Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH BUDIDAYA PAKAN ALAMI

ARTEMIA 8

Dosen Pengampu :

Dr. Vivi Endar Herawati S.Pi., M.Si.

Di susun oleh :

Fadila Vinta Rahmawati

26020119120017

Akuakultur B

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2021

i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..ii

DAFTAR GAMBAR...................................................................................................iii

BAB I.............................................................................................................................1

PENDAHULUAN.........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................1

BAB II...........................................................................................................................4

TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................4

2.1 Biologi Artemia sp...............................................................................................4

2.2 Klasifikasi Artemia sp..........................................................................................6

2.3 Habitat Artemia sp...............................................................................................7

2.4 Anatomi Artemia sp.............................................................................................7

2.5 Kebiasaan makan Artemia sp...............................................................................8

BAB III........................................................................................................................10

PEMBAHASAN..........................................................................................................10

3.1 Cara Kultur Artemia sp......................................................................................10

3.2 Kualitas Nutrisi Artemia sp................................................................................14

BAB IV........................................................................................................................16

HASIL.........................................................................................................................16

4.1 Aplikasi Artemia sp. pada Ikan Komet.........................................................16

4.2 Aplikasi Artemia sp. pada Ikan Gurame.......................................................17

4.3 Aplikasi Artemia sp. pada Ikan Gabus..........................................................19

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................21

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1……………………………………………………………………………9

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Budidaya perikanan merupakan suatu usaha untuk meningkatkan hasil perikanan


dan pendapatan masyarakat. Tujuan budidaya perikanan yaitu untuk mendapatkan
produksi perikanan yang lebih baik atau lebih banyak agar dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Salah satu faktor yang
sangat berpengaruh dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya yaitu pemberian
pakan. Pakan terbagi atas dua golongan yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan
alami adalah pakan hidup yang sudah tersedia dialam baik berupa phytoplankton,
zooplankton maupun bentos dan dapat dimanfaatkan oleh organisme yang hidup
diperairan. Pakan alami Artemia merupakan salah satu komponen penentu menuju
keberhasilan dalam usaha budidaya perikanan hal ini dikarenakan Artemia selain
mudah dicerna, sesuai bukaan mulut larva ikan dan bernutrisi tinggi, kandungan
nutrisi Artemia terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, air, dan abu. Protein
merupakan kandungan terbesar, yaitu 40-60 %. Artemia merupakan salah satu pakan
alami bagi larva udang dan ikan yang banyak digunakan di panti-panti benih udang
dan ikan baik air laut maupun air tawar di Indonesia. Artemia banyak mengandung
nutrisi terutama protein dan asam-asam amino (Tombinawa et al, 2016).

Artemia merupakan jenis zooplankton dari anggota crustasea, sebagai pakan


alami terbaik untuk lebih dari 85% spesies hewan 2 budidaya. Artemia merupakan
pakan alami yang sangat baik untuk dibudidayakan, hal ini dilihat dari beberapa
keunggulan yang dimilikinya dan juga dari proses pembudidayaannya yang cukup
sederhana, tidak membutuhkan biaya produksi yang mahal. Artemia merupakan
zooplankton yang mengandung enzim-enzim pencernaan pada tubuh nya (Cahyadi et
al, 2020). Selain itu juga Artemia dapat ditemukan dengan mudah ditempat-tempat
penjualan ikan hias, Artemia dijual dalam bentuk kista. Salah satu keunggulan dari

1
Artemia adalah mampu hidup pada perairan yang bersalinitas tinggi, dan juga
kistanya dapat ditetaskan pada salinitas yang berbeda, yaitu salah satu keunggulan
jasad renik ini adalah kemampuannya beradaptasi terhadap beberapa kondisi
lingkungan, khususnya terhadap salinitas, Hewan ini mampu hidup pada rentang
salinitas 5 -150 ppt. Beberapa jenis bahkan mampu hidup di perairan dengan salinitas
sampai 350 ppt. Cysta Artemia sp yang ditetaskan pada salinitas 15-35 ppt akan
menetas dalam waktu 24-36 jam. Larva Artemia sp yang baru menetas dikenal
dengan nauplius. Nauplius artemia merupakan pilihan yang tepat karena mempunyai
ukuran relatif kecil dengan panjang sekitar 400 mikron atau 0,4 mm, berat 15
mikrogram dan kandungan protein sekitar 63% dari berat keringnya (Tombinawa et
al, 2016). Nauplius dalam pertumbuhannya mengalami 15 kali perubahan bentuk,
masing-masing perubahan merupakan satu tingkatan yang disebut instar. Sebagai
media tetas digunakan air laut dengan salinitas antara 10-30 ppt, dalam keadaan
normal kurang dari 48 jam kemudian kista akan menetas menjadi nauplius. Kista
Artemia sp dapat ditetaskan pada media yang mempunyai salinitas 5-35 ppt,
walaupun pada habitat aslinya dapat hidup pada salinitas yang sangat tinggi, tetapi
menyarankan salinitas optimum untuk penetasan kista Artemia adalah 30 ppt, dimana
salinitas 30 ppt Artemia sp hidup dan berkembang baik sehingga Artemia sp tidak
membutuhkan energi yang banyak untuk beradaptasi dengan lingkungan atau media
tempat hidupnya.

Keunggulan budidaya Artemia adalah proses pembudidayaan yang sederhana dan


tidak memerlukan biaya produksi yang tinggi. Selain itu, mudah ditemukan di toko
ikan hias dan dijual dalam bentuk kista. Kelebihan Artemia lainnya adalah mampu
hidup di perairan yang bersalinitas tinggi serta kista dapat ditetaskan pada salinitas
yang berbeda. Keunggulan Artemia Salina dibandingkan pakan buatan adalah
memiliki gizi yang cukup tinggi dan mudah dicerna serta tidak menurunkan kualitas
air tambak jika tidak termakan habis oleh udang atau ikan. Keunggulan penggunaan
Artemia Salina sebagai pakan yaitu kandungan nutrisi yang tinggi diantaranya
kandungan protein sebesar 62,41% dan lemak 8,66% (Dharmawan et al, 2020).

2
Salinitas air laut yang digunakan sebagai media tetas berkisar 10–30 ppt. Pada
kondisi tersebut kista akan menetas menjadi nauplius dalam kurun waktu < 28jam.
Suhu optimal penetasan berkisar antara 26 – 28°C. Suhu yang lebih tinggi dari suhu
optimum menyebabkan waktu penetasan menjadi lebih lama. Salinitas optimum
untuk menetaskan kista adalah 30 ppt. Kondisi tersebut menyebabkan Artemia hidup
dan berkembang dengan baik, karena tidak membutuhkan energi yang banyak untuk
beradaptasi dengan media budidaya.

Fungsi dari Artemia adalah untuk makanan bagi beragam jenis ikan, kepiting,
serta udang yang bernutrisi tinggi. Artemia salina adalah udang renik yang bersifat
non-selective filter feeder sehingga kandungan asam lemak pada artemia sangat
dipengaruhi oleh pakan yang diberikan. Salah satu asam lemak yang terpenting bagi
ikan adalah asam linoleate dan EPA. Telur artemia salina ditetaskan secara
dekapsulasi kemudian dipelihara dengan kultur standar melalui pemberian pakan
berupa silase ikan dan tepung tapioca (Suyanto et al, 2019). Parameter yang
dipergunakan untuk menentukan keberhasilan penetasan kista disebut sebagai
Hatching Rate. Proses dekapsulasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan Hatching Rate tersebut. Dekapsulasi memiliki beberapa
kelebihan yaitu cangkang telur yang tidak menetas tidak akan mengotori Nauplius,
bahan pendekapsulasi akan menghindari telur dari hama, kualitas dari penetasannya
meningkat, penetasan tidak membutuhkan penyinaran, dan dapat digunakan langsung
sebagai pakan alami benih ikan, udang, serta kepiting.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui media kultur terhadap pakan alami Artemia sp.
2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan alami Artemia sp pada
pertumbuhan ikan Komet.
3. Untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan alami Artemia sp pada
pertumbuhan ikan Gurami.
4. Untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan alami Artemia sp pada
pertumbuhan ikan Gabus.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Artemia sp.


Artemia merupakan salah satu jenis pakan alami yang sangat penting dalam
budidaya sektor pembenihan. Hal ini dikarenakan Artemia memiliki ukuran yang
sesuai dengan bukaan mulut hampir seluruh jenis larva ikan maupun udang. Artemia
memiliki beberapa karakteristik, yang membuatnya menjadi ideal untuk kegiatan
budidaya. Artemia mudah untuk dipelihara, adaptasi yang lebar terhadap kondisi
lingkungan, non-selective filter feeder, mampu tumbuh pada padat tebar yang sangat
tinggi. Artemia juga memiliki nilai nutrisi yang tinggi, efesiensi konversi yang tinggi,
waktu untuk menghasilkan keturunan yang cepat, rataan fekunditas yang tinggi, dan
masa hidup yang sangat panjang. Selain itu, Artemia dapat diberikan berupa
penyimpanan dingin dari nauplius yang biasa diberikan ke larva udang stadia mysis.
Nutrisi nauplius Artemia yang baru menetas yaitu protein 40 %-50 %, karbohidrat 15
%-20 %, lemak 15 %-20 %, abu 3 %-4 %, kalori 5000-5500 kalori/gram berat kering.

Artemia merupakan salah satu pakan alami yang terbaik bagi larva ikan.
Artemia cenderung disukai larva karena memiliki kandungan asam lemak dan
ukurannya sangat cocok dengan bukaan mulut larva ikan. Pemberian pakan larva
udang Vaname menggunakan Artemia yang diperkaya dengan sel diatom
menunjukkan nilai kandungan nutrisi yang lebih baik daripada Artemia yang tidak
diperkaya dengan sel diatom. Nilai nutrisi penting pada Artemia mempengaruhi laju
pertumbuhan Artemia. Pemberian Artemia yang diperkaya vitamin C dengan dosis
100 ppm sebagai pakan alami selama tujuh hari memberikan efek kelangsungan
hidup dan pertumbuhan larva ikan yang baik.

Artemia membutuhkan asupan nutrisi berupa pakan alami seperti Tetraselmis


sp., Chaetoceros sp., Skeletonema sp. agar nutrisi yang terkandung dalam Artemia
bertambah sehingga akan sangat bermanfaat ketika diaplikasikan ke udang maupun
ikan. Artemia memiliki kandungan protein mencapai 60 % dengan kandungan asam
amino esensial lengkap dalam jumlah yang tinggi. Artemia stadia nauplius memiliki

4
kandungan asam amino prolin, isoleusin, lisin, dan asam glutamat yang tinggi. Begitu
juga pada Artemia dewasa yang memiliki kandungan asam amino prolin, isoleusin
dan asam glutamat yang tinggi. Selain itu, Artemia mengandung banyak asam lemak
esensial omega-3 dan omega-6 yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan

Artemia merupakan spesies yang bereproduksi secara biseksual dan


partenogenetik. Artemia perempuan bereproduksi dengan ovovivipar dan ovipar,
melepaskan kedua larva atau embrio siste nauplius. Artemia lebih disukai diproduksi
secara ovovivipar. Ovoviviparitas sering terjadi ketika keadaan lingkungan cukup
baik dengan kadar garam dibawah 100 - 150 ppt, sedangkan ovipar sering terjadi
ketika keadaan sangat buruk, biasanya terjadi karena kadar oksigen sangat rendah dan
kadar garam lebih dari 150 ppt. Pembentukan siste yang dihasilkan oleh Artemia
betina dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan terutama
salinitas tinggi dan rendahnya kadar oksigen.

Artemia diperjualbelikan dalam bentuk telur dorman (istirahat) yang disebut


dengan Siste. Siste berbentuk bulatan-bulatan kecil berwarna kelabu kecoklatan
dengan diameter berkisar antara 200 - 350 mikron. Satu gram siste Artemia kering
rata-rata terdiri dari 200.000 - 300.000 butir siste. Siste yang berkualitas baik akan
menetas sekitar 18 - 24 jam apabila diinkubasikan dalam air bersalinitas normal.
Terdapat beberapa tahap (proses) penetasan Artemia, yaitu tahap hidrasi, tahap pecah
cangkang, dan tahap payung atau tahap pengeluaran. Penetasan Artemia sp.
Ditunjukkan dari perubahan warna coklat menuju abu-abu, apabila kista sudah
menetas maka maka warna media penetasan menjadi berwarna orange (Dolorosa et
al, 2020). Pada tahap hidrasi terjadi penyerapan air sehingga siste yang diawetkan
dalam bentuk kering tersebut akan menjadi bulat dan aktif melakukan metabolisme.
Tahap selanjutnya adalah tahap pecah cangkang, disusul dengan tahap payung yang
terjadi beberapa saat sebelum nauplius keluar dari cangkang.

Artemia yang baru menetas disebut nauplius. Nauplius berwarna orange,


berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron, dan
berat 0,002 mg. Nauplius mempunyai sepasang antenulla dan sepasang antena.

5
Antenulla berukuran lebih kecil dan pendek dibandingkan dengan antena. Selain itu,
di antara antenulla terdapat bintik mata yang disebut dengan ocellus. Sepasang
mandibulla 4 rudimenter terdapat di belakang antenna. Labrum (semacam mulut)
terdapat di bagian ventral Nauplius berangsur-angsur mengalami perkembangan dan
pertumbuhan dengan 15 kali pergantian kulit hingga menjadi dewasa. Setiap
tingkatan pergantian kulit disebut dengan instar, sehingga dikenal instar I hingga
instar XV. Setelah cadangan makanan yang berupa kuning telur habis dan saluran
pencernaan berfungsi, nauplius mengambil makanan ke dalam mulutnya dengan
menggunakan setae pada antenna. Artemia mulai mengambil makanan setelah
mencapai instar II sekitar 24 jam setelah menetas Artemia dewasa biasanya berukuran
panjang 8-10 mm yang ditandai dengan adanya tangkai mata yang jelas terlihat pada
kedua sisi bagian kepala, antenna sebagai alat sensori, saluran pencernaan yang
terlihat jelas, dan 11 pasang thoracopoda. Pada Artemia jantan, antena tumbuh
berfungsi sebagai pemegang betina ketika kawin. Terdapat sepasang alat kelamin di
bagian depan dari panggkal ekornya Artemia jantan. Sedangkan Artemia betina
memiliki uterus yang menonjol berada tepat di ujung terakhir kaki renang.
Kelangsungan hidup yang lebih tinggi diperoleh ketika Artemia dikultur pada 33-35
ppt (80 %) diikuti oleh 28-34 ppt (75 %) dan 2-4 ppt (30 %). Jadi salinitas yang lebih
tinggi sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup yang lebih baik.

2.2 Klasifikasi Artemia sp.

Artemia merupakan zooplankton yang diklasifikasikan ke dalam filum


Arthropoda dan kelas Crustacea. Klasifikasi Artemia yang berkembang secara alami
mempunyai klasifikasinya adalah sebagai berikut :

Filum : Arthropoda

Sub Filum : Branchiata

Kelas : Crustacea

Sub Kelas : Branchiopoda

6
Ordo : Anostraca

Famili : Artemiidae

Genus : Artemia

Spesies : Artemia sp

2.3 Habitat Artemia sp.

Artemia salina satu-satunya genus dalam keluarga Artemiidae. Artemia salina


memiliki sistem osmorgulasi sehingga mampu beradaptasi dengan kisaran salinitas
yang tinggi, selain mempunayai toeransi terhadap salinitas. Artemia salina juga
mampu mensintesa haemoglobin untuk mengatasi kandungan oksigen yang rendah
pada salinitas yang tinggi. Adapun kisaran parameter kualitas air untuk pertumbuhan
Artemia yang optimal adalah suhu 25 – 30 ºC, pH 7,5 – 8,5, DO 4,0 – 6,5. Pada
dasarnya jenis udang berukuran kecil dapat hidup di kawasan pesisir, serta memiliki
kadar garam yang cukup tinggi. Pada kondisi alamiah, artemia hidup di danau-danau
dan perairan bersalinitas tinggi. Oleh karena itu, artemia disebut juga udang renik
asin (brine shrimp). Secara fisik, artemia tidak mempunyai pertahanan tubuh. Oleh
karena itu kemampuan hidup di danau dengan salinitas tinggi merupakan sistem
pertahanan alamiah artemia terhadap musuh-musuh pemangsanya.

Di habitatnya hewan ini memakan sisa-sisa dari jasad hidup yang telah
hancur, ganggang berukuran sangat kecil, bakteri, sampai dengan cendawan untuk
memenuhi nutrisi tubuhnya.

2.4 Anatomi Artemia sp.

Anatomi tubuh pada larva pada tahap nauplii masih sangat sederhana, yaitu
terdiri dari lapisan kulit, mulut, antenna, saluran pencernaan atau digesti yang masih
sederhana (Rahimah et al, 2019). susunan kista artemia terdiri atas dua lapisan, yaitu
karion dan selaput embrio. Karion merupakan lapisan pelindung inti telur pada kista.
Nauplius mempunyai sepasang antenulla dan sepasang antena. Antenulla berukuran
lebih kecil dan pendek dibandingkan dengan antena. Selain itu, di antara antenulla

7
terdapat bintik mata yang disebut dengan ocellus. Sepasang mandibulla 4 rudimenter
terdapat di belakang antenna.

Gambar 1. Anatomi Artemia sp.

2.5 Kebiasaan makan Artemia sp.

Kebiasaan makan artemia yaitu dengan manyaring pakan (filter feeder).


Artemia menelan apa saja yang ukurannya kecil, baik benda hidup, benda mati, benda
keras, maupun benda lunak. Di alam, pakan artemia antara lain berupa detritus bahan
organik, ganggang-ganggang renik, bakteri, dan cendawan (ragi laut). Artemia juga
merupakan hewan yan bersifat filter feeder non selektif, oleh sebab itu faktor
terpenting yang harus diperhatikan dalam memilih pakan artemia adalah ukuran
partikel kurang dari 50 µm sehingga mudah dicerna, mempunyai nilai gizi dan dapat
larut dalam media kultur. Artemia mulai makan pada instar ketiga, yaitu setelah
saluran pencernaan terbentuk. Ukuran partikel pakan untuk larva artemia adalah 20-
30 µm dan untuk artemia dewasa antara 40-50 µm.

Makanan Artemia di alam adalah detritus bahan organik dan ganggang renik
(ganggang hijau, ganggang biru, cendawan atau ragi laut). Beberapa jenis ganggang
hijau yang sering dijadikan makanan oleh Artemia antara lain Euglena, Dunaliella
salina dan Cladophora sp. Seluruh partikel suspensi yang mungkin dapat dimakan
oleh artemia secara terus menerus akan diambil dari media kultur dengan gerakan
terakopoda yang mempunyai fungsi ganda sebagai respirasi dan pengumpul makanan

8
sehingga tidak ada alternatif lain bagi artemia untuk terus menerus menyaring
makanan.

Artemia memakan sesuatu yang berasal dari bahan hidup (misal detritus
organik dari perairan hutan bakau) dan organisme hidup pada kisaran ukuran yang
sesuai bukaan mulut (bakteri dan mikro alga). Meningkatnya kandungan karotenoid
nauplius artemia yang diperkaya β-karoten dipengaruhi karena kebiasaan artemia
dapat memakan apapun dengan ukuran partikel makanan lebih kecil dari bukaan
mulutnya seperti mikroalga, bakteri, protozoa, dan partikel terlarut lain (Ernawati et
al, 2020).

9
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Cara Kultur Artemia sp.

Artemia merupakan pakan alami yang banyak digunakan dalam usaha


pembenihan ikan dan udang, karena kandungan nutrisinya baik. Akan tetapi di
perairan Indonesia tidak atau belum ditemukan Artemia, sehingga sampai saat ini
Indonesia masih mengimpor Artemia. Walaupun pakan buatan dalam berbagai jenis
telah berhasil dikembangkan dan cukup tersedia untuk larva ikan dan udang, namun
Artemia masih tetap merupakan bagian yang esensial sebagai pakan larva ikan dan
udang diunit pembenihan. Artemia dapat hidup di perairan yang bersalinitas tinggi
antara 60 - 300 ppt dan mempunyai toleransi tinggi terhadap oksigen dalam air. Oleh
karena itu artemia ini sangat potensial untuk dibudidayakan di tambak- tambak
tambak yang bersalinitas tinggi di Indonesia. Budidaya artemia mempunyai prospek
yang sangat cerah untuk dikembangkan. Baik kista maupun biomasanya dapat diolah
menjadi produk kering yang memiliki ekonomis tinggi guna mendukung usaha
budidaya udang dan ikan.

Penetasan kista Artemia adalah suatu proses inkubasi kista Artemia di media
penetasan (air laut ataupun air laut buatan) sampai menetas. Proses penetasan terdiri
dari beberapa tahapan yang membutuhkan waktu sekitar 18-24 jam.

a. Proses penyerapan air


b. Pemecahan dinding cyste oleh embrio
c. Embrio terlihat jelas masih diselimuti membrane
d. Menetas dimana nauplius berenang bebas

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menetaskan cyste Artemia adalah:

a. Suhu
b. Kadar garam
c. Kepadatan cyste

10
d. Cahaya
e. Aerasi

Agar diperoleh hasil penetasan yang baik maka oksigen terlarut di dalam air
harus lebih dari 5 ppm. Untuk mencapai nilai tersebut dapat dilakukan dengan
pengaerasian yang kuat. Disamping untuk meningkatkan oksigen, pengaerasian juga
berguna agar cyste yang sedang ditetaskan tidak mengendap. Suhu sangat
mempengaruhi lamanya waktu penetasan dan suhu optimal untuk penetasan Artemia
adalah 26-29º C. Pada suhu dibawah 25º C Artemia akan membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk menetas dan pada suhu diatas 33º C dapat menyebabkan kematian
cyste. Kadar 12 garam optimal untuk penetasan adalah antara 5 – 35 ppt, namun
untuk keperluan praktis biasanya digunakan air laut (kadar garam antara 25–35 ppt).
Nilai pH air harus dipertahankan pada nilai 8 agar diperoleh penetasan yang optimal.
Adapun iluminasi pada saat penetasan sebaiknya 2000 lux.

Hal lain yang menentukan derajat penetasan cyste adalah kepadatan cyste
yang akan ditetaskan. Pada penetasan skala kecil (volume < 20l) kepadatan cyste
dapat mencapai 5 g per liter air. Akan tetapi pada skala yang lebih besar agar
diperoleh daya tetas yang baik maka kepadatan harus diturunkan menjadi 2 g per liter
air. Artemia akan menetas setelah 18-24 jam. Artemia yang sudah menetas dapat
diketahui secara sederhana yakni dengan melihat perubahan warna di media
penetasan. Artemia yang belum menetas pada umumnya berwarna cokelat muda,
akan tetapi setelah menetas warna media berubah menjadi oranye. Warna oranye
belum menjamin artemia sudah menetas sempurna, oleh karena itu untuk meyakinkan
bahwa artemia sudah menetas secara sempurna disamping melihat perubahan warna
juga dengan mengambil contoh artemia dengan menggunakan beaker glass. Jika
seluruh nauplius artemia sudah berenang bebas maka itu menunjukkan penetasan
selesai. Akan tetapi jika masih banyak yang terbungkus membran, maka harus
ditunggu 1-2 jam agar semua Artemia menetas secara sempurna.

Wadah penetasan Artemia dapat dilakukan dengan wadah kaca, polyetilen


(ember plastik) atau fiber glass. Ukuran wadah dapat disesuaikan dengan kebutuhan,

11
mulai dari volume 1 liter sampai dengan volume 1 ton bahkan 40 ton. Hal yang
penting untuk diperhatikan dalam penetasan Artemia adalah bentuk dari wadah.
Bentuk wadah penetasan Artemia sebaiknya bulat. Hal ini dikarenakan jika diaerasi
tidak ditemukan titik mati, yaitu suatu titik dimana Artemia akan mengendap dan
tidak teraduk secara merata. Artemia yang tidak teraduk pada umumnya kurang baik
derajat penetasannya, atau walaupun menetas membutuhkan waktu yang lebih lama.

Sebelum diisi air dimedia penetasan, wadah Artemia dicuci terlebih dahulu
dengan menggunakan sikat sampai bersih. Agar sisa lemak atau lendir dapat
dihilangkan, pada waktu mencuci gunakanlah deterjen. Media untuk penetasan
Artemia dapat menggunakan air laut yang telah difilter. Hal ini ditujukan agar cyste
dari jamur atau parasit tersaring. Penyaringan dapat dilakukan dengan menggunakan
filter pasir atau filter yang dijual secara komersial seperti catridge filter misalnya.
Disamping dengan air laut, media penetasan Artemia juga dapat dilakukan dengan
menggunakan air laut buatan. Air laut ini dibuat dengan jalan menambahkan garam
yang tidak beriodium ke air tawar. Garam yang digunakan harus bebas dari kotoran.
Jumlah Penetasan Artemia garam yang dibutuhkan berkisar antara 25-30 g/liter air
tawar, sehingga memiliki kadar garam 25-30 ppt. Setelah garam dimasukkan maka
media harus diaerasi secara kuat agar garam tercampur merata.

Cara mengkultur Artemia menggunakan botol adalah siapkan mesin aerator,


botol softdrinl 1,5 liter (usahakan bisa transparan), garam ikan, sendok plastik, telur
artemia, dan tutup botol khusus budidaya artemia. Cara nya siapkan botol air mineral
ukuran 1,5 liter dan potong bagian bawah botol, kemudian gunakan tali untuk
gantungan, lubangi tutup botol untuk penempatan selang udara. Siapkan garam ikan 1
sendok makan, garam merupakan sumber makanan dari artemia dan menjadikan
kondisi air dalam botol sesuai habitat asli artemia di laut. Masukkan 1 sendok makan
garam kedalam botol. Siapkan 1 sendok makan telur artemia. Masukkan artemia
kedalam botol yang merupakan bibit dari artemia yang berwujud kista. Masukkan air
mineral bersih pada botol hingga hamper penuh. Hidupkan mesin pompa udara untuk
mensuplai oksigen pada botol. Biarkan proses itu bekerja selama 24 jam. Setelah 24

12
jam, matikan mesin pompa udara dan biarkan air dalam botol diam sekitar 10 menit.
Bayi artemia akan mengendap atau berada pada bagian bawah botol. Sebaiknya
menggunakan lampu LED untuk meningkatkan keberhasilan dan kualitas kultur
selanjutnya saring artemia berwarna orange dengan saringan yang paling halus, lalu
bilas artemia dengan air mineral bersih pada saat masih di dalam saringan sebanyak 2
kali. Selanjutnya artemia siap diberikan kepada ikan cupang atau guppy.

Kista menetas menjadi Artemia stadia nauplius. Setelah menetas sempurna,


secara visual dapat terlihat terjadinya perubahan warna dari coklat muda menjadi
oranye. Hal yang penting yang perlu diperhatikan dalam pemanenan nauplius
Artemia adalah jangan sampai tercampur antara Artemia dan cangkang. Hal ini perlu
dihindari mengingat cangkang Artemia tersebut mengandung bahan organik yang
dapat menjadi substrat perkembangbiakan bakteri. Setelah 18 jam dimasukandalam
bak penetasan maka pengecekan apakah Artemia dalam wadah penetasan sudah
menetas atau belum. Pengecekan dilakukan dengan cara mematikan aerasi. Sesaat
setelah aerasi dimatikan, jika secara kasat mata keseluruhan nauplius sudah berenang
bebas maka pemanenan dapat dilakukan dan aerasi tetap dimatikan. Jika sebagian
besar nauplius masih terbungkus membran dan belum berenang bebas maka aerasi
dihidupkan kembali. Selanjutnya 1 atau 2 jam kemudian dilakukan pengecekan ulang.
Langkah awal pemanenan Artemia yaitu dengan mematikan aerasi serta menutup
bagian atas wadah dengan bahan yang tidak tembus cahaya. Hal ini dilakukan dengan
tujuan memisahkan antara nauplius dan cangkang Artemia. Cangkang Artemia akan
mengambangdan berkumpul di permukaan air.

Nauplius Artemia akan berenang menuju ke arah cahaya. Karena bagian


bawah wadah tranparan dan ditembus cahaya maka nauplius Artemia akan berkumpul
di dasar wadah penetasan. Oleh karena itu pada saat pemanenan nauplius, sebaiknya
bagian dasar wadah disinari lampu dari arah samping. Selain nauplius, didasar wadah
juga akan terkumpul kista yang tidak menetas. Aerasi tetapdimatikan selama 10
menit. Setelah semua cangkang berkumpul di atas permukaan air dan terpisah dengan
nauplius yang berada di dasar wadah maka pemanenan dapat dilakukan dengan cara

13
membuka kran pada dasar wadah (jika ada) atau dengan cara menyipon dasar.
Sebelum kran dibuka atau disipon, ujung kran atau selang kecil dibungkus saringan
yang berukuran 125 mikron dan dibawah saringan disimpan wadah agar nauplius
Artemia tetap berada dalam media air. Pada saat pemanenan hindarilah terbawanya
cangkang. Artemia yang tersaring kemudian dibilas dengan air laut bersih dan siap
diberikan ke larva ikan atau udang. Selanjutnya air dan cangkang yang tersisa di
wadah penetasan dibuang dan dibersihkan.

3.2 Kualitas Nutrisi Artemia sp.

Artemia merupakan pakan alami yang penting dalam pembenihan ikan laut,
crustacea, ikan konsumsi dan ikan hias. Disamping ukurannya yang kecil, nilai gizi
Artemia juga sangat tinggi yang menghasilkan pertumbuhan sangat cepat. Artemia
sebagai pakan alami belum dapat digantikan oleh pakan lainnya sehingga dapat
dijadikan usaha industri dalam kaitannya dengan suplai makanan hidup maupun
bahan dasar utama makanan buatan. Kandungan komposisi nutrisi Artemia
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: strain, kualitas, kondisi media tempat
Artemia hidup dan ketersediaan makanan. Jenis makanan Artemia pada budidaya di
bak yaitu antara lain: mikroalgae (Chaetoceros, Nitzchia, Dunaliella, Isochrysis,
Chorella, Skeletonema, Tetraselmis), kemudian makanan tambahan (ragi roti, ragi
bir, ragi laut), serta makanan dari sisa produksi pertanian seperti dedak halus, tepung
kedelai, dan dedak gandum. Berdasarkan hasil uji proksimat Artemia sp. mengandung
protein 48,87%, lemak 10,85%, abu 11,25%, serat kasar 8,32%, kadar air 10,80%,
bahan ekstrak tanpa nitrogen 9,91% (Ratri et al, 2020).

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penyediaan pakan, yaitu


jumlah dan kualitas pakan. Kualitas dan kuantitas pakan pada perairan merupakan
faktor yang menentukan laju pertumbuhan dan nutrisi Artemia. Hubungan kualitas
dan kuantitas pakan terhadap laju pertumbuhan dan kandungan nutrisi Artemia, yaitu
ketersediaan pakan secara kuantitas dan kualitas merupakan faktor mempengaruhi
nutrisi Artemia. Ketersediaan nutrisi merupakan faktor yang menentukan laju
pertumbuhan, sehingga jumlah dan kualitas pakan merupakan faktor utama untuk

14
memenuhi kandungan nutrisi Artemia untuk berkembang dengan optimal.
Pertumbuhan Artemia sp. baik dipengaruhi oleh kandungan nutrisi selain itu juga
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di dalam media pemeliharaan. Faktor
lingkungan yang mendukung pertumbuhan Artemia sp. adalah suhu air, oksigen
terlarut (DO), salinitas dan pH (Firmansyah et al, 2013).

15
BAB IV

HASIL

4.1 Aplikasi Artemia sp. pada Ikan Komet

Budidaya ikan hias air tawar ternyata mampu memberikan kehidupan bagi
banyak orang yang menekuninya. Selain orang suka akan keindahan ikan hias ini,
banyak pula orang yang menggantungkan hidupnya dari membudidayakan dan
memasarkan ikan hias yang jenisnya bermacam-macam. Tidak jarang beberapa
petani yang semula menekuni budidaya ikan konsumsi beralih menekuni
budidaya ikan hias. Semua itu dilakukan karena peluang usaha dan potensi
ekonomis budidaya ikan hias lebih menggiurkan dibandingkan dengan ikan
konsumsi. Ikan komet berasal dari Cina, dengan nama asing goldfish. Ikan
tersebut hidup di sungai dan daerah kawasan hulu dan hilir bahkan dimuara.
Kemudian ikan komet banyak diminati karena keindahan warna, bentuk tubuh
yang cantik bagian sirip lebih panjang. Selain itu ikan komet merupakan ikan
yang mudah dipelihara baik itu dikolam maupun di akurium dengan padat tebar
yang tinggi. Namun dibalik segala kelebihannya ikan komet termasuk ikan yang
sulit dibudidayakan terutama pada fase larva.

Larva ikan komet membawa cadangan makanan (energi) dalam bentuk kuning
telur. Larva ikan komet memanfaatkan cadangan energi tersebut (endogenous
feeding) untuk perkembangan organ tubuh, terutama untuk keperluan pemangsaan
(feeding) seperti sirip, mata, mulut dan saluran pencernaan. Oleh karena itu,
kuning telur akan menyusut dan habis sejalan dengan perkembangan organ tubuh
larva. Seiring berkembangnya usaha budidaya ikan hias membuat para
pembudidaya tergerak untuk mengoleksi ikan hiasnya, namun pada budidaya ikan
hias khsusnya ikan komet yaitu tingginya kematian pada stadia larva. Stadia larva
merupakan fase yang paling kritis dalam siklus hidup ikan. Tingginya angka
kematian tersebut menunjukkan rendahnya pertumbuhan. Pertumbuhan sangat
ditentukan oleh ketersediaan pakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan.

16
Pakan berupa artemia pada pemeliharaan dapat memberikan pertumbuhan
yang tinggi pada larva ikan komet dikarenakan ada kaitannya dengan kandungan
protein dan enzim pencernaan yang ada pada artemia sp. . Artemia mengandung
protein 40% hingga 60 %, tergantung pada umurnya, dan Artemia dewasa
memiliki kandungan protein lebih tinggi daripada nauplii. Protein dari Artemia
merupakan sumber protein hewani yang mudah dicerna dan termasuk sumber
protein hewani dengan rantai protein yang lebih pendek dan non komplek. Hal ini
pemberian pakan kuning telur yang merupakan sumber protein hewani, yang
kandungan proteinnya lebih rendah dibandingkan dengan Chlorella sp. dan
tubifex. Hasil uji proksimat protein yaitu pada pakan alami artemia sp (56,62 %),
sedangkan hasil uji proksimat pada lemak yaitu artemia sp (10,24 %) (Septian et
al, 2017).

4.2 Aplikasi Artemia sp. pada Ikan Gurame

Ikan Gurami (Osphronemus gouramy, Lac) merupakan salah satu jenis ikan
yang hidup di air tawar, sangat di gemari oleh masyarakat karena rasanya yang
gurih dan lezat, mudah dicerna dan bergizi tinggi. Selain itu, ikan gurami
mempunyai keunggulan lainnya yaitu memiliki sifat omnivora (pemakan segala),
memijah secara alami dan dapat hidup di air tergenang serta pada kelarutan
oksigen rendah. Disamping itu, harga ikan gurami di pasaran cukup tinggi dan
permintaan akan ikan ini masih belum terpenuhi. Pemeliharaan larva merupakan
fase paling sulit dalam usaha budi daya ikan, karena larva sangat sensitif terhadap
kondisi lingkungan dan pakan yang tidak sesuai, pada masa ini pula tingkat
mortalitas paling tinggi terjadi. Upaya pembenihan gurami khususnya pada fase
larva diperlukan ketelitian. Masa kritis larva, yaitu saat kuning telur mulai habis
dan larva mulai mengambil makanan dari luar. Hal itu ditandai dengan larva yang
sudah mulai berenang. kondisi ini merupakan saat yang tepat bagi larva untuk
mulai diberi pakan.

Salah satu pakan alami yang cocok diberikan pada larva ikan gurami adalah
Artemia sp, karena memiliki kadar protein yang tinggi yaitu sebesar 52,19%,

17
lemak 14,75%, abu 11,2%, serat kasar 1,73% sehingga sangat baik diberikan pada
larva. Akan tetapi, harga Artemia cukup mahal dan umumnya masih diimpor,
selain itu kemampuan hidup Artemia di air tawar terbatas hanya sekitar 5 jam.
Kutu Air juga sering digunakan sebagai pakan untuk larva ikan karena
mengandung protein yang cukup tinggi, Moina sp mengandung kadar protein
60,36, sedangkan Daphnia sp mengandung kadar protein 50% yang sangat
dibutuhkan untuk pertumbuhan larva ikan dengan biaya produksi yang lebih
rendah bila dibandingkan dengan Artemia. Upaya untuk meningkatkan
pertumbuhan dan sintasan larva ikan dapat dilakukan dengan pengaturan waktu
pergantian jenis pakan yang tepat, oleh sebab itu penelitian tentang pengaruh
perbedaan lama waktu pemberian pakan alami Artemia sp dengan Kutu Air
terhadap pertumbuhan dan sintasan larva ikan Gurami (Osphronemus gouramy,
Lac) perlu dilakukan, sehingga dapat diketahui waktu pergantian pakan yang tepat
untuk menghasilkan pertumbuhan dan sintasan larva ikan gurami yang optimal
serta dapat mengurangi biaya produksi.

Pakan alami merupakan pakan terbaik untuk budidaya ikan, hal ini karena
mempunyai kandungan nutrisi yang tidak bisa digantikan oleh pakan buatan.
Artemia sp dapat diberikan pada larva gurami. Artemia sp. memiliki kandungan
nutrisi yang tinggi, selain itu ukurannya sesuai dengan bukaan mulut, sehingga
mudah untuk memakannya. Artemia sp. dalam keadaan hidup tidak dapat
digunakan atau disimpan dalam waktu yang lama dikarenakan umurnya yang
singkat serta sulit dalam penanganannya, untuk itu perlu mencari alternatif lain
yaitu dengan cara dibekukan atau diawetkan. Proses pembekuan sendiri dilakukan
setelah Artemia sp. dipanen dari tambak kemudian dibersihkan lalu disimpan
dalam lemari pendingin dengan suhu ±- 20°C supaya tidak terjadi proses
pembusukan (Nugroho et al, 2015). Proses pembekuan ini sendiri selain efisien
dalam penanganan juga mudah dalam pemberian, sedangkan untuk Artemia sp.
awetan ditambahkan bahan pengawet berupa asamasam organik seperti asam
sitrat, asam formiat, asam asetat dan natrium alginat.

18
4.3 Aplikasi Artemia sp. pada Ikan Gabus

Ikan gabus (Ophiocephalus striatus) merupakan salah satu jenis ikan yang
mempunyai kandungan albumin cukup tinggi (Yuniarti et al, 2013). Albumin
sangat diperlukan tubuh manusia setiap hari, terutama dalam proses penyembuhan
luka. Belakang ini, albumin dari ikan gabus banyak diminati oleh masyarakat
sebagai sumber alternatif pengganti Human Serum Albumin (HSA) yang
harganya sangat mahal. Kemampuan ekstrak albumin dari ikan gabus telah
terbukti dapat menggantikan serum albumin impor tersebut. Namun albumin
merupakan jenis protein yang mudah rusak oleh panas. Oleh karena itu, upaya
yang dapat dilakukan untuk mempertahankan mutu dari serbuk albumin adalah
dengan perlakuan suhu pengeringan vakum.

Artemia sp. dapat diberikan sebagai makanan awal untuk larva. Kandungan
nutrisi pada naupli Artemia sp. terdiri dari protein 52,2 ± 8,8%, lemak 18,9 ±
4,5%, karbohidrat 14,8 ± 4,8%, dan kadar abu 17,4 ± 6,3%. Larva ikan gabus
yang diberi pakan alami berupa naupli Artemia sp. mulai umur lima hari pasca
penyerapan kuning telur dengan lama pemeliharaan selama empat minggu,
menunjukkan nilai bobot (15,88 ± 0,11 mg) dan kelangsungan hidup (88 ±
1,73%) lebih tinggi pada dua minggu pertama pemeliharaan. Media penetasan
berupa air tawar sebanyak 1 liter yang sudah ditambahkan dengan garam krosok
sebanyak 30 gram. Kista Artemia sp. dimasukkan ke dalam media penetasan yang
ada dalam corong penetasan dan diberi aerasi. Setelah 24 jam, kista Artemia sp.
menetas. Aerator dimatikan dan diberi cahaya pada bagian bawah corong
penetasan agar naupli Artemia sp. berkumpul di dasar corong sehingga
mempermuda pemanenannya. Pemanenan dilakukan dengan cara menyedot
naupli Artemia sp. menggunakan selang aerasi, kemudian ditampung ke dalam
wadah yang telah disiapkan. Ukuran pakan alami yang sesuai dengan ukuran
bukaan mulut larva. Sehingga larva dapat memanfaatkan pakan alami yang
diberikan secara optimal yang berdampak terhadap nilai rerata laju pertumbuhan
harian larva ikan gabus tersebut. pertumbuhan larva ikan sangat dipengaruhi oleh

19
ukuran bukaan mulut dan nilai nutrisi pakan yang diberikan. Artemia sp. dapat
diberikan sebagai makanan awal untuk larva. Kandungan nutrisi yang terdapat
pada naupli Artemia sp. terdiri dari protein 52,2 ± 8,8%, lemak 18,9 ± 4,5%,
karbohidrat 14,8 ± 4,8%, kadar abu 17,4 ± 6,3% (Suprayogi et al, 2016).

20
DAFTAR PUSTAKA

Cahyadi. U. Jusadi. D. Fauzi. A. I dan Sunarma. A. 2020. Peran Penambahan Enzim


Pada Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Larva Ikan Lele Afrika Clarias
Gariepinus Curchell, 1822. Jurnal Ikhtiologi Indonesia., 20(2) : 155-169.

Dharmawan. A. Hikmah. N dan Larasati. M. 2020. Perbedaan Pertumbuhan Artemia


salina Pada Perlakuan Variasi Dosis Pakan Jus Pupa Ulat Sutra (Samia
Cynthia). e-Jurnal Ilmiah Biosaintropis., 6(1) : 10-20.

Dolorosa. T. M. Halawa. N dan Safna. K. 2020. Pengaruh Jenis Garam Yang Berbeda
Terhadap Tingkat Penetasan Kista Artemia sp. Jurnal Penelitian Penerapan
Perikanan dan Kelautan., 2(2) : 111-116.

Ernawati. Saddang dan Irwan. 2020. Efektivitas β-Karoten Pada Nauplius Artemia.
Jurnal Airaha., 9(2) : 151-154.

Firmansyah. Y. M. Kusdarwati. R dan Cahyoko. Y. 2013. Pengaruh Perbedaan Jenis


Pakan Alami (Skeletonema sp., Chaetosceros sp., Tetraselmis sp.) Terhadap
Laju Pertumbuhan Dan Kandungan Nutrisi Ada Artemia sp. Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan., 5(1) : 105-111.

Nugroho. I. I. Subandiyono dan Herawati. E. V. 2015. Tingkat Pemanfaatan Artemia


sp. Beku, Artemia sp. Awetan Dan Cacing Sutera Untuk Pertumbuhan Dan
Kelangsungan Hidup Larva Gurami (Osphronemus gouramy, Lac.). Journal
of Aquaculture Management and Technology., 4(2) : 117-124.

Rahimah. S. B. A. Maryam. F dan Limbong. A. B. 2019. Uji Toksisitas Ekstrak


Etanol Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Menggunakan Metode
Brine Shrimp Lethality Test. Journal of Pharmaceutical and Medicinal
Sciences., 4(1) : 10-14.

Ratri. S. K. Hutabarat. J dan Herawati. E. V. 2020. Pengaruh Pemberian Pakan


Phronima sp. Substitusi Artemia sp. Terhadap Pertumbuhan dan

21
Kelulushidupan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Jurnal Sains
Teknologi Akuakultur., 3(2) : 66-75.

Septian. H. Hasan. H dan Farida. 2017. Pemberian Pakan Alami Artemia, Chlorella
sp Dan Tubifex sp Terhadap Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Larva
Ikan Komet (Carassius auratus). Jurnal Ruaya., 5(2) : 21-17.

Suprayogi. T. Sasanti. D. A dan Yulisman. 2016. Perbedaan Waktu Peralihan Pakan


Pada Pemeliharaan Post Larva Ikan Gabus (Channa striata). Jurnal
Akuakultur Rawa Indonesia, 4(1) : 175-187.

Suyanto. E. Rahman. S. Y dan Murwantoko. 2019. Pengaruh Pakan Bioenkapsulasi


Artemia salina Dengan Spirullina platensis Terhadap Tingkat Kelangsungan
Hidup Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Journal of Tropical Biology.,
7(2) : 75-81.

Tombinawa. F. Hasim dan Tuiyo. R. 2016. Daya Tetas Artemia sp. Menggunakan Air
Bersalinitas Buatan Dengan Jenis Garam Berbeda. Jurnal Ilmiah Perikanan
dan Kelautan., 4(2) : 45-49.

Yuniarti. W. D. Sulistiyawati. D. T dan Suprayitno. P. 2013. Pengaruh Suhu


Pengeringan Vakum Terhadap Kualitas Serbuk Albumin Ikan Gabus
(Ophiocephalus striatus). THPi Students Journal., 1(1) : 1-11.

https://www.google.com/search?q=artemia+salina&tbm=isch&safe=strict&hl=id&s

22

Anda mungkin juga menyukai