PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan-hubungan timbal balik antar
organisme hidup dengan lingkungannya. Salah satu kajian dari ekologi adalah ekosistem tempat
organism itu hidup. Ekosistem (satuan fungsi dasar dalam ekologi) adalah suatu sistem yang
didalamnya terkandung komunitas hayati dan saling mempengaruhi antara komponen biotik dan
abiotik. Berdasarkan salinitasnya ekosistem perairan dibedakan menjadi tiga yaitu ekosistem
perairan tawar, ekosistem perairan payau, dan ekosistem perairan laut (E.P. Odum,1998).
Menurut Anggraini (2007), perairan permukaan diklasifikasikan menjadi dua kelompok
utama yaitu badan air tergenang (standing water atau lentik) dan badan air mengalir (flowing
water atau lotik). Perairan tergenang meliputi danau, kolam, waduk, rawa, dan sebagainya.
Danau atau situ memiliki karakteristik: arus yang stagnan atau tenang, organisme yang hidup di
dalamnya tidak membutukan adaptasi khusus, ada stratifikasi suhu, substrat umumnya berupa
lumpur halus, dan residence time-nya lama. Untuk mengenal komponen penyusun ekosistem
perairan menggenang baik unsur biotik maupun abiotiknya serta mengetahui interaksi yang
terjadi di dalamnya. Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah penarikan sampel yang
dilakukan di Danau Opi Jakabaring Pentingnya mengenali ekosistem perairan tergenang beserta
interaksi antar komponennya sebagai salah satu ekosistem yang sangat peka terhadap adanya
perubahan fisika, kimia, maupun biologi (Effendi, 2004).
Danau atau situ merupakan satu dari tipe perairan darat dengan ciri utama
tergenangdalam waktu tinggal yang lama, sehingga memungkinkan biota untuk hidup
lebih lama dan berkembang. Perbedaan proses pembentukan dan ciri fisiknya,
memungkinkan perairan inimemiliki parameter kimia yang beragam. Zonase perairan
tergenang terbagimenjadi dua, yaitu zona benthos dan zona kolom air. Berdasarkan
tingkat kesuburannya, perairan tergenang dapat dibedakan menjadi oligotrofik (miskin hara),
meso. trofik (haranya sedang), eutrofik (kaya unsur hara) (Lukman, 2007).
Danau merupakan kumpulan air yang seolah-olah berda dalam suatu baskom dan tidak
mempunyai hubungan dengan laut atau merupakan suatu badan air yang menggenang dan
luasnya mulai dari beberapa meter persegi hingga ratusan meter persegi. Di danau terdapat
pembagian daerah berdasarkan penetrasi cahaya matahari. Daerah yang dapat ditembus cahaya
matahari sehingga terjadi fotosintesis disebut daerah fotik. Daerah yang tidak tertembus cahaya
matahari disebut daerah afotik. Di danau juga terdapat daerah perubahan temperatur yang drastis
atau termoklin. Termoklin memisahkan daerah yang hangat di atas dengan daerah dingin di
dasar. Komunitas tumbuhan dan hewan tersebar di danau sesuai dengan kedalaman dan jaraknya
dari tepi. Setiap perairan memiliki karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun kimiawi.
Pada ekosistem perairan tergenang tidak terdapat arus atau bahkan cenderung stagnan. Residene
time yang lama merupakan salah satu faktor pembeda antara perairan tergenag dan perairan
mengalir.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengertian ekosistem perairan
tergenang. Untuk mengetahui dan memahami faktor yang berpengaruh terhadap perairan
tergenang dan mengetahui parameter fisika, kimia, kimia dan biologi.
1.3 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas dalam praktikum ini adalah :
1. Faktor pembatas apa saja (faktor abiotik yang mempengaruhi perairan ekosistem sungai atau
perairan tergenang) ?
2. Bagaimana cara menentukan kualitas fisika dan kimia pada suatu perairan?
3. Bagaimana pengaruh faktor abiotik terhadap kehidupan organisme sungai?
1.3 Diskripsi Observasi
Lokasi yang kami amati pada praktikum perairan tergenang, pada hari Minggu tanggal 6
Mei 2012 dari pukul 08.00 WIB s/d, pengambilan sampel dikolam buatan jakabaring palembang.
Keadaan lokasi yang dapat kami amati pada saat itu adalah, cuacanya cerah, udaranya lembab,
sinar matahari yang panas. Warna air sungai pada saat itu adalah kebiruan. Parameter yang
digunakan dalam pengambilan sampel pada praktikum ini adalah parameter fisika dan parameter kimia.
Parameter Fisika terdiri dari warna perairan, tingkat kecerahan, suhu, kedalaman, tipe substrat, kecepatan arus,
dan lebar sungai. Warna perairan dibagi menjadi dua yaitu warna tampak dan warna asli. Tingkat
kecerahan dapat diukur dengan menggunakan sacche disk . Suhu diukur dengan menggunakan
thermometer. Kedalaman perairan diukur dengan cara sacche disk dimasukkan sampai dasar perairan, lalu
catat skalanya. Tipe substrat mempengaruhi kelangsungan hidup organisme yang hidup di perairan tersebut.
Kecepatan arus diukur menggunakan botol aqua yang diisi air sedikit dan waktunya dihitung menggunakan
stopwatch. Parameter kimia dalam praktikum ini adalah pH. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan
pH stick yang dicelupkan ke dalam permukaan air Sungai Musi di area transek, lalu cocokkan warna dengan
warna yang ada pada kotak pH stick dan catat hasilnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Perairan Menggenang
Perairan tergenang (lentik), khususnya danau, mengalami stratifikasi secara vertikal
akibat perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu. Selain itu, danau juga tidak memiliki
arus, sehingga residence time-nya lebih lama. Perairan tergenang juga memiliki stratifikasi
kualitas air secara vertikal yang tergantung pada kedalaman dan musim. Zonase perairan
tergenang terbagi menjadi dua, yaitu zona benthos dan zona kolom air. Berdasarkan tingkat
kesuburannya, perairan tergenang dapat dibedakan menjadi oligotrofik (miskin hara), meso.
trofik (haranya sedang), eutrofik (kaya unsur hara). (Effendi,2003).
Ciri-ciri ekosistem lentik antara lain arusnya stagnan (hampir tidak ada arus),
organismenya tidak terlalu membutuhkan adaptasi khusus, ada stratifikasi suhu, substrat dasar
berupa lumpur halus, residence time-nya relatif lebih lama. Selain itu juga pada ekosistem
tergenang kadar oksigen yang terlarut tidak terlalu besar karena keadaan arusnya yang tenang.
Organisme yang mendiami perairan tergenang cenderung beragam dan pH perairannya berkisar
antara 6,0-7,0 (Odum, 1971).
Ekosistem perairan lotik atau perairan mengalir adalah suatu ekosistem perairaan yang di
dalamnya terdapat adanya arus, Perairan pada danau Opi Jakabaring termasuk kedalam perairan lentik,
karena tidak mengalir. Parameter fisika yang diukur meliputi suhu, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus dan
kenduktivitas. Sedangkan parameter kimia yang digunakan yaitu pH yang diukur dengan menggunakan pH
meter. Suhu dengan pengukuran menggunakan thermometer sebesar, kedalaman yang diukur dengan
menggunakan sech dish, kecerahan, dan konduktivitasnya. Hal-hal yang mempengaruhi ekosistem perairan
adaah faktor fisika dan kimia, faktor kimia dan faktor fisika akan mempengaruhi jumlah, komposisi,
keanekaragaman jenis, produktivitas dan keadaan fisiologis organisme di suatu perairan.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Waktu Dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari minggu tanggal 6 Mei 2012, pada pukul
08.00 WIB s/d dengan lebar sungai ± 8 m. Praktikum perairan menggenang Kolam buatan
Jakabaring Palembang, provinsi Sumatera Selatan.
3.3 Cara Kerja
Adapun cara kerja pada praktikum ini antara lain yaitu :
1. Kedalaman
Kedalaman perairan (kolam) diukur dengan sechi disk dengan mencelupkan sechi disk yang
telah diikat dengan tali yang berada tepat diatas permukaan air.
2. Suhu
Pengukuran suhu air dilakukan dengan thermometer.
3. Penetrasi cahaya / kecerahan
Dilakukan dengan cara mencelupkan secchi disk sampai batu warna hitam putih tidak kelihatan
lagi dan dilihat berapa kedalaman penetrasi cahaya pada skala dan dicatat hasilnya.
4. Substrat dasar
Substrat dasar kolam diambil dan diamati apa substratnya.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS
4.1 Hasil Pengamatan
Dari hasil perairan tergenang pada air kolam buatan jakabaring di dapatkan suhu sebesar
32°C, sedangkan kecerahan 3,35 cm, kedalaman 335 m, serta pH sebesar 4,0 dan substratnya
adalah lumpur.
Grafik hasil praktikum
1. Suhu air
2. Kedalaman
3. pH
4. Kecerahan
4.2 Analisis
Analisis dari hasil yang diperoleh dari praktikum perairan tergenang yang dilakukan menunjukkan
bahwa Kolam buatan Jakabaring memiliki pH 4,0 yang berada dipinggir sungai. Warna perairan secara
visual adalah kebiruan dan tipe substratnya adalah lumpur. Selain itu memiliki suhu 32° C. Perbedaan suhu
tidak terlalu jauh karena kedalamannya relatif dangkal. Berdasarkan pengamatan menggunakan secchi disk,
kecerahan air sungai 3,35 cm ditengah dan termasuk perairan kecerahan kurang baik. Kedalaman Sungai 3,35
m yang berada ditengah. Sedangkan pada identifikasi plankton / bentos pada penangkapan dengan
menggunakan jarring yang dimodifikasi menjadi plankton net, tidak dilakukan pada praktikum ini karena
alatnya dan bentos yang berada dalam kolam ini kurang tersedia.
Menurut Krebs (1978) Faktor fisika kimia yaitu faktor yang menentukan distribusi dari
biota air adalah sifat fisika-kimia perairan. Organisme yang dapat disesuaikan dengan kondisi
sifat fisika-kimia yang akan mampu hidup. Penyebaran jenis dan hewan akkuatik ditentukan oleh
kualitas lingkungan yang ada seperti sifat fisika, kimia, biologisnya menambahkan bahwa
kehidupan biota perairan dipengaruhi oleh volume air mengalir, kecepatan arus, temperatur, pH
dan konsentrasi oksigen terlarut.
Perairan pada kolam buatan Jakabaring termasuk kedalam perairan lentik, karena tidak mengalir.
Data pengamatan terlihat bahwa suhu bergantung terhadap intentitas cahaya. Karena semakin besar intentitas
berarti semakin besar pula suhunya. Sedang intentitas cahaya bergantung pada kedalaman yaitu semakin
dalam maka itentitas cahaya semakin rendah karena cahaya matahari tidak dapat masuk ke dalam perairan.
Kercerahan juga berperngaruh terhadap kedalaman semakin dalam suatu perairan maka tingkat kecerahan
semakin rendah, hal ini dikarenakan cahaya matahari sulit tertembus pada dasar perairan. Konduktivitasdi
pengaruhi oleh kecerahan yaitu semakin besar nilai konduktivitas maka semakin tinggi pula tingkat kecerahan.
Ekosistem perairan merupakan ekosistem yang selalu mengalami perubahan kualitas dankuantitas akibat
pengaruh variasi abiotik tersebut. Oleh karena itu, organisme perairan harus dapat beradaptasi dalam mencari
nutrisi dan menjalankan kelangsungan hidup dengan menggunakan gas-gas yang terlarut pada perairan
tersebut. Pengaruh variasi abiotik ini juga sebagai penunjang lingkungan secara keseluruhan yang
memungkinkan adanya perubahan produktivitas biologis. Dengan adanya praktikum
ini, kita dapat menentukan kualitas fisikadan kimia suatu perairan sehingga dapat menambah wawasan
tentang variasi faktor abiotik yang sesuai dengan kelangsungan kehidupan organisme perairan sehingga kita
dapat mengaplikasikan hal tersebut di bidang perikanan dan konsevasi alam.
Pada praktikum yang kami lakukan didapatkan suhu 32°c. Pengukuran suhu akan berbeda
dengan factor waktu yang mempengaruhinya. Suhu merupakan factor dalam kehidupan flora dan
fauna akuatis. Suhu air mempunyai pengaruh yang universal dan sangat berperan dalam
kehidupan organisme. Temperature suatu badan perairan dipengaruhi oleh musim, lintang
(latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam satu hari, sirkulasi udara,
penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari badan air. Peningkatan temperatur akan diikuti
dengan menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan, Suhu adalah salah satu faktor yang
penting dalam suatu perairan untuk mengukur temperatur lingkungan tersebut.
pH yang dapatkan adalah 4,0 Menurut Effendi (2003) Derajat keasaman berpengaruh
sangat besar terhadap kehidupan hewan dan tumbuhan air serta mempengaruhi toksisitas suatu
senyawa kimia. Nilai pH dapat dipengaruhi anatara lain buangan industri dan rumah tangga.
Derajat krasaman (pH) berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas, semakin tinggi pH,
semakin tinggi alkalinitas dan semakin rendah kadar kandungan dioksida bebas. pH merupakan
tingkat derajat keasaman yang dimiliki setiap unsur, pH juga berpengaruh terhadap setiap
organisme, karena setiap organisme atau individu memiliki ketentuan pada derajat keasaman
(pH) berapa mereka dapat hidup (Mahidda, 1984).
Kecerahan air yang kami lakukan termasuk pada kecerahan kurang baik yaitu 3,35 cm.
Kecerahan adalah besarnya intensitas cahaya di dalam air yang disebabkan oleh adanya partikel
koloid dan tersuspensi seperti lumpur, pasir, bahan organik dan mikroorganisme termasuk
plankton. Semakin tinggi tingkat kecerahan suatu perairan, maka semakin tinggi pula kecerahan
yang masuk ke dalam air, sehingga lapisan air yang produktif akan menjadi lebih stabil
(Kembarawati, 2000).
Kedalaman air yang kami dapatkan adalah 3,35 m yang berada ditengah sungai, karena
sungai yang kami amati dbagian hilir yang masih dangkal. Menurut Odum (1988) Pada sungai
dapat dijumpai tingkat yang lebih tua dari hulu ke hilir, perubahan lebih terlihat pada bagian atas
aliran air, dan komposisi kimia berubah dengan cepat. Dan komposisi komunitas berubah
sewajarnya yang lebih jelas pada kilometer pertama dibanding lima puluh (50) kilometer
terakhir. Kedalaman juga dipengaruhi oleh zona yaitu zona hulu, zona hilir dan zona tengah.
Interaksi antara komponen abiotik dengan biotic. Tingkat kedalaman perairan
mempengaruhi jumlah organisme di dalamnya. Organisme masih terdapat dalam jumlah
melimpah pada permukaan perairan dan kolam perairan. Jumlah intensitas cahaya yang
menembus permukaan perairan dan kolam, mempengaruhi kelimpahan organisme terutama yang
dapat melakukan proses fotosisntesis. Pada kedalaman dasar, maka dapat dioastikan jumlah
organisme yang melimpah adalah organisme yang tidak dapat melakukan proses fotosisntesis,
seperti bentos. Kecerahan air dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya kepadatan
tersuspensi dan waktu pengamatan. Semakin tinggi jumlah padatan yang tersuspensi maka
tingkat kecerahan semakin rendah yang menyebabkan sedikitnya cahaya matahari yang masuk
ke perairan sehingga jumlah organismeyang terbatas pada jenis zooplankton.Waktu pengamatan
juga mempengaruhi kelimpahan plankton. Ketika suhuh tinggi, plankton akan begerak mencari
tempat yang lebih optimal untuk proses pertumbuhannya. Adanya keterkaitan yang kompleks,
perubahan lingkungan yang terjadi dalam komunitas akan menyebabkan perubahan satu atau
lebih populasi yang ada di dalamnya. Hal ini memungkinkan terjadinya pergantian populasi oleh
kelompok organisme lain yang dapat dibedakan sebagai sebuah komunitas lain yang baru.
Sehingga organisme suatu populasi dapat menjadi indicator bagi perubahan lingkungan (Ravera,
1978).
Interaksi antara komponen biotik penyusun ekosistem perairan Pada daerah sekitar
banyak terdapat pepohonan. Daun-daunan yang terjatuh ke perairan akan tenggelam ke dasar dan
selanjutnya akan mengalami pembusukan. Penguraian tersebut akan menghasilkan nutrisi
sebagai sumber unsur hara yang akan dimanfaatkan oleh organisme perairan lainnya, seperti
bentos dan fitoplankton sebagai produsen primer merupakan sumber makanan bagi zooplankton.
Selanjutnya zooplankton merupakan makanan bagi organisme pada tingkat trofik yang lebih
tinggi, seperti nekton. Interaksi komponen biotic yang terdapat di Situ Gede merupakan
tipe grassing food chain, yaitu perpindahan energi makanan terjadi dari sumber daya tumbuhan
melalui seri organisme (tumbuhan – herbivore – karnivora ) (Odum 1993).
Menurut Efendi (2003) Hubungan faktor biotik dan abiotik perairan, biotik merupakan
organisme yang hidup pada suatu ekosistem tertentu yang hidupnya bergantung pada kondisi
alam sekitarnya atau lingkungannya. Sedangkan, abiotik merupakan lingkungan tempat tinggal
organisme yang meliputi semua benda mati yang ada. Kedua faktor diatas saling mempengaruhi
karena antara faktor mengalami interaksi dalam perjalanan waktu. Faktor abiotik menyediakan
wadah hidup serta unsur hara dalam tanah maupun air yang digunakan oleh tumbuhan hijau,
tumbuhan air untuk bahan baku proses fotosintesis. Proses rantai makanan terjadi dari jatuhnya
daun kering ke permukaan air kemudian daun terurai oleh detritus menjadi bahan non-organik
(Nitrogen dan Fosfor).
BAB V
KESIMPULAN
Perairan pada Kolam buatan Jakabaring termasuk kedalam perairan lentik , karena tidak mengalir.
Parameter fisika yang diukur meliputi suhu, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus dan konduktivitas.
Sedangkan parameter kimia yang digunakan yaitu pH yang diukur dengan menggunakan pH meter. Suhu
yang didapatkan dengan pengukuran menggunakan thermometer sebesar 32°C, kedalaman yang diukur
dengan menggunakan sechi disk didapatkan sebesar 3,35 m, kecerahan 3,35 cm. Hal-hal yang mempengaruhi
ekosistem perairan adalah faktor fisika dan kimia, faktor kimia dan faktor fisikaakan mempengaruhi jumlah,
komposisi, keanekaragaman jenis, produktivitas dan keadaan fisiologis organisme di suatu perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. 4rd ed. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Suwigyo, Sugiarti. Widigdo, Bambang. Wardiatno, Yusli. dan Krisanti, Majariana. 2005 Avertebrata
Air. 1st ed. Penebar Swadaya. Jakarta
MAKALAH
EKOSISTEM MANGROVE
TAUFIQ ABDULLAH
0517 1511 027
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah Ekosistem Mangrove.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah
ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini. Atas
perhatiannya saya ucapkan banyak terima kasih.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Definisi Mangrove
Kata mangrove merupakan kombinasi antara kata mangue (bahasa Portugis) yang
berarti tumbuhan dan grove(bahasa Inggris) yang berarti belukar atau hutan kecil (Arief,
2003). Menurut Steenis (1978) dalam Rahmawaty (2006) mangrove adalah vegetasi hutan
yang tumbuh diantara garis pasang surut. Sementara menurut Nybakken
(1992) dalamRochana (2010) bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang
digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi
oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh pada perairan asin.
Kathiresan dan Bingham (2001) dalam Taher (2011) mendefinisikan hutan
mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara
sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis
pohon Avicennia sp, Sonneratia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp, Ceriops sp,
Lumnitzera sp, Excoecaria sp, Xylocarpus sp, Aegiceras sp, Scyphyphora sp
dan Nypa sp.
Ezwardi (2009) menyatakan bahwa hutan mangrove disebut sebagai hutan payau
atau bakau. Hutan mangrove ini dianggap sebagai salah satu ekosistem yang khas,
menempati habitat pada garis pantai daerah tropis.
B. Klasifikasi
Setyawan, dkk, (2002) menyatakan secara taksonomi tumbuhan mangrove
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom: Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Scrophulariales, Myrtales
Family: Acanthaceae, Sonneratiaceae, Rhizophoraceae, Arecaceae
Genus: Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Nypa
Sistem akar
Pohon mangrove memiliki sistem perakaran yang khas. Bentuk perakaran tumbuhan mangrove
yang khas tersebut adalah sebagai berikut (Onrizal, 2008):
1. Akar pasak (Pheumatophore)
Akar pasak berupa akar yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang keluar ke arah udara
seperti pasak, contonya pada Avicennia, Xylocarpus, dan Sonneratia.
2. Akar lutut (knee root)
Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada umumnya tumbuh ke arah
permukaan substrat kemudian melengkung menuju ke substrat lagi, contohnya
pada Bruguiera spp.
3. Akar tunjang (stilt root)
Akar tanjung merupakan akar (cabang – cabang akar) yang keluar dari batang dan tumbuh ke
dalam substrat,contonyaRhizophora spp.
4. Akar papan (buttress root)
Akar papan hampir sama dengan akar tanjung tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng,
mirip struktur silet, contohnyaHeritiera
5. Akar gantung (aerial root)
Akar gantung adalah akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian
bawah tetepi biasanya tidak mencapai substrat, contonya Rhizophora, Avicennia, dan Acanthus.
Bentuk – bentuk pengakaran yang sering dijumpai di hutan mangrove dapat dilihat pada gambar
berikut :
Gambar Bentuk – bentuk pengakaran yang sering dijumpai di hutan mangrove. (a) akar tunjang,
(b) akar lutut, (c) akar pasak, (d) akar papan (Onrizal, 2008).
Daun
Daun merupakan organ yang penting pada tumbuhan dan pada umumnya, setiap tumbuhan
mempunyai sebagian besar daun. Daun hanya terdapat pada bagian batang saja dan tidak pernah
terdapat pada bagian lain tumbuhan. Bagian batang tempat duduknya atau melekatnya daun
dinamakan buku (nodus), dan tempat di atas daun yang merupakan sudut antara batang dan daun
dinamakan ketiak daun (axilla). Daun biasanya tipis melebar dan kaya akan klorofil, oleh karena
itu daun mangrove biasanya berwarna hijau (Tjitrosoepomo, 1989).
Bentuk daun mangrove tipe lanceloate contohnya adalah Acanthus ilicifolius, Avicennia
alba, Nypa fruticans. Bentuk daun elliptical contohnya dari famili Euphorbiaceae adalah
Excoecaria agallocha, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora mucronata,
Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Heritiera littoralis. Bentuk daun oval contohnya
Sonneratia caseolaris. Bentuk daun obovate contohnya Ceriops tagal, Xylocarpus granatum,
Sonneratia alba, Aegiceras corniculatum, Ceriops decandra, Lumnitzera racemosa. Bentuk daun
tipe cordate adalah Hibisscus tiliaceus, Thespesia populnea (Hidayat, 1994).
Buah
Semua jenis mangrove menghasilkan buah yang penyebarannya dilakukan oleh air (arus).
Bentuk-bentuk buah tersebut antara lain berbentuk bola, biji buncis, dan silinder atau tongkat.
Avicennia memiliki bentuk buah seperti biji buncis, Aegiceras buahnya berbentuk silinder dan
Nypa memiliki buah yang bertipe cryptovivipar, yaitu kecambahnya masih terbungkus oleh kulit
buah sebelum lepas dari tanaman induknya. Buah Sonneratia dan Xylocarpus berbentuk seperti
bola yang terdiri dari perkecambahan normal (Noor dkk, 1999).
D. Habitat dan Distribusi
Hutan mangrove menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di
sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan mangrove di
Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi
Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Nontji, 1987).
E. Jenis – Jenis Mangrove
Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89
jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis efipit, dan 1 jenis
paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis ditemukan sebagai mangrove sejati, sementara jenis lain
ditemukan disekitar mangrove dan dikenal sebagai mangrove ikutan (Noor dkk, 2006).
Yang termasuk mangrove sejati menurut Noor dkk (2006), meliputi : Acanthaceae;
Pteridaceae, Plumbaginaceae, Myrsinaceae, Laranthaceae, Avicenniaceae, Rhizophorzceae,
Bombacaceae, Euphorbiaceae, Asclepiadaceae, Sterculiaceae, Combretaceae, Arecaceae,
Nyrtaceae, Lythraceae, Rubiaceae, Sonneriatiaceae, Meliaceae. Sedangkan untuk mangrove
tiruan meliputi : Lecythidaceae, Guttiferae, Apocynaceae, Verbenaceae, Leguminosae,
Malvaceae, Convolvulaceae, Melastomataceae.
Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis yang palng banyak di temukan
adalah Avicennia sp.,Rhizophora sp., Bruguiera sp. dan Sonneratia sp. Jenis – jenis mangrove
ini merupakan kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan
atanah habitatnya (Irwanto, 2006).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penyusunan makalah di atas dapat saya simpulkan antara lain sebagai berikut :
1. Mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas
komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas
atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada perairan asin.
2. Mangrove menpunyai 5 sistem akar akar pasak (pheumatophore), akar lutut (knee root),
akar tunjang (stilt root), akar papan (buttress root), dan akar gantung (aerial root). Selain itu
juga mempunyai buah, daun, dan batang.
3. Fungsi mangrove diantaranya fungsi fisik; fungsi biologis; fungsi kimia; dan fungsi ekonomi.
4. Faktor pembatas pertumbuhan mangrove diantaranya topografi pantai, salinitas, aliran air
masuk, suhu, ph, substrat, pasut, dan angin.
5. kerusakan mangrove disebabkan oleh Faktor alam, seperti : banjir, kekeringan dan hama
penyakit, yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil. Faktor penyebab yang relatif
besar adalah kegiatan Manusia.
B. Saran
Manusia tidak luput dari keslahan dan rasa khilaf. Barangkali hanya ini yang dapat saya
ungkapkan. Jika ada kesalahan materi maupun merugikan pihak-pihak tertentu saya meminta
kritik dan sarannya, kritik maupun sarannyan sangatlah penting untuk pengintrospesikan diri
melengkapi makalah ini. Terima kasih.
MAKALAH
EKOSISTEM MANGROVE DAN TEKNIK PENGELOLAANNYA DI
INDONESIA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen dan Teknik Laboratorium
Dosen pengampu : Sulistiyawati M. Si.
OLEH
Siti Madiniah (116800)
Robi’atu Sholihah (116800)
Shofwatul Mala (116800)
Septian Dian A (116800)
Setyo Prabowo (116800)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan
rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan
mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal),
tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground),
tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim
mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil
keperluan industri, dan penghasil bibit.
Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem
mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak,
pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai
keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah
hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem.
Keberadaan ekosistem mangrove di Indonesia saat ini benar-benar telah pada posisi yang
sangat menghawatirkan, mengingat untuk pemenuhan keragaman kebutuhan penduduk yang
jumlahnya makin bertambah pesat ini telah pula merebak ke wilayah mangrove. Kehidupan
modern dan kemudahan aksesibilitas hasil produksi ekosistem mangrove ke pasaran serta
pemanfaatan yang berlebihan tanpa memperhatikan kaedah kelestarian lingkungan telah
mengakibatkan penurunan kuantitas maupun kualitasnya. Padahal ekosistem mangrove
merupakan mintakat peralihan antara daratan dan lautan yang mempunyai perbedaan sifat
lingkungan tajam, yang kelestariannya sangat rentan terhadap perubahahan lingkungan.
Mengingat pentingnya fungsi jalur hijau mangrove dalam menjaga keseimbangan
ekosistem pantai, maka sangat diperlukan upaya-upaya untuk melindunginya. Untuk
mempertahankan kelestarian hutan mangrove tersebut, suatu sistem pengelolaan hutan mangrove
yang memperhatian prinsip kesinambungan fungsi hutan mangrove, terpeliharanya jaringan-
jaringan kehidupan ekosistem mangrove dan kesadaran serta kesamaan persepsi berbagai pihak
atas pentingnya keberadaan hutan mangrove, perlu dikaji dan diterapkan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah tanaman mangrove itu?
2. Bagaimana daya adaptasi hutan mangrove terhadap lingkungan?
3. Bagaimana teknik pengelolaan ekosistem mangrove?
4. Apakah fungsi mangrove secara ekologis?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah tanaman mangrove itu.
2. Mengetahui daya adaptasi hutang mangrove terhadap lingkungan.
3. Menjelaskan teknik pengelolaan mangrove.
4. Menjelaskan fungsi mangrove secara ekologis.
BAB II
PEMBAHASAN
Mengelola sebuah hutan mangrove harus merupakan kawasan lindung, namun tidak
kemudian berarti menutup peluang usaha yang bisa mendatangkan nilai ekonomi. Selama
dilakukan dengan menerapkan strategi konservasi (perlindungan, pengawetan, dan pelestarian
pemanfaatan) serta dibuatnya ketentuan hukum yang akan mengaturnya, sehingga jelas dan tegas
apa hak, kewajiban dan pengenaan sanksi bagi yang melanggarnya, adalah sah-sah saja berusaha
dikawasan lindung. Model pengelolaan yang bisa dilakukan antara lain dikelola dengan baik
sebagai suatu kawasan hutan wisata.
Jenis wisata pantai di hutan mangrove dengan membuat jalan berupa jembatan diantara
tanaman pengisi hutan mangrove, merupakan atraksi yang akan menarik pengunjung. Juga
restoran yang menyajikan masakan dari hasil laut, bisa dibangun sarananya berupa panggung
diatas pepohonan yang tidak terlalu tinggi. Atau rekreasi memancing serta berperahu.
Penempatan usaha tambak bisa juga difasilitasi, namun persyaratan ketat harus diberlakukan
untuk pemilihan tempat yang layak berikut luas maksimum garapan, lama waktu berusaha,
permodalan yang kuat serta mutlaknya memperkerjakan penduduk setempat.
Pengalaman pengelolaan kawasan hutan mangrove di Pulau Iriomote (pulau paling selatan
di Jepang) sebagai suatu kawasan konservasi menujukkkan kondisi hutan yang sangat baik dan
terhindar dari kerusakan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat setempat untuk
melestarikan kawasan tersebut. Kondisi ini tidak menyebabkan berkurangnya pendapatan
masayarakat setempat bahkan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan penyediaan jasa
transportasi wisata, olah raga air (kano), penyewaan rumah tinggal untuk hotel/penginapan,
rumah makan, peningkatan produksi kerajinan/cindera mata, produski perikanan dan lain-lain
(Adinugraha, 2002).
Nuryanto (2003) menjelaskan pengelolaan zonasi dikawasan ekosistem hutan mangrove
salah satunya adalah zona pemanfaatan melalui kegiatan mina hutan (sylvofishery). Penerapan
kegiatan ini diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani disekitar kawasan
tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat. Harapan ini
dapat terwujud dengan catatan tidak ada pemilik modal yang menguasai lahan secara berlebihan.
Adapun sistem mina hutan yang dapat diaplikasikan adalah sistem empang parit dan sistem
empang inti. Sistem empang parit adalah sistem mina hutan dimana hutan bakau berada di
tengan dan kolam berada di tepi mengelilingi hutan. Sebaliknya sistem empang inti adalah
sistem mina hutan dengan kolam di tengah dan hutan mengelilingi kolam (Departemen
Kehutanan dan Perkebunan, 1999).
Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove
partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa
masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara
diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan
ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang
diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang
terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi.
KESIMPULAN
• Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai
ekologis dan ekonomis.
• Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan
mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi.
• Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang
melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat.
DAFTAR PUSTAKA
Adinugraha, H.A. 2002. Counterpart Training Report in Japan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Nuryanto, A. 2003. Silvofihsery (Mina Hutan) : Pendekatan Pemanfaatan Hutan Mangrove Secara
Lestari. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
http://forestryinformation.wordpress.com/2011/06/08/ekosistem-hutan-mangrove-manfaat-dan-
pengelolaannya/ diakses tanggal 27 Desember 2011 20.30
http://www.forda-mof.org/files/RPI_4_Pengelolaan_Hutan_Mangrove.pdf diakses tanggal 28
Desember 2011 00.35