Anda di halaman 1dari 79

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kriteria penentuan kualitas air terus mengalami perkembangan. Sebelum
abad ke 20, penentuan kriteria kualitas air hanya berdasarkan pada hasil analisis
fisika-kimia air. Pada awal abad ke-20 para ahli mulai melakukan penelitian dan
studi tentang biota perairan, baik mengenai individu maupun struktur komunitas
(Basmi, 2000). Pengukuran secara kualitatif maupun kuantitatif atas biota yang
menghuni suatu perairan dapat menjelaskan kondisi kualitas air perairan tersebut.
Hal ini karena faktor fisika-kimia air berpengaruh langsung terhadap kehidupan
biota yang ada di dalamnya.
Salah satu jenis biota yang sering digunakan untuk keperluan analisis
kualitas air adalah plankton, yang terdiri dari dua kelompok, yaitu fitoplankton
dan zooplankton. Fitoplankton merupakan microalgae yang hidup bebas di kolom
air (free living algae) dan berfungsi sebagai sumber oksigen terlarut, pakan alami,
serta shading. Fitoplankton merupakan produsen primer di perairan karena
kemampuannya melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan bahan organik
dan oksigen (Ghosal at al., 2000). Pemanfaatan plankton sebagai indikator
kualitas air telah mengalami perkembangan yang pesat, baik dari metode
pengambilan sampling maupun analisis data. Karena hidup di kolom air, plankton
hanya dapat menggambarkan kondisi kualitas air di zona tersebut yang merupakan
habitat ikan pada umumnya. Perubahan terhadap kualitas perairan dapat ditinjau
dari kelimpahan dan komposisi fitoplankton. Keberadaan fitoplankton di suatu
perairan dapat memberikan informasi mengenai keadaan perairan. Fitoplankton
merupakan parameter biologi yang dapat dijadikan indikator untuk mengevaluasi
kualitas dan tingkat kesuburan suatu perairan (bioindikator).
Kesuburan perairan untuk kegiatan perikanan dapat dapat diketahui melalui
keragaman organisme plankton yang dipengaruhi oleh kondisi fisik dan kimia
perairan seperti sinar matahari, suhu, pH, oksigen terlarut dan unsur hara lainnya.
Strom (1982) dalam Basmi (1991) mengemukakan bahwa, dengan mengetahui
jumlah nitrogen dan fosfor, maka dengan mudah menentukan tipe dari kesuburan
suatu perairan, mengingat bahan-bahan tersebut sangat penting bagi

perkembangan dan pertumbuhan fitoplankton, maka hubungan antara kesuburan


perairan dengan kondisi komunitas fitoplankton sangat erat (Welch, 1952 dalam
Basmi,1991).
1.2 Tujuan
Tujuan yang ingin di capai penulis dalam pembuatan paper ini adalah :
1. Mengetahui parameter fisika, kimia dan biologi kualitas perairan
2. Mengetahui mikroorganisme indikator kualitas air
3. Mengetahui jenis, beban dan penguraian bahan organik
1.3 Batasan Masalah
Pada Paper ini penulis membatasi pada :
1. Kualitas air meliputi, parameter fisika perairan meliputi : suhu,dan kecerahan,
TSS (total suspended solid). Parameter kimia perairan meliputi : derajat
keasaman (pH), oksigen terlarut (DO), biochemical oxygen demand (BOD),
chemycal oxygen demand (COD), karbondioksida (CO2), alkalinitas,
kesadahan, bahan organik total (TOM), unsur hara nitrogen serta unsur hara
fosfat. Logam berat meliputi : merkuri (Hg), timbal (Pb), kadmium (Cd), seng
(Zn), serta tembaga (Cu). Parameter biologi perairan meliputi : fitoplankton,
komposisi dan biomassa fitoplankton, struktur komunitas fitoplankton,
kebutuhan unsur hara untuk fitoplankton, kelimpahan fitoplankton dan
peranannya sebagai bio-indikator, serta indeks biologi fitoplankton.
2. Mikroorganisme indikator kualitas air meliputi bakteri indikator kesuburan
perairan, serta bakteri indikator pencemaran perairan.
3. Jenis, beban dan penguraian bahan organik meliputi, sumber bahan organik,
beban masukkan internal, serta penguraian bahan organik.

BAB II
PARAMETER FISIKA PERAIRAN
2.1 Suhu

Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan


perubahan menjadi energi panas. Proses penyerapan cahaya ini berlangsung
secara lebih intensif pada lapisan atas sehingga lapisan atas perairan memiliki
suhu yang lebih tinggi dan densitas yang lebih kecil dari pada lapisan bawah.
Kondisi ini pada perairan tergenang akan menyebabkan terjadinya stratifikasi
thermal pada kolom air (Effendi, 2003).
Suhu perairan dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk kedalam air.
Suhu selain berpengaruh terhadap berat jenis, viskositas dan densitas air, juga
berpengaruh terhadap kelarutan gas dan unsur-unsur dalam air. Sedangkan
perubahan suhu dalam kolom air akan menimbulkan arus secara vertikal. Secara
langsung maupun tidak langsung, suhu berperan dalam ekologi dan distribusi
plankton baik fitoplankton maupun zooplankton (Subarijanti, 1994).
Suhu mempunyai efek langsung dan tidak langsung terhadap fitoplankton.
Efek langsung yaitu toleransi organisme terhadap keadaan suhu, sedangkan efek
tidak langsung yaitu melalui lingkungan misalnya dengan kenaikan suhu air
sampai batas tertentu akan menurunkan kelarutan oksigen (Boney dalam
Sudaryanti, 1989).
Suhu air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut,
waktu dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran serta kedalaman
perairan (Effendi, 2000) kelarutan gas-gas H2, N2, CO2 dan O2 menurun dengan
meningkatnya suhu.
Reynolds (1990) menyatakan bahwa suhu optimal untuk pertumbuhan
fitoplankton berkisar antara 20-300C. Algae dari kelas Chlorophyceae da Diatom
dapat tumbuh dengan baik dengan kisaran suhu 300-350C dan 200-300C sedangkan
kelas Cyanophyceae dapat mentolerir kisaran suhu yang lebih tinggi dari kelas
Chlorophyceae dan Diatom. Setip jenis fitoplankton memiliki suhu optimal
sendiri dan sangat bergantung media dan faktor lain.Sehingga diduga bahwa suhu
dapat berperan dalam perubahan komposisi jenis (Ruttner, 1965).
Hal ini pula sesuai dengan pertumbuhan dan kehidupan biota air yang
sangat di pengaruhi oleh suhu air. Kisaran suhu optimal untuk kehidupan ikan di
perairan tropis adalah antara 280C-320C. Pada kisaran tersebut konsumsi oksigen
mencapai 2,2 mg/g berat tubuh-jam. Dibawah suhu 250C, konsumsi oksigen

mencapai 1,2 mg/g berat tubuh-jam. Pada suhu 180C-250C, ikan masih bertahan
hidup, tetapi nafsu makannya mulai menurun. Suhu air 120C-180C mulai
berbahaya bagi ikan, sedangkan pada suhu di bawah 120C ikan tropis mati
kedinginan (Ghufran dkk., 2007). Berdasarkan pengamatan di Instalasi Tambak
Percobaan Marana (Sulawesi Selatan), ikan bandeng masih hidup normal pada
suhu 350C. Seperti pada ikan nila (Oreochromis sp), dia membutuhkan suhu
optimal pada 25-300C sehingga ikan nila cocok di pelihara pada dataran tinggi dan
rendah (Suyanto, 1995). Secara teoritis, ikan tropis masih hidup normal pada suhu
300C-350C kalau konsentrasi oksigen terlarut cukup tinggi. (Ahmad dkk., 1998).
2.1.1

Hubungan antara suhu dan oksigen terlarut


1. Tergantung pada isolasi dari pencampuran (stratifikasi) lapisan air pada
kedalaman.

2. Tergantung pada tingkat relatif : respirasi, fotosintesis dan reaeration


a. Sistem oligotrofik (nonproduktif)
1) Tingkat fotosintesis dan respirasi rendah
2) Kebutuhan oksigen rendah :
a) Reaeration and fotosintesis >> respirasi pada epilimnion
b) Kebutuhan respirasi pada hipolimnion << ketersedian oksigen
(kurangnya bahan organik yang masuk dari epilimnion)
c) Stratifikasi oksigen (jika terjadi), karena hubungan antara suhu
dan oksigen (kurang larut yang mengakibatkan naiknya suhu)
b. Sistem eutrofik (produktif)
1) Tingkat fotosintesis dan respirasi tinggi
2) Kebutuan oksigen dalan hipolimnion tinggi :
a) Fotosintesis tinggi di epilimnion
b) Produksi organik pada hipolimnion meningkat (kelimpahan
plankton) oleh karena itu, respirasi pada hipolimnion juga
meningkat (kebutuhan respirasi > ketersediaan oksigen)

c) Kemudian, dengan sistem jumlah yang tinggi dari allocthonous


akan meningkatkan produksi bahan organik.

2.2 Kecerahan
Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual
dengan bantuan alat Secchi disk (APHA, 1989). Kecerahan menunjukkan
penetrasi cahaya matahari yang menembus ke dalam perairan, dan besarnya
dipengaruhi oleh kandungan bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi di
dalam perairan, warna perairan, jasad renik, detritus, dan kepadatan plankton
(Wardoyo, 1981). Menurut Welch (1952), semakin tinggi nilai kecerahan, semakin
besar pula penetrasi cahaya matahari, sehingga proses fotosintesis oleh
fitoplankton dapat berlangsung dalam lapisan yang lebih tebal (dikenal sebagai
lapisan air yang paling produktif). Selain itu, ditambahkan pula bahwa penetrasi
cahaya yang masuk kedalam perairan akan mempengaruhi komposisi dan
penyebaran fitoplankton di dalam perairan.
Fitoplankton terdiri dari berbagai jenis yang masing-masing berlainan warna
yang biasanya tampak sebagai warna air. Bila warna air hijau tua, plankton yang
dominan adalah Cyanophyceae, Microcystis, dan Anabaena yang mengandung
khlorofil berwarna hijau tua. Warna air hijau muda biasa didominasi Chlorophyta.
Warna air hijau kecoklatan mencerminkan dominasi diatomae dari kelas

Bacillariophyta, sedangkan Dinoflagellata memberikan warna coklat kemerahan


pada air.
Dominasi plankton bisa ditentukan dengan perbandingan nitrogen dan
fosfor derta salinitas. Chlorophyta yang berwaran hijau mendominasi air
bersalinitas rendah. Diatomae yang berwarna kecoklatan mendominasi perairan
dengan N: P =10-20 : 1.
Menurut Talling in Noryadi (1998) secara fisiologis fotosintesis dikontrol
oleh intensitas cahaya. Selanjutnya Fogg dan Cole in Noryadi (1998) menjelaskan
bahwa aktivitas cahaya oleh fitoplankton puncaknya terjadi pada panjang
gelombang 435 nm dan 670-680 nm. Cahaya fotosintesis aktif (panjang
gelombang 400-720 nm) akan menurun secara eksponensial dengan kuedalaman
air (Gambar 1 a). Oleh karena itu, intensitas cahaya akan berkurang setelah masuk
kedalam kolom air. Kekuatan energi fotosintesis akan menurun dengan cepat
seiring dengan bertambahnya kedalaman. Cahaya tidak cukup efektif untuk
digunakan dalam proses fotosintesis apabila intensitas cahaya yang masuk ke
kolom air hanya 1 % dari yang dipermukaan (daerah kompensasi) (Gambar 1 b)

Gambar 1. (a) Kaitan Intensitas Cahaya dengan Kedalaman. (b) Kaitan


Fotosintesis dengan Kedalaman (Fogg, 1965)
Semua plankton jadi berbahaya jika kecerahan sudah kurang dari 25 cm
kedalaman pinggan secchi (secchi disk). Kecerahan yang baik bagi uasha

budidaya ikan dan udang berkisar 30-40 cm yang di ukur menggunakan pinggan
secchi. Bila kecerahan sudah mencapai kedalaman kurang dari 25 cm akan
menyebabkan fitoplankton mati berurutan yang diikuti penurunan oksigen terlarut
secara drastis.
2.3 TSS (Total Suspended Solid)
Padatan total (residu) adalah bahan yang tersisa setelah air sampel
mengalami evaporasi dab pengeringan pada suhu tertentu (APHA, 1985). Padatan
yang terdapat di perairan diklasifikasikan berdasarkan ukuran diameter partikel,
seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 2.1 Klasifikasi Padatan di Perairan berdasarkan Ukuran Diameter
Klasifikasi Padatan
Ukuran diameter (m) Ukuran Diameter (mm)
Padatan terlarut
<10-3
< 10-6
Koloid
10-3-1
10-6-10-3
Padatan Tersuspensi
>1
>10-3
Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahanbahan tersuspensi (diameter > 1m) yang tertahan pada saringan milipore dengan
diameter pori 0,45 m. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad
renik, yang terutama disebabkan oleh erosi tanah yang terbawa kebadan air.
Bahan-bahan terlarut dan tersuspensi pada perairan alami tidak bersifat toksik,
akan tetapi jika berlebihan, terutama TSS dapat meningkatkan nilai kekeruhan,
yang selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan
akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis (Effendi, 2003).
Penyebab nilai TSS yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang
terbawa kedalam badan air.

BAB III
PARAMETER KIMIA PERAIRAN
3.1 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman lebih dikenal dengan istilah H. pH (singkatan dari
pulscane negatif te H), yaitu logaritma dari kepekatan ion-ion H (hidrogen) yang
terlepas dalam satu cairan. Derajat keasaman atau pH air menunjukkan aktifitas
ion hydrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion
hydrogen (dalam nol per lter) pada suhu tertentu atau dapat ditulis pH = log (H+)
(kordi dan Tancung, 2007).
Air dapat besifat asam atau basa tergantung pada besar kecilnya pH air atau
besarnya konsentrasi ion hidrogen di dalam air. Perairan dengan tingkat kesuburan
yang tinggi dan tergolong produktif memiliki pH antara 6-9 karena dapat
mendorong proses pembongkaran bahan organik yang ada dalam perairan menjadi
mineral-mineral yang dapat diasimilasikan oleh fitoplankton (Odum, 1993).
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai
nilai pH sekitar 7-8,5 (Effendi, 2003). Pada umumnya alga biru menyukai pH
netral sampai basa dan respon pertumbuhan negatif pada asam (pH<6). Pada
kisaran pH 4,5-8,5 dapat mendukung keanekaragaman jenis Chrysophyta
sedangkan diatom pada kisaran pH yang netral (Weitzel,1979).
Pada pemeliharaan ikan, pH memiliki arti penting untuk diketahui karena
nilai pH yang ekstrim dapat merusak permukaan insang sehingga menyebabkan
kematian pada ikan. Selain alasan tadi, pH juga dapat meningkatkan efek toksid
beberapa polutan seperti amonia dan sianida, dan logam berat seperti aluminium
(Beveridge, 1996).
Boyd dan Lichtkoppler (1982) menyatakan kisaran pH pada budidaya ikan
adalah sebagai berikut : pH 4 dan 11 adalah titik mati asam dan basa, pH antara 4

dan 6, dan antara 9 merupakan kisaran optimum bagi kehidupan ikan. Supaya ikan
dapat tumbuh maksimal, pH harus tetap ideal dengan fluktuasi yang kecil
(Stickney, 1993).
Pada pH di atas 8,5 dan di bawah 5 toleransi pada ikan sudah semakin
berkurang (Moyle dan Cech, 1988). Pada ikan nila (Oreochromis Nilotica ), nilai
pH berkisar antara 6-8,5 tetapi pertumbuhan optimal terjadi pada pH 7-8
(Suyanto, 1995). Reproduksi atau perkembangan ikan biasanya akan naik pada pH
6,5 walaupun hal itu tergantung juga pada jenis ikannya (Effendi, 2003). pH yang
baik dalam budidaya adalah 6,5-9,0 (Mutris, 1992).
Jika dalam suatu perairan terdapat kandungan bahan organik yang tinggi,
maka bahan organik tersebut harus diuraikan, untuk itu diperlukan oksigen.
Dalam keadaan ada oksigen akan dihasilkan karbondioksida, uap air dan nitrat.
Dalam keadaan tidak ada oksigen akan dihasilkan hidrogen sulfida (H2S), amonia
(NH3) dan metana (CH4). Hampir semua senyawa yang dihasilkan tersebut
bersifat asam yang pada akhirnya akan menurun, dan ion bikarbonat (HCO3-) akan
berubah menjadi CO2 dan ion OH-. Adanya dominasi ion hidroksi ini akan
mengakibatkan pH air mengikat (Prihadi,2005).
Moss (1993) mengatakan, jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik
yang tinggi, maka hasil dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya
karbondioksida. Di dalam air karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat.
Keadaan ini juga bisa terjadi jika 1 % dari karbondioksida bereaksi dengan air,
sehingga membentuk asam karbonat (Cole, 1988). Pada pembentukan asam
karbonat tersebut akan dihasilkan ion hidrogen yang mengakibatkan pH perairan
menurun. Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukkan
dalam Tabel 3.1
Pada pH< 4, sebagian besar tumbuhan air mati karen tidak dapat
bertoleransi terhadap pH rendah. Namun, algae Chlamydomonas acidophila masih
dapat bertahan hidup pada pH sangat rendah, yaitu 1, dan algae Euglena masih
bertahan hidup pada pH 1,6 (Haslam, 1995 dalam Effendi, 2003).

10

Tabel 3.1 Pengaruh pH terhadap Komunitas Biologi Perairan


Nilai pH
Pengaruh Umum
1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun
2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas tidak
6,0-6,5
mengalami perubahan
1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos
5,5-6,0

semakin nampak
2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih
belum mengalami perubahan yang berarti
3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral
1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton,

5,0-5,5

perifiton, dan bentos semakin besar


2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa
zooplankton dan bentos
3. Algae hijau berfilamen semakin banyak
4. Proses nitrifikasi berjalan lambat
1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton,

4,5-5,0

perifiton, dan bentos semakin besar


2. Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan

bentos
3. Algae hijau berfilamen semakin banyak
4. Proses nitrifikasi terhambat
Sumber : Baker et al, 1990 dalam Effendi 2003
3.2 Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kebutuhan tanaman dan
hewan dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari
kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang
dibutuhkan untuk kehidupan (Fardiaz, 1992). Kadar oksigen terlarut di perairan
bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen
terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada
pencampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah
yang masuk ke dalam air (Effendi, 2003).

11

Kandungan oksigen terlarut 2 mg/l dalam perairan sudah cukup untuk


mendukung kehidupan biota akuatik, asalkan perairan tersebut tidak mengandung
bahan-bahan yang bersifat racun (Pescod, 1973). Kandungan DO optimum bagi
kehidupan fitoplankton yaitu > 6,5 mg/l (Kristanto, 2004).
Oksigen diperlukan oleh ikan-ikan untuk menghasilkan energi yang sangat
penting bagi pencernaan dan asimilasi makanan, pemeliharaan keseimbangan
osmotik dan aktivitas lainnya. Jika persediaan oksigen di perairan sangat sedikit
maka perairan tesebut tidak baik bagi ikan dan makhluk hidup lainnya yang hidup
di air, karena akan mempengaruhi kecepatan makan dan pertumbuhan ikan
(Wardana, 1995).
Oksigen terlarut juga merupakan faktor penting dalam menetapkan kualitas
air, karena air yang polusi organiknya tinggi memiliki oksigen terlarut yang sangat
sedikit (Michael, 1994).
Ikan merupakan makhluk air yang memerlukan oksigen tertinggi, kemudian
invertebrata dan yang terkecil adalah bakteri. Biota di perairan tropis memerlukan
okgen terlarut minimal 5 mg/l, sedangkan biota beriklim sedang memerlukan
oksigen terlarut mendekati jenuh. Konsentrasi oksigen yang terlalu rendah akan
mengakibatkan ikan-ikan dan binatang lainnya yang membutuhkan oksigen akan
mati (Fardiaz, 1992). Barus (1996), menyatakan bahwa kelarutan maksimum
oksigen pada perairan tercapai pada temperatur 00C yaitu sebesar 14,16 mg/l
oksigen. Konsentrasi ini akan menurun sejalan dengan meningkatnya temperatur
air.
Mahida (1993),mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kadar
oksigen terlarut dalam air alamiah adalah pergolakan di permukaan air, luasnya
daerah permukaan air yang terbuka bagi atmosfer, tekanan atmosfer dan
persentasi udara di sekelilingnya.
Kebutuhan oksigen bagi ikan mempunyai dua aspek, yaitu kebutuhan
lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang tergantung kepada
keadaan metobolisme ikan. Perbedaan kebutuhan oksigen dalam suatu lingkungan
bagi spesies ikan tertentu disebabkan oleh adanya perbedaan struktur molekul sel
darah ikan yang mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam
air dan derajat kejenuhan oksigen dalam sel darah. Ikan memerlukan oksigen guna

12

pertumbuhan, reproduksi (Zonneveld et al, 1991) dan maintenance (Beveridge,


1996). Kebutuhan oksigen bagi ikan bervariasi bergantung kepada jenis ikan,
umur dan ukuran ikan. Selain faktor di atas, kebutuhan oksigen juga bergantung
kepada faktor lingkungan, seperti temperatur (Beveridge, 1996). Lebih lanjut di
jelaskan bahwa, bila kelarutan oksigen di perairan tidak sesuai dengan kebutuhan,
maka akan mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan dan kesehatan ikan.
Selanjutnya, Stickney (2000) juga menyatakan kelarutan oksigen dalam
perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain suhu air, salinitas, dan
ketinggian lokasi (altitude). Oksigen terlarut akan menurun konsentrasinya dalam
air jika suhu air, salinitas, dan ketinggian meningkat dan sebaliknya. Dan untuk
kegiatan budidaya ikan yang komersial memerlukan konsentrasi oksigen dalam air
lebih besar atau sama dengan 5 mg/L.
Menurut Hickling dalam Asmawi (1986), bahwa bila jumlah oksigen
terlarut perairan hanya 1,5 mg/l maka kecepatan makan ikan mujair akan
berkurang atau jika kadar oksigen kurang dari 1 mg/l, ikan tersebut akan berhenti
makan. Ikan nila merah dalam kondisi oksigen terlarut sedikit di bawah normal
(1 mg/l O2) masih dapat mentolerir kandungan oksigen terlarut.
Tabel 3.2 Kualitas Air berdasarkan Kandungan DO (Lee dkk., 1978)
Kadar Oksigen Terlarut (mg/l)
Kualitas Air
1
> 6,5
Tidak tercemar
2
4,5-6,5
Tercemar ringan
3
2.0-4,4
Tercemar sedang
4
<2,0
Tercemar Berat
(Anonim,2008)
Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan
musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulunce)
massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke
badan air. Hubungan antara kadar oksigen terlarut jenuh dan suhu ditunjukkan
dalam (Tabel 3.3), yang menggambarkan bahwa semakin tinggi suhu, kelarutan
oksigen semakin berkurang.

13

Tabel 3.3 Hubungan antara Kadar Oksigen Terlarut Jenuh dan Suhu pada
Tekanan Udara 760 mm Hg
Kadar Oksigen

Kadar Oksigen

Terlarut

Suhu

Terlarut

(mg/L)

(0C)

(mg/L)

0
14, 62
1
14,22
2
13,83
3
13,46
4
13,11
5
12,77
6
12,45
7
12,14
8
11,84
9
11,56
10
11,29
11
11,03
12
10,78
13
10,54
Sumber : Cole (1988)

14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

10,31
10,08
9,87
9,66
9, 47
9, 28
9,09
8,91
8,74
8,58
8,42
8,26
8,11
7,97

Suhu (0C)

Kadar Oksigen
Suhu (0C)

28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40

Terlarut
(mg/L)

7,83
7,69
7,56
7,43
7,30
7,18
7,06
6,95
6,84
6,73
6,62
6,51
6,41

Boyd dan Litchkoppler (1982) menjelaskan kebutuhan oksigen pada ikan


secara umum adalah sebagai berikut : DO< 1 ppm adalah konsentrasi letal, 1-5
ppm hidup tapi pertumbuhan lambat, dan DO> 5 ppm merupakan konsentrasi
ideal bagi kehidupan ikan. Safronios et al. (1996) melaporkan bahwa ikan nila
biru (Oreochromis aureus) yang dipelihara di dalam tangki dengan kadar O2 ratarata 2,63 ppm, 3,75 ppm dan 6,51 ppm memeperlihatkan peningkatan berat tubuh
seiring dengan bertambahnya konsentrasi oksigen. Pertambahan total berat tubuh
dan kecepatan pertumbuhan harian yang paling tinggi juga dicapai pada tangki
dengan kadar oksigen tertinggi. Namun nilai konversi pakan dan efisiensi protein
yang terbaik dicapai pada pemeliharaan dalam tangki dengan kadar oksigen
menengah (3,75 ppm).
Kandungan oksigen terlarut pada siang hari tinggi, karena proses
fotosintesis secara maksimal. Pada malam dan sore hari kandungan oksigen
terlarut turun karena tidak ada sinar matahari, sementara semua organisme
perairan melakukan proses respirasi yang mengkonsumsi oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida. Oleh sebab itu, konsentrasi oksigen terlarut
berubah-ubah dalam siklus harian yaitu waktu fajar, konsentrasi oksigen terlarut

14

adalah yang terendah dan semakin naik pada waktu siang hari sampai mencapai
titik maksimal lewat tengah hari (Boyd, 1991).
Kelarutan oksigen dalam air juga dipengaruhi oleh suhu dan tekanan udara.
Menurut Hasting dalam Jangkaru (1984), kebutuhan oksigen oleh ikan adalah
16,48 mg/100g/jam. Kadar optimum untuk pertumbuhan harus lebih besar dari 5
mg/L (Cholik et al.,1986). Chakroff (1985) menambahkan bahwa kadar oksigen
15 mg/L merupakan kadar tertinggi kritis, dan titik terendah kritis adalah 4 mg/L.
Swingle (1969) dalam Effendi (2003) mengemukakan hubungan antara kadar
oksigen terlarut dan kelangsungan hidup ikan di kolam (Tabel 3.4)
Tabel 3.4 Kadar oksigen terlarut dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup
ikan
Kadar Oksigen Terlarut (mg/L)

<0,3
0,3-1,0
1,0-5,0
>5,0

Pengaruh Terhadap Kelangsungan Hidup Ikan

Hanya sedikit jenis ikan yang dapat bertahan


pada masa pemaparan singkat (short exposure)
Pemaparan lama (prolonged exposure) dapat
mengakibatkan kematian ikan
Ikan dapat bertahan hidup, tetapi
pertumbuhannya terganggu
Hampir semua organisme akuatik menyukai

kondisi ini
Sumber : Swingle, 1969 dalam Effendi, 2003

3.3 Biochemical Oxygen Demand (BOD)


Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis
adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam memecah
bahan organik. Penguraian organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme
di dalam lingkungan air merupakan proses alamiah yang mudah terjadi apabila air
lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Wardana, 1995).
Pengujian BOD yang dapat diterima adalah pengukuran jumlah oksigen
yang akan di habiskan selama lima hari inkubasi sudah memperlihatkan besar
persentase yang cukup yaitu kurang lebih 70 % dari seluruh bahan organik telah
terurai (Sastrawijaya, 1991). Selanjutnya Fardiaz (1992) menyatakan bahwa air
muni mempunyai nilai BOD kira-kira 1 mg/l dan air yang mempunyai BOD 3
mg/l masih dianggap cukup murni.

15

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran BOD adalah jumlah senyawa


organik yang akan diuraikan, adanya mikroorganisme aerob yang mampu
menguraikan senyawa organik-senyawa organik tersebut dan tersedianya sejumlah
oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian itu (Barus, 2001).
Lama waktu mikroba untuk melakukan dekomposisi sampai mencapai
stabilitas sempurna tergantung dari keadaan alami substrat dan kemampuan hidup
organisme. Dengan demikian maka BOD hanya menggambarkan bahan organik
yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Nilai BOD suatu
perairan di pengaruhi faktor-faktor lain yang ada di lingkungan, yakni suhu,
densitas plankton, keberadaan mikroba serta jenis dan kandungan bahan organik.
Pada perairan alami yang belum terlalu banyak campur tangan manusia, sumber
bahan organik yang masuk ke dalam perairan berasal dari pembusukan tanaman,
sehingga nilai BOD-nya rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Jeffries dan Mills
(1996) yang mengatakan bahwa perairan alami memiliki nilai BOD antara 0,5-7,0
mg/l. Perairan yang memiliki nilai BOD lebih dari 10 mg/l dianggap telah
mengalami pencemaran. Berdasarkan nilai BOD, maka suatu perairan bisa
dikategorikan kualitas airnya menjadi perairan tidak tercemar atau tercemar ringan
jika mempunyai BOD kurang dari 3 ppm; perairan diklasifikasikan sebagai
perairan tercemar ringan jika mempunyai nilai BOD 3-4,9 ppm. Perairan tercemar
sedang mempunyai BOD 5,0-15,0 ppm serta perairan yang mempunyai BOD
lebih dari 15 ppm dikategorikan pada perairan tercemar berat (Lee, Wang, dan
Quo, 1978 dalam Prihadi, 2005).
Nilai BOD perairan dipengaruhi oleh suhu, densitas, plankton, keberadaan
mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organik. Korelasi antara BOD dan
COD yang diikutkan dengan suhu dan kecerahan ditunjukkan dalam persamaan
regresi berikut (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).
BOD (mg/L)/jam = -1,006-0,00148 C 0,0000125 C2 + 0,0766 T 0,00144 T2
+ 0,0000253 CT
BOD (mg/L)/jam = -1,133 + 0,00381 S + 0,0000145 S2 + 0,0812 T 0,000749 T2
0,000349 ST
Ketrangan : C = COD (mg/L)
T = Suhu (oC)
S = Secchi disk (cm)

16

Pada perairan alami, yang berperan sebagai sumber bahan organik adalah
pembusukkan tanaman. Perairan alami memiliki nilai BOD antara 0,5 7,0 mg/L
(Jefries dan Mils, 1996 dalam Effendi, 2003). Perairan yang memiliki nilai BOD
lebih dari 10 mg/L dianggap telah mengalami pencemaran. Nilai BOD limbah
industri dapat mencapai 25.000 mg/L (UNESCO/WHO/UNEP, 1992 dalam
Effendi, 2003). Nilai BOD limbah industri makanan antara 500 4.000 mg/L,
industri farmasi antara 400 10.000 mg/L, dan industri kertas sekitar 1.500
25.000 mg/L ( Rao, 1991 dalam Effendi, 2003).
3.4 Chemycal Oxygen Demand (COD)
COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi
kimia yang dinyatakan dalam mg O2/l. Dengan mengukur nilai COD maka akan
diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses
oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara
biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis
(Barus,2004).
COD erat kaitannya dengan BOD. Banyak zat organik yang tidak
mengalami penguraian biologi secara cepat berdasarka pengujian BOD5 tetapi
senyawa-senyawa organik itu tetap menurunkan kualitas air. Karena itu perlu
diketahui konsentrasi organik dalam limbah dan setelah masuk dalam perairan,
untuk itulah tujuan diadakannya uji COD. Pengujian COD dilakukan dengan
mengambil contoh dengan volume tertentu yang kemudian di panaskan dengan
larutan kalium dikromat dengan kepekatan tertentu yang jumlahnya sedikit di atas
yang diperlukan. Dengan katalis asam sulfat diperlukan waktu dua jam, maka
kebanyakan zat organik telah teroksidasi. Dengan penentuan jumlah kalium
dikromat yang dipakai, maka COD contoh dapat dihitung. Dalam pengujian ini 3
hal yang diperhatikan :
1. Zat organik yang dapat mengalami biodegradasi yang biasanya dapat
diuraikan oleh bakteri dalam uji BOD5.
2. Zat organik yang dapat mengalami biodegradasi yang tidak dapat di
uraikan oleh bakteri dalam waktu lima hari, tetapi akhirnya akan terurai
dan menurunkan kualitas air.
3. Zat organik yang tidak dapat mengalami biodegradasi (Sastrawijaya,
2000).

17

Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan
perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya
kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200
mg/L dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L.
3.5 Karbondioksida (CO2)
Atmosfer bumi mengandung karbondioksida dengan persentase yang rellatif
kecil yakni sekitar 0,033% (Cole 1988 dalam Effendi,2003). Akan tetapi dari
tahun ke tahun kadar karbondioksida memperlihatkan kecenderungan peningkatan
sebagai hasil dari penggundulan hutan dan pembakaran bahan bakar fosil,
misalnya minyak bumi dan batu bara. Sekitar setengah dari karbondioksida yang
merupakan hasil pembakaran ini berada di atmosfer dan setengahnya lagi
tersimpan di perairan dan digunakan dalam proses fotosintesis oleh diatom dan
alga laut lain. Hasil fotosintesis di bumi 88% merupakan sumbangan dari alga di
perairan (Effendi, 2003).
Karbon yang terdapat di atmosfer dan perairan di ubah menjadi karbon
organik melalui proses fotosintesis, kemudian masuk kembali ke atmosfer melalui
proses respirasi dan dekomposisi yang merupakan proses biologis makhluk hidup
(Gambar 2). Karbon ini dapat berubah menjadi bahan organik yang berupa bahan
bakar fosil atau menjadi bahan anorganik, misalnya batuan karbonat melalui
proses kimia yang berlangsung sangat lama.

18

Gambar 2. Siklus Karbon


Meskipun persentase karbondioksida relatif kecil, akan tetapi keberadaan
karbondioksida di perairan relatif banyak, karena karbondioksida memiliki sifat
kelarutan yang tinggi ( Jefries dan Mills 1996 dalam Effendi 2003).
Karbondioksida yang terdapat di perairan berasal dari berbagai sumber, yaitu
sebagai berikut (Effendi,2003):
1. Difusi dari atmosfer
Karbondioksida yang terdapat di atmosfer mengalami di fusi secara
langsung ke dalam air
2. Air Hujan
Air hujan yang jatuh ke permukaan bumi secara teoritis memiliki
kandungan karbondioksida sebesar 0,55-0,60 mg/l berasal dari
karbondioksida yang terdapat di atmosfer
3. Air yang melewati tanah organik
Tanah organik yang mengalami dekomposisi mengandung relatif banyak
karbondioksida sebagai hasil proses dekomposisi. Karbondioksida hasil
dekomposisi ini akan larut ke dalam air.
4. Respirasi tumbuhan, hewan dan bakteri aerob maupun anaerob
Respirasi tumbuhan dan hewan mengeluarkan karbondioksida.
Dekomposisi bahan organik pada kondisi aerob menghasikan
karbondioksida sebagai salah satu produk akihir.
Perairan tawar alami yang memiliki pH 7-8 biasanya mengandung ion
bikarbonat <500 mg/l dan hampir tidak pernah kurang dari 25 mg/l. Ion ini
mendominasi sekitar 60-90% bentuk karbon anorganik total di perairan (McNeely
et al,1979).
Kadar karbondioksida di perairan dapat mengalami pengurangan atau
bahkan hilang akibat proses fotosintesis, evaporasi, dan agitasi air. Perairan yang
di peruntukkan bagi kepentingan prikanan sebaiknya mengandung kadar
karbondioksida bebas < 5 mg/l. Kadar karbondioksida bebas sebesar 10 mg/l
masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik, asal disertai dengan kadar oksigen
yang cukup. Sebagian besar organisme akuatik masih dapat bertahan hidup hingga
kadar karbondioksida bebas mencapai 60 mg/l (Boyd 1988 dalam Effendi, 2003).
Sebenarnya dengan kadar CO2 lebih dari 10 ppm saja sudah dapat meracuni ikan,
karena keberadaannya di darah dapat menghambat pengikatan oksigen oleh

19

hemoglobin (Zonnveld et al., 1991). Konsentrasi CO2 antara 50 dan 100 mg/l
harus diwaspadai karena dapat menyebabkan ikan stres dan jika dibiarkan akan
membunuh ikan. Ikan Seraterodon macrochir di alam dapat mentolerir CO2
hingga lebih dari mentolerir CO2 hingga lebih dari 75 mg/l.
Karena karbondioksida berbanding terbalik dengan oksigen, maka apabila
konsentrasi oksigen berada pada tingkat maksimum, pengaruh karbondioksida
dapt di abaikan.
3.6 Alkalinitas
Menurut Effendi (2007), alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk
menetralkan asam atau dikenal dengan sebutan acid-neutralizing capacity (ANC)
atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen.
Alkalinitas juga diartikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap
perubahan pH perairan. Penyusun alkalinitas perairan adalah anion bikarbonat
(HCO3-), karbonat (CO32-), dan hidroksida (OH-), Borst H2BO3-), silikat (HsiO3-),
fosfat (HPO42- dan H2PO4-), sulfida (HS-), dan amonia (NH3) juga memberikan
kontribusi terhadap alkalinitas. Namun, pembentuk alkalinitas yang utama adalah
bikarbonat, karbonat, dan hidroksida. Di antara ketiga ion tersebut, bikarbonat
paling banyak terdapat pada perairan alami. Kation utama yang mendominasi
perairan tawar adalah kalsium dan magnesium, sedangkan pada perairan laut
adalah sodium dan magnesium. Anion utama pada perairan tawar adalah
bikarbonat dan karbonat, sedangkan pada perairan laut adalah klorida. Selanjutnya
Boyd (1981) mengatakan alkalinitas yang baik dalam penyediaan CO2 adalah 20150 mg/L. Menurut Cholik et al. (1986), bila total alkalinitas terlalu rendah dapat
ditingkatkan melalui penambahan kapur (pengapuran), dan pada umumnya
perairan yang baik (produktif) untuk budidaya ikan mengandung nilai total
alkalinitas dan kesadahan yang sama besarnya. Selanjutnya Boyd (1992)
mengatakan, pemberian kapur dapat meningkatkan pH lumpur dan menyebabkan
tersedianya fosfor untuk jasad nabati. Di samping itu pengapuran juga dapat
meningkatkan alkalinitas serta tersedianya CO2 untuk fotosintesis. Persentase ionion utama, yang terdapat dalam perairan tawar ditunjukkan dalam Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Kation dan Anion Utama pada Perairan Tawar dan Laut
Ion-ion utama
Persentase (%)

20

Air tawar

Air laut

60,9
19,0
16,6
2,5

3,2
10,1
83,7
3,0

72,4
16,1
11,5

0,6
12,2
87,2

Kation :
1. Kalsium (Ca2+)
2. Magnesium (Mg2+)
3. Sodium/ Natrium (Na+)
4. Kalium (K+)
Anion :
1. Bikarbonat (HCO3-) dan karbonat (CO32-)
2. Sulfat (SO42-)
3. Klorida (Cl-)
Sumber : Modifikasi Cole (1983) dalam Effendi (2007)

Bikarbonat, karbonat, dan asam karbonat merupakan sumber utama karbon


anorganik di perairan. Karbon anorganik di perairan dapat berasal dari beberapa
sumber, yaitu atmosfer, batuan karbonat, siklus biologi karbon, sumber
allocthonous (dari luar perairan).
Pada awalnya, alkalinitas adalah gambaran pelapukan batuan yang terdapat
pada sistem drainase. Alkalinitas dihasilkan dari karbondioksida dan air yang
dapat melarutkan sedimen batuan karbonat menjadi bikarbonat.
Kalsium karbonat merupakan senyawa yang memberi kontribusi terbesar
terhadap nilai alkalinitas dan kesadahan di perairan tawar. Senyawa ini terdapat di
dalam tanah dalam jumlah yang berlimpah sehingga kadarnya di perairan tawar
cukup tinggi. Kelarutan kalsium karbonat menurun dengan meningkatnya suhu
dan meningkat dengan keberadaan karbondioksida. Kalsium karbonat bereaksi
dengan karbondioksida membentuk kalsium bikarbonat [ Ca(HCO3)2] yang
memiliki daya larut lebih tinggi dibandingkan dengan kalsium karbonat (CaCO3)
(Cole, 1988).
Tingginya kadar bikarbonat di perairan disebabkan oleh ionisasi asam
karbonat, terutama pada perairan yang banyak mengandung karbondioksida
(kadar CO2 mengalami saturasi/ jenuh). Karbondioksida di perairan bereaksi
dengan basa yang terdapat pada batuan dan tanah membentuk bikarbonat (HCO3)
(Boyd, 1981).
Calcite dan dolomite sebenarnya memiliki daya larut yang rendah, namun
dengan keberadaan karbodioksida kelarutan senyawa-senyawa tersbut meningkat.
Reaksi pembentukan bikarbonat dari karbonat adalah reaksi setimbang dan

21

mengharuskan keberadaan karbondioksida untuk mempertahankan bikarbonat


dalam bentuk larutan. Jika kadar karbondioksida bertambah atau berkurang maka
akan terjadi perubahan kadar ion bikarbonat.
Satuan alkalinitas dinyatakan dengan mg/L kalsium karbonat (CaCO3) atau
mil-ekuivalen/liter. Selain bergantung pada pH, alkalinitas juga dipengaruhi oleh
komposisi mineral, suhu, dan kekuatan ion. Pada air mendidih, alkalinitas hanya
terdiri atas karbonat dan hidroksida. Karbondioksida tidak larut dalam air panas
(mendidih), namun terbawa bersama uap air sehingga nilai pH air mendidih dapat
mencapai 11.
Nilai alkalinitas perairan alami hampir tidak pernah melebihi 500 mg/L
CaCo3-. Perairan dengan nilai alkalinitas yang terlalu tinggi tidak terlalu disukai
oleh organisme akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan yang
tinggi atau kadar garam natrium yang tinggi. Nilai alkalinitas berkaitan erat
dengan korosivitas logam dan dapat menimbulkan permasalahan kesehatan pada
manusia, terutama yang berhubungan dengan iritasi pada sistem pencernaan
(gastro intestinal). Jika dididihkan dengan waktu yang lama, perairan dengan nilai
alkalinitas yang tinggi menghasilkan deposit dan menimbulkan bau yang kurang
sedap.
Nilai alkalinitas yang baik berkisar antara 30-500 mg/L CaCO3. Nilai
alkalinitas di perairan berkisar antara 5 hingga ratusan mg/liter CaCO3. Alkalinitas
pada perairan alami adalah 40 mg/L CaCO3 (Boyd, 1981). Perairan dengan nilai
alkalinitas >40 mg/L CaCO3 disebut perairan sadah (Hard water), sedangkan
perairan dengan nilai alkalinitas <40 mg/L CaCO3 disebut perairan lunak (soft
water).
Alkalinitas perairan berkaitan dengan gambaran kandungan karbonat dari
batuan dan tanah yang dilewati oleh air serta sedimen dasar perairan. Nilai
alkalinitas tinggi biasanya juga ditemukan di wilayah kering dimana terjadi
evaporasi secara intensif.
Perairan dengan nilai alkalinitas tinggi lebih produktif dari pada perairan
dengan alkalinitas rendah. Tingkat produktivitas perairan ini sebenarnya tidak
berkaitan secara langsung dengan nilai alkalinitas, tetapi berkaitan dengan
keberadaan fosfor dan elemen esensial lain yang kadarnya meningkat dengan

22

meningkatnya nilai alkalinitas. Alkalinitas berperan dalam hal-hal sebagai


berikut:
1. Sistem Penyangga (buffer)
Bikarbonat yang terdapat pada perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi
berperan sebagai penyangga (buffer capacity) perairan terhadap perubahan
pH yang drastis. Jika basa kuat ditambahkan ke dalam perairan maka basa
tersebut akan bereaksi dengan asam karbonat menjadi garam bikarbonat dan
akhirnya menjadi karbonat. Jika asam ditambahkan ke dalam perairan maka
asam tersebut akan digunakan untuk mengkonversi karbonat menjadi
bikarbonat dan bikarbonat menjadi asam karbonat. Fenomena inilah yang
menjadikan perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi tidaki mengalami
perubahan pH secara drastis (Cole, 1988 dalam Effendi, 2007).
2. Koagulasi kimia
Bahan kimia yang digunakan dalam proses koagulasi air atau air limbah
bereaksi dengan air membentuk presipitasi hidroksida yang tidak larut. Ion
hidrogen yang dilepaskan bereaksi dengan ion-ion penyusun alkalinitas,
sehingga alkalinitas berperan sebagai penyangga untuk mengetahui kisaran
pH yang optimum bagi penggunaan koagulan. Dalam hal ini nilai alkalinitas
sebaiknya berada pada kisaran optimum untuk mengikat ion hidrogen yang
dilepaskan pada proses koagulasi.
3. Pelunakan (water softening)
Alkalinitas adalah parameter kualitas air yang harus dipertimbangkan dalam
menentukan jumlah soda abu dan kapur yang diperlukan dalam proses
pelunakan (softening) dengan metode presipitasi. Pelunakan bertujuan untuk
menurunkan kesadahan.
3.7 Kesadahan
Menurut Effendi (2007) kesadahan (hardness) adalah gambaran kation
logam divalen (valensi dua). Kation-kation ini dapat bereaksi dengan sabun (soap)
membentuk endapan (presipitasi) maupun dengan anio-anion yang terdapat di
dalam air membentuk endapan atau karat pada peralatan logam.
Pada perairan tawar, kation divalen yang paling berlimpah adalah kalsium
dan magnesium (Tabel 3.6), sehinnga kesadahan pada dasarnya ditentukan oleh
jumlah kalsium dan magnesium. Kalsium dan magnesium berikatan dengan anion
penyusun alkalinitas, yaitu bikarbonat dan karbonat.

23

Keberadaan kation yang lain, misalnya strontium, besi valensi dua ( kation
fero), dan mangan juga memberikan kontribusi bagi nilai kesadahan total,
meskipun peranannya relatif kecil. Aluminium dan besi valensi tiga (Kation ferri)
sebenarnya juga memberikan kontribusi terhadap nilai kesadahan. Namun
demikian, mengingat sifat kelarutannya yang relatif rendah pada pH netral maka
peran kedua kation ini sering kali diabaikan. Kesadahan dan alkalinitas dinyatakan
dengan satuan yang sama, yaitu mg/liter CaCO3.
Tabe 3.6 Kation-Kation Penyusun Kesadahan dan Anion-Anion Pasangan/
Asosiasinya
Kation
Anion
2+
Ca
HCO2Mg2+
SO42Sr2+
Cl2+
Fe
NO3Mn2+
SiO32+
Sumber : Sawyer dan McCarty (1978)dalam Effendi (2007)
Kesadahan perairan berasal dari kontak air dengan tanah dan bebatuan. Air
hujan sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk melarutkan ion-ion penyusun
kesadahan yang banyak terikat di dalam tanah dan batuan kapur (limestone),
meskipun memiliki kadar karbondioksida yang relatif. Larutnya ion-oin yang
dapat meningkatkan nilai kesadahan tersebut lebih banyak disebabkan oleh
aktivitas bakteri di dalam tanah, yang banyak mengeluarkan karbondioksida. Pada
Gambar 3, memperlihatkan penampang melintang tanah yang memperlihatkan
proses terlarutnya kation penyusun kesadahan perairan.

Klasifikasi perairan berdasarkan nilai kesadahan ditunjukkan dalam tabel 3.7


Air hujan

24

Lapisan tanah pucuk (top soll)


Zonase dengan aktivitas bakteri yang intensif,
Menghasilkan CO2 dalam jumlah besar.
CaCO3 + H2CO3
Ca (HCO)3 (larut)

Lapisan sebelah bawah tanah (sub soll)


Zonase dengan aktivitas bakteri lebih sedikit,
Menghasilkan CO2 lebih sedikit pula.
CaCO3 + H2CO3
Ca (HCO)3 (larut)

Lapisan batuan kapur (limestone)


Zonasi dengan aktivitas reaksi kimia yang berlangsung intensif
CaCO3 + H2CO3
MgCO3 + H2CO3

Ca (HCO)3 (larut)
Mg (HCO3)2 (larut)

Gambar 3. Penampang Melintang Tanah yang Memperlihatkan Proses


Terlarutnya Penyusun Kesadahan Perairan (Sawyer dan McCarty,
1978 dalam Effendi, 2007)
Keberadaan karbondioksida membentuk kesetimbangan dengan asam
karbonat. Pada kondisi yang relatif asam, senyawa-senyawa karbonat yang
terdapat di dalam tanah dan batuan kapur yang sebelumnya tidak larut berubah
menjadi senyawa bikarbonat yang bersifat larut. Batuan kapur (lime stone) pada
dasarnya tidak hanya mengandung karbonat, tetapi juga mengandung sulfat,
klorida, dan silikat. Ion-ion ini juga ikut terlarut dalam air. Gambar 3
menunjukkan proses pelarutan senyawa karbonat.
Perairan dengan nilai kesadahan tinggi pada umumnya merupakan perairan
yang berada di wilayah yang memiliki lapisan tanah pucuk (top soil) tebal dan

25

batuan kapur. Perairan lunak berada pada wilayah dengan lapisan tanah atas tipis
dan batuan kapur relatif sedikit atau bahkan tidak ada. Air permukaan biasanya
memiliki nilai kesadahan yang lebih kecil dan pada air tanah. Perairan dengan
nilai kesadahan kurang dari 120 mg/l CaCO3 dan lebih dari 500 mg/l CaCO3
dianggap kurang baik bagi peruntukkan domestik, pertanian, dan industri. Namun,
air sadah lebih disukai oleh organisme daripada air lunak (Effendi,2007).
Tabel 3.7 Klasifikasi Perairan berdasarkan Nilai Kesadahan
Kesadahan (mg/L CaCo3)
Klasifikasi Perairan
<50
Lunak (soft)
50-150
Menengah (moderately hard)
150-300
Sadah (hard)
>300
Sangat sadah (very hard)
Sumber : Peavy et al., 1985 dalam Effendi, 2003
Tebbut (1992) (dalam Effendi, 2007) mengemukakan bahwa nilai kesadahan
tidak memiliki implikasi langsung terhadap kesehatan manusia. Kesadahan yang
tinggi dapat menghambat sifat toksik dari logam berat karena kation-kation
penyusun kesadahan (kalsium dan magnesium) membentuk senyawa kompleks
dengan logam berat tersebut. Misalnya, toksisitas 1 mg/L timbal pada perairan
dengan kesadahan rendah (soft water) dapat mematikan ikan. Akan tetapi,
toksisitas 1 mg/L timabl pada perairan dengan kesadahan 150 mg/L CaCO3
terbukti tidak berbahaya bagi ikan (Effendi, 2003).
3.8 Bahan Organik Total (TOM)
Bahan organik total (TOM) adalah jumlah total kandungan bahan organik di
dalam perairan yang umumnya terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi
(partikulat) dan koloid. Menurut Goldman dan Horne (1983), kandungan bahan
organik di suatu perairan berasal dari hasil fotosintesis dan adanya masukan dari
luar.
Keberadaan bahan organik di perairan sangat mempengaruhi kandungan
oksigen terlarut di dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena penguraian bahan
organik sangat membutuhkan oksigen terlarut sehingga semakin tinggi kandungan
bahan organik maka kandungan oksigen terlarut akan semakin berkurang

26

(Goldman dan horne, 1983). Yuday dalam Ruttner (1965) menambahkan bahwa
perairan eutrofik mempunyai kandungan bahan organik lebih dari 12,5 mg/l.
Bahan organik yang masuk ke perairan terdiri dari bahan organik yang dapat
di urai dan bahan organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Bahan
organik ini terbawa oleh arus dari satu tempat ke tempat lainnya, sehingga
nilainya akan berbeda antara tempat satu dengan tempat lainnya. Selain itu,
adanya proses sedimentasi mengakibatkan bahan organik mengendap di dasar
perairan. Pada dasar perairan, bahan organik memiliki nilai yang penting, dimana
pada nilai yang normal bahan organik dapat dimanfaatkan oleh organisme bentik
untuk kehidupan dan pertumbuhannya.
Namun pada kondisi bahan organik yang melimpah di dasar perairan, dapat
berdampak kurang baik bagi organisme bentik. Hal ini dikarenakan pada saat
bahan organik mengalami reduksi, diurai oleh bakteri dalam suasana anaerob,
akan mengeluarkan gas-gas yang bersifat tidak stabil dan toksik seperti ammonia,
metana dan hidrogen sulfida.
3.9 Unsur Hara Nitrogen
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan
fitoplankton dan berperan dalam pembentukan protein. Nitrogen tidak dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh makhluk hidup. Nitrogen harus mengalami
fiksasi terlebih dahulu menjadi NH3, NH4, dan NO3. Meskipun demikian, bakteri
Azetobacter dan Clostridium serta beberapa jenis alga hijau-biru (Cynophyta)
seperti Anabaena dapat memanfaatkan gas N2 secara langsung dari udara sebagai
sumber nitrogen (Tancung, 2007).
Di perairan nitrogen berada dalam bentuk organik dan anorganik. Nitrogen
organik berupa protein, asam amino, dan urea, sedangkan nitrogen anorganik
terdiri dari ammonia (NH3), ammonium (NH4), nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan
molekul Nitrogen (N2) dalam bentuk gas (Sastrawijaya, 1991). Bentuk-bentuk
nitrogen tersebut mengalami transformasi sebagai bagian dari siklus nitrogen.
Sumber nitrogen yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan
akuatik adalah nitrat, ammonium dan gas nitrogen (Muhazir, 2004).

27

Gambar 4. Siklus Nitrogen


1. Sumber
a. Allocthonous (alam dan polutan)--presipitasi, limpasan permukaan, air
tanah
b. Autocthonousorganisme yang memperbaiki Nitrogen
2. Konsentrasi
a. Oligotrophic (<=100 ug/L)
b. Eutrophic (>= 1 mg/L)

28

Haryadi, Suryadiputra, dan Widigdo (1992) mengatakan bahwa nitrogen


dalam bentuk nitrat inilah yang terutama dipergunakan dalam proses fotosintesis
(Gambar 4).
Pada kondisi tidak ada oksigen (anaerob), sejumlah organisme dapat
mempergunakan oksigen yang terikat dalam nitrat ataupun dalam senyawa
teroksidasi lainnya untuk keperluan respirasinya. Ammonia dan nitrit dalam
jumlah tertentu berbahaya bagi organisme akuatik (Haryadi et al.,1992).

Gambar 5. Proses Denitrifikasi (Boyd, 1988)


3.9.1

Ammonia
Ammonia di dalam perairan berasal dari ekskresi hewan akuatik sebagai

hasil dari proses metabolisme dan prosi ekskretori dari ginjal dan jaringan insang.
Kotoran padat dan sisa pakan dari hewan akuatik adalah bahan organik dengan
kandungan protein tinggi yang diuraikan menjadi polipeptida, asam-asam amino
dan akhirnya ammonia sebagai produk akhir yang terakumulasi di dalam air
(Tancung, 2007).
Ammonia jarang ditemukan pada perairan yang mendapat pasokan oksigen.
Sebaliknya, pada wilayah anoksik (tanpa oksigen) yang biasanya terdapat di dasar
perairan kadar ammonia relatif tinggi. Kadar ammonia pada perairan alami
biasanya kurang dari 0,1 mg/l (McNeely et al., 1979). Kadar ammonia bebas yang
tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02
mg/liter. Jika kadar ammonia bebas lebih dari 0,02 mg/liter, perairan bersifat

29

toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer dan McCarty, 1978). Kadar ammonia
yang tinggi dapat dijadikan sebagai indikator adanya pencemaran bahan organik
yang berasal dari limbah domestik, industri dan limpasan (run-off) pupuk
pertanian (Effendi, 2003).
Ammonia dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Ion
ammonium adalah bentuk transisi dari ammonia. Ammonia banyak digunakan
dalam proses produksi urea, industri bahan kimia (asam nitrat, ammonium fosfat,
ammonium nitrat, dan ammonium sulfat), serta industri bubur kertas (pulp and
paper). Sumber ammonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein
dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang
berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah
mati) oleh mikroba jamur. Proses ini dikenal dengan istilah amonifikasi yang
ditunjukkan dalam persamaan reaksi (1)
N organik + O2

NH3-N + O2

Amonifikasi

NO2-N +O2

NO3-N

(1)

nitrifikasi

Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga
banyak mengeluarkan ammonia. Sumber ammonia yang lain adalah reduksi gas
nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri, dan
domestik. Ammonia yang terdapat dalam mineral masuk ke badan air melalui
erosi tanah. Di perairan alami, pada suhu dan tekanan normal, ammonia berada
dalam bentuk gas dan membentuk kesetimbangan dengan gas ammonium
ditunjukkan dalam persamaan reaksi (2),
NH3 + H2O

NH4 + + OH-

(2)

Ammonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap


organisme akuatik. Toksisitas ammonia terhadap organisme akuatik akan
meningkatkan jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu. Ikan
tidak dapat bertoleransi terhadap kadar ammonia bebas yang terlalu tinggi karena
dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah dan pada akhirnya dapat

30

menyebakan sufokasi. Akan tetapi, ammonia bebas ini tidak dapat diukur secara
langsung.
Sumber nitrogen yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan
akuatik adalah nitrat (NO3), ammonia (NH4), dan gas nitrogen (N2). Pupuk yang
mengandung ammonium, misalnya urea, berfungsi untuk menambah pasokan
nitrogen di dalam tanah yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan.
Ammonia jarang ditemukan pada perairan yang mendapat cukup pasokan oksigen.
Sebaliknya, pada wilayah anoksik (tanpa oksigen) yang biasanya terdapat di dasar
perairan, kadar ammonia relatif tinggi.
Kadar ammonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran
bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (run-off)
pupuk pertanian. Kadar ammonia yang tinggi juga dapat ditemukan pada dasar
waduk yang mengalami kondisi tanpa oksigen (anoxic). Toksisitas akut ammonia
yang tidak terionisasi terhadap organisme akuatik sangat bervariasi, ditunjukkan
pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8 Toksisitas Akut (LC50) 96 jam) Ammonia tak Terionisasi terhadap
Organisme Akuatik
Spesie
LC50 96 jam (mg/L)
1. Oligachaeta
1,9
Limnodrillus hoffmeisteri
2. Gastropoda
1,0
Lymanae stagnalis
3. Krustasea
a. Gammarus pulex
2,1
b. Asellus aquaticus
2,3
4. Epheroptera (myfly)
Baetis rhodani (nimpa)
1,7
5. Trichoptera (Caddisfly)
Hydropsyche angustipennis (Larva)
3,0
6. Chironimidae
Chironomus riparus (larva)
1,7
Sumber : Willians et al dalam Effendi, 2003

31

Kadar ammonia pada perairan alami biasanya kurang daro 0,1 mg/L
(McNeely et al., 1979 dalam Effendi, 2003). Kadar ammonia bebas yang tidak
terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaliknya tidak lebih dari 0,02 mg/L,
perairan bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer dan McCarty, 1978
dalam Effendi, 2003).
3.9.2

Nitrit
Nitrit di perairan biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit

daripada nitrat, karena nitrit bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit
merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara
nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi) (Effendi, 2003).
Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Kadar
nitrit pada perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Perairan
alami mngandung nitrit sekitar 0,001 mg/liter dan tidak melebihi 0,06 mg/liter
(Canadian Council of Resources and Environment Ministers, 1987 dalam Effendi,
2003). Kadar nitrit di perairan jarang melebihi 1 mg/liter (Sawyer and McCarty.
1978). Kadar nitrit yang lebih dari 0,05 mg/liter dapat bersifat toksik bagi
organisme perairan yang sangat sensitif (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003).
Untuk keperluan air minum, WHO merekomendasikan kadar nitrit sebaiknya
tidak melebihi 1 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Bagi manusia dan
hewan, nitrit bersifat lebih toksik dari pada nitrat.

3.9.3

Nitrat
Nitrat (NO3)adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan

nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah
larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi
sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses
oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam
siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob (Effendi, 2003). Oksidasi
ammonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi

32

nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Oksidasi nitrit menjadi
ammonia ditunjukkan pada persamaan reaksi (3), sedangkan oksidasi nitrit
menjadi nitrat ditunjukkan pada persamaan reaksi (4)
Nitrosomonas
2NH3 + 3O2

2NO2 + 2H+ + 2H2O

(3)

Nitrobacter
2NO2- + O2

2NO3-

(4)

Proses nitrifikasi seperti yang ditunjukkan pada persamaan di atas sangat


dipengaruhi oleh beberapa parameter sebagai berikut (Krenkel dan Novotny, 1980
dalam Effendi 2003) :
a. Pada kadar oksigen < 2 mg/L, reaksi akan berjalan lambat
b. Nilai pH yang optimum bagi proses nitrifikasi adalah 8-9. Pada pH < 6,
reaksi akan berhenti.
c. Bakteri yang melakukan nitrifikasi cenderung menempel pada sedimen
dan bahan padatan lain
d. Kecepatan pertumbuhan bakteri nitrifikasi lebih lambat daripada bakteri
heterotrof. Apabila pada perairan banyak terdapat bahan organik, maka
pertumbuhan bakteri heterotrof akan melebihi pertumbuhan bakteri
nitrifikasi
e. Suhu optimum proses nitrifikasi adalah 200C- 250C. Pada kondisi suhu
kurang atau lebih dari kisaran tersebut, kecepatan nitrifikasi berkurang.
Nitrat dan ammonium adalah sumber utama nitrogen di perairan. Namun,
ammonium lebih disukai oleh tumbuhan. Kadar nitrat di perairan yang tidak
tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar ammonium. Kadar nitrat-nitrogen
pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter. Kadar nitrat lebih
dari 5 mg/liter menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal
dari aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat-nitrogen yang lebih dari 0,2
mg/liter dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan, yang selanjutnya
menstimulir pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat (blooming)
(Effendi, 2003).
Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan.
Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0-1 mg/L, perairan mesotrofik

33

memiliki kadar nitrat antara 1-5 mg/L, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat
yang berkisar antara 5-50 mg/L (Volenweider, 1969 dalam Effendi, 2003).
Menurut Goldman dan Horne (1983) penyebaran ammonia (NH3), nitrat
(NO3-N), nitrit (NO2-N), akan berbeda setiap kedalaman (Gambar 6).

Gambar 6. Distribusi Amonia (NH4), Nitrat (NO3-N), Nitrit (NO2-N) berdasarkan


Kedalaman pada Perairan Eufotik (Goldman dan Horne, 1983)
3.9.4 Unsur Hara Fosfat
Di perairan, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai
elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan
polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Senyawa fosfor anorganik
yang biasa terdapat di perairan ditunjukkan dalam Tabel 10. Fosfor membentuk
kompleks ion besi dan kalsium pada kondisi aerob, bersifat tidak larut, dan
mengendap pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh algae akuatik
(Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003)
Tabel 3.9 Senyawa Fosfor Anorganik yang Biasa Terdapat di Perairan
Nama Senyawa Fosfor
Rumus Kimia
Ortofosfat :
1. Trinatrium fosfat
Na3PO4
2. Dinatrium fosfat
Na2HPO4
3. Mononatrium fosfat
NaH2PO4
4. Diamonium fosfat
(NH3)2HPO4
Polifosfat :
1. Natrium heksametafosfat
Na3 (PO3)6
2. Natrium tripolifosfat
Na5P3O10
3. Tetranatrium pirofosfat
Na4P2O7
Sumber : Sawyer dan McCarty, 1978

34

Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan


(Dugan, 1972 dalam Effendi, 2003). Karakteristik fosfor sangat berbeda dengan
unsur-unsur lain yang merupakan penyusun biosfer karena unsur ini tidak terdapat
di atmosfer. Pada kerak bumi, keberadaan fosfor relatif sedikit dan mudah
mengendap. Fosfor juga merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi
dan algae, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae
akuatik serta sangat mempengaruhi produktivitas perairan. Jones dan Bachman,
1976 (dalam Effendi, 2003) mengemukakan korelasi positif antara kadar fosfor
total dan klorofil a, hubungan antara kadar fosfor total dan klorofil a tersebut
ditunjukkan dalam persamaan (5)
Log (klorofil a) = -1,09 + 1,46 Log Pt
Keterangan : Klorofil a = konsentrasi klorofil a (mg/m3)
Pt
= Fosfor total (mg/m3)

(5)

Fosfat merupakan salah satu makronutrien bagi pertumbuhan algae di


perairan. Di ekosistem perairan fosfat berada dalam bentuk organik dan
anorganik. Unsur fosfat dalam bentuk senyawa anorganik adalah ortofosfat
(PO43-), metafosfat (P3O93-)dan polifosfat (P3O105-). Sedangkan fosfat organik
berada dalam tubuh organisme melayang atau senyawa organik (Goldman dan
Horne, 1983).
Fosfat merupakan elemen penting dalam aktivitas biologi. Konsentrasi
fosfat ditentukan oleh sintesa metabolisme, proses dekomposisi, proses pencucian
fosfat, pelapukan batuan, pupuk buatan dan buangan domestik Ortofosfat (PO4-P)
merupakan fosfo dalam bentuk anorganik yang dapat langsung dimanfaatkan dan
mudah diserap oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya. Bila kadar fosfat dalam
air rendah (<0,01 mg/l) maka pertumbuhan fitoplankton akan terhambat dan
apabila kandungan cukup tinggi akan meningkatkan perkembangan fitoplankton
dan akan terjadi eutrofikasi (Lind, 1979). Kandungan fosfat dalam air merupakan
karakteristik kesuburan perairan bersangkutan. Pada umumnya perairan yang
mengandung ortofosfat antara 0,003-0,010 mg/l adalah perairan yang oligotrofik.
Kandungan antara 0,011-0,030 mg/l adalah perairan yang mesotrofik dan
kandungan antara 0,031-0,100 mg/l adalah perairan yang eutrofik (Vollenweider

35

in Wetzel,1975 dalam Effendi 2003). Untuk pertumbuhan optimum fitoplankton


dibutuhkan kadar ortofosfat sebesar 0,09-1,80 mg/l.
Seperti halnya nitrogen, fosfor merupakan unsur penting dalam suatu
ekosistem air. Zat-zat organik terutama protein mengandung gugus fosfor,
misalnya ATP, yang terdapat di dalam sel makhluk hidup dan berperan penting
dalam penyediaan energi. Dalam ekosistem fosfor terdapat dalam tiga bentuk
yaitu senyawa fosfor anorganik seperti ortofosfat, senyawa organik dalam
protoplasma dan sebagai senyawa organik terlarut yang berbentuk dari proses
penguraian tubuh organisme (Baru, 2004).

Gambar 7. Siklus Fosfor yang Disederhanakan


Keberadaan fosfor di perairan adalah sangat penting terutama berfungsi
dalam pembentukan protein dan metabolisme bagi organisme. Fosfor juga
berperan dalam transfer energi di dalam sel misalnya adenosine triphosfate (ATP)
dan adenosine diphosphate (ADP). Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi
dari asam ortofosfat adalah bentuk yang paling sederhana di perairan. Reaksi
ionisasi ortofosfat ditunjukkan dalam persamaan berikut,
H3PO4

H+ + H2PO4-

H2PO4-

H+ + HPO42-

HPO4-

H+ + PO43-

36

Ortofosfat merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara


langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis
membentuk ortofosfat terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan sebagai
sumber fosfor. Kandungan fosfat yang terdapat di perairan umumnya tidak lebih
dari 0,1 mg/l, kecuali pada perairan yang menerima limbah dari rumah tangga dan
industri tertentu, serta dari daerah pertanian yang mendapat pemupukan fosfat.
Oleh karena itu, perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi
melebihi kebutuhannormal organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya
eutrofikasi (Barus, 2004).
Tabel 3.10 Nilai Kandungan PO43- -P di Waduk Ir. H. Juanda di Beberapa Lokasi
dan Tahun yang Berbeda.
Nilai PO43- -P (mg/l)

Lokasi

0,07-0,11

Keseluruhan waduk

0,107
0,015-0,061

Ubrug
Keseluruhan waduk

0-1,24

Pasir kole

0-0,69
0,103-1,004
0,047-0,065
0,029-0,084
0,072-0,111
0,042-0,058

Japung Ciganea
Keseluruhan waduk
Japung Tegal Malaka
Keseluruhan waduk
Inlet Sungai Citarum
Inlet Sungai Cilalawi

Sumber
Sub-Balitkanwar Jatiluhur
in Umaly et al. 1990
Sukimin dan Umaly, 1983
Nastiti, 1989
Krismono dan Purnomo,
1991
Tjahjo, 1993
Soraya, 1997
Soraya, 1997
Putri, 1997
Lukfiana, 1999
_

37

BAB IV
LOGAM BERAT
4.1 Merkuri (Hg)
Merkuri (Hg) adalah unsur renik pada kerak bumi, yakni hanya sekitar 0,08
mg/kg (Moore, 1991). Pada perairan alami, merkuri juga hanya ditemukan dalam
jumlah yang sangat kecil. Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berada
dalam bentuk cairan pada suhu normal. Merkuri terserap dalam bahan-bahan
partikulat dan mengalami presipitasi. Pada dasar perairan anaerobik, merkuri
berkaitan dengan sulful.
Sumber alami merkuri yang paling umum adalah cinnabar (HgS) (Novotny
dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Selain itu, mineral sulfida , misalnya
sphelerite (ZnS), wurtzite (ZnS), Chalcopyrite (CuFeS), dan galena (PbS), juga
mengandung merkuri. Cinnabar sukar larut dalam air. Namun, pelapukan
bermacam-macam batuan dan erosi tanah dapat melepaskan merkuri ke dalam
lingkungan perairan (McNeely et al., 1979 dalam Effendi, 2003).
Kadar merkuri pada perairan tawar alami berkisar antara 10-100 mg/L,
sedangkan pada perairan laut berkisar antara <10-30 mg/L (Moore, 1991 dalam
Effendi, 2003). Senyawa merkuri bersifat toksik pada manusia dan hewan.
Senyawa merkuri bersifat toksik bagi ikan dan biota kuatik lainnya karena
dapat menyebabkan biomagnifikasi pada jaring makanan. Organisme yang berada
pada rantai yang paling tinggi memiliki kadar merkuri yang lebih tinggi daripada
organisme di bawahnya (Tabel 4.1)
Tabel 4.1 Biomagnifikasi Merkuri pada beberapa Organisme Anggota Jaring
Makanan pada Ekosistem Perairan
Jenis Organisme
Kadar Merkuri (g/kg berat basah)

38

1. Sedimen
2. Fitoplankton
3. Tumbuhan tingkat tinggi
4. Zooplankton
5. Zoobentos herbivore
6. Zoobentos karnivora
7. Jenis ikan herbivore
8. Jenis ikan karnivora
9. Bebek/itik
10. burung pemakan ikan
Sumber : Sarkk et al., 1978 dalam Effendi, 2003

87-114
15
9
13
77
83
332-500
604-1.510
240
2.512-13.685

Untuk melindungi kehidupan organisme di Kanada dan European


Community (EC), kadar merkuri yang diperbolehkan berturut-turut adalah 0,1
g/liter dan 0,2 g/liter, sedangkan untuk melindungi kehidupan organisme laut di
EC, kadar merkuri yang diperbolehkan tidak lebih dari 0,3 g/liter (Moore, 1991
dalam Effendi, 2003). Kadar merkuri dalam air minum sebaiknya tidak melebihi
0,002 mg/L (Davis and Cornwell, 1991 dalam Effendi, 2003).
4.2 Timbal (Pb)
Lead timbal/timah hitam (Pb) pada perairan ditemukan ditemukan dalam
bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal cukup rendah sehingga kadar
timbal di dalam air relatif sedikit. Kadar dan toksisitas timbal dipengaruhi oleh
kesadahan, pH, alkalinitas, dan kadar oksigen. Timbal diserap dengan baik oleh
tanah sehingga pengaruhnya terhadap tanaman relatif kecil. Kadar timbal pada
kerak bumi sekitar 15 mg/kg. Sumber alami timbal adalah galena (PbS), gelesite
(PbSO4), dan cerrusite (PbCO3) (Novotny dan Olem, 1994; Moore, 1991 dalam
Effendi, 2003). Bahan bakar yang mengandung timbal juga turut memberikan
kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal di dalam air. Di perairan tawar
timbal membentuk senyawa kompleks yang, dan memiliki sifat kelarutan rendah
dengan beberapa anion, misalnya hidroksida, karbonat, sulfida, dan sulfat.
Akumulasi timbal di dalam tubuh manusia mengakibatkan gangguan pada
otak dan ginjal, serta kemunduran mental pada anak yang sedang tumbuh.
Perairan tawar alami biasanya memiliki kadar timbal < 0,05 mg/L. Pada perairan
laut, kadar timbal sekitar 0,025 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003).

39

Kelarutan timbal pada perairan lunak (soft water) adalah sekitar 0,5 mg/L,
sedangkan pada perairan sadah (hard water) sekitar 0,003 mg/L. Canadian
Council of Resource and Environment Ministers (1987) mengemukakan hubungan
antara kadar timbal dengan nilai kesadahan di perairan yang ditunjukkan pada
Tabel 4.2

Tabel 4.2 Kadar Timbal pada beberapa Nilai Kesadahan


Kesadahan (mg/L CaCO3)
Kadar Timbal (g/liter)
0-60 (lunak/soft)
1
60-120 (sedang/medium)
2
120-180 (sadah/hard)
4
>180 (sangat sadah/very hard)
7
Sumber : Effendi, 2003
Timbal tidak termasuk unsur esensial bagi mahkluk hidup, bahkan unsur ini
bersifat toksik bagi hewan dan manusia karena dapat terakumulasi pada tulang.
Toksisitas timbal terhadap tumbuhan relatif lebih rendah dibandingkan dengan
unsur renik lainnya.
Pada perairan yang diperuntukkan bagi air minum, kadar maksimum timbal
adalah 0,05 mg/L (Davis dan Cornwell, 1991 ; Moore, 1991 dalam Effendi, 2003).
Untuk melindungi hewan ternak, kadar timbal sebaiknya tidak melebihi 0,1 mg/L.
Kadar timbal yang diperuntukkan bagi keperluan pertanian pada tanah yang
bersifat netral dan alkalis adalah 10 mg/L, sedangkan pada tanah yang bersifat
asam adalah 5 mg/L.
Toksisitas timbal terhadap organisme akuatik berkurang dengan
meningkatnya kesadahan dan kadar oksigen terlarut. Toksisitas timbal lebih
rendah dari pada kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan tembaga (Cu), akan tetapi
lebih tinggi dari pada kromium (Cr), Mangan (Mn), barium (Ba), seng (Zn), dan
besi (Fe).
4.3 Kadmium (Cd)
Bersama-sama dengan Hg, Pb, dan V, kadmium (Cd) merupakan logam
yang hingga saat ini belum diketahui jelas peranannya bagi tumbuhan dan

40

makhluk hidup lain. Di dalam air, Cd terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit
(renik) dan bersifat tidak larut dalam air. Kadar kadmium pada kerak bumi sekitar
0,2 mg/kg (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Sumber alami cadmium adalah
greenockite (Cds), hawleyite, sphalerite, dan otavite (Moore, 1991 dalam Effendi,
2003).
Kadar kadmium pada perairan tawar alami sekitar 0,0001-0,01 mg/L,
sedangkan pada perairan laut sekitar 0,0001 mg/L (McNeely et al., 1979 dalam
Effndi 2003). Menurut WHO, kadar kadmium maksimum pada air yang
diperuntukkan bagi air minum adalah 0,005 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi,
2003). Pada perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perairan dan
peternakan, kadar kadmium sebaiknya tidak melebihi 0,05 mg/L. Untuk
melindungi kehidupan pada ekosistem akuatik, perairan sebaiknya memiliki kadar
kadmium sekitar 0,0002 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003).
Kadmium bersifat kumulatif dan sangat toksik bagi manusia karena dapat
mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan paru-paru, meningkatkan tekanan
darah, dan mengakibatkan kemandulan pada pria dewasa. Kasus keracunan
kadmium yang cukup terkenal adalah timbulnya penyakit Itai-itai di Jepang,
ditandai dengan rasa sakit pada tulang dan terjadi pengeroposan tulang. Kadmium
juga bersifat sangat toksik dan bioakumulasi terhadap organisme (Effendi, 2003).
Toksisitas kadmium dipengaruhi oleh pH dan kesadahan. Selain itu,
keberadaan zinc dan timbal dapat mempengaruhi toksisitas kadmium. Canadian
Cauncil of Resources and Environment Ministers (1987) melaporkan hubungan
antara kadar kadmium dan nilai kesadahan yang ditunjukkan pada tabel 4.3
(Effendi, 2003).
Tabel 4.3 Kadar Kadmium pada beberapa Nilai Kesadahan
Kesadahan (mg/L CaCO3)
Kadar Kadmium (g/liter)
0-60 (lunak/soft)
0,2
60-120 (sedang/medium)
0,8
120-180 (sadah/ hard)
1,3
>180 (sangat sadah/ very hard)
1,8
Sumber : Effendi, 2003
4.4 Seng (Zn)

41

Seng (zinc) termasuk unsur yang terdapat dalam jumlah berlimpah di alam.
Kadar seng pada kerak bumi sekitar 70 mg/kg (Moore, 1991 dalam Effendi,
2003). Kelarutan unsur seng dan oksida seng dalam air relatif rendah. Seng yang
berakitan dengan klorida dan sulfat mudah terlarut, shingga kadar seng dalam air
dipengaruhi bentuk senyawanya. Ion seng mudah terserap ke dalam sedimen dan
tanah. Silika terlarut dapat meningkatkan kadar seng, karena silika mengikat seng.
Jika perairan bersifat asam, kelarutan seng meningkat. Kadar seng pada perairan
alami <0,05 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003); pada perairan asam
mencapai 50 mg/L; dan pada perairan laut 0,01 mg/L (McNeely et al., 1979 dalam
Effendi, 2003).
Seng termasuk unsur yang esensial bagi makhluk hidup, yakni berfungsi
untuk membantu kerja enzim. Seng juga diperlukan dalam proses fotosintesis
sebagai agen bagi transfer oksigen dan berperan dalam pembentukan protein.
Davis dan Cornwell (1991) dalam Effendi (2003) mengemukakan bahwa seng
tidak bersifat toksik bagi manusia, akan tetapi pada kadar yang tinggi dapat
menimbulkan rasa pada air.
Kadar seng pada air sebaiknya tidak lebih dari 5 mg/L (McNeely et al., 1979
dalam Effendi, 2003). Toksisitas seng menurun dengan meningkatnya kesadahan,
dan meningkat dengan meningkatnya suhu dan menurunnya kadar oksigen
terlarut. Kadar seng di perairan pada beberapa nilai kesadahan ditunjukkan dalam
Tabel 4.4 (Taylor dan Demayo, 1980 pada Effendi, 2003).
Tabel 4.4. Kadar Seng pada beberapa Nilai Kesadahan
Kesadahan (mg/L CaCO3)
Kadar Seng (mg/L)
0-120
0,05
120-180
0,10
180-300
0,20
>300
0,30
Sumber : Effendi, 2003
Bersama-sama dengan K, Mg, dan Cd, seng bersifat aditif, toksisitasnya
merupakan penjumlahan dari masing-masing logam. (Moore, 1991 dalam Effendi,
2003). Toksisitas seng dan tembaga bersifat sinergetik, yaitu mengalami

42

peningkatan, lebih toksik daripada penjumlahan keduanya (Peavy et al., 1985


dalam Effendi, 2003).
4.5 Tembaga (Cu)
Tembaga atau cupper (Cu) merupakan logam berat yang dijumpai pada
perairan alami dan merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan dan hewan.
Pada tumbuhan, termasuk algae, tembaga berperan sebagai penyusun
plastocyanin yang berfungsi dalam transport elektron dalam proses fotosintesis
(Boney, 1989 dalam Effendi, 2003). Garam-garam tembaga divalen, misalnya
tembaga klorida, tembaga sulfat, dan tembaga nitrat, bersifat sangat mudah larut
dalam air, sedangkan tembaga karbonat, tembaga hidroksida, dan tembaga sulfida
bersifat tidak mudah larut dalam air. Apabila masuk ke dalam perairan alami yang
alkalis, ion tembaga akan mengalami presipitasi dan mengendap sebagai tembaga
hidroksida dan tembaga karbonat.
Kadar tembaga pada kerak bumi sekitar 50 mg/kg (Moore, 1991 dalam
Effendi, 2003). Sumber alami tembaga adalah chalcopyrite (CuFeS2), copper
sulfida (CuS2), malachite [Cu2(CO3)(OH)2], dan azurite [Cu3(CO3)2(OH)2]
( Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003).
Pada perairan alami, kadar tembaga biasanya , 0,02 mg/L (Moore, 1991
dalam Effendi, 2003). Air tanah dapat mengandung tembaga sekitar 12 mg/L.
Pada perairan laut, kadar tembaga berkisar antara 0,001-0,025 mg/L (McNeely et
al., 1979 dalam Effendi 2003). Kadar tembaga maksimum pada air minum adalah
0,1 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Defisiensi tembaga dapat
mengakibatkan anemia; namun, kadar tembaga yang berlebihan dapat
mengakibatkan air menjadi berasa dan dapat menyebabkan kerusakan hati apabila
diminum.
Toksisitas tembaga (EC50) bagi microalgae Scenedesmus quadricauda
berkisar antara 0,1-0,3 mg/L. Nilai LC50 tembaga bagi avertebrata air tawar dan
laut biasanya <0,5 mg/L, sedangkan terhadap ikan-ikan air tawar biasanya
berkisar antara 0,02- 1,0 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003) Toksisitas
copper dengan menurunnya nilai kesadahan dan alkalinitas. Hubungan antara
kesadahan dan kadar tembaga ditunjukkan dalam Tabel 4.5

43

Tabel 4.5 Kadar Tembaga pada beberapa Nilai Kesadahan


Kesadahan (mg/L CaCO3)
Kadar Tembaga (mg/L)
0-60 (lunak/soft)
2
60-120 (sedang/ medium)
2
120-180 (sadah/hard)
4
>180 (sangat sadah/ very hard)
6
Sumber : Effendi, 2003

BAB V
PARAMETER BIOLOGI PERAIRAN
5.1 Fitoplankton
Fitoplankton adalah makhluk renik yang melayang di permukaan air
(Yatim,2003). Menurut Nontji (2006), fitoplankton merupakan tumbuhan yang
seringkali ditemukan di seluruh massa air pada zona eufotik, berukuran
mikrokopis dan memiliki klorofil sehingga mampu membentuk zat organik dari
zat anorganik melalui fotosintesis.
Fitoplankton sebagai organisme autotrof menghasilkan oksigen yang akan
dimanfaatkan oleh organisme lain, sehingga fitoplankton mempunyai peranan
penting dalam menunjang produktifitas perairan. Keberadaan fitoplankton
dapatdilihat berdasarkan kelimpahannya di perairan, yang dipengaruhi oleh
parameter lingkungan (Lukman dkk, 2006).
Selain sebagai produsen primer, Fitoplankton juga sebagai penghasil
oksigen terlarut di perairan bagi organisme lain (Kamali, 2004). Menurut Sachlan
(1982), fitoplankton termasuk kelompok alga yang terbagi ke dalam 7 divisio,
yaitu :
1. Cyanophyta (alga biru) yang berada di air tawar dan air laut,
2. Chlorophyta (alga hijau) yang berada banyak di air tawar dan sedikit di
3.
4.
5.
6.
7.

air laut,
Chrysophyta (alga kuning) yang berada di air tawar dan air laut
Pyiiophyta (Plankton) yang berada di air tawar dan air laut,
Euglenophyta yang berada di air tawar dan air payau,
Phaeophyta (alga coklat) yang hanya hidup sebagai rumput laut, dan
Rhodophyta (alga merah) yang hanya hidup sebagai rumput laut.

44

Fitoplankton memiliki klorofil yang berperan dalam fotosintesis untuk


menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air yang digunakan sebagai dasar
mata rantai pada siklus makanan di perairan. Namun Fitoplankton tertentu
mempunyai peran menurunkan kualitas perairan apabila jumlahnya berlebih
(blooming). Tingginya populasi fitoplankton beracun di dalam suatu perairan
dapat menyebabkan berbagai akibat negatif bagi ekosistem perairan, seperti
berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan kematian berbagai
makhluk air lainnya. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa beberapa jenis
fitoplankton yang potensial blooming adalah yang bersifat toksik, seperti dari
beberapa kelompok Dinoflagellata, yaitu Alexandrium spp, Gymnodinium spp,
dan Dinophysis spp.
Fitoplankton dapat ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan
sampai pada kedalaman dimana intensitas cahaya matahari masih memungkinkan
untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fitoplankton ini merupakan
komponen flora yang paling besar peranannya sebagai produsen primer di suatu
perairan (Odum, 1993).
Fitoplankton dapat dijadikan indikator biologi yang dapat menentukan
kualitas perairan baik melalui pendekatan keragaman spesies maupun spesies
indikator. Fitoplankton sebagai indikator biologis bukan saja menetukan tingkat
kesuburan perairan, tetapi juga fase pencemaran yang tejadi dalam perairan
(Basmi, 1998). Fitoplankton juga merupakan penyumbang oksigen terbesar di
dalam suatu perairan. Pentingnya peranan fitoplankton sebagai pengikat awal
energi matahari menjadikan fitoplankton berperan penting bagi kehidupan
perairan (Fachrul, 2006).
5.2 Komposisi dan Biomassa Fitoplankton
Jenis fitoplankton yang umum di jumpai di perairan tawar adalah dari
spesies yang berflagella dan berkoloni, serta spesies bersel satu yang tidak
mempunyai daya gerak. Menurut Ruttner (1965), komposisi jenis fitoplankton
yang umum di jumpai di perairan tawar berasal dari kelas Bacillariophyceae,
Chlorophyceae, Cryptophyceae, Chrysophyceae, cyanophyceae, Dinophyceae,

45

Euglenophyceae, dan Xanthophyceae. Kelas Cyanophyceae dan Chlophyceae


merupakan jenis fitoplankton yang dominan di perairan tawar tergenang.
Menurut Umar (2003), jenis fitoplankton yang ditemukan di waduk Ir. H.
Juanda terdiri dari kelas Cyanophyceae, Chlorophyceae, Bacillariophyceae, dan
Dinophyceae. Adapun genera dari kelas Cyanophyceae yang ditemukan adalah
Oscillatoria, Merismopedia, Anabaena, dan Lyngbia. Genera dari Chlorophyceae
adalah Zygnema, Skenedesmus dan Staurastrum. Genera dari Bacillariophyceae
adalah Diatoma, Fragillaria dan Synedra, sedangkan genera dari Dinophyceae
yang ditemukan adalah peridinium dan Ceratium.
Komposisi fitoplankton pada kolom air dipengaruhi oleh laju
penenggelaman yang berbeda dari setiap divisi fitoplankton. Menurut Reynold
(1984), kemampuan mengapung fitoplankton dibagi menjadi tiga golongan, yaitu
kemampuan mengapung negatif, positif dan netral. Berdasarkan kemampuan
mengapung pada setiap kelompok fitoplankton tersebut, maka pada kolom air
ditemukan komposisi fitoplankton yang berbeda. Pada lapisan permukaan pada
umumnya ditemukan kelompok fitoplankton degan daya apung positif yang
biasanya dimiliki oleh Cyanophyceae. Dilapisan bawahnya terdapat kelompok
fitoplankton dengan daya apung netral yang dimilki oleh Chlorococales,
sedangkan pada lapisan paling bawah terdapat fitoplankton dengan daya apung
negatif yang dimiliki oleh kelompok Chrysophyta. Reynold (1984) menambahkan
bahwa keadaan di perairan mungkin berbeda dengan teori yang ada. Fitoplankton
bisa ditemukan pada seluruh badan air. Walaupun tidak memiliki kemampuan
berenang, namun keberadaannya dapat dipengaruhi oleh adanya arus atau gerakan
massa air.
Kepadatan fitoplankton di perairan dapat diduga dengan menghitung nilai
biomassa. Pada hakikatnya biomassa bermakna banyaknya zat hidup persatuan
luas atau persatuan volume pada suatu daerah dan pada suatu waktu tertentu
(Chusing et al. In Nontji, 1984). Faktor-faktor lingkungan seperti cahaya, suhu,
unsur hara, komposisi jenis, dan ukuran plankton dapat mempengaruhi biomassa
dan produktivitas primer, selanjutnya antara biomassa dan produktivitas primer
saling mempengaruhi satu sama lain (Gambar 7). Nastiti (1989) menambahkan
beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi komposisi dan biomassa

46

fitoplankton, yaitu laju penenggelaman, grazing, parasit/ penyakit dan proses


penuaan/ kematian alami.

Faktor-faktor lingkungan Primer :


(Cahaya, suhu, unsur hara dll)
Biomassa

Produktivitas

Komposisi jenis
Ukuran (Net plankton, nano plankton)

Gambar 8. Diagram Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Biomassa dan


Produktivitas Plankton (Nontji, 1984)
Penentuan biomassa fitoplankton terdiri dari metode pencacahan sel,
pengukuran volume, berat basah, berat kering, kandungan karbon, klorofil dan
ATP (Adenosine triphosphate). Setipa metode mempunyai kelebihan dan
kelemahan sehingga sulit untuk membuat pembakuan metode penentuan
biomassa. Salah satu metode penentuan pendekatan biomassa adalah dengan
pengukuran volume fitoplankton yang ditemukan. Metode pengukuran volume
memerlukan penggunaan mikroskop secra teliti sehingga masing-masing jenis
fitoplankton dapat di ukur dengan tepat. Kelebihan dari metode pengukuran
volume adalah fitoplankton secara mudah dipisahkan dengan partikel lain
(Schroeder in Nastiti, 1989). Pengukuran volume fitoplankton dilakukan dengan
cara menyamakan bentuk dasar dari suatu jenis fitoplankton ke dalam bangun
geometri. Dan dengan asumsi bahwa berat jenis fitoplankton di air tawar sama
dengan satu, maka dari volume fitoplankton tersebut dapat diketahui
biomassanya.
5.3 Struktur Komunitas Fitoplankton

47

Struktur komunitas adalah susunan individu dari beberapa jenis atau spesies
yang terorganisir membentuk komunitas. Struktur komunitas dapat dipelajari
dengan mengetahui satu atau dua aspek khusus tentang organik komunitas yang
bersangkutan seperti keanekaragaman, zonasi dan kelimpahan (Brower dan Zar,
1990). Krebs (1972), mengemukakan bahwa struktur komunitas mempunyai 5
karakteristik, yaitu keanekaragaman jenis, bentuk pertumbuhan dan struktur,
dominansi, kelimpahan relatif dan struktur trofik.
Pada suatu perairan sering didapatkan adanya jumlah individu fitoplankton
yang berlimpah pada suatu stasiun, sedangkan stasiun lainnya di perairan yang
sama jumlah tersebut sangat sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi
horizontal fitoplankton disuatu perairan tidak merata. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kelimpahan fitoplankton dalam suatu perairan adalah angin, arus,
kandungan nutrien, predator, cahaya, suhu, kecerahan, alkalinitas, kekeruhan, pH,
gas-gas terlarut, kompetitor, bentuk pinggiran garis pantai, air yang masuk ke
dalam perairan dan pengaruh tidak langsung dari migrasi diurnal fitoplankton itu
sendiri (Ruttner, 1965; Wetzel, 1975).
Menurut Raymont (1963) hubungan antara komunitas fitoplankton dengan
perairan adalah positif. Bila kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi,
maka dapat juga diduga perairan tersebut memiliki produktivitas perairan yang
tinggi pula. Perairan yang bersifat oligotrofik mempunyai kelimpahan
fitoplankton antara 0-2000 ind/l, perairan yang bersifat mesotrofik mempunyai
kelimpahan fitoplankton sebesar 2000-15000 ind/l, sedangkan perairan yang
bersifat eutrofik mempunyai kelimpahan fitoplankton lebih besar dari 15000 ind/l
(Landner, 1976).
Keanekaragaman spesies dapat dikatakan sebagai keheterogenan spesies dan
mempunyai ciri khas struktur komunitas yang erat kaitannya dengan kondisi
lingkungan diman biota itu hidup, Clark (1974) mengemukakan bahwa
keanekaragaman menunjukkan keberadaan suatu spesies dalam suatu ekosistem.
Tingginya keanekaragaman menunjukkan suatu ekositem yang seimbang dan
memberikan peranan yang besar untuk menjaga keseimbangan terhadap kejadian
yang merusak ekosistem. Menurut Krebs (1972) ada dua komponen dari

48

keanekaragaman yang dipadukan oleh Shannon-Wiener (1) jumlah spesies dan


(2) keseragaman jumlah tiap individu jenis.
Keseragaman dapat dikatakan sebagai keseimbangan komposisi setiap
spesies dalam suatu komunitas (Krebs, 1972). Brwser dan Zar (1990) menyatakan
bahwa keseragaman disebut sebagai keseimbangan dari komposisi individu dari
setiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Jika keseragaman mendekati
minimum maka dalam komunitas tersebut terjadi dominansi spesies dan
sebaliknya, jika keseragaman mendekati maksimum maka dapat dikatakan
komunitas tersebut dalam kondisi yang relatif mantap.
Di dalam komunitas, jenis-jenis yang mengendalikan komunitas merupakan
jenis yang dominan. Hilangnya jenis-jenis yang dominan akan menimbulkan
perubahan-perubahan penting tidak hanya pada komunitas biotiknya sendiri tetapi
juga dalam lingkungan fisiknya (Odum, 1971). Spesies yang dominan dalam suatu
komunitas memperlihatkan kekuatan spesies itu dibanding spesies lainnya (Krebs,
1972).
5.4 Kebutuhan Unsur Hara untuk Fitoplankton
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, fitoplankton sangat
membutuhkan nutrien. Nutrien yang dibutuhkan fitoplankton dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu : makro nutrien dan mikro
nutrien. Makro nutrien adalah nutrien yang dibutuhkan dalam jumlah banyak (C,
H, O, N, S, P, K, Mg, Ca, Na, dan Cl) dan mikro nutrien adalah nutrien yang
dibutuhkan dalam jumlah sedikit (Fe, Mn, Cu, Zn, B, Mo, Si, V dan Co). Unsur N
dan P sering dijadikan sebagai faktor pembatas di dalam suatu perairan karena
kedua unsur ini dibutuhkan oleh fitoplankton dalam jumlah yang besar, namun
bila kedua unsur tersebut ketersediaanya di habitat bersangkutan dibawah
kebutuhan minimum, akibatnya pertumbuhan fitoplankton akan terganggu atau
populasinya akan menurun (Basmi, 1995).
5.5 Kelimpahan Fitoplankton dan Peranannya Sebagai Bio-Indikator
Kelimpahan fitoplankton didefinisikan sebagai jumlah individu fitoplankton
persatuan volume air (Ruttner, 1965). Kelimpahan fitoplamkton dapat terjadi bila

49

faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya dalam keadaan optimum.


Menurut Basmi (1988), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton,
antara lain adalah :
a. Cahaya matahari dan suhu air
b. Faktor-faktor unsur hara organik
c. Kemampuan fitoplankton untuk beradaptasi terhadap intensitas cahaya
matahari yang tingi
d. Interaksi dari senyawa organik dengan unsur hara anorganik
e. Faktor-faktor biologis yang menyebabkan terjadinya kompetisi terhadap
nutrien yang dibutuhkan dan adanya predasi
Secara kuantitatif, kalimpahan atau suburnya fitoplankton di suatu perairan
belum tentu akan menunjang usaha perikanan dengan baik. Goldman dn Horne
(1983), mencontohkan bahwa kelimpahan fitoplankton dari jenis alga biru dan
alga hijau yang berbentuk filamen tidak dapat menunjang usaha perikanan karena
jenis-jenis tersebut tidak disenangi oleh ikan. Disamping itu, tingginya
kelimpahan fitoplankton juga mempunyai dampak pada kualitas fisika-kimia
perairan atau dengan kata lain ada hubungan antara kelimpahan fitoplankton
dengan kulitas lingkungan perairan.
Fitoplankton dapat berperan dalam penentuan tingkat kesuburan melalui
pendekatan biologis dan ini merupakan pendekatan yang paling efisien
(Suwignyo, 1986). Selanjutnya dikatakan bahwa pendekatan biologis untuk
menilai kualitas air memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
a. Dapat memberikan informasi yang relevan secara sederhana dan tepat
b. Masih dapat dilakukan pada kondisi perairan yang kurang menguntungkan,
karena struktur komunitas masih dapat bertahan pada kondisi tersebut
c. Memberikan informasi yang tidak dapat diberikan oleh metode
lain,misalnya tentang pengaruh bahan toksik terhadap status biologi
d. Dapat menjadi petunjuk adanya pencemaran kimia
Nilai kelimpahan fitoplankton menjadi indikator bagi kondisi lingkungan
suatu perairan terutama mengenai keberadaan unsur hara di dalamnya (Goldman
dan Horne , 1983). Indikasi yang dimaksud adalah perairan yang kaya unsur hara
(eutrof) mempunyai jumlah jenis fitoplankton yang sedikit dengan jumlah
individu per jenis yang tinggi, sedangkan perairan yang miskin unsur hara
(oligotrof) berlaku hal yang sebaliknya.
Lingkungan yang tidak layak bagi kehidupan fitoplankton dapat
menurunkan kelimpahannya. Keadaan ini berhubungan erat dengan tingkat

50

kesuburan perairan dimana Landner (1976) menyatakan bahwa perairan


oligotrofik mempunyai kelimpahan fitoplankton sebesar 0-2000 individu/liter,
perairan mesotrofik 2000-15000 ind/l, dan perairan eutrofik >15000 ind/l.
Lingkungan pun akan mempengaruhi kemerataan fitoplankton di dalam
perairan. Pada pengamatan di lapangan diperoleh suatu kecenderungan adanya
ketidak merataan tingkat kelimpahan fitoplankton di dalam perairan baik secara
horizontal maupun vertikal. Davis (1955) mengemukakan bahwa pada setiap
penelitian diberbagai perairan selalu didapatkan adanya perbedaan kelimpahan
individu fitoplankton antar stasiun pengamatan.
Ketidakmerataan distribusi fitoplankton disutu perairan dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi distribusi horizontal
fitoplankton antara lain adalah angin (menyebabkan penumpukkan disuatu
tempat), aliran sungai, dan perbedaan kedalaman perairan, sedangkan yang
mempengaruhi distribusi vertikal fitoplankton antara lain intensitas cahaya
matahari, ketersediaan makanan (unsur hara), gas-gas terlarut, gaya gravitasi
bumi, dan umur organisme (Davis, 1955).
Fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu dari parameter ekologi yang
dapat menggambarkan kondisi kualitas perairan. Fitoplankton merupakan dasar
produsen primer mata rantai makanan di perairan (Dawes, 1981). Keberadaannya
di perairan dapat menggambarkan status suatu perairan, apakah dalam keadaan
tercemar atau tidak (Lukman dkk, 2006). Fitoplankton yang menjadi indikator
pencemaran dalam perairan dapat dilihat pada gambar berikut (Fukuyo, 2000).

51

Gambar 9. Jenis-jenis Fitoplankton Indikator Pencemar Air (Sumber, Fukuyo)


Kelimpahan fitoplankton memiliki hubungan positif dengan kesuburan
perairan. Apabila kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi maka perairan
tersebut cenderung memiliki produktifitas yang tinggi pula (Raymont, 1963
dalam Kamali, 2004). Basmi (1987), menggolongkan kesuburan perairan
berdasarkan kelimpahan plankton sebagai berikut.

52

Tabel 5.1 Kesubura Perairan berdasarkan Kelimpahan Fitoplankton


Kesuburan Perairan
Kelimpahan Plankton
Perairan Oligotrofik
<2000 ind/L
Perairan Mesotrofik
2000-15000 ind/L
Perairan Eutrofik
>15.000 ind/L
(Basmi, 1987)

Gambar 10. Jenis-Jenis Fitoplankton Indikator Kesuburan Perairan


5.6 Indeks Biologi
Indeks biologi merupakan indeks yang biasa digunakan untuk menganalisis
dinamika populasi serta komunitas biota di dalam suatu ekosistem perairan.
Dalam hal ini aplikasi indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi
digunakan untuk mengetahui struktur komunitas perairan.
Keanekaragaman spesies dapat dikatakan sebagai keheterogenan spesies dan
merupakan ciri khas struktur komunitas yang erat kaitannya dengan kondisi
lingkungan dimana biota bersangkutan itu hidup. Rumus yang digunakan adalah

53

persamaan yang dikemukakan oleh Shannon dan Wienner yang dikenal dengan
indeks Shannon-Wiener (Odum, 1971).
Indeks keseragaman dapat dikatakan sebagai keseimbangan komposisi
setiap spesies dalam suatu komunitas (Odum, 1971). Nilai indeks keseragaman
berkisar antara 0-1. Apabila nilai indeks mendekati 0 (nol) artinya dalam
ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadi dominansi oleh spesies tertentu
yang disebabkan oleh adanya ketidakstabilan faktor-faktor lingkungan dan
populasi. Namun sebaliknya, apabila indeks keseragaman mendekati 1 maka
ekosistem berada dalam keadaan mantap (Odum,1971).
Nilai indeks dominansi berkisar antara 0-1. Jika indeks dominansi
mendekati 0 berarti tidak ada individu yang mendominasi dan biasanya diikuti
dengan nilai indeks keseragaman yang besar. Jika indeks dominansi mendekati 1
maka ada salah satu spesies yang dominan dan nilai indeks keseragaman akan
semakin kecil (Odum, 1971).

BAB VI
MIKROORGANISME INDIKATOR KUALITAS AIR

54

6.1 Bakteri Indikator Kesuburan Perairan


A. Nitrifikasi
Nitrifikasi adalah proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan kemudian
menjadi nitrat secara biologis oleh bakteri autotrof, umumnya berasal dari genus
Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp. yang merupakan genus yang terpenting dari
bakteri autotrof di dalam air tawar, air payau dan air laut (Spotte, 1979). Bakteri
autotrof yang melakukan proses nitrifikasi membutuhkan senyawa anorganik
sebagai sumber energi dan karbondioksida sebagai sumber karbon. Nitrifikasi
adalah proses perubahan amonium menjadi nitrat melalui dua tahapan reaksi, yang
tahap pertama oksidasi amonium menjadi nitrit yang dilakukan oleh mikroba
pengoksidasi amonium (Nitrosomonas sp), pada tahap kedua oksidasi nitrit
menjadi nitrat oleh mikroba pengoksidasi nitrit (Nitrobacter sp). Tahapan reaksi
dalam nitrifikasi yang dilakukan oleh bakteri adalah sebagai berikut (Smotte,
1979) :
Tahap pertama :
Nitrosomonas sp
NH4+ + 3/2 O2

NO2- + 2H+ + H2O


Enzim amonia monooksigenase

G = -66 Kkal mol N-1

Tahap kedua :
Nitrobacter sp
-

NO3Enzim nitrit oksidae G = -18 Kkal mol N-1


Reaksi Keseluruhan :
NH4+ + 3/2 O2
NO2- + 2H+ + H2O
NO2 + 1/2 O2

Anonymous (2004) menyatakan bahwa proses kimiawi nitrifikasi sebagai


berikut :
55NH4+ + 76 O2 + 109 HCO3-

C5H7O2N + 54NO2- + 57H2O + 104H2CO3 +

400 NO2- + NH4+ + 4H2CO3 + HCO3- + 195 O2


C5H7O2N + 3H2O + 400 NO3Menurut Madigan et al., (1997), perubahan amonia menjadi nitrit
berlangsung dalam dua langkah, yaitu :
1. Langkah pertama menghasilkan produk antara hidroksilamin (NH2OH) :
NH3 + O2 + 2H+ + 2eNH2OH + H2O + energi
Reaksi ini dikatalis oleh enzim amonia monooksigenase (AMO)
2. Langkah kedua menghasilkan nitrit dari hidroksilamin :
NH2OH + H2O
NO2- + 2H+ + 2e + energi
Reaksi ini dikatalis oleh enzim hidroksilamina oksidoreduktase (HAO)
Oksidasi satu gram amonia membebaskan energi sebesar 66 kilokalori

55

Sedangkan perubahan nitrit menjadi nitrat oleh bakteri pengoksidasi nitrit


terutama Nitrobacter sp. dikatalis oleh enzim nitrit oksidase (NO). Oksidase dari
satu gram nitrit membebaskan energi sebesar 18 kilokalori. Aktivitas Nitrobacter
sp. dihambat oleh sejumlah kecil amonia, dimana 1,4 mg/l menghambat 99%
aktivitas Nitrobacter sp. (Edward et al., 2003).
Pertumbuhan Nitrosomonas sp. diinduksi oleh konsentrasi total amonia
nitrogen (TAN) yang makin lama makin meningkat. Pertumbuhan Nitrobacter sp.
terhambat oleh tingginya konsentrasi TAN sehingga membutuhkan waktu lama
untuk memasuki fase log. Makin banyaknya populasi Nitrosomonas sp.
menyebabkan konsentrasi amonia turun dan konsentrasi nitrit naik. Naiknya
konsentrasi nitrit menyebabkan populasi Nitrobacter sp. meningkat dan akhirnya
konsentrsi nitrit turun dan konsentrasi nitrat naik (Tezlaff dan Heidinger, 1990).
Organisme yang berperan dalam proses nitrifikasi terdiri dari 2 macam yaitu
bakteri autotrof dan heterotrof. Dibandingkan dengan bakteri heterotrof yang
mengkonsumsi materi organik, pertumbuhan dan laju reproduksi bakteri nitrifikasi
autotrof lebih rendah (Bioconlabs, 2000). Laju oksidasi amonia atau nitrit oleh
bakteri heterotrof lebih rendah dibandingkan bakteri autotrof. Beberapa contoh
bakteri heterotrof yang dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit adalah
Streptomyces, Mycobacterium, Bacillus, Vibrio dan pengoksidasi amonia menjadi
nitrat seperti jamur Aspergillus flavus.
Bakteri nitrifikasi autotrof termasuk bakteri kemolitoautotrof obligat, yang
menggunakan garam anorganik sebagai sumber energi dan tidak dapat mengolah
materi organik. Bakteri ini harus mengoksidasi amonia dan nitrit untuk
memperoleh energi dan memfiksasi CO2 untuk memenuhi kebutuhan akan karbon
(Holt et al., 1994). Bakteri nitrifikasi autotrof pada umumnya non motil dan
sering mengkolonisasi sebuah permukaan (batu kapur, biomedia sintetik, dll)
untuk pertumbuhan optimum. Bakteri nitrifikasi autotrof mensekresikan lendir
lengket yang digunakan untuk melekatkan diri pada sebuah permukaan. Matriks
lengket tersebut merupakan lapisan polisakarida (Bioconlabs, 2000). Pada kultur
pengkaya bakteri nitrifikasi autotrof sering membentuk agregat yang disebut
zooglea atau cyst (Holt et al.,1994).
Bakteri nitrifikasi autotrof berkembang biak melalui pembelahan biner dan
memiliki waktu generasi yang lama karena total energi yang diperoleh melalui

56

reaksi oksidasi yang dilakukannya rendah. Pada kondisi optimal, Nitrosomonas


sp. menggandakan diri tiap 7 jam dan nitrobacter sp. tiap 13 jam, namun pada
umumnya Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp. meningkat jumlahnya dua kali
lipat tiap 15-20 jam (Bioconlabs, 2000). Waktu ini lebih lama dibandingkan
bakteri heterotrof yang dapat menggandakan diri tiap 30 menit. Hal tersebut
menyebabkan bakteri nitrifikasi autotrof sangat efisien mengkonversi amonia dan
nitrit. Satu sel tunggal Nitrosomonas sp. dapat mengkonversi amonia pada laju
yang sama dengan satu juta bakteri heterotrof. Delapan puluh energi yang
dihasilkan digunakan untuk menfiksasi CO2 melalui siklus Calvin dan sedikit
energi digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi, akibatnya bakteri nitrifikasi
memiliki laju reproduksi yang rendah. Bakteri nitrifikasi autotrof dibagi menjadi
dua yaitu bakteri pengoksidasi amonia dan bakteri pengoksidasi nitrit.
Efisiensi proses nitrifikasi dipengaruhi oleh 6 faktor, yaitu (1) keberadaan
senyawa beracun di dalam air, (2) kandungan oksigen terlarut, (3) pH, (4) suhu,
(5) salinitas, (6) luas permukaan substrat yang tersedia untuk menempelnya
bakteri. Bakteri nitrifikasi membutuhkan 4,6 mg oksigen untuk mengoksidasi 1
mg amonia menjadi nitrat. Proses nitrifikasi akan berjalan dengan baik jika
terdapat oksigen minimal 2 mg/l. Pembentukan asam dari proses nitrifikasi dapat
menurunkan pH dan dapat menyebakan penurunan laju pertumbuhan bagi bakteri
nitrifikasi. Maksimum pH untuk bakteri nitrifikasi adalah antara 7,5-8,5 dan
proses nitrifikasi akan terhenti pada pH dibawah 6,0. Sejumlah 7,14 mg alkalinitas
(sebagai CaCO3) diperlukan untuk mengkonversi amonia menjadi nitrat. Suhu air
juga mempengaruhi tingkat nitrifikasi, dimana proses nitrifikasi mencapai laju
maksimum pada suhu antara 30-35oC (Metclaf dan Eddy, 1994).
1. Bakteri Pengoksidasi Amonia (Ammonia Oxidizing Bacteria)
Bakteri pengoksidasi amonia tergolong gram negatif yang memiliki bentuk
sel batang, ellipsoid, sperikal, dan spiral. Sel tidak motil dan motil dengan flagela
polar sampai subpolar atau peritrik. Semua spesies aktivitasnya berjalan pada
kondisi aerobik, temperatur perumbuhan optimum 30oC dan pH optimum berkisar
7,5-8,0. Nitrosomonas sp., Nitrosococcus sp., Nitrosospora sp., Nitrosolobus sp.,
dan Nitrosovibrio sp. termasuk ke dalam genus bakteri pengoksidasi amonia dan
kelompok bakteri tersebut bersifat obligat kemolitoautotrof yang membutuhkan

57

energi untuk mengoksidasi amonia atau nitrit menjadi nitrat. Kebutuhan sumber
karbon diambil melalui proses fiksasi CO2 (Holt et al., 1994).
Spesies bakteri pengoksidasi amonia terdistribusi mulai dari tanah,laut,
danau, sungai dan sistem pembuangan limbah. Karakteristik bakteri pengoksidasi
amonia dapat di lihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1 Karakteristik Genus Bakteri Pengoksidasi Amonia (Holt et al., 1994)
Bakteri Pengoksidasi Amonia
Karakteristik

Nitrosococcu

Nitrosolabus

Nitrosomona
s

Nitrosospira

Sperik
Bentuk Sel (m)

Ukuran sel (m)


Pelekatan flagel
pada sel motil

Susunan
membran
intrasitoplasmik

Nitrosovibrio

Batang

sampai

Pleomorfik

Batang

Spiral koil

bengkok

elipsoidal
1, 5-1,8 x

1,0-1,5 x

0,7-1,5 x

0,3-0,8 x

tipis
0,3 -0,4x

1,0-2,5

1,0-2,4

1,0-8,0

1,1-3,0

1,0 -2,5
Memiliki
seikat
flagela
Periferal

Polar sampai
Peritrikus

atau vesikel
berbuku di
bagian

subpolar

Polar sampai
Peritrikus

subpolar

Invaginasi

Invaginasi

Vesikel
Kompartemen

periveral
rata

tengah

Secara morfologis Nitrosomonas sp. berbentuk elipsoid, batang pendek,


gram negatif, bersifat motil atau non-motil, tumbuh dengan baik pada suhu sekitar
30oC, pH 5,8-8,5 dan hidup pada habitat air laut, air tawar dan tanah. Jenis
Nitrosopira sp. bentuk selnya spiral, gram negatif, mempunyai sitomembran yang
tidak merata, kadang-kadang membentuk seperti mebran plasma, non motil dan
motil dengan menggunakan flagela peritrikus, dan memiliki habitat di perairan
tawar. Jenis Nitrosococcus sp. bentuk selnya sperik sampai elipsoidal, gram
negatif, bersifat motil dengan satu atau dua flagella. Mampu tumbuh pada suhu
sekitar 15-30oC, pH 6,5-8,0 dan habitatnya di air tawar atau air laut.
2. Bakteri Pengoksidasi Nitrit (Nitrite Oxidizing Bacteria)

58

Bakteri pengoksidasi nitrit pada umumnya berbentuk batang, elipsoidal,


sferik dan spiral, gram negatif, sel motil atau non motil, serta kemolitotrof. Sel
motil memiliki flagela polar atau lateral. Contoh kelompok bakteri pengoksidasi
nitrit adalah Nitrobacter sp., Nitrococcus sp., Nirospira sp. dan Nitrospina sp.
Bakteri pengoksidasi nitrit merupakan bakteri mesofil dengan suhu optimum
28oC, pH berkisar 5,8-8,5 dan pH 7,6-7,8. Bakteri pengoksidasi nitrit merupakan
bakteri aerob tetapi salah satu strain Nitrobacter sp. dapat tumbuh dengan
respirasi anaerob. Nitrobacter sp. diketahui juga dapat mengoksidasi nitrit
oksidasi (NO) menjadi nitrat (NO3). Kebutuhan sumber karbon diambil melalui
proses fiksasi CO2 (Calvin Cycle). Habitat kelompok bakteri ini tersebar pada air
tawar, air laut serta tanah. Jenis Nitrobacter sp. selnya berbentuk batang pendek,
seringkali berbentuk pears, gram negatif, dan biasanya non-motil. Sedangkan jenis
Nitrospina sp. bentuk selnya batang panjang, gram negatif, bersifat non-motil,
memiliki habitat di air laut dan tumbuh baik pada kondisi lingkungan yang
mengandung senyawa organik. Suhu optimal untuk pertumbuhannya berkisar 2530oC dan pH 7,5-8,0 (Holt et al., 1994). Karakteristik genus bakteri pengoksidasi
nitrit (Holt et al., 1994).

Tabel 6.2 Karakteristik Genus Bakteri Pengoksidasi Nitrit (Holt et al., 1994)
Bakteri Pengoksidasi Nitrit
Nitrobacter
Nitrococcus
Nitrospina
Nitrospira
Karakteristik
Bentuk sel

Batang
pleomorfik

Ukuran sel (m)

0,5-0,8 x 1,0-2,0

Pelekatan flagel

Polar sampai

pada sel motil


Susunan membran

lateral

intrasitoplasmik
Kemampuan
menggunakan
substansi organik

Vesikel tipis
Pertumbuhan
heterotrof

Batang lurus

Spiral koil secara

tipis

bebas

1,5

0,3-0,4 x 1,7-6,6

0,3-0,4 x 0,8-1,0

polar

Tidak diketahui

Tidak diketahui

Tiadak ada

Invaginas

Sferik

Tubulus
tersusun acak
Tidak ada

Tidak ada

Pertumbuhan
miksotrofik

59

B. Denitrifikasi
Denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat adan nitrit menjadi gas nitrogen
(N2), nitrogen oksida (NO) dan nitrous oksida (N2O), di mana nitrat digunakan
sebagai terminal hidrogen pada saat potensial oksigen rendah. Denitrifikasi adalah
langkah terakhir dari penyisihan nitrogen secara biologis dan dilakukan oleh
bermacam-macam bakteri heterotrof-fakultatif yang dapat dilakukan dalam
kondisi anoksik dimana nitrat menggantikan oksigen sbagai akseptor elektron
terakhir. Nitrat dan nitrit berperan sebagai akseptor elektron dalam respirasi rantai
elektron transpor dengan cara yang sama seperti oksigen. Rantai transpor ini
menjadi mekanisme dasar dimana sel menghasilkan energi. Prosesnya meliputi
transfer elektron dari donor elektron tereduksi (substrat anorganik) kepada
akseptor elektron teroksidasi (oksigen, nitrat, nitrit, atau sulfat). Nitrat dan nitrit
ini dapat menggantikan oksigen di dalam rantai ini dengan hanya memodivikasi
kecil terhadap sistem metabolik (enzim) bakteri (EPA, 1993).
Senyawa nitrat dalam sistem perairan tambak udang banyak dimanfaatkan
oleh kelompok mikroorganisme yang bersifat heterotrofik untuk membentuk
bahan organik sel. Kelompok tersebut dapat melakukan asimilasi nitrat dengan
bantuan enzim nitrat dan nitrit reduktase pada kondisi aerobik. Sedangkan pada
kondisi anaerobik ion nitrit atau nitrat akan digunakan sebagai penerima elektron
terakhir pada respirasi nitrat atau disimilasi nitrat (Madigan, et al.,
1991).Beberapa jenis bakteri yang dapat melakukan proses tersebut yang bersifat
anaerobik fakultatif antara lain Pseudomonas, Alcaligenes, Escherichia,
Aeromonas, Bacillus, Flavobacterium, Nocardia, Spirillum, Vibrio,
Chromobacterium, Achromobacter, Agrobacterium, dan Staphylococcus. Produk
akhirnya berupa nitrit atau amonia.
Bakteri denitrifikasi akan mereduksi senyawa nitrat menjadi nitrit, nitrit
oksida (NO), nitrous oksida (N2O), dan dinitrogen (N2), dengan bantuan sistem
enzim nitrat dan nitrit reduktase. Masing-masing enzim mempunyai sensitivitas
terhadap oksigen yang berbeda. Beberapa bakteri denitrifikasi antara lain
Puracoccus denitrificaans, Thiobacillus denitrificans, dan Pseudomonas sp.(Atlas
dan Bartha, 1998). Pada kondisi yang sesuai, beberapa genus dapat mereduksi
nitrit menjadi amonia melalui proses reduksi nitrat desimilasi, prosesnya berjalan

60

pada saat kandungan nitrit yang tinggi. Selain itu juga terdapat bakteri fermentatif
yang dapat memanfaatkan nitrat sebagai penerima elektron terakhir pada kondisi
anaerobik, antara lain Aeromonas, Bacillus, Klebsiella, dan Vibrio.
Menurut Richardson dan Watmough (1999), enzim-enzim yang berperan
dalam aktivitas denitrifikasi adalah nitrat reduktase/NAR dan NAP (mengubah
nitrat menjadi nitrit), nitrit reduktase/NIR (mengubah nitrit menjadi nitrit oksida),
nitrit oksidareduktase/NOS (mengubah nitrous oksida menjadi gas nitrogen).
Salah satu produk gas pada prose denitrifikasi adalah gas N2O (nitrous
oksida). Gas tersebut berpengaruh negatif terhadap lingkungan, yaitu sebagai
salah satu penyebab terjadinya efek rumah kaca (pemanasan global). Secara
alamiah gas tersebut diemisikan dari ekosistem perairan sungai, estuarin, dan
daratan. Perairan sungai memberikan sumbangan sebesar 55% estuarin 11% dan
daratan sebesar 33%. Laju denitrifikasi akan meningkat dengan meningkatnya
kandungan nitrat pada sedimen (Widiyanto, 2005).
Pada proses denitrifikasi dibutuhkan komponen organik sebagai sumber
karbon, selain itu juga dibutuhkan ion sulfat, fosfat, klorida, natrium, kalium,
magnesium, kalsium dan beberapa unsur mikro lainnya untuk membantu aktivitas
enzim. Proses denitrifikasi air limbah sangat efektif bekerja pada pH 7,0-8,5 dan
denitrifikasi juga dapat meningkatkan nilai alkalinitas dan pH (Jenie dan Rahayu,
1993).
Selama denitrifikasi, ion bikarbonat (HCO3) diproduksi dan konsentrasi
asam karbonat (CO2) direduksi. Secara teori stoikiometri produksi alkalinitas
sebesar 3,57 mg alkalinitas sebagai CaCO3 untuk setiap 1 mg nitrat yang direduksi
menjadi gas nitrogen. Sehingga proses denitrifikasi memiliki kecenderungan
secara parsial berlawanan dengan efek nitrifikasi dan meningkatkan pH dari reaksi
biologis (Widiyanto, 2005).
6.2 Bakteri Indikator Pencemaran Perairan
A. Mikroorganisme dalam air jernih
Dalam air yang dianggap jernih, misalnya berasal dari sumur biasa, sumur
pompa, sumber mata air dan sumber air lainnya, bisa terdapat mikroorganisme
misalnya :

61

1. Kelompok bakteri besi (contoh, Crenothrix dan Sphaerotilus) yang mampu


mengoksidasi senyawa besi (II) menjadi besi (III). Akibat kehadiran
mikroorganisme tersebut, air sering mengalami perubahan warna kalau
disimpan lama yaitu berwarna kehitam-hitaman, kecoklat-coklatan, dan
lain-lain.
2. Kelompok bakteri belerang (contoh, Chromatium dan Thiobacillus) yang
mampu mereduksi senyawa sulfat menjadi H2S. Akibatnya kalau air
disimpan lama akan tercium bau busuk.
3. Kelompok mikroalga (misalnya yang termasuk kelompok mikroalga hijaubiru, biru dan kersik), sehingga jika air disimpan lama di dalamnya akan
nampak kelompok mikroorganisme yang berwarna hijau, biru atau
kekuning-kuningan, tergantung dominasi mikroalga yang terdapat dalam air
serta lingkungan yang mempengaruhinya.
Lebih jauh lagi akibat kehadiran kelompok bakteri dan mikroalga dalam air,
dapat mendatangkan kerugian. Misalnya, karena terjadi peningkatan kekeruhan
dan hambatan aliran, hal tersebut disebabkan kelompok bakteri besi dan belerang
dapat membentuk serat atau lendir.
Akibat lainnya adalah terjadinya proses korosi (pengkaratan) terhadap
benda-benda logam yang berada di dalamnya maupun pipa saluran air,
menyebabkan bau, berubah warna, dan lain-lain.
B. Mikroorganisme Indikator
Mikroorganisme indikator yang biasa digunakan atau dianjurkan menurut
(APHA, 1989; Berg, 1978; Ericksen and Dufour, 1986; Olivieri, 1983) :
1. Coliform Total (Total Coliforms)
Kelompok Coliform total termasuk bakteri bentuk batang, gram negatif,
tidak membentuk spora, aerobik dan anaerobik fakultatif yang memfermentasi
laktosa dengan menghasilkan gas dalam 48 jam pada suhu 35oC (APHA, 1989).
Kelompok ini termasuk Escherichia coli, Enterobacter, dan Citrobacter.
Coliform tersebut dikeluarkan dalam jumlah yang besar (2 x 109 coliform perhari
per kapita) dalam feses manusia dan hewan, tetapi tidak semua bakteri tersebut
berasal dari fekal. Indikator tersebut sering digunakan untuk menentukan kualitas
air minum, kerang air, dan air untuk rekreasi. Mikroorganisme tersebut kurang
sensitif terhadap disinfektan dan faktor lingkungan jika dibandingkan dengan

62

virus atau kista protozoa. Beberapa anggota dari kelompok tersebut (contohnya,
Klebsiella) kadang-kadang tumbuh di bawah kondisi lingkungan dalam limbah
industri dan pertanian. Dalam efisiensi pelaksanaan sistem pengolahan air
buangan, total coliform merupakan salah satu indikator terbaik. Kelompok ini
juga sering digunakan untuk menaksir keamanan air-limbah yang dimanfaatkan
kembali (direklamasi) pada the Windhhoek reclamation plant di Namibia
(Grabow, 1990 dalam Bitton, 1994).
2. Coliform Fekal
Coliform fekal termasuk semua coliform yang dapat memfermentasi laktosa
pada suhu 44,5oC. Kelompok coliform fekal terdiri dari bakteri seperti, E. Coli
dan Klebsiella pneumoniae. Adanya coliform fekal menunjukkan adanya materi
fekal terdiri dari hewan berdarah panas. Bagaimanapun, tidak dapat dibedakan
kontaminasi disebabkan oleh hewan atau oleh manusia. Beberapa saran
menganjurkan menggunakan E. Coli sebagai indikator polusi fekal, karena bakteri
tersebut dapat dengan mudah dibadakan dari anggota kelompok coliform fekal
(contohnya, terdapat urease dan terdapat

glukuronidase). Coliform fekal

memperlihatkan pola kelangsungan hidup yang sama dengan bakteri patogen,


tetapi bakteri ini tidak dibutakan khususnya untuk indikator adanya kontaminasi
virus dan kista protozoa.
Coliform fekal kurang resisten terhadap disinfeksi dibandingkan dengan
virus atau kista protozoa. Standar coliform tidak layak digunakan untuk
menunjukkan polusi virus pada kerang dan air yang berhubungan. Coliform fekal
juga tumbuh kembali pada air dan air limbah dalam kondisi yang memungkinkan.
3. Streptococcus Fekal
Kelompok ini terdiri dari Streptococcus faecalis, S.bovis, S. Equinus, dan S.
Avium. Sejak kelompok bakteri ini menempati saluran intestinal manusia dan
hewan berdarah-panas, maka kelompok ini digunakan untuk menentukan
kontaminasi fekal dalam air. Anggota kelompok ini tetap ada dalam lingkungan
tetapi tidak berkembang biak. Subkelompok dari kelompok streptococcus fekal,
enterococcus (Streptococcus faecalis dan S. faecium), dianggap sering digunakan
untuk menunjukkan adanya virus, khususnya dalam lumpur dan air-laut.
Perbandingan coliform fekal terhadap Streptococcus fekal (rasio FC/FS) tersedia
sebagai indikator asal polusi permukaan air.

63

Rasio 4 atau lebih menunjukkan suatu kontaminasi asal manusia, sedangkan


rasio di bawah 0,7 menunjukkan polusi hewan (Geldreich and Kenner, 1969
dalam Bitton, 1994). Rasio ini hanya bersifat valid dalam waktu (24 jam) polusi
fekal. Bagaimanapun, beberapa peneliti mempertanyakan rasio yang jarang
digunakan ini.
4. Bakteri Anaerobik
Bakteri anaerobik yang tetap dipertimbangkan sebagai indikator adalah :
a. Clostridium perfringens
Mikroorganisme ini merupakan bakteri bentuk batang, pembentuk spora,
gram-positif anaerobik yang menghasilkan spora jika terdapat tekanan lingkungan
dan disinfeksi. Spora yang sangat kuat membuat bakteri ini sangat resisten untuk
digunakan sebagai mikroorganisme indikator. Penggunaan bakteri ini disarankan
sebagai indikator tapi setelah terjadi polusi dan sebagai pencari jejak asal patogen.
Bakteri ini juga layak menjadi indikator untuk mengetahui asal polusi fekal pada
lingkungan laut (contohnya, endapan laut karena pengaruh buangan lumpur pantai
New Jersey) (Burkhardt and Watkins, 1992; Hill et al., 1993 dalam Bitton, 1994).
b. Bifidobacteria
Merupakan bakteri gram-positif, tidak membentuk spora, anaerobik yang
disarankan sebagai indikator fekal. Sejak beberapa dari bakteri ini dihubungkan
terutama dengan manusia (B. Bifridium, B. Adeolescentis, B. Infantis), kelompok
bakteri tersebut dapat membantu membedakan kontaminasi yang disebabkan oleh
manusia dengan yang disebabkan oleh hewan. Bagaimanapun, dibutuhkan
perkembangan metode yang layak untuk mendeteksi baktri tersebut.
c. Bacteroides spp.
Bakteri anaerobik ini terdapat dalam saluran intestinal pada konsentrasi
kira-kira 1010 sel per gram feses, dan ketahanan hidup B. Fragilis dalam air lebih
rendah dari E.coli dan S. faecalis.Uji antiserum fluoresen untuk bakteri ini
merupakan metode yang sering digunakan untuk menunjukkan adanya
kontaminasi fekal dalam air (Fiksdal et al., 1985; Holdemam et al., 1976 dalam
Bitton, 1994).
5. Bateriofaga
Bakteriofaga sama dengan virus enterik tetapi lebih mudah dan lebih cepat
dideteksi dalam sampel lingkungan dan ditemukan dalam jumlah yang lebih besar
dibandingkan virus enterik dalam air limbah dan lingkungan lainnya. Beberapa

64

peneliti mempertimbangkan penggunaan colifaga sebagai indikator kualitas air di


daerah muara (estuaria) (OKeefe and Green, 1989), air laut (terdapat hubungan
yang erat antara colifaga dengan Salmonella) (Borrego et al., 1987), air bersih
untuk rekreasi (Dutka et al., 1987), dan air minum (Ratto et al., 1989). Dari
seluruh indikator yang diuji, colifaga memeperlihatkan hubungan yang erat
dengan virus enterik dalam sungai berpolusi di Afrika Selatan. Insiden antara
virus enterik dan colifaga berbanding terbalik dengan temperatur (Geldenhuys ang
Pretorius, 1989). Colifaga juga merupakan indikator untuk menaksir efisiensi
pembersihan sistem pengolahan air limbah dan air. Dalam sistem lumpur yang
diaktifkan, colifaga membentuk plak lebih besar dari 3 mm, berhubungan secara
signifikan dengan jumlah enterovirus (Funderburg and Sorber, 1985 dalam Bitton,
1994).
Dalam siitem pengolahan air, colifaga menyediakan informasi yang
berhubungan dengan pelaksanaan proses pengolahan air seperti koagulasi,
flokulasi, penyaring pasir, adsorpsi terhadap karbon aktif, dan disinfeksi
(Payment, 1991). Beberapa colifaga, khususnya faga f2 RNA, lebih resisten
terhadap klorinasi dibandingkan dengan enterovirus seperti poliovirus tipe 1.
Bagaimanapun, MS2 (faga RNA lain) tidak layak mewakili virus enterik dalam
menentukan efisiensi disinfeksi yang menggunakan ozon (finch and fairbairn,
1991). Jadi bakteriofaga, tidak selalu menjadi indikator untuk virus enterik dalam
segala situasi (Gerba, 1987 dalam Bitton, 1994).
Bakteriofaga F-spesifik (faga spesifik-jantan) memasuki suatu sel bakteri
inang melalui absorbsi kepada pili F atau pili seks sel bakteri. Sejak faga Fspesifik jarang dideteksi dalam materi fekal manusia dan memperlihatkan
hubungan tidak langsung dengan tingkat polusi fekal, maka faga tersebut tidak
mempertimbangkan sebagai indikator polusi fekal (Havelaar et al., 1990;
Morinigo et al., 1992). Bagaimanapun keberadaanya dalam jumlah yang besar
dalam air limbah dan resistensinya terhadap klorinasi relatif tinggi, faga tersebut
dianggap memberikan kontribusi terhadap indeks kontaminasi air limbah
(Debartolomeis and Cabelli, 1991; Havelaar et al., 1990; Nasser et al., 1992;
Yahya and Yanko, 1992). Hasil monitoring efluen post-klorinasi setelah turun
hujan memperlihatkan bahwa coliform fekal dan enterococcus lebih sensitif
terhadap klorin dibandingkan dengan bakteriofaga spesifik-jantan. Dalam hal

65

kontaminasi kerang, bakteriofaga spesifik-jantan dapat bertahan hidup paling


sedikit 7 hari dalam kerang bercangkang-keras pada ambang batas temperatur air
laut dan tidak mengalami replikasi dengan atau tanpa penambahan sel inang.
Penelitian juga dilakukan terhadap kemampuan bakteriofaga pada
Bacteroides spp. Sebagai indikator untuk polusi virus. Faga aktif menyerang B.
Fragilis HSP 40 dideteksi dalam feses hewan), air limbah dan lingkungan akuatik
berpolusi lainnya (air sungai, air laut, air tanah, endapan) tetapi tidak terdapat
pada daerah yang tidak mengalami polusi. Indikator tersebut kelihatan tidak
berkembang biak dalam sampel dari lingkungan dan bersifat lebih resisten
terhadap klorin dibandingkan dengan bakteri indikator (E. Coli, E.faecalis) atau
virus (poliovirus tipe 1, rotavors SA11 dan colifaga f2). Bagaimanapun, faga
tersebut kurang resisten dibandingkan dengan colifaga f2 terhadap iradiasi UV.
Jadi faga ini layak sebagai indikator polusi fekal manusia dan digunakan untuk
membedakan antara polusi fekal manusia dengan polusi fekal hewan. Faga ini
juga berkorelasi positif dengan enterovirus dan rotavirus dan faga tersebut
menetap dalam air laut seperti hepatitis A. Kelayakan faga tersebut sebagai
indikator polusi virus belum banyak diperlihatkan.
6. Organisme Acid-fast dan Yeast
Beberapa peneliti mengusulkan ragi (Yeast) dan mycobacteria tahan asam
(M. Fortuitum dan M. Phlei) sebagai indikator efisiensi disinfeksi. Bakteri tahan
asam (Acid-fast) M. Fortuitum lebih resisten terhadap klorin bebas dan ozon
dibandingkan dengan E. Coli atau poliovirus tipe 1.
C. Peranan Mikroorganisme Dalam Air-Limbah
Dalam air limbah misalnya air selokan, air sungai atau air buangan lainnya,
akan didapatkan beberapa kelompok mikrorganisme seperti yang ditemukan pada
air jernih (tetapi tidak sterill), juga ditambah kelompok lain, yaitu:
1. Kelompok patogen misalnya, penyebab tifus, kolera, disentri, dan
sebagainya;
2. Kelompok penghasil racun, misalnya mikroba penghasil toksin penyebab
keracunan makanan;
3. Kelompok bakteri pencemar, misalnya bakteri golongan coli yang
kehadirannya di dalam badan air dapat menunjukkan bahwa air tersebut
sudah terkontaminasi-fekal (feses manusia, hewan);

66

4. Kelompok bakteri pengguna, yaitu kelompok bakteri yang mampu mengurai


senyawa-senyawa tertentu. Beberapa kelompok bakteri yang diketahui
sebagai pengguna residu pestisida, residu minyak bumi, residu deterjen, dan
sebagainya.

1. Mikrorganisme Patogen
Pencemaran materi fekal dapat memasukkan berbagai patogen ke dalam
jalur-air, termasuk bakteri, virus, protozoa dan cacing parasit. Penyakit air
buangan limbah tetap merupakan buangan berbahaya utama pada beberapa
bagian dunia. Cairncross dan Feacham (1983) dalam Bitton, 1994), mengamati
empat kelas penyakit yang berhubungan dengan air, yaitu :
Kelas 1, penyakit air-limbah, ditularkan melalui air minum yang
mengandung organisme patogenik, biasanya disebabkan kontaminasi fekal.
Contohnya termasuk kolera, tifoid dan hepatitis A.
Kelas 2, penyakit infeksi tak-langsung yang berhubungan dengan cara hidup
sehat seseorang (contoh, mencuci tangan), penyakit dapat dikurangi dengan
penyediaan air yang cukup untuk mandi dan mencuci. Untuk mengendalikan
penyakit ini, tersedianya air berkualitas merupakan alasan penting; pertimbangan
kedua adalah pencapaian suatu kualitas bakteriologik tinggi (Ellis, 1989).
Penyakit kelas kedua tersebut, adalah beberapa infeksi mata (contoh, trachoma)
dan kulit (contoh, cacing gelang) dan penyakit yang dibawa oleh kutu dan tungau.
Kelas 3, merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing (cacing pita
parasit) yang mengalami sebagian siklus hidupnya air.
Kelas 4, merupakan penyakit yang membutuhkan suatu vektor insekta yang
berhubungan dengan air (contoh, demam kuning, malaria, river-blindness,
filariasis, penyakit ini dianggap tidak berhubungan dengan air yang ber[polutan).
Tabel 6.3 Beberapa Penyakit yang berhubungan dengan Air dan Mikroorganisme
Penyebabnya.
Penyakit atau gejala
Organisme penyebab
Sumber Utama
Salmonella typhi
S. paratyphi
Salmonella spp
Shigella spp
Vibrio cholerae

Demam tifoid
Demam paratifoid
Gastroenteritis
Disentri bakterial
Kolera
Gastroenteritis

Feses manusia
Feses manusia
Feses manusia
Feses manusia
Feses manusia
Feses manusia

67

E.coli enteropatogenik

Leptospira icterohaemorrhagiae
Campylobacter jejuni
Mycobacterium tuberculosis

Penyakit weils

Feses dan urin

(leptopirosis)

hewan
Feses manusia dan

Gastroenteritis
Tuberkulosis
Gastroenteritis

Yersinia enetricolitica
Legionella pneumophila

hewan
Eksudat respirasi
manusia
Feses manusia dan
hewan
Aerosol dari menara

Penyakit legionnares
(sakit pernafasan akut),

pendingin,

gastrointestinal,

penguap dan shower,

saluran kemih dan

juga dari sistem

sistem saraf.

distribusi air di

kondensor evaporasi,

rumah sakit
Patogen oportunistik
(Pseudomonas, Aeromonas, Klebsiella,
Flavobacterium, Enterobacter,

Berbagai infeksi pada

Sistem distribusi air

Citrobacter, Serratia, Acinetobacter,

bayi, orang tua

minum rumah sakit

Providencia dan proteus),


Mycobacterium avium-intrasellulare

2.

Mikroorganisme Penghasil Racun


Bakteri penghasil racun atau enterotoksin/eksotoksin dapat mencemari

badan air, misalnya spora Clostridium perfringens, C. Botulinum dan Bacillus


cereus, Vibrio parahaemolyticus, dan bakteri penghasil racun lainnya. Spora atau
bentuk vegetatif bakteri, dapat masuk ke dalam air melalui debu/tanah, kotoran
hewan, makanan-limbah, dan sebagainya. Jika makanan atau air minum dan air
bersih (MCK) tercemari air tersebut, maka dalam keadaan yang memungkinkan
bakteri penghasil racun akan mengeluarkan eksotoksin atau racunnya sehingga
makanan, air susu, air minum jika dikonsumsi akan menyebabkan keracunan
makanan.
3.

Mikroorganisme Pencemar
Materi fekal yang masuk ke dalam badan air, selain membawa bakteri

patogen juga akan membawa bakteri pencemar yang merupakan flora normal

68

saluran pencernaan manusia, misalnya E. Coli dan kelompok coliform lian


(Enterobacteriaceae, enterococcus), yang kehadirannya dapat dipakai untuk
indikator pencemaran air oleh materi fekal.
4.

Mikroorganisme Pengguna
Seperti sudah dijelaskan di atas, air limbah dapat mengandung berbagai

senyawa yang dapat digunakan sebagai substrat sebagai sumber energi dan untuk
pertumbuhan berbagai mikroorganisme. Sebagai pengguna senyawa,
mikroorganisme dapat menggunakan sumber nutrisi yang terdapat di dalam air,
seperti sumber nitrogen, fosfor, sulfur, dan sebagainya. Sebagai contoh, berbagai
mikroorganisme, serta proses dan senyawa yang terlibat dalam siklus nitrogen
dapat dilihat dalam Tabel 6.4.
Tabel 6.4 Jenis Mikroorganisme, Proses dan Senyawa yang Terlibat dalam Siklus
Nitrogen
Proses dan Jenis Mikroorganisme
Mikroorganisme penambat nitrogen

Senyawa

d.
e.
nonsimbiotik :
f. - Nitrogen
a. Azotobacter agilis, A. Chroococcum, g.
h. - Nitrogen
A. Vinelandii
i. - Nitrogen
b. Clostrium, Klebsiella
c. Anabaena, Nostoc (cynobacteria)
Mikroorganisme penambat nitrogen
simbiotik :
j. Rhizobium-leguminosa
k. Azospirillum-akar jagung-rumput
tropik
l. Anabaena flos-aquae-Azolla (jarang)
Mineralisasi (Amonifikasi) Nitrogen
q. Bakteri, actynomycetes, fungi

m. - Nitrogen
n. - Nitrogen
o.
p. - Nitrogen
- Protein

asaamino

deaminasi menjadi NH4


- NH4+ + H2O

NH3 + CO2-

1. 2NH4+ + H2O

2NH2OH +

Nitrifikasi :
1. Nitrosomonas europaea, N.
Oligocarbogenes

2H+

69

2. Nitrobacter agilis, N. widowgradski

2. NH4+ + 1,5 O2

NO- + 2H+

+ H2O + 275 kJ
Denitrifikasi :
Pseudomonas aeruginosa, Ps. Fluorescens,

NO3, NO2, NO, NO2, N2-

Ps. Denitrificans, Bacillus, Spirillum,


Hypomicrobium, Agrobacterium,
Acinetobacter, Propionebacterium,
Rhizobium, Corynebacterium, Cytophaga,
Thibacillus, dan Alcaligenes.
BAB VII
JENIS, BEBAN DAN PENGURAIAN BAHAN ORGANIK
7.1 Sumber Bahan Organik
7.1.1 Autochtonous
Bahan organik autochtonous adalah bahan organik yang berasal dari
perairan itu sendiri, dapat berupa neuston. Mikroorganisme neuston meliputi alga,
bakteri, fungi dan protozoa. Neuston terdiri dari produsen primer dan konsumer.
Selanjutnya disebut kompleksitas, dan jumlah bahan organik di kolom air
umumnya lebih rendah dibandingkan tanah. Berbagai senyawa dapat larut
meliputi karbohidrat, asam amino, asam organik di lepas ke kolom air oleh
autochtonous produsen primer. Secara umum material autochtonous memiliki
konsentrasi nitrogen yang lebih tinggi dibanding residu tanaman dari allochtonous
(Atlas dan Bertha, 1998). Di Waduk Ir. H. Juanda material autochtonous berupa
plankton atau nutrien yang merupakan hasil dekomposisi dari pakan yang tidak
termakan dan ekskresi dari budidaya KJA.
Autochtonous karbon organik di habitat akuatik umumnya dibentuk melalui
produktivitas primer. Polymer tanaman yang utama meliputi selulosa,
hemiselulosa, ligmin. Lignin adalah yang paling resisten terhadap degradasi
mikroba.
7.1.2 Allochtonous
Sumber bahan organik di dalam perairan (waduk) berasal dari eksternal
(allochtonous) maupun internal (autochtonous). Sumber bahan organik yang

70

berupa allochtonous berasal dari sumber titik di drainase basin, non point sources
dan land usage (Ryding dan Rast, 1989). Selanjutnya Vollenweider (1968) dan
Ahl (1973) dalam Landner (1976) menyatakan sumber eksternal dapat berupa run
off permukaan, agricultural and forest drainage, atmosfir, urban run off, buangan
domestik dan buangan dari limbah industri. Di waduk Ir.H. Juanda allochtonous
tergantung dari aktivitas di daerah aliran sungai serta run off daerah-daerah
sekitarnya. Dari inlet Cilalawi, masukan ke waduk berasal dari aktivitas pertanian
di sekitarnya. Disamping itu waduk juga menerima limbah budidaya KJA dari
Waduk Saguling dan Waduk Cirata yang sangat besar.
7.2 Beban Masukkan Internal
Beban masukkan internal adalah bahan organik yang dihasilkan oleh
sirkulasi nutrien di perairan (waduk). Regenerasi nutrien dari biota yakni ekskresi
alga, zooplankton, dan ikan secara langsung ke lapisan trofogenik adalah suplai
nutrien yang penting untuk fitoplankton, juga dekomposisi bahan organik oleh
bakteri di kolom air (Silvey dan Roach, 1964 dalam Landner, 1976). Selanjutnya
Liaw (1993) menyatakan percampuran pada kolom air selain menyebabkan
pertukaran oksigen hipolimnetik juga pertukaran nutrien dari permukaan air.
Nutrien inorganik oleh ekskresi atau pembusukan detrital di bawah lapisan mixed
di difusi dengan laju yang lambat ke atas melewati termoklin. Pada akhir periode
stratifikasi musim panas ditemukan konsentrasi nutrien yang sangat tinggi di
hipolimnion dan sangat rendah di epilimnion. Hilangnya lapisan termoklin dan
pencampuran epilimnetik dengan hipolimnetik mencampur nutrien permukaan
sehingga memberi beban nutrien pada badan air (Liaw, 1993).
Reduksi karena gas-gas lain juga menjadi beban di perairan. Gas dapat
dilepas dari lautan dengan bubling gas lain melalui air. Hal ini disebabkan
kenyataan bahwa gas akan meninggalkan larutan dan melintasi ruang sampai laju
emisi dan kembali menjadi sama. Bubbles naik ke permukaan dan meledak, tidak
sempat kembali kebentuk larutan, karena dilepas ke atmosfir. Di alam,
dekomposisi gas-gas (karbondioksida, methane, dan lain-lain) terakumulasi di
dasar danau, yang dalam jumlah berlebihan naik melalui air dalam bentuk

71

bubbles. Naiknya gas-gas ini dari deposit dasar merupakan proses kontinu, siang
dan malam, dan secara kontinu juga membutuhkan oksigen terlarut (Welch, 1952).
Pelepasan oksigen terlarut dari epilimnion karena suhu tinggi pada musim
panas. Air danau dengan kondisi konsentrasi oksigen maksimum dalam jangka
pendek selama spring over turn, selanjutnya pemanasan permukaan air
mengurangi jumlah kandungan oksigen terlarut di air.
7.3 Penguraian Bahan Organik
Wetzel dan Likens (1991) menyatakan bahan organik di ekosistem perairan
berada dalam bentuk senyawa organik terlarut sampai bahan organik partikulat
(POM) dalam agregat besar, serta dari organisme hidup yang mati. Mayoritas
bahan organik baik terlarut atau partikulat adalah detritus. Metabolisme bahan
organik dan interaksi materi ini secara kimia dan biologis sangat ditentukan oleh
ukuran bahan organik tersebut. Hanya sedikit bahan organik terlarut yang secara
langsung digunakan oleh organisme akuatik, sedangkan bentuk partikulat adalah
sumber makanan yang utama.
Dekomposisi bahan organik terlarut menghasilkan produk akhir berupa gas,
bahan organik partikulat yang harus dikonversi secara enzimatik oleh mikroflora
tertentu. Dekomposisi yang sempurna menghasilkan konversi produk organik dari
fotosintesis menjadi senyawa inorganik (umumnya dioksida) sebagai reaktan
fotosintesis. Siklus biogeokimia mempengaruhi laju dekomposisi C, N, P, S dan
oksigen; meskipun ini penting untuk menyatakan bahwa semua senyawa minor
dari biomassa (kation, trace metal dan lain-lain) juga dilepas. Jika tanaman atau
hewan tua, lalu mati, baik bahan organik terlarut (DOM) dan partikulat (POM)
tersedia untuk degradasi. Rembesan DOM dari sel mati dan autolysis jaringan
meningkat selama penuaan dan mencapai maksimum setelah kematian. Detrital
DOM tersedia sebagai sumber energi untuk mikroflora di sedimen dan air
berdampingan dengan partikulat detritus. Laju degradasi tergantung pada
kapabilitas enzimatik mikroflora dan kondisi lingkungan. Beberapa senyawa
DOM lebih stabil dari yang lain tetapi suhu yang beih tinggi dan ketersediaan
oksigen terlarut akan mengurangi retensi terhadap oksidasi/refraktility (Wetzel
dan Likens, 1991).

72

Partikulat detritus dikolonisasi oleh berbagai mikroflora. Laju degradasinya


tergantung pada : (1) komposisi (misal refraktility) dari substrat spesifik dalam
partikel (2) kemampuan mikroba untuk mengambil jaringan (misal ukuran
partikel, luas permukaan) (3) laju metabolisme mikobial sebagai kapasitas
enzimatik, suhu, ketersediaan elektron penerima dan mineral nutrien.
Beberapa reaksi utama perkembangan anaerobik hipolimnia dihubungkan
dengan dekomposisi bahan organik (Wetzel, 1983 dan Schindler, 1985 dalam
Wetzel dan Likens, 1991). Reaksi ini didasarkan pada molekul sederhana organik
planktonik material :
CH2O + O2

CO2 + H2O (satdia awal)

CH2O + 4 Fe (OH)3 + 8H+


2 CH2O + SO422 CH2O

4 Fe2+ + CO2 + 11 H2O

S2- + 2 CO2 + 2 H2O

CH4 + CO2

CO2 + NH3 + H2O

NH4+ + HCO3-

Selanjutnya, jika kondisi anaerobik, akumulasi ammonium-nitrogen,


orthofosfat, H2S dan methane dapat terjadi (Gunnison et al., 1985).

73

Gambar 11 Siklus Nutrien dalam Sistem Akuatik


7.3.1 Dekomposisi Aerobik
Sebagian besar substansi organik yang dihasilkan oleh tanaman dan hewan
di danau dan sungai didekomposisi dan dimineralisasi melalui metabolisme
berbagai organisme akuatik. Khususnya mikroorganisme seperti bakteri, yeast dan
jamur yang berperan penting dalam proses dekomposisi dan mineralisasi bahan
organik di lingkungan akuatik. Aktivitas mikroorganisme ini, berpengaruh secara
langsung maupun tidak langsung terhadap produktivitas organisme akuatik dari
berbagai trofik level (Sorokin dan Kadota, 1972). Jika detritus dan kolonisasi
partikel terdeposisi, nasibnya tergantung pada laju burial dan jumlah oksigen di
permukaan sedimen dan dalam daerah interestitial. Di daerah dengan konsentrasi
oksigen cukup, bahan organik diasimilasi dengan suspensi dan detrivor atau
didekomposisi oleh bakteri heterotrofik aerobik (dekomposer). Dekomposer
merupakan bagian dari makanan deposit feeder. Detrivor penggali (polychaeta)
mengaduk sedimen (bioturbasi) dan menyebabkan oksigenasi. Kebanyakan
produk yang dapat larut oleh mikroba terdifusi ke atas di dalam air pore ke
sedimen /air interfase dan dikembalikan ke kolom air (Killops, 1993).
Berdasarkan mikroorganisme yang berperan dekomposisi dibagi dalam dua
kategori : (1) pemecahan secara hidrolitik bahan organik polymer tinggi yang
merupakan bagian utama dari tanaman dan hewan, menjadi senyawa dengan

74

bobot molekul rendah, dan (2) pemecahan non hidrolitik dari molekul organik
yang kecil, umumnya disertai konsumsi oksigen. Seterusnya proses terakhir
(mineralisasi) molekul organik di lingkungan akuatik dikonversi menjadi senyawa
inorganik yang digunakan sebagai nutrien tanaman.
Dekomposisi bahan organik (mineralisasi) terjadi dengan cepat pada kondisi
oksik. Laju suplai oksigen ke sedimen adalah faktor kritis dan dipengaruhi oleh
ukuran partikel yang tersedimentasi. Ukuran pori butiran halus dari silt dan clay
mengurangi dengan cepat sirkulasi air dalam sedimen dengan bertambahnya
kedalaman, dan akhirnya, oksigen masuk ke air pore dengan difusi. Jumlah bahan
organik di sedimen mempengaruhi keseimbangan antara laju kosnsumsi oksigen
selama degradasi aerobik dan laju difusi oksigen ke dalam sedimentasiair pore
dari kolom air overlying. Oksigenasi terbatas hanya sampai beberapa mm bagian
atas sedimen butiran halus, meskipun penetrasi oksigen dapat lebih jauh beberapa
cm akibat bioturbasi (Revsbech et al., 1980 dalam Killops dan Killops, 1993).
Gunnison et al., (1985) menyatakan pada dekomposisi aerobik,
mikroorganisme aerobik, mengkonversi bahan organik yang tersedia menjadi
komponen inorganik, karbondioksida, nitrat, sulfat, fosfat, dan mengurangi
oksigen di perairan. Pada kondisi tertentu aktivitas bakteri aerobik obligat
(Actinomycetes dan beberapa species Bacillus, Pseudomonas, Corynebacterium
dan Flavobacterium) sangat terbatas.
Jika konsentrasi oksigen turun dalam sedimen dan kondisi menjadi
disaerobik, bioturbasi terhenti. Di danau eutrofik anoksiti biasanya berkembang di
lapisan hipolimnion.
7.3.2 Dekomposisi Anaerobik
Revsbech et al. (1980) dalam Killops dan Killops (1993) mengatakan,
jumlah bahan organik di sedimen mmpengaruhi keseimbangan antara laju
konsumsi oksigen selama degradasi aerobik dan laju difusi oksigen ke dalam
sedimentasi air pore dari kolom air overlaying. Oksigen terbatas hanya sampai
beberapa mm bagian atas sedimen butiran halus, meskipun penetrasi oksigen
dapat lebih jauh beberapa cm akibat bioturbasi. Jika konsentrasi oksigen turun
dalam sedimen dan kondisi menjadi disaerobik, bioturasi terhenti.

75

Selanjutnya Gunnison et al. (1985) mengatakan, respirasi anaerobik dapat


didefinisikan sebagai reaksi biologi dimana oksidasi senyawa inorganik sebagai
akseptor elektron, aktivasi ini sejalan dengan energi oksidasi dari senyawa organik
atau inorganik. Reduksi senyawa organik mengikuti langkah sesuai dengan
prediksi thermodinamika. Pertama hampir semua oksigen terlarut dikonsumsi,
bakteria anaerobik fakultatif akan berperan, dan nitrit mulai berkurang. Ketika
nitrat habis, mangan oksida akan direduksi, selanjutnya besi oksida, lalu sulfat.
Sama halnya pada anaerob obligat, bakteri ini juga mencakup anaerob fakultatif
(bakteri yang biasanya aerobik tetapi dapat berfungsi pada kondisi anaerob). Pada
kondisi tidak ada oksigen bakteri anaerob mengoksidasi bahan organik dengan
menggunakan barbagai agen oksidasi (akseptor terminal elektron) : manganase
(IV), nitrat, besi (III), sulfat dan bikarbonat. Proses ini melepas sedikit energi ke
dekomposer dibanding degradasi aerobik dari bahan organik menjadi
karbondioksida dan air. Agen oksidasi degradasi anaerobik cenderung digunakan
karena berkurangnya energi yang kembali. Beberapa bakteri (Clostridium,
anaerob obligat, Bacillus, anaerob fakultatif) memecah komponen
makromolekular detritus menjadi molekul yang lebih sederhana dengan hidrolisis
dan proses fermentasi. Produk ini adalah substrat untuk bakteri anarobik yang
menyempurnakan mineralisasi bahan organik (Simarmata, 2007).
Reduksi mikrobial nitrat di bagi menjadi dua kategori asimilator dan
dissimilator. Produk asimilatori reduksi nitrat adalah NH4+ yang bergabung dalam
sel (Payne, 1973 dalam Gunnison et al. 1985 ; Simarmata, 2007). Dissimilatori
reduksi NO3- menjadi NH4+ telah dibuktikan penting di air laut maupun di air
tawar. Pada dissimilator NO3- menjadi NH4+, hasil reduksi dilepas dan dihasilkan
energi. Organisme yang membawa dissimilatori NO3- menjadi NH4+ tidak didata,
tetapi Sorensen (1978) dalam Gunnison et al. (1985) dan Simarmata (2007)
mengindikasi bahwa Clostridium perfringens dan Paracoccus denitrificans
mampu dalam proses ini. Reduksi sulfat menjadi penting jika nitrat terdeplesi;
hasilnya CO2, H2O dan H2S. Pereduksi sulfat (Desulfovibrio, Desulfobacter)
adalah anaerob obligat. Kedalaman zona reduksi sulfat tegantung pada jumlah
bahan organik yang ada; tetapi dapat menempati beberapa meter di sedimen
pelagik dengan kandungan organik yang lebih rendah. Methanogen
(Methanobacillus, Methanococcus) juga anaerob obligat dan mensintesa methan

76

dari porduk fermentasi terkecil. Karbondioksida dan hydrogen adalah substrat


yang penting, tetapi beberapa spesies dapat menggunakan senyawa sederhana
selain C, (contoh methanol dan formate) atau C1 yang telah siap (methylated
amine). Sedimen air tawar terdiri dari 70% methane hasil dari penggunaan asetat,
sisanya terdiri dari CO2 dan H2 (Simarmata, 2007).
Menurut Prihadi (2005) dalam keadaan anaerobik, yakni konsentrasi
oksigen rendah atau bahkan tidak terdeteksi, maka mikroorganisme aerobik tidak
dapat berkembangbiak, tetapi sebaliknya karena tidak adanya oksigen, maka
organisme yang bersifat anaerobik akan aktif memecah bahan tersebut secara
anaerob. Hasil dari penguraian secara anaerobik dapat di lihat pada Tabel 7.1
Tabel 7.1 Bentuk Senyawa Hasil Oksidasi Bahan-Bahan Organik Pada Kondisi
Aerobik dan Anaerobik.
Kondisi Aerobik
C
CO2
N
NH3 + HNO3
S
H2SO4
P
H3PO4
Sumber : Fardiaz (1992)

Kondisi Anaerobik
C
CH4
N
NH3 + Amin
S
H2S
P
PO3

Dari Tabel 7.1 Terlihat bahwa hasil penguraian senyawa yang mengandung
karbon dalam kondisi anaerob adalah gas metana, dari senyawa yang mengandung
nitorgen adalah ammonia dan amin, dari senyawa yang mengandung sulfur
terbentuk gas H2S yang berbau busuk, dan dari senyawa yang mengandung fosfor
akan terbentuk komponen fosfor yang mempunyai bau yang menyengat seperti
bau anyir (Prihadi, 2005).

77

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, R., 2004. Kimia Lingkungan. ANDI. Yogyakarta
Adawiyah, R. 2011. Diversitas Fitoplankton di Danau Tasikardi terkait dengan
Kandungan Karbondioksida dan Nitrogen. Skripsi. Universitas Negeri
Islam Syarif Hidayatullah. Jakarta
Alaert, G & Sri, S. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya
Apridayanti Eka. 2008. Evaluasi Pengelolaan Lingkungan Perairan Waduk Lahor
Kabupaten Malang Jawa Timur. Skripsi. UNDIP. Semarang
Asmawi, S. 1986. Pemeliharaan Ikan Dalam Keramba. Gramedia. Jakarta
Barus, T. A. 2001. Pengantar Limnologi, studi tentang Ekosistem Sungai dan
Danau. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA USU. Medan.
Basmi, J. 1987. Fitoplankton sebagai Indikator Biologis Lingkungan Perairan.
Fakultas Perikanan IPB. Bogor
Boyd, C. E. 1981. Water Quality in Warm Water. Fish pond. Auburn University.
Alabama
Brotowidjoyo, M. D., D. Tribawono & E. Mulbyantoro. 1995. Pengantar
Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberti. Yogyakarta
Darmayati Yeti.,dkk. 2009. Dinamika Bakteri Indikator Pencemaran di Perairan
Estuari Cisadane. LIPI. Jakarta.
Effendi, H., 2000. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta. Ix + 258 hal
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta

78

Feliatra. 1999. Identifikasi Bakteri Patogen (Vibrio sp) di Perairan Nongsa Batam
Propinsi Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universtas Riau.
Riau.
Gamo. Y. S. 2002. Beban Limbah dari Keramba Jaring Apung (KJA) dan
Yutrofikasi di Perairan Citarum
Goldman, C. R & A. J. Horne. 1983. Limnologi. Mc Graw-Hill International Book
Company. New York
Jauzi, A., 2001. Struktur Komunitas Fitoplankton dan Kaitannya dengan Unsur
Nitrogen dan Fosfor di Perairan Situ Cikaret, Cibinong, Kabupaten
Bogor. Skripsi. IPB. Bogor
Lelono. A. J., 2001. Keberadaan Komunitas Fitoplankton di Lingkungan
Keramba Jaring Apung Perairan Sangari, Waduk Cirata, Jawa Barat.
Skripsi. IPB. Bogor
Madubun Usman. 2008. Produktivitas Primer Fitoplankton dan Kaitannya
dengan Unsur Hara dan Cahaya di Perairan Muara Jaya Teluk
Jakrta. Skripsi. IPB. Bogor
Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti. Jakarta
Pranato Sugiyo Hadi. 2007. Isolasi dan Seleksi Bakteri Nitrifikasi dan
Denitrifikasi sebagai Agen Bioremediasi pada Media Pemeliharaan
Udang Vaname. SKRIPSI. IPB. Bogor.
Priadi Bambang.2011. Isolasi Identifikasi Bakteri dari Perairan Tercemar untuk
menunjang upaya Bioremediasi Badan Air. Peneliti Bidang Teknik
Lingkungan SDA. Bandung.
Purnamawati. 2009. Tingkat Perombakan Bahan Organik Sedimen Waduk Cirata
pada Kondisi Anaerobik Skala Laboratorium. Skripsi. IPB. Bogor
Salam Apdus. 2010. Analisis Kualitas Air Situ Bungur Ciputat Berdasarkan
Indeks Keanekaragaman Fitoplankton. Universitas Negeri Islam
Syarif Hidayatullah. Jakarta
Simarmata, A. H. 2007. Kajian Keterkaitan antara Kemantapan Cadangan
Oksigen dengan Beban Masukan Bahan Organik di Waduk Ir. H.
Juanda. Skripsi. IPB. Bogor

79

Tancang, A. B dan M. Ghuiran. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya


Perairan. Rineka Cipta. Jakarta
Umar, C. 2003. Struktur Komunitas dan Kelimpahan Fitoplankton dalam
kaitannya dengan Kandungan Unsur Hara (Nitrogen dan Fosfor) dari
Budidaya Ikan dalam KJA, di Waduk Ir. H. Juanda, Jatiluhur, Jawa
Barat. Thesis Pasca Sarjana. IPB. Bogor .
Weon. S. Y. Lee, S. I dan Koopman B. 2004. Effect of Temperature and Dissolved
Oxygen on Biological Nitrification at high Ammonia Concentrations.
Environmental Technology, 25 (11) : 1211. 9. www. Ncbi. Nlm. Gov/
entrez/ query. Fcgi 5/ 24/ 2008.
Winarni. H. D. 2004. Distribusi Spasial Fitoplankton pada Kawasan KJA di
Waduk Ir. H. Juanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat. Skripsi. IPB.
Bogor
Wirosaputro, Sukiman. 1991. Petunjuk Praktikum Planktonologi Air Tawar
(Phytoplankton). UGM Press. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai