Anda di halaman 1dari 9

Alexandrium catenella merupakan

organisme

yang

beracun,

Alexandrium

catenella masuk dalam kategori fitoplankton. Spesies ini hidup di lingkungan laut terutama di
daerah

pesisir.

Spesies

ini

juga

berasosiasi

dengan

lingkungan

tinggi

nitrogen. Alexandrium terkenal karena kemampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan


dalam jumlah nitrogen dalam lingkungannya. Beberapa Alexandrium adalah organisme
colonial. Sebagai contoh Alexandrium catenella yang berbentuk menyerupai rantai.

Klasifikasi Alexandrium catenella


Kingdom

: Plantae

Phylum

: Dinoflagellata

Class

: Dynophyceae

Ordo

: Gonyaulacales

Family

: Goniodomataceae

Genus

: Alexandrium

Spesies

: Alexandrium catenella

Morfologi Alexandrium catenella


Alexandrium catenella adalah salah satu jenis Dinoflagellata yang mempunyai bentuk
luar seperti berlapis baja. Biasanya spesies ini membentuk rantai-rantai pendek yang terdiri
dari 2, 4, atau 8 sel yang saling berhubungan. Sel tunggal dari spesies ini berbentuk bulat,
sedikit lebih lebar dai panjangnya, dan bagian interior posteriornya terkompresi. Spesies yang
berukuran kecil hingga menengah memiliki apex berbentuk bulat dan antapex berbebtuk
sedikit cekung. Spesies ini mempunyai panjang antara 20 48 mikrometer dan memiliki
lebar antara 18 32 mikrometer. Alexandrium catenella adalah spesies yang dapat
melakukan fotosintesis. Spesies ini memiliki klorofil berwarna kuning-hijau sampai orangecoklat. Pertumbuhan fitoplankton terdiri dari tiga fase (www.noaa.com), seperti terlihat
pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Grafik pertumbuhan fitoplankton (www. noaa.


com) Keterangan gambar:
1. Fase penyesuaian
Merupakan tahapan dimana pertumbuhan fitoplankton terjadi
secara lambat.
2. Fase eksponensial atau logaritma
Merupakan tahapan dimana terjadi peningkatan pertumbuhan
fitoplankon yang sangat cepat.
3. Fase tetap (stasionary)
Tahap

ini

merupakan

tahapan

terakhir

dimana

terjadi

pertumbuhan fitoplankton yang sangat lambat hingga tetap dan


fitoplankton akan mengalami kematian.

Reproduksi
Alexandrium catenella mereproduksi secara aseksual dengan pembelahan biner .
Spesiesini juga memiliki siklus seksual dengan tipe kawin yang berlawanan ( heterothallism
). Setelah gamet fusion , sebuah bentuk planozygote yang kemudian encysts menjadi istirahat
kista karakteristik ( Yoshimatsu , 1981).

Ekologi
Alexandrium catenella adalah spesies dinoflagellata planktonik terkait dengan
peristiwaPSP mematikan terutama di Samudra Pasifik . Pasang merah spesies ini juga telah
diamati ( Fukuyo , 1985) .Spesies ini menghasilkan istirahat kista berwarna sebagai bagian
dari siklus hidupnya yang tidak dapat dibedakan dari kista yang dihasilkan oleh A. tamarense.
Kista kira-kira ellipsoidal dengan ujung membulat ; tertutup oleh dinding halus dan zat
mucilaginous . Kista memiliki luas berbagai ukuran : 38-56 m panjang untuk 23-32 pM lebar
( Fukuyo , 1985, Hallegraeff , 1991, Meksumpun et al, 1994. ).

Habitat
Alexandrium catenella tersebar luas di perairan pantai beriklim dinginPopulasi telah
direkam dari pantai barat Amerika Utara (dari California ke Alaska ) ,Chile , Argentina ,
barat Afrika Selatan , Jepang , Australia dan Tasmania ( Fukuyo ,1985, Fukuyo et al . , 1985,
Fukuyo et al . , 1990, Hallegraeff , 1991, Hallegraeff et al. , 1991, Taylor et al, 1995. ,
Steidinger dan Tangen , 1996).

Toksisitas
Alexandrium catenella adalah spesies dinoflagellata menghasilkan racun paralytic
shellfish poison yang bisa di sebut dengan saxitoxin. Senyawa toksik utama dari paralytic
shellfish poison adalah saxitoxin yang bersifat neurotoxin (racunyang menyerang system
saraf). Keracunan toksin ini dikenal dengan istilah Paralyticshellfish poisoning (PSP).
Keracunan ini disebabkan karena mengkonsumsi kerang- kerangan yang memakan
dinoflagelata beracun. Kerang-kerangan menjadi beracun disaat dinoflagellata sedang
melimpah karena laut sedang pasang merah atau red tide.
Gejala utama dari keracunan saxitoxin adalah kelumpuhan (paralysis) pada otot,selain
otot jantung. Penderita mula-mula akan merasakan kesemutan dan menimbulkan gejala
seperti rasa terbakar pada lidah, bibir dan mulut yang selanjutnya merambat ke leher, lengan
dankaki. Gejala selanjutnya terasa pada ujung jari tangan dan kaki yang nyeri seperti ditusuktusuk, pusing, mual,muntah dan kejang pada otot perut, kesukaran bernafas dan akhirnya
berhenti bernafas,tetapi jantung masih tetap berdenyut. Dalam kasus yang hebat diikuti oleh
perasaan melayang-layang, mengeluarkan air liur, pusing dan muntah. Toksin memblokir
susunan saraf pusat, menurunkan fungsi pusat pengatur pernapasan dan cardiovasculer di
otak, dan kematian biasanya disebabkan karena kerusakan pada sistem pernapasan. Bila tidak
ditolong maka penderita akan meninggal dalam waktu 24 jam. Pertolongan hanya dapat
dilakukan dengan cara menguras isi perut dan memberikan pernafasan buatan.

Blooming Alexandrium catenella


Red tides merupakan fenomena yang terjadi akibat ledakan perkembangan (blooming)
yang begitu cepat dari sejenis fitoplankton. Salah satu penyebab terjadinya red tides
adalah Alexandrium catenella dari kelompok Dinoflagellata yang dapat menyebabkan
perubahan warna dan konsentrasi secara drastis, kematian missal biota laut, perubahan
struktur komunitas ekosistem perairan, bahkan keracunan dan kematian pada manusia.
Hal ini tersebut disebabkan oleh faktor-faktor berikut :
Terdapat tiga faktor yang menyebabkan terjadinya blooming HAB
(Wiadnyana, 1995) yaitu:
1. Eutrofikasi atau pengkayaan unsur hara fosfat dan nitrat.
2. Adanya kista di dasar perairan yang terangkat ke lapisan
permukaan melalui dua mekanisme, yaitu:
a. Mekanisme malalui naiknya massa air (upwelling)

b. Mekanisme akibat pengaruh gempa tektonik


3. Bersifat biologis, yang artinya bahwa kurang adanya predator
sebagai pemangsa spesies penyebab HAB.

Ketiga faktor tersebut merupakan factor penyebab terjadinya red tides spesies
fitoplankton Dinoflagellata berwarna merah. Spesies ini akan hilang dengan sendirinya bila
ekosistem dalam air kembali seimbang, yaitu pada kondisi normalnya. Red tides biasanya
terjadi pada air pesisir pantai dan muara, jumlah fitoplankton berlebih di sebuah perairan
berpotensi membunuh berbagai jenis biota laut secara massal. Pasalnya, keberadaan
fitoplankton mengurangi jumlah oksigen terlarut. Kemungkinan lain, insang-insang ikan
penuh dengan fitoplankton. Akibatnya, lender pembersihnya menggumpal karena
fitoplanktonnya berlebih dan ikanpun sulit bernafas.

Red Tides dapat menyebabkan kematian massal biota laut sebab kandungan oksigen
terlarut akan berkurang ketika algae ini mati,hal ini terjadi karena untuk menguraikan algae
blooming yang mati membutuhkan banyak oksigen dengan bantuan bakteri pengurai.Selain
itu dampak dari blooming alga ini ada pada perubahan struktur komunitas ekosistem perairan,
keracunan dan juga bisa menyebabkan kematian pada manusia. Ini terjadi karena fitoplankton
tersebut mengeluarkan toksin berupa PSP (Paralitich Shellfish Posioning) yang menyerang
kerang-kerangan dan ikan melalui rantai makanan,dimana penyakit ini akan mengakibat
kelumpuhan jika memakan ikan atau kerang-kerangan yang terjangkit penyakit ini bahkan
akan menyebabkan kematian pada manusia sebab racun PSP pada ikan kandungannya jauh
lebih tinggi.
Menurut Praseno (2000), sebagian terbesar dari HAB disebabkan oleh ledakan
populasi fitoplankton kelompok Dinoflagellata. Perbedaan Dinoflagellata yang toksik
dan non-toksik sangat sedikit (Steidinger & Baden, 1984 in Praseno, 2000).
Dinoflagellata toksik umumnya mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Dapat melakukan fotosintesis
Seluruhnya hidup di daerah estuari dan neritik
Kemungkinan semuanya dapat membentuk stadium seksual di dasar laut
Kebanyakan dapat blooming yang monospesifik
Semuanya dapat menghasilkan zat bioaktif bersifat racun yang larut dalam air
dan lemak yang bersifat hemolitik, neurotoksik, atau gastrointestinal tergantung pada

struktur, dosis, daya konversi dan kondisi konsumen. Fenomena pasang merah ini (red
tides) ini merupakan peristiwa alam yang umumnya terjadi. Namun demikian red tides
tidak selalu berwarna, ada kemungkinan berwarna kuning atau coklat tergantung jenis
fitoplankton yang menyebabkan terjadinya red tides tersebut.
Faktor yang mempengaruhi fenomena Red Tides yaitu termasuk suhu permukaan laut
yang hangat, salinitas rendah, kandungan gizi yang tinggi, laut yang tenang,dan nutrien
Nutrien yang sangat mempengaruhi terjadinya HAB yaitu
1. Nitrat
Nitrat merupakan bentuk utama dari nitrogen di perairan yang berfungsi bagi
pertumbuhan tanaman dan alga. mengakibatkan terjadinya eutrofikasi
(pengayaan) perairan yang selanjutnya memacu pertumbuhan alga dan
tumbuhan air secara pesat (blooming). Nitrat tidak bersifat toksik bagi
organisme akuatik (Effendi, 2000).
2. Fosfat
Fosfat merupakan salah satu unsur hara yang penting bagi pertumbuhan
fitoplankton dalam jumlah yang berlebih fosfat dapat menyebabkan
terjadinya eutrofikasi. Fosfat adalah bentuk fosfor yang dimanfaatkan
oleh tumbuhan (Dugan, 1972 in Effendi, 2000). Sumber utama fosfat
terutama berasal dari pelapukan batuan (weathering), limbah organik
seperti deterjen dan hasil degradasi bahan organik.Fosfat di perairan di
temukan dalam bentuk ortofosfat, polifosfat dan fosfat organik (Odum,
1971). Fosfat dalam bentuk orto-P merupakan nutrien yang dibutuhkan
oleh produktifitas primer (Sanusi, 2006).
3. Seston
Seston

memepengaruhi

penengelaman

terjadinya

dapat di pengaruhi

penengelaman

kista

oleh faktor-faktor

HAB,

laju

seperti angin,

gelombang, grafitasi dan kedalaman. Seston dikenal juga dengan sebutan


suspended solid atau suspended particulate matter atau padatan tersuspensi
merupakan

partikel- partikel yang melayang dalam air, terdiri dari

komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik terdiri dari fitoplankton,


bakteri, fungi dan sebagainya, sedangkan komponen abiotik terdiri dari
detritus dan partikel-partikel anorganik (Riyono, 1997). Padatan tersuspensi
berfungsi sebagai suatu fase pembawa bagi perpindahan berbagai unsur
kimia dalam kolom air, dari air lapisan di permukaan hingga ke endapan

dasar laut (Setiapermana, 1980 in Riyono, 1997). Semakin halus ukuran


partikel padatan tersuspensi, semakin lama partikel tesebut berada dalam
kolom air (Sanusi, 2006).

DAFTAR PUSTAKA

Avaria, S.P. 1979. Red tides off the coast of Chile. In: L.T. Taylor and H.H. Seliger (eds),
Toxic Dinoflagellate Blooms, Elsevier / North Holland, New York: 161-164.
Balech, E. 1985b. The genus Alexandrium or Gonyaulax of the tamarensis group. In: D.M.
Anderson, A.W. White and D.G. Baden (eds), Toxic Dinoflagellates, Elsevier, New
York: 33-38.
Balech, E. 1995. The Genus Alexandrium Halim (Dinoflagellata), Sherkin Island Marine
Station, Ireland. 151 pp.
Fukuyo, Y., K. Yoshida and H. Inoue 1985. Protogonyaulax in Japanese coastal waters.
In: D.M. Anderson, A.W. White and D.G. Baden (eds), Toxic Dinoflagellates,
Elsevier, New York: 27-32.
Hallegraeff, G.M., C.J. Bolch, S.I. Blackburn and Y. Oshima 1991. Species of the toxigenic
dinoflagellate genus Alexandrium in southeastern Australian waters. Bot. Mar. 34:
575-587.
Nishitani, L. and K. Chew 1988. PSP toxins in the Pacific coast states: monitoring programs
and effects on bivalve industries. J. Shell. Res. 7: 653-669.
Ogata,

T.

and

M.

Kodama

1986.

Ichthyotoxicity

found

in

cultured

media

of Protogonyaulax spp. Mar. Biol. 92: 31-34.


Onoue, Y., T. Noguchi, J. Maruyama, K. Hasimoto and T. Ikeda 1981b. New toxins
separated from oysters and Protogonyaulax catenella from Senzaki Bay, Yamaguchi
Prefecture. Bull. Japan. Soc. Sci. Fish. 47: 1643.
Prakash, A., J.C. Medcof and A.D. Tennant 1971. Paralytic shellfish poisoning in eastern
Canada. Bull. Fish. Res. Bd. Can. 177: 1-87.
Sharpe, C.A. 1981. Paralytic shellfish poison, California- Summer 1980. State of California
Dept. Health Services-Sanitary Engineering Section.

Anda mungkin juga menyukai