PENDAHULUAN
1
dan kuantitas airnya, setiap organisme contohnya ikan dapat hidup
dan berkembang biak apabila kondisi lingkungannya memenuhi
persyaratan untuk kelangsungan ikan tersebut. Kondisi limnologis di
suatu perairan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat fisika
maupun kimia. Faktor-faktor fisika, kimia dan biologi yang khas
bagi suatu keperluan dinyatakan dalam suatu angka atau kisaran
angka dalam suatu satuan. Suatu perairan dinyatakan baik atau
buruk dalam bidang perikanan dapat diketahui dengan banyak
sedikitnya organisme perairan seperti plankton, benthos dan
tumbuhan air (Welch, 1992).
Faktor biotik meliputi berbagai macam organisme yang
berada dalam habitat tersebut, diantaranya plankton dan ikan.
Faktor abiotik meliputi sifat fisika dan kimia. Sifat-sifat fisika antara
lain: suhu, kecerahan, kekeruhan, kedalaman dan sifat-sifat kimia
antara lain: pH, O2 terlarut, CO2 bebas, DMA, BOD dan Nitrat
(Muslim, 1992). Pemantauan kualitas air di kolam Greenhouse
Fakultas Biologi sangat diperlukan untuk mengetahui perubahan
sifat fisik, kimia, serta biologis air kolam dalam menunjang
kehidupan biota di dalamnya agar keseimbangan ekologisnya tetap
terjaga.
Plankton merupakan organisme perairan yang menjadi pakan
alami bagi benih ikan. Plankton dapat ditemukan dalam keadaan
terapung di permukaan kolam, di dasar kolam atau melayang
memenuhi air kolam. Pertumbuhan plankton di pengaruhi oleh
kehadiran unsur hara di perairan. Unsur hara yang terkandung di
perairan digunakan oleh plankton untuk proses fotosintesis.
Kehadiran plankton di perairan sebagai produsen primer dalam
rantai makanan di perairan yang menguntungkan bagi ikan.
Dengan adanya plankton kehidupan ikan dan organisme perairan
2
lainnya mendapat energi dari makanan yang dimakan. Plankton
sebagai pakan alami bagi ikan yang hidupnya tergantung unsur
hara, maka apabila unsur hara yang terkandung dalam perairan itu
sedikit kelimpahan plankton pun sedikit. Hal ini akan menyebabkan
organisme perairan kekurangan bahan makanan yang dapat
menunjang kehidupan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah
• Untuk mengetahui kondisi fisik dan kimia air kolam Jurusan
Perikanan dan Kelautan no.2 , dan kolam Mina Ayam no.2.
• Untuk mengetahui komposisi plankton di kolam Jurusan
Perikanan dan Kelautan no.2, dan kolam Mina Ayam no.2.
3
I. TINJAUAN PUSTAKA
4
jauh lebih besar selama musim panas daripada musim dingin.
Nitrifikasi dari amoniak secara kasar dilipat gandakan dengan
naiknya suhu sampai 10oC. Pada kondisi yang sama pembusukan
anaerobik juga sebagian besar dipengaruhi oleh perubahan-
perubahan suhu, jarang sekali pembusukan terjadi di daerah titik
beku, sedangkan pada tingkatan dimana pembusukan berlangsung
adalah kira-kira empat kali lebih besar pada 27oC dibanding pada
8oC, suhu air pada perairan yang mengalir, berubah lebih cepat
dibandingkan dengan suhu air di perairan yang tergenang (danau,
rawa, waduk), tetapi kisaran perubahannya relatif kecil
dibandingkan dengan suhu air di perairan yang tergenang, lebih-
lebih di perairan yang dangkal (Sumawidjaja, 1974).
Total Suspended Solid (TSS) merupakan padatan yang
menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan mengendap
langsung (APHA, 1985). Padatan yang tersuspensi yang terdapat di
dalam air dapat berupa partikel-partikel anorganik atau campuran
keduanya (Klein, 1972). Partikel tersebut berasal dari pengikisan
tanah sekitar kolam dan buangan rumah tangga. Pengendapan
pembusukan bahan-bahan tersebut dapat mengurangi nilai guna
perairan dan merusak lingkungan hidup di dasar kolam
(Sumawidjaja, 1974).
Oksigen terlarut merupakan salah satu unsur utama sebagai regulator pada
proses metabolisme tanaman dan hewan air, terutama untuk proses respirasi.
Kebutuhan oksigen terlarut bagi organisme perairan sangat bervariasi tergantung pada
jenis, stadia dan aktivitas. Oksigen juga merupakan zat kunci yang menentukan
macam dan keberadaan kehidupan dalam air (Cole, 1988). Menurut Effendie (2003)
bahwa tingginya kandungan bahan organik akan menyebabkan penguraian
kandungan O2 terlarut di dalam perairan, karena akan meningkatkan kebutuhan O 2
terlarut oleh mikroorganisme untuk proses degradasi bahan organik. O2 terlarut
berasal dari difusi langsung dari udara melalui permukaan air, aliran air, dan hasil
5
fotosintesis tumbuhan pada siang hari (Welch, 1952). Oksigen terlarut dalam air
sebanyak 5-6 ppm dianggap paling ideal bagi ikan untuk tumbuh dan berkembang
dalam kolam (Susanto, 1987). Menurut Pescod (1973), berdasarkan
kandungan oksigen terlarutnya, kualitas air suatu perairan dapat
digolongkan menjadi empat golongan yaitu :
Tabel 1. Kadar Oksigen Terlarut
Kadar Oksigen mg/L Kualitas Perairan
> 6,5 Tidak tercemar atau tercemar sangat
ringan
4,5-6,5 Tercemar ringan
2,0-4,4 Setengah tercemar atau sedang
<2,0 Tercemar berat
6
komponen utama bagi metabolisme ikan dan organisme akuatik
lainnya. Selain itu, O2 terlarut juga penting untuk penguraian bahan
organik dalam perairan oleh mikroorganisme secara aerob
(Sastrawijaya, 2000).
Oksigen terlarut dan karbondioksida di perairan sangat
berhubungan, Menurut Hynes (1972), keberadaan oksigen dalam air
berhubungan dengan kandungan karbondioksida dimana CO2 dan
O2 selalu berada dalam hubungan yang berlawanan, karena adanya
proses respirasi dan fotosintesis. Menurut Wardoyo (1981), kadar
CO2 sebesar 12 ppm dapat menyebabkan stres, 30 ppm beberapa
ikan mati. Welch (1952) menyatakan bahwa kandungan CO2 tidak
boleh melebihi 20 ppm. Kandungan O2 terlarut dalam air 2 ppm
maka kandungan CO2 bebas yang aman bagi ikan dan organisme
akuatik lain untuk kehidupannya adalah 12 ppm. Pada kadar CO 2
bebas 30 ppm hampir semua hewan akuatik mati lemas. Keracunan
CO2 bebas terjadi apabila kandungan di dalam darah terlalu banyak,
sehingga daya serap haemoglobin terhadap oksigen terlalu tinggi.
Karbon dioksida merupakan gas hasil respirasi organisme perairan,
biota nabati yang berklorofil selalu membutuhkan karbon dioksida
bebas untuk kehidupannya (Wardoyo, 1981).
Derajat keasaman (pH) menyatakan intensitas keasaman atau
alkalinitas dari suatu cairan encer, dan mewakili konsentrasi
hidrogen ionnya. Derajat keasaman (pH) tidak mengukur seluruh
keasaman atau seluruh alkalinitas, suatu metode titrasi (penurunan
kadar) yang dibutuhkan untuk memperkirakan jumlah yang
sebenarnya daripada keasaman atau alkalinitas yang ada. Derajat
keasaman (pH) merupakan suatu indeks konsentrasi ion hidrogen
dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan
organsime perairan, sehingga dapat dipergunakan sebagai petunjuk
7
baik buruknya suatu perairan sebagai lingkungan hidup. Batas
toleransi organisme perairan terhadap pH bervariasi dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu, oksigen terlarut,
alkalinitas dan adanya anion atau kation, maupun jenis dan stadia
organisme. Mengingat nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai
zat dalam air, termasuk zat yang tidak stabil, maka penentuan pH
air harus insitu artinya dilakukan pengukuran di lapangan, derajat
keasaman atau pH pada perairan akuatik secara normal (berkisar
antara 6-8) berfluktuasi pada siklus siang hari atau diurnal secara
primer dipengaruhi oleh kadar CO2, kepadatan fitoplankton dan
aktivitas total serta kesadahan (Carter, 1988).
Daya Menggabung Asam (DMA) adalah suatu nilai yang
digunakan untuk mengatur kapasitas penyangga suatu perairan
dan dapat memperkirakan kesuburannya. DMA perairan yang tinggi
menunjukan daya penyangga yang tinggi dan mengakibatkan
perairan tersebut mempunyai produktivitas hayati yang tinggi
(Wardoyo, 1981). Besar kecilnya nilai DMA suatu perairan dapat
menunjukan kapasitas penyangga dan tingkat kesuburan (Siregar,
2000). Menurut Soeseno (1970), daya menggabung asam dapat
digunakan untuk menentukan baik buruknya perairan sebagai
lingkungan hidup, yaitu berkisar antara 2-2,5 ppm. Apabila daya
menggabung asam terlalu rendah, maka perairan itu kurang baik
daya penyangganya (soft water). Sebaliknya apabila daya
menggabung asamnya tinggi maka daya produksinya secara hayati
(biogenic capacity) cukup besar. Menurut Andrianto dalam Huet
(1970) membagi perairan menjadi empat golongan yaitu :
Tabel 2. Kisaran DMA
Kisaran DMA Kualitas Perairan
0-0,5 Terlalu asam, tidak produktif
0,5-2,0 pH belum mantap, CO2 sedang, kesuburan
8
sedang
2,0-5,0 Alkalis, sangat produktif, baik untuk budidaya
> 5,0 Terlalu alkalis, tidak produktif
9
Plankton terdiri dari jasad renik yang melayang di dalam air,
plankton dapat dibedakan menjadi phytoplankton dan zooplankton.
Phytoplankton merupakan tumbuhan renik dari algae monoseluler
sampai algae multiseluler, sedangkan zooplankton terdiri dari
hewan renik (Soeseno, 1970). Menurut davis (1955) siklus produksi
phytoplankton relatif lebih pendek dibandingkan dengan
zooplankton sehingga jumlah zooplankton dapat meningkat cepat,
kelimpahan phytoplankton yang lebih tinggi daripada zooplankton
bisa juga disebabkan oleh cahaya matahari, saat menjelang
matahari terbit. Zooplankton secara berangsur-angsur akan turun
dari permukaan perairan. Sebaliknya phytoplankton pada siang hari
mengadakan fotosintesis sedangkan predator tidak ada maka
kelimpahan pun menjadi tinggi.
Tingkat kesuburan dan sifat suatu kolam dapat dilihat dari
keragaman dan kelimpahan fitoplankton yang ada di perairan
tersebut. Perairan yang kaya akan berbagai jenis fitoplankton
dengan kelimpahan merupakan perairan yang baik untuk budidaya
ikan, baik sebagai pakan alami maupun sebagai penyedia O2
melalui proses fotosintesis yang digunakan untuk respirasi
(Djuhanda, 1980). Kesuburan perairan ditentukan oleh plankton,
khususnya fitoplankton salah satu cara untuk menentukan
kesuburan perairan antara lain dengan mengetahui kelimpahan
fitoplankton di perairan tersebut. Kelimpahan fitoplankton pada
suatu perairan menentukan kelimpahan ikan di suatu perairan
karena baik langsung maupun tidak langsung sumber makanan ikan
tersebut adalah fitoplankton. Keragaman merupakan karakteristik
tingkat komunitas berdasarkan organisme biologinya sedangkan
kelimpahan adalah padatan relatif suatu organisme di suatu tempat
tertentu.
10
III. MATERI DAN METODE
3. 1. Materi
3. 1. 1. Alat
Alat yang digunakan pada prakikum ini adalah keping secchi,
tiang pancang, ember, plankton net, botol winkler 250 ml, botol
film, pipet kur, termometer celcius, kertas pH universal (0-14), labu
elenmayer, oven gelas ukur, mickroskop, objek glas, cover glas,
gelas ukur 100 ml, disikator, cawan porselin
Alat yang digunakan: termometer celcius, kertas pH universal
(0-14), botol Winkler atau botol Neril, buret, statif, labu erlenmeyer,
pipet karet atau pipet seukuran, labu takar, beker glass dan gelas
ukur 100 mL, objek glass, mikroskop, cover glass, dan plnktonet.
3. 1. 2. Bahan
Bahan yang digunakan: badan perairan, larutan MnSO4,
larutan KOH-KI, larutan Na2S2O3 0,025 N, larutan H2SO4 4 N,
indikator amilum 0,5%, larutan Na2CO3 0,01 N, indikator
phenolpthalein 0,5%, indikator Methyl Orange, larutan KMnO4
11
0,01N , larutan asam oksalat 0,01 N, Formalin 40% dan larutan
H2SO4, larutan HCl 0,1, badan air, kertas whatman 41, sampel air,
larutan standard SiO2, tissue.
3. 2. Metode
3. 2. 1. Temperatur
Metode yang digunakan dalam pengukuran temperatur yaitu :
a. Termometer celcius dengan bantuan nilon dicelupkan
kedalam badan air kolam yang akan diteliti selama ± 3
menit.
b. Dilakukan pencatatan setelah menunjukkan angka yang
konstan.
3. 2. 2. Nilai pH
a. Kertas indikator pH diambil satu lembar dan dicelupkan
kedalam air kolam selama ± 3 menit.
b. Perubahan warna yang terjadi pada kertas pH tersebut
dicocokkan dengan warna standar dan dicatat hasilnya.
12
mL larutan MnSO4 dan 1 mL larutan KOH-KI dengan
bantuan pipet seukuran.
b. Kemudian botol sampel ditutup dengan hati-hati agar
udara tidak masuk kedalam botol dan dihomogenkan
dengan cara dikocok kemudian diamkan sampai terjadi
endapan warna coklat atau sampai sekurang-kurangnya
cairan supernatan menjadi tampak jernih.
c. Selanjutnya kedalam botol dimasukkan larutan H2SO4
pekat sebanyak 1 mL dengan bantuan pipet Mohr. Botol
ditutup kembali dengan hati-hati kemudian dikocok
sampai seluruh isi botol tercampur rata dan endapan
menjadi larut dan berwarna coklat kekuningan.
d. Diambil sebanyak 100 mL dengan gelas ukur dan
dimasukan kedalam labu erlenmeyer. Kemudian dititrasi
dengan larutan Na2S2O3 0,025 N yang sudah distandarisasi
dan labu erlenmeyer dikocok hingga tercampur merata
sampai terjadi perubahan warna larutan dari coklat sampai
kuning muda.
e. Lalu kedalamnya ditambahkan indikator amilum sebanyak
10 tetes hingga larutan berubah menjadi warna biru.
Titrasi dilanjutkan kembali sampai warna biru cepat hilang.
Volume titrasi yang dipergunakan dicatat dan dimasukkan
kedalam rumus perhitungan :
Kadar O2 terlarut =
1000
× p × q × 8ml / L
100
13
3. 2. 4. Karbondioksida Bebas (CO2)
Pengukuran Karbondioksida Bebas (CO2) dilakukan dengan
metode titimetri (Wetzel And Likens, 1995) :
a. Sampel air diambil dengan botol Winkler atau botol Neril
250 mL dengan gelas ukur sebanyak 100 mL dan
dipindahkan kedalam labu erlenmeyer.
b. Ditambahkan kedalam botol sebanyak 10 tetes indikator
phenolpthalein (pp).
c. Dititrasi dengan larutan Na2CO3 0,01 N sampai larutan
berwarna merah jambu dan titrasi dilakukan duplo.
d. Volume larutan Na2CO3 yang terpakai dicatat dan
dimasukkan kedalam rumus perhitungan :
kadar CO2 bebas =
1000
× p × q × 22ml / L
100
3. 2. 5. Penentuan DMA
Sampel air diambil dengan botol smpel 250 ml dengan gelas
ukur ambil 100 ml dan dipindahkan kedalam labu erlenmeyer.
Kemudian ditambahkan 3 tetes indikator methyl orange (MO).
Kemudian dititrasi dengan larutan HCL 0,1 N sampai larutan
berwarna merah bata dan titrasi dilakukan duplo, kemudian kadar
DMA dihitung dengan rumus :
Kadar DMA =
1000
× p × q (mg/L)
100
14
Keterangan :
p = jumlah larutan HCL yang terpakai
q = normalitas larutan HCL (0,1 N)
3. 2. 6. Penentuan TSS
Pertama-tama kertas saring Whatman No. 41 yang akan
digunakan dibilas dengan akuades dan dikeringkan dalam oven
pada suhu 103-1050 C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam
desikator selama 15 menit dan ditimbang (nilai B). Kemudian
saring sampel air sekitar 50-100 ml dengan menggunakan kertas
saring yang sudah ditimbang tersebut, selanjutnya kertas saring
yang berisi bahan-bahan yang tersaring tersebut dikeringkan pada
suhu 103-1050 C selama kurang lebih 15 menit dan ditimbang
keberatannya (nilai A). Kemudian dilihat TSS dengan rumus:
TSS =
( A − B ) × 1000
mg / L
ml sampel air
Keterangan :
A = berat kertas saring dan residu
B = berat kertas saring
3. 2. 7. Penentuan BOD5
Pertama-tama persiapkan 2 botol BOD, masing-masing berisi
air sampel dan air pengencer (blanko), untuk pertama langsung
diukur kandungan O2 terlarutnya sebagai t = 0, sedangkan botol
kedua diinkubasi selama 5 hari dalam suhu 200 C. Setelah 5 hari
baru diukur O2 terlarut sebagai t = 5.
BOD5 = A0 – A5
Keterangan :
A0 = O2 terlarut sampel nol hari
15
A5 = O2 terlarut sampel lima hari
3. 2. 8. Penentuan COD
Pertama-tama sampel air diambil dengan botol sampel dan bila
perlu lakukan pengenceran. Kemudian tempatkan ke dalam labu
erlenmeyer sebanyak 100 ml KMnO4 0,01N, labu erlenmeyer
dibungkus dengan aluminium foil. Lalu didihkan pada pemanas air
selama 10 menit dan setelah dingin tambahkan 10 ml larutan asam
oksalat 0,01 N. selanjutnya titrasi dengan larutan KMnO4 0,01N
sampai terbentuk larutan yang berwarna merah muda (rose). Untuk
blanko diperlakukan sama dengan sampel air, kemudian hitung
kadar COD dengan rumus :
Kadar COD =
1000
× (10 + a) F − 10 x 0,01 x 31,6 ( mg/l)
100
Keterangan :
a = ml KMnO4 yang terpakai
F = faktor koreksi KMnO4
31,6 = berat eqivalen KMnO4
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 3. Pengamatan Faktor Fisik dan Kimia Kolam JPK no.2
17
Genus Ulangan Jumlah
Dapnia sp. 1
Oscillatoria 6
1
Nauplius sp. 2
Doreal vlow 1
Oscillatoria 2
Surirella 2 1
Nitzechia nyassensis 1
Brachionus 2
Euglena sp. 1
Diatoma 1
Netsia 3
Navicula 22
Nauplius sp. 3
Oscillatoria 1
Synedra ulna 3
Surirela 4
Spirogyra 1
Jumlah 60
4.2 Pembahasan
Perhitungan temperatur terhadap sampel air kolam JPK di tiga
titik memperoleh hasil antara lain :29,5 29, dan 29. Pengukuran
suhu dilakukan pada pada pagi hari yaitu pukul 08.0. Hal ini
menunjukkan temperatur di kolam JPK tidak merata disebabkan
adanya daerah Inlet yang merupakan tempat masuknya air
18
sehingga cenderung bersifat dingin karena adanya suplai air baru
dari perairan luar. Perairan di kolam JPK berdasarkan temperatur
yang diperoleh masih mendukung untuk kehidupan organisme
akuatik terutama ikan, karena kisaran layak hidup ikan adalah pada
temperatur antara 20-30 OC. Berdasar kriteria tersebut maka dapat
dikatakan bahwa nilai temperatur kolam JPK masih layak untuk
kehidupan organisme akuatik.
Grafi 1. Perbandingan pengukuran suhu dan pustaka
19
Gambar 2. Perbandingan TSS Pengukuran dan Pustaka.
20
permukaan air, luasnya daerah permukaan air yang terbuka bagi
atmosfer dan konsentrasi oksigen dalam udara akan mempengaruhi
banyaknya oksigen yang terlarut di perairan tersebut.
Pengamatan praktikan di kolam pada sore hari pukul 15.00
kadar O2 mencapai 6,6 mg/L, sedangkan pada pagi hari kadar O 2
mencapai 4,4 mg/L. Air mungkin mengandung O2 terlarut lebih kecil
daripada nilai kejenuhannya. Tingkat kelarutan O2 terlarut akan
menurun dengan menurunnya tekanan udara. Effendie (2003)
menyatakan bahwa kadar oksigen berfluktuasi secara harian
(diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan
pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi
dan limbah (effluent) yang masuk kebadan air. Penyebab lain
berfluktuasinya nilai kandungan oksigen terlarut pada pagi dan sore
hari yaitu adanya proses fotosintesis yang terjadi pada siang
sampai dengan sore hari, sedangkan malam hari terjadi respirasi
oleh tumbuhan air. Jeffries dan Milss (1996) menyatakan bahwa
siang hari ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh
proses fotosintesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik
lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi.
21
bebas yang sangat rendah karena digunakan untuk proses
fotosintesis, sedangkan di pagi hari dijumpai CO2 bebas yang tinggi,
karena tidak ada fotosintesis. CO2 bebas yang masuk kedalam
perairan maka akan segera berubah menjadi karbonat dan
bikarbonat sehingga tidak banyak mempengaruhi pH air. Menurut
Wardoyo (1981), bahwa kadar CO2 bebas untuk kehidupan
organisme akuatik dalam perairan maksimal 12mg/l. Effendie
(2003) menyatakan bahwa, kadar karbondioksida diperairan dapat
mengalami pengurangan, bahkan hilang akibat proses fotosintesis,
evaporasi dan agitasi air. Kadar karbondioksida yang diperbolehkan
bagi perairan yang dimanfaatkan untuk perikanan adalah < 5 mg/L.
Boyd (1988) menambahkan bahwa kadar karbondioksida bebas
sebesar 10 mg/L masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik,
dengan syarat disertai kadar oksigen yang cukup. Walaupun
sebagian besar organisme akuatik masih dapat bertahan hidup
hingga kadar karbondioksida bebas mencapai 60 mg/L.
22
sementraadanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat
menaikkan keasaman air.
23
insang, selain itu proses dekomposisi juga memerlukan O2 terlarut
yang menyebabkan pengurangan O2 terlarut (Chapman, 1995).
Kandungan O2 terlarut yang tidak mencukupi kebutuhan ikan dan
biota lainnya dapat menyebabkan turunnya daya hidup ikan, karena
dapat mengganggu pernafasan dan metabolisme ikan (Barus,
2002). Tingginya BOD akan menyebabkan menurunnya O2 terlarut
di dalam air, menurunnya O2 terlarut berakibat menurunnya
kehidupan ikan dan tanaman air. Hal ini disebabkan karena ikan
dan tanaman air tersebut banyak yang mati karena kekurangan O2
(Sastrawidjaja, 1991).
24
plankton sangat peka sekali terhadap perubahan lingkungan
hidupnya. Perubahan sedikit saja (baik pH, suhu, salinitas, gerakan
air, cahaya matahari dan sifat fisik kimia air) dapat memusnahkan
atau mengembangkan plankton. Adapun plankton yang ditemukan
seperti genus Hydrodytion, Tetraspora, Nitzschia, Tabellaria,
Chloccocum, Thichotria, Fremiella dan yang paling dominan yaitu
dari genus Hydrodyction berjumlah 9, Nitzschia berjumlah 9, dan
Chloroccocus berjumlah 9. Pemilihan spesies alga digunakan dalam
penilaian kualitas air karena telah dibuktikan mampu berfungsi
sebagai penunjuk biologi yang baik terhadap pencemaran air
(Muhammad Ali et al., 2003; Ward dan Whipple, 1959; Boyd, 1981).
Sebagai contoh, adanya kelas Chlorophyceae dan kelas
Bacillariophyceae atau lebih dikenali sebagai diatom dalam jumlah
yang banyak menunjukkan kualitas air yang bersih (Muhammad Ali
et al., 2003). Tetapi apabila suatu kawasan didominasikan oleh
populasi kelas Cyanophyceae atau lebih dikenali sebagai alga biru-
hijau yang banyak menyebabkan masalah-masalah pencemaran
seperti gangguan terhadap habitat hidupan akuatik (Boyd, 1981),
peningkatan kandungan sebagai toksik (Salam dan Perveen, 1997),
kemasukan bahan kimia berbahaya (Mason, 1998; Salam et al.,
2000). Berbagai populasi alga mempunyai ciri-ciri istimewa yang
berpotensi sebagai penunjuk biologi dalam penilaian kualitas air. Ini
termasuk dalam bilangan populasi yang banyak, mudah diperoleh
di dalam air sungai serta amat sensitif terhadap perubahan yang
berlaku terhadap kualitas air (Mc Cormick et al., 1994; Skulberg,
1995).
25
26
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Hasil pengukuran di kolam pada waktu pagi hari berada pada
kisaran 250C sedangkan sore hari suhunya 280C, hal ini
disebabkan karena cahaya matahari yang masuk ke perairan
akan mengalami penyerapan dan berubah menjadi energi panas
dan mendukung kehidupan organismenya.
2. pH pada sore hari dan pagi hari tetap sama. Nilai pH ini
merupakan kondisi yang baik bagi kehidupan ikan.
3. O2 terlarut pada waktu sore mencapai 6,6 mg/L. Sedangkan pada
pagi hari kadar O2 mencapai 4,4 mg/L. Tingkat kelarutan O2
terlarut akan menurun dengan menurunnya tekanan udara lebih
tinggi dibanding pada waktu pagi hari, sehingga perairan
tersebut tercemar ringan.
4. Kadar CO2 bebas pada sore hari mencapai 2,86 mg/L. Sedangkan
kadar CO2 bebas pada pagi hari dapat mencapai 5,5 mg/L.
Karbondioksida yang diperbolehkan bagi perairan yang
dimanfaatkan untuk perikanan adalah < 5 mg/L.
5. Hasil pengamatan nilai DMA mencapai pada kisaran 1,5. Hal ini
memberikan gambaran bahwa kolam di Greenhouse merupakan
kolam yang subur.
6. Hasil BOD yang didapat 6 ppm, maka kadar oksigen terlarutnya
(DO) > 5 ppm dan kadar oksigen biokimianya (BOD) berkisar 0 -
10 ppm dikatakan perairan yang baik.
7. Nilai COD didapat 13,49 mg/L. Pencemaran atau pengotoran
rendah tersebut dapat disebabkan oleh pencemaran perairan
oleh plankton.
27
8. Nilai TSS yang diperoleh Green House sebesar 38 mg/L. Nilai
yang didapat menunjukkan bahwa perairan kolam budidaya
Green House Fakultas Biologi sudah tergolong perairan jernih.
9. Plankton yang dominan didapat Hydrodyction berjumlah 9,
Nitzschia berjumlah 9, dan Chloroccocus berjumlah 9.
5.2 Hasil
pengukuran dan pengamatan kondisi fisik maupun kimia di
kolam pemeliharaan Green House dapt selalu dilakukan dan
dipelihara serta dijaga kualitas airnya, dikarenakan perairan
tersebut merupakan hal yang dapat mendukung kehidupan
manusia maupun organisme yang hidup di perairan tersebut.
28
DAFTAR PUSTAKA
29
Lingga, Pinus. 1999. Ikan Mas Kolam Air Deras. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Bogor.
30
Sumawidjaja, K. 1975. Limnologi. Fakultas Perikanan IPB, Bogor.
31
LAMPIRAN 1
Pagi :
Perhitungan CO2
Dik :
p = 2,5 mL
q = 0.01
Hasil :
CO2 =
1000
× p × q × 22ml / L
100
1000
= × 2,5 × 0,01× 22
100
= 5,5ml / L
Perhitungan O2
Dik : p = 2,2 mL
q = 0,025
Hasil :
kadar O2 terlarut =
1000
× p × q × 8ml / L
100
1000
= × 2,2 × 0,025× 8
100
= 4,4ml / L
Siang :
Perhitungan CO2
Dik : p = 1,3 mL
q = 0,01
Hasil :
CO2 =
1000
× p × q × 22ml / L
100
1000
= × 1,3 × 0,01× 22
100
= 2,86ml / L
32
Perhitungan O2
Dik : p = 3,3 mL
q = 0,025
Hasil:
kadar O2 terlarut =
1000
× p × q × 8ml / L
100
1000
= × 3,3 × 0,025× 8
100
= 6,6ml / L
Perhitungan DMA
Dik : p = 1,5
q = 0,1
Hasil :
Kadar DMA =
1000
× p × q (ml/L)
100
1000
= × 1,5 × 0,1
100
= 1,5ml / L
Perhitungan COD
Awal = 45,6
Akhir = 50
a = 50-45,6 = 4,4
10
F=
ml KMnO 4
10
= = 0,99
10,1
Kadar COD =
1000
× (10 + a) F − 10 x 0,01 x 31,6 ( mg/l)
100
33
= 10 × { (10 + 4,4 ) × 0,99 − 10)} × 0,01× 31,6mg / L
= 10 × { (14,4 × 0,99) − 10} × 0,01× 31,6mg / L
= 10 × 4,256 × 0,01× 31,6mg / L
= 13,45mg / L
Perhitungan TSS
A = 1,0558 gr = 1055,8 mg
B = 1,0520 gr = 1052 mg
Hasil:
TSS =
(A - B) X 1000
mg/l
ml sampel air
=
(1055,8 − 1052) × 1000 mg / L
100
= 38mg / L
Nitzschia
34
I. PENDAHULUAN
35
keperluan organisme hidup, tetapi harus memenuhi kriteria dalam
setiap parameternya masing-masing.
36
II. TINJAUAN PUSTAKA
37
Kadar bahan terlarut akibat erosi pada suatu perairan akan
meningkat secara eksponensial dengan meningkatnya debit air. Bila
suatu polutan masuk ke badan suatu perairan dengan kecepatan
yang konstan, maka kadarnya dapat ditentukan dengan membagi
jumlah polutan yang masuk dengan debit airnya (Siregar, 2008).
Kedalaman suatu badan perairan akan berpengaruh pada
kecepatan arus badan perairan tersebut, semakan dalam suatu
badan perairan maka arus yang ada dibadan perairan tersebut akan
semakin lambat dan begitu pula sebaliknya (Soeseno, 1970).
38
I. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah stop watch,
tali rafia ukuran 10 meter, tiang pancang, termometer, botol plastik,
transek ukuran 1 meter x 1 meter.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah badan perairan.
3.2. Metode
3.2.1. Kecepatan Arus
• Kecepatan arus diukur dengan menggunakan tali
penduga dengan panjang 10 meter yang salah satu
ujungnya diikat dengan pelampung.
• Nilai kecepatan arus diukur dengan bantuan botol
plastik dan stop watch, hasilnya dicatat.
3.2.2. Suhu
• Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan
termometer.
• Angka suhu yang ditunjukan termometer dicatat.
3.2.3. Lebar Sungai
• Pengukuran lebar sungai dilakukan dengan
menggunakan tali yang dibentangkan dari ujung sungai
ke ujung sungai.
• Setelah tali dibentangkan pengukuran dilakukan
menggunakan meteran yang berukuran 1 meter.
• Hasil pengukuran lebar sungai dicatat.
39
3.2.4. Kedalaman Sungai
• Setelah pengukuran lebar sungai, pengukuran
kedalaman sungai dilakukan dengan menggunakan
tiang pancang.
• Pengukuran kedalaman sungai dilakukan dengan
patokan tiap 1 meter pada penghitungan lebar sungai.
• Hasil pengukuran kedalaman sungai dicatat.
3.3. Waktu dan Tempat
Karangwangkal.
40
4.1. Hasil
A. Debit Air
B. Kecepatan Arus
• Stasiun 1 = 7,30 detik V1 = 10/7,3 = 1,37
• Stasiun 2 = 7,55 detik V2 = 10/7,55 = 1,32
41
• Stasiun 3 = 8,92 detik V3 = 10/8,92 = 1,12
A. Kedalaman
Tabel 6. Kedalaman Sungai Pelus
Meter Kedalaman
1 30 cm
2 50 cm
3 50 cm
4 30 cm
5 40 cm
6 20 cm
7 30 cm
8 34 cm
9 92 cm
10 78 cm
11 73 cm
12 65 cm
13 57 cm
14 31 cm
42
B. Tabel 7. Makrobenthos di Sungai, Pelus Karangwangkal
Spesies Stasiun Stasiun Stasiun Jumlah
1 2 3
Potamopyrgus jenkinsi 2 buah - - 2 buah
Pleurocera acula 1 buah - 3 buah 4 buah
Rafinesque
Viviparus viviparus 4 buah 1 buah 2 buah 7 buah
Paludestrina minula 1 buah 3 buah - 4 buah
Totten
Limnaea Palustris - 1 buah - 1 buah
Pamatiopsis lapida Say - 1 buah - 1 buah
Lymnaea stagnalis - - 2 buah 2 buah
Linne
Goniobasis virginica - - 5 buah 5 buah
Gmelin
Lyrodes coronatus - - 3 buah 3 buah
Pfeiffer
4.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh luas permukaan rata-
rata sebagai berikut: kelompok 1 = 11,2385 m2, kelompok 2 =
12,67 m2, kelompok 3 = 7,02 m2, kelompok 4 = 9,86 m2, kelompok
5 = 6,8 m2, sedangkan untuk kelompok 6 = 6,98 m2. Suatu badan
perairan yang terdapat dalam peraiaran hilir biasanya struktur
sedimennya berbentuk pasir dan batu kerikil dan arus yang lebih
kecil, semua faktor tersebut yang menjadikan daerah hilir lebih
dalam dan luasnya pun semakin kecil karena pengaruh sedimen
tersebut.
Kecepatan arus yang diperoleh dari praktikum di sungai pelus
yaitu: di stasiun 1 kecepatan arusnya 1,37 m/s, di stasiun 2
kecepatan arusnya 1,32 m/s, dan di stasiun 3 kecepatan arusnya
adalah 1,12 m/s, dan nilai rata-rata dari setiap stasiun adalah 1,27
m/s. Hal ini menunjukkan kecepatan arus pada perairan mengalir
bervariasi tergantung dari substrat di badan perairan tersebut, dan
semakin lebar sungai akan banyak terdapat suatu aliran bawah
43
permukaan yang mengalir ke sungai sehingga menjadikan
kecepatan arus yang terjadi juga besar dibandingkan bagian yang
lebar permukaannya lebih kecil.
Debit air mencakup juga suatu kedalaman, maka diperoleh
nilai kedalaman pada meter ke-1 adalah sepanjang 30 cm, meter
ke-2 dan ke-3 memiliki nilai kedalaman yang sama yaitu kedalaman
sepanjang 50 cm, meter ke-4 nilai kedalamannya 30 cm, meter ke-5
nilai kedalamannya 40 cm, meter ke-6 nilai kedalamannya 20 cm,
meter ke-7 nilai kedalamannya 30 cm, meter ke-8 nilai
kedalamannya 34 cm, meter ke-9 nilai kedalamannya 92 cm, meter
ke-10 nilai kedalamannya 78 cm, meter ke-11 nilai kedalamannya
73 cm, meter ke-12 nilai kedalamannya 65 cm, meter ke-13 nilai
kedalamannya 57 cm, meter ke-14 nilai kedalamannya 31 cm. Dari
data di atas dapat menunjukkan bahwa pada meter ke-9 nilai
kedalaman sungai tersebut kemiliki kedalaman yang tinggi yaitu 92
cm.
Pangukuran debit air dimaksudkan untuk mengetahui jumlah
volume air yang mengalir pada setiap detiknya. Berdasarkan hasil
pengukuran yang dilakukan kelompok kami didapatkan debit air
sebesar 8,639 m3/s, adapun debit air yang didaptkan kelompok satu
sebesar 6,29 m3/s, kelompok dua sebesar 3,316 m3/s, kelompok
tiga sebesar 7,6518 m3/s, kelompok empat sebesar 8,5289 m3/s,
dan kelompok enam sebesar 6,38 m3/s. Hal ini menunjukkan
semakin lebar permukaan perairan biasanya debit air yang ada
didalamnya semakin besar, karena di dalam perairan tersebut
banyak terdapat suatu aliran bawah permukaan yang mengalir ke
sungai sehingga menjadikan kecepatan arus yang terjadi juga besar
dibandingkan bagian yang lebar permukaannya lebih kecil.
44
Berdasarkan hasil praktikum, makrobenthos yang didapat
Potamopyrgus jenkinsi, Pleurocera acula Rafinesque, Viviparus
viviparus, Paludestrina minula Totten, Limnaea Palustris,
Pamatiopsis lapida Say, Lymnaea stagnalis Linne, Goniobasis
virginica Gmelin, Lyrodes coronatus Pfeiffer. Makrobenthos yang
dominan didapat adalah jenis dari Viviparus viviparus yaitu
sebanyak 7 buah, karena jenis Makrobenthos ini tahan terhadap
kecepatan arus yang tinggi (Lee, 1978).
45
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil
kesimpulan, sebagai berikut :
1. Hasil pengukuran kecepatan arus adalah 1,27 m/s;
kedalaman 48,57 cm; dan debit air adalah 8,636 m/s, hasil ini
menunjukkan kisaran yang normal.
2. Hasil pengambilan hewan Makrobenthos pada praktikum ini
adalah Pleurocera acula rafinesque 4 ekor, Lymnaea stagnalis
linne 2 ekor, Viviparus viviparus 7 ekor, Goniobasis virginica
gmelin 5 ekor, Lyrodes coronatus pfeiffer 3 ekor,
Potamopyrgus jenkinsi 2 ekor, Paludestrina minula totten 4
ekor, Pamatiopsis lapida say 1 ekor, Limnaea Palustris 1 ekor.
Hasil ini menunjukkan hasil yang sesuai, yaitu hewan
Makrobenthos kan banyak di temukan di tempat yang berarus
kecil.
5.2. Saran
Untuk mengukur sifat fisik air di sungai perlu juga mengukur
suhu, kecerahan dan kekeruhan badan perairan tersebut. Selain itu
mungkin untuk praktikum tahun depan disarankan juga untuk
mengukur kulitas air suatu perairan baik yang bersifat fisika
maupun kimia.
46
DAFTAR PUSTAKA
47
LAMPIRAN 2
48
= 0,025 m2 = 0,73 m2
LM1 = 1/2 . 0,08m . 1m LM2 = 0,57m . 1m LM =
0,61 m2
= 0,04 m2 = 0,57 m2
LN1 = 1/2 . 0,26m . 1m LN2 = 0,31m . 1m LN =
0,44 m2
= 0,13 m2 = 0,31 m2
LO = 1/2 . 0,31m . 1m
= 0,155 m2
Gambar 10. Jenis Makrobenthos
49
Pomatiopsis lapidaria Say Lymnaea stagnalis
50
I. PENDAHULUAN
51
Sehingga pertumbuhan tanaman air tersebut sangat cepat dan
memliki unsur yang masih bermangaat seperti mempunyai
kemampuan menyerap logam berat.
1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
kecepatan transpirasi dan evaporasi
52
II. TINJAUAN PUSTAKA
53
di bawah permukaan tanaman, dibelakang pori-pori daun atau
cabang. Besar kecilnya laju transpirasi secara tidak langsung
ditentukan oleh radiasi matahari melalui membuka dan menutup
pori-pori tersebut (Asdak, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi
evaporasi dan evapotranspirasi adalah suhu air, suhu udara
(atmosfer), kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, sinar
matarhari, dan lain-lain yang saling berhubungan satu dengan yang
lain (Sosrodarsono dan Takeda, 1987).
Proses penguapan berlangsung di udara, menyebabkan
permukaan bidang penguapan secara bertahap menjadi lebih
lembab, sampai pada tahap ketika udara menjadi jenuh dan tidak
mampu menampung air lagi. Tapi, bila udara di atas permukaan
bidang penguapan tersebut berpindah ke tempat lain akibat beda
tekanan udara, jumlah air yang di uapkan dari bidang penguapan
tersebut akan bertambah lagi. Hal ini terjadi karena adanya
pergantian udara lembab oleh udara yang lebih kering. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa kecepatan angin di atas
permukaan bidang penguapan merupakan faktor yang penting
untuk terjadinya evaporasi. Sifat alamiah bidang permukaan
penguapan akan mempengaruhi proses evaporasi melalui
perubahan pola perilaku angin. Pada bidang permukaan yang kasar
atau tidak beraturan, kecepatan angin akan berkurang oleh adanya
gesekan. Tapi hal tersebut juga dapat menimbulkan gesekan angin
berputar (turbulency) dan cenderung mendesak pergerakan angin
ke atas, dengan demikian memperbesar evaporasi. Pada bidang
pernukaan air yang luas, angin kencang juga dapat menimbulkan
gelombang air besar dan mempecepat terjadinya evaporasi (Asdak,
2007).
54
Suhu udara berubah sesuai dengan tempat. tempat terbuka,
suhunya berbeda dengan tempat yang bergedung, demikian pula
suhu diladang berumput berbeda dengan ladang yang dibajak, atau
jalan beraspal dan sebagainya. secara fisis suhu dapat difenisikan
sebagai tingkat gerakan molekul benda, makin cepat gerakan
molekul, makin tinggi suhunya. suhu dapat didefinisikan sebagai
tingkat panas suatu benda. panas bergerak dari sebuah benda yang
mempunyai suhu tinggi ke benda suhu rendah. Udara atmosfer
adalah campuran dari udara kering dan uap air. besaran yang
sering dipakai untuk menyatakan kelembaban udara adalah
kelembaban nisbi yang diukur dengan psikrometer atau
hygrometer. kelembaban nisbi berubah sesuai dengan tempat dan
waktu. menjelang tengah hari kelembaban nisbi berangsur-angsur
turun kemudian pada sore hari sampai menjelang pagi hari
bertambah besar (Tjasyono, 2004).
Kayu apu (Pistia sp.) merupakan tumbuhan monokotil
tahunan dengan daun yang tebal namun lunak. Hidupnya
mengapung di permukaan air dan akar-akarnya menggantung
terendam di bawah permukaan air. Panjang daun bisa mencapai 14
cm dan tidak memiliki batang. Warna kayu apu yaitu hijau muda
dengan urat daun parallel. Bunganya bersifat dioecious dan
ersembunyi di tengah tanaman di antara daun. Setelah pembuahan
berhasil akan terbentuk buah yang berwarna hijau kecil. Reproduksi
bisa dilakukan dengan aseksual yaitu dengan stolon. (Asdak, 2007).
55
III. MATERI DAN METODE
3.1 Materi
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu : ember
plastik, dan penggaris.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu: air, dan kayu
apu (Pistia sp.)
3.2Metode
• Air disiapkan dalam 5 ember plastik.
• Air di dalam ember di ukur volumenya sebanyak 10 L.
• Satu ember plastik diisi penuh dengan tanaman air 100%,
sehingga memuat permukaan tertutup rapat tanaman air.
• ember kedua diisi tanaman sejumlah 75% dari permukaan
air, ember ketiga sebanyak 50%, ember ke empat
sebanyak 25%, dan ember kelima tidak diberi tanaman.
• Kelima ember sample di letakkan dibawah sinar matahari
langsung.
• Kelima ember setiap hari selama 5 hari diamati
pengurangan volumenya atau ketinggian air yang terjadi.
56
3.3. Waktu dan Tempat
4.1 Hasil
Tabel 8. Pengukuran Evaporasi dan Transpirasi
Biomassa Hari Ke-
(%) 1 2 3 4 5 6 7
17.65 16.10 15.85 15.55 15.20 15.15 15.00
0
16.15 15.60 15.80 15.25 15.20 15.10 14.55
18.10 17.50 17.30 16.90 16.60 16.40 16.40
25
17.85 17.15 17.10 16.70 16.50 16.40 15.75
16.90 16.30 16.05 15.85 15.50 15.25 15.10
50
16.50 15.95 16.00 18.65 15.40 15.10 14.75
18.15 17.55 17.40 17.10 16.75 16.60 16.50
75
17.65 17.25 17.20 16.90 16.60 16.50 16.00
17.80 17.65 17.25 16.80 16.05 15.95 15.50
100
17.75 17.45 17.05 16.40 16.00 15.80 15.05
4.2 Pembahasan
Dari hasil perhitungan rata-rata kehilangan volume air adalah
16,41071cm³. Berdasarkan pengamatan evapotranspirasi yang
dilakukan selama 5 hari menunjukan perbedaan yang cukup tinggi
hal ini terjadi karena dalam proses transpirasi terjadi respirasi dari
kayu apu untuk melakukan fotosintesis (Siregar, 2008)
Air merupakan senyawa yang bersifat pelarut, Karena sifatnya
tersebut maka tidak ada air dan perairan alam yang murni, tetapi di
dalamnya terdapat senyawa yang lain. Kapasitas kadar air dalam
udara juga di pengaruhi secara langsung oleh tinggi rendahnya
57
suhu di tempat tersebut. Besarnya kadar air dalam udara di suatu
tempat ditentukan oleh tekanan uap air (Viapour pressure) yang
ada di tempat tersebut. Proses evaporasi tergantung pada
saturation devicite di udara atau jumlah uap air yang dapat di serap
oleh udara sebelum udara tersebut menjadi jenuh. Saturation
devicite adalah beda keadaan antara tekanan uap air jenuh
(saturation vapour pressure). Pada permukaan bidang penguapan
dan tekanan uap air nyata di udara. Dengan demikian evaporasi
lebih banyak terjadi di daerah pedalaman dimana kondisi udara
cenderung lebih kering daripada daerah pantai yang lebih lembab
akibat penguapan dari permukaan air laut (Asdak, 2007).
Kebutuhan oksigen ini bervariasi antar organisme. Pada siang
hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh
proses fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik
lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi.
Kadar oksigen maksimum terjadi pada sore hari dan minimum pada
pagi hari (Warlina, 2003).
Selain itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi laju
transpirasi dari tanaman itu sendiri adalah
• Stomata yatiu jumlah per satuan luas,letak
stomata(permukaan bawah atau atas daun,
timbul/tenggelam, waktu bukaan stomata
• Daun yaitu berbulu/tidak, warna daun (kandungan Klorofil
daun), posisinya menghadap matahari secara langsung atau
tidak
Selain itu sifat alamiah bidang permukaan penguapan akan
mempengaruhi proses evaporasi melalui perubahan pola perilaku
angin. Pada bidang permukaan yang kasar atau tidak beraturan,
kecepatan angin akan berkurang oleh adanya gesekan. Tapi hal
58
tersebut juga dapat menimbulkan gesekan angin berputar
(turbulency) dan cenderung mendesak pergerakan angin ke atas,
dengan demikian memperbesar evaporasi. Pada bidang pernukaan
air yang luas, angin kencang juga dapat menimbulkan gelombang
air besar dan mempecepat terjadinya evaporasi.
59
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari data dan graphik yang diperoleh benar karena proses
kehilangan air yang paling drastis yaitu pada siang hari atau pada
sore hari karena posisi sinar matahari tepat diatas dan suhu pada
siang hari lebih tinggi dibandingkan pada pagi hari.
5.2 Saran
Dalam meneliti atau mengamati evaporasi dan transpirasi
harus melihat-lihat keadaan lingkungan sekitar yang sewaktu-waktu
dapat berubah, yang memungkinkan dalam pengukuran sangat
sulit
60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 3
61
Perhiungan :
1. Kayu apu 0%
7 = lnawal-lnakhir7 x 100% = ln17,65-ln14,557 x 100% = 0,386
2. Kayu apu 25%
7 = lnawal-lnakhir7 x 100% = ln18,10-ln15,757 x 100% = 0,39
3. Kayu apu 50%
7 = lnawal-lnakhir7 x 100% = ln16,90-ln14,757 x 100% = 0,379
4. Kayu apu 75%
7 = lnawal-lnakhir7 x 100% = ln18,15-ln16,007 x 100% = 0,39
5. Kayu apu 100%
7 = lnawal-lnakhir7 x 100% = ln17,80-ln15,057 x 100% = 0,387
62