
Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama : Lili Kasmini
NIM : 128109003
Program Studi : Doktor Ilmu Biologi
Jenis Karya Ilmiah : Disertasi
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif
ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat,
mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan disertasi saya tanpa
meminta izin dari saya selama mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai
pemegang dan atau sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.
Lili Kasmini
Pimpinan Sidang : Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum Rektor USU
ii
A. Identitas Diri
Nama : Lili Kasmini, M.Si
Tempat dan Tanggal Lahir : Trung Campli, 17 Desember 1968
Agama : Islam
NIP/NIK : 012409682005
Golongan/Pangkat : IIId/Penata Tk I
Pekerjaan : Staf STKIP Bina Bangsa Getsempena
Jabatan Fungsional : Lektor
Alamat : Tanggul Krueng Aceh, No 34 Rukoh, Darussalam-Banda
Aceh
Telp./Faks : 082366919644/-
Alamat e-mail : lili@stkipgetsempena.ac.id
B. Riwayat Pendidikan
1990-1994 : Universitas Medan Area Jurusan Biologi
2001-2004 : Universitas Andalas Padang Jurusan Biologi
2013-2019 : Universitas Sumatera Utara Jurusan Biologi
C. Riwayat Pekerjaan
2008-2014 : Staf pengajar program studi biologi STKIP
2014-sekarang : Ketua Sekolah Tinggi STKIP Bina Bangsa Getsempena
D. Publikasi Ilmiah
No. Tahun Judul Penerbit/Jurnal
1 2015 Pengaruh Eksperimen Sains pada materi Jurnal Buah Hati
mencampur warna terhadap perkembangan (Volume III Nomor 1.
kognitif Anak kelompok B2 pada TK Pertiwi Maret 2015):
Banda Aceh
2 2015 Pengaruh Metode Bermain Sentra Bahan Alam Jurnal BUAH HATI
Terhadap Perkembangan Kreativitas Anak (Volume II Nomor 2.
Oktober 2015)
3 2016 Pengaruh Metode Bermain Sentra Bahan Alam Jurnal BUAH HATI
Terhadap Perkembangan Kreativitas Anak (Volume III Nomor 1.
Oktober 2016)
4 2016 Upaya Meningkatkan Kepercayaan Diri Pada Prosiding Seminar
Anak Melalui Kegiatan Bermain Peran Nasional Kepastian
Hukum,
Nondiskriminasi dan
iii
iv
ABSTRAK
Tiram merupakan salah satu komoditas perikanan yang diminati oleh masyarakat
Aceh, termasuk di Kota Banda Aceh. Eksploitasi berupa penangkapan berlebihan dan
pencemaran pada perairan menyebabkan penurunan kuantitas maupun kualitas tiram
daging di perairan Banda Aceh. Studi mengenai aspek pertumbuhan dan biologi
reproduksi tiram butuh dilakukan untuk mendukung upaya budidaya dimasa mendatang
dibutuhkan untuk menjaga tiram sehingga dapat terus lestari. Penelitian dilakukan selama
enam bulan sejak Juli hingga Desember 2017. Sampel diambil dari dua lokasi penelitian
yaitu perairan Tibang dan Ulee Lheu, dengan masing-masing lokasi dibagi kembali
menjadi tiga titik stasiun pengambilan sampel. Metode penelitian yang digunakan adalah
purposive random sampling. Analisis data meliputi pengukuran morfometrik, prediksi
usia, laju mortalitas, pola rekruitmen, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan
gonad, fekunditas, dismorfisme seksual, rasio jenis kelamin, dan analisis siklus
reproduksi. Analisis parameter kualitas perairan dan keragaman fitoplankton juga
dilakukan di agar dapat diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan bioreproduksi
tiram. Sampel tiram yang didapatkan dari dua lokasi penelitian memiliki karakter
morfologi yang berbeda secara signifikan (p<0,05). Pertumbuhan tiram terjadi secara
allometrik negatif, sebagian besar tiram yang diambil berumur 1 tahun. Tiram jantan
pertama kali matang gonad pada ukuran 26,40 mm di Tibang dan 25,45 mm di Ulee
Lheue. Tiram betina pertama kali matang gonad pada ukuran 20,46 mm di Tibang dan
25,24 mm di Ulee Lheue. Puncak pemijahan terjadi pada bulan Agustus, dengan rerata
fekunditas 17.360.821 telur/ekor pada Tibang dan 17.108.206 telur/ekor pada Ulee Lheue.
Pada penelitian ini didapatkan tiram berjenis kelamin hermafrodit. Lingkungan perairan
di kedua lokasi penelitian masih mendukung pertumbuhan tiram. Kelimpahan plankton
pada kedua perairan tidak mempengaruhi jenis kelamin dan rasio seksual tiram.
ABSTRACT
Oysters are one of the fisheries commodities that people in Aceh are interested in.
Exploitation in the form of overfishing and water pollution causes a decrease in the
quantity and quality of meat oysters in the coastal area of Banda Aceh. Studies related to
growth and the reproductive biology of oysters need to be carried out to support
cultivation efforts for the preservation of oysters. The study was conducted for six months
from July to December 2017. Samples were taken from two research sites in Tibang and
Ulee Lheue, with each location being divided into three sampling stations. The research
method uses purposive random sampling. Data analysis included morphometric
measurements, age prediction, mortality rate, recruitment pattern, gonadal maturity level,
gonadal maturity index, fecundity, sexual dysmorphism, sex ratio, and reproductive cycle
analysis. Analysis of the parameters of water quality and phytoplankton diversity was also
carried out in order to determine the effect on the growth and bioreproduction of oysters.
Samples obtained from the two study sites had significantly different morphological
characters (p <0.05). Oyster growth is allometrically negative, most oysters taken are 1
year old. The male oyster gadads were first matured at 26.40 mm in Tibang and 25.45
mm at Ulee Lheue. The female oyster gonads were first matured at 20.46 mm in Tibang
and 25.24 mm in Ulee Lheue. The peak spawning period occurred in August, with an
average fecundity of 17,360,821 eggs/oysters in Tibang and 17,108,206 eggs/oysters at
Ulee Lheue. In this study, hermaphrodite sex oysters were obtained. The aquatic
environment in both research locations is able to support the growth of oysters. Plankton
abundance in both study locations did not affect the sex ratio of oysters
vi
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian yang telah
dilaksanakan sejak bulan Juli hingga Desember 2017 ini berjudul Analisis Pertumbuhan
dan Bioreproduksi Tiram Daging (Crassostrea gigas) di Perairan Pesisir Kota Banda
Aceh. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
a) Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Rektor USU atas kesempatan dan
fasilitas yang diberikan untuk penulis menyelesaikan program pendidikan Doktor
dalam bidang Ilmu Biologi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Sumatera Utara Medan.
b) Dr. Kerista Sebayang, MS selaku dekan FMIPA USU dan Prof. Dr. Syarifruddin
Ilyas, M.biomed selaku Ketua Program Studi Ilmu Biologi yang telah memberi
dukungan dan motivasi pada penulis.
c) Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc., Prof. Dr. Ali Sarong, M.Si., Dr. Miswar
Budi Mulya, M.Si., selaku pembimbing atas waktu, ilmu, arahan, dan kesabaran
dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan disertasi ini,
d) Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed dan Prof. Dr. rer.nat Binari Manurung, M.Si
selaku penguji atas segala waktu, saran dan masukan membangun yang telah
diberikan terhadap disertasi ini,
e) Yayasan Pendidikan Getsempena dan seluruh civitas STKIP Bina Bangsa
Getsempena yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melanjutkan
pendidikan ke Universitas Sumatera Utara,
f) Dr. Agung Setia Batubara, M.Si yang telah banyak membantu dalam penyelesaian
disertasi ini,
Lili Kasmini
vii
PENGESAHAN TESIS I
PANITIA PENGUJI II
RIWAYAT HIDUP III
ABSTRAK V
ABSTRACT VI
PRAKATA VII
DAFTAR ISI VIII
DAFTAR TABEL XI
DAFTAR GAMBAR XIII
DAFTAR LAMPIRAN XVII
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.4 Kebaruan Penelitian 6
1.5 Manfaat Penelitian 6
1.6 Ruang Lingkup Penelitian 7
viii
ix
Nomor
Judul Tabel Halaman
Tabel
2.1 Karakteristik cangkang dalam identifikasi spesies 9
2.2 Keterangan pengukuran morfologi tiram 23
Kesesuaian perairan berdasarkan nilai TSS untuk kepentingan
2.3 42
perikanan
3.1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian 49
3.2 Pengukuran traditional morphometric 55
Hasil uji statistik karakter morfometrik pada setiap populasi
4.1 tiram. Nilai yang diikuti superscript yang berbeda 66
menunjukkan berbeda signifikan (P<0.05)
Nilai Eagenvalues, % variance and matrix structure karakter
4.2 morfometrik tiram. Tanda bintang menunjukkan kontribusi 68
karakter pada fingsi berkenaan
Pertumbuhan tiram (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram
4.3 (Crassostrea gigas) di kawasan perairan Tibang dan Ulee 72
Lheue, Kota Banda Aceh
Pertumbuhan (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram
4.4 (Crassostrea gigas) jantan di kawasan perairan Tibang dan 73
Ulee Lheue, Kota Banda Aceh
Pertumbuhan (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram
4.5 (Crassostrea gigas) betina di kawasan perairan Tibang dan 74
Ulee Lheue, Kota Banda Aceh
Pertumbuhan (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram
4.6 (Crassostrea gigas) hermaprodit di kawasan perairan Tibang 74
dan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh
4.7 Parameter pertumbuhan dinamika populasi 83
xi
xii
Nomor
Judul Halaman
Gambar
Penampakan cangkang eksternal (a) Ostrea edulis tampak
lebih sirkular, (b) dan (c) cangkang eksternal Crassostrea
2.1 27
gigas berbentuk tidak simetris (Sumber : McKnight dan
Chudleigh, 2015)
Penampakan bagian dalam dari Crassostrea gigas, dapat
2.2 diamati bagian gonad, insang, mantel, dan otot-otot. (Sumber 27
: McKnight dan Chudleigh, 2015)
2.3 Sistem pencernaan tiram daging (Sumber : Gosling E, 2003) 29
Gambaran potongan melintang kelenjar pencernaan,
menunjukkan absorpsi dan pencernaan intraselular dari
2.4 30
material yang masuk ke lambung dan keluarnya zat sisa dari
proses pencernaan. (Sumber: Gosling E, 2003)
Urutan taksonomi dari terbesar hingga terkecil, semakin ke
2.5 32
bawah organisme semakin spesifik
Teknik pengukuran morfologi tiram dilakukan dengan cara
2.6 mengukur panjang total, lebar, dan tinggi dari cangkang 39
(Sumber : Octavina, 2014)
Kurva pertumbuhan menurut von Bertalanffy digunakan
2.7 untuk memperkirakan panjang bivalvia pada umur tertentu 41
(Sumber: Suradi W, 2007)
Keseimbangan dinamika populasi di suatu wilayah
dipengaruhi oleh natalitas, imigrasi, mortalitas, dan emigrasi
2.8 41
(diadaptasi dari: Suradi W, 2007)
xiii
xiv
xv
xvi
Nomor
Judul Halaman
Lampiran
1 Pengukuran Panjang total dan panjang gonad 117
2 Variasi ukuran tiram yang diperoleh saat penelitian 117
3 Sampling dan analisis sampel di laboratorium 118
4 Pengukuran kualitas perairan (DO, pH, Salinitas) 118
5 Pengamatan telur tiram 119
6 Data klimatologi banda aceh dari januari-desember 2017 120
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
dikembangkan dan dilestarikan demi kepentingan bersama. Salah satu sumber daya alam
komoditas pesisir yang dimanfaatkan masyarakat untuk sumber kehidupan adalah tiram.
Tiram merupakan salah satu organisme dari Filum Molusca, Kelas Bivalvia dan Ordo
Ostreoidea. Tiram dikenal memiliki banyak manfaat, terutama sebagai salah satu sumber
makanan bergizi. Selain itu, tiram juga memiliki peran penting terhadap sumber
kehidupan masyarakat nelayan khususnya nelayan wanita. Hal ini dikarenakan keahlian
nelayan wanita yang terbatas sehingga sangat bergantung pada sumberdaya yang lebih
mudah dijangkau, salah satunya adalah dengan mengambil tiram. Hal ini dilakukan untuk
dapat membantu perekonomian keluarga di saat kepala keluarga kurang mendapatkan
hasil tangkapan di laut.
Saat ini banyak warga kampung pesisir yang mengeluhkan bahwa jumlah tiram
terus menurun. Turunnya jumlah tiram dapat disebabkan oleh eksploitasi berlebihan
sehingga ukuran yang didapatkan semakin kecil akibat umur tiram yang masih relatif
muda saat dilakukan pemanenan langsung di alam. Selanjutnya kualitas tiram juga terus
mengalami penurunan akibat pencemaran sehingga diperlukan pengelolaan sumber daya
tiram berbasis lingkungan (Octavina et al. 2014). Eksploitasi berlebihan tanpa
memperkirakan dan mempertimbangkan daya dukung dan kapasitas berkelanjutan yang
dimiliki ekosistem pesisir akan berakibat pada degradasi kapasitas sumber daya alam yang
terkandung didalamnya, baik pemanfaatan dari sisi ekonomi maupun kelestarian
lingkungan.
Kawasan pesisir Kota Banda Aceh menjadikan tiram sebagai komoditi utama
terutama masyarakat Gampong Tibang dan masyarakat Gampong Ulee Lheue. Gampong
Tibang sebagai salah satu gampong yang berada dalam kawasan Kecamatan Syiah Kuala,
berbatasan dengan Gampong Alue Naga dan Gampong Deah Raya. Perempuan di
Gampong ini sebagian besar bekerja sebagai penangkap dan penjual tiram. Masyarakat
tersebut sudah menjadi petani tiram turun temurun sejak dahulu, sehingga menjadikan
Gampong Tibang sebagai kawasan komoditi penghasil tiram yang sangat potensial.
Gampong Ulee Lheue merupakan kawasan pesisir yang sangat dipengaruhi oleh
perairan laut, memiliki dua muara sungai yang bermuara ke Selat Malaka. Sumber air
payau yang bermuara ke lautan Ulee Lheue berasal dari Krueng Daroy masuk ke saluran
sekunder dan saluran primer dengan bermuara ke Selat Malaka. Aliran air darat atau
sungai tidak deras menuju ke Ulee Lheue sehingga distribusi air laut lebih besar pada
perairan Gampong Ulee Lheue. Kedua Gampong Tibang dan Ulee Lheue merupakan
kawasan yang umum digunakan sebagai lokasi kegiatan perikanan, terutama penangkapan
ikan dan kerang. Perairan Gampong Tibang dan Ulee Lheue memiliki potensi
pertumbuhan tiram Crassostrea gigas yang baik, setiap harinya para nelayan tiram
menangkap tiram, baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual ke pasar. Kegiatan
penangkapan dilakukan ketika air sedang surut dan berakhir jika pasang datang.
Survei awal menunjukkan bahwa satu orang nelayan tiram atau kerang dapat
menangkap minimal lima hingga sepuluh kilogram tiram dalam satu periode tangkap, dan
diperkirakan dalam sebulan terdapat sekitar 700 kg tiram diambil dari habitatnya (asumsi
jika dalam satu hari terdapat 2 – 3 nelayan yang menangkap tiram). Tiram dijual bersih
tanpa cangkang sehingga pembeli dapat langsung mengolah tiram. Nilai jual tiram
bervariasi tergantung dari ukurannya. Harga bersih dari tiram berukuran 4 – 5 cm dijual
seharga Rp 40.000/kg, sedangkan tiram berukuran 3 – 4 cm dijual seharga Rp 30.000/kg.
Crassostrea gigas adalah tiram daging yang termasuk dalam kelas bivalvia, family
Ostreidae, yang memiliki cangkang setangkup kasar dan umumnya berbentuk irregular.
Tiram menyukai perairan yang hangat dan terlindung dengan salinitas 20 sampai 25‰.
Reproduksi tiram sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, diantaranya kondisi fisika-
kimiawi air dan kondisi substrat. Kejutan salinitas terbukti berpengaruh terhadap laju
pemijahan tiram (Santoso, 2010). Umumnya tiram berada pada perairan dengan
permukaan landai bersubstrat seperti lumpur, pasir, kerikil, atau batu. Tiram melekat di
akar pohon mangrove dan puing-puing bangunan, kaki jembatan, dan di kapal-kapal yang
sedang parkir di dermaga. Octavina et al. (2014) menyatakan bahwa di Kuala Gigieng
Aceh Besar terdapat 5 spesies tiram daging yang terdiri dari 2 genus, yaitu dari genus
Ostrea dan genus Crassostrea, terdiri dari Crasosstrea virginica, Crassostrea gigas,
Crassostrea iridescens, Crassostrea angulata dan Ostrea edulis. Berdasarkan
penelitian tersebut, salah satu spesies terbanyak yang ditemukan adalah Crassostrea
gigas.
Crassostrea gigas merupakan jenis tiram daging yang paling banyak dan paling
sering ditemukan. Hal ini disebabkan Crassostrea gigas lebih mampu beradaptasi
terhadap lingkungan yang bervariasi, jika dibandingkan tiram daging lainnya. Dengan
kemampuan adaptasi tinggi, Crassostrea gigas memiliki bentuk dan warna cangkang yang
berbeda-beda sesuai substrat yang ditempatinya. Selain mudah didapatkan, Crassostrea
gigas memiliki daging yang lebih besar dan lebih empuk sehingga disenangi masyarakat.
Penelitian tentang tiram daging Crasostrea sp. masih sangat minim dilakukan
diAceh. Adapun penelitian yang telah dilakukan diantaranya : Analisis Kandungan
Logam Berat Pb Pada Tiram Crassostrea Cucullata Di Pesisir Krueng Raya, Aceh Besar
(Astuti et al. 2016),; Struktur Komunitas Tiram Daging Di Perairan Estuaria Kuala
Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh (Octavina et al., 2014); Keragaman
Makrozoobenthos Di Perairan Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh Besar (Fadli et al. 2012);
Kontaminasi Cadmium, Timbal Dan Seng Pada Tiram Daging (Crassostrea Gigas) Yang
Dipanen Dari Muara Sungai Lamnyong, Banda Aceh, Indonesia (Sarong et al. 2015); dan
Hubungan Panjang-Berat Family Ostreidae Di Muara Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh
Besar, Indonesia (Octavina et al. 2015). Namun penelitian terkait biologi reproduksi tiram
belum dilakukan, sehingga penting dilakukan agar dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan tiram di Aceh pada masa mendatang, khususnya untuk konservasi atau
budidaya tiram.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
permukaan mantel secara general. Cangkang lalu tumbuh dengan bertambahnya material
yang didapatkan dan menebal sesuai dengan deposisi zat yang berasal dari permukaan
mantel. Kalsium untuk pertumbuhan mantel didapatkan dari makanan atau kalsium yang
terdapat di perairan. Sedangkan karbonat merupakan turunan bikarbonat dari jaringan.
Warna, bentuk, dan garis pada cangkang bivalvia sangat bervariasi antar genus, sehingga
mengetahui karakteristik cangkang dapat digunakan sebagai identifikasi spesies seperti
yang tertera pada Tabel 2.1.
Karakter Variasi
Bentuk cangkang Oval, sirkular, triangular, elongasi, quadran
Katup cangkang Kedua katup sama (equivalve) atau tidak sama
(inequivalve)
Warna Bagian luar : permukaan, pola ; bagian dalam : putih,
pearly, dll
Ukiran (sculpturing) Garis konsentrik, rigi, lekukan
Ligamen Posisi (internal, eksternal)
Umbo Posisi (anterior, terminal, subterminal)
Adductor scars Jumlah, ukuran, posisi
(Sumber : Gosling E, 2003)
Dua genus tiram daging yang cukup sering dijumpai adalah dari kelompok Ostrea
dan Crassostrea. Pada tiram Ostrea, bentuk cangkang hampir sirkular dan menempel
bersama pada sisi dorsal oleh sebuah ligamen. Katup kanan berbentuk datar sedangkan
bagian kiri seperti menangkup atau melengkung. Sedangkan pada Crassostrea, kedua
katup tidak sama persis, secara umum bentuk cangkang lebih seperti elongasi, bagian
katup kiri menangkup lebih dalam daripada cangkang pada Ostrea seperti yang terlihat
pada Gambar 2.1.
Pada kedua spesies ini, warna cangkang bervariasi antara putih, kuning atau krem,
namun sering pula ditemukan berwarna keunguan atau kecoklatan. Bagian dalam katup
cangkang berwarna pearly-white dan terdapat sebuah lekukan yang besar yang dapat
dilihat pada Gambar 2.2. Cangkang keduanya tebal dan solid, memiliki ukiran konsentrik
yang berbeda, dengan permukaan katup yang menangkup lebih meninggi.
b)
c)c)
Gambar 2. 1 Penampakan cangkang eksternal (a) Ostrea edulis tampak lebih sirkular, (b)
dan (c) cangkang eksternal Crassostrea gigas berbentuk tidak simetris
(Sumber : McKnight dan Chudleigh, 2015).
Gambar 2.2 Penampakan bagian dalam dari Crassostrea gigas, dapat diamati bagian
gonad, insang, mantel, dan otot-otot. (Sumber : McKnight dan Chudleigh,
2015).
Zat sisa dari pencernaan tersebut akan dilepaskan secara langsung dan tertahan
pada membran badan residual. Nantinya zat ini akan dilepaskan ke lumen tubulus,
kemudian dialirkan ke lambung dan usus. Zat sisa ini juga dapat mengandung enzim
pencernaan yang bisa dimanfaatkan lambung untuk pencernaan ekstraselular.
Sel basofil membawa sintesis protein yang berlebih, namun fungsi atau peranan
utamanya belum diketahui. Lambung, kelenjar pencernaan, dan usus memproduksi enzim
pencernaan yang beragam. Amilase yang berfungsi memecah karbohidrat ditemukan
dalam konsentrasi tinggi, sedangkan selulase, laminarinase, beta galaktosidase, dan
enzim-enzim lain sebagian besar ditemukan hanya di kelenjar pencernaan saja. Enzim
pemecah lemak seperti esterasi dan alkaline fosfatase dapat ditemukan di lambung,
kelenjar pencernaan, dan usus dari tiram. Kelenjar pencernaan juga memiliki peranan
penting dalam menyimpan cadangan metabolik yang digunakan sebagai sumber energi
selama proses gametogenesis dan periode adanya stres fisiologis. Partikel yang dibuang
dari lambung sebagai material sisa kelenjar pencernaan akan melewati usus dan
membentuk pelet feses yang akan dikeluarkan melalui anus dan tersapu melalui
pembukaan ekshalan.
Pada bivalvia primitif, gonoduct terbuka ke bagian dalam ginjal, sehingga sel telur
dan sperma akan keluar dari pembukaan ginjal atau yang disebut dengan nephridiopora
ke rongga mantel. Namun pada sebagian besar bivalvia lainnya (termasuk tiram),
gonoduct terbuka melalui pori-pori terpisah menuju ke rongga mantel, dekat dengan
nephridiopora. Pada Crassostrea sp. yang sudah matur, gonad biasanya memiliki
ketebalan 6 – 8 mm dan mungkin merupakan sepertiga dari total berat badannya.
Gambar 2.5 Urutan taksonomi dari terbesar hingga terkecil, semakin ke bawah organisme
semakin spesifik.
Istilah filum digunakan pada kingdom animalia, sedangkan pada kingdom plantae
(tumbuhan), istilah yang digunakan adalah divisio. Filum/divisio merupakan kumpulan
atau himpunan beberapa kelas yang memiliki satu atau lebih ciri yang sama. Tiram daging
berada pada filum moluska yang memiliki ciri bertubuh lunak dengan dilapisi bagian kulit
keras serta tidak bertulang belakang. Tubuh moluska pada umumnya terdiri dari kaki,
massa visceral, dan mantel. Ukuran dan bentuk tubuh jenis moluska dapat beragam,
seperti keong, siput, kerang, serta tiram.
3) Kelas/Class
Beberapa ordo dengan persamaan ciri dimasukkan dalam satu kelas. Tiram daging
termasuk dalam kelas bivalvia yang mencakup seluruh kerang-kerangan. Bivalvia juga
berarti dua cangkang. Contoh organisme yang termasuk dalam kelas bivalvia adalah tiram,
kerang, kupang, remis, kiji, dll.
4) Ordo
Kelompok organisme dari kelas yang sama dengan persamaan yang lebih spesifik
dari klasifikasi sebelumnya.
5) Famili
Famili adalah klasifikasi lebih lanjut dari ordo dengan persamaan atau
karakteristik yang lebih spesifik lagi.
6) Genus
Genus adalah kelompok spesies yang berhubungan dekat. Nama genus dituliskan
pada bagian awal nama biologi dari suatu organisme.
7) Spesies
Spesies adalah gabungan organisme yang dapat melakukan perkawinan satu
dengan yang lain dan menghasilkan keturunan.
maupun cangkangnya. Daging bivalvia mengandung nilai gizi tinggi sehingga sangat baik
untuk dikonsumsi, sedangkan cangkangnya mengandung CaCO3, Mg, dan Na yang dapat
dimanfaatkan sebagai aksesori dan ornamental industri (Yulianda 2003; Sahin et al. 2006;
Nadjib 2008).
Tiram daging (famili Ostreidae) merupakan salah satu famili dari kelas bivalvia
yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Tiram daging memiliki cangkang dengan
tekstur kasar, irregular, dan tebal. Tiram ini berperan penting dalam pembentuk ekosistem,
dalam siklus nutrien, dan sebagai penghubung antar bentik-pelagis. Peningkatan populasi
tiram daging akan membantu dalam mengurangi eutrofikasi antropogenik. Selain itu, nilai
gizi tiram daging menjadikannya sebagai komoditas ekonomi bagi masyarakat.
Berdasarkan penelitian (Delmendo 1989; Izwandy 2006), tiram memiliki daging yang
rendah kalori, energi 78 kcal, protein 9,70 g, lemak 1,80 g, gula 5 g, kalsium 55 mg, besi
3,60 g, vitamin A 55 IU, vitamin B1 0,16 mg, vitamin B2 0,32 mg, dan vitamin C 4 mg,
sehingga tiram daging kerap diperjualbelikan masyarakat sebagai makanan bergizi.
Born (1778) menyatakan klasifikasi tiram daging adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Moluska
Kelas : Bivalvia
Ordo : Ostreoida
Famili : Ostreidae
Genus : Crassostrea
Spesies : Crassostrea sp.
Menurut Klinbunga et al. (2005) tiram hidup pada kawasan pesisir, perairan
dangkal, teluk dan muara, dimana penyebarannya meliputi daerah tropis dan subtropis.
Daerah tropis menyediakan hutan mangrove yang luas, dimana tiram menyukai batang
mangrove sebagai media melekatnya sepat tiram (Trivedi et al. 2015). Selanjutnya
menurut Wang et al. (2013) menyebutkan bahwa penyebaran tiram sangat dipengaruhi
oleh arus yang berperan membawa larva tiram sampai menemukan media melekat yang
sesuai. Karena memiliki siphon yang pendek, tiram memiliki kebiasaan makan dengan
cara menyaring makanan melalui air (filter feeder). Oleh karena cara makan ini, tiram
dapat menyerang sebagian besar air beserta kandungan unsur didalamnya, termasuk
plankton, sehingga tiram dapat dijadikan sebagai bioindikator dari perairan.
setelah pelepasan gonad. Pertumbuhan cangkang dipengaruhi oleh kadar kalsium yang
terdapat dalam perairan.
Indeks kematangan Gonad (IKG) adalah hasil persentase (%) dari perbandingan
gonad dengan berat tubuh (jaringan lunak). IKG berfungsi untuk mengetahui perubahan
kualitatif yang terjadi pada tiram, sehingga diharapkan dapat diketahui kapan kira-kira
pemijahan terjadi (Fisher et al. 1996). Alokasi energi pada pertumbuhan somatik ke
jaringan atau organ reproduksi membentuk hubungan berbanding terbalik (Octavina et al.
2014). Pertumbuhan somatic direpresentasikan melalui nilai Indeks Berat Daging (IBD),
sedangkan IKG digunakan sebagai pembeda kematangan gonad berdasarkan berat gonad.
IKG akan secara alami berhubungan dengan ukuran dan berat tubuh.
Menurut penelitian yang dilakukan Octavina et al. (2014), saat IKG meningkat,
terjadi penurunan IBD yang diduga karena pada saat terjadi pemijahan, maka terjadi
pengalihan energi yang signifikan dari pertumbuhan somatik ke pertumbuhan reproduksi
dan proses lainnya, seperti vitellogenesis. Setelah proses pemijahan selesai, maka IBD
akan kembali meningkat. Hal ini juga berlaku sebaliknya, saat IBD meningkat, maka IKG
akan menurun diduga karena tiram sedang berada dalam masa pertumbuhan.
Gambar 2.6 Teknik pengukuran morfologi tiram dilakukan dengan cara mengukur
panjang total, lebar, dan tinggi dari cangkang (Sumber : Octavina, 2014).
Rumus pertumbuhan ini dapat digunakan dengan asumsi bahwa bivalvia memiliki
batasan pertumbuhan maksimal yang dapat tercapai selama masa hidupnya. Namun pada
beberapa jenis bivalvia yang hidup dalam habitat tertentu, terdapat kemungkinan
terjadinya pertumbuhan yang tidak terbatas selama masa kehidupan. Dalam kasus in,
kalkulasi pertumbuhan bivalvia dapat dikerjakan menggunakan pengukuran polynomial.
Modifikasi nilai L. dan –k dapat dikerjakan dengan menggunakan rumus Ford-
Walford dimana panjang saat umur t dapat menggunakan t+1 tahun, dan nilai L. yang
dapat digunakan adalah nilai dimana kurva mencapai 45o atau dengan persamaan :
y/1-Slope (2.2)
dimana y merupakan titik potong paling tinggi pada y Axis.
Gambar 2.8 Keseimbangan dinamika populasi di suatu wilayah dipengaruhi oleh natalitas,
imigrasi, mortalitas, dan emigrasi (diadaptasi dari: Suradi W, 2007).
Sekelompok organisme dari spesies yang sama dengan karakteristik yang sama
dan menempati suatu daerah geografis tertentu disebut sebagai stok. Stok adalah
organisme dengan batas geografis yang dapat ditentukan, dan kegiatan penangkapan atau
eksploitasi kelompok tersebut juga dapat ditentukan. Stok juga bersifat dinamis karena
dapat mengalami penambahan maupun pengurangan. Penambahan terjadi melaui
pertumbuhan dan rekruitmen, sedangkan pengurangan terjadi karena mortalitas alami dan
penangkapan.
2.5.2 Rekruitmen
Rekruitmen adalah penambahan baru organisme ke dalam stok perikanan
(Effendie, 1997). Stok merupakan kelompok ukuran ikan (dapat juga tiram) yang tersedia
dalam periode waktu tertentu sehingga dapat ditangkap dengan alat. Rekruitmen sangat
dipengaruhi oleh jumlah organisme yang siap memijah setiap musim pemijahan, dan laju
mortalitas pada rentang waktu pada periode pemijahan sampai mencapai ukuran stok
(mortalitas pre-rekruitmen). Mortalitas pre-rekruitmen terdiri dari mortalitas terkait
kepadatan (density dependent) dan mortalitas yang tidak terkait dengan kepadatan (density
independent). Contoh mortalitas yang tidak terkait dengan kepadatan adalah perubahan
kualitas air dan penangkapan.
Ricker (1975) menjelaskan keterkaitan antara stok jumlah organisme yang siap
memijah dan penambahan anggota baru dengan pertumbuhan populasi sebagai berikut :
1) Bila tidak terjadi pemijahan, maka tidak ada rekruitmen
2.5.3 Mortalitas
Mortalitas yang terjadi pada bivalvia dapat diakibatkan oleh faktor ekstrinsik
seperti suhu yang ekstrim, faktor biologis seperti predator, penyakit, dan pencemaran
lingkungan. Selain itu, penangkapan yang berlebihan juga merupakan faktor penting
dalam peningkatan laju mortalitas pada bivalvia. Pada stadium larvae, bivalvia sangat
rentan terhadap ancaman dari predator. Hal ini mengakibatkan adanya penurunan jumlah
larvae bivalvia secara signifikan yang dapat mencapai usia dewasa. Seiring dengan
peningkatan usia, mortalitas yang terjadi secara alami akan berkurang secara drastis.
Biasanya mortalitas yang terjadi secara alami diakibatkan oleh adanya perubahan
ekosistem secara masif yang menimbulkan konsekuensi pada kehidupan bivalvia, seperti
turunya kadar oksigen karena peningkatan jumlah algae secara drastis. Satu hal yang
paling sering mengakibatkan peningkatan laju mortalitas pada bivalvia dewasa adalah
tingginya aktifitas penangkapan untuk konsumsi manusia.
Salah satu cara untuk menghitung jumlah mortalitas dengan persamaan adalah
dengan menghitung jumlah organisme yang bertahan hidup seiring dengan pertambahan
usia sebagai suatu catch curve. Pada spesies yang diasumsikan sebagai suatu komoditas
yang ditangkap untuk dikonsumsi dengan asumsi bahwa laju mortalitas alami konstan,
jumlah spesies yang bertahan cenderung berkurang secara eksponensial seiring dengan
waktu dan pertambahan usia.
Hal ini dapat dirumuskan dalam persamaan :
Gambar 2.10 Catch curve, menunjukkan algoritme alami dari jumlah spesies berbanding
dengan pertambahan usia (Sumber: Suradi W, 2007).
Kematian secara alami pada bivalvia dapat dilakukan dengan penghitungan secara
langsung dengan menggunakan metode kohort atau dengan menghitung jumlah cangkang
yang ditemukan dan di analisa. Metode ini dilakukan dengan pengambilan sampel pada
intertidal dan subtidal ditambah dengan analisa pada jumlah kematian spesies yang
dilakukan pada periode waktu tertentu. Cara ini merupakan cara yang paling efektif dalam
menentukan jumlah kematian alami pada bivalvia. Kekurangan metode ini adalah skala
yang digunakan pada penelitian terbatas hanyak pada skala kecil.
Analisa menggunakan cangkang mati hanya dapat dilakukan pada beberapa grup
seperti kerang dan tiram yang dapat ditentukan usianya dari garis pertumbuhan cangkang.
Metode ini menggunakan bivalvia dengan cangkang mati yang masih utuh dan belum
terbuka. Pada kematian secara alami, cangkang akan terfiksasi oleh ligamen dari bivalvia,
hal ini berbeda dengan kematian akibat penangkapan oleh manusia yang biasanya
dilakukan ekstraksi pada bivalvia dengan menghancurkan ligamen dari organisme
tersebut.
Formula ini dapat digunakan dengan asumsi bahwa penangkapan dilakukan secara
acak pada lapangan penangkapan yang tersedia. Permasalahan yang masih banyak
ditemukan di lapangan adalah nelayan cenderung mengambil bivalvia pada satu tempat
tertentu hingga jumlahnya mencapai jumlah minimal, kemudian berpindah ke tempat
lainya. Hal ini mengakibatkan adanya bias karena perhitungan.
1. Hermaprodit singroni yaitu bila di dalam gonad suatu individu terdapat dua sel
kelamin jantan dan betina dan matang bersamaan.
2. Hermaprodit protandi yaitu di dalam tubuh suatu organisme akan berubah dari satu
jenis kelamin ke kelamin yang lain akibat proses diferensiasi, yaitu dari jenis
kelamin jantan menjadi kelamin betina. Hermaprodit ini dapat dipengaruhi oleh
kondisi nutrisi di alam. Tiram kebanyakan bersifat hermaprodit protandi.
3. Hermaprodit protogini yaitu diferensiasi dari jenis kelamin betina ke kelamin
jantan.
Pada tiram ketiga macam hermaprodit tersebut dapat di alami. Pada masa
pertumbuhan awal, umumnya tiram akan memiliki organ seksual jantan. Setelah
pemijahan pertama, jika kondisi lingkungan mendukung tiram tersebut dapat berubah
menjadi tiram betina. Pada beberapa kondisi tiram juga dapat bersifat hermaprodit
protogini.
baik atau mengalami jejas fisik cenderung tidak akan berkembang menjadi betina, sebab
untuk menjadi tiram betina dibutuhkan energi lebih pada proses perkembangan gonad.
Lingkungan dan kondisi fisiologis yang tidak mendukung dapat membatasi jumlah energi
yang dapat disimpan untuk perkembangan gonad betina.
Siklus seksual dimulai dengan pemijahan yang dipengaruhi oleh suhu perairan.
Gametogenesis serta maturasi ovum dan sperma mengikuti peningkatan temperatur,
karena temperatur mampu menstimulasi terjadinya pemijahan. Selain itu, faktor lain yang
mempengaruhi masa pemijahan adalah salinitas, umumnya lebih dari 10 ppt. Fitoplankton
juga dapat menstimulasi tiram daging untuk memijah melalui induksi kimiawi. Pada
kondisi normal, pelepasan simultan dari sperma dan ovum ke air memegang peranan
penting dalam kesuksesan reproduksi tiram. Adanya sperma dan ovum tersebut akan
menstimulasi tiram daging lain untuk ikut memijah karena munculnya respon hormonal.
Tiram betina membutuhkan stimulasi yang lebih kuat dari sperma jantan untuk
memastikan bahwa ovum tidak dilepaskan pada saat tidak adanya sperma. Fertilisasi
terjadi jika ovum dibuahi oleh sperma yang sudah dilepaskan ke air.
c. Tingkat 2B : Tahap proses pematangan, secara kasat mata telur sudah dapat
dibedakan, terdapat peningkatan laju pertumbuhan dan peningkatan berat gonad
secara cepat.
d. Tingkat 3 : Tahap maturasi (mature), gonad mencapai berat maksimum dan
produk seksual telah matur/matang, telur siap dikeluarkan untuk pemijahan.
e. Tingkat 4 : Tahap reproduksi (spawning/reproduction), produk seksual yang
sudah matur akan dilepaskan, berat gonad akan menurun seiring pemijahan terjadi
hingga selesai.
f. Tahap 5 : Kondisi salin (spent condition), pemijahan telah selesai, ovum dalam
gonad hanya terisi telur sisi, testis berisi sperma sisa.
Dimana:
IKG = indeks kematangan gonad (%);
Wg = berat gonad (gram);
Wt = berat tubuh (gram).
2.6.5 Fekunditas
Fekunditas merupakan jumlah telur yang matang sebelum dilepaskan pada masa
pemijahan, disebut juga sebagai fekunditas individu atau fekunditas mutlak. Sedangkan
fekunditas relatif adalah jumlah telur persatuan panjang atau berat. Besarnya fekunditas
dipengaruhi oleh umur serta panjang atau berat tubuh organisme. Ukuran tubuh betina
dapat digunakan dalam memperkitakan potensi telur yang dapat dihasilkan oleh
organisme tersebut (Chondar, 1977).
Menurut Effendie (1997), karena penyusutan panjang relatif lebih kecil daripada
berat yang dapat berkurang dengan mudah, fekunditas lebih erat dihubungkan dengan
panjang daripada berat.
Perhitungan fekunditas dapat dilakukan menggunakan rumus metode gravimetrik
(Andy dan Omar, 20015) sebagai berikut :
F = Bg x Fs (2.6)
Bs
Dimana:
F = jumlah telur total (butir);
Bg = berat gonad total;
Bs = berat gonad sebagian;
Fs = jumlah telur sebagian gonad (butir).
Selain fekunditas mutlak dan relatif, terdapat fekunditas populasi yang merupakan
jumlah semua telur dari fekunditas mutlak betina yang akan mengalami pemijahan, atau
dengan kata lain adalah semua telur yang dilepaskan dalam satu kali musim pemijahan
(Bagenal 1978) (Effendie, 1997). Fekunditas populasi dapat diperkirakan berdasarkan
persebaran umur dan jumlah masing-masing anggota yang telah diketahui. Penilaian
fekunditas dan indeks kematangan gonad menjadi salah satu aspek penting dalam bidang
biologi perikanan karena berkaitan erat dengan dinamika populasi, produksi, dan pola
rekruitmen suatu organisme.
Gambar 2.11 Stadium kematangan gonad (a) tipe gonad belum dapat dibedakan antara
jantan dan betina, (b) gonad jantan (panah merah menggambarkan sel
sperma yang telah matang), (c) gonad betina (panah hitam menunjukkan
oosit matang), (d) hermafrodit betina terlihat lebih banyak oosit daripada
sel sperma, (e) hermafrodit jantan menunjukkan lebih banyak sel sperma
daripada oosit. (Sumber: Octavina, 2014).
Gambar 2. 12 Stadium kematangan gonad jantan. (a) proliferasi, (b) kematangan dini, (c)
kematangan sempurna, (d) pemijahan sebagian (partially spawned), (e)
pemijahan selesai. (Sumber : Octavina, 2014)
Gambar 2.13 Stadium kematangan gonad betina. (a) proliferasi, (b) kematangan dini, (c)
kematangan sempurna, (d) pemijahan sebagian (partially spawned), (e)
pemijahan selesai. (Sumber: Octavina, 2014)
sensoris pada nervus ganglia. Sel neurosekretori pada ganglia yang terstimulasi akan
mensekresi neurohormon yang merangsang efek fisiologis pada gonad. Sebagian besar sel
neurosekretori dapat ditemukan pada ganglia serebropleural. Aktivitas sel ini rendah selama
fase istirahat gametogenesis dan akan meningkat secara progresif seiring dengan
perkembangan gonad, mencapai aktivitas maksimum sesaat sebelum pemijahan.
2.8 Pemijahan
Tiram merupakan biota laut yang bersifat dicecious yaitu memiliki dua jenis
kelamin jantan dan betina. Umumnya pada jenis bivalvia hanya terjadi reproduksi secara
seksual yang terdiri dari fase perkembangan gonad, fase pemijahan dan pembuahan, serta
fase perkembangan dan pertumbuhan. Fase perkembangan gonad dibagi menjadi stadium
berkembang dan stadium matur (matang). Pada stadium berkembang, terjadi beberapa
substadium yang nantinya akan menjadi stadium matur saat rongga folikel terisi oleh sel-
sel telur atau spermatozoa. Pada fase pemijahan dan pembuahan, sel telur atau sperma
yang telah matur siap untuk dipijah dan menjalani pembuahan.
Gambar 2.14 Siklus hidup tiram daging. Tiram jantan dan betina akan melepaskan
spermatozoa dan oosit ke dalam air sehingga memungkinkan terjadinya
fertilisasi. Oosit yang dibuahi kemudian berkembang menjadi larva hingga
kemudian menjadi pediveliger, larva yang telah memiliki kaki, berfungsi
untuk membantu larva mencari substrat yang sesuai untuk perlekatan. Fase
hingga menjadi larva pediveliger membutuhkan waktu kira-kira 2 minggu
pada kondisi yang optimal. Setelah mendapatkan substrat yang sesuai
untuk melekat, larva lalu berkembang menjadi tiram muda dan
berkonsentrasi untuk membentuk cangkangnya. Setelah 1 hingga 3 tahun
kemudian, tiram muda telah menjadi tiram dewasa. Tiram berusia lebih
dari 1 tahun sudah dapat melepaskan spermatozoa atau oosit kembali ke
dalam air, dan meneruskan proses reproduksi (Sumber: Karen R, dalam
Lowe M et al, 2012).
Untuk bertelur, tiram perlu mendapat asupan yang cukup yang berasal dari
fitoplankton, kemudian menggunakan energi yang dihasilkan untuk pertumbuhan gonad,
dapat berupa oosit maupun spermatozoa nantinya. Peningkatan suhu air diikuti dengan
peningkatan atau penurunan salinitas umumnya memberikan stimulus kepada tiram untuk
perkembangan gonad. Proses ini dapat berlangsung hingga dua bulan (Bochenek et al.
2001). Saat tiram jantan melepaskan spermatozoa nya ke air, maka tiram disekitarnya
akan menyaring air tersebut sehingga dapat mendeteksi adanya spermatozoa. Hal ini akan
memicu tiram betina untuk melepaskan oosit untuk menyempurnakan proses reproduksi.
Spermatozoa dan oosit akan bertemu satu sama lain dalam air, kemudian terjadi proses
fertilisasi, dimana hasil fertilisasi ini (embrio) dapat terbawa ke tempat lain yang berbeda
dengan tempat induk menetaskannya.
Gambar 2.15 Pertumbuhan Crassostrea sp. (A). Larva muda (B). Larva pediveliger sudah
memiliki kaki untuk berenang dan mencari substrat yang sesuai (C). Larva
pada stadium lebih lanjut (D). Cangkang tiram (E). Cangkang tiram dewasa
(Sumber: Invasive Species Compendium, 2018).
Telur yang sudah dibuahi akan mengalami pembelahan sel hingga membentuk
larva muda (juvenile larvae). Larva tiram dapat hidup selama 2 minggu kedepan dan
mengalami proses maturasi melalui beberapa tahap berbeda. Larva berenang dalam air
untuk mengikuti fitoplankton yang merupakan sumber makanan utamanya. Larva tiram
tidak dapat berenang secara horizontal, namun dapat bergerak secara vertikal pada
ketinggian tertentu.
Saat larva sudah berumur sekitar 2 minggu dan sudah dalam stadium pediveliger
(larva dengan kaki), larva ini mulai terkonsentrasi di bawah perairan untuk menjadi
substrat yang keras. Kaki ini membantu larva untuk merangkak ke sekitarnya agar bisa
menemukan substrat yang sesuai untuk mereka melekat (Borges 2002). Saat larva sudah
berhasil melekat pada lokasi yang sesuai, mereka mulai melekat dengan cangkangnya dan
mengalami metamorphosis sempurna secara anatomi. Tiram ini kemudian mulai makan
dan mentransfer seluruh energi yang dihasilkannya untuk pembentukan cangkang dengan
cara mensekuestrasikan kalsium karbonat dari perairan. Tiram ini menjadi tiram muda
pada usia 1 tahun, dan menjadi tiram dewasa setelah 3 tahun. Umumnya tiram bertumbuh
satu inchi tiap tahunnya, bergantung pada salinitas dan kualitas dari perairan. Pada lokasi
dengan salinitas yang lebih tinggi, tiram akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan
salinitas rendah (CSIRO 2002).
Pada dasarnya aspek biologi reproduksi tiram masih banyak belum diketahui.
Menurut Angell (1986) secara reproduksi parameter suhu tidak berperan signifikan
terhadap kematangan gonad tiram. Selanjutnya hasil penelitian Priyantini et al., (2016)
menyebutkan bahwa fase bulan tidak mempengaruhi tingkat kematangan gonad tiram.
Oleh karena itu aspek reproduksi sangat penting diteliti secara konferensif pada penelitian
ini sehingga memberikan data yang dapat digunakan sebagai pedoman upaya
pengembangan tiram ini kedepan.
2.9.2 Salinitas
Salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam satuan gram) yang terlarut
dalam satu liter air, umumnya salinitas dinyatakan dalam satuan permil, gram perliter.
Salinitas disebut juga sebagai kadar garam, dan berfungsi dalam menunjukkan jumlah ion
terlarut.
Perubahan salinitas memberikan dampak terhadap proses difusi dan osmotik.
Menurut Nybakken (1992), musim, topografi, pasang surut dan jumlah air tawar yang
masuk mempengaruhi gradien salinitas pada suatu perairan. Di Indonesia, variasi salinitas
berkisar antara 15 – 32 0/00 gram/liter.
2.9.3 Kedalaman
Diantara kedalaman rendah, kedalaman rata-rata, dan kedalaman maksimum,
perairan dengan kedalaman rata-rata rendah cenderung memiliki produktivitas lebih baik
daripada perairan dalam. Hal ini disebabkan rasio daerah photic dan aphotic lebih besar
pada perairan dangkal karena cahaya matahari dapat menjangkau hingga ke disarm
sehingga kandungan oksigen tinggi dan fotosintesis dapat berlangsung. Perbedaan
kedalaman perairan berpengaruh penting dalam frekuensi kehadiran tiram. Umumnya
tiram hidup secara berkoloni pada kedalaman sekitar 80 cm hingga 200 cm.
kehidupan biota laut. Derajat keasaman air yang optimal untuk pertumbuhan tiram adalah
berkisar antara 7,8 – 8,6.
Gambar 2.16 Penampakan makroskopis dari Crassostrea sp. Memiliki dua tangkup
cangkang berbentuk ireguler (Sumber: Thunberg, dalam Nehring S, 2011).
Berdasarkan penelitian oleh Octavina et al. (2014) di Kuala Gigieng Aceh Besar,
diantara genus Crassostrea sp, spesies yang paling banyak ditemukan adalah Crassostrea
gigas. Crassostrea gigas, yang juga dikenal sebagai tiram pasifik, Giant Oyster, tiram
Jepang, tiram Portugis, merupakan moluska bivalvia yang termasuk dalam Famili
Ostreidae. Spesies ini berasal dari Jepang, namun saat ini sudah berkembang di sebagian
besar Negara di dunia sejak abad 20 (Olsen 1994).
Gambar 2.17 Contoh Crassostrea sp. dengan berbagai ukuran dan warna yang berbeda
sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungannya (Sumber: Feng et al,
2015).
Crassostrea gigas merupakan jenis tiram daging yang paling banyak ditemukan
didunia, dan terbukti telah mengalami adaptasi terhadap banyak lingkungan dimana ia
menetap. Gambaran makroskopis tiram Crassostrea gigas dapat dilihat pada Gambar
2.18. Menurut Castanos et al. (2009), sebuah individu atau spesies tertentu yang memiliki
kemampuan untuk tumbuh di kondisi lingkungan secara luas merupakan individu yang
“teliti” untuk mempersiapkan ketahanan dari larvanya.
Bentuk cangkang Crassostrea gigas berbeda saat ia melekat pada substrat yang
berbeda-beda, begitu pula warna cangkangnya untuk beradaptasi dengan lingkungannya,
seperti pada Gambar 2.19 (Borges et al, 2002). Tiram yang melekat pada substrat lunak
relative memiliki laminar yang lebih sedikit daripada tiram yang melekat pada substrat
keras. Selain itu, tiram yang melekat pada batuan keras umumnya memiliki cangkang
yang lebih datar dan menyerupai batu. Meskipun kedua cangkang sama-sama bertekstur
kasar dan berbentuk konkaf (cekung) dan memiliki cekungan bergelombang, namun
kedua cangkang dapat berbeda dalam hal ukuran dan bentuk. Cangkang bagian bawah
memiliki rigi yang lebih jelas dan terkonsentrasi, sedikit lebih besar dan memiliki
cekungan lebih dalam dibandingkan cangkang atasnya. Umumnya panjang cangkang dari
Crassostrea sp. kurang dari 20 cm, namun terdapat beberapa literature yang menyebutkan
bahwa beberapa Crassostrea sp. dapat tumbuh hingga 40 cm dan dapat hidup hingga 30
tahun.
Bagian lunak dari tubuh tiram dapat dibagi menjadi empat bagian: massa visceral
(mengandung sebagian besar sistem organ mayor), muskulus adductor (paling dekat
dengan cangkang), insang, dan dua lobus mantel asimetris seperti terlihat pada Gambar
2.20. Lobus ini sebagian terhubung dengan massa visceral dan terbagi menjadi tiga bagian
oleh Evseev dan Yakovlev (1994) yaitu tebal, tipis, dan mantel marginal. Palp labial
terhubung dengan massa visceral dan matel. Bagian palp yang berhadapan satu sama lain
diselubungi oleh rigi.
Organ yang terdapat dalam massa visceral adalah sebagai berikut:
- Cavitas pericardium: mencakup dua jantung aksesori yang berlokasi pada lobus
mantel dari ruang epibrachial
Gambar 2.18 Anatomi Crassostra sp.: (A) penampakan eksternal. (B) Penampakan
cangkang dengan sebagian penampakan internal. (C) penampakan internal
dengan gambaran detail muskulus adductor (mi). (D) region sub-umbonal
pada bagian anterior (E) detail tepi mantel postero-ventral, terlihat
muskulus palial. (F) penampakan umum bagian kanan tiram, cangkang
sudah dilepaskan. (G) palps, anterior dengan sedikit gambaran ventral. (H)
tepi lobus kanan, bagian ventral-media, menunjukkan papilla dari lekukan
internal dan media, terlihat jantung aksesori (ah). (I) mantel kiri, terlihat
detail bagian postero-dorsal (J) insang, bagian dalam dari bagian media.
(K) detail dari rectum (rt) dan anus (an). (Sumber: Amaral, 2014)
BAB III
METODE PENELITIAN
Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian. Penelitian di dua lokasi yaitu Tibang dan Ulee Lheue, dengan masing-masing lokasi dibagi
menjadi 3 titik pengambilan sampel.
M×100
= (3.1)
TL
Dimana:
Mtrans = transformasi data
M = data hasil pengukuran
TL = Panjang total.
Data yang telah ditransformasikan dimasukkan dalam aplikasi SPSS versi 22.0 dan
dilakukan uji Univariate (ANOVA) dan Multivariate (discriminant function analysis,
DFA) (Batista et al., 2008). Hasil analisis yang didapat menjelaskan tingkat kedekatan
karakter morfologi antar populasi berbeda namun dalam spesies yang sama.
prediksi umur, laju mortalitas (mortalitas total, alami, penangkapan dan eksploitasi) dan
proses rekruitmen. Data yang dikoleksi selama 6 bulan penelitian selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan program FISAT II.
Pertumbuhan tiram dianalisa menggunakan persamaan Von Bertalanffy (Sparred
dan Venema 1999) sebagai berikut :
Lt = L∞ (1 − exp− ( − )
) (3.2)
Dimana:
Lt = panjang tiram pada umur t (mm);
L∞ = panjang infinitif (mm);
K = koefisien pertumbuhan perhari;
t0 = dugan umur teoritis tiram pada panjang nol.
∆t = selisih waktu;
L(t) = panjang rata-rata dari modus data
Dengan memplot nilai L(t) dan (∆L/∆t) dapat diperoleh persamaan sederhana linier :
Y = a + bx (3.5)
Dimana :
a = ((∑bivalvia/n) – (b(∑x/n))
b = (n∑(xy) – (∑x)(∑bivalvia)) / (n∑x2 – (∑x)2)
Nilai panjang rata-rata modus dari metode tersebut digunakan untuk menghitung
panjang asimtotik (L∞), koefisien pertumbuhan (K) yaitu :
K = -b (3.6)
L∞ = -a/b
Untuk mengetahui umur teoritik t0 (waktu teoritik saat panjang tiram nol)
menggunakan persamaan Pauly (1979) dalam Craig (1999) sebagai berikut :
Log(-t0) = 0.3922 – 0.2752 Log (L∞) – 1.0382 Log k (3.7)
Persamaan tersebut kemudian diubah menjadi bentuk linier sebagai berikut Log W = log
a + b log L, sehingga :
∑ log W x ∑(log L)2− ∑(log L x log W)
Log a = (3.11)
N x ∑(log L)2− (∑ log L)2
∑ log W−N x log a
b= (3.12)
∑ log L
11. Penjernihan II. Preparat direndam dalam xylol I, xylol II, perendaman masing-
masing dilakukan selama 1 menit.
12. Penutupan. Preparat diberikan label sesuai dengan perlakukan atau nama,
kemudian ditutup menggunakan gelas penutup dengan perekat atau Canada
balsam, lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 12 jam.
Jaringan gonad diklasifikasikan berdasarkan skala kematangan yang digunakan oleh
Sugiwara (in Imai 1982). Siklus gametogenesis dibagi menjadi beberapa kategori untuk
perkembangan jantan dan perkembangan betina sebagai berikut :
Stadium 0 : belum berkembang secara seksual. Folikel belum ada atau masih kecil
dan bentuknya memanjang. Dinding ditutupi oleh epitel germinativum yang belum
berdiferensiasi. Jaringan ikat sudah berkembang secara luas. Stadium perkembangan
gonad tiram jantan dapat dilihat pada Gambar 10, dan perkembangan gonad tiram betina
dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 3. 3 Stadium kematangan gonad jantan. (A) Proliferasi (X 100). (B) Maturasi (X
400). (C) Partially spawned (X 400).(D) Totally spawned (X 400) (Sumber:
Gosling E, 2003).
Perkembangan Jantan
Stadium I : Proliferasi. Spermatogonia dan beberapa spermatosit dapat terlihat di epitel
germinativum. Jaringan ikat berlimpah. Dengan meningkatnya proliferasi, spermatosit
dan spermatid akan membentuk semacam pita disepanjang dinding folikular. Belum ada
spermatozoa bebas yang terobservasi dalam lumen.
Stadium IIa : Kematangan dini. Komponen sel dari rangkaian proses spermatogenesis
dapat diamati melalui lumen folikel. Jaringan ikat akan berkurang seiring dengan
terjadinya kematangan. Spermatozoa bebas dapat dilihat pada lumen.
Stadium IIb : Kematangan sempurna. Jaringan interfolikular dan epitel germinativum
mencolok. Folikel dipenuhi oleh spermatozoa yang tersusun secara padat, dengan ekor
spermatozoa menghadap ke lumen. Terkadang beberapa spermatosit sudah dapat diamati
disekitar dinding folikel.
Stadium III : Partially spawned. Sebagian folikel mulai terlihat kosong, terdapat
spermatozoa dalam jumlah besar tersusun secara longgar. Pita kecil dari spermatosit dan
spermatid dapat diobservasi sepanjang dinding folikel.
Stadium IV : Totally spawned. Ukuran folikel berkurang secara drastic namun beberapa
spermatozoa masih menetap di lumen. Dinding folikel mengandung beberapa sel
germinativum yang menyebar.
Stadium V : Post-spawning. Jaringan ikat kembali berkembang secara cepat disekitar
folikel yang telah kolaps. Spermatozoa residual dan sel fagositik dapat dilihat pada lumen
halus dalam folikel.
Perkembangan Betina
Stadium I : Proliferasi. Folikel dalam gonad mulai mengembangkan sel sekunder yang
menutupi dinding folikel. Pada stadium yang lebih lanjut, pertumbuhan folikel dan oosit
dapat diamati.
Stadium IIa : Kematangan dini. Beberapa oogami dan oosit previtellogenik terlihat di
dinding folikel. Pada lumen dapat dilihat adanya oosit vitellogenik pedunkulata.
Gambar 3.4 Stadium kematangan gonad betina (X 400). (A) Proliferasi. (B) Maturasi. (C)
Partially spawned.(D) Totally spawned (Sumber: Gosling E, 2003).
Stadium IIb : Kematangan sempurna. Batasan antara folikel tidak dapat dibedakan.
Lumen terisi penuh dengan oosit vitellogenik berbentuk polihedrikal. Secara
makroskopik, terlihat gonad berwarna putih dan teksturnya lembut.
Stadium III : Partially spawned. Oosit bebas tersusun longgar dalam jumlah besar, dan
terdapat ruang kosong yang bisa diamati dalam lumen. Dapat terlihat pula oosit yang
melekat pada dinding folikel.
Stadium IV : Totally spawned. Terlihat folikel kolaps, sebagian kecil oosit yang tidak
dilepaskan tetap secara bebas berada di dalam lumen.
Stadium V : Post-spawning. Folikel telah kolaps dan berukuran kecil. Sel fagositik dapat
ditemukan dalam jumlah besar dan oosit residual mengalami sitolisis. Jaringan ikat mulai
berkembang kembali. Frekuensi relatif dari stadium perkembangan gonad diperoleh
melalui siklus tahunan.
Wg
IKG = x 100% (3.13)
Wt
Dimana:
IKG = indeks kematangan ginad (%);
Wg = berat gonad (gram);
Wt = berat tubuh (gram).
3.5.2.3 Fekunditas
Perhitungan fekunditas dilakukan menggunakan mikroskop binokuler
dikarenakan ukuran sampel telur hanya ±50 µm/butir. Sampel telur terlebih dahulu
ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0.00 gram. Gonad yang telah
ditibang selanjutnya dibedah menggunakan pisau bedah. Gonad yang telah dibedah
selanjutnya dihitung sebagian dibawah mikroskop, dimana sebagian sampel gonad yang
diamati juga telah ditimbang. Hasil hitungan dibawah mikroskop kemudian dicatat dibuku
dokumentasi. Fekunditas ditentukan dengan menggunakan rumus metode gravimetrik
(Andy dan Omar 2005) sebagai berikut :
F = Bg x Fs (3.14)
Bs
Dimana:
F = jumlah telur total (butir);
Bg = berat gonad total;
Bs = berat gonad sebagian;
Fs = jumlah telur sebagian gonad (butir).
b) Kelimpahan plankton
Kelimpahan jenis fitoplankton dihitung berdasarkan rumus mengacu pada APHA
(1989) sebagai berikut:
N = x x
1
x (3.16)
dengan :
N = Jumlah individu per liter (ind/l)
Oi = Luas gelas penutup preparat (mm2)
Op = Luas satu lapangan pandang (mm2)
Vr = Volume air tersaring (ml)
Vo = Volume satu tetes air contoh (ml)
Vs = Volume air yang disaring oleh jaring plankton (L)
n = Jumlah plankton pada seluruh lapangan pandang
p = Jumlah lapangan pandang yang teramati
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.1 Hasil uji statistik karakter morfometrik pada setiap populasi tiram. Nilai yang
diikuti superscript yang berbeda menunjukkan berbeda signifikan (P<0.05).
b. Multivariate analysis
Hasil discriminant function analysis (DFA) menunjukkan bahwa 6 populasi tiram
didiskriminasikan menjadi dua kelompok yang berbeda, dimana Tibang I, Tibang II dan
Tibang III dikelompokkan ke dalam kelompok yang sama (Kelompok I), sedangkan Ulee
Lheue I, Ulee Lheue II dan Ulee Lheue III didiskriminasikan ke dalam kelompok yang
berbeda ( Kelompok II) (Gambar 4.1). Analisis DFA menghasilkan 3 fungsi, dimana
fungsi 1 memiliki nilai eagenvalues 2,31 menjelaskan 94,4% total variance, fungsi 2
memiliki nilai eagenvalues 0,13 menjelaskan 5,5% total variance dan fungsi 3 memiliki
nilai eagenvalues 0,004 menjelaskan 0,1% total variance (Tabel 4.2). Sebagai tambahan,
Tabel 4.2 Nilai Eagenvalues, % variance and matrix structure karakter morfometrik tiram.
Tanda bintang menunjukkan kontribusi karakter pada fingsi berkenaan.
Function 1 2 3
Eagenvalues 2.31 0.13 0.004
% Variance 94.4 5.5 0.1
Canonical Correlation 0.83 0.34 0.06
Panjang Total (PT) 0.695* -0.640 0.328
Lebar (L) 0.193 0.747* -0.636
Tinggi (T) 0.029 0.849* 0.528
Hasil uji discriminant function analysis (DFA) menunjukkan tiram pada populasi
Gampong Tibang saling tumpang tindih dan berkumpul pada kelompok yang sama,
sedangkan populasi tiram dari Gampong Ulee Lheue terpisah di kelompok lainnya. Hal
ini menunjukkan bahwa karakter morfologi tiram pada lokasi yang sama memiliki
keriripan karakter yang tinggi sehingga berkumpul pada satu klaster di scatter plot
(Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Scatter plot discriminant function analysis (DFA) karakter morfometrik dari
6 populasi sampel tiram
Gambar 4. 2 Gambaran pertumbuhan tiram pada perairan Tibang, dimana a) Bulan Juli,
b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan
November dan f) Bulan Desember tahun 2017
Gambar 4.3 Gambaran pertumbuhan tiram pada perairan Ulee Lheue, dimana a) Bulan
Juli, b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan
November dan f) Bulan Desember tahun 2017
Faktor kondisi Fulton (K) menunjukkan nilai yang sangat baik yaitu >1.6 pada
lokasi Tibang dan Ulee Lheue, sehingga dapat diartikan lingkungan masih dalam keadaan
yang baik untuk menaungi kehidupan tiram. Hal ini juga dapat diartikan pada habitat tiram
yang diteliti masih cukup akan makanan untuk keberlangsungan hidup tiram. Berdasarkan
nilai rerata K selama 6 bulan observasi menunjukkan bahwa lokasi Tibang (5.06) memiliki
nilai lebih tinggi berbanding Ulee Lheue (5.03). Hal ini dapat dapat diartikan naungan
lingkungan Tibang lebih baik berbanding Ulee Lheue terhadap keberlangsungan hidup
organisme tersebut.
Tabel 4.3 Pertumbuhan tiram (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram (Crassostrea gigas)
di kawasan perairan Tibang dan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh
Faktor kondisi berat relatif (Wr) antar kedua lokasi penelitian menunjukkan nilai
>100, dimana menunjukkan jumlah predator dan keadaan lingkungan yang stabil.
Berdasarkan nilai Wr selama 6 bulan observasi menunjukkan lokasi Ulee Lheue (103.83)
memiliki nilai lebih tingi bebanding Tibang (102.30) sehingga dapat disimpulkan
berdasarkan nilai ini lokasi Ulee Lheue lebih baik berbanding Tibang.
Adapun nilai koefesien korelasi (r) menunjukkan adanya hubungan positif
terhadap penambahan bobot dan panjang tiram (Gambar 4.2 dan 4.3). Hal ini dapat
diartikan bahwa dengan meningkatnya panjang tiram, maka bobot juga akan bertambah.
Berdasarkan nilai r rerata selama 6 bulan penelitian menunjukkan bahwa Tibang
dan Ulee Lheue memiliki nilai yang relatif sama (0.84 dan 0.83). Dengan demikian
berdasarkan nilai rerata r selama penelitian pada dua lokasi observasi terdapat hubungan
yang erat (>0.75) antara penambahan bobot dan panjang tiram.
Tabel 4.4 Pertumbuhan (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram (Crassostrea gigas) jantan
di kawasan perairan Tibang dan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh.
Faktor kondisi berat relatif (Wr) antar kedua lokasi penelitian menunjukkan nilai
>100, dimana menunjukkan jumlah predator dan keadaan lingkungan yang stabil untuk
semua jenis kelamin tiram. Berdasarkan nilai Wr selama 6 bulan observasi pada ketiga
jenis kelamin tiram menunjukkan lokasi Ulee Lheue memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan Tibang sehingga dapat disimpulkan berdasarkan nilai ini lokasi Ulee Lheue
relatif lebih baik daripada Tibang. Adapun nilai koefesien korelasi (r) menunjukkan
adanya hubungan positif terhadap penambahan bobot dan panjang tiram (Gambar 4.4, 4.5,
4.6, 4.7, 4.8, dan 4.9). Hal ini dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya panjang tiram,
maka bobot juga akan bertambah.
Tabel 4.5 Pertumbuhan (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram (Crassostrea gigas) betina
di kawasan perairan Tibang dan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh.
Tabel 4.6 Pertumbuhan (b) dan faktor kondisi (K dan Wr) tiram (Crassostrea gigas)
hermaprodit di kawasan perairan Tibang dan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh.
Nilai r rerata selama 6 bulan penelitian pada ketiga jenis kelamin menunjukkan
bahwa Tibang dan Ulee Lheue memiliki nilai yang relatif sama. Kedua lokasi memiliki
nilai rerata r lebih dari 0,75 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan erat antara
penambahan bobot dan panjang tiram.
Gambar 4.4 Pertumbuhan tiram jantan pada perairan Tibang, dimana a) Bulan Juli, b)
Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan November
dan f) Bulan Desember tahun 2017
Gambar 4.5 Pertumbuhan tiram jantan pada perairan Ulee Lheue, dimana a) Bulan Juli,
b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan
November dan f) Bulan Desember tahun 2017
Gambar 4.6 Pertumbuhan tiram betina pada perairan Tibang, dimana a) Bulan Juli, b)
Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan November
dan f) Bulan Desember tahun 2017
Gambar 4.7 Pertumbuhan tiram betina pada perairan Ulee Lheu, dimana a) Bulan Juli, b)
Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan November
dan f) Bulan Desember tahun 2017
Gambar 4.8 Pertumbuhan tiram hermafrodit pada perairan Tibang, dimana a) Bulan Juli,
b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan
November dan f) Bulan Desember tahun 2017
Gambar 4.9 Pertumbuhan tiram hermafrodit pada perairan Ulee Lheu, dimana a) Bulan
Juli, b) Bulan Agustus, c) Bulan September, d) Bulan Oktober, e) Bulan
November dan f) Bulan Desember tahun 2017
800
689
700
600 544
Individu (N)
500
400 332
300
200 96
90
100 37 4 4 3 0 0 1
0
Gambar 4.10 Grafik frekuensi panjang berdasarkan kelas panjang tiram pada lokasi
Tibang dan Ulee Lheue
Gambar 4.11 Grafik pertumbuhan Von Bentalaffy Growth Function (VBGF) tiram pada
dua lokasi penelitian.
b. Mortalitas
Analisis laju mortalitas tiram menunjukkan laju mortalitas total (Z) mencapai
7.22year-1 ,laju mortalitas alami (M) 1.27year-1, laju mortalitas penangkapan (F) 5.95year-1
dan laju eksploitasi (E) 0.82year-1 (Tabel 4.7). Adapun nilai Z disebabkan oleh
penangkapan dan kematian tiram di alam. Nilai M dikarenakan oleh penyakit dan umur
tiram sudah tua, selanjutnya nilai F ditentukan oleh tangkapan yang dilakukan di alam.
Berdasarkan data laju eksploitasi menunjukkan bahwa aktivitas penangkapan
tiram sudah masuk dalam kategori overeksploitasi (overfishing). Hal ini ditunjukkan oleh
nilai laju eksploitasi (E) mencapai 0.82year-1 (Gambar 4.12) atau 82% kematian tiram
year-1
dikarenakan penangkapan, sedangkan batas lestari seharusnya adalah 0.50 (Tabel
4.7). Oleh karena itu perlu strategi manajemen penangkapan untuk menjaga populasi tiram
agar tetap lestari kedepannya.
No Parameter Hasil
1 Panjang infiniti (L∞) 141.75 mm
2 Panjang optimum penangkapan (Lopt) 45.72 mm
3 Koefesien pertumbuhan (K) 1.1year-1
4 Laju mortalitas total (Z) 7.22year-1
5 Laju mortalitas alami (M) 1.27year-1
6 Laju mortalitas penangkapan (F) 5.95year-1
7 Laju eksploitasi (E) 0.82year-1
Hasil analisis menunjukkan bahwa laju kematian dominan terjadi pada waktu
tiram berumur 1 tahun (Gambar 4.12a). Selanjutnya panjang optimum penangkapan (Lopt)
terjadi pada ukuran 45.72 mm (Tabel 4.7), berdasarkan grafik VBGF (Gambar 4.11)
diestimasikan pada ukuran tersebut tiram berumur 1 tahun. Berdasarkan analisis
probabilitas bahwa dengan meningkatnya ukuran maka kemungkinan tiram ditangkap
semakin tinggi (Gambar 4.12b).
Gambar 4.12 Grafik (a) laju mortalitas tertuama terjadi pada saat tiram berusia satu tahun,
dan (b) laju probabilitas penangkapan menunjukkan peningkatan ukuran
akan meningkatkan penangkapan tiram
c. Rekruitmen
Hasil analisis kemampuan rekruitmen tiram menunjukkan bahwa tiram melakukan
pemijahan sepanjang tahun. Namun pada bulan tertentu proses rekruitmen terjadi sangat
sedikit, yaitu pada bulan Januari dan Desember (Gambar 4.13). Berdasarkan analisis
puncak rekruitmen terjadi 2 kali, yaitu pada bulan Juni dan Agustus (Gambar 4.13).
Gambar 4.13 Grafik laju rekruitmen tiram, dimana J adalah bulan Januari, F adalah
Februari dan bulan seterusnya selama setahun. Puncak rekruitmen terjadi
pada bulan Juni dan Agustus
dan 4.9). Hasil analisis menunjukkan bahwa sex rasio (SR) tiram yang dikaji pada 2 lokasi
penelitian (Tibang dan Ulee Lheue) didominasi jenis kelamin betina dengan nilai rerata
65.11% di daerah Tibang dan 59.55% di lokasi Ulee Lheue.
Tabel 4.8 Sex rasio (SR) dan indeks kematangan gonad (IKG) tiram pedaging
(Crassostrea gigas) lokasi Tibang
Jantan Female Hermaprodite
Bulan Jumlah SR
SR (%) GSI (%) SR (%) GSI (%) GSI (%)
(%)
0.53-8.51 0.08-14.32 0.40-6.89
Juli 150 21.33 2.73±1.45 68.67 2.57±1.83 10.00 3.24±1.93
1.22-8.60 0.50-17.67 0.54-7.87
Agustus 150 20.67 3.71±1.62 66.67 3.85±2.31 12.67 3.44±1.80
0.82-5.93 1.08-12.27 0.88-11.85
September 150 14.67 2.82±1.37 57.33 3.78±1.83 28.00 3.80±1.85
0.41-11.57 0.31-11.97 0.80-18.60
Oktober 150 31.33 3.81±2.77 48.00 4.53±2.46 20.67 4.81±4.26
1.43-7.33 0.48-11.25 0.75-6.88
November 150 14.67 74.67 10.67
3.81±1.64 4.18±1.98 3.89±1.75
0.39-6.38 0.58-9.91 0.75-5.17
Desember 150 18.67 75.33 6.00
3.25±1.70 3.53±1.98 2.84±1.73
Pada tiram kelamin jantan memiliki nilai SR rerata 20.22% pada lokasi Tibang
dan 28.11% pada lokasi Ulee Lheue. Pada penelitian ini ditemukan tiram berjenis kelamin
hermaprodit, dimana nilai rerata rasio 14.67% pada lokasi Tibang dan 12.33% di lokasi
Ulee Lheue. Berdasarkan hasil SR rerata bahwa jenis kelamin betina dan hermaprodit
pada lokasi Tibang lebih tinggi berbanding Ulee Lheue, namun lebih rendah berbanding
nilai rerata SR kelamin jantan (Tabel 4.8 dan 4.9).
Tabel 4.9 Sex ratio (SR) dan indeks kematangan gonad (IKG) tiram pedaging
(Crassostrea gigas) lokasi Ulee Lheue
Jantan Female Hermaprodite
Bulan Jumlah
SR (%) GSI (%) SR (%) GSI (%) SR (%) GSI (%)
0.04-6.97 0.11-5.58 0.35-4.81
Juli 150 32.67 57.33 10.00
0.78±1.40 1.47±1.37 1.72±1.45
0.04-6.26 0.01-12.17 0.57-6.99
Agustus 150 26 1.85±1.33 66.67 2.64±2.13 7.33 3.50±1.76
0.77-13.85 0.30-16.73 0.39-2.97
September 150 36 60 4
4.06±3.05 3.61±2.66 1.77±1.04
0.42-12.36 0.60-10.26 0.77-10.24
Oktober 150 25.33 46.00 28.67
3.25±2.23 3.87±1.92 3.81±2.03
1.02-19.06 0.34-16.56 0.35-9.54
November 150 20.67 63.33 16.00
5.11±3.35 4.80±2.44 4.54±2.33
0.95-8.10 0.05-16.56 1.58-9.55
Desember 150 28.00 3.00±1.56 64.00 3.56±2.42 8.00 5.05±2.62
Nilai SR tiram setiap bulan mengalami fluktuasi, dimana yang paling signifikan
terlihat pada kelamin hermaprodit. Pada lokasi Tibang di bulan Juli hinga September nilai
SR hermaprodit mengalami kenaikan dan mengalami penurunan pada bulan Oktober
hingga Desember, sedangkan pada lokasi Ulee Lheue nilai SR hermaprodit pada bulan
Juli hingga September terus mengalami penurunan dan mengalami peningkatan pada
bulan Oktober, namun mengalami penurunan lagi pada bulan November hingga Desember
(Gambar 4.14a dan 4.14b).
a) 120
b) 120
100 100
80 80
60 60
40 40
Female Female
20 20
Hermaprodite Hermaprodite
0 M ale 0 M ale
July August September October November Desember July August September October November Desember
Month Month
Gambar 4.14 Grafik sex rasio (SR) tiram (Crassostrea gigas), dimana a) lokasi Tibang
dan b) lokasi Ulee Lheue.
Hasil analisis indeks kematangan gonad (IKG) tiram betina menunjukkan nilai
tertinggi rerata ditemukan pada bulan Oktober (4.53%) di Tibang dan November (4.80%)
di Ulee Lheue. Nilai IKG jantan rerata tertinggi ditemukan pada bulan Oktober (3.81%)
di Tibang dan November (5.11%) di Ulee Lheue. Selanjutnya nilai IKG hermaprodit rerata
tertinggi ditemukan pada bulan Oktober di Tibang (4.81%) dan Desember (5.05%) di
Ulee Lheue (Tabel 4.8 dan 4.9).
Tabel 4.10 Tingkat kematangan gonad (TKG) tiram jantan lokasi Tibang dan Ulee Lheue
Tibang Ulee Lheue
Bulan TKG (%) TKG (%)
Jumlah Jumlah
I II III IV V I II III IV V
Juli 32 3.13 0.00 3.13 90.63 3.13 49 73.47 6.12 4.08 16.33 0.00
Agustus 31 0.00 0.00 3.23 96.77 0.00 39 7.69 0.00 0.00 92.31 0.00
September 22 0.00 50.00 27.27 18.18 4.55 54 20.37 59.26 9.26 9.26 1.85
Oktober 47 0.00 14.89 14.89 44.68 25.53 38 0.00 15.79 21.05 28.95 34.21
November 22 0.00 9.09 63.64 27.27 0.00 31 3.23 16.13 35.48 45.16 0.00
Desember 28 0.00 0.00 53.57 42.86 3.57 42 0.00 4.76 21.43 73.81 0.00
Pada penelitian ini ditemukan tiram betina pertama kali matang gonad yaitu pada
ukuran 20,46 mm di Tibang dan 25,24 mm di Ulee Lheue. Selanjutnya selama enam bulan
penelitian ditemukan tiram dalam keadaan matang gonad (TKG IV) tertinggi di dua lokasi
(Tibang dan Ulee Lheue ) terjadi pada bulan Agustus dengan nilai yang sama yaitu
mencapai mencapai 96% (Tabel 4.11).
120 120
100 100
80 80
60 60
TKG V
T KG V
T KG IV TKG IV
40 40
20 20
T KG II TKG II
0 T KG I 0 TKG I
July Sept ember November July September November
August October Desember August October Desember
Month Month
Gambar 4.15 Persentase TKG tiram jantan selama 6 bulan penelitian, dimana a) lokasi
Tibang dan b) lokasi Ulee Lheue
Tabel 4.11 Tingkat kematangan gonad (TKG) tiram betina lokasi Tibang dan Ulee Lheue
Tibang Ulee Lheue
Bulan TKG (%) TKG (%)
Jumlah Jumlah
I II III IV V I II III IV V
Juli 103 2.91 2.91 9.71 77.67 6.80 86 5.81 5.81 33.72 48.84 5.81
Agustus 100 0.00 0.00 2.00 96.00 2.00 100 3.00 0.00 1.00 96.00 0.00
September 86 3.49 13.95 24.42 24.42 33.72 90 18.89 18.89 23.33 25.56 13.33
Oktober 72 0.00 30.56 20.83 33.33 15.28 69 1.45 17.39 27.54 47.83 5.80
November 112 0.00 0.89 27.68 71.43 0.00 95 0.00 16.84 32.63 50.53 0.00
Desember 113 0.00 2.65 35.40 61.95 0.00 96 3.13 8.33 33.33 55.21 0.00
120
120
100
100
80
80
60
TKG V 60
TKG V
TKG IV
40 TKG IV
40
TKG III
TKG III
20 20
TKG II TKG II
0 TKG I 0 TKG I
July September November July September November
August October Desember August October Desember
Month Month
Gambar 4.16 Persentase TKG tiram betina selama 6 bulan penelitian, dimana a) lokasi
Tibang dan b) lokasi Ulee Lheue
a) 40000000
35000000
30000000
25000000
Egg/Ind
20000000 y = 367548x - 7943.8
15000000 r² = 0.9573
10000000
5000000
0
20 70 120
Total Length (mm)
b) 50000000
45000000
40000000
35000000
Egg/Ind
30000000
25000000
20000000
15000000 y = 368933x - 125288
10000000 r² = 0.9531
5000000
0
20 70 120
Total Length (mm)
Gambar 4.17 Regresi antara panjang total (mm) dan fekunditas tiram (telur/ind), dimana
a) merupakan perairan Tibang dan b) perairan Ulee Lheue.
Pada tiram jantan berdasarkan jumlah setiap bulan jauh lebih sedikit berbanding
tiram betina, sehingga kemapuan regenerasi tiram sangat cepat disebabkan peran tiram
betina sangat signifikan dari aspek produksi sel telur. Pada setiap bulan ditemukan tiram
mengalami matang gonad, sehingga diperkirakan tiram dapat memijah sepanjang tahun.
Tabel 4.13 Hubungan kelimpahan plankton terhadap nilai sex rasio pada tiram lokasi
Tibang dan Ulee Lheue.
DO lebih rendah (Tabel 4.14). Hal ini kemungkinan terjadi karena lingkungan antar lokasi
berbeda.
BAB V
PEMBAHASAN UMUM
pada peningkatan jumlah polusi di perairan Ulee Lheue, baik secara suara maupun limbah
kimiawi yang dihasilkan dari kapal atau aktifitas masyarakat.
berpasir. Organisme benthos sangat bergantung pada jenis dari substrat tempat
perlekatannya untuk tumbuh dan berkembang. Substrat jenis pasir memiliki kelebihan
karena dapat memudahkan biota untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Sedangkan substrat lumpur cenderung memiliki kandungan oksigen yang lebih sedikit
sehingga mengharuskan organisme beradaptasi dengan kondisi tersebut. Menurut
Vercaeemer et al (2006), tiram daging Ostrea dan Crassostrea dapat tumbuh optimal pada
substrat pasir berlempungm kerikil, dan bebatuan, sehingga substrat pada kedua lokasi
penelitian ini sesuai untuk habitat tiram yang kondusif. Suhu di kedua lokasi penelitian
cenderung stabil dengan suhu rata-rata pada Tibang adalah 31,30C dan Ulee Lheue 28,10C.
Kisaran suhu pada kedua lokasi penelitian masih mendukung untuk pertumbuhan dan
perkembangan tiram daging. Crassostrea dapat hidup dengan baik pada suhu perairan
berkisar antara 50C – 350C (Nehring, 2006). Suhu optimum untuk pertumbuhan tiram
daging adalah 110C – 340C, sehingga suhu perairan pada Tibang dan Ulee Lheue masuk
dalam kategori suhu optimum pertumbuhan tiram daging.
Tingkat keasaman (pH) air laut pada perairan Tibang dan Ulee Lheue yaitu 7,7
dan 7,6. Adanya pasokan air tawar yang masuk ke kedua perairan ini menyebabkan nilai
pH yang cukup stabil. Menurut Yonvitner (2001), hampir selurut biota perairan bersifat
sensitif terhadap perubahan pH yang terjadi. Umumnya biota akuatik dapat hidup optimal
pada pH yang berkisar antara 7,0 hingga 8,5. Tiram daging dapat hidup pada perairan
dengan pH antara 6,8 – 9,25 (Diederich, 2006). Kisaran pH yang terlalu tinggi atau terlalu
rendah dapat menyebabkan peningkatan angka kematian atau abnormalitas pertumbuhan
pada tiram. Nilai salinitas terukur lebih tinggi pada perairan Tibang karna lokasi penelitian
ini berhubungan langsung dengan laut lepas. Salinitas pada Ulee Lheue, salinitas lebih
rendah dapat disebabkan adanya aliran air masuk dari sungai. Menurut Nybakken (1992),
penambahan air tawar yang mengalir dan masuk ke perairan laut dapat menurunkan
salinitas dari perairan laut. Salinitas mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah makanan
yang dikonsumsi, dan daya ketahanan hidup makrozoobenthos. Secara umum perairan
Tibang dan Ulee Lheu masih memiliki salinitas dalam kisaran toleransi tiram daging.
Tiram daging mampu hidup dalam kisaran salinitas 10 – 30 ‰ dengan salinitas optimal
20 – 30 ‰ (Mann et al, 2009). Menurut Santoso (2010), kejut salinitas terbukti
mempengaruhi laju pemijahan pada tiram daging. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
yang didapatkan, yaitu pemijahan tertinggi didapatkan pada bulan Agustus dan seiring
dengan salinitas perairan yang didapatkan lebih tinggi daripada bulan-bulan lainnya.
Kandungan bahan organik dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan oksigen
terlarut menjadi rendah. Sisa bahan organik seperti kotoran hewan atau kotoran manusia
dan sampah-sampah yang ada di perairan akan mengalami pembusukan oleh organisme
sapovor yang membutuhkan oksigen terlarut dalam air, sehingga semakin banyak bahan
organik yang mengalami pembusukan akan semakin menurunkan oksigen yang terlarut
dalam air. Kadar rata-rata DO pada lokasi Tibang adalah 4,1 mg/l dan lokasi Ulee Lheue
3,3 mg/l, dimana kadar oksigen terlarut pada lokasi penelitian Ulee Lheue lebih rendah
daripada Tibang. Hal ini dapat disebabkan karena perairan Ulee Lheue merupakan
perairan yang digunakan pula sebagai stasiun berlabuhnya kapal-kapal perikanan dan
tempat pengisian bahan bakar kapal.
Hasil analisis univariate menunjukkan PT, L dan T tiram yang dikoleksi dari
Gampong Tibang nilainya lebih tinggi berbanding dengan tiram yang dikoleksi dari
Gampong Ulee Lheue. Hal ini menjelaskan bahwa ukuran tiram dari Gampong Tibang
lebih besar berbanding dengan tiram dari Gampong Ulee Lheue. Variasi morfologi yang
terjadi kemungkinan terdapat perbedaan keadaan lingkungan yang terjadi pada 2 lokasi
tempat observasi penelitian. Selain faktor perbedaan jenis tiram (Batista et al., 2008),
faktor genetik juga berperan penting terhadap variasi morfologi yang terjadi pada tiram
(Wang et al., 2004). Selanjutnya faktor genetik juga menunjukkan kekhususan terhadap
jenis dan habitat tiram yang berlainan jenis (Lam dan Morton, 2003).
Menurut Hoellein dan Zarnoch (2014) mengemukakan bahwa tiram dilingkungan
perairan berfungsi sebagai filtrasi, bioremediasi dan berperan terhadap proses siklus
nitrogen. Selanjutnya bahan anorganik yang terdapat diperairan dapat menjadi residu yang
akan mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup tiram serta berbahaya bagi
manusia yang mengkonsumsinya (Sarong et al., 2015). Penelitian sebelumnya oleh
Langdon et al. (2016) tentang efek bocornya minyak ke perairan fenomena Deepwater
Horizon, USA bahwa menyebabkan dampak buruk signifikan terhadap pertumbuhan dan
rekruitmen tiram (Crassostrea virginica) akibat tersuspensinya minyak di dalam perairan.
Hasil senada juga ditunjukkan pada uji DFA, dimana karakter morfologi tiram
pada lokasi yang sama akan berkumpul pada satu kelompok yang sama dikarenakan
kemiripan karakter yang tinggi. Adapun tiram dari lokasi yang berbeda terdiskriminasikan
terpisah dengan tiram dari lokasi yang lain. Walaupun terdapat variasi morfologi sehingga
membentuk klaster yang berbeda, namun tiram pada lokasi Gampong Tibang dan
Gampong Ulee Lheue terlihat saling berdekatan di scatter plot DFA. Hasil penelitian
sebelumnya oleh Grizzle et al. (2016) tentang pertumbuhan, variasi morfometrik dan jenis
makanan pada Crassostrea Virginica di New Hampshire, USA menyebutkan bahwa
terjadinya variasi morfometrik disebabkan oleh musim, konsentrasi nutrient, konsentrasi
carbon dan nitrogen dalam perairan. Dapat disimpulkan bahwa spesies tiram pada lokasi
Gampong Tibang dan Gampong Ulee Lheue adalah spesies yang sama.
Analisis pertumbuhan tiram di perairan Tibang dan Ulee Lheue Kota Banda Aceh
menunjukkan nilai b rerata 1.81 dan 1.97 (alometrik negatif) yaitu penambahan bobot
tiram tidak secepat penambahan panjang tiram. Hal ini juga sejalan dengan hasil yang
didapatkan dari setiap jenis kelamin, pada jantan, betina, maupun hermafrodit. Dari
penelitian ini didapatkan Crassostrea gigas pada perairan Tibang dan Ulee Lheue
memiliki laju penambahan panjang yang lebih cepat daripada penambahan berat
dagingnya, sehingga tiram terkesan kurus. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Octavina (2014) di Kuala Gigieng, Aceh Besar yang mendapatkan kurva
hubungan panjang dan bobot tiram cenderung landai, menunjukkan pertambahan bobot
dan pertumbuhan cenderung tidak seimbang. Menurut Bacher dan Gangnery (2006),
alokasi energi terbesar pada tiram digunakan untuk pertumbuhan terutama pembesaran
cangkang, disamping untuk reproduksi.
Pertumbuhan adalah meningkatnya ukuran panjang dan bobot atau berat dari
tiram. Kastoro (1992) menyatakan pertumbuhan pada bivalvia terjadi paling dominan
pada bagian cangkang, sehingga pertumbuhan diinterpretasikan sebagai pertambahan
panjang cangkang dilanjutkan dengan pertambahan bobot tubuh. Menurut Kang et al.,
(2003) pertumbuhan somatik tidak meningkat signifikan pada masa memijah karena
adanya pengalihan energi pada organ lainnya, terutama untuk kematangan gonad. Setelah
masa pemijahan, berat daging atau bobot tiram akan kembali meningkat seiring dengan
penurunan indeks kematangan gonad (Effendie, 1979).
Tiram yang didapatkan dari kedua lokasi sebagian besar pada fase TKG 4 yaitu
sedang dalam masa pemijahan. Hal ini yang dapat menyebabkan tiram cenderung kurus
karena energi diutamakan untuk kematangan gonad selama proses pemijahan
berlangsung. Penelitian Octavina (2014) juga mendapatkan pertumbuhan tiram yang
cenderung kurus di Kuala Gigieng Aceh Besar umumnya terjadi pada tiarm yang berada
pada fase TKG 3 dan TKG 4. Pada dua lokasi penelitian tersebut nilai b tidak terlihat
perbedaan signifikan, sehingga sampel hasil observasi terlihat relatif sama secara visual.
Berdasarkan nilai b yang relatif sama pada dua lokasi penelitian menunjukkan keadaan
habitat yang relatif homogen. Selanjutnya Arredondo et al. (2016) menyebutkan bahwa
nilai b dengan selisih nilai berdekatan menunjukkan bahwa keadaan 2 lokasi yang berbeda
terdapat kesamaan dalam hal sumber makanan bagi organisme yang diteliti. Menurut
Froese (2006) bahwa faktor lingkungan yang homogen akan mengindikasikan
pertumbuhan hewan sejenis terjadi simililaritas tinggi.
Adapun nilai faktor kondisi Fulton’s (K) menunjukkan rerata pada lokasi Tibang
(5.03) relatif sama berbanding Ulee Lheue (5.06). Walaupun terdapat perbedaan nilai
rerata K, namun tidak berbeda signifikan. Berdasarkan nilai K di dua lokasi penelitian
menunjukkan keadaan lingkungan yang stabil (>1.6) (Morton dan Routledge, 2006).
Muchlisin et al. (2010) menjelaskan bahwa keadaan stabil menjelaskan bahwa perairan
organisme hidup minim akan predator dan kompetitor. Selanjutnya Jin et al. (2015)
makanan. Ketersediaan sumber makanan pada lokasi penelitian sangat mendukung untuk
pertumbuhan tiram pada lokasi tersebut. Pada kedua lokasi naungan lingkungan cukup
baik sehingga ukuran tiram yang tertangkap juga cukup besar.
Hasil analisis dinamika populasi menunjukkan tiram di dua lokasi penelitian
(Tibang dan Ulee Lheue) telah di eksploitasi berlebihan, dimana berdasarkan nilai E
0.82year-1 menjelaskan kematian tiram akibat aktivitas penangkapan mencapai 82% atau
melebihi nilai batas lestari yaitu 50%. Selain itu hasil analisis menunjukkan dominasi
tiram tertangkap yaitu pada ukuran panjang kelas 40-50 mm. Hal ini sesuai dengan hasil
analisis panjang optimum penangkapan (Lopt) yaitu ditemukan pada ukuran 45.72 mm.
Dengan demikian berdasarkan ukuran tiram yang dominan tertangkap di estimasikan
berumur 1 tahun. Namun secara keseluruhan 1800 sampel tiram yang tertangkap
diestimasikan berumur 2-3 tahun. Pemijahan tiram pada perairan tropis dapat terjadi
sepanjang tahun ( Bat et al 1978; Almaeda et al ,1999 ; Barber 1996 ). Namun dari hasil
penelitian pada dua lokasi tersebut di temukan rekruetmen tiram terjadi pada bulan Juni
dan Agustus. Namun puncak rekruetmen di temukan pada bulan Agustus. Salah satu
faktor eksternal lingkungan yang sangat berpengaruh dalam proses gametogenesis pada
Bivalvia adalah suhu. Pada bulan Agustus suhu perairan penelitian sangat panas, di
karenakan puncak musim kemarau di Kota Banda Aceh, sedangkan faktor lingkungan
yang lain masih layak untuk pertumbuhan dan pemijahan tiram di dua lokasi tersebut.
Kematian alami yang terjadi pada tiram pada lokasi penelitian umumnya akibat perusakan
habitat saat penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. Penangkapan oleh nelayan dapat
meningkatkan risiko kerusakan pada koloni tiram jika proses panen dilakukan pada tiram
yang belum layak diambil, sehingga turut mempengaruhi kestabilan subtrat tempat
perlekatan. Sedangkan kondisi perairan baik fisik, kimia dan biologi pada kedua lokasi
penelitian masih sangat layak untuk kehidupan tiram.
di lokasi Ulee Lheue. Nilai SR tiram setiap bulan mengalami fluktuasi, dimana yang
paling signifikan terlihat pada kelamin hermaprodit. Pada lokasi Tibang di bulan Juli
hinga September nilai SR hermaprodit mengalami kenaikan dan mengalami penurunan
pada bulan Oktober hingga Desember, sedangkan pada lokasi Ulee Lheue nilai SR
hermaprodit pada bulan Juli hingga September terus mengalami penurunan dan
mengalami peningkatan pada bulan Oktober, namun mengalami penurunan lagi pada
bulan November hingga Desember.
Analisis aspek reproduksi tiram menunjukkan puncak pemijahan terjadi pada
bulan Agustus. Hal ini dikarenakan pada bulan tersebut tiram jantan dan betina didominasi
TKG IV (kategori matang). Hasil ini sesuai dengan analisis laju rekruitmen tiram
menggunakan aplikasi Fisat II, sehingga memperkuat kesimpulan puncak pemijahan tiram
terjadi pada bulan Agustus. Pada bulan Agustus khususnya di Banda Aceh merupakan
puncak musim kemarau terjadi, dimana suhu relatif tinggi dan hujan tidak terjadi. Musim
kemarau yang terjadi di bulan Agustus menyebabkan salinitas di perairan habitat tiram
meningkat dan hal ini kemungkinan penyebab terjadinya musim pemijahan pada tiram.
Selanjutnya pada penelitian ini ditemukan tiram jantan pertama kali matang gonad
yaitu pada ukuran 26,40 mm di Tibang dan 25.45 mm di Ulee Lheue. Hal ini menunjukkan
ukuran matang gonad pertama kali tiram jantan tidak signifikan terjadi antar dua lokasi
yang berbeda. Berdasarkan ukuran pertama kali matang gonad tiram diestimasikan
berumur 1 tahun berdasarkan grafik VBGF. Selanjutnya pada tiram betina pertama kali
matang gonad yaitu pada ukuran 20,46 mm di Tibang dan 25,24 mm di Ulee Lheue,
dimana diestimasikan berumur 1 tahun berdasarkan grafik VBGF.
Analisis biologi perairan menyangkut dengan kelimpahan plankton menunjukkan
bahwa perairan Tibang didominasi jenis yang berbeda dengan perairan Ulee Lheue.
Perairan Tibang didominasi jenis plankton Rhizosolenia formosa dengan kelimpahan
mencapai 20734.87 ind/L, sedangkan perairan Ulee Lheue didominasi jenis Gossleriella
tropica dengan kelimpahan mencapai 9553.79 ind/L. Selain dominasi jenis yang berbeda
antar lokasi, berdasarkan kelimpahan juga berbeda. Walaupun dari segi kelimpahan
perairan Tibang lebih tinggi, namun berdasarkan jumlah jenis terlihat perairan Ulee Lheue
lebih tinggi berbanding perairan Tibang. Hal ini kemungkinan terjadi karena lingkungan
antar lokasi berbeda, dimana hasil pengukuran parameter kimia-fisika perairan terlihat
bahwa semua parameter masih mendukung untuk menaungi kehidupan tiram. Namun
demikian suhu, pH dan salinitas perairan Tibang lebih tinggi berbanding perairan Ulee
Lheue, tetapi kandungan DO lebih rendah.
Dari analisis biologi yang dilakukan terhadap kelimpahan fitoplankton berbeda
antara lokasi penelitian Tibang dan Ulee Lheue. Tibang memiliki kelimpahan fitoplankton
yang lebih tinggi daripada Ulee Lheue, namun jumlah jenis di Ulee Lheue lebih tinggi
daripada Tibang. Hal ini dapat disebabkan oleh parameter kualitas perairan yang berbeda
antara kedua lokasi penelitian. Menurut Clark (1977) dalam Widjaja (1994), salinitas
menjadi faktor yang penting dalam penentuan kelimpahan fitoplankton karena
fitoplankton yang berasal dari Genus berbeda memiliki toleransi salinitas berbeda untuk
tumbuh dan hidup secara optimal. Dari hasil pengukuran parameter kualitas perairan,
didapatkan Tibang memiliki rata-rata salinitas yang lebih tinggi daripada perairan Ulee
Lheue selama periode penelitian.
Welch (1980) menyatakan bahwa salinitas dan DO pada perairan berasal dari
difusi oksigen dari udara yang masuk dari lapisan permukaan air, aliran air yang masuk
ke perairan tersebut, curah hujan, dan hasil fotosintesis fitoplankton. Semakin tinggi
kelimpahan fitoplankton akan menghasilkan oksigen yang lebih banyak sehingga
meningkatkan DO. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang mendapatkan kadar DO
pada perairan Tibang lebih tinggi dari Ulee Lheue, dapat disebabkan oleh kelimpahan
fitoplankton pada perairan Tibang yang juga lebih tinggi. Selain itu, dari sisi pertumbuhan,
tiram yang berasal dari Tibang juga didapatkan lebih besar daripada tiram dari Ulee
Lheue. Menurut Gosling (2003), bivalvia dapat memakan partikel-partikel tersuspensi di
perairan seperti mikrozooplankton, fitoplankton, bakteri, detritus, serta bahan organik
terlarut lainnya. Namun sumber makanan utama yang digemari bivalvia adalah
fitoplankton. Suplai makanan yang semakin banyak akan semakin mempercepat
pertumbuhan.
Hasil analisis regresi pada penelitian ini menunjukkan bahwa kelimpahan plankton
tidak mempengaruhi rasio seks pada kedua lokasi penelitian. Fluktuasi nilai rasio seks
tiram yang sangat tinggi dapat menjadi penyebab rendahnya koefisien kolerasi antara
kelimpahan plankton dan rasio seks tiram. Menurut Gosling (2003) rasio seksual setelah
masa pemijahan sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan dan stress fisiologis pada
tiram. Tiram daging yang hidup di lingkungan perairan baik cenderung akan berkembang
menjadi betina. Pada kedua lokasi, didapatkan SR utama yang ditemukan adalah tiram
betina. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi perairan baik untuk perkembangan tiram.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Terdapat perbedaan signifikan (P<0.05) terhadap karakter morfologi tiram pada 2
lokasi penyamplingan yang berbeda, sehingga dapat mempengaruhi struktur
morfologi tiram dan terdapat variasi bentuk morfologi.
2. Pertumbuhan tiram pada perairan Tibang dan Ulee Lheue berlangsung secara
alometrik negative, keadaan lingkungan pada lokasi penelitian masih dalam keadaan
stabil, sehingga perairan Tibang dan Ulee Lheue masih dapat mendukung kehidupan
tiram.
3. Tiram (Crassostrea gigas) yang diperoleh dari Tibang dan Ulee Lheue secara
keseluruhan diestimasikan berumur 1-3 tahun, dan didominasi oleh ukuran berumur 1
tahun.
4. Tiram jantan pertama kali matang gonad yaitu pada ukuran 26,40 mm di Tibang dan
25,45 mm di Ulee Lheue berumur 1 tahun. Tiram betina pertama kali matang gonad
yaitu pada ukuran 20,46 mm di Tibang dan 25,24 mm di Ulee Lheue berumur 1 tahun.
5. Tiram yang di peroleh pada lokasi penelitian lebih banyak berjenis kelamin betina dan
puncak pemijahan terjadi di bulan Agustus. Di mana pada bulan tersebut di dominasi
oleh TKG IV ( katagori matang ).
6. Parameter lingkungan perairan masih mendukung pertumbuhan tiram, dan
kelimpahan plankton tidak berpengaruh terhadap jenis kelamin atau sex ratio tiram.
6.2 Saran
Adapun rekomendasi berdasarkan hasil penelitian yaitu:
1. Pada penelitian selanjutnya, sebaiknya sampel tiram yang diteliti adalah tiram yang
telah dibudidaya untuk dapat mengidentifikasi durasi yang dibutuhkan tiram dalam
proses kematangan gonad setiap siklus pemijahan.
2. Pada saat puncak pemijahan direkomendasikan dengan cara sosialisasi oleh stake
holder bekerja sama dengan peneliti kepada nelayan pencari tiram agar tidak
melakukan pengambilan tiram terkhusus pada bulan Agustus, agar populasi tiram
lestari dan pemanfaatannya maksimal.
3. Sebaiknya dilakukan budidaya tiram agar kelestariannya tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Adenike, F.A. 2013. The sex ratio, gonadosomatic index, stages of gonadal development
and fecundity of Sompat Grunt, Pomadasys jubelini (Cuvier, 1830). Pakistan
Journal of Zoology, 45(1): 41-46.
Angell, C.L. 1986. The biology and culture of tropical oysters. Published by the
International Center for Living Aquatic Resources Management, Makati, Metro
Manila, Philippines.
Arredondo, M.S.I., E.M. Enriquez, X.G.M. Sanchez, L.A.A. Cardenas, J.S.R. Perez. 2016.
Weight-length relationship and condition factor of leopard grouper
Mycteroperca rosacea (Perciformes: Serranidae) from the Gulf of California.
California Fish and Game, 102(2): 50-54.
Astuti, I., S. Karina, I. Dewiyanti. 2016. Analisis kandungan logam berat Pb pada tiram
Crassostrea cucullata di pesisir Krueng Raya, Aceh Besar. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah, 1(1): 104-113.
Bae PA, Pyen CK, Ko CS, Kim Y, Kang PA, 1978. Studies on suspended culture of oyster
Crassostrea gigas in the Korean coastal waters. 4. On the environmental factors
of oysters culturing farms and the growth rate of oysters. Bull. Fish. Res. Dev.
Agency, Busan, 20:109-119.
Bacher C, Gangnery A. 2006. Use of dynamic energy budget and individual based models
to simulate the dynamics of cultivated oyster populations. Jou Sea Res, 56: 140-
155.
Barber BJ, 1996. Gametogenesis of eastern oysters, Crassostrea virginica and Pacific
oyster C. gigas in disease-endemic lower Chesapeake Bay. J. Shellfish Res.,
15(2):285-290.
Bochenek EA, Klinck JM, Powell EN, Hofmann EE, 2001. A biochemically based model
of the growth and development of Crassostrea gigas larvae. Journal of Shellfish
Research, 20(1):243-266.
Borges ME, Dos Santos E, Cazzaniga NJ, 2002. Density and Growth of Pacific oyster
Crassostrea gigas in an intertidal oyster reef in the southern Atlantic coast of
Buenos Aires Province, Argentina.
BPS Aceh. 2016. Aceh Dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Banda
Aceh.
Brower JE, Zar JH. 1977. Field and laboratory method for general ecology. Dubuque,
Iowa (US): Wm.C Brown Pulb.
Brusca G, Ardil D, 1974. Growth and survival of oyster Crassostrea gigas, C. virginica,
and Ostrea edulis in Mauritius. Revue Agricole et Sucrière de l’Ile Maurice,
53:111-131.
Child, A.R.: Laing, I.Comparative low temperature tolerance of small juvenile European,
Ostrea edulis L., and Pacific oysters, Crassostrea gigas Thunberg.: Aquac-res.
Oxford : Blackwell Science, c1995-. Feb 1998. v. 29 (2) p. 103-113.
Clausen, I. & Riisgård, U. (1996) Growth, filtration and respiration in the mussel Mytilus
edulis: no evidence for physiological regulation of the filter-pump to nutri- tional
needs. Mar. Ecol. Prog. Ser., 141, 37–45.
CSIRO. 2002. Australians select best Pacifics collaborative breeding program. Fish
Farming International, 29(10):34-35.
Deshmukh, A.V., S.R. Kovale, M.S. Sawant, M.M. Shirdhankar, A.B. Funde. 2010.
Reproductive biology of Sardinella longiceps along Ratnagiri coast off
Maharshtra. Indian Journal of Marine Science, 39(2): 274-279.
Diederich, S. 2006. High survival and growth rates of introduced pacific oyster may cause
restrictions on habitat use by native mussesls in the Wadden Sea. Journal of
Experimentalmarine Biology and Ecology, 328(2): 211-227.
Effendie H. 2003. Telaah kualiatas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan
perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Effendie, MI. 1979. Metode biologi perikanan. Bogor (ID): Yayasan Dewi Sri.
Evseev, G. A. & Yakovlev. M. 1996. The Anatomy of the Pacific Oyster, Crassostrea
gigas (Thurnberg) (Bivalvia: Ostreidae). Publications of Seto Marine Biological
Laboratory 37: 239-255.
Famme, P., Riisgård, H.U. & Jørgensen, C.B. (1986) On direct measurements of pumping
rates in the mussel Mytilus edulis. Mar. Biol., 92, 323–27.
Feng, Dandan & Li, Qi & Yu, Hong & Zhao, Xuelin & Kong, Lingfeng. 2015.
Comparative Transcriptome Analysis of the Pacific Oyster Crassostrea gigas
Characterized by Shell Colors: Identification of Genetic Bases Potentially
Involved in Pigmentation.
Ferreira, M.A.P., L.F. Paixao, C.P. Alcantara-Neto, S.S.D. Santos, R.M. Rocha. 2006.
Morphological and morphometric aspects of Crassostrea rhizophorae
(Guilding, 1828) oocytes in three stages of the gonadal cycle.
International Journal of Morphology, 24(3): 437-442.
Fisher WS, Winstead JT, Oliver LM, Edmiston L, Bailey GO. 1996. Physiologic
variability of eastern oysters from Apalachicola Bay, Florida. J. Shell. Res.
15(3): 543-553.
Froese, R. 2006. Cube law, condition factor and weight–length relationships: history,
meta-analysis and recommendations. Journal of Applied Ichthyology, 22(4):
241-253.
Gaughan, D.J., R.W.D. Mitchell. 2000. The biology and stock assessment of the tropical
sardine, Sardinella lemuru, off the mid-west coast of Western Australia.
Fisheries Research Report. Published by Fisheries Western Australia, Perth.
Grizzle, R.E., K.M. Ward, C.R. Peter, M. Cantwell, D. Katz, J. Sullivan. 2016. Growth,
morphometrics and nutrient content of farmed eastern oysters, Crassostrea
virginica (Gmelin), in New Hampshire, USA. Aquaculture Research, 1-13.
Gosling, E. 2003. Bivalve molluscs : biology, ecology, and culture. Fishing New Books,
UK. 433 pp.
Hoellein, T.J., C.B. Zarnoch. 2014. Effect of eastern oysters (Crassostrea virginica) on
sediment carbon and nitrogen dynamics in an urban estuary. Ecological
Applications, 24(2): 271-286.
Imai, T. 1982. The evolution of oyster culture. In: Aquaculture in shallow seas. Kotheker,
V.S., editor. India. New Delhi:Pauls Press. pp. 135–204.
Invasive Species Compendium. 2018. Crassostrea gigas. UK: England and Wales
Licence.
Juanda, Martunis. 2014. Analisa kelayakan finansial pegembangan Cold Storage Plant di
Pelabuhan Perikanan Lampulo Baru Banda Aceh. Jurnal Teknologi dan Industri
Pertanian Indonesia, 6(1): 2014.
Kastoro WW. 1992. Beberapa aspek biologi dan ekologi dari jenis-jenis moluska laut
komersial yang diperlukan untuk menunjang usaha budidayanya. Prosiding
Temu Ilmiah Potensi Sumberdaya Kekerangan Sulawesi Selatan dan Tenggara
Watampone; 1992 Feb 17-18; Maros: Badan Penelitian Perikanan Budidaya
Pantai.
Kudale, R.G., J.L. Rathod. 2016. Maturation and spawning in the fringe scale sardine,
Sardinella fimbriata (Cuvier and Valenciennes, 1847) from Karwar Waters,
Uttar Kannada District, Karnataka. International Journal of Fisheries and
Aquatic Studies, 4(2): 96-99.
Lam, K., B. Morton. 2003. Morphological and mitochondrial DNA characteristics of two
cultured species of cupped-oysters (Bivalvia: Ostreidae) in Hong Kong: towards
a significant taxonomic name change. Proceedings of an International Workshop
Reunion Conference, Hong Kong 21-26 October 2001.
Levinton JS. 1982. Marine ecology. Printice-Hall Inc., Englewood Cliff, N.J. p.526.
Ludwig, JA, Reynold, JF. 1988. Statistical Ecology. A. Primer on Method on Competing:
Jhon Willey and Sons.
Lowe M, Gereffi G, Stokes S, Wunderink S. 2012. Restoring Gulf Oyster Reefs. Center
on Globalization, Governance, & Competitiveness, Duke University.
Mann R, Burreson EM, Baker PK, 1991. The decline of the Virginia oyster fishery in
Chesapeake Bay: considerations for introduction of a non-endemic species,
Crassostrea gigas (Thunberg, 1793). J. Shellfish Res., 10(2):379-388.
McKnight, W., Chudleigh, I.J. 2015. Pacific oyster Crassostrea gigas control within the
inter-tidal zone of the North East Kent Marine Protected Areas,
UK. Conservation Evidence, 12: 28-32.
Melo, A.G.C.D., E.S. Varela, C.R. Beasley, H. Schneider, I. Sampaio, P.M. Gaffney, K.S.
Reece, C.H. Tagliaro. 2010. Molecular identification, phylogeny and geographic
distribution of Brazilian mangrove oysters (Crassostrea). Genetics and
Molecular Biology, 33(3): 564-572.
Morton, A., R.D. Routledge. 2006. Fulton’s condition factor: is it a valid measure of sea
lice impact on juvenile salmon?. North American Journal of Fisheries
Management, 26: 56-62.
Muchlisin, Z.A., A.S. Batubara, M.N. Siti-Azizah, M. Adlim, A. Hendri, N. Fadli, A.A.
Muhammadar, S. Sugianto. 2015. Feeding habit and length weight relationship
of keureling fish, Tor tambra Valenciennes, 1842 (Cyprinidae) from the western
region of Aceh Province, Indonesia. Biodiversitas, 16(1): 89-94.
Nadjib MM. 2008. Studi pemanfaatan kulit kerang sebagai bahan penyusun pada
pembuatan lem kaca jurusan kimia. Hayati, 13: 153–156.
National Introduced Marine Pest Information System (NIMPIS). 2002. Crassostrea gigas
species summary. National Introduced Marine Pest Information System. Web
publication.
Nehring S, 2006. NOBANIS – invasive alien species fact sheet – Crassostrea gigas –
From: Online database of the North European and Baltic Network on Invasive
Alien Species – NOBANIS www.nobanis.org,5/2007.
Nybakken, JW. 1992. Biologi laut, suatu pendekatan ekologis. Jakarta (ID): Gramedia.
Penerjemah: Eidman dkk.
Octavina, C., F. Yulianda, M. Krisanti. 2014. Struktur komunitas tiram dagingdi perairan
estuaria Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Depik, 3(2):
108-117.
Okgerman, BIVALVIA. 2005. Seasonal variation of the length weight and condition
factor of Rudd (Scardinius erythrophthalmus L) in Spanca Lake. International
Journal of Zoological Research, 1(1): 6-10.
Olsen AM, 1994. The history of development of the Pacific oyster Crassostrea gigas
(Thunberg) industry in South Australia. Trans. R. Soc. S. Aust., 118(3-4):253-
259.
Prasad, R.D., Y.P. Rao. 2015. Studies on food and feeding habits of Harpiosquilla harpax
(de Haan, 1844) (Crustacea: Stomatopoda) represented in the shrimp trawl net
by-catches off Visakhapatnam, east coast of India. International journal of
Advanced Research, 3(7): 1578-1584.
Priyantini, D.F., D. Arfiati, A. Kurniawan. 2016. Analisis berat daging dan IKG (indeks
kematangan gonad) tiram Crassostrea iredalei berdasarkan fase bulan.
Prosiding. Seminar Nasional Kelautan 2016, Universitas Trunojoyo Madura.
Roberts, R.J. 2012. Fish pathology fourth edition. Blackwell Publishing Ltd. Hoboken,
New Jersey, USA.
Ruesink, J.L., Lenihan, H.S., Trimble, A.C., Heiman, K.W., Micheli, F., Byers, J.E. &
Kay, M.C. 2005.Introduction of Non-Native Oysters: Ecosystem Effects and
Rypel, A.L., T.J. Richter. 2008. Empirical Percentile standard weight equation for the
Blacktail Redhorse. North American Journal of Fisheries Management, 28(1):
1843-1846.
Sahin C, Ertug D, Ibrahim O. 2006. Seasonal variasion in condition index and gonadal
development of the introduced blood cockle Anadara inaequaivalvis (Brugiere,
1789) in The Southeastern Black Sea Coast, Turkish. JFAS, 6: 155-163.
Sakai A.K., Allendorf F.W., Holt J.S., Lodge D.M., Molofsky J., With K.A., Baughman
S., Cabin R.J., Cohen J.E., Ellstrand N.C., McCauley D.E., Neil P.O., Parker
I.M., Thompson J.N., Weller S.G.. (2001). Population Biology of Invasive
Species. Annual Review of Ecology and Systematics, Vol. 32: 305-332
Sarong, M.A., C. Jiha, Z.A. Muchlisin, N. Fadli, S. Sugianto. 2015. Cadmium, lead and
zinc contamination on the oyster Crassostrea gigas muscle harvested from the
estuary of Lamnyong River, Banda Aceh City, Indonesia. AACL Bioflux, 8(1):
1-6.
Shumway, S.E., Cucci, T.L., Newell, R.C. & Yentch, C.M. (1985) Particle selection,
ingestion, and absorption in filter-feeding bivalves. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 91,
77– 92.
Shumway, S.E., Davis, R., Downey, R., Karney, J., Kraeuter, J., Parsons, Rheault, R. &
Wikfors, G. 2003. Shellfish aquaculture – in praise of sustainable economies and
environments. World Aquaculture 34: 8-10.
Sudjadi, M. dan I. M. Widjik S. 1972. Metoda Analisa Air Irigasi. Publikasi No. 8/72,
Lembaga Penelitian Tanah, Bogor.
Suradi WJ. 2003. Mata Kuliah Dinamika Populasi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro.
Tack JF, Berghe E, Polk PH (1992) Ecomorphology of Crassostrea cucullata (Born, 1778)
(Ostreidae) in a man- grove creek (Gazi, Kenya). Hydrobiologia 247, 109–117.
Trivedi, S., A.A. Aloufi, A.A. Ansari, S.K. Ghosh. 2015. Molecular phylogeny of oysters
belonging to the genus Crassostrea through DNA barcoding. Journal of
Entomology and Zoology Studies, 3(1): 21-26.
Wang, Y., Z. Xu, X. Guo. 2004. Differences in the rDNA-bearing chromosome divide the
Asian-Pacific and Atlantic species of Crassostrea (Bivalvia, Mollusca). Biol.
Bull., 206: 46-54.
Wang, H., L. Qian, A. Wang, X. Guo. 2013. Occurrence and distribution of Crassostrea
sikamea (Amemiya 1928) in China. Journal of Shellfish Research, 32(2): 439-
446.
Wang J, Christoffersen K, Buck S, Tao BIVALVIA. 2007. The pacific oyster (Crassostrea
gigas) in the Isefjord, Denmark. Dept of Environmental, Social, and Spacial
Change, Denmark.
Welch, E.B. 1980. Ecological effect of waste water. Cambridge Univ. Press. Cambridge :
xvi + 357 hal.
Widjaja, F., S. Suwignyo, F. Yulianda & H. Effendi. 1994. Komposisi jenis, kelimpahan
dan penyebaran plankton laut di Teluk Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor : x+95 hal.
Wilson, J.H. & Seed, R. (1974) Laboratory experiments in pumping and filtration in
Mytilus edulis L. using suspensions of colloidal graphite. Ir. Fish. Invest. Series
B, 14, 1–20.
Wu, X., S. Xiao, Z. Yu. 2013. Mitochondrial DNA and morphological identification of
Crassostrea zhanjiangensis sp. nov. (Bivalvia: Ostreidae): a new species in
Zhanjiang, China. Aquatic Living Resources, 26: 273-280.
Yulianda F. 2003. Beberapa aspek biologi reproduksi keong macan (Babylonia spirata
Linnaeus, 1758). [Disertasi]. Bogor (ID): IPB.
LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
q = Gram
Mm = Milimeter
ph = Derajat Keasaman
C = Celcius
DO = Dissolved Oxygen
PPM = Part Per Million
CO2 = Carbon Dioksida
Ind = Individu