Anda di halaman 1dari 11

KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN

SUMBERDAYA PERIKANAN DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang

Di Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati sangat penting dan strategis artinya bagi
keberlangsungan kehidupannya sebagai bangsa. Hal ini bukan semata-mata karena posisinya
sebagai salah satu negara terkaya di dunia dalam keanekaragaman hayati (mega-biodiversity),
tetapi justru karena keterkaitannya yang erat dengan kekayaan keanekaragaman budaya lokal
yang dimiliki bangsa ini (mega-cultural diversity). Para pendiri negara-bangsa (nation-state)
Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang
majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-budayanya. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika
secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau
keberagaman

sistem

sosial

yang

dimilikinya.

Ketergantungan dan tidak-terpisahan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati


ini dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah masyarakat bisa secara gamblang
dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan, baik dalam komunitas-komunitas
masyarakat adat yang saat ini populasinya diperkirakan antara 50 70 juta orang, maupun dalam
komunitas-komunitas lokal lainnya yang masih menerapkan sebagian dari sistem sosial
berlandaskan pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional. Yang dimaksudkan dengan
masyarakat adat di sini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan
sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Batasan ini mengacu pada
Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 yang menyatakan
bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara

turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan
alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola
keberlangsungan

kehidupan

masyarakat.

Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional
berhasil menjaga dan memperkaya keanekaan hayati alami. Adalah suatu realitas bahwa sebagian
besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem
setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal
yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Sampai saat
ini hanya sebagian yang sangat kecil saja yang dikenal dunia ilmu pengetahuan modern tentang
sistem-sistem lokal ini. Contoh di antaranya adalah pranata adat sasi yang ditemukan disebagian
besar Maluku yang mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis
hayati tertentu. Contoh lainnya yang sudah banyak dikenal adalah perladangan berotasi
komunitas-komunitas adat Orang Dayak di Kalimantan berhasil mengatasi permasalahan lahan
yang tidak subur.
Komunitas-komunitas lokal di pedesaan yang tidak lagi mendefenisikan dan menyebut dirinya
sebagai masyarakat adat, juga secara berkelanjutan menerapkan kearifan (pengetahuan dan tata
cara) tradisional ini dalam kehidupannya, termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya dan
keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhannya seperti pengobatan, penyediaan pangan,
dan sebagainya. Masa depan keberlanjutan kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk kekayaan
sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, berada di tangan masyarakat adat
yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam
yang sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sebagai komunitas
dan sekaligus menyangga fungsi layanan ekologis alam untuk kebutuhan mahluk lainnya secara
lebih luas. Keberpihakan terhadap kearifan tradisional dengan segala pranata sosial yang
mendukungnya merupakan modal awal yang utama bagi pengabdian kita terhadap keberlanjutan
kehidupan kita di Indonesia.

II. PEMBAHASAN

Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) yang merupakan proses


pemberian wewenang, tanggungjawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola
sumberdaya perikanannya sendiri telah menjadi populer pada saat ini. Namun pengelolaan
sumberdaya ini masih memiliki kelemahan yang bila tidak diselesaikan dapat membuat rezim ini
tidak efektif pelaksanaannya. Beberapa kelemahan ini adalah bahwa PSPBM ini tidak mampu
mengatasi masalah-masalah inter-komunitas. bersifat spesifik lokal, sangat rentan terhadap
perubahan eksternal, sulit mencapai skala ekonomi, serta tingginya biaya institusionalisasinya.
Meskipun kerja sama merupakan sifat interaksi antara masyarakat, namun pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya perikanan cenderung makin berkurang, interaksi antara masyarakat
lebih banyak terekspresi dalam bentuk saling kompetisi. Saling kompetisi dalam memanfaatkan
sumberdaya ikan adalah alasan terjadinya kegagalan pengelolaan perikanan yang ditunjukkan
dengan rusaknya sumberdaya serta adanya kemiskinan.
Meskipun demikian, saling berinteraksi antara masyarakat dapat dipandang juga sebagai potensi
yang dapat dikembangkan untuk merumuskan suatu mekanisme pengelolaan sumberdaya
perikanan yang efektif. Keinginan masyarakat yang saling bertentangan atau berkompetisi
merupakan salah satu alamiah masyarakat. Namun, sifat ini juga merupakan alasan perlunya
dikembangkan mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat mengatasi konflik.
Mekanisme tersebut adalah dengan membiarkan masyarakat sendiri menentukan cara-cara
pengelolaan sumberdaya perikanan yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang juga ditetapkan
mereka sendiri.
Kerarifan Lokal/Tradisional
Kearifan lokal atau tradisional sesungguhnya merupakan bagian dari etika dan morolitas yang
membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana
harus bertindak khususnya dibidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Bahasan ini
sangat membantu kita dalam hal mengembangkan perilaku, baik secara individu maupun secara
kelompok dalam kaitan dengan lingkungan dan upaya pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu
membantu kita untuk mengembangkan sistem sosial politik yang ramah terhadap lingkungan
serta mengambil keputusan dan kebijakan yang berdampak terhadap lingkungan atau
sumberdaya alam termasuk sumberdaya alam pesisir dan laut. Etika yang berarti adat istiadat

atau kebiasaan, dalam arti kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri
seseorang atau pada kelompok masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan
dari satu generasi ke generasi yang lain(Keraf, 2002). Kebiasaan hidup yang baik ini kemudian
dibakukan dalam bentuk kaidah,a aturan, norma yang disebarluaskan, dikenal, dipahami dan
diajarkan dalam masyarakat. Oleh karena itu etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan
tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia dan juga etika dipahami sebagai
ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik-buruknya perilaku manusia yaitu
perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.
Pengertian keraifan lokal (tradisional) menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku
manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa kearifan
lokal/tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang
manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut
pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di
antara

penghuni

komunitas

ekologis

ini

harus

dibangun.

Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhlukintegral dan
merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap
hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah
cara

pandang

antroposentrisme

ke

cara

pandang

biosentrisme

dan

ekosentrisme.

Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati,
dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus
membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun
terhadap alam. Menurut Nababan (2003), mengatakan bahwa masyarakat adat umumnya
memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan
terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini adalah mereka yang
secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan
lingkungan
Karakteristik

lokalnya.
Sosial

dan

Sistem

Pengetahuan

Masyarakat

Pesisir

Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris karena


perbedaan sumberdaya yang mereka hadapi atau miliki. Masyarakat agraris menghadapi

sumberdaya yang terkontrol yakni lahan untuk memproduksi suatu jenis komoditas dengan hasil
yang dapat diprediksi. Dengan sifat yang demikian memungkinkan tetapnya lokasi produksi
sehingga menyebabkan mobilitas usaha yang relatif rendah dan faktor resiko pun relatif kecil.
Tohir (2001), mengemukakan bahwa terdapat fenomena yang menarik mengenai melimpahnya
sumberdaya alam laut dengan masih rendahnya minat masyarakat pesisir untuk mengeksplorasi
kekayaan laut. Lebih lanjut, Tohir (2001), mengatakan fenomena ini jika dicermati secara
mendalam maka sebenarnya terdapat fakta bahwa masyarakat pesisir yang bermatapencaharian
sebagai nelayan maupun melakukan aktivitas hidup di laut jumlahnya relatif kecil dibanding
dengan yang beberja sebagai petani sawah, maupun jasa. Hal ini berarti jenis-jenis
matapencaharian masyarakat pesisir heterogen dan warga masyarakat yang memilih sebagai
nelayan atau melakukan aktivitas di pesisir pada dasarnya masih merupakan kelompok kecil saja.
Dari jumlah yang relatif kecil itu, dilihat dari tingkat kesejahteraan hidupnya rata-rata masih
belum menggembirakan karena sebagai nelayan kecil mereka menghadapi berbagai keterbatasan.
Mengenal Kearifan Lokal di Beberapa Daerah
Namaban (2003) mengatakan bahwa sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat
adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati.
Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam
pengelolaan

sumberdaya

alam.

Aturan-atuaran/tradisi masyarakat ini diwarisi secara turun temurun yang disebut juga sebagai
hukum adat dan berlaku bagi masyarakat pesisir. Kenyataannya, nilai-nilai kearifan lokal dan
hukum adat tersebut cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan perikanan,
dan menjaga pelestarian ekosistem laut dari berbagai aktivitas yang bersifat destruktif dan
merusak.
Dalam kaitan dengan rujukan regulasi adat maupun kearifan lokal yang dapat dipergunakan di
beberapa daerah dan sudah diakui eksistensinya serta memiliki nilai strategis dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut, dibeberapa daerah sebagai berikut:
Tradisi/Hukum Adat Laot Lembaga Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam.

Hukum Adat Laot merupakan hukum-hukum adat yang diperlukan masyarakat nelayan dalam
menjaga ketertiban yang meliputi penangkapan ikan, pemeliharaan sumberdaya ikan dan biota
laut lainnya, dan menjaga kehidupan masyarakat nelayan yang hidup di wilayah pantai. Secara
hukum, Hukum Adat Laot bersifat tertutup, artinya tidak dapat dihilangkan dalam struktur
pemerintahan di Aceh sehingga memiliki kekuatan dan kewenangan tertentu dalam
pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, Hukum Adat Laot di Aceh dapat bersifat
terbuka, artinya, dalam menerapkan Hukum Adat Laot tersebut senantiasa menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman. Hukum Adat Laot dari segi Adat Pemeliharaan Lingkungan
meliputi:
a. Dilarang melakukan pemboman, peracunan dan pembiusan, penyetroman dengan alat
listrik, pengambilan terumbu karang, dan bahan-bahan lain yang dapat merusak lingkungan
hidup

dan

biota

lainnya.

b. Dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir dan pantai seperti pohon arun
(cemara),

pandan,

ketapang,

bakau

dan

pohon

lainnya.

c. Dilarang menangkap ikan/biota lainnya yang dilindungi seperti lumba-lumba dan


penyu.
Tradisi Lebak Lebung di Propinsi Sumatera Selatan
Lebak lebung adalah suatu areal yang terdiri dari lebak lebung, teluk, rawa dan atau sungai yang
secara berkala atau terus menerus digenangi air dan secara alami merupakan tempat bibit ikan
atau biota perairan lainnya. Lelang Lebak Lebung adalah sistem penentuan akan hak pengelolaan
perairan umum (lebak lebung).
Tradisi Ponggawa Sawi di Propinsi Sulawesi Selatan
Ponggawa adalah orang yang mampu menyediakan modal (sosial dan ekonomi) bagi kelompok
masyarakat dalam menjalankan suatu usaha (biasa berorientasi pada skala usaha perikanan);
sedangkan Sawi, bekerja pada Ponggawa dengan memakai hubungan norma sosial dan
kesepakatan kerja. Pada sistem Ponggawa Sawi terdapat kesepakatan untuk menyerahkan atau
menjual hasil tangkapannya pada Ponggawa, dan bagian ini merupakan mekanisme pembayaran
pinjaman dari sawi kepada ponggawa jika sebelumnya sawi mempunyai pinjaman.

Tradisi Pamali Mamanci Ikang di Desa Bobaneigo Maluku Utara


Kearifan tradisional Pamali Mamanci Ikang dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (pesisir
dan laut) secara umum adalah larang atau boboso, tetapi pengertiannya dalam pengelolaan ikan
teri dan cumi-cumi menyangkut pada beberapa batasan, seperti pelarangan pada musim
pemijahan, pembatasan jumlah alat tangkap, pembatasan frekwensi penangkapan, tidak
dibenarkan orang luar memiliki usaha bagan, dan pelarangan penebangan hutan bakau (soki)
karena luluhan daun dan dahan pohon bakau dianggap sebagai asal-usul ikan teri. Pengaturan
Pamali Mamanci Ikang merupakan suatu kebijakan yang arif walaupun hanya dihasilkan melalui
suatu proses musyawarah di tingkat desa. Seperti penetapan waktu pelaksanaannya disesuaikan
dengan musim cengkeh, dimana masyarakat mulai meninggalkan laut dan beralih ke lahan
pertanian dan perkebunan cengkehnya. Panen cengkeh dilakukan secara gotong royong (bari),
sehingga bagi nelayan yang tidak memiliki kebun turut terlibat dalam panen tersebut untuk
menutupi

biaya

hidupnya

selama

dilarang

melaut.

Konsep ini sangat memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, sehingga pada saat
pelaksanaan tradisinya, masyarakat nelayan tidak kehilangan mata pencahariannya, sebaliknya
masyarakat petani juga ikut merasa dibantu
Tradisi Awig-awig di Lombok Barat, NTB
Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat, untuk mengatur
masalah tertentu, dengan maksud memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan
masyarakat. Dalam awig-awig diatur perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi serta orang
atau lembaga yang diberi wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi. Adanya
pengaturan lokal (awig-awig) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan
dipengaruhi oleh masalah pokok yaitu konflik antar nelayan. Apapun munculnya konflik dalam
kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan (ekologi),
pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin sedikit (mata
pencaharian), lingkungan politik lokal, perubahan teknologi dan perubahan pasar. Sejak dulu,
masyarakat Lombok Barat telah mengenal aturan yang berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan
sumberdaya alam, baik yang ada di darat maupun di laut. Hal ini tercermin dari kebiasaan adat
istiadat, yaitu upacara Sawen. Secara umum sawen adalah larangan untuk melakukan kegiatan

penangkapan ikan yang berlaku di zona dan waktu yang sudah ditetapkan sebelumnya melalui
kesepakatan-kesepakatan lokal.

Tradisi/Hukum Adat Sasi di Maluku


Sistem pengelolaan berbasis masyarakat untuk kedua sumber daya darat dan laut umum
ditemukan di Kepulauan Maluku Tengah dan Tenggara yang dikenal dengan istilah sasi. Secara
umum sasi merupakan ketentuan hukum adat tentang larangan memasuki, mengambil atau
melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula.
Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai
upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati)
alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut
pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan
larangan tersebut, maka sasi, pada hakekatnya, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara
tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau
pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat.
?

Dasar

Hukum

&

Kelembagaan

Sasi

Sasi memiliki peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat
(Saniri; di Haruku disebut Saniria Loosi Aman Haru-ukui, atau Saniri Lengkap Negeri
Haruku). Keputusan kerapatan adat inilah yang dilimpahkan kewenangan pelaksanaannya
kepada lembaga Kewang, yakni suatu lembaga adat yang ditunjuk untuk melaksanakan
pengawasan

terhadap

pelaksanaan

peraturan

peraturan

sasi

tersebut.

Lembaga Kewang di Haruku dibentuk sejak sasi ada dan diberlakukan di desa ini. Struktur
kepengurusannya adalah sebagai berikut:
1.

Seorang Kepala Kewang Darat;

2.

Seorang Kepala Kewang Laut;

3.

Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Darat;

4.

Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Laut;

5.

Seorang Sekretaris

6.

Seorang Bendahara

7.

Beberapa orang Anggota.

Adapun para anggota Kewang dipilih dari setiap soa (marga) yang ada di Haruku.
Sedangkan Kepala Kewang Darat maupun Laut, diangkat menurut warisan atau garis
keturunan dari datuk-datuk pemula pemangku jabatan tersebut sejak awal mulanya
dahulu. Demikian pula halnya dengan para pembantu Kepala Kewang. Sebagai
pengawas pelaksanaan sasi, Kewang berkewajiban: (a) mengamankan Pelaksanaan
semua peraturan sasi yang telah diputuskan oleh musyawarah Saniri Besar; (b)
melaksanakan pemberian sanksi atau hukuman kepada warga yang melanggarnya; (c)
menentukan dan memeriksa batas-batas tanah, hutan, kali, laut yang termasuk dalam
wilayah sasi; (d) memasang atau memancangkan tanda-tanda sasi; serta (e)
menyelenggarakan Pertemuan atau rapat-rapat yang berkaitan dengan pelaksanaan sasi
tersebut.
?
Di

Jenis
negeri

Haruku,

dikenal

Jenis
empat

jenis

Sasi
sasi,

yaitu:

1.

Sasi

Laut;

2.

Sasi

Kali;

3.

Sasi

Hutan;

4. Sasi dalam Negeri.


III.

KESIMPULAN

DAN

SARAN

Kesimpulan
Dari

pembahasan

diatas

dapat

disimpulkan

beberapa

point

sebagai

berikut:

1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) yang merupakan proses


pemberian wewenang, tanggungjawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola
sumberdaya perikanannya sendiri telah menjadi populer pada saat ini. Namun pengelolaan
sumberdaya ini masih memiliki kelemahan yang bila tidak diselesaikan dapat membuat rezim ini
tidak

efektif

pelaksanaannya

2. Kearifan lokal atau tradisional sesungguhnya merupakan bagian dari etika dan morolitas yang
membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana
harus bertindak khususnya dibidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam

3. Masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya


keanekaragaman hayati. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih
memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aturan-atuaran/tradisi masyarakat
ini diwarisi secara turun temurun yang disebut juga sebagai hukum adat dan berlaku bagi
masyarakat pesisir. Kenyataannya, nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat tersebut cukup
efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan perikanan, dan menjaga pelestarian
ekosistem

laut

dari

berbagai

aktivitas

yang

bersifat

destruktif

dan

merusak.

4. Dalam kaitan dengan rujukan regulasi adat maupun kearifan lokal yang dapat dipergunakan di
beberapa daerah dan sudah diakui eksistensinya serta memiliki nilai strategis dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut, dibeberapa daerah antara lain; (1) Tradisi/Hukum Adat Laot
Lembaga Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam, (2) Tradisi Lebak Lebung di Propinsi
Sumatera Selatan, (3) Tradisi Ponggawa Sawi di Propinsi Sulawesi Selatan, (4) Tradisi Pamali
Mamanci Ikang di Desa Bobaneigo Maluku Utara, (5) Tradisi Awig-awig di Lombok Barat, NTB
(6) Tradisi/Hukum Adat Sasi di Maluku.
Saran
Diharapkan dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang ditujukan untuk
memberdayakan sosial ekonomi masyarakat maka masyarakat seharusnya memiliki kekuatan
besar untuk mengatur dirinya sendiri dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di era
otonomi ini. Proses peralihan kewenangan dari pemerintah ke masyarakat harus dapat
diwujudkan. Namun ada beberapa hal yang masih menjadi tanggung jawab pemerintah seperti
soal kebijakan fiskal sumberdaya, pembangunan sarana dan prasarana, penyusunan tata ruang
pesisir, serta perangkat hukum pengelolaan sumberdaya. Meski hal tersebut menjadi bagian dari
kewenangan pemerintah, namuntidak berarti masyarakat tidak memiliki kontribusi dan
partisipasi dalam setiap formulasi kebijakan. Dengan adanya kontribusi dan partisipasi
masyarakat maka kebijakan yang diformulasikan tersebut akan lebih menyentuh persoalan yang
sebenarnya dan tidak merugikan kepentingan publik.
DAFTAR

PUSTAKA

Bono. B. P. dan Pulungun. M. S., 2010, Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Keraf, S. A., 2002, Etika Lingkungan, Pn. Buku Kompas, Jakarta.

Nababan, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat, Tantangan dan
Peluang, http://dte.gn.org/makalah_ttg_psda_ berb-ma_di_pplh ipb.htm.
Tohir M., 2002, Penelitian Sosial Budaya dari Memahami ke Melakukan dan Memuliskan,
UNDP, Semarang.
http://asepyudha.staff.uns.ac.id/2012/02/20/kearifan-pengelolaan-sumberdaya-alam-berbasismasyarakat-adat-awal-bagi-pengabdian-pada-keberlanjutan-kehidupan/
http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=PENGELOLAAN+SUMBERDAYA+PESISIR+DAN+LAUT+MELALUI+PEM
BERDAYAAN+KEARIFAN+LOKAL+DI+KABUPATEN+LEMBATA+PROPINSI+NUSA+TE
NGGARA+TIMUR&source=web&cd=1&ved=0CFAQFjAA&url=http%3A%2F
%2Feprints.undip.ac.id%2F4382%2F1%2F6-StefanusS.pdf&ei=FdP3T4OoHcjWrQem25XWBg&usg=AFQjCNGefqvsRfuoJ77lHPacTCCFCUXSwg
&cad=rja
http://www.kewang-haruku.org/sasi.html
http://pusaka.info/artikel/13-kearifan-lokal-dalam-pengelolaan-sumberdaya-alam.html
http://www.ulayat.or.id/publication/artikel/pengelolaan-sumberdaya-alam-berbasis-masyarakatadat/

Anda mungkin juga menyukai