Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Waduk Ir. H. Djuanda atau yang dikenal dengan nama Waduk Jatiluhur merupakan
suatu badan air yang terbentuk dengan membendung sungai Citarum serta merupakan
waduk tertua di Indonesia yang terletak di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Waduk ini
memiliki luas 83x00 ha serta dapat menampung kurang lebih 3 milyar m3 air yang
merupakan aliran air dari sungai Citarum. Selain dari Sungai Citarum aliran air juga
berasal dari Sungai Cisomang dan Sungai Cilalawi (Garno, 2003). Nilai kekeruhan,
padatan tersuspensi, orthofosfat, bahan organik total air yang masuk ke Waduk Ir. H.
Djuanda in let memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di badan air.
Hal tersebut mengindikasikan waduk Ir. H. Djuanda menerima beban pencemar yang
berasal dari kegiatan industri, pemukiman, pertanian dan keramba jarring apung. Salah
satu dampak langsung dari pencemaran limbah tersebut adalah meningkatnya penggunaan
oksigen untuk proses denitrifikasi dan dekomposisi bahan organik yang menyebabkan
menurunnya konsentrasi oksigen terlarut di waduk Ir. H. Djuanda.
Kesuburan perairan biasanya berkaitan dengan konsentrasi nutrien dalam badan
perairan. Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a sangat erat hubungannya dengan
konsentrasi nutrien yang berasal dari darat melalui aliran sungai yang masuk ke badan
perairan. Proses fotosintesis dipengaruhi oleh faktor konsentrasi klorofil-a dan intensitas
cahaya matahari. Nilai produktivitas primer dapat digunakan sebagai indikasi tentang
tingkat kesuburan suatu ekosistem perairan. Klorofil-a fitoplankton sering dijadikan
sebagai indikator kestabilan, kesuburan dan kualitas perairan, khususnya mempunyai
peranan yang penting dalam rantai makanan di ekosistem akuatik, dengan demikian nilai
kosentrasi atau kandungan klorofil-a pada fitoplankton dipengaruhi oleh faktor fisika
kimia perairan serta faktor biologi.
Nitrat dihasilkan oleh adanya proses oksidasi secara sempurna senyawa nitrogen di
perairan dengan bantuan bakteri (Effendi, 2003). Davis dan Cornwell dalam Effendi
(2003), menyatakan bahwa fosfat merupakan bentuk fosfor yang sangat berfungsi untuk
unsur esensial bagi tumbuan dan alga, sehingga unsur ini dijadikan fakor pembatas bagi

1
tumbuhan dan alga perairan. Salah satu cara untuk menganalisis klorofil-a dan total fosfat
yaitu menggunakan metode thricometric secara spektrofotometri yang dikemukakan oleh
American Public Health Association (APHA, 2005). Metode ini dilakukan dengan
beberapa tahap yaitu proses ekstraksi dan spektofotometri. Sedangkan untuk mengukur
kecerahan perairan digunakan alat ukur yaitu secchi disk.
Oleh karena itu praktek kerja lapangan (PKL) ini dilakukan untuk mempelajari serta
aplikasinya dalam penentuan tingkat kesuburan di waduk Jatiluhur
1.2 Tujuan PKL

Adapun maksud dan tujuan PKL yaitu :

1. Untuk menambah ilmu tentang pengukuran klorofil-a, total fosfat dan kecerahan
2. Untuk mengetahui kandungan klorofil-a, total fosfat dan tingkat kecerahan di waduk
Ir. H. Djuanda Purwakarta, Jawa Barat
3. Untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan berdasarkan konsentrasi klorofil-a, total
fosfat dan tingkat kecerahan di waduk Ir. H. Djuanda Purwakarta, Jawa Barat
1.3 Manfaat PKL
Hasil Praktek Kerja Lapang ini dapat dipergunakan :
1. Bagi mahasiswa
untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang metode pengukuran klorofil-a,
total fosfat dan kecerahan
2. Bagi pemerintah dan Instansi terkait
Hasil pengukuran kesuburan perairan ditinjau dari klorofil-a, total fosfat dan
kecerahan dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan pertimbangan dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Waduk Ir. H. Djuanda


Waduk Ir. H. Djuanda secara administrasi berada di Desa Jati Mekar dan Panyidagan,
Kecamatan Ir. H. Djuanda, kabupaten Purwakarta provinsi jawa Barat. Waduk ini
merupakan salah satu dari waduk kaskade, yaitu waduk Saguling, Waduk Cirata dan
Waduk Ir. H. Djuanda. Waduk Ir. H. Djuanda menerima pasokan air terbesar dari waduk
Cirata dan Waduk Saguling yang terletak di bagian hulu aliran Sungai Citaru. Selain
menerima air dari kedua waduk tersebut, waduk Ir. H. Djuanda juga menerima pasokan
air Sungai Cisomang dan Sungai Cilalawi. Waduk ini dibangun pada tahun 1957 s.d tahun
1967. Bendungan ini dibangun berdasarkan gagasan dari Prof. Ir. WJ. Van Blommestein
pada tahun 1948. Gagasan tersebut kemudian dikaji ulang oleh Ir. Van Schravendijk pada
tahun 1955. Sedangkan pada tahun 1960 Abdullah Angudi melakukan pengkajian ulang
mengenai Bendungan Ir. H. Djuanda. Waduk Ir. H. Djuanda memiliki luas 8.300 ha.
Potensi air yang tersedia sebesar 12,9 miliar m3 /tahun dengan kedalaman maksimal 90
meter dan merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia (Sari et al., 2015)
Kegunanan utama pembangunan Waduk Ir. H. Djuanda adalah sebagai pasokan air
irigasi untuk lahan seluas 242.000 ha. Selain digunakan untuk pasokan air irigasi,
bendungan ini juga digunakan untuk barbagai kegunaan dan pemanfaatannya itu
pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan daya sebesar 187,5 MW, pasokan air
minum, pengendalian banjir, perikanan darat, dan pariwisata.
2.2 Kesuburan Perairan atau Eutrofikasi
Eutrofikasi merupakan masalah yang dihadapi diseluruh dunia yang terjadi dalam
ekosistem perairan tawar maupun laut. Eutrofikasi disebabkan masuknya nutrien berlebih
terutama pada buangan pertanian dan buangan limbah rumah tangga (Tusseau-Vuilleman
2001). Kondisi kualitas air danau atau waduk diklasifikasikan berdasarkan eutrofikasi
yang disebabkan adanya peningkatan kadar unsur hara dalam air (Wiryanto et al. 2012).
Eutrofikasi diklasifikasikan menjadi empat kategori status trofik (PerMenLH No 28 tahun
2009), yaitu:

3
 Oligotrof: Status trofik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara
berkadar rendah. Status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alami belum
tercemar dari sumber unsur hara N dan P.
 Mesotrofik: Status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara
berkadar sedang. Status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar N dan P,
namun masih dalam batas toleransi karena belum menunjukkan indikasi
pencemaran air.
 Eutrofik: Status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara berkadar
tinggi. Status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar N dan P.
Hipereutrofik: Status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara
berkadar sangat tinggi. Status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh
peningkatan kadar N dan P.
2.3 Klorofil-a
Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat ditentukan oleh intensitas cahaya dan
keberadaan nutrien. Perairan laut tropis pada umumnya memiliki kandungan klorofil-a
rendah karena keterbatasan nutrien dan kuatnya stratifikasi kolom air. Tubawaloni (2007)
menyatakan bahwa stratifikasi kolom air disebabkan oleh pemanasan permukaan perairan
yang hampir sepanjang tahun. Selanjutnya bahwa berdasarkan pola persebaran klorofil-a
secara musiman maupun spasial, dibeberapa bagian perairan dijumpai kosentrasinya yang
cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena terjadinya pengkayaan nutrien pada lapisan
permukaan perairan melalui berbagai proses dinamika massa air, diantaranya upwelling,
percampuran vertikal massa air serta pola pergerakkan massa air, yang membawa massa
air kaya nutrien dari perairan sekitarnya.
Klorofil-a dipermukaan perairan dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu rendah,
sedang dan tinggi dengan kandungan klorofil-a secara berturut-turut <0,07; 0,07-0,14 dan
>0,14 mg/m3 (Hatta, 2002). Ditambahkan Legender (1983) bahwa kandungan klorofil
dengan kisaran 0,07 mg/m3 termasuk rendah, dimana klorofil tersebut sangat dipengaruhi
oleh cahaya, oksigen dan karbohidrat. Perairan laut tropis merupakan perairan yang jernih
dan cahaya matahari menyinari hampir sepanjang tahun serta memungkinkan tersedianya
cahaya pada permukaan perairan. Menurut Matsuura et al. (1997) dalam Tubawalony
(2007) bahwa sebaran konsentrasi klorofil bagian atas lapisan tercampur sangat sedikit

4
dan konsentrasinya mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan tercampur dan
menurun secara drastis pada lapisan termoklin, hingga tidak ada lagi klorofil-a pada
lapisan di bawah termoklin.
2.4 Total Fosfat
Fosfat terdapat dalam air alam atau air limbah sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat
dan fosfat organis. Setiap senyawa fosfat tersebut terdapat dalam bentuk terlarut,
tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme dalam air. Di daerah pertanian ortofosfat
berasal dari bahan pupuk yang masuk ke dalam sungai melalui drainase dan aliran air
hujan. Polifosfat dapat memasuki sungai melaui air buangan penduduk dan industri yang
menggunakan bahan detergen yang mengandung fosfat, seperti industri pencucian,
industri logam dan sebagainya. Fosfat organik terdapat dalam air buangan penduduk
(tinja) dan sisa makanan. Fosfat organic dapat pula terjadi dari ortofosfat yang terlarut
melalui proses biologis karena baik bakteri maupun tanaman menyerap fosfat untuk
pertumbuhannya. Keberadaan senyawa fosfat dalam air sangat berpengaruh terhadap
keseimbangan ekosistem perairan. Bila kadar fosfat dalam air rendah, seperti pada air
alam (< 0,01 mg P/L), pertumbuhan dan ganggang akan terhalang. Keadaan ini disebut
oligotrop. Sebaliknya bila kadar fosfat dalam air tinggi, pertumbuhan tanaman dan
ganggang tidak terbatas lagi (keadaan eutrop), sehingga dapat mengurangi jumlah oksigen
terlarut air. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi kelestarian ekosistem perairan.
Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Fosfat
dalam perairan terdapat dalam bentuk senyawa anorganik terlarut dan senyawa organik,
Senyawa fosfat ini mengalami hidrolisis menjadi bentuk ortofosfat (PO4 ) yang
dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton atau algae, fosfat tidak bersifat toksik, namun
jika diiringi dengan kelebihan kadar nitrogen, dapat menstimulir ledakan algae (algae
bloom), sehingga menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari. Keberadaan fosfat
berhubungan erat dengan tingkat kesuburan perairan. Perairan dengan tingkat kesuburan
sedang, memiliki kadar ortofosfat 0,011 – 0,03 mg/liter.
2.5 Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparasi perairan, yang ditentukan secara visual
dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan centimeter.
Niali ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, dan padatan

5
tursuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran (Effendi 2003). Kecerahan
perairan erat kaitannya dengan jumlah intensitas sinar matahari yang masuk ke suatu
perairan
Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan dikembangkan oleh
Profesor Secchi pada abad ke-19. Perairan tergenang biasannya memiliki sratifikasi
secara vertikal yang diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu
secara vertikal pada kolom air (Effendi 2003). Intensitas cahaya yang masuk ke dalam
kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Menurut Effendi (2003),
sratifikasi vertikal kolom air pada perairan tergenang berdasarkan perbedaan intensitas
cahaya yang masuk ke perairan dikelompokan menjadi 3, yaitu :
 Lapisan eufotik, yaitu lapisan yang masih mendapat cukup sinar matahari.
Pada lapisan ini oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis lebih besar
daripada oksigen yang digunakan untuk respirasi
 Lapisan kompensasi, yaitu lapisan dengan intensitas cahaya tinggal 1% dari
intensitas cahaya permukaan atau dicirikan oleh hasil fotosintesi yang sama
dengan respirasi
 Lapisan profundal, yaitu lapisan di sebelah bawah lapisan kompensasi dengan
intensitasncahaya yang kecil (disfotik) atau sudah tidak ada lagi cahaya
(afotik)
2.6 Status Trofik Carlson
Trophic State Index (TSI) adalah sistem klasifikasi yang dirancang untuk menilai
badan air berdasarkan jumlah aktivitas biologis yang mereka pertahankan. Meskipun
istilah "indeks trofik" umumnya digunakan untuk danau, setiap permukaan air dapat
diindeks. TSI badan air dinilai pada skala dari nol hingga seratus. Di bawah skala TSI,
genangan air dapat didefinisikan sebagai:

 Oligotrofik (TSI 0-40, memiliki jumlah produktivitas biologis yang paling sedikit,
kualitas air "baik");
 Mesoeutrofik (TSI 40-60, memiliki aktivitas biologis tingkat sedang, kualitas air
"adil"); atau
 Eutrofik hingga hipereutrofik (TSI 60-100, memiliki jumlah aktivitas biologis
tertinggi, kualitas air "buruk").

6
Keadaan trofik didefinisikan sebagai berat total biomassa dalam badan air yang diberikan
pada saat pengukuran. Karena mereka menjadi perhatian publik, indeks Carlson
menggunakan biomassa alga sebagai penggolong objektif danau atau status trofik badan
air lainnya. Menurut US EPA, Indeks Carlson hanya boleh digunakan dengan danau yang
memiliki sedikit tanaman berakar dan sumber kekeruhan non-alga.
Karena mereka cenderung berkorelasi, tiga variabel independen dapat digunakan untuk
menghitung Indeks Carlson : pigmen klorofil , fosfor total , dan kedalaman Secchi . Dari
ketiganya, klorofil mungkin akan menghasilkan ukuran paling akurat, karena merupakan
prediktor biomassa paling akurat. Fosfor merupakan estimasi yang jugs akurat tentang
status trofik musim panas badan air daripada klorofil jika pengukuran dilakukan selama
musim dingin. Akhirnya, kedalaman Secchi mungkin adalah ukuran yang juga akurat dan
yang paling terjangkau dan bijaksana. Akibatnya, program pemantauan warga dan survei
sukarela atau skala besar lainnya sering menggunakan kedalaman Secchi. Kedalaman
Secchi, yang mengukur transparansi air, menunjukkan konsentrasi bahan terlarut dan
partikel di dalam air, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk menurunkan biomassa.

7
BAB III

METODE DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL

3.1 Waktu dan Tempat praktek


Kegiatan praktek kerja lapang dilakukan pada tanggal 01 juli – 02 agustus 2019.
Kegiatan praktek dilakukan di waduk Ir. H. Djuanda, serta di laboratorium kimia air di
Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI) Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta,
Provinsi Jawa Barat.
3.2 Materi Kerja Praktek
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan untuk pengukuran klorofil-a, total fosfat, dan kecerahan
disajikan pada Tabel 1. Sebagai berikut
Tabel 1. Alat untuk pengukuran klorofil-a, total fosfat, dan kecerahan

No Alat Volume Fungsi


Klorofil-a
1. Depth Meter Meter Mengukur kedalaman air
2. Kemmerer water sampler - Mengambil sampel air
3. Pompa vakum & Bejana Hisap - Untuk menyaring sampel air
(klorofil)
4. Kertas saring Cellulosa nitrat - Menyaring sampel klorofil
5. Pipet ukur 10 mL Untuk memipet aseton dan aquades
6. Tabung reaksi mL Untuk menyimpan hasil penyaringan
sampel klorofil yang sudah dicampur
aseton
7. Alumunium foil Roll Untuk menutup tabung reaksi yang
sudah terisi sampel
8. Sentrifuge Rpm Untuk memisahkan larutan dan
klorofil-a
9. Spektrofotometer Nm Untuk menganalisis sampel klorofil
10. Vortex - Untuk mengaduk sampel klorofil-a

8
Total Fosfat
1. Spektrofotometer Nm Menganalisa sampel total fosfat
2. Timbangan analitik Gram Menimbang bahan kimia
3. Erlenmeyer 150 mL Menyimpan larutan
4. Labu ukur 50,100 mL Mengukur bahan yang sudah
dicampur
5. Gelas Ukur 25,50,100 Untuk mengukur volume larutan
mL
6. Pipet ukur 10 mL Untuk memipet larutan
7. Pipet Volumetrik 100 mL Memipet larutan dengan volume
yang ditentukan
8. Pipet tetes - Memipet larutan dalam jumlah
sedikit
9. Filter - Untuk menghisap larutan
10. Gelas beaker 150 mL Tempat untuk menyimpan dan
membuat larutan
Kecerahan
1. Secchi disk meter Untuk mengukur kececahan air
2. Besi pemberat Sebagai pemberat

3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan untuk pengukuran klorofil-a, total fosfat, dan kecerahan
dapat disajikan dalam Tabel 2. berikut :
Tabel 2. Bahan untuk pengukuran klorofil-a, total fosfat, dan kecerahan
No. Bahan Volume Fungsi
Klorofil-a
1. Air sampel - Untuk pengujian klorofil-a
2. Aquades - Untuk melarutkan aseton menjadi
90%
3. MgCO3 - Untuk mencegah pengasaman

9
akibat bakteri
4. Aseton 90% - Media untuk melarutkan sampel
klorofil-a
Total Fosfat
1. Larutan asam sulfat (𝐻2 𝑆𝑂4 ) 5N - Sebagai reagen

2. Larutan kalium antimonil tartat - Sebagai reagen


(K(SbO) 𝐶4 𝐻4 𝑂6½𝐻2 )
3. - Sebagai reagen
Larutan ammonium molibdat
((N𝐻4 )6M0o7O24.4𝐻2 O)
4. - Sebagai reagen
Larutan asam askorbat
( 𝐶6 𝐻8 𝑂6 ) 0,1 M
- -
Kecerahan

3.3 Metode Kerja Praktek


3.3.1 Teknik Pengambilan Sampel
Metode yang digunakan dalam kerja praktek ini yaitu metode survey.
Pengambilan sampel dilakukan melalui purposive sampling, yaitu pengambilan data
dengan alasan dan pertimbangan tertentu dengan sengaja untuk mendapatkan sampel yang
mewakili baik area maupun kelompok sampel sehingga didapat gambaran lokasi
penelitian secara keseluruhan. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan sampel survey method. Metode penelitian sampel adalah metode
pengambilan sampel dengan mengambil data hanya sebagian dari populasi yang nantinya
diharapkan dapat mengambarkan sifat populasi dari obyek penelitian (Hadi, 1998).
Pengambilan sampel dilakukan pada 7 stasiun dengan tiga kali ulangan yaitu Sodong,
Pyingkiran, Astab, Pulau Aki, Pasir Jangkung, Pasir canar, dan Cilalawi dapat dilihat pada
peta lokasi berikut ini :

10
Gambar 1. Peta Lokasi Pengamatan
3.3.2 Parameter Kerja Praktek
Parameter yang diamati dalam kerja praktek ini yaitu kandungan klorofil-a, total
fosfat dan kecerahan.
3.3.3 Prosedur kerja
1. Pengambilan Sampel Air
Pengambilan sampel dilakukan dengan kapal motor untuk mencapai 5 stasiun.
Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan kwmmerer water sampler pada
kedalaman 0, 4, 8 (untuk sampel air klorofil-a) dan 0, 4, 8, dasar (untuk sampel air total
fosfat). Untuk sampel klorofil-a diawetkan dengan larutan MgCO3 dalam botol sampel
250 mL sebanyak 20 tetes atau 1 mL, sedangkan untuk sampel air total fosfat digunakan
cool box untuk didinginkan. Larutan MgCO3 dibuat dengan cara menambahkan 1 gram
MgCO3 dimasukan kedalam gelas ukur 100 ml.
2. Pengukuran Kecerahan

11
Pengukuran kecerahan menggunakan Secchi disk yaitu dengan cara Secchi disk
ditenggelamkan ke dalam perairan secara perlahan hinngga tak terlihat. Lalu catat angka
yang terdapat pada skala tali secchi disk (dicatat sebagai k1). Setelah itu, secchi disk
ditarik dari kedalaman secara perlahan sampai secchi disk tersebut hampir terlihat, dan
catat angka yang tertera pada skala tali (dicatat sebagai k2).Lalu hitung kecerahan dengan
rumus :

𝑘1+𝑘2
D= , D = nilai kecerahan (m)
2

3. Analisi Klorofil-a
1. Penyaringan sampel
Sampel disaring dengan kertas saring porositas 0,45 µm menggunakan pompa vakum
2. Ekstrasi
Setelah disaring ,kertas saring dilipat kecil kemudian dimaukan ke dalam tabung
reaksi, tambahkan larutan aseton 90% sebanyak 10 ml, tabung reaksi kemudia ditutup
dengan alumunium foil agar tidak tembus cahaya kemudian diinkubasi selama 24
jam. Setelah 24 jam, sampel diaduk dengan batang pengaduk hingga larut kemudian
disentrifuge dengan kecepatan 500 rpm selama 20 menit.

3.Prinsip
Prinsip dasar penentuan klorofil-a dengan metode Trichometric adalah penyerapan
energy cahaya pada panjang gelombang visible oleh analit. Pengukuran absorbansi
dilakukan pada tiga panjang gelombang yaitu 750, 664, 647, 630 nm yang merupakan
panjang gelombang maksimum untuk klorofil a, b, dan c. tujuan dilakukannya
pengukuran pada panjang gelombang tersebut adalah untuk mengurangi kesalahan
atau gangguan pengukuran akibat adanya klorofil b dan c dalam sampel.
Perhitungan klorofil –a dilakukan dengan rumus sebagai berikut :

Ca = 11,8 (OD664) – 1,54 (OD647) – 0,08 (OD630)


Ca x Volume terekstrak (L)
Klorofil-a =
Volume sampel
Dimana :

12
 OD664 adalah absorbansi sampel pada λ664 nm dengan faktor koreksi
turbidimetri pada λ750 nm
 OD667 adalah absorbansi sampel pada λ667 nm dengan faktor koreksi
turbidimetri pada λ750 nm
 OD630 adalah absorbansi sampel pada λ630 nm dengan faktor koreksi
turbidimetri pada λ750 nm
4. Analisis Total Fosfat
Pipet 100 mL sampel dengan pipet volume, masukan beaker glass 125 mL,
tambahkan 1 mL 𝐻2 𝑆𝑂4 pekat secara hati-hati ( lakukan di dalam lemari asam),
tambahkan 5 mL 𝐻𝑁𝑂3 pekat secara hati-hati (lakukan di dalam lemari asam),
tambahkan 3 buah batu didih, panaskan diatas hot plate sampai volume larutan kurang
lebih 1 mL (lakukan di dalam lemari asam), dinginkan larutan, tambahkan 20 mL
aquades, tambahkan 1 tetes indicator pp ( phenolphthalein), tambahkan NaOH 1 N tetes
demi tetes hingga larut pink, encerkan kembali dengan aquades sampai volume 100 mL,
pipet 50 mL dengan pipet volume, masukan kedalam erlenmeyer, lakukan uji orthofosfat.
Tambahkan 1 tetes indikator pp (phenohptalein), bila berubah menjadi warna merah
muda, tambahkan satu atau beberapa tetes sampai berubah menjadi bening , selanjutnya
tambahkan larutan campuran sebanyak 8 ml (tunggu selama 10 menit), setelah itu
masukan air sampel kedalam kuvet, masukan kuvet yang telah terisi air sampel ke dalam
spektrofotometer, catat hasilnya.
Prinsip dasar dalam penentuan fosfat total adalah dalam suasana asam kalium antimotil
tatra akan bereaksi dengan ammonium molibdat membentuk senyawa fosfor molidenum
kemudian direduksi dengan asam askorbad membentuk senyawa biru (fosfat).

Perhitungan menggunakan rumus dibawah ini :

c−a
TP (mg/L) =
b

Keterangan : a = intercept pada persamaan linear

b = slop pada persamaan linear


c = absorbansi

13
3.3.4 Perhitungan Carlson’s trophic state index (CTSI)
Perhitungan rata-rata TSI (Carlson 1977) adalah :
TSI for Secchi depth (SD) TSI = 60-14,41 ln secchi depth (Meters)
TSI for Total phosphorus (TP) TSI = 14,42 ln Total phosphorus (µg/L) + 4,15
TSI for Chlorophyll-a (CA)TSI = 9,8 ln Chlorophyll-a (µg/L) + 30,6

[TSI(SD)+ TSI (TP) + TSI (CA)]


Carlson’s thropic state index (CTSI) =
3
Keterangan :
SD = Secchi disk (m)
TP = Total Fosfor (µg/L)
CHL = klorofil-a (µg/L)

Kategori Status Trofik berdasarkan pada Carlson (1997) dalam Kementrian


Negara Lingkungan Hidup (2008) dapat disajikan pada Tabel 3. dibawah ini :
Tabel 3. Kategori Status Trofik
Skor Status trofik Keterangan
<30 Ultraoligotrofik Kesuburan perairan sangat rendah. Air jernih, konsentrasi
oksigen terlarut tinggi sepanjang tahundan mencapai zona
hypolimmion
40-50 Oligotrofik Kesuburan perairan rendah. Air jernih, dimungkinkan
adanya pembatasan anksik pada zona hypolimnetik secara
periodic (DO:0)
30-40 Mesotrofik Kesuburan perairan sedang. Kecerahan airsedang,
peningkatan perubahan sifat anoksik di zona hypolimnetik,
secara estetika masih mendukung untuk kegiatan olahraga
air.
50-60 Eutrofik ringan Kesuburan perairan tinggi. Penurunan kecerahan air,
zoahypolimnetik bersifat anoksik, terjadi masalah tanaman
air, hanya ikan-ikan yang mampu hidup di air hangat,
mendukung kegiatan olahraga air tetapi perlu penanganan

14
60-70 Eutrofik sedang Kesuburan perairan tinggi. Didominasi oleh alga hijau-
biru, terjadi penggumpalan, masalah tanaman air sudah
ekstensif
70-80 Eutrofik berat Kesuburan perairan tinggi. Terjadi bloming algae, tanaman
air membentuk lapisan seperti hypereutrofik
>80 Hypereutrofik Kesuburan perairan sanggat tingi. Terjadi gumpalan alga,
sering terjadi kematian ikan, tanaman air sedikit
didominasi oleh alga.

15
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian


Waduk Ir. H. Djuanda adalah waduk serbaguna yang pertama kali dibangun di
Indonesia. Terletak di kabupaten Purwakarta Provinsi Jawa Barat, yang berada pada titik
koordinat 6°29’ LS - 6°41’ dan 107°18’ BT - 107°24’ BT. Waduk Ir. H. Djuanda
memiliki luas 8.300 ha dengan ketinggian 10 mdpl (meter di atas permukaan laut). Secara
topografi waduk ini terletak pada suatu cekungan. Luas permukaan air waduk sebesar 83
km2 . Kedalaman rata-rata waduk yaitu 35,59 m dengan kedalaman maksimum 97 m.
F:uktuasi tinggi muka air antara 92,9-106,8 mdpl atau sekitar 13,9 m/tahun (PJT II, 2005).
Berdasarkan sifat fisik, kimia dan biologinya waduk Ir. H. Djuanda dibagi menjadi
tiga zona yaitu zona mengalir (riverin), transisi dan tergenang (lakustrin) (Thornton et al.,
1981 dalam Thornton et al.,1990). Zona mengalir di sumber air utama (sumber air yang
berasal dari out let waduk Cirata dan sungai Cilalawi) yang kemudian dijadikan lokasi
pengambilan sampel yang merupakan in let dari Waduk Ir. H. Djuanda yaitu stasiun
sodong dan stasiun Sungai Cilalawi yang cenderung bervariasi tergantung dari tinngi
rendahnya elevasi air (tergantung musim). Kelima stasiun lainnya adalah Pulau Aki,
Payingkiran, Pasir Canar, Pasir Jangkung, dan Astab. Penentuan lokasi pengambilan
sampel tersebut didasarkan pada lokasi yang paling memberikan pengaruh terhadap
perubahan kualitas perairan di Waduk Ir. H. Djuanda terhadap faktor lingkungan disekitar
lokasi pengambilan sampel. Kelima stasiun pengambilan sampel tersebut juga mewakili
luasan secara keseluruhan wilayah Waduk Ir. H. Djuanda.
4.1.1 Sodong
Sodong merupakan in let pertama yang mengalirkan massa air dari waduk Cirata
menuju Waduk Ir. H. Djuanda. Zona mengalir yang membawa massa air cukup banyak ini
sekaligus membawa senyawa organik maupun hara yang melimpah. Hal tersebut
berdampak pada banyak sekali ditemukannya eceng gondok pada permukaan perairan
kawasan Sodong. Pengambilan sampel yang dilakukan pada kawasan ini memiliki
koordinat stasiun S 06°38’373” dan E 107°17’798”. Kedalaman stasiu Sodong yaitu 13
m. Cuaca saat pengambilan sampel cerah dengan suhu udara 30°C

16
4.1.2 Payingkiran
Kondisi stasiun Payingkiran terdapat tumbuhan eceng gondok dan juga merupakan
daerah KJA, warna airnya hijau tua dengan kedalaman 15,2 m. Pengambilan sampel yang
dilakukakan pada kawasan ini memilki koordinat stasiun S 06°34’59,8” dan E
107°18’06,7”. Pada saat pengambilan sampel di stasiun Payingkiran cuacanya cerah
dengan suhu udara 32°C
4.1.3 Astab
Stasiun Astab merupakan daerah KJA dimana terdapat tumbuhan eceng gondok
dan memiliki warna air yang berwarna hijau tua dengan kedalaman 53 m. Pengambilan
sampel pada kawasan ini memilki koordinat stasiun S 06°34’63,6” dan E 107°24’63.6”.
Sama halnya dengan kawasan lain pengambilan sampel di daerah ini pada saat cuacanya
cerah dengan suhu udara 31°C
4.1.4 Pulau Aki
Pulau Aki merupakan daerah bebas KJA dengan warna airnya hijau tua dan tidak
ada tumbuhan dan aktivitas nelayan disekitarnya. Koordinat lokasi Pulau Aki adalah S
06°31’06,6” dan E 107°22’14,4”. Kedalaman perairan stasiun Pulau Aki yaitu 35.7 m.
Cuaca saat pengambilan sampel yaitu cerah dengan suhu udara 31°C.
4.1.5 Pasir Jangkung
Pasir Jangkung merupakan daerah KJA dengan waerna airnya hijau tua dan tidak
ada tumbuhan disekitarnya. Koordinat lokasi saat pengambilan sampel yaitu S
06°32’33,5” dan E 107°22’02,5” dengan kedalaman perairan yaitu 37,9 m. Cuaca ketika
pengambilan sampel cerah dengan suhu udara 29°C.
4.1.6 Pasir Canar
Pasir Canar merupakan daerah KJA dimana warna airnya hijau tua, tidak ada
tumbuhan disekitarnya. Koordinat lokasi saat pengambilan sampel yaitu S 06°32’56,7”
dan E 107°23’20,3” dengan kedalaman perairan 50.5 m . Cuaca saat pengambilan sampel
cerah dengan suhu udara 30°C.
4.1.7 Cilalawi
Sungai Cilalawi merupakan salah satu anak sungai dari Sungai Citarum yang
merupakan sumber limpasan massa air ke dalam Waduk Ir. H. Djuanda selain dari Waduk
Cirata, maupun anak sungai lainnya. Koordinat lokasi tersebut adalah S 06°34’22,1” dan

17
E 107°24’29,6” . Kedalaman perairan stasiun Cilalawi yaitu 0 oleh sebab itu pengambilan
sampel hanya bisa diwakili oleh kedalaman 6 m. Cuaca saat pengambilan sampel yaitu
cerah dengan suhu udara 33°C. karena sungai Cilalawi merupakan salah satu in let dari
waduk Ir. H. Djuanda kondisi arusnya cenderung lambat.
4.2 Parameter Utama Penentu Kesuburan Perairan
4.2.1 Kecerahan
Hasil pengukuran kecerahan di perairan waduk Ir. H. Djuanda Jatiluhur dapat
disajikan pada Tabel 4. dibawah ini :

Tabel 4. Hasil Pengukuran Kecerahan

No. Stasiun Pengamatan Kecerahan (m)


1 Sodong 0.8
2 Payingkiran 1.65
3 Astab 1.2
4 Pulau Aki 1
5 Pasir Jangkung 1.2
6 Pasir Canar 1.8
7 Cilalawi 0.9

Kecerahan (m)
2
1.8
1.6
Kecerahan (m)

1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0

Gambar 2. Grafik Hasil Pengukuran Kecerahan

18
Hasil pengukuran kecerahan berdasarkan grafik, bahwa nilai rata-rata nilai
kecerahan tertinggi terdapat pada stasiun 2 Payingkiran yaitu 1,65 m. sedangkan
kecerahan terendah berada pada stasiun 1 Sodong yaitu 0,8 m. Nilai kecerahan di
perairann disebabkan oleh nilai padatan terlarut yang tinggi. Hal ini member dampak
terhadap rendahnya penetrasi cahaya yang masuk ke perairan. Kecerahan akan
mempengaruhi daya tembus cahaya matahari sehingga kekeruhan yang tinggi dapat
menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis dan oksigen di perairan rendah (sari
dkk,2015).
4.2.2 Klorofil-a
Berdasarkan pengamatan pada 7 stasiun maka data hasil pengukuran klorofil-a
dapat disajikan pada Tabel 5. berikut:
Tabel 5. Nilai absorbansi pada pengukuran klorofil-a
Stasiun Pengamatan Absorbansi (nm)
750 664 647 630
Sodong 0,070 0,183 0,118 0,106

0,029 0,083 0,048 0,043

0,143 0,195 0,198 0,205

Payingkiran 0,040 0,086 0,060 0,058

0,057 0,115 0,082 0,080

0,266 0,361 0,326 0,329

Astab 0,184 0,268 0,250 0,258

0,269 0,350 0,320 0,321

0,249 0,334 0,302 0,304

Pulau Aki 0,035 0,111 0,061 0,057

0,071 0,126 0,091 0,088

0,008 0,059 0,023 0,020

Pasir Jangkung 0,010 0,081 0,031 0,027

19
0,033 0,095 0,053 0,049

0,638 0,791 0,783 0,802

Pasir Canar 0,154 0,210 0,183 0,183

0,391 0,483 0,470 0,480

0,051 0,088 0,062 0,060

Cilalawi 0,744 0,879 0,869 0,884

0,821 0,957 0,946 0,961

Klorofil-a (µg/L)
0.00 20.00 40.00 60.00 80.00
0

1 Sodong
2 Payingkiran

3 Astab
Kedalaman (m)

Pulau Aki
4
Pasir Jangkung
5
Pasir Canar
6 Cilalawi
7

Gambar 3. Grafik Konsentrasi Klorofil-a

Berdasarkan grafikdiatas, terlihat bahwa kandungan klorofil-a tertinggi terdapat


pada stasiun Pasir Jakung pada kedalaman 8 m, yaitu dengan nilai klorofil-a sebesar 63,07
mg/m3 . Sedangkan nilai klorofil-a terendah terdapat pada stasiun Pasir Canar pada
kedalaman 8m dengan nilai konsentrasi klorofil-a sebesar 16,83 mg/m3 . Rendanya
konsentrasi klorofil-a tersebut disebabkan oleh rendahnya kandungan kandungan unsur
hara dan terletak di daerah pemukiman penduduk. Kandungan klorofil-a pada fitoplankton

20
disuatu perairan dapat digunakan sebagai salah satu ukuran biomassa fitoplankton dan
dijadikan petunjuk dalam melihat kesuburan perairan (Hidayat, 2013)
Keberadaan klorofil-a di perairan ini sangat tinggi karena di pengaruhi oleh
tingginya kandungan unsure hara di sekitarnya, dan adanya pengadukan air sehingga
terjadinya pengkayaan unsure hara dari dasar menuju kepermukaan. Selain itu
fitoplankton mengandung klorofil-a sehingga tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton
dapat mempengaruhi besar kecilnya kandungan klorofil-a di suatu perairan
(Aryawati,2011) . Faktor lain yang mempengaruhi tingginya klorofil-a adalah suhu air
yang berkisar antara 20°C-30°C dikatakan optimal untuk kehidupan dan pertumbuhan
fitoplankton (Effendi,2003).
4.2.3 Total Fosfat
Kurva hubungan larutan standar fosfat dan nilai absorbansi merupakan kurva
kalibrasi yang digunakan untuk perhitungan Total Fosfat dapat disajikan pada Gambar 4
berikut ini
0.7
y = 0.6188x + 0.0002
0.6 R² = 1.0000

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0
0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200

Gambar 4. Kurva Kalibrasi

Kurva yang digunakan adalah kurva dengan nilai koefisien determinasi terbesar dan nilai
intersep terkecil. Hal ini dikarenakan semakin kecil nilai intersep maka nilai konsentrasi
fosfat yang diperoleh nantinya semakin tepat. Idealnya, intersep adalah nol. Hal ini
disebabkan ketika blanko diukur maka diharapkan tidak ada respon instrument yang

21
terjadi. Namun kenyataanya seringkali ditemukan respon instrument terjadi disebabkan
adanya interaksi , noise, atau sumber-sumber bias lainnya.
Hasil pengukuran total fosfat yang dilakukan di laboratorium kimia air dapat disajikan
pada Tabel 6. di bawah ini :
Tabel 6. Hasil pengukuran total fosfat

Kedalaman
Absorbansi
Stasiun Pengamatan (m)

Sodong 0 0.076
4 0.083
8 0.092
Payingkiran 0 0.078
4 0.063
8 0.049
Astab 0 0.068
4 0.069
8 0.068
Pulau Aki 0 0.088
4 0.076
8 0.056
Pasir Jangkung 0 0.064
4 0.031
8 0.069
Pasir Canar 0 0.052
4 0.063
8 0.045
Cilalawi 0 0.053
4 0.061

22
Total P (mg/L)
0.000 0.050 0.100 0.150 0.200
0
1 Sodong
Payingkiran
2
Astab
3
Kedalaman (m)

Pulau Aki
4
Pasir Jangkung
5
Pasir Canar
6
Cilalawi
7
8
9

Gambar 5. Grafik Hasil Pengukuran Total Fosfat

Berdasarkan grafik diatas, hasil pengukuran total fosfat tertinggi terdapat pada
stasiun Sodong pada kedalaman 8 m dengan nilai sebesar 0,148 mg/L. Sedangkan total
fosfat terendah berada pada stasiun Pasir Jangkung dengan kedalaman 4 m diamana
nilainya sebesar 0,50 mg/L. Tingginya total fosfat di suatu perairan danau disebabkan
karena banyaknya bahan organik maupun an-organik yang masuk kedalam bada perairan
tersebut. Sumber utama fosfat an-organik terutama berasal dari penggunaan deterjen, dan
berasal dari industri pupuk pertanian. Sedangkan fosfat organik berasal dari makanan dan
buangan rumah tangga. Kelebihan fosfat di perairan menyebabkan peristiwa peledakan
pertumbuhan alga (eutrofikasi) dengan efek samping menurunnya konsentrasi oksigen
dalam badan air sehingga menyebabkan kematian biota air (Rahmayati,2010)
4.3 Tingkat Kesuburan Perairan Berdasarkan Indeks Carlson
Status trofik merupakan indicator tingkat kesuburan perairan yang dapat diukur
dari unsure hara (nutrient) dan tingkat kecerahan serta aktivitas biologi lainnya yang
terjadi disuatu badan air.
Hasil tingkat kesuburan perairan berdasarkan indeks Carlson di perairan Waduk Ir.
H. Djuanda Jatiluhur dapat disajikan pada Tabel 7. berikut ini :
Tabel 7. Hasil Pengukuran Trophic Status Index’Carlson

23
Stasiun Kedalaman TSI CA TSI TP TSI SD Ktegori Status
CTSI
(m) (µg/L) (µg/L) (m) Trofik
Sodong
0 69.07 73.48 63.21 68.59 Eutrofik Sedang
4 61.93 74.76 63.21 66.63 Eutrofik Sedang
8 60.49 76.24 63.21 66.65 Eutrofik Sedang
Rata-rata Eutrofik
63.83 74.83 63.21 67.29 Sedang
Payingkiran
0 60.24 73.86 52.79 62.29 Eutrofik Sedang
4 62.52 70.77 52.79 62.03 Eutrofik Sedang
8 67.06 67.13 52.79 62.33 Eutrofik Sedang
Rata-rata Eutrofik
63.27 70.59 52.79 62.22 Sedang
Astab
0 76.09 71.87 57.37 68.45 Eutrofik Sedang
4 65.50 72.08 57.37 64.99 Eutrofik Sedang
8 65.98 71.87 57.37 65.08 Eutrofik Sedang
Rata-rata Eutrofik
69.19 71.94 57.37 66.17 Sedang
Pulau Aki
0 65.29 75.60 60.00 66.97 Eutrofik Sedang
4 62.09 73.48 60.00 65.19 Eutrofik Sedang
8 61.45 69.06 60.00 63.50 Eutrofik Sedang
Rata-rata Eutrofik
62.94 72.72 60.00 65.22 Sedang
Pasir Jangkung
0 64.69 71.00 57.37 64.35 Eutrofik Sedang
4 63.32 60.49 57.37 60.40 Eutrofik Sedang
8 71.26 72.08 57.37 66.90 Eutrofik Sedang
Rata-rata Eutrofik
66.42 67.86 57.37 63.89 Sedang
Pasir canar
0 62.04 67.99 51.54 60.52 Eutrofik Sedang
4 66.40 70.77 51.54 62.90 Eutrofik Sedang
8 58.30 65.90 51.54 58.58 Eutrofik Ringan
Rata-rata Eutrofik
62.25 68.22 51.54 60.67 Sedang
Cilalawi
0 70.06 68.27 61.52 66.62 Eutrofik Sedang
4 70.14 70.30 61.52 67.32 Eutrofik Sedang
Rata-rata Eutrofik
70.10 69.29 61.52 66.97 Sedang

24
Berdasarkan tabel, bahwa nilai rata-rata CTSI yang lebih tinggi terdapat pada
stasiun Sodong dengan nilai rata-rata TSI 67,29. Sedangkan nilai terendah pada stasiun
Pasir Canar dengan nilai rata-rata TSI 60,67. Tingginya kesuburan perairan pada stasiun
Sodong diduga karena kawasan ini merupakan daerah akumulasi nutrient seperti nitrat
dan fosfat, sehingga kawasan tersebut merupakan kawasan potensial terjadinya
penyuburan perairan. Kandungan fosfat yang tinggi dapat meningkatkan biomassa
tumbuhan air. Menurut Machub dkk 2003, terjadinya eutrofikasi di suatu perairan danau
atau waduk dapat dilihat dari berbagai indikator yaitu : (1) menurunnya oksigen terlarut,
(2) meningkatnya zat hara yaitu nitrogen dan fosfor badan air, (3) menurunnya transparasi
perairan dan (4) meningkatnya padatan tersuspensi terutama yang mengandung bahan
organik.
Secara umum berdasarkan nilai rata-rata CTSI yang diperoleh dari setiap stasiun
maka kondisi perairan Waduk Ir.H Djuanda Jatiluhur termasuk kedalam kelompok
eutrofik dengan nilai rata-rata maksimum 67,29 dan nilai rata-rata minimum 60,67.

25
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini maka dapat disimpulknan
bahwa:

1. Dengan dilakukannya praktek kerja lapangan ini dapat dipahami mengenai


pengukuran kecerahan di lapangan, pengambilan sampel air di lapangan serta
pengujian klorofil-a dan total fosfat di laboratorium.
2. Berdasarkan hasil dari praktek kerja lapangan kandungan klorofil-a tertinggi terdapat
pada daerah Pasir Jangkung kedalaman 8 m dan terendah terdapat pada daerah Pasir
Canar kedalaman 8 m, sedangkan kandungan total fosfat tertinggi terdapat di daerah
Sodong kedalaman 8 m dan terendah terdapat pada daerah Pasir Jangkung kedalaman
4 m serta nilai kecerahan tertinggi terdapat pada daerah Payingkiran dan terendan
terdapat pada daerah Sodong.
3. Berdasarkan hasil dari praktek kerja lapangan, kesuburan di perairan Waduk Ir. H.
Djuanda Purwakarta, Jawa Barat tergolong kedalam kategori status Eutrofik Sedang.

5.2 Saran

Tingkat Kesuburan Perairan di Waduk Ir. H. Djuanda tergolong tinggi oleh karena itu
pengembangan kerama jaring apung pada waduk harus memperhatikan daya dukung
perairan dan tidak dikembangkan daya dukung intensif.

26
DAFTAR PUSTAKA

APHA. 1965. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Waste Water,
12𝑡ℎ edition. AWWA-WPFC. New York

Aryawati, R dan Thoha, H.2011. Hubungan Kandungan Klorofil-A dan Kelimpahan


Fitoplankton di Perairan Berau Kalimantan Timur. Maspari journal,2(1),8994.

Carlson R.E.1997.A. Tropic State index for lakes.limnology and oceanograph.22(2):361-369

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Cetakan Kelima. Yogjakarta : Kanisius

Garno, Y.S. 2003. Status Kualitas Perairan Waduk DJUANDA.J.Tek.ling P3TL-BPPT 4 (3):
128-135

Hadi, S. 1998. Metodologi Research Jilid IV. Penerbit Andi Offset: Yogyakarta.

Hatta, M. 2002. Hubungan Antara Klorofil-a dan ikan Pelagis. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Hidayat,R. Viruly,L dan Azizah,D.2013. Kajian Kandungan Klorofil-a pada Fitoplankton


Terhadap Parameter Kualitas Air di Teluk Tanjung Pinang Kepulauan Riau.
Universitas Maritim Raja Ali Haji

Legender, L. 1983. Nmerical Ecology. Elveries Scientifik Publishing Camphony.

PJT II (Perusahaan Umun Jasa Tirta II). 2005. Perusahaan Umum Jasa Tirta II dalam
Pengelolaan dan Pemanfaatan Waduk Ir. H. Djuanda untuk Perikana Budidaya Ikan
dalam Keramba Jaring Apung. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya dan ACIAR.

Rumhayati, B. 2010. Study Senyawa Fosfat dalam Sedimen dan Air Menggunakan Teknik
Diffusive Gradient in Thin Films (DGT). Jurnal ilmu dasar, 11(2), 160-166.

Sari, H. M., B. Sulardino, S. Rudiyanti. 2015. Kajian Kesuburan Perairan di Waduk Ir. H.
Djuanda Purwakarta Berdasarkan Kandungan Nutrien dan Struktur Komunitas
Fitoplankton. Diponegoro Journal of Maquares. 4 (3) : 123-131

Thornton, K.W., B.L Kimmel and F.E Payne. 1990. Reservoir Limnology : Ecology
Perspective. John Wiley & Sons. Inc, New York. 246 p.

Tubawaloni, S. 2007. Produktivitas Primer Perairan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

27
LAMPIRAN 1

Visi, Misi, Tugas dan Fungsi dari Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan

 Visi

Visi BRPSDI mendukung visi KKP sesuai dengan tugas fungsinya, yaitu :

“Menjadi lembaga riset yang menyediakan IPTEK pemulihan sumberdaya ikan untuk
mendukung pengelolaan sumberdaya ikan yang rasional dan berkelanjutan ”

 Misi
BRPSDI menerapkan misi sebagai berikut :
1. Melaksanakan riset untuk menghasilkan penguasaan, pengembangan dan
pemanfaatan IPTEK dalam pemulihan sumberdaya ikan sehingga menjadi
pusat acuan dalam pemanfaatan teknologi pemulihan sumberdaya ikan.
2. Meningkatkan pengembangan pemanfaatan teknologi pemulihan sumberdaya
ikan yang menyentuh kepentingan masyarakat luas serta dapat diserap dan
dimanfaatkan oleh pengguna.
3. Menumbuhkan jejaring kerjasama dan kemitraan antar lembaga riset baik di
dalam maupun luar negeri serta membangun kemitraan dengan pelaku usaha
untuk peningkatan ketahanan pangan dan pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan secara optimal.
4. Menerapkan sistem manajemen mutu kegiatan manajerial dan riset pemulihan
sumberdaya ikan.
 Tugas
BRPSDI adalah Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kelautan dan Perikanan di bidang
riset pemulihan sumberdaya ikan perairan tawar dan laut, yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala Badan yang menangani riset kelautan dan perikanan
serta pengembangan sumberdaya manusia kelautan dan perikanan.
 Fungsi
1. Penyusunan rencana program dan anggaran, pemantauan, evaluasi, dan laporan.

28
2. Pelaksanaan riset pemulihan sumberdaya ikan perairan tawar dan laut yang
meliputi riset pemulihan sumberdaya ikan, mencakup restocking sumberdaya
ikan, dan rehabilitasi/ restorasi habitat.
3. Pelayanan teknis, jasa, informasi, komunikasi dan pengelolaan kerja sama riset.
4. Pengelolaan prasarana dan sarana riset, dan
5. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

Struktur Organisasi Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan

KEPALA

SUB BAGIAN TATA USAHA

TA

SEKSI TATA OPERASIONAL SEKSI PELAYANAN TEKNIS

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

Fasilitas dan Peralatan Lapangan BRPSDI Purwakarta


1. Laboratorium Biologi Ikan
Laboratorium Biologi ikan merupakan salah satu sarana penunjang kegiatan penelitian
dalam identifikasi taksonomi ikan, udang, dan kepiting, pengamatan kebiasaan
makanan dan reproduksi ikan, udang, dan kepiting.
Sebagai sarana penunjang, Laboratorium Biolog iIkan BRPSDI dilengkapi dengan
mikroskop binokuler CX 21 (micro identification), mikroskop stereozoom SZ 61
(macro identification), magnifier fluorescent work light (macro identification), buku-
buku identifikasi, freezer, lemari sample yang diawetkan dan peralatan survey perairan
umum daratan, estuaria dan laut.

29
Parameter Uji : - Jenis pakan alami
- Taksonomi ikan, udang, kepiting sampai genus & spesies
- Fekunditas
- Diameter telur
2. Laboratorium Plankton dan Larva
Laboratorium Plankton & Larva BRPSDI melakukan kegiatan pengamatan parameter
kualitas air dari segi biologi dengan mengamati jenis-jenis plankton serta larva ikan
dari perairan darat maupun laut dalam bentuk data cacahan dan kelimpahan.
Laboratorium dilengkapi dengan instrument pengamatan berupa mikroskop binokuler
CX 31, mikroskop stereozoom SZX 7, mikroskop inverted CKX 41, mikroskop
stereozoom dengan kamera dan buku-buku identifikasi.
Parameter Uji : - Fitoplankton dan Zooplankton
- Identifikasi jenis-jenis plankton sampai genus
- Identifikasi larva ikan sampai family
3. Laboratorium Kimia Air
Laboratorium kimia BRPSDI melakuka kegiatan pengamatan parameter kualitas air
meliputi oksigen terlarut, total Dissolved Solid (TDS), Total Suspended Solid (TSS),
nitrat, nitrit, ammonium, orthofosfat,sulfat, zat organik total, klorofil-a salinitas,
konduktivitas, pH. Laboratorium dilengkapidengan instrument Spektrofotometer,
Oven, Inkubator, Eksikator, Neraca Analitik, Fortex, Sentrifuge, Stirer, Hot Plate,
Aquadesilator. Untuk keperluan survey lapangan, laboratorium kimia dilengkapi
dengan Water Quality Checker yaitu Horbia dan YSI, Deep Meter, serta Refraktometer
4. Laboraturium Genetik
Laboratorium genetik secara khusus didedikasikan untuk mendukung tugas dan fungsi
BRPSDI dalam memperoleh informasi karakteristik genetika populasi yang dibutuhkan
dalam pemulihan sumberdaya ikan.
Laboraturium yang aktif mulai tahun 2017 ini dilengkapi dengan instrumen riset
genetik yang meliputi kyrate PCR thermocyter, Shimadzu Nanodrop
Spectrophotometer, UVP illuminator, Sentrifuge dan Instrumen penunjang lain untuk
menunjang kegiatan ekstraksi DNA hingga visualisasi fragmen DNA.
Parameter Uji : RAPD, RFLP

30
5. Laboraturium Bentos
Laboraturium Bentos BRPSDI merupakan salah satu sarana penunjang kegiatan
penelitian dalam pengamatan sedimen dan bentos (makrozoobentos).
Laboraturium dilengkapi dengan mikroskop stereo, kaca pembesar, saringan bentos
dan shaker, dan buku-buku identifikasi.
Parameter Uji : Makrozoobentos, Indeks keragaman, keseragaman, dan doinasi
makrozoobentos.
6. Laboraturium Data
Laboraturium Data BRPSDI merupakan salah satu pelaksana teknis di bidang
pengelolaan data yang berhubungan dengan informasi tekhnologi, yang berada di
bawah Seksi Tata Operasional BRPSDI. Kegiatan Lab. Dataa meliputi pengelolan
jaringan (LAN), jaringan internet, website BRPSDI, peneglolaan dan maintenance
peralatan komputer dan pengelolaan data (rawdata dan metadata).
Laboratorium Data BRPSDI sudah dilengkapi dengan peralatan yang memadai seperti
komputer GIS, laptop, mini server, cloud router mikrotik CCR1036-12G-4S, gigabit
LAN.
7. Perpustakaan
Perpustakaan BRPSDI merupakan salah satu pelaksana teknis di bawah Seksi
Pelayanan Teknis BRPSDI yang tidak hanya melayani kebutuhan literatur para
pegawai BRPSDI, namun juga mahasiswa atau masyarakat umum yang membutuhkan
layanan yang diberikan, antara lain: sirkulasi (peminjaman dan pengembalian) buku
dan penelusuran informasi.

31
LAMPIRAN 2
Dokumentasi Beberapa Alat dan Bahan yang Digunakan Untuk Pengujian Klorofil-a
dan Total Fosfat

Aseton 90% 25 ml Kertas Saring Selulosa Nitrit

Reagen Campuran
Batu Didih

𝐻2 𝑆𝑂4 pekat dan 𝐻𝑁𝑂3 pekat Deep Meter

32
Sentrifuge Spektrofotometer

Dokumentasi Kegiatan Pengambilan Sampel dan Analisis di Laboratorium

27 sampel air dan 20 sampel klorofil-a


Pengambilan sampel air menggunakan
kemmerer water sampler

Penyaringan sampel klorofil-a Penambahan larutan aseton

33
Tabung reaksi yang telah ditutup dengan Sampel yang akan disentrifuge

alumunium foil

Pemanasan sampel diatas hot plate


Penambahan 𝐻2 𝑆𝑂4 pekat dan 𝐻𝑁𝑂3 pekat
di ruang asam

Penambahan larutan NaOH 1 N Penambahan reagen campuran

34
LAMPIRAN 3

Klorofil-a
Stasiun Absorbansi (nm)
(µg/L)
Pengamatan 750 664 647 630
Sodong 0,070 0,183 0,118 0,106 50,49
0,029 0,083 0,048 0,043 24,38
0,143 0,195 0,198 0,205 21,06
Payingkiran 0,040 0,086 0,060 0,058 20,51
0,057 0,115 0,082 0,080 25,88
0,266 0,361 0,326 0,329 41,13
Astab 0,184 0,268 0,250 0,258 35,51
0,269 0,350 0,320 0,321 35,09
0,249 0,334 0,302 0,304 36,85
Pulau Aki 0,035 0,111 0,061 0,057 34,35
0,071 0,126 0,091 0,088 24,78
0,008 0,059 0,023 0,020 23,21
Pasir Jangkung 0,010 0,081 0,031 0,027 32,31
0,033 0,095 0,053 0,049 28,10
0,638 0,791 0,783 0,802 63,07
Pasir Canar 0,154 0,210 0,183 0,183 24,66
0,391 0,483 0,470 0,480 38,46
0,051 0,088 0,062 0,060 16,33
Cilalawi 0,744 0,879 0,869 0,884 55,84
0,821 0,957 0,946 0,961 56,32

35
LAMPIRAN 4

Analisis
T.P
Simplo
PO4
Stasiun Kedalaman C
(µg/L)
Pengamatan (m) Abs (mg/L)
Sodong 0 0.076 122.50 122.50
4 0.083 133.81 133.81
8 0.092 148.35 148.35
Payingkiran 0 0.078 125.73 125.73
4 0.063 101.49 101.49
8 0.049 78.86 78.86
Astab 0 0.068 109.57 109.57
4 0.069 111.18 111.18
8 0.068 109.57 109.57
Pulau Aki 0 0.088 141.89 141.89
4 0.076 122.50 122.50
8 0.056 90.17 90.17
Pasir Jangkung 0 0.064 103.10 103.10
4 0.031 49.77 49.77
8 0.069 111.18 111.18
Pasir Canar 0 0.052 83.71 83.71
4 0.063 101.49 101.49
8 0.045 72.40 72.40
Cilalawi 0 0.061 98.25 98.25
4 0.052 83.71 83.71

36

Anda mungkin juga menyukai