Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM

PENETASAN CYSTE Artemia salina

KELOMPOK 2A

ASISTEN : WAHYUNI OCTAVIANI ABDULLAH

FURQAN L011116527

NURPUTRI ANDIRA FARAHDIBA K L011116532

WIDYASTUTI HARWIS L011171014

AXEL BIMO KNEEFEL L011171032

GHINA NAFIAH KADIR L011171506

SUCIANTI RAMADHANI ZULKARNAIN L011171513

RANI APRILIA SARI L011171527

FAJRIANI L011171507

MANJANI FATIMAH MALAHAYATI L011171519

TRI ASWADI SAPUTRA L011171330

LABORATORIUM PERBENIHAN DAN PENANGKARAN BIOTA LAUT

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kesehatan jasmani dan rohani kepada kami selaku penulis sehingga laporan praktikum
yang berjudul dapat terlaksanan dengan baik, walau masih terdapat banyak kekurangan
didalamnya.

Perbenihan dan Penagkaran Biota Laut merupakan salah satu matakuliah wajib
yang ada di jurusan Ilmu Kelautan di Universitas Hasanuddin, Makassar. Laporan
Prkatikum ini disusun sebagai pelengkap mata kuliah Perbenihan dan Penagkaran Biota
Laut. Laporan ini disusun berdasarkan materi - materi yang didapatkan pada saat
melakukan praktikum di laboratorium.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari laporan ini, baik dari materi
maupun teknik penyajiannyan, mengingant kurangnya pengetahuan dan pengalaman
kami selaku penulis. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih, semoga hasil laporan praktikum
kami bermanfaat.

Makassar,18 Oktober 2019

Penulis
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pakan alami merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan
usaha budidaya ikan.Sebagian besar pakan alami ikan adalah plankton yaitu fitoplankton
dan zooplankton. Pakan alami untuk larva atau benih ikan mempunyai beberapa
kelebihan yaitu ukurannya relatif kecil serta sesuai dengan bukaan mulut larva dan benih
ikan, nilai nutrisinya tinggi, mudah dibudidayakan, gerakannya dapat merangsang ikan
untuk memangsanya, dapat berkembang biak dengan cepat sehingga ketersediaanya
dapat terjamin serta biaya pembudidayaannya relatif murah. Pakan merupakan unsur
terpenting dalam menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan.Salah satu
pakan alami yang penting dan cocok untuk kebutuhan larva ikan maupun ikan hias adalah
Artemia salina (Priyambodo dan Triwahyuningsih, 2003).
Artemia termasuk dalam pakan alami yang banyak digunakan dalam usaha
budidaya ikan dan udang, di indonesia belum ditemukan adanya artemia, sehingga
sampai saat ini Indonesia masih mangimpor artemia sebanyak 50 ton/tahun. Walaupun
pakan buatan dalam berbagai jenis telah berhasil dikembangkan dan cukup tersedia
untuk larva ikan dan udang, namun artemia masih tetap merupakan bagian yang esensial
sebagai pakan larva ikan dan udang di unit pembenihan. Keberhasilan pembenihan ikan
bandeng, kakap dan kerapu juga memerlukan ketersediaan artemia sebagai pakan alami
esensialnya, serta dengan adanya kenyataan bahwa kebutuhan artemia untuk larva ikan
kakap dan kerapu 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan larva udang, maka
kebutuhan kista atemia akan semakin meningkat (Daulay, 1998).
Artemia merupakan pakan alami yang sangat penting dalam pembenihan ikan laut,
krustacea, ikan konsumsi air tawar dan ikan hias.Ini terjadi karena artemia memiliki gizi
yang tinggi, serta ukurannya sesuai dengan bukaan mulut hampir seluruh jenis larva ikan
(Djarijah, 2003). Kebutuhan artemia pada produksi benih ikan dan udang skala intensif
harus dipenuhi dalam waktu beberapa jam saja karena laju pencernaan pada larva begitu
cepat. Sedangkan dalam waktu normal penetasan kista artemia dalam air laut adalah 24-
36 jam pada suhu 25oC.Penetasan kista (telur) artemia harus dilakukan dalam waktu
yang lebih singkat dan dalam jumlah yang besar.Sehingga dibutuhkan teknologi terapan
yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut, teknologi yang telah berkembang untuk
menjawab tantangan tersebut adalah dekapsulasi kista artemia.Cara dekapsulasi
dilakukan dengan mengupas bagian luar kista menggunakan larutan hipoklorit tanpa
mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Cara dekapsulasi merupakan cara yang tidak
umum digunakan pada panti-panti benih, namun untuk meningkatkan daya tetas dan
meneghilangkan penyakit yang dibawa oleh kista artemia cara dekapsulasi lebih baik
digunakan (Bougias, 2008).
Berdasarkan hal tersebut maka kegiatan pembuatan wadah dan penetasan cyste
artemia sangat penting untuk dilakukan dari praktikum perbenihan dan penangkaran biota
laut yang terdiri dari kegiatan pembuatan wadah sampai dengan penetasan cyste artemia
secara dekapsulasi dan non-dekapsulasi sehingga dapat menjadi pakan bagi kuda laut
(Hippocampus sp).

B. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui teknik penetasan artemia secara
dekapsulasi dan non dekapsulasi .Dan juga dapat memberikan keterampilan kepada
mahasiswa sehingga mampu melakukan teknik penetasan artemia.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari praktikum ini meliputi teknik pembuatan wadah dan penetasan
artemia sebagai pakan kuda laut (Hippocampus sp).
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Artemia

Artemia merupakan zooplankton dari anggota krustacea.Artemia merupakan salah


satu jenis pakan ikan alami yang banyak digunakan dalam budidaya ikan. Galebert
(1991) dalam Tyas (2004) menyatakan bahwa Artemia digunakan sebagai pakan alami
lebih dari 85% species hewan budidaya, Artemia mempunyai nilai gizi tinggi, dapat
menetas dengan cepat, ukurannya relatif kecil dan pergerakan lambat serta dapat
hidup pada kepadatan tinggi (Tyas 2004).
1. Klasifikasi Artemia

Gambar 1. Artemia

Berikut merupakan klasifikasi artemia oleh Bougis (1979); Isnansetyo, dkk. (1995) dalam
Widyastuti (2008) yaitu:

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Classis : Crustaceae

Subclassis : Branciopoda

Ordo : Anostraca

Famili : Artemidae

Genus :Artemia

Spesies :Artemia salina

2. Morfologi Artemia
Ukuran artemia dewasa biasanya mencapai 8–10 mm dan ditandai dengan adanya
tangkai mata yang jelas terlihat pada kedua sisi bagian kepala, antenna sebagai alat
sensor, saluran pencernaan yang terlihat jelas, dan 11 pasang thoracopoda. Pada artemia
jantan, antenna berubah menjadi alat penjepit (mascular grasper) dan sepasang penis di
bagian belakang tubuh.Sedangkan pada artemia betina, antenna mengalami penyusutan
dengan sepasang indung telur atau ovari terdapat di kedua sisi saluran pencernaan di
belakang thoracopoda. Telur yang sudah matang akan disalurkan ke sepasang kantong
telur atau uterus (Widyastuti, 2008).

Gambar 2. Morfologi Artemia

3. Habitat Artemia
Artemia, satu-satunya genus dalam keluarga artemidae.Pertama kali ditemukan di
Lymington, inggris pada tahun 1755.Artemia ditemukan diseluruh dunia dipedalaman
saltwater tetapi tidak di lautan. Artemia hidup di perairan yang berkadar garam tinggi,
yaitu antara 15-30 ppt. Pada salinitas yang terlalu tinggi, telur tidak akan menetas yang
disebabkan tekanan osmosis dari luar tubuh lebih tinggi, sehingga telur tidak dapat
menyerap air yang cukup untuk metabolismenya (Dhert, 1980).
Artemia memiliki kemampuan beradaptasi dengan cepat terhadap variasi tingkatan
oksigen di perairan dengan menghasilkan hemoglobin untuk meningkatkan afinitas
oksigen. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk pertumbuhan artemia adalah di atas
3 mg/L namun kadar oksigen kurang dari 2 mg/L dapat menjadi pembatas produksi
biomasa artemia (Mudjiman, 1983).
4. Kebiasaan Makan
Menurut Mujdjiman (1989), kebiasaan makan artemia salina yaitu dengan manyaring
pakan (filter feeder). Artemia menelan apa saja yang ukurannya kecil, baik benda hidup,
benda mati, benda keras, maupun benda lunak. Di alam, pakan artemia antara lain
berupa detritus bahan organik, ganggang-ganggang renik, bakteri, dan cendawan (ragi
laut). Menurut Thariq et al (2002) menyatakan bahwa artemia juga merupakan hewan
yang bersifat filter feeder non selektif, oleh sebab itu faktor terpenting yang harus
diperhatikan dalam memilih pakan artemia adalah ukuran partikel kurang dari 50 µm
sehingga mudah dicerna, mempunyai nilai gizi dan dapat larut dalam media kultur.
Artemia mulai makan pada instar ketiga, yaitu setelah saluran pencernaan terbentuk.
Ukuran partikel pakan untuk larva artemia adalah 20-30 µm dan untuk artemia dewasa
antara 40-50 µm.
5. Reproduksi
Chumaidi et al., (1990) menyatakan bahwa perkembangbiakan artemia ada dua cara,
yakni partenhogenesis dan biseksual. Pada artemia yang termasuk jenis parthenogenesis
populasinya terdiri dari betina semua yang dapat membentuk telur dan embrio
berkembang dari telur yang tidak dibuahi.Sedangkan pada artemia jenis biseksual,
populasinya terdiri dari jantan dan betina yang berkembang melalui perkawinan dan
embrio berkembang dari telur yang dibuahi.
Pada awalnya naupli berwarna orange kecoklatan karena masih mengandung kuning
telur.Artemia yang baru menetas belum bisa makan, karena mulut dan anusnya belum
terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam naupli tersebut akan berganti kulit dan
memasuki tahap larva kedua (nauplius II). Dalam fase ini naupli tersebut akan mulai
makan dengan pakan berupa mikroalga, bakteri, dan detritus organik lainya. Nauplius
bersifat tidak memilih pakan sehingga akan memakan segala jenis pakan yang dapat
dikonsumsinya selama ukuran sesuai dengan bukaan mulut nauplius. Naupli akan
berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam kurun waktu 8 hari.
Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang
tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm (Sumeru, 2008).
Dalam tingkat salinitas rendah dan pakan yang optimal, artemia betina bisa
menghasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari.Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari)
artemia bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10-11 kali.Dalam kondisi normal,
artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi naupli atau kista sebanyak
300 ekor (butir) per 4 hari (Sumeru, 2008).
6. Kualitas Air
Artemia sp. secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-30 oC.Kista
artemia kering tahan terhadap suhu -273 hingga 100 oC. Artemia dapat ditemui di danau
dengan kadar garam tinggi, disebut dengan brain shrimp. Kultur biomasa artemia yang
baik pada kadar garam 30-50 ppt. Untuk artemia yang mampu menghasilkan kista
membutuhkan kadar garam diatas 100 ppt (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Faktor lain
yang penting adalah pH, cahaya, dan oksigen. Nilai pH berkisar antara 8-9 merupakan
nilai yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat
membunuh artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan akan sangat
menguntungkan bagi pertumbuhan artemia (Jusadi, 2003).
7. Siklus Hidup Artemia
Artemia diperdagangkan dalam bentuk telur dormansi (istirahat) yang disebut dengan
kista, berbentuk bulat-bulatan kecil berdiameter antara 200 - 350 mikron dengan warna
kelabu kecoklatan. Kista yang berkualitas baik akan menetas sekitar 18 - 24 jam apabila
diinkubasi dalam air bersalinitas 5 - 70 ppm. Ada beberapa tahapan proses penetasan
Artemia yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang dan tahap payung atau tahap
pengeluaran (Widyastuti, 2008).
Pertama tahap hidrasi, pada tahap hidrasi terjadi penyerapan air sehingga kista yang
diawetkan dalam bentuk kering tersebut akan menjadi bulat dan mulai aktif
bermetabolisme. Tahap selanjutnya adalah tahap pecah cangkang, pada tahap ini kista
menggelembung karena menyerap air, selanjutnya kista mulai menetas dengan memecah
cangkangnya, dan tahap yang terakhir adalah tahap payung atau tahap pengeluaran yaitu
anak Artemia keluar dan menjadi Artemia (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Gambar 3. Siklus Hidup Artemia

Artemia yang baru menetas disebut nauplius. Nauplius yang baru menetas berwarna
orange, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron,
dan berat 0.002 mg. Ukuran-ukuran tersebut sangat bervariasi tergantung strainnya.
Nauplius mempunyai sepasang antenna dan sepasang antenulla dengan ukuran lebih
kecil dan pendek dari antenna, selain itu di antara antenulla terdapat bintik mata yang
disebut ocellus.Sepasang mandibula rundimenter terdapat dibelakang antenna,
sedangkan labium atau mulut terdapat dibagian ventral. Nauplius berangsur - angsur
mengalami perkembangan dan perubahan morfologi sebanyak 15 kali pergantian kulit
hingga dewasa, setiap pergantian kulit disebut instar (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
8. Penetasan Kista Artemia
Penetasan kista Artemia dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu penetasan langsung
(non dekapsulasi) dan penetasan dengan cara dekapsulasi. Dekapsulasi merupakan
suatu proses untuk menghilangkan lapisan terluar dari kista Artemia yang keras (korion).
Cara dekapsulasi dilakukan dengan mengupas bagian luar kista menggunakan larutan
hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Cara dekapsulasi merupakan
cara yang tidak umum digunakan pada benih ikan maupun udang, namun untuk
meningkatkan daya tetas dan menghilangkan penyakit yang dibawa oleh kista Artemia
cara dekapsulasi lebih baik digunakan (Pramudjo dan Sofiati 2004).
Mulyadi (2004) menyatakan bahwa langkah-langkah penetasan dengan cara
dekapsulasi adalah sebagai berikut:
1. Kista Artemia dihidrasi dengan menggunakan air tawar selama 1-2 jam
2. Kista disaring menggunakan plankton net 120 µm dan dicuci bersih
3. Kista dicampur dengan larutan kaporit atau klorin dengan konsentrasi 1,5 ml per 1
gram kista, kemudian diaduk hingga warna menjadi merah bata
4. Kista segera disaring menggunakan plankton net 120 mikron dan dibilas menggunakan
air tawar sampai bau klorin hilang, kista siap untuk ditetaskan
5. Kista akan menetas setelah 18-24 jam. Pemanenan dilakukan dengan cara mematikan
aerasi untuk memisahkan kista yang tidak menetas dengan nauplii Artemia.
Menurut Pramudjo dan Sofiati, (2004) kista hasil dekapsulasi dapat segera
digunakan (ditetaskan) atau disimpan dalam suhu 0oC - 4 oC dan digunakan sesuai
kebutuhan.
III. METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat

Praktikum dengan judul penetasan kista/telur artemia dilaksanakan pada hari Senin, 07
Oktober 2019, pukul 15.45-17.30 WITA , bertempat di Laboratorium Penangkaran dan
Rehabilitasi Ekosistem, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin,
Makassar.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam praktikum penetasan kista/telur artemia yaitu botol 1,5 liter
sebagai wadah penetasan, lem tembak sebagai perekat , pilox sebagai pemberi warna
pada botol 1,5 liter sehingga cahaya tidak dapat masuk , kertas sebagai menutupi
bagaian ujung botol atas agar tidak terkena pilox, selang kecil plastik sebagai
penghubung aerasi pada saat di berikan perlakuan pada artemia.
Bahan yang digunakan dalam praktkum ini yaitu Kista/telur artemia sebagai bahan uji,
Larutan HCL Klorin sebagai larutan untuk proses dekapsulasi.

C. Prosedur Kerja
Terdapat dua metode dalam penetasan kista/telur artemia, yaitu metode dekapsulasi
dan nondekapsulasi. Adapun prosedur kerja yang dilakukan di laboratorium perbenihan
dan penangkaran adalah sebagai berikut:
Metode Dekapsulasi : (proses penghilangan lapisan luar kista dengan dengan
menggunakan larutan hipoklorit). Langkah pertama yang dilakukan yaitu Mempersiapkan
wadah penetasan berupa botol 1,5 liter, lampu neon untuk pencahayaan dan peralatan
aerasi. Selanjutnya masukkan air laut yang telah disaring ke dalam wadah penetasan
sebanyak 1 liter. Setelah itu menimbang Kista/telur Artemia sebanyak 0,5 gram kemudian
dihidrasi dengan air tawar selama kurang lebih 1 jam, lalu menyaring kista dengan
saringan 120 μm dan dicuci bersih dan Kista siap didekapsulasi, dengan mencampur
dalam larutan hipoklorit/baycline dan mengaduk secara manual serta diaerasi kuat lama
proses dekapsulasi tersebut 5 – 15 menit dengan ditandai perubahan warna kista dari
coklat gelap menjadi abu-abu kemudian orange. Kemudian menyaring kembali Kista
dengan saringan 120 μm dan dicuci sampai bersih dengan air laut hingga bau klorin
hilang dan tidak ada lagi sisa busa pada kista tersebut . Setelah itu Kista dicelup 2 kali
dalam larutan HCl 0,1 N dan dicuci bersih kemudian Kista hasil dekapsulasi siap untuk
ditetaskan dalam wadah penetasan, melakukan pengamatan (penghitungan) pada hari
berikutnya atau setelah kista artemia menetas menjadi nauplius.
Metode Nondekapsulasi : metode ini tanpa menggunakan larutan hipokhlorit, dimana
kista langsung dimasukkan kedalam wadah bersamaan dengan kista yang akan
dimasukkan didalam wadah dekapsulasi. Adapun prosedur kerja dari nondekapsulasi
yaitu; Mempersiapkan terlebih dahulu wadah penetasan botol 1,5 liter, lampu neon untuk
pencahayaan dan peralatan aerasi, selanjutnya masukkan air laut yang telah disaring ke
dalam wadah penetasan sebanyak 1 liter. Kemudian menimbang Kista/telur Artemia
sebanyak 0,5 gram, lalu memasukkan ke dalam wadah yang telah disiapkan. Melakukan
pengamatan (penghitungan) pada hari berikutnya atau setelah kista artemia menetas
menjadi nuplius dengan menghitung tingkat penetasan telur artemia.Langkah terakhir
yaitu membuat laporan hasil pengamatan.
IV.PEMBAHASAN

A. Hasil
Tabel 1. Pengamatan cyst yang akan ditetaskan

Pengamat Jumlah cyst yang ditetaskan

Kelompok 1 42752 63291

Kelompok 2 27469 71909

Kelompok 3 32364 13219

Kelompok 4 73325 87278

Rata-rata 43977,5 58924,25

Tabel 2. Hasil penetasan

Penetasan Jumlah yang menetas HR

Dekapsulasi 44000 100,05%

Non dekapsulasi 34000 77,3%

Rumus :
HR =∑N / ∑C ×100%
Keterangan :
HR = derajat penetasan
∑N = cyst yang menetas
∑C = rata-rata total cyst yang ditetaskan
B. Pembahasan

Adapun hasil dari pengamtan yang ditetaskan Artemia sp yaitu dengan cyst yang
di peroleh 73325 individu/ 0,3 mg dan jumlah rata rata cyst yang di tetaskan pada
kelas A yaitu 43977,5 individu/0,3 mg.Hasil penetasan dengan dua metode yaitu
dekapsulasi dan non dekapsulasi adalah menghasilkan jumlah yang menetas pada
dekapsulasi yaitu 44 individu/ml sehingga pada data di atas di kali 1000 karena
ingin di dapatkan per litet jadi 44000 individu/ liter,sedangkan pada non dekapsulasi
jumlah yang menetas yaitu 34 individu/ml sehingga pada data di atas dikali 1000
karena ingin di dapatkan per liter jadi 34000 individu/ liter.
Hasil derajat penetasan pada kedua metode dekapsulasi dan non dekapsulasi
yaitu dekapsulasi menghasilakn presentasi di atas 100,05% jadi hasil tersebut tidak
sesuai karena adanya kesalahan dalam menghitung jumlah cyst ditetaskan dan
maupun pada saat jumlah yang menetaskan sehinggga hasil yang di dapatkan tidak
sesuai dengan teori. Pada non dekapsulasi menghasilakn presentasi 77,3%jadi
hasil tersebut sesuai karena dalam menghitung jumlah cyst ditetaskan dan maupun
pada saat jumlah yang menetaskan sehinggga hasil yang di dapatkan sesuai
dengan teori.
Pengaruh pemberian larutan dekapsulasi terhadap penetasan siste Artemia sp.
terjadi pada jenis larutan NaOCl + NaOH karena penggunaan larutan tersebut
mampu meningkatkan persentase penetasan siste Artemia sp. hingga 11-18%. Hal
ini sejalan dengan Mudjiman (1989) bahwa siste yang bermutu baik apabila
ditetaskan dalam air bersalinitas 35 ppt penetasannya sekitar 45 % sedangkan
apabila didekapsulasi terlebih dahulu, penetasannya dapat mencapai 58 %. Selain
itu, Purwakusuma (2002) juga menyatakan bahwa dengan adanya proses
dekapsulasi, persentase penetasan siste dapat meningkat sampai dengan 10%.
Peningkatan nilai persentase penetasan siste akibat pemberian dekapsulasi
disebabkan karena embrio tidak susah payah keluar mengeluarkan energinya untuk
memecahkan cangkang sehingga dapat meningkatkan kelangsungan hidupnya.
Sekitar 30% energi embrio digunakan hanya untuk proses penetasan cangkang
yang keras (korion). Proses dekapsulasi mampu menghilangkan korion tanpa
mempengaruhi kelangsungan hidup dari embrio.
Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi Artemia sp. tanpa dekapsulasi
cangkangnya lebih tebal dan lebih kuat dibandingkan dengan siste yang telah
didekapsulasi. Selain itu bentuknya juga lebih besar dan warnanya lebih gelap.
Menurut Mudjiman (1989) hal ini dapat disebabkan karena cangkang siste yang
keras itu terdiri dari senyawa lipoprotein yang lebih banyak mengandung hematin
(semacam hemoglobin). Karena hematin itulah, maka siste Artemia sp. jadi
berwarna coklat, dengan adanya proses dekapsulasi, senyawa lipoprotein tersebut
dapat dilarutkan oleh bahan-bahan oksidator yaitu senyawa hipoklorit, baik berupa
kaporit maupun klorin.
Penetasan siste Artemia sp. tanpa dekapsulasi harus melalui tahapan yang
panjang Mula-mula siste harus terendam dalam air yang salinitasnya rendah selama
kurang lebih 1 jam. Proses hiperosmotik menyebabkan siste mengembung. Setelah
siste mengembung dan metabolisme berjalan terus, maka mulailah cangkang
sistenya pecah (emergence 1 atau E- 1). Terjadinya pemecahan cangkang siste
yang keras itu dibantu oleh enzim penetasan. Akibat adanya enzim ini, maka embrio
yang masih terbungkus didalam selaput penetasan telah keluar dari cangkangnya
tetapi masih menempel pada ujung cangkang. Sampai di sini dinamakan tingkat
payung (emergence 2 atau E-2). Embrio yang telah keluar dari cangkangnya tetapi
masih terbungkus di dalam selaput penetasannya itu tumbuh terus, sehingga
akhirnya keluar dari selaputnya, pada saat ini siste sudah benar-benar menetas dan
disebut sebagai tingkat nauplius (Mudjiman 1989).
DAFTAR PUSTAKA

Bougias, 2008.Pakan Ikan Alami. Kanisius, Yogyakarta.

Chumaidi et. al. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Pakan Alami Ikan dan
UdangPuslitbangkan PHP\KAN\PT\12\Rep\1990, Jakarta
Daulay, T., 1998. Artemia Salina (Kegunaan, Biologi dan Kulturnya). INFIS Manual Seri
No.12.Direktorat Jendral Perikanan dan International Development Research,
Jakarta.
Dhert, P., P. Sorgeloos, and B. Devresse. 1980. Contribution toward a specific DHA
enrichment in the live food Brachionus plicatilis and Artemia sp.I n: Reinertsen, H.,
L.A. Dahle, L. Jorgensen, and K. Tvinnereim (eds). Proceeding of The First
National Conference of Fish Farming Technology. Rotterdam: Comittee of the First
National Conference of Fish Farming Technology.
Djarijah, Abbas Siregar. 1996. Pakan Ikan Alami. Kanisius. Yogyakarta
Isnansetyo, A Dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Fitoplankton Dan zooplankton.
Kanisius. Yogyakarta
Jusadi, Dedy. 2003. Modul Penetasan Artemia. Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen
Pendidikan Nasional.
Mudjiman, A. 2008. Makanan Ikan Edisi Revisi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Pramudjo dan Sofiati, 2004.Prospek Teknik Produksi Cyste Brine Shrimp (Artemia salin
leach) di Indonesia.Fakultas Perikanan, Unsrat-Manado.
Priyambodo dan Wahyuningsih, Tri. 2003. Budidaya Pakan Alami Untuk Ikan. Jakarta :
Penebar Swadaya Sumeru, Sri Umiyati, Ir. 2008. Produksi Biomassa Artemia. diakses
tanggal 15 November 2008.
Sumeru, Sri Umiyati dan Suzzy Anna.2008. Penyediaan Nauplii Artemia. http://
hobiikan.blogspot.com/2008/10/penyediaannauplii- artemia.html [17 Mei 2009]
Tyas, I. K. 2004. Skripsi : Pengkayaan Pakan Nauplius Artemia dengan Korteks
Otak Sapi untuk Meningkatkan Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, dan
Daya Tahan Tubuh Udang Windu (Penaeus monodon. Fab) Stadium PL 5 -
PL 8. Biologi FMIPA UNS. Surakarta

Anda mungkin juga menyukai