PENDAHULUAN
Sumber daya perikanan di Indonesia khususnya di Maluku dari jenis ikan pelagis
kecil memegang peranan penting dalam konsumsi harian masyarakat. Ikan pelagis kecil
meliputi ikan-ikan yang hidup di permukaan laut seperti ikan tongkol (Auxis thazard), ikan
layang (Decapterus macrosoma), ikan selar (Selaroides sp) dan lain-lain.Ikan layang
(Decapterus sp) merupakan salah satu komunitas perikanan pelagis kecil yang penting di
Indonesia.
Ikan layang di perairan Indonesia terdapat lima jenis layang yang umum yakni
dan Decapterus maruadsi, Penyebaran ikan layang ini sangat luas di daerah Perairan
Indonesia, yaitu dari Pulau Seribu, Pulau Bawean, Pulau Masalembo, Selat Makassar, Selat
Karimata, Selat Malaka, Laut Flores, Laut Arafuru, Selat Bali, dan Perairan Selatan Pulau
Jawa. Decapterus kurroides termasuk jenis ikan layang yang agak langka yang terdapat
diperairan Pelabuhan Ratu, Labuhan, Muncar, Bali dan Aceh” (Hizaz. 2011).
Ikan laying selain mempunyai nilai ekonomis penting di Jawa dan Sulawesi,
dagingnya memiliki tekstur yang kompak dengan citarasa yang banyak digemari orang,
sehingga dapat menjadi salah satu sumber pemenuhan protein hewani bagi rakyat, ikan
laying khususnya menduduki peringkat tertinggi baik dari segi persediaan maupun hasil
penjualan, karena ikan ini dikonsumsi oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.
2
ikan laying menempati jumlah lebih banyak dibanding penjualan ikan lainnya. Daging
ikan layang memiliki kandungan protein yang tinggi yang merupakan sumber nutrisi
pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Ada pula yang mengatakan, pendinginan
adalah proses pengambilan panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan
mempertahankan suhu di ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah dari
Menurut Junianto (2003), pada suhu rendah (pendinginan atau pembekuan), proses-
proses biokimiawi yang berlangsung dalam tubuh ikan yang mengarah pada kemunduran
mutu ikan menjadi lambat. Selain itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri
pembusuk dalam tubuh ikan juga dapat dihambat, dengan demikian kesegaran ikan akan
semakin lama dipertahankan. Media pendingin yang baik untuk penanganan ikan salah
satunya adalah es. Penurunan suhu tubuh ikan dengan menggunakan es sudah banyak
dilakukan.
3
1.2. Tujuan
Mempelajari karakteristik penurunan suhu dan mutu ikan layang selama penyimpanan
dingin.
1.3. Manfaat
Untuk memberikan informasi ilmiah kepada mahasasiswa ,nelayan, dan penjualan ikan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi morfologi ikan layang (Decapterus sp) Klasifikasi ikan layang menurut
Phyllum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Percomorphi
Divisi : Perciformes
Familia : Carangidae
Genus : Decapterus
Ikan layang (Decapterus sp) termasuk ikan pelagis, dan berdasarkan ukurannya
dikelompokkan sebagai ikan pelagis kecil.Ikan ini yang tergolong suku Carangidae ini hidup
bergerombol. Ukurannya sekitar 15 cm meskipun ada pula yang bias mencapai 20,5 cm. Ciri
khas yang sering dijumpai pada ikan layang ialah terdapat nya sirip kecil (finlet) di belakang
sirip punggung dan sirip dubur dan terdapat sisik yang tebal (lateral scute) pada bagian garis sisi
(lateral line).
Warna tubuh ikan laying pada bagian punggungnya biru kehijauan dan putih perak pada
bagian perutnya. Bentuk tubuh memanjang dapat mencapai 20,5 cm, rata-rata panjang badan
ikan laying pada umumnya adalah 20-25 cm dan warna sirip-siripnya kuning kemerahan. Ikan
laying memiliki dua sirip punggung, selain sirip-sirip yang ada pada umumnya, ikan layang
memiliki sirip tambahan dua buah di belakang sirip punggung kedua dan satu buah di belakang
sirip dubur.Ikan layang memiliki finlet yang merupakan ciri khas dari genus Decapterus
(Saanin,1984).
Komposisi kimia ikan tergantung kepada spesies, umur, jenis kelamin dan musim
penangkapan serta ketersediaan pakan di air, habitat dan kondisi lingkungan. Umumnya
komposisi kimia daging ikan terdiri dari air (66-84)%, protein (15- 24)%, lemak (0,1-22)%,
karbohidrat (1-3)% dan bahan anorganik (0,8-2)% (Abdillah, 2006). Besarnya komposisi kimia
daging ikan sangat bervariasi tergantung spesies, jenis kelamin, umur, musim dan kondisi
lingkungan dimana ikan tersebut ditangkap. Menurut Irianto dan Soesilo (2007), ikan layang
memiliki kandungan gizi yang tinggi, protein sebesar (22,0)%, kadar lemak rendah (1,7)%
Komposisi kimia daging ikan sangat bervariasi tergantung spesies, jenis kelamin,
umur, musim dan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut ditangkap. Berdasarkan Chairita
Parameter Jumlah
Pengertian mutu untuk hasil perikanan identic dengan kesegaran. Adapun yang dimaksud
dengan ikan segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup,baik rupa,
bau, rasa maupun teksturnya. Definisi ikan segar menurut SNI 01-2729-2006 adalah produk
yang berasal dari perikanan dengan bahan baku ikan, yang telah mengalami perlakuan
Ikan segar yang didefinisikan oleh FAO (1995) adalah ikan yang baru saja ditangkap,
belum disimpan atau diolah, atau ikan yang memiliki sifat kesegaran yang kuat serta belum
mengalami pembusukan. Menurut Ilyas (1983) ikan segar memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Daging ikan padat elastis, tidak mudah lepas dari tulang belakangnya
2. Aroma atau baunya segar dan lunak seperti bau rumput laut
Ikan yang segar adalah ikan yang kondisinya dipertahankan tetap segar dengan
pendinginan yang tidak dibekukan, sehingga kualitas masih sama atau mendekati keadaan pada
melihat penampakan fisik, kondisimata, insang, adanya lendir, dan sebagainya, meraba dan
menekan tekstur dan kondisi daging ikan, dan mencium baunya (Wibowo,2000).
Mutu ikan berkaitan dengan tingkat kesegaran. Kesegaran adalah tolak ukur untuk
membedakan ikan yang jelek dan ikan yang baik kualitasnya. Ikan dikategorikan masih segar
menyebabkan kerusakan berat pada ikan. Berdasarkan kesegarannya, ikan dapat digolongkan
menjadi empat kelas mutu, yaitu ikan yang kesegarannya masih baik sekali (prima), ikan
yang kesegarannya masih baik (advance), ikan yang kesegarannya sudah mulai mundur (sedang),
dan ikan yang sudah tidak segar lagi (mutu rendah/busuk) (Hadiwiyoto,1993).
Setelah ikan ditangkap dan mati maka dalam tubuh ikan berlangsung proses ke arah
pembusukan. Ikan hasil tangkapan mudah sekali mengalami kerusakan, terutama di daerah
tropis, dimana suhu dan kelembaban sangat memungkinkan terjadinya proses pembusukan.
Proses penurunan mutu (deteriorasi) pada ikan disebabkan oleh tiga macam kegiatan yaitu
Autolisisa dalah proses penguraian organ-organ tubuh ikan oleh enzim-enzim yang
terdapat dalam tibuh ikan sendiri. Proses ini terjadi setelah ikan melewai fase rigor mortis
(Afriyantono dan Liviawaty,1989). Penurunan pH saat fase rigor mortis menyebabkan enzim-
enzim dalam jaringan ikan yang aktivitasnya berlangsung pada pH rendah menjadi aktif yakni
enzim katepsin. Enzim katepsin berfungsi menguraikan protein menjadi senyawa yang lebih
sederhana, merombak struktur jaringan protein otot menjadi lebih longgar sehingga rentan
sehingga rentan terhadap serangan bakteri. Faseini merupakan fase transisi antara segar dan
busuk, namun ikan dalam fase ini seringkali masih dianggap cukup segar dan layak untuk
dikonsumsi.
Selama aktivitas enzim masih berlangsung ikan masih tergolong segar (Yunizal dan
Wibowo,1998). Pada ikan yang masih hidup kerja enzim selalu terkontrol sehingga aktivitasnya
menguntungkan bagi kehidupan ikan itu sendiri. Selama ikan hidup, enzim-enzim yang terdapat
dalam tubuh berasal dari daging (katepsin), enzim pencernaan ataupun enzim yang berasal yang
berasal dari mikroorganisme yang terdapat pada saluran pencernaan yang akan membantu
Namun setelah ikan mati, enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara
aktif namun sistem kerjanya tidak terkontrol karena organ pengontrol yaitu otak tidak berfungsi
lagi sehingga enzim dapat merusak organ tubuh ikan (Junianto, 2003).
Proses penurunan mutu ikan secara kimiawi disebabkan karena proses oksidasi lemak
pada ikan yang mengakibatkan bau tengik dan rasa, sehinggagejala ini dinamakan ketengikan.
Disamping itu rupa ikan dan dagingnya berubah kearah coklat kusam. Proses oksidasi terjadi
kemunduran mutu ikan secara kimiawi dapat dilakukan dengan mengukur derajat keasaman
Pada umumnya ikan yang sudah tidak segar, dagingnya mempunyai pH lebih basa
(tinggi) dari pada yang masih segar. Hal ini disebabkan karena timbulnya senyawa-senyawa
yang bersifat basa seperti misalnya ammonia, trimethylamine, dan senyawa-senyawa volatil
lainnya (Hadiwiyoto, 1993). Penentuan kesegaran ikan secara kimiawi lainnya adalah dengan
menggunakan prinsip penetapan Total Volatil Bases (TVB). Prinsip penetapan TVB adalah
menguapkan senyawa-senyawa volatil yang terbentuk karena proses penguraian asam amino
aktivitas mikroganisme, terutama bakteri. Senyawa sederhana hasil autolysis teryanta sangat
tersebut mengeluarkan enzim ke jaringan daging untuk mengubah protein menjadi senyawa yang
mudah larut (Yunizal dan Wibowo, 1998). Selama ikan hidup, bakteri yang terdapat dalam
saluran pencernaan, insang, saluran darah, dan permukaan kulit tidak dapat merusak atau
Hal ini disebabkan ikan hidup memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas
mikroorganisme. Setelah ikan mati, bakteri-bakteri menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau
luka yang terdapat pada kulit menuju jaringan tubuh bagian dalam. Penyerangan bakteri terhadap
tubuh ikan yang telah mati ada tiga macam, yaitu dari insang dan luka ke tubuh bagian dalam,
dari saluran penceranaan ke jaringan daging dan dari kulit ke jaringan daging (Afrianto dan
Liviawaty, 2010). Penurunan mutu ikan dapat dilihat dari berubahnya lender menjadi pekat,
bergetah dan amis, mata terbenam dan sinarnya pudar, insang dan isi perut berubah warna
dengan susunan yang berantakan dan berbau menusuk, akhirnya seluruh ikan busuk (Ilyas,1983).
2.5. Pendinginan
Pendinginan yaitu salah satu cara yang umum digunakan untuk memperlambat kerusakan
pada produk-produk hasil perikanan (Mohammed and Hamid,2011), selain itu pendinginan
dengan menggunakan es basah hanya dapat mempertahankan suhu rendah dalam waktu yang
singkat (Nugroho et al. 2016). Penanganan ikan hasil tangkapan di kapal merupakan perlakuan
terpenting dari seluruh proses perjalanan ikan hingga sampai ke konsumen. Penanganan yang
baik adalah menggunakan sistem rantai dingin dan mengutamakan sanitasi dan higiene.
Namun pada kenyataannya, penanganan ikan yang dilakukan para nelayan di Indonesia
penyimpanan dingin dengan baik, sehingga ikan-ikan yang didaratkan pada umumnya telah
mengalami kemunduran mutu yang cukup tinggi, sehingga akan merugikan nelayan.
11
BAB III
METODOLOGI
3.1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam PKL ini adalah Ikan Layang dan Es Batu, Natrium Agar,
1
Tricloroacetive acid (TCA), bufer, 4 dan 7, K2C03, Hcl, , vacelin, aquades dan lain-lain.
70
3.2. Alat
Alat yang digunakan untuk proses dalam PKL ini adalah Coolbox, Termokopel, Loyang,
Pisau, Talenan, PH meter, alat tritrasi, petridis, cawan anwai, timbangan analitik, inkubator,
micro pipet
Persiapan pendinginan ikan layang (Decapterus sp) dihitung sebanya 40 kg ikan dan
ditimbang ikan sebanyak 3 kg untuk perbandingan ikan:es 1:1 demikian juga dilakukan
juga dibuat ikan didalam wadah pendinginan, kemudian dilakukan pengukuran suhu terhadap
ke 3 perlakuan tersebut sampai suhu konstan dan suhu ikan mulai naik. Mutu ikan awal yang
terdiri dari PH, TPC,dan TVB. diukur sesaat setelah ikan sampai di lep. dan setiap hari sampai
hari ke 2.
12
Tanpa es
Es : ikan Es : ikan
1:1 1:2
Hasil pengamatan di
catat
3.5. Perlakuan
Tanpaes A1
Ikan : es : 1 : 1 A2
Ikan : es : 1 : 2 A3
Parameter uji yang digunakan dalam PKL ini adalah karakteristik penurunan suhu ikan
3.7. WaktudanTempat
Praktek Ketrampilan Lapang ini berlangsung pada hari jumat, 19 Desember 2018 jam
10:30 sampai selesai, bertempat di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura
Ambon.
14
BAB IV
4.1 Karakteristik Suhu Ikan Layang (Decapterus sp.) Selama Proses Pendinginan
Gambar 3.Grafik Karakteristik Suhu Ikan Layang (Decapterus sp.) Selama Proses
Pendinginan
menunjukan bahwa kecepatan penurunan suhu tubuh ikan selama preses penyimpanan untuk tiga
perlakuan adalah perlakuan tanpa es, perlakuan ikan es 1:1 dan perlakuan ikan es 1:2 tanpa es
dalam waktu 6 jam. Suhu ikan awal adalah 29,oC pada perlakuan tanpa es di 2 jam awal
mengalami peningkatan suhu yaitu 33oC dan pada jam ke 4 mengalami penurunan suhu dan
juga pada jam ke 6 sehingga mengakibatkan pembusukan pada ikan. Perlakuan ikan es 1:1 pada
waktu 2 jam awal suhu menurun dan pada waktu 6 jam suhu juga menurun. Perlakuan ikan es
1: 2 pada waktu 2 jam awal suhu mengalami penurunan sampai waktu 6 jam juga mengalami
15
penurunan suhu. Dari 3 perlakuan yang dilakukan perlakuan yang paling baik adalah perlakuan
ikan : es 1:2.
Gambar 4. Nilai pH
Gambar 4 ini memperlihatkan nilai pH pada hari ke-0 untuk semua perlakuan ikan dan es
1:1 5,7 dan cenderung meningkat sampai dengan hari ke-2 lama penyimpanan. Nilai pH tertinggi
pada hari ke-2 diperoleh dengan perlakuan ikan es 1:1 0 yaitu 7.2, dan terendah dengan
perlakuan ikan dan es 1:2 6.4. Terjadinya peningkatan untuk semua perlakuan ikan dan es
selama penyimpanan (Hari ke-0 sampai ke-2), karena adanya aktifitas enzim pengurai yang
bekerja efektif sehingga pH asam menjadi pH basa. Nilai pH yang diperoleh dalam prakek
ketrampilan lapang ini menunjukkan bahwa ikan layang (Decapterus sp) yang disimpan dengan
ikan dan es 7.2 sampai hari ke-2 mempunyai kemampuan untuk menahan perubahan pH lebih
baik jika dibandingkan ikan dan es 6.4 , 6.3, 0, sehingga menjaga kualitas mutu ikan layang
secara baik.
16
perlakuan ikan dan es 1:1 dan ikan dan es 1:2 Terdapat peningkatan nilai TPC seiring dengan
peningkatan nilai pH dimana pada perlakuan ikan es 1:1 dan ikan es 1:2 mendekati pH netral
sehingga memungkinkan bakteri bertumbuh dengan cepat. Hal ini sesuai menurut Berhimpon
(1993) yang menyatakan bahwa sebagian besar mikroba bertumbuh pada pH netral dan hanya
beberapa bakteri yang tumbuh pada pH rendah, sedangkan penurunan nilai TPC pada perlakuan
ikan dan es 1:1 dan 1:2 disebabkan karena kondisi dari ikan tersebut tidak cocok untuk
Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2729-1991) telah menetapkan bahwa jumlah bakteri
maksimum ikan segar adalah 5x105 cfu/g. ini berarti bahwa total bakteri yang terdapat pada
perlakuan ikan dan 1:1 dan 1:2, masi bisa diterima untuk lama penyimpanan sampai hari ke-2.
17
Gambar 6 menunjukkan perubahan nilai TVB-N ikan layang (Decapterus sp.) yang
meningkat dan bervaryasi selama penyimpanan dinggin. Hasil ini menunjukan ini menunjukan
bahwa semakin lama penyimpanan, nilai TVB-N ikan laying semakin meningkat. Dimana pada
hari ke-0 nilai TVB-N untuk semua perlakuan yaitu 1:1 mg N/100g daging ikan. setelah
memasuki hari ke-1 nilai TVB-N untuk perlakuan ikan dan es 1:1 naik menjadi 32 mg N/100g,
hari ke-2 menjadi 72 mg N/100g. dan perlakuan 1:2 mg N/100g daging ikan. setelah memasuki
hari ke-1 nilai TVB-N untuk perlakuan ikan dan es 1:2 naik menjadi 22 mg N/100g, hari ke-2
menjadi 32 mg N/100g. setelah lama penyimpanan 2 hari nilai TVB-N perlakuan ikan dan es
lebih tinggi dan telah melebihi nilai standar TVB-N ikan segar (>30m gN/100g ) jika
dibandingkan perlakuan ikan dan es 1:2 yang tidak melebihi nilai standar TVB-N ikan segar
(<30m gN/100g), hal ini sejalan dengan pernyataan Suwetja (2013) bahwa nilai batas bakterial
dengan uji TVB-N adalah sebesar 30mg N/100g daging ikan. nilai TVB-N tertinggi adalah
72mg N/100g sampel dengn perlakuan ikan dan es 1:2 dan terendah adalah 16mg N/100g pada
perlakuan ikan dan es 1:1 pada hari ke-2 lama penyimpanan. nilai TVB-N sangat erat kaitannya
18
dengan proses kemunduran mutu. Semakin tinggi nilai TVB-N, makin mundur tingkat kesegaran
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari hasil praktikum ketrampilan lapang yang didapat yaitu suhu awa lpada tiga
perlakuanya itu 290C, dapat disimpulkan bahwa suhu ikan layang dengan perlakuan tanpa es
berbanding lurus dengan suhu awal sedangkan pada ikan layang dengan perlakuan ikan es 1:1
mengalami peningkatan pada jam ke 1sampai jam ke 6 mengalami penurunan suhu dari 29 0C
hingga 50C hal ini menyebabkan kualitas ikan layang masi terjaga kualitasnya. Sedangkan pada
perlakuan 1:2 mengalami peningkatan yang sangat baik dari jam ke 1sampai jam ke 6 mengalami
penurunan suhu dari 290C sampai dengan 30C hal ini menyebabkan kualitas ikan lebih baik
5.2. Saran
Dari hasil praktikum ketrampilan lapang ini dapat disarankan bahwa praktek ketrampilan
lapang harus dilakukan dengan baik dan mencatat hasil pengamatan dengan teliti dan tetap dijaga
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, F. 2006. Penambahan Tepung Wortel dan Keragaman Untuk Meningkatkan Kadar
Serat Pangan pada Nugget Ikan Nila. Skripsi Sarjana Teknologi Pertanian. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Adawyah. 2007. Pengolahan Dan Pengawetan Ikan. Penerbit: Bumi Aksara . Jakarta
Afrianto, E dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius.
Afrianto, E., dan Liviawaty, E.2010. Penanganan Ikan Segar. Widya Padjajaran. Bandung.
Hal.8-69.
Berhimpon, S. 1993. Mikrobiologi Perikanan Ikani. Bagian 1.Ekologi dan Pertumbuhan Mikroba
Serta Pertumbuhan Biokimia Pangan.Laboratorium Pengolahan dan Pembinaan Mutu
Hasil Perikanan.Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Sam Ratulangi.
Manado.
FAO. 1995. Code of Conduc for Responsible Fisheries. FAO Fisheries department.24p. (online)
(http://fao//fisheries /code).
Chairita. 2008. Karakteristik bakso ikan dari campuran surimi ikan layang (Decapterus spp) dan
ikan kakap merah (Lutjanus sp) pada penyimpanan suhu dingin. Tesis. Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1. Yogjakarta : Liberty
Yogyakarta.
Hartina.1991. http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=15163.Diakses tanggal 20 September
2015.
Hizaz, Ade Jamil. 2011. Perbedaan Hanging Ratio Jaring Rampus Terhadap Hasil tangkapan
Ikan Layang (Decapterus Kurroides) di Perairan Cisolok, Pelabuhan ratu. [Skripsi].
Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Ilyas, 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Teknik Pendinginan Ikan. C.V Paripurna.
Jakarta. 237 hlm.Jakarta : Bhatara Aksara.
Irianto, H. E., Soesilo, I. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan.[Seminar].
Seminar Nasional Hari pangan Sedunia 2007. Hlm: 1- 20.
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta
Mohammed, I.M.A. and S.H.A. Hamid. 2011. Effect of Chilling on Microbial Load of Two Fish
Species (Oreochromis niloticus and Clarias lazera). J. Food and Nutrition, 1(3):109-113.
Nugroho, T.A., Kiryanto, dan B.A. Adietya. 2016. Kajian eksperimen penggunaan media
pendingin ikan berupa es basah dan ice pack sebagai upaya peningkatan performance
tempat penyimpanan ikan hasil tangkapan nelayan. J. Teknik Perkapalan, 4(4): 889-898.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bogor: BinaCipta.
Yunizal dan Wibowo. 1998. Penanganan Ikan Segar. Jakarta: InstalasiPenelitianIkanlaut. SLIPI.
Perlakuan
Waktu
1 :1 1:2 Tanpa Es
29.30C 29.30C 29.30C
11 : 02 15.80C 13.20C 29.80C
11 : 32 10.70C 4.00C 30.50C
12 : 02 8.40C 2.90C 31.30C
12 : 32 6.40C 2.90C 32.30C
13 : 02 5.60C 2.90C 30.20C
13 : 32 5.20C 2.60C 30.20C
14 : 02 4.60C 2.60C 30.30C
14 :32 4.10C 2.20C 30.90C
15: 02 4.00C 2.30C 31.00C
15 : 32 3.80C 2.20C 30.60C
16 : 02 3.50C 2.00C 31.40C
16 : 32 3.80C 2.20C 30.80C
17 : 02 4.50C 2.70C
pH Awal 5.8
pH Kedua 5.8
pH Akhir 5.9
21
Lampiran 2. Dokumentasi
22
23