Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN SECARA

BERKELANJUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PSPBM)

OLEH

Kelompok 18

1. M TAUFIKURRAHMAN (193020405072)

2.Frengky (193020405013)

3. Deardo Damanik (193020405061)

4. Deco Venando Simbolon (193020405036)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PALANGKARAYA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya perikanan merupakan salah satu potensi yang cukup menjanjikan


dalam mendukung tingkat perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan.
Tetapi sebagai konsekuensinya sumberdaya perikanan yang berbasis perairan
yang merupakan milik bersama (common property) dan terbuka untuk umum
(open acces) menyebabkan pemanfaatannya cenderung melebihi daya dukung
sumberdaya (over eksploitation) dan bersifat destruktif (Arief, 2008).

Kondisi ini semakin diperparah oleh peningkatan jumlah armada penangkapan,


penggunaan alat dan teknik serta teknologi penangkapan yang tidak ramah
lingkungan. Disamping itu berbagai aktivitas manusia baik di wilayah pesisir dan
laut serta kegiatan di daratan (upland) yang juga dapat menimbulkan dampak
pencemaran lingkungan. Kondisi ini menimbulkan tekanan lingkungan bahkan
cenderung merusak sumberdaya alam. Terkait dengan hal tersebut diatas maka
diperlukan sebuah pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan yang
melibatkan semua komponen yang salah satunya yaitu masyarakat.

Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) merupakan


proses pemberian wewenang, tanggungjawab dan kesempatan kepada masyarakat
untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri (Tulungen, 2000). Sedangkan
masyarakat dalam definisi PSPBM ini adalah sekelompok orang yang memiliki
tujuan yang sama. Namun rezim pengelolaan sumberdaya ini masih memiliki
kelemahan yang bila tidak diselesaikan dapat membuat rezim ini tidak efektif
pelaksanaannya. Oleh karena itu implementasi nilai kearifan lokal pada suatu
daerah sangat perlu diterapkan, mengingat nilai kearifan lokal merupakan bagian
dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan
moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya dibidang
pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam sehingga dapat mencapai
pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.

Di samping itu dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagai


pengganti UU No. 09 Tahun 1985 dalam pasal 6 ayat (2) berbunyi : Pengelolaan
perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan harus
mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan
peran-serta masyarakat. Dengan demikian pembahasan tentang “Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) Melalui Implementasi
Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Setempat” menjadi sangat penting diketahui dan
dipelajari untuk kepentingan pengelolaan yang akan datang.
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu :

1.Bagaimana penerapan sistem pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat


(PBM) atau Community Based Management (CBM) ?

2. Bagaimana bentuk pengelolaan berbasis masyarakat melalui nilai kearifan lokal


yang ada di Indonesia

3. Bagaimana hubungan kearifan lokal dengan upaya pengembangan sumberdaya


perikanan berkelanjutan ?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :

1.Sebagai salah satu pemenuhan prasyarat tugas mata kuliah konservasi


sumberdaya hayati perairan yang diberikan oleh dosen pengampu.

2.Untuk dapat mengetahui penerapan sistem pengelolaan Perikanan Berbasis


Masyarakat (PBM) atau Community Based Management (CBM), bentuk
pengelolaan berbasis masyarakat melalui nilai kearifan lokal yang ada di
Indonesia, dan hubungan kearifan lokal dengan upaya pengembangan sumberdaya
perikanan berkelanjutan

1.4 Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini yaitu dapat mengetahui
pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis masyarakat, bentuk pengelolaan
berbasis masyarakat melalui nilai kearifan lokal yang ada di Indonesia, serta
hubungan kearifan lokal dengan upaya pengembangan sumberdaya perikanan
berkelanjutan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat

Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community-Based


Management merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang
meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai
dasar pengelolaanya yang dimana dalam hal ini masyarakat lokal terlibat secara
aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya
yang meliputi berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan, serta
pemanfaatan hasil-hasilnya (Latama, 2002). Sedangkan pengertian dari
pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat dapat didefinisikan
sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan
kepada masyarakat untuk mengelola suberdaya perikananannya sendiri dengan
terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya
(Nikijuluw, 2002).

Pengelolaan berbasis-masyarakat sudah merupakan suatu pendekatan yang


banyak dipakai di dalam program-program pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir di berbagai negara di dunia ini, khususnya di negara-negara berkembang.
Pendekatan ini secara luas digunakan di wilayah Asia Pasifik seperti di negara-
negara Filipina dan Pasifik Selatan. Keberhasilan pendekatan ini semakin banyak
dan didokumentasi secara baik (Polotan-de la Cruz, 1993; Buhat, 1994; Pomeroy,
1994; White et. al., 1994; Ferrer et.al., 1996; Pomeroy and Carlos, 1997; World
Bank,1999). Di negara-negara dimana sistem pemerintahannya semakin mengarah
pada desentralisasi dan otonomi lokal, pendekatan berbasis-masyarakat ini dapat
merupakan pendekatan yang lebih tepat guna, lebih mudah dan dalam jangka
panjang dapat terbukti lebih efektif dalam hal biaya (Tulungen, 2000).

Untuk di daerah Asia pendekatan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir


berbasis-masyarakat telah dicobakan diberbagai proyek pembangunan yang
dibiayai oleh Bank Pembangunan Internasional. Sebagai contoh, Program Sektor
Perikanan di Filipina yang bernilai 150 juta US dolar (Albaza-Baluyut, 1995),
Proyek Coremap di Indonesia, juga berbagai proyek bantuan bilateral lainnya
(seperti CRMP-Filipina, Proyek Pesisir-Indonesia), memasukkan pengelolaan
berbasis-masyarakat sebagai bagian dari disain program.

Upaya-upaya seperti ini juga sudah di mulai di Sulawesi Utara sejak tahun 1997
untuk mengadaptasikan pendekatan-pendekatan berbasis-masyarakat ini dalam
konteks pembangunan dan pengelolaan di Indonesia (Crawford & Tulungen,
1998a, 1998b, 1999a, 1999b; Tulungen et.al. 1998, 1999; Crawford et.al 1998)
lewat Proyek Pesisir (Coastal Resources Management Project – CRMP). Proyek
Pesisir yang dimulai sejak tahun 1997 ini didasarkan pada pemikiran/hipotesa
bahwa pendekatan partisipatif dan desentralistis akan mengarah pada lebih
berkelanjutan dan adil/seimbangnya pengelolaan sumberdaya pesisir di Indonesia.
Setelah melakukan kegiatan dan upaya selama tiga tahun di Sulawesi Utara,
contoh awal praktek pengelolaan sumberdaya pesisir berbasismasyarakat mulai
menunjukkan hasil yang menggembirakan yang mendukung validitas
pemikiran/hipotesa dari Proyek Pesisir (Tulungen, 2000).

2.2 Kerarifan Lokal

Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (lokal wisdom) terdiri dari dua kata:
kearifan (wisdom) dan lokal (lokal). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M.
Echols dan Hassan Syadily, lokal berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan)
sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka lokal wisdom (kearifan
setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya (Kisia, 2010).

Dalam disiplin antropologi dikenal dengan istilah lokal genius, dimana


merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas dan
komunitas tertentu. Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal
adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta
adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di
dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati,
dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus
membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.

Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah


kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga
keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan
kendala serta keteledoran manusia. Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika,
tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal
dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan
bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan
peradaban manusia yang lebih jauh. Kearifan lokal adalah dasar untuk
pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian,
pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan
Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya
lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan
sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan
mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama (Kisia, 2010).
2.3 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Berkelanjutan

Salah satu jenis pengelolaan sumberdaya perikanan adalah pengelolaan wilayah


pesisir secara terpadu (ICZM) yang merupakan pengelolaan pemanfaatan
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir,
dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan pesisir dan
sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya,
menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan guna mencapai pembangunan yang
optimal dan berkelanjutan (Bengen, 2004).

Ada empat alasan pokok yang dikemukakan sebagai dasar pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu yaitu : (1) keberadaan sumberdaya pesisir dan lautan yang
besar dan beragam, (2) peningkatan pembangunan dan jumlah penduduk, (3)
pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global dari poros Eropa – Atlantik
menjadi poros Asia Pasifik dan (4) wilayah pesisir dan lautan sebagai pusat
pengembangan kegiatan industri dalam proses pembangunan menuju era
industrialisasi (Kisia, 2010).

Studi mengungkapkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan


sumberdaya pesisir dan lautan yang selama ini dijalankan bersifat sektoral dan
terpilah-pilah. Padahal karakteristik dan alamiah ekosistem pesisir dan lautan
yang secara ekologis saling terkait satu sama lain termasuk dengan ekosistem
lahan atas, serta beraneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai
potensi pembangunan yang pada umumnya terdapat dalam suatu hamparan
ekosistem pesisir, mensyaratkan bahwa pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir
dan lautan secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui
pendekatan terpadu dan holistik. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan
sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang
mengindahkan aspek konservasi dan keberlanjutannya (Bengen, 2004).

Sementara itu Dahuri (2003) telah menulis indikator pembangunan berkel


pengelolaan sumberdaya keanekaragaman hayati laut, yang minimal harus
meliputi 4 dimensi yaitu: (1) ekonomi, (2) sosial, (3) ekologi, (4) pengaturan
(governance).
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) Atau Community Based


Management (CBM)

Pengelolaan yang berbasis masyarakat (PBM/CBM) adalah suatu sistem


pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat
tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang
terkandung didalamnya. Sejarah pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir
berbasis masyarakat (Community Based Management, CBM) sebenarnya telah
ada sejak jaman dahulu, dimana dimananenek moyang mulai memanfaatkan
sumberdaya alam tersebut untuk menunjang kehidupannya. Pengelolaan
sumberdaya alam pada waktu itu masih bersifat lokal dan masih sederhana,
dimana struktur masyarakat dan aktivitasnya masih sederhana dan juga belum
banyak dicampuri oleh pihak luar. Proses-proses pengelolaan mulai dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan sampai pada penerapan
sanksi hukum, dilakukan secara bersama oleh masyarakat.

Sebagai suatu model, pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat


memiliki kelemahan dan kelebihan, yang tentunya harus diperhatikan manakala
kita mengembangkan sebuah model CBM sumberdaya perikanan. Beberapa
kelebihan (nilai-nilai positif) dari model CBM ini adalah:

1. Mampu mendorong pemerataan (equity) dalam pengelolaan sumberdaya


perikanan.

2. Mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik.

3. Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang


ada.

4. Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi dan ekologi.

5. Responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal.

6. Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola sumberdaya secara


berkelanjutan.

Sementara itu, kelemahan (nilai-nilai negatif) dari pengelolaan sumberdaya


perikanan berbasis masyarakat antara lain adalah:

1. Hanya dapat diterapkan dengan baik pada kondisi masyarakat yang


strukturnya masih sederhana dengan skala dan wilayah kegiatan yang kecil.
2. Masyarakat memiliki keterbatasan seperti tingkat pendidikan, kesadaran
akan pentingnya lingkungan.

3. Terjadinya ketimpangan dalam implementasinya karena tidak didukung oleh


pemerintah.

4. Hanya efektif untuk kawasan pesisir dan laut dengan batas geografis yang
jelas atau terbatas.

5. Rentan terhadap intervensi luar atau peledakan permintaan sumberdaya alam


dan jasa-jasa lingkungan

3.2 Bentuk Pengelolaan Berbasis Masyarakat Melalui Nilai Kearifan Lokal

Nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam masyarakat perlu didukung, diperkuat
dan difasilitasi agar tetap berjalan secara berkelanjutan. Indonesia mempunyai
ragam budaya dan adat istiadat yang tersebar diseluruh nusantara, dari Sabang
sampai Merauke. Fenomena kebhinekaan tersebut memberikan ragam bentuk
pengelolaan sumberdaya, tetapi tujuan utama pengelolaannya relatif sama, yaitu
mengelola sumberdaya dan membagi alokasi sumberdaya secara adil bagi para
pemanfaat sumberdaya tersebut sehingga terwujud keharmonisan pemanfaatan
dan kelestarian sumberdaya. Beberapa bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan
antara lain :

1. Tradisi/Hukum Adat Laot Lembaga Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh


Darusalam.

Hukum Adat Laot merupakan hukum-hukum adat yang diperlukan masyarakat


nelayan dalam menjaga ketertiban yang meliputi penangkapan ikan, pemeliharaan
sumberdaya ikan dan biota laut lainnya, serta untuk menjaga kehidupan
masyarakat nelayan yang hidup di wilayah pantai. Secara hukum, Hukum Adat
Laot bersifat tertutup, artinya tidak dapat dihilangkan dalam struktur
pemerintahan di Aceh sehingga memiliki kekuatan dan kewenangan tertentu
dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, Hukum Adat Laot di
Aceh dapat bersifat terbuka, artinya, dalam menerapkan Hukum Adat Laot
tersebut senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hukum Adat
Laot dari segi adat pemeliharaan ingkungan meliputi:

a. Dilarang melakukan pemboman, peracunan dan pembiusan, penyetroman


dengan alat listrik, pengambilan terumbu karang, dan bahan-bahan lain yang dapat
merusak lingkungan hidup dan biota lainnya.

b. Dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir dan pantai seperti


pohon arun (cemara), pandan, ketapang, bakau dan pohon lainnya.
c. Dilarang menangkap ikan/biota lainnya yang dilindungi seperti lumba-lumba
dan penyu.

2. Tradisi Pamali Mamanci Ikang di Desa Bobaneigo Maluku Utara

Kearifan tradisional Pamali Mamancing Ikan dalam pengelolaan sumberdaya


perikanan (pesisir dan laut) secara umum adalah larang atau boboso, tetapi
pengertiannya dalam pengelolaan ikan teri dan cumi-cumi menyangkut pada
beberapa batasan, seperti pelarangan pada musim pemijahan, pembatasan jumlah
alat tangkap, pembatasan frekwensi penangkapan, tidak dibenarkan orang luar
memiliki usaha bagan, dan pelarangan penebangan hutan bakau (soki) karena
luluhan daun dan dahan pohon bakau dianggap sebagai asal-usul ikan teri.

Pengaturan Pamali Mamancing Ikan merupakan suatu kebijakan yang arif


walaupun hanya dihasilkan melalui suatu proses musyawarah di tingkat desa.
Seperti penetapan waktu pelaksanaannya disesuaikan dengan musim cengkeh,
dimana masyarakat mulai meninggalkan laut dan beralih ke lahan pertanian dan
perkebunan cengkehnya. Panen cengkeh dilakukan secara gotong royong (bari),
sehingga bagi nelayan yang tidak memiliki kebun turut terlibat dalam panen
tersebut untuk menutupi biaya hidupnya selama dilarang melaut. Konsep ini
sangat memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, sehingga pada saat
pelaksanaan tradisinya, masyarakat nelayan tidak kehilangan mata
pencahariannya, sebaliknya masyarakat petani juga ikut merasa dibantu.

3. Tradisi Awig-awig di Lombok Barat, NTB

Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat,


untuk mengatur masalah tertentu, dengan maksud memelihara ketertiban dan
keamanan dalam kehidupan masyarakat. Dalam awig-awig diatur perbuatan yang
boleh dan yang dilarang, sanksi serta orang atau lembaga yang diberi wewenang
oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi. Adanya pengaturan lokal (awig-awig)
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dipengaruhi oleh masalah
pokok yaitu konflik antar nelayan. Apapun munculnya konflik dalam kegiatan
pemanfaatan sumberdaya perikanan dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan
(ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin
sedikit (mata pencaharian), lingkungan politik lokal, perubahan teknologi dan
perubahan pasar. Sejak dulu, masyarakat Lombok Barat telah mengenal aturan
yang berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam, baik yang ada di
darat maupun di laut. Hal ini tercermin dari kebiasaan adat istiadat, yaitu upacara
Sawen. Secara umum sawen adalah larangan untuk melakukan kegiatan
penangkapan ikan yang berlaku di zona dan waktu yang sudah ditetapkan
sebelumnya melalui kesepakatan-kesepakatan lokal.

4. Tradisi/Hukum Adat Sasi di Maluku


Sistem pengelolaan berbasis masyarakat untuk kedua sumberdaya darat dan laut
umum ditemukan di Kepulauan Maluku Tengah dan Tenggara yang dikenal
dengan istilah sasi. Secara umum sasi merupakan ketentuan hukum adat tentang
larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan
tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula. Sasi dapat diartikan sebagai
larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya
pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun
nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini
juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia
dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakekatnya,
juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat,
termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil
sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat.

Dasar Hukum & Kelembagaan Sasi yaitu peraturan-peraturan yang ditetapkan


dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat (Saniri; di Haruku disebut Saniri’a
Lo’osi Aman Haru-ukui, atau “Saniri Lengkap Negeri Haruku”). Keputusan
kerapatan adat inilah yang dilimpahkan kewenangan pelaksanaannya kepada
lembaga Kewang, yakni suatu lembaga adat yang ditunjuk untuk melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan peraturan sasi tersebut.

Lembaga Kewang di Haruku dibentuk sejak sasi ada dan diberlakukan di desa
ini. Struktur kepengurusannya adalah sebagai berikut:

1. Seorang Kepala Kewang Darat;

2. Seorang Kepala Kewang Laut;

3. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Darat;

4. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Laut;

5. Seorang Sekretaris

6. Seorang Bendahara

7. Beberapa orang Anggota.

Adapun para anggota Kewang dipilih dari setiap soa (marga) yang ada di
Haruku. Sedangkan Kepala Kewang Darat maupun Laut, diangkat menurut
warisan atau garis keturunan dari datuk-datuk pemula pemangku jabatan tersebut
sejak awal mulanya dahulu. Demikian pula halnya dengan para pembantu Kepala
Kewang. Sebagai pengawas pelaksanaan sasi, Kewang berkewajiban: (a)
mengamankan Pelaksanaan semua peraturan sasi yang telah diputuskan oleh
musyawarah Saniri Besar; (b) melaksanakan pemberian sanksi atau hukuman
kepada warga yang melanggarnya; (c) menentukan dan memeriksa batas-batas
tanah, hutan, kali, laut yang termasuk dalam wilayah sasi; (d) memasang atau
memancangkan tanda-tanda sasi; serta (e) menyelenggarakan Pertemuan atau
rapat-rapat yang berkaitan dengan pelaksanaan sasi tersebut.

5. Patorani di Sulawesi Selatan

Patorani adalah kearifan lokal yang diterapkan oleh masyarakt bahari di


Sulawesi Selatan. Nelayan pattorani merupakan salah satu komunitas nelayan di
Sulawesi Selatan yang kondisi realitasnya sampai saat ini mengelola, memelihara
dan memanfaatkan sumberdaya hayati laut berdasarkan norma-norma dan nilai-
nilai budaya melalui pegunaan teknologi cara ( soft ware technology) maupun
teknologi alat (hard ware technology) yang bersifat partisipatif, assosiatif,
analogik dan orientif yang melembaga serta dipertahankan melalui pengendalian
sosial ( social control ) oleh setiap warganya.

Patorani adalah penangkapan ikan terbang, alat penangkapan patorani terbuat


dari anyaman bambu berbentuk silinder dengan panjang 100 cm – 125 cm dengan
diameter berkisar 50 cm – 60 cm, nelayan yang mengoperasikan penangkapan
bubu/pakkaja, alat penangkapan bubu/pakkaja, terbuat dari bambu yang berfungsi
sebagai pelampung dan tempat mengikat alat penangkap/daun kelapa, alat ini
dipasang dengan cara meletakkan di permukaan laut dan dibiarkan terapung-
apung (ammanyu-manyu). Jumlah pakkaja yang dipergunakan oleh kelompok
pattorani sekitar 10-20 buah. Dan setiap pakkaja diletakkan sepotong bambu yang
panjangnya kurang lebih 50 cm yang diikat bersama” gosse” (sejenis rumput laut
yang baunya disenangi ikan terbang). Pada bagian dalam pakkaja diikatkan
sebuah balla-balla, yaitu tempat bertelurnya ikan terbang, dengan ukuran 2 x 1
meter, selanjutnya, pada bagian luar pakkaja dikaitkan daun kelapa bersama
tandanya.

Sistem pengetahuan tentang pelayaran nelayan pattorani meliputi unsur-unsur


pengetahuan seperti : a) Pengetahuan tentang berlayar : adanya kepercayaan
terhadap roh-roh yang mendiami satu tempat atau lokasi penagkapan. Untuk
menghindari murkanya maka kesemuanya harus diselamati melalui upacara
selamatan membuang daun sirih dan tembakau b) Pengetahuan tentang musim
dan hari pemberangkatan : pa’torani berangkat pada bulan Maret atau bulan April
(Musim Timur). Mereka percaya, bahwa kesalahan dalam penentuan waktu
pemberangkatan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan bahkan dapat
menimbulkan hal yang fatal. Oleh karena itu pencatatan waktu pemberangkatan
harus diperhitungkan secara cermat dan teliti mungkin. Penentuan hari baik dan
hari jelek berdasarkan pada tradisi dan kebiasaan yang sudah lama dipertahankan
atau berdasarkan pengalaman yang sudah berlangsung kali teruji kebenarannya,
seperti hari pemberangkatan sedapat mungkin hari selasa, rabu, sabtu dan minggu.
Selain hari itu merupakan pantangan untuk dijadikan sebagai hari
pemberangkatan. c) Pengetahuan tentang awan : kondisi awan juga menjadi
pedoman bagi nelayan torani dalam melakukan aktifitasnya, seperti; bila awan
tidak bergerak tetap pada posisinya berarti teduh dan angin tidak bertiup kencang,
bila awan bergerak selalu berubah-ubah bentuk berarti akan ada angin kencang
atau badai, bila arah awan gelapnya dari barat akan menuju timur berarti akan
datang hujan atau badai. d) Pengetahuan tentang bintang (mamau) dan Bulan :
tanda lain yang sering juga diperhatikan adalah dengan melihat bintang, seperti;
bintang porong- porong akan terjadi musim barat, bintang tanra tellu akan terjadi
hujan lebat, bintang wettuing menjadi pedoman berlayar, bintang mano dan
sebagainya. e) Pengetahuan tentang petir dan kilat : petir dan kilat dimaknai suatu
kekuatan bertujuan untuk mengusir/mengejar setan dilaut yang mengganggu
nelayan beraktivitas. Oleh karena itu, setiap ada petir maupun kilat nelayan-
nelayan pattorani menghetikan aktivitas sejenak lalu membaca matera doa
keselamatan. f) Pengetahuan tentang gugusan karang (sapa) : pengetahuan
mengenai keberadaan gugusan karang (sapa) melalui tanda-tanda seperti; adanya
pantulan sinar matahari yang nampak kelihatan bercahaya, keadaan ombak
disekitar karang tenang dan tidak berarus, adanya gerombolan burung yang
terbang rendah dengan menukik dan berkicau. g) Pantangan (pamali) yang
berkaitan dalam aktivitas pelayaran : hal-hal yang harus dihindari selama aktivitas
pelayaran menurut kepercayaan nelayan adalah; tidak boleh bersiul-siul karena
akan mengundang datangnya angin, dilarang mencelupkan alat-alat dapur dilaut
karena dapat mendatangkan badai, Dilarang menghalangi atau menegur jalan
seorang nelayan apabila hendak menuju ke perahu, dialarang memanggil orang
yang berada didaratan apabila sedang berada diatas perahu, dilarang takabbur
atau bicara hal-hal yang tidak sopan karena mengundang datangnya ikan hiu,
dilarang tidur tengkurap atau tiarap selama berlayar.

6. Nyepi Segara di Nusa Penida, Bali

Nyepi segara adalah kepercayaan masyarakat sekitar untuk melaksanakan


filosofi Hindu Tri Hita Karana (hubungan harmonis dengan Tuhan, Lingkungan,
dan manusia). Ritual Nyepi Segara adalah bentuk untuk menjaga hubungan
harmonis denganb lingkungan dan Tuhan. Nyepi Segara dilakukan setiap
tahunnya untuk menghormati Dewa laut dan memberikan kesempatan kepada laut
untuk beristirahat. Biasanya Nyepi segara atau Nyepi laut dilaksanakan setiap
sasih kapat, kira-kira bulan oktober setiap tahunnya. Selama Nyepi Segara, sama
sekali tidak ada aktivitas di laut selama satu hari penuh (Darma I N., 2010).

Dari sisi sistem budaya atau adat di kawasan Nusa Penida TNC-CTC juga
melakukan inisiasi kebijakan adat (awig-awig desa) terkait dengan lingkungan
pesisir. Jika sebelumnya di kawasan Nusa Penida sudah memiliki awig-awig
terkait perlindungan bakau, TNC-CTC menginisiasi masyarakat, bendesa adat,
majelis alit, nelayan, maupun pengusaha pariwisata di Nusa Penida untuk
membuat suatu awig-awig larangan pengambilan pasir pantai untuk kebutuhan
membangun rumah, serta larangan pengambilan terumbu karang untuk dijual.

3.3 Hubungan Kearifan Lokal dengan Pengembangan Sektor Perikanan

Kearifan lokal adalah suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam
kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. kearifan lokal merupakan
tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan
lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah
sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda.

Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya


berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan
lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan
lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu,
tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat..

Pengertian pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan mengacu pada UU RI


No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang berbunyi
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian
lingkungan hidup.

Satu hal yang perlu dicatat bahwa pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan hendaknya dilakukan berdasarkan prinsip keberlanjutan demi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Pemanfaatan terhadap Sumberdaya alam (SDA)
seharusnya didasari pada tujuan jangka panjang, sehingga anugerah SDA tersebut
tidak dipandang sebagai kenikmatan sesaat. Namun itulah yang saat ini terjadi
sangat ironis memang jika potensi yang begitu besar tersebut dengan cepatnya
tergerus akibat pola pengelolaan yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip
keseimbangan (Principle of harmony) dan nilai-nilai lestari (sustainable values).
Faktanya, pada sub-sektor perikanan tangkap misalnya, menunjukan bahwa stok
ikan dibeberapa wilayah perairan laut seperti Selat Malaka, Laut Jawa, Pesisir
Selatan Sulawesi, Selat Bali dan Laut Arafura telah mengalami tangkap jenuh
(over fishing), inilah akibat dari pengelolaan yang telah mengindahkan prinsip
keberlanjutan (sustainable), sehingga dikhawatirkan jika tidak ada pengelolaan
yang arif, maka eksploitasi terhadap sumberdaya ikan akan melebihi produksi
potensi lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY). Sebagai gambaran total MSY
sumberdaya ikan laut Indonesia saat ini sebesar 6,5 juta ton/tahun. Kasus lain
pada sub-sektor perikanan budidaya yaitu ambruknya masa keemasan udang
windu sejak beberapa dekade yang lalu dan sampai saat ini masih menyisakan
masalah jangka panjang. Hal ini terjadi karena pola pengelolaan yang hanya
mengejar kapasitas produksi yang tak terukur dengan input teknologi yang tidak
terkontrol tanpa mempertimbangkan kemampuan daya dukung lahan
(carryingcapacity), dan kelangsungan ekosistem pada kenyataannya telah memicu
terjadinya degradasi lahan dan merebaknya virus WSSV yang sampai saat ini
menjadi momok menakutkan bagi pembudidaya. Belum lagi, kerusakan terhadap
ekosistem pesisir sebagai akibat eksploitasi yang tidak dilakukan secara arif,
padahal ekosistim pesisir adalah tempat pemijahan (nursery ground), asuhan,
mencari makan dan membesarkan diri jenis ikan dan biota laut lainnya.

Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan
tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi
yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak kususnya dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap
lingkungan hidup yang ada dalam masyarakat Indonesia yang diwariskan secara
turun temurun menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Jika
kesadaran tersebut dapat ditingkatkan, maka hal itu akan menjadi kekuatan yang
sangat besar dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.

Nilai-nilai moral yang terkandung dalam prinsip kearifan lokal sudah


seharusnya menjadi dasar bagi pengelolan perikanan yang berkelanjutan. Prinsip
sustainable saat ini telah menjadi syarat mutlak pada tataran perdagangan global,
sehingga apapaun bentuknya usaha perikanan sudah seharusnya memegang
prinsip nilai-nilai lestari (sustainable values), ramah lingkungan (pro-enviroment),
ecological awareness, dan social awareness.

Disamping itu, pengelolaan perikanan berbasis kearifan lokal sudah saatnya


memberikan wewenang, tanggung jawab dan kesempatan sebesar-besarnya
kepada peran serta masyarakat melalui pola pengelolaan sumberdaya perikanan
berbasis masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam masyarakat perlu
didukung, diperkuat dan difasilitasi agar tetap berjalan secara berkelanjutan.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan diatas yaitu :

1. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat (CBM) merupakan


salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam/perikanan yang meletakkan
pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar
pengelolaanya yang dimana dalam hal ini masyarakat lokal terlibat secara aktif
dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya

2. Kearifan lokal adalah suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam
kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah, dimana nilai-nilai ini
dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi
sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam
maupun gaib dan merupakan implementasi nilai luhur budaya Indonesia dalam
pengelolaan sumberdaya alamnya

3. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam prinsip kearifan lokal merupakan


dasar bagi pengelolan perikanan yang berkelanjutan yang memiliki peranan yang
sangat strategis dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan. Dan sangat
berhubungan erat dengan pengembangan sumberdaya perikanan menjadi pedoman
dalam memanfaatkan sumberdaya alam

4.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dari penulisan makalah ini yaitu :

1. Dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan yang berbasis


masyarakat sebaiknya implementasi dari nilai-nilai kearifan lokal yang ada pada
suatu daerah perlu ditingkat sehingga dapat membangun keserasian, keharmonisan
antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, .

2. Dalam upaya strategi pengelolaan, pengawasan sumberdaya perikanan dan


pemberdayaan masyarakat diharapkan sedapat mungkin nilai kearifan lokal,
tradisi/hukum adat beserta sistem kelembagaan yang ada, baik kelembagaan fisik
berupa struktur masyarakat adat dan organisasi formal pemerintahan maupun
lembaga swasta (dunia usaha dan LSM) maupun kelembagaan non fisik dalam
bentuk perangkat aturan secara hirarkis Perda, Keputusan Bupati, Keputusan
Camat, sampai Keputusan Desa hendaknya dapat mengakomodir dan
memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup, bertumbuh dan berkembang
di dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ablaza-Baluyut, E. 1995. The PhilippineFisheries Sector Program. pp. 156-177.


In: Coastaland Marine Environmental Management: Proceedingsof a Workshop.
Bangkok, Thailand, 27- 29, March, 1995. Asian Development Bank. pp. 331.

Anggoro, S,. 2004. Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah. MSDP,


UNDIP, Semarang.

Arief, Andi Adrie, 2008. Partisipasi Masyarakat Nelayan di Kabupaten Takalar


(Studi Kasus Desa Tamasaju, Kecamatan Galesong Utara). Jurnal Hutan dan
Masyarakat Vol. III No. 1 Mei 2008.

Bengen, D.G. 2004. Menuju Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis


Daerah Aliran Sungai (DAS), dalam Interaksi daratan dan Lautan : Pengaruhnya
terhadap Sumber Daya dan Lingkungan, Prosiding Simposium Interaksi Daratan
dan Lautan. Diedit oleh W.B. Setyawan, dkk. Jakarta : Kedeputian Ilmu
Pengetahuan Kebumian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Bennett, C.F. 1983. Conservation and Management of Natural Resources in The


United States. Canada : John Wiley&Sons. Inc

Buhat, D. 1994. Community-Based Coral Reef and Fisheries Management, San


Salvador Island, Philippines. In: White,A.T., L.Z. Hale, YRenard and L. Cortesi.
(Eds.) 1994. Collaborative and Community-Based Management of Coral Reefs:
Lessons from Experience. Kumarian Press, West Hartford, Connecticut, USA. pp.
33-49

Calumpong H. 1993. The Role ofAcademe in Community Based Coastal


Resource Management: The Case of APO Island. In: Proceedings of the Seminar
Workshop on Community-Based Coastal Resources Management: Our Sea
OurLife. Lenore P. C. (eds.). Voluntary Services Overseas, New Manila, Quezon
City, Philiphines.

Crawford, B.R., I. Dutton, C. Rotinsulu, L. Hale. 1998. Community-Based


Coastal Resources Management in Indonesia: Examples and Initial Lessons from
North Sulawesi. Paper presented at International Tropical MarineEcosystem
Management Symposium, Townsville, Australia, November 23-26. pp 299-309

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan


Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Dahuri, R., Rais,J., Ginting, S.P., Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta : PT. Pradnya Paramita

Darma I N., B. M. (2010). Profil Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida.


Klungkung, Bali: Media

Francis Wahono, 2005. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati,


Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta Gunggung Seno Aji,
2003.

Ghofar, A., 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan


Berkelanjutan. Cipayung-Bogor.

Keraf, S. A., 2002. Etika Lingkungan. Pn. Buku Kompas, Jakarta.

Nikijuluw, V.P.H, 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT. Pustaka


Cidesindo. Jakarta.

Nyamai-Kisia, C. 2010. Kearifan Lokal dan Pembnangunan Indonesia. PT.


Pustaka. Jakarta.

Tulungen, J.J. 2000. Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya


Wilayah Pesisir Berbasis-Masyarakat di Sulawesi Utara. in Jurnal Fakultas
Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado. Vol II, No 3, Oktober 2000. pp 24-
41.

Undang-Undang Negara RI, Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

World Bank. 1999. Voices from theVillage: AComparativeStudyof Coastal


Resource Management in the Pacific Islands. Pacific Islands Discussion Paper
Series Number 9 (and No. 9ASummary Report). World Bank, East Asia and
Pacific Region, Papua New Guinea and Pacific Islands Country Management
Unit. Washington D.C. USA.

Anda mungkin juga menyukai