Anda di halaman 1dari 10

KARAKTERISTIK AIR LAUT

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan


kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas
cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan.
Di Laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan
pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi
klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien
dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya
konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien
dari daratan secara langsung. Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan
lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi.
Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan
melalui proses fisik massa air, dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari
lapisan dalam ke lapisan permukaan (Valiela, 1984).

Perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem pola angin muson memiliki pola
sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi antara musim, disamping itupula
juga dipengaruhi oleh massa air Lautan Pasifik yang melintasi perairan Indonesia
menuju Lautan Hindia melalui sistem arus lintas Indonesia (Arlindo). Sirkulasi
massa air perairan Indonesia berbeda antara musim barat dan musim timur.
Dimana pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke arah timur perairan
Indonesia, dan sebaliknya ketika musim timur berkembang dengan sempurna
suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura dan Laut
Banda akan mengalir menunju perairan lndonesia bagian barat (Wyrtki, 1961).
Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan
terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi tinggi rendahnya
produktivitas perairan. Tisch et al. (1992) mengatakan perubahan kondisi suatu
massa air dapat diketahui dengan melihat sifat-sifat massa air yang meliputi
suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan kandungan nutrien.

Dengan melihat akan keberadaan perairan Indonesia dimana karena adanya


perbedaan pola angin yang secara langsung mempengaruhi pola arus
permukaan perairan Indonesia dan perubahan karakteristik massa diduga dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap tingkat produktivitas perairan.
Keadaan ini tergantung pada berbagai hal, seperti bagaimana sebaran faktor
fisik-kimia perairan. Untuk itu perlu dilakukan analisa untuk mempelajari dan
menelaah pengaruh faktor-faktor oseanografi terhadap sebaran fisik-kimia
perairan dan keterkaitannya terhadap tingkat konsentrasi klorofil-a (Gambar 1).

Gambar 1. Skema pendekatan masalah untuk melihat pengaruh faktor


oseanografi terhadap produktivitas primer perairan Indonesia.
Tujuan dan Manfaat

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari dan menganalisa faktor-
faktor oseanografi yang mempengaruhi produktivitas primer di perairan
Indonesia.

Manfaat penulisan adalah sebagai informasi kesuburan suatu perairan agar


upaya pemanfaatan dan pengelolaan dapat dilakukan secara optimal.

KARAKTERISTIK AIR LAUT

Suhu

Laut tropik memiliki massa air permukaan hangat yang disebabkan oleh adanya
pemanasan yang terjadi secara terus-menerus sepanjang tahun. Pemanasan
tersebut mengakibatkan terbentuknya stratifikasi di dalam kolom perairan yang
disebabkan oleh adanya gradien suhu. Berdasarkan gradien suhu secara vertikal
di dalam kolom perairan, Wyrtki (1961) membagi perairan menjadi 3 (tiga)
lapisan, yaitu: a) lapisan homogen pada permukaan perairan atau disebut juga
lapisan permukaan tercampur; b) lapisan diskontinuitas atau biasa disebut
lapisan termoklin; c) lapisan di bawah termoklin dengan kondisi yang hampir
homogen, dimana suhu berkurang secara perlahan-lahan ke arah dasar perairan.

Menurut Lukas and Lindstrom (1991), kedalaman setiap lapisan di dalam kolom
perairan dapat diketahui dengan melihat perubahan gradien suhu dari
permukaan sampai lapisan dalam. Lapisan permukaan tercampur merupakan
lapisan dengan gradien suhu tidak lebih dari 0,03 oC/m (Wyrtki, 1961),
sedangkan kedalaman lapisan termoklin dalam suatu perairan didefinisikan
sebagai suatu kedalaman atau posisi dimana gradien suhu lebih dari 0,1 oC/m
(Ross, 1970).

Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi,


evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor-faktor fisika
yang terjadi di dalam kolom perairan. Presipitasi terjadi di laut melalui curah
hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat
meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahang dari udara ke
lapisan permukaan perairan. Menurut McPhaden and Hayes (1991), evaporasi
dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1 oC pada lapisan permukaan
hingga kedalaman 10 m dan hanya kira-kira 0,12 oC pada kedalaman 10 75 m.
Disamping itu Lukas and Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu
permukaan laut sangat tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan
tercampur. Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy, dan
entrainment dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur
serta kandungan bahangnya. Menurut McPhaden and Hayes (1991), adveksi
vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan
bahang dan suhu pada lapisan permukaan. Kedua faktor tersebut bila
dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat
mengakibatkan terjadinya upwelling. Upwelling menyebabkan suhu lapisan
permukaan tercampur menjadi lebih rendah. Pada umumnya pergerakan massa
air disebabkan oleh angin. Angin yang berhembus dengan kencang dapat
mengakibatkan terjadinya percampuran massa air pada lapisan atas yang
mengakibatkan sebaran suhu menjadi homogen.

Salinitas

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi
air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat curah
hujan tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang rendah
sedangkan perairan yang memiliki penguapan yang tinggi, salinitas perairannya
tinggi. Selain itu pola sirkulasi juga berperan dalam penyebaran salinitas di suatu
perairan.

Secara vertikal nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya
kedalaman. Di perairan laut lepas, angin sangat menentukan penyebaran
salinitas secara vertikal. Pengadukan di dalam lapisan permukaan
memungkinkan salinitas menjadi homogen. Terjadinya upwelling yang
mengangkat massa air bersalinitas tinggi di lapisan dalam juga mengakibatkan
meningkatnya salinitas permukaan perairan.

Sistem angin muson yang terjadi di wilayah Indonesia dapat berpengaruh


terhadap sebaran salinitas perairan, baik secara vertikal maupun secara
horisontal. Secara horisontal berhubungan dengan arus yang membawa massa
air, sedangkan sebaran secara vertikal umumnya disebabkan oleh tiupan angin
yang mengakibatkan terjadinya gerakan air secara vertikal. Menurut Wyrtki
(1961), sistem angin muson menyebabkan terjadinya musim hujan dan panas
yang akhirnya berdampak terhadap variasi tahunan salinitas perairan.
Perubahan musim tersebut selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan
sirkulasi massa air yang bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah.
Interaksi antara sistem angin muson dengan faktor-faktor yang lain, seperti run-
off dari sungai, hujan, evaporasi, dan sirkulasi massa air dapat mengakibatkan
distribusi salinitas menjadi sangat bervariasi. Pengaruh sistem angin muson
terhadap sebaran salinitas pada beberapa bagian dari perairan Indonesia telah
dikemukakan oleh Wyrtki (1961). Pada Musim Timur terjadi penaikan massa air
lapisan dalam (upwelling) yang bersalinitas tinggi ke permukaan di Laut Banda
bagian timur dan menpengaruhi sebaran salinitas perairan. Selain itu juga di
pengaruhi oleh arus yang membawa massa air yang bersalinitas tinggi dari
Lautan Pasifik yang masuk melalui Laut Halmahera dan Selat Torres. Di Laut
Flores, salinitas perairan rendah pada Musim Barat sebagai akibat dari pengaruh
masuknya massa air Laut Jawa, sedangkan pada Musim Timur, tingginya salinitas
dari Laut Banda yang masuk ke Laut Flores mengakibatkan meningkatnya
salinitas Laut Flores. Laut Jawa memiliki massa air dengan salinitas rendah yang
diakibatkan oleh adanya run-off dari sungai-sungai besar di P. Sumatra, P.
Kalimantan, dan P. Jawa.

Densitas air laut (st)

Distribusi densitas dalam perairan dapat dilihat melalui stratifikasi densitas


secara vertikal di dalam kolom perairan, dan perbedaan secara horisontal yang
disebabkan oleh arus. Distribusi densitas berhubungan dengan karakter arus dan
daya tenggelam suatu massa air yang berdensitas tinggi pada lapisan
permukaan ke kedalaman tertentu. Densitas air laut tergantung pada suhu dan
salinitas serta semua proses yang mengakibatkan berubahnya suhu dan
salinitas. Densitas permukaan laut berkurang karena ada pemanasan, presipitasi,
run off dari daratan serta meningkat jika terjadi evaporasi dan menurunnya suhu
permukaan.

Sebaran densitas secara vertikal ditentukan oleh proses percampuran dan


pengangkatan massa air. Penyebab utama dari proses tersebut adalah tiupan
angin yang kuat. Lukas and Lindstrom (1991), mengatakan bahwa pada tingkat
kepercayaan 95 % terlihat adanya hubungan yang positif antara densitas dan
suhu dengan kecepatan angin, dimana ada kecenderungan meningkatnya
kedalaman lapisan tercampur akibat tiupan angin yang sangat kuat. Secara
umum densitas meningkat dengan meningkatnya salinitas, tekanan atau
kedalaman, dan menurunnya suhu.

FAKTOR UTAMA YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PRIMER DI LAUT

Cahaya

Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di


laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak
cahaya matahari untuk proses fotosintesa. Sedangkan di lapisan yang lebih
dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak ada
sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian
bawah lapisan permukaan tercampur atau pada bagian atas dari permukaan
lapisan termoklin jika dibandingkan dengan bagian pertengahan atau bawah
lapisan termoklin. Hal ini juga dikemukakan oleh Matsuura et al. (1997)
berdasarkan hasil pengamatan di timur laut Lautan Hindia, dimana diperoleh
bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan
tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari
lapisan permukaan tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan
termoklin hingga tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan
termoklin.

Fotosintesa fitoplankton menggunakan klorofil-a, c, dan satu jenis pigmen


tambahan seperti protein-fucoxanthin dan peridinin, yang secara lengkap
menggunakan semua cahaya dalam spektrum tampak. Pada panjang gelombang
400 700 nm, cahaya yang diabsorbsi oleh pigmen fitoplankton dapat dibagi
dalam: cahaya dengan panjang gelombang lebih dari 600 nm, terutama
diabsorbsi oleh klorofil dan cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 600
nm, terutama diabsorbsi oleh pigmen-pigmen pelengkap/tambahan (Levinton,
1982).

Dengan adanya perbedaan kandungan pigmen pada setiap jenis plankton, maka
jumlah cahaya matahari yang diabsorbsi oleh setiap plankton akan berbeda pula.
Keadaan ini berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesa. Fujita (1970)
dalam Parsons et al. (1984) mengklasifikasi alga laut berdasarkan efisiensi
fotosintesa oleh pigmen kedalam tipe klorofil-a dan b untuk alga hijau dan
euglenoid; tipe klorofil-a, c, dan caratenoid untuk diatom, dinoflagelata, dan alga
coklat; dan tipe klorofil-a dan ficobilin untuk alga merah dan alga hijau biru.

Nutrien

Nutrien adalah semua unsur dan senjawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan-
tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat)
dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien utama yang
dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon,
magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace element
dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, copper, dam vanadium
(Levinton, 1982). Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen
nutrien untuk pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K,
dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan
elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya
disebut mikronutrien atau trace element.

Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi


nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan
meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal mana juga
dikemukakan oleh Brown et al. (1989), nutrien memiliki konsentrasi rendah dan
berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan
bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada
kedalaman antara 500 1500 m.

Suhu

Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun


tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk
mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat
menaikkan laju maksimum fotosintesa (Pmax), sedangkan pengaruh secara tidak
langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat
mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997 b).

Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya


suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik
suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu
berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.

OSEANOGARFI INDONESIA

Perairan Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan Australia berada
dalam suatu sistem pola angin yang disebut sistem angin muson. Angin muson
bertiup ke arah tertentu pada suatu periode sedangkan pada periode lainnya
angin bertiup dengan arah yang berlawanan. Terjadinya angin muson ini karena
terjadi perbedaan tekanan udara antara daratan Asia dan Australia (Wyrtki,
1961). Pada bulan Desember Pebruari di belahan bumi utara terjadi musim
dingin sedangkan di belahan bumi selatan terjadi musim panas sehingga pusat
tekanan tinggi di daratan Asia dan pusat tekanan rendah di daratan Australia.
Keadaan ini menyebabkan angin berhembus dari daratan Asia menuju Australia.
Angin ini dikenal di sebelah selatan katulistiwa sebagai angin Muson Barat Laut.
Sebaliknya pada bulan Juli Agustus berhembus angin Muson Tenggara dari
daratan Australia yang bertekanan tinggi ke daratan Asia yang bertekanan
rendah.

Sirkulasi air laut di perairan Indonesia dipengaruhi oleh sistem angin muson.
Oleh karena sistem angin muson ini bertiup secara tetap, walaupun kecepatan
relatif tidak besar, maka akan tercipta suatu kondisi yang sangat baik untuk
terjadinya suatu pola arus. Pada musim barat, pola arus permukaan perairan
Indonesia memperlihatkan arus bergerak dari Laut Cina Selatan menuju Laut
Jawa. Di Laut Jawa, arus kemudian bergerak ke Laut Flores hingga mencapai Laut
Banda. Sedangkan pada saat Muson Tenggara, arah arus sepenuhnya berbalik
arah menuju ke barat yang akhirnya akan menuju ke Laut Cina Selatan (Wyrtki,
1961).

Perairan Indonesia merupakan perairan di mana terjadi lintasan arus yang


membawa massa air dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia yang biasanya disebut
Arus Lintas Indonesia/Arlindo (Fieux et al., 1996b). Massa air Pasifik tersebut
terdiri atas massa air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan (Tomascik et al., 1997a;
Wyrtki, 1961; Ilahude and Gordon, 1996; Molcard et al., 1996; Fieux et al.,
1996a). Terjadinya arlindo terutama disebabkan oleh bertiupnya angin pasat
tenggara di bagian selatan Pasifik dari wilayah Indonesia. Angin tersebut
mengakibatkan permukaan bagian tropik Lautan Pasifik Barat lebih tinggi dari
pada Lautan Hindia bagian timur. Hasilnya terjadinya gradien tekanan yang
mengakibatkan mengalirnya arus dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia. Arus
lintas Indonesia selama Muson Tenggara umumnya lebih kuat dari pada di Muson
Barat Laut.

Sumber air yang dibawa oleh Arlindo berasal dari Lautan Pasifik bagian utara dan
selatan. Perairan Selat Makasar dan Laut Flores lebih banyak dipengaruhi oleh
massa air laut Pasifik Utara sedangkan Laut Seram dan Halmahera lebih banyak
dipengaruhi oleh massa air dari Pasifik Selatan. Gordon et al. (1994) mengatakan
bahwa massa air Pasifik masuk kepulauan Indonesia melalui 2 (dua) jalur utama,
yaitu:

1. Jalur barat dimana massa air masuk melalui Laut Sulawesi dan Basin Makasar.
Sebagian massa air akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di Lautan
Hindia sedangkan sebagian lagi dibelokan ke arah timur terus ke Laut Flores
hingga Laut Banda dan kemudian keluar ke Lautan Hindia melalui Laut Timor.

2. Jalur timur dimana massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku
terus ke Laut Banda. Dari Laut Banda, menurut Gordon (1986) dan Gordon et al.,
(1994) massa air akan mengalir mengikuti 2 (dua) rute. Rute utara Pulau Timor
melalui Selat Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan
Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor melalui Basin Timor dan Selat
Timor, antara Pulau Rote dan paparan benua Australia (Gambar 2).
Struktur massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi karakteristik massa
air Lautan Pasifik dan sistem angin muson. Dimana pada Musim Barat (Desember
Pebruari) bertiup angin muson barat laut di bagian selatan katulistiwa dan
timur laut di utara katulistiwa, karakteristik massa air perairan Indonesia
umumnya ditandai dengan salinitas yang lebih rendah, sedangkan pada Musim
Tmur (Juni Agustus) bertiup angin muson tenggara di selatan katulistiwa dan
barat daya di utara katulistiwa, perairan Indonesia memiliki karakteristik dengan
nilai salinitas yang lebih tinggi.

Gambar 2. Lintasan massa air asal Lautan Pasifik Utara dan selatan di Perairan
Indonesia (Publikasi Universitas Columbia, internet, 1997 dalam Naulita, 1998)

Schalk (1987) mengatakan bahwa pergantian musim mengakibatkan terjadinya


perubahan terhadap kondisi hidrologi perairan. Dikatakan pula bahwa Musim
Timur (Juni September) menyebabkan terjadinya upwelling di Laut Banda dan
stabilitas vertikal pada kolom perairan menjadi rendah. Namun pada Musim
Barat (Desember Maret) terjadi downwelling dengan stabilitas vertikal kolom
perairan menjadi tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa pada bulan Agustus di
saat terjadinya upwelling, suhu permukaan perairan berkisar pada 25 oC,
sedangkan pada bulan Pebruari di saat terjadinya downwelling, suhu permukaan
perairan lebih dari 25 oC dan umumnya perairan lebih berstratifikasi di bagian
barat Laut Banda.

Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25 30 oC


dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya
kedalaman hingga 80 db, sedangkan salinitas permukaan laut berkisar antara
31,2 34,5 (Tomascik et al. 1997 a). Nontji (1993) mengatakan bahwa suhu
permukaan perairan Indonesia berkisar antara 28 31 oC dan di Laut Banda
pada saat upwelling, suhu turun sampai 25 oC. Hal ini disebabkan karena massa
air dingin dari lapisan bawah terangkat ke lapisan atas. Ilahude and Gordon
(1996) mengatakan bahwa suhu permukaan bagian sentral Laut Banda pada
musim timur berkisar antara 25,7 26,1 oC dengan salinitas 34,1 34,4
sedangkan musim barat suhu berkisar antara 29,6 30,3 oC dan salinitas 34,5
.

Sebaran konsentrasi nutrien perairan Indonesia menunjukkan suatu karakteristik


perairan tropis, dimana konsentrasinya rendah pada lapisan permukaan. Menurut
Wyrtki (1961), untuk perairan Asia Tenggara, konsentrasi fosfat di bagian
permukaan kurang dari 0,2 mg-at/l, dan selanjutnya meningkat hingga 1,5 mg-
at/l pada lapisan diskontinyu, sedangkan untuk lapisan dalam, konsentrasi fosfat
berkisar antara 2,5 3,0 mg-at/l. Delsman (1939) yang dikutip oleh Wyrtki
(1961) mengatakan konsentrasi fosfat Laut Jawa kira-kira 0,08 mg-at/l dengan
fluktuasi antara 0,03 dan 0,012 mg-at/l di dekat permukaan dan memiliki nilai
yang agak lebih tinggi di dekat dasar perairan yakni antara 0,08 0,15 mg-at/l
dengan rata-rata 0,12 mg-at/l.
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR OSEANOGARFI DAN PRODUKTIVITAS PRIMER
PERAIRAN INDONESIA

Perairan Indonesia yang merupakan bagian dari laut tropik dicirikan oleh cukup
tersedia cahaya matahari namun memiliki konsentrasi nutrien rendah. Keadaan
ini mengakibatkan produktivitasnya sangat rendah. Seperti halnya dengan laut
tropik, laut lepas merupakan bagian dari badan perairan bahari yang memiliki
laju produktivitas rendah. Menurut Valiela (1984), laut terbuka yang luasnya 90
% dari laut dunia memiliki laju produktivitas yang rendah bila dibandingkan
dengan lingkungan laut lainnya, misalnya perairan pantai, dimana
produktivitasnya melebihi 60 % dari produktivitas yang ada di laut.

Laju produksi primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika
antara lain:

1. Upwelling

Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling disebabkan


karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang
dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang
dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju
produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien
secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi ekuator.

Beberapa daerah-daerah perairan Indonesia yang mengalami upwelling akibat


pengaruh pola angin muson adalah Laut Banda, dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961
dan Schalk, 1987), Selatan Jawa dan Bali ( Hendiarti dkk, 1995 dan Bakti, 1998),
dan Laut Timor (Tubalawony, 2000).

Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Banda dan Laut Aru
diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada Musim Timur,
dimana pada saat tersebut terjadi upwelling di Laut Banda, sedangkan klorofil-a
terendah dijumpai pada Musim Barat. Pada saat ini di Laut Banda tidak terjadi
upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan
lebih kecil. Di perairan Banda (Vosjan and Nieuwland, 1987) pada Musim Timur
terdapat 2 (dua) periode bloom fitoplankton, pertama pada bulan Juni dan
kedua di bulan Agustus/September. Selanjutnya Nontji (1975), dari hasil studi
distribusi klorofil-a di Laut Banda pada fase akhir di bulan September diperoleh
bahwa konsentrasi klorofil tertinggi di bagian timur Laut Banda, khususnya di
sekitar Pulau Kei dan Tanimbar. Juga dikatakan bahwa 60% dari klorofil-a tersebut
berada pada kedalaman 25 m. Hendiarti dkk. (1995) mendapatkan bahwa pada
Musim Timur di perairan selatan Pulau Jawa-Bali dimana terjadi upwelling, rata-
rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,39 mm/l dan pada Musim Barat sekitar 0,18
mm/l.

2. Percampuran Vertikal Massa Air


Percampuran vertikal massa air sangat berperan di dalam menyuburkan kolom
perairan yaitu dengan cara mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan
permukaan. Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu
dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan dapat
meningkatkan laju produktivitas primer melalui aktivitas fotosintesa fitoplankton.
Chaves and Barber (1987) mengatakan bahwa masukan nutrien terutama untuk
mengoptimalkan konsentrasi NO3 pada lapisan permukaan dan secara relatif
meningkatkan produksi baru.

Percampuran massa air secara vertikal dipengaruhi oleh tiupan angin. Pada saat
Musim Timur di perairan Indonesia bertiup angin Muson Tenggara yang
mengakibatkan sebagian besar perairan Indonesia Timur mengalami pergolakan
yang mengakibatkan terjadinya percampuran massa air secara vertikal.
Tubalawony (2000) berdasarkan data ekspedisi Baruna Jaya pada musim timur
tahun 1991 mendapatkan adanya percampuran vertikal massa air di perairan
lepas pantai Laut Timor yang umumnya lebih dangkal. Akibatnya kandungan
klorofil-a di dalam kolom perairan umumnya lebih tinggi bila dibandingkan
dengan bagian lain dari perairan Laut Timor.

3. Percampuran Massa Air secara Horisontal

Sistem angin muson dan arlindo juga mempengaruhi pola sirkulasi massa air di
Perairan Indonesia. Sistem ini mengakibatkan terjadinya percampuran antara
dua massa air yang berbeda di suatu perairan. Misalnya pada saat Musim Timur,
massa air dari Lautan Pasifik akan bertemu dengan massa air Laut Banda yang
mengalami upwelling atau pada saat bertiup angin muson tenggara terjadi
penyebaran massa air perairan Indonesia Timur ke perairan Indonesia bagian
barat dan sebaliknya terjadi pada saat bertiup angin muson barat laut. Dengan
demikian sirkulasi massa air dan percampuran massa air akan mempengaruhi
produktivitas primer suatu perairan. Tingginya produktivitas suatu perairan akan
berhubungan dengan daerah asal dimana massa air di peroleh. Nontji (1974)
dalam Monk et al. (1997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di
perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama Musim Barat,
dan 0,21 mg/m3 selama Musim Timur.

Selain beberapa faktor fisik di atas, keberadaan lapisan termoklin sangat


mendukung tingginya laju produktivitas produksi primer. Bagian bawah dari
lapisan tercampur atau bagian atas dari lapisan termoklin merupakan daerah
yang memiliki konsentrasi nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat
merangsang meningkatnya produktivitas primer. Lapisan termoklin yang dangkal
lebih berperan dalam menunjang produktivitas perairan. Karena pada saat
terjadinya proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan termoklin lebih
mudah mencapai lapisan permukaan tercampur jika dibandingkan dengan
lapisan termoklin yang lebih dalam. Beberapa penelitian tentang produktivitas
primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air menyimpulkan bahwa
kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian batas
atas lapisan termoklin. Matsuura et al. (1997) dari hasil pengamatannya di timur
laut Lautan Hindia mendapatkan bahwa konsentrasi klorofil-a pada lapisan
permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah
dari lapisan permukaan tercampur dengan konsentrasi maksimum terdapat pada
kedalaman kira-kira 75 100 m. Sedangkan Hendiarti dkk. (1995) mengatakan
bahwa konsentrasi maksimum klorofil-a di perairan selatan Pulau Jawa Bali
berada pada kedalaman 20 m pada Musim Timur dan 80 m pada Musim Barat.
Umumnya kedalaman tersebut merupakan batas atas lapisan termoklin.

KESIMPULAN

Karaktersitik massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi oleh sistem


angin muson yang bertiup di wilayah Indonesia dan adanya arus lintas Indonesia
(arlindo) yang membawa massa air Lautan Pasifik Utara dan Selatan menuju
Lautan Hindia. Pengaruh tersebut mengakibat suhu permukaan perairan
Indonesia lebih dingin dengan salinitas yang lebih tinggi sebagai pengaruh
terjadinya upwelling di beberapa daerah selama musim timur dan juga akibat
dari masuknya massa air Lautan Pasifik, sedangkan pada musim barat, suhu
permukaan perairan lebih hangat dengan salinitas yang lebih rendah. Rendahnya
salinitas akibat pengaruh massa air dari Indonesia bagian barat yang banyak
bermuara sungai-sungai besar.

Selama musim timur, dibeberapa bagian dari perairan Indonesia mengalami


upwelling dan percampuran massa air yang mengakibatkan terjadinya
pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur dan mengakibatkan
tingginya produktivitas primer perairan bila dibandingkan dengan musim barat.

Faktor-faktor oseanografi yang sangat berperan dalam mendukung tingginya


produktivitas perairan Indonesia adalah upwelling, percampuran massa air
secara vertikal dan horisontal, yang terjadi sebagai akibat adanya sistem pola
angin muson yang bertiup di wilayah Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai