BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kriteria penentuan kualitas air terus mengalami perkembangan. Sebelum
abad ke 20, penentuan kriteria kualitas air hanya berdasarkan pada hasil analisis
fisika-kimia air. Pada awal abad ke-20 para ahli mulai melakukan penelitian dan
studi tentang biota perairan, baik mengenai individu maupun struktur komunitas
(Basmi, 2000). Pengukuran secara kualitatif maupun kuantitatif atas biota yang
menghuni suatu perairan dapat menjelaskan kondisi kualitas air perairan tersebut.
Hal ini karena faktor fisika-kimia air berpengaruh langsung terhadap kehidupan
biota yang ada di dalamnya.
Salah satu jenis biota yang sering digunakan untuk keperluan analisis
kualitas air adalah plankton, yang terdiri dari dua kelompok, yaitu fitoplankton
dan zooplankton. Fitoplankton merupakan microalgae yang hidup bebas di kolom
air (free living algae) dan berfungsi sebagai sumber oksigen terlarut, pakan alami,
serta shading. Fitoplankton merupakan produsen primer di perairan karena
kemampuannya melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan bahan organik
dan oksigen (Ghosal at al., 2000). Pemanfaatan plankton sebagai indikator
kualitas air telah mengalami perkembangan yang pesat, baik dari metode
pengambilan sampling maupun analisis data. Karena hidup di kolom air, plankton
hanya dapat menggambarkan kondisi kualitas air di zona tersebut yang merupakan
habitat ikan pada umumnya. Perubahan terhadap kualitas perairan dapat ditinjau
dari kelimpahan dan komposisi fitoplankton. Keberadaan fitoplankton di suatu
perairan dapat memberikan informasi mengenai keadaan perairan. Fitoplankton
merupakan parameter biologi yang dapat dijadikan indikator untuk mengevaluasi
kualitas dan tingkat kesuburan suatu perairan (bioindikator).
Kesuburan perairan untuk kegiatan perikanan dapat dapat diketahui melalui
keragaman organisme plankton yang dipengaruhi oleh kondisi fisik dan kimia
perairan seperti sinar matahari, suhu, pH, oksigen terlarut dan unsur hara lainnya.
Strom (1982) dalam Basmi (1991) mengemukakan bahwa, dengan mengetahui
jumlah nitrogen dan fosfor, maka dengan mudah menentukan tipe dari kesuburan
suatu perairan, mengingat bahan-bahan tersebut sangat penting bagi
BAB II
PARAMETER FISIKA PERAIRAN
2.1 Suhu
mencapai 1,2 mg/g berat tubuh-jam. Pada suhu 180C-250C, ikan masih bertahan
hidup, tetapi nafsu makannya mulai menurun. Suhu air 120C-180C mulai
berbahaya bagi ikan, sedangkan pada suhu di bawah 120C ikan tropis mati
kedinginan (Ghufran dkk., 2007). Berdasarkan pengamatan di Instalasi Tambak
Percobaan Marana (Sulawesi Selatan), ikan bandeng masih hidup normal pada
suhu 350C. Seperti pada ikan nila (Oreochromis sp), dia membutuhkan suhu
optimal pada 25-300C sehingga ikan nila cocok di pelihara pada dataran tinggi dan
rendah (Suyanto, 1995). Secara teoritis, ikan tropis masih hidup normal pada suhu
300C-350C kalau konsentrasi oksigen terlarut cukup tinggi. (Ahmad dkk., 1998).
2.1.1
2.2 Kecerahan
Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual
dengan bantuan alat Secchi disk (APHA, 1989). Kecerahan menunjukkan
penetrasi cahaya matahari yang menembus ke dalam perairan, dan besarnya
dipengaruhi oleh kandungan bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi di
dalam perairan, warna perairan, jasad renik, detritus, dan kepadatan plankton
(Wardoyo, 1981). Menurut Welch (1952), semakin tinggi nilai kecerahan, semakin
besar pula penetrasi cahaya matahari, sehingga proses fotosintesis oleh
fitoplankton dapat berlangsung dalam lapisan yang lebih tebal (dikenal sebagai
lapisan air yang paling produktif). Selain itu, ditambahkan pula bahwa penetrasi
cahaya yang masuk kedalam perairan akan mempengaruhi komposisi dan
penyebaran fitoplankton di dalam perairan.
Fitoplankton terdiri dari berbagai jenis yang masing-masing berlainan warna
yang biasanya tampak sebagai warna air. Bila warna air hijau tua, plankton yang
dominan adalah Cyanophyceae, Microcystis, dan Anabaena yang mengandung
khlorofil berwarna hijau tua. Warna air hijau muda biasa didominasi Chlorophyta.
Warna air hijau kecoklatan mencerminkan dominasi diatomae dari kelas
budidaya ikan dan udang berkisar 30-40 cm yang di ukur menggunakan pinggan
secchi. Bila kecerahan sudah mencapai kedalaman kurang dari 25 cm akan
menyebabkan fitoplankton mati berurutan yang diikuti penurunan oksigen terlarut
secara drastis.
2.3 TSS (Total Suspended Solid)
Padatan total (residu) adalah bahan yang tersisa setelah air sampel
mengalami evaporasi dab pengeringan pada suhu tertentu (APHA, 1985). Padatan
yang terdapat di perairan diklasifikasikan berdasarkan ukuran diameter partikel,
seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 2.1 Klasifikasi Padatan di Perairan berdasarkan Ukuran Diameter
Klasifikasi Padatan
Ukuran diameter (m) Ukuran Diameter (mm)
Padatan terlarut
<10-3
< 10-6
Koloid
10-3-1
10-6-10-3
Padatan Tersuspensi
>1
>10-3
Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahanbahan tersuspensi (diameter > 1m) yang tertahan pada saringan milipore dengan
diameter pori 0,45 m. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad
renik, yang terutama disebabkan oleh erosi tanah yang terbawa kebadan air.
Bahan-bahan terlarut dan tersuspensi pada perairan alami tidak bersifat toksik,
akan tetapi jika berlebihan, terutama TSS dapat meningkatkan nilai kekeruhan,
yang selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan
akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis (Effendi, 2003).
Penyebab nilai TSS yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang
terbawa kedalam badan air.
BAB III
PARAMETER KIMIA PERAIRAN
3.1 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman lebih dikenal dengan istilah H. pH (singkatan dari
pulscane negatif te H), yaitu logaritma dari kepekatan ion-ion H (hidrogen) yang
terlepas dalam satu cairan. Derajat keasaman atau pH air menunjukkan aktifitas
ion hydrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion
hydrogen (dalam nol per lter) pada suhu tertentu atau dapat ditulis pH = log (H+)
(kordi dan Tancung, 2007).
Air dapat besifat asam atau basa tergantung pada besar kecilnya pH air atau
besarnya konsentrasi ion hidrogen di dalam air. Perairan dengan tingkat kesuburan
yang tinggi dan tergolong produktif memiliki pH antara 6-9 karena dapat
mendorong proses pembongkaran bahan organik yang ada dalam perairan menjadi
mineral-mineral yang dapat diasimilasikan oleh fitoplankton (Odum, 1993).
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai
nilai pH sekitar 7-8,5 (Effendi, 2003). Pada umumnya alga biru menyukai pH
netral sampai basa dan respon pertumbuhan negatif pada asam (pH<6). Pada
kisaran pH 4,5-8,5 dapat mendukung keanekaragaman jenis Chrysophyta
sedangkan diatom pada kisaran pH yang netral (Weitzel,1979).
Pada pemeliharaan ikan, pH memiliki arti penting untuk diketahui karena
nilai pH yang ekstrim dapat merusak permukaan insang sehingga menyebabkan
kematian pada ikan. Selain alasan tadi, pH juga dapat meningkatkan efek toksid
beberapa polutan seperti amonia dan sianida, dan logam berat seperti aluminium
(Beveridge, 1996).
Boyd dan Lichtkoppler (1982) menyatakan kisaran pH pada budidaya ikan
adalah sebagai berikut : pH 4 dan 11 adalah titik mati asam dan basa, pH antara 4
dan 6, dan antara 9 merupakan kisaran optimum bagi kehidupan ikan. Supaya ikan
dapat tumbuh maksimal, pH harus tetap ideal dengan fluktuasi yang kecil
(Stickney, 1993).
Pada pH di atas 8,5 dan di bawah 5 toleransi pada ikan sudah semakin
berkurang (Moyle dan Cech, 1988). Pada ikan nila (Oreochromis Nilotica ), nilai
pH berkisar antara 6-8,5 tetapi pertumbuhan optimal terjadi pada pH 7-8
(Suyanto, 1995). Reproduksi atau perkembangan ikan biasanya akan naik pada pH
6,5 walaupun hal itu tergantung juga pada jenis ikannya (Effendi, 2003). pH yang
baik dalam budidaya adalah 6,5-9,0 (Mutris, 1992).
Jika dalam suatu perairan terdapat kandungan bahan organik yang tinggi,
maka bahan organik tersebut harus diuraikan, untuk itu diperlukan oksigen.
Dalam keadaan ada oksigen akan dihasilkan karbondioksida, uap air dan nitrat.
Dalam keadaan tidak ada oksigen akan dihasilkan hidrogen sulfida (H2S), amonia
(NH3) dan metana (CH4). Hampir semua senyawa yang dihasilkan tersebut
bersifat asam yang pada akhirnya akan menurun, dan ion bikarbonat (HCO3-) akan
berubah menjadi CO2 dan ion OH-. Adanya dominasi ion hidroksi ini akan
mengakibatkan pH air mengikat (Prihadi,2005).
Moss (1993) mengatakan, jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik
yang tinggi, maka hasil dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya
karbondioksida. Di dalam air karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat.
Keadaan ini juga bisa terjadi jika 1 % dari karbondioksida bereaksi dengan air,
sehingga membentuk asam karbonat (Cole, 1988). Pada pembentukan asam
karbonat tersebut akan dihasilkan ion hidrogen yang mengakibatkan pH perairan
menurun. Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukkan
dalam Tabel 3.1
Pada pH< 4, sebagian besar tumbuhan air mati karen tidak dapat
bertoleransi terhadap pH rendah. Namun, algae Chlamydomonas acidophila masih
dapat bertahan hidup pada pH sangat rendah, yaitu 1, dan algae Euglena masih
bertahan hidup pada pH 1,6 (Haslam, 1995 dalam Effendi, 2003).
10
semakin nampak
2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih
belum mengalami perubahan yang berarti
3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral
1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton,
5,0-5,5
4,5-5,0
bentos
3. Algae hijau berfilamen semakin banyak
4. Proses nitrifikasi terhambat
Sumber : Baker et al, 1990 dalam Effendi 2003
3.2 Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kebutuhan tanaman dan
hewan dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari
kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang
dibutuhkan untuk kehidupan (Fardiaz, 1992). Kadar oksigen terlarut di perairan
bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen
terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada
pencampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah
yang masuk ke dalam air (Effendi, 2003).
11
12
13
Tabel 3.3 Hubungan antara Kadar Oksigen Terlarut Jenuh dan Suhu pada
Tekanan Udara 760 mm Hg
Kadar Oksigen
Kadar Oksigen
Terlarut
Suhu
Terlarut
(mg/L)
(0C)
(mg/L)
0
14, 62
1
14,22
2
13,83
3
13,46
4
13,11
5
12,77
6
12,45
7
12,14
8
11,84
9
11,56
10
11,29
11
11,03
12
10,78
13
10,54
Sumber : Cole (1988)
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
10,31
10,08
9,87
9,66
9, 47
9, 28
9,09
8,91
8,74
8,58
8,42
8,26
8,11
7,97
Suhu (0C)
Kadar Oksigen
Suhu (0C)
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Terlarut
(mg/L)
7,83
7,69
7,56
7,43
7,30
7,18
7,06
6,95
6,84
6,73
6,62
6,51
6,41
14
adalah yang terendah dan semakin naik pada waktu siang hari sampai mencapai
titik maksimal lewat tengah hari (Boyd, 1991).
Kelarutan oksigen dalam air juga dipengaruhi oleh suhu dan tekanan udara.
Menurut Hasting dalam Jangkaru (1984), kebutuhan oksigen oleh ikan adalah
16,48 mg/100g/jam. Kadar optimum untuk pertumbuhan harus lebih besar dari 5
mg/L (Cholik et al.,1986). Chakroff (1985) menambahkan bahwa kadar oksigen
15 mg/L merupakan kadar tertinggi kritis, dan titik terendah kritis adalah 4 mg/L.
Swingle (1969) dalam Effendi (2003) mengemukakan hubungan antara kadar
oksigen terlarut dan kelangsungan hidup ikan di kolam (Tabel 3.4)
Tabel 3.4 Kadar oksigen terlarut dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup
ikan
Kadar Oksigen Terlarut (mg/L)
<0,3
0,3-1,0
1,0-5,0
>5,0
kondisi ini
Sumber : Swingle, 1969 dalam Effendi, 2003
15
16
Pada perairan alami, yang berperan sebagai sumber bahan organik adalah
pembusukkan tanaman. Perairan alami memiliki nilai BOD antara 0,5 7,0 mg/L
(Jefries dan Mils, 1996 dalam Effendi, 2003). Perairan yang memiliki nilai BOD
lebih dari 10 mg/L dianggap telah mengalami pencemaran. Nilai BOD limbah
industri dapat mencapai 25.000 mg/L (UNESCO/WHO/UNEP, 1992 dalam
Effendi, 2003). Nilai BOD limbah industri makanan antara 500 4.000 mg/L,
industri farmasi antara 400 10.000 mg/L, dan industri kertas sekitar 1.500
25.000 mg/L ( Rao, 1991 dalam Effendi, 2003).
3.4 Chemycal Oxygen Demand (COD)
COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi
kimia yang dinyatakan dalam mg O2/l. Dengan mengukur nilai COD maka akan
diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses
oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara
biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis
(Barus,2004).
COD erat kaitannya dengan BOD. Banyak zat organik yang tidak
mengalami penguraian biologi secara cepat berdasarka pengujian BOD5 tetapi
senyawa-senyawa organik itu tetap menurunkan kualitas air. Karena itu perlu
diketahui konsentrasi organik dalam limbah dan setelah masuk dalam perairan,
untuk itulah tujuan diadakannya uji COD. Pengujian COD dilakukan dengan
mengambil contoh dengan volume tertentu yang kemudian di panaskan dengan
larutan kalium dikromat dengan kepekatan tertentu yang jumlahnya sedikit di atas
yang diperlukan. Dengan katalis asam sulfat diperlukan waktu dua jam, maka
kebanyakan zat organik telah teroksidasi. Dengan penentuan jumlah kalium
dikromat yang dipakai, maka COD contoh dapat dihitung. Dalam pengujian ini 3
hal yang diperhatikan :
1. Zat organik yang dapat mengalami biodegradasi yang biasanya dapat
diuraikan oleh bakteri dalam uji BOD5.
2. Zat organik yang dapat mengalami biodegradasi yang tidak dapat di
uraikan oleh bakteri dalam waktu lima hari, tetapi akhirnya akan terurai
dan menurunkan kualitas air.
3. Zat organik yang tidak dapat mengalami biodegradasi (Sastrawijaya,
2000).
17
Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan
perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya
kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200
mg/L dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L.
3.5 Karbondioksida (CO2)
Atmosfer bumi mengandung karbondioksida dengan persentase yang rellatif
kecil yakni sekitar 0,033% (Cole 1988 dalam Effendi,2003). Akan tetapi dari
tahun ke tahun kadar karbondioksida memperlihatkan kecenderungan peningkatan
sebagai hasil dari penggundulan hutan dan pembakaran bahan bakar fosil,
misalnya minyak bumi dan batu bara. Sekitar setengah dari karbondioksida yang
merupakan hasil pembakaran ini berada di atmosfer dan setengahnya lagi
tersimpan di perairan dan digunakan dalam proses fotosintesis oleh diatom dan
alga laut lain. Hasil fotosintesis di bumi 88% merupakan sumbangan dari alga di
perairan (Effendi, 2003).
Karbon yang terdapat di atmosfer dan perairan di ubah menjadi karbon
organik melalui proses fotosintesis, kemudian masuk kembali ke atmosfer melalui
proses respirasi dan dekomposisi yang merupakan proses biologis makhluk hidup
(Gambar 2). Karbon ini dapat berubah menjadi bahan organik yang berupa bahan
bakar fosil atau menjadi bahan anorganik, misalnya batuan karbonat melalui
proses kimia yang berlangsung sangat lama.
18
19
hemoglobin (Zonnveld et al., 1991). Konsentrasi CO2 antara 50 dan 100 mg/l
harus diwaspadai karena dapat menyebabkan ikan stres dan jika dibiarkan akan
membunuh ikan. Ikan Seraterodon macrochir di alam dapat mentolerir CO2
hingga lebih dari mentolerir CO2 hingga lebih dari 75 mg/l.
Karena karbondioksida berbanding terbalik dengan oksigen, maka apabila
konsentrasi oksigen berada pada tingkat maksimum, pengaruh karbondioksida
dapt di abaikan.
3.6 Alkalinitas
Menurut Effendi (2007), alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk
menetralkan asam atau dikenal dengan sebutan acid-neutralizing capacity (ANC)
atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen.
Alkalinitas juga diartikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap
perubahan pH perairan. Penyusun alkalinitas perairan adalah anion bikarbonat
(HCO3-), karbonat (CO32-), dan hidroksida (OH-), Borst H2BO3-), silikat (HsiO3-),
fosfat (HPO42- dan H2PO4-), sulfida (HS-), dan amonia (NH3) juga memberikan
kontribusi terhadap alkalinitas. Namun, pembentuk alkalinitas yang utama adalah
bikarbonat, karbonat, dan hidroksida. Di antara ketiga ion tersebut, bikarbonat
paling banyak terdapat pada perairan alami. Kation utama yang mendominasi
perairan tawar adalah kalsium dan magnesium, sedangkan pada perairan laut
adalah sodium dan magnesium. Anion utama pada perairan tawar adalah
bikarbonat dan karbonat, sedangkan pada perairan laut adalah klorida. Selanjutnya
Boyd (1981) mengatakan alkalinitas yang baik dalam penyediaan CO2 adalah 20150 mg/L. Menurut Cholik et al. (1986), bila total alkalinitas terlalu rendah dapat
ditingkatkan melalui penambahan kapur (pengapuran), dan pada umumnya
perairan yang baik (produktif) untuk budidaya ikan mengandung nilai total
alkalinitas dan kesadahan yang sama besarnya. Selanjutnya Boyd (1992)
mengatakan, pemberian kapur dapat meningkatkan pH lumpur dan menyebabkan
tersedianya fosfor untuk jasad nabati. Di samping itu pengapuran juga dapat
meningkatkan alkalinitas serta tersedianya CO2 untuk fotosintesis. Persentase ionion utama, yang terdapat dalam perairan tawar ditunjukkan dalam Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Kation dan Anion Utama pada Perairan Tawar dan Laut
Ion-ion utama
Persentase (%)
20
Air tawar
Air laut
60,9
19,0
16,6
2,5
3,2
10,1
83,7
3,0
72,4
16,1
11,5
0,6
12,2
87,2
Kation :
1. Kalsium (Ca2+)
2. Magnesium (Mg2+)
3. Sodium/ Natrium (Na+)
4. Kalium (K+)
Anion :
1. Bikarbonat (HCO3-) dan karbonat (CO32-)
2. Sulfat (SO42-)
3. Klorida (Cl-)
Sumber : Modifikasi Cole (1983) dalam Effendi (2007)
21
22
23
Keberadaan kation yang lain, misalnya strontium, besi valensi dua ( kation
fero), dan mangan juga memberikan kontribusi bagi nilai kesadahan total,
meskipun peranannya relatif kecil. Aluminium dan besi valensi tiga (Kation ferri)
sebenarnya juga memberikan kontribusi terhadap nilai kesadahan. Namun
demikian, mengingat sifat kelarutannya yang relatif rendah pada pH netral maka
peran kedua kation ini sering kali diabaikan. Kesadahan dan alkalinitas dinyatakan
dengan satuan yang sama, yaitu mg/liter CaCO3.
Tabe 3.6 Kation-Kation Penyusun Kesadahan dan Anion-Anion Pasangan/
Asosiasinya
Kation
Anion
2+
Ca
HCO2Mg2+
SO42Sr2+
Cl2+
Fe
NO3Mn2+
SiO32+
Sumber : Sawyer dan McCarty (1978)dalam Effendi (2007)
Kesadahan perairan berasal dari kontak air dengan tanah dan bebatuan. Air
hujan sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk melarutkan ion-ion penyusun
kesadahan yang banyak terikat di dalam tanah dan batuan kapur (limestone),
meskipun memiliki kadar karbondioksida yang relatif. Larutnya ion-oin yang
dapat meningkatkan nilai kesadahan tersebut lebih banyak disebabkan oleh
aktivitas bakteri di dalam tanah, yang banyak mengeluarkan karbondioksida. Pada
Gambar 3, memperlihatkan penampang melintang tanah yang memperlihatkan
proses terlarutnya kation penyusun kesadahan perairan.
24
Ca (HCO)3 (larut)
Mg (HCO3)2 (larut)
25
batuan kapur. Perairan lunak berada pada wilayah dengan lapisan tanah atas tipis
dan batuan kapur relatif sedikit atau bahkan tidak ada. Air permukaan biasanya
memiliki nilai kesadahan yang lebih kecil dan pada air tanah. Perairan dengan
nilai kesadahan kurang dari 120 mg/l CaCO3 dan lebih dari 500 mg/l CaCO3
dianggap kurang baik bagi peruntukkan domestik, pertanian, dan industri. Namun,
air sadah lebih disukai oleh organisme daripada air lunak (Effendi,2007).
Tabel 3.7 Klasifikasi Perairan berdasarkan Nilai Kesadahan
Kesadahan (mg/L CaCo3)
Klasifikasi Perairan
<50
Lunak (soft)
50-150
Menengah (moderately hard)
150-300
Sadah (hard)
>300
Sangat sadah (very hard)
Sumber : Peavy et al., 1985 dalam Effendi, 2003
Tebbut (1992) (dalam Effendi, 2007) mengemukakan bahwa nilai kesadahan
tidak memiliki implikasi langsung terhadap kesehatan manusia. Kesadahan yang
tinggi dapat menghambat sifat toksik dari logam berat karena kation-kation
penyusun kesadahan (kalsium dan magnesium) membentuk senyawa kompleks
dengan logam berat tersebut. Misalnya, toksisitas 1 mg/L timbal pada perairan
dengan kesadahan rendah (soft water) dapat mematikan ikan. Akan tetapi,
toksisitas 1 mg/L timabl pada perairan dengan kesadahan 150 mg/L CaCO3
terbukti tidak berbahaya bagi ikan (Effendi, 2003).
3.8 Bahan Organik Total (TOM)
Bahan organik total (TOM) adalah jumlah total kandungan bahan organik di
dalam perairan yang umumnya terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi
(partikulat) dan koloid. Menurut Goldman dan Horne (1983), kandungan bahan
organik di suatu perairan berasal dari hasil fotosintesis dan adanya masukan dari
luar.
Keberadaan bahan organik di perairan sangat mempengaruhi kandungan
oksigen terlarut di dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena penguraian bahan
organik sangat membutuhkan oksigen terlarut sehingga semakin tinggi kandungan
bahan organik maka kandungan oksigen terlarut akan semakin berkurang
26
(Goldman dan horne, 1983). Yuday dalam Ruttner (1965) menambahkan bahwa
perairan eutrofik mempunyai kandungan bahan organik lebih dari 12,5 mg/l.
Bahan organik yang masuk ke perairan terdiri dari bahan organik yang dapat
di urai dan bahan organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Bahan
organik ini terbawa oleh arus dari satu tempat ke tempat lainnya, sehingga
nilainya akan berbeda antara tempat satu dengan tempat lainnya. Selain itu,
adanya proses sedimentasi mengakibatkan bahan organik mengendap di dasar
perairan. Pada dasar perairan, bahan organik memiliki nilai yang penting, dimana
pada nilai yang normal bahan organik dapat dimanfaatkan oleh organisme bentik
untuk kehidupan dan pertumbuhannya.
Namun pada kondisi bahan organik yang melimpah di dasar perairan, dapat
berdampak kurang baik bagi organisme bentik. Hal ini dikarenakan pada saat
bahan organik mengalami reduksi, diurai oleh bakteri dalam suasana anaerob,
akan mengeluarkan gas-gas yang bersifat tidak stabil dan toksik seperti ammonia,
metana dan hidrogen sulfida.
3.9 Unsur Hara Nitrogen
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan
fitoplankton dan berperan dalam pembentukan protein. Nitrogen tidak dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh makhluk hidup. Nitrogen harus mengalami
fiksasi terlebih dahulu menjadi NH3, NH4, dan NO3. Meskipun demikian, bakteri
Azetobacter dan Clostridium serta beberapa jenis alga hijau-biru (Cynophyta)
seperti Anabaena dapat memanfaatkan gas N2 secara langsung dari udara sebagai
sumber nitrogen (Tancung, 2007).
Di perairan nitrogen berada dalam bentuk organik dan anorganik. Nitrogen
organik berupa protein, asam amino, dan urea, sedangkan nitrogen anorganik
terdiri dari ammonia (NH3), ammonium (NH4), nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan
molekul Nitrogen (N2) dalam bentuk gas (Sastrawijaya, 1991). Bentuk-bentuk
nitrogen tersebut mengalami transformasi sebagai bagian dari siklus nitrogen.
Sumber nitrogen yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan
akuatik adalah nitrat, ammonium dan gas nitrogen (Muhazir, 2004).
27
28
Ammonia
Ammonia di dalam perairan berasal dari ekskresi hewan akuatik sebagai
hasil dari proses metabolisme dan prosi ekskretori dari ginjal dan jaringan insang.
Kotoran padat dan sisa pakan dari hewan akuatik adalah bahan organik dengan
kandungan protein tinggi yang diuraikan menjadi polipeptida, asam-asam amino
dan akhirnya ammonia sebagai produk akhir yang terakumulasi di dalam air
(Tancung, 2007).
Ammonia jarang ditemukan pada perairan yang mendapat pasokan oksigen.
Sebaliknya, pada wilayah anoksik (tanpa oksigen) yang biasanya terdapat di dasar
perairan kadar ammonia relatif tinggi. Kadar ammonia pada perairan alami
biasanya kurang dari 0,1 mg/l (McNeely et al., 1979). Kadar ammonia bebas yang
tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02
mg/liter. Jika kadar ammonia bebas lebih dari 0,02 mg/liter, perairan bersifat
29
toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer dan McCarty, 1978). Kadar ammonia
yang tinggi dapat dijadikan sebagai indikator adanya pencemaran bahan organik
yang berasal dari limbah domestik, industri dan limpasan (run-off) pupuk
pertanian (Effendi, 2003).
Ammonia dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Ion
ammonium adalah bentuk transisi dari ammonia. Ammonia banyak digunakan
dalam proses produksi urea, industri bahan kimia (asam nitrat, ammonium fosfat,
ammonium nitrat, dan ammonium sulfat), serta industri bubur kertas (pulp and
paper). Sumber ammonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein
dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang
berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah
mati) oleh mikroba jamur. Proses ini dikenal dengan istilah amonifikasi yang
ditunjukkan dalam persamaan reaksi (1)
N organik + O2
NH3-N + O2
Amonifikasi
NO2-N +O2
NO3-N
(1)
nitrifikasi
Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga
banyak mengeluarkan ammonia. Sumber ammonia yang lain adalah reduksi gas
nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri, dan
domestik. Ammonia yang terdapat dalam mineral masuk ke badan air melalui
erosi tanah. Di perairan alami, pada suhu dan tekanan normal, ammonia berada
dalam bentuk gas dan membentuk kesetimbangan dengan gas ammonium
ditunjukkan dalam persamaan reaksi (2),
NH3 + H2O
NH4 + + OH-
(2)
30
menyebakan sufokasi. Akan tetapi, ammonia bebas ini tidak dapat diukur secara
langsung.
Sumber nitrogen yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan
akuatik adalah nitrat (NO3), ammonia (NH4), dan gas nitrogen (N2). Pupuk yang
mengandung ammonium, misalnya urea, berfungsi untuk menambah pasokan
nitrogen di dalam tanah yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan.
Ammonia jarang ditemukan pada perairan yang mendapat cukup pasokan oksigen.
Sebaliknya, pada wilayah anoksik (tanpa oksigen) yang biasanya terdapat di dasar
perairan, kadar ammonia relatif tinggi.
Kadar ammonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran
bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (run-off)
pupuk pertanian. Kadar ammonia yang tinggi juga dapat ditemukan pada dasar
waduk yang mengalami kondisi tanpa oksigen (anoxic). Toksisitas akut ammonia
yang tidak terionisasi terhadap organisme akuatik sangat bervariasi, ditunjukkan
pada Tabel 3.8.
Tabel 3.8 Toksisitas Akut (LC50) 96 jam) Ammonia tak Terionisasi terhadap
Organisme Akuatik
Spesie
LC50 96 jam (mg/L)
1. Oligachaeta
1,9
Limnodrillus hoffmeisteri
2. Gastropoda
1,0
Lymanae stagnalis
3. Krustasea
a. Gammarus pulex
2,1
b. Asellus aquaticus
2,3
4. Epheroptera (myfly)
Baetis rhodani (nimpa)
1,7
5. Trichoptera (Caddisfly)
Hydropsyche angustipennis (Larva)
3,0
6. Chironimidae
Chironomus riparus (larva)
1,7
Sumber : Willians et al dalam Effendi, 2003
31
Kadar ammonia pada perairan alami biasanya kurang daro 0,1 mg/L
(McNeely et al., 1979 dalam Effendi, 2003). Kadar ammonia bebas yang tidak
terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaliknya tidak lebih dari 0,02 mg/L,
perairan bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer dan McCarty, 1978
dalam Effendi, 2003).
3.9.2
Nitrit
Nitrit di perairan biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit
daripada nitrat, karena nitrit bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit
merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara
nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi) (Effendi, 2003).
Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Kadar
nitrit pada perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Perairan
alami mngandung nitrit sekitar 0,001 mg/liter dan tidak melebihi 0,06 mg/liter
(Canadian Council of Resources and Environment Ministers, 1987 dalam Effendi,
2003). Kadar nitrit di perairan jarang melebihi 1 mg/liter (Sawyer and McCarty.
1978). Kadar nitrit yang lebih dari 0,05 mg/liter dapat bersifat toksik bagi
organisme perairan yang sangat sensitif (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003).
Untuk keperluan air minum, WHO merekomendasikan kadar nitrit sebaiknya
tidak melebihi 1 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Bagi manusia dan
hewan, nitrit bersifat lebih toksik dari pada nitrat.
3.9.3
Nitrat
Nitrat (NO3)adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan
nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah
larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi
sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses
oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam
siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob (Effendi, 2003). Oksidasi
ammonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi
32
nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Oksidasi nitrit menjadi
ammonia ditunjukkan pada persamaan reaksi (3), sedangkan oksidasi nitrit
menjadi nitrat ditunjukkan pada persamaan reaksi (4)
Nitrosomonas
2NH3 + 3O2
(3)
Nitrobacter
2NO2- + O2
2NO3-
(4)
33
memiliki kadar nitrat antara 1-5 mg/L, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat
yang berkisar antara 5-50 mg/L (Volenweider, 1969 dalam Effendi, 2003).
Menurut Goldman dan Horne (1983) penyebaran ammonia (NH3), nitrat
(NO3-N), nitrit (NO2-N), akan berbeda setiap kedalaman (Gambar 6).
34
(5)
35
H+ + H2PO4-
H2PO4-
H+ + HPO42-
HPO4-
H+ + PO43-
36
Lokasi
0,07-0,11
Keseluruhan waduk
0,107
0,015-0,061
Ubrug
Keseluruhan waduk
0-1,24
Pasir kole
0-0,69
0,103-1,004
0,047-0,065
0,029-0,084
0,072-0,111
0,042-0,058
Japung Ciganea
Keseluruhan waduk
Japung Tegal Malaka
Keseluruhan waduk
Inlet Sungai Citarum
Inlet Sungai Cilalawi
Sumber
Sub-Balitkanwar Jatiluhur
in Umaly et al. 1990
Sukimin dan Umaly, 1983
Nastiti, 1989
Krismono dan Purnomo,
1991
Tjahjo, 1993
Soraya, 1997
Soraya, 1997
Putri, 1997
Lukfiana, 1999
_
37
BAB IV
LOGAM BERAT
4.1 Merkuri (Hg)
Merkuri (Hg) adalah unsur renik pada kerak bumi, yakni hanya sekitar 0,08
mg/kg (Moore, 1991). Pada perairan alami, merkuri juga hanya ditemukan dalam
jumlah yang sangat kecil. Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berada
dalam bentuk cairan pada suhu normal. Merkuri terserap dalam bahan-bahan
partikulat dan mengalami presipitasi. Pada dasar perairan anaerobik, merkuri
berkaitan dengan sulful.
Sumber alami merkuri yang paling umum adalah cinnabar (HgS) (Novotny
dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Selain itu, mineral sulfida , misalnya
sphelerite (ZnS), wurtzite (ZnS), Chalcopyrite (CuFeS), dan galena (PbS), juga
mengandung merkuri. Cinnabar sukar larut dalam air. Namun, pelapukan
bermacam-macam batuan dan erosi tanah dapat melepaskan merkuri ke dalam
lingkungan perairan (McNeely et al., 1979 dalam Effendi, 2003).
Kadar merkuri pada perairan tawar alami berkisar antara 10-100 mg/L,
sedangkan pada perairan laut berkisar antara <10-30 mg/L (Moore, 1991 dalam
Effendi, 2003). Senyawa merkuri bersifat toksik pada manusia dan hewan.
Senyawa merkuri bersifat toksik bagi ikan dan biota kuatik lainnya karena
dapat menyebabkan biomagnifikasi pada jaring makanan. Organisme yang berada
pada rantai yang paling tinggi memiliki kadar merkuri yang lebih tinggi daripada
organisme di bawahnya (Tabel 4.1)
Tabel 4.1 Biomagnifikasi Merkuri pada beberapa Organisme Anggota Jaring
Makanan pada Ekosistem Perairan
Jenis Organisme
Kadar Merkuri (g/kg berat basah)
38
1. Sedimen
2. Fitoplankton
3. Tumbuhan tingkat tinggi
4. Zooplankton
5. Zoobentos herbivore
6. Zoobentos karnivora
7. Jenis ikan herbivore
8. Jenis ikan karnivora
9. Bebek/itik
10. burung pemakan ikan
Sumber : Sarkk et al., 1978 dalam Effendi, 2003
87-114
15
9
13
77
83
332-500
604-1.510
240
2.512-13.685
39
Kelarutan timbal pada perairan lunak (soft water) adalah sekitar 0,5 mg/L,
sedangkan pada perairan sadah (hard water) sekitar 0,003 mg/L. Canadian
Council of Resource and Environment Ministers (1987) mengemukakan hubungan
antara kadar timbal dengan nilai kesadahan di perairan yang ditunjukkan pada
Tabel 4.2
40
makhluk hidup lain. Di dalam air, Cd terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit
(renik) dan bersifat tidak larut dalam air. Kadar kadmium pada kerak bumi sekitar
0,2 mg/kg (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Sumber alami cadmium adalah
greenockite (Cds), hawleyite, sphalerite, dan otavite (Moore, 1991 dalam Effendi,
2003).
Kadar kadmium pada perairan tawar alami sekitar 0,0001-0,01 mg/L,
sedangkan pada perairan laut sekitar 0,0001 mg/L (McNeely et al., 1979 dalam
Effndi 2003). Menurut WHO, kadar kadmium maksimum pada air yang
diperuntukkan bagi air minum adalah 0,005 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi,
2003). Pada perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perairan dan
peternakan, kadar kadmium sebaiknya tidak melebihi 0,05 mg/L. Untuk
melindungi kehidupan pada ekosistem akuatik, perairan sebaiknya memiliki kadar
kadmium sekitar 0,0002 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003).
Kadmium bersifat kumulatif dan sangat toksik bagi manusia karena dapat
mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan paru-paru, meningkatkan tekanan
darah, dan mengakibatkan kemandulan pada pria dewasa. Kasus keracunan
kadmium yang cukup terkenal adalah timbulnya penyakit Itai-itai di Jepang,
ditandai dengan rasa sakit pada tulang dan terjadi pengeroposan tulang. Kadmium
juga bersifat sangat toksik dan bioakumulasi terhadap organisme (Effendi, 2003).
Toksisitas kadmium dipengaruhi oleh pH dan kesadahan. Selain itu,
keberadaan zinc dan timbal dapat mempengaruhi toksisitas kadmium. Canadian
Cauncil of Resources and Environment Ministers (1987) melaporkan hubungan
antara kadar kadmium dan nilai kesadahan yang ditunjukkan pada tabel 4.3
(Effendi, 2003).
Tabel 4.3 Kadar Kadmium pada beberapa Nilai Kesadahan
Kesadahan (mg/L CaCO3)
Kadar Kadmium (g/liter)
0-60 (lunak/soft)
0,2
60-120 (sedang/medium)
0,8
120-180 (sadah/ hard)
1,3
>180 (sangat sadah/ very hard)
1,8
Sumber : Effendi, 2003
4.4 Seng (Zn)
41
Seng (zinc) termasuk unsur yang terdapat dalam jumlah berlimpah di alam.
Kadar seng pada kerak bumi sekitar 70 mg/kg (Moore, 1991 dalam Effendi,
2003). Kelarutan unsur seng dan oksida seng dalam air relatif rendah. Seng yang
berakitan dengan klorida dan sulfat mudah terlarut, shingga kadar seng dalam air
dipengaruhi bentuk senyawanya. Ion seng mudah terserap ke dalam sedimen dan
tanah. Silika terlarut dapat meningkatkan kadar seng, karena silika mengikat seng.
Jika perairan bersifat asam, kelarutan seng meningkat. Kadar seng pada perairan
alami <0,05 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003); pada perairan asam
mencapai 50 mg/L; dan pada perairan laut 0,01 mg/L (McNeely et al., 1979 dalam
Effendi, 2003).
Seng termasuk unsur yang esensial bagi makhluk hidup, yakni berfungsi
untuk membantu kerja enzim. Seng juga diperlukan dalam proses fotosintesis
sebagai agen bagi transfer oksigen dan berperan dalam pembentukan protein.
Davis dan Cornwell (1991) dalam Effendi (2003) mengemukakan bahwa seng
tidak bersifat toksik bagi manusia, akan tetapi pada kadar yang tinggi dapat
menimbulkan rasa pada air.
Kadar seng pada air sebaiknya tidak lebih dari 5 mg/L (McNeely et al., 1979
dalam Effendi, 2003). Toksisitas seng menurun dengan meningkatnya kesadahan,
dan meningkat dengan meningkatnya suhu dan menurunnya kadar oksigen
terlarut. Kadar seng di perairan pada beberapa nilai kesadahan ditunjukkan dalam
Tabel 4.4 (Taylor dan Demayo, 1980 pada Effendi, 2003).
Tabel 4.4. Kadar Seng pada beberapa Nilai Kesadahan
Kesadahan (mg/L CaCO3)
Kadar Seng (mg/L)
0-120
0,05
120-180
0,10
180-300
0,20
>300
0,30
Sumber : Effendi, 2003
Bersama-sama dengan K, Mg, dan Cd, seng bersifat aditif, toksisitasnya
merupakan penjumlahan dari masing-masing logam. (Moore, 1991 dalam Effendi,
2003). Toksisitas seng dan tembaga bersifat sinergetik, yaitu mengalami
42
43
BAB V
PARAMETER BIOLOGI PERAIRAN
5.1 Fitoplankton
Fitoplankton adalah makhluk renik yang melayang di permukaan air
(Yatim,2003). Menurut Nontji (2006), fitoplankton merupakan tumbuhan yang
seringkali ditemukan di seluruh massa air pada zona eufotik, berukuran
mikrokopis dan memiliki klorofil sehingga mampu membentuk zat organik dari
zat anorganik melalui fotosintesis.
Fitoplankton sebagai organisme autotrof menghasilkan oksigen yang akan
dimanfaatkan oleh organisme lain, sehingga fitoplankton mempunyai peranan
penting dalam menunjang produktifitas perairan. Keberadaan fitoplankton
dapatdilihat berdasarkan kelimpahannya di perairan, yang dipengaruhi oleh
parameter lingkungan (Lukman dkk, 2006).
Selain sebagai produsen primer, Fitoplankton juga sebagai penghasil
oksigen terlarut di perairan bagi organisme lain (Kamali, 2004). Menurut Sachlan
(1982), fitoplankton termasuk kelompok alga yang terbagi ke dalam 7 divisio,
yaitu :
1. Cyanophyta (alga biru) yang berada di air tawar dan air laut,
2. Chlorophyta (alga hijau) yang berada banyak di air tawar dan sedikit di
3.
4.
5.
6.
7.
air laut,
Chrysophyta (alga kuning) yang berada di air tawar dan air laut
Pyiiophyta (Plankton) yang berada di air tawar dan air laut,
Euglenophyta yang berada di air tawar dan air payau,
Phaeophyta (alga coklat) yang hanya hidup sebagai rumput laut, dan
Rhodophyta (alga merah) yang hanya hidup sebagai rumput laut.
44
45
46
Produktivitas
Komposisi jenis
Ukuran (Net plankton, nano plankton)
47
Struktur komunitas adalah susunan individu dari beberapa jenis atau spesies
yang terorganisir membentuk komunitas. Struktur komunitas dapat dipelajari
dengan mengetahui satu atau dua aspek khusus tentang organik komunitas yang
bersangkutan seperti keanekaragaman, zonasi dan kelimpahan (Brower dan Zar,
1990). Krebs (1972), mengemukakan bahwa struktur komunitas mempunyai 5
karakteristik, yaitu keanekaragaman jenis, bentuk pertumbuhan dan struktur,
dominansi, kelimpahan relatif dan struktur trofik.
Pada suatu perairan sering didapatkan adanya jumlah individu fitoplankton
yang berlimpah pada suatu stasiun, sedangkan stasiun lainnya di perairan yang
sama jumlah tersebut sangat sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi
horizontal fitoplankton disuatu perairan tidak merata. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kelimpahan fitoplankton dalam suatu perairan adalah angin, arus,
kandungan nutrien, predator, cahaya, suhu, kecerahan, alkalinitas, kekeruhan, pH,
gas-gas terlarut, kompetitor, bentuk pinggiran garis pantai, air yang masuk ke
dalam perairan dan pengaruh tidak langsung dari migrasi diurnal fitoplankton itu
sendiri (Ruttner, 1965; Wetzel, 1975).
Menurut Raymont (1963) hubungan antara komunitas fitoplankton dengan
perairan adalah positif. Bila kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi,
maka dapat juga diduga perairan tersebut memiliki produktivitas perairan yang
tinggi pula. Perairan yang bersifat oligotrofik mempunyai kelimpahan
fitoplankton antara 0-2000 ind/l, perairan yang bersifat mesotrofik mempunyai
kelimpahan fitoplankton sebesar 2000-15000 ind/l, sedangkan perairan yang
bersifat eutrofik mempunyai kelimpahan fitoplankton lebih besar dari 15000 ind/l
(Landner, 1976).
Keanekaragaman spesies dapat dikatakan sebagai keheterogenan spesies dan
mempunyai ciri khas struktur komunitas yang erat kaitannya dengan kondisi
lingkungan diman biota itu hidup, Clark (1974) mengemukakan bahwa
keanekaragaman menunjukkan keberadaan suatu spesies dalam suatu ekosistem.
Tingginya keanekaragaman menunjukkan suatu ekositem yang seimbang dan
memberikan peranan yang besar untuk menjaga keseimbangan terhadap kejadian
yang merusak ekosistem. Menurut Krebs (1972) ada dua komponen dari
48
49
50
51
52
53
persamaan yang dikemukakan oleh Shannon dan Wienner yang dikenal dengan
indeks Shannon-Wiener (Odum, 1971).
Indeks keseragaman dapat dikatakan sebagai keseimbangan komposisi
setiap spesies dalam suatu komunitas (Odum, 1971). Nilai indeks keseragaman
berkisar antara 0-1. Apabila nilai indeks mendekati 0 (nol) artinya dalam
ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadi dominansi oleh spesies tertentu
yang disebabkan oleh adanya ketidakstabilan faktor-faktor lingkungan dan
populasi. Namun sebaliknya, apabila indeks keseragaman mendekati 1 maka
ekosistem berada dalam keadaan mantap (Odum,1971).
Nilai indeks dominansi berkisar antara 0-1. Jika indeks dominansi
mendekati 0 berarti tidak ada individu yang mendominasi dan biasanya diikuti
dengan nilai indeks keseragaman yang besar. Jika indeks dominansi mendekati 1
maka ada salah satu spesies yang dominan dan nilai indeks keseragaman akan
semakin kecil (Odum, 1971).
BAB VI
MIKROORGANISME INDIKATOR KUALITAS AIR
54
Tahap kedua :
Nitrobacter sp
-
55
56
57
energi untuk mengoksidasi amonia atau nitrit menjadi nitrat. Kebutuhan sumber
karbon diambil melalui proses fiksasi CO2 (Holt et al., 1994).
Spesies bakteri pengoksidasi amonia terdistribusi mulai dari tanah,laut,
danau, sungai dan sistem pembuangan limbah. Karakteristik bakteri pengoksidasi
amonia dapat di lihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1 Karakteristik Genus Bakteri Pengoksidasi Amonia (Holt et al., 1994)
Bakteri Pengoksidasi Amonia
Karakteristik
Nitrosococcu
Nitrosolabus
Nitrosomona
s
Nitrosospira
Sperik
Bentuk Sel (m)
Susunan
membran
intrasitoplasmik
Nitrosovibrio
Batang
sampai
Pleomorfik
Batang
Spiral koil
bengkok
elipsoidal
1, 5-1,8 x
1,0-1,5 x
0,7-1,5 x
0,3-0,8 x
tipis
0,3 -0,4x
1,0-2,5
1,0-2,4
1,0-8,0
1,1-3,0
1,0 -2,5
Memiliki
seikat
flagela
Periferal
Polar sampai
Peritrikus
atau vesikel
berbuku di
bagian
subpolar
Polar sampai
Peritrikus
subpolar
Invaginasi
Invaginasi
Vesikel
Kompartemen
periveral
rata
tengah
58
Tabel 6.2 Karakteristik Genus Bakteri Pengoksidasi Nitrit (Holt et al., 1994)
Bakteri Pengoksidasi Nitrit
Nitrobacter
Nitrococcus
Nitrospina
Nitrospira
Karakteristik
Bentuk sel
Batang
pleomorfik
0,5-0,8 x 1,0-2,0
Pelekatan flagel
Polar sampai
lateral
intrasitoplasmik
Kemampuan
menggunakan
substansi organik
Vesikel tipis
Pertumbuhan
heterotrof
Batang lurus
tipis
bebas
1,5
0,3-0,4 x 1,7-6,6
0,3-0,4 x 0,8-1,0
polar
Tidak diketahui
Tidak diketahui
Tiadak ada
Invaginas
Sferik
Tubulus
tersusun acak
Tidak ada
Tidak ada
Pertumbuhan
miksotrofik
59
B. Denitrifikasi
Denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat adan nitrit menjadi gas nitrogen
(N2), nitrogen oksida (NO) dan nitrous oksida (N2O), di mana nitrat digunakan
sebagai terminal hidrogen pada saat potensial oksigen rendah. Denitrifikasi adalah
langkah terakhir dari penyisihan nitrogen secara biologis dan dilakukan oleh
bermacam-macam bakteri heterotrof-fakultatif yang dapat dilakukan dalam
kondisi anoksik dimana nitrat menggantikan oksigen sbagai akseptor elektron
terakhir. Nitrat dan nitrit berperan sebagai akseptor elektron dalam respirasi rantai
elektron transpor dengan cara yang sama seperti oksigen. Rantai transpor ini
menjadi mekanisme dasar dimana sel menghasilkan energi. Prosesnya meliputi
transfer elektron dari donor elektron tereduksi (substrat anorganik) kepada
akseptor elektron teroksidasi (oksigen, nitrat, nitrit, atau sulfat). Nitrat dan nitrit
ini dapat menggantikan oksigen di dalam rantai ini dengan hanya memodivikasi
kecil terhadap sistem metabolik (enzim) bakteri (EPA, 1993).
Senyawa nitrat dalam sistem perairan tambak udang banyak dimanfaatkan
oleh kelompok mikroorganisme yang bersifat heterotrofik untuk membentuk
bahan organik sel. Kelompok tersebut dapat melakukan asimilasi nitrat dengan
bantuan enzim nitrat dan nitrit reduktase pada kondisi aerobik. Sedangkan pada
kondisi anaerobik ion nitrit atau nitrat akan digunakan sebagai penerima elektron
terakhir pada respirasi nitrat atau disimilasi nitrat (Madigan, et al.,
1991).Beberapa jenis bakteri yang dapat melakukan proses tersebut yang bersifat
anaerobik fakultatif antara lain Pseudomonas, Alcaligenes, Escherichia,
Aeromonas, Bacillus, Flavobacterium, Nocardia, Spirillum, Vibrio,
Chromobacterium, Achromobacter, Agrobacterium, dan Staphylococcus. Produk
akhirnya berupa nitrit atau amonia.
Bakteri denitrifikasi akan mereduksi senyawa nitrat menjadi nitrit, nitrit
oksida (NO), nitrous oksida (N2O), dan dinitrogen (N2), dengan bantuan sistem
enzim nitrat dan nitrit reduktase. Masing-masing enzim mempunyai sensitivitas
terhadap oksigen yang berbeda. Beberapa bakteri denitrifikasi antara lain
Puracoccus denitrificaans, Thiobacillus denitrificans, dan Pseudomonas sp.(Atlas
dan Bartha, 1998). Pada kondisi yang sesuai, beberapa genus dapat mereduksi
nitrit menjadi amonia melalui proses reduksi nitrat desimilasi, prosesnya berjalan
60
pada saat kandungan nitrit yang tinggi. Selain itu juga terdapat bakteri fermentatif
yang dapat memanfaatkan nitrat sebagai penerima elektron terakhir pada kondisi
anaerobik, antara lain Aeromonas, Bacillus, Klebsiella, dan Vibrio.
Menurut Richardson dan Watmough (1999), enzim-enzim yang berperan
dalam aktivitas denitrifikasi adalah nitrat reduktase/NAR dan NAP (mengubah
nitrat menjadi nitrit), nitrit reduktase/NIR (mengubah nitrit menjadi nitrit oksida),
nitrit oksidareduktase/NOS (mengubah nitrous oksida menjadi gas nitrogen).
Salah satu produk gas pada prose denitrifikasi adalah gas N2O (nitrous
oksida). Gas tersebut berpengaruh negatif terhadap lingkungan, yaitu sebagai
salah satu penyebab terjadinya efek rumah kaca (pemanasan global). Secara
alamiah gas tersebut diemisikan dari ekosistem perairan sungai, estuarin, dan
daratan. Perairan sungai memberikan sumbangan sebesar 55% estuarin 11% dan
daratan sebesar 33%. Laju denitrifikasi akan meningkat dengan meningkatnya
kandungan nitrat pada sedimen (Widiyanto, 2005).
Pada proses denitrifikasi dibutuhkan komponen organik sebagai sumber
karbon, selain itu juga dibutuhkan ion sulfat, fosfat, klorida, natrium, kalium,
magnesium, kalsium dan beberapa unsur mikro lainnya untuk membantu aktivitas
enzim. Proses denitrifikasi air limbah sangat efektif bekerja pada pH 7,0-8,5 dan
denitrifikasi juga dapat meningkatkan nilai alkalinitas dan pH (Jenie dan Rahayu,
1993).
Selama denitrifikasi, ion bikarbonat (HCO3) diproduksi dan konsentrasi
asam karbonat (CO2) direduksi. Secara teori stoikiometri produksi alkalinitas
sebesar 3,57 mg alkalinitas sebagai CaCO3 untuk setiap 1 mg nitrat yang direduksi
menjadi gas nitrogen. Sehingga proses denitrifikasi memiliki kecenderungan
secara parsial berlawanan dengan efek nitrifikasi dan meningkatkan pH dari reaksi
biologis (Widiyanto, 2005).
6.2 Bakteri Indikator Pencemaran Perairan
A. Mikroorganisme dalam air jernih
Dalam air yang dianggap jernih, misalnya berasal dari sumur biasa, sumur
pompa, sumber mata air dan sumber air lainnya, bisa terdapat mikroorganisme
misalnya :
61
62
virus atau kista protozoa. Beberapa anggota dari kelompok tersebut (contohnya,
Klebsiella) kadang-kadang tumbuh di bawah kondisi lingkungan dalam limbah
industri dan pertanian. Dalam efisiensi pelaksanaan sistem pengolahan air
buangan, total coliform merupakan salah satu indikator terbaik. Kelompok ini
juga sering digunakan untuk menaksir keamanan air-limbah yang dimanfaatkan
kembali (direklamasi) pada the Windhhoek reclamation plant di Namibia
(Grabow, 1990 dalam Bitton, 1994).
2. Coliform Fekal
Coliform fekal termasuk semua coliform yang dapat memfermentasi laktosa
pada suhu 44,5oC. Kelompok coliform fekal terdiri dari bakteri seperti, E. Coli
dan Klebsiella pneumoniae. Adanya coliform fekal menunjukkan adanya materi
fekal terdiri dari hewan berdarah panas. Bagaimanapun, tidak dapat dibedakan
kontaminasi disebabkan oleh hewan atau oleh manusia. Beberapa saran
menganjurkan menggunakan E. Coli sebagai indikator polusi fekal, karena bakteri
tersebut dapat dengan mudah dibadakan dari anggota kelompok coliform fekal
(contohnya, terdapat urease dan terdapat
63
64
65
66
1. Mikrorganisme Patogen
Pencemaran materi fekal dapat memasukkan berbagai patogen ke dalam
jalur-air, termasuk bakteri, virus, protozoa dan cacing parasit. Penyakit air
buangan limbah tetap merupakan buangan berbahaya utama pada beberapa
bagian dunia. Cairncross dan Feacham (1983) dalam Bitton, 1994), mengamati
empat kelas penyakit yang berhubungan dengan air, yaitu :
Kelas 1, penyakit air-limbah, ditularkan melalui air minum yang
mengandung organisme patogenik, biasanya disebabkan kontaminasi fekal.
Contohnya termasuk kolera, tifoid dan hepatitis A.
Kelas 2, penyakit infeksi tak-langsung yang berhubungan dengan cara hidup
sehat seseorang (contoh, mencuci tangan), penyakit dapat dikurangi dengan
penyediaan air yang cukup untuk mandi dan mencuci. Untuk mengendalikan
penyakit ini, tersedianya air berkualitas merupakan alasan penting; pertimbangan
kedua adalah pencapaian suatu kualitas bakteriologik tinggi (Ellis, 1989).
Penyakit kelas kedua tersebut, adalah beberapa infeksi mata (contoh, trachoma)
dan kulit (contoh, cacing gelang) dan penyakit yang dibawa oleh kutu dan tungau.
Kelas 3, merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing (cacing pita
parasit) yang mengalami sebagian siklus hidupnya air.
Kelas 4, merupakan penyakit yang membutuhkan suatu vektor insekta yang
berhubungan dengan air (contoh, demam kuning, malaria, river-blindness,
filariasis, penyakit ini dianggap tidak berhubungan dengan air yang ber[polutan).
Tabel 6.3 Beberapa Penyakit yang berhubungan dengan Air dan Mikroorganisme
Penyebabnya.
Penyakit atau gejala
Organisme penyebab
Sumber Utama
Salmonella typhi
S. paratyphi
Salmonella spp
Shigella spp
Vibrio cholerae
Demam tifoid
Demam paratifoid
Gastroenteritis
Disentri bakterial
Kolera
Gastroenteritis
Feses manusia
Feses manusia
Feses manusia
Feses manusia
Feses manusia
Feses manusia
67
E.coli enteropatogenik
Leptospira icterohaemorrhagiae
Campylobacter jejuni
Mycobacterium tuberculosis
Penyakit weils
(leptopirosis)
hewan
Feses manusia dan
Gastroenteritis
Tuberkulosis
Gastroenteritis
Yersinia enetricolitica
Legionella pneumophila
hewan
Eksudat respirasi
manusia
Feses manusia dan
hewan
Aerosol dari menara
Penyakit legionnares
(sakit pernafasan akut),
pendingin,
gastrointestinal,
sistem saraf.
distribusi air di
kondensor evaporasi,
rumah sakit
Patogen oportunistik
(Pseudomonas, Aeromonas, Klebsiella,
Flavobacterium, Enterobacter,
2.
Mikroorganisme Pencemar
Materi fekal yang masuk ke dalam badan air, selain membawa bakteri
patogen juga akan membawa bakteri pencemar yang merupakan flora normal
68
Mikroorganisme Pengguna
Seperti sudah dijelaskan di atas, air limbah dapat mengandung berbagai
senyawa yang dapat digunakan sebagai substrat sebagai sumber energi dan untuk
pertumbuhan berbagai mikroorganisme. Sebagai pengguna senyawa,
mikroorganisme dapat menggunakan sumber nutrisi yang terdapat di dalam air,
seperti sumber nitrogen, fosfor, sulfur, dan sebagainya. Sebagai contoh, berbagai
mikroorganisme, serta proses dan senyawa yang terlibat dalam siklus nitrogen
dapat dilihat dalam Tabel 6.4.
Tabel 6.4 Jenis Mikroorganisme, Proses dan Senyawa yang Terlibat dalam Siklus
Nitrogen
Proses dan Jenis Mikroorganisme
Mikroorganisme penambat nitrogen
Senyawa
d.
e.
nonsimbiotik :
f. - Nitrogen
a. Azotobacter agilis, A. Chroococcum, g.
h. - Nitrogen
A. Vinelandii
i. - Nitrogen
b. Clostrium, Klebsiella
c. Anabaena, Nostoc (cynobacteria)
Mikroorganisme penambat nitrogen
simbiotik :
j. Rhizobium-leguminosa
k. Azospirillum-akar jagung-rumput
tropik
l. Anabaena flos-aquae-Azolla (jarang)
Mineralisasi (Amonifikasi) Nitrogen
q. Bakteri, actynomycetes, fungi
m. - Nitrogen
n. - Nitrogen
o.
p. - Nitrogen
- Protein
asaamino
NH3 + CO2-
1. 2NH4+ + H2O
2NH2OH +
Nitrifikasi :
1. Nitrosomonas europaea, N.
Oligocarbogenes
2H+
69
2. NH4+ + 1,5 O2
NO- + 2H+
+ H2O + 275 kJ
Denitrifikasi :
Pseudomonas aeruginosa, Ps. Fluorescens,
70
berupa allochtonous berasal dari sumber titik di drainase basin, non point sources
dan land usage (Ryding dan Rast, 1989). Selanjutnya Vollenweider (1968) dan
Ahl (1973) dalam Landner (1976) menyatakan sumber eksternal dapat berupa run
off permukaan, agricultural and forest drainage, atmosfir, urban run off, buangan
domestik dan buangan dari limbah industri. Di waduk Ir.H. Juanda allochtonous
tergantung dari aktivitas di daerah aliran sungai serta run off daerah-daerah
sekitarnya. Dari inlet Cilalawi, masukan ke waduk berasal dari aktivitas pertanian
di sekitarnya. Disamping itu waduk juga menerima limbah budidaya KJA dari
Waduk Saguling dan Waduk Cirata yang sangat besar.
7.2 Beban Masukkan Internal
Beban masukkan internal adalah bahan organik yang dihasilkan oleh
sirkulasi nutrien di perairan (waduk). Regenerasi nutrien dari biota yakni ekskresi
alga, zooplankton, dan ikan secara langsung ke lapisan trofogenik adalah suplai
nutrien yang penting untuk fitoplankton, juga dekomposisi bahan organik oleh
bakteri di kolom air (Silvey dan Roach, 1964 dalam Landner, 1976). Selanjutnya
Liaw (1993) menyatakan percampuran pada kolom air selain menyebabkan
pertukaran oksigen hipolimnetik juga pertukaran nutrien dari permukaan air.
Nutrien inorganik oleh ekskresi atau pembusukan detrital di bawah lapisan mixed
di difusi dengan laju yang lambat ke atas melewati termoklin. Pada akhir periode
stratifikasi musim panas ditemukan konsentrasi nutrien yang sangat tinggi di
hipolimnion dan sangat rendah di epilimnion. Hilangnya lapisan termoklin dan
pencampuran epilimnetik dengan hipolimnetik mencampur nutrien permukaan
sehingga memberi beban nutrien pada badan air (Liaw, 1993).
Reduksi karena gas-gas lain juga menjadi beban di perairan. Gas dapat
dilepas dari lautan dengan bubling gas lain melalui air. Hal ini disebabkan
kenyataan bahwa gas akan meninggalkan larutan dan melintasi ruang sampai laju
emisi dan kembali menjadi sama. Bubbles naik ke permukaan dan meledak, tidak
sempat kembali kebentuk larutan, karena dilepas ke atmosfir. Di alam,
dekomposisi gas-gas (karbondioksida, methane, dan lain-lain) terakumulasi di
dasar danau, yang dalam jumlah berlebihan naik melalui air dalam bentuk
71
bubbles. Naiknya gas-gas ini dari deposit dasar merupakan proses kontinu, siang
dan malam, dan secara kontinu juga membutuhkan oksigen terlarut (Welch, 1952).
Pelepasan oksigen terlarut dari epilimnion karena suhu tinggi pada musim
panas. Air danau dengan kondisi konsentrasi oksigen maksimum dalam jangka
pendek selama spring over turn, selanjutnya pemanasan permukaan air
mengurangi jumlah kandungan oksigen terlarut di air.
7.3 Penguraian Bahan Organik
Wetzel dan Likens (1991) menyatakan bahan organik di ekosistem perairan
berada dalam bentuk senyawa organik terlarut sampai bahan organik partikulat
(POM) dalam agregat besar, serta dari organisme hidup yang mati. Mayoritas
bahan organik baik terlarut atau partikulat adalah detritus. Metabolisme bahan
organik dan interaksi materi ini secara kimia dan biologis sangat ditentukan oleh
ukuran bahan organik tersebut. Hanya sedikit bahan organik terlarut yang secara
langsung digunakan oleh organisme akuatik, sedangkan bentuk partikulat adalah
sumber makanan yang utama.
Dekomposisi bahan organik terlarut menghasilkan produk akhir berupa gas,
bahan organik partikulat yang harus dikonversi secara enzimatik oleh mikroflora
tertentu. Dekomposisi yang sempurna menghasilkan konversi produk organik dari
fotosintesis menjadi senyawa inorganik (umumnya dioksida) sebagai reaktan
fotosintesis. Siklus biogeokimia mempengaruhi laju dekomposisi C, N, P, S dan
oksigen; meskipun ini penting untuk menyatakan bahwa semua senyawa minor
dari biomassa (kation, trace metal dan lain-lain) juga dilepas. Jika tanaman atau
hewan tua, lalu mati, baik bahan organik terlarut (DOM) dan partikulat (POM)
tersedia untuk degradasi. Rembesan DOM dari sel mati dan autolysis jaringan
meningkat selama penuaan dan mencapai maksimum setelah kematian. Detrital
DOM tersedia sebagai sumber energi untuk mikroflora di sedimen dan air
berdampingan dengan partikulat detritus. Laju degradasi tergantung pada
kapabilitas enzimatik mikroflora dan kondisi lingkungan. Beberapa senyawa
DOM lebih stabil dari yang lain tetapi suhu yang beih tinggi dan ketersediaan
oksigen terlarut akan mengurangi retensi terhadap oksidasi/refraktility (Wetzel
dan Likens, 1991).
72
CH4 + CO2
NH4+ + HCO3-
73
74
bobot molekul rendah, dan (2) pemecahan non hidrolitik dari molekul organik
yang kecil, umumnya disertai konsumsi oksigen. Seterusnya proses terakhir
(mineralisasi) molekul organik di lingkungan akuatik dikonversi menjadi senyawa
inorganik yang digunakan sebagai nutrien tanaman.
Dekomposisi bahan organik (mineralisasi) terjadi dengan cepat pada kondisi
oksik. Laju suplai oksigen ke sedimen adalah faktor kritis dan dipengaruhi oleh
ukuran partikel yang tersedimentasi. Ukuran pori butiran halus dari silt dan clay
mengurangi dengan cepat sirkulasi air dalam sedimen dengan bertambahnya
kedalaman, dan akhirnya, oksigen masuk ke air pore dengan difusi. Jumlah bahan
organik di sedimen mempengaruhi keseimbangan antara laju kosnsumsi oksigen
selama degradasi aerobik dan laju difusi oksigen ke dalam sedimentasiair pore
dari kolom air overlying. Oksigenasi terbatas hanya sampai beberapa mm bagian
atas sedimen butiran halus, meskipun penetrasi oksigen dapat lebih jauh beberapa
cm akibat bioturbasi (Revsbech et al., 1980 dalam Killops dan Killops, 1993).
Gunnison et al., (1985) menyatakan pada dekomposisi aerobik,
mikroorganisme aerobik, mengkonversi bahan organik yang tersedia menjadi
komponen inorganik, karbondioksida, nitrat, sulfat, fosfat, dan mengurangi
oksigen di perairan. Pada kondisi tertentu aktivitas bakteri aerobik obligat
(Actinomycetes dan beberapa species Bacillus, Pseudomonas, Corynebacterium
dan Flavobacterium) sangat terbatas.
Jika konsentrasi oksigen turun dalam sedimen dan kondisi menjadi
disaerobik, bioturbasi terhenti. Di danau eutrofik anoksiti biasanya berkembang di
lapisan hipolimnion.
7.3.2 Dekomposisi Anaerobik
Revsbech et al. (1980) dalam Killops dan Killops (1993) mengatakan,
jumlah bahan organik di sedimen mmpengaruhi keseimbangan antara laju
konsumsi oksigen selama degradasi aerobik dan laju difusi oksigen ke dalam
sedimentasi air pore dari kolom air overlaying. Oksigen terbatas hanya sampai
beberapa mm bagian atas sedimen butiran halus, meskipun penetrasi oksigen
dapat lebih jauh beberapa cm akibat bioturbasi. Jika konsentrasi oksigen turun
dalam sedimen dan kondisi menjadi disaerobik, bioturasi terhenti.
75
76
Kondisi Anaerobik
C
CH4
N
NH3 + Amin
S
H2S
P
PO3
Dari Tabel 7.1 Terlihat bahwa hasil penguraian senyawa yang mengandung
karbon dalam kondisi anaerob adalah gas metana, dari senyawa yang mengandung
nitorgen adalah ammonia dan amin, dari senyawa yang mengandung sulfur
terbentuk gas H2S yang berbau busuk, dan dari senyawa yang mengandung fosfor
akan terbentuk komponen fosfor yang mempunyai bau yang menyengat seperti
bau anyir (Prihadi, 2005).
77
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, R., 2004. Kimia Lingkungan. ANDI. Yogyakarta
Adawiyah, R. 2011. Diversitas Fitoplankton di Danau Tasikardi terkait dengan
Kandungan Karbondioksida dan Nitrogen. Skripsi. Universitas Negeri
Islam Syarif Hidayatullah. Jakarta
Alaert, G & Sri, S. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya
Apridayanti Eka. 2008. Evaluasi Pengelolaan Lingkungan Perairan Waduk Lahor
Kabupaten Malang Jawa Timur. Skripsi. UNDIP. Semarang
Asmawi, S. 1986. Pemeliharaan Ikan Dalam Keramba. Gramedia. Jakarta
Barus, T. A. 2001. Pengantar Limnologi, studi tentang Ekosistem Sungai dan
Danau. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA USU. Medan.
Basmi, J. 1987. Fitoplankton sebagai Indikator Biologis Lingkungan Perairan.
Fakultas Perikanan IPB. Bogor
Boyd, C. E. 1981. Water Quality in Warm Water. Fish pond. Auburn University.
Alabama
Brotowidjoyo, M. D., D. Tribawono & E. Mulbyantoro. 1995. Pengantar
Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberti. Yogyakarta
Darmayati Yeti.,dkk. 2009. Dinamika Bakteri Indikator Pencemaran di Perairan
Estuari Cisadane. LIPI. Jakarta.
Effendi, H., 2000. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta. Ix + 258 hal
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta
78
Feliatra. 1999. Identifikasi Bakteri Patogen (Vibrio sp) di Perairan Nongsa Batam
Propinsi Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universtas Riau.
Riau.
Gamo. Y. S. 2002. Beban Limbah dari Keramba Jaring Apung (KJA) dan
Yutrofikasi di Perairan Citarum
Goldman, C. R & A. J. Horne. 1983. Limnologi. Mc Graw-Hill International Book
Company. New York
Jauzi, A., 2001. Struktur Komunitas Fitoplankton dan Kaitannya dengan Unsur
Nitrogen dan Fosfor di Perairan Situ Cikaret, Cibinong, Kabupaten
Bogor. Skripsi. IPB. Bogor
Lelono. A. J., 2001. Keberadaan Komunitas Fitoplankton di Lingkungan
Keramba Jaring Apung Perairan Sangari, Waduk Cirata, Jawa Barat.
Skripsi. IPB. Bogor
Madubun Usman. 2008. Produktivitas Primer Fitoplankton dan Kaitannya
dengan Unsur Hara dan Cahaya di Perairan Muara Jaya Teluk
Jakrta. Skripsi. IPB. Bogor
Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti. Jakarta
Pranato Sugiyo Hadi. 2007. Isolasi dan Seleksi Bakteri Nitrifikasi dan
Denitrifikasi sebagai Agen Bioremediasi pada Media Pemeliharaan
Udang Vaname. SKRIPSI. IPB. Bogor.
Priadi Bambang.2011. Isolasi Identifikasi Bakteri dari Perairan Tercemar untuk
menunjang upaya Bioremediasi Badan Air. Peneliti Bidang Teknik
Lingkungan SDA. Bandung.
Purnamawati. 2009. Tingkat Perombakan Bahan Organik Sedimen Waduk Cirata
pada Kondisi Anaerobik Skala Laboratorium. Skripsi. IPB. Bogor
Salam Apdus. 2010. Analisis Kualitas Air Situ Bungur Ciputat Berdasarkan
Indeks Keanekaragaman Fitoplankton. Universitas Negeri Islam
Syarif Hidayatullah. Jakarta
Simarmata, A. H. 2007. Kajian Keterkaitan antara Kemantapan Cadangan
Oksigen dengan Beban Masukan Bahan Organik di Waduk Ir. H.
Juanda. Skripsi. IPB. Bogor
79