Anda di halaman 1dari 50

PENGUKURAN PARAMETER FISIK, KIMIAWI, DAN BIOLOGI PERAIRAN

RAWA BENDUNGAN CILACAP

Oleh:

NUNUNG NURJANAH B1A016071


IFTAH SADJAD AHMADI B1A016109
SITI MASRIFAH B1A016134
IRMIRAHAYU UJI SUWITO B1A016135
DIAN SETYOWATI B1A016146
Kelompok 4
Asisten Isna Fitriana

LAPORAN PRAKTIKUM LIMNOLOGI

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rawa bendungan merupakan perairan lentik yang terletak di Kabupaten


Cilacap. Fungsi utama perairan Rawa Bendungan sebagai irigasi dan penampung air.
Perairan Rawa Bendungan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk budidaya ikan dalam
Keramba Jaring Apung (KJA) atau Keramba Jaring Tancap (KJT), tempat
pemancingan ikan, air baku rumah tangga, dan air baku Pemerintah Daerah
Kabupaten Cilacap. Perairan Rawa Bendungan juga mendapat masukan limbah dari
aktivitas masyarakat di sekitarnya yaitu industri tahu, peternakan sapi, dan pertanian.
Limbah yang masuk dari berbagai aktivitas masyarakat ke badan perairan mengalami
dekomposisi secara aerobik dan menyebabkan kandungan O2 terlarut turun.
Penurunan O2 terlarut sampai nol menyebabkan proses dekomposisi berlangsung
secara anaerobik yang menghasilkan senyawa toksik seperti CO2, NH3, H2S, dan
CH4, serta senyawa lain seperti amina dan komponen fosfor (Kurnianto et al, 2014).
Monitoring kualitas air dapat dilakukan dengan menggunakan parameter fisik
atau kimia,tetapi pemantauan dengan biota air lebih banyak dilakukan. Kondisi biota
air lebih jelas dalammerepresentasikan perubahan kualitas air,termasuk adanya
pencemaran perairan, karena biotaair tersebut berada di dalam lingkungan air dalam
kurun waktu yang lama, sedangkan nilaikondisi fisik dan kimia air cenderung
menggambarkankeadaan air sungai pada waktu pengukuran saja. Metode biologi
terstandarisasi untuk mengujikualitas air telah dikenal secara luas dan dapatdianalisis
serta dipahami dengan mudah. Metode biologi dapat digunakan untukmengetahui
adanya polusi dan perubahan lingkungan,tingkat toksisitas polutan dan ampaknya
terhadaplingkungan, akumulasi polutan pada biota danpengaruhnya terhadap rantai
makanan, sertapengaruh polutan, penggunaan air, dan tanahterhadap ekosistem
(Harmoko &Sepriyaningsih, 2017).
Struktur Komunitasplankton di perairan sangat dipengaruhi oleh faktorfisika
dan kimia perairan karena plankton mempunyaikisaran toleransi tertentu terhadap
berbagai faktor lingkungan seperti temperatur, air, pH, kadar oksigen terlarut (DO)
dan sebagainya. Perubahan ukuran, jenis dan jumlah populasi plankton di perairan
dapat menggambarkan keadaan struktur komunitas perairan. Unsur N dan P apabila
terkandung dalam perairan dengan kadar yang cukup dapat menyuburkan perairan,
namun apabila kandungannya telah melampaui ambang batas yang diperoleh akan
mengakibatkan eutrofikasi pada perairan. Kandungan unsur N dan P yang berlebihan
dapat merangsang pertumbuhan plankton dengan cepat dan berlimpah, yang dapat
mempengaruhi kelimpahan plankton di perairan,sehingga keberadaan plankton dapat
digunakan untuk mengetahui kondisi perairan (Arum et al., 2017).
Suatu perairan dikategorikan tercemar apabila terdapat organisme, zat, energi,
atau komponen lain masuk ke suatu badan perairan baik secara sengaja atau tidak
disengaja oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan kualitas air menurun.
Adanya aktivitas manusia akan berdampak pada penurunan kualitas air yaitu adanya
perubahan kondisi fisika kimia dan biologi. Perairan yang tercemar dapat
menyebabkan perubahan struktur komunitas terutama pada keanekaragaman jenis
plankton. Keanekaragamandan kelimpahan plankton dapat berubah sebagai respon
terhadap perubahan kondisi lingkungan perairan (Arum et al., 2017).Kualitas
perairan meliputi fisik (penjelasan perairan secara fisik), kimia (penjelasan perairan
secara kimia) dan biologi (penjelasan perairan secara biologi).

B. Tujuan

1. Mengetahui kualitas air di Rawa Bendungan.


2. Mengetahui kelimpahan plankton di Rawa Bendungan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Danau dan waduk merupakan salah satu ekosistem yg memiliki peran sebagai
pengatur siklus karbon dan iklim.Mereka menyediakan air untuk berbagai penggunaan
manusia dari air minum hingga rekreasi dan mendukung tingkat keanekaragaman hayati
yang tinggi (Toming, 2016).Pemilihan lokasi pengambilan sampel (stasiun) untuk
pengukuran umumnya didasarkan pada spesies yang ingin dikultur dan teknologi yang
digunakan, tetapi pada beberapa kejadian urutannya dapat dibalik. Adanya batasan-
batasan pada salah satu faktor tersebut, karakteristik perairan yang sesuai akan
membatasi pemilihan faktor lain. Beberapa pertimbangan yang yang perlu diperhatikan
dalam penentuan lokasi adalah kondisi teknis yang terdiri dari parameter fisika, kimia,
biologi, serta non teknis (da Linne et al., 2015).
Menurut da Linne et al.(2015), parameter fisika perairan terdiri dari pengukuran
kecerahan, suhu air, arus, dan kedalaman. Parameter kimia perairan terdiri dari
pengukuran pH, oksigen terlarut, fosfat, nitrat dan klorofil-a.Sementara parameter
biologis perairan ditentukan oleh kelimpahan organisme penghuni seperti plankton atau
benthos.Pengambilan sampel fitoplankton dilakukan secara pasif.Air disaring sepuluh
kali dengan plankton net No 25 sebanyak 10 liter dalam satu kali penyaringan. Air
sampel yang sudah diambil disaring menggunakan plankton net ini yang kemudian hasil
dari saringan tersebut akan terkumpul di bucket untuk kemudian di identifikasi jenis
planktonnya, untuk memudahkan dalam identifikasi filtrat diberi lugol sebanyak 1 tetes.
Sampel plankton diletakan dalam sedgewick rafter.
Suhu di perairanmerupakan salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan
organisme di perairan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun
perkembangan dari organisme-organisme tersebut (Hutabarat & evans, 1985).Menurut
Toffolon & Piccolroaz (2015), suhu air adalah faktor penting dalam hampir semua
proses ekologi dan biogeokimia di perairan, misalnya untuk laju reaksi kimia, kelarutan
oksigen, produksi primer, komposisi makrobentos, dan habitat ikan. Perubahan suhu
berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga sangat
berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Selain itu, peningkatan suhu
juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air
yang kemudianakan mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu
perairan sebesar 10°c menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh
organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Untuk melakukan proses metabolisme dan
respirasi. Peningkatan suhu juga meyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi
bahan organik oleh mikroba (Effendi, 2003).
Kekeruhan adalah suatu ukuran biasan cahaya di dalam air disebabkan oleh
adanya koloid dan suspensi dari suatu polutan, antara lain berupa bahan organik, dan
buangan industri. Oleh senyawa-senyawa yang berasal dari organisme nabati seperti
asam humus, tannin, gambut, plankton, dan tanaman air juga dapat menjadi pengaruh
kekeruhan suatu perairan.Selain itu kekeruhan juga disebabkan oleh ion-ion logam
seperti besi, mangan, dan juga tembaga yang mungkin berasal dari buangan industri,
sampah, dan sebagainya—yang terkandung dalam perairan alami.Dikatakan bahwa
kekeruhan pada perairan alami merupakan salah satu faktor penting yang mengontrol
produktivitas (Wardoyo, 1975).Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang
ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipencarkan oleh bahan-
bahan yang terdapat di dalam air.Kekeruhan dinyatakan dalam satuan unit turbiditas,
yang setara dengan 1 mg/L SiO2.
Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah bahan-bahan
tersuspensi (diameter > 1µm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter
pori 0,45 µm. Total Suspended Solid (TSS) terdiri atas lumpur, pasir halus, serta jasad-
jasad renik. Jumlah TTS suatu perairan terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau
erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi, 2003).
Derajat keasaman (pH) merupakan suatu ukuran dari konsentrasi ion hidrogen.
Kondisi tersebut akan menunjukkan suasana air itu bereaksi asam atau basa. Nilai pH
berkisar mulai dari angka 0 hingga 14, nilai 7 menunjukkan kondisi bersifat netral.Nilai
pH di bawah 7 menunjukkan kondisi bersifat asam dan nilai diatas 7 bersifat basa
(Boyd, 1991).Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang besar terhadap
tumbuh-tumbuhan dan hewan air sehingga sering digunakan sebagai parameter untuk
menyatakan baik buruknya suatu perairan bagi lingkungan hidup, walaupun baik
buruknya suatu perairan tergantung pula pada faktor-faktor lain (Asmawi, 1986 dalam
Narulita, 2011).
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena
oksigen terlarut berperan dalam proses oksida dan reduksi bahan organik dan anorganik.
Peranan oksigen dalam kondisi aerobik adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan
anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrient yang pada akhirnya dapat memberikan
kesuburan perairan.Oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia
menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrient dan gas dalam kondisi anaerobik(Takdir,
1999).
Ammonia, nitrat dan fosfat merupakan zat hara yang menunjang kesuburan
perairan.Kesuburan perairan dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang menunjang
dalam penentuan kualitas suatu perairan.Zat hara yang kaya di lingkungan perairan
memiliki dampak positif, tapi pada tingkatan tertentu juga dapat berdampak negatif.
Dampak positifnya adalah adanya peningkatan produksi fitoplankton dan total produksi
ikan, sedangkan dampak negatifnya adalah terjadinya penurunan kandungan oksigen di
perairan, penurunan biodiversitas dan terkadang memperbesar potensi muncul dan
berkembangnya jenis fitoplankton berbahaya yang lebih umum dikenal dengan istilah
Harmful Algal Blooms atau HABs. Oleh karena itu, konsentrasi ammonia, nitrat dan
fosfat air payau telah diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51
Tahun 2004.Sedangkan menurut Kamun et al. (2010), baku mutu perairan rawa diatur
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 907/MenKes/SK/VII/02 bahwa secara fisik; air
rawa tidak berbau, kekeruhan standar 5skala NTU, temperatur standar nilai 3. Secara
kimia, nilai pH tergolong netral, amonia standar nilai 1,5 mg/L, nitrit nilai standart 3
mg/L, nitrat memiliki nilai standar 50 mg/L.Apabila konsentrasinya di perairan telah
melebihi baku mutu yang telah ditentukan, maka dipastikan akan mengakibatkan
menurunnya kualitas perairan dan akan berdampak negatif bagi organisme yang ada di
perairan tersebut.
III. MATERI DAN METODE

A. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu termometer, secchi disc
atau batu, tali rafia, label, tissue, gelas ukur, dirigen, kertas Whatman no. 41,
oven, desikator kabinet, timbangan analitik, mangkok atau cawan porselin, kertas
pH universal, botol Winkler 250 mL, erlenmeyer, buret dan statif, corong buret,
pipet seukuran (1 mL), pipet tetes, spektrofotometer, alat refluks (erlenmeyer
COD 250 mL dan kondensor Liebig), pembakar listrik, cawan petri penguap,
kertas GFC, tabung reaksi, corong, kertas timah atau alumunium foil, pompa
vakum, plankton netno. 25, botol plankton, lemari pendingin, object glass, cover
glass, mikroskop, laptop,optic lab, dan buku identifikasi plankton.
Bahan yang digunakan pada praktikum adalah sampel air Waduk Penjalin,
kertas GFC No. 41, MnSO4, KOH-KI, Na2S2O3 0,025N, H2SO4 pekat, indikator
amilum, akuades, Na2CO3 0,01 N, indikator Phenolpthalien (pp), HCl 0,1 N,
K2Cr2O7 0,025 N, FAS (Fero Amonium Sulfat) 0,1 N, indikator Femantrolin fero
sulfat (Feroin), NaOH, reagen campuran, lugol, formalin 40%, sampel plankton
yang telah diawetkan, dan aseton 90%.

B. Metode

Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah :


1. Pengukuran Parameter Fisik
a. Pengukuran Suhu Air
Pengukuran suhu air dilakukan dengan cara mencelupkan thermometer
Celsius kedalam perairan, kemudian dibaca skalanya.
b. Pengukuran Kedalaman
1) Tali rafia yang diikatkan pada sebuah batu kemudian diturunkan sampai
ke dasar waduk
2) Batas tali rafia pada permukaan hingga dasar perairan waduk diukur
menggunakan meteran
3) Angka sebagai hasil pengukuran kedalaman waduk dicatat.
c. Pengukuran Penetrasi Cahaya
1) Secchi disc atau batu diturunkan ke dalam badan air sampai titik tidak
terlihat, kemudian diukur kedalaman yang didapat sebagai nilai x (dalam
m atau cm).
2) Secchi disc atau batu diturunkan ke dalam badan air sampai tidak terlihat,
kemudian diangkat perlahan sampai mulai terlihat lagi, lalu diukur sebagai
nilai y.
3) Besar nilai penetrasi cahaya dihitung dengan rumus :
Penetrasi cahaya (cm) = x + y
2
d. Pengukuran Padatan Tersuspensi Total
1) Kertas whatman no.41 dibilas dengan akuades, kemudian dioven pada
suhu 105°C selama 1 jam, lalu didinginkan dengan desikator selama 15
menit.
2) Kertas whatman no.41 ditimbang sebagai berat awal (x).
3) Sebanyak 1 liter sampel disaring dengan kertas Whatman no.41 yang telah
ditimbang.
4) Filtrat yang tersaring beserta kertas Whatman no.41 tersebut dioven
selama 1 jam pada suhu 105°C.
5) Kertas Whatman dimasukan ke dalam desikator selama 15 menit.
6) Kertas Whatman ditimbang sebagai berat akhir (y).
7) Kadar TSS dihitung dengan rumus berikut :

e. Pengukuran TSS (Total Suspended Solid) dan TDS (Total Desolved


Solid):
1) Kertas GFC dan mangkok porselin dicuci dengan akuades, kemudian

dioven pada suhu 105°C selama 1 jam, selanjutnya didinginkan dengan


desikator cabinet selama 15menit.
2) Kertas GFC dan mangkok porselin ditimbang sebagai berat awal (x) untuk
TSS.
3) Kertas GFC dan mangkok porselin ditimbang sebagai berat awal (x) untuk
TSS.
4) Air yang telah tersaring dituang ke cawan porselin sebanyak 30 ml untuk
TDS.
5) Masing-masing dioven pada suhu 105oC, untuk kertas GFC dioven selama
1 jam dancawan porselin dioven selama 24 jam.
6) Cawan porselin dan kertas GFC didinginkan kedalam desikator kabinet
selama 15 menit.
7) Kertas GFC ditimbang berat akhir (y) dan cawan porselin juga ditimbang
sebagai berat akhir (y).

8) Kadar TSS dihitung dengan rumus : TSS =

9) Kadar TDS dihitung dengan rumus : TDS =

2. Pengukuran Parameter Kimia


a. Pengukuran pH
1) Kertas pH dicelupkan pada air waduk.
2) Kertas pH diamati perubahan dan dicocokan dengan pH indikator.
b. Pengukuran Oksigen Terlarut (DO)
1) Air sampel diambil dengan botol Winkler 250 mL jangan sampai ada
gelembung. Kemudian ditutup.
2) Larutan 1 mL MnSO4 dan KOH-KI 1 mL ditambahkan kemudian botol
ditutup kembali.
3) Botol dibolak-balik atau dihomogenkan perlahan dan didiamkan 2 menit
sampai timbul endapan.
4) H2SO4 1 mL ditambahkan kemudian dihomogenkan dan didiamkan sampai
endapan hilang.
5) Sebanyak 100 mL sampel diambil dan dituang ke dalam labu erlenmeyer.
6) Indikator amilum 3-5 tetes ditambahkan sampai berwarna biru.
7) Lakukan titrasi dengan Na2S2O3 0,025N sampai dengan jernih.
8) Volume titran yang digunakan untuk titrasi dicatat dan dimasukan ke
dalam rumus :

Oksigen terlarut = 1000 x p x q x 8 mg/l


100
Keterangan :
P = jumlah atau volume Na2S2O3 0,025N yang digunakan dalam
titrasi (ml)
q = normalitas larutan (0,025 N)
8 = bobot setara dengan O2
c. Pengukuran Karbondioksida CO2 bebas
1) Air sampel diambil dengan botol Winkler 250 mL jangan sampai ada
gelembung, kemudian ditutup.
2) Sebanyak 100 mL sampel diambil dan dituang ke dalam labu erlenmeyer.
3) Sebanyak 3-5 tetes PP ditambahkan.
4) Lakukan titrasi dengan Na2CO3 0,01N sampai dengan larutan berubah
pink.
5) Volume titran yang digunakan untuk titrasi dicatat dan dimasukan ke
dalam rumus :
Kadar CO2 bebas = 1000 x p x q x 22 mg/l
100
Keterangan :
p = jumlah atau volume Na2CO3 0,01Nyang digunakan dalam titrasi (ml)
q = normalitas larutan (0,01N)
22 = bobot setara dengan CO2
d. Pengukuran DMA
1) 100 ml air sampel diambil menggunakan gelas ukur, dimasukan ke
erlenmeyer.
2) Ditambahkan 3-5 tetes MO (Metil orange) hingga warna kuning.
3) Dilakukan tiitrasi menggunakan H2SO4 0.02 N sampai merah basa
4) Volume dicatat dan dihitung dengan rumus
5) Rumus DMA:
DMA = 1000 x p x q
100
Keterangan :
P = Jumlah HCl 0.1 N yang digunakan dalam titrasi (ml)
Q = Normalitas larutan.
e. Pengukuran BOD
1) Sampel 250 mL diencerkan dengan pengencer 250 mL. Dihomogenkan
dan dipindahkan dalam ke kedua botol Winkler yaitu winkler gelap dan
bening.
2) Botol Winkler gelap didiamkan selama 5 hari untuk pengukuran BOD5.
Botol Winkler bening dilakukan pengukuran BOD0.
3) Larutan MnSO4 1 mL dan KOH-KI 1 mL dimasukkan ke dalam botol
BOD0, dihomogenkan dan tunggu hingga ada endapan.
4) Larutan H2SO4 1 mL ditambahkan kemudian dihomogenkan dan
didiamkan sampai endapan hilang.
5) Sampel 100 mL diambil dan dimasukan dalam erlenmeyer.
6) Amilum ditambahkan sebanyak 3-5 tetes.
7) Lakukan titrasi dengan Na2S2O3 sampai jernih.
8) Setelah hari ke-5, sampel untuk BOD5 dan blanko BOD5 dilakukan
tahapan titrasi seperti BOD0.
9) Kadar BOD dihitung dengan rumus:
BOD = (X0-X5) – (B0-B5)(1-P)
P
Keterangan :
X0 = oksigen terlarut sampel saat t : 0 (mg/L)
X5 = oksigen terlarut sampel saat t : 5 (mg/L)
B0 = oksigen terlarut blanko saat t : 0 (mg/L)
B5 = oksigen terlarut blanko saat t : 5 (mg/L)
P = faktor pengenceran
f. Pengukuran Orthofosfat
1) Sebanyak 50 mL sampel air dimasukan ke dalam erlenmeyer dan disaring
menggunakan kertas Whatman no.1.
2) Tetesi 1-2 tetes PP, kemudian ½ tetes NaOH diteteskan ke dalam sampel.
3) Sebanyak 8 mL reagen campuran (amin molibdate, K-antimonil, H2SO4,
asam askorbit) dimasukan dan didiamkan selama 5 menit.
4) Kemudian dispektrofotometri dengan λ = 880 nm.
g. Pengukuran NO3 (Nitrat)
1) Sebanyak 50 mL sampel dimasukan dalam erlenmeyer dan disaring
dengan menggunakan kertas Whatman no.1.
2) Sebanyak 1 mL HCl 1N ditambahkan dan dihomogenkan.
3) Kemudian dispektrofotometri dengan λ = 220 nm.
h. Pengukuran nitrit
1) Sampel air 50 ml disaring dengan kertas Whatman no.1
2) ditambahkan 1 ml larutan sulfanilamida, dikocok dan biarkan selama 2-8
menit
3) ditambahkan 1 ml larutan NED dihidroklorida
4) dikocok dan dibiarkan selama 10 menit dibaca absorbansinya pada
panjang gelombang 543 nm.
i. Pengukuran Amonium
1) Sampel air 50 ml dimasukkan kedalam labu erlenmeyer 100 ml
2) Ditambahkan 1 ml larutan nestler, dikocok dam dibiarkan proses reaksi
berlangsung paling lama 10 menit
3) Dimasukkan kedalam kuvet pada alat spektrofotometer, dicatat hasilnya.
3. Parameter Biologi
a. Pengukuran Klorofil
1) Sebanyak 1 L sampel dalam botol gelap disaring dengan kertas Whatman,
kemudian disaring dengan GFC.
2) Kertas GFC digerus dalam tabung reaksi.
3) Sebanyak 10 mL aseton 90% ditambahkan sedikit demi sedikit.
4) Sampel dibungkus alumunium foil dan didiamkan 24 jam.
5) Kemudian lakukan spektrofotometer dengan λ = 750 nm, 664 nm, 665 nm.
b. Pengamatan Plankton
1) Sampel air diambil dengan menggunakan ember sebanyak 10 kali dan
disaring dengan plankton net no. 25.
2) Sampel air dimasukan dalam botol dan ditambahkan formalin40% sebagai
pengawet sehingga kadarnya menjadi 4% dan ditambahkan larutan lugol
atau CUSO4 jenuh sebanyak 2 tetes, kemudian sampel dimasukkan ke
dalam lemari pendingin.
3) Sampel diambil dengan pipet tetes.
4) Sampel diteteskan dalam object glass sebanyak 1 tetes dan ditutup dengan
cover glass.
5) Lakukan pengamatan di bawah mikroskop, kemudian diidentifikasi dan
difoto.
c. Produktivitas primer
1) Sampel diambil menggunakan water sampler dan ditempatkan di dalam
botol terang volume 250 ml untuk pengukuran oksigen initial. Kandungan
oksigen terlarut dari botol inisial diukur pada saat akan dilakukan inkubasi.
2) Botol terang dan botol gelap ditempatkan pada kolom air kedalaman 20
cm dengan cara digantungkan menggunkan tali.
3) Botol yang digantungkan diinkubasi selama 4 jam. Waktu inkubasi
didasarkan pada saat matahari optimal.
4) Dilakukan pengukurann kandungan oksigen pada botol terang dan botol
gelap.

C. Analisis Data

1. Untuk mengetahui kualitas air di Rawa Bendungan menggunakan analisis data


secara deskriptif.
2. Untuk mengetahui kelimpahan plankton di Rawa Bendunganmenggunakan
rumus Sachlan secara kuantitatif.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Parameter Fisik (Data Seluruh Stasiun)


Stasiun
Parameter
satuan 1 2 3 4 5 6 7 8
Fisik
Temperatur 0C 28,5 30,5 28,5 32 32 31,25 32 27,5
Kecerahan cm 45,5 52,5 42 5,47 118 62 80 77
Kedalaman m 3,3 2,65 1,80 1,58 1,59 1,03 3,05 131
TSS mg/L 11 1000 800 20 5 50 2 2
TDS mg/L 0,098 0,93 0,099 0,093 0,089 0,09 92
0,047
1

Tabel 4.2 Hasil Pengukuran Parameter Kimiawi (Data Seluruh Stasiun)


Stasiun
Parameter
satuan 1 2 3 4 5 6 7 8
Kimiawi
DO mg/l 4,7 2,5 3,5 4,9 4,6 5,4 6,8 2,2
CO2 bebas mg/l 8,25 8,14 110 5,72 6,82 9,02 10,45 4,4
pH 6 6 8 7 7 6 6 6
Nitrat mg/l 0,01 0,2 0,7224 0,241 0,447 0,492 0,447 0,548
Nitrit mg/l 0,028 0,008 0,007 0,004 0,0036 0,0017 0,0011 0,0018
Orthopospa mg/l 0,012 0,005 0,009 0,002 0,0036 0,0042 0,0042 0,0037
t
Total P mg/l 0,002 0,011 0,0047 0,026 0,0340 0,0107 0,0340 0,0080
6
COD mg/l 11,6 10,4 15,6 10 0,8 12 14 27,20
BOD mg/l 9,4 0 20,4 5 3 0,2 0,3 11,2
Amonia mg/l 0,278 1,098 15,751 0,210 5,5856 0,6239 5,586 0,0847
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Parameter Biologis (Data Seluruh Stasiun)
Klorofil Produktivitas Primer Produktivitas Primer
st (mg/m3) mgO2/L/jam mgC/L/jam
A B C NPP GPP R NPP GPP
1 0,0418 0,34039 -0,1228 0,3 1 0,3 0,31125 0,09375
2 0,340068 0,036762 0,0280 4,075 3,4 4,075 1,0625 1,2734375
3 0,039 0,0634 0,014751 0,4 0,15 -0,5 0,25 0,2265
4 0,370982 0,24132 -0,00679 0,825 1,125 0,3 0,351 0,257
5 0,0696 -0,00889 -0,0421 0,39 0,46 1,5 0,46 1,173
6 0,08005 0,12996 0,04221 1,43 1,26 1,43 0,394 0,447
7 0,925 0,387 0,925 4,7 3,15
0,015 0,048 0,627
5
8 0,279 0,33 0,275 0,275 0,07 0,166

Tabel 4.4 Hasil Kelimpahan Plankton (Data Seluruh Stasiun)


N Stasiun (individu/L)
Spesies
o 1 2 3 4 5 6 7 8
1 Characium sp. 777,6
Treubaria 259,2
2
quadrispina
3 Microspora sp. 259,2
Brachionus 259,2
4
calyciflorus
Cylindrocytis 259,2
5
sp.
Schroederia 259,2
6
setigera
Monoraphidiu 259,2
7
m braunii
Cosmarium 259,2
8
moniliforme
Coleochaete 259,2
9
sp.
Eremosphaera 259,2
10
viridis
Cosmarium 35,2
11
granatum
Brathionus 35,2
12
falcatus
Ceriodaphnia 35,2
13
rigaudi
Chroococcus 35,2
14
limneticus
Naricula 35,2
15
raeliosa
Coelospaerium 35,2
16
kuetzinglanum
Ochilatoria 35,2
17
limosa
Spilurina 35,2
18
major
19 Lecane luna 35,2
Kaesocyope 70,4
20
olthanolees
Keretella valga 4259,
21
2
Trichocerca 387,2
22
cylindrical
Suriella 337,2
23
fastuosa
Koratella 337,2
24
hiemalis
Alaimus 367,2
25
simplex
Rhabdolaimus 387,2
26
minor
Squatinella 387,2
27
mutiaci
Brachionus 387,2
28
raindes
Porphyrosipho 387,2
29
n notarisii
30 Lecane luna 387,2
Pseudoeunutic 387,2
31
a dollolus
Brachionus 103
32
quadridenatus 6,8
Brachionus 777,
33
polycystile 6
Dactylococcop 777,
34
sis fascularis 6
Nauplius sp. 155
35
5,2
Cyclops 103
36
sternuus 6,8
Euglena sp. 777,
37
6
Geratium furca 518
38
4
Achanthes 518
39
lanceolata 4
Euglena 518
40
gracillis 4
Zynemopsis 116,
41
americana 46
Syncoeta 116,
42
stylata 46
Chroococcus 232,
43
giganteus 92
Inabaena 489
44
circinalis 1,32
Brachnionus 465,
45
falcotus 84
Moina affinis 232,
46
92
Gonium 116,
47
pectorale 46
Eucyclops 116,
48
japonicas 46
Daphnia 116,
49
longispina 46
Melosira 232,
50
italica 92
51 Spyrogyra sp. 259,2
Dinophysis 259,2
52
norvegica
Nouplius 259,2
53
artemia
Gonotozygon 259,2
54
monotaenium
Branchionus 259,2
55
falccitus
Pseudonabaen 259,2
56
a limnetica
Moina 259,2
57
macrocopa
Diaphanosoma 259,2
58
birgei
Diocyclops 259,2
59
thomasii
Tetradinium 259,2
60
javanicum
Pediastrum 259,2
61
duplex
Merismopedia 518,4
62
tenuissina
Brachionus 777,6
63
falcatus
Cosmarium 1.036,
64
blytii 8
Nannochlorops 3.628,
65 is oculata 8

66 Uroglena sp. 259,2

67 Crucigonia sp. 259,2


Symploca 518,4
68 muscosum

69 Cyclotella sp. 259,2

70 Peroniella sp. 259,2

71 Synedra sp. 518,4


Scenedesmus 777,6
72 acuminatus

73 Nauplius sp. 259,2

Perhitungan setiap parameter


A. ParameterKimiawi
1. BOD

BOD =
=3 mg/l

2. COD

COD =
= 0,8 mg/l

B.ParameterFisik
1. TSS
TSS =
= 5 mg/l

2. TDS

TDS (mg/l) =

= 0,093 mg/l

C. ParameterBiologi
1. Produktivitas Primer
Produktifitas Primer Oksigen (mgO2/I/jam)

NPP =

= 0,195

GPP =

= 0,242

R =

= 10,9 – 4,9 = 1,5


4

Produktifitas Primer Karbon (mgC/I/jam)

NPP =

= 0,234

GPP =

= 0,0156
R = 9,6 – 4,9 = 1,173
4
C. ParameterBiologi
 Klorofil a =11,85 × -0,001 – 1,54 × 0,001−0,008 × 0,006
= -0,01185 – 0,00154 −0,000048
= 0,0696mg/m3
 Klorofil b = -5,43 × -0,001 + 21,03 × 0,001− 2,66 × 0,006
= 0,00543+ 0,02103 – 0,01596
= - 0,00889mg/m3

 Klorofil c =-1,67 × -0,001 + 7,60 × 0,001 − 24,52 × 0,006


= -0,00167– 0,0076 – 0,14712
= 0,0421mg/m3

100 18×18 𝐸
 Kelimpahan plankton (ind/L) = X X = 0,05 × 25
× 100
100 324 4
1. KelimpahanCosmarium blytii=0,05 × × = 103,8ind/L
25 100
100 324 14
2. KelimpahanNannochloropsis oculata=0,05 × × 100= 3628,8ind/L
25
100 324 1
3. KelimpahanUroglena sp.=0,05 × × = 259,2ind/L
25 100
100 324 1
4. KelimpahanCrucigenia sp.=0,05 × × 100= 259,2ind/L
25
100 324 2
5. KelimpahanSymploca muscorum=0,05 × × 100= 518,4ind/L
25
100 324 1
6. KelimpahanCyclotella sp.=0,05 × × 100= 259,2ind/L
25
100 324 1
7. KelimpahanPeroniella sp. =0,05 × × 100= 259,2 ind ind/L
25
100 324 2
8. KelimpahanSynedra sp. =0,05 × × 100= 518,4ind/Lind/L
25
100 324 3
9. KelimpahanScenedesmus acuminatus =0,05 × × 100= 777,6 ind/L
25
100 324 1
10. KelimpahanNaupilus sp. =0,05 × × 100= 259,2 ind/Lind/L
25
Gambar 4.1.Cosmarium blytii Gambar 4.2.Nannochloropsis
oculata

Gambar 4.3.Uroglena sp. Gambar 4.4.Crucigenia sp.

Gambar 4.5.Symploca muscorum Gambar 4.6.Cyclotella sp.

Gambar 4.7.Perionella sp. Gambar 4.8.Synedra sp.


Gambar 4.9.Scenedesmus Gambar 4.10.Nauplius sp.
acuminatus
B. Pembahasan

Rawa bendungan merupakan perairan lentik yang terletak di


Kabupaten Cilacap. Perairan Rawa Bendungan juga mendapat masukan limbah
dari aktivitas masyarakat di sekitarnya yaitu industri tahu, peternakan sapi, dan
pertanian. Limbah yang masuk dari berbagai aktivitas masyarakat ke badan
perairan mengalami dekomposisi secara aerobik dan menyebabkan kandungan
O2 terlarut turun. Penurunan O2 terlarut sampai nol menyebabkan proses
dekomposisi berlangsung secara anaerobik yang menghasilkan senyawa toksik
seperti CO2, NH3, H2S, dan CH4, serta senyawa lain seperti amonia dan
komponen fosfor (Kurnianto et al, 2014).
Berikut ini merupakan penjelasan hasil dari masing-masing parameter
yang diamati di Rawa Bendungan :
1. Kualitas air
a. Parameter Fisik
a.1. Temperatur

Temperatur
34
32 32 32
32 31.25
30.5
30
28.5 28.5
28 27.5

26

24
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

Temperatur

Gambar 4.1 Temperatur Rawa Bendungan


Berdasarkan hasil praktikum,suhuperairan di Rawa Bendungan
Cilacap yaitu berkisar antara 27-32°C. Hal ini menunjukkan bahwa perairan di
Rawa Bendungan Cilacap masih bisa dijadikan sebagai tempat bagi
berkembangnya plankton. Plankton akan berkembang baik pada kisaran suhu
25-30°C. Tingginya suhu pada suatu perairan dapat disebabkan oleh dasar
perairan tersebut yang dangkal, dimana suhu pada perairan yang dangkal dapat
mencapai 34°C. Selain itu, jenis substrat dasar suatu perairan juga dapat
mempengaruhi suhu dari perairan tersebut, misalnya perairan dengan jenis
substrat tanah berpasir akan memiliki temperatur perairan yang lebih hangat
dengan perairan dengan jenis substrat berlumpur. Hal ini diduga disebabkan
banyaknya limbah dari berbagai hasil aktivitas yang terdistribusi ke lokasi
perairan seperti aktivitas tambak, hasil pertanian, buangan limbah rumah
tangga, serta industri (kayu, plastik, paku, dsb) (Pratiwi, 2017).
a.2. Total Dissolved Solids

TDS
1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

TDS

Gambar 4.2 TotalDissolvedSolidsRawa Bendungan


Total Dissolved Solids (TDS) didefinisikan sebagai semua substansi
anorganik dan organik dalam air yang dapat melewati filter 2 mikron. Secara
umum, TDS adalah jumlah dari kation dan anion dalam air. Ion dan senyawa
ionik yang menyusun TDS biasanya mencakup karbonat, bikarbonat, klorida,
fluorida, sulfat, fosfat, nitrat, kalsium, magnesium, sodium, dan potassium,
namun semua ion yang ada akan berkontribusi terhadap jumlah total. Ion
organic mencakup polutan, herbisida, dan hidrokarbon. TDS mencakup semua
molekul mineral dan organik yang menyediakan manfaat seperti nutrien atau
kontaminan seperti logam beracun dan polutan organik. Berdasarkan hasil
praktikum pengukuran TDS setelah dirata-ratakan sebesar 0,099 menunjukkan
adanya hasil pertambangan atau perlakuan industri terhadap air. Air dengan
konsentrasi TDS lebih tinggi dari 1000 mg/L dianggap keruh. Perubahan
konsentrasi TDS diperairan alami seringkali merupakan hasil dari limbah
industri, perubahan keseimbangan air (dengan membatasi pemasukan air,
dengan peningkatan penggunaan air atau peningkatan presipitasi), atau dengan
penyusupan garam ke air (Ginting, 2007). Menurut Marendy (2013), nilai
TDS <80 mg/L masih tergolong perairan dengan kondisi yang baik. Hal ini
mengindikasikan rawa bendungan Cilacap sudah tidak bagus lagi kondisisnya
karena banyak mengandung padatan. Padatan ini dapat berasal dari pelapukan
batuan, buangan limbah masyarakat, dan sedimentasi.
a.3. TotalSuspendedSolids

TSS
1200
1000
1000
800
800

600

400

200
20 50
11 5 2 2
0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

Gambar 4.3 TotalSuspendedSolidsRawa Bendungan


TSS (Total Suspended Solid) adalah air di suatu lingkungan dapat
mencakup beragam jenis kotoran. Suspended solids atau padatan tersuspensi
adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan partikel di dalam air.
Secara partikal, mereka didefinisikan sebagai partikel yang ukurannya besar,
sehingga tidak dapat melewati filter yang digunakan untuk memisahkan
mereka dari air. Padatan tersuspensi terdapat di semua air limbah sanitasi dan
berbagai jenis air limbah industri. Ada juga sumber padatan tersuspensi yang
tak bertitik, seperti erosi tanah dari lokasi pertanian dan konstruksi (Effendi,
2003). Berdasarkan hasil praktikum, jumlah padatan tersuspensi di rawa
bendungan Cilacap adalah 11, 1000, 800, 20, 2000, 50, 2, dan 2 4mg/L .Hal ini
menunjukkaan adanya kegiatan masyarakat seperti kegiatan industri dan
kegiatan pertanian yang mempengaruhi kualitas air rawa. Menurut Effendi
(2003), meskipun tidak bersifat toksik, bahan tersuspensi yang berlebihan
dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya akan menghambat
adaanya penetrasi cahaya ke perairan dan dapat menghambat fotosintesis.
Meningkatnya tingkat TSS akan menurunkan kemampuan sebuah perairan
dalam menyokong keragaman organisme air. Padatan tersuspensi menyerap
panas dari cahaya matahari yang meningkatkan suhu air, sehingga menurunkan
tingkat oksigen terlarut (perairan hangat memiliki lebih sedikit oksigen
dibandingkan perairan yang lebih dingin).
a.4. Kecerahan

Kecerahan
90
80
70 80 80 77
60
62
50
52.5
40 45.5
42
30
20
10
5.47
0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

Kecerahan

Gambar 4.4 Kecerahan Rawa Bendungan


Berdasarkan hasil praktikum, kecerahan di Rawa Bendungan Cilacap
dominan >80.Hal ini menunjukkan bahwa penetrasi cahaya yang masuk ke
dalam perairan cukup baik, karena praktikum dilakukan pada pagi hari dan
cuacanya lumayan cerah. Menurut Nybakken (1988), makin tinggi kecerahan,
maka intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan akan semakin besar.
Kecerahan perairan berlawanan dengan kekeruhan yang juga disebabkan
adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut, maupun
bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikrooganisme
lainnya.
Kedalaman perairan mempengaruhi jumlah dan jenis plankton di suatu
perairan. Kedalaman airjuga mempengaruhi kelimpahan dan distribusi
plankton. Perairan dengan kedalaman air yang berbeda akan dihuni oleh
plankton yang berbeda pula dan terjadi stratifikasi komunitas yang
berbeda. Produktivitas perairan berkurang dan mengakibatkan rendahnya
kepadatan plankton pada perairan yang lebih dalam dikarenakan
kandungan bahan-bahan organik yang lebih sedikit atau kurang melimpah
(Tang & Kasmawati, 1992).
a.5. Kedalaman & Kekeruhan

Kedalaman
3.5
3 3.3
3.05 3.05
2.5
2.65
2
1.5 1.8
1.58
1 1.31
1.03
0.5
0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

Kedalaman

Gambar 4.5 Kedalaman Rawa Bendungan


Kedalaman suatu ekosistem perairandapat bervariasi tergantung pada
zonakedalaman dari suatu perairan tersebut, semakin dalam perairan tersebut
maka intensitas cahaya matahari yang masuksemakin berkurang. Kedalaman
suatu perairan disebabkan oleh tingginya bahan organik dan bahan anorganik
seperti lumpur dan pasir halus (Pardede et al., 2016). Produktivitas perairan
yang dalam akan berkurangkarna kurangnya cahaya matahari yang masuk.
Produksi perairan akan turun cepat sesuai dengan makin dalamnya perairan
yang diikuti dengan makin berkurangnya tumbuhan-tumuhan berklorofil dan
bahan organik. Kedalaman 2,5 meter merupakan kedalaman yang ideal bagi
terjadinya proses fotosintesis yang optimal (Yuningsih et al., 2014).
b. Parameter Kimiawi
b.1. pH

pH
10

8
8
6 7 7
6 6 6 6 6
4

0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

pH

Gambar 4.6 pH Rawa Bendungan


Derajat Keasaman (pH) sangat penting dalam keberlangsungan
hidup organisme akuatik, karena pH dapat mempengaruhi jenis dan
susunan zat dalam lingkungan perairan dan tersedianya unsur hara serta
toksisitas unsur renik. Beberapa organisme akuatik seperti benthos
menyukai nilai pH sekitar 7–8,5 untuk lingkungan hidupnya. Rendahnya
pH suatu perairan dapat disebabkan oleh tingginya bahan organik yang
terdistribusi ke perairan. Nilai pH sangat mempengaruhi proses
biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir pada pH
kurang dari 6 (Effendi, 2003). Peningkatan pH di perairan dikarenakan
alga memperoleh karbon anorganik dari ion bikarbonat (HCO-3) pada
proses fotosintesis yang akan meningkatkan jumlah hydroxyl ion (OH-) di
perairan (Novotny, 2011).
b.2. Dissolved Oxygen
Proses oksidasi dan reduksi dalam suatu perairan menyebabkan
oksigen terlarut memiliki peranan yang sangat penting untuk membantu
mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara
perlakuan aerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri
dan rumah tangga. Tingginya nilai DO atau oksigen terlarut di perairan ini
diduga akibat tingginya laju fotosintesis yang dapat memicu peningkatan
nilai pH dan DO pada perairan produktif (Goldman & Horne 1983).
Korelasi antara kualitas air dengan oksigen terlarut dapat dilihat pada tabel
berikut (Takdir, 1999):
Tabel 4.2.1 Kriteria Kualitas Perairan berdasarkan Konsentrasi
Oksigen Terlarut

DO
8
7
6 6.8

5 5.4
4 4.7 4.9

3 3.5
2 2.5
2.2
1
0.6
0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

DO

Gambar 4.7 Dissolved Oxygen Rawa Bendungan


Berdasarkan hasil praktikum didapatkan jumlah DO adalah 0,6.
Ketersediaan oksigen lebih dari 2.00 mg/L merupakan kondisi batas
minimum oksigen yang dapat mendukung berlangsungnya aktivitas
organisme perairan.Karena itu, tingkat kelarutan oksigen sering dijadikan
sebagai indikator gangguan perairan.Rendahnya kandungan oksigen terlarut
pada perairan dapat pula disebabkan oleh aktivitas fitoplankton yang tidak
optimal oleh karena intensitas cahaya yang masuk ke perairan berkurang
akibat tingginya suplai bahan organik (Izzah, 2016).Hasil pengukuran pada
stasiun 5 kurang dari 2 mg/L, sehingga kondisi perairannya dapat dikatakan
kurang baik mendukung berlangsungnya aktivitas organisme perairan
b.3. Nitrat

Nitrat
0.8
0.7
0.7224
0.6
0.5 0.548
0.4 0.492
0.447 0.447
0.3
0.2 0.241
0.2
0.1
0.01
0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

Nitrat

Gambar 4.8 Kandungan Nitrat Rawa Bendungan


Berdasarkan hasil praktikum didapatkan besar nitrat yaitu 0,447.
Peningkatan nitrat perairan diduga disebabkan oleh kandungan oksigen terlarut
yang cukup tinggi Konsentrasi nitrat yang tinggi ini tidak terlalu dikhawatirkan
karena cepat dimanfaatkan oleh fitoplankton. Penggunaan NO3- dan NH4+
rata rata oleh fitoplanktonmasing-masing 42,13 mg/l m- 2 perhari dan 39,72
mg/l m-2 perhari (James etal., 1997 diacu dalam Rustadi 2009). Menurut
Effendi (2003), selain pelapukan batuan mineral fosfat juga berasal dari
dekomposisi bahan organik. Sumber antropogenik fosfat adalah limbah industri
dan domestik, yakni fosfat yang berasal dari detergen, limpasan dari daerah
pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi yang cukup
besar bagi keberadaan fosfat di perairan.Setiap perubahan konsentrasi fosfat
pada ekosistem perairan juga dapat mempengaruhi status trofik dari perairan
tersebut, penurunan nutrient yang masuk menurunkan konsentrasi fosfat di
danau yang juga menurunkan biomassafitoplankton (Devi & Siddaraju, 2012).
b.4.Nitrit

Nitrit
0.03

0.025 0.028

0.02

0.015

0.01

0.005 0.008 0.007


0.004 0.0036 0.0017 0.0011 0.0018
0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

Nitrit

Gambar 4.9 Kandungan Nitrit Rawa Bendungan


Berdasarkan hasil praktikum nilai nitrit adalah 0,0035. Rendahnya
konsentrasi nitrit di lapisan permukaan karena pada lapisan ini oksigen yang
tersedia cukup melimpah dengan adanya difusi oksigen dari atmosfir. Dengan
bantuan bakteri, oksigen tersebut akan mengoksidasi nitrit menjadi nitrat
sehingga konsentrasi nitrit di lapisan nitrit menjadi nitrat sehingga konsentrasi
nitrit di lapisan permukaan menjadi kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat
Weagle et al., 2012 bahwa distribusi vertikal nitrit semakin tinggi sejalan
dengan bertambahnya kedalaman perairan dan semakin rendahnya kadar
oksigen, sedangkan distribusi horizontal kadar nitrit semakin tinggi menuju
kearah muara sungai.
b.5. BOD (Biological Oxygen Demand)

BOD
25

20
20.4

15

10
9.4
5
5
0 3 0.2 0.3 0.0018
0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

BOD

Gambar 4.10 Biological Oxygen DemandRawa Bendungan


Tingkat pencemaran air dapat ditentukan dengan melihat oksigen
terlarutnya. Oksigen terlarut dapat dilihat melalui uji BOD dan COD. BOD
atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang
menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik.
Singkatnya BOD adalah jumlah bahan organik yang mudah diurai di perairan
(Mahbud, 1990).
Hasil praktikum yang telah dilakukan terhadap kandungan BOD pada
rawa bendungan yaitu 3.Menurut Kaslan (1991), kandungan maksimal BOD
yaitu 3mg/L untuk air kelas 2 dan 6mg/L untuk air kelas 3. Hal tersebut
menunjukkan bahwa perairan yang diuji oleh kelompok kami tidak tercemar,
sedangkan perairan yang nilainya dibawah 3 untuk air kelas 2 dan diatas 6
untuk air kelas 3 maka air tercemar. Perairan yang tercemar salah satunya
diakibatkan oleh banyaknya kandungan zat-zat yang tidak dapat larut di dalam
air sehingga menghambat proses dekomposisi dan fotosintesis.
b.6. COD (Chemical Oxygen Demand)

COD
18
16
14 15.6
12 14
10 11.6 12
11.2
10.4 10
8
6
4
2 0.8
0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

COD

Gambar 4.11 Chemical Oxygen Demand Rawa Bendungan


COD adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam 1 liter sampel air. Pengoksidasi
yang digunakan adalah K2Cr2O7 sebagai sumber oksigen (oxidizing agent)
(Alerts danSantika, 1987 dalam Rudiyanti, 2009). Prinsip analisisnya adalah
menggunakan oksidator potassium dikromat yang berkadar asam tinggi dan
dipertahankan pada temperatur tertentu. Penambahan oksidator ini menjadikan
proses oksidasi bahan organik menjadi air dan karbondioksida. Setelah
pemanasan maka sisa dikromat diukur.Pengukuran ini dengan jalan titrasi,
oksigen yang ekivalen dengan dikromat inilah yang menyatakan COD dalam
satuan ppm (Rudiyanti, 2009).
Berdasarkan hasil pengukuran, didapatkan nilai COD di stasiun 5
rawa bendungan sebanyak 0,8 mg/L, maka air di daerah tersebut tercemar dan
mutunya tidak baik. Menurut SK Gubernur Jawa Timur no. 413 Tahun 1987,
standar baku mutu limbah cair yang ditetapkan adalah dalam batas 10-25 mg/L
untuk COD dalam perairan. Nilai COD pada perairan yang tinggi disebabkan
adanya sumbangan dari bahan-bahan organik tersuspensi berupa rantai cabang
alkyl dan rantai lurus linier panjang yang merupakan bagian hidrofod dari
surfaktan.Selain itu juga berasal dari bahan-bahan tambahan untuk pencerah,
pewangi, dan zat pencegah melekatnya kembali kotoran, yang menghasilkan
residual yang juga berpengaruh terhadap tingginya nilai COD. Beberapa
kandungan zat yang terdapat dalam bahan tersebut menimbulkan efek negatif
bagi kesehatan (Sumetri, 1984).
b.7. Fosfat Terlarut (Ortofosfat)

Ortofosfat
0.02

0.015

0.01

0.005

0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

Ortopospat

Gambar 4.12 Kandungan Ortofosfat Rawa Bendungan


Konsentrasi ortofosfat dalam perairan yang didapatkan yaitu berkisar
0,0036mg/L. Umumnya, perairan alami memiliki kandungan fosfat terlarut
(ortofosfat) tidak lebih dari 0,1 ppm (Suwardi et al., 2013). Alaerts & Santika
(1984) menyatakan bahwa apabila kandungan fosfat dalam air alam sangat
rendah (<0,01 mg/L), pertumbuhan fitoplankton akan terhalang. Keadaan ini
dinamakan oligotrof. Apabila kadar fosfat serta nutrien lainnya tinggi,
pertumbuhan fitoplankton tidak terbatas lagi (keadaan eutrof) sehingga
fitoplakton tersebut dapat menghabiskan oksigen dalam perairan waduk pada
malam hari (Kasry et al., 2009). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat
diketahui bahwa perairan rawa bendungan termasuk perairan oligotrof.
b.8. Amonia
Salah satu bahan kimia yang umum terkandung didalam limbah
adalah ammonia (NH3).Limbah dengan kandungan amonia sebagaian besar
bersumber dari sekresi mamalia dalam bentuk urin (peternakan), pabrik pupuk
nitrogen, pabrik ammonia dan pabrik asam nitrat. Berdasarkan hasil praktikum
yang didapat kandungan ammonia pada rawa bendungan yaitu 5,5856. Pabrik
ammonia menghasilkan sampai 1 kg amonia setiap 1 m3 limbah atau 1000
mg/L limbah, pabrik amonium nitrat mengeluarkan limbah cair dengan
kandungan amonia sebesar 2500 mg/L, sedangkan limbah peternakan dan
rumah tangga mengandung amonia dengan konsentrasi antara 100-250 mg/L
(Brigden dan Stringer, 2000). Dalam larutan air amonia berada dalam bentuk
terionisasi (NH4 +) maupun tidak terionisasi (NH3). Konsentrasi relatif dari
masing-masing jenis tergantung dari beberapa faktor diantaranya pH dan
suhu.Sifat racun dari amonia berhubungan dengan konsentrasi dari bentuk tak
terionisasi (NH3). Sifat racun dari amonia tak terionisasi ini akan tinggi pada
lingkungan dengan suhu yang rendah dan pH tinggi. Sedangkan pada pH yang
rendah sebagian besar dari amonia akan terionisasi menjadi ion amonium (NH4
+) (Maniagasi et al., 2013).

Amonia
20
15.751
15

10
5.5856 5.586
5
0.278 1.098 0.21 0.6239 0.847
0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8

Amonia

Gambar 4.13 Kandungan Amonia Rawa Bendungan

d. Parameter Biologi
1. Produktivitas primer
Klorofil merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan
produktivitas primer di perairan. Sebaran dan tinggi rendahnya kandungan
klorofil sangat terkait dengan kondisi oseanografi suatu perairan. Klorofil
terdiri dari tiga jenis yaitu klorofil-a, b dan c. Ketiga jenis klorofil ini
sangat penting dalam proses fotosintesis tumbuhan. Kandungan yang
paling dominan dimiliki oleh fitoplankton adalah klorofil-a. Oleh karena
itu klorofil-a dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kesuburan
perairan (Minsas et al., 2013).
Salah satu organisme yang hidup di ekosistem perairan pesisir
adalah fitoplankton. Fitoplankton di dalam ekosistem perairan berperan
sebagai pengubah zat-zat anorganik menjadi zat-zat organik melalui proses
fotosintesis, yang kemudian dapat menentukan produktivitas perairan.
Proses fotosintesis memerlukan klorofil, sehingga kandungan klorofil-a
pada fitoplankton itu sendiri dapat dijadikan indikator tinggi rendahnya
produktivitas suatu perairan (Roshisati, 2002).
Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh kandungan klorofil di
Rawa Bendungan yaitu klorofil a sebesar 0,0696, klorofil b sebesar -
0,00889, dan klorofil c sebesar – 0,0421. Hasil ini menunjukkan bahwa
kandungan klorofil di perairan Rawa bendungan berbeda-beda. Kandungan
klorofil di Rawa Bendungan masih dikatakan sedikit, yang berarti bahwa
biomassa fitoplankton di perairan tersebut juga sedikit. Menurut Arifin
(2009),kandungan pigmen fotosintesis atau klorofil (terutama klorofil-a)
dalam air sampel menggambarkan biomassa fitoplankton dalam suatu
perairan. Klorofil-a merupakan pigmen yang selalu ditemukan dalam
fitoplankton serta semua organisme autotrof dan merupakan pigmen yang
terlibat langsung (pigmen aktif) dalam proses fotosintesis. Jumlah klorofil-
a pada setiap individu fitoplankton tergantung pada jenis fitoplankton, oleh
karena itu komposisi jenis fitoplankton sangat berpengaruh terhadap
kandungan klorofil-a di perairan.Nilai konsentrasi atau kandungan
klorofil-a pada fitoplankton dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia
perairan lainnya serta faktor biologi.Pengukuran khlorofil-a dapat
dijadikan sebagai alat untuk mempelajari. Sebagai perubahan dalam
biomassa tumbuhan mempengaruhi oksigen pada lapisan hypolimnetik dan
spesies ikan yang ada, yang dapat mempengaruhi rantai makanan dan
potensi rekreasi dari perairan tesebut (Murthy etal., 2008).
2. Kelimpahan Plankton

Kelimpahan Plankton
4000 3628.8
3500
3000
individu/L
2500
2000
1500 1036.8
777.6
1000 518.4 518.4
259.2 259.2 259.2 259.2 259.2
500
0

Gambar 4.14 Kelimpahan Plankton Rawa Bendungan


Terdapat 10 spesies plankton yang ditemukan pada stasiun
5.Cosmarium blytii sebanyak 4 individu, Nannochloropsis oculata 14
individu, Uroglena sp. 1 individu, Crucigenia sp. 1 individu, Symploca
muscorum 2 individu, Cyclotella sp. 1 individu, Perionella sp. 1 individu,
Synedra sp. 2 individu, Scenedosmus acuminatus 3 individu, dan Neuplius
sp. 1 individu. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa
Nannochloropsis oculata adalah spesies yang terbanyak ditemukan pada
stasiun 5. Menurut Hu dan Gao (2003), Nannochloropsis oculata
merupakan salah satu jenis dari mikroalga yang telah banyak
dibudidayakan dan digunakan sebagai pakan alami dalam usaha budidaya.
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Viridiplantae
Infrakingdom : Streptophyta
Phylum : Charophyta
Class : Conjugatophyceae (Zygnematophyceae)
Ordo : Desmidiales
Familia : Desmidiaceae
Genus : Cosmarium
Spesies : Cosmarium blytii Børgesen 1889
Menurut Misra et al. (2008), C. blytii berupa sel-sel sangat kecil,
sedikit lebih panjang dari luasnya. Bentuk selnya adalah setengah
lingkaran dengan sisi crenate.Dinding sel granulasi.Panjang 22 μm, lebar
20 μm dan isthums adalah 6 μm. Menurut Aquino et al. (2016), perubahan
morfologis dapat ditemukan di C. blyttii, terutama terkait dengan jumlah
undulasi di margin apikal dan lateral dan jumlah butiran menghiasi
permukaan semisel, dapat muncul hanya granula pusat atau satu cincin.
Kingdom : Chromista
Phylum : Ochrophyta
Class : Eustigmatophyceae
Ordo : Eustigmatales
Familia : Monodopsidaceae
Genus : Nannochloropsis
Spesies : Nannochloropsis oculata D.J.Hibberd 1981
Salah satu jenis fitoplankton yang sering digunakan pada kegiatan
pembenihan ikan yaitu jenis Nannochloropsis oculata (Sari dan Manan,
2012). Sebagai pakan alami N. oculata memiliki kandungan lipid cukup
tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif bahan biodiesel
sesuai dengan perkembangan kebutuhan energi (Endrawati dan
Riniatsih, 2012). N. oculata adalah salah satu alga yang paling efisien
dalam menangkap dan memanfaatkan energi cahaya dan CO2 untuk
keperluan fotosintesis.Mikroalga ini memiliki kapasitas untuk
memproduksi produk alga yang bernilai tinggi (Widyanigrum et al., 2013).
Kingdom : Chromista
Phylum : Ochrophyta
Class : Chrysophyceae
Ordo : Chromulinales
Familia : Chromulinaceae
Genus : Uroglena
Spesies : Uroglena sp. Ehrenberg, 1834
Sel-sel Uroglena memiliki posterior runcing yang mengecil
menjadi benang/utas tipis, mungkin sitoplasma.Utas ini menghubungkan
sel-sel individual melalui sistem percabangan dikotomis.Flagel yang lebih
pendek sekitar setengah panjang flagel yang lebih panjang.Koloni berkisar
antara 50 μm hingga 250 μm, paling umum 70–150 μm.Koloni yang lebih
kecil dengan sel yang lebih sedikit biasanya merupakan produk dari koloni
besar yang runtuh selama pengamatan.Koloni terdiri dari puluhan hingga
ratusan sel. Sel-sel terbalik bentuk air mata dengan posterior sel runcing
tajam. Ukuran sel adalah 9-12,5 μm panjang dan lebar 6-10 μm. Setiap sel
memiliki dua flagela anterior yang tidak sama. Flagel yang lebih panjang
berkisar antara 15 μm hingga 25 μm. Flagel yang lebih pendek berkisar
antara 7,5 μm hingga 12,5 μm, dan / atau sekitar setengah panjang flagel
yang lebih panjang. Sel-sel biasanya memiliki satu plastid berwarna
korset, bi-lobed, sedikit spiral, berwarna emas yang memiliki stigma
anterior (Pusztai dan Škaloud, 2019).
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Viridiplantae
Phylum : Chlorophyta
Subphylum : Chlorophytina
Class : Trebouxiophyceae
Ordo : Trebouxiophyceae ordo incertae sedis
Familia : Trebouxiophyceae
Genus : Crucigenia
Spesies : Crucigeniasp. Morren, 1830
Subfamili Crucigenioideae secara tradisional diklasifikasikan
dalam keluarga Scenedesmaceae (Chlorophyceae).Beberapa revisi
morfologis dan perubahan taksonomi yang dipertanyakan menghambat
klasifikasi spesies crucigenoid yang benar sehingga menghasilkan banyak
genera sinonim.Deskripsi genus Crucigenia adalah coenobia persegi,
dinding sel halus dan pergeseran orientasi dinding sel selama
autosporulasi.Sel-sel di tepi luar adalah cembung, tepi sel sedikit
rata.Pirenoid terdeteksi pada kloroplas parietal (Bock et al., 2013).
Kingdom : Eubacteria
Subkingdom : Negibacteria
Phylum : Cyanobacteria
Classis : Cyanophyceae
Subclass : Oscillatoriophycidae
Ordo : Oscillatoriales
Familia : Microcoleaceae
Genus : Symploca
Spesies : Symploca muscorum Gomont ex Gomont 1892
S. muscorum memiliki koloni yang terdiri dari banyak filamen yang
saling terkait.Biasanya dalam bundel yang berbeda.Berwarna biru-hijau
atau kuning-cokelat.Lebar sel 5-8 µm, panjang 5 – 11 µm. Ujung sel
biasanya bulat luas, kadang-kadang berbentuk kerucut dengan membran
luar yang agak menebal.Selubung 2 µm lebar, kaku atau berlendir, dan
tidak berwarna.Warna koloni kuning-coklat biasanya karena warna dari
trikoma (John et al., 2005).
Kingdom : Chromista
Phylum : Bacillariophyta
Subphylum : Bacillariophytina
Classis : Mediophyceae
Subclass : Thalassiosirophycidae
Ordo : Stephanodiscales
Familia : Stephanodiscaceae
Genus : Cyclotella
Spesies : Cyclotella sp. (Kützing) Brébisson, 1838
Genus Cyclotella merupakan diatom planktonik yang umum
ditemukan di seluruh dunia dan tersebar luas di lingkungan danau, sungai,
laut dan air payau.Cylotella merupakan jenis diatom yang berbentuk
cakram kecil.Bagian tengah berbentuk rata.Sekitar tepi terdapat pita
lebar.Sel Cyclotella berbentuk segi empat.Setiap sel mengandung banyak
kloroplas berbentuk diskoid, sel berdiameter antara 5-30 μm.(Harmoko &
Krisnawati, 2018).
Kingdom : Chromista
Phylum : Ochrophyta
Classis : Xanthophyceae
Ordo : Mischococcales
Familia : Characiopsidaceae
Genus : Peroniella
Spesies : Peroniellasp. Gobi, 1886
Peroniella adalah organisme uniseluler soliter (jarang
berkelompok).Sel 6-20 µm panjang (tanpa pedicel), lebar sel 4-8 µm,
obovoid, bulat, berbentuk piramida atau ellipsoidal, dan umumnya bulat
pada ujung bebas.Dinding sel halus untuk kuat tetapi tidak pernah tebal
dan ditarik keluar di daerah basal di mana pedicel sangat panjang, lurus
atau melengkung, kadang-kadang diisi dengan sitoplasma diakhiri dalam
beberapa kasus dengan cakram kecil.Kloroplas satu, dua atau kadang-
kadang banyak, diskoid atau lamelate dan parietal atau tersebar dalam
sitoplasma (Ott & Oldham-Ott, 2003).
Kingdom : Chromista
Phylum : Bacillariophyta
Subphylum : Bacillariophytina
Classis : Bacillariophyceae
Subclass : Fragilariophycidae
Ordo : Fragilariales
Familia : Fragilariaceae
Genus : Synedra
Spesies : Synedra sp. Ehrenberg, 1830
Genus Synedra termasuk golongan diatom yang berbentuk
panjang.Bergerak dengan bebas sebagai planktonik dan melekat pada
substrat dengan lendir.Panjang sel mencapai 500μm.Berkoloni tapi juga
dapat sebagai sel tunggal atau sebagai epifit yang menempel.Hidup di air
tawar.Synedra juga diketahui memiliki kemampuan bertahan terhadap
perubahan kondisi lingkungan yangtidak menguntungkan, memiliki sel
pembungkus yang berlapis.Selain itu juga mampu bertahan dalam
lingkungan yang rendah nutrisi (oligotrifik) dengan konsentrasi nitrogen
dan phospat rendah.Hal ini dikarenakan Synedra mampu mengakumulasi
nutrisi dan menyimpannya sebagai cadangan makanan dalam bentuk
polimer yang tidak terlarut (Harmoko dan Krisnawati, 2018).Synedra sp.
dapat dijadikan indikasi turunnya kualitas air (pencemaran). Synedra sp.
juga mampu hidup pada kondisi DO yang rendah.Synedra.sp mempunyai
kelimpahan yang tinggi dan dapat ditemukan di berbagai habitat misalnya
tanah basah, dinding batu, karang terjal, gambut, dan kulit kayu. Juga
dapat dilihat sebagai buih kuning diatas lumpur pada selokan atau kolam
(Isti’anah et al., 2015).
Kingdom : Plantae
Phylum : Chlorophyta
Subphylum : Chlorophytina
Classis : Chlorophyceae
Ordo : Sphaeropleales
Familia : Scenedesmaceae
Genus : Scenedesmus
Spesies :Scenedesmus acuminatus (Lagerheim)Chodat 1902
Scenedesmus dibahas oleh para ahli fikologi sebagai mikroalga
yang menjanjikan untuk produksi biofuel berdasarkan produktivitas
biomassa dan asam lemaknya. Mikroalga hijau, S. acuminatus ditemukan
dominan di antara spesies alga lain di lingkungan alaminya. Mikroalga ini
memiliki sifat yang fleksibel untuk beradaptasi dengan berbagai kondisi
lingkungan (Unpaprom et al., 2015).
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Classis : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Familia : Alpheidae
Genus : Nauplius
Larva krustasea nauplius adalah tahap perkembangan yang ditandai
dengan adanya tiga pasang pelengkap kepala (Williams, 1994).nauplius,
ini merupakan makanan hidup bagi larva udang dan benih ikan. Telur dari
krustasea dapat dikeluarkan dalam bentuk kista atau langsung menetas
menjadi nauplius tergantung dari kondisi lingkungannya (Panggabean,
1984).
V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya, diperoleh kesimpulan


sebagai berikut :
1. Keadaan Rawa Bendungan Stasiun 5 berdasarkan parameter fisik adalah
suhu udara 32˚C, penetrasi cahaya 118 cm, TSS 5mg/L, kedalaman 1,59
m dan TDS 0,093 mg/L. Keadaan Rawa Bendungan stasiun 5
berdasarkan parameter kimia adalah pH 7; CO2 6,28 mg/l, BOD 3 mg/l,
COD 0,8 mg/l, Nitrat 0,196 mg/l, Nitrit 0,011 mg/l, Amonia 0,226 mg/l,
TP 0,007mg/l, dan Orthophosphat 0,025 mg/l. Keadaan Rawa
bendungan stasiun 5 berdasarkan parameter biologi adalah kandungan
klorofil a sebesar 0,0696, klorofil b sebesar -0,00889, dan klorofil c
sebesar 0,0421. Maka dapat dikatakan bahwa kondisi perairan Rawa
Bendungan di stasiun 5 masih dalam keadaan baik.
2. Terdapat 10 spesies plankton yang ditemukan pada stasiun 5.Cosmarium
blytii sebanyak 4 individu, Nannochloropsis oculata 14 individu,
Uroglena sp. 1 individu, Crucigenia sp. 1 individu, Symploca muscorum
2 individu, Cyclotella sp. 1 individu, Perionella sp. 1 individu, Synedra
sp. 2 individu, Scenedosmus acuminatus 3 individu, dan Neuplius sp. 1
individu.
DAFTAR PUSTAKA

Aquino, C.A.N., Bueno, N.C., Servat, L.C., & Bortolini, J.C., 2016.New Records
of Cosmarium Corda ex Ralfs in lotic environment, adjacent to the
Iguaçu National Park, Paraná State, Brazil.Hoehnea 43(4), pp. 669-688.

Arum, O., Piranti, A.S., & Christiani, 2017.Tingkat Pencemaran Waduk Penjalin
KecamatanPaguyangan Kabupaten Brebes Ditinjau Dari
StrukturKomunitas Plankton. Scripta Biologica, 4(1),pp. 53–59.

Bock, C., Luo, W., Kusber, W., Hegewald, E., Pazoutova, M., & Krienitz, L.,
2013. Classification Of Crucigenoid Algae: Phylogenetic Position of The
Reinstated Genus Lemmermannia, Tetrastrum Spp. Crucigenia
tetrapedia, And C. Lauterbornii (Trebouxiophyceae, Chlorophyta). J.
Phycol., 49, pp. 329-339.

Boyd, C. E., 1991. Water Quality Management Pond Fish Culture. Jakarta:
Direktorat Jenderal Perikanan.

Clark DA, Brown S, Thomlinson JR, Kicklighter DW, Jian N, Chambers JQ,
Holland EA. 2001. Net Primary Production In Tropical Forests: An
Evaluation And Synthesis Of Existing Field Data. Ecological
Applications, 11, pp. 371.
da Linne, E. R., Suryanto, A., & Muskananfola, M. R., 2015. Tingkat Kelayakan
Kualitas Air untuk Kegiatan Perikanan di Waduk Pluit Jakarta
Utara.Diponegoro Journal of Maquares, 4(1), pp. 35-45.

Devi, P. A. G., & Siddaraju., 2012. Calrson’s Trophic State Index for The
Assassment Of Trophic Status Of Two Lakes In Mandya Distric. Pelagia
Research Lybrary. Advances in Applied Science research, 1(5), pp. 992-
2996.

Effendi, H., 2003.Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.

Endrawati, H., & Riniatsih, I., 2012. Kadar Total Lipid Mikroalga
Nannochloropsis oculata yang Dikultur dengan Suhu yang Berbeda.
Buletin Oseanografi Marina, 1(3), pp. 25-33.

Ginting, P., 2007. Mencegah dan Mengendalikan Pencemaran Industri.Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan.
Goldman, G.R., & Horne, A.J., 1983. Limnology. United States of America :
McGraw Hill Book Company.

Hamuna, B., Tanjung, R.H.R., Suwito. & Maury, H.K., 2018.Konsentrasi


Amoniak, Nitrat dan Fosfat di Perairan Distrik Depapre, Kabupaten
Jayapura. EnviroScienteae, 14(1), pp. 8-15.
Harmoko, & Krisnawati, Y., 2018. Mikroalga Divisi Bacillariophyta yang
Ditemukan di Danau Aur Kabupaten Musi Rawas. Jurnal
BiologiUniversitas Andalas, 6(1), pp. 30-35.

Harmoko, &Sepriyaningsih, 2017.Keanekaragaman Mikroalga di Sungai Kati


KotaLubuklinggau. Scripta Biologica, 4(3), pp. 201–205.

Hu, H., & Gao, K., 2003. Optimization of Growth and Fatty Acid Composition of
A Unicellular Marine Picoplankton, Nannochloropsis sp. with Enriched
Carbon Sources. Biotechnology Letters, 25(5), pp. 421-425.

Hutabarat, S., & Evans., 1985. Pengantar Oseanografi. Jakarta: Penerbit UI–
Press.

Imanda, I. D. 2010. Spatial Distribution of Net Primary Production (Npp) Using


Modis Data and Correlation with Climate Variability [tesis]. Bogor:
FMIPA-IPB.
Isti’anah, D., Huda, M.F., & Laily, A.N., 2015. Synedra sp. sebagai Mikroalga
yang Ditemukan di Sungai Besuki Porong Sidoarjo, Jawa Timur.
Bioedukasi, 8(1), pp. 57-59.

Izzah, A. N., 2016. Keanekaragaman Makrozoobentos di Pesisir Pantai Desa


Panggung Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara, Skripsi. Program Studi
Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

John, D.M., Whitton, B.A., & Brook, A.J., 2005. The Freshwater Algal Flora of
the British Isles: An Identification Guide to Freshwater and Terrestrial
Algae. Cambridge: Cambridge University Press.

June T, Ibrom A, Gravenhorst G. 2006. Integration Of NPP Semi Mechanistic –


Modelling, Remote Sensing and GIS In Estimation CO2 Absorption of
Forest Vegetation In Lore Lindu National Park. Biotropia, 13, pp. 22-36.
Kamun, Y., Ritohardoyo, S., & Santosa, L.W., 2010. Kajian Potensi Air Rawa
dan Kearifan Lokal Sebagai Dasar Pengelolaan Air Rawa Yomoth
Sebagai Sumber Air Bersih di Distrik Agats Kabupaten Asmat Provinsi
Papua. Majalah Geografi Indonesia, 24(2), pp. 157-173.
Minsas, S., I. J. Zakaria, & J. Nurdin. 2013. Komposisi dan Kandungan Klorofil-a
Fitoplankton pada Musim Timur dan Barat di Estuari Sungai Peniti,
Kalimantan Barat. Dalam Prosiding Semirata FMIPA Universitas
Lampung.381-386.

Misra, P.K., Misra, P., Shukla, M., & Prakash, J., 2008.Some Desmids from
Garhwal Region of Uttarakhand, India.Algae, 23(3), pp. 177-186.
Murthy, G. P., Shivalingaiah., Leelaja, B. C., & Hosmani, S. P., 2008. Trophic
State Index (TSI) In Conservation Of Lake Ecosystems. Proceeding of
Taal 2007: the 12th World Lake.

Narulita, D. S., 2011. Analisis Tingkat Pencemaran Bakteri Coliform Dan


Kaitannya Dengan Parameter Oseanografi Pada Perairan Pantai
Kabupaten Maros, Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan,
Universitas Hasanuddin.

Novotny V. 2011. The Danger Of Hypertrophic Status of Water Supply


Impoundments Resulting from Excesive Nutrient Loads From
Agricultural and Other Source. Journal of WaterSustainability,1(1), pp.
1-22.

Ott, D.W., & Oldham-Ott, C.K., 2003.Eustigmatophyte, Raphidophyte, And


Tribophyte. In: Freshwater Algae of North America, Ecology and
Classification. San Diego: Academic Press.

Panggabean, M.G.L., 1984. Teknik Penetasan Dan Pemanenan Artemia


salina.Oseana, 9(2), pp. 57-65.

Pardede, D., Ternala A.B., dan Rusli D. 2016. Laju Produktivitas Primer Perairan
Rawa Kongsi Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang Provinsi
Sumatra Utara.Universitas Sumatra Utara.

Pratiwi, I., 2017. Karakteristik Parameter Fisika Kimia pada Berbagai Aktivitas
Antropogenik Hubungannya dengan Makrozoobenthos di Perairan Pantai
Kota Makassar, Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan
Universitas Hasanuddin.

Pusztai, M., & Skaloud, P., 2019. Elucidating the Evolution and Diversity of
Uroglena-Like Colonial Flagellates (Chrysophyceae): Polyphyletic
Origin of The Morphotype. European Journal of Phycology, pp. 1-13.

Rudiyanti, S., 2009. Kualitas Perairan Sungai Banger Pekalongan Berdasarkan


Indikator Biologis. Jurnal Saintek Perikanan. 4(2), pp. 46-52.

Rustadi., 2009. Eutrofikasi Nitrogen dan Fosfor Serta Pengendalianya Dengan


Perikanan di Waduk Sermo (Eutrophication By Nitrogen And
Phosphorus And its Control Using Fisheries In Sermo Reservoir). Jurnal
Manusia dan Lingkungan, 16(3), pp. 176-178.

Sari, I.P., & Manan, A., 2012. Pola Pertumbuhan Nannochloropsis oculata pada
Kultur Skala Laboratorium, Intermediet, Dan Massal. Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan, 4(2), pp. 123-127.

Sugiharto., 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: UI-Press.


Suwardi, E., Widiastuti., & Wibowo, D.N., 2013. Model Eutrofikasi sebagai
Pengaruh Kegiatan di Daerah Atas dan Perairan Waduk Panglima Besar
Soedirman Banjarnegara, Jawa Tengah. Agronomika, 13(1), pp. 1-16.
Unpaprom, Y., Tipnee, S., & Rameshprabu, R., 2015. Biodiesel from Green Alga
Scenedesmus acuminatus. International Journal of Sustainable and
Green Energy, 4(1), pp. 1-6

Takdir, R., 1999. Model Kinetik Oksigen Pada Muara Sungai Tallo Kota Madya
Makassar, Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas
Hasanuddin.

Toffolon, M., & Piccolroaz, S., 2015. A Hybrid Model for River Water
Temperature as A Function of Air Temperature and Discharge.
Environmental Research Letters, 10(2015), pp. 1-10.

Toming, K., Tiit, K., Alo, L., & Tiina, N., 2016. First Experiences in Mapping
Lake Water Quality Parameters with Sentinel-2 MSI Imagery. Remote
Sens, 2(8), pp. 640.

Wardoyo, S.T.H., 1975. Manajemen Kualitas Air. Bogor: Fakultas Perikanan IPB.

Widyaningrum, N.F., Susilo, B., & Hermanto, M.B., 2013. Studi Eksperimental
Fotobioreaktor Photovoltaic Untuk Produksi Mikroalga
(Nannochloropsisoculata). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis, 1(2), pp.
30-38.

Williams, T.A., 1994. The Nauplius Larva of Crustaceans: Functional Diversity


and the Phylotypic Stage. AMER. ZOOL., 34(4), pp. 562-569.

Yuningsih, H.D., Soedarsono, P., & Anggoro, S., 2014. Hubungan Bahan Organik
dengan Produktivitas Perairan pada Kawasan Tutupan Eceng Gondok,
Perairan Terbuka dan Keramba Jaring Apung di Rawa Pening Kabupaten
Semarang Jawa Tengah. Diponegoro Journal of Maquares, 3(1), pp. 37-
43.

Anda mungkin juga menyukai