Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
Yuliana Ambarita
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2020
1
BAB I
2
dari hasil perkawinan memiliki susunan perangkat gen yang berasal dari kedua
induk/orang tuanya. Kombinasi susunan perangkat gen dari dua induk tersebut akan
menyebabkan keanekaragaman individu dalam satu spesies berupa varietas yang
terjadi secara alami atau secara buatan. Keanekaragaman yang terjadi secara alami
adalah akibat adaptasi atau penyesuaian diri setiap individu dengan lingkungan,
seperti pada buah rambutan. Faktor lingkungan juga turut mempengaruhi sifat yang
tampak (fenotipe) suatu individu di samping ditentukan oleh faktor genetiknya
(genotipe). Sedangkan keanekaragaman buatan dapat terjadi antara lain melalui
perkawinan silang (hibridisasi).
Pada manusia juga terdapat keanekaragaman gen yang menunjukkan sifat-
sifat berbeda, antara lain ukuran tubuh (besar, kecil, sedang); warna kulit (hitam,
putih, sawo matang, kuning); warna mata (biru, hitam, coklat), serta bentuk rambut
(ikal, lurus, keriting).
3
3.Keanekaragaman Hayati Tingkat Ekosistem
.
Macam-macam Ekosistem
Secara garis besar ekosistem dibedakan menjadi ekosistem darat dan ekosistem
perairan. Ekosistem perairan dibedakan atas ekosistem air tawar dan ekosistem air
Laut.
a. Ekosistem darat
Ekosistem darat ialah ekosistem yang lingkungan fisiknya berupa daratan.
Berdasarkan letak geografisnya (garis lintangnya), ekosistem darat dibedakan
menjadi beberapa bioma, yaitu sebagai berikut.
1) Bioma gurun
Beberapa Bioma gurun terdapat di daerah tropika (sepanjang garis balik) yang
berbatasan dengan padang rumput. Ciri-ciri bioma gurun adalah gersang dan curah
hujan rendah (25 cm/tahun). Suhu slang hari tinggi (bisa mendapai 45°C) sehingga
penguapan juga tinggi, sedangkan malam hari suhu sangat rendah (bisa mencapai
4
0°C). Perbedaan suhu antara siang dan malam sangat besar. Tumbuhan semusim yang
terdapat di gurun berukuran kecil. Selain itu, di gurun dijumpai pula tumbuhan
menahun berdaun seperti duri contohnya kaktus, atau tak berdaun dan memiliki akar
panjang serta mempunyai jaringan untuk menyimpan air. Hewan yang hidup di gurun
antara lain rodentia, ular, kadal, katak, dan kalajengking.
5
4) Bioma hutan gugur
Bioma hutan gugur terdapat di daerah beriklim sedang,
Ciri-cirinya adalah curah hujan merata sepanjang tahun. Terdapat di daerah yang
mengalami empat musim (dingin, semi, panas, dan gugur). Jenis pohon sedikit (10 s/d
20) dan tidak terlalu rapat. Hewannya antara lain rusa, beruang, rubah, bajing, burung
pelatuk, dan rakoon (sebangsa luwak).
5) Bioma taiga
Bioma taiga terdapat di belahan bumi sebelah utara dan di pegunungan daerah tropik.
Ciri-cirinya adalah suhu di musim dingin rendah. Biasanya taiga merupakan hutan
yang tersusun atas satu spesies seperti konifer, pinus, dap sejenisnya. Semak dan
tumbuhan basah sedikit sekali. Hewannya antara lain moose, beruang hitam, ajag, dan
burung-burung yang bermigrasi ke selatan pada musim gugur.
6) Bioma tundra
Bioma tundra terdapat di belahan bumi sebelah utara di dalam lingkaran kutub utara
dan terdapat di puncak-puncak gunung tinggi. Pertumbuhan tanaman di daerah ini
hanya 60 hari. Contoh tumbuhan yang dominan adalah Sphagnum, liken, tumbuhan
biji semusim, tumbuhan kayu yang pendek, dan rumput. Pada umumnya,
tumbuhannya mampu beradaptasi dengan keadaan yang dingin. Hewan yang hidup di
daerah ini ada yang menetap dan ada yang datang pada musim panas, semuanya
berdarah panas. Hewan yang menetap memiliki rambut atau bulu yang tebal,
contohnya muscox, rusa kutub, beruang kutub, dan insekta terutama nyamuk dan lalat
hitam.
6
b. Ekosistem Air Tawar
Ciri-ciri ekosistem air tawar antara lain variasi suhu tidak menyolok, penetrasi
cahaya kurang, dan terpengaruh oleh iklim dan cuaca. Macam tumbuhan yang
terbanyak adalah jenis ganggang, sedangkan lainnya tumbuhan biji. Hampir semua
filum hewan terdapat dalam air tawar. Organisme yang hidup di air tawar pada
umumnya telah beradaptasi.
7
2. Berdasarkan kebiasaan hidup, organisme dibedakan sebagai berikut.
a. Plankton; terdiri alas fitoplankton dan zooplankton, biasanya melayang-layang
(bergerak pasif) mengikuti gerak aliran air.
b. Nekton; hewan yang aktif berenang dalam air, misalnya ikan.
c. Neuston; organisme yang mengapung atau berenang di permukaan air atau
bertempat pada permukaan air, misalnya serangga air.
d. Perifiton; merupakan tumbuhan atau hewan yang melekat/bergantung pada
tumbuhan atau benda lain, misalnya keong.
e. Bentos; hewan dan tumbuhan yang hidup di dasar atau hidup pada endapan.
Bentos dapat sessil (melekat) atau bergerak bebas, misalnya cacing dan remis.
Ekosistem air tawar digolongkan menjadi air tenang dan air mengalir.
Termasuk ekosistem air tenang adalah danau dan rawa, termasuk ekosistem air
mengalir adalah sungai.
1. Danau
Danau merupakan suatu badan air yang menggenang dan luasnya mulai dari beberapa
meter persegi hingga ratusan meter persegi.
8
Di danau terdapat pembagian daerah berdasarkan penetrasi cahaya matahari.
Daerah yang dapat ditembus cahaya matahari sehingga terjadi fotosintesis disebut
daerah fotik. Daerah yang tidak tertembus cahaya matahari disebut daerah afotik. Di
danau juga terdapat daerah perubahan temperatur yang drastis
atau termoklin.Termoklin memisahkan daerah yang hangat di atas dengan daerah
dingin di dasar.
Komunitas tumbuhan dan hewan tersebar di danau sesuai dengan kedalaman
dan jaraknya dari tepi. Berdasarkan hal tersebut danau dibagi menjadi 4 daerah
sebagai berikut.
a) Daerah litoral
Daerah ini merupakan daerah dangkal. Cahaya matahari menembus dengan optimal.
Air yang hangat berdekatan dengan tepi. Tumbuhannya merupakan tumbuhan air
yang berakar dan daunnya ada yang mencuat ke atas permukaan air. Komunitas
organisme sangat beragam termasuk jenis-jenis ganggang yang melekat (khususnya
diatom), berbagai siput dan remis, serangga, krustacea, ikan, amfibi, reptilia air dan
semi air seperti kura-kura dan ular, itik dan angsa, dan beberapa mamalia yang sering
mencari makan di danau.
b) Daerah limnetik
Daerah ini merupakan daerah air bebas yang jauh dari tepi dan masih dapat ditembus
sinar matahari. Daerah ini dihuni oleh berbagai fitoplankton, termasuk ganggang dan
sianobakteri. Ganggang berfotosintesis dan bereproduksi dengan kecepatan tinggi
selama musim panas dan musim semi. Zooplankton yang sebagian besar termasuk
Rotifera dan udang-udangan kecil memangsa fitoplankton. Zooplankton dimakan
oleh ikan-ikan kecil. Ikan kecil dimangsa oleh ikan yang lebih besar, kemudian ikan
besar dimangsa ular, kura-kura, dan burung pemakan ikan.
9
c) Daerah profundal
Daerah ini merupakan daerah yang dalam, yaitu daerah afotik danau. Mikroba dan
organisme lain menggunakan oksigen untuk respirasi seluler setelah mendekomposisi
detritus yang jatuh dari daerah limnetik. Daerah ini dihuni oleh cacing dan mikroba.
d) Daerah bentik
Daerah ini merupakan daerah dasar danau tempat terdapatnya bentos
dan sisa-sisa organisme mati.
a. Danau Oligotropik
Oligotropik merupakan sebutan untuk danau yang dalam dan
kekurangan makanan, karena fitoplankton di daerah limnetik tidak
produktif. Ciricirinya, airnya jernih sekali, dihuni oleh sedikit organisme,
dan di dasar air banyak terdapat oksigen sepanjang tahun.
10
b. Danau Eutropik
Eutropik merupakan sebutan untuk danau yang dangkal dan kaya akan
kandungan makanan, karena fitoplankton sangat produktif. Ciri-cirinya
adalah airnya keruh, terdapat bermacam-macam organisme, dan
oksigen terdapat di daerah profundal.
Danau oligotrofik dapat berkembang menjadi danau eutrofik akibat adanya materi-
materi organik yang masuk dan endapan. Perubahan ini juga dapat dipercepat oleh
aktivitas manusia, misalnya dari sisa-sisa pupuk buatan pertanian dan timbunan
sampah kota yang memperkaya danau dengan buangan sejumlah nitrogen dan fosfor.
Akibatnya terjadi peledakan populasi ganggang atau blooming,sehingga terjadi
produksi detritus yang berlebihan yang akhirnya menghabiskan suplai oksigen di
danau tersebut.
Pengkayaan danau seperti ini disebut "eutrofikasi". Eutrofikasi membuat air
tidak dapat digunakan lagi dan mengurangi nilai keindahan danau.
2. Sungai
Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah. Air sungai dingin dan
jernih serta mengandung sedikit sedimen dan makanan. Aliran air dan gelombang
secara konstan memberikan oksigen pada air. Suhu air bervariasi sesuai dengan
ketinggian dan garis lintang.
Komunitas yang berada di sungai berbeda dengan danau. Air sungai yang mengalir
deras tidak mendukung keberadaan komunitas plankton untuk berdiam diri, karena
akan terbawa arus. Sebagai gantinya terjadi fotosintesis dari ganggang yang melekat
dan tanaman berakar, sehingga dapat mendukung rantai makanan.
11
c. Ekosistem air laut
Ekosistem air laut dibedakan atas lautan, pantai, estuari, dan terumbu karang.
1. Laut
Habitat laut (oseanik) ditandai oleh salinitas (kadar garam) yang tinggi dengan ion
CI- mencapai 55% terutama di daerah laut tropik, karena suhunya tinggi dan
penguapan besar. Di daerah tropik, suhu laut sekitar 25°C. Perbedaan suhu bagian
atas dan bawah tinggi. Batas antara lapisan air yang panas di bagian atas dengan air
yang dingin di bagian bawah disebut daerah termoklin.
Di daerah dingin, suhu air laut merata sehingga air dapat bercampur, maka daerah
permukaan laut tetap subur dan banyak plankton serta ikan. Gerakan air dari pantai ke
tengah menyebabkan air bagian atas turun ke bawah dan sebaliknya, sehingga
memungkinkan terbentuknya rantai makanan yang berlangsung balk. Habitat laut
dapat dibedakan berdasarkan kedalamannya dan wilayah permukaannya secara
horizontal.
12
c. Batiopelagik merupakan daerah lereng benua dengan kedalaman
200-2.500 m. Hewan yang hidup di daerah ini misalnya gurita.
d. Abisalpelagik merupakan daerah dengan kedalaman mencapai
4.000m; tidak terdapat tumbuhan tetapi hewan masih ada. Sinar
matahari tidak mampu menembus daerah ini.
e. Hadal pelagik merupakan bagian laut terdalam (dasar). Kedalaman
lebih dari 6.000 m. Di bagian ini biasanya terdapat lele laut dan
ikan Taut yang dapat mengeluarkan cahaya. Sebagai produsen di
tempat ini adalah bakteri yang bersimbiosis dengan karang
tertentu.
Di laut, hewan dan tumbuhan tingkat rendah memiliki tekanan osmosis sel yang
hampir sama dengan tekanan osmosis air laut. Hewan tingkat tinggi beradaptasi
dengan cara banyak minum air, pengeluaran urin sedikit, dan pengeluaran air dengan
cara osmosis melalui insang. Garam yang berlebihan diekskresikan melalui insang
secara aktif.
13
1. Formasi pes caprae
Dinamakan demikian karena yang paling banyak tumbuh di gundukan pasir
adalah tumbuhan Ipomoea pes caprae yang tahan terhadap hempasan gelombang dan
angin; tumbuhan ini menjalar dan berdaun tebal. Tumbuhan lainnya adalah Spinifex
littorius(rumput angin), Vigna, Euphorbia atoto, dan Canaualia martina. Lebih ke
arah darat lagi ditumbuhi Crinum asiaticum (bakung),Pandanus tectorius (pandan),
dan Scaeuola Fruescens (babakoan).
2. Formasi baringtonia
Daerah ini didominasi tumbuhan baringtonia, termasuk di dalamnya Wedelia,
Thespesia, Terminalia, Guettarda, dan Erythrina.
Bila tanah di daerah pasang surut berlumpur, maka kawasan ini berupa hutan
bakau yang memiliki akar napas. Akar napas merupakan adaptasi tumbuhan di daerah
berlumpur yang kurang oksigen. Selain berfungsi untuk mengambil oksigen, akar ini
juga dapat digunakan sebagai penahan dari pasang surut gelombang. Yang termasuk
tumbuhan di hutan bakau antara lain Nypa, Acathus, Rhizophora, dan Cerbera.
Jika tanah pasang surut tidak terlalu basah, pohon yang sering tumbuh
adalah: Heriticra, Lumnitzera, Acgicras, dan Cylocarpus.
3. Estuari
Estuari (muara) merupakan tempat bersatunya sungai dengan laut. Estuari
sering dipagari oleh lempengan lumpur intertidal yang luas atau rawa garam. Salinitas
air berubah secara bertahap mulai dari daerah air tawar ke laut. Salinitas ini juga
dipengaruhi oleh siklus harian dengan pasang surut aimya. Nutrien dari sungai
memperkaya estuari. Komunitas tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput
rawa garam, ganggang, dan fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai
cacing, kerang, kepiting, dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut dan ikan
laut yang menjadikan estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk menuju
habitat air tawar. Estuari juga merupakan tempat mencari makan bagi vertebrata semi
air, yaitu unggas air.
14
4. Terumbu karang
Di laut tropis, pada daerah neritik, terdapat suatu komunitas yang khusus yang
terdiri dari karang batu dan organisme-organisme lainnya. Komunitas ini disebut
terumbu karang. Daerah komunitas ini masih dapat ditembus cahaya matahari
sehingga fotosintesis dapat berlangsung.
Terumbu karang didominasi oleh karang (koral) yang merupakan kelompok
Cnidaria yang mensekresikan kalsium karbonat. Rangka dari kalsium karbonat ini
bermacammacam bentuknya dan menyusun substrat tempat hidup karang lain dan
ganggang. Hewan-hewan yang hidup di karang memakan organisme mikroskopis dan
sisa organik lain. Berbagai invertebrata, mikro organisme, dan ikan, hidup di antara
karang dan ganggang. Herbivora seperti siput, landak laut, ikan, menjadi mangsa bagi
gurita, bintang laut, dan ikan karnivora
15
mendominasi biomassa di mana-mana. Hanya ada 80 spesies euphausiida, 50 dari
chaetognaths, sekitar 40 dari pteropods dan kurang dari 2000 untuk kelompok yang
paling beragam, copepoda calanoid. Data ini didasarkan pada lebih dari 20.000
TOWS bersih dan, meskipun spesies baru tentu akan terus ditemukan, jelas bahwa
pelagis keanekaragaman hayati adalah perintah lain dari kedua keanekaragaman
bentik darat dan laut.
Ini rendahnya jumlah (hewan) spesies ini berbeda mencolok dengan
keanekaragaman hewan dalam sedimen. Sekitar 200.000 spesies saat ini diketahui
dari lingkungan bentik. Sebagian besar dari mereka telah dijelaskan dari terumbu
karang, dan hanya sekitar 60.000 yang diketahui dari habitat bawah lembut yang
menutupi sebagian besar permukaan bumi. Spesies bentik dari perairan dangkal
beriklim Eropa cukup terkenal, terutama di makro yang lebih besar dan megafauna.
Para meiofauna kecil (hewan-mm ukuran) digambarkan kurang baik dan, sebagai
contoh, survei dari benthos di Laut Utara pada tahun 1986 menghasilkan sekitar 40%
dari spesies copepoda bentik baru bagi ilmu pengetahuan.
Untuk kedua hewan dan mikroba, eksplorasi lingkungan yang sulit diakses,
seperti lantai laut dalam atau gua laut, dan penerapan teknologi baru, terus
menghasilkan spesies baru dan kategori taksonomi yang lebih tinggi, bahkan sampai
ke tingkat filum. Terutama ketersediaan teknologi sequencing cepat menunjukkan
bahwa variabilitas dalam domain mikroba, termasuk eukariota kecil, sangat tinggi
dan bahwa puluhan ribu ‘spesies’ mungkin co-terjadi dalam satu liter tunggal air laut.
Kehidupan berasal di laut dan jauh lebih tua di laut daripada di darat. Sebagai
konsekuensi, hewan dan keanekaragaman tumbuhan pada tingkat taksonomi yang
lebih tinggi jauh lebih besar di laut di mana ada 14 endemik (unik) filum hewan
sedangkan hanya 1 filum endemik tanah. Untuk tanaman situasi tampaknya berbeda-
hampir semua kelompok alga memiliki perwakilan di kedua perairan tawar dan laut
dan tanaman yang lebih tinggi hampir secara eksklusif terestrial. Ada juga keragaman
yang luar biasa dari strategi riwayat hidup dalam organisme laut. Jumlah total sumber
daya genetik dan keragaman fisiologis di laut karena itu diharapkan akan jauh lebih
beragam daripada di darat.
16
Keanekaragaman habitat dan jumlah habitat laut sulit untuk menentukan. Studi zonasi
telah biasanya menunjukkan adanya zona yang sangat sempit di daerah intertidal, di
mana pengamatan langsung mungkin, dan zona yang lebih luas dan lebih luas sebagai
salah satu pergi lebih dalam. Namun, diakui bahwa hal ini disebabkan kemungkinan
kita terbatas pengamatan dan dengan meningkatnya kemampuan teknologi,
diskontinuitas halus yang terungkap bahkan dalam kolom air. Selain band zonasi,
sejumlah habitat yang sangat spesifik sering dikaitkan dengan aktivitas tektonik telah
ditemukan selama dekade terakhir, dimulai dengan ventilasi hidrotermal pada tahun
1977 dan diikuti tahun kemudian oleh rembesan dingin gas dan cairan, gundukan
karbonat, gunung lumpur, dll . sonar Multibeam telah memungkinkan jauh lebih rinci
analisis dasar laut menunjukkan fitur halus dalam sedimen yang sebelumnya
dianggap lebih seragam, atau topologi sangat kompleks ngarai laut di lereng benua.
Dengan meningkatnya potensi pengamatan, jumlah habitat laut di berbagai skala yang
berbeda tentu akan meningkat, dan, sebagai habitat ini sering mengandung spesies
yang secara khusus disesuaikan dengan kondisi lingkungan mereka, sehingga akan
keanekaragaman spesies.
17
1. Nilai kegunaan dan non kegunaan hutan mangrove di Indonesia US$ 2,3
miliar per tahun (GEF/UNDP/IMO 1999)
2. Nilai ekonomi terumbu karang Indonesia diperkirakan sekitar US$ 567 juta
(GEF/UNDP/IMO 1999)
3. Nilai padang lamun sebesar US$ 3.858,91/ha/tahun (Bapedal dan PKSPL-IPB
1999)
4. Nilai ekologi dan ekonomi sumberdaya rumput laut di Indonesia sekitar US$
16 juta (GEF/UNDP/IMO 1999)
5. Nilai manfaat ekonomi potensi sumberdaya ikan laut di Indonesia sebesar
US$ 15,1 miliar (Dahuri 2002)
18
Laporan ini menggambarkan alur emisi karbon dan estimasi kemampuan ekosistem
laut dan pesisir dalam menyerap karbon dan gas rumah kaca. Hal ini juga sejalan
dengan amanat Manado Ocean Declaration (MOD) yang dideklarasikan tahun 2009
serta sebagai upaya mengendalikan dampak perubahan iklim.
Karbon Biru (Blue Carbon) adalah sebuah konsep yang membuktikan peran
keanekaragaman hayati pesisir dan laut beserta ekosistemnya yang didominasi oleh
vegetasi laut seperti hutan mangrove, padang lamun, rawa payau serta rawa masin
(salt marshes) dalam mendeposisi karbon. Keanekaragaman hayati pesisir dan laut
beserta ekosistemnya diyakini mampu menjadi garda penyeimbang bersama hutan
(Green Carbon) untuk mengurangi laju emisi melalui penyerapan karbon.
Kajian awal yang dilakukan para peneliti di Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengidentifikasikan potensi laut
Indonesia yang memiliki kemampuan menyerap karbon sebesar 0.3 giga ton karbon
per tahun. Riset ini dilakukan dengan memanfaatkan data satelit kandungan
fitoplankton (klorofil dan suhu air laut) di laut Indonesia untuk mengestimasi
kandungan karbon yang terserap. Riset ini tentunya masih harus diverifikasi melalui
kajian lapangan (in-situ) serta memperhitungkan komponen lainnya seperti interaksi
atmosfir dan laut (solubility pump). Langkah ini hendaknya menjadi pemicu dan
pemacu untuk melakukan riset lanjutan tentang peran penting laut sebagai pengendali
perubahan iklim. Satu hal yang harus diacu adalah Indonesia dengan
kenanekaragaman hayati dan luasan ekosistem pesisir dan laut yang begitu besar,
berpotensi memberikan kontribusi dalam menjaga dinamisator laut dalam perubahan
iklim. Menjaga kelestarian keanekaragaman hayati pesisir dan laut beserta
ekosistemnya berarti menjaga kelestarian dan kemampuan ekosistem laut dan pesisir
sebagai dinamisator iklim global.
19
1.3 Ancaman dan Faktor Penyebab Kerusakan Keanekaragaman hayati Di
Indonesia
Pada akhir abad XX ini, limbah kegiatan industri dikatakan telah mengancam
seluruh.negeri. Hal ini disebabkan karena melalui mekanisme alam seperti tiupan
angin, aliran air sungai, daya rambat di tanah melalui difusi limbah tersebut dapat
menyebar ke mana-mana.
Buangan di perairan menyebabkan masalah kehidupan biota dalam bentuk keracunan
bahkan kematian. Gangguan terhadap biota perairan telah menimbulkan dampak
penurunan kualitas dan kuantitas biota perairan (ikan dan udang). Kelebihan pupuk
yang dialirkan ke rawa atau ke danau dapat menimbulkan suburnya enceng gondok.
Selain itu, erosi lumpur yang terbawa ke laut kemudian diendapkan mengakibatkan
tertutupnya permukaan karang yang pada akhirnya menyebabkan kematian karang.
Akibat pencemaran itu kehidupan dalam air dapat terganggu dengan mematikan
binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan dalam air karena oksigen yang terlarut
dalam air akan habis dipakai untuk dekomposisi aerobik dari zat-zat organik yang
banyak terkandung dalam air buangan.
Pencemaran yang tidak disebabkan oleh sifat racun dari bahan-bahan pencemar
adalah :
1. Kandungan lumpur yang meningkat di dalam air mengurangi jumlah cahaya
yang masuk yang diperlukan untuk berfotosintesis. Unsur hara yang masuk
berlebihan ke ekosistem perairan dapat menyebabkan pertumbuhan yang
sangat cepat dari algae atau tanaman air, sehingga menyebabkan
berkurangnya bentuk kehidupan lainnya seperti ikan dan kerang-kerangan.
2. Buangan air panas meskipun tidak langsung membunuh biota air, dapat
merubah kondisi dari lingkungan hidupnya. Akibatnya, satu jenis akan
tumbuh dan berkembang lebih cepat sedang yang lain justru dapat terhambat.
Kelakuan ikan yang selalu berpindah (migration) dapat berubah disebabkan
adanya perubahan suhu yang relatif cepat pada jarak yang pendek.
20
3. Lumpur erosi sebagai akibat pengelolaan tanah yang kurang baik dapat
diendapkan di pantai-pantai dan mematikan kehidupan karang atau merusak
tempat berpijak biota perairan.
4. Senyawa organik di dalam proses penguraiannya dapat mengambil zat asam
dari air terlalu banyak, sehingga membahayakan kehidupan di tempat itu.
5. Air sungai yang mengalir berlebihan ke perairan pantai dapat membentuk
lapisan yang menghalangi pertukaran massa air dengan lapisan air yang lebih
subur dari bawah.
21
3. Pengaturan dan pembatasan bahan-bahan pembuangan industri dengan segala
sanksinya bagi masalah pencemaran laut dan wilayah pesisir pantai.
4. Memonitor segala perubahan komposisi biotik dan abiotik dan ekosistem laut
yang menunjukkan telah terjadinya pencemaran, kerusakan, dan gangguan.
Selain cara penanggulangan yang telah disebutkan di atas, kita juga dapat
melakukan penanggulangan lain seperti di bawah ini:
1. Menjaga kelangsungan ketersediaan air dengan tidak merusak atau
mengeksploitasi sumber mata air agar tidak tercemar.
2. Tidak membuang sampah ke sungai. Hal ini dapat dikarenakan tidak adanya
fasilitas pembuangan sampah yang layak dan mencukupi terutama di kota-
kota besar. Sering kita melihat penumpukan sampah di daerah-daerah yang
bukan merupakan tempat pembuangan sampah.
3. Menciptakan tempat pembuangan sampah yang cukup dan memadai. Hal ini
mutlak dilakukan agar sistem pembuangan sampah dapat berjalan dengan
baik dan lancar. Sampah menjadi kontribusi tertinggi dalam pencemaran air.
Jika masalah sampah dapat segera teratasi maka pencemaran air pun juga
akan teratasi dengan cepat.
4. Mengurangi intensitas limbah rumah tangga.
5. Melakukan penyaringan limbah pabrik sehingga yang nantinya bersatu
dengan air sungai bukanlah limbah jahat perusak ekosistem. Hal ini telah
diregulasi oleh pemerintah. Ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam
mengatasi pencemaran ini. namun komitmen seluruh perusahaan penyumbang
limbah ini juga sangat dibutuhkan agar semua pihak dapat turut menjaga
kelestarian lingkungan yang ada.
6. Pembuatan sanitasi yang benar dan bersih agar sumber-sumber air bersih
lainnya tidak tercemar.
22
Sedangkan untuk menyikapi pencemaran air, dapat dilakukan beberapa cara
sebagai berikut:
1. Program pengendalian pencemaran dan pengrusakan lingkungan
2. Mengurangi beban pencemaran badan air oleh indutri dan domestik.
3. Mengurangi beban emisi dari kendaraan bermotor dan industri.
Untuk menekan dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran air ini kita dapat
melakukan usaha pencegahan pencemaran air. usaha pencegahan pencemaran air ini
bukan merupakan proses yang sederhana, tetapi melibatkan berbagai faktor sebagai
berikut:
1. Air limbah yang akan dibuang ke perairan harus diolah lebih dahulu sehingga
memenuhi standar air limbah yang telah ditetapkan pemerintah.
2. Menggunakan bahan yang dapat mencegah dan menyerap minyak yang
tumpah di perairan.
3. Tidak membuang air limbah rumah tangga langsung ke dalam perairan. Hal
ini untuk mencegah pencemaran air oleh bakteri.
4. Limbah radioaktif harus diproses dahulu agar tidak mengandung bahaya
radiasi dan barulah dibuang di perairan.
5. Mengeluarkan atau menguraikan deterjen atau bahan kimia lain dengan
menggunakan aktifitas mikroba tertentu sebelum dibuang ke dalam perairan
umum.
6. Semua ketentuan di atas bila tidak dapat dipenuhi dapat dikenakan sanksi.
23
Banyak cara yang dilakukan pemerintah untuk menangani pencemaran air
bersih ini. namun semua itu tidak ada artinya bila kita sendiri sebagai masyarakat
tidak mendukung teciptanya lingkungan yang bersih dan nyaman. Semua itu
tergantung pada kesadaran kita masing-masing untuk menjaga lingkungan. Kita dapat
menanamkan sikap cinta lingkungan sejak dini di lingkungan keluarga. misalnya saja
melakukan kerja bakti membersihkan rumah sebulan sekali, mencontohkan langsung
kepada anak bahwa kita harus membuang sampah di tempatnya, jangan menggunakan
air lebih dari kebutuhan, mengajarkan kepada anak untuk menanam tanaman di
sekitar rumah.
Selain itu kita juga dapat membuat daerah resapan air di sekitar rumah dengan
cara membuat lubang-lubang kecil di sekitar rumah yang kemudian di isi dengan
sampah organik seperti daun-daun kering sehingga nantinya akan menjadi kompos
dan dapat menambah unsur hara di dalam tanah. Selain itu juga dapat meningkatkan
aktivitas organisme yang ada di dalam tanah seperti cacing untuk membuat ruang
resapan air. Dengan begitu air yang tertampung akan semakin banyak dan diharapkan
kualitas air akan bertambah. Tindakan yang nyata akan lebih berguna daripada hanya
ceramah tanpa diimbangi dengan perbuatan.
24
BAB II
KAWASAN KONSERVASI PEFRAIRAN
Konservasi berasal dari kata con atau bisa diartikan sebagai together atau bersama
sama; dan servare atau keep/save yang berarti menjaga; berdasarkan kata tersebut,
maka konservasi diartikan sebagai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save
what you have), namun secara bijaksana (wise use). Konservasi dalam pengertian
sekarang, sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource atau
pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana.
Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi, yaitu :
b. segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan
masa yang akan datang.
25
Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga
dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat
diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980).
26
pemerintah pusat. Berdasarkan undang-undang 27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen
Men KP No.02/2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola
kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU 32/2004
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.12/2008 tentang pemerintahan
daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.
27
Menurut Mulyana, Y. (2006), beberapa alasan penting dalam penetapan
kawasan konservasi laut adalah sebagai berikut:
Berdasarkan bukti-bukti dari penutupan wilayah laut terbatas yang ada, baik
di daerah tropis maupun sub-tropis, KKP dan laut lindung bisa digunakan sebagai alat
yang efektif untuk mengungkapkan kebutuhan konservasi sebagai bagian dari
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Bahkan pada tingkat global,
tampaknya data statistik perikanan harus diinterpretasi dengan sangat hati-hati:
Watson R. & Pauly D. (2001) mengamati bahwa laporan statistik yang salah oleh
suatu negara dengan hasil perikanan besar, digabungkan dengan besar dan tingginya
fluktuasi hasil tangkapan spesies seperti perikanan teri di Peru dapat menyebabkan
kecenderungan laporan yang salah secara global. Kecendrungan seperti itu
mempengaruhi keputusan-keputusan penanaman modal yang tidak bijaksana oleh
perusahaan perikanan dan perbankan, serta menghambat efektifitas pengelolaan
perikanan internasional secara global.
28
Di seluruh dunia, luasan daerah perairan laut dilindungi sangat kecil. Saat ini
seluruh wilayah KKL hanya meliputi kurang dari setengah persen lautan di dunia,
sedikit yang sangat dilindungi dan 71% tidak ada pengelolaan yang aktif (Roberts
C.M. & J.P. Hawkins 2000). Beberapa dampak adanya KKP menurut Supyan dan
Gamal (2011) adalah sebagai berikut : (1) Wilayah perlindungan tertutup dapat
meningkatkan produksi anakan ikan sehingga dapat memperbaharui ikan di wilayah
penangkapan. (2) Wilayah perlindungan tertutup memungkinkan pergerakan induk
dan ikan muda ke dalam wilayah penangkapan. (3) Wilayah perlindungan tertutup
menyediakan tempat perlindungan bagi species yang lemah. (4) Wilayah
perlindungan tertutup dapat mencegah kerusakan habitat. (5) Wilayah perlindungan
tertutup dapat mendukung pengembangan komunitas biologi alami yang berbeda
dengan komunitas-komunitas yang terdapat di daerah tangkapan. (6) Wilayah
perlindungan tertutup membantu upaya pemulihan dari gangguan manusia dan alam.
induk.
Terdapat bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa melindungi daerah dari
penangkapan ikan membuat bertambahnya jumlah, besarnya ukuran, dan biomasa
dari jenis organisme yang dieksploitasi. Wilayah penyimpanan dan perlindungan laut
sering dikatakan hanya berlaku untuk lingkungan terumbu karang. Kenyataannya,
metode ini sudah berhasil diterapkan pada berbagai habitat di dalam lingkungan dari
kondisi tropis maupun sub-tropis. Penyimpanan dan perlindungan laut adalah suatu
29
alat yang bersifat global. (Roberts C.M. & J. P. Hawkins 2000). Tabel 1 di bawah ini
menunjukkan dampak terukur pada bidang perikanan di wilayah KKP.
30
2.3 Kondisi Konservasi Sumberdaya Perikanan
31
c. Konservasi Sumber Daya Ikan Era Tahun 1990
Pada era ini, perkembangan konservasi sumber daya ikan di Indonesia mulai
berubah seiring perubahan mainstream konservasi global, yaitu masyarakat menuntut
agar tidak ada pembatasan akses terhaap kawasan-kawasan konservasi yang
ditetapkan. Pihak-pihak civil society mulai mengembangkan konsep-konsep
pengembangan konservasi yang juga mulai memperhatikan akses masyarakat
terhadap sumber daya alam baik yang berada di luar kawasan maupun di dalam
kawasan konservasi. Pengakuan hak-hak masyarakat menjadi salah satu tolak ukur
Kemudian di akhir era ini (1990) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)
terbentuk yang pada saat itu bernama Departemen Eksplorasi Laut. DKP saat itu
mulai melakukan pembenahan-pembenahan termasuk didalamnya melakukan
pengembangan konsep konservasi laut yang memperhitungkan semua kepentingan
yang ada, mulai dari mengembangkan kawasan konservasi yang melibatkan
32
masyarakat, sampai pada konsep pengelolaan kawasan konservasi oleh Pemerintah
Daerah. Walaupun berdirinya DKP belum lama, namun DKP berupaya untuk
menjawab semua tantangan konservasi yang ada pada masa tersebut.
Pada era ini, mulai terjadi perubahan paradigma pembangunan, sejalan dengan
disyahkannya Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang
merupakan perubahan atas Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah, telah memperjelas pembagian wewenang ke Pemerintah Daerah yang
didalamnya termasuk urusan konservasi. Kemudian DKP mulai memperlihatkan
kepada masyarakat Indonesia bahwa pengelolaan kawasan konservasi merupakan hal
yang mungkin dilakukan oleh Pemerintah Daerah maupun masyarakat, sehingga
paradigma sentralistik mulai berkembang dalam pengelolaan KKP. DKP juga mulai
mengejar ketinggalan dari sektor kehutanan dalam mengembangkan KKL. Pada era
ini, Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, mendeklarasikan untuk menghasilkan
KKL seluas 10 juta Ha pada tahun 2010, yang saat itu dirasakan adalah janji yang
sangat ambisius. Namun perkembangannya sangat signifikan, sehingga pada bulan
Maret tahun 2006 di Brazil, Bapak Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono melalui
perwakilannya kembali mempertegas komitmen Indonesia dengan mendeklasrasikan
di depan sidang COP CBD bahwa Indonesia mentargetkan kawasan konservasi laut
seluas minimal 10 juta Ha pada tahun 2010 dan 20 juta Ha pada tahun 2020.
Deklarasi ini memacu DKP untuk lebih serius dalam menangani KKL di Indonesia.
Pada tingkat global juga mulai menekankan bahwa pengembangan KKL tidak
hanya mentargetkan luasnya kawasan, namun juga harus melakukan pengelolaan
efektif, yang dapat memberikan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, DKP juga harus
tetap memperhatikan keinginan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan KKL
Dareah (KKLD). Kemudian pada era ini pula, dengan disyahkannya UU No. 31/2004
yang saat ini menjadi UU No. 45/2009 tentang perikanan. Pada era ini juga disyahkan
33
pula UU No. 27/2007 yang didalamnya mengatur pula tentang konservasi di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Perkembangan kawasan konservasi perairan laut di
Indonesia, saat ini telah mencapai 13,95 Juta Hektar, luasan kawasan ini melebihi
target yang telah ditetapkan yakni 10 juta hektar tahun 2010. Angka tersebut
meningkat sekitar 400 ribu Ha dibandingkan dengan luas kawasan konservasi pada
tahun 2009 yang hanya mencapai 13,5 juta HaSelain perkembangan kawasan
konservasi yang melampaui target, pada tahun 2010 juga telah dikeluarkan Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor per.30/men/2010 tentang
rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi perairan. Dimana, dalam
peraturan tersebut dijelaskan mengenai rencana pengelolaan kawasan konservasi
perairan, zonasi kawasan konservasi perairan dan tata cara penyusunan rencana
pengelolaan kawasan konservasi perairan
34
Pendanaan untuk pengembangan KSDI tidak cukup didapatkan dari dana
APBN, namun dibutuhkan upaya-upaya untuk mendapatkan model-model pendanaan
yang berkelanjutan bagi kawasan-kawasan konservasi.
Wilayah Republik Indonesia sangat luas dan kaya akan sumberdaya alam,
sehingga diperlukan upaya-upaya monitoring lapangan dan sosialisasi ke masyarakat.
Kendala yang biasanya dihadapi adalah luasnya wilayah, sehingga menyulitkan untuk
menjangkau wilayah-wilayah tersebut. Untuk itu, diperlukan pengembangan
teknologi informasi yang efektif yang selanjutnya dapat mendorong pengembangan
KSDI secara optimal.
35
4. Peningkatan perdagangan ikan-ikan langka
36
BAB III
Keterwakilan
37
Luasan kawasan Keindahan alam
1. Kriteria Ekologi,
2. Kriteria Sosial,
3. Kriteria Ekonomi,
4. Kriteria Regional,
5. Kriteria Pragmatik.
6.Kriteria Ekologi :
38
5. Keunikan, sebagai contoh adalah habitat dari spesies langka yang terdapat
hanya di satu daerah.
6. lntegritas, yaitu tingkatan yang mana suatu daerah merupakan suatu unit
yang berfungsi atau efektif, mampu melestarikan ekologis sendiri.
7. Kriteria Sosial
3. Rekreasi, yaitu tingkatan yang mana area bisa digunakan untuk rekreasi
oleh masyarakat sekitar.
39
7. Penyelamatan, yaitu terkait pada tingkat kebahayaan terhadap manusia dari
arus deras, ombak, rintangan/halangan dari dasar laut, gelombang dan
bahayabahaya lain.
11. Konflik dan kesesuaian, yaitu tingkatan yang terkait dengan manfaat area
dalam membantu memecahkan konflik antara nilai-nilai sumberdaya dan
aktivitas-aktivitas manusia, atau tingkatan yang sesuai atau cocok di antara
keduanya.
8.Kriteria Ekonomi
40
3. Ancaman alam, yaitu perubahan lingkungan yang mengancam nilai secara
keseluruhan bagi manusia.
5. Pariwisata, yaitu nilai potensi daerah yang ada saat ini untuk
pengembangan pariwisata.
Terkait dengan zonasi, suatu kawasan konservasi bisa dibedakan dalam dua
tipe, ialah: kawasan tanpa pemanfaatan dan kawasan dimana sebagian wilayah di
dalamnya bisa dimanfaatkan secara terbatas. Pada kasus yang pertama, kawasan
konservasi dikatakan hanya mempunyai satu zona, sedangkan kawasan kedua paling
tidak ada dua wilayah yang berbeda, zona dimana segala bentuk pemanfaatan
dilarang dan sebagian lagi dimana pemanfaatan terbatas masih memmungkinkan
untuk dilakukan.
41
tujuan fungsional untuk merpebaiki habitat dan stok ikan, dengan aturan pelarangan
untuk melakukan kegiatan pengambilan (ekstraktif). Zonasi bisa didefinisikan sebagai
usaha (termasuk teknik rekayasa) untuk membagi suatu wilayah pada kawasan
konservasi menjadi beberapa zona fungsional yang berbeda.
• Jalur Ia, ialah perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada saat
surut yang terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut;
• Jalur Ib, ialah perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6
(enam) mil laut;
• Jalur II, ialah meliputi perairan di luar Jalur Ia dan Ib, sampai dengan 12
(dua belas) mil laut ke arah laut dan
• Jalur III, ialah meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan II sampai
dengan batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI);
42
Penentuan zonasi atau jalur-jalur penangkapan ikan ini bertujuan untuk
mengatur kegiatan penangkapan ikan oleh berbagai jenis alat tangkap yang berbeda,
agar tidak terjadi tumpang tindih, dan untuk menjaga kelestarian stok sumber daya
ikan. Dengan demikian, dalam zonasi, paling tidak ada tiga hal dasar, ialah: wilayah
dengan batas yang jelas, tujuan dibentuknya zonasi, dan aturan dalam satu zona.
43
non-ekstraktif maupun ekstraktif. Kunjungan ekstraktif ialah aktifitas dengan tujuan
untuk mengambil (terutama sumber daya) dari dalam kawasan – menangkap ikan di
dalam kawasan ialah termasuk salah satu kegiatan ekstraktif yang paling umum pada
Kawasan Konservasi Perairan. Suatu kawasan konservasi tertentu hanya
memungkinkan untuk melakukan aktifitas 1 dan 2 secara terbatas. Beberapa jenis
kawasan mengijinkan kegiatan 1 secara bebas, tapi kegiatan 3 memerlukan ijin
khusus. Sedangkan kawasan lainnya lebih difokuskan untuk menerima kegiatan 3
yang lebih banyak dibandingkan dengan kegiatan 4. Bisa juga, semua aktifitas dari 1
– 4 bisa dilakukan (dengan ijin), namun masing-masing sudah ditentukan pada zona
tertentu di dalam kawasan. Untuk tujuan ini, zonasi dalam kawasan konservasi
menjadi sangat penting dan vital dalam menerima kompromi antara kepentingan
perlindungan keanekaragaman hayati dan kebutuhan masyarakat untuk
memanfaatkan kawasan konservasi.
44
Berbagai zona pada Kawasan Konservasi Perairan bisa dipahami melalui
model sederhana di atas. Pertama, zonasi mencakup pembagian wilayah dalam suatu
kawasan bagi peruntukkan yang berbeda. Artinya, setiap zona mempunyai ciri
walayah dengan batas yang jelas, dan peruntukkan fungsional dari wilayah tersebut.
Kedua, setiap zona mempunyai aturan pembatasan, limitations. Setiap aktifitas di
dalam suatu zona akan termasuk dalam ketentuan boleh, perlu ijin atau dilarang untuk
dilakukan. Sesuai dengan aturan pengelolaan, masing-masing zona sering diberi nama
tersendiri yang mencirikan status pengelolaan zona tersebut. Sebutan zona inti
ditujukan bagi wilayah di dalam kawasan dengan perlindungan tertinggi – zona ini
sering disebut dengan istilah “no-take, no-go”. Sedangkan zona pemanfaatan terbatas
ialah wilayah dimana tingkat perlindungan relatif rendah, dibandingkan zona inti.
Suatu zona diantara keduanya biasa disebut dengan istilah zona penyangga, buffer
zone. Zona penyangga bisa disebut sebagai wilayah cadangan untuk melindungi zona
inti dari pengaruh aktifitas manusia.
• Zona inti;
• Zona rimba;
45
• Zona pemanfaatan; dan
b. Ilmu pengetahuan;
c. Pendidikan;
46
(b) Inventarisasi Potensi Kawasan,
Suatu wilayah bisa ditetapkan sebagai zona rimba, jika mempunyai kriteria
sebagai berikut:
b. Ilmu pengetahuan;
c. Pendidikan;
47
(c) penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan, dan
a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi
ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik;
b. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya
tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;
c. Pendidikan;
Semua ketentuan terkait zona inti, rimba, pemanfaatan dan zona lain yang
dijelaskan pada UU. No. 9 tahun 1990 dan PP. No. 68 tahun 1998 bisa diganti dalam
bentuk tabel lebih sederhana.
48
arah kanan. Zona inti ialah zona dengan status perlindungan tertinggi. Beberapa
kegiatan boleh dilakukan, namun harus memerlukan ijin khusus oleh pengelola
kawasan. Sedangkan zona di bagian kanan, beberapa kegiatan bisa dilakukan tanpa
mendapatkan ijin dari pengelola kawasan. Sebagian besar analisis dilakukan
berdasarkan interpretasi terhadap ketentuan yang terdapat pada UU No. 5 tahun 1990,
yang dikaitkan dengan PP No. 68 tahun 1998. Pada beberapa kasus Taman Nasional
di Indonesia, hasil interpretasi ini belum tentu sama. Hal ini disebabkan karena belum
adanya kejelasan akan ketentuan kebutuhan perijinan bagi kegiatan-kegiatan yang
boleh dilakukan pada suatu zona.
49
menyediakan makanan dan merupakan tempat memijah bagi berbagai jenis biota laut
yang mempunyai nilai ekonomis tinggi sehingga ekosistem terumbu karang tersebut
penting untuk dikelola dengan sangat baik, guna menunjang kegiatan perikanan
berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan dari penelitian ini
yaitu mengkaji kondisi ekosistem terumbu karang dan perikanan karang tangkap di
KKP Berau dengan melihat tren penangkapan ikan kerapu, menganalisis aktivitas
penangkapan ikan dan perilaku nelayan setempat, mengkaji manfaat pengelolaan
KKP Berau terhadap kondisi perikanan dan kesejahteraan masyarakat dalam rangka
mendukung kegiatan perikanan berkelanjutan serta memberikan rekomendasi terkait
strategi pengelolaan perikanan berkelanjutan di KKP Berau. Analisis yang digunakan
dalam penelitian yaitu analisis regresi untuk melihat hubungan antara kawasan
konservasi terhadap perikanan kerapu serta analisis prospektif untuk menduga strategi
pengelolaan yang sesuai untuk diterapkan di KKP Kabupaten Berau. Persen tutupan
karang selama kurun waktu 8 tahun (2003-2011) mengalami penurunan sebesar 35%,
setara dengan 4,5 % per tahun dan hasil wawancara menunjukkan menurunnya hasil
tangkapan ikan kerapu setiap harinya (rata-rata 2 ekor). Aktivitas penangkapan ikan
kerapu oleh nelayan di Kabupaten Berau sudah terspesifikasi dengan baik yaitu
menggunakan alat tangkap bubu (perangkap) yang diperuntukkkan bagi daerah
karang, namun masih terdapat nelayan yang tidak bertanggung jawab yang
melakukan kegiatan penangkapan dengan bom dan potassium. Analisis menunjukkan
bahwa ekosistem terumbu karang sangat memberikan pengaruh terhadap kelimpahan
ikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh banyaknya jumlah ikan yang terdapat di karang
yang memiliki persen tutupan karang hidup yang besar. Selain itu, dari analisis yang
sama dapat disimpulkan bahwa jika KKP Berau dikelola dengan baik dan persentase
tutupan karang hidup dapat ditingkatkan, maka jumlah individu ikan yang akan naik
sebesar 5 individu per persen tutupan karang hidup.
50
dengan dugaan surplus konsumen sebesar Rp. 4.150.000. Hasil analisis prospektif
menunjukkan faktor yang menjadi kunci keberhasilan pengelolaan KKP yaitu kualitas
SDM, produksi perikanan, lokasi konservasi, pengawasan dan penerapan sanksi, serta
harga komoditas perikanan. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu manfaat KKP Berau
(Peraturan Bupati no. 31 tahun 2005) bagi perikanan berkelanjutan belum dapat
dirasakan secara nyata karena belum adanya kegiatan pengelolaan terhadap kawasan
konservasi perairan ini, seperti : belum ada pembagian zonasi sesuai Undang-Undang
No.45/2009 dan PP No.60/2008, lemahnya kualitas SDM, tingginya praktek
penangkapan tidak ramah lingkungan, lemahnya pengawasan dan penerapan sanksi,
serta lemahnya kekuatan hukum mengenai penetapan perairan Laut Berau menjadi
kawasan konservasi perairan sebagai akibat dari belum ditetapkannya perairan laut
Berau menjadi Kawasan Konservasi Perairan oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Rekomendasi bagi pengelolaan KKP Berau yaitu meningkatkan kualitas
dari lima faktor kunci keberhasilan pengelolaan KKP. Berdasarkan analisis
prospektif, maka skenario yang paling memungkinkan untuk pengelolaan KKP Berau
saat ini yaitu skenario moderat.
BAB IV
51
berkelanjutan bagi semua pemangku kepentingan, baik di tingkat daerah maupun
nasional.
Bab. 1; berisi tentang Latar Belakang dibuatnya dokumen Kebijakan dan Strategi
Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan Daratan, Batasan dan
Pengertian, Klasifikasi Ekosistem, Tujuan dan Sasaran, Proses Penyusunan, Ruang
Lingkup dan Keluaran
Bab 2; berisi tentang gambaran Potensi dan Kondisi Saat Ini dari ekosistem,
sumberdaya ikan dan sosial ekonomi budaya perairan daratan
52
Bab 3; berisi tentang Kondisi yang Diharapkan pada ekosistem perairan daratan,
termasuk bagaimana cara konservasi dalam pemanfaatannya, sehingga sumberdaya
ikan perairan daratan kedepan dapat dimanfaatkan secara lestari.
Bab 4; berisi tentang Kebijakan dan Strategi yang menguraikan visi dan misi,
kebijakan, strategi dan rencana aksi, serta faktor pendukung dalam implementasi
konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya di perairan daratan.
53
Paradigma dan Pengelolaan kawasan konservasi perairan di Indonesia
menapaki era baru sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 31 tahun 2004
tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 45 tahun
2009, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, serta
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun
2014. Poin pertama, dalam hal kewenangan pengelolaan kawasan konservasi, kini
tidak lagi menjadi monopoli pemerintah pusat melainkan sebagian telah
terdesentralisasi menjadi kewajiban pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam
undang-undang tersebut. Poin kedua, adalah pengelolaan kawasan konservasi dengan
sistem ZONASI, Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan diatur dengan sistem
ZONASI. Paling tidak, ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di
dalam Kawasan Konservasi Perairan, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan,
zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah
dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi kawasan
konservasi terdahulu. Pengaturan sistem zonasi dalam pengelolaan kawasan
konservasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi,
jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat lokal, khususnya
nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak
dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui
dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan
untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona
pemanfaatan, maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan
ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti
ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu belum banyak dilakukan. Kini,
peran Pemerintah pusat dalam konteks paradigma ini, hanya memfasilitasi dan
menetapkan kawasan konservasi, sedangkan proses inisiasi, identifikasi, pencadangan
maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan dilakukan sepenuhnya oleh
pemerintah daerah.
54
Pengembangan Kawasan Konservasi sejalan dengan komitmen pemerintah
kepada dunia internasional yang pertama kali dideklarasikan oleh Menteri Kelautan
dan Perikanan saat itu, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri di hadapan para delegasi
Konferensi The Defying Ocean's End (DOE) yang berlangsung di Los Cabos, Mexico
pada tanggal 29 Mei – 3 Juni 2003, selanjutnya pada Convention on Biodiversity
(CBD) pada 20 – 31 Maret 2006 di Brasil tahun 2006 oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dengan komitmen pencapaian kawasan konservasi seluas 10 Juta
Hektar pada tahun 2010. Tumbuhnya semangat ini kemudian disambut baik oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah bersama masyarakat untuk mewujudkannya.
Hingga pada Forum APEC tahun 2007 di Sydney, Presiden menyampaikan inisiatif
kerjasama 6 (enam) negara dalam pengelolaan segitiga terumbu karang (Coral
Triangle Initiative), komitmen untuk menggandakan target luasan kawasan
konservasi menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020 pun disiarkan kepada dunia
internasional. selanjutnya, komitmen ini ditegaskan kembali tahun 2009, juga oleh
Presiden SBY dalam World Ocean Conference dan CTI Summit di Manado,
mengumumkan kembali komitmen pencapaian target 20 juta hektar luas kawasan
konservasi perairan tersebut pada tahun 2020. Titik tolak ini menjadi landasan
Renstra Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015-2019 yang bertekat
menggenapkan capaian 20 juta hektar pada penghujung 2019.
55
(3) Data, Informasi dan Jejaring Pengelolaan Konservasi,
BAB V
56
menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan mutu
kehidupan manusia”. Pasal 1 angka 7: ”Satwa liar adalah semua binatang yang hidup
di darat , dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik
yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia”. Penjelasan Pasal 1 angka 7:
”Ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian satwa liar, tetapi termasuk di
dalam pengertian satwa”.
57
diterapkan untuk kawasan konservasi di perairan, khususnya untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap ekosistem yang menjadi habitat satwa langka.
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Sepanjang
berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi sebagai suatu kesatuan ekosistem,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengatur penetapan status
hukum kawasan lautnya. Secara khusus undang-undang ini memberikan wewenang
kepada Menteri untuk menetapkan status suatu bagian laut tertentu sebagai kawasan
Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, atau Suaka
Perikanan. Penetapan status kawasan-kawasan laut tersebut bertujuan untuk
melindungi dan melestarikan sumber-sumber kekayaan alam hayati dan
ekosistemnya.
Selanjutnya Pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa: “Dalam rangka
pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi
jenis ikan, dan konservasi genetika ikan.” Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) menyatakan
bahwa: “Pemerintah mengatur dan/atau mengembangkan pemanfaatan plasma nutfah
yang berkaitan dengan sumber daya ikan dalam rangka pelestarian ekosistem dan
pemuliaan sumber daya ikan.” Pasal 14 ayat (2): “Setiap orang wajib melestarikan
plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.”
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menyatakan bahwa: “Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan
kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut”. Selanjutnya Pasal 18
ayat (3) menyatakan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: eksplorasi, eksploitasi,
konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan administratif; pengaturan tata
ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; ikut serta dalam pemeliharaan
keamanan; dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka
Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. Peraturan Pemerintah ini merupakan
58
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengertian Kawasan Suaka Alam menurut
peraturan ini adalah: “kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di
perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai
wilayah sistem penyangga kehidupan.” Adapun yang dimaksud dengan Kawasan
Pelestarian Alam adalah: “kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun
di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.”
Dari definisi sebagaimana telah dikutip di atas, tampak perbedaan antara
kedua kawasan, yaitu bahwa di dalam Kawasan Pelestarian Alam, baik di daratan
maupun di perairan, dimungkinkan kegiatan pemanfaatan secara lestari dengan
memperhatikan daya dukung ekosistemnya. Selanjutnya, Kawasan Suaka Alam
dapat dibedakan menjadi: Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, sedangkan Kawasan
Pelestarian Alam dapat dibedakan menjadi: Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan
Taman Wisata Alam.
Nomenklatur kawasan sebagaimana telah dikutip di atas, secara analogi dapat
dipersamakan dengan pengertian kawasan-kawasan yang termuat di dalam Undang-
Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004. Sepanjang menyangkut urusan kelautan
dan perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan berwenang untuk menetapkan
perairan tertentu sebagai Kawasan Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan,
Taman Wisata Perairan, atau Suaka Perikanan (Pasal 7 ayat (1) dan Penjelasan Pasal
13 ayat (1). Dalam hal ini Kawasan Suaka Alam Perairan dan Suaka Perikanan
identik dengan Kawasan Suaka Alam sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 6
Peraturan Pemerintah ini. Selanjutnya, pengertian Taman Nasional Perairan dan
Taman Wisata Perairan di dalam Undang-Undang Perikanan identik dengan Kawasan
Pelestarian Alam sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 30 Peraturan Pemerintah
ini.
59
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan Dan Satwa. Pasal 1 butir 8: “Pelaksanaan pengawetan dan pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwa merupakan tanggungjawab menteri yang
bertanggungjawab di bidang kehutanan”
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan Dan Satwa Liar. Pasal 1 butir 9 : “Pelaksanaan pengawetan dan
pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar merupakan tanggungjawab menteri yang
bertanggungjawab di bidang kehutanan”. Pasal 65 ayat (1) : ”Departemen Kehutanan
ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) Konservasi
Tumbuhan dan Satwa Liar”
Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber
Daya Ikan. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Peraturan
pemerintah ini ndemi kewenangan kepada Menteri (Kelautan dan Perikanan) untuk
menetapkan Kawasan Konservasi Perairan yang terdiri atas taman nasional perairan,
taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan (Pasal 8).
Peraturan Pemerintah ini juga memberi kewenangan kepada Menteri Kelautan
dan Perikanan untuk menetapkan status perlindungan jenis ikan tertentu (pasal 24
ayat 1), yang meliputi Jenis ikan yang dilindungi dan Jenis ikan yang tidak
dilindungi (Pasal 23 ayat (1)). Jenis ikan tertentu dapat ditetapkan sebagai jenis ikan
yang dilindungi, apabila memenuhi kriteria:
(a). terancam punah;
(b). langka;
(c). daerah penyebaran terbatas (endemic);
(d). adanya penurunan jumlah populasi di alam yang tajam; dan
(e). tingkat kemampuan reproduksi yang rendah.
Kerjasama Konservasi Internasional. Kerjasama internasional dalam
konservasi sangat diperlukan terutama untuk mencegah kepunahan atau terancamnya
jenis dan ekosistem dari kepunahan yang disebabkan oleh pengelolaan dan
pemanfaatan yang tidak berkelanjutan. Beberapa konvensi internasional terkait
60
dengan konservasi yang mengikat secara hukum diantaranya adalah CITES, Ramsar
dan CBD. Indonesia telah meratifikasi Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) yang ditandatangani di
Washington, D.C. tahun 1973 dan telah berlaku secara efektif sejak tahun 1975.
Konvensi tersebut telah menjadi hukum nasional melalui ratifikasi dengan Keputusan
Presiden Nomor 43 tahun 1978. Selanjutnya ketentuan CITES merupakan kewajiban
bersama dalam pelaksanaannya namun harus didasari oleh peraturan perundang-
undangan nasional yang memadahi. Dalam Article VIII CITES disebutkan bahwa
setiap Negara anggota Konvensi wajib mempunyai legislasi nasional (peraturan
perundang-undangan) yang memadahi untuk pellaksanaan CITES dengan efektif,
yang dapat memberikan mandat kepada setiap negara anggota untuk
(1) menunjuk satu atau lebih Otoritas Pengelola (Management Authorities)
yang berkompeten untuk menerbitkan izin atau sertifikat atas nama Negara
Pihak, dan satu atau lebih Otoritas Keilmuan (Scientific Authorities) untuk
memberikan pendapat/nasihat kepada Otoritas Pengelola;
(2) dapat melarang semua kegiatan yang melanggar ketentuan konvensi
terkait dengan jenis-jenis yang termasuk dalam appendix;
(3) dapat menghukum pelanggaran-pelanggaran tersebut; dan
(4) dapat melakukan penyitaan terhadap specimen yang terlibat di dalam
pelanggaran. Keempat prasyarat tersebut harus dapat dipenuhi oleh legislasi
yang ada, jika tidak maka CITES dapat memberikan sanksi berupa “isolasi”
atau embargo perdagangan jenis-jenis yang masuk kontrol CITES.
61
Konvensi lain yang terkait adalah Ramsar, yang memberikan pedoman
tentang pengelolaan dan pemanfaatan yang bijaksana terhadap lahan basah, termasuk
jenis-jenis yang ada di dalamnya.
Ketentuan Umum
62
4. Konservasi genetik ikan adalah upaya melindungi, melestarikan, dan
memanfaatkan sumber daya ikan, untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungan sumber daya genetik ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan
datang.
6. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya
berada di dalam lingkungan perairan.
7. Ekosistem adalah tatanan unsur sumber daya ikan dan lingkungannya, yang
merupakan kesatuan utuhmenyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk
keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas sumber daya ikan.
10. Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas
tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistemnya.
11. Taman Wisata Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk
dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi.
12. Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun
laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak
jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.
63
14. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Pasal 2
a. manfaat;
b. keadilan;
c. kemitraan;
d. pemerataan;
e. keterpaduan;
f. keterbukaan;
g. efisiensi; dan
a. pendekatan kehati-hatian;
64
b. pertimbangan bukti ilmiah;
l. pengelolaan adaptif.
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
(1) Konservasi ekosistem dilakukan pada semua tipe ekosistem yang terkait dengan
sumber daya ikan.
65
(2) Tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. laut;
b. padang lamun;
c. terumbu karang;
d. mangrove;
e. estuari;
f. pantai;
g. rawa;
h. sungai;
i. danau;
j. waduk;
k. embung; dan
Pasal 6
(1) Konservasi ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan
melalui kegiatan:
66
d. pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan;
(2) Kegiatan konservasi ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan data dan informasi sumber daya ikan dan lingkungan sumber daya ikan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan konservasi ekosistem sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 7
(1) Dalam rangka pemulihan kondisi habitat sumber daya ikan dan perlindungan
siklus pengembangbiakan jenis ikan, Menteri menetapkan pembukaan dan penutupan
perairan tertentu untuk kegiatan penangkapan ikan.
(2) Pembukaan dan penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan:
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan dan penutupan perairan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 8
67
(1) Satu atau beberapa tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dapat ditetapkan sebagai kawasan
konservasi perairan.
(2) Kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka
perikanan.
(3) Kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 9
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penetapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 10
68
Pasal 11
a. usulan inisiatif;
b. identifikasi dan
inventarisasi;
d. penetapan.
(2) Terhadap kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan dilakukan penataan
batas oleh panitia tata batas.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan batas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 12
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pemerintah atau
pemerintah daerah dengan dilengkapi kajian awal dan peta lokasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kajian awal dan peta lokasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.
69
Pasal 13
(2) Kegiatan identifikasi dan inventarisasi meliputi kegiatan survey dan penilaian
potensi, sosialisasi, konsultasi publik, dan koordinasi dengan instansi terkait.
Pasal 14
(2) Pencadangan kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya
(5) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri dapat
menetapkan kawasan konservasi perairan.
70
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pencadangan kawasan konservasi perairan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan peraturan
Menteri.
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) dikelola oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai kewenangannya.
(2) Pengelolaan kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh satuan unit organisasi pengelola sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
Pasal 16
71
pengelolaan provinsi; dan b. perairan payau dan/atau perairan tawar yang berada
dalam wilayah kewenangannya.
b. pungutan perikanan;
Pasal 22
c. pemeliharaan;
d. pengembangbiakan; dan
Pasal 23
(1) Penggolongan jenis ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a terdiri
atas:
72
b. jenis ikan yang tidak dilindungi. (2) Kriteria jenis ikan yang dilindungi
sebagaimana dimaksud
a. terancam punah;
b. langka;
Pasal 24
(1) Penetapan status perlindungan jenis ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
huruf b, ditetapkan oleh Menteri.
(2) Tata cara penetapan status perlindungan jenis ikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 25
(2) Pemeliharaan jenis ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dengan cara mengambil ikan dari habitat alam atau dari hasil pengembangbiakan.
(3) Pemeliharaan jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi di
habitat buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi
persyaratan: a. standar kesehatan ikan; b. tempat yang cukup luas, aman, dan nyaman;
dan c. mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan ikan.
73
(4) Pemeliharaan jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi
dapat dilakukan oleh:
a. orang perseorangan;
b. kelompok masyarakat;
d. lembaga penelitian;
e. perguruan tinggi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan jenis ikan yang dilindungi dan
jenis ikan yang tidak dilindungi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (4), diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 26
b. penetasan telur;
d. transplantasi.
(2) Pengembangbiakan jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak
dilindungi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara menjaga
kemurnian genetik ikan.
(3) Pengembangbiakan jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak
dilindungi harus memenuhi standar kualifikasi pengembangbiakan jenis ikan.
74
(4) Pengembangbiakan jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak
dilindungi dapat dilakukan oleh:
a. perseorangan;
b. kelompok masyarakat;
e. perguruan tinggi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kualifikasi pengembangbiakan jenis ikan
yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 27
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penandaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 28
75
Bagian Keempat Konservasi Genetik Ikan
Pasal 29
a. pemeliharaan;
b. pengembangbiakan;
c. penelitian; dan
d. pelestarian gamet.
(3) Pelestarian gamet sumber daya genetik ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d dilakukan dalam kondisi beku.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelestarian gamet sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan peraturan Menteri.
76
5.3 Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan
77
Langkah-langkah tersebut sebagai perwujudan dalam rangka menjamin
ketersediaan sumberdaya ikan bagi generasi kini dan mendatang.
78
Pada umumnya akan lebih baik jika alternative nomor 2 yang digunakan
sebagai pendekatan. Adapun bentuk lembaganya dapat berupa Bidang atau BLUD,
keduanya melalui kemitraan dengan stakeholder sebagai bentuk kolaborasi. Biasanya
disebut dengan Mitra atau forum yang mampu memperkuat organisasi berupa Bidang
maupun BLUDyang menempel pada lembaga di daerah. Kedepan, masih diperlukan
penyamaan persepsi guna menemukan bventuk kelembagaan yang ideal dalam
pengelolaan kawasan konservasi perairan.
79
terpeliharanya keanekaragaman genetik ikan. Terkait dengan upaya konservasi
sumberdaya ikan, secara jelas dalam peraturan pemerintah nomor 60 tahun 2007 telah
menyebutkan bahwa management authority untuk pengelolaan sumberdaya ikan
adalah departemen/kementerian yang bertanggungjawab di bidang perikanan.
Kedepan, melalui Peraturan Pemerintah ini diharapkan segala urusan mengenai
konservasi sumberdaya ikan termasuk berbagai ekosistem yang terkait di dalamnya
dapat terwadahi.
Strategi atau cara untuk membentuk jejaring KKP menjadi sebuah kebutuhan
karena beberapa alasan. Pertama, pengembangan jejaring KKP merupakan hal yang
relatif baru dalam konteks pengembangan Sistem KKP Nasional di Indonesia
(Susanto, 2011). Kedua, terbatasnya pengalaman yang dimiliki dalam perencanaan,
pembentukan dan pengelolaan jejaring KKP. Mempertimbangkan kompleksitas
terkait dengan pembentukan jejaring KKP dan aspek-aspek yang terlibat di dalamnya,
bab ini membahas strategi pembentukan jejaring KKP yang dilengkapi dengan studi
kasus tentang pengalaman membangun dan mengelola jejaring KKP di Indonesia dan
negara lain.
80
mendirikan, mengelola dan mengevaluasi jejaring. Siklus Pengelolaan ini berulang
setiap periode waktu tertentu.
81
Kajian kebutuhan berjejaring
Kebutuhan untuk berjejaring biasanya ditentukan oleh paling tidak dua hal,
yaitu (1) karena adanya ancaman (threat) terhadap keanekaragaman hayati dan
sumberdaya hayati bernilai ekonomis (cf. McLeod et al., 2009; Pressey et al., 2007;
Salafsky & Margoluis, 1999; Secretariat of the Convention on Biological Diversity,
2006), dan/atau (2) karena menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principles
– Cooney, 2004). Ancaman dapat berupa kegiatan manusia yang menimbulkan
dampak negatif dalam jangka pendek dan menengah seperti pencemaran, maupun
dalam jangka panjang seperti perubahan iklim (McLeod et al., 2009; Pressey et al.,
2007; Salafsky & Margoluis, 1999; Secretariat of the Convention on Biological
Diversity, 2006). Penerapan prinsip kehatian-hatian dilakukan karena keterbatasan
manusia untuk memprakirakan dan mengetahuiperubahan yang terjadi di masa depan
(Cooney, 2004). Pada umumnya pembentukan jejaring adalah untuk memenuhi
tujuan pelestariankeanekaragaman hayati dan/atau kesinambungan pasokan
sumberdaya perikanan dan/atau adaptasi terhadap perubahan iklim (Fernandes et al.,
2012).
82
Langkah-langkah yang disarankan untuk melihat keterkaitan tersebut terdiri dari 3
(tiga) langkah:
(2) Analisis data dan informasi untuk melihat keterkaitan. Keterkaitan dapat
didekati melalui penyebaran larva ikan dikaitkan dengan pola arus atau
oseanografi fisik, dan/atau keserupaan struktur komunitas dari
ekosistemekosistem pesisir/laut utama (terumbu karang, mangrove dan
lamun) yang dikaji.
(3) Sintesis, berupa keputusan bahwa sebuah jejaring ekologi perlu didirikan
dengan melibatkan beberapa KKP (atau calon KKP) yang dikaji.
Jejaring tata kelola biasanya dilakukan pemerintah dan diinisiasi oleh unit-unit
pengelola yang memiliki pendekatan pengelolaan serupa karena berada di bawah satu
badan atau lembaga tertentu, seperti misalnya Kementerian Kelautan & Perikanan,
Kementerian Kehutanan (Pet-Soede et al., 2009; Schwenke et al., 2010) atau
pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten). Sementara itu, jejaring sosial-budaya-
ekonomi yang dibangun oleh masyarakat setempat atau berbasis masyarakat, karena
adanya keserupaan pendekatan pengelolaan, seperti bukatutup kawasan pada sasi laut
di Indonesia Timur, serta ketergantungan dan pemanfaatan sumberdaya yang serupa
(Bustamante et al., 2010; Varney et al., 2010; White et al., 2006).
83
atau masyarakat setempat. Oleh karena itu, merupakan langkah lanjutan yang wajar
bila setelah keterkaitan ekologi diidentifikasi, selanjutnya dilakukan identifikasi
keterkaitan sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola. Identifikasi ini dilakukan untuk
memperkuat alasan pembentukan sebuah jejaring KKP. Bila masing-masing KKP
yang dikaji sudah memiliki unit organisasi pengelola, maka keputusan untuk
membentuk jejaring KKP dapat segera ditindaklanjuti, meski kesinambungannya
sangat bergantung kepada komitmen dari masingmasing unit organisasi pengelola
untuk berjejaring.
Tantangan cukup berat akan dihadapi oleh KKP yang dikelola oleh
masyarakat dan calon-calon KKP yang biasanya belum memiliki unit organisasi
pengelola. Perlu dipikirkan siapa yang seharusnya berperan dalam menginisiasi
pembentukan jejaring, apakah oleh pengelola di masing-masing KKP atau melalui
arahan yang diberikan oleh pemerintah pusat (baca: Kementerian Kelautan dan
Perikanan), pemerintah daerah, atau pemangku kepentingan lainnya (perguruan tinggi
dan lembaga swadaya masyarakat).
84
antar unit organisasi pengelola dan/atau SKPD. Kelembagaan dapat bersifat cair
seperti berbentuk forum atau pusat layanan (resource center), atau dalam bentuk
organisasi formal seperti kelompok kerja atau dewan pengelola. Beberapa jenis
kerjasama yang mungkin dikembangkan dalam pengelolaan jejaring KKP, antara
lain:
a. Penanganan pencemaran;
85
LAMPIRAN
86
Gambar 13. Empat Daerah Utama Pada Danau Air Tawar
87
DAFTAR PUSTAKA
file:///C:/Users/Admin/Downloads/pedoman_pemanfaatan_kawasan_konservasi_untu
k_budidaya_perikanan(2).pdf
file:///C:/Users/Admin/Downloads/8-Zonasi-kawasan-konservasi-perairan(3).pdf
file:///C:/Users/Admin/Downloads/kebijakan_pengelolaan_konservasi_kawasan_danJ
jenis_ikan_23-11-10.pdf
88
89