Anda di halaman 1dari 89

MAKALAH KONSERVASI PERIKANAN

Dosen Pengampu:

Tutwuri Handayani ,S.Pi,M.Si

Disusun oleh:

Yuliana Ambarita

CDA 118 016

PRODI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PALANGKARAYA

2020

1
BAB I

KEANEKARAGAMAN HAYATI SUMBERDAYA PERAIRAN

1.1 Diskripsi Keanekaragaman Hayati Perairan

Keanekaragaman hayati atau biodiversity adalah semua kehidupan di atas bumi


ini baik tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme, serta berbagai materigenetik
yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi di mana mereka hidup.
Termasuk didalamnya kelimpahan dan keanekaragaman genetik relatif dari
organisme-organisme yang berasal dari semua habitat baik yang ada di darat, laut
maupun sistem-sistem perairan lainnya.

MACAM-MACAM KEANEKARAGAMAN HAYATI


Keanekaragaman hayati dapat terjadi pada berbagai tingkat kehidupan, mulai
dari organisme tingkat rendah sampai organisme tingkat tinggi. Berikut macam-
macam keanekaragaman hayati, yaitu:
1. Keanekaragaman Hayati Tingkat Gen
Keanekaragaman warna bunga pada tanaman mawar. Bentuk, rasa, warna
pada buah mangga, serta keanekaragaman sifat, warna bulu dan bentuk pial pada
ayam, ini semua disebabkan oleh pengaruh perangkat pembawa sifat yang disebut
dengan gen. Semua makhluk hidup dalam satu spesies/jenis memiliki perangkat dasar
penyusun gen yang serupa. Gen merupakan bagian kromosom yang mengendalikan
ciri atau sifat suatu organisme yang bersifat diturunkan dari induk/orang tua kepada
keturunannya. Gen pada setiap individu, walaupun perangkat dasar penyusunnya
sama, tetapi susunannya berbeda-beda bergantung pada masing-masing induknya.
Susunan perangkat gen inilah yang menentukan ciri atau sifat suatu individu dalam
satu spesies.
Apa yang menyebabkan terjadinya keanekaragaman gen?. Perkawinan antara
dua individu makhluk hidup sejenis merupakan salah satu penyebabnya. Keturunan

2
dari hasil perkawinan memiliki susunan perangkat gen yang berasal dari kedua
induk/orang tuanya. Kombinasi susunan perangkat gen dari dua induk tersebut akan
menyebabkan keanekaragaman individu dalam satu spesies berupa varietas yang
terjadi secara alami atau secara buatan. Keanekaragaman yang terjadi secara alami
adalah akibat adaptasi atau penyesuaian diri setiap individu dengan lingkungan,
seperti pada buah rambutan. Faktor lingkungan juga turut mempengaruhi sifat yang
tampak (fenotipe) suatu individu di samping ditentukan oleh faktor genetiknya
(genotipe). Sedangkan keanekaragaman buatan dapat terjadi antara lain melalui
perkawinan silang (hibridisasi).
Pada manusia juga terdapat keanekaragaman gen yang menunjukkan sifat-
sifat berbeda, antara lain ukuran tubuh (besar, kecil, sedang); warna kulit (hitam,
putih, sawo matang, kuning); warna mata (biru, hitam, coklat), serta bentuk rambut
(ikal, lurus, keriting).

2. Keanekaragaman hayati tingkat jenis


Untuk mengetahui keanekaragaman hayati tingkat jenis pada tumbuhan atau
hewan, dapat diamati, antara lain ciri-ciri fisiknya. Misalnya bentuk dan ukuran
tubuh, warna, kebiasaan hidup dan lain-lain.
Sebagai contoh dalam suku kacang-kacangan, antara lain; kacang tanah,
kacang kapri, kacang hijau dan kacang buncis. Di antara jenis kacang-kacangan
tersebut dapat dengan mudah dibedakan, karena diantara jenis tersebut ditemukan
ciri-ciri yang berbeda antara ciri satu dengan yang lainnya. Misalkan ukuran tubuh
atau batang (ada yang tinggi dan pendek); kebiasaan hidup (tumbuh tegak, ada yang
merambat), bentuk buah dan biji, warna biji, jumlah biji, serta rasanya yang berbeda.
Sebagai contoh hewan adalah suku Felidae. Walaupun hewan-hewan tersebut
termasuk dalam satu familia/suku Felidae, tetapi diantara mereka terdapat perbedaan-
perbedaan sifat yang mencolok. Misalnya, perbedaan warna bulu, tipe lorengnya,
ukuran tubuh, tingkah laku, serta lingkungan hidupnya.

3
3.Keanekaragaman Hayati Tingkat Ekosistem

Perbedaan letak geografis menyebabkan perbedaan iklim. Perbedaan iklim


menyebabkan terjadinya perbedaan temperatur, curah hujan,
intensitas cahaya matahari, dan lamanya penyinaran. Keadaan ini akan berpengaruh
terhadap jenis-jenis flora (tumbuhan) dan fauna (hewan) yang menempati suatu
daerah. Di daerah dingin terdapat bioma Tundra. Di tempat ini tidak ada pohon, yang
tumbuh hanya jenis lumut. Hewan yang dapat hidup, antara lain rusa kutub dan
beruang kutub. Di daerah beriklim sedang terdapat bioma Taiga. Jenis tumbuhan
yang paling sesuai untuk daerah ini adalah tumbuhan conifer, dan fauna/hewannya
antara lain anjing hutan, dan rusa kutub. Pada iklim tropis terdapat hutan hujan tropis.
Hutan hujan tropis memiliki flora (tumbuhan) dan fauna (hewan) yang sangat kaya
dan beraneka ragam. Keanekaragaman jenis-jenis flora dan fauna yang menempati
suatu daerah akan membentuk ekosistem yang berbeda.

.       
Macam-macam Ekosistem
Secara garis besar ekosistem dibedakan menjadi ekosistem darat dan ekosistem
perairan. Ekosistem perairan dibedakan atas ekosistem air tawar dan ekosistem air
Laut.
      a.  Ekosistem darat
    Ekosistem darat ialah ekosistem yang lingkungan fisiknya berupa daratan.
Berdasarkan letak geografisnya (garis lintangnya), ekosistem darat dibedakan
menjadi beberapa bioma, yaitu sebagai berikut.

1)     Bioma gurun
Beberapa Bioma gurun terdapat di daerah tropika (sepanjang garis balik) yang
berbatasan dengan padang rumput. Ciri-ciri bioma gurun adalah gersang dan curah
hujan rendah (25 cm/tahun). Suhu slang hari tinggi (bisa mendapai 45°C) sehingga
penguapan juga tinggi, sedangkan malam hari suhu sangat rendah (bisa mencapai

4
0°C). Perbedaan suhu antara siang dan malam sangat besar. Tumbuhan semusim yang
terdapat di gurun berukuran kecil. Selain itu, di gurun dijumpai pula tumbuhan
menahun berdaun seperti duri contohnya kaktus, atau tak berdaun dan memiliki akar
panjang serta mempunyai jaringan untuk menyimpan air. Hewan yang hidup di gurun
antara lain rodentia, ular, kadal, katak, dan kalajengking.

2)     Bioma padang rumput


Bioma ini terdapat di daerah yang terbentang dari daerah tropik ke subtropik. Ciri-
cirinya adalah curah hujan kurang lebih 25-30 cm per tahun dan hujan turun tidak
teratur. Porositas (peresapan air) tinggi dan drainase (aliran air) cepat. Tumbuhan
yang ada terdiri atas tumbuhan terna (herbs) dan rumput yang keduanya tergantung
pada kelembapan. Hewannya antara lain: bison, zebra, singa, anjing liar, serigala,
gajah, jerapah, kangguru, serangga, tikus dan ular

3)     Bioma Hutan Basah


Bioma Hutan Basah terdapat di daerah tropika dan subtropik.
Ciri-cirinya adalah, curah hujan 200-225 cm per tahun. Species pepohonan relatif
banyak, jenisnya berbeda antara satu dengan yang lainnya tergantung letak
geografisnya. Tinggi pohon utama antara 20-40 m, cabang-cabang pohon tinngi dan
berdaun lebat hingga membentuk tudung (kanopi). Dalam hutan basah terjadi
perubahan iklim mikro (iklim yang langsung terdapat di sekitar organisme). Daerah
tudung cukup mendapat sinar matahari. Variasi suhu dan kelembapan
tinggi/besar; suhu sepanjang hari sekitar 25°C. Dalam hutan basah tropika sering
terdapat tumbuhan khas, yaitu liana (rotan), kaktus, dan anggrek sebagai epifit.
Hewannya antara lain, kera, burung, badak, babi hutan, harimau, dan burung hantu.

5
4)     Bioma hutan gugur
Bioma hutan gugur terdapat di daerah beriklim sedang,
Ciri-cirinya adalah curah hujan merata sepanjang tahun. Terdapat di daerah yang
mengalami empat musim (dingin, semi, panas, dan gugur). Jenis pohon sedikit (10 s/d
20) dan tidak terlalu rapat. Hewannya antara lain rusa, beruang, rubah, bajing, burung
pelatuk, dan rakoon (sebangsa luwak).

5)     Bioma taiga
Bioma taiga terdapat di belahan bumi sebelah utara dan di pegunungan daerah tropik.
Ciri-cirinya adalah suhu di musim dingin rendah. Biasanya taiga merupakan hutan
yang tersusun atas satu spesies seperti konifer, pinus, dap sejenisnya. Semak dan
tumbuhan basah sedikit sekali. Hewannya antara lain moose, beruang hitam, ajag, dan
burung-burung yang bermigrasi ke selatan pada musim gugur.

6)     Bioma tundra
Bioma tundra terdapat di belahan bumi sebelah utara di dalam lingkaran kutub utara
dan terdapat di puncak-puncak gunung tinggi. Pertumbuhan tanaman di daerah ini
hanya 60 hari. Contoh tumbuhan yang dominan adalah Sphagnum, liken, tumbuhan
biji semusim, tumbuhan kayu yang pendek, dan rumput. Pada umumnya,
tumbuhannya mampu beradaptasi dengan keadaan yang dingin. Hewan yang hidup di
daerah ini ada yang menetap dan ada yang datang pada musim panas, semuanya
berdarah panas. Hewan yang menetap memiliki rambut atau bulu yang tebal,
contohnya muscox, rusa kutub, beruang kutub, dan insekta terutama nyamuk dan lalat
hitam. 

6
b.     Ekosistem Air Tawar
Ciri-ciri ekosistem air tawar antara lain variasi suhu tidak menyolok, penetrasi
cahaya kurang, dan terpengaruh oleh iklim dan cuaca. Macam tumbuhan yang
terbanyak adalah jenis ganggang, sedangkan lainnya tumbuhan biji. Hampir semua
filum hewan terdapat dalam air tawar. Organisme yang hidup di air tawar pada
umumnya telah beradaptasi.

Adaptasi organisme air tawar adalah sebagai berikut.


1)     Adaptasi tumbuhan
Tumbuhan yang hidup di air tawar biasanya bersel satu dan dinding selnya kuat
seperti beberapa alga biru dan alga hijau. Air masuk ke dalam sel hingga maksimum
dan akan berhenti sendiri. Tumbuhan tingkat tinggi, seperti teratai (Nymphaea
gigantea), mempunyai akar jangkar (akar sulur). Hewan dan tumbuhan rendah yang
hidup di habitat air, tekanan osmosisnya sama dengan tekanan osmosis lingkungan
atau isotonis.
2)     Adaptasi hewan
Ekosistem air tawar dihuni oleh nekton. Nekton merupakan hewan yang bergerak
aktif dengan menggunakan otot yang kuat. Hewan tingkat tinggi yang hidup di
ekosistem air tawar, misalnya ikan, dalam mengatasi perbedaan tekanan osmosis
melakukan osmoregulasi untuk memelihara keseimbangan air dalam tubuhnya
melalui sistem ekskresi, insang, dan pencernaan. Habitat air tawar merupakan
perantara habitat laut dan habitat darat.
Penggolongan organisme dalam air dapat berdasarkan aliran energi dan
kebiasaan hidup.
1.      Berdasarkan aliran energi, organisme dibagi menjadi autotrof
(tumbuhan), dan fagotrof (makrokonsumen), yaitu karnivora predator, parasit,
dan saprotrof atau organisme yang hidup pada substrat sisa-sisa organisme.

7
2.    Berdasarkan kebiasaan hidup, organisme dibedakan sebagai berikut.
a.    Plankton; terdiri alas fitoplankton dan zooplankton, biasanya melayang-layang
(bergerak pasif) mengikuti gerak aliran air.
b.       Nekton; hewan yang aktif berenang dalam air, misalnya ikan.
c.     Neuston; organisme yang mengapung atau berenang di permukaan air atau
bertempat pada permukaan air, misalnya serangga air.
d.     Perifiton; merupakan tumbuhan atau hewan yang melekat/bergantung pada
tumbuhan atau benda lain, misalnya keong.
e.     Bentos; hewan dan tumbuhan yang hidup di dasar atau hidup pada endapan.
Bentos dapat sessil (melekat) atau bergerak bebas, misalnya cacing dan remis.

Ekosistem air tawar digolongkan menjadi air tenang dan air mengalir.
Termasuk ekosistem air tenang adalah danau dan rawa, termasuk ekosistem air
mengalir adalah sungai.

1.     Danau
Danau merupakan suatu badan air yang menggenang dan luasnya mulai dari beberapa
meter persegi hingga ratusan meter persegi.

Gambar 12. Berbagai organisme air tawar berdasarkan cara hidupnya.

8
Di danau terdapat pembagian daerah berdasarkan penetrasi cahaya matahari.
Daerah yang dapat ditembus cahaya matahari sehingga terjadi fotosintesis disebut
daerah fotik. Daerah yang tidak tertembus cahaya matahari disebut daerah afotik. Di
danau juga terdapat daerah perubahan temperatur yang drastis
atau termoklin.Termoklin memisahkan daerah yang hangat di atas dengan daerah
dingin di dasar.
Komunitas tumbuhan dan hewan tersebar di danau sesuai dengan kedalaman
dan jaraknya dari tepi. Berdasarkan hal tersebut danau dibagi menjadi 4 daerah
sebagai berikut.

a)     Daerah litoral
Daerah ini merupakan daerah dangkal. Cahaya matahari menembus dengan optimal.
Air yang hangat berdekatan dengan tepi. Tumbuhannya merupakan tumbuhan air
yang berakar dan daunnya ada yang mencuat ke atas permukaan air. Komunitas
organisme sangat beragam termasuk jenis-jenis ganggang yang melekat (khususnya
diatom), berbagai siput dan remis, serangga, krustacea, ikan, amfibi, reptilia air dan
semi air seperti kura-kura dan ular, itik dan angsa, dan beberapa mamalia yang sering
mencari makan di danau.

b)     Daerah limnetik
Daerah ini merupakan daerah air bebas yang jauh dari tepi dan masih dapat ditembus
sinar matahari. Daerah ini dihuni oleh berbagai fitoplankton, termasuk ganggang dan
sianobakteri. Ganggang berfotosintesis dan bereproduksi dengan kecepatan tinggi
selama musim panas dan musim semi.  Zooplankton yang sebagian besar termasuk
Rotifera dan udang-udangan kecil memangsa fitoplankton. Zooplankton dimakan
oleh ikan-ikan kecil. Ikan kecil dimangsa oleh ikan yang lebih besar, kemudian ikan
besar dimangsa ular, kura-kura, dan burung pemakan ikan.

9
c)      Daerah profundal
Daerah ini merupakan daerah yang dalam, yaitu daerah afotik danau. Mikroba dan
organisme lain menggunakan oksigen untuk respirasi seluler setelah mendekomposisi
detritus yang jatuh dari daerah limnetik. Daerah ini dihuni oleh cacing dan mikroba.

d)     Daerah bentik
Daerah ini merupakan daerah dasar danau tempat terdapatnya bentos
dan sisa-sisa organisme mati.

Gambar 13. Empat Daerah Utama Pada Danau Air Tawar


Danau juga dapat dikelompokkan berdasarkan produksi materi organik-nya,
yaitu sebagai berikut :

a.       Danau Oligotropik
Oligotropik merupakan sebutan untuk danau yang dalam dan 
kekurangan makanan, karena fitoplankton di daerah limnetik tidak 
produktif. Ciricirinya, airnya jernih sekali, dihuni oleh sedikit organisme,
dan di dasar air banyak terdapat oksigen sepanjang tahun.

10
b.      Danau Eutropik
Eutropik merupakan sebutan untuk danau yang dangkal dan kaya akan
kandungan makanan, karena fitoplankton sangat produktif. Ciri-cirinya
adalah airnya keruh, terdapat bermacam-macam organisme, dan 
oksigen terdapat di daerah profundal.
Danau oligotrofik dapat berkembang menjadi danau eutrofik akibat adanya materi-
materi organik yang masuk dan endapan. Perubahan ini juga dapat dipercepat oleh
aktivitas manusia, misalnya dari sisa-sisa pupuk buatan pertanian dan timbunan
sampah kota yang memperkaya danau dengan buangan sejumlah nitrogen dan fosfor.
Akibatnya terjadi peledakan populasi ganggang atau blooming,sehingga terjadi
produksi detritus yang berlebihan yang akhirnya menghabiskan suplai oksigen di
danau tersebut.
Pengkayaan danau seperti ini disebut "eutrofikasi". Eutrofikasi membuat air
tidak dapat digunakan lagi dan mengurangi nilai keindahan danau.

2.     Sungai
Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah. Air sungai dingin dan
jernih serta mengandung sedikit sedimen dan makanan. Aliran air dan gelombang
secara konstan memberikan oksigen pada air. Suhu air bervariasi sesuai dengan
ketinggian dan garis lintang.
Komunitas yang berada di sungai berbeda dengan danau. Air sungai yang mengalir
deras tidak mendukung keberadaan komunitas plankton untuk berdiam diri, karena
akan terbawa arus. Sebagai gantinya terjadi fotosintesis dari ganggang yang melekat
dan tanaman berakar, sehingga dapat mendukung rantai makanan.

11
c.      Ekosistem air laut
Ekosistem air laut dibedakan atas lautan, pantai, estuari, dan terumbu karang.

1.     Laut
Habitat laut (oseanik) ditandai oleh salinitas (kadar garam) yang tinggi dengan ion
CI- mencapai 55% terutama di daerah laut tropik, karena suhunya tinggi dan
penguapan besar. Di daerah tropik, suhu laut sekitar 25°C. Perbedaan suhu bagian
atas dan bawah tinggi. Batas antara lapisan air yang panas di bagian atas dengan air
yang dingin di bagian bawah disebut daerah termoklin.
Di daerah dingin, suhu air laut merata sehingga air dapat bercampur, maka daerah
permukaan laut tetap subur dan banyak plankton serta ikan. Gerakan air dari pantai ke
tengah menyebabkan air bagian atas turun ke bawah dan sebaliknya, sehingga
memungkinkan terbentuknya rantai makanan yang berlangsung balk. Habitat laut
dapat dibedakan berdasarkan kedalamannya dan wilayah permukaannya secara
horizontal.

1. Menurut kedalamannya, ekosistem air laut dibagi sebagai berikut.


a.     Litoral merupakan daerah yang berbatasan dengan darat.
b.   Neretik merupakan daerah yang masih dapat ditembus cahaya matahari
sampai bagian dasar dalamnya ± 300 meter.
c.     Batial merupakan daerah yang dalamnya berkisar antara 200-2500 m
d.   Abisal merupakan daerah yang lebih jauh dan lebih dalam dari pantai
(1.500-10.000 m).

2. Menurut wilayah permukaannya secara horizontal, berturut-turut dari tepi laut


semakin ke tengah, laut dibedakan sebagai berikut.
a.       Epipelagik merupakan daerah antara permukaan dengan kedalaman
air sekitar 200 m.
b.      Mesopelagik merupakan daerah dibawah epipelagik dengan kedalam
an 200-1000 m. Hewannya misalnya ikan hiu.

12
c.       Batiopelagik merupakan daerah lereng benua dengan kedalaman
200-2.500 m. Hewan yang hidup di daerah ini misalnya gurita.
d.      Abisalpelagik merupakan daerah dengan kedalaman mencapai 
4.000m; tidak terdapat tumbuhan tetapi hewan masih ada. Sinar 
matahari tidak mampu menembus daerah ini.
e.       Hadal pelagik merupakan bagian laut terdalam (dasar). Kedalaman
lebih dari 6.000 m. Di bagian ini biasanya terdapat lele laut dan 
ikan Taut yang dapat mengeluarkan cahaya. Sebagai produsen di 
tempat ini adalah bakteri yang bersimbiosis dengan karang 
tertentu.
Di laut, hewan dan tumbuhan tingkat rendah memiliki tekanan osmosis sel yang
hampir sama dengan tekanan osmosis air laut. Hewan tingkat tinggi beradaptasi
dengan cara banyak minum air, pengeluaran urin sedikit, dan pengeluaran air dengan
cara osmosis melalui insang. Garam yang berlebihan diekskresikan melalui insang
secara aktif.

      2.     Ekosistem pantai


Ekosistem pantai letaknya berbatasan dengan ekosistem darat, laut, dan daerah
pasang surut. Ekosistem pantai dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut laut.
Organisme yang hidup di pantai memiliki adaptasi struktural sehingga dapat melekat
erat di substrat keras. Daerah paling atas pantai hanya terendam saat pasang naik
tinggi. Daerah ini dihuni oleh beberapa jenis ganggang, moluska, dan remis yang
menjadi konsumsi bagi kepiting dan burung pantai.
Daerah tengah pantai terendam saat pasang tinggi dan pasang rendah. Daerah
ini dihuni oleh ganggang, porifera, anemon laut, remis dan kerang, siput herbivora
dan karnivora, kepiting, landak laut, bintang laut, dan ikan-ikan kecil. Daerah pantai
terdalam terendam saat air pasang maupun surut. Daerah ini dihuni oleh beragam
invertebrata dan ikan serta rumput laut.
Komunitas tumbuhan berturut-turut dari daerah pasang surut ke arah darat
dibedakan sebagai berikut.

13
1.      Formasi pes caprae
Dinamakan demikian karena yang paling banyak tumbuh di gundukan pasir
adalah tumbuhan Ipomoea pes caprae yang tahan terhadap hempasan gelombang dan
angin; tumbuhan ini menjalar dan berdaun tebal. Tumbuhan lainnya adalah Spinifex
littorius(rumput angin), Vigna, Euphorbia atoto, dan Canaualia martina. Lebih ke
arah darat lagi ditumbuhi Crinum asiaticum (bakung),Pandanus tectorius (pandan),
dan Scaeuola Fruescens (babakoan).

2.       Formasi baringtonia
Daerah ini didominasi tumbuhan baringtonia, termasuk di dalamnya Wedelia,
Thespesia, Terminalia, Guettarda, dan Erythrina.
Bila tanah di daerah pasang surut berlumpur, maka kawasan ini berupa hutan
bakau yang memiliki akar napas. Akar napas merupakan adaptasi tumbuhan di daerah
berlumpur yang kurang oksigen. Selain berfungsi untuk mengambil oksigen, akar ini
juga dapat digunakan sebagai penahan dari pasang surut gelombang. Yang termasuk
tumbuhan di hutan bakau antara lain Nypa, Acathus, Rhizophora, dan Cerbera.
Jika tanah pasang surut tidak terlalu basah, pohon yang sering tumbuh
adalah: Heriticra, Lumnitzera, Acgicras, dan Cylocarpus.

      3.      Estuari
Estuari (muara) merupakan tempat bersatunya sungai dengan laut. Estuari
sering dipagari oleh lempengan lumpur intertidal yang luas atau rawa garam. Salinitas
air berubah secara bertahap mulai dari daerah air tawar ke laut. Salinitas ini juga
dipengaruhi oleh siklus harian dengan pasang surut aimya. Nutrien dari sungai
memperkaya estuari. Komunitas tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput
rawa garam, ganggang, dan fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai
cacing, kerang, kepiting, dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut dan ikan
laut yang menjadikan estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk menuju
habitat air tawar. Estuari juga merupakan tempat mencari makan bagi vertebrata semi
air, yaitu unggas air. 

14
     4.        Terumbu karang
Di laut tropis, pada daerah neritik, terdapat suatu komunitas yang khusus yang
terdiri dari karang batu dan organisme-organisme lainnya. Komunitas ini disebut
terumbu karang. Daerah komunitas ini masih dapat ditembus cahaya matahari
sehingga fotosintesis dapat berlangsung.
Terumbu karang didominasi oleh karang (koral) yang merupakan kelompok
Cnidaria yang mensekresikan kalsium karbonat. Rangka dari kalsium karbonat ini
bermacammacam bentuknya dan menyusun substrat tempat hidup karang lain dan
ganggang. Hewan-hewan yang hidup di karang memakan organisme mikroskopis dan
sisa organik lain. Berbagai invertebrata, mikro organisme, dan ikan, hidup di antara
karang dan ganggang. Herbivora seperti siput, landak laut, ikan, menjadi mangsa bagi
gurita, bintang laut, dan ikan karnivora

A. KEANEKARAGAMAN HAYATI LAUT

Keanekaragaman hayati sekarang sering didefinisikan sebagai berbagai


kehidupan dalam gen, spesies dan habitat. [Menurut definisi Konvensi
Keanekaragaman Hayati, keanekaragaman hayati adalah variabilitas di antara
organisme hidup dari semua sumber, termasuk antara lain, darat, laut dan ekosistem
air lainnya dan kompleks ekologi yang mereka adalah bagian; mencakup
keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies dan ekosistem.
Tiga domain kehidupan, bakteri, archaea dan eukariot yang hadir di
lingkungan laut. Selain itu ada virus. Sekitar 230.000 spesies tumbuhan laut dan
hewan telah dijelaskan secara ilmiah dan beberapa ribu bakteri dan archaea.
Keanekaragaman hayati yang dikenal ini hanya mewakili sebagian kecil dari jumlah
spesies yang ada, kecuali untuk tumbuhan dan lamun yang hidup di lingkungan
pesisir dan, secara umum, untuk lingkungan pelagis.
Keragaman spesies dalam lingkungan pelagis laut sangat rendah. Jumlah
spesies di atas 200 meter (m) dari lingkungan laut pelagis terkenal dengan empat
kelompok hewan, Euphausicacea, Chaetognatha, Pteropoda dan Copepoda, yang

15
mendominasi biomassa di mana-mana. Hanya ada 80 spesies euphausiida, 50 dari
chaetognaths, sekitar 40 dari pteropods dan kurang dari 2000 untuk kelompok yang
paling beragam, copepoda calanoid. Data ini didasarkan pada lebih dari 20.000
TOWS bersih dan, meskipun spesies baru tentu akan terus ditemukan, jelas bahwa
pelagis keanekaragaman hayati adalah perintah lain dari kedua keanekaragaman
bentik darat dan laut.
Ini rendahnya jumlah (hewan) spesies ini berbeda mencolok dengan
keanekaragaman hewan dalam sedimen. Sekitar 200.000 spesies saat ini diketahui
dari lingkungan bentik. Sebagian besar dari mereka telah dijelaskan dari terumbu
karang, dan hanya sekitar 60.000 yang diketahui dari habitat bawah lembut yang
menutupi sebagian besar permukaan bumi. Spesies bentik dari perairan dangkal
beriklim Eropa cukup terkenal, terutama di makro yang lebih besar dan megafauna.
Para meiofauna kecil (hewan-mm ukuran) digambarkan kurang baik dan, sebagai
contoh, survei dari benthos di Laut Utara pada tahun 1986 menghasilkan sekitar 40%
dari spesies copepoda bentik baru bagi ilmu pengetahuan.
Untuk kedua hewan dan mikroba, eksplorasi lingkungan yang sulit diakses,
seperti lantai laut dalam atau gua laut, dan penerapan teknologi baru, terus
menghasilkan spesies baru dan kategori taksonomi yang lebih tinggi, bahkan sampai
ke tingkat filum. Terutama ketersediaan teknologi sequencing cepat menunjukkan
bahwa variabilitas dalam domain mikroba, termasuk eukariota kecil, sangat tinggi
dan bahwa puluhan ribu ‘spesies’ mungkin co-terjadi dalam satu liter tunggal air laut.
Kehidupan berasal di laut dan jauh lebih tua di laut daripada di darat. Sebagai
konsekuensi, hewan dan keanekaragaman tumbuhan pada tingkat taksonomi yang
lebih tinggi jauh lebih besar di laut di mana ada 14 endemik (unik) filum hewan
sedangkan hanya 1 filum endemik tanah. Untuk tanaman situasi tampaknya berbeda-
hampir semua kelompok alga memiliki perwakilan di kedua perairan tawar dan laut
dan tanaman yang lebih tinggi hampir secara eksklusif terestrial. Ada juga keragaman
yang luar biasa dari strategi riwayat hidup dalam organisme laut. Jumlah total sumber
daya genetik dan keragaman fisiologis di laut karena itu diharapkan akan jauh lebih
beragam daripada di darat.

16
Keanekaragaman habitat dan jumlah habitat laut sulit untuk menentukan. Studi zonasi
telah biasanya menunjukkan adanya zona yang sangat sempit di daerah intertidal, di
mana pengamatan langsung mungkin, dan zona yang lebih luas dan lebih luas sebagai
salah satu pergi lebih dalam. Namun, diakui bahwa hal ini disebabkan kemungkinan
kita terbatas pengamatan dan dengan meningkatnya kemampuan teknologi,
diskontinuitas halus yang terungkap bahkan dalam kolom air. Selain band zonasi,
sejumlah habitat yang sangat spesifik sering dikaitkan dengan aktivitas tektonik telah
ditemukan selama dekade terakhir, dimulai dengan ventilasi hidrotermal pada tahun
1977 dan diikuti tahun kemudian oleh rembesan dingin gas dan cairan, gundukan
karbonat, gunung lumpur, dll . sonar Multibeam telah memungkinkan jauh lebih rinci
analisis dasar laut menunjukkan fitur halus dalam sedimen yang sebelumnya
dianggap lebih seragam, atau topologi sangat kompleks ngarai laut di lereng benua.
Dengan meningkatnya potensi pengamatan, jumlah habitat laut di berbagai skala yang
berbeda tentu akan meningkat, dan, sebagai habitat ini sering mengandung spesies
yang secara khusus disesuaikan dengan kondisi lingkungan mereka, sehingga akan
keanekaragaman spesies.

1.2 Kegunaan Keanekaragaman Hayati Perairan


Manfaat keanekaragaman hayati mencangkup antara lain: jasa lingkungan,
nilai ekonomi dan kegunaan yang diberikan oleh keanekaragaman hayati pesisir dan
laut telah menopang lebih dari 60 persen penduduk Indonesia yang bermukim di
wilayah pesisir baik secara langsung maupun tidak langsung. Keanekaragaman hayati
pesisir dan laut telah menjadi sumber penghidupan dan pekerjaan bagi jutaan
penduduk Indonesia. Banyak studi yang telah dilakukan yang mengkonfirmasi hal ini.
Beberapa hasil kajian yang memperkirakan manfaat keanekaragaman dan ekosistem
pesisir dan laut adalah sebagai berikut:

17
1. Nilai kegunaan dan non kegunaan hutan mangrove di Indonesia US$ 2,3
miliar per tahun (GEF/UNDP/IMO 1999)
2. Nilai ekonomi terumbu karang Indonesia diperkirakan sekitar US$ 567 juta
(GEF/UNDP/IMO 1999)
3. Nilai padang lamun sebesar US$ 3.858,91/ha/tahun (Bapedal dan PKSPL-IPB
1999)
4. Nilai ekologi dan ekonomi sumberdaya rumput laut di Indonesia sekitar US$
16 juta (GEF/UNDP/IMO 1999)
5. Nilai manfaat ekonomi potensi sumberdaya ikan laut di Indonesia sebesar
US$ 15,1 miliar (Dahuri 2002)

Keanekaragaman hayati dan ekosistem pesisir dan laut di samping


memberikan manfaaat dari sumberdaya dan jasa lingkungannya terhadap
penghidupan masyarakat pesisir, juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan
iklim serta penyerapan karbon yang merupakan kontributor perubahan iklim.
Keanekaragaman hayati pesisir dan laut beserta ekosistemnya berperan dalam
menjaga keseimbangan penyerapan karbon. Kemampuan penyeimbang ini mulai
terganggu dengan semakin banyaknya gas rumah kaca (GRK) hasil kegiatan manusia
(anthropogenic) yang pada akhirnya diserap oleh laut dan ekosistemnya. Tanpa ada
upaya pengurangan emisi GRK, dipastikan dalam beberapa dekade mendatang
ekosistem pesisir dan laut berkurang secara signifikan. Hal ini berarti akan
memberikan dampak ikutan terhadap masyarakat pesisir serta biota dan ekosistem
laut dan pesisir lainnya.
Berpijak pada kemampuan ekosistem laut dan pesisir menjaga keseimbangan
penyerapan karbon serta potensi pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), Program
Lingkungan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNEP) bekerjasama dengan Badan Pangan
Dunia (FAO) dan Badan Pendidikan dan Pengetahuan (UNESCO) memperkenalkan
konsep Karbon Biru (Blue Carbon) dalam Laporan Blue Carbon – The Role of
Healthy Oceans in Binding Carbon. Laporan ini telah diluncurkan pada 14 Oktober
2009  pada Diversitas Conference, Cape Town Conference Centre, South Africa.

18
Laporan ini menggambarkan alur emisi karbon dan estimasi kemampuan ekosistem
laut dan pesisir dalam menyerap karbon dan gas rumah kaca. Hal ini juga sejalan
dengan amanat Manado Ocean Declaration (MOD) yang dideklarasikan tahun 2009
serta sebagai upaya mengendalikan dampak perubahan iklim.
Karbon Biru (Blue Carbon) adalah sebuah konsep yang membuktikan peran
keanekaragaman hayati pesisir dan laut beserta ekosistemnya yang didominasi oleh
vegetasi laut seperti hutan mangrove, padang lamun, rawa payau serta rawa masin
(salt marshes) dalam mendeposisi karbon. Keanekaragaman hayati pesisir dan laut
beserta ekosistemnya diyakini mampu menjadi garda penyeimbang bersama hutan
(Green Carbon) untuk mengurangi laju emisi melalui penyerapan karbon.
Kajian awal yang dilakukan para peneliti di Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengidentifikasikan potensi laut
Indonesia yang memiliki kemampuan menyerap karbon sebesar 0.3 giga ton karbon
per tahun. Riset ini dilakukan dengan memanfaatkan data satelit kandungan
fitoplankton (klorofil dan suhu air laut) di laut Indonesia untuk mengestimasi
kandungan karbon yang terserap. Riset ini tentunya masih harus diverifikasi melalui
kajian lapangan (in-situ) serta memperhitungkan komponen lainnya seperti interaksi
atmosfir dan laut (solubility pump). Langkah ini hendaknya menjadi pemicu dan
pemacu untuk melakukan riset lanjutan tentang peran penting laut sebagai pengendali
perubahan iklim. Satu hal yang harus diacu adalah Indonesia dengan
kenanekaragaman hayati dan luasan ekosistem pesisir dan laut yang begitu besar,
berpotensi memberikan kontribusi dalam menjaga dinamisator laut dalam perubahan
iklim. Menjaga kelestarian keanekaragaman hayati pesisir dan laut beserta
ekosistemnya berarti menjaga kelestarian dan kemampuan ekosistem laut dan pesisir
sebagai dinamisator iklim global.

19
1.3 Ancaman dan Faktor Penyebab Kerusakan Keanekaragaman hayati Di
Indonesia

Pada akhir abad XX ini, limbah kegiatan industri dikatakan telah mengancam
seluruh.negeri. Hal ini disebabkan karena melalui mekanisme alam seperti tiupan
angin, aliran air sungai, daya rambat di tanah melalui difusi limbah tersebut dapat
menyebar ke mana-mana.
Buangan di perairan menyebabkan masalah kehidupan biota dalam bentuk keracunan
bahkan kematian. Gangguan terhadap biota perairan telah menimbulkan dampak
penurunan kualitas dan kuantitas biota perairan (ikan dan udang). Kelebihan pupuk
yang dialirkan ke rawa atau ke danau dapat menimbulkan suburnya enceng gondok.
Selain itu, erosi lumpur yang terbawa ke laut kemudian diendapkan mengakibatkan
tertutupnya permukaan karang yang pada akhirnya menyebabkan kematian karang.
Akibat pencemaran itu  kehidupan dalam air dapat terganggu dengan  mematikan
binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan dalam air karena oksigen yang terlarut
dalam air  akan habis dipakai untuk dekomposisi aerobik dari zat-zat organik yang
banyak terkandung dalam air buangan.
Pencemaran yang tidak disebabkan oleh sifat racun dari bahan-bahan pencemar
adalah :
1. Kandungan lumpur yang meningkat di dalam air mengurangi jumlah cahaya
yang masuk yang diperlukan untuk berfotosintesis. Unsur hara yang masuk
berlebihan ke ekosistem perairan dapat menyebabkan pertumbuhan yang
sangat cepat dari algae atau tanaman air, sehingga menyebabkan
berkurangnya bentuk kehidupan lainnya seperti ikan dan kerang-kerangan.
2. Buangan air panas meskipun tidak langsung membunuh biota air, dapat
merubah kondisi dari lingkungan hidupnya. Akibatnya, satu jenis akan
tumbuh dan berkembang lebih cepat sedang yang lain justru dapat terhambat.
Kelakuan ikan yang selalu berpindah (migration) dapat berubah disebabkan
adanya perubahan suhu yang relatif cepat pada jarak yang pendek.

20
3. Lumpur erosi sebagai akibat pengelolaan tanah yang kurang baik  dapat
diendapkan di pantai-pantai dan mematikan kehidupan karang atau merusak
tempat berpijak biota perairan.
4. Senyawa organik di dalam proses penguraiannya dapat mengambil zat asam
dari air terlalu banyak, sehingga membahayakan kehidupan di tempat itu.
5. Air sungai yang mengalir berlebihan ke perairan pantai dapat membentuk
lapisan yang menghalangi pertukaran massa air dengan lapisan air yang lebih
subur dari bawah.

Pencemaran limbah ke lingkungan perlu diperhatikan dan diantisipasi dengan


baik, lebih-lebih terhadap air sungai, karena air sungai dipakai penduduk untuk
berbagai keperluan. Pencemaran sungai oleh air buangan ditinjau dari sudut
mikrobiologi antara lain : pencemaran bakteri patogen dan non patogen serta bahan
organik. Banyaknya bahan organik akan merangsang pertumbuhan mikroorganisme
menjadi pesat. Hal ini mengakibatkan pemakaian oksigen akan cepat dan meningkat,
akibatnya kadar oksigen terlarut dalam air akan menipis dan menjadi sedikit sekali,
yang akhirya mengakibatkan mikroorganisme dan organisme air lainnya yang
memerlukan oksigen mati. Ekologi air akan berubah drastis. Keadaan menjadi
anaerobik, sehingga air sungai busuk, dan tidak sehat bagi pertumbuhan
mikroorganisme flora dan fauna air itu. Lingkungan hidup yang demikian ini sudah
rusak dan tidak layak lagi bagi kebutuhan hidup kita.

Penanggulangan Pencemaran Air


Penanggulangan dan usaha pemecahan masing-masing masalah tentu harus berbeda.
Sebagai contoh misalnya:
1. Usaha reboisasi atau penghijauan serta pengelolaan daerah air sungai (DAS)
untuk mengurangi intensitas dan volume erosi.
2. Pembatasan penangkapan dengan berbagai cara (musim penangkapan, mata
jaring, jenis alat-alat penangkapan tertentu dan lain-lain).

21
3. Pengaturan dan pembatasan bahan-bahan pembuangan industri dengan segala
sanksinya bagi masalah pencemaran laut dan wilayah pesisir pantai.
4. Memonitor segala perubahan komposisi biotik dan abiotik dan ekosistem laut
yang menunjukkan telah terjadinya pencemaran, kerusakan, dan gangguan.

Selain cara penanggulangan yang telah disebutkan di atas, kita juga dapat
melakukan penanggulangan lain seperti di bawah ini:
1. Menjaga kelangsungan ketersediaan air dengan tidak merusak atau
mengeksploitasi sumber mata air agar tidak tercemar.
2. Tidak membuang sampah ke sungai. Hal ini dapat dikarenakan tidak adanya
fasilitas pembuangan sampah yang layak dan mencukupi terutama di kota-
kota besar. Sering kita melihat penumpukan sampah di daerah-daerah yang
bukan merupakan tempat pembuangan sampah.
3. Menciptakan tempat pembuangan sampah yang cukup dan memadai. Hal ini
mutlak dilakukan agar sistem pembuangan sampah dapat berjalan dengan
baik dan lancar. Sampah menjadi kontribusi tertinggi dalam pencemaran air.
Jika masalah sampah dapat segera teratasi maka pencemaran air pun juga
akan teratasi dengan cepat.
4. Mengurangi intensitas limbah rumah tangga.
5. Melakukan penyaringan limbah pabrik sehingga yang nantinya bersatu
dengan air sungai bukanlah limbah jahat perusak ekosistem. Hal ini telah
diregulasi oleh pemerintah. Ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam
mengatasi pencemaran ini. namun komitmen seluruh perusahaan penyumbang
limbah ini juga sangat dibutuhkan agar semua pihak dapat turut menjaga
kelestarian lingkungan yang ada.
6. Pembuatan sanitasi yang benar dan bersih agar sumber-sumber air bersih
lainnya tidak tercemar.

22
Sedangkan untuk menyikapi pencemaran air, dapat dilakukan beberapa cara
sebagai berikut:
1. Program pengendalian pencemaran dan pengrusakan lingkungan
2. Mengurangi beban pencemaran badan air oleh indutri dan domestik.
3. Mengurangi beban emisi dari kendaraan bermotor dan industri.

Program rehabilitasi dan konservasi SDA dan lingkungan hidup


1. Mengoptimalkan pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis.
2. Menanggulangi kerusakan lahan bekas pertambangan, TPA, dan bencana.
3. Meningkatkan konservasi air bawah tanah.
4. Rehabilitasi dan konservasi keanekaragaman hayati.

Untuk menekan dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran air ini kita dapat
melakukan usaha pencegahan pencemaran air. usaha pencegahan pencemaran air ini
bukan merupakan proses yang sederhana, tetapi melibatkan berbagai faktor sebagai
berikut:
1. Air limbah yang akan dibuang ke perairan harus diolah lebih dahulu sehingga
memenuhi standar air limbah yang telah ditetapkan pemerintah.
2. Menggunakan bahan yang dapat mencegah dan menyerap minyak yang
tumpah di perairan.
3. Tidak membuang air limbah rumah tangga langsung ke dalam perairan. Hal
ini untuk mencegah pencemaran air oleh bakteri.
4. Limbah radioaktif harus diproses dahulu agar tidak mengandung bahaya
radiasi dan barulah dibuang di perairan.
5. Mengeluarkan atau menguraikan deterjen atau bahan kimia lain dengan
menggunakan aktifitas mikroba tertentu sebelum dibuang ke dalam perairan
umum.
6. Semua ketentuan di atas bila tidak dapat dipenuhi dapat dikenakan sanksi.

23
Banyak cara yang dilakukan pemerintah untuk menangani pencemaran air
bersih ini. namun semua itu tidak ada artinya bila kita sendiri sebagai masyarakat
tidak mendukung teciptanya lingkungan yang bersih dan nyaman. Semua itu
tergantung pada kesadaran kita masing-masing untuk menjaga lingkungan. Kita dapat
menanamkan sikap cinta lingkungan sejak dini di lingkungan keluarga. misalnya saja
melakukan kerja bakti membersihkan rumah sebulan sekali, mencontohkan langsung
kepada anak bahwa kita harus membuang sampah di tempatnya, jangan menggunakan
air lebih dari kebutuhan, mengajarkan kepada anak untuk menanam tanaman di
sekitar rumah.
Selain itu kita juga dapat membuat daerah resapan air di sekitar rumah dengan
cara membuat lubang-lubang kecil di sekitar rumah yang kemudian di isi dengan
sampah organik seperti daun-daun kering sehingga nantinya akan menjadi kompos
dan dapat menambah unsur hara di dalam tanah. Selain itu juga dapat meningkatkan
aktivitas organisme yang ada di dalam tanah seperti cacing untuk membuat ruang
resapan air. Dengan begitu air yang tertampung akan semakin banyak dan diharapkan
kualitas air akan bertambah. Tindakan yang nyata akan lebih berguna daripada hanya
ceramah tanpa diimbangi dengan perbuatan.

24
BAB II
KAWASAN KONSERVASI PEFRAIRAN

2.1 Pengertian Konservasi

Konservasi berasal dari kata con atau bisa diartikan sebagai together atau bersama
sama; dan servare atau keep/save yang berarti menjaga; berdasarkan kata tersebut,
maka konservasi diartikan sebagai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save
what you have), namun secara bijaksana (wise use). Konservasi dalam pengertian
sekarang, sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource atau
pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana.

Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi, yaitu :

a. konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam


untuk sekarang.

b. segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan
masa yang akan datang.

Beberapa pengertian konservasi lainnya adalah sebagai berikut:

 Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme


hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia
yang meningkat termasuk dalam kegiatan survai, penelitian, administrasi,
preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan (IUCN, 1968).

25
 Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga
dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat
diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980).

 Rijksen (1981), konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana


pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang.

 Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi


keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama
(American Dictionary).

 Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang


optimal secara sosial (Randall, 1982).

Definisi Kawasan Konservasi Perairan

Kawasan konservasi perairan (KKP) didefinisikan sebagai kawasan perairan


yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan
sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.

Pengertian KKP menurut UU 31/2004 tentang Perikanan beserta


perubahannya (UU 45/2009) dan PP 60/2007 tentang konservasi sumberdaya ikan,
paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam
pengelolaan konservasi. Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem ZONASI.
Ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam KKP yakni: zona
inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona
perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan

Kawasan konservasi menurut UU 5/1990 dan PP 68/1998. Kedua, dalam hal


kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan

26
pemerintah pusat. Berdasarkan undang-undang 27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen
Men KP No.02/2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola
kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU 32/2004
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.12/2008 tentang pemerintahan
daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.

Pengertian KKP menurut IUCN – The Conservation Union, adalah sebagai


suatu area atau daerah di kawasan pasang surut beserta kolom air di atasnya dan flora
dan fauna serta lingkungan budaya dan sejarah yang ada di dalamnya, yang diayomi
oleh undang-undang untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan yang
tertutup.

KKP menurut UU 27/2007 adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil


dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.

1.2 Pentingnya Konservasi Bagi Kesinambungan Sumberdaya Perikanan

Kawasan konservasi perairan (KKP) merupakan suatu kawasan yang


berfungsi untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang terdapat di dalam
kawasan tersebut dari berbagai gangguan. Berbagai gangguan terhadap KKP yang
terjadi semakin meningkat dalam beberapa tahun belakangan ini, baik gangguan dari
alam maupun dari aktivitas kegiatan manusia. Salah satu langkah yang nyata dalam
mengurangi berbagai gangguan tersebut adalah dengan melakukan penetapan KKP
disetiap daerah. KKP ini sendiri berdasarkan tipe ekosistem terbagi atas 3 yaitu KKP
tawar, KKP payau dan KKP laut/KKL (kawasan konservasi laut). Saat ini
pemerintah sedang menggiatkan pembukaan KKL disetiap daerah yang ada di seluruh
Indonesia, dengan target yang ingin dicapai adalah 10 juta ha di tahun 2010 dan target
tersebut terlampaui, dimana pada tahun 2009 KKL yang ada di seluruh Indonesia
mencapai 13,5 juta ha.

27
Menurut Mulyana, Y. (2006), beberapa alasan penting dalam penetapan
kawasan konservasi laut adalah sebagai berikut:

1. Perlindungan terhadap kelangsungan ekosistem pesisir laut dan pulaupulau


kecil dari berbagai ancaman baik dari alam maupun kegiatan manusia.

2. Perlindungan terhadap biota laut yang dilindungi dari ancaman kepunahan.

3. Menjaga kelestarian sumberdaya laut dari eksploitasi yang berlebihan.

4. Pemanfaatan aktivitas kegiatan yang tepat/sesuai dengan fungsi kawasan .

Berdasarkan bukti-bukti dari penutupan wilayah laut terbatas yang ada, baik
di daerah tropis maupun sub-tropis, KKP dan laut lindung bisa digunakan sebagai alat
yang efektif untuk mengungkapkan kebutuhan konservasi sebagai bagian dari
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Bahkan pada tingkat global,
tampaknya data statistik perikanan harus diinterpretasi dengan sangat hati-hati:
Watson R. & Pauly D. (2001) mengamati bahwa laporan statistik yang salah oleh
suatu negara dengan hasil perikanan besar, digabungkan dengan besar dan tingginya
fluktuasi hasil tangkapan spesies seperti perikanan teri di Peru dapat menyebabkan
kecenderungan laporan yang salah secara global. Kecendrungan seperti itu
mempengaruhi keputusan-keputusan penanaman modal yang tidak bijaksana oleh
perusahaan perikanan dan perbankan, serta menghambat efektifitas pengelolaan
perikanan internasional secara global.

28
Di seluruh dunia, luasan daerah perairan laut dilindungi sangat kecil. Saat ini
seluruh wilayah KKL hanya meliputi kurang dari setengah persen lautan di dunia,
sedikit yang sangat dilindungi dan 71% tidak ada pengelolaan yang aktif (Roberts
C.M. & J.P. Hawkins 2000). Beberapa dampak adanya KKP menurut Supyan dan
Gamal (2011) adalah sebagai berikut : (1) Wilayah perlindungan tertutup dapat
meningkatkan produksi anakan ikan sehingga dapat memperbaharui ikan di wilayah
penangkapan. (2) Wilayah perlindungan tertutup memungkinkan pergerakan induk
dan ikan muda ke dalam wilayah penangkapan. (3) Wilayah perlindungan tertutup
menyediakan tempat perlindungan bagi species yang lemah. (4) Wilayah
perlindungan tertutup dapat mencegah kerusakan habitat. (5) Wilayah perlindungan
tertutup dapat mendukung pengembangan komunitas biologi alami yang berbeda
dengan komunitas-komunitas yang terdapat di daerah tangkapan. (6) Wilayah
perlindungan tertutup membantu upaya pemulihan dari gangguan manusia dan alam.

Kawasan konservasi perairan yang terlindungi dengan baik, secara ekologis


akan mengakibatkan beberapa hal berikut terkait dengan perikanan, yaitu:

1. habitat yang lebih cocok dan tidak terganggu untuk pemijahan

induk.

2. Meningkatnya jumlah stok induk.

3. Ukuran (body size) dari stok induk yang lebih besar

4. Larva dan recruit hasil reproduksi lebih banyak.

Terdapat bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa melindungi daerah dari
penangkapan ikan membuat bertambahnya jumlah, besarnya ukuran, dan biomasa
dari jenis organisme yang dieksploitasi. Wilayah penyimpanan dan perlindungan laut
sering dikatakan hanya berlaku untuk lingkungan terumbu karang. Kenyataannya,
metode ini sudah berhasil diterapkan pada berbagai habitat di dalam lingkungan dari
kondisi tropis maupun sub-tropis. Penyimpanan dan perlindungan laut adalah suatu

29
alat yang bersifat global. (Roberts C.M. & J. P. Hawkins 2000). Tabel 1 di bawah ini
menunjukkan dampak terukur pada bidang perikanan di wilayah KKP.

Selain bagi perikanan, kawasan konservasi perairan juga memberikan


sumbangan penting di dalam pengelolaan dan pengembangan wisata alam (eko-
wisata), antara lain dalam hal perlindungan secara lebih baik terhadap habitat dan
ikan (jenis tertentu) membuat wilayah tersebut semakin menarik sebagai tujuan
ekowisata. Status kawasan konservasi perairan dan publikasi yang dihasilkan
biasanya juga akan meningkatkan profil suatu wilayah sebagai tujuan ekowisata.
Selanjutnya, melalui pengelolaan kawasan konservasi perairan, dampak negatif
kegiatan pariwisata dapat dikendalikan. Di sisi lain, pariwisata sering diharapkan
mampu menutup pembiayaan pengelolaan perikanan dan pemanfaatan lainnya. Nilai
penting kawasan konservasi bagi kepentingan ekonomi, khususnya dalam
pembangunan perikanan, telah dilakukan berbagai penelitian di beberapa Negara,
antara lain: peningkatan produksi telur di dalam kawasan konservasi laut hingga 10
kali lipat, Kelimpahan jumlah ikan di dalam kawasan konservasi laut hingga 2 sampai
9 kali lipat, peningkatan ukuran rata-rata ikan di dalam kawasan konservasi laut
antara 33 – 300 %, peningkatan keanekaragaman spesies di dalam kawasan
konservasi laut antara 30 – 50 %, dan peningkatan hasil tangkapan ikan di luar cagar
alam antara 40 – 90 % (Sumarja, 2002). Secara tidak langsung, kawasan konservasi
perairan dapat memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perekonomian
setempat dengan cara membuat wilayah tersebut menarik sebagai tujuan ekowisata.
Misalnya, di Wakatobi National Park, Operation Wallacea menawarkan kombinasi
riset dan wisata bawah air, yang memberikan sumbangan besar bagi perekonomian
masyarakat di pulau Hoga. Di Raja Ampat, setiap turis yang akan melakukan wisata
selam diwajibkan membayar kepada pemerintah daerah dan pendapatan ekstra ini
mendorong pemerintah daerah untuk membentuk jaringan Wilayah Perlindungan
Laut yang dapat menjaga kelestarian terumbu karang di Raja Ampat. Banyak
pemerintah daerah lainnya di Indonesia yang berpandangan bahwa pembentukan
Wilayah Perlindungan Laut sebagai langkah awal pengembangan ekowisata.

30
2.3 Kondisi Konservasi Sumberdaya Perikanan

a. Konservasi Sumberdaya Perikanan Era Tahun 1970 Secara formal


konservasi sumber daya ikan di Indonesia diawali pada tahun 1960 dan 1970 yaitu
ditandai dengan mulai berkiprahnya Indonesia di tingkat Internasional. Pada era ini,
konservasi di Indonesia bercermin pada mainstream konservasi global saat itu, yakni
melakukan upaya-upaya perlindungan terhadap jenis-jenis hewan dan tumbuhan
langka termasuk jenis-jenis ikan. Namun sebelum era ini, upaya-upaya
pengembangan konservasi kawasan juga telah dimulai sejak zaman penjajahan
Belanda (1640-1942), walaupun fokus pengembangannya masih pada kawasan
konservasi hutan. Kemudian setelah kemerdekaan di masa pemerintahan orde baru
(1968-1998), berkembang pula kawasankawasan konservasi, termasuk untuk wilayah
perairan.

b. Konservasi Sumberdaya Perikanan Era Tahun 1980

Perkembangan kawasan konservasi di era tahun 1980 dimulai sedikit lebih


maju dari pada era sebelumnya, dimana pengembangan konservasi di Indonesia tidak
hanya pada konservasi jenis dan kawasan saja, tetapi mulai masuk dala isu
keanekaragaman hayati. Hal ini sangat diperngaruhi juga oleh mainstream konservasi
global dengan hadirnya Convention of Biological Diversity (CBD) yang
memandatkan negaranegara anggotanya untuk melestarikan keanekaragaman jayati.
Namun sayang isu biodiversity ini masih mementingkan kepentingan perlindungan
aspek biologi dan lingkungannya saja, sedangkan masyarakat masih dianggap tidak
merupakan satu kesatuan dengan lingkungan yang dilestarikan.

31
c. Konservasi Sumber Daya Ikan Era Tahun 1990

Pada era ini, perkembangan konservasi sumber daya ikan di Indonesia mulai
berubah seiring perubahan mainstream konservasi global, yaitu masyarakat menuntut
agar tidak ada pembatasan akses terhaap kawasan-kawasan konservasi yang
ditetapkan. Pihak-pihak civil society mulai mengembangkan konsep-konsep
pengembangan konservasi yang juga mulai memperhatikan akses masyarakat
terhadap sumber daya alam baik yang berada di luar kawasan maupun di dalam
kawasan konservasi. Pengakuan hak-hak masyarakat menjadi salah satu tolak ukur

keberhasilan pembangunan konservasi di Indonesia. Kemudia di tingkat global pun


mulai banyak diperkenalkan metode pengelolaan sumber daya alam yang berbasis
mayarakat. Pada era ini kawasan konservasi laut (KKL) di Indonesia mulai
dikembangkan dengan nyata, walaupun tidak sebanyak kawasan konservasi hutan.
Namun, sayangnya pendekatan pengelolaan KKL yang ada, baik itu taman nasional
ataupun suaka alam yang saat itu dikembangkan oleh Departemen Kehutanan, masih
dilakukan dengan pendekatan yang bias dan darat dan juga sangat sentralistik.
Sehingga muncul berbagai gejolak yang menuntut peran Pemerintah Daerah semakin
diperbesar. Pada era tahun 1990 ini kemudian dikeluarkan Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang memberikan sebagian kewenangan
pengelolaan konservasi kepada Pemerintah Daerah.

Kemudian di akhir era ini (1990) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)
terbentuk yang pada saat itu bernama Departemen Eksplorasi Laut. DKP saat itu
mulai melakukan pembenahan-pembenahan termasuk didalamnya melakukan
pengembangan konsep konservasi laut yang memperhitungkan semua kepentingan
yang ada, mulai dari mengembangkan kawasan konservasi yang melibatkan

32
masyarakat, sampai pada konsep pengelolaan kawasan konservasi oleh Pemerintah
Daerah. Walaupun berdirinya DKP belum lama, namun DKP berupaya untuk
menjawab semua tantangan konservasi yang ada pada masa tersebut.

d. Konservasi Sumber Daya Ikan Era Tahun 2000 sampai sekarang

Pada era ini, mulai terjadi perubahan paradigma pembangunan, sejalan dengan
disyahkannya Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang
merupakan perubahan atas Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah, telah memperjelas pembagian wewenang ke Pemerintah Daerah yang
didalamnya termasuk urusan konservasi. Kemudian DKP mulai memperlihatkan
kepada masyarakat Indonesia bahwa pengelolaan kawasan konservasi merupakan hal
yang mungkin dilakukan oleh Pemerintah Daerah maupun masyarakat, sehingga
paradigma sentralistik mulai berkembang dalam pengelolaan KKP. DKP juga mulai
mengejar ketinggalan dari sektor kehutanan dalam mengembangkan KKL. Pada era
ini, Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, mendeklarasikan untuk menghasilkan
KKL seluas 10 juta Ha pada tahun 2010, yang saat itu dirasakan adalah janji yang
sangat ambisius. Namun perkembangannya sangat signifikan, sehingga pada bulan
Maret tahun 2006 di Brazil, Bapak Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono melalui
perwakilannya kembali mempertegas komitmen Indonesia dengan mendeklasrasikan
di depan sidang COP CBD bahwa Indonesia mentargetkan kawasan konservasi laut
seluas minimal 10 juta Ha pada tahun 2010 dan 20 juta Ha pada tahun 2020.
Deklarasi ini memacu DKP untuk lebih serius dalam menangani KKL di Indonesia.

Pada tingkat global juga mulai menekankan bahwa pengembangan KKL tidak
hanya mentargetkan luasnya kawasan, namun juga harus melakukan pengelolaan
efektif, yang dapat memberikan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, DKP juga harus
tetap memperhatikan keinginan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan KKL
Dareah (KKLD). Kemudian pada era ini pula, dengan disyahkannya UU No. 31/2004
yang saat ini menjadi UU No. 45/2009 tentang perikanan. Pada era ini juga disyahkan

33
pula UU No. 27/2007 yang didalamnya mengatur pula tentang konservasi di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Perkembangan kawasan konservasi perairan laut di
Indonesia, saat ini telah mencapai 13,95 Juta Hektar, luasan kawasan ini melebihi
target yang telah ditetapkan yakni 10 juta hektar tahun 2010. Angka tersebut
meningkat sekitar 400 ribu Ha dibandingkan dengan luas kawasan konservasi pada
tahun 2009 yang hanya mencapai 13,5 juta HaSelain perkembangan kawasan
konservasi yang melampaui target, pada tahun 2010 juga telah dikeluarkan Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor per.30/men/2010 tentang
rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi perairan. Dimana, dalam
peraturan tersebut dijelaskan mengenai rencana pengelolaan kawasan konservasi
perairan, zonasi kawasan konservasi perairan dan tata cara penyusunan rencana
pengelolaan kawasan konservasi perairan

2.4 Isu Dan Masalah Konservasi Di Indonesia

1. Lemahnya kapasitas sumberdaya manusia, kelembagaan dan pendanaan

Dalam pengelolaan konservasi sumberdaya ikan (KSDI) pada era


desentralisasi saat ini, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar
untuk mengelola SDI di wilayahnya. Kewenangan tersebut meliputi hak dalam
memanfaatkan, konservasi dan pengelolaan SDI, kewenangan pengaturan
administrasi, pengaturan tata ruang dan zonasi dan kewenangan menegakkan hukum.
Namun dalam kenyataannya, kapasitas kelembagaan dan SDM di daerah yang ada
belum memadai, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Hal ini menjadi
permasalahan di tingkat pusat, sehingga dalam upaya membangun, mengelola dan
mengembangkan KSDI, maka kapasitas kelembagaan dan SDM merupakan unsur
yang penting dan menjadi prioritas utama untuk ditingkatkan.

34
Pendanaan untuk pengembangan KSDI tidak cukup didapatkan dari dana
APBN, namun dibutuhkan upaya-upaya untuk mendapatkan model-model pendanaan
yang berkelanjutan bagi kawasan-kawasan konservasi.

2. Wilayah Repulik Indonesia yang sangat luas dan kaya SDI

Wilayah Republik Indonesia sangat luas dan kaya akan sumberdaya alam,
sehingga diperlukan upaya-upaya monitoring lapangan dan sosialisasi ke masyarakat.
Kendala yang biasanya dihadapi adalah luasnya wilayah, sehingga menyulitkan untuk
menjangkau wilayah-wilayah tersebut. Untuk itu, diperlukan pengembangan
teknologi informasi yang efektif yang selanjutnya dapat mendorong pengembangan
KSDI secara optimal.

3. Perubahan iklim dan pemanasan global

Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan ekosistem perairan


terutama ekosistem laut memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan panas
bumi. Fungsi ekologis yang diperankan laut juga signifikan untuk strategi mitigasi
dan adaptasi untuk perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini. Demikian pula
beberapa penelitian menunjukkan bahwa laut dapat memberikan sumbangan yang
signifikan dalam menyerap CO2 yang terlepas di alam. Terumbu karang yang
berasosiasi dengan biota lainnya juga padang lamun yang ada di pesisir dapat
menyerap karbon (CO2) yang kemudian diurai menjadi energi yang positif bagi alam
ini. dari uraian tersebut, maka fungsi dari kawasan konservasi laut tidak hanya
memberikan manfaat langsung bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya, tetapi juga
berperan langsung dalam menjaga keseimbangan suhu bumi.

35
4. Peningkatan perdagangan ikan-ikan langka

Peningkatan perdagangan ikan semakin meningkat seiring globalisasi. Tidak


hanya ikan-ikan konsumsi, namum jenis ikan yang tergolong terancam punah, langka,
endemik dan populasinya sedikit juga diperdagangkan. Ikan-ikan tersebut memiliki
nilai konservasi sangat tinggi, bahkan cukup banyak jenis-jenis ikan yang dilarang
diperdagangkan namun secara illegal terus diperdagangkan. Hal tersebut apabila tidak
dikendalikan tentu akan menyebabkan musnahnya suatu jenis ikan tertentu yang
selanjutnya akan memberikan dampak ketidakseimbangan ekosistem yang
mengganggu pengelolaan perikanan.

36
BAB III

KRITERIA ,ZONASI DAN PEMANFAATAN KAWASAN KONSERVASI


PERAIRAN

3.1 Kriteria Kawasan Konservasi Perairan

PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi


perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan &
Pemanfaatan Keterancaman (UU No. 5/1990) Kegunaan Beberapa pendekatan yang
digunakan :

1. Pendekatan jenis / spesies Pendekatan komunitas dan ekosistem


Pendekatan kawasan dan manusia

2. Penilaian kawasan konservasi berdasar Pedoman Penetapan Kriteria


Baku KKL yang dikeluarkan Ditjen PHPA (1995) :

 Keterwakilan

 Keaslian dan kealamian Keunikan

 Kelangkaan Laju kepunahan

 Keutuhan ekosistem Keutuhan sumberdaya

37
 Luasan kawasan Keindahan alam

 Kenyamanan Kemudahan pencapaian

 Nilai sejarah Kehendak politik - Aspirasi masyarakat

3 KRITERIA UMUM PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI Kriteria dalam


memilih calon lokasi konservasi:

1. Kriteria Ekologi,

2. Kriteria Sosial,

3. Kriteria Ekonomi,

4. Kriteria Regional,

5. Kriteria Pragmatik.

6.Kriteria Ekologi :

1. Keanekaragaman, varietas atau kekayaan (richness) ekosistem, habitat,


komunitas dan spesies.

2. Alamiah, yaitu ketidakadaan gangguan atau perusakan.

3. Ketergantungan, yaitu tingkatan yang mana suatu spesies tergantung pada


daerah yang ditempati, atau tingkatan yang mana suatu ekosistem tergantung
pada proses ekologis yang terjadi di daerah tersebut.

4. Perwakilan (Representativeness), tingkatan yang mana suatu daerah


mewakili suatu tipe habitat, proses ekologis, komunitas biologis, kondisi
fisiografis atau karakteristik alam lainnya.

38
5. Keunikan, sebagai contoh adalah habitat dari spesies langka yang terdapat
hanya di satu daerah.

6. lntegritas, yaitu tingkatan yang mana suatu daerah merupakan suatu unit
yang berfungsi atau efektif, mampu melestarikan ekologis sendiri.

7. Produktivitas, yaitu tingkatan yang mana proses produksi di dalam area


menyumbangkan keuntungan-keuntungan kepada spesies atau manusia.

8. Kerentanan (Vulnerability), yaitu kerentanan daerah terhadap kerusakan


oleh peristiwa alam atau aktivitas manusia.

7. Kriteria Sosial

1. Penerimaan masyarakat, yaitu tingkat dukungan masyarakat lokal.

2. Kesehatan masyarakat, yaitu tingkat kebersihan kawasan konservasi laut


dari pencemaran atau penyakit pada manusia.

3. Rekreasi, yaitu tingkatan yang mana area bisa digunakan untuk rekreasi
oleh masyarakat sekitar.

4. Budaya, yaitu nilai-nilai agama, sejarah, artistik atau nilainilai lainnya di


lokasi.

5. Estetika, yaitu panorama laut, daratan, atau lainnya.

6. Konflik kepentingan, daerah lindung akan memengaruhi kegiatan


masyarakat lokal.

39
7. Penyelamatan, yaitu terkait pada tingkat kebahayaan terhadap manusia dari
arus deras, ombak, rintangan/halangan dari dasar laut, gelombang dan
bahayabahaya lain.

8. Kemudahan, kemudahan yang dimaksud di sini adalah kemudahan lokasi


untuk dijangkau baik melalui darat maupun laut oleh para pengunjung,
mahasiswa, peneliti dan nelayan.

9. Penelitian dan pendidikan, terkait dengan kualitas pemanfaatan, yaitu area


yang mempunyai berbagai sifat ekologis dan dapat dimanfaatkan untuk
penelitian dan praktek kerja lapangan.

10. Kesadaran masyarakat, yaitu tingkatan yang terkait pada pemantauan,


penelitian, pendidikan atau pelatihan di dalam area, yang dapat memberikan
pengetahuan dan apresiasi nilai lingkungan dan tujuan konservasi.

11. Konflik dan kesesuaian, yaitu tingkatan yang terkait dengan manfaat area
dalam membantu memecahkan konflik antara nilai-nilai sumberdaya dan
aktivitas-aktivitas manusia, atau tingkatan yang sesuai atau cocok di antara
keduanya.

12.Petunjuk (Benchmark), tingkatan yang mana area dapat dijadikan sebagai


"lokasi kontrol" untuk penelitian ilmiah.

8.Kriteria Ekonomi

1. Kepentingan untuk spesies, tingkatan yang terkait pada nilai penting


spesies-spesies komersial tertentu yang ada di suatu area.

2. Kepentingan untuk perikanan, tergantung pada jumlah nelayan dan ukuran


hasil perikanan.

40
3. Ancaman alam, yaitu perubahan lingkungan yang mengancam nilai secara
keseluruhan bagi manusia.

4. Keuntungan ekonomi, upaya perlindungan akan mempengaruhi ekonomi


lokal jangka panjang.

5. Pariwisata, yaitu nilai potensi daerah yang ada saat ini untuk
pengembangan pariwisata.

3.2 Zonasi Kawasan Konservasi Perairan

Terkait dengan zonasi, suatu kawasan konservasi bisa dibedakan dalam dua
tipe, ialah: kawasan tanpa pemanfaatan dan kawasan dimana sebagian wilayah di
dalamnya bisa dimanfaatkan secara terbatas. Pada kasus yang pertama, kawasan
konservasi dikatakan hanya mempunyai satu zona, sedangkan kawasan kedua paling
tidak ada dua wilayah yang berbeda, zona dimana segala bentuk pemanfaatan
dilarang dan sebagian lagi dimana pemanfaatan terbatas masih memmungkinkan
untuk dilakukan.

Zona bisa didefinisikan sebagai suatu wilayah fungsional tertentu dengan


batas wilayah yang jelas dan mempunyai tujuan tertentu yang diimplementasikan
melalui aturan atau ketentuan tertentu. Sebagai contoh, wilayah larang-ambil yang
sudah kita diskusikan pada bab sebelumnya, ialah suatu wilayah yang mempunyai

41
tujuan fungsional untuk merpebaiki habitat dan stok ikan, dengan aturan pelarangan
untuk melakukan kegiatan pengambilan (ekstraktif). Zonasi bisa didefinisikan sebagai
usaha (termasuk teknik rekayasa) untuk membagi suatu wilayah pada kawasan
konservasi menjadi beberapa zona fungsional yang berbeda.

Istilah zonasi banyak digunakan dalam sistem penataan ruang, seperti


ketentuan pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 juga membahas zonasi khususnya di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Perairan laut kita dibagi paling tidak
menjadi 3 (tiga) wilayah administrasi yang berbeda, ialah: wilayah Administrasi
Kabupaten/Kotamadya sampai batas 4 mil pertama dari pantai, wilayah kewenangan
propinsi antara 4 – 12 mil dari pantai, dan wilayah kewenangan nasional yang berada
diluar wilayah 12 mil dari pantai. Contoh lain dari zonasi ialah Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur penangkapan ikan – istilah
jalur pada keputusan ini mempunyai pengertian yang hampir sama dengan zona.

Melalui ketentuan tersebut, wilayah penangkapan ikan di laut dibagi menjadi


4 (empat) jalur, ialah:

• Jalur Ia, ialah perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada saat
surut yang terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut;

• Jalur Ib, ialah perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6
(enam) mil laut;

• Jalur II, ialah meliputi perairan di luar Jalur Ia dan Ib, sampai dengan 12
(dua belas) mil laut ke arah laut dan

• Jalur III, ialah meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan II sampai
dengan batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI);

42
Penentuan zonasi atau jalur-jalur penangkapan ikan ini bertujuan untuk
mengatur kegiatan penangkapan ikan oleh berbagai jenis alat tangkap yang berbeda,
agar tidak terjadi tumpang tindih, dan untuk menjaga kelestarian stok sumber daya
ikan. Dengan demikian, dalam zonasi, paling tidak ada tiga hal dasar, ialah: wilayah
dengan batas yang jelas, tujuan dibentuknya zonasi, dan aturan dalam satu zona.

Konsep Zonasi Pada Kawasan Konservasi

Kawasan konservasi dibedakan dari kawasan lain di luarnya karena adanya


aturan pemanfaatan yang lebih ketat di dalam kawasan. Jenis aktifitas yang diatur
bisa dibedakan menjadi 4 (empat) kategori, ialah:

(1) penelitian non-ekstraktif,

(2) penelitian ekstraktif,

(3) kunjungan nonekstraktif, dan

(4) kunjungan ekstraktif.

Penelitian non-ekstraktif bisa dikatakan sebagai semua aktifitas penelitian


observatif dan pengukuran lainnya yang tidak menyebabkan kerusakan spesies atau
habitat pada kawasan. Penelitian ekstraktif, sebaliknya, bisa mengambil atau
membawa keluar objek penelitian dalam jumlah atau kisaran yang tidak
menyebabkan perubahan nyata pada kawasan. Kunjungan non-ekstraktif biasa
dilakukan melalui kegiatan eko-wisata atau pendidikan. Pada kegiatan ini, jumlah
kunjungan ke dalam kawasan relatif lebih besar dibandingkan dengan pada penelitian

43
non-ekstraktif maupun ekstraktif. Kunjungan ekstraktif ialah aktifitas dengan tujuan
untuk mengambil (terutama sumber daya) dari dalam kawasan – menangkap ikan di
dalam kawasan ialah termasuk salah satu kegiatan ekstraktif yang paling umum pada
Kawasan Konservasi Perairan. Suatu kawasan konservasi tertentu hanya
memungkinkan untuk melakukan aktifitas 1 dan 2 secara terbatas. Beberapa jenis
kawasan mengijinkan kegiatan 1 secara bebas, tapi kegiatan 3 memerlukan ijin
khusus. Sedangkan kawasan lainnya lebih difokuskan untuk menerima kegiatan 3
yang lebih banyak dibandingkan dengan kegiatan 4. Bisa juga, semua aktifitas dari 1
– 4 bisa dilakukan (dengan ijin), namun masing-masing sudah ditentukan pada zona
tertentu di dalam kawasan. Untuk tujuan ini, zonasi dalam kawasan konservasi
menjadi sangat penting dan vital dalam menerima kompromi antara kepentingan
perlindungan keanekaragaman hayati dan kebutuhan masyarakat untuk
memanfaatkan kawasan konservasi.

Setiap aktifitas pada masing-masing zona bisa diidentifikasi ke dalam salah


satu ketentuan berikut: tidak diijinkan, perlu ijin, atau tidak diperbolehkan. Ada
aktifitas tertentu yang tidak diijinkan untuk dilakukan pada salah satu zona,
sementara kegiatan tersebut diperbolehkan untuk dilakukan pada zona yang lain. Pada
zona tertentu, suatu kegiatan memerlukan ijin dari pengelola. Ijin diberikan sampai
batas frekuensi kegiatan tidak memberikan dampak perubahan pada kawasan. Ketika
frekeunsi atau intensitas suatu kegiatan sudah berdampak pada perubahan kawasan,
pengajuan ijin baru akan dihentikan dan status kegiatan menjadi tidak diijinkan.
Sebagai contoh, menyelam di Pulau Sipadan memerlukan ijin khusus dari pengelola
kawasan. Ijin pada awalnya diberikan setelah menyelam memenuhi beberapa aturan
dasar tertentu – penyelam ialah “certified diver” sampai tingkat advance-open water
dan mempunyai pengalaman menyelam lebih dari 20 jam. Ketika jumlah penyelam
mencapai jumlah 200 orang per hari, ijin dihentikan dan kegiatan tambahan
penyelaman tidak mendapat ijin.

44
Berbagai zona pada Kawasan Konservasi Perairan bisa dipahami melalui
model sederhana di atas. Pertama, zonasi mencakup pembagian wilayah dalam suatu
kawasan bagi peruntukkan yang berbeda. Artinya, setiap zona mempunyai ciri
walayah dengan batas yang jelas, dan peruntukkan fungsional dari wilayah tersebut.
Kedua, setiap zona mempunyai aturan pembatasan, limitations. Setiap aktifitas di
dalam suatu zona akan termasuk dalam ketentuan boleh, perlu ijin atau dilarang untuk
dilakukan. Sesuai dengan aturan pengelolaan, masing-masing zona sering diberi nama
tersendiri yang mencirikan status pengelolaan zona tersebut. Sebutan zona inti
ditujukan bagi wilayah di dalam kawasan dengan perlindungan tertinggi – zona ini
sering disebut dengan istilah “no-take, no-go”. Sedangkan zona pemanfaatan terbatas
ialah wilayah dimana tingkat perlindungan relatif rendah, dibandingkan zona inti.
Suatu zona diantara keduanya biasa disebut dengan istilah zona penyangga, buffer
zone. Zona penyangga bisa disebut sebagai wilayah cadangan untuk melindungi zona
inti dari pengaruh aktifitas manusia.

Seperti kita ketahui, menurut UU No 5 tahun 1990, nomenklatur kawasan


konservasi dibedakan dalam dua bentuk, ialah: Kawasan Suaka Alam (KSA) dan
Kawasam Perlindungan Alam (KPA). KSA dibedakan dalam dua kategori, sedangkan
KPA dipisahkan dalam tiga kategori, ialah: Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa
(SM), Taman Nasional (TN), Taman Wisata (TW) dan Taman Hutan Raya
(TAHURA). Pengelolaan Taman Nasional, Taman Wisata dan Taman Hutan Raya
dilakukan melalui sistem zonasi. Sedangkan KSA dikelola dalam satu rencanan
pengelolaan, boleh tidak menggunakan sistem zonasi.

Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 68 tahun 1998, wilayah di


dalam kawasan konservasi bisa dibedakan menjadi 4 (empat) zona, ialah:

• Zona inti;

• Zona rimba;

45
• Zona pemanfaatan; dan

• Zona lain sesuai dengan tujuan kawasan.

Selanjutnya dijelaskan bahwa salah satu kriteria penunjukkan suatu kawasan


sebagai Taman Nasional bisa dilakukan jika wilayah di dalamnya bisa dibagi
menjadi: zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan zona lain sesuai dengan tujuan
kawasan. Dengan demikian, paling tidak, kawasan taman nasional harus dikelola
dengan prinsip zonasi.

Kriteria dari zona inti ialah sebagai berikut: a. Mempunyai keanekaragaman


jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; b. Mewakili formasi biota tertentu
dan atau unit-unit penyusunnya; c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun
fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia; d. Mempunyai luas yang
cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin
berlangsungnya proses ekologis secara alami; e. Mempunyai ciri khas potensinya dan
dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; f.
Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka
atau yang keberadaannya terancam punah.

Zona inti hanya dapat dimanfaatkan untuk keperluan :

a. Penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;

b. Ilmu pengetahuan;

c. Pendidikan;

d. Kegiatan penunjang budidaya

Upaya pengawetan pada zona inti dilaksanakan dalam bentuk kegiatan:

(a) Perlindungan dan Pengamanan,

46
(b) Inventarisasi Potensi Kawasan,

(c) Penelitian dan Pengembangan dalam Menunjang Pengelolaan

Suatu wilayah bisa ditetapkan sebagai zona rimba, jika mempunyai kriteria
sebagai berikut:

a. Kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembang biakan


dari jenis satwa yang memerlukan upaya konservasi;

b. Memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona


inti dan zona pemanfaatan;

c. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.

Zona Rimba dapat dimanfaatkan untuk keperluan :

a. Penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;

b. Ilmu pengetahuan;

c. Pendidikan;

d. Kegiatan penunjang budidaya; dan

e. Wisata alam terbatas.

Upaya pengawetan pada zona rimba dilaksanakan dalam bentuk kegiatan:

(a) perlindungan dan pengamanan,

(b) inventarisasi potensi kawasan,

47
(c) penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan, dan

(d) pembinaan habitat dan populasi satwa.

Suatu wilayah bisa ditetapkan sebagai zona pemanfaatan bila memenuhi


kriteria sebagai berikut:

a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi
ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik;

b. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya
tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;

c. Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan


pariwisata alam.

Zona Pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk keperluan:

a. Pariwisata alam dan rekreasi;

b. Penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;

c. Pendidikan;

d. Kegiatan penunjang budidaya.

Semua ketentuan terkait zona inti, rimba, pemanfaatan dan zona lain yang
dijelaskan pada UU. No. 9 tahun 1990 dan PP. No. 68 tahun 1998 bisa diganti dalam
bentuk tabel lebih sederhana.

Hasil analisis menunjukkan zona yang semakin terbuka ke arah kanan –


jumlah kegiatan yang bisa dilakukan akan semakin banyak ketika zona bergeser ke

48
arah kanan. Zona inti ialah zona dengan status perlindungan tertinggi. Beberapa
kegiatan boleh dilakukan, namun harus memerlukan ijin khusus oleh pengelola
kawasan. Sedangkan zona di bagian kanan, beberapa kegiatan bisa dilakukan tanpa
mendapatkan ijin dari pengelola kawasan. Sebagian besar analisis dilakukan
berdasarkan interpretasi terhadap ketentuan yang terdapat pada UU No. 5 tahun 1990,
yang dikaitkan dengan PP No. 68 tahun 1998. Pada beberapa kasus Taman Nasional
di Indonesia, hasil interpretasi ini belum tentu sama. Hal ini disebabkan karena belum
adanya kejelasan akan ketentuan kebutuhan perijinan bagi kegiatan-kegiatan yang
boleh dilakukan pada suatu zona.

3.3 Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan

Menurut Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007, Kawasan Konservasi


Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem
zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara
berkelanjutan. Konsep KKP yaitu melindungi suatu kawasan perairan yang memiliki
karakteristik tertentu dengan menggunakan sistem zonasi. Idealnya pembagian
zonasi dalam sebuah kawasan konservasi perairan terbagi menjadi 4 zona yaitu zona
inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya. Dalam
zonasi-zonasi yang ada di KKP terdapat tiga ekosistem penting yaitu ekosistem
mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang. Terumbu karang (coral
reef) sebagai salah satu ekosistem yang termasuk dalam zonasi kawasan konservasi
perairan (KKP) memiliki manfaat diantaranya habitat berbagai biota laut seperti ikan
karang, moluska, dan krustasea. Terumbu karang dan ekosistem pesisir lainnya juga

49
menyediakan makanan dan merupakan tempat memijah bagi berbagai jenis biota laut
yang mempunyai nilai ekonomis tinggi sehingga ekosistem terumbu karang tersebut
penting untuk dikelola dengan sangat baik, guna menunjang kegiatan perikanan
berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan dari penelitian ini
yaitu mengkaji kondisi ekosistem terumbu karang dan perikanan karang tangkap di
KKP Berau dengan melihat tren penangkapan ikan kerapu, menganalisis aktivitas
penangkapan ikan dan perilaku nelayan setempat, mengkaji manfaat pengelolaan
KKP Berau terhadap kondisi perikanan dan kesejahteraan masyarakat dalam rangka
mendukung kegiatan perikanan berkelanjutan serta memberikan rekomendasi terkait
strategi pengelolaan perikanan berkelanjutan di KKP Berau. Analisis yang digunakan
dalam penelitian yaitu analisis regresi untuk melihat hubungan antara kawasan
konservasi terhadap perikanan kerapu serta analisis prospektif untuk menduga strategi
pengelolaan yang sesuai untuk diterapkan di KKP Kabupaten Berau. Persen tutupan
karang selama kurun waktu 8 tahun (2003-2011) mengalami penurunan sebesar 35%,
setara dengan 4,5 % per tahun dan hasil wawancara menunjukkan menurunnya hasil
tangkapan ikan kerapu setiap harinya (rata-rata 2 ekor). Aktivitas penangkapan ikan
kerapu oleh nelayan di Kabupaten Berau sudah terspesifikasi dengan baik yaitu
menggunakan alat tangkap bubu (perangkap) yang diperuntukkkan bagi daerah
karang, namun masih terdapat nelayan yang tidak bertanggung jawab yang
melakukan kegiatan penangkapan dengan bom dan potassium. Analisis menunjukkan
bahwa ekosistem terumbu karang sangat memberikan pengaruh terhadap kelimpahan
ikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh banyaknya jumlah ikan yang terdapat di karang
yang memiliki persen tutupan karang hidup yang besar. Selain itu, dari analisis yang
sama dapat disimpulkan bahwa jika KKP Berau dikelola dengan baik dan persentase
tutupan karang hidup dapat ditingkatkan, maka jumlah individu ikan yang akan naik
sebesar 5 individu per persen tutupan karang hidup.

Penurunan kelimpahan ikan di alam mengakibatkan turunnya kemampuan alat


tangkap dalam menghasilkan tangkapan ikan kerapu, sehingga nilai pendapatan yang
diperoleh nelayan dari kerapu juga menurun menjadi Rp. 241.472,8014 per kg

50
dengan dugaan surplus konsumen sebesar Rp. 4.150.000. Hasil analisis prospektif
menunjukkan faktor yang menjadi kunci keberhasilan pengelolaan KKP yaitu kualitas
SDM, produksi perikanan, lokasi konservasi, pengawasan dan penerapan sanksi, serta
harga komoditas perikanan. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu manfaat KKP Berau
(Peraturan Bupati no. 31 tahun 2005) bagi perikanan berkelanjutan belum dapat
dirasakan secara nyata karena belum adanya kegiatan pengelolaan terhadap kawasan
konservasi perairan ini, seperti : belum ada pembagian zonasi sesuai Undang-Undang
No.45/2009 dan PP No.60/2008, lemahnya kualitas SDM, tingginya praktek
penangkapan tidak ramah lingkungan, lemahnya pengawasan dan penerapan sanksi,
serta lemahnya kekuatan hukum mengenai penetapan perairan Laut Berau menjadi
kawasan konservasi perairan sebagai akibat dari belum ditetapkannya perairan laut
Berau menjadi Kawasan Konservasi Perairan oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Rekomendasi bagi pengelolaan KKP Berau yaitu meningkatkan kualitas
dari lima faktor kunci keberhasilan pengelolaan KKP. Berdasarkan analisis
prospektif, maka skenario yang paling memungkinkan untuk pengelolaan KKP Berau
saat ini yaitu skenario moderat.

BAB IV

STAREGI KONSERVASI SUMBERDAYA PERAIRAN

4.1 Strategi konservasi sumberdaya pada perairan darat

Strategi Upaya Pemanfaatan Berkelanjutan Konservasi Sumberdaya Ikan dan


Lingkungannya di Perairan Daratan, adalah untuk memberikan pedoman dan acuan
dalam membuat perencanaan dan kebijakan upaya perlindungan, pelestarian dan
pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya di perairan daratan secara
berkelanjutan. Sedangkan sasarannya adalah terarahnya kegiatan perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara

51
berkelanjutan bagi semua pemangku kepentingan, baik di tingkat daerah maupun
nasional.

Kebijakan dan Strategi Upaya Pemanfaatan Berkelanjutan Konservasi


Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan Daratan, diarahkan pada upaya
pemanfaatan berkelanjutan konservasi yang meliputi kawasan dan semua jenis
sumberdaya ikan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1 angka (2) dan angka (4),
Undang-Undang No. 31/2004, tentang Perikanan, yang terdapat di perairan muara
sungai (estuari), rawa hutan bakau (mangrove), sungai, danau, waduk, dan/atau
perairan daratan lainnya dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
Ruang lingkup dokumen ini meliputi Pendahuluan yang menggambarkan latar
belakang, tujuan dan sasaran, serta ruang lingkup dan keluaran; Potensi dan Kondisi
yang meliputi ekosistem perairan daratan, sumberdaya ikan perairan paratan, sosial
ekonomi/sosial budaya; Kondisi yang Diharapkan; serta Kebijakan dan Strategi yang
meliputi visi dan misi, kebijakan, strategi, serta rencana aksi dan faktor-faktor
pendukungnya.
Dokumen Kebijakan dan Strategi Konservasi Sumberdaya Ikan dan
Lingkungannya di Perairan Daratan ini terdiri dari empat bab, dengan perincian
sebagai berikut :

Bab. 1; berisi tentang Latar Belakang dibuatnya dokumen Kebijakan dan Strategi
Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan Daratan, Batasan dan
Pengertian, Klasifikasi Ekosistem, Tujuan dan Sasaran, Proses Penyusunan, Ruang
Lingkup dan Keluaran

Bab 2; berisi tentang gambaran Potensi dan Kondisi Saat Ini dari ekosistem,
sumberdaya ikan dan sosial ekonomi budaya perairan daratan

52
Bab 3; berisi tentang Kondisi yang Diharapkan pada ekosistem perairan daratan,
termasuk bagaimana cara konservasi dalam pemanfaatannya, sehingga sumberdaya
ikan perairan daratan kedepan dapat dimanfaatkan secara lestari.

Bab 4; berisi tentang Kebijakan dan Strategi yang menguraikan visi dan misi,
kebijakan, strategi dan rencana aksi, serta faktor pendukung dalam implementasi
konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya di perairan daratan.

4.2 Strategi konservasi Sumberdaya pada perairan Laut

Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan tidak


akan pernah terlepas dari fungsi konservasinya. Bahkan konservasi telah diyakini
sebagai upaya penting yang mampu menyelamatkan potensi sumberdaya tetap
tersedia dalam mewujudkan perikehidupan lestari yang menyejahterakan.
Pengelolaan secara efektif kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil
sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi biru mampu memberikan jaminan dalam
efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam, sebagai sumber yang efektif menyokong
pemanfaatan lain secara ramah lingkungan, serta dapat menumbuhkan keuntungan
ekonomi bagi masyarakat lokal. Konservasi telah menjadi tuntutan dan kebutuhan
yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan
keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan.

53
Paradigma dan Pengelolaan kawasan konservasi perairan di Indonesia
menapaki era baru sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 31 tahun 2004
tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 45 tahun
2009, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, serta
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun
2014. Poin pertama, dalam hal kewenangan pengelolaan kawasan konservasi, kini
tidak lagi menjadi monopoli pemerintah pusat melainkan sebagian telah
terdesentralisasi menjadi kewajiban pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam
undang-undang tersebut. Poin kedua, adalah pengelolaan kawasan konservasi dengan
sistem ZONASI, Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan diatur dengan sistem
ZONASI. Paling tidak, ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di
dalam Kawasan Konservasi Perairan, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan,
zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah
dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi kawasan
konservasi terdahulu. Pengaturan sistem zonasi dalam pengelolaan kawasan
konservasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi,
jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat lokal, khususnya
nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak
dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui
dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan
untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona
pemanfaatan, maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan
ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti
ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu belum banyak dilakukan. Kini,
peran Pemerintah pusat dalam konteks paradigma ini, hanya memfasilitasi dan
menetapkan kawasan konservasi, sedangkan proses inisiasi, identifikasi, pencadangan
maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan dilakukan sepenuhnya oleh
pemerintah daerah.

54
Pengembangan Kawasan Konservasi sejalan dengan komitmen pemerintah
kepada dunia internasional yang pertama kali dideklarasikan oleh Menteri Kelautan
dan Perikanan saat itu, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri di hadapan para delegasi
Konferensi The Defying Ocean's End (DOE) yang berlangsung di Los Cabos, Mexico
pada tanggal 29 Mei – 3 Juni 2003, selanjutnya pada Convention on Biodiversity
(CBD) pada 20 – 31 Maret 2006 di Brasil tahun 2006 oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dengan komitmen pencapaian kawasan konservasi seluas 10 Juta
Hektar pada tahun 2010. Tumbuhnya semangat ini kemudian disambut baik oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah bersama masyarakat untuk mewujudkannya.
Hingga pada Forum APEC tahun 2007 di Sydney, Presiden menyampaikan inisiatif
kerjasama 6 (enam) negara dalam pengelolaan segitiga terumbu karang (Coral
Triangle Initiative), komitmen untuk menggandakan target luasan kawasan
konservasi menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020 pun disiarkan kepada dunia
internasional. selanjutnya, komitmen ini ditegaskan kembali tahun 2009, juga oleh
Presiden SBY dalam World Ocean Conference dan CTI Summit di Manado,
mengumumkan kembali komitmen pencapaian target 20 juta hektar luas kawasan
konservasi perairan tersebut pada tahun 2020. Titik tolak ini menjadi landasan
Renstra Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015-2019 yang bertekat
menggenapkan capaian 20 juta hektar pada penghujung 2019.

Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis ikan (KKJI) menjalankan roda


konservasi menyokong target yang disasar Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) dalam notulen Renstra 2010-2014, yakni pengelolaan efektif kawasan
konservasi laut tahun pada tahun 2014 seluas 4,5 juta hektar, serta menambah 2 juta
hektar kawasan konservasi dari status 13,5 juta pada tahun 2009 sebagai titik tolak
angka renstra. Beberapa program yang dijalankan antara lain:

(1) Konservasi Ekosistem/Konservasi Kawasan;

(2) Konservasi Jenis Ikan dan Genetik;

55
(3) Data, Informasi dan Jejaring Pengelolaan Konservasi,

(4) Pembinaan dan Penguatan Sumber Daya Manusia;

(5) Penguatan Kebijakan, Peraturan dan Pedoman;

(6) Pemanfaatan Kawasan dan Jenis Ikan; serta

(7) Kerjasama Lokal, Regional, Internasional.

Program-program tersebut, dilakukan untuk mencapai tujuan tercapainya


kawasan konservasi dan jenis biota perairan dilindungi yang dikelola secara
berkelanjutan. Renstra KKJI 2010-2014 memuat dua indikator capaian, yaitu:

1) kawasan konservasi perairan yang diidentifikasi, dipetakan, dilindungi,


dilestarikan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan; dan

2) jumlah jenis ikan terancam punah, langka, endemik yang diidentifikasi,


dipetakan, dilindungi, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara berkelanjutan.

BAB V

PENGELOLAAN KAWASAN KONSEVASI PERAIRAN

5.1 Dukungan Perundangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi


Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Undang-undang ini mengatur
semua aspek yang berkaitan dengan konservasi, baik ruang maupun sumber daya
alamnya, sebagaimana ditegaskan dalam Bagian Penjelasan-nya, bahwa Undang-
undang ini bertujuan: “Untuk mengatur perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya agar dapat

56
menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan mutu
kehidupan manusia”. Pasal 1 angka 7: ”Satwa liar adalah semua binatang yang hidup
di darat , dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik
yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia”. Penjelasan Pasal 1 angka 7:
”Ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian satwa liar, tetapi termasuk di
dalam pengertian satwa”.

Pengertian konservasi menurut undang-undang ini adalah pengelolaan sumber


daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya.  Konservasi dilakukan melalui kegiatan :
(a) perlindungan sistem penyangga kehidupan ;
(b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa  beserta
ekosistemnya; dan
c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati  dan ekosistemnya
(Pasal 5).
Undang – Undang  Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memuat ketentuan mengenai
konservasi di kawasan hutan.  Pasal 1 angka 2 undang-undang ini menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan
alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya
Pasal 7 menyatakan bahwa hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) huruf a terdiri dari:
(a) kawasan hutan suaka alam,
(b) kawasan hutan pelestarian alam, dan
(c) taman buru.
Walaupun ketentuan konservasi ini masih berorientasi daratan namun prinsip-
prinsip pengaturan mengenai konservasi secara analogi dimungkinkan untuk

57
diterapkan untuk kawasan konservasi di perairan, khususnya untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap ekosistem yang menjadi habitat satwa langka.
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Sepanjang
berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi sebagai suatu kesatuan ekosistem,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengatur penetapan status
hukum kawasan lautnya. Secara khusus undang-undang ini memberikan wewenang
kepada Menteri untuk menetapkan status suatu bagian laut tertentu sebagai kawasan
Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, atau Suaka
Perikanan.  Penetapan status kawasan-kawasan laut tersebut bertujuan untuk
melindungi dan melestarikan sumber-sumber kekayaan alam hayati dan
ekosistemnya. 
Selanjutnya  Pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa: “Dalam rangka
pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi
jenis ikan, dan konservasi genetika ikan.” Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) menyatakan
bahwa: “Pemerintah mengatur dan/atau mengembangkan pemanfaatan plasma nutfah
yang berkaitan dengan sumber daya ikan dalam rangka pelestarian ekosistem dan
pemuliaan sumber daya ikan.” Pasal 14 ayat (2): “Setiap orang wajib melestarikan
plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.”
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menyatakan bahwa: “Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan
kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut”. Selanjutnya Pasal 18
ayat (3) menyatakan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: eksplorasi, eksploitasi,
konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan administratif; pengaturan tata
ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; ikut serta dalam pemeliharaan
keamanan; dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 Tentang  Kawasan Suaka
Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. Peraturan Pemerintah ini merupakan

58
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.  Pengertian Kawasan Suaka Alam menurut
peraturan ini adalah: “kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di
perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai
wilayah sistem penyangga kehidupan.” Adapun yang dimaksud dengan Kawasan
Pelestarian Alam adalah: “kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun
di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.”
Dari definisi sebagaimana telah dikutip di atas, tampak perbedaan antara
kedua kawasan, yaitu bahwa di dalam Kawasan Pelestarian Alam, baik di daratan
maupun di perairan, dimungkinkan kegiatan pemanfaatan secara lestari dengan
memperhatikan daya dukung ekosistemnya.  Selanjutnya, Kawasan Suaka Alam
dapat dibedakan menjadi: Cagar Alam  dan Suaka Margasatwa, sedangkan Kawasan
Pelestarian Alam dapat dibedakan menjadi: Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan
Taman Wisata Alam.
Nomenklatur kawasan sebagaimana telah dikutip di atas, secara analogi dapat
dipersamakan dengan pengertian kawasan-kawasan yang termuat di dalam Undang-
Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004. Sepanjang menyangkut urusan kelautan
dan perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan berwenang untuk menetapkan
perairan tertentu sebagai Kawasan Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan,
Taman Wisata Perairan, atau Suaka Perikanan (Pasal 7 ayat (1) dan Penjelasan Pasal
13 ayat (1).  Dalam hal ini Kawasan Suaka Alam Perairan dan Suaka Perikanan
identik dengan Kawasan Suaka Alam sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 6
Peraturan Pemerintah ini.  Selanjutnya, pengertian Taman Nasional Perairan dan
Taman Wisata Perairan di dalam Undang-Undang Perikanan identik dengan Kawasan
Pelestarian Alam sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 30 Peraturan Pemerintah
ini. 

59
Peraturan Pemerintah Nomor  7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan Dan Satwa. Pasal 1 butir 8: “Pelaksanaan pengawetan dan pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwa merupakan tanggungjawab menteri yang
bertanggungjawab di bidang kehutanan”
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan Dan Satwa Liar. Pasal 1 butir 9 : “Pelaksanaan pengawetan dan
pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar merupakan tanggungjawab menteri yang
bertanggungjawab di bidang kehutanan”. Pasal 65 ayat (1) : ”Departemen Kehutanan
ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) Konservasi
Tumbuhan dan Satwa Liar”
Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber
Daya Ikan. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Peraturan
pemerintah ini ndemi kewenangan kepada Menteri (Kelautan dan Perikanan) untuk
menetapkan Kawasan Konservasi Perairan yang terdiri atas taman nasional perairan,
taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan (Pasal 8).
Peraturan Pemerintah ini juga memberi kewenangan kepada Menteri Kelautan
dan Perikanan untuk menetapkan status perlindungan jenis ikan tertentu (pasal 24
ayat 1), yang meliputi Jenis ikan yang dilindungi dan  Jenis ikan yang tidak
dilindungi (Pasal 23 ayat (1)). Jenis ikan tertentu dapat ditetapkan sebagai jenis ikan
yang dilindungi, apabila memenuhi kriteria:
(a). terancam punah;
(b). langka;
(c). daerah penyebaran terbatas (endemic);
(d). adanya penurunan jumlah populasi di alam yang tajam; dan
(e). tingkat kemampuan reproduksi yang rendah.
Kerjasama Konservasi Internasional. Kerjasama internasional dalam
konservasi sangat diperlukan terutama untuk mencegah kepunahan atau terancamnya
jenis dan ekosistem dari kepunahan yang disebabkan oleh pengelolaan dan
pemanfaatan yang tidak berkelanjutan.  Beberapa konvensi internasional terkait

60
dengan konservasi yang mengikat secara hukum diantaranya adalah CITES, Ramsar
dan CBD.  Indonesia telah meratifikasi Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) yang ditandatangani di
Washington, D.C. tahun 1973 dan telah berlaku secara efektif sejak tahun 1975.
Konvensi tersebut telah menjadi hukum nasional melalui ratifikasi dengan Keputusan
Presiden Nomor 43 tahun 1978. Selanjutnya ketentuan CITES merupakan kewajiban
bersama dalam pelaksanaannya namun harus didasari oleh peraturan perundang-
undangan nasional yang memadahi.  Dalam Article VIII CITES disebutkan bahwa
setiap Negara anggota Konvensi wajib mempunyai legislasi nasional (peraturan
perundang-undangan) yang memadahi untuk pellaksanaan CITES dengan efektif,
yang dapat memberikan mandat kepada setiap negara anggota untuk
(1) menunjuk satu atau lebih Otoritas Pengelola (Management Authorities)
yang berkompeten untuk menerbitkan izin atau sertifikat atas nama Negara
Pihak, dan satu atau lebih Otoritas Keilmuan (Scientific Authorities) untuk
memberikan pendapat/nasihat kepada Otoritas Pengelola;
(2) dapat melarang semua kegiatan yang melanggar ketentuan konvensi
terkait dengan jenis-jenis yang termasuk dalam appendix;
(3) dapat menghukum pelanggaran-pelanggaran tersebut; dan
(4) dapat melakukan penyitaan terhadap specimen yang terlibat di dalam
pelanggaran.  Keempat prasyarat tersebut harus dapat dipenuhi oleh legislasi
yang ada, jika tidak maka CITES dapat memberikan sanksi berupa “isolasi”
atau embargo perdagangan jenis-jenis yang masuk kontrol CITES.

Konvensi lain yang terkait dengan konservasi adalah Konvensi tentang


Keanekaragaman Hayati atau Convention on Biological Diversity (CBD), yang
mengatur tentang konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan yang
berkelanjutan dari keanekaragaman hayati serta pembagian yang adil terhadap
pemanfaatan genetik.  Beberapa keputusan yang sangat terkait diantaranya adalah
tentang konservasi pesisir, pantai dan laut; tentang kawasan dilindungi (protected
areas), dan sebagainya.

61
Konvensi lain yang terkait adalah Ramsar, yang memberikan pedoman
tentang pengelolaan dan pemanfaatan yang bijaksana terhadap lahan basah, termasuk
jenis-jenis yang ada di dalamnya.

5.2 Perlindungan jenis ikan dan genetik ikan

Ketentuan Umum

Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan


pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.

2. Konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan


fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu
sekarang dan yang akan datang.

3. Konservasi jenis ikan adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan


sumber daya ikan, untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan
jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.

62
4. Konservasi genetik ikan adalah upaya melindungi, melestarikan, dan
memanfaatkan sumber daya ikan, untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungan sumber daya genetik ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan
datang.

5. Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan.

6. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya
berada di dalam lingkungan perairan.

7. Ekosistem adalah tatanan unsur sumber daya ikan dan lingkungannya, yang
merupakan kesatuan utuhmenyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk
keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas sumber daya ikan.

8. Kawasan Konservasi Perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola


dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan
lingkungannya secara berkelanjutan.

9. Taman Nasional Perairan adalah kawasan konservasi perairan yang mempunyai


ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan,
dan rekreasi.

10. Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas
tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistemnya.

11. Taman Wisata Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk
dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi.

12. Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun
laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak
jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.

13. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

63
14. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

15. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik


Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

16. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah


sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

17. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang perikanan.

Pasal 2

(1) Konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan asas:

a. manfaat;

b. keadilan;

c. kemitraan;

d. pemerataan;

e. keterpaduan;

f. keterbukaan;

g. efisiensi; dan

h. kelestarian yang berkelanjutan.

(2) Konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan prinsip:

a. pendekatan kehati-hatian;

64
b. pertimbangan bukti ilmiah;

c. pertimbangan kearifan lokal;

d. pengelolaan berbasis masyarakat;

e. keterpaduan pengembangan wilayah pesisir;

f. pencegahan tangkap lebih;

g. pengembangan alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan, dan


pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan;

h. pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat;

i. pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan;

j. perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis;

k. perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan; dan

l. pengelolaan adaptif.

Pasal 3

Konservasi sumber daya ikan menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah


daerah, dan masyarakat.

Pasal 4

Konservasi sumber daya ikan meliputi: a. konservasi ekosistem; b. konservasi jenis


ikan; dan c. konservasi genetik ikan.

Pasal 5

(1) Konservasi ekosistem dilakukan pada semua tipe ekosistem yang terkait dengan
sumber daya ikan.

65
(2) Tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:

a. laut;

b. padang lamun;

c. terumbu karang;

d. mangrove;

e. estuari;

f. pantai;

g. rawa;

h. sungai;

i. danau;

j. waduk;

k. embung; dan

l. ekosistem perairan buatan.

Pasal 6

(1) Konservasi ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan
melalui kegiatan:

a. perlindungan habitat dan populasi ikan;

b. rehabilitasi habitat dan populasi ikan;

c. penelitian dan pengembangan;

66
d. pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan;

e. pengembangan sosial ekonomi masyarakat;

f. pengawasan dan pengendalian;

g. monitoring dan evaluasi.

(2) Kegiatan konservasi ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan data dan informasi sumber daya ikan dan lingkungan sumber daya ikan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan konservasi ekosistem sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 7

(1) Dalam rangka pemulihan kondisi habitat sumber daya ikan dan perlindungan
siklus pengembangbiakan jenis ikan, Menteri menetapkan pembukaan dan penutupan
perairan tertentu untuk kegiatan penangkapan ikan.

(2) Pembukaan dan penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan:

a. tingkat kerusakan habitat ikan;

b. musim berkembang biak ikan;

c. tingkat pemanfaatan yang berlebih.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan dan penutupan perairan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 8

67
(1) Satu atau beberapa tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dapat ditetapkan sebagai kawasan
konservasi perairan.

(2) Kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka
perikanan.

(3) Kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri.

Pasal 9

(1) Penetapan kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8


ayat (3) dilakukan berdasarkan kriteria: a. ekologi, meliputi keanekaragaman hayati,
kealamiahan, keterkaitan ekologis, keterwakilan, keunikan, produktivitas, daerah
ruaya, habitat ikan langka, daerah pemijahan ikan, dan daerah pengasuhan; b. sosial
dan budaya, meliputi tingkat dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan,
potensi ancaman, kearifan lokal serta adat istiadat; dan c. ekonomi, meliputi nilai
penting perikanan, potensi rekreasi dan pariwisata, estetika, dan kemudahan
mencapai kawasan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penetapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 10

Kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 yang memiliki


potensi biofisik dan sosial budaya yang sangat penting secara global dapat diusulkan
oleh Pemerintah kepada lembaga internasional yang berwenang sebagai kawasan
warisan alam dunia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

68
Pasal 11

(1) Penetapan kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8


ayat (3) dilakukan melalui tahapan:

a. usulan inisiatif;

b. identifikasi dan

inventarisasi;

c. pencadangan kawasan konservasi perairan; dan

d. penetapan.

(2) Terhadap kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan dilakukan penataan
batas oleh panitia tata batas.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan batas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 12

(1) Orang perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga penelitian, lembaga


pendidikan, lembaga pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat dapat berinisiatif
untuk mengajukan usulan calon kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a.

(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pemerintah atau
pemerintah daerah dengan dilengkapi kajian awal dan peta lokasi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kajian awal dan peta lokasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.

69
Pasal 13

(1) Berdasarkan usulan calon kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 12, Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya,
melakukan identifikasi dan inventarisasi calon kawasan konservasi perairan dengan
melibatkan masyarakat.

(2) Kegiatan identifikasi dan inventarisasi meliputi kegiatan survey dan penilaian
potensi, sosialisasi, konsultasi publik, dan koordinasi dengan instansi terkait.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi dan inventarisasi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 14

(1) Hasil identifikasi dan inventarisasi calon kawasan konservasi perairan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, yang secara potensial memiliki kepentingan
dan nilai konservasi, dapat digunakan untuk pencadangan kawasan konservasi
perairan.

(2) Pencadangan kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya

(3) Gubernur atau bupati/walikota mengusulkan kawasan konservasi perairan


berdasarkan pencadangan yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada Menteri.

(4) Berdasarkan usulan kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud pada


ayat (3), Menteri atau pejabat yang ditunjuk melakukan evaluasi.

(5) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri dapat
menetapkan kawasan konservasi perairan.

70
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pencadangan kawasan konservasi perairan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan peraturan
Menteri.

Pasal 15 (1) Kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) dikelola oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai kewenangannya.

(2) Pengelolaan kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh satuan unit organisasi pengelola sesuai dengan peraturan
perundangundangan.

Pasal 16

(1) Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan oleh Pemerintah


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) meliputi: a. perairan laut di luar 12
(dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan. b. perairan yang berada dalam wilayah kewenangan pengelolaan
lintas provinsi; atau c. perairan yang memiliki karakteristik tertentu.

(2) Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan oleh pemerintah


provinsi meliputi: a. perairan laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan; dan b. kawasan
konservasi perairan yang berada dalam wilayah kewenangan pengelolaan lintas
kabupaten/kota.

(3) Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan oleh pemerintah


kabupaten/kota, meliputi: a. perairan laut 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan

71
pengelolaan provinsi; dan b. perairan payau dan/atau perairan tawar yang berada
dalam wilayah kewenangannya.

Pasal 20 Pembiayaan pengelolaan kawasan konservasi perairan dapat berasal dari


sumber-sumber:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan


dan Belanja Daerah;

b. pungutan perikanan;

c. pungutan jasa konservasi; dan

d. sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Pasal 22

Konservasi jenis ikan dilakukan melalui:

a. penggolongan jenis ikan;

b. penetapan status perlindungan jenis ikan;

c. pemeliharaan;

d. pengembangbiakan; dan

e. penelitian dan pengembangan.

Pasal 23

(1) Penggolongan jenis ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a terdiri
atas:

a. jenis ikan yang dilindungi;

72
b. jenis ikan yang tidak dilindungi. (2) Kriteria jenis ikan yang dilindungi
sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a meliputi:

a. terancam punah;

b. langka;

c. daerah penyebaran terbatas (endemik);

d. terjadinya penurunan jumlah populasi ikan di alam secara drastis; dan

e. tingkat kemampuan reproduksi yang rendah.

Pasal 24

(1) Penetapan status perlindungan jenis ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
huruf b, ditetapkan oleh Menteri.

(2) Tata cara penetapan status perlindungan jenis ikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 25

(1) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c dilakukan terhadap


jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi melalui kegiatan
koleksi ikan hidup pada suatu media terkontrol sebagai habitat buatan.

(2) Pemeliharaan jenis ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dengan cara mengambil ikan dari habitat alam atau dari hasil pengembangbiakan.

(3) Pemeliharaan jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi di
habitat buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi
persyaratan: a. standar kesehatan ikan; b. tempat yang cukup luas, aman, dan nyaman;
dan c. mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan ikan.

73
(4) Pemeliharaan jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi
dapat dilakukan oleh:

a. orang perseorangan;

b. kelompok masyarakat;

c. badan hukum Indonesia;

d. lembaga penelitian;

e. perguruan tinggi.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan jenis ikan yang dilindungi dan
jenis ikan yang tidak dilindungi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (4), diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 26

(1) Pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d dilakukan


terhadap jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi melalui:

a. pembenihan dalam lingkungan yang terkontrol;

b. penetasan telur;

c. pembesaran anakan yang diambil dari alam; atau

d. transplantasi.

(2) Pengembangbiakan jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak
dilindungi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara menjaga
kemurnian genetik ikan.

(3) Pengembangbiakan jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak
dilindungi harus memenuhi standar kualifikasi pengembangbiakan jenis ikan.

74
(4) Pengembangbiakan jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak
dilindungi dapat dilakukan oleh:

a. perseorangan;

b. kelompok masyarakat;

c. badan hukum Indonesia;

d. lembaga penelitian; dan/atau

e. perguruan tinggi.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kualifikasi pengembangbiakan jenis ikan
yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 27

(1) Untuk kepentingan pengendalian kegiatan pengembangbiakan jenis ikan yang


dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi dapat dilakukan penandaan terhadap
induk ikan dan ikan hasil pengembangbiakan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penandaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 28

(1) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf e


dilakukan terhadap jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi.
(2) Ketentuan mengenai penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

75
Bagian Keempat Konservasi Genetik Ikan

Pasal 29

(1) Konservasi sumber daya genetik ikan dilakukan melalui upaya:

a. pemeliharaan;

b. pengembangbiakan;

c. penelitian; dan

d. pelestarian gamet.

(2) Ketentuan mengenai pemeliharaan, pengembangbiakan, dan penelitian


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c berlaku mutatis
mutandis ketentuan mengenai konservasi jenis ikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 sampai dengan Pasal 28.

(3) Pelestarian gamet sumber daya genetik ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d dilakukan dalam kondisi beku.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelestarian gamet sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan peraturan Menteri.

76
5.3 Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan

Upaya yang telah dilakukan guna memperoleh manfaat konservasi perairan


yang berkelanjutan sampai akhir tahun 2007 antara lain: telah dicadangkan kawasan
konservasi seluas 8,7 juta hektar, diantaranya merupakan kawasan konservasi
perairan yang diinisiasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah
Daerah seluas 3,2 juta hektar yang tersebar di 30 Kabupaten. Selain itu, Inisiasi
pembentukan Kawasan Konservasi Perairan Nasional untuk Perairan Laut Sawu-NTT
dan Kepulauan Anambas-Kepri merupakan embrio pengembangan kawasan
konservasi nasional untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan. Pengelolaan
kawasan konservasi tidak terlepas dari adanya kelembagaan yang kuat, untuk itu telah
dibentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT), Ditjen KP3K yakni: Balai Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Laut (BPSPL), di Padang, Sumatera Barat; dan Balai Kawasan
Konservasi Perairan Nasional (BKPPN) di Kupang, NTT.

Sebagai langkah tindaklanjut dari pencadangan kawasan konservasi perairan


yang dilakukan, maka dilakukan upaya pengelolaan berupa:
(1) penyusunan rencana pengelolaan kawasan,
(2) pembentukan kelembagaan pengelola kawasan dan
(3) pendanaan kawasan konservasi perairan.

77
Langkah-langkah tersebut sebagai perwujudan dalam rangka menjamin
ketersediaan sumberdaya ikan bagi generasi kini dan mendatang.

Dalam menyusun management plan, diupayakan telah ada rekomendasi upaya


pengelolaan kawasan yang meliputi:
(a) Perlindungan habitat dan populasi biota perairan;
(b) Rehabilitasi habitat dan populasi biota perairan;
(c) Penelitian dan Pengembangan;
(d) Pemanfaatan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan;
( e) Pengembangan sosial ekonomi masyarakat;
(f) Pengawasan dan pengendalian;
(g)  Monitoring dan Evaluasi; serta
(h) Pengembangan Program kerjasama / Jejaring Konservasi.

Selain itu, bentuk kelembagaan dan pengelolaanya juga perlu


direkomendasikan dalam rencana pengelolaan. Yang tidak kalah pentingnya adalah
krekomendasi sarana prasarana yang dibangun beserta pendanaannya. Sarana prasana
yang diperlukan dalam KKP sangat tergantung dari kondisi masing-masing KKP,
seperti misalnya: kantor pengelola, pondok informasi, pusat informasi, pondok jaga,
guest house, papan informasi kawasan dan sebagainya.  
Sesuai dengan PP 60/2007, KKP yang telah ditetapkan dikelola oleh
pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Pasal 15 ayat 1 pp
60/2007), Pengelolaan KKP dilakukan oleh satuan unit organisasi pengelola sesuai
dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 15 ayat 2). Terdapat beberapa
alternative pembentukan kelembagaan pengelolaan KKP, sedikitnya ada 2 (dua)
model Kelembagaan yang dapat dipilih, yaitu:

(1) Unit organisasi pengelola berbasiskan pemerintah dan

(2) unit organisasi berbasis pemerintah dan kolaborasi.

78
Pada umumnya akan lebih baik jika alternative nomor 2 yang digunakan
sebagai pendekatan. Adapun bentuk lembaganya dapat berupa Bidang atau BLUD,
keduanya melalui kemitraan dengan stakeholder sebagai bentuk kolaborasi. Biasanya
disebut dengan Mitra atau forum yang mampu memperkuat organisasi berupa Bidang
maupun BLUDyang menempel pada lembaga di daerah. Kedepan, masih diperlukan
penyamaan persepsi guna menemukan bventuk kelembagaan yang ideal dalam
pengelolaan kawasan konservasi perairan.

Pengelolaan kawasan konservasi perairan tidak terlepas dari pengelolaan


sumberdaya ikan secara keseluruhan. Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya
melindungi melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin
keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang
maupun yang akan datang. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan antara lain mengatur tentang konservasi sumber daya ikan yang dilakukan
melalui konservasi ekosistem, konservasi jenis dan konservasi genetik. Upaya
konservasi sumberdaya ikan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan
pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan, mengingat
karakteristik sumber daya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitivitas yang
tinggi terhadap pengaruh iklim global maupun iklim musiman serta aspek-aspek
keterkaitan (connectivity) ekosistem antarwilayah perairan baik lokal, regional.
maupun global, yang kemungkinan melewati batas-batas kedaulatan suatu negara,
maka dalam upaya pengembangan dan pengelolaan konservasi sumber daya ikan
harus berdasarkan prinsip kehati-hatian dengan dukungan bukti-bukti ilmiah. Dalam
rangka konservasi sumberdaya ikan pemerintah Republik Indonesia telah
mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan. Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
mengatur lebih rinci tentang upaya pengelolaan konservasi ekosistem atau habitat
ikan termasuk didalamnya pengembangan Kawasan Konservasi Perairan sebagai
bagian dari konservasi ekosistem. Selain itu Peraturan Pemerintah ini juga memuat
aturan-aturan untuk menjamin pemanfaatan berkelanjutan dari jenis-jenis ikan serta

79
terpeliharanya keanekaragaman genetik ikan. Terkait dengan upaya konservasi
sumberdaya ikan, secara jelas dalam peraturan pemerintah nomor 60 tahun 2007 telah
menyebutkan bahwa management authority untuk pengelolaan sumberdaya ikan
adalah departemen/kementerian yang bertanggungjawab di bidang perikanan.
Kedepan, melalui Peraturan Pemerintah ini diharapkan segala urusan mengenai
konservasi sumberdaya ikan termasuk berbagai ekosistem yang terkait di dalamnya 
dapat terwadahi.

5.4 Pengembangan Jejaring Pengelolaan Konservasi Sumberdaya Perairan

Strategi atau cara untuk membentuk jejaring KKP menjadi sebuah kebutuhan
karena beberapa alasan. Pertama, pengembangan jejaring KKP merupakan hal yang
relatif baru dalam konteks pengembangan Sistem KKP Nasional di Indonesia
(Susanto, 2011). Kedua, terbatasnya pengalaman yang dimiliki dalam perencanaan,
pembentukan dan pengelolaan jejaring KKP. Mempertimbangkan kompleksitas
terkait dengan pembentukan jejaring KKP dan aspek-aspek yang terlibat di dalamnya,
bab ini membahas strategi pembentukan jejaring KKP yang dilengkapi dengan studi
kasus tentang pengalaman membangun dan mengelola jejaring KKP di Indonesia dan
negara lain.

Siklus Pengelolaan Jejaring KKP

Pembentukan jejaring KKP tidak terlepas dari Siklus Pengelolaan Jejaring


KKP (MPA Network Management Cycle), seperti yang disajikan pada Gambar 1.
Siklus Pengelolaan Jejaring KKP (selanjutnya disingkat menjadi Siklus Pengelolaan)
merupakan sebuah siklus yang menunjukkan urutan logis sebuah proses untuk

80
mendirikan, mengelola dan mengevaluasi jejaring. Siklus Pengelolaan ini berulang
setiap periode waktu tertentu.

Secara ringkas, pendirian jejaring KKP diawali dengan melakukan Kajian


Kebutuhan (needs assessment) yang bertumpu kepada analisis situasi atau konteks
untuk memberi pembenaran (justification) mengapa sebuah jejaring KKP perlu
dibentuk. Langkah selanjutnya adalah membuat Rancangan Jejaring (network design)
sesuai dengan hasil Kajian Kebutuhan, dan melakukan Perencanaan Kerja (work
planning) untuk menyusun rencana kerja berjejaring dan pembagian beban kerja serta
pembiayaan. Dalam membuat Rancangan Jejaring, perlu dilakukan konsultasi secara
intensif dengan para pihak yang berkepentingan langsung, yaitu masyarakat setempat
pengguna sumberdaya, para pengelola KKP, dan para pemangku kepentingan
lainnya. Karena pendirian jejaring harus mempertimbangkan efektivitas
penerapannya dan menerapkan pendekatan adaptif, Rencana Kerja (work plan) yang
biasanya dibuat adalah Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan Rencana Kerja Jangka
Menengah 5-Tahunan (RKJM).

Setelah Rencana Kerja disetujui oleh semua pihak yang berkepentingan


dengan jejaring, maka tahap selanjutnya adalah melaksanakan semua kegiatan yang
sudah direncanakan. Pada pelaksanaan berjejaring ini melekat erat kegiatan
pemantauan (monitoring) dan analisis (evaluasi formatif) untuk meningkatkan kinerja
berjejaring pada periode waktu yang sedang berjalan.

Untuk meningkatkan efektivitas berjejaring, evaluasi perlu dilakukan secara


periodik dan sangat disarankan untuk dilakukan setiap tahun atau paling tidak dua
tahun sekali. Selain untuk meningkatkan kinerja pelaksanaan berjejaring, evaluasi
bertujuan untuk: (1) meningkatkan kemampuan tanggap (response) jejaring untuk
segera beradaptasi terhadap perubahan situasi atau konteks; dan (2) memutuskan
apakah berjejaring masih perlu diteruskan atau tidak. Evaluasi untuk tujuan ke-2,
biasanya lebih diarahkan kepada jejaring KKP yang bertipe sosial-budaya-ekonomi
dan tata kelola.

81
Kajian kebutuhan berjejaring

Sebelum membentuk sebuah jejaring, perlu dilakukan kajian kebutuhan untuk


menjawab beberapa hal berikut: apakah jejaring perlu didirikan? Bila memang
diperlukan, maka dalam konteks apakah jejaring dibentuk? Berdasarkan keterkaitan
ekologi, sosial-budaya-ekonomi atau tata kelola? Bila memungkinkan, sangat
disarankan untuk juga memasukkan analisis biaya-manfaat dan peluang pendanaan
berkelanjutan dalam kajian kebutuhan ini untuk memberikan informasi yang lebih
lengkap untuk melakukan pengambilan keputusan kemudian.

Kebutuhan untuk berjejaring biasanya ditentukan oleh paling tidak dua hal,
yaitu (1) karena adanya ancaman (threat) terhadap keanekaragaman hayati dan
sumberdaya hayati bernilai ekonomis (cf. McLeod et al., 2009; Pressey et al., 2007;
Salafsky & Margoluis, 1999; Secretariat of the Convention on Biological Diversity,
2006), dan/atau (2) karena menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principles
– Cooney, 2004). Ancaman dapat berupa kegiatan manusia yang menimbulkan
dampak negatif dalam jangka pendek dan menengah seperti pencemaran, maupun
dalam jangka panjang seperti perubahan iklim (McLeod et al., 2009; Pressey et al.,
2007; Salafsky & Margoluis, 1999; Secretariat of the Convention on Biological
Diversity, 2006). Penerapan prinsip kehatian-hatian dilakukan karena keterbatasan
manusia untuk memprakirakan dan mengetahuiperubahan yang terjadi di masa depan
(Cooney, 2004). Pada umumnya pembentukan jejaring adalah untuk memenuhi
tujuan pelestariankeanekaragaman hayati dan/atau kesinambungan pasokan
sumberdaya perikanan dan/atau adaptasi terhadap perubahan iklim (Fernandes et al.,
2012).

Keterkaitan ekologi merupakan pertimbangan utama dalam pembentukan


jejaring KKP (Fernandes et al., 2012; Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008; Pet-
Soede et al., 2009; McLeod et al., 2009). Oleh karenanya, dalam kajian kebutuhan
pembentukan jejaring dimulai dari melihat keterkaitan ekologi dari beberapa KKP.

82
Langkah-langkah yang disarankan untuk melihat keterkaitan tersebut terdiri dari 3
(tiga) langkah:

(1) Mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan, yaitu aspek-aspek


biologi dan non-biologi, dari beberapa KKP (atau calon KKP) yang akan
dianalisis keterkaitannya.

(2) Analisis data dan informasi untuk melihat keterkaitan. Keterkaitan dapat
didekati melalui penyebaran larva ikan dikaitkan dengan pola arus atau
oseanografi fisik, dan/atau keserupaan struktur komunitas dari
ekosistemekosistem pesisir/laut utama (terumbu karang, mangrove dan
lamun) yang dikaji.

(3) Sintesis, berupa keputusan bahwa sebuah jejaring ekologi perlu didirikan
dengan melibatkan beberapa KKP (atau calon KKP) yang dikaji.

Terkait dengan pembentukan jejaring sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola,


langkah yang sama diulangi, namun data dan informasi yang dikumpulkan adalah
yang berhubungan dengan aspek-aspek sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola yang
relevan dengan pengelolaan jejaring.

Jejaring tata kelola biasanya dilakukan pemerintah dan diinisiasi oleh unit-unit
pengelola yang memiliki pendekatan pengelolaan serupa karena berada di bawah satu
badan atau lembaga tertentu, seperti misalnya Kementerian Kelautan & Perikanan,
Kementerian Kehutanan (Pet-Soede et al., 2009; Schwenke et al., 2010) atau
pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten). Sementara itu, jejaring sosial-budaya-
ekonomi yang dibangun oleh masyarakat setempat atau berbasis masyarakat, karena
adanya keserupaan pendekatan pengelolaan, seperti bukatutup kawasan pada sasi laut
di Indonesia Timur, serta ketergantungan dan pemanfaatan sumberdaya yang serupa
(Bustamante et al., 2010; Varney et al., 2010; White et al., 2006).

Pet-Soede et al. (2009) menyatakan bahwa dalam suatu jejaring ekologi


kemungkinan dijumpai kawasan-kawasan konservasi yang dikelola oleh pemerintah

83
atau masyarakat setempat. Oleh karena itu, merupakan langkah lanjutan yang wajar
bila setelah keterkaitan ekologi diidentifikasi, selanjutnya dilakukan identifikasi
keterkaitan sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola. Identifikasi ini dilakukan untuk
memperkuat alasan pembentukan sebuah jejaring KKP. Bila masing-masing KKP
yang dikaji sudah memiliki unit organisasi pengelola, maka keputusan untuk
membentuk jejaring KKP dapat segera ditindaklanjuti, meski kesinambungannya
sangat bergantung kepada komitmen dari masingmasing unit organisasi pengelola
untuk berjejaring.

Tantangan cukup berat akan dihadapi oleh KKP yang dikelola oleh
masyarakat dan calon-calon KKP yang biasanya belum memiliki unit organisasi
pengelola. Perlu dipikirkan siapa yang seharusnya berperan dalam menginisiasi
pembentukan jejaring, apakah oleh pengelola di masing-masing KKP atau melalui
arahan yang diberikan oleh pemerintah pusat (baca: Kementerian Kelautan dan
Perikanan), pemerintah daerah, atau pemangku kepentingan lainnya (perguruan tinggi
dan lembaga swadaya masyarakat).

STRATEGI PENGELOLAAN JEJARING KKP

Dalam konteks Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri


tentang Jejaring KKP, sebuah jejaring pada dasarnya adalah kerjasama antar unit
organisasi pengelola KKP untuk mencapai tujuan yang lebih efisien, efektif, dan
memenuhi sasaran yang tidak dapat dicapai melalui pengelolaan KKP secara sendiri-
sendiri. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan jejaring KKP dilakukan oleh kelembagaan
pengelola jejaring, unit organisasi pengelola masing-masing KKP, dan dapat dibantu
oleh perorangan, kelompok masyarakat, perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat dan swasta.

Dalam hal diperlukannya sebuah kelembagaan dalam pengelolaan jejaring


KKP, maka kelembagaan pengelola jejaring ini ditentukan berdasarkan kesepakatan

84
antar unit organisasi pengelola dan/atau SKPD. Kelembagaan dapat bersifat cair
seperti berbentuk forum atau pusat layanan (resource center), atau dalam bentuk
organisasi formal seperti kelompok kerja atau dewan pengelola. Beberapa jenis
kerjasama yang mungkin dikembangkan dalam pengelolaan jejaring KKP, antara
lain:

a. Penanganan pencemaran;

b. Pengendalian penangkapan ikan tidak berkelanjutan;

c. Mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim;

d. Pengendalian spesies asing dan invasif; dan

e. Pengendalian perusakan habitat dan populasi ikan.

Selain itu, kerjasama dapat berupa kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk


meningkatkan kinerja pengelolaan KKP seperti:

a. Perlindungan dan pengelolaan spesies bermigrasi;

b. Pengawasan dan penegakan hukum;

c. Peningkatan nilai pemanfaatan kawasan;

d. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia;

e. Pendidikan dan peningkatan kepedulian terhadap kawasan konservasi


perairan;

f. Pembangunan dan pengembangan basis data mutakhir;

g. Peningkatan kerja sama dan jaringan internasional

h. Pembiayaan pengelolaan kawasan konservasi perairan; i. Restorasi dan


rehabilitasi ekosistem; dan j. Penelitian dan pengembangan teknologi.

85
LAMPIRAN

Lampiran 1. Diskripsi Keanekaragaman Hayati Perairan

Gambar 12. Berbagai organisme air tawar berdasarkan cara hidupnya.

86
Gambar 13. Empat Daerah Utama Pada Danau Air Tawar

87
DAFTAR PUSTAKA

IUCN-UNEP, WWF, Bumi Wahana, Strategi Menuju Kehidupan yang


Berkelanjutan. Jakarta: PT. Gramedia.
Salim, E. 1986. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.
Soemarwoto, O. 1994. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Bandung:
Penerbit Djambatan.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Gramedia. Jakarta.
file:///C:/Users/Admin/Downloads/strategi%20pembangunan%20jejaring
%20kawasan%20konservasi%20perairan%20di%20indonesia0.pdf

file:///C:/Users/Admin/Downloads/pedoman_pemanfaatan_kawasan_konservasi_untu
k_budidaya_perikanan(2).pdf

Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan


Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Kamaluddin, Laode M. 2002. Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia. Jakarta:


Gramedia.

Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir


dan Laut Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Peraturan Menteri kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006, tentang Pedoman Zonasi


Taman Nasional.

PHKA (2001). Buku 1 Rencana Pengelolaan. Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman


Nasional Komodo. W. S. Ramono, N.B. Wawandono, & J. Subijanto. Jakarta, PHKA.
V.1: 92.

file:///C:/Users/Admin/Downloads/8-Zonasi-kawasan-konservasi-perairan(3).pdf

file:///C:/Users/Admin/Downloads/kebijakan_pengelolaan_konservasi_kawasan_danJ
jenis_ikan_23-11-10.pdf

88
89

Anda mungkin juga menyukai