Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat banyak sekali jenis tumbuh-tumbuhan disekitar
kita namun tidak semua orang terutama orang-orang awam yang memahami bagaimana tumbuhan
tersebut dapat hidup di daerah tersebut dan bagaiman tumbuhan tersebut dapat berinteraksi dengan
lingkungan tempat tinggalnya.
Praktikum Ekologi adalah salah satu mata kuliah wajib yang harus diikuti oleh mahasiswa yang
mengampu mata kuliah Ekologi. Dengan melakukan praktikum ini diharapkan mahasiswa dapat
melihat langsung bentuk yang sebenarnya dari Pengaruh faktor- faktor pada lingkungan, sehingga
mahasiswa dapat memiliki keterampilan untuk mempelajari ekologi dan menerapkannya pada saat
yang diperlukan. Contohnya pengaruh faktor pembatas seperti Ph, tingkat kelarutan oksigen, tingkat
kejerniham air terhadap ketersediaan plankton sebagai produsen primer perairan. Dalam praktikum
ini pun dipelajari bagaimana cara mengambil sampel penelitian dan sebaran tumbuhan darat sehingga
kita bisa menetahui pola sebarannya.

1.2 Tujuan
a) Mengukur parameter fisik (kecepatan arus, suhu perairan, dan kedalaman perairan) ekosistem
air tawar.
b) Mengukur parameter kimia (pH air, DO) ekosistem air tawar
c) Mengidentifikasi dan menghitung keragaman plankton ekosistem air tawar
d) Menentukan plot penelitian menggunakan metode sampling kuadrat

1.3 Waktu dan Tempat


Praktikum Ekologi ini dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 22 April di Curug Ciputri dan 9
April 2018 pada pukul 08.00 WIB s.d 12.00 WIB di Laboratorium Biologi, Fakultas Biologi
Universitas Pakuan Bogor.

1
BAB II
LANDASAN TEORI

2. 1 PENERAPAN KONSEP EKOLOGI DALAM EKOSISTEM PERAIRAN


Pada dasarnya ekosistem perairan dibagi atas tiga kategori utama yaitu perairan tawar, estuari,
dan laut. Sebagai pelarut yang baik, di dalam air terkandung zat-zat kimia yang terlarut di dalamnya.
Tumbuhan dan hewan air menggunakan senyawa ini untuk aktivitas metaboliknya dan
mengakibatkan terjadinya perubahan susunan kimiawi air. Pengetahuan akan keadaan ini penting
untuk memahami hubungan yang rumit antar komponen-komponen biotik dan abiotik.
Berdasarkan aliran energi dan kebiasaan hidupnya orgnisme air dapat dibagi atas:
1. Berdasarkan aliran energi, organisme dapat dibagi atas:
a. Autotrof (tumbuhan)
b. Fagotrof (makrokonsumen)
Termasuk di dalamnya predator, parasit, dan saprotrof atau organisme yang hidup pada substrat
sisa-sisa organisme.
2. Berdasarkan kebiasaan hidup, organisme dibedakan sebagai berikut:
a. Plankton
Plankton merupakan tumbuhan dan hewan mikroskopik yang hidupnya tersuspensi di dalam
badan air, pergerakannya bergantung kepada arus. Mereka biasanya mengapung searah dengan
arus air. Ada dua jenis plankton yaitu fitoplankton dan zooplankton
b. Nekton
Nekton adalah hewan akuatik yang aktif berenang dalam air, contohnya ikan.
c. Neuston
Neuston adalah organisme akuatik yang mengapung atau beristirahat di permukaan air,
misalnya serangga air.
d. Perifiton
Perifiton adalah tumbuhan atau hewan akuatik yang melekat/bergantung pada tumbuhan atau
benda lain, misalnya alga Chlorophyta, diatom, bakteri dan jamur.
e. Bentos
Bentos adalah hewan dan tumbuhan akuatik yang hidup di dasar atau hidup pada endapan.
Bentos dapat berupa sessil (melekat) atau bergerak bebas, misalnya cacing, beberapa lawa
serangga dan remis.
f. Madricoles
Madricoles adalah organisme yang hidup pada muka tebing di air terjun. (Laksono, 2007).

2
Ekosistem air tawar memiliki ciri-ciri antara lain variasi suhu tidak mencolok, penetrasi cahaya
kurang, dan terpengaruh oleh iklim dan cuaca. Ragam jenis tumbuhan yang terbanyak adalah jenis
ganggang, serta ada pula tumbuhan biji. Organisme yang hidup di air tawar umumnya telah
beradaptasi untuk daerah basah.
Ekosistem air tawar dapat dibagi dua yaitu ekosistem perairan lentik dan ekosistem perairan
lotik. Ekosistem perairan lentik adalah ekosistem yang memiliki air yang tidak mengalir, misalnya
danau dan kolam. Ekosistem lotik adalah ekosistem air tawar yang mengalir, misalnya sungai.
Ekosistem air tawar menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan
ekosistem air laut dan daratan. Namun bagi manusia kepentingannya jauh lebih besar dibandingkan
dengan luas area yang ditempatinya, karena:
1. Air tawar merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik dan
industri.
2. Komponen air tawar adalah “leher botol” (daerah kritis) pada daur hidrologi.
3. Ekosistem air tawar menawarkan sistem pembuangan yang memadai dan paling murah.

1. Faktor Fisika dan Kimia pada Ekosistem Air Tawar


Penelitian-penelitian badan air tawar mencakup kajian sifat-sifat kimia dan fisika air,
tumbuhan serta hewan yang hidup di dalamnya serta cara mereka berinteraksi. Faktor-faktor fisika-
kimia yang biasa berperan sebagai faktor pembatas pada ekologi air tawar, diantaranya sebagai
berikut:
a. Suhu
b. Cahaya
c. Turbiditas/kekeruhan
d. Gas atmosfer terlarut terutama oksigen.
e. Garam biogenik terlarut, terutama dalam bentuk makro dan mikro nutrient.
Makro nutrien: nitrogen, fosfor, potasium, kalsium, dan sulfur.
Mikro nutrien: besi, tembaga, seng, klorin, dan sodium.
f. Arus. (Spellman dan Drinan, 2001)
a. Faktor-Faktor Fisika
Beberapa faktor fisika di perairan dapat mempengaruhi kehidupan organisme perairan secara
signifikan, bahkan dapat menentukan jenis organisme yang dapat hidup di suatu badan air tertentu.
1). Suhu
Suhu merupakan faktor penting dalam ekosistem perairan. Suhu biasanya tidak berubah dengan
cepat. Variasi suhu yang besar hanya terjadi di bagian permukaan air. Perairan tropik memiliki suhu
yang lebih hangat dibandingkan dengan perairan beriklim sedang dan jarang membeku pada saat
musim apapun dalam setahun. Air permukaan daerah tropika biasanya bersuhu sekitar 25-28°C. Suhu
pada perairan dangkal biasanya sekitar 28-32°C, Bagian permukaan air (disebut juga epilimnion)
meluas saat ia menjadi hangat, perluasan ini mengakibatkan berkurangnya kerapatan air dan membuat

3
permukaan air menjadi lebih ringan daripada air di bagian bawah (dikenal juga sebagai hipolimnion)
yang lebih dingin. Di antara kedua lapisan ini terdapat lapisan tengah yang menjadi wilayah peralihan,
dinamakan termoklin. Di dalam perairan terjadi perubahan suhu yang sejalan dengan perubahan
kedalaman. Biasanya suhu turun secara perlahan-lahan mulai dari permukaan sampai ke bagian
bawah, namun pada termoklin terjadi penurunan suhu yang tajam (Ewusie, 1990).
Pada perairan tawar, termoklin umumnya ditemukan pada hampir semua danau besar, bahkan
pada perairan dangkal dengan kedalaman sekitar 50-100m. Dalam ekosistem danau, anjloknya suhu
dengan cepat itu terjadi dalam kisaran yang jauh lebih kecil, misalnya 1-3°C dengan kedalaman
sekitar 2-5 m. Keadaan seperti ini sering ditemui pada perairan yang lumayan dangkal dengan banyak
sinar matahari dan sedikit angin. Jika termoklin berada dibawah rentang penetrasi cahaya efektif,
suplai oksigen ke hipolimnion akan berkurang, karena fotosintesis dan sumber oksigen di permukaan
terpotong. Apabila musim berubah dan angin bertambah kuat, maka akan memutus termoklin
tersebut. Termoklin dapat juga terputus selama malam yang dingin, yang disebabkan karena arus
gejolak suhu lapisan permukaan airnya menjadi lebih dingin daripada termoklinnya. Dengan
demikian air permukaan mencapai kepekatan lebih tinggi daripada air terrnoklin tersebut dan turun
ke bawah. Suhu air akan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut
(altitude), pergantian waktu, sirkulasi udara, tutupan awan, aliran serta kedalaman air. Peningkatan
suhu akan meningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga
menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O2, CO2, N2, CH., dan sebagainya. Selain
itu peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme
akuatik, dan selanjutnya menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan
sebesar 10° C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar
2-3 kali lipat. Peningkatan suhu juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi» bahan
organik oleh mikroba, seperti fitoplankton. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di
perairan adalah 20°-30° C. Pengukuran suhu perairan dapat dilakukan dengan menggunakan
termometer air raksa, teletermometer ataupun termometer benam. Termometer benam sangat cocok
digunakan untuk mengukur keberadaan termoklin.

2). Cahaya
Cahaya adalah bagian energi radiasi dari spektrum elektromagnetik. Cahaya dapat digunakan
untuk bekerja dan dapat diubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lainnya. Apabila sinar
matahari jatuh pada air, maka cahaya akan menembus air sampai berbagai kedalaman, tergantung
pada intensitas sinar, banyaknya pemantulan permukaan, dan kebeningan air pada saat itu. Bahkan
untuk air yang bening pun sinar matahari yang masuk kedalam air tersebut yang mampu menembus
sampai kedalaman satu meter hanya 36% saja. Seiring dengan pertambahan kedalaman, cahaya juga
akan semakin berkurang, dan pada kedalaman lebih dari 50 m hanya sepersekian dari 1% cahaya saja
yang tersisa. Seringkali di bawah kedalaman 100 m terjadi kegelapan total karena tidak ada cahaya
sampai kesana. Cahaya diserap air secara pilih-pilih. Sinar yang lebih dulu diserap adalah yang

4
memiliki panjang gelombang panjang seperti sinar merah, jingga, kuning dan violet. Sinar hijau dan
biru yang memiliki panjang gelombang pendek diserap belakangan sehingga sinar hijau dan biru
dapat menembus kedalaman yang lebih besar (Ewusie, 1990).
Cahaya sangat penting bagi kehidupan di perairan, karena cahaya adalah sumber energi untuk
fotosintesis. Laju fotosintesis bergantung pada intensitas cahaya dan fotoperiode (light hour/day).
Jumlah biomass dan produksi oksigen juga berhubungan dengan laju fotosintesis. Sehingga dengan
demikian aktivitas fotosintesis tumbuhan air akan mempengaruhi jumlah oksigen terlarut dalam
siklus harian di badan perairan. Jumlah oksigen terlarut paling tinggi pada pukul 2 siang dan paling
rendah pada pukul 2 pagi (Spellman dan Drinan, 2001).
Cara pengukuran intensitas cahaya di perairan yaitu dengan menggunakan lux meter
sedangkan untuk mengukur penetrasi cahaya cukup dilakukan dengan mengukur tingkat
kecerahan/kekeruhan air dengan menggunakan Keping Secchi. Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, penetrasi cahaya ke dalam perairan juga dipengaruhi oleh warna air dan kedalaman
badan air. Oleh karena itu dalam penelitian ekologi perairan warna dan kedalaman juga diuji.

3). Kekeruhan
Kekeruhan air disebabkan oleh lumpur, partikel tanah, dan fitoplankton. Penembusan sinar
berkurang dalam air yang keruh dan akan mempengaruhi kedalaman tempat tumbuh dari tumbuhan
perairan. Kekeruhan akan membatasi pertumbuhan organisme karena pertumbuhan tumbuhan
perairan menyesuaikan diri pada keadaan air yang jernih. Kekeruhan air biasanya diukur dengan
menggunakan turbidimeter, namun dilapangan yang paling sering digunakan adalah keping Secchi.
Keping Secchi ini mengukur kecerahan perairan.

4). Arus
Arus dapat merupakan faktor pembatas yang penting terutama di sungai. Arus dapat juga
mempengaruhi distribusi gas terlarut, garam dan makanan serta organisme dalam air (Hadi dan
Kurniati, 1994). Pengukuruan arus dapat dilakukan dengan menggunakan metode sederhana maupun
dengan alat canggih seperti currentmeter.

2. Faktor- Faktor Kimia


Air adalah pelarut yang baik bagi berbagai macam zat terlarut. Jumlah zat terlarut di perairan
berbeda dengan zat terlarut doi dalam tubuh organisme. Perrbedaan itu mempengaruhi pertukaran
osmotik antara organisme dengan lingkungannya. Selain itu sifat kimiawi air mempengaruhi
penyebaran organisme air. Oleh karena itu perlu ditentukan sifat kimiawi air sebelum mempelajari
biatang dan tumbuhan yang terdapat di dalamnya.pengukuran faktor- faktor kimia air memerlukan
pencuplikan sampel air untuk diuji, baik pengujian langsung di lapangan ataupun pengujian di
laboratorium. Jika anda akan melakukan pencuplikan air maka pengambilan sampel air harus
dilakukan dengan hati- hati dan sesuai dengan persyaratan prosedur. Untuk analisis kimia biasanya

5
dikumpulkan 1 liter sampel air. Sampel air diambil langsung di tepi dan permukaan badan air atau
dari kedalaman tertentu yang dikehendaki. Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan
botol kaca atau polietilen. Untuk pengambilan air pada kedalaman tertentu biasanya digunakan botol
yang disusun mirip dengan termometer benam, namun tidak perlu dilengkapi dengan termometer.
Sampel yang dikumpulkan dengan cara ini cocok untuk hampir seluruh analisis kimia, kecuali untuk
penentuan gas terlarut (Michael,1995)

Penyiapan botol sampel


Pengambilan dan penyimpana sampel air biasanyamenggunakan botol gelas ataubotol
polietilen. Namun botol gelas soda ayang biasa digunakan untuk mengambil dan menyimpan sampel
air ini memiliki kelemahan. Penyimpana sampel dalam botol ini, walaupun dalam jangka pendek
dapat merubah susunan kimia sampel terutama mempengaruhi konsentrasi natrium. Kalsium dan
silikat. Perubahan susunan ini dapat dicegah dengan menggunakan botol pyrex, namum boto tersebut
harganya mahal. Pengambilam dan penyimpanan sampel lebih baik dilakukan dengan menggunakan
botol polietilen, karena botol tersebut ringan, murah, tidak mudah pecah dan tidak menmbah zat pada
air. Namun penggunaan botol ini tidak dapat mencegah pertumbuhan ganggang dan bakteri sehingga
keberadaan zat organik dan senyawa kimia yang terkait dengan zat organik seperti fosfat dan nitrogen
dapat terpengaruh. Pertumbuhan ganggang dapat dicegah dengan menyimpan botol dalam gelap.
Faktor- faktor kimia yang penting untuk diukur dalam ekologi perairan adalah pH, gas terlarut,
garam- garam organik, dan kebutuhan oxigen biokimia (BOD). Pengukuran faktor- faktor kimia ini
dapat dilakukan secara sederhana maupun dengan menggunakan peralatan yang canggih (Michael,
1995).
a. pH
Ion- ion hidrogen (asam) dan ion hidroksil (basa), keduanya dihasilkan dari pengionan air.
Dengan demikian, setap perubahan konsentrasi salah satu ion ini akan membawa perubahan terhadap
konsentrasi ion lainnya. Karenanya, suatu skala bilangan yang disebut skala pH digunakan untuk
mengukur keasaman atau kebasaan air, dan bilangan tersebut menyatakan konsentrasi ion hidrogen
secara tidak langsung (Michael, 1995).
Nilai pH berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Pada pH < 5, alkalinitas dapat
mencapai nol. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitasnya dan semakin rendah
kadar karbondioksidanya bebas (Mackeret et al., 1989 dalam Effendi, 2003). pH juga mempengaruhi
toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium (NH4+) yang dapat terionisasi banyak ditemukan
padaperairan yang memiliki pH rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuous), namun pada
suasana alkalis (pH tinggi) konsentrasi amonium akan menurun dan konsentrasi amonia tak
terionisasi (unionized –NH3) yang bersifat toksik akan menjadi tinggi. Ammonia tidak terionisasi ini
lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan dengan ammonium (Tebbut,
1992 dalam Effendi, 2003).

6
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 –
8,5. Nilai pH sangant mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan
berakhir jika pH rendah. Toksisitas logam menunjukkan peningkatan pada pH rendah (Novotny dan
Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Pada pH <4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat
bertoleransi terhadap pH rendah. Namun algaw Chlamydomonas acidophila masih dapat bertahan
hidup pada pH yang sangant rendah, yaitu 1 dan algae Euglena masih dapat bertahan hidup pada pH
1,6 (Haslam, 1996 dalam Effendi, 2003).

Cara kerja pengukuran pH menggunakan kertas pH


Pengukuran dengan kertas pH tidak akan seakurat pengukuran dengan menggunakan pH meter,
namun penggunaannya lebih praktis dan tidak memerlukan perawatan berkala dana mahal seperti pH
meter. Cara pengukurannya yaitu dengan mencelupkan kertas pH ke dalam sampel selama beberapa
saat kemudian keluarkan kertas pH tersebut. Segera cek perubahan warna yang terjadi pada kertas pH
dengan diagram warna standar nilai pH yang ada di cover pembungkus kertas pH.

a. Gas Terlarut
Oksigen dan karbondioksida sering menjadi faktor pembatas dalam ekosistem perairan.
Karbondioksida dihasilkan selama proses respirasi dan sangat penting untuk proses fotosintesis,
sedangkan oksigen adalah hasil fotosintesis dan sangat penting untuk proses respirasi.
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kandungan oksigen dan karbondioksida dalam
perairan. Faktor-faktor yang berpengaruh tersebut di antaranya yaitu pergerakan air, fotosintesa,
temperatur, dan bahan organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme air seperti bakteri dan
jamur. Keberadaan bahan organik di perairan dapat mengurangi jumlah oksigen terlarut di dalam air,
karena bakteri menggunakannya untuk proses oksidasi selama penguraian berlangsung (Spellman dan
Drinan, 2001).
1) Karbondioksida terlarut
Karbondioksida adalah jenis zat yang sangat mudah larut dalam air namun jumlah
karbondioksida dalam air sangat sedikit karena jumlahnya di amosfir juga kecil. Selain berasal dari
udara, karbondioksida yang ada dalam air, dapat juga berasal dari dekomposisi bahan organik dan
pernafasan tumbuhan air. Konsentrasi karbondioksida dalam air lebih tinggi di malam hari daripada
di siang hari, karena di siang hari karbondioksida digunakan tumbuhan air untuk fotosintesis. Secara
umum, jumlah karbondioksida bebas dalam air 0,5 ml/l (Effendi, 2003).
Dalam perairan, karbondioksida memainkan peranan penting dalam menentukan pH perairan
walaupun CO2 itu sendiri tidak bersifat asam, namun reaksinya dengan air (secara reversibel)
membentuk larutan asam dengan membenmk asam karbonat (H2CO3).

7
Asam karbonat kemudian dapat mengalami pemisahan dalam dua tahapan untuk melepaskan ion
hidrogen. Persamaannya adalah sebagai berikut:
CO2 + H2O ↔ H2CO3
H2CO3 ↔ H+ + HCO3-
HCO3- ↔ H+ + CO32-

Kesetimbangan ini berubah seiring dengan berubahnya nilai pH. Ketika pH meningkat, semua
kesetimbangan dalam persamaan di atas bergerak ke kanan. Jika pH turun, semua kesetimbangan
akan bergerak ke kiri. Di atas pH 10,3 ion karbonat (CO3²-) adalah jenis yang paling dominan. Di
bawah pH 6,3 konsentrasi karbondioksida terlarut (CO2) lebih dominan dibandingkan ion bikarbonat
dan ion karbonat. Antara pH 6,3 dan 10,3 yang mana adalah jarak pH yang biasa didapati di
lingkungan perairan, ion bikarbonat (HCO3-) adalah benmk yang dominan. Antara pH 7,8 dan 9,2 ion
bikarbonat hampir mendekati 100%, sedangkan konsentrasi karbonat dan CO2 terlarut dapat
dikatakan nol (Weiner, 2000).

Sumber: Weiner, 2000


Gambar 1.1
Diagram Distribusi yang Menunjukkan Hubungan pH dan Jenis Karbonat di Perairan
Air hujan yang tidak terpolusi memiliki pH = 5,7, kareana adanya CO2 terlarut di atmosfer. Hujan
asam memiiiki pH yang lebih rendah yaitu 2, karena adanya sumur, nitrit, dan asam hidroklorit
terlarut.
Persamaan kesetimbangan karbondioksida bebas, ion karbonat dan ion bikarbonat (dengan
mengabaikan keberadaan H+) dalam perairan sebagai berikut:
CO2 (gas, atm) ↔ CO2 (aq)H2CO3- (aq) ↔ CO3²- (aq)
Ket:
Atm = atmosfer
Aq = aquos = terlarut
(Weiner, 2000)

8
Cara menentukan karbondioksida bebas:
Karbondioksida atmosfer sangat mudah larut dalam air, maka cara-cara penentuan banyaknya
karbondioksida bebas selalu memiliki kesalahan ±10%, Kesalahan itu akan bertambah apabila
dilakukan cara penaksiran. Tingkat ketelitian akan bertambah apabila hal-hal berikut ini dilakukan:
a) Pengambilan sampel harus dilakukan dengan hati-hati jangan sampai ada gelembung udara.
Kegiatan ini dapat menggunakan bantuan alat khusus pengambilan sampel air seperti lammote water
sampler.
b) Sampel harus diagitasikan selama pengangkutan dan penyimpanan dalam jangka panjang.
c) Permukaan sampel yang terkena udara selama titrasi harus dijaga sesempit mungkin.
d) Sampel harus diaduk secara perlahan-lahan dan tidak diagitasikan selama titrasi.
Salah satu metode menentukan karbondioksida bebas secara sederhana dapat dilakukan dengan
menggunakan metode titrimetrik. Metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan larutan pentitrasi
natrium karbonat (Na2CO3) ataupun natrium hidroksida (NaOH).

2) Oksigen Terlarut
Oksigen adalah salah satu faktor penting dalam ekosistem perairan. Sumber utama oksigen
terlarut berasal dari atmosfer dan proses fotosintesis oleh tumbuhan hijau. Atmosfer bumi
mengandung oksigen sekitar 210 ml/liter, oksigen dari atmosfer masuk ke perairan melalui difusi
langsung atau agitasi permukaan air oleh angin dan arus. Banyaknya oksigen yang berasal dari
tumbuhan hijau bergantung pada kerapatan tumbuhan, jangka waktu dan intensitas sinar matahari
efektif. Dalam air tanpa gangguan vegetasi yang tebal, aktivitas fotosintesis tumbuhan ini
menghasilkan pertambahan oksigen terlarut yang mencapai maksimum pada sore hari dan turun lagi
pada malam hari karena hilang melalui pernafasan tumbuhan maupun hewan. Namun, pada
hakikatnya difusi oksigen dari atmosfir ke perairan berlangsung relatif lambat, meskipun terjadi
pergolakan massa air. Oleh karena itu, sumber utama oksigen di perairan adalah fotosintesis (Ewusie,
1990).
Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas,
turbulensi air dan tekanan armosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil
tekanan atmosfer, maka kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi,
2003). Peningkatan suhu sekitar 1°𝐶 akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10% (Brown,
1987 dalam Effendi, 2003). Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat
mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Kelarutan oksigen dan gas-gas
lain juga berkurang dengan meningkatnya salinitas, sehingga kadar kadar oksigen dilaut cenderung
lebih rendah daripada kadar oksigen diperairan tawar. Semakin tinggi tekanan air, kelarutan oksigen
semakin tinggi, sifat kelarutan gas oksigen lebih rendah daripada sifat kelarutan gas nitrogen. Di
perairan tawar, kadar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/l pada suhu 0°𝐶 dan 8 mg/l pada suhu
25°𝐶 (McNeely et al,. 1979 dalam Effendi, 2003).

9
Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada
pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan
limbah (effluent) yang masuk ke badan air. Pada siang hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan
oksigen oleh proses fotosintesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada
oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat melebihi kadar oksigen
jenuh (saturasi) sehingga perairan mengalami supersaturasi (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi,
2003). Pada malam hari, fotosintesis berhenti tetapi respirasi tetap berlangsung. Pola perubahan kadar
oksigen ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Kadar
oksigen maksimum terjadi pada sore hari, sedangkan kadar minimum terjadi di pagi hari (Spellman
dan Drinan, 2001).
Fluktuasi harian oksigen dapat mempengaruhi parameter kimia yang lain, terutama pada saat
kondisi tanpa oksigen, yang dapat mengakibatkan perubahan sifat kelarutan beberapa unsure kimia
di perairan (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003). Kadar oksigen pada lapisan eufotik lebih
tinggi, semakin ke bawah (pada lapisan kompensasi dan profundal) semakin berkurang. Selain akibat
prose respirasi tumbuhan dan hewan, hilangnya oksigen di perairan juga terjadi akibat pemanfaatan
oksigen oleh mikroba untuk mengoksidasi bahan organik.
Keadaan perairan dengan kadar oksigen yang sangat rendah berbahaya bagi organism akuatik.
Semakin rendah kadar oksigen terlarut, semakin tinggi toksisitas zinc (seng), copper (tembaga), lead
(timbal), sianida hidrogen sulfida, dan ammonia. Kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg/l
menimbulkan efek kurang baik bagi hampir semua organisme akuatik. Kadar oksigen terlarut yang
kurang dari 2 mg/l dapat mengakibatkan kematian ikan (UNESCO/WHO/UNEP, 1992 dalam
Effendi, 2003).
Oksigen terlarut juga dapat membentuk presipitasi (endapan) dengan besi dan mangan. Kedua
unsur tersebut mengakibatkan rasa yang tidak enak pada air. Untuk keperluan air minum, air dengan
nilai oksigen terlarut yang tinggi sangat dikehendaki, karena air yang demikian akan memberikan
rasa yang segar (Tebbut, 1992 dalam Effendi, 2003). Air yang diperuntukkan untuk industri tidak
membutuhkan kadar oksigen yang tinggi, karena dapat meningkatkan korosivitas.

10
Tabel 2.1
Tabel Kadar Oksigen Terlarut dan Pengaruhnya Terhadap Kelangsungan Hidup Ikan

Kadar Oksigen Pengaruh Terhadap


No
Terlarut Kelangsungan Hidup Ikan

Hanya sedikit jenis ikan yang dapat bertahan


1. < 0,3 hidup walau dalam jangka waktu pemaparan yang
singkat.

Pemaparan dalam jangka waktu lama dapat


2. 0,3 – 1,0
menyebabkan kematian ikan.

Ikan dapat bertahan hidup tetapi


3. 1,0 – 5,0
pertumbuhannya terganggu.

Hampir semua organisme akuatik menyukai


4. > 5,0
kondisi ini.

Sumber: Effendi, 2003

Cara pengambilan sampel untuk menentukan oksigen terlarut:


Pengambilan sampel air untuk pengujian oksigen terlarut tidak boleh mengandung gelembung
udara di dalam sampel. Oleh karena itu, pada saat pengambilan air harus hati-hati dan menjaga agar
tidak ada gelembung udara yang terjadi di dalam botol sampel. Ada beberapa alat khusus yang dapat
digunakan untuk pengambilan sampel air yang mencegah masuknya gelembung udara dalam sampel
antara lain Lamotte water sampler, Kemmerer sampler, Nansen sampler, dan sebagainya. Untuk
pemula dengan dana yang terbatas, dapat menggunakan botol bermulut sempit dengan kapasitas 250
ml yang dilengkapi dengan penutupnya (Michael, 1995).

3. Identifikasi dan Keragaman Plankton


Pada perairan organisme plankton memainkan peranan yang besar. Organisme ini dalam sistem
mata rantai makanan (food chain) dan jaring makanan (food web). Mereka menjadi pakan bagi
sejumlah konsumen dalam sistem mata rantai makanan dan jaring makanan tersebut (Fachrul, 2007).
Cara ideal untuk mempelajari plankton merupakan cara yang tidak hanya memperkirakan jumlah
makhluk hidup, namun juga konsentrasi spesies berbagai bentuk plankton yang berbeda pula. Namun
sampai saat ini belum ada satu carapun yang telah digunakan yang dapat memenuhi persyaratan
tersebut. Maka untuk penyelidikan tentang plankton harus dipilih cara yang paling cocok yang
disesuaikan dengan kondisi lokasi pengambilan sampel. Sebagai aturan umum, disarankan untuk
memilih cara yang paling tepat dan sederhana, karena penemu-penemuan pada selang waktu yang
pendek akan berharga, daripada yang dilakukan pada selang waktu yang lebih panjang, yang karena
kerumitannya hanya dapat dilakukan dengan selang waktu demikian. Waktu yang tersedia dan
11
peralatan juga merupakan faktor penentu dalam pemilihan cara penelitian plankton. Tempat sampel
air dikumpulkan disebut stasiun. Jumlah stasiun dan jarak antar stasiun bergantung pada hidrografi,
kedalaman, sifat dasar, dan masalah yang diteliti. Karena plankton tidak pernah tersebar merata,
namun cenderung berada dalam bidang-bidang kecil dalam wilayah yang berbeda, amatlah penting
untuk memiliki lebih dari satu stasiun untuk mendapatkan lebih dari satu sampel pada tiap stasiun.
Sampel dari beberapa inci bagian atas permukaan tidaklah mewakili, Dan dengan demikian harus
dihindari. Badan air dangkal harus memiliki lebih banyak jumlah stasiun daripada danau besar yang
kondisinya lebih kurang stabil. Pengetahuan teoritis dari sebaran plankton yang tak merata sangatlah
penting, baik dalam kajian kualitatif maupun kuantitatif atas plankton. Plankton dibedakan atas
fitoplankton (plankton tumbuhan) dan zooplankton (plankton hewan). Fitoplankton, yang terutama
terdiri atas ganggang, ditemukan hanya pada kedalaman tertentu yang sinar matahari masih mampu
mencapai kedalaman tersebut dalam jumlah yang cukup untuk fotosintesis. Zooplankton ditemukan
pada semua kedalaman air, karena mereka memiliki kekuatan untuk bergerak, yang meskipun lemah,
membantunya naik ke atas dan ke bawah. Dalam banyak spesies zooplankton, suatu pergerakan
adalah biasa serta berirama, dan terjadi setiap hari, dan naik ke permukaan menjelang malam, serta
tenggelam kembali ke kedalaman normal pada pagi hari. Keragaman horizontal dalam penyebaran
plankton air tawar, disebabkan oleh gerakan arus setempat serta angin. Dalam setiap usaha untuk
memperkirakan penyebaran dan atau banyaknya plankton, sangat penting untuk merasa yakin bahwa
sampel yang dikumpulkan mewakili airnya. Kesimpulan-kesimpulan dari sampel tunggal mau tidak
mau akan terbukti salah. Individu-individu plankton sangat berbeda dalam ukuran. Umumnya
zooplankton lebih besar, sedangkan fitoplankton lebih kecil. Beberapa fitoplankton besarnya kurang
dari 1/100 mm dan dapat lolos meskipun melalui jaring-jaring plankton yang terhalus. Bentuk
plankton seperti ini disebut nanoplankton. Bentuk yang lebih besar dapat tertahan oleh jaring-jaring
plankton standar, disebut plankton jaring atau plankton tersaring (Michael, 1995).
Penggolongan plankton menurut Dussart adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2
Penggolongan plankton

No Golongan Ukuran

1. Ultra nanoplankton Dibawah 2 µ

2. Nanoplankton 2-20 µ

3. Mikroplankton 20-200 µ

4. Mesoplankton 200-2000 µ

5. Megaplankton Diatas 2000 µ

Sumber: Michael, 1995

12
Pengambilan sampel dengan jaring plankton
Jaring-jaring plankton digunakan pada kajian kualitatif plankton. Banyak tersedia jenis jaring
plankton. Jaring plankton yang khas yaitu yang berupa kerucut dengan mulut melingkar, dan dibuat
dari bahan yang tebal. Bahan yang tebal ini terbuat dari sutra, nilon, atau serat sintetik lainnya dan
tersedia dalam berbagai ukuran mesh. Serat sintetik bahan yang tebal lebih disukai daripada bahan
sutra yang cenderung mengkerut dalam air dan mengurangi ukuran meshnya. Umumnya bahan tebal
dengan ukuran mesh 30 mesh sampai beberapa centimeter digunakan untuk menjaring zooplankton,
dan ukurean 40 mesh sampai centimeter untuk penjaringan fitoplankton. Setiap bahan dengan ukuran
mesh yang halus juga dapat dipakai untuk membuat jaring plankton. Informasi mengenai ukuran
mesh dari jaring, membantu menggolongkan plankton yang tersaring menurut ukurannya. Beberapa
contoh plankton yang sering digunakan untuk mengambil sampel plankton antara lain jaring kerucut
Birge, jaring Wisconsin, perangkap plankton Juday, pengambil sampel plankton Clark-Bampus,
Jaring Kitahara, serta Jaring Norpac dan masih banyak yang lainnya (Michael,1995).

Gambar 1.2
Gambar Jaring Plankton

Untuk penyeragaman alat dan metode sampling, para peneliti umumnya menggunakan jarring
Kitahara yang dimodifikasi, yaitu jaring berbentuk kerucut dengan diameter mulut 0,30 meter,
panjang 1 meter dan lebar mata jaring 0,08 mm. Pengambilan sampel di perairan dangkal (< 10 m)
dilakukan secara horizontal dengan menarik jaring selama 5 menit dibawah permukaan air. Pada
sampling zooplankton digunakan jaring Norpac dengan diameter mulut jaring 0,45 m, panjang 1,80
m dan ukuran mata jaring 0,30 m (Fachrul, 2007).
Pengambil sampel plankton diperairan dapat dilakukan secara tegak (vertical), miring (oblique),
ataupun mendatar (horizontal). Pengambilan sampel plankton harus sesuai dengan pengambilan
sampel air untuk analisis faktor fisika-kimia air dengan beberapa kali ulangan. Penyamplingan
plankton dengan jaring plankton sangat mudah yaitu:
1. Pada perairan yang dalam penyamplingan dilakukan dengan cara menarik jaring plankton dari
atas kapal/boat yang ditenggelamkan kira-kira 1 meter di bawah permukaan air selama 5 menit.
2. Untuk sungai atau danau yang dangkal cara penyamplingannya agak berbeda. Penyamplingan
dilakukan dengan jalan menyaring air sebanyak 100 liter dari lokasi sampling. Pengambilan air dapat

13
dilakukan dengan menggunakan water sampler 10:1 dilakukan sebanyak 10 kali, atau menggunakan
ember ukuran 5:1 dan dilakukan sebanyak 20 kali penyaringan.
Jaring plankton biasanya telah dilengkapi dengan tabung pengumpul plankton berukuran 25 ml.
Selanjutnya sample plankton yang terperangkap dalam tabung pengumpul plankton diawetkan
dengan formalin 4% yang telah dinetralkan dengan boraks atau alkohol 70% dan diberi label. Pada
label dituliskan antara lain nomor stasiun, posisi stasiun, tanggal dan waktu pengambilan, metode
pengambilan dan kedalaman kemudian disimpan dalam ruang gelap (Fachrul, 2007).
Setelah tiba di laboratorium, dari 25 ml sampel berisi plankton yang telah diberi pengawet,
diambil larutan sampel dengan pipet dan diteteskan ke dalam Sedwick Rafter Counting Cell kapasitas
1 ml untuk diamati dengan mikroskop. Pengamatan dilakukan dengan metode zig-zag menggunakan
3 garis pandang (1 sedwidck = 8 garis pandang), yaitu mengamati bagian atas, tengah dan bawah.
Selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10 x 10 atau 10 x 45.
Dalam mencacah fitoplankton dihitung persel bukan perantai (rangkaian) karena rangkaiannya
mudah putus dan hasil cacahannya dalam sel/liter. Pencacahan zooplankton berdasarkan jumlah
individu yang terlihat.

Gambar 1.3
Gambar Sedwick Rafter Counting Cell
Kemudian identifikasi jenis plankton dengan menggunakan buku pedoman salah satu contohnya
yaitu:
Bold, H.C., M.J. Wynne, 1985, Introduction to the Algae, Second Edition, Prentice Hall. Inc.
Englewood cliff. New Jersey (Fachrul, 2007)
Analisa Data
1. Perhitungan Kelimpahan
Penentuan kelimpahan plankton dilakukan berdasarkan metode sapuan diatas gelas objek
Segwick Rafter. Kelimpahan plankton dinyatakan secara kuantitatif dalam jumlah sel/liter.
Kelimpahan plankton dihitung berdasarkan rumus:
𝑉𝑟 1
𝑁 =𝑛×( )×( )
𝑉𝑜 𝑉𝑠

14
Keterangan:
N = Jumlah sel per liter
N = Jumlah sel yang diamati
Vr = Volume air tersaring (ml)
Vo = Volume air yang diamati pada Sedgwick rafter (ml)
Vs = Volume air yang disaring (1)

2. Indeks Kemerataan
Indeks ini menunjukan pola sebaran biota, yaitu merata atau tidak. Jika nilai indeks kemerataan
relatif tinggi maka keberadaan setiap jenis biota di perairan dalam kondisi merata.
𝐻′
𝐸=
𝐻′ 𝑚𝑎𝑥
Keterangan:
E = Indeks kemerataan
H’ maks = In s (s adalah jumlah genera)
H’ = Indeks keanekaragaman, nilai indeks berkisar antara 0-1
E = 0, kemerataan antar spesies rendah, artinya kekayaan individu yang dimiliki masing-
masing spesies sangat jauh berbeda
E = 1, kemerataan antar spesies relatif merata atau jumlah individu masing-masing
spesies relatif sama.

3. Indeks Keanekaragaman
Indeks ini digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis biota perairan. Persamaan yang
digunakan untuk menghitung indeks ini adalah persamaan Shanon-Wiener
𝑠
𝐻′ = ∑ 𝑃𝑖 ln 𝑃𝑖
𝑖=1

Keterangan:
H’ = Indeks diversitas Shannon-Wiener
Pi = ni/N
ni = Jumlah individu jenis ke i
N = Jumlah total individu
s = Jumlah genera

Kriteria
H’ < 1 = Komunitas biota tidak stabil atau kualitas air tercemar berat.
1 < H’ < 3 = Stabilitas komunitas biota sedang atau kualitas air tercemar sedang.
H’ > 3 = Stabilitas komunitas biota dalam kondisi baik (stabil) atau kualitas air bersih.

15
4. Indeks Dominansi
Untuk mengetahui adanya dominasi jenis tertentu di perairan dapat digunakan indeks dominansi
Simpson dengan persamaan berikut:
𝑛𝑖 2
𝑠
𝐷=∑ [ ]
𝑖=1 𝑁

Keterangan:
D = Indeks dominansi Simpson
ni = Jumlah individu jenis ke i
N = Jumlah total individu
s = Jumlah genera
Indeks dominansi antara 0-1
D = 0 berarti tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau terstruktur komunitas
dalam keadaan stabil.
D = 1 berarti terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas labil,
karena terjadinya tekanan ekologis (stres) (Fachrul, 2007).

2.2 EKOSISTEM TERESTRIAL


1. Analisis Vegetasi Kebun dengan Metode Plot
Hampir semua orang di dunia mengetahui tentang kebun, dan tentunya termasuk juga kita. Kebun
adalah salah satu ekosistem buatan manusia. Kebun dapat ditanami satu jenis tumbuhan seperti kebun
karet dan dapat pula ditanami beberapa jenis tumbuhan. Kebun yang ditanami berbagai jenis
tumbuhan dapat dikatakan mewakili hutan tropis, yang mana secara alami hutan tropis disusun oleh
berbagai jenis tumbuhan dengan berbagai jenis bentuk hidupnya.
Seperti yang sering Anda lihat dan ketahui, organisme utama penyusun kebun adalah tumbuhan,
oleh karena itu pada topik ekosistem terestrial ini akan lebih banyak membahas tentang tumbuh-
tumbuhan. Mempelajari tumbuhan dapat dilakukan pada tingkat individu maupun pada tingkat
kelompok. Di bumi jarang sekali ditemukan tumbuhan yang hidup menyendiri, umumnya tumbuhan
hidup berkelompok. Berbagai jenis tumbuhan yang hidup dalam suatu habitat tertentu dan saling
berinteraksi dengan sesamanya maupun dengan lingkungannya dinamakan komunitas.
Komunitas memiliki karakteristik yang khas, yang tidak ditemukan pada individu tumbuh-
tumbuhan. Ciri-cirinya adalah:
a. Keanekaragaman jenis
b. Struktur dan bentuk hidup
c. Dominansi
d. Kerapatan relative
e. Struktur tropik (Kreb, 1985)
Komunitas tumbuhan atau sering disebut dengan asosiasi tumbuhan dapat dikatakan sebagai
satuan dasar dunia tumbuh-tumbuhan atau vegetasi (Sukla & Chandel, 1982 dalam Fachrul, 2007).

16
Biasanya formasi atau tipe vegetasi juga memiliki nama yang khas sesuai dengan jenis tumbuhan
yang terdapat di dalamnya yang bersifat menonjol atau predominan (Ericson, 1979 dalam Fachrul,
2007). Untuk kepentingan penelitian atau pemantauan lingkungan, data yang paling diperlukan
adalah mengenai vegetasi dengan informasi variabelnya.
Struktur vegetasi dibatasi oleh tiga komponen, yaitu:
a. Jenis tumbuhan secara vertikal atau stratifikasi vegetasi
b. Susunan jenis tumbuhan secara horizontal atau sebaran individu
c. Kelimpahan tiap jenis tumbuhan yang ada
Dalam mempelajari vegetasi digunakan analisis vegetasi. Analisis vegetasi adalah cara untuk
mempelajari struktur vegetasi dan komposisi jenis tumbuhan. Menurut Shimwell (1984), analisis
vegetasi memiliki 5 tujuan yaitu:
a. Memahami komunitas tumbuhan pada suatu area, negara, atau benua
b. Bagaiman komunitas tumbuhan berinteraksi satu sama lain
c. Bagaimana mereka berinteraksi dan mengekspresikan lingkungannya
d. Bagaimana individu dari suatu jenis terdistribusi di dalam komunitas
e. Bagaimana komunitas berkembang dan berfungsi sebagai sistem hidup yang terorganisir
Di dalam ekologi, analisis vegetasi juga digunakan untuk merekam dan menerjemahkan vegetasi
di dalam suatu habitat. Menurut Kellman (1975), terdapat dua pendekatan untuk melakukan analisa
vegetasi, yaitu:
a. Pendekatan observasi
Pendekatan ini melibatkan pengumpulan data lapangan untuk menguji hipotesis tanpa melakukan
inferensi terhadap vegetasi itu sendiri. Data lapangan ini juga termasuk data floristik dari tumbuhan.
Komponen dari pendekatan ini adalah jenis atau lingkungan.
b. Pendekatan eksperimen
Memasukkan inferensi terhadap vegetasi sebagai salah satu elemen penting untuk memberikan
kontrol terhadap variable yang tidak diinginkan dan sintesis dari kondisi yang dipersyaratkan untuk
menguji hipotesis.
Praktikum ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan observasi. Oleh karena itu,
perlu dilakukan pengambilan data lapangan. Sebelum pergi ke lapangan untuk pengambilan dan
pengumpulan data, terdapat beberapa hal yang harus dipersiapkan, antara lain:
a. Penentuan parameter kunci harus jelas.
b. Alat yang akan digunakan untuk pengambilan sampel harus sesuai dengan parameter yang
akan diukur. Kalau perlu sebelum digunakan dilakukan kalibrasi terlebih dulu.
c. Letak dan jumlah sampel haruslah jelas dan mewakili daerah kajian.
d. Intensitas pengambilan sampel. Perlu diperhatikan faktor lingkungan yang sekiranya dapat
memengaruhi, misalnya perubahan musim, pengaruh perubahan lama penyinaran, pengaruh
perubahan suhu, dan lainnya.
e. Jangka waktu analisis, kapan dan berapa lama sampel harus sudah dianalisis.

17
f. Sistem pengawetan sampel, terutama bagi sampel yang harus diawetkan.
g. Analisis dan interpretasi data, termasuk di dalamnya adalah bekerja sesuai kaidah norma
ilmiah, tidak ceroboh dan hati-hati, bekerja dengan jujur dan tidak subjektif, dan lain-lain (Utomo &
Chalif, 2008).
Data yang didapat dari lapangan nantinya berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Contoh data
kualitatif adalah data tentang penyebaran vegetasi. Sedangkan data kuantitatif antara lain:
a. Ukuran
b. Jumlah
c. Frekuensi
d. Dominansi
e. Kerapatan
f. Indeks nilai penting (INP)
g. Luas tutupan vegetasi.
Di lapangan, untuk lebih mempermudah pengamatan dan mendapatkan data sesuai dengan yang
diinginkan, serta data tersebut dinyatakan mempunyai keterwakilan terhadap vegetasi yang diamati,
masih dibantu dengan penggunaan metode yang cocok atau sesuai dengan kondisi lapangan secara
umum. Dari beberapa pilihan kelompok metode yang umum dipakai, antara lain metode analisis
vegetasi dengan penggunaan petak contoh (plotting), seperti dengan cara kuadrat, maupun metode
analisis vegetasi dengan tanpa penggunaan petak contoh (plot less), seperto dengan penggunaan garis
singgung, kuadran, dan lain-lain. Sebagai contoh, apabila yang dianalisis adalah tipe vegetasi berupa
tumbuhan menjalar dipakai metode plot less dengan titik singgung. Tumbuhan menjalar dapat juga
diamati dengan metode garis singgung, sedangkan apabila yang diamati adalah tegakan pohon
(dengan pengertian diameter batang yang diukur pada ketinggian ±130 cm atau setinggi dada orang
dewasa, adalah lebih dari 10 cm) metode yang dipakai umumnya adalah kuadran (point center
quarter) maupun kuadrat (Utomo & Chalif, 2008).
Metode petak contoh (plot method) lebih sering digunakan untuk sampling di lapangan, terutama
untuk vegetasi hitan. Vegetasi yang terdapat di kebun pada umumnya bisa dijadikan representasi dari
hutan oleh karena itu metode plot dapat digunakan disini.

Metode Petak Contoh (Plot Method)


Pada metode petak contoh, pengukuran peubah dasar dilakukan dengan cara penaksiran
berdasarkan petak contoh. Bila habitatnya itu berupa suatu daerah yang luas maka diambillah seluas
tertentu dari daerah tersebut dan dari daerah contoh tersebut dihitung tumbuhan yang diteliti.
Pengukuran yang dilakukan pada petak contoh tersebut dipergunakan sebagai penaksir dari keadaan
semua lokasi peneltian.
Kesahihan analisis berdasarkan petak contoh tergantung pada tiga hal:
a. Populasi dalam tiap petak contoh yang diambil harus dapat dihitung dengan tepat.
b. Luas atau satuan tiap petak harus jelas dan pasti.

18
c. Petak contoh yang diambil harus dapat mewakili seluruh area/daerah penelitian.
Untuk memenuhi persyaratan yang ketiga agar penelitian sahih, maka dilakukan pengambilan
contoh secara acak, baik acak sederhana ataupun acak berstrata. Sebelum melakukan analisis, ukuran
petak contoh harus ditentukan dengan jelas. Berbeda ukuran yang dianalisis berbeda pula pula ukuran
petak contoh yang diambil. Ukuran petak contoh tidak boleh lebih kecil ari minimal area yang cocok
bagi vegetasi yang akan dianalisis. Untuk itu maka harus dibuat terlebih dahulu kurva area spesies di
daerah penelitian. Berdasarkan kurva itu akan dapat diketahui berapa ukuran petak yang harus
digunakan (Suin, 2002).
a. Pembuatan Kurva Area Spesies
Pada suatu tempat yang dipilih secara acak di daerah penelitian ditanam satu patok, dan dari
patok itu direntangkan dua tali yang mana satu dan lainnya saling tegak lurus. Berikutnya dibuatlah
titik-titik pada kedua tali tersebut. Berikutnya hitung jumlah spesies tumbuhan yang terdapat pada
plot 1, 2, 3, dan seterusnya, lalu buatlah tabelnya. Kurva spesies area dibuat berdasarkan tabel
tersebut. Dari kurva area spesies tersebut, ditentukanlah luas plot minimal atau minimal area yang
akan digunakan. Bila dengan penambahan jumlah plot tidak lagi menyebabkan kenaikan jenis jauh
lebih dari 5%, maka ukuran plot yang digunakan adalah seluas tersebut.
Ukuran petak yang digunakan sangat bergantung pada keadaan tingkatan dan tinggi tumbuhan
yang diteliti. Biasanya untuk tingkatan pohon di hutan, petak yang digunakan berukuran 100 m × 100
m, untuk pohon muda (sapling) yang tingginya sampai tiga meter dan semak, ukuran petak contohnya
10 – 20 m2. Untuk tingkatan anakan (seedling), herba, dan padang rumput dapat dengan petak
berukuran 1 m2.
Petak contoh dapat dibuat bermacam-macam bentuknya. Petak contoh dapat berupa lingkaran,
bujur sangkar, atau persegi panjang. Pemilihan bentuk petak contoh lebih banyak didasarkan pada
kemudahan dalam menganalisis. Petak contoh yang berbentuk lingkaran umpamanya, baik sekali
digunakan untuk menganalisis padang rumput dan belukar yang rendah, sedangkan untuk
menganalisis hutan, petak berupa lingkaran tidak efisien digunakan, karena akan menemui berbagai
kesulitan. Penyebaran petak contoh yang diambil untuk analisis sangat ditentukan keadaan medan
dan keadaan tompografi. Untuk itu, terlebih dahulu haruslah dilakukan survei pendahuluan atau
survei tinjauan umum. Dari survei tinjauan tersebut baru ditentukan bentuk penyebaran petak contoh
yang akan diambil untuk dianalisis (Suin, 2002).
b. Teknik Sampling Kuadrat (Quadrat Sampling Technique)
Teknik sampling kuadrat adalah salah satu teknik survei dari metode petak contoh yang sering
digunakan dalam analisis vegetasi. Petak contoh yang dibuat dalam teknik sampling ini bisa berupa
petak tunggal atau beberapa petak. Petak tunggal mungkin akan memberikan informasi yang baik bila
komunitas vegetasi yang diteliti bersifat homogen. Adapun petak-petak contoh yang dibuat dapat
diletakkan secara random atau beraturan sesuai dengan prinsi-prinsip teknik sampling. Pada metode
ini ada beberapa hal yang harus tepat dikerjakan, yaitu:
1) Pemilihan lokasi.

19
2) Banyaknya lokasi plot pengambilan sampel.
3) Besaran plot pengamatan.
Bentuk petak contoh yang dibuat tergantung pada bentuk morfologi vegetasi dan efisiensi
sampling pola penyebarannya. Misalnya, untuk vegetasi rendah, petak contoh berbentuk lingkaran
lebih menguntungkan karena pembuatan petaknya dapat dilakukan secara mudah dengan mengaitkan
seutas tali pada titik pusat petak. Selain itu, petak contoh berbentuk lingkaran akan memberikan
kesalahan sampling yang lebih kecil daripada bentuk petak lainnya, karena perbandingan panjang
tepi dengan luasnya lebih kecil. Tetapi dari segi pola distribusi vegetasi, petak berbentuk lingkaran
ini kurang efisien dibanding bentuk segiempat. Sehubungan dengan efisiensi sampling, banyak studi
yang dilakukan menunjukkan bahwa petak berbentuk segiempat memberikan data komposisi vegetasi
yang lebih akurat dibanding petak berbentuk bujur sangkar yang berukuran sama, terutama bila
sumbu panjang dari petak tersebut sejajar dengan arah perubahan keadaan lingkungan/habitat.
Untuk memudahkan perisalahan vegetasi dan pengukuran parameternya, petak contoh biasanya
dibagi-bagi ke dalam kuadrat-kuadrat berukuran lebih kecil. Ukuran kuadrat-kuadrat tersebut
disesuaikan dengan bentuk morfologis jenis dan lapisan distribusi vegetasi secara vertikal
(stratifikasi). Dalam hal ini, Oosting (1956) menyarankan penggunaan kuadrat berukura 10 × 10 m
untuk lapisan pohon, 4 × 4 m untuk lapisan vegetasi berkayu tingkat bawah (undergrowth) sampai
tinggi 3 m, dan 1 × 1 m untuk vegetasi bawah/lapisan herba.
Tetapi, umumnya para peneliti di bidang ekologi hutan membedakan pohon ke dalam beberapa
tingkat pertumbuhan, yaitu: semai (permudaan tingkat kecambah sampai setinggi < 1,5 m), pancang
(permudaan dengan tinggi > 1,5 m sampai pohon muda yang berdiameter < 10 cm), tiang (pohon
muda berdiameter 10 – 20 cm), dan pohon dewasa (diameter > 20 cm). untuk memudahkan
pelaksanaannya, ukuran kuadrat disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan tersebut, yaitu umumnya
20 × 20 m (pohon dewasa), 10 × 10 m (tiang), 5 × 5 m (pancang), dan 1 × 1 m atau 2 × 2 m (semai
dan tumbuhan bawah) (Suin, 2002).
Dalam metode kuadrat ini, parameter-parameter vegetasi dapat dihitung dengan rumus-rumus
berikut ini:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 (𝐾) =
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑢𝑘𝑢𝑟
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 (𝐾𝑅) = × 100%
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 (𝐹) =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑅𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 (𝐹𝑅) = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 (𝐷) =
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑢𝑘𝑢𝑟
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑅𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 (𝐷𝑅) = × 100%
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠

20
1) Petak Tunggal
Di dalam metode ini dibuat satu petak sampling dengan ukuran tertentu yang mewakili suatu
tegakan hutan. Ukuran petak ini dapat ditentukan dengan kurva spesies area. Untuk lebih jelasnya
suatu contoh petak tunggal dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 1.4
Suatu Petak Tunggal dalam Analisis Vegetasi
Agar data vegetasi hasil survei lebih bersifat informatif, sebaiknya bila waktu dan dana survei
memungkinkan, setiap lokasi pohon beserta tajuknya (termasuk pancang, semai, dan tiang) begitu
pula pohon yang masih berdiri atau pohon yang roboh dalam petak contoh, dipetakan. Hal ini akan
sangat berguna untuk mengetahui pola distribusi setiap jenis vegetasi, proporsi gap, menduga luasan
tajuk dari diameter, dan lain-lain.
2) Petak Ganda
Di dalam metode ini, pengambilan contoh vegetasi dilakukan dengan menggunakan banyak
petak contoh yang letaknya tersebar merata. Peletakan petak contoh sebaiknya secara sistematis.
Untuk menentukan banyaknya petak contoh dapat digunakan kurva spesies-area. Sebagai ilustrasi
pada Gambar 2.2 disajikan cara peletakan petak contoh pada metode petak ganda.

Gambar 1.5
Desain Petak Ganda di Lapangan
Cara menghitung besarnya nilai kuantitatif parameter vegetasi sama dengan metode petak
tunggal (Irwanto, 2011).

2. Tipe Dispersi
21
Pola dispersi individu di suatu permukaan habitat dapat bersifat regular, random, atau
mengelompok. Hal ini tergantung dari jenis dan keadaan habitatnya, ketiga kategori tersebut dapat
ditentukan dengan dua cara:
a. Berdasarkan perbandingan (ratio) antara variansi (S2) dan nilai rata-rata (𝑋̅) yakni:
S2 = 𝑋̅, jika bertipe random
S2 < 𝑋̅, jika bertipe regular (jarang sekali terjadi)
S2 > 𝑋̅, jika bertipe mengelompok
b. Berdasarkan metode Indeks Morisita
Analisis Data sebagai berikut:
∑ 𝑥2 − ∑ 𝑥
𝐼𝑆 = 𝑁.
(∑ 𝑥)2 − ∑ 𝑥
IS = Indeks Morisita
N = Total Sampel
Penentuan Tipe Dispersi:
IS < 1 berarti dispersi regular
IS > 1 berarti dispersi mengelompok
IS = 1 berarti dispersi acak

3. Penentuan Indeks Keanekaragaman Hayati


Keanekaragaman hayati di dalam suatu ekosistem atau di suatu komunitas adalah banyaknya
jenis yang terdapat di dalam komunitas tersebut. Keanekaragaman hayati sebetulnya tidak hanya
menyatakan banyaknya jenis (spesies) atau keanekaragaman jenis, tetapi juga untuk menyatakan
keanekaragaman tipe ekosistem dan keanearagaman genetik. Dalam penggunaannya, istilah
keanekaragaman hayati lebih sering digunakan untuk mengungkapkan keanekaragaman jenis.
Analisis data keanekaragaman hayati secara kuantitatif adalah dengan mengandung:
a. Kekayaan jenis atau jumlah jenis (s)
b. Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener (H)
c. Indeks Kemerataan (index of eveness, equitability index)
Besar kecilnya indeks keanekaragaman jenis ditentukan oleh jumlah jenis (s) dan kemerataan
individu di setiap jenis. (indeks kemerataan). Makin tinggi jumlah jenis, dan makin merata jumlah
individu disetiap jenis, indeks keanekaragaman jenis makin tinggi, bila sebaliknya, maka indeks
keanekaragaman jenis makin rendah.

Formula untuk menghitung indeks keanekaragaman jenis Shannon Wiener (H) adalah:

22
𝑛𝑖 𝑛𝑖 𝑛𝑖 log 𝑛𝑖⁄𝑁
𝐻 ′ = − ∑ 𝑁 log 2 atau 𝐻 ′ = − ∑ 𝑁
𝑁 log 2
𝐻′
Indeks Kemerataan: 𝐸 = 𝐻 ′ 𝑚𝑎𝑥
log 𝑠
𝐻 ′ 𝑚𝑎𝑥 = log 2

ni = Jumlah individu suatu jenis


N = Jumlah individu dari seluruh jenis
s = jumlah jenis

23
BAB III
ALAT, BAHAN DAN CARA KERJA

A. Persilangan Monohibrid dan Dihibrid


1. Alat
a. Alat Tulis
b. Cawan Petri
c. Bunsen
d. Inkubator
2. Bahan
a. Media Natruen (NA)
b. Isolat Bacillus subtilis
c. Alkohol 70%
3. Cara Kerja
a. Cawan dibagi menjadi 3 daerah bagian menggunakan spidol marker
b. Daerah 1 diinokulasi dengan streak zig zag
c. Jarum inokulan dipanaskan dan ditunggu dingin, , kemudian steak zig zag dilanjutkan
pada daerah 2. Cawan diputar untuk memperoleh goresan yang sempurna.
d. Lakukan hal yang sama pada daerah 3

B. Pewarnaan (Sederhana, Gram dan Endospora)


1. Pewarnaan Sederhana
A. Alat
a. Objeck glass e. Tabung reaksi
b. Pipet tetes f. Timer
c. Bunsen g. Tisu/Kapas
d. Jarum Ose h. Mikroskop

2. Bahan
a. Karbol gentilen Violet (KGV)
b. Isolat Bacillus sereus
c. Akuades
3. Cara Kerja
a. Bersihkan object glass
b. Buat film selama 2 menit
c. Beri warna dengan zat warna kabo gentilen violet (KGV)

24
d. Cuci dengan akuades
2. Pewarnaan Gram
A. Alat
a. Object glass
b. Pipet tetes
c. Bunsen
d. Jarum ose
e. Timer
f. Tisu / kapas
g. Mikroskop
2. Bahan :
a. Karbo gintelen violet (KGV)
b. Safranine
c. Akuades
d. Isolat Bacillus subtilis dan E. coli
e. Alkohol 96%

3. Cara Kerja
a. Bersihkan object glass
b. Buat film selama 2 menit
c. Beri warna dengan zat warna Krbo gentilen Violet (KGV)
d. Tambahkan penguat yodium tunggu selama 2 menit
e. Cuci dengan alcohol 96%
f. Tambahkan zat warna safranine tunggu selama 1 menit
g. Cuci dengan akuades
3. Pewarnaan Endospora
A. Alat
a. Object glass
b. Pipet tetes
c. Bunsen
d. Jarum ose
e. Timer
f. Tisu/kapas
g. Mikroskop
2. Bahan
a. Metylen blue

25
b. Akuades
c. Substansi Bakteri Bacillus cereus
d. Asam sulfat 1%
3. Cara Kerja
a. Bersihkan object glass e. Cuci dengan akuades
b. Buat film selama 2 menit
c. Cuci dengan asam sulfat 1%
d. Beri warna dengan zat warna Metylen biru

C. Inokulasi hasil Isolasi


1. Alat
a. Autoklaf
b. Cawan petri
c. Tabung reaksi
d. ose jarum
e. Rak tabung
f. Korek api
g. Lampu spirtus
h. Tissu/kapas
2. Bahan
a. Hasil isolasi
b. Media NA (Natrium agar miring)
3. Cara kerja
a. Hasil isolasi seminggu yang lalu tepatnya tanggal 4 Maret 2018 diambil bakteri
yang terpisahnya dengan ase jarum
b. Kemudian bakteri yang terpisah tersebut digoreskan pada media agar miring secara
zigzag, proses tersebut dilakukan dekat api.
c. Tunggu selama semunggu untuk melihat hasilnya

D. Mikrofungi dalam bahan makanan dan Jamur Kontaminan


1. Alat
a. Cawan petri
b. Pipet tetes
c. Gelas beker
d. Object glass
e. Mikroskop
2. Bahan :
a. Air c. Tape
b. Tempe d. Roti busuk

26
3. Cara kerja
Sampel jamur yang terdapat pada bahan-bahan tersebut, diambil dan diletakkan pada
object glass kemudian tambahkan air lalu amati di bawah mikroskop

E. Pergerakan Bakteri
1. Alat
a. Mikroskop
b. Object glas cekung
c. cover glass
d. Jarum ose
2. Bahan
a. Suspensi bintil akar Mimosa pudica (Putri malu)
b. Vasline (sebagai perekat)
3. Cara Kerja
a. Kultur bakteri diambil dengan menggunakan jarum inokulasi, kemudian diletakkan
di atas cover glass
b. Di setiap ujung cover glas diberi lem perekat
c. Kaca objek cekung diturunkan dengan cara menelungkupkan ke dalam cover glas
dengan perlahan-lahan
d. Kaca objek ditekan perlahan sehingga tetesan kultur tetap bertahan di atas cover
glas
e. Kemudian amati pergerakannya di bawah mikroskop

27
28
BAB V
PEMBAHASAN

29
BAB VI
KESIMPULAN

30

Anda mungkin juga menyukai