Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan-hubungan timbal balik antar
organisme hidup dengan lingkungannya. Salah satu kajian dari ekologi adalah ekosistem tempat
organism itu hidup. Ekosistem (satuan fungsi dasar dalam ekologi) adalah suatu sistem yang
didalamnya terkandung komunitas hayati dan saling mempengaruhi antara komponen biotik dan
abiotik. Berdasarkan salinitasnya ekosistem perairan dibedakan menjadi tiga yaitu ekosistem
perairan tawar, ekosistem perairan payau, dan ekosistem perairan laut (E.P. Odum,1998).
Menurut Anggraini (2007), perairan permukaan diklasifikasikan menjadi dua kelompok
utama yaitu badan air tergenang (standing water atau lentik) dan badan air mengalir (flowing
water atau lotik). Perairan tergenang meliputi danau, kolam, waduk, rawa, dan sebagainya.
Danau atau situ memiliki karakteristik: arus yang stagnan atau tenang, organisme yang hidup di
dalamnya tidak membutukan adaptasi khusus, ada stratifikasi suhu, substrat umumnya berupa
lumpur halus, dan residence time-nya lama. Untuk mengenal komponen penyusun ekosistem
perairan menggenang baik unsur biotik maupun abiotiknya serta mengetahui interaksi yang
terjadi di dalamnya. Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah penarikan sampel yang
dilakukan di Danau Opi Jakabaring Pentingnya mengenali ekosistem perairan tergenang beserta
interaksi antar komponennya sebagai salah satu ekosistem yang sangat peka terhadap adanya
perubahan fisika, kimia, maupun biologi (Effendi, 2004).
Danau atau situ merupakan satu dari tipe perairan darat dengan ciri utama
tergenangdalam waktu tinggal yang lama, sehingga memungkinkan biota untuk hidup
lebih lama dan berkembang. Perbedaan proses pembentukan dan ciri fisiknya,
memungkinkan perairan inimemiliki parameter kimia yang beragam. Zonase perairan
tergenang terbagimenjadi dua, yaitu zona benthos dan zona kolom air. Berdasarkan
tingkat kesuburannya, perairan tergenang dapat dibedakan menjadi oligotrofik (miskin hara),
meso. trofik (haranya sedang), eutrofik (kaya unsur hara) (Lukman, 2007).
Danau merupakan kumpulan air yang seolah-olah berda dalam suatu baskom dan tidak
mempunyai hubungan dengan laut atau merupakan suatu badan air yang menggenang dan
luasnya mulai dari beberapa meter persegi hingga ratusan meter persegi. Di danau terdapat
pembagian daerah berdasarkan penetrasi cahaya matahari. Daerah yang dapat ditembus cahaya
matahari sehingga terjadi fotosintesis disebut daerah fotik. Daerah yang tidak tertembus cahaya
matahari disebut daerah afotik. Di danau juga terdapat daerah perubahan temperatur yang drastis
atau termoklin. Termoklin memisahkan daerah yang hangat di atas dengan daerah dingin di
dasar. Komunitas tumbuhan dan hewan tersebar di danau sesuai dengan kedalaman dan jaraknya
dari tepi. Setiap perairan memiliki karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun kimiawi.
Pada ekosistem perairan tergenang tidak terdapat arus atau bahkan cenderung stagnan. Residene
time yang lama merupakan salah satu faktor pembeda antara perairan tergenag dan perairan
mengalir.

1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengertian ekosistem perairan
tergenang. Untuk mengetahui dan memahami faktor yang berpengaruh terhadap perairan
tergenang dan mengetahui parameter fisika, kimia, kimia dan biologi.

1.3    Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas dalam praktikum ini adalah :
1.       Faktor pembatas apa saja (faktor abiotik yang mempengaruhi perairan ekosistem sungai atau
perairan tergenang) ?
2.       Bagaimana cara menentukan kualitas fisika dan kimia pada suatu perairan?
3.       Bagaimana pengaruh faktor abiotik terhadap kehidupan organisme sungai?
1.3 Diskripsi Observasi
Lokasi yang kami amati pada praktikum perairan tergenang, pada hari Minggu tanggal 6
Mei 2012 dari pukul 08.00 WIB s/d, pengambilan sampel dikolam buatan jakabaring palembang.
Keadaan lokasi yang dapat kami amati pada saat itu adalah, cuacanya cerah, udaranya lembab,
sinar matahari yang panas. Warna air sungai pada saat itu adalah kebiruan. Parameter yang
digunakan dalam pengambilan sampel pada praktikum ini adalah parameter fisika dan parameter kimia.
Parameter Fisika terdiri dari warna perairan, tingkat kecerahan, suhu, kedalaman, tipe substrat, kecepatan arus,
dan lebar sungai. Warna perairan dibagi menjadi dua yaitu warna tampak dan warna asli. Tingkat
kecerahan dapat diukur dengan menggunakan  sacche disk . Suhu diukur dengan  menggunakan
thermometer. Kedalaman perairan diukur dengan cara sacche disk  dimasukkan sampai dasar perairan, lalu
catat skalanya. Tipe substrat mempengaruhi kelangsungan hidup organisme yang hidup di perairan tersebut.
Kecepatan arus diukur menggunakan botol aqua yang diisi air sedikit dan waktunya dihitung menggunakan
stopwatch. Parameter kimia dalam praktikum ini adalah pH. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan
pH stick yang dicelupkan ke dalam permukaan air Sungai Musi di area transek, lalu cocokkan warna dengan
warna yang ada pada kotak pH stick dan catat hasilnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Perairan Menggenang
Perairan tergenang (lentik), khususnya danau, mengalami stratifikasi secara vertikal
akibat perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu. Selain itu, danau juga tidak memiliki
arus, sehingga residence time-nya lebih lama. Perairan tergenang juga memiliki stratifikasi
kualitas air secara vertikal yang tergantung pada kedalaman dan musim. Zonase perairan
tergenang terbagi menjadi dua, yaitu zona benthos dan zona kolom air. Berdasarkan tingkat
kesuburannya, perairan tergenang dapat dibedakan menjadi oligotrofik (miskin hara), meso.
trofik (haranya sedang), eutrofik (kaya unsur hara). (Effendi,2003).
Ciri-ciri ekosistem lentik antara lain arusnya stagnan (hampir tidak ada arus),
organismenya tidak terlalu membutuhkan adaptasi khusus, ada stratifikasi suhu, substrat dasar
berupa lumpur halus, residence time-nya relatif lebih lama. Selain itu juga pada ekosistem
tergenang kadar oksigen yang terlarut tidak terlalu besar karena keadaan arusnya yang tenang.
Organisme yang mendiami perairan tergenang cenderung beragam dan pH perairannya berkisar
antara 6,0-7,0 (Odum, 1971).
Ekosistem perairan lotik atau perairan mengalir adalah suatu ekosistem perairaan yang di
dalamnya terdapat adanya arus, Perairan pada danau Opi Jakabaring termasuk kedalam perairan lentik,
karena tidak mengalir. Parameter fisika yang diukur meliputi suhu, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus dan
kenduktivitas. Sedangkan parameter kimia yang digunakan yaitu pH yang diukur dengan menggunakan pH
meter. Suhu dengan pengukuran menggunakan thermometer sebesar, kedalaman yang diukur dengan
menggunakan sech dish, kecerahan, dan konduktivitasnya. Hal-hal yang mempengaruhi ekosistem perairan
adaah faktor fisika dan kimia, faktor kimia dan faktor fisika akan mempengaruhi jumlah, komposisi,
keanekaragaman jenis, produktivitas dan keadaan fisiologis organisme di suatu perairan.

2.2.  Parameter Kualitas Air


A.   Parameter Fisika
a.    Suhu
            Menurut Maire dalam Arfiati (1989), menyatakan bahwa suhu secara ekologi akan
mempengaruhi penyebaran (distribusi) spesies. Karena organisme cenderung menempati
lingkungan yang bersuhu sesuai bagi kehidupannya. Suhu secara fisiologi dapat mempengaruhi
berbagai aktivitas biologi di dalam sel. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang
(latitude) waktu dalam air, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran air, serta kedalaman
badan air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viscusitas, rekasi kimia, evaporasi dan
volansisasi. Peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga
keberadaan oksigen melakukan proses metabolisme dan respirasi. Ikan akan mengalami
kerentanan tehadap penyakit pada suhu  yang kurang optimal. Fluktuasi suhu yang terlalu beasr
akan menyebabkan ikan stress yang dapat mengakibatkan kematian pada ikan (Pratama, 2009)
           Menurut Wibawa (2010), menyatakan bahwa stratifikasi suhu pada kolam air
dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
1.   Lapisan Epilimnion yaitu lapisan sebelah atas perairan yang hangat dengan penurunan suhu
relatif kecil (dari 320 C menjadi 280 C).
2.   Lapisan termokim yaitu lapisan tengah yang mempunyai penurunan suhu sangat tajam (dari
280 C menjadi 210 C).
3.   Lapisan lipolimnion yaitu lapisan paling bawah dimana pada lapisan ini perbedaan suhu sangat
kecil, relatif konstan.
b.    Kecepatan arus
         Menurut Hynes dalam Arfiati (1989), menyatakan bahwa kuat lemahnya arus dapat
mempengaruhi komunitas perifoton dan  berbagai komunitas hidrobiotik lainnya. Perairan
berarus lemah, lebih banyak dihuni oleh perifeton dari pada perairan berarus kuat. Pada perairan
berarus kuat, dengan kecepatan arus 1,21 m/detik atau lebih sehingga hanya organisme-organisme
yang dapat menempel dengan kuat saja yang dapat menetap karena tidak terbawa arus. Beda
perairan berarus lemah dengan kecepatan arus 0,20 m/detik, algae perifeton akan lebih mudah
berkembang, tetapi pada kecepatan arus kuat (1,00 m/detik) jumlah dan jenis alga perifeton akan
menurun karena adanya tekanan mekanik arus (Liudstrom dan traen dalam Tesis, Arfiati, 1989).
c.    Kecerahan
         Menurut Pratama (2009), menyatakan bahwa kecerahan merupakan ukuran transportasi
perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchidisk. Kecerahan adalah
sebagian cahaya yang diteruskan ke dalam air dan dinyatakan dengan ( 0/00), dari beberapa
panjang gelombang di daerah spectrum yanh terlihat cahaya yang melalui lapisan sekitar 1 meter,
jatuh agak lurus pada permukaan air. Stratifikasi kolam air pada perairan tergenang yang
disebabkan oleh intensitas cahaya yang masuk ke perairan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu
lapisan Eutrofik, lapisan Kompensasi dan lapisan Preufondal.
          Menurut Akrimi dan Subroto (2002),menyatakan bahwa kecerahan air berkisar antara 40-
85 cm,tidak menunjukkan perbedaan yang besar.Kecerahan pada musim kemarau adalah 40-85
cm,dan pada musim hujan antara 60-80 cm,kecerahan air di bawah 100 cm tergolong tingkat
kecerahan rendah. Berdasarkan intensitas cahaya perairan Bahari secara verttikial bibagi menjadi
3 wilayah,yaitu zona Eupoti, zona disfotik dan zona Afotik.
d.   Salinitas
         Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air. Setelah semua karbonat dikonversi
menjadi oksida,semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida dan semua bahan anorganik
telah dioksida. Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg atau promil (%). Nilai salinitas perairan
tawar biasanya kurang dari 5%. Perairan payau antara 0,50%-30%, dan perairan laut 30%-40%.
Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masuknya air tawar di sungai
(Pratama, 2009).
          Menurut Agrifishery (2010), menyatakan bahawa salinitas dapat dilakukan dengan
pengukuran dengan menggunakan alat yang disebut dengan pengukuran dengan menggunakan
alat yang disebut dengan refraktometer atau salinometer. Satuan untuk pengukuran salinitas
adalah satuan gram per kilogram (ppt) atau promil (%). Nilai salinitas untuk perairan tawar
biasanya berkisar antara 6-89 ppt dan perairan laut berkisar antara 30-35 ppt.
B. Parameter Kimia
1.   pH
           pH adalah cerminan dari derajat keasaman yang diukur dari jumlah ion hydrogen
menggunakan rumus umum pH=-log(H+). Air murni terdiri dari ion H+ dan OH- dalam jumlah
berimbang hingga pH air murni biasanya 7. Makin banyak ion OH - dalam cairan makin rendah
ion H+ dan makin tinggi Ph. Cairan demikian disebut cairan alkalis. Sebaliknya makin banyak
ion H+ makin rendah Ph dan cairan tersebutbersifat masam. Sebagian besar danau ber pH 6-9.
Danau sadah (soda lake)ber pH 11,5. Danau asam dapat disebabkan karena hujan asam akibat
polustri industry sehingga kapasitas buffer menghilang. Danau di padang pasir Afrika Tengah
(Danau Utan)=air yang masuk lebih kecil dan jumklah air yang keluar. Akibatnya menjadi danau
yang alkali. Sehingga variasi tanaman dan hewan juga rendah (Arfiati, 2001).
2.   DO
         Menurut Arfiati (2001),menyatakan bahwa air yang sangat dingin mengandung kurang dari
5% O2 dan akan menurun jika suhu air bertambah. Berkurangnya O 2 karena respirasi dan
dekomposisi. Perairan dengan O2tinggi, keragaman organism biasanya tinggi. Jika
O2 menurun,hanya organism yang toleran saja yang dapat hidup di tempat tersebut. Variasi
O2danau oligotroph biasanya rendah, sebaliknya danau eutroph tinggi. Sumber-sumber O2:
Atmosfer : difusi, angin dan Fotosintesis.
          Menurut Sudaryati(1991), menyatakan bahwa di perairan alam konsentrasi oksigen terlarut
dalam fungsi dari proses biologi seperti proses fotosintesa dan respirasi dan proses fisika seperti
pergerakan air dan suhu. Di permukaan air konsentrasi oksigen rendah, dikedalaman tertentu di
daerah fotik mencapai maksimum, dan di dasar perairan konsentrasinya menurun lagi, selama
stratifikasi panas, konsentrasi oksigen terlarut di dasar perairan rendah karena pengambilan oleh
mikroba untuk respirasi.
3.   Karbondioksida
          Menurut Arfiati (2001),menyatakan bahwa CO2 merupakan gas yang sangat diperlukan
dalam proses fotosintesis, di udara sangat sedikit 0,033% dan di dalam air melimpah dapat
mencapai 12mg/l. Sumber CO2 dalam air adalah :
1.     Difusi dari udara
2.     Proses dekomposisi bahan organic
3.     Air hujan dan air bawah tanah tanah
4.     Hasil respirasi organisme
          Karbondioksida dalam air dapat dijumpai dalam empat bentuk yaitu : CO 2 gas yang bebas,
Asam karbonat HCO3, Bikarbonat HCO3-, Karbonat CO32- . Perairan tawar yang dikelilingi batu
kapur cenderung mengandung CO2 yang lebih tinggi karena kapur lebih lunak daripada batu
beku. Daur karbon dapat diketahui apabila kita mengetahui daur CO 2,CO3, ataupun HCO3-.
CO2 yang terdapat di atmosfer mengalami difusi dan agitasi kedalam air. CO2 terlarut dalam air
dibutuhkan oleh tanaman air berklorofil serta fitoplankton untuk berfotosintesis. Kemudian
semua komponen biotic di alam apabila telah mati akan mengalami dekomposisi oleh
decomposer (pengurai) perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya
mengandung kadar karbondioksida bebas <5 mg/l Tapi sebagian besar organisme aquatic dapat
bertahan hidup hingga CO2 bebas mencapai 60 mg/l. Pada dasarnya, keberadaan karbondioksida
di perairan terdapat dalam bentuk gas karbondioksida bebas (CO2) ion bikarbonat (HCO3-) ion
karbon tersebut berkaitan dengan nilai pH (Pratama,2009).
4.   Alkalinitas
           Menurut Pratama(2009) menyatakan bahwa total alkalinitas untuk perairan alami berkisar
kurang dari 5 mg/l sampai lebih dari 500 mg/l. Perairan dengan total alkalinitas yang tinggi telah
berkaitan dengan endapan batu kapur tanah. Nilai alkalinitas yang tinggi biasanya terdapat pada
perairan daerah terang dimana penguapan konsentrasi ion diperairan lebih banyak terjadi dengan
alkalinitas rendah ditemukan pada tanah berpasir dan tanah yang mengandung banyak bahan
organic. Sebagian perairan yang tercemar bahan organikakan memiliki kadar alkalinitasnya yang
rendah basa umumnya rasanya seperti sabun. Suatu zat yang dapat mengandumg gugusan
hidroksit (OH) yang dalam larutan melepas ion H+.
5.   Amonium Nitrogen
Menurut Arfiai (2001), menyatakan bahwa sifat ammonium :
1.   Lebih reaktif daripada AlO3-
2.   Mudah berkaitan dengan lumpur
3.   Tidak beracun jika jumlah sangat banyak
          Jumlah NH4+ diperairan tergantung pada ekskresi hewan. Pengambilan oleh tanaman dan
oksidasi bakteri NH3 bila masuk dalam air akan terlarut, terdisosiasi membentuk NH4+, semua
dalam bentuk NH3. Pada pH=7, reaksi bergeser ke kanan. Jika gas Al 2 sangat banyak di dalam
air akan masuk ke dalam darah ikan atau organism dan menyebabkan kematian. Konsentrasi Al
juga mengikuti musim. Musim semi dan panas, konsentrasi rendah, terutama di zona
photic,  Musim gugur dan musim dingin, konsentrasinya lebih besar. Kadar ammonium bebas
yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02 mg/l perairan
bersifat toksin bagi beberapa jenis ikan. Beberapa organism akuatik dapat memanfaatkan
nitrogen dalam bentuk gas, akan tetapi sumber utama nitrogen diperairan  tidak terdapat dalam
tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan (tumbuhan dan biota akuatik yang mati) oleh
miroba dan jamur. Kadar ammonia pada perairan tawar biasanya kurang dari 0,1 mg/l (Pratama,
2009).
6.   Orthofosfat
            Menurut Arfiati (2001) menyatakan bahwa unsure fosfor merupakan salah satu esensial
bagi pembentukan protein metabolosme untuk organisme. Pospor merupakan kunci metabolic
nutrient dan ketersediannya elemen ini sering bias mengatur produktivitasnya suatu perairan
alami. Pospor dalam air berada dalam berbagai bentuk :
1.       Pospor yang dapat larut (p terlarut) adalah dalam bentuk pospat sering disebut orthofosfat.
2.       Pospor organic yaitu yang terdapat dalam organisme-organisme plankton dan bahan-bahan
organic lainnya dalam air.
         Orthopospat adalah senyawa pospat yang berbentuk anorganik dan larut dalam air.
Orthopospat terlarut merupakan bentuk sederhana pospor di dalam air dan orthopospat yang
terlarut ini bisa digunakan langsung oleh tanaman. Konsentrasi pospor di dalam air relatif
rendah. Kandungan orthopospat terlarut jarang sekali mencapai 0,1 mg/ liter. Kandungan
orthopospat di dalam air dari beberapa danau adalah 0,003 mg/liter.
           Perairan dengan kadar orthopospat kurang dari 0,001 mg/litermerupakan perairan kurang
subur (oligotropik), 0,01 – 0,05 mg/liter merupakan perairan agak subur (mesotropik) dan lebih
dari 0,1 mg/liter termasuk dalam perairan yang subur (eutropik). Orthopospat yang terlarut dengan
tersedia bagi tanaman tetapi ketersediaan bentuk – bentuk lain ditentukan dengan pasti.
Konsentrasi pospor dalam air sangat rendah. Konsentrasi yang biasanya tidah lebih dari 5 – 20
mg/liter dan jarang melebihi 1000 mg/liter . meskipun pospor merupakan unsur minor dalam air,
manfaat biologinya dapat dipertimbangkan sebagai elemen yang sering kali membatas
produktifitas dan ekosistem air (Pratama, 2009).
7.   TOM
           Menurut Sudaryanti (1991), menyatakan bahwa sumber bahan organik berasal dari kolam
perairan itu sendiri (autoditonous) atau berasal dari luas perairan (alloditonous), unsur utama
penyusun bahan organik adalah karbon. Bahan organik yang terlarut dan tersuspensi penting
untuk makanan organisme heterotrof. Konsentrasi dan komponen mikroba. Kandungan bahan
organic terlarut di perairan alami sekitar 50 mg/liter . Dekomposisi bahan organik di perairan
dilakukan oleh mikroba. Untuk mengurangi bahan organik di perairan dapat dilakukan aerasi
untuk mempertahankan dekomposer yang aerobik.
         
         Nutrisi minyak (karbohidrat, protein, lemak dan vitamin). Beberapa digunakan jasad itu
sendiri. Jasad mati merupakan sumber nutrisi jasad keterotropik buangan berbentuk CO 2, H2O,
alkhohol, NH3 dan sebagainya.
8.   Nitrat Nitrogen
           Menurut Arfiati (2001), menyatakan bahwa nitrogen merupakan salah satu unsur penting
bagi pertumbuhan organisme dan merupakan salah satu unsur utama pembentuk protein.
Nitrogen banyak terdapat dalam elemen sel hidup seperti hanya C, H dan O bentuk – bentuk
nitrogen di danau :
1. Gas, akibat kontak dengan udara yang mengandung 80% Al2.
2. fiksasi nitrogen yaitu yang diikat oleh bakteri dan BGA dengan enzim nitrogenasi untuk
tumbuhan darat oleh leguminocae.
3. NH3- dan NO2-  yang merupakan bentuk nitrogen yang teroksidasi dan ada dalam air.
4. NH3 dan NH4+
5. DON (Dissolved Organic Nitrogen     
          Menurut Sudaryanti (1991), menyatakan bahwa sumber nitrogen dapat berasal dari
presipitasi, fiksasi, difusi, aliran permukaan dan air tanah. Penurunan kandungan nitrogen terjadi
karena proses denitrifikasi. Nitrogen selalu ditemukan di ekosistem perairan terutama dalam
bentuk gas dan sebagian kecil ditemukan dalm persenyawaan organik terlarut. Laju nitrifikasi
dipengaruhi oleh pH, pada pH 7 oksidasi ammonia menjadi nitrit meningkat, sedangkan oksidasi
nitrit lebih cepat datri pH asam.
Karakteristik dari perairan tawar dapat dilihat dari suhu, kedalaman air, kecerahan, dan
konduktivitas. Hubungan antara kedalaman terhadap suhu dan intensitas cahaya adalah
berbanding terbalik, yaitu jika kondisi perairan semakin dalam maka intensitas cahaya akan
semakin rendah dan mengakibatkan suhu air tersebut rendah pula. Intensitas cahaya dan
kecerahan air adalah berbanding lurus, yaitu jika intensitas cahaya naik maka kecerahan air juga
akan meningkat, begitu pula sebaliknya. Kecerahan pada lokasi pengukuran termasuk dalam
kategori perairan berkecerahan baik. Konduktivitas dipengaruhi oleh komposisi, jumlah ion
terlarut, salinitas dan suhu. Hasil pengukuran menunjukkan rata-rata konduktivitas perairan
adalah 0,3388 μS/cm. Beberapa karakteristik kimia dapat dilihat dari pengukuran pH, salinitas,
kadar oksigen terlarut (DO), kadar karbon dioksida bebas terlarut, BOD (Biochemical Oxygen
demand), dan TOM (Total Organic Matter). pH sangat penting sebagai parameter kualitas air
karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Kondisi
oksigen terlarut pada zona bersih berada pada 8 ppm, yang merupakan konsentrasi normal DO di
perairan dan BOD pada kondisi yang rendah. Kadar karbon dioksida tinggi menunjukkan
lingkungan air yang asam meskipun demikian karbon dioksida diperlukan dalam proses pem-
buffer-an. TOM dapat berupa autochthonous, yang berasal dari perairan itu sendiri seperti
pembusukan organisme mati oleh detritus, aktifitas perifiton, makrofita dan fitoplankton.
Organisme di Perairan Menggenang (Lentic)
Menurut Ravera (1997) Perairan menggenang (lentik) adalah suatu bentuk ekosistem
perairan yang di dalamnya aliran atau arus air tidak memegang peranan penting. Hal ini karena
aliran air tidak begitu besar atau tidak mempengaruhi kehidupan organisme yang ada di
dalamnya. Pada perairan ini faktor yang amat penting diperhatikan adalah pembagian wilayah air
secara vertikal yang memiliki perbedaan sifat untuk tiap lapisannya, contoh dan jenis perairan ini
adalah danau, rawa, situ, kolam dan perairan menggenang lainnya. Perairan menggenang di bagi
dalam tiga lapisan utama yang didasari oleh ada tidaknya penetrasi cahaya matahari dan
tumbuhan air, yaitu: Littoral, limnetik dan profundal, sedangkan atas dasar perbedaan temperatur
perairannya, perairan menggenang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: metalimnion, epilimnion,
dan hipolimnion. Kelompok organisme di perairan menggenang berdasarkan niche utama dalam
kedudukan rantai makanan meliputi produser (autotrof), makro konsumer (heterotrof) dan
mikrokonsumer (dekomposer). Kelompok organisme yang ada di perairan menggenang
berdasarkan cara hidupnya meliputi: benthos, plankton, perifiton, nekton dan neuston.
Distribusi Organisme di Perairan Menggenang
 Pada zona litoral, produser utamanya adalah tanaman yang berakar (anggota
spermatophyta) dan tanaman yang tidak berakar (fitoplankton, ganggang dan tanaman hijau yang
mengapung). Sedangkan konsumernya meliputi beberapa larva serangga air seperti,
platyhelminthes, rotifer, oligochaeta, moluska, amphibi, ikan, penyu, ular dan lain sebagainya.
Pada zone limnetik, produsernya terutama fitoplankton dan tumbuhan air yang terapung bebas
seperti, water hyacinth (Eichornia crassipes), Cerratophyllum spp, Utricularia spp, Hydrilla
verticillata, duckweed (Lemna spp); dan vascular plants, seperti: Equisetum spp; Ioetes spp dan
Azolla spp. Sedangkan konsumernya meliputi zooplankton dari copepoda, rotifera dan beberapa
jenis ikan. Pada zona profundal, banyak dihuni oleh jenis-jenis bakteri dan fungi, cacing darah,
yang meliputi larva chironomidae, dan annelida yang banyak mengandung haemoglobin, jenis-
jenis kerang kecil seperti anggota famili sphaeridae dan larva "phantom" atau Chaoboras
(corethra). Rantai makanan adalah suatu transfer energi dari tumbuhan melalui serangkaian
organisme dengan jalan makan-memakan. Pada tiap transfer ada 80-90% energi potensial yang
hilang sebagai panas. Oleh karena itu rantai makanan dalam satu deretan jumlahnya terbatas,
biasanya 4 - 5 tingkat. Makin pendek rantai makanan, maka lebih banyak tersedia energi yang
dapat dimanfaatkan (Irwan,1990).

BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1    Waktu Dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari minggu tanggal 6 Mei 2012, pada pukul
08.00 WIB  s/d dengan lebar sungai ± 8 m. Praktikum perairan menggenang Kolam buatan
Jakabaring Palembang, provinsi Sumatera Selatan.

3.2    Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu erlenmeyer, meteran, gelas ukur,LUP (larutan
Na2 S2 O3 0,01 N dan larutan H2 SO4 0,01 N), tali plastik, botol aqua, pemberat, kertas lakmus/ph
meter, thermometer, seccal disk, dan pipet tetes. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini
adalah indicator pp, larutan Na2 CO3 0,01 N dan metal orange.

3.3    Cara Kerja
Adapun cara kerja pada praktikum ini antara lain yaitu :
1. Kedalaman
Kedalaman perairan (kolam) diukur dengan sechi disk dengan mencelupkan sechi disk yang
telah diikat dengan tali yang  berada tepat diatas permukaan air.
2. Suhu
Pengukuran suhu air dilakukan dengan thermometer.
3. Penetrasi cahaya / kecerahan
Dilakukan dengan cara mencelupkan secchi disk sampai batu warna hitam putih tidak kelihatan
lagi dan dilihat berapa kedalaman penetrasi cahaya pada skala dan dicatat hasilnya.
4. Substrat dasar
Substrat dasar kolam diambil dan diamati apa substratnya.

5. Pengukuran oksigen terlarut


Diambil sampel 100 ml, tambahkan 7 – 10 tetes indicator amilum lalu ditetrasi dengan larutan
Na2 S2 O3 0,01 N sampai tetap jernih. Hitung kadar O2  dengan rumus.

            Kadar O2 terlarut =   x p x q x 8 ml/l


            Dimana = P  : jumlah ml Na2 S2 O3 yang terpakai
                             Q : Normalitas larutan Na2 S2 O3
                                             8  : Bobot setara O2

6. Pengukuran karbondioksida terlarut


Diambil sampel air 100 ml tambahkan indicator pp lalu tetrasi dengan larutan Na 2 CO3 0,01 N
sampel berwarna merah jambu jumlah Na2 CO3 yang terpakai dicatat dan dihitung kadar
CO2 terlarut dengan rumus.

Kadar CO3 terlarut =   x p x q x 22 m/l


Dimana = P  : jumlah ml Na2 CO3 yang terpakai
                             Q : Normalitas larutan Na2 CO3
                            22 : Bobot setara CO2 
7. Pengukuran alkalinitas
Ambil 100 ml air sampel, tambahkan 10 tetes metal orange dihomogenkan kemudian ditetrasi
dengan H2 SO4 0,01 N sampai larutan berwarna merah bata. Hitung alkalinitas dengan rumus.

Kadar sanilitas  =   x p x q  ml/l


Dimana = P  : jumlah ml H2 SO4 yang terpakai
                             Q : Normalitas larutan H2 SO4
8.   Identifikasi bentos
Memakai plankton net, identifikasi biota yang tertangkap jarring dengan    menggunakan lup.

BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS
4.1 Hasil Pengamatan
Dari hasil perairan tergenang pada air kolam buatan jakabaring di dapatkan suhu sebesar
32°C, sedangkan kecerahan 3,35 cm, kedalaman 335 m, serta pH sebesar 4,0 dan substratnya
adalah lumpur.
Grafik hasil praktikum
1.     Suhu air
2.     Kedalaman

3.     pH
4.     Kecerahan

4.2 Analisis
Analisis dari hasil yang diperoleh dari praktikum perairan  tergenang yang dilakukan menunjukkan
bahwa Kolam buatan Jakabaring memiliki  pH  4,0 yang berada dipinggir sungai.  Warna perairan secara
visual adalah kebiruan dan tipe substratnya adalah lumpur. Selain itu   memiliki suhu 32° C. Perbedaan suhu
tidak terlalu jauh karena kedalamannya relatif dangkal. Berdasarkan pengamatan menggunakan secchi disk,
kecerahan air sungai 3,35 cm ditengah dan termasuk perairan kecerahan kurang baik. Kedalaman Sungai 3,35
m yang berada ditengah. Sedangkan pada identifikasi plankton / bentos pada penangkapan dengan
menggunakan jarring yang dimodifikasi menjadi plankton net, tidak dilakukan pada praktikum ini karena
alatnya dan bentos yang berada dalam kolam ini kurang tersedia.  
Menurut Krebs (1978) Faktor fisika kimia yaitu faktor yang menentukan distribusi dari
biota air adalah sifat fisika-kimia perairan. Organisme yang dapat disesuaikan dengan kondisi
sifat fisika-kimia yang akan mampu hidup. Penyebaran jenis dan hewan akkuatik ditentukan oleh
kualitas lingkungan yang ada seperti sifat fisika, kimia, biologisnya menambahkan bahwa
kehidupan biota perairan dipengaruhi oleh volume air mengalir, kecepatan arus, temperatur, pH
dan konsentrasi oksigen terlarut.
Perairan pada kolam buatan Jakabaring termasuk kedalam perairan lentik, karena tidak mengalir.
Data pengamatan terlihat bahwa suhu bergantung terhadap intentitas cahaya. Karena semakin besar intentitas
berarti semakin besar pula suhunya. Sedang intentitas cahaya bergantung pada kedalaman yaitu semakin
dalam maka itentitas cahaya semakin rendah karena cahaya matahari tidak dapat masuk ke dalam perairan.
Kercerahan juga berperngaruh terhadap kedalaman semakin dalam suatu perairan maka tingkat kecerahan
semakin rendah, hal ini dikarenakan cahaya matahari sulit tertembus pada dasar perairan. Konduktivitasdi
pengaruhi oleh kecerahan yaitu semakin besar nilai konduktivitas maka semakin tinggi pula tingkat kecerahan.
Ekosistem perairan merupakan ekosistem yang selalu mengalami perubahan kualitas dankuantitas akibat
pengaruh variasi abiotik tersebut. Oleh karena itu, organisme perairan harus dapat beradaptasi dalam mencari
nutrisi dan menjalankan kelangsungan hidup dengan menggunakan gas-gas yang terlarut pada perairan
tersebut. Pengaruh variasi abiotik ini juga sebagai penunjang lingkungan secara keseluruhan yang
memungkinkan adanya perubahan produktivitas biologis. Dengan adanya praktikum
ini, kita dapat menentukan kualitas fisikadan kimia suatu perairan sehingga dapat menambah wawasan
tentang variasi faktor abiotik yang sesuai dengan kelangsungan kehidupan organisme perairan sehingga kita
dapat mengaplikasikan hal tersebut di bidang perikanan dan konsevasi alam.
Pada praktikum yang kami lakukan didapatkan suhu 32°c. Pengukuran suhu akan berbeda
dengan factor waktu yang mempengaruhinya. Suhu merupakan factor dalam kehidupan flora dan
fauna akuatis. Suhu air mempunyai pengaruh yang universal dan sangat berperan dalam
kehidupan organisme. Temperature suatu badan perairan dipengaruhi oleh musim, lintang
(latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam satu hari, sirkulasi udara,
penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari badan air. Peningkatan temperatur akan diikuti
dengan menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan, Suhu adalah salah satu faktor yang
penting dalam suatu perairan untuk mengukur temperatur lingkungan tersebut.
pH yang dapatkan adalah 4,0 Menurut Effendi (2003) Derajat keasaman berpengaruh
sangat besar terhadap kehidupan hewan dan tumbuhan air serta mempengaruhi toksisitas suatu
senyawa kimia. Nilai pH dapat dipengaruhi anatara lain buangan industri dan rumah tangga.
Derajat krasaman (pH) berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas, semakin tinggi pH,
semakin tinggi alkalinitas dan semakin rendah kadar kandungan dioksida bebas. pH merupakan
tingkat derajat keasaman yang dimiliki setiap unsur, pH juga berpengaruh terhadap setiap
organisme, karena setiap organisme atau individu memiliki ketentuan pada derajat keasaman
(pH) berapa mereka dapat hidup (Mahidda, 1984).
Kecerahan air yang kami lakukan termasuk pada kecerahan kurang baik yaitu 3,35 cm.
Kecerahan adalah besarnya intensitas cahaya di dalam air yang disebabkan oleh adanya partikel
koloid dan tersuspensi seperti lumpur, pasir, bahan organik dan mikroorganisme termasuk
plankton. Semakin tinggi tingkat kecerahan suatu perairan, maka semakin tinggi pula kecerahan
yang masuk ke dalam air, sehingga lapisan air yang produktif akan menjadi lebih stabil
(Kembarawati, 2000).
Kedalaman air yang kami dapatkan adalah 3,35 m yang berada ditengah sungai, karena
sungai yang kami amati dbagian hilir yang masih dangkal. Menurut Odum (1988) Pada sungai
dapat dijumpai tingkat yang lebih tua dari hulu ke hilir, perubahan lebih terlihat pada bagian atas
aliran air, dan komposisi kimia berubah dengan cepat. Dan komposisi komunitas berubah
sewajarnya yang lebih jelas pada kilometer pertama dibanding lima puluh (50) kilometer
terakhir. Kedalaman juga dipengaruhi oleh zona yaitu zona hulu, zona hilir dan zona tengah.
Interaksi antara komponen abiotik dengan biotic. Tingkat kedalaman perairan
mempengaruhi jumlah organisme di dalamnya. Organisme masih terdapat dalam jumlah
melimpah pada permukaan perairan dan kolam perairan. Jumlah intensitas cahaya yang
menembus permukaan perairan dan kolam, mempengaruhi kelimpahan organisme terutama yang
dapat melakukan proses fotosisntesis. Pada kedalaman dasar, maka dapat dioastikan jumlah
organisme yang melimpah adalah organisme yang tidak dapat melakukan proses fotosisntesis,
seperti bentos. Kecerahan air dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya kepadatan
tersuspensi dan waktu pengamatan. Semakin tinggi jumlah padatan yang tersuspensi maka
tingkat kecerahan semakin rendah yang menyebabkan sedikitnya cahaya matahari yang masuk
ke perairan sehingga jumlah organismeyang terbatas pada jenis zooplankton.Waktu pengamatan
juga mempengaruhi kelimpahan plankton. Ketika suhuh tinggi, plankton akan begerak mencari
tempat yang lebih optimal untuk proses pertumbuhannya. Adanya keterkaitan yang kompleks,
perubahan lingkungan yang terjadi dalam komunitas akan menyebabkan perubahan satu atau
lebih populasi yang ada di dalamnya. Hal ini memungkinkan terjadinya pergantian populasi oleh
kelompok organisme lain yang dapat dibedakan sebagai sebuah komunitas lain yang baru.
Sehingga organisme suatu populasi dapat menjadi indicator bagi perubahan lingkungan (Ravera,
1978).
Interaksi antara komponen biotik penyusun ekosistem perairan Pada daerah sekitar
banyak terdapat pepohonan. Daun-daunan yang terjatuh ke perairan akan tenggelam ke dasar dan
selanjutnya akan mengalami pembusukan. Penguraian tersebut akan menghasilkan nutrisi
sebagai sumber unsur hara yang akan dimanfaatkan oleh organisme perairan lainnya, seperti
bentos dan fitoplankton sebagai produsen primer merupakan sumber makanan bagi zooplankton.
Selanjutnya zooplankton merupakan makanan bagi organisme pada tingkat trofik yang lebih
tinggi, seperti nekton. Interaksi komponen biotic yang terdapat di Situ Gede merupakan
tipe grassing food chain, yaitu perpindahan energi makanan terjadi dari sumber daya tumbuhan
melalui seri organisme (tumbuhan – herbivore – karnivora ) (Odum 1993).
Menurut Efendi (2003) Hubungan faktor biotik dan abiotik perairan, biotik merupakan
organisme yang hidup pada suatu ekosistem tertentu yang hidupnya bergantung pada kondisi
alam sekitarnya atau lingkungannya. Sedangkan, abiotik merupakan lingkungan tempat tinggal
organisme yang meliputi semua benda mati yang ada. Kedua faktor diatas saling mempengaruhi
karena antara faktor mengalami interaksi dalam perjalanan waktu. Faktor abiotik menyediakan
wadah hidup serta unsur hara dalam tanah maupun air yang digunakan oleh tumbuhan hijau,
tumbuhan air untuk bahan baku proses fotosintesis. Proses rantai makanan terjadi dari jatuhnya
daun kering ke permukaan air kemudian daun terurai oleh detritus menjadi bahan non-organik
(Nitrogen dan Fosfor).

BAB V
KESIMPULAN
Perairan pada Kolam buatan Jakabaring  termasuk kedalam perairan lentik , karena tidak mengalir.
Parameter fisika yang diukur meliputi suhu, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus dan konduktivitas.
Sedangkan parameter kimia yang digunakan yaitu pH yang diukur dengan menggunakan pH meter. Suhu
yang didapatkan dengan pengukuran menggunakan thermometer sebesar 32°C, kedalaman yang diukur
dengan menggunakan sechi disk didapatkan sebesar 3,35 m, kecerahan 3,35 cm. Hal-hal yang mempengaruhi
ekosistem perairan adalah faktor fisika dan kimia, faktor kimia dan faktor fisikaakan mempengaruhi jumlah,
komposisi, keanekaragaman jenis, produktivitas dan keadaan fisiologis organisme di suatu perairan.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi. 2003. Pengaruh factor biotic-abiotik organism sungai. Online.http://id.shvoong.com/exact-


sciences/earth-sciences/2074023-pengukuran-parameter-kualitas-dengan-bentos. Diakses 10
April 2012.

Irwan. 1992. Ekosistem Perairan. Online.http://rainadpa.blogspot.com/2010/01/pola-longitudinal-


ekosistem-sungai.html. Diakses 10 April 2012.

Kembarawati. 2000. Penentuan Faktor Biotik-abiotik lingkungan


perairan.Online. http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/2149486-ekosistem-faktor-biotik-
dan-faktor. Diakses 10 April 2012.

Purba, Michael. “Sains Kimia” .1994.Erlangga. Jakarta

Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. 4rd ed. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Suwigyo, Sugiarti. Widigdo, Bambang. Wardiatno, Yusli. dan Krisanti, Majariana. 2005      Avertebrata
Air. 1st ed. Penebar Swadaya. Jakarta

MAKALAH EKOSISTEM MANGROVE


Mei 03, 2017

MAKALAH
EKOSISTEM MANGROVE
TAUFIQ ABDULLAH
0517 1511 027

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2017

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah Ekosistem Mangrove.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah
ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini. Atas
perhatiannya saya ucapkan banyak terima kasih.

                                                                                     

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
B.      Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A.    Deskripsi Mangrove


B.    Klasifikasi
C.    Karakteristik Morfologi dan Fisiologi Tumbuhan Mangrove
D.   Habitat dan Distribusi
E.    Jenis – Jenis Mangrove
F.    Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
G.  Vegetasi Di Kawasan Mangrove
H.  Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Vegetasi Mangrove
I.    Zonasi Mangrove
J.    Permasalahn Penyebab Kerusakan Mangrove

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A.     Kesimpulan
B.      Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi Mangrove
Kata mangrove merupakan kombinasi antara kata mangue (bahasa Portugis) yang
berarti tumbuhan dan grove(bahasa Inggris) yang berarti belukar atau hutan kecil (Arief,
2003). Menurut Steenis (1978) dalam Rahmawaty (2006) mangrove adalah vegetasi hutan
yang tumbuh diantara garis pasang surut. Sementara menurut Nybakken
(1992) dalamRochana (2010) bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang
digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi
oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh pada perairan asin.
Kathiresan dan Bingham (2001) dalam Taher (2011) mendefinisikan hutan
mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara
sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis
pohon Avicennia sp, Sonneratia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp, Ceriops sp,
Lumnitzera sp, Excoecaria sp, Xylocarpus sp, Aegiceras sp, Scyphyphora sp
dan Nypa sp.
Ezwardi (2009) menyatakan bahwa hutan mangrove disebut sebagai hutan payau
atau bakau. Hutan mangrove ini dianggap sebagai salah satu ekosistem yang khas,
menempati habitat pada garis pantai daerah tropis.
B. Klasifikasi
Setyawan, dkk, (2002) menyatakan secara taksonomi tumbuhan mangrove
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom: Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Scrophulariales, Myrtales
Family: Acanthaceae, Sonneratiaceae, Rhizophoraceae, Arecaceae
Genus: Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Nypa

C. Karakterisik Morfologi dan Fisiologi Tumbuhan Mangrove


Morfologi dan struktur ekosistem mangrove dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.

Gambar Morfologi dan Struktur Ekosistem Mangrove (Sumber: Solihah, 2011).


Ciri-ciri tumbuhan mangrove menurut Setyawan, dkk, (2002) adalah sebagai berikut :
a.         Tumbuhan berpembuluh (vaskuler).
b.        Menggunakan air garam sebagai sumber air, daun keras, tebal, mengkilat, sukulen,
memiliki jaringan penyimpan air dan garam.
c.         Mencegah masuknya sebagian besar garam ke dalam jaringan dan dapat mengekskresi
atau menyimpan kelebihan garam.
d.        Menghasilkan biji yang berkecambah saat masih di pohon induk (vivipar) dan dapat
tumbuh dengan cepat setelah jatuh dari pohon, serta dapat mengapung.
e.         Akar dapat tumbuh pada tanah anaerob.
f.         Memiliki struktur akar tertentu (pneumatofora) yang menyerap oksigen pada saat surut dan
mencegah kelebihan air pada saat pasang.
Karakteristik yang menarik dari spesies mangrove dapat dilihat dari sistem perakaran dan buah.
Tanah pada habitat mangrove adalah anaerobik  (hampa udara) bila berada di bawah air.
Beberapa species memiliki sistem perakaran khusus yang disebut akar udara yang cocok untuk
kondisi tanah yang anaerobik.
Ada beberapa tipe perakaran yaitu, akar tunjang, akar napas, akar lutut, dan akar papan
baner. Semua spesies mangrove memproduksi buah yang biasanya disebarkan melalui air. Ada
beberapa macam bentuk buah, seperti berbentuk silinder (Rhizophoraceae), bulat (Sonneratia dan
Xylocarpus) dan berbentuk kacang (Avicenniaceae).

           Sistem akar
Pohon mangrove memiliki sistem perakaran yang khas. Bentuk perakaran tumbuhan mangrove
yang khas tersebut adalah sebagai berikut (Onrizal, 2008):
1.        Akar pasak (Pheumatophore)
Akar pasak berupa akar yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang keluar ke arah udara
seperti pasak, contonya pada Avicennia, Xylocarpus, dan Sonneratia.
2.        Akar lutut (knee root)
Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada umumnya tumbuh ke arah
permukaan substrat kemudian melengkung menuju ke substrat lagi, contohnya
pada Bruguiera spp.
3.        Akar tunjang (stilt root)
Akar tanjung merupakan akar (cabang – cabang akar) yang keluar dari batang dan tumbuh ke
dalam substrat,contonyaRhizophora spp.
4.        Akar papan (buttress root)
Akar papan hampir sama dengan akar tanjung tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng,
mirip struktur silet, contohnyaHeritiera
5.        Akar gantung (aerial root)
Akar gantung adalah akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian
bawah tetepi biasanya tidak mencapai substrat, contonya Rhizophora, Avicennia, dan Acanthus.
Bentuk – bentuk pengakaran yang sering dijumpai di hutan mangrove dapat dilihat pada gambar
berikut :
Gambar Bentuk – bentuk pengakaran yang sering dijumpai di hutan mangrove. (a) akar tunjang,
(b) akar lutut, (c) akar pasak, (d) akar papan (Onrizal, 2008).

           Daun
Daun merupakan organ yang penting pada tumbuhan dan pada umumnya, setiap tumbuhan
mempunyai sebagian besar daun. Daun hanya terdapat pada bagian batang saja dan tidak pernah
terdapat pada bagian lain tumbuhan. Bagian batang tempat duduknya atau melekatnya daun
dinamakan buku (nodus), dan tempat di atas daun yang merupakan sudut antara batang dan daun
dinamakan ketiak daun (axilla). Daun biasanya tipis melebar dan kaya akan klorofil, oleh karena
itu daun mangrove biasanya berwarna hijau (Tjitrosoepomo, 1989).
Bentuk daun mangrove tipe lanceloate contohnya adalah Acanthus ilicifolius, Avicennia
alba, Nypa fruticans. Bentuk daun elliptical contohnya dari famili Euphorbiaceae adalah
Excoecaria agallocha, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora mucronata,
Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Heritiera littoralis. Bentuk daun oval contohnya
Sonneratia caseolaris. Bentuk daun obovate contohnya Ceriops tagal, Xylocarpus granatum,
Sonneratia alba, Aegiceras corniculatum, Ceriops decandra, Lumnitzera racemosa. Bentuk daun
tipe cordate adalah Hibisscus tiliaceus, Thespesia populnea (Hidayat, 1994).  
           Buah
Semua jenis mangrove menghasilkan buah yang penyebarannya dilakukan oleh air (arus).
Bentuk-bentuk buah tersebut antara lain berbentuk bola, biji buncis, dan silinder atau tongkat.
Avicennia memiliki bentuk buah seperti biji buncis, Aegiceras buahnya berbentuk silinder dan
Nypa memiliki buah yang bertipe cryptovivipar, yaitu kecambahnya masih terbungkus oleh kulit
buah sebelum lepas dari tanaman induknya. Buah Sonneratia dan Xylocarpus berbentuk seperti
bola yang terdiri dari perkecambahan normal (Noor dkk, 1999).
D. Habitat dan Distribusi
Hutan mangrove menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di
sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan mangrove di
Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi
Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Nontji, 1987).
E. Jenis – Jenis Mangrove
Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89
jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis efipit, dan 1 jenis
paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis ditemukan sebagai mangrove sejati, sementara jenis lain
ditemukan disekitar mangrove dan dikenal sebagai mangrove ikutan (Noor dkk, 2006).
Yang termasuk mangrove sejati menurut Noor dkk (2006), meliputi : Acanthaceae;
Pteridaceae, Plumbaginaceae, Myrsinaceae, Laranthaceae, Avicenniaceae, Rhizophorzceae,
Bombacaceae, Euphorbiaceae, Asclepiadaceae, Sterculiaceae, Combretaceae, Arecaceae,
Nyrtaceae, Lythraceae, Rubiaceae, Sonneriatiaceae, Meliaceae. Sedangkan untuk mangrove
tiruan meliputi : Lecythidaceae, Guttiferae, Apocynaceae, Verbenaceae, Leguminosae,
Malvaceae, Convolvulaceae, Melastomataceae.
Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis yang palng banyak di temukan
adalah Avicennia sp.,Rhizophora  sp., Bruguiera sp. dan Sonneratia sp. Jenis – jenis mangrove
ini merupakan kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan
atanah habitatnya (Irwanto, 2006).

Gambar Jenis Mangrove yang banyak ditemukan di Indonesia


(Sumber: Noor, dkk, 2006)

F. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove


Menurut Arief (2003) bahwa kawasan mangrove mempunyai beberapa keterkaitan dalam
pemenuhan kebutuhan manusia sebagai penyedia bahan pangan, papan, dan kesehatan, serta
lingkungan dibedakan menjadi lima fungsi :
1. Fungsi fisik kawasan mangrove adalah sebagai berikut :
a.       Menjaga garis pantai agar tetap stabil.
b.      Melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, serta menahan atau menyerap
tiupan angin kencang dari laut ke darat.
c.       Menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru.
d.      Kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau sebagai filter air asin
menjadi tawar.
2. Fungsi kimia kawasan mangrove adalah sebagai berikut :
a.       Tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen.
b.      Penyerap karbondioksida.
c.       Pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di lautan.
3. Fungsi biologis kawasan mangrove adalah sebagai berikut :
a.       Penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata
kecil pemakan bahan pelapukan (detritus), yang kemudian berperan sebagai sumber
makanan bagi hewan yang lebih besar.
b.      Kawasan pemijah atau asuhan (nursery ground) bagi udang, ikan, kepiting, kerang dan
sebagainya.
c.       Kawasan untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain.
d.      Sumber plasma nutfah atau sumber genetika.
e.       Habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut lainnya.
4. Fungsi ekonomi kawasan mangrove adalah sebagai berikut :
a.       Penghasil kayu, misalnya kayu bakar, arang, serta kayu untuk bahan bangunan dan
perabot rumah tangga.
b.      Penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan,
alkohol, penyamak kulit, kosmetika, dan zat warna.
c.        Penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung, dan madu.
5. Fungsi lain (wanawisata) kawasan mangrove adalah sebagai berikut :
a.       Kawasan wisata alam pantai dengan keindahan vegetasi dan satwa, serta berperahu di
sekitar mangrove.
b.      Tempat pendidikan, konservasi, dan penelitian.

G. Vegetasi di Kawasan Mangrove


Menurut Nontji (1987) dalam Thalib (2008) bahwa vegetasi mangrove di Indonesia
merupakan yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 spesies yang terbagi menjadi 35
jenis pohon, 5 jenis palem, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.
Beberapa jenis mangrove yang dijumpai di pesisir Indonesia adalah bakau
(Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp), bogem (Sonneratia sp), tancang (Bruguiera sp),
nyirih (Xylocarpus sp), tengar (Ceriops sp), dan buta-buta (Excoecaria sp).
Formasi hutan mangrove terdiri atas empat genus utama, yaitu Avicennia,
Sonneratia, Rhizophora, dan Bruguiera(Nybaken, 1993), terdapat pula Aegiceras,
Lumnitzera, Acanthus illicifolius, Acrosticum aureum, dan Pluchea indica. Pada perbatasan
hutan mangrove dengan rawa air tawar tumbuh Nypa fruticans dan beberapa jenis
Cyperaceae (Setyawan, dkk, 2002).

H. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Vegetasi Mangrove


Kusmana (2005) dalam Taher (2011) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor
lingkungan yang mendukung/ mempengaruhi mangrove (struktur vegetasi, komposisi dan
distribusi spesies, pola pertumbuhan, serta zonasi) yakni sebagai berikut:
1. Topografi pantai
Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur
vegetasi, komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas mangrove. Semakin
datar pantai dan semakin besar pasang surut maka semakin lebar mangrove yang tumbuh.
2. Angin
Angin berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan
abrasi dan mengubah struktur vegetasi mangrove, meningkatkan evapotranspirasi dan
angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis
abnormal, tetapi angin diperlukan untuk penyebaran benih tanaman.
3. Pasang surut
Pasang surut menentukan zonasi dan komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi
pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove.
Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang
membatasi distribusi spesies mangrove terutama distribusi horizontal. Pada area yang
selalu tergenang hanya Rhizophora sp, yang tumbuh baik,
sedangkan Bruguiera sp, dan Xylocarpus sp, jarang mendominasi daerah yang sering
tergenang.
4. Suplai air tawar dan salinitas
Suplai air tawar dan salinitas merupakan faktor penting dari pertumbuhan, vegetasi,
daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Kusmana (2005) dalam Taher (2011)
menyatakan bahwa kisaran salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh
berkisar antara 10‰-30‰. Beberapa spesies dapat tumbuh didaerah dengan salinitas yang
tinggi. Menurut Dahuri (2003) bahwa spesies vegetasi mangrove memiliki mekanisme
adaptasi yang tinggi terhadap salinitas, namun bila suplai air tawar tidak tersedia, hal ini
akan meyebabkan kadar garam dalam tanah dan air mencapai kondisi ekstrim sehingga
mengancam kelangsungan hidup mangrove. Faktor yang mempengaruhi fluktuasi salinitas
yaitu pola sirkulasi air, ketersediaan dan pasokan air tawar, penguapan, curah hujan, dan
aliran sungai (Nontji, 2003).
5. Suhu
Suhu berperan penting dalam proses fisiologi yang dapat mempengaruhi proses-
proses dalam suatu ekosistem mangrove seperti fotosintesis dan respirasi. Aksornkoae
(1993) dalam Taher (2011) mengemukakan bahwa tinggi rendahnya suhu pada habitat
mangrove disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang diterima oleh badan air,
banyak sedikitnya volume air yang tergenang pada habitat mangrove, keadaan cuaca, dan
ada tidaknya naungan (penutupan) oleh tumbuhan. Kisaran suhu optimum untuk
pertumbuhan mangrove adalah 18-30oC (Saenger, 1979 dalam Setyawan, dkk, 2002).
6. Derajat Keasaman (pH) tanah
Nilai pH didefinisikan sebagai logaritma dari aktivitas-aktivitas ion hidrogen. Derajat
keasaman tanah mempengaruhi transportasi dan keberadaan nutrien yang diperlukan
tanaman. Arief (2003) mengatakan bahwa jenis tanah banyak dipengaruhi oleh keasaman
tanah yang berlebihan, yang mengakibatkan tanah sangat peka terhadap terjadinya proses
biologi. Jika keadaan lingkungan berubah dari keadaan alaminya, keadaan pH tanah juga
akan dapat berubah. Proses dekomposisi bahan organik pada umumnya akan mengurangi
suasana asam. Menurut Murdiyanto (2003) dalam Kristoper (2011) bahwa umumnya pH
tanah tmangrove berkisar antara 6-7, kadang-kadang turun menjadi lebih rendah dari 5.
7. Substrat
Substrat mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari pantai dan
erosi hulu sungai. Secara umum hutan mangrove dapat tumbuh pada berbagai macam
substrat (tanah berpasir, lempung, tanah lumpur, tanah lumpur berpasir, tanah berbatu dan
sebagainya). Dahuri (2001) mengemukakan bahwa mangrove dapat tumbuh pada berbagai
jenis substrat yang bergantung pada proses pertukaran air untuk memelihara pertumbuhan
mangrove. Soeroyo (1993) dalam Bahri (2007) menyatakan bahwa Rhizophora dapat
tumbuh baik pada substrat yang dalam/tebal dan berlumpur.
Menurut Irwanto (2006) bahwa tanah mangrove merupakan tanah alluvial yang
dibawa sebagai sedimen dan diendapkan oleh sungai dan laut. Tanah ini dapat
diklasifikasikan sebagai pasir (sand), lumpur/debu halus (silt) dan lempung/tanah liat (clay).
Tanah disusun oleh ketiganya dengan komposisi berbeda-beda, sedangkan lumpur (mud)
merupakan campuran dari lumpur halus dan lempung yang keduanya kaya bahan organik
(detritus).
I. Zonasi Mangrove
Pertumbuhan komunitas vegetasi mangrove secara umum mengikuti suatu pola
zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor lingkungan seperti tipe tanah, keterbukaan
terhadap hempasan gelombang, salinitas, serta pengaruh pasut (Dahuri, 2003). Jalur – jalur
atau zonasi vegetasi hutan mangrove disebutkan secara berurutan dari ang paling dekat
dengan laut ke arah darat sebagai berikut (Indriyanto, 2006):
1.        Jalur padada yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Avicennia sp. dan Sonneratia sp.
2.        Jalur bakau yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Rhizophora sp. dan kadang -
kadang Bruguiera sp., Ceriops sp., dan Xylocarpus sp.
3.        Jalur tancang yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Bruguiera sp. dan kadang –
kadang Kandelia sp., Xylocarpus sp., dan Aegiceras sp.
4.        Jalur transisi antara hutan payau dengan hutan rendah yang umumnya adalah hutan nipah
dengan spesies Nypa fruticans
Gambar Zonasi vegetasi Mangrove (White dkk, 1989 dalam Noor dkk, 2006)
J. Permasalahn Penyebab Kerusakan Mangrove
Terkait dengan faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove, Kusmana (2003)
menambahkan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2)
konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan
yang berlebihan. Selain itu kerusakan mangrove menurut Tirtakusumah (1994), juga
disebabkan oleh Faktor alam, seperti : banjir, kekeringan dan hama penyakit, yang merupakan
faktor penyebab yang relatif kecil. Faktor penyebab yang relatif besar adalah kegiatan Manusia.

Penebangan yang berlebihan


Kegiatan penebangan untuk pemanfaatan kayu bakar atau kegiatan lainnya ini secara langsung
akan berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove.

Gambar penebangan pohon mangrove yang berlebihan


Konservasi menjadi lahan perikanan yang berlebihan
Kegiatan perikanan yang dilakukan dilahan mangrove adalah kegiatan budidaya perairan payau
yang mana sebagian besar kegiatan ini mengkonfersi lahan mengrove menjadi petakan -  petakan
tambak. Hal ini pula dapat merusak mangrove.
Gambar Mangrove yang dikonfersi menjadi tambak
Reklamasi
Reklamasi merupakan kegiatan pembangunan diwilayah pesisir yang menutupi laut untuk
pengadaan atau pembuatan daratan. Kegiatan reklamasi dapat merusak mangrove karena lahan
yang di buatkan daratan sebagian besar merupakan lahan mangrove.

Gaambar Reklamasi di lahan Mangrove.


Pencemaran limbah minyak
            Pencemaran minyak di wilayah ekosistem pesisir terurama ekosistem mangrove akan
menyebabkan kematian pada mangrove.

Gambar tumpahan minyak pada ekosistem mangrove


Pembuangan sampah padat
Pembuangan sampah padat memungkinan terlapisnya pneumatofora yang akan
mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove karena karakteristik sampah padat yang tidak
mudah terurai.
Gambar pencemaran sampah padat di ekosistem Mangrove

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penyusunan makalah di atas dapat saya simpulkan antara lain sebagai berikut :
1.        Mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas
komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas
atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada perairan asin.
2.        Mangrove menpunyai 5 sistem akar  akar pasak (pheumatophore), akar lutut (knee root),
akar tunjang (stilt root), akar papan (buttress root), dan akar gantung (aerial root). Selain itu
juga mempunyai buah, daun, dan batang.
3.        Fungsi mangrove diantaranya fungsi fisik; fungsi biologis; fungsi kimia; dan fungsi ekonomi.
4.        Faktor pembatas pertumbuhan mangrove diantaranya topografi pantai, salinitas, aliran air
masuk, suhu, ph, substrat, pasut, dan angin.
5.         kerusakan mangrove disebabkan oleh Faktor alam, seperti : banjir, kekeringan dan hama
penyakit, yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil. Faktor penyebab yang relatif
besar adalah kegiatan Manusia.
B. Saran
Manusia tidak luput dari keslahan dan rasa khilaf. Barangkali hanya ini yang dapat saya
ungkapkan. Jika ada kesalahan materi maupun merugikan pihak-pihak tertentu saya meminta
kritik dan sarannya, kritik maupun sarannyan sangatlah penting untuk pengintrospesikan diri
melengkapi makalah ini. Terima kasih.

MAKALAH
 EKOSISTEM MANGROVE DAN TEKNIK PENGELOLAANNYA DI
INDONESIA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen dan Teknik Laboratorium
Dosen pengampu : Sulistiyawati M. Si.
OLEH
         Siti Madiniah                    (116800)
         Robi’atu Sholihah            (116800)
         Shofwatul Mala                (116800)
         Septian Dian A                 (116800)
         Setyo Prabowo                 (116800)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan
rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan
mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal),
tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground),
tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim
mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil
keperluan industri, dan penghasil bibit.
Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem
mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak,
pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai
keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah
hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem.
Keberadaan ekosistem mangrove di Indonesia saat ini benar-benar telah pada posisi yang
sangat menghawatirkan, mengingat untuk pemenuhan keragaman kebutuhan penduduk yang
jumlahnya makin bertambah pesat ini telah pula merebak ke wilayah mangrove. Kehidupan
modern dan kemudahan aksesibilitas hasil produksi ekosistem mangrove ke pasaran serta
pemanfaatan yang berlebihan tanpa memperhatikan kaedah kelestarian lingkungan telah
mengakibatkan penurunan kuantitas maupun kualitasnya. Padahal ekosistem mangrove
merupakan mintakat peralihan antara daratan dan lautan yang mempunyai perbedaan sifat
lingkungan tajam, yang kelestariannya sangat rentan terhadap perubahahan lingkungan.
Mengingat pentingnya fungsi jalur hijau mangrove dalam menjaga keseimbangan
ekosistem pantai, maka sangat diperlukan upaya-upaya untuk melindunginya. Untuk
mempertahankan kelestarian hutan mangrove tersebut, suatu sistem pengelolaan hutan mangrove
yang memperhatian prinsip kesinambungan fungsi hutan mangrove, terpeliharanya jaringan-
jaringan kehidupan ekosistem mangrove dan kesadaran serta kesamaan persepsi berbagai pihak
atas pentingnya keberadaan hutan mangrove, perlu dikaji dan diterapkan.
B.  Rumusan Masalah
1.         Apakah tanaman mangrove itu?
2.         Bagaimana daya adaptasi hutan mangrove terhadap lingkungan?
3.         Bagaimana teknik pengelolaan ekosistem mangrove?
4.         Apakah fungsi mangrove secara ekologis?

C.  Tujuan
1.         Untuk mengetahui apakah tanaman mangrove itu.
2.         Mengetahui daya adaptasi hutang mangrove terhadap lingkungan.
3.         Menjelaskan teknik pengelolaan mangrove.
4.         Menjelaskan fungsi mangrove secara ekologis.
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi Mangrove dan Ekosistem Mangrove                                                        Hutan


mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai
yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari
genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusuma et
al, 2003). Menurut FAO, Hutan Mangrove adalah Komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah
pasang surut. Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan
bahasa Inggris ”grove” (Macnae, 1968). Dalam Bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik
untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk
individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Hutan mangrove dikenal
juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa
Indonesia).
Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya
yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau
untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal
dari margaRhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan  ditumbuhi oleh banyak marga
dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau
sebaiknya dihindari (Kusmana et al, 2003). Tumbuhan mangrove bersifat unik karena
merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya
mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor).
Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen
atau bahkan anaerob Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya
pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak
mampu tumbuh dengan sempurna dan menancapkan akarnya.
Mangrove tumbuh dan berkembang pada pantai-pantai tepat di sepanjang sisi pulau-pulau
yang terlindung dari angin, atau serangkaian pulau atau pada pulau di belakang terumbu karang
di pantai yang terlindung (Nybakken, 1998). Indonesia memiliki sebanyak tidak kurang dari 89
jenis pohon mangrove, atau paling tidak menurut FAO terdapat sebanyak 37 jenis. Dari berbagai
jenis mangrove tersebut, yang hidup di daerah pasang surut, tahan air garam dan berbuah vivipar
terdapat sekitar 12 famili.
 Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan
antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera  sp.),
dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.) merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak
dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan
endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Jenis api-api (Avicennia sp.) atau di dunia dikenal
sebagai black mangrove mungkin merupakan jenis terbaik dalam proses menstabilkan tanah
habitatnya karena penyebaran benihnya mudah, toleransi terhadap temperartur tinggi, cepat
menumbuhkan akar pernafasan (akar pasak) dan sistem perakaran di bawahnya mampu menahan
endapan dengan baik. Mangrove besar, mangrove merah atau Red mangrove (Rhizophora  sp.)
merupakan jenis kedua terbaik. Jenis-jenis tersebut dapat mengurangi dampak kerusakan
terhadap arus, gelombang besar dan angin.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang
mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara
makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan
didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan
asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat
semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi
hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi
pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty,
1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan
mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air
laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.

Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan


Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen
(2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1.    Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk
perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora
(misalnya :Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari
udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.).
2.    Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
         Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
         Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.
         Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3.     Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang
lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil
unsur hara dan menahan sedimen.

Zonasi Hutan Mangrove


Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh
berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
•         Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi
olehAvicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada
lumpur dalam yang kaya bahan organik.
•         Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini
juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
•         Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
•         Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa
fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

B.  Teknik Pengelolaan Ekosistem Mangrove


Pengelolaan kawasan hutan menjadi tugas pokok pemerintah, yang dalam pelaksanaannya
harus melibatkan masyarakat setempat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka
pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari,
kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam
kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau
memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan
perlindungan konservasi (Pasal 43). Pada Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya merupakan suatu kekuatan dalam pelaksanaan
konservasi kawasan hutan mangrove. Didalam undang-undang tersebut terdapat tiga aspek yang
sangat penting, yakni sebagai berikut.
1. Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan dengan menjamin terpeliharanya
proses ekologi bagi kelangsungan hidup biota dan keberadaan ekosistemnya.
2. Pengawetan sumber plasma nutfah, yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan
ekosistemnya, yang sesuai bagi kepentingan kehidupan umat manusia.
3. Pemanfaatan secara lestari atau berkelanjutan, baik berupa produksi dan jasa
Menurut Lewis (2001) terdapat lima hal penting yang harus diperhatikan untuk keberhasilan
dalam rehabilitasi hutan mangrove, yaitu :
1. Memahami betul kondisi ekologi individu jenis penyusun hutan mangrove, terutama
dalam hal kemampuan reproduksi, penyebaran, keberhasilan di tingkat persemaian
2.  Memahami pola-pola hidrologi normal yang mengontrol distribusi dan keberhasilan
pengembangan dan pertumbuhan  tanaman mangrove yang akan ditanam
3. Menilai kondisi  modifikasi ingkungan hutan bakau yang terjadi sebelumnya yang
menyebabkan terhalangnya kemampuan suksesi berikutnya secara alami
4. Mendisain program restorasi yang tepat sebagai langkah awal untuk rehabilitasi
kemampuan hirologi dengan memilih jenis-jenis mangrove tertentu untuk  penanaman di
lapangan.
5. Setelah menetapkan tahapan-tahapan di atas maka tinggal pelaksanaan penanaman secara
nyata propagul yang telah disiapkan baik dari hasil koleksi anakan alam atau hasil penyemaian
buah, mengamati tingkat kestabilan dan pertumbuhan tanaman harus diperhatikan.

Mengelola sebuah hutan mangrove harus merupakan kawasan lindung, namun tidak
kemudian berarti menutup peluang usaha yang bisa mendatangkan nilai ekonomi. Selama
dilakukan dengan menerapkan strategi konservasi (perlindungan, pengawetan, dan pelestarian
pemanfaatan) serta dibuatnya ketentuan hukum yang akan mengaturnya, sehingga jelas dan tegas
apa hak, kewajiban dan pengenaan sanksi bagi yang melanggarnya, adalah sah-sah saja berusaha
dikawasan lindung. Model pengelolaan yang bisa dilakukan antara lain dikelola dengan baik
sebagai  suatu kawasan hutan wisata.
Jenis wisata pantai di hutan mangrove dengan membuat jalan berupa jembatan diantara
tanaman pengisi hutan mangrove, merupakan atraksi yang akan menarik pengunjung. Juga
restoran yang menyajikan masakan dari hasil laut, bisa dibangun sarananya berupa panggung
diatas pepohonan yang tidak terlalu tinggi. Atau rekreasi memancing serta berperahu.
Penempatan usaha tambak bisa juga difasilitasi, namun persyaratan ketat harus diberlakukan
untuk pemilihan tempat yang layak berikut luas maksimum garapan, lama waktu berusaha,
permodalan yang kuat serta mutlaknya memperkerjakan penduduk setempat.
Pengalaman pengelolaan kawasan hutan mangrove di Pulau Iriomote (pulau paling selatan
di Jepang) sebagai suatu kawasan konservasi menujukkkan kondisi hutan yang sangat baik dan
terhindar dari kerusakan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat setempat untuk
melestarikan kawasan tersebut. Kondisi ini tidak menyebabkan berkurangnya pendapatan
masayarakat setempat bahkan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan penyediaan jasa
transportasi wisata, olah raga air (kano), penyewaan rumah tinggal untuk hotel/penginapan,
rumah makan, peningkatan produksi kerajinan/cindera mata,  produski perikanan dan lain-lain
(Adinugraha, 2002).
Nuryanto (2003) menjelaskan pengelolaan zonasi dikawasan ekosistem hutan mangrove
salah satunya adalah zona pemanfaatan melalui kegiatan mina hutan (sylvofishery). Penerapan
kegiatan ini diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani disekitar kawasan
tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat.  Harapan ini
dapat terwujud dengan catatan tidak ada pemilik modal yang menguasai lahan secara berlebihan.
Adapun sistem mina hutan yang dapat diaplikasikan adalah sistem empang parit dan sistem
empang inti.  Sistem empang parit adalah sistem mina hutan dimana hutan bakau berada di
tengan dan kolam berada di tepi mengelilingi hutan.  Sebaliknya sistem empang inti adalah
sistem mina hutan dengan kolam di tengah dan hutan mengelilingi kolam (Departemen
Kehutanan dan Perkebunan, 1999).
Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove
partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa
masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara
diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan
ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang
diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang
terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi.

C.  Manfaat  Hutan Mangrove


Menurut Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan
manfaat sebagai berikut :
1. Habitat satwa langka  
Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup disini,
dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya
ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus
semipalmatus)
2. Pelindung terhadap bencana alam      
Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari
kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.
3. Pengendapan lumpur  
Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan
lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan
tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan bakau, kualitas air laut terjaga dari
endapan lumpur erosi.
4. Penambah unsur hara  
Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring
dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk
pencucian dari areal pertanian.
5. Penambat racun           
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur
atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan
bakau bahkan membantu proses penambatan racun secara aktif
6. Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)  
Hasil alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau mineral yang dapat
dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi
produk-produk alamiah di hutan mangrove dan terangkut/berpindah ke tempat lain yang
kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi
organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan
pasir dan lumpur.
7. Transportasi
Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara yang paling efisien dan
paling sesuai dengan lingkungan.
8. Sumber plasma nutfah            
Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa
komersial maupun untukmemelihara populasi kehidupan liar itu sendiri.
9. Rekreasi dan pariwisata          
Hutan bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan yang ada
di dalamnya. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain
di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan
Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata
yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di
peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga
memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Padang, Sumatera Barat
yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk
dijadikan areal wisata mangrove.
Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui
penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di
sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka
warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.
10. Sarana pendidikan dan penelitian                   
Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang
baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.
11. Memelihara proses-proses dan sistem alami    
Hutan bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi,
geomorfologi, atau geologi di dalamnya.
12. Penyerapan karbon      
Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam bentuk
bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon
kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi hutan bakau justru mengandung sejumlah besar
bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap
karbon dibandingkan dengan sumber karbon.
13. Memelihara iklim mikro          
Evapotranspirasi hutan bakau mampu menjaga ketembaban dan curah hujan kawasan tersebut,
sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.
14. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam          
Keberadaan hutan bakau dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi
berkembangnya kondisi alam.
Menurut (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara
ekologis dan ekonomis yaitu:
1.      Fungsi ekologis :
o    Pelindung garis pantai dari abrasi,
o    Mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
o    Mencegah intrusi air laut ke daratan,
o    Tempat berpijah aneka biota laut,
o    Tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga,
o    Sebagai pengatur iklim mikro.
2. Fungsi ekonomis :
o    Penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-
obatan),
o    Penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna),
o    Penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
o    Pariwisata, penelitian, dan pendidikan.

KESIMPULAN

•         Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai
ekologis dan ekonomis.
•         Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan
mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi.
•         Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang
melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat.
DAFTAR PUSTAKA
Adinugraha, H.A. 2002. Counterpart Training Report in Japan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999.  Strategi national pengelolaan hutan mangrove di


Indonesia.  Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Jakarta

Nuryanto, A. 2003. Silvofihsery (Mina Hutan) : Pendekatan Pemanfaatan Hutan Mangrove Secara
Lestari. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah


Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.

www.freewebs.com/irwantomangrove/mangrove_kelola.pdf diakses tanggal 27 Desember 2011


18.29

http://forestryinformation.wordpress.com/2011/06/08/ekosistem-hutan-mangrove-manfaat-dan-
pengelolaannya/ diakses tanggal 27 Desember 2011 20.30

http://www.forda-mof.org/files/RPI_4_Pengelolaan_Hutan_Mangrove.pdf diakses tanggal 28
Desember 2011 00.35

Anda mungkin juga menyukai