Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumber daya perikanan di Indonesia khususnya di Maluku dari jenis ikan pelagis

kecil memegang peranan penting dalam konsumsi harian masyarakat. Ikan pelagis kecil

meliputi ikan-ikan yang hidup di permukaan laut seperti ikan tongkol (Auxis thazard), ikan

layang (Decapterus macrosoma), ikan selar (Selaroides sp) dan lain-lain.Ikan layang

(Decapterus sp) merupakan salah satu komunitas perikanan pelagis kecil yang penting di

Indonesia.

Ikan layang di perairan Indonesia terdapat lima jenis layang yang umum yakni

Decapterus kurroides, Decapterus russelli, Decapterus macrosoma, Decapterus layang,

dan Decapterus maruadsi, Penyebaran ikan layang ini sangat luas di daerah Perairan

Indonesia, yaitu dari Pulau Seribu, Pulau Bawean, Pulau Masalembo, Selat Makassar, Selat

Karimata, Selat Malaka, Laut Flores, Laut Arafuru, Selat Bali, dan Perairan Selatan Pulau

Jawa. Decapterus kurroides termasuk jenis ikan layang yang agak langka yang terdapat

diperairan Pelabuhan Ratu, Labuhan, Muncar, Bali dan Aceh” (Hizaz. 2011).

Ikan laying selain mempunyai nilai ekonomis penting di Jawa dan Sulawesi,

dagingnya memiliki tekstur yang kompak dengan citarasa yang banyak digemari orang,

sehingga dapat menjadi salah satu sumber pemenuhan protein hewani bagi rakyat, ikan

laying khususnya menduduki peringkat tertinggi baik dari segi persediaan maupun hasil

penjualan, karena ikan ini dikonsumsi oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.
2

Kenyataan menunjukkan bahwa dari hasil tangkapan nelayan, beberapa penjualan

ikan laying menempati jumlah lebih banyak dibanding penjualan ikan lainnya. Daging

ikan layang memiliki kandungan protein yang tinggi yang merupakan sumber nutrisi

yang penting bagi pertumbuhan bakteri.

Pengawetan ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses pengambilan

pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Ada pula yang mengatakan, pendinginan

adalah proses pengambilan panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan

mempertahankan suhu di ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah dari

pada suhu di luar ruangan (Adawyah, 2007).

Menurut Junianto (2003), pada suhu rendah (pendinginan atau pembekuan), proses-

proses biokimiawi yang berlangsung dalam tubuh ikan yang mengarah pada kemunduran

mutu ikan menjadi lambat. Selain itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri

pembusuk dalam tubuh ikan juga dapat dihambat, dengan demikian kesegaran ikan akan

semakin lama dipertahankan. Media pendingin yang baik untuk penanganan ikan salah

satunya adalah es. Penurunan suhu tubuh ikan dengan menggunakan es sudah banyak

dilakukan.
3

1.2. Tujuan

Mempelajari karakteristik penurunan suhu dan mutu ikan layang selama penyimpanan

dingin.

1.3. Manfaat

Untuk memberikan informasi ilmiah kepada mahasasiswa ,nelayan, dan penjualan ikan

serta semua orang yang berkepentingan dengan dunia perikanan.


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Layang (Decapterus sp)

Klasifikasi morfologi ikan layang (Decapterus sp) Klasifikasi ikan layang menurut

klasifikasi Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Phyllum : Chordata

Kelas : Pisces

Sub kelas : Teleostei

Ordo : Percomorphi

Divisi : Perciformes

Sub divisi : Carangi

Familia : Carangidae

Genus : Decapterus

Spesies : Decaptersus sp.

Gambar 1. Ikan Layang (Decapterus sp.)


(Sumber: Chairita (2008).
5

Ikan layang (Decapterus sp) termasuk ikan pelagis, dan berdasarkan ukurannya

dikelompokkan sebagai ikan pelagis kecil.Ikan ini yang tergolong suku Carangidae ini hidup

bergerombol. Ukurannya sekitar 15 cm meskipun ada pula yang bias mencapai 20,5 cm. Ciri

khas yang sering dijumpai pada ikan layang ialah terdapat nya sirip kecil (finlet) di belakang

sirip punggung dan sirip dubur dan terdapat sisik yang tebal (lateral scute) pada bagian garis sisi

(lateral line).

Warna tubuh ikan laying pada bagian punggungnya biru kehijauan dan putih perak pada

bagian perutnya. Bentuk tubuh memanjang dapat mencapai 20,5 cm, rata-rata panjang badan

ikan laying pada umumnya adalah 20-25 cm dan warna sirip-siripnya kuning kemerahan. Ikan

laying memiliki dua sirip punggung, selain sirip-sirip yang ada pada umumnya, ikan layang

memiliki sirip tambahan dua buah di belakang sirip punggung kedua dan satu buah di belakang

sirip dubur.Ikan layang memiliki finlet yang merupakan ciri khas dari genus Decapterus

(Saanin,1984).

2.2 Komposisi Gizi Ikan Layang

Komposisi kimia ikan tergantung kepada spesies, umur, jenis kelamin dan musim

penangkapan serta ketersediaan pakan di air, habitat dan kondisi lingkungan. Umumnya

komposisi kimia daging ikan terdiri dari air (66-84)%, protein (15- 24)%, lemak (0,1-22)%,

karbohidrat (1-3)% dan bahan anorganik (0,8-2)% (Abdillah, 2006). Besarnya komposisi kimia

daging ikan sangat bervariasi tergantung spesies, jenis kelamin, umur, musim dan kondisi

lingkungan dimana ikan tersebut ditangkap. Menurut Irianto dan Soesilo (2007), ikan layang

memiliki kandungan gizi yang tinggi, protein sebesar (22,0)%, kadar lemak rendah (1,7)%

sehingga lebih menguntungkan bagi kesehatan.


6

Komposisi kimia daging ikan sangat bervariasi tergantung spesies, jenis kelamin,

umur, musim dan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut ditangkap. Berdasarkan Chairita

(2008) komposisi kimia ikan layang dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Komposisi kimia ikan layang (Decapterus sp)

Parameter Jumlah

Protein (%) 18,13


Lemak (%) 1,90
Abu (%) 1,03
Air (%) 78,58
Sumber : Chairita (2008)

2.3. Mutu Kesegaran Ikan

Pengertian mutu untuk hasil perikanan identic dengan kesegaran. Adapun yang dimaksud

dengan ikan segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup,baik rupa,

bau, rasa maupun teksturnya. Definisi ikan segar menurut SNI 01-2729-2006 adalah produk

yang berasal dari perikanan dengan bahan baku ikan, yang telah mengalami perlakuan

pencucian, penyiangan atau tidak penyiangan, pendinginan dan pengemasan.

Ikan segar yang didefinisikan oleh FAO (1995) adalah ikan yang baru saja ditangkap,

belum disimpan atau diolah, atau ikan yang memiliki sifat kesegaran yang kuat serta belum

mengalami pembusukan. Menurut Ilyas (1983) ikan segar memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Daging ikan padat elastis, tidak mudah lepas dari tulang belakangnya

2. Aroma atau baunya segar dan lunak seperti bau rumput laut

3. Mata berwarna cerah dan bersih, menonjol penuh serta transparan

4. Insang berwarna merah cerah;

5. kulit mengkilat dengan warna cerah.


7

Ikan yang segar adalah ikan yang kondisinya dipertahankan tetap segar dengan

pendinginan yang tidak dibekukan, sehingga kualitas masih sama atau mendekati keadaan pada

saat-saat ikan tersebut masih hidup (Hartina,1991).

Mengetahui ikan cukup dengan 4M (melihat, meraba, menekan, danmencium) yaitu

melihat penampakan fisik, kondisimata, insang, adanya lendir, dan sebagainya, meraba dan

menekan tekstur dan kondisi daging ikan, dan mencium baunya (Wibowo,2000).

2.4. Proses Penurunan Mutu Ikan

Mutu ikan berkaitan dengan tingkat kesegaran. Kesegaran adalah tolak ukur untuk

membedakan ikan yang jelek dan ikan yang baik kualitasnya. Ikan dikategorikan masih segar

jika perubahan-perubahan biokimiawi, mikrobiologi, dan fisikawi yang terjadi belum

menyebabkan kerusakan berat pada ikan. Berdasarkan kesegarannya, ikan dapat digolongkan

menjadi empat kelas mutu, yaitu ikan yang kesegarannya masih baik sekali (prima), ikan

yang kesegarannya masih baik (advance), ikan yang kesegarannya sudah mulai mundur (sedang),

dan ikan yang sudah tidak segar lagi (mutu rendah/busuk) (Hadiwiyoto,1993).

Setelah ikan ditangkap dan mati maka dalam tubuh ikan berlangsung proses ke arah

pembusukan. Ikan hasil tangkapan mudah sekali mengalami kerusakan, terutama di daerah

tropis, dimana suhu dan kelembaban sangat memungkinkan terjadinya proses pembusukan.

Proses penurunan mutu (deteriorasi) pada ikan disebabkan oleh tiga macam kegiatan yaitu

autolisis, kimiawi, dan mikrobiologis (Ilyas, 1983).

2.4.1. Proses Autolisis


8

Autolisisa dalah proses penguraian organ-organ tubuh ikan oleh enzim-enzim yang

terdapat dalam tibuh ikan sendiri. Proses ini terjadi setelah ikan melewai fase rigor mortis

(Afriyantono dan Liviawaty,1989). Penurunan pH saat fase rigor mortis menyebabkan enzim-

enzim dalam jaringan ikan yang aktivitasnya berlangsung pada pH rendah menjadi aktif yakni

enzim katepsin. Enzim katepsin berfungsi menguraikan protein menjadi senyawa yang lebih

sederhana, merombak struktur jaringan protein otot menjadi lebih longgar sehingga rentan

sehingga rentan terhadap serangan bakteri. Faseini merupakan fase transisi antara segar dan

busuk, namun ikan dalam fase ini seringkali masih dianggap cukup segar dan layak untuk

dikonsumsi.

Selama aktivitas enzim masih berlangsung ikan masih tergolong segar (Yunizal dan

Wibowo,1998). Pada ikan yang masih hidup kerja enzim selalu terkontrol sehingga aktivitasnya

menguntungkan bagi kehidupan ikan itu sendiri. Selama ikan hidup, enzim-enzim yang terdapat

dalam tubuh berasal dari daging (katepsin), enzim pencernaan ataupun enzim yang berasal yang

berasal dari mikroorganisme yang terdapat pada saluran pencernaan yang akan membantu

proses metabolisme makanan (Afrianto dan Liviawaty,1989).

Namun setelah ikan mati, enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara

aktif namun sistem kerjanya tidak terkontrol karena organ pengontrol yaitu otak tidak berfungsi

lagi sehingga enzim dapat merusak organ tubuh ikan (Junianto, 2003).

2.4.2. Proses oksidasi


9

Proses penurunan mutu ikan secara kimiawi disebabkan karena proses oksidasi lemak

pada ikan yang mengakibatkan bau tengik dan rasa, sehinggagejala ini dinamakan ketengikan.

Disamping itu rupa ikan dan dagingnya berubah kearah coklat kusam. Proses oksidasi terjadi

hamper bersamaan dengan perombakan jaringan oleh bakteri (Ilyas,1983) Pengukuran

kemunduran mutu ikan secara kimiawi dapat dilakukan dengan mengukur derajat keasaman

(pH) daging ikan.

Pada umumnya ikan yang sudah tidak segar, dagingnya mempunyai pH lebih basa

(tinggi) dari pada yang masih segar. Hal ini disebabkan karena timbulnya senyawa-senyawa

yang bersifat basa seperti misalnya ammonia, trimethylamine, dan senyawa-senyawa volatil

lainnya (Hadiwiyoto, 1993). Penentuan kesegaran ikan secara kimiawi lainnya adalah dengan

menggunakan prinsip penetapan Total Volatil Bases (TVB). Prinsip penetapan TVB adalah

menguapkan senyawa-senyawa volatil yang terbentuk karena proses penguraian asam amino

yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto, 1993).

2.4.3. Proses Mikrobiologis

Fase perubahan karena mikrobiologis merupakan proses pembusukan yang disebabkan

aktivitas mikroganisme, terutama bakteri. Senyawa sederhana hasil autolysis teryanta sangat

dibutuhkan bakteri pembusuk sehingga mendorong pertumbuhan bakteri pembusuk. Bakteri

tersebut mengeluarkan enzim ke jaringan daging untuk mengubah protein menjadi senyawa yang

mudah larut (Yunizal dan Wibowo, 1998). Selama ikan hidup, bakteri yang terdapat dalam

saluran pencernaan, insang, saluran darah, dan permukaan kulit tidak dapat merusak atau

menyerang bagian-bagian tubuh ikan (Junianto ,2003).


10

Hal ini disebabkan ikan hidup memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas

mikroorganisme. Setelah ikan mati, bakteri-bakteri menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau

luka yang terdapat pada kulit menuju jaringan tubuh bagian dalam. Penyerangan bakteri terhadap

tubuh ikan yang telah mati ada tiga macam, yaitu dari insang dan luka ke tubuh bagian dalam,

dari saluran penceranaan ke jaringan daging dan dari kulit ke jaringan daging (Afrianto dan

Liviawaty, 2010). Penurunan mutu ikan dapat dilihat dari berubahnya lender menjadi pekat,

bergetah dan amis, mata terbenam dan sinarnya pudar, insang dan isi perut berubah warna

dengan susunan yang berantakan dan berbau menusuk, akhirnya seluruh ikan busuk (Ilyas,1983).

2.5. Pendinginan

Pendinginan yaitu salah satu cara yang umum digunakan untuk memperlambat kerusakan

pada produk-produk hasil perikanan (Mohammed and Hamid,2011), selain itu pendinginan

dengan menggunakan es basah hanya dapat mempertahankan suhu rendah dalam waktu yang

singkat (Nugroho et al. 2016). Penanganan ikan hasil tangkapan di kapal merupakan perlakuan

terpenting dari seluruh proses perjalanan ikan hingga sampai ke konsumen. Penanganan yang

baik adalah menggunakan sistem rantai dingin dan mengutamakan sanitasi dan higiene.

Namun pada kenyataannya, penanganan ikan yang dilakukan para nelayan di Indonesia

terutama nelayan tradisional belum menerapkan penanganan pasca-panen dan sistem

penyimpanan dingin dengan baik, sehingga ikan-ikan yang didaratkan pada umumnya telah

mengalami kemunduran mutu yang cukup tinggi, sehingga akan merugikan nelayan.
11

BAB III

METODOLOGI

3.1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam PKL ini adalah Ikan Layang dan Es Batu, Natrium Agar,

1
Tricloroacetive acid (TCA), bufer, 4 dan 7, K2C03, Hcl, , vacelin, aquades dan lain-lain.
70

3.2. Alat

Alat yang digunakan untuk proses dalam PKL ini adalah Coolbox, Termokopel, Loyang,

Pisau, Talenan, PH meter, alat tritrasi, petridis, cawan anwai, timbangan analitik, inkubator,

micro pipet

3.3. Metode PKL

Metode yang di gunakan dalam PKL ini adalah metode eksperimen

3.4. Prosedur PKL

Persiapan pendinginan ikan layang (Decapterus sp) dihitung sebanya 40 kg ikan dan

ditimbang ikan sebanyak 3 kg untuk perbandingan ikan:es 1:1 demikian juga dilakukan

ditimbang ikan sebanyak 3 kg dan ditimbang es sebanyak 6 kg untuk perbandingan1:2 Kemudian

juga dibuat ikan didalam wadah pendinginan, kemudian dilakukan pengukuran suhu terhadap

ke 3 perlakuan tersebut sampai suhu konstan dan suhu ikan mulai naik. Mutu ikan awal yang

terdiri dari PH, TPC,dan TVB. diukur sesaat setelah ikan sampai di lep. dan setiap hari sampai

hari ke 2.
12

Siapkan alat dan bahan yang digunakan

Tanpa es
Es : ikan Es : ikan
1:1 1:2

Kemudian masukan alat termokopel untuk mengukur


suhu

Setelah itu tutup coolbox

Uji TCP,TVB,PH setiap hari


selama 3 hari

Hasil pengamatan di
catat

Gambar 2. Diagram Praktek Ketrampilan Lapang


13

3.5. Perlakuan

Perbandingan es dan ikan

Tanpaes A1

Ikan : es : 1 : 1 A2

Ikan : es : 1 : 2 A3

3.6. Parameter Uji

Parameter uji yang digunakan dalam PKL ini adalah karakteristik penurunan suhu ikan

layang (Decaptersus sp) selama penyimpanan dingin, PH, TPC, TVB.

3.7. WaktudanTempat

Praktek Ketrampilan Lapang ini berlangsung pada hari jumat, 19 Desember 2018 jam

10:30 sampai selesai, bertempat di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura

Ambon.
14

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Suhu Ikan Layang (Decapterus sp.) Selama Proses Pendinginan

Gambar 3.Grafik Karakteristik Suhu Ikan Layang (Decapterus sp.) Selama Proses
Pendinginan

Berdasarkan hasil pengukuran suhu tubuh ikan dengan menggunakan “thermocouple”,

menunjukan bahwa kecepatan penurunan suhu tubuh ikan selama preses penyimpanan untuk tiga

perlakuan adalah perlakuan tanpa es, perlakuan ikan es 1:1 dan perlakuan ikan es 1:2 tanpa es

dalam waktu 6 jam. Suhu ikan awal adalah 29,oC pada perlakuan tanpa es di 2 jam awal

mengalami peningkatan suhu yaitu 33oC dan pada jam ke 4 mengalami penurunan suhu dan

juga pada jam ke 6 sehingga mengakibatkan pembusukan pada ikan. Perlakuan ikan es 1:1 pada

waktu 2 jam awal suhu menurun dan pada waktu 6 jam suhu juga menurun. Perlakuan ikan es

1: 2 pada waktu 2 jam awal suhu mengalami penurunan sampai waktu 6 jam juga mengalami
15

penurunan suhu. Dari 3 perlakuan yang dilakukan perlakuan yang paling baik adalah perlakuan

ikan : es 1:2.

4.2. PH ikan segar

Gambar 4. Nilai pH

Gambar 4 ini memperlihatkan nilai pH pada hari ke-0 untuk semua perlakuan ikan dan es

1:1 5,7 dan cenderung meningkat sampai dengan hari ke-2 lama penyimpanan. Nilai pH tertinggi

pada hari ke-2 diperoleh dengan perlakuan ikan es 1:1 0 yaitu 7.2, dan terendah dengan

perlakuan ikan dan es 1:2 6.4. Terjadinya peningkatan untuk semua perlakuan ikan dan es

selama penyimpanan (Hari ke-0 sampai ke-2), karena adanya aktifitas enzim pengurai yang

bekerja efektif sehingga pH asam menjadi pH basa. Nilai pH yang diperoleh dalam prakek

ketrampilan lapang ini menunjukkan bahwa ikan layang (Decapterus sp) yang disimpan dengan

ikan dan es 7.2 sampai hari ke-2 mempunyai kemampuan untuk menahan perubahan pH lebih

baik jika dibandingkan ikan dan es 6.4 , 6.3, 0, sehingga menjaga kualitas mutu ikan layang

secara baik.
16

Gambar 5. Total plate count (TPC)

Gambar 5 memperlihatkan selama penyimpanan, rata rata terjadi peningkatan pada

perlakuan ikan dan es 1:1 dan ikan dan es 1:2 Terdapat peningkatan nilai TPC seiring dengan

peningkatan nilai pH dimana pada perlakuan ikan es 1:1 dan ikan es 1:2 mendekati pH netral

sehingga memungkinkan bakteri bertumbuh dengan cepat. Hal ini sesuai menurut Berhimpon

(1993) yang menyatakan bahwa sebagian besar mikroba bertumbuh pada pH netral dan hanya

beberapa bakteri yang tumbuh pada pH rendah, sedangkan penurunan nilai TPC pada perlakuan

ikan dan es 1:1 dan 1:2 disebabkan karena kondisi dari ikan tersebut tidak cocok untuk

pertumbuhan bakteri yang tidak tahan terhadap pH rendah.

Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2729-1991) telah menetapkan bahwa jumlah bakteri

maksimum ikan segar adalah 5x105 cfu/g. ini berarti bahwa total bakteri yang terdapat pada

perlakuan ikan dan 1:1 dan 1:2, masi bisa diterima untuk lama penyimpanan sampai hari ke-2.
17

Gambar 6.Nilai TVB-N

Gambar 6 menunjukkan perubahan nilai TVB-N ikan layang (Decapterus sp.) yang

meningkat dan bervaryasi selama penyimpanan dinggin. Hasil ini menunjukan ini menunjukan

bahwa semakin lama penyimpanan, nilai TVB-N ikan laying semakin meningkat. Dimana pada

hari ke-0 nilai TVB-N untuk semua perlakuan yaitu 1:1 mg N/100g daging ikan. setelah

memasuki hari ke-1 nilai TVB-N untuk perlakuan ikan dan es 1:1 naik menjadi 32 mg N/100g,

hari ke-2 menjadi 72 mg N/100g. dan perlakuan 1:2 mg N/100g daging ikan. setelah memasuki

hari ke-1 nilai TVB-N untuk perlakuan ikan dan es 1:2 naik menjadi 22 mg N/100g, hari ke-2

menjadi 32 mg N/100g. setelah lama penyimpanan 2 hari nilai TVB-N perlakuan ikan dan es

lebih tinggi dan telah melebihi nilai standar TVB-N ikan segar (>30m gN/100g ) jika

dibandingkan perlakuan ikan dan es 1:2 yang tidak melebihi nilai standar TVB-N ikan segar

(<30m gN/100g), hal ini sejalan dengan pernyataan Suwetja (2013) bahwa nilai batas bakterial

dengan uji TVB-N adalah sebesar 30mg N/100g daging ikan. nilai TVB-N tertinggi adalah

72mg N/100g sampel dengn perlakuan ikan dan es 1:2 dan terendah adalah 16mg N/100g pada

perlakuan ikan dan es 1:1 pada hari ke-2 lama penyimpanan. nilai TVB-N sangat erat kaitannya
18

dengan proses kemunduran mutu. Semakin tinggi nilai TVB-N, makin mundur tingkat kesegaran

ikan (suwetja 2013).

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Dari hasil praktikum ketrampilan lapang yang didapat yaitu suhu awa lpada tiga

perlakuanya itu 290C, dapat disimpulkan bahwa suhu ikan layang dengan perlakuan tanpa es

berbanding lurus dengan suhu awal sedangkan pada ikan layang dengan perlakuan ikan es 1:1

mengalami peningkatan pada jam ke 1sampai jam ke 6 mengalami penurunan suhu dari 29 0C

hingga 50C hal ini menyebabkan kualitas ikan layang masi terjaga kualitasnya. Sedangkan pada

perlakuan 1:2 mengalami peningkatan yang sangat baik dari jam ke 1sampai jam ke 6 mengalami

penurunan suhu dari 290C sampai dengan 30C hal ini menyebabkan kualitas ikan lebih baik

dibandingkan dengan kualitas lainnya.

5.2. Saran

Dari hasil praktikum ketrampilan lapang ini dapat disarankan bahwa praktek ketrampilan

lapang harus dilakukan dengan baik dan mencatat hasil pengamatan dengan teliti dan tetap dijaga

kesegaran dan rantai dingin selama praktikum keterampilan lapang berlangsung.


19

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, F. 2006. Penambahan Tepung Wortel dan Keragaman Untuk Meningkatkan Kadar
Serat Pangan pada Nugget Ikan Nila. Skripsi Sarjana Teknologi Pertanian. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Adawyah. 2007. Pengolahan Dan Pengawetan Ikan. Penerbit: Bumi Aksara . Jakarta

Afrianto, E dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius.

Afrianto, E., dan Liviawaty, E.2010. Penanganan Ikan Segar. Widya Padjajaran. Bandung.
Hal.8-69.
Berhimpon, S. 1993. Mikrobiologi Perikanan Ikani. Bagian 1.Ekologi dan Pertumbuhan Mikroba
Serta Pertumbuhan Biokimia Pangan.Laboratorium Pengolahan dan Pembinaan Mutu
Hasil Perikanan.Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Sam Ratulangi.
Manado.
FAO. 1995. Code of Conduc for Responsible Fisheries. FAO Fisheries department.24p. (online)
(http://fao//fisheries /code).
Chairita. 2008. Karakteristik bakso ikan dari campuran surimi ikan layang (Decapterus spp) dan
ikan kakap merah (Lutjanus sp) pada penyimpanan suhu dingin. Tesis. Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1. Yogjakarta : Liberty
Yogyakarta.
Hartina.1991. http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=15163.Diakses tanggal 20 September
2015.
Hizaz, Ade Jamil. 2011. Perbedaan Hanging Ratio Jaring Rampus Terhadap Hasil tangkapan
Ikan Layang (Decapterus Kurroides) di Perairan Cisolok, Pelabuhan ratu. [Skripsi].
Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Ilyas, 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Teknik Pendinginan Ikan. C.V Paripurna.
Jakarta. 237 hlm.Jakarta : Bhatara Aksara.
Irianto, H. E., Soesilo, I. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan.[Seminar].
Seminar Nasional Hari pangan Sedunia 2007. Hlm: 1- 20.
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta

Mohammed, I.M.A. and S.H.A. Hamid. 2011. Effect of Chilling on Microbial Load of Two Fish
Species (Oreochromis niloticus and Clarias lazera). J. Food and Nutrition, 1(3):109-113.
Nugroho, T.A., Kiryanto, dan B.A. Adietya. 2016. Kajian eksperimen penggunaan media
pendingin ikan berupa es basah dan ice pack sebagai upaya peningkatan performance
tempat penyimpanan ikan hasil tangkapan nelayan. J. Teknik Perkapalan, 4(4): 889-898.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bogor: BinaCipta.

Suwetja, 1. Ketut, 2013. Indeks Mutu Kesegaran Ikan


(Berkandungan Hasil-Hasil Penelitian), Bayumedia publishing Malang.
20

Wibowo S. 2000. Industri Pengasapan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Yunizal dan Wibowo. 1998. Penanganan Ikan Segar. Jakarta: InstalasiPenelitianIkanlaut. SLIPI.

Lampiran 1. Rekapilasi suhu ikan selama pendinginan

Perlakuan
Waktu
1 :1 1:2 Tanpa Es
29.30C 29.30C 29.30C
11 : 02 15.80C 13.20C 29.80C
11 : 32 10.70C 4.00C 30.50C
12 : 02 8.40C 2.90C 31.30C
12 : 32 6.40C 2.90C 32.30C
13 : 02 5.60C 2.90C 30.20C
13 : 32 5.20C 2.60C 30.20C
14 : 02 4.60C 2.60C 30.30C
14 :32 4.10C 2.20C 30.90C
15: 02 4.00C 2.30C 31.00C
15 : 32 3.80C 2.20C 30.60C
16 : 02 3.50C 2.00C 31.40C
16 : 32 3.80C 2.20C 30.80C
17 : 02 4.50C 2.70C

Keterangan : 29.30CSuhu Awal

31.50C Suhu Ruangan

pH Awal 5.8

pH Kedua 5.8

pH Akhir 5.9
21

Lampiran 2. Dokumentasi
22
23

Anda mungkin juga menyukai