Anda di halaman 1dari 62

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat
hidup orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh
karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar tetap dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta makhluk hidup yang
lain. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan harus dilakukan
secara bijaksana, dengan memperhatikan atau memperhitungkan
kepentingan generasi sekarang maupun generasi mendatang.
Aspek penghematan dan pelestarian sumber daya air harus
ditanamkan pada pengguna air.
Ekosistem perairan terbagi ke dalam dua jenis, yaitu perairan
mengalir (lotik) dan perairan menggenang (lentik). Perairan
mengalir adalah suatu bentuk perairan tawar yang di dalamnya ada
arus yang secara terus menerus mengalir dari tempat yang tinggi
ke tempat yang rendah, diantaranya adalah sungai, saluran irigasi
dan got. Perairan menggenang merupakan perairan terbuka yang di
dalamnya terkandung banyak komponen-komponen biotik dan
abiotik yang saling mempengaruhi, dalam hal ini sungai maupun
kolam dapat berperan sebagai sumber daya hayati yang
bermanfaat. Salah satu contoh perairan menggenang (lentik)
adalah kolam.
Kolam merupakan salah satu bentuk ekosistem buatan untuk
pemeliharaan ikan yang meliputi faktor abiotik dan biotik, faktor
abiotik yang saling berinteraksi membentuk komponen dan
mempengaruhi keberadaan ikan yang ada didalamnya. Faktor biotik
dan abiotik ini dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan
tersebut. Menurut Atmadja (1975), kolam merupakan perairan
menggenang yang kegunaannya sangat tergantung pada kualitas

1
dan kuantitas airnya, setiap organisme contohnya ikan dapat hidup
dan berkembang biak apabila kondisi lingkungannya memenuhi
persyaratan untuk kelangsungan ikan tersebut. Kondisi limnologis di
suatu perairan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat fisika
maupun kimia. Faktor-faktor fisika, kimia dan biologi yang khas
bagi suatu keperluan dinyatakan dalam suatu angka atau kisaran
angka dalam suatu satuan. Suatu perairan dinyatakan baik atau
buruk dalam bidang perikanan dapat diketahui dengan banyak
sedikitnya organisme perairan seperti plankton, benthos dan
tumbuhan air (Welch, 1992).
Faktor biotik meliputi berbagai macam organisme yang
berada dalam habitat tersebut, diantaranya plankton dan ikan.
Faktor abiotik meliputi sifat fisika dan kimia. Sifat-sifat fisika antara
lain: suhu, kecerahan, kekeruhan, kedalaman dan sifat-sifat kimia
antara lain: pH, O2 terlarut, CO2 bebas, DMA, BOD dan Nitrat
(Muslim, 1992). Pemantauan kualitas air di kolam Greenhouse
Fakultas Biologi sangat diperlukan untuk mengetahui perubahan
sifat fisik, kimia, serta biologis air kolam dalam menunjang
kehidupan biota di dalamnya agar keseimbangan ekologisnya tetap
terjaga.
Plankton merupakan organisme perairan yang menjadi pakan
alami bagi benih ikan. Plankton dapat ditemukan dalam keadaan
terapung di permukaan kolam, di dasar kolam atau melayang
memenuhi air kolam. Pertumbuhan plankton di pengaruhi oleh
kehadiran unsur hara di perairan. Unsur hara yang terkandung di
perairan digunakan oleh plankton untuk proses fotosintesis.
Kehadiran plankton di perairan sebagai produsen primer dalam
rantai makanan di perairan yang menguntungkan bagi ikan.
Dengan adanya plankton kehidupan ikan dan organisme perairan

2
lainnya mendapat energi dari makanan yang dimakan. Plankton
sebagai pakan alami bagi ikan yang hidupnya tergantung unsur
hara, maka apabila unsur hara yang terkandung dalam perairan itu
sedikit kelimpahan plankton pun sedikit. Hal ini akan menyebabkan
organisme perairan kekurangan bahan makanan yang dapat
menunjang kehidupan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah
• Untuk mengetahui kondisi fisik dan kimia air kolam Jurusan
Perikanan dan Kelautan no.2 , dan kolam Mina Ayam no.2.
• Untuk mengetahui komposisi plankton di kolam Jurusan
Perikanan dan Kelautan no.2, dan kolam Mina Ayam no.2.

3
I. TINJAUAN PUSTAKA

Kualitas air adalah kadar parameter air yang menunjukkan


mutu dan karakter air tersebut. Kualitas air dapat ditentukan
berdasarkan sifat fisik dan kimianya (Lingga, 1999). Beberapa sifat
fisik dan kimia yang sangat berpengaruh bagi kehidupan organisme
perairan adalah suhu, TSS, oksigen terlarut, pH, DMA, BOD, COD,
salinitas, penetrasi cahaya, dan kekeruhan.
Beberapa komponen abiotik dan biotik yang terdapat di habitat
air tawar yang mendukung kehidupan hewan air, tumbuhan air,
serta organisme air lainnya dan yang menentukan kualitas air pada
ekosistem akuatik adalah suhu, pH, oksigen terlarut, karbondioksida
bebas. Menurut Sachlan (1982), faktor fisika dan kimia yang
mendukung kehidupan plankton adalah suhu, oksigen terlarut,
karbondioksida bebas, pH, dan DMA. Menurut Welch (1982)
organisme perairan sebagai faktor biologi yang penting khusus bagi
perikanan adalah plankton. Selain itu kekeruhan pada perairan
alami juga merupakan salah satu faktor yang mengontrol
produktivitas (Saefullah, 1983).
Suhu adalah salah satu faktor penting dalam lingkungan
perairan. Suhu mempunyai pengaruh yang umum dan sering
menjadi faktor pembatas dalam pertumbuhan dan distribusi
organisme perairan, karena seringkali organisme tersebut kurang
mentoleransi perubahan suhu. Ada organisme yang hidup pada
suhu rendah, sementara organisme yang lain memerlukan
lingkungan yang lebih panas untuk hidup (Muslimin, 1995). Suhu
juga berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton. Pengaruh
tersebut berkaitan dengan aktivitas enzim dalam sel. Suhu yang
terlalu rendah dapat menyebabkan aktivitas enzim menurun dan
pertumbuhan sel menjadi penghambat. Tingkat oksidasi zat organik

4
jauh lebih besar selama musim panas daripada musim dingin.
Nitrifikasi dari amoniak secara kasar dilipat gandakan dengan
naiknya suhu sampai 10oC. Pada kondisi yang sama pembusukan
anaerobik juga sebagian besar dipengaruhi oleh perubahan-
perubahan suhu, jarang sekali pembusukan terjadi di daerah titik
beku, sedangkan pada tingkatan dimana pembusukan berlangsung
adalah kira-kira empat kali lebih besar pada 27oC dibanding pada
8oC, suhu air pada perairan yang mengalir, berubah lebih cepat
dibandingkan dengan suhu air di perairan yang tergenang (danau,
rawa, waduk), tetapi kisaran perubahannya relatif kecil
dibandingkan dengan suhu air di perairan yang tergenang, lebih-
lebih di perairan yang dangkal (Sumawidjaja, 1974).
Total Suspended Solid (TSS) merupakan padatan yang
menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan mengendap
langsung (APHA, 1985). Padatan yang tersuspensi yang terdapat di
dalam air dapat berupa partikel-partikel anorganik atau campuran
keduanya (Klein, 1972). Partikel tersebut berasal dari pengikisan
tanah sekitar kolam dan buangan rumah tangga. Pengendapan
pembusukan bahan-bahan tersebut dapat mengurangi nilai guna
perairan dan merusak lingkungan hidup di dasar kolam
(Sumawidjaja, 1974).
Oksigen terlarut merupakan salah satu unsur utama sebagai regulator pada
proses metabolisme tanaman dan hewan air, terutama untuk proses respirasi.
Kebutuhan oksigen terlarut bagi organisme perairan sangat bervariasi tergantung pada
jenis, stadia dan aktivitas. Oksigen juga merupakan zat kunci yang menentukan
macam dan keberadaan kehidupan dalam air (Cole, 1988). Menurut Effendie (2003)
bahwa tingginya kandungan bahan organik akan menyebabkan penguraian
kandungan O2 terlarut di dalam perairan, karena akan meningkatkan kebutuhan O 2
terlarut oleh mikroorganisme untuk proses degradasi bahan organik. O2 terlarut
berasal dari difusi langsung dari udara melalui permukaan air, aliran air, dan hasil

5
fotosintesis tumbuhan pada siang hari (Welch, 1952). Oksigen terlarut dalam air
sebanyak 5-6 ppm dianggap paling ideal bagi ikan untuk tumbuh dan berkembang
dalam kolam (Susanto, 1987). Menurut Pescod (1973), berdasarkan
kandungan oksigen terlarutnya, kualitas air suatu perairan dapat
digolongkan menjadi empat golongan yaitu :
Tabel 1. Kadar Oksigen Terlarut
Kadar Oksigen mg/L Kualitas Perairan
> 6,5 Tidak tercemar atau tercemar sangat
ringan
4,5-6,5 Tercemar ringan
2,0-4,4 Setengah tercemar atau sedang
<2,0 Tercemar berat

Karbondioksida baik dalam bentuk bebas maupun setengah


terikat/terikat kuat, terdapat dalam air terutama oleh proses
respirasi organisme dan penguraian bahan organik. Garam-garam
karbonat dan bikarbonat (terutama Ca) bersama-sama dengan
asamnya membentuk suatu sistem penyangga (buffer) yang sangat
berguna dalam menjaga kemantapan pH air. Apabila CO2 bebas
habis untuk keperluan fotosintesis, maka algae dapat
mempergunakan CO2 dalam bentuk setengah terikat (Welch, 1952).
Karbondioksida bebas merupakan faktor kimia yang memegang
peranan penting sebagai unsur makanan bagi semua tumbuh-
tumbuhan hijau yang mampu berasimilasi, baik tumbuhan renik
yang berupa algae maupun tumbuhan tingkat tinggi perairan
lainnya (Soeseno, 1970).
Kekurangan oksigen bersifat total, untuk kebanyakan hewan
akuatik seperti ikan. Konsentrasi oksigen terlarut selalu merupakan
hal paling utama yang harus diukur dalam menentukan sifat biologi
perairan (Mahida, 1986). Ditegaskan oleh Wardoyo (1994) bahwa O2
terlarut sangat essensial bagi pernafasan dan merupakan

6
komponen utama bagi metabolisme ikan dan organisme akuatik
lainnya. Selain itu, O2 terlarut juga penting untuk penguraian bahan
organik dalam perairan oleh mikroorganisme secara aerob
(Sastrawijaya, 2000).
Oksigen terlarut dan karbondioksida di perairan sangat
berhubungan, Menurut Hynes (1972), keberadaan oksigen dalam air
berhubungan dengan kandungan karbondioksida dimana CO2 dan
O2 selalu berada dalam hubungan yang berlawanan, karena adanya
proses respirasi dan fotosintesis. Menurut Wardoyo (1981), kadar
CO2 sebesar 12 ppm dapat menyebabkan stres, 30 ppm beberapa
ikan mati. Welch (1952) menyatakan bahwa kandungan CO2 tidak
boleh melebihi 20 ppm. Kandungan O2 terlarut dalam air 2 ppm
maka kandungan CO2 bebas yang aman bagi ikan dan organisme
akuatik lain untuk kehidupannya adalah 12 ppm. Pada kadar CO 2
bebas 30 ppm hampir semua hewan akuatik mati lemas. Keracunan
CO2 bebas terjadi apabila kandungan di dalam darah terlalu banyak,
sehingga daya serap haemoglobin terhadap oksigen terlalu tinggi.
Karbon dioksida merupakan gas hasil respirasi organisme perairan,
biota nabati yang berklorofil selalu membutuhkan karbon dioksida
bebas untuk kehidupannya (Wardoyo, 1981).
Derajat keasaman (pH) menyatakan intensitas keasaman atau
alkalinitas dari suatu cairan encer, dan mewakili konsentrasi
hidrogen ionnya. Derajat keasaman (pH) tidak mengukur seluruh
keasaman atau seluruh alkalinitas, suatu metode titrasi (penurunan
kadar) yang dibutuhkan untuk memperkirakan jumlah yang
sebenarnya daripada keasaman atau alkalinitas yang ada. Derajat
keasaman (pH) merupakan suatu indeks konsentrasi ion hidrogen
dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan
organsime perairan, sehingga dapat dipergunakan sebagai petunjuk

7
baik buruknya suatu perairan sebagai lingkungan hidup. Batas
toleransi organisme perairan terhadap pH bervariasi dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu, oksigen terlarut,
alkalinitas dan adanya anion atau kation, maupun jenis dan stadia
organisme. Mengingat nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai
zat dalam air, termasuk zat yang tidak stabil, maka penentuan pH
air harus insitu artinya dilakukan pengukuran di lapangan, derajat
keasaman atau pH pada perairan akuatik secara normal (berkisar
antara 6-8) berfluktuasi pada siklus siang hari atau diurnal secara
primer dipengaruhi oleh kadar CO2, kepadatan fitoplankton dan
aktivitas total serta kesadahan (Carter, 1988).
Daya Menggabung Asam (DMA) adalah suatu nilai yang
digunakan untuk mengatur kapasitas penyangga suatu perairan
dan dapat memperkirakan kesuburannya. DMA perairan yang tinggi
menunjukan daya penyangga yang tinggi dan mengakibatkan
perairan tersebut mempunyai produktivitas hayati yang tinggi
(Wardoyo, 1981). Besar kecilnya nilai DMA suatu perairan dapat
menunjukan kapasitas penyangga dan tingkat kesuburan (Siregar,
2000). Menurut Soeseno (1970), daya menggabung asam dapat
digunakan untuk menentukan baik buruknya perairan sebagai
lingkungan hidup, yaitu berkisar antara 2-2,5 ppm. Apabila daya
menggabung asam terlalu rendah, maka perairan itu kurang baik
daya penyangganya (soft water). Sebaliknya apabila daya
menggabung asamnya tinggi maka daya produksinya secara hayati
(biogenic capacity) cukup besar. Menurut Andrianto dalam Huet
(1970) membagi perairan menjadi empat golongan yaitu :
Tabel 2. Kisaran DMA
Kisaran DMA Kualitas Perairan
0-0,5 Terlalu asam, tidak produktif
0,5-2,0 pH belum mantap, CO2 sedang, kesuburan

8
sedang
2,0-5,0 Alkalis, sangat produktif, baik untuk budidaya
> 5,0 Terlalu alkalis, tidak produktif

Di Wilayah Indonesia yang beriklim tropis, kolam dengan DMA


1,0-2,0 merupakan kolam yang sangat produktif bahkan kolam air
tawar dengan 1,8 saja terkenal sangat subur, contohya di Bojongloa
Bandung Selatan (Andrianto, 2005).
Bological Oxygen Demand (BOD) merupakan ukuran
banyaknya O2 yang digunakan oleh mikroorganisme untuk
menggunakan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air. Nilai
BOD5 umum diumpamakan sebagai indikator kelimpahan bahan
organik dalam air dengan asumsi oksigen terutama dikonsumsi oleh
mikroorganisme selama berlangsungnya metabolisme bahan
organik. Pengukuran tersebut biasanya dilakukan pada suhu 200 C
dalam kurun waktu 5 hari sehingga nilai BOD5 umum digunakan
sebagai indikator kelimpahan bahan organik dalam air. Nilai BOD5
yang semakin besar memperlihatkan aktivitas organisme yang
semakin tinggi dalam menguraikan bahan organik (APHA, 1985).
Menurut Lee et al (1978) menyatakan bahwa BOD < 3 ppm
termasuk perairan yang belum tercemar, kandungan BOD antara
3,0-4,9 termasuk tercemar ringan, sedangkan 5,0-15 ppm termasuk
tercemar berat.
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah oksigen yang
di perlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat
teroksidasi melalui reaksi kimia. COD merupakan ukuran bagi
pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara alami yang dapat
dioksidasi melalui proses mikrobiologis, dan mengakibatkan
berkurangnya oksigen terlarut di dalam air (Ramalho, 1997).

9
Plankton terdiri dari jasad renik yang melayang di dalam air,
plankton dapat dibedakan menjadi phytoplankton dan zooplankton.
Phytoplankton merupakan tumbuhan renik dari algae monoseluler
sampai algae multiseluler, sedangkan zooplankton terdiri dari
hewan renik (Soeseno, 1970). Menurut davis (1955) siklus produksi
phytoplankton relatif lebih pendek dibandingkan dengan
zooplankton sehingga jumlah zooplankton dapat meningkat cepat,
kelimpahan phytoplankton yang lebih tinggi daripada zooplankton
bisa juga disebabkan oleh cahaya matahari, saat menjelang
matahari terbit. Zooplankton secara berangsur-angsur akan turun
dari permukaan perairan. Sebaliknya phytoplankton pada siang hari
mengadakan fotosintesis sedangkan predator tidak ada maka
kelimpahan pun menjadi tinggi.
Tingkat kesuburan dan sifat suatu kolam dapat dilihat dari
keragaman dan kelimpahan fitoplankton yang ada di perairan
tersebut. Perairan yang kaya akan berbagai jenis fitoplankton
dengan kelimpahan merupakan perairan yang baik untuk budidaya
ikan, baik sebagai pakan alami maupun sebagai penyedia O2
melalui proses fotosintesis yang digunakan untuk respirasi
(Djuhanda, 1980). Kesuburan perairan ditentukan oleh plankton,
khususnya fitoplankton salah satu cara untuk menentukan
kesuburan perairan antara lain dengan mengetahui kelimpahan
fitoplankton di perairan tersebut. Kelimpahan fitoplankton pada
suatu perairan menentukan kelimpahan ikan di suatu perairan
karena baik langsung maupun tidak langsung sumber makanan ikan
tersebut adalah fitoplankton. Keragaman merupakan karakteristik
tingkat komunitas berdasarkan organisme biologinya sedangkan
kelimpahan adalah padatan relatif suatu organisme di suatu tempat
tertentu.

10
III. MATERI DAN METODE

3. 1. Materi

3. 1. 1. Alat
Alat yang digunakan pada prakikum ini adalah keping secchi,
tiang pancang, ember, plankton net, botol winkler 250 ml, botol
film, pipet kur, termometer celcius, kertas pH universal (0-14), labu
elenmayer, oven gelas ukur, mickroskop, objek glas, cover glas,
gelas ukur 100 ml, disikator, cawan porselin
Alat yang digunakan: termometer celcius, kertas pH universal
(0-14), botol Winkler atau botol Neril, buret, statif, labu erlenmeyer,
pipet karet atau pipet seukuran, labu takar, beker glass dan gelas
ukur 100 mL, objek glass, mikroskop, cover glass, dan plnktonet.

3. 1. 2. Bahan
Bahan yang digunakan: badan perairan, larutan MnSO4,
larutan KOH-KI, larutan Na2S2O3 0,025 N, larutan H2SO4 4 N,
indikator amilum 0,5%, larutan Na2CO3 0,01 N, indikator
phenolpthalein 0,5%, indikator Methyl Orange, larutan KMnO4

11
0,01N , larutan asam oksalat 0,01 N, Formalin 40% dan larutan
H2SO4, larutan HCl 0,1, badan air, kertas whatman 41, sampel air,
larutan standard SiO2, tissue.

3.1.2 Waktu dan tempat


Praktikum ini dilakukan di kolam pemeliharaan ikan Jurusan
Perikanan dan Kelautan Universitas Jenderal Soedirman. Waktu
pelaksanaannya pada hari Sabtu dan Kamis, tanggal 12 dan 17 April
2008.

3. 2. Metode
3. 2. 1. Temperatur
Metode yang digunakan dalam pengukuran temperatur yaitu :
a. Termometer celcius dengan bantuan nilon dicelupkan
kedalam badan air kolam yang akan diteliti selama ± 3
menit.
b. Dilakukan pencatatan setelah menunjukkan angka yang
konstan.
3. 2. 2. Nilai pH
a. Kertas indikator pH diambil satu lembar dan dicelupkan
kedalam air kolam selama ± 3 menit.
b. Perubahan warna yang terjadi pada kertas pH tersebut
dicocokkan dengan warna standar dan dicatat hasilnya.

3. 2. 3. Oksigen terlarut (O2)


Pengukuran Oksigen terlarut (O2) dilakukan dengan metode
winkler (Wetzel And Likens, 1995) :
a. Sampel air kolam diambil dengan botol Winkler atau botol
Neril sebanyak 250 mL, lalu kedalamnya ditambahkan 1

12
mL larutan MnSO4 dan 1 mL larutan KOH-KI dengan
bantuan pipet seukuran.
b. Kemudian botol sampel ditutup dengan hati-hati agar
udara tidak masuk kedalam botol dan dihomogenkan
dengan cara dikocok kemudian diamkan sampai terjadi
endapan warna coklat atau sampai sekurang-kurangnya
cairan supernatan menjadi tampak jernih.
c. Selanjutnya kedalam botol dimasukkan larutan H2SO4
pekat sebanyak 1 mL dengan bantuan pipet Mohr. Botol
ditutup kembali dengan hati-hati kemudian dikocok
sampai seluruh isi botol tercampur rata dan endapan
menjadi larut dan berwarna coklat kekuningan.
d. Diambil sebanyak 100 mL dengan gelas ukur dan
dimasukan kedalam labu erlenmeyer. Kemudian dititrasi
dengan larutan Na2S2O3 0,025 N yang sudah distandarisasi
dan labu erlenmeyer dikocok hingga tercampur merata
sampai terjadi perubahan warna larutan dari coklat sampai
kuning muda.
e. Lalu kedalamnya ditambahkan indikator amilum sebanyak
10 tetes hingga larutan berubah menjadi warna biru.
Titrasi dilanjutkan kembali sampai warna biru cepat hilang.
Volume titrasi yang dipergunakan dicatat dan dimasukkan
kedalam rumus perhitungan :

Kadar O2 terlarut =
1000
× p × q × 8ml / L
100

keterangan : p = jumlah mL Na2S2O3 yang terpakai


q = normalitas larutan Na2S2O3
8 = bobot setara O2

13
3. 2. 4. Karbondioksida Bebas (CO2)
Pengukuran Karbondioksida Bebas (CO2) dilakukan dengan
metode titimetri (Wetzel And Likens, 1995) :
a. Sampel air diambil dengan botol Winkler atau botol Neril
250 mL dengan gelas ukur sebanyak 100 mL dan
dipindahkan kedalam labu erlenmeyer.
b. Ditambahkan kedalam botol sebanyak 10 tetes indikator
phenolpthalein (pp).
c. Dititrasi dengan larutan Na2CO3 0,01 N sampai larutan
berwarna merah jambu dan titrasi dilakukan duplo.
d. Volume larutan Na2CO3 yang terpakai dicatat dan
dimasukkan kedalam rumus perhitungan :
kadar CO2 bebas =
1000
× p × q × 22ml / L
100

Keterangan : p = jumlah mL Na2CO3 yang terpakai


q = normalitas larutan Na2CO3
22 = bobot setara CO2

3. 2. 5. Penentuan DMA
Sampel air diambil dengan botol smpel 250 ml dengan gelas
ukur ambil 100 ml dan dipindahkan kedalam labu erlenmeyer.
Kemudian ditambahkan 3 tetes indikator methyl orange (MO).
Kemudian dititrasi dengan larutan HCL 0,1 N sampai larutan
berwarna merah bata dan titrasi dilakukan duplo, kemudian kadar
DMA dihitung dengan rumus :
Kadar DMA =
1000
× p × q (mg/L)
100

14
Keterangan :
p = jumlah larutan HCL yang terpakai
q = normalitas larutan HCL (0,1 N)

3. 2. 6. Penentuan TSS
Pertama-tama kertas saring Whatman No. 41 yang akan
digunakan dibilas dengan akuades dan dikeringkan dalam oven
pada suhu 103-1050 C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam
desikator selama 15 menit dan ditimbang (nilai B). Kemudian
saring sampel air sekitar 50-100 ml dengan menggunakan kertas
saring yang sudah ditimbang tersebut, selanjutnya kertas saring
yang berisi bahan-bahan yang tersaring tersebut dikeringkan pada
suhu 103-1050 C selama kurang lebih 15 menit dan ditimbang
keberatannya (nilai A). Kemudian dilihat TSS dengan rumus:
TSS =
( A − B ) × 1000
mg / L
ml sampel air

Keterangan :
A = berat kertas saring dan residu
B = berat kertas saring
3. 2. 7. Penentuan BOD5
Pertama-tama persiapkan 2 botol BOD, masing-masing berisi
air sampel dan air pengencer (blanko), untuk pertama langsung
diukur kandungan O2 terlarutnya sebagai t = 0, sedangkan botol
kedua diinkubasi selama 5 hari dalam suhu 200 C. Setelah 5 hari
baru diukur O2 terlarut sebagai t = 5.
BOD5 = A0 – A5
Keterangan :
A0 = O2 terlarut sampel nol hari

15
A5 = O2 terlarut sampel lima hari

3. 2. 8. Penentuan COD
Pertama-tama sampel air diambil dengan botol sampel dan bila
perlu lakukan pengenceran. Kemudian tempatkan ke dalam labu
erlenmeyer sebanyak 100 ml KMnO4 0,01N, labu erlenmeyer
dibungkus dengan aluminium foil. Lalu didihkan pada pemanas air
selama 10 menit dan setelah dingin tambahkan 10 ml larutan asam
oksalat 0,01 N. selanjutnya titrasi dengan larutan KMnO4 0,01N
sampai terbentuk larutan yang berwarna merah muda (rose). Untuk
blanko diperlakukan sama dengan sampel air, kemudian hitung
kadar COD dengan rumus :
Kadar COD =
1000
× (10 + a) F − 10 x 0,01 x 31,6 ( mg/l)
100

Keterangan :
a = ml KMnO4 yang terpakai
F = faktor koreksi KMnO4
31,6 = berat eqivalen KMnO4

Untuk Faktor Koreksi


Pertama-tama akuades diambil sebanyak 100 ml dan
ditempatkan ke dalam labu erlenmeyer, kemudian ditambahkan
sebanyak 5 ml larutan H2SO4 4 N dan 10 ml larutan asam oksalat
0,01 N. Lalu diocok hingga merata dan didiamkan selama 10 menit.
Selanjutnya dititrasi dengan larutan KMnO4 0,01 N sampai terbentuk
larutan yang berwarna merah muda (rose). Rumus perhitungan
adalah :
Faktor Koreksi = 10
ml KMnO 4

16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 3. Pengamatan Faktor Fisik dan Kimia Kolam JPK no.2

NO ASPEK PARAMETER HASIL


1 Fisika 1. Kedalaman I 29cm
Kedalaman II 58cm
Kedalaman III 55cm
2. Kecerahan I 25cm
Kecerahan II 32.5cm
Kecerahan III 31.25cm
3. Suhu I 29.5oC
Suhu II 29oC
Suhu III 29oC
4. Warna Hijau kecoklatan
5. Bau Bau lumpur

2 Kimia 1. O2 terlarut 5.4ppm


2. CO2 bebas 3.08ppm
3. DMA 2.4

Tabel 4. Pengamatan Plankton di Kolam Greenhouse

17
Genus Ulangan Jumlah
Dapnia sp. 1

Oscillatoria 6
1
Nauplius sp. 2

Doreal vlow 1

Oscillatoria 2

Surirella 2 1

Nitzechia nyassensis 1

Brachionus 2

Euglena sp. 1

Diatoma 1

Netsia 3

Navicula 22

Rotifera (Karatela sp.) 3 5

Nauplius sp. 3

Oscillatoria 1

Synedra ulna 3

Surirela 4

Spirogyra 1

Jumlah 60

4.2 Pembahasan
Perhitungan temperatur terhadap sampel air kolam JPK di tiga
titik memperoleh hasil antara lain :29,5 29, dan 29. Pengukuran
suhu dilakukan pada pada pagi hari yaitu pukul 08.0. Hal ini
menunjukkan temperatur di kolam JPK tidak merata disebabkan
adanya daerah Inlet yang merupakan tempat masuknya air

18
sehingga cenderung bersifat dingin karena adanya suplai air baru
dari perairan luar. Perairan di kolam JPK berdasarkan temperatur
yang diperoleh masih mendukung untuk kehidupan organisme
akuatik terutama ikan, karena kisaran layak hidup ikan adalah pada
temperatur antara 20-30 OC. Berdasar kriteria tersebut maka dapat
dikatakan bahwa nilai temperatur kolam JPK masih layak untuk
kehidupan organisme akuatik.
Grafi 1. Perbandingan pengukuran suhu dan pustaka

Menurut Soeseno (1970) suhu yang baik untuk mendukung


kehidupan organisme perairan berkisar antara 20-30oC. Selain itu
ikan-ikan di daerah tropis dapat tumbuh dengan baik pada suhu 25-
32oC (Boyd dan Lichkopple 1986). Keseragaman suhu dapat terjadi
oleh pendinginan permukaan yang disebabkan oleh penguapan,
radiasi, dan konduksi pada waktu malam hari atau cuaca dingin.
Partikel air yang dingin dan berat, turun dari permukaan sampai
pada lapisan yang mempunyai suhu atau berat jenis yang sama.
Dengan demikian arus konveksi timbul, yang menyebabkan
percampuran.
Penyerapan panas dengan meningkatnya suhu di perairan
mengakibatkan berat jenis air lebih ringan karena molekul-molekul
air renggang. Pada waktu udara panas dirambatkan tapi pelan
akibatnya di dasar perairan menjadi dingin, bila dibandingkan
dengan permukaan air. Kisaran suhu perairan yang baik untuk
hewan akuatik menurut Welch (1980) adalah 20-350C, suhu
merupakan faktor intensitas dari energi panas. Fluktuasi terhadap
suhu sesuai dengan pendapat Effendie (2003) yang menyatakan
bahwa cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami
penyerapan dan berubah menjadi energi panas.

19
Gambar 2. Perbandingan TSS Pengukuran dan Pustaka.

Nilai TSS yang diperoleh di kolam budidaya Green House


sebesar 38 mg/L. Nilai yang didapat menunjukkan bahwa perairan
kolam budidaya Green House Fakultas Biologi sudah tergolong
perairan jernih. Menurut Alpha (1989), Suatu perairan masih
tergolong jernih apabila nilai TSS-nya masih dibawah 100mg/L. Nilai
ini juga mencerminkan bahwa jumlah padatan tersuspensi di kolam
budidaya Green House Fakultas Biologi dalam keruh, karena TSS
merupakan salah satu parameter yang berkaitan dengan tingkat
kekeruhan. Semakin tinggi nilai kekeruhannya semakin tinggi pula
nilai TSS nya. TSS yang tinggi dapat mempengaruhi kecerahan air,
sehingga mempengaruhi fotosintesis. Menurut Alpha (1981)
padatan tersuspensi juga bisa berupa plankton yang hidup ataupun
yang telah mati, detritus, kotoran hewan lumpur, limbah rumah
tangga dan juga limbah industri khususnya limbah buangan industri
tepung tapioka. Berdasarkan hasil yang didapat kolam budidaya
Green House Fakultas Biologi baik untuk kehidupan organisme.

Gambar 3. Perbandingan O2 Terlarut Pengukuran dan


Pustaka.
Oksigen yang larut dalam air yang utama berasal dari proses
difusi oksigen dari udara kedalam air melalui permukaannya,
kemudian disebarkan ke seluruh badan perairan oleh angin. Aliran
air yang masuk juga berpotensi menambah oksigen dalam air.
Masuknya aliran ini akan menimbulkan gerakan air sehingga
menambah luas permukaan air, yang dapat berhubungan dengan
udara yang berarti makin banyak difusi oksigen dari udara ke dalm
air. Dengan demikian pada perairan alami, pergolakkan di

20
permukaan air, luasnya daerah permukaan air yang terbuka bagi
atmosfer dan konsentrasi oksigen dalam udara akan mempengaruhi
banyaknya oksigen yang terlarut di perairan tersebut.
Pengamatan praktikan di kolam pada sore hari pukul 15.00
kadar O2 mencapai 6,6 mg/L, sedangkan pada pagi hari kadar O 2
mencapai 4,4 mg/L. Air mungkin mengandung O2 terlarut lebih kecil
daripada nilai kejenuhannya. Tingkat kelarutan O2 terlarut akan
menurun dengan menurunnya tekanan udara. Effendie (2003)
menyatakan bahwa kadar oksigen berfluktuasi secara harian
(diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan
pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi
dan limbah (effluent) yang masuk kebadan air. Penyebab lain
berfluktuasinya nilai kandungan oksigen terlarut pada pagi dan sore
hari yaitu adanya proses fotosintesis yang terjadi pada siang
sampai dengan sore hari, sedangkan malam hari terjadi respirasi
oleh tumbuhan air. Jeffries dan Milss (1996) menyatakan bahwa
siang hari ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh
proses fotosintesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik
lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi.

Gambar 4. Perbandingan CO2 Pengukuran dengan Pustaka.


Karbondioksida dalam air berada dalam bentuk karbonat dan
dalam bentuk bebas. Karbondioksida yang mula-mula digunakan
oleh tumbuh-tumbuhan untuk berasimilasi ialah karbondioksida
bebas. Kalau karbondioksida dalam bentuk bebas ini habis, maka
digunakan CO2 yang terlarut yang berupa garam-garam bikarbonat
yang mudah larut dalam air. Kadar CO2 bebas yang pada sore hari
mencapai 2,86 mg/L, Sedangkan kadar CO2 bebas pada pagi hari
mencapai 5,5 mg/L. Jadi pada sore hari ditemukan karbondioksida

21
bebas yang sangat rendah karena digunakan untuk proses
fotosintesis, sedangkan di pagi hari dijumpai CO2 bebas yang tinggi,
karena tidak ada fotosintesis. CO2 bebas yang masuk kedalam
perairan maka akan segera berubah menjadi karbonat dan
bikarbonat sehingga tidak banyak mempengaruhi pH air. Menurut
Wardoyo (1981), bahwa kadar CO2 bebas untuk kehidupan
organisme akuatik dalam perairan maksimal 12mg/l. Effendie
(2003) menyatakan bahwa, kadar karbondioksida diperairan dapat
mengalami pengurangan, bahkan hilang akibat proses fotosintesis,
evaporasi dan agitasi air. Kadar karbondioksida yang diperbolehkan
bagi perairan yang dimanfaatkan untuk perikanan adalah < 5 mg/L.
Boyd (1988) menambahkan bahwa kadar karbondioksida bebas
sebesar 10 mg/L masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik,
dengan syarat disertai kadar oksigen yang cukup. Walaupun
sebagian besar organisme akuatik masih dapat bertahan hidup
hingga kadar karbondioksida bebas mencapai 60 mg/L.

Gambar 5. Perbandingan pH Pengukuran dan Pustaka.

Nilai pH yang diperoleh dari hasil pengamatan pada waktu sore


hari pukul 15.00 mencapai kisaran pH 6, sedangkan pada pagi hari
dapat mencapai pH yaitu 6. Jadi, pH pada sore hari dan pagi hari
tidak memberikan perbedaan yang cukup signifikan. Menurut
Fardiaz (1992), Suatu perairan dianggap normal apabila nilai pHnya
antara 6-8. Lebih lanjut Sitanggang dan Sarwono (2000),
menyatakan bahwa pH yang baik untuk kelangsungan hidup ikan
adalah 6,5-7,5 (6-8). Nilai pH suatu perairan mencirikan
keseimbangan antara asam dan basa di dalam air. Adanya
karbonat, hidroksida dan bikarbonat menaikkan kebasaan air,

22
sementraadanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat
menaikkan keasaman air.

Gambar 6. Perbandingan Nilai DMA Pengukuran dengan


Pustaka.
DMA (Daya Menggabung Asam) merupakan kapasitas air untuk
proton. DMA sama halnya dengan larutan Buffer besar kecilnya nilai
DMA suatu perairan dapat menunjukan kapasitas penyangga dan
tingkat kesuburan. Pengukuran DMA atau alkalinitas total di kolam
Green House adalah 1,5 mg/L. Soeseno (1974), mengatakan bahwa
criteria nilai DMA berkisar antara 2,0-2,5 ppm. Berdasarkan criteria
tersebut maka nilai DMA di kolam Green House menunjukan kadar
yang masih kurang optimum, dan kondisi seperti ini tidak dapat
mendukung tingkat kesuburan biota di dalam kolam itu.

Gambar 7. Perbandingan BOD pengukuran Dengan Pustaka.


Kandungan BOD5 di kolam Green House adalah 6 ppm. Nilai
BOD menunjukkan gambaran mengenai kadar garam bahan organik
menjadi microba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi
karbondioksida air (Davis and Cornwell, 1991). Aktivitas
mikroorganisme tersebut nantinya akan menguraikan bahan-bahan
organik dalam air. Bahan-bahan organik dapat berasal dari sisa
metabolisme, sisa deterjen, pertanian (pupuk), limbah industri dan
rumah tangga serta oragnisme perairan yang mati.
Bilogical Oxygen Demand (BOD) mempengaruhi defisit O2
terlarut sehingga berpengaruh pula terhadap budidaya ikan, jika
bahan organik dalam air sedikit maka bakteri aerob mudah
memecah tanpa mengganggu keseimbangan O2 terlarut dalam air.
Oksigen diperlukan ikan untuk pernafasan yang dilakukan oleh

23
insang, selain itu proses dekomposisi juga memerlukan O2 terlarut
yang menyebabkan pengurangan O2 terlarut (Chapman, 1995).
Kandungan O2 terlarut yang tidak mencukupi kebutuhan ikan dan
biota lainnya dapat menyebabkan turunnya daya hidup ikan, karena
dapat mengganggu pernafasan dan metabolisme ikan (Barus,
2002). Tingginya BOD akan menyebabkan menurunnya O2 terlarut
di dalam air, menurunnya O2 terlarut berakibat menurunnya
kehidupan ikan dan tanaman air. Hal ini disebabkan karena ikan
dan tanaman air tersebut banyak yang mati karena kekurangan O2
(Sastrawidjaja, 1991).

Gambar 8. Perbandingan Nilai COD Pengukuran dengan


Pustaka.
Nilai COD yang di dapat di kolam budidaya Green House
Fakultas Biologi adalah 13,49mg/L. Dalam Sugiarto (1987) kadar
COD antara 10-20 mg/L jadi perairan tersebut tingkat
pengotorannya rendah. Kondisi baik bagi kehidupan biota adalah 0-
10 ppm (Lelyatiningsih, 1980). Berdasarkan klasifikasi tersebut
bahwa perairan di kolam budidaya Green House Fakultas Biologi
dalam keadaan tercemar rendah. Karena batas nilai COD untuk
keadaan tidak kotor < 10. Pencemaran atau pengotoran rendah
tersebut dapat disebabkan oleh pencemaran perairan oleh plankton
yang menyebabkan berkurangnya O2 sehingga proses fotosintesis
berkurang dan meningkatkan CO2 kolam Green House Fakultas
Biologi.
Kehidupan plankton dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
dimana dia hidup, baik faktor fisik maupun kimianya. Menurut
Soeseno (1970), pada umumnya jasad renik yang merupakan

24
plankton sangat peka sekali terhadap perubahan lingkungan
hidupnya. Perubahan sedikit saja (baik pH, suhu, salinitas, gerakan
air, cahaya matahari dan sifat fisik kimia air) dapat memusnahkan
atau mengembangkan plankton. Adapun plankton yang ditemukan
seperti genus Hydrodytion, Tetraspora, Nitzschia, Tabellaria,
Chloccocum, Thichotria, Fremiella dan yang paling dominan yaitu
dari genus Hydrodyction berjumlah 9, Nitzschia berjumlah 9, dan
Chloroccocus berjumlah 9. Pemilihan spesies alga digunakan dalam
penilaian kualitas air karena telah dibuktikan mampu berfungsi
sebagai penunjuk biologi yang baik terhadap pencemaran air
(Muhammad Ali et al., 2003; Ward dan Whipple, 1959; Boyd, 1981).
Sebagai contoh, adanya kelas Chlorophyceae dan kelas
Bacillariophyceae atau lebih dikenali sebagai diatom dalam jumlah
yang banyak menunjukkan kualitas air yang bersih (Muhammad Ali
et al., 2003). Tetapi apabila suatu kawasan didominasikan oleh
populasi kelas Cyanophyceae atau lebih dikenali sebagai alga biru-
hijau yang banyak menyebabkan masalah-masalah pencemaran
seperti gangguan terhadap habitat hidupan akuatik (Boyd, 1981),
peningkatan kandungan sebagai toksik (Salam dan Perveen, 1997),
kemasukan bahan kimia berbahaya (Mason, 1998; Salam et al.,
2000). Berbagai populasi alga mempunyai ciri-ciri istimewa yang
berpotensi sebagai penunjuk biologi dalam penilaian kualitas air. Ini
termasuk dalam bilangan populasi yang banyak, mudah diperoleh
di dalam air sungai serta amat sensitif terhadap perubahan yang
berlaku terhadap kualitas air (Mc Cormick et al., 1994; Skulberg,
1995).

25
26
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Hasil pengukuran di kolam pada waktu pagi hari berada pada
kisaran 250C sedangkan sore hari suhunya 280C, hal ini
disebabkan karena cahaya matahari yang masuk ke perairan
akan mengalami penyerapan dan berubah menjadi energi panas
dan mendukung kehidupan organismenya.
2. pH pada sore hari dan pagi hari tetap sama. Nilai pH ini
merupakan kondisi yang baik bagi kehidupan ikan.
3. O2 terlarut pada waktu sore mencapai 6,6 mg/L. Sedangkan pada
pagi hari kadar O2 mencapai 4,4 mg/L. Tingkat kelarutan O2
terlarut akan menurun dengan menurunnya tekanan udara lebih
tinggi dibanding pada waktu pagi hari, sehingga perairan
tersebut tercemar ringan.
4. Kadar CO2 bebas pada sore hari mencapai 2,86 mg/L. Sedangkan
kadar CO2 bebas pada pagi hari dapat mencapai 5,5 mg/L.
Karbondioksida yang diperbolehkan bagi perairan yang
dimanfaatkan untuk perikanan adalah < 5 mg/L.
5. Hasil pengamatan nilai DMA mencapai pada kisaran 1,5. Hal ini
memberikan gambaran bahwa kolam di Greenhouse merupakan
kolam yang subur.
6. Hasil BOD yang didapat 6 ppm, maka kadar oksigen terlarutnya
(DO) > 5 ppm dan kadar oksigen biokimianya (BOD) berkisar 0 -
10 ppm dikatakan perairan yang baik.
7. Nilai COD didapat 13,49 mg/L. Pencemaran atau pengotoran
rendah tersebut dapat disebabkan oleh pencemaran perairan
oleh plankton.

27
8. Nilai TSS yang diperoleh Green House sebesar 38 mg/L. Nilai
yang didapat menunjukkan bahwa perairan kolam budidaya
Green House Fakultas Biologi sudah tergolong perairan jernih.
9. Plankton yang dominan didapat Hydrodyction berjumlah 9,
Nitzschia berjumlah 9, dan Chloroccocus berjumlah 9.

5.2 Hasil
pengukuran dan pengamatan kondisi fisik maupun kimia di
kolam pemeliharaan Green House dapt selalu dilakukan dan
dipelihara serta dijaga kualitas airnya, dikarenakan perairan
tersebut merupakan hal yang dapat mendukung kehidupan
manusia maupun organisme yang hidup di perairan tersebut.

28
DAFTAR PUSTAKA

APHA. 1985. The Fresh Water Algae of The United State.


Craftmaster rinters: Alabama Publisher.

Andrianto, Tuhana Taufik. 2005. Pedoman Praktis Budidaya Ikan


Nila. Absolut, Yogyakarta.

Boyd, C.E. 1981. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Alabama:


Craftmaster rinters Publisher.

Boyd, C.E. dan F. Lichkopper. 1986. Pengelolaan Kualitas Air Kolam


Ikan. Terjemahan dari Water Quality Management in Pond
Fish Culture. Oleh Cholik, F. Artati dan R. Arifin. INFIS Manual
Seri Nomor 36 : 1-52.
Boyd, C. E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Pound. Fourth
Printing. Auburn University Agricultural Experiment Station,
Alabama.

Carter, L. W. 1998. River Water Quality Monitoring. Lewis Publisher


Inc, London.

Cole, G. A. 1988. Textbook of Limnology, 3rd ed. Waveland Press,


Inc. Prospect Heights, Illinois.

Djuhanda, T. 1980. Kehidupan dalam Setetes Air dan Berapa Parasit


Pada Manusia. ITB. Bandung

Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber


Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisus. Yogyakarta.

Hynes, H. B. N. 1972. The Biology of Polluted Water. Liverpool


University Press. London.

Lelyatiningsih. 1980. Fluktuasi Bulanan dan Kualitas Kimia Fisik


dan Biologi Air Kolam di desa Selajambe Cianjur, Tesis
Jurusan Biologi. Fakultas Ilmu Pestidan Pengetahuan Alam.
Universitas Padjajaran, Bandung Mahida, U. N. 1986.
Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Penerbit
CV. Rajawali, Jakarta, pp. 543

29
Lingga, Pinus. 1999. Ikan Mas Kolam Air Deras. Penebar Swadaya,
Jakarta.

Mahida.1986. Pencemaran Air dan Penanganan Air Limbah.


Kanisius. Yogyakarta.

Mason, C.F. (1998). Biology of Freshwater Pollution. Longman


Scientific and Technical.

Mc Cormick, G.H., Feder, G.L., and Merrit, R.W., (1994). The


Ecological Effect of Acid Conditions and Precipitation of
Hydrous Metal Oxides. Hydrobiologia.129-138.

Muhammad Ali., Vaduz Salam., Saima Jamshaid., and Tasveer


Zahra. (2003). Studies on Biodiversity in Relation to Seasonal
Variation in Water of River Indusat Ghazi GAT, Punjab,
Pakistan. Pakistan Journal of Biological Sciences 6 (21): 1840-
1844.

Muslimin, L. W. 1995. Mikrobiologi Lingkungan. DIKTI – Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, pp. 543

Pescod. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream


Standar for Tropical Countries. Asean institute of Technologi,
Bangkok.

Reid, K. G. 1976. Ecology of Island Water and Estuaries. P. Van


Nortrand Company, New York.

Salam, A., and Perveen, S. (1997). Studies on the Seasonal


Variations of Biological Parameters of Shard Ghazanfar,
Muzaffargarh (Pakistan). Acta Sciences 7: 129-140.

Sitanggung dan Sarwono. 2000. Pengelolaan Kualitas Air. IPB.

Bogor.

Skulberg, J.D. (1995). Microplankton Growth, Grazing, and


Community Structurein the Northern Gulf of Mexico, Marine
Ecology. 130: 229-240.

Soeseno, S. 1970. Limnologi untuk Sekolah Perikanan Menengah


Atas. IPB: Bogor.

30
Sumawidjaja, K. 1975. Limnologi. Fakultas Perikanan IPB, Bogor.

Susanto, S. 1970. Limnologi. Direktorat Jenderal Perikanan


Departemen Pertanian, Jakarta.
Wardoyo. S. T. H. 1981. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan
Pertanian dan Perikanan. Training Analisa dampak lingkungan
PPLH, UNDP- PUS DPSL. IPB. Bogor.

Welch, P. S. 1952. Limnology. McGraw-Hill Book Company, New


York.

Wetzel, R. G. And G. E. Likens. 1995. Limnology Analysis. Springer


Verlag. New York.

31
LAMPIRAN 1

Pagi :
Perhitungan CO2
Dik :
p = 2,5 mL
q = 0.01
Hasil :
CO2 =
1000
× p × q × 22ml / L
100

1000
= × 2,5 × 0,01× 22
100
= 5,5ml / L

Perhitungan O2
Dik : p = 2,2 mL
q = 0,025
Hasil :
kadar O2 terlarut =
1000
× p × q × 8ml / L
100

1000
= × 2,2 × 0,025× 8
100
= 4,4ml / L
Siang :
Perhitungan CO2
Dik : p = 1,3 mL
q = 0,01
Hasil :
CO2 =
1000
× p × q × 22ml / L
100

1000
= × 1,3 × 0,01× 22
100
= 2,86ml / L

32
Perhitungan O2
Dik : p = 3,3 mL
q = 0,025

Hasil:
kadar O2 terlarut =
1000
× p × q × 8ml / L
100

1000
= × 3,3 × 0,025× 8
100
= 6,6ml / L

Perhitungan DMA
Dik : p = 1,5
q = 0,1
Hasil :
Kadar DMA =
1000
× p × q (ml/L)
100

1000
= × 1,5 × 0,1
100
= 1,5ml / L

Perhitungan COD
Awal = 45,6
Akhir = 50
a = 50-45,6 = 4,4
10
F=
ml KMnO 4

10
= = 0,99
10,1

Kadar COD =
1000
× (10 + a) F − 10 x 0,01 x 31,6 ( mg/l)
100

33
= 10 × { (10 + 4,4 ) × 0,99 − 10)} × 0,01× 31,6mg / L
= 10 × { (14,4 × 0,99) − 10} × 0,01× 31,6mg / L
= 10 × 4,256 × 0,01× 31,6mg / L
= 13,45mg / L
Perhitungan TSS
A = 1,0558 gr = 1055,8 mg
B = 1,0520 gr = 1052 mg
Hasil:
TSS =
(A - B) X 1000
mg/l
ml sampel air

=
(1055,8 − 1052) × 1000 mg / L
100
= 38mg / L

Gambar 9. Plankton di Kolam Greenhouse


Tabellaria Tetraspora

Nitzschia

34
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Sungai merupakan suatu bentuk perairan tawar yang
didalamnya ada arus secara terus-menerus yang mengalir ke suatu
tempat tertentu yang tempatnya lebih rendah (Djakaru, 1974).
Sumber air dari sungai adalah dari air tanah dan air permukaan.
Sungai lebih berinteraksi dengan daratan jika dibandingkan dengan
perairan lentik. Dalam sungai terjadi pencampuran air secara
menyeluruh hingga tidak terbentuk stratifikasi dan dalam suatu
sungai pasti terjadi erosi dan sedimentasi (Siregar, 2008).
Kondisi sungai digambarkan sebagai badan air yang memiliki
kecepatan yang bervariasi yang tergantung pada letaknya
(hulu,hilir, dan muara). Air juga dikatakan sebagai senyawa yang
bersifat pelarut universal, karena sifatnya tersebut, maka tidak ada
air dan perairan alami yang murni,tetapi didalamnya terdapat unsur
dan senyawa yang lain, dengan terlarutnya unsur dan senyawa
tersebut (hara dan mineral), maka air merupakan faktor ekologi
yang penting bagi organisme. Walaupun demikian ternyata tidak
semua air dapat secara langsung digunakan untuk memenuhi

35
keperluan organisme hidup, tetapi harus memenuhi kriteria dalam
setiap parameternya masing-masing.

1.2. Tujuan Praktikum


1. Untuk mengetahui teknik pengukuran air untuk
kecepatan arus.
2. Untuk mengetahui teknik analisis perbandingan
kecepatan arus dari masing-masing titik pengambilan
sampel.
3. Untuk mengetahui lebar sungai pada tiap stasiun dan
hubungannya dengan kecepatan arus dan debit air.

36
II. TINJAUAN PUSTAKA

Sungai adalah salah satu bentuk ekosistem yang meliputi


faktor abiotik dan biotik yang saling berinteraksi membentuk
komponen yang saling mendukung dan mempengaruhi keadaan
organisme yang ada di dalamnya. Faktor biotik dan abiotik ini
dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan tersebut.
Faktor biotik meliputi biota yang berada dalam habitat tersebut,
Faktor abiotik meliputi sifat fisika. Sifat-sifat fisika antara lain :
suhu, kecerahan, kekeruhan,kedalaman.

Suhu adalah suatu sumber energi internal karena


menimbulkan populasi molekuler energi tinggi yang mendorong
aliran energi dalam aliran alir. Oleh karena itu laju metabolik dapat
suplai energi malampaui tendensi suhu yang intern (Odum, 1971).
Pengukuran suhu dilakukan untuk mengetahui adanya stratifikasi
suhu. Pengukuran suhu juga dilakukan untuk mengetahui
perbedaan suhu tertinggi dan suhu terendah yang berpengaruh
terhadap metabolisme. Suhu merupakan salah satu sifat fisik yang
dapat mempengaruhi nafsu makan dan pertumbuhan badan ikan.
Arus merupakan sifat khas dari perairan lotik, arus sendiri
ditentukan oleh kecuraman gradien permukaan atau bentang alam,
halus atau kasarnya dasar sungai tersebut, lebar sungai, dan curah
hujan. Arus menentukan bahan substatum di sungai, apakah berupa
lumpur, pasir, kerikil ataupun batuan sehingga berdampak dalam
distibusi organisme, distribusi gas dan nutrien, dan distribusi
temperatur. Kecepatan arus adalah kecepatan gerak air dari satu
tempat menuju ke tempat lain (Siregar, 2008).
Debit air (discharge) dinyatakan sebagai volume yang
mengalir pada selang waktu tertentu, dengan satuan m3/detik.

37
Kadar bahan terlarut akibat erosi pada suatu perairan akan
meningkat secara eksponensial dengan meningkatnya debit air. Bila
suatu polutan masuk ke badan suatu perairan dengan kecepatan
yang konstan, maka kadarnya dapat ditentukan dengan membagi
jumlah polutan yang masuk dengan debit airnya (Siregar, 2008).
Kedalaman suatu badan perairan akan berpengaruh pada
kecepatan arus badan perairan tersebut, semakan dalam suatu
badan perairan maka arus yang ada dibadan perairan tersebut akan
semakin lambat dan begitu pula sebaliknya (Soeseno, 1970).

38
I. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah stop watch,
tali rafia ukuran 10 meter, tiang pancang, termometer, botol plastik,
transek ukuran 1 meter x 1 meter.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah badan perairan.
3.2. Metode
3.2.1. Kecepatan Arus
• Kecepatan arus diukur dengan menggunakan tali
penduga dengan panjang 10 meter yang salah satu
ujungnya diikat dengan pelampung.
• Nilai kecepatan arus diukur dengan bantuan botol
plastik dan stop watch, hasilnya dicatat.
3.2.2. Suhu
• Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan
termometer.
• Angka suhu yang ditunjukan termometer dicatat.
3.2.3. Lebar Sungai
• Pengukuran lebar sungai dilakukan dengan
menggunakan tali yang dibentangkan dari ujung sungai
ke ujung sungai.
• Setelah tali dibentangkan pengukuran dilakukan
menggunakan meteran yang berukuran 1 meter.
• Hasil pengukuran lebar sungai dicatat.

39
3.2.4. Kedalaman Sungai
• Setelah pengukuran lebar sungai, pengukuran
kedalaman sungai dilakukan dengan menggunakan
tiang pancang.
• Pengukuran kedalaman sungai dilakukan dengan
patokan tiap 1 meter pada penghitungan lebar sungai.
• Hasil pengukuran kedalaman sungai dicatat.
3.3. Waktu dan Tempat

Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 19 April 2008

pukul 07.00 wib, tempat pelaksanaan praktikum di Sungai Pelus,

Karangwangkal.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

40
4.1. Hasil
A. Debit Air

B. Kecepatan Arus
• Stasiun 1 = 7,30 detik V1 = 10/7,3 = 1,37
• Stasiun 2 = 7,55 detik V2 = 10/7,55 = 1,32

41
• Stasiun 3 = 8,92 detik V3 = 10/8,92 = 1,12

1,37 + 1,32 + 1,12


Vrata − rata = = 1,27 m / s
3
Tabel 5. Kecepatan Arus 3 stasiun (Pabuaran, Grendeng,
Karang Wangkal).
Kelompo Lebar Kecepat Luas Debit air
k sungai an rata- rata-rata
rata
1 19,5 meter 0,56 m/s 11,23 m2 6,29 m3/s
2 24 meter 0,262 12,67 m2 3,316 m3/s
m/s
3 15 meter 0,857 7,02 m2 7,6518
m/s m3/s
4 17 meter 0,865 9,86 m2 8,5289
m/s m3/s
5 14 meter 1,27 m/s 6,8 m2 8,636 m3/s
6 14 meter 0,914 6,98 m2 6,38 m3/s
m/s

A. Kedalaman
Tabel 6. Kedalaman Sungai Pelus
Meter Kedalaman
1 30 cm
2 50 cm
3 50 cm
4 30 cm
5 40 cm
6 20 cm
7 30 cm
8 34 cm
9 92 cm
10 78 cm
11 73 cm
12 65 cm
13 57 cm
14 31 cm

42
B. Tabel 7. Makrobenthos di Sungai, Pelus Karangwangkal
Spesies Stasiun Stasiun Stasiun Jumlah
1 2 3
Potamopyrgus jenkinsi 2 buah - - 2 buah
Pleurocera acula 1 buah - 3 buah 4 buah
Rafinesque
Viviparus viviparus 4 buah 1 buah 2 buah 7 buah
Paludestrina minula 1 buah 3 buah - 4 buah
Totten
Limnaea Palustris - 1 buah - 1 buah
Pamatiopsis lapida Say - 1 buah - 1 buah
Lymnaea stagnalis - - 2 buah 2 buah
Linne
Goniobasis virginica - - 5 buah 5 buah
Gmelin
Lyrodes coronatus - - 3 buah 3 buah
Pfeiffer

4.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh luas permukaan rata-
rata sebagai berikut: kelompok 1 = 11,2385 m2, kelompok 2 =
12,67 m2, kelompok 3 = 7,02 m2, kelompok 4 = 9,86 m2, kelompok
5 = 6,8 m2, sedangkan untuk kelompok 6 = 6,98 m2. Suatu badan
perairan yang terdapat dalam peraiaran hilir biasanya struktur
sedimennya berbentuk pasir dan batu kerikil dan arus yang lebih
kecil, semua faktor tersebut yang menjadikan daerah hilir lebih
dalam dan luasnya pun semakin kecil karena pengaruh sedimen
tersebut.
Kecepatan arus yang diperoleh dari praktikum di sungai pelus
yaitu: di stasiun 1 kecepatan arusnya 1,37 m/s, di stasiun 2
kecepatan arusnya 1,32 m/s, dan di stasiun 3 kecepatan arusnya
adalah 1,12 m/s, dan nilai rata-rata dari setiap stasiun adalah 1,27
m/s. Hal ini menunjukkan kecepatan arus pada perairan mengalir
bervariasi tergantung dari substrat di badan perairan tersebut, dan
semakin lebar sungai akan banyak terdapat suatu aliran bawah

43
permukaan yang mengalir ke sungai sehingga menjadikan
kecepatan arus yang terjadi juga besar dibandingkan bagian yang
lebar permukaannya lebih kecil.
Debit air mencakup juga suatu kedalaman, maka diperoleh
nilai kedalaman pada meter ke-1 adalah sepanjang 30 cm, meter
ke-2 dan ke-3 memiliki nilai kedalaman yang sama yaitu kedalaman
sepanjang 50 cm, meter ke-4 nilai kedalamannya 30 cm, meter ke-5
nilai kedalamannya 40 cm, meter ke-6 nilai kedalamannya 20 cm,
meter ke-7 nilai kedalamannya 30 cm, meter ke-8 nilai
kedalamannya 34 cm, meter ke-9 nilai kedalamannya 92 cm, meter
ke-10 nilai kedalamannya 78 cm, meter ke-11 nilai kedalamannya
73 cm, meter ke-12 nilai kedalamannya 65 cm, meter ke-13 nilai
kedalamannya 57 cm, meter ke-14 nilai kedalamannya 31 cm. Dari
data di atas dapat menunjukkan bahwa pada meter ke-9 nilai
kedalaman sungai tersebut kemiliki kedalaman yang tinggi yaitu 92
cm.
Pangukuran debit air dimaksudkan untuk mengetahui jumlah
volume air yang mengalir pada setiap detiknya. Berdasarkan hasil
pengukuran yang dilakukan kelompok kami didapatkan debit air
sebesar 8,639 m3/s, adapun debit air yang didaptkan kelompok satu
sebesar 6,29 m3/s, kelompok dua sebesar 3,316 m3/s, kelompok
tiga sebesar 7,6518 m3/s, kelompok empat sebesar 8,5289 m3/s,
dan kelompok enam sebesar 6,38 m3/s. Hal ini menunjukkan
semakin lebar permukaan perairan biasanya debit air yang ada
didalamnya semakin besar, karena di dalam perairan tersebut
banyak terdapat suatu aliran bawah permukaan yang mengalir ke
sungai sehingga menjadikan kecepatan arus yang terjadi juga besar
dibandingkan bagian yang lebar permukaannya lebih kecil.

44
Berdasarkan hasil praktikum, makrobenthos yang didapat
Potamopyrgus jenkinsi, Pleurocera acula Rafinesque, Viviparus
viviparus, Paludestrina minula Totten, Limnaea Palustris,
Pamatiopsis lapida Say, Lymnaea stagnalis Linne, Goniobasis
virginica Gmelin, Lyrodes coronatus Pfeiffer. Makrobenthos yang
dominan didapat adalah jenis dari Viviparus viviparus yaitu
sebanyak 7 buah, karena jenis Makrobenthos ini tahan terhadap
kecepatan arus yang tinggi (Lee, 1978).

45
V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil
kesimpulan, sebagai berikut :
1. Hasil pengukuran kecepatan arus adalah 1,27 m/s;
kedalaman 48,57 cm; dan debit air adalah 8,636 m/s, hasil ini
menunjukkan kisaran yang normal.
2. Hasil pengambilan hewan Makrobenthos pada praktikum ini
adalah Pleurocera acula rafinesque 4 ekor, Lymnaea stagnalis
linne 2 ekor, Viviparus viviparus 7 ekor, Goniobasis virginica
gmelin 5 ekor, Lyrodes coronatus pfeiffer 3 ekor,
Potamopyrgus jenkinsi 2 ekor, Paludestrina minula totten 4
ekor, Pamatiopsis lapida say 1 ekor, Limnaea Palustris 1 ekor.
Hasil ini menunjukkan hasil yang sesuai, yaitu hewan
Makrobenthos kan banyak di temukan di tempat yang berarus
kecil.

5.2. Saran
Untuk mengukur sifat fisik air di sungai perlu juga mengukur
suhu, kecerahan dan kekeruhan badan perairan tersebut. Selain itu
mungkin untuk praktikum tahun depan disarankan juga untuk
mengukur kulitas air suatu perairan baik yang bersifat fisika
maupun kimia.

46
DAFTAR PUSTAKA

Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. WB Saunders Company,


London.

Lee, C. D. Wang and C. L. Kuo. 1978. Benthos Makro Invertebrate


and Fish as Biological Indikator of Water Quality. In E.A.R
Quano. Asian Ins. Teach, Bangkok.

Siregar, A. 2008. Bahan Ajar Mata Kuliah Limnologi. Jurusan


Perikanan dan Kelautan. Universitas Jenderal Soedirman.
Purwokerto. (Tidak dipublikasikan)

Soeseno, S. 1970. Limnologi untuk Sekolah Perikanan


Menengah Atas. Bogor.

47
LAMPIRAN 2

Penghitungan Debit Air


LA = 1/2 . 0,3m . 1m
= 0,15 m2
LB1 = 1/2 . 0,2m . 1m LB2 = 0,3m . 1m LB = 0,4 m2
= 0,1 m2 = 0,3 m2
LC = 0,5m . 1m
= 0,5 m2
LD1 = 1/2 . 0,2m . 1m LD2 = 0,3m . 1m LD = 0,4 m2
= 0,1 m2 = 0,3 m2
LE1 = 1/2 . 0,1m . 1m LE2 = 0,3m . 1m LE = 0,35 m2
= 0,05 m2 = 0,3 m2
LF1 = 1/2 . 0,2m . 1m LF2 = 0,2m . 1m LF = 0,3 m2
= 0,1 m2 = 0,2 m2
LG1 = 1/2 . 0,1m . 1m LG2 = 0,2m . 1m LG = 0,25 m2
= 0,05 m2 = 0,2 m2
LH1 = 1/2 . 0,04m . 1m LH2 = 0,3m . 1m LH =
0,32 m2
= 0,02 m2 = 0,3 m2
LI1 = 1/2 . 0,58m . 1m LI2 = 0,34m . 1m LI =
0,63 m2
= 0,29 m2 = 0,34 m2
LJ1 = 1/2 . 0,14m . 1m LJ2 = 0,78m . 1m LJ =
0,77 m2
= 0,07 m2 = 0,78 m2
LK1 = 1/2 . 0,05m . 1m LK2 = 0,73m. 1m LK =
0,75 m2

48
= 0,025 m2 = 0,73 m2
LM1 = 1/2 . 0,08m . 1m LM2 = 0,57m . 1m LM =
0,61 m2
= 0,04 m2 = 0,57 m2
LN1 = 1/2 . 0,26m . 1m LN2 = 0,31m . 1m LN =
0,44 m2
= 0,13 m2 = 0,31 m2
LO = 1/2 . 0,31m . 1m
= 0,155 m2
Gambar 10. Jenis Makrobenthos

Paludestrina minula Totten Lyrodes coronatus Feiffer

Pleurocera acuta Rafinesque Potamopyrgus jenkinsi

49
Pomatiopsis lapidaria Say Lymnaea stagnalis

Lymnaea palustris Viviparus viviparus

50
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tumbuhan secara alami mengalami kehilangan air melalui


penguapan. Proses kehilangan air pada tumbuhan ini disebut
transpirasi. Pada transpirasi, hal yang penting adalah difusi uap air
dari udara yang lembab di dalam daun ke udara kering di luar daun.
Kehilangan air dari daun umumnya melibatkan kekuatan untuk
menarik air ke dalam daun dari berkas pembuluh yaitu pergerakan
air dari sistem pembuluh dari akar ke pucuk, dan bahkan dari tanah
ke akar. Ada banyak langkah dimana perpindahan air dan banyak
faktor yang mempengaruhi pergerakannya, peristiwa penguapan
dari tanaman disebut dengan transpirasi
Ketika air dipanaskan oleh sinar matahari, permukaan
molekul-molekul air memiliki cukup energi untuk melepaskan ikatan
molekul air tersebut dan kemudian terlepas dan mengembang
sebagai uap air yang tidak terlihat di atmosfir, disebut dengan
Evaporasi (penguapan) dan jika kedua-duanya bersama-sama
disebut dengan Evapotranspirasi
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) selama ini lebih dikenal
sebagai tanaman gulma atau hama. Eceng gondok dapat tumbuh
sangat cepat pada danau maupun waduk sehingga dalam waktu
yang singkat dapat mengurangi oksigen perairan, mengurangi
fitoplankton dan zooplankton serta menyerap air sehingga terjadi
proses pendangkalan, bahkan dapat menghambat kapal yang
berlayar pada waduk, kolam, dan perairan lainnya. Tanaman eceng
gondok mempunyai daya serap yang sangat cepat pada air.

51
Sehingga pertumbuhan tanaman air tersebut sangat cepat dan
memliki unsur yang masih bermangaat seperti mempunyai
kemampuan menyerap logam berat.
1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
kecepatan transpirasi dan evaporasi

52
II. TINJAUAN PUSTAKA

Air merupakan senyawa yang bersifat pelarut, Karena sifatnya


tersebut maka tidak ada air dan perairan alami yang murni, tetapi
di dalamnya terdapat senyawa yang lain. Evaporasi merupakan
penguapan air dari permukaan air, tanah, dan bentuk permukaan
bukan vegetasi lainnya oleh proses fisika. Dua unsur utama untuk
berlangsungnya evaporasi adalah energi (radiasi) matahari dan
ketersediaan air (Asdak, 2007). Menurut Seyhan (1990) penguapan
yang terus-menerus akan menyebabkan peningkatan tekanan uap
yang terus-menerus pula di udara tepat di atas permukaan air.
Penutup vegetasi mengurangi jumlah penetrasi radiasi matahari
dan dengan demikian memperendah suhu-suhu udara dan tanah.
Proses evaporasi tergantung pada saturation devicite di udara atau
jumlah uap air yang dapat di serap oleh udara sebelum udara
tersebut menjadi jenuh. Saturation devicite adalah beda keadaan
antara tekanan uap air jenuh (saturation vapour pressure). Pada
permukaan bidang penguapan dan tekanan uap air nyata di udara.
Dengan demikian evaporasi lebih banyak terjadi di daerah
pedalaman dimana kondisi udara cenderung lebih kering daripada
daerah pantai yang lebih lembab akibat penguapan dari permukaan
air laut (Asdak, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi
dan evapotranspirasi adalah suhu air, suhu udara (atmosfer),
kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matarhari, dan
lain-lain yang saling berhubungan satu dengan yang lain
(Sosrodarsono dan Takeda, 1987).
Transpirasi adalah penguapan air dari daun dan cabang
tanaman melalui pori-pori daun oleh proses fisiologi. Daun dan
cabang umumnya dibalut lapisan mati yang disebut kulit ari
(cuticle) yang kedap uap air. Sel-sel hidup daun dan cabang terletak

53
di bawah permukaan tanaman, dibelakang pori-pori daun atau
cabang. Besar kecilnya laju transpirasi secara tidak langsung
ditentukan oleh radiasi matahari melalui membuka dan menutup
pori-pori tersebut (Asdak, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi
evaporasi dan evapotranspirasi adalah suhu air, suhu udara
(atmosfer), kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, sinar
matarhari, dan lain-lain yang saling berhubungan satu dengan yang
lain (Sosrodarsono dan Takeda, 1987).
Proses penguapan berlangsung di udara, menyebabkan
permukaan bidang penguapan secara bertahap menjadi lebih
lembab, sampai pada tahap ketika udara menjadi jenuh dan tidak
mampu menampung air lagi. Tapi, bila udara di atas permukaan
bidang penguapan tersebut berpindah ke tempat lain akibat beda
tekanan udara, jumlah air yang di uapkan dari bidang penguapan
tersebut akan bertambah lagi. Hal ini terjadi karena adanya
pergantian udara lembab oleh udara yang lebih kering. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa kecepatan angin di atas
permukaan bidang penguapan merupakan faktor yang penting
untuk terjadinya evaporasi. Sifat alamiah bidang permukaan
penguapan akan mempengaruhi proses evaporasi melalui
perubahan pola perilaku angin. Pada bidang permukaan yang kasar
atau tidak beraturan, kecepatan angin akan berkurang oleh adanya
gesekan. Tapi hal tersebut juga dapat menimbulkan gesekan angin
berputar (turbulency) dan cenderung mendesak pergerakan angin
ke atas, dengan demikian memperbesar evaporasi. Pada bidang
pernukaan air yang luas, angin kencang juga dapat menimbulkan
gelombang air besar dan mempecepat terjadinya evaporasi (Asdak,
2007).

54
Suhu udara berubah sesuai dengan tempat. tempat terbuka,
suhunya berbeda dengan tempat yang bergedung, demikian pula
suhu diladang berumput berbeda dengan ladang yang dibajak, atau
jalan beraspal dan sebagainya. secara fisis suhu dapat difenisikan
sebagai tingkat gerakan molekul benda, makin cepat gerakan
molekul, makin tinggi suhunya. suhu dapat didefinisikan sebagai
tingkat panas suatu benda. panas bergerak dari sebuah benda yang
mempunyai suhu tinggi ke benda suhu rendah. Udara atmosfer
adalah campuran dari udara kering dan uap air. besaran yang
sering dipakai untuk menyatakan kelembaban udara adalah
kelembaban nisbi yang diukur dengan psikrometer atau
hygrometer. kelembaban nisbi berubah sesuai dengan tempat dan
waktu. menjelang tengah hari kelembaban nisbi berangsur-angsur
turun kemudian pada sore hari sampai menjelang pagi hari
bertambah besar (Tjasyono, 2004).
Kayu apu (Pistia sp.) merupakan tumbuhan monokotil
tahunan dengan daun yang tebal namun lunak. Hidupnya
mengapung di permukaan air dan akar-akarnya menggantung
terendam di bawah permukaan air. Panjang daun bisa mencapai 14
cm dan tidak memiliki batang. Warna kayu apu yaitu hijau muda
dengan urat daun parallel. Bunganya bersifat dioecious dan
ersembunyi di tengah tanaman di antara daun. Setelah pembuahan
berhasil akan terbentuk buah yang berwarna hijau kecil. Reproduksi
bisa dilakukan dengan aseksual yaitu dengan stolon. (Asdak, 2007).

55
III. MATERI DAN METODE

3.1 Materi
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu : ember
plastik, dan penggaris.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu: air, dan kayu
apu (Pistia sp.)

3.2Metode
• Air disiapkan dalam 5 ember plastik.
• Air di dalam ember di ukur volumenya sebanyak 10 L.
• Satu ember plastik diisi penuh dengan tanaman air 100%,
sehingga memuat permukaan tertutup rapat tanaman air.
• ember kedua diisi tanaman sejumlah 75% dari permukaan
air, ember ketiga sebanyak 50%, ember ke empat
sebanyak 25%, dan ember kelima tidak diberi tanaman.
• Kelima ember sample di letakkan dibawah sinar matahari
langsung.
• Kelima ember setiap hari selama 5 hari diamati
pengurangan volumenya atau ketinggian air yang terjadi.

56
3.3. Waktu dan Tempat

Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 19 April 2008

pukul 06.00 wib, tempat pelaksanaan praktikum di Laboratorium

Jurusan Perikanan dan Kelautan, Unsoed.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 8. Pengukuran Evaporasi dan Transpirasi
Biomassa Hari Ke-
(%) 1 2 3 4 5 6 7
17.65 16.10 15.85 15.55 15.20 15.15 15.00
0
16.15 15.60 15.80 15.25 15.20 15.10 14.55
18.10 17.50 17.30 16.90 16.60 16.40 16.40
25
17.85 17.15 17.10 16.70 16.50 16.40 15.75
16.90 16.30 16.05 15.85 15.50 15.25 15.10
50
16.50 15.95 16.00 18.65 15.40 15.10 14.75
18.15 17.55 17.40 17.10 16.75 16.60 16.50
75
17.65 17.25 17.20 16.90 16.60 16.50 16.00
17.80 17.65 17.25 16.80 16.05 15.95 15.50
100
17.75 17.45 17.05 16.40 16.00 15.80 15.05

4.2 Pembahasan
Dari hasil perhitungan rata-rata kehilangan volume air adalah
16,41071cm³. Berdasarkan pengamatan evapotranspirasi yang
dilakukan selama 5 hari menunjukan perbedaan yang cukup tinggi
hal ini terjadi karena dalam proses transpirasi terjadi respirasi dari
kayu apu untuk melakukan fotosintesis (Siregar, 2008)
Air merupakan senyawa yang bersifat pelarut, Karena sifatnya
tersebut maka tidak ada air dan perairan alam yang murni, tetapi di
dalamnya terdapat senyawa yang lain. Kapasitas kadar air dalam
udara juga di pengaruhi secara langsung oleh tinggi rendahnya

57
suhu di tempat tersebut. Besarnya kadar air dalam udara di suatu
tempat ditentukan oleh tekanan uap air (Viapour pressure) yang
ada di tempat tersebut. Proses evaporasi tergantung pada
saturation devicite di udara atau jumlah uap air yang dapat di serap
oleh udara sebelum udara tersebut menjadi jenuh. Saturation
devicite adalah beda keadaan antara tekanan uap air jenuh
(saturation vapour pressure). Pada permukaan bidang penguapan
dan tekanan uap air nyata di udara. Dengan demikian evaporasi
lebih banyak terjadi di daerah pedalaman dimana kondisi udara
cenderung lebih kering daripada daerah pantai yang lebih lembab
akibat penguapan dari permukaan air laut (Asdak, 2007).
Kebutuhan oksigen ini bervariasi antar organisme. Pada siang
hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh
proses fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik
lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi.
Kadar oksigen maksimum terjadi pada sore hari dan minimum pada
pagi hari (Warlina, 2003).
Selain itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi laju
transpirasi dari tanaman itu sendiri adalah
• Stomata yatiu jumlah per satuan luas,letak
stomata(permukaan bawah atau atas daun,
timbul/tenggelam, waktu bukaan stomata
• Daun yaitu berbulu/tidak, warna daun (kandungan Klorofil
daun), posisinya menghadap matahari secara langsung atau
tidak
Selain itu sifat alamiah bidang permukaan penguapan akan
mempengaruhi proses evaporasi melalui perubahan pola perilaku
angin. Pada bidang permukaan yang kasar atau tidak beraturan,
kecepatan angin akan berkurang oleh adanya gesekan. Tapi hal

58
tersebut juga dapat menimbulkan gesekan angin berputar
(turbulency) dan cenderung mendesak pergerakan angin ke atas,
dengan demikian memperbesar evaporasi. Pada bidang pernukaan
air yang luas, angin kencang juga dapat menimbulkan gelombang
air besar dan mempecepat terjadinya evaporasi.

59
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari data dan graphik yang diperoleh benar karena proses
kehilangan air yang paling drastis yaitu pada siang hari atau pada
sore hari karena posisi sinar matahari tepat diatas dan suhu pada
siang hari lebih tinggi dibandingkan pada pagi hari.

5.2 Saran
Dalam meneliti atau mengamati evaporasi dan transpirasi
harus melihat-lihat keadaan lingkungan sekitar yang sewaktu-waktu
dapat berubah, yang memungkinkan dalam pengukuran sangat
sulit

60
DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.


Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Seyhan, E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Siregar, Asrul. 2008. Pembelajaran Mata Kuliah Limnologi. UNSOED.


Purwokerto.

Sosrodarsono, S., dan Tadeka. 1987. Hidrologi untuk Perairan.


Pradnya Paramita, Jakarta.

Tjasyono, B. 2004. Klimatologi. ITB: Bandung.

LAMPIRAN 3

61
Perhiungan :
1. Kayu apu 0%
7 = lnawal-lnakhir7 x 100% = ln17,65-ln14,557 x 100% = 0,386
2. Kayu apu 25%
7 = lnawal-lnakhir7 x 100% = ln18,10-ln15,757 x 100% = 0,39
3. Kayu apu 50%
7 = lnawal-lnakhir7 x 100% = ln16,90-ln14,757 x 100% = 0,379
4. Kayu apu 75%
7 = lnawal-lnakhir7 x 100% = ln18,15-ln16,007 x 100% = 0,39
5. Kayu apu 100%
7 = lnawal-lnakhir7 x 100% = ln17,80-ln15,057 x 100% = 0,387

62

Anda mungkin juga menyukai