I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati sangat penting dan strategis artinya bagi
keberlangsungan kehidupannya sebagai bangsa. Hal ini bukan semata-mata karena posisinya
sebagai salah satu negara terkaya di dunia dalam keanekaragaman hayati (mega-biodiversity),
tetapi justru karena keterkaitannya yang erat dengan kekayaan keanekaragaman budaya lokal
yang dimiliki bangsa ini (mega-cultural diversity). Para pendiri negara-bangsa (nation-state)
Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang
majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-budayanya. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika
secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau
keberagaman
sistem
sosial
yang
dimilikinya.
turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan
alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola
keberlangsungan
kehidupan
masyarakat.
Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional
berhasil menjaga dan memperkaya keanekaan hayati alami. Adalah suatu realitas bahwa sebagian
besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem
setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal
yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Sampai saat
ini hanya sebagian yang sangat kecil saja yang dikenal dunia ilmu pengetahuan modern tentang
sistem-sistem lokal ini. Contoh di antaranya adalah pranata adat sasi yang ditemukan disebagian
besar Maluku yang mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis
hayati tertentu. Contoh lainnya yang sudah banyak dikenal adalah perladangan berotasi
komunitas-komunitas adat Orang Dayak di Kalimantan berhasil mengatasi permasalahan lahan
yang tidak subur.
Komunitas-komunitas lokal di pedesaan yang tidak lagi mendefenisikan dan menyebut dirinya
sebagai masyarakat adat, juga secara berkelanjutan menerapkan kearifan (pengetahuan dan tata
cara) tradisional ini dalam kehidupannya, termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya dan
keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhannya seperti pengobatan, penyediaan pangan,
dan sebagainya. Masa depan keberlanjutan kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk kekayaan
sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, berada di tangan masyarakat adat
yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam
yang sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sebagai komunitas
dan sekaligus menyangga fungsi layanan ekologis alam untuk kebutuhan mahluk lainnya secara
lebih luas. Keberpihakan terhadap kearifan tradisional dengan segala pranata sosial yang
mendukungnya merupakan modal awal yang utama bagi pengabdian kita terhadap keberlanjutan
kehidupan kita di Indonesia.
II. PEMBAHASAN
atau kebiasaan, dalam arti kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri
seseorang atau pada kelompok masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan
dari satu generasi ke generasi yang lain(Keraf, 2002). Kebiasaan hidup yang baik ini kemudian
dibakukan dalam bentuk kaidah,a aturan, norma yang disebarluaskan, dikenal, dipahami dan
diajarkan dalam masyarakat. Oleh karena itu etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan
tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia dan juga etika dipahami sebagai
ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik-buruknya perilaku manusia yaitu
perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.
Pengertian keraifan lokal (tradisional) menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku
manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa kearifan
lokal/tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang
manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut
pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di
antara
penghuni
komunitas
ekologis
ini
harus
dibangun.
Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhlukintegral dan
merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap
hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah
cara
pandang
antroposentrisme
ke
cara
pandang
biosentrisme
dan
ekosentrisme.
Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati,
dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus
membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun
terhadap alam. Menurut Nababan (2003), mengatakan bahwa masyarakat adat umumnya
memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan
terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini adalah mereka yang
secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan
lingkungan
Karakteristik
lokalnya.
Sosial
dan
Sistem
Pengetahuan
Masyarakat
Pesisir
sumberdaya yang terkontrol yakni lahan untuk memproduksi suatu jenis komoditas dengan hasil
yang dapat diprediksi. Dengan sifat yang demikian memungkinkan tetapnya lokasi produksi
sehingga menyebabkan mobilitas usaha yang relatif rendah dan faktor resiko pun relatif kecil.
Tohir (2001), mengemukakan bahwa terdapat fenomena yang menarik mengenai melimpahnya
sumberdaya alam laut dengan masih rendahnya minat masyarakat pesisir untuk mengeksplorasi
kekayaan laut. Lebih lanjut, Tohir (2001), mengatakan fenomena ini jika dicermati secara
mendalam maka sebenarnya terdapat fakta bahwa masyarakat pesisir yang bermatapencaharian
sebagai nelayan maupun melakukan aktivitas hidup di laut jumlahnya relatif kecil dibanding
dengan yang beberja sebagai petani sawah, maupun jasa. Hal ini berarti jenis-jenis
matapencaharian masyarakat pesisir heterogen dan warga masyarakat yang memilih sebagai
nelayan atau melakukan aktivitas di pesisir pada dasarnya masih merupakan kelompok kecil saja.
Dari jumlah yang relatif kecil itu, dilihat dari tingkat kesejahteraan hidupnya rata-rata masih
belum menggembirakan karena sebagai nelayan kecil mereka menghadapi berbagai keterbatasan.
Mengenal Kearifan Lokal di Beberapa Daerah
Namaban (2003) mengatakan bahwa sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat
adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati.
Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam
pengelolaan
sumberdaya
alam.
Aturan-atuaran/tradisi masyarakat ini diwarisi secara turun temurun yang disebut juga sebagai
hukum adat dan berlaku bagi masyarakat pesisir. Kenyataannya, nilai-nilai kearifan lokal dan
hukum adat tersebut cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan perikanan,
dan menjaga pelestarian ekosistem laut dari berbagai aktivitas yang bersifat destruktif dan
merusak.
Dalam kaitan dengan rujukan regulasi adat maupun kearifan lokal yang dapat dipergunakan di
beberapa daerah dan sudah diakui eksistensinya serta memiliki nilai strategis dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut, dibeberapa daerah sebagai berikut:
Tradisi/Hukum Adat Laot Lembaga Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam.
Hukum Adat Laot merupakan hukum-hukum adat yang diperlukan masyarakat nelayan dalam
menjaga ketertiban yang meliputi penangkapan ikan, pemeliharaan sumberdaya ikan dan biota
laut lainnya, dan menjaga kehidupan masyarakat nelayan yang hidup di wilayah pantai. Secara
hukum, Hukum Adat Laot bersifat tertutup, artinya tidak dapat dihilangkan dalam struktur
pemerintahan di Aceh sehingga memiliki kekuatan dan kewenangan tertentu dalam
pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, Hukum Adat Laot di Aceh dapat bersifat
terbuka, artinya, dalam menerapkan Hukum Adat Laot tersebut senantiasa menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman. Hukum Adat Laot dari segi Adat Pemeliharaan Lingkungan
meliputi:
a. Dilarang melakukan pemboman, peracunan dan pembiusan, penyetroman dengan alat
listrik, pengambilan terumbu karang, dan bahan-bahan lain yang dapat merusak lingkungan
hidup
dan
biota
lainnya.
b. Dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir dan pantai seperti pohon arun
(cemara),
pandan,
ketapang,
bakau
dan
pohon
lainnya.
biaya
hidupnya
selama
dilarang
melaut.
Konsep ini sangat memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, sehingga pada saat
pelaksanaan tradisinya, masyarakat nelayan tidak kehilangan mata pencahariannya, sebaliknya
masyarakat petani juga ikut merasa dibantu
Tradisi Awig-awig di Lombok Barat, NTB
Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat, untuk mengatur
masalah tertentu, dengan maksud memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan
masyarakat. Dalam awig-awig diatur perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi serta orang
atau lembaga yang diberi wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi. Adanya
pengaturan lokal (awig-awig) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan
dipengaruhi oleh masalah pokok yaitu konflik antar nelayan. Apapun munculnya konflik dalam
kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan (ekologi),
pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin sedikit (mata
pencaharian), lingkungan politik lokal, perubahan teknologi dan perubahan pasar. Sejak dulu,
masyarakat Lombok Barat telah mengenal aturan yang berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan
sumberdaya alam, baik yang ada di darat maupun di laut. Hal ini tercermin dari kebiasaan adat
istiadat, yaitu upacara Sawen. Secara umum sawen adalah larangan untuk melakukan kegiatan
penangkapan ikan yang berlaku di zona dan waktu yang sudah ditetapkan sebelumnya melalui
kesepakatan-kesepakatan lokal.
Dasar
Hukum
&
Kelembagaan
Sasi
Sasi memiliki peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat
(Saniri; di Haruku disebut Saniria Loosi Aman Haru-ukui, atau Saniri Lengkap Negeri
Haruku). Keputusan kerapatan adat inilah yang dilimpahkan kewenangan pelaksanaannya
kepada lembaga Kewang, yakni suatu lembaga adat yang ditunjuk untuk melaksanakan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
peraturan
peraturan
sasi
tersebut.
Lembaga Kewang di Haruku dibentuk sejak sasi ada dan diberlakukan di desa ini. Struktur
kepengurusannya adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Seorang Sekretaris
6.
Seorang Bendahara
7.
Adapun para anggota Kewang dipilih dari setiap soa (marga) yang ada di Haruku.
Sedangkan Kepala Kewang Darat maupun Laut, diangkat menurut warisan atau garis
keturunan dari datuk-datuk pemula pemangku jabatan tersebut sejak awal mulanya
dahulu. Demikian pula halnya dengan para pembantu Kepala Kewang. Sebagai
pengawas pelaksanaan sasi, Kewang berkewajiban: (a) mengamankan Pelaksanaan
semua peraturan sasi yang telah diputuskan oleh musyawarah Saniri Besar; (b)
melaksanakan pemberian sanksi atau hukuman kepada warga yang melanggarnya; (c)
menentukan dan memeriksa batas-batas tanah, hutan, kali, laut yang termasuk dalam
wilayah sasi; (d) memasang atau memancangkan tanda-tanda sasi; serta (e)
menyelenggarakan Pertemuan atau rapat-rapat yang berkaitan dengan pelaksanaan sasi
tersebut.
?
Di
Jenis
negeri
Haruku,
dikenal
Jenis
empat
jenis
Sasi
sasi,
yaitu:
1.
Sasi
Laut;
2.
Sasi
Kali;
3.
Sasi
Hutan;
KESIMPULAN
DAN
SARAN
Kesimpulan
Dari
pembahasan
diatas
dapat
disimpulkan
beberapa
point
sebagai
berikut:
efektif
pelaksanaannya
2. Kearifan lokal atau tradisional sesungguhnya merupakan bagian dari etika dan morolitas yang
membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana
harus bertindak khususnya dibidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam
laut
dari
berbagai
aktivitas
yang
bersifat
destruktif
dan
merusak.
4. Dalam kaitan dengan rujukan regulasi adat maupun kearifan lokal yang dapat dipergunakan di
beberapa daerah dan sudah diakui eksistensinya serta memiliki nilai strategis dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut, dibeberapa daerah antara lain; (1) Tradisi/Hukum Adat Laot
Lembaga Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam, (2) Tradisi Lebak Lebung di Propinsi
Sumatera Selatan, (3) Tradisi Ponggawa Sawi di Propinsi Sulawesi Selatan, (4) Tradisi Pamali
Mamanci Ikang di Desa Bobaneigo Maluku Utara, (5) Tradisi Awig-awig di Lombok Barat, NTB
(6) Tradisi/Hukum Adat Sasi di Maluku.
Saran
Diharapkan dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang ditujukan untuk
memberdayakan sosial ekonomi masyarakat maka masyarakat seharusnya memiliki kekuatan
besar untuk mengatur dirinya sendiri dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di era
otonomi ini. Proses peralihan kewenangan dari pemerintah ke masyarakat harus dapat
diwujudkan. Namun ada beberapa hal yang masih menjadi tanggung jawab pemerintah seperti
soal kebijakan fiskal sumberdaya, pembangunan sarana dan prasarana, penyusunan tata ruang
pesisir, serta perangkat hukum pengelolaan sumberdaya. Meski hal tersebut menjadi bagian dari
kewenangan pemerintah, namuntidak berarti masyarakat tidak memiliki kontribusi dan
partisipasi dalam setiap formulasi kebijakan. Dengan adanya kontribusi dan partisipasi
masyarakat maka kebijakan yang diformulasikan tersebut akan lebih menyentuh persoalan yang
sebenarnya dan tidak merugikan kepentingan publik.
DAFTAR
PUSTAKA
Bono. B. P. dan Pulungun. M. S., 2010, Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Keraf, S. A., 2002, Etika Lingkungan, Pn. Buku Kompas, Jakarta.
Nababan, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat, Tantangan dan
Peluang, http://dte.gn.org/makalah_ttg_psda_ berb-ma_di_pplh ipb.htm.
Tohir M., 2002, Penelitian Sosial Budaya dari Memahami ke Melakukan dan Memuliskan,
UNDP, Semarang.
http://asepyudha.staff.uns.ac.id/2012/02/20/kearifan-pengelolaan-sumberdaya-alam-berbasismasyarakat-adat-awal-bagi-pengabdian-pada-keberlanjutan-kehidupan/
http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=PENGELOLAAN+SUMBERDAYA+PESISIR+DAN+LAUT+MELALUI+PEM
BERDAYAAN+KEARIFAN+LOKAL+DI+KABUPATEN+LEMBATA+PROPINSI+NUSA+TE
NGGARA+TIMUR&source=web&cd=1&ved=0CFAQFjAA&url=http%3A%2F
%2Feprints.undip.ac.id%2F4382%2F1%2F6-StefanusS.pdf&ei=FdP3T4OoHcjWrQem25XWBg&usg=AFQjCNGefqvsRfuoJ77lHPacTCCFCUXSwg
&cad=rja
http://www.kewang-haruku.org/sasi.html
http://pusaka.info/artikel/13-kearifan-lokal-dalam-pengelolaan-sumberdaya-alam.html
http://www.ulayat.or.id/publication/artikel/pengelolaan-sumberdaya-alam-berbasis-masyarakatadat/