Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengembangan usaha budidaya Artemia sp. merupakan alternatif yang
tepat untuk dilakukan di tambak garam, mengingat harga kista Artemia sp.
Sampai saat ini masih relatif tinggi (Mai Soni. 2004). Artemia sp. adalah jenis
zooplankton yang merupakan makanan bermutu tinggi bagi berbagai jenis benih
ikan, udang, serta kepiting. Artemia sp. mempunyai keunggulan apabila
dibandingkan dengan jenis plankton lainnya, sebab Artemia sp. dapat disediakan
dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan berkesinambungan (Sorgeloos,
2001).
Keunggulan yang dimiliki Artemia sp. ini menjadikan biota ini banyak
diminati dalam dunia usaha pembenihan untuk dijadikan sebagai pakan baik
udang, ikan maupun kepiting dan lainnya. Seiring dengan berkembangnya usaha
pembenihan maka permintaan Artemia sp. pun semakin meningkat dan untuk
mengantisipasi permintaan yang semakin meningkat maka perlu adanya
pengembangan budidaya Artemia sp.
Peranan Artemia sebagai pakan yang efektif, khususnya bagi larva ikan
dan udang telah lama dikenal. Penggunaannya dalam akuakultur mulai
meningkat sejak Seal tahun 1933, melaporkan bahwa jasad hidup ini mempunyai
nilai gizi tinggi sebagai makanan benih ikan. Pemberian pakan Artemia dalam
pembenihan ikan maupun udang akan dapat meningkatkan kelangsungan hidup
dan pertumbuhan (Sorgeloos, P. and S. Kulasekrapandian, 1987). Hingga saat ini
tampaknya Artemia masih merupakan pakan utama untuk mysis dan post larva
udang penaeid yang dipelihara di balai-balai benih udang.
Artemia sangat baik bagi udang karena mempunyai kandungan protein
tinggi dengan susunan asam-asam amino yang menyerupai asam amino udang
serta lemaknya mengandung asam lemak yang penting bagi kelangsungan hidup
dan pertumbuhan benih udang. Selain itu, bagi pemangsanya nauplius Artemia
merupakan makanan yang baik karena mudah dilihat dan ditangkap dengan
eksoskeleton yang tipis (kurang dari satu mikron) sehingga mudah dicerna
(Sorgeloos dkk., 1983).
Kelebihan Artemia dibandingkan dengan pakan alami yang lain dalam
akuakultur adalah diperjual-belikan dalam bentuk kista, sehingga dapat
digunakan sewaktu-waktu, bila diperlukan. Artemia mampu beradaptasi
terhadap berbagai kondisi lingkungan, bersifat filter feeder dan dapat tumbuh
dalam kepadatan tinggi serta ukuran naupliusnya sesuai dengan yang dibutuhkan
kebanyakan larva ikan maupun udang (Sorgeloos, P. and S. Kulasekrapandian,
1987).
Seperti halnya organisme hidup lainnya, Artemia mempunyai
kemampuan biotik yang merupakan suatu kualitas organisme dalam menentukan
kapasitas bawaan untuk bertambah dalam kondisi lingkungan yang optimal,
yang dikenal dengan laju pertumbuhan intrinsik alami. Laju pertumbuhan
intrinsic merupakan laju pertambahan individu dalam kondisi fisik khusus di
dalam suatu lingkungan tidak terbatas, sehingga laju pertambahannya
eksponensial. Krebs (1978) menyatakan bahwa untuk mengetahui laju
pertumbuhan intrinsik alami suatu organisme, faktor-faktor lingkungan yang
perlu diperhatikan yaitu: kuantitas pakan, ruang gerak dan kepadatan harus
optimum, sedangkan kualitas pakan, suhu, cahaya dan lain-lain tidak perlu
optimal tetapi terkendali. Kehidupan suatu populasi, pertumbuhannya selalu
berubah dalam menanggapi perubahan dari faktor-faktor lingkungan dan
pendukungya.
Perubahan pertumbuhan populasi berlangsung terus menerus sepanjang
waktu, dan perubahan tersebut merupakan suatu proses yang dinamis. Namun
dalam kondisi laboratorium, maka keadaan yang tidak menguntungkan dapat
dikurangi atau dihilangkan. Dalam situasi buatan ini dapat diteliti kapasitas
bawaan atau alami untuk bertambah, sehingga laju pertambahan maksimal dapat
dicapai.

1.2 Rumusan Masalah


Dapat kita lihat, pada ssat ini tingkat budidaya ikan maupun udang sering
mengalami kegagalan pada saaat fase larva. Kegagalan tersebut dikarnakan oleh
kualitas air, pengangan kurang baik, hama dana penyakit dan pakan. Faktok
yang paling berpangaruh dalam tingkat kelangsungan hidup larva bergantung
pada jenis pakan dan nutrisi pakan. Namun bebrapa larva ikan belum sesuai
bukaan mulut dengan pencernaan untuk memakan pakan komersial. Maka dari
itu perlu diadakan pegetahuan tentang bididaya pakan alami untuk memenuhi
kebutuhan budidaya.

1.3 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini yaitu untuk mengetahui waktu petumbuhan
dan kelangsungan hidup pada Artemia yang baik. Dimulai dari mulai netasan
kista hingga dewasa dan mengetahui pada jam keberapa Artemia tumbuh dewasa
serta dapat mengetahui penyebab lamanya pertumbuhan Artemia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Artemia


Artemia merupakan zooplankton dari anggota krustacea. Galebert (2003)
dalam Umbas (2002) menyatakan bahwa Artemia digunakan sebagai pakan
alami lebih dari 85% species hewan budidaya, Artemia mempunyai nilai gizi
tinggi, dapat menetas dengan cepat, ukurannya relatif kecil dan pergerakan
lambat serta dapat hidup pada kepadatan tinggi (Tyas 2004). Secara umum,
Artemia mempunyai dua tipe reproduksi yaitu ovipar dan ovovivipar (Criel
dalam Browne et al. 1991 dalam Umbas 2002). Artemia dewasa hanya akan
memproduksi kista ketika keadaan lingkungan memburuk, misalkan kadar
garam lebih dari 150 ppt dan kandungan oksigen rendah dan kista akan menetas
menjadi larva jika lingkungan membaik atau kembali seperti semula (Mudjiman
1989).
Dalam siklus hidupnya Artemia melalui beberapa fase, mulai dari
perkembangan larva yang biasa disebut instar sampai pada fase dewasa. Menurut
Criel dalam Browne et al. (1991) dalam Umbas (2002), setelah fase
embriogenesis terdapat 17 fase perubahan pada larva Artemia.

Gambar 1. Artemia sp.


(Sumber : www.naturamediterraneo.com)
1.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Artemia
Kindom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Class : Branchiopoda
Order : Anostraca
Famili : Artemiidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia sp. (Linnaeus, 1758)

Telur Artemia atau kista berbentuk bulat berlekuk dalam keadaan kering
dan bulat penuh dalam keadaan basah. Warnanya coklat yang diselubungi oleh
cangkang yang tebal dan kuat (Cholik dan daulay 1985). Cangkang Artemia
berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras,
sinar ultraviolet dan mempermudah pengapungan (Mudjiman 1989). Cangkang
kista Artemia dibagi dalam dua bagian yaitu korion (bagian luar) dan kutikula
embrionik (bagian dalam). Diantara kedua lapisan tersebut terdapat lapisan
ketiga yang dinamakan selaput kutikuler luar.
Korion dibagi lagi dalam dua bagian yaitu lapisan yang paling luar yang
disebut lapisan peripheral (terdiri dari selaput luar dan selaput kortikal) dan
lapisan alveolar yang berada di bawahnya. Kutikula embrionik dibagi menjadi
dua bagian yaitu lapisan fibriosa dibagian atas dan selaput kutikuler dalam di
bawahnya. Selaput ini merupakan selaput penetasan yang membungkus embrio.
Diameter telur Artemia berkisar 200 – 300 μg, bobot kering berkisar 3.65 μg,
yang terdiri dari 2.9 μg embrio dan 0.75 μg cangkang (Mudjiman 1983).
Kista Artemia yang ditetaskan pada salinitas 15-35 ppt akan menetas
dalam waktu 24 - 36 jam, larva Artemia yang baru menetas disebut nauplii.
Nauplii dalam pertumbuhannya mengalami 15 kali perubahan bentuk, masing-
masing perubahan merupakan satu tingkatan yang disebut instar (Pitoyo 2004).
Fase larva pertama (Instar I) berukuran 400-500 mikron dan berwarna cokla
oranye yang menandakan bahwa pada fase ini nauplii masih menggunakan yolk
salk sebagai cadangan makanannya (BBAP 1996).
Setelah 8 jam instar I akan berganti kulit dan menjadi Instar II, pada fase
ini nauplii sudah membutuhkan asupan nutrisi dari luar karena sistem
pencernaannya sudah bekerja dengan baik. Partikel makanan yang diambil
berukuran kecil antara 1-40 μ disaring oleh antena ke-2 dan kemudian
dimasukkan kedalam saluran pencernaannya (ingestion). Larva akan terus
berkembang dan berubah bentuk melalui 15 kali ganti kulit (moulting) sampai ke
fase Artemia dewasa (BBAP 1996).

2.1.2 Ekologi Artemia


Artemia secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu antara 25-
30oC, berbeda dengan kista Artemia kering yang dapat tahan pada suhu -273
hingga 100oC (Mudjiman 1989). Artemia dapat ditemui di danau dengan kadar
garam tinggi yang biasa disebut dengan brain shrimp. Kultur biomassa Artemia
yang baik pada kadar garam antara 30-50 ppt. Untuk Artemia yang mampu
menghasilkan kista membutuhkan kadar garam diatas 100 ppt (Isnansetyo dan
Kurniastuty 1995). Kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan agar Artemia dapat
tumbuh dengan baik ialah sekitar 3 ppm. Media untuk penetasan kista,
diperlukan air yang pH-nya lebih dari 8, jika pH kurang dari 8 maka efisiensi
penetasan akan menurun atau waktu penetasan menjadi lebih panjang (Mudjiman
1989).

2.1.3 Reproduksi Artemia


Chumaidi et al., (1990) dalam Tyas (2004) menyatakan bahwa
perkembangbiakan Artemia ada dua cara, yakni partenogenesis dan biseksual.
Pada Artemia yang termasuk jenis parthenogenesis populasinya terdiri dari
betina semua yang dapat membentuk telur dan embrio berkembang dari telur
yang tidak dibuahi, sedangkan pada Artemia jenis biseksual, populasinya terdiri
dari jantan dan betina yang berkembang melalui perkawinan dan embrio
berkembang dari telur yang dibuahi.
Gambar 2. siklus hidup Artemia
(Sumber : www.perikanan-1992.blogspot.com)

2.1.4 Cara Makan dan Makanan Artemia

Artemia adalah binatang yang sederhana cara makannya, yaitu dengan


menyaring makannya atau disebut non-selective filter feeder, maka Artemia akan
terus menerus memakan apa saja yang ukurannya lebih kecil dari 50 µm
(Mudjiman 1989).
Mudjiman (1989), menyatakan bahwa makanan Artemia di alam adalah
detritus bahan organik dan ganggang renik (ganggang hijau, ganggang biru,
cendawan atau ragi laut). Beberapa jenis ganggang hijau yang sering dijadikan
makanan oleh Artemia antara lain Euglena, Dunaliella salina dan Cladophora
sp.
Seluruh partikel suspensi yang mungkin dapat dimakan oleh artemia
secara terus menerus akan diambil dari media kultur dengan gerakan terakopoda
yang mempunyai fungsi ganda sebagai respirasi dan pengumpul makanan
sehingga tidak ada alternative lain bagi artemia untuk terus menerus menyaring
makanan (Widyarti 1986).
2.1.5 Penetasan Kista Artemia
Sutaman (1993) menyatakan bahwa penetasan kista Artemia dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu penetasan langsung (non dekapsulasi) dan
penetasan dengan cara dekapsulasi. Dekapsulasi merupakan suatu proses untuk
menghilangkan lapisan terluar dari kista Artemia yang keras (korion). Cara
dekapsulasi dilakukan dengan mengupas bagian luar kista menggunakan
larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Cara
dekapsulasi merupakan cara yang tidak umum digunakan pada benih ikan
maupun udang, namun untuk meningkatkan daya tetas dan menghilangkan
penyakit yang dibawa oleh kista Artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan
(Pramudjo dan Sofiati 2004). Subaidah dan Mulyadi (2004) menyatakan bahwa
langkah-langkah penetasan dengan cara dekapsulasi adalah sebagai berikut:
1. Kista Artemia dihidrasi dengan menggunakan air tawar selama 1-2 jam.
2. Kista disaring menggunakan plankton net 120 µm dan dicuci bersih.
3. Kista dicampur dengan larutan kaporit atau klorin dengan konsentrasi 1,5 ml
per gram kista, kemudian diaduk hingga warna menjadi merah bata.
4. Kista segera disaring menggunakan plankton net 120 mikron dan dibilas
menggunakan air tawar sampai bau klorin hilang, kista siap untuk
ditetaskan.
5. Kista akan menetas setelah 18-24 jam. Pemanenan dilakukan dengan cara
mematikan aerasi untuk memisahkan kista yang tidak menetas dengan
nauplii Artemia.
Menurut Pramudjo dan Sofiati, (2004) kista hasil dekapsulasi dapat
segera digunakan (ditetaskan) atau disimpan dalam suhu 0oC - 4oC dan
digunakan sesuai kebutuhan. Dalam kaitannya dengan proses penetasan
Chumaidi et al (1990) dalam Tyas (2004) menyatakan bahwa kista setelah
dimasukan ke dalam air laut (5-70 ppt) akan mengalami hidrasi berbentuk bulat
dan di dalamnya terjadi metabolisme embrio yang aktif, sekitar 24 jam
kemudian cangkang kista pecah dan muncul embrio yang masih dibungkus
dengan selaput.
Wadah penetasan Artemia dapat dilakukan dengan wadah kaca,
polyetilen (ember plastik) atau fiber glass. Ukuran wadah dapat disesuaikan
dengan kebutuhan, mulai dari volume 1 liter sampai dengan volume 1 ton
bahkan 40 ton (Sorgeloos 1996 dalam Hasyim 2002).

2.2 Enrichment (Pengkayaan)


Pakan alami sering digunakan dalam meningkatkan hasil produksi dari
suatu kegiatan budidaya, namun umumnya kandungan nutrient dari pakan alami
masih kurang memenuhi kebutuhan nutrisi dari spesies yang
dibudidayakan, sehingga perlu ada upaya untuk penambahan nutrient dari
pakan alami yang digunakan yaitu dengan pengkayaan. Hal ini bertujuan agar
komposisi nutrient dari pakan alami tersebut menjadi sama atau mendekati
kebutuhan nutrisi dari spesies budidaya (Tahya 2006).
Teknik pengkayaan diklasifikasikan menjadi 4 golongan, yaitu :
teknik British, menggunakan alga uniseluler, teknik Jepang, menggunakan ω-
ragi atau emulsi dengan ditambahkan ragi roti (cara langsung dan tidak
langsung), teknik Perancis menggunakan kompos dan teknik Belgia
menggunakan microparticulated (Leger et al. 1987 dalam Umbas 2002).
Perkembangan teknik pengkayaan ini didukung oleh beberapa faktor seperti
kondisi penetasan, waktu pengkayaan (waktu antara penetasan dan
penambahan bahan pengkaya), lama pengkayaan serta suhu.
Sorgeloos et al. (2001) dalam Hasyim (2002) menyatakan bahwa
sekarang ini emulsi yang digunakan untuk pengkayaan Artemia banyak
macamnya dan umumnya mengandung asam lemak. Lemak adalah komponen
berenergi tinggi pada penyediaan makanan ikan. Stikney (1979) dalam
Umbas (2002) menyatakan bahwa protein diperlukan untuk pertumbuhan,
tetapi energi untuk kelangsungan metabolisme berasal dari lemak dan
karbohidrat. Protein ialah suatu senyawa organik yang berbobot molekul
tinggi berkisar antara beberapa ribu sampai jutaan. Tersusun dari atom C, H,
O, dan N serta unsur lainnya seperti P dan S yang membentuk unit-unit asam
amino. Vitamin selalu dihubungkan dengan faktor yang essensial untuk
hidup, walaupun dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit namun
kekurangannya menyebabkan penyakit defisiensi.
BAB III
METODELOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanapan pada Sabtu, 22 Desember sampai Senin, 24
Desember 2018 di hatchery Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian
Universita samudara. Pengamatan kelangsungan hidup dan pertumbuhan artemia di
amati di lab dasar Universitas Samudra.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat
Tabel 1. Alat yang di butuhkan dalam kegiatan praktikum
No Nama alat Kegunan
1 Galaon bekas Sebagai wadah penetasan
2 Aerasi Suplemen oksigen terlarut
3 Selang kecil Untuk memudahkan pemanenan
4 Mikroskop Media pengamatan ukuran Artemia
5 Gelas ukur Wadah pengambilan sampel
6 Pipet tetes Untuk mengambil Artemia dari gelas ukur
7 Kaca pereparat Untuk meletakkan media saat pengamatan

3.2.2. Bahan
Tabel 2. Bahan yang dibutuhkan untuk kegiatan praktikum
No. Nama bahan Kegunaan
1 Kista Artemia Sebagai bahan utama untuk penetasan
2 Garam krosok Untuk meningkatkan salinitas pada saat
penetasan
3 Air Bersih Media penetasan

3.3 Prosedur kerja

3.3.1 Persiapan Media


Wadah yang digunakan dalam pengamatan adalah akua galon bekas yang belah
bagian bawahnya. Akua galon tersebut di cuci hingga bersih serta di keringkan dan
diberi bolongn pada bagian tutup galon. Bolongan tersebut di buat untuk memudahkan
pada saat pemanenen artemia. Kemudian diisi air bersih sebanyak 5 liter dan ditambaah
garam hingga salinitasnya sampai salinitasnya 15-30 ppt. Pada pengamatan ini, sanitas
yang digunakan sebesar 18 ppt. Pada wadah yang sudah terisi air, tambakan artemia
sebanyak 10 gram dan di tambahkan aerasi sebanga suplemen oksingennya.

3.3.2 Pemeliharaan dan Pengamatan


Artemia dipelihara selama 12 jam. Penebaran kista dilakukan pada pukul 17.40
wib dan dilakukan pengatan pertama pada keesokan harinya pada pukul 06.00 WIB.
Pengamantan dilakukan setiap dua jam sekali untuk mendapat hasil maksimal.
Penhagamatan dilakukan sampai Artemia dewasa.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 3. Hasil pengamatan pertubuhan dan kelangsungan hidup Artemia sp.
Hari Dan Waktu
No Hasil Pengamatan
Tanggal Pengamatan
1 Sebtu, 22
Desember
2018 Awal tebar (17.40)

06.00 WIB

08.00 WIB

Minggu ,23
Desember
2018 10.00 WIB

12.00 WIB

14.00 WIB
16.00 WIB

18.00 WIB

06.00 WIB

Senin, 24
Desember 15.15 WIB
2018

17.25 WIB

4.2 Pembahasan
Daya tetas kista artemia sangat di pengaruhi oleh faktok suhu dan
Salinitas. Beberapa peneliti menyatakan suhu yang baik dalam penetasan kista
artemia berkisar 280C. Sedangkan munurut (gusrina 2008), kista artemia dapat
ditetaskan pada media yang mempunyai salinitas 5-35 ppt, walaupun pada
habitat aslinya dapat hidup pada salinitas yang sangat tinggi. Pemanenan kista
dilakukan setelah 24 jam, pemanenan kista dilakukan dengan mengeluarkan
kista dari botol air mineral melalui lubang selang yang dipasang pada botol
yaitu dengan membuka selang yang ada di bagian bawah tutup botol untuk
membuang kista yang tidak menetas, namun sebelum dibuka, Artemia sp. yang
telah menetas dalam bentuk nauplii dipisahkan terlebih dahulu dalam suatu
wadah agar tidak terbuang. Dalam pemisahan ini, harus diperhatikan agar
cangkang tidak ikut tercampur dengan nauplii. Cara membedakannya yaitu:
yang berada di dasar dan berwarna gelap adalah kista yang gagal menetas dan
harus dibuang, yang mengapung di atas permukaan air adalah cangkang,
sedangkan yang melayang-layang dan berwarna putih adalah nauplii Artemia
sp. yang harus diambil dan dipisahkan dalam wadah lain.
Artemia berkembang biak secara seksual. Artemia menjadi dewasa
setelah berumur 1 0 - 1 4 hari. Mulai umur ini Artemia sudah mulai berenang
bergandengan (riding position), yang jantan mencapit perut yang betina (Maria,
1984). Telur Artemia yang baru dibuka dari kaleng berbentuk bola kempes, jadi
bukan seperti bola bundar, Hal ini disebabkan karena waktu pemrosesan telur
tersebut didehidrasi sehingga kadar air tinggal sekitar 10 %. Telur yang
dimasukkan dalam air dalam waktu satu sampai dua jam telah menyerap air dan
bentuknya menjadi bulat. Sekitar 15 jam kemudian telur mulai menetas, dari
dalam telur keluar bentuk bulat telur yang masih terbungkus dalam selaput tipis,
bentuk ini disebut "umbrella stage".
Wadah dibuat dari bahan gelas atau plastik yang memungkinkan cahaya
masuk. Dengan demikian kista-kista yang terhidrasi dalam kondisi aerob dapat
dirangsang dengan cahaya yang masuk. Rangsangan cahaya dapat dilakukan
selama kurang lebih 5 jam - 10 jam setelah telur direndam, setelah itu tidak
diperlukan cahaya lagi. Jadi sebaiknya penetasan telur mulai dari pagi hari di
saat masih cukup sinar rnatahari. Penyinaran secara langsung harus dihindari
karena sinar matahari mengandung sinar ultra violet yang dapat merusakkan
embryo telur (Maria, 1984).
Namun pada saat peraktikum ini, tidak ada pengadaan pengukuran suhu
dan tidak mengunakan air laut langsung. Sehingga daya tetas pada Artemia tidak
berlangsung cepat. Selain itu, pengaruh dari salinitas sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup Artemia. Pada saat praktikum
juga, cahaya yang masuk tidak ada, dan mengakibatkan terhambatnya dalam
tingkat penetasan.
BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Kesimpulan dari praktikum ini:
1. Artemia dapat dibudidayakan dengan menggunakan botol yang diisi
dengan air laut atau air tawar yang tambah dengan garam kerosok
kemudian ditebar kista sampai menetas dan dipelihara sampai dewasa.
2. Daya tetas Artemia dipengaruhi oleh suhu dn salinitas air.

5.2 SARAN
Untuk praktikum selanjutnya dipastikan lagi kesiapan semua peralatan
terutama untuk tempat pemeliharaan yang sesuai. Penggunaan wadah yang
kurang teril dan penggunaan garam kerosok pada saat penetasan berpengaruh
terhadap daya tetas dan pertumbuhan Artemia.
DAFTAR PUSTAKA

BBAP, 1996. Pengembangan Usaha Produksi Kista Artemia Oleh Petambak


Garam Di Madura. Balai Budidaya Air Payau, Direktorat Jendral
Perikanan, Jepara.

Cholik, F.; Daulay, T., 1985. Artemia salina(kegunaan, Biologi dan Kulturnya).
INFIS Manual Seri No.12. Direktorat Jendral Perikanan dan
International Development Research Centre.

Galebert, R. 2003. “Bioenkapsulasi pada Artemia : II. Pengaruh dari Konsentrasi


Partikel pada Proses Pengkayaan”(diterjemahkan: A. F. M. Soni).
Aquaculture 216:143-153.

Gusrina, (2008). Budidaya Ikan Jilid 1, 2 dan 3 untuk SMK. Jakarta : Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen
Pendidikan Nasional.

Krebs, C.J., 1978. Ecology, The Experimental Analisys of Distribution and


Abundance. Second Edition. Harper and Row Publishers. New York.

Mai Soni, A.F., 2004. Budidaya Artemia terpadu di tambak garam. desa
Surodadi, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara, Laporan Tahunan
2004. Balai Besar Budidaya Air Payau Jepara (in press).

Maria G. L. P. 1984. TEKNIK PENETASAN DAN PEMANENAN ARTEMIA


SALINA. Oseana, Volume IX, Nomor 2: 57 - 65. 1984 ISSN 0216 –
1877.

Mudjiman, A. 1989. Udang Renik Air Asin Artemia salina. Jakarta: Penerbit
Bhatara.

Sorgeloos, P. and S. Kulasekrapandian, 1987. Culture of Life Feed With Special


Reference to Artemia Culture. Infis Manual. Seri Nomor 53.
Terjemahan.

Sorgeloos, P., Dhert,P., Candrevan P., 2001. The use the brine shrimp Artemia in
marine fish larviculture. Aquaculture 200, 147-159.

Sorgeloos, P., E. Bossyut, P. Lavens, P. Leger, P. Vanhaeck and Versichele,


1983. The Use of Brine Shrimp Artemia in Crustacean Hatcheries and
Nurseries. CRD Handbook of Mariculture, Volume1, CRC Press
Incorporation, Florida. P. 71-93.
Tyas, I. K. 2004. Pengkayaan Pakan Nauplius Artemia dengan Korteks Otak
Sapi untuk Meningkatkan Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, dan
Daya Tahan Tubuh Udang Windu (Penaeus monodon. Fab) Stadium
PL 5-PL 8. Skripsi.Jurusan Biologi FMIPA UNS. Surakarta. Umbas,
A.P. 2002. Pengaruh Dosis Pengkayaan 0, 6, 7, 8, 9, 10 ml/ 400ml dan
Waktu Dedah Terhadap Kinerja Pertumbuhan Artemia. Skripsi.
Program Studi Budidaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. 54 hlm.

Anda mungkin juga menyukai