Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penduduk pedesaan yang tinggal di daerah rawa dan daerah pasang surut
seperti di Kalimantan umumnya menghadapi kesulitan dalam memperoleh air
bersih terutama pada musim kemarau. Salah satu sumber air permukaan yang ada
di Kalimantan khususnya di Provinsi Kalimantan Barat adalah air gambut yaitu air
permukaan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah gambut dibawahnya. Data
hasil uji kualitas air gambut yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi
Kalimantan Barat selama tahun 2008, menunjukkan bahwa air gambut di
Kalimantan Barat memiliki kekeruhan rendah, berwarna coklat tua sampai
kehitaman (124 - 850 unit PtCo), kadar organik tinggi (138 – 1560 mg/lt KMnO4),
dan bersifat asam (pH 3,7 – 5,3). Data tersebut menunjukkan bahwa sebelum dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu sumber air untuk keperluan domestik, air gambut
masih memerlukan pengolahan khusus terlebih dahulu.
Zat organik pada air gambut didominasi oleh senyawa humat yang bersifat
sulit dirombak oleh mikroorganisme atau bersifat nonbiodegradable (Zouboulis,
2004). Namun demikian upaya untuk merombak senyawa humat dan fulvat ini terus
dikembangkan. Salah satu metode potensial adalah pengolahan secara biologi,
dengan menggunakan bakteri yang dikultivasi baik dari tanah gambut maupun air
gambut itu sendiri.
Pengolahan air secara biologi pada dasarnya dapat dilakukan menggunakan
proses pertumbuhan tersuspensi dan proses pertumbuhan terlekat. Pada proses
pertumbuhan terlekat, mikroba dilekatkan pada media pendukung membentuk
lapisan tipis yang disebut biofilm. Penggunaan biofilm mikroba telah banyak
digunakan untuk pengolahan limbah cair. Namun, belum banyak dikembangkan
pada pengolahan air bersih. Upflow Anaerobic Filter adalah salah satu teknologi
pengolahan air secara biologi dengan memanfaatkan biofilm bakteri dalam
mekanisme peruraian zat organik, sedangkan Slow Sand Filter (SSF) merupakan
teknologi pengolahan air yang sangat sederhana, yang memanfaatkan biofilm yang

1
terbentuk pada media pasir. Hariyani (2005) menerangkan bahwa biofilm yang
terbentuk pada SSF mampu menurunkan bakteri, zat organik, padatan tersuspensi
dan warna yang ada pada air baku lebih dari 60%.
Pemeriksaan kualitas air gambut meliputi parameter pH, zat organik yang
diukur dengan nilai bilangan permanganat (PV), warna, analisa karbon total.
Seluruh metode pemeriksaan parameter sesuai dengan Standard Method for
Examination of Water and Wastewater (1998).

Seleksi dan identifikasi bakteri anaerob yang terdapat pada air gambut
dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas MIPA Universitas Airlangga.
Hasil seleksi dan identifikasi diperoleh bakteri anaerob yang dominan adalah
Clostridium sp, sedangkan bakteri fakultatif anaerob yang dominan yaitu Bacillus
sp. Identifikasi bakteri anaerob air gambut dilakukan dengan cara mencocokkan
hasil uji morfologi dan uji aktivitas biokimia yang terdapat pada Bergey’s Manual
of Determinative Bacteriology.

2
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana kajian tentang pemanfaatan Upflow Anaerobic Filter (UAF) dan
Slow Sand Filter (SSF) dalam menurunkan warna air gambut agar
memenuhi Standart PERMENKES?

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan Upflow
Anaerobic Filter (UAF) dan Slow Sand Filter (SSF) dalam menurunkan warna air
gambut sehingga memenuhi persyaratan PERMENKES No.416/ MENKES
/PER/IX/1990 dengan memanfaatkan bakteri lokal air gambut.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Air gambut adalah air permukaan atau air tanah yang banyak terdapat di
daerah pasang surut, berawa dan dataran rendah, berwarna merah kecoklatan,
berasa asam (tingkat keasaman tinggi), dan memiliki kandungan organik tinggi.
Gambut sendiri didefinisikan sebagai material organik yang terbentuk dari
dekomposisi tidak sempurna dari tumbuhan daerah basah dan dalam kondisi sangat
lembab serta kekurangan oksigen. Air gambut secara umum tidak memenuhi
persyaratan kualitas air bersih yang distandardkan oleh Departemen Kesehatan RI
melalui PERMENKES No.416/ MENKES /PER/IX/1990.
Kandungan organik pada air gambut didominasi oleh senyawa humat yang
memiliki ikatan aromatik kompleks yang memiliki gugus fungsional seperti –
COOH, OH fenolat maupun –OH alkohol dan bersifat nonbiodegradable. Sifat ini
juga menyebabkan sebagian besar organik pada air gambut sulit terurai secara
alamiah. Kandungan organik pada air berpotensi membentuk senyawa karsinogenik
antara lain THM (Trihalomethane) pada proses desinfeksi dengan khlor. Asam
humat yang memiliki berat molekul 2000 – 100.000 dalton memiliki potensi untuk
membentuk organoklorin seperti THM dan HAA (haloacetic acid) relatif lebih
besar daripada senyawa non humus ( Zouboulis, 2004).
Usaha untuk mereduksi senyawa humat dalam air gambut dilakukan dengan
berbagai metoda baik secara fisik, kimia maupun biologi. Penelitian yang dilakukan
oleh Lema (2008) terhadap viabilitas isolat bakteri selulolitik pada humus
menunjukkan bahwa aktifitas selulase isolat bakteri selulotik dapat menggunakan
selulosa yang ada pada senyawa humat sebagai sumber karbon.
Perombakan asam humat pada kondisi anaerob akan menghasilkan
produkproduk intermediate seperti amina aromatik yang mengganggu pertumbuhan
bakteri. Pengaruh toksisitas amina aromatik lebih tinggi pada sistem pertumbuhan
tersuspensi dibandingkan sistem pertumbuhan terlekat (Prakash et al, 2003).
Sehingga teknologi Upflow Anaerobic Filter dan Slow Sand Filter yang

4
menggunakan bakteri dengan pertumbuhan terlekat diharapkan mampu merombak
asam humat yang bersifat non degradatif.

Media Filter yang digunakan sebagai media pengamobil adalah kerikil


ukuran 1 inch (2,54 cm), PVC ukuran 2,5 x 2 cm dan botol plastik bekas yakult.
Media filter dicuci dengan akuades sebanyak 3 kali, dikeringkan dalam oven pada
suhu 105oC selama 1 jam dan selanjutnya disterilisasi menggunakan autoklaf pada
suhu 121oC selama 15 menit. Ke dalam 3 buah reaktor anaerob masing-masing diisi
dengan media filter yang akan digunakan sebagai media tempat pelekatan bakteri.
Bakteri yang diamobilkan pada masing-masing reaktor adalah konsorsium bakteri
anaerobik dan fakultatif hasil isolasi dari air gambut. Amobilisasi bakteri pada
media filter mengikuti metode yang dilakukan Sastrawidana (2009), yaitu 100 ml
kultur bakteri ditumbuhkan dalam reaktor anaerob selanjutnya ditambahkan media
tumbuh dan disirkulasi selama 14 hari. Setelah 14 hari cairan dalam reaktor UAF
dialirkan ke luar melalui kran untuk mengeluarkan bakteri yang tidak terikat pada
media.
Setelah proses amobilisasi selesai (setelah 14 hari), dilakukan pengukuran
jumlah koloni bakteri yang melekat pada masing – masing media filter UAF.
Pengukuran ini bertujuan untuk melihat apakah jumlah koloni bakteri yang melekat
pada media tersebut sudah memadai untuk digunakan dalam pengolahan air
gambut. Metode yang dipakai adalah Total Plate Count (TPC). Pelepasan sel
terlekat dan perhitungan TPC dilakukan di laboratorium mikrobiologi Jurusan
Biologi Universitas Airlangga Surabaya

5
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisa Air Baku


Hasil analisa kualitas air gambut sebagai air baku untuk parameter
kekeruhan sebesar 60 NTU, konsentrasi warna 804 Pt.Co, pH 4,8, zat organik yang
diukur dengan nilai permanganat (PV) 246,8 mg/lt, BOD 125 mg/lt, COD 192
mg/lt.

3.2 Kondisi pH Optimum Bagi Perkembangan Bakteri


Konsentrasi warna air gambut identik dengan kandungan zat organik yang
ada terkandung di dalam air gambut tersebut. Proses perombakan zat organik air
gambut akan berpengaruh pada intensitas warna sehingga efisiensi penurunan
warna air gambut sebanding dengan efisiensi perombakan zat organik. Efisiensi
kemampuan bakteri Clostridium sp, Bacillus sp dan konsorsium Clostridium sp,
Bacillus sp dalam merombak zat organik selama 5 hari inkubasi pada pH yang
berbeda-beda (pH 5 – 9) disajikan pada Gambar 1. Kondisi pH yang sesuai bagi
perkembangan bakteri anaerobik akan terukur dengan semakin rendahnya
konsentrasi warna sampel.

94
92
90 Clostridium sp
88 Bacillus sp.
86 Konsorsium
5 6 7 8 9

pH

Gambar 1. Efisiensi Penurunan Warna pada Kondisi Anaerob pada Variasi

Gambar 1. menunjukkan bahwa efisiensi penurunan warna dipengaruhi pH


lingkungan. Efisiensi perombakan warna meningkat pada pH 5 - 7, kemudian

6
cenderung stabil pada pH 7 – 8, dan menurun pada pH 9. Kondisi pH optimum
proses perombakan warna (650 Pt.Co) selama inkubasi 5 hari pada kisaran pH 7 –
8 dengan efisiensi berkisar 90 – 93 %. Perbedaan efisiensi perombakan warna pada
variasi pH disebabkan oleh perubahan aktivitas pertumbuhan bakteri. Beberapa
bakteri dapat tumbuh dan beraktivitas baik pada lingkungan asam dan beberapa
bakteri juga tumbuh baik pada lingkungan basa. Namun kebanyakan bakteri hidup
dan beraktivitas baik pada kondisi pH netral (Cutright, 2001). Aktivitas
pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh aktivitas enzim bakteri itu sendiri, karena
pada sistem biologi sebagian besar enzim merupakan protein yang mempunyai
gugus aktif yang bermuatan positif dan negatif. Aktivitas enzim akan optimum jika
terjadi kesetimbangan antar kedua muatan tersebut. Bila proses perombakan
berlangsung pada pH yang tidak optimum, maka aktivitas enzim akan menurun
akibat dari ionisasi gugus-gugus pada sisi aktif enzim. Pada kondisi asam (pH
rendah), enzim lebih bermuatan positif sedangkan pada kondisi basa (pH tinggi)
maka enzim lebih bermuatan negatif.

3.3 Amobilisasi Media Filter UAF


Bakteri yang digunakan dalam Upflow Anaerobic Filter adalah konsorsium
bakteri Clostridium sp, dan Bacillus sp, karena gabungan kedua bakteri ini
menghasilkan efisiensi perombakan warna yang cukup tinggi dibandingkan jika
kedua bakteri tersebut digunakan dalam bentuk kultur tunggal, seperti terlihat pada
Gambar 1. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa dalam keadaan substrat yang
mencukupi, hubungan antar bakteri pada sistem konsorsium tidak saling
mengganggu, tetapi saling bersinergi sehingga menghasilkan efisiensi perombakan
yang lebih tinggi (Prakash et al, 2003).
Hasil proses amobilisasi pada 3 (tiga) jenis media filter UAF, yaitu kerikil,
PVC dan botol plastik bekas yakult sebagai tempat tumbuh bakteri konsorsium
Clostridium sp dan Bacillus sp, menunjukkan penampakan pada struktur
permukaan media semakin tertutup dan terasa licin. Hasil pengukuran Total Plate
Count (TPC) pada masingmasing media diperoleh jumlah koloni bakteri pada
media kerikil sebesar 128 x 1012 cfu/mg, pada PVC 88 x 1011cfu/mg, sedangkan

7
pada botol plastik bekas yakult sebesar 103 x 109 cfu/mg. Jumlah koloni pada media
kerikil paling besar dibanding kedua jenis media yang lain karena kerikil
mempunyai banyak rongga yang mempermudah pelekatan bakteri, memperkokoh
biofilm dan melindungi mikroba dari abrasi akibat aliran air. Jumlah koloni bakteri
di media PVC lebih banyak dibandingkan botol bekas yakult, karena media PVC
yang dipakai terlebih dahulu diberi guratan-guratan sebagai tempat pelekatan
bakteri. Dari hasil pemeriksaan jumlah koloni bakteri diatas terlihat bahwa jumlah
koloni bakteri yang terdapat pada media sudah memadai untuk digunakan dalam
pengolahan air gambut secara anaerob, karena menurut Cutright (2001), jumlah
populasi bakteri minimum yang dianggap memadai untuk digunakan dalam
pengolahan secara anaerob adalah 108 cfu/mg.

3.4 Analisa Hasil Pengolahan Upflow Anaerobic Filter


Efisiensi pengolahan reaktor UAF yang dioperasikan secara kontinyu
dengan beban hidrolik filter 3,0 m3/m2hari (debit air gambut 10 lt/jam) dalam
menurunkan konsentrasi warna air gambut disajikan pada gambar berikut.

80
60
40 Media Kerikil
20 Media PVC
0
Media Botol Yakult
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Hari Ke

Gambar 2. Efisiensi Penurunan Warna

Gambar 2 memperlihatkan bahwa parameter warna pada semua efluen UAF


baik yang bermedia kerikil, PVC maupun botol plastik masih sangat tinggi jika
dibandingkan dengan nilai baku mutu warna yang dipersyaratkan oleh
PERMENKES No. 416 / MENKES /PER/IX/1990 yaitu tidak berwarna. Sisa warna
pada efluen UAF bermedia kerikil sebesar 60 – 95 Pt.Co (removal 86,8 – 92,7%),
untuk media PVC sisa warna sebesar 108 – 144 Pt.Co (removal 81 – 85,1%),

8
sedangkan sisa konsentrasi warna pada efluen UAF bermedia botol yakult bekas
sebesar 167 - 247 mg/lt (removal 68,9 – 73,7 %).
Masih tingginya konsentrasi warna pada efluen UAF menunjukkan bahwa
perombakan zat organik penyebab warna tidak berlangsung sempurna. Hal ini
karena pada kondisi anaerob bakteri hanya mampu merombak molekul zat organik
air gambut, yaitu molekul asam humat yang berukuran besar menjadi molekul yang
lebih sederhana. Struktur benzena yang ada pada asam humat belum dapat dipecah
secara sempurna, hal ini terlihat pada konsentrasi sisa warna terukur pada efluen
UAF masih cukup tinggi. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa media kerikil
memiliki efisiensi penurunan warna lebih besar dibanding media PVC dan media
botol bekas yakult. Hal ini sesuai dengan jumlah koloni bakteri yang melekat pada
media kerikil lebih banyak dibandingkan pada dua media yang lain, sehingga pada
media kerikil proses perombakan zat organik terjadi lebih efektif. Media kerikil juga
memiliki banyak rongga sehingga mempunyai luas permukaan lebih besar dalam
mengadsorpsi zat organik. Rongga ini tidak dimiliki oleh kedua media yang lain,
sehingga kemampuan adsorpsinya sangat rendah.

3.5 Analisa Hasil Pengolahan Slow Sand Filter


Hasil pengukuran efisiensi Slow Sand Filter (SSF) dalam menurunkan
konsentrasi warna air gambut disajikan pada gambar berikut

100
80
60
40
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kerikil PVC Botol Hari Ke

3 2
Gambar 3. Efisiensi Penurunan Warna pada Kec. Filtasi 0,15 m /m jam

9
100
80
60
40
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kerikil PVC Botol Hari ke

3 2
Gambar 4. Efisiensi Penurunan Warna pada Kec. Filtasi 0,3 m /m jam

100
80
60
40
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kerikil PVC Botol Hari ke

3 2
Gambar 5. Efisiensi Penurunan Warna pada Kec. Filtasi 0,45 m /m jam

Gambar 3 - 5 diatas menunjukkan bahwa prosentase efisiensi penurunan warna


sudah cukup tinggi sejak hari pertama pengambilan sampel. Kondisi ini terjadi
karena media pasir yang dipakai dalam SSF telah mengalami masa repening selama
14 hari sehingga mekanisme biologi telah terbentuk dengan stabil. Kecepatan
filtrasi juga berpengaruh pada efisiensi penurunan warna. SSF dengan kecepatan
filtrasi 0,15 m3/m2.jam menghasilkan prosentase penurunan warna lebih besar
dibanding variasi kecepatan yang lain. Faktor yang mempengaruhi hal ini adalah
kecepatan aliran yang lebih kecil akan memungkinkan kontak yang lebih lama
sehingga reduksi oleh mikroorganisme akan lebih besar. Selain waktu kontak, aliran
kecil akan menyebabkan zat organik yang terdeposit pada media filter akan lebih
banyak dan menjadi makanan bagi mikroorganisme yang tumbuh pada filter.

10
3.6 Kemampuan Pengolahan Gabungan UAF dan SSF dalam Penurunan
Warna

Gambar 6 memperlihatkan bahwa kombinasi UAF bermedia kerikil dengan


SSF 0,15 m3/m2.jam mempunyai efisiensi terbesar dalam menurunkan konsentrasi
warna air gambut yaitu 11 mg/lt (86%). Meskipun kondisi ini belum memenuhi
persyaratan sesuai PERMENKES No.416/ MENKES /PER/IX/1990 yaitu tidak
berwarna. Hasil penelitian ini juga menunjukkan walaupun efisiensi penurunan
warna pada semua kombinasi memiliki kecenderungan menurun, namun kondisi
reaktor UAF dan SSF masih belum mencapai titik breakthrough. Karena belum
terlihat indikasi terjadinya breakthrough yaitu kualitas efluen sama atau lebih buruk
dari influen (Hariyani, 2005). Penurunan efisiensi dikarenakan tidak
ditambahkannya nutrien trace element pada air gambut yang akan diolah, serta sulit
menjaga ratio C/N/P tetap pada kondisi 100:5:1, mengingat penelitian ini
menggunakan proses kontinyu. Nutrien trace element hanya diberikan pada saat
pengkondisian reaktor UAF dan SSF dengan tujuan untuk mempercepat
pertumbuhan bakteri sehingga pembentukan biofilm dapat sempurna.

11
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Faktor lingkungan (pH) yang mempengaruhi efisiensi pembentukan biofilm
pada media Upflow Anaerobic Filter adalah 7 – 8.
2. Konsorsium bakteri Bacillus sp dan Clostridium sp lebih efektif untuk
dipakai dalam proses perombakan warna dibandingkan dengan kultur tunggal.
Efisiensi perombakan sebesar 95,8 – 96,0% dengan inkubasi 5 hari pada pH 7
– 8.
3. Reaktor UAF bermedia kerikil, PVC dan botol plastik bekas yakult mampu
dalam menurunkan warna air gambut, dengan rata –rata prosentase penurunan
berturutturut sebesar 89,3%, 82,3% dan 71,6%.
4. SSF dengan variasi kecepatan fitrasi 0,15 m3/m2.jam; 0,3 m3/m2.jam dan
0,45 m3/m2.jam mampu menurunkan konsentrasi warna pada air gambut,
dengan rata – rata prosentase penurunan bertutut-turut sebesar 83%, 74% dan
69%
5. Kombinasi UAF dan SSF yang paling efisien dalam menurunkan warna,
adalah UAF bermedia kerikil dan SSF dengan kecepatan filtrasi 0,15
m3/m2.jam, dengan efisiensi penurunan parameter warna 98.
6. SSF cukup efektif dalam menyempurnakan kualitas efluen UAF karena SSF
sudah mengalami pengkondisian awal.
7. Kualitas warna pada air hasil olahan kombinasi UAF dan SSF belum
memenuhi syarat warna pada air bersih sesuai PERMENKES
No.416/MENKES/ PER/IX/1990.

12
DAFTAR PUSTAKA

Hariyani,V.D., 2005, Pengolahan Lanjutan Terhadap Efluen Instalasi Pengolahan


Lindi LPA Benowo Menggunakan Slow Sand Filter dan Filter Adsorpsi, Tugas
Akhir S1 Jurusan Teknik Lingkungan FTSP ITS
Lema,A.T., 2008, Viabilitas Isolat-Isolat Bakteri Selulolitik Pada Bahan Pembawa
Gambut, Tugas Akhir S1 Departemen Biologi FMIPA IPB.
Prakash,B., B.M. Veeregowda, G. Krishnappa, 2003, Biofilms: A Survival Strategy
of Bacteria [Review], Current Sci. 85(9), 1299-1307.
Sastrawidana,I.D.K., 2008, Pengolahan Limbah Tekstil Menggunakan Biofilm
Konsorsium Bakteri Pada Reaktor Dengan Sistem Anaerobik-Aerobik,
Disertasi Program Studi Pengelolaan Sumbedaya Alam dan Lingkungan IPB
Zouboulis, A.I., Chai, X.L., dan Katsoyiannis,I.A., 2004, The Application of
Bioflocculant for The Removal of Humic Acids rom Stabilized Landfill
Leachates,
Environmental Management Journal 70, 35-41

13

Anda mungkin juga menyukai