Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENELITIAN

KUALITAS FISIK KIMIA BIOLOGI SUNGAI KLENTING

KUNING DAN SUNGAI CURUG LAWE DI HUTAN LINDUNG

UNGARAN

Disusun oleh :

KELOMPOK PENGAMAT PENELITI PEMERHATI WETLAND

BAGIAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2016
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
ABSTRAK
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sungai Dan Ekosistem Sungai
2.2. Kualitas Air
2.3. Baku Mutu Air
2.4. Parameter Fisik
2.5. Parameter Kimia
2.6. Parameter Biologi
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Dan Waktu
3.2. Alat Dan Bahan
3.3 Metode Pengambilan Data
3.4. Metode Analisis Data
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.2. Pembahasan
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Rata-Rata Suhu Dikedua Lokasi Pengambilan Sampel


Tabel 2. Rata-Rata Kejernihan Kedua Sungai Lokasi Pengambilan Sampel
Tabel 3. Kecepatan Aliran Kedua Lokasi Pengambilan Sampel
Tabel 4. Rata-rata pH Kedua lokasi pengambilan sampel
Tabel 5. Rata-rata DO Pada Kedua Lokasi Pengambilan Sampel
Tabel 6. Keanekaragaman Plankton Pada Lokasi Pengambilan Sampel
DAFTAR GAMBAR
Gambar1. Peta Gunung Ungaran
Gambar 2. Skema Penempatan Plot Pengambilan Sampel Sungai Klenting Kuning
Gambar 3. Skema Penempatan Plot Pengambilan Sampel Sungai Curug Lawe
Gambar 4. Suhu Air Sungai Dikedua Lokasi Pengambilan Sampel
Gambar 5. Kejernihan Kedua Lokasi Pengambilan Sampel
Gambar 6. Kecepatan Aliran Pada Kedua Lokasi Pengambilan Sampel
Gambar 7. Rata-Rata Ph Pada Lokasi Pengambilan Sampel
Gambar 8. Rata-Rata Do Pada Kedua Lokasi Pengambilan Sampel
Gambar 9. Data Keanekaraagaman Plankton Pada Lokasi Pengambilan Sampel
Gambar 10. Perbandingan Kualitas Air
KUALITAS FISIK KIMIA BIOLOGI SUNGAI KLENTING KUNING DAN
SUNGAI CURUG LAWE DI HUTAN LINDUNG UNGARAN
Oleh :
KELOMPOK PENGAMAT PENELITI PEMERHATI (KP3) WETLAND

Abstrak
Air memiliki fungsi strategis bagi kehidupan manusia yaitu fungsi sosial, ekologi dan
ekonomi. Kualitas air adalah mengetahui kondisi air untuk menjamin keamanan dan kelestarian
dalam penggunaannya. Kualitas air dapat diketahui dengan melakukan pengujian tertentu
terhadap air meliputi uji kimia, fisik, biologi, dan uji kenampakan (bau dan warna).
Penelitian ini dilakukan pada hari dan tanggal 06-14 Februari 2016 pukul 10.00 WIB.
Pengambilan data berlokasi di sungai Curug Lawe di Petak 10a Desa Kalisidi dan di sungai
Klenting di petak 8a Desa Kemawi, Kawasan Hutan Lindung Ungaran, Kabupaten Semarang,
Provinsi Jawa Tengah. Pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
metode cluster sampling untuk menentukan lokasi sampel. Data kualitas fisik perairan yang
diambil berupa suhu, kejernihan dan kecepatan aliran. Pengambilan data suhu menggunakan
termometer. Pengambilan data kejernihan menggunakan secchi disk. Pengambilan data
kecepatan aliran menggunakan botol berisi air 100ml yang dihanyutkan melintasi badan sungai.
Data kualitas kimia perairan ynag diambil berupa pH dan DO (Dissolved Oxygen). Pengambilan
data pH menggunakan pH meter. Pengambilan data DO (Dissolved Oxygen) menggunakan
Oxymeter. Data kualitas biologi perairan yang diambil berupa plankton. Pengambilan sampel
plankton menggunakan plankton net. Hubungan faktor biotik, fisik, dan kimia perairan kedua
sungai dibandingkan dengan grafik. Analisis data untuk menentukan nilai keanekaragaman jenis
plankton digunakan formula indeks diversitas Simpson.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kualitas air kedua sungai termasuk dalam
golongan baik dikonsumsi dan masuk dalam Kelas III baku mutu air berdasarkan pH dan DO
yang sudah diteliti.
Kata kunci : kualitas air, Curug Lawe, Sungai Klenting.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Undang – Undang No. 7/2004 Tentang Sumberdaya Air, perairan umum
adalah perairan di permukaan bumi yang secara permanen atau berkala digenangi oleh air,
baik air tawar, air payau, maupun air laut, mulai dari garis pasang terendah ke arah daratan
dan air tersebut terbentuk secara alami maupun buatan. Perairan umum tersebut diantaranya
adalah perairan sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya.
Air memiliki fungsi strategis bagi kehidupan manusia yaitu fungsi sosial, ekologi dan
ekonomi. Fungsi sosial menempatkan air sebagai barang publik. Fungsi ekologi memandang
air sebagai ekosistem yang terdiri dari satuan organisme dan habitat. Fungsi ekonomi air
antara lain dapat digunakan untuk menunjang kebutuhan manusia. Pemanfaatan air sungai
oleh manusia dalam kondisi tertentu dapat menurunkan kualitas air yang dapat mengganggu
fungsi ekologisnya.
Sungai adalah suatu badan air yang mengalir kesatu arah. Menurut Barus (2004), mata
air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-tebing yang curam kemudian
mata air yang membentuk genangan air yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang
kecil. Selanjunya aliran dari beberapa mata air akan membentuk aliran sungai di daerah
pegunungan.
Kualitas air adalah suatu ukuran kondisi air dilihat dari karakteristik fisik, kimiawi, dan
biologisnya. Kualitas air juga menunjukkan ukuran kondisi air relatif terhadap kebutuhan
biota air dan manusia. Fungsi hutan sebagai pengatur daur air antara lain menyimpan
cadangan air pada suatu musim hujan baik dalam bentuk infiltrasi maupun perkolasi,
mencegah terjadinya banjir maupun erosi dan menyediakan air pada saat musim kemarau
yang dikeluarkan melalui sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) sehingga hutan sangat
mempengaruhi kualitas air yang ada di sungai. Untuk mengetahui kualitas air baik atau sudah
tercemar maka terdapat beberapa syarat untuk mengetahui kualitas air tersebut yang dapat
ditinjau dari fisik, kimia, dan biologi. Syarat fisik antara lain jernih atau tidak keruh, tidak
berwarna, rasanya tawar, tidak berbau, tidak mengandung padatan dan suhunya normal.
Syarat kimia yaitu pH atau keasamaan air, oksigen terlarut dalam air, dan salinitasnya. Syarat
biologi terdapat biota didalam suatu ekosistem perairan, tidak terdapat racun atau bakteri, dan
terdapat berbagai vegetasi disekitar perairan (ICRF, 2010). Biota meliputi tumbuhan dan
hewan yang termasuk kedalam perikanan. Biota ini antara lain meliputi semua ikan,
plankton, benthos, mollusca, crustacea, dan reptilian.
Habitat adalah komponen fisik dan semua faktor yang saling mempengaruhi seperti
kualitas air, substrat, morfometri dan geografi perikanan. Komponen ketiga adalah manusia
yang meliputi semua pemakaian dan manipulasi sumberdaya yang dapat diperbaharui sebagai
akibat kegiatan manusia. Pengaruh manusia terhadap habitat dan biota dapat disebabkan oleh
pemancingan untuk rekreasi, penangkapan ikan secara komersial, kegiatan-kegiatan industri,
pertanian dan domestik.
Posisi Geografis kota Semarang terletak di pesisir pantai utara Jawa Tengah dengan
luas wilayah sekitar 373,67 km2. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur
dengan Kabupaten Demak, Sebelah barat dengan Kabupaten Kendal, dan sebelah selatan
dengan Kabupaten Semarang. Topografi daerah Semarang terdiri dari dataran rendah dan
dataran tinggi. Semarang terkenal dengan banjir atau luapan air, baik air dari sungai maupun
air dari laut (biasa disebut rob). Terdapat Beberapa sungai yang mengalir di Kota Semarang,
diantaranya yaitu Sungai Babon, Kripik, Kreo, Banjir Kanal Timur, Banjir Kanal Barat, dan
Garang. Sungai Banjir Kanal Barat adalah sungai yang paling terkenal di kota semarang,
bahkan dijadikan objek wisata. Banjir Kanal Barat merupakan gabungan Sungai Garang,
Kreo dan Kripik yang berasal dari Gunung Ungaran yang merupakan sistem sungai terbesar
di Kota Semarang.
Ada dua sungai yang terdapat di dalam Gunung Ungaran yaitu Curug/Grojogan/Air
Terjun Klenting Kuning dan Curug Lawe. Curug Klenting Kuning yang merupakan salah
satu pesona tersembunyi dari Desa Kemawi, Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang
Jawa Tengah. Air terjun yang memiliki ketinggian sekitar 8 meter tersebut, berada di sebelah
barat lereng Gunung Ungaran. Curug Lawe Terletak tidak jauh dari pusat kota Semarang
tepatnya di Desa Kalisidi, Sekarang Gunung Pati, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten
Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Pada kedua kawasan curug tersebut terdapat obyek wisata
dengan pengunjung yang cukup banyak setiap harinya terutama pada hari libur. Kedua Curug
tersebut kemudian mengalir ke bawah dalam bentuk sungai yang kemudian dimanfaatkan
oleh masyarakat sebagai kebutuhan sehari-hari. Banyaknya pengunjung tersebut kemudian
sedikit banyak mempengaruhi kualitas air. Kualitas dari air sungai tersebut perlu diperhatikan
kelayakannya sehingga termasuk kedalam kategori aman dikonsumsi maupun tidak oleh
masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang kualitas fisik, kimia dan
biologis perairan untuk mengetahui kelayakan air sungai yang dikonsumsi masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Sumber air atau mata air di Gunung Ungaran merupakan salah satu kebutuhan
masyarakat sekitar desa tersebut. Kehidupan masyarakat masih sangat bergantung terhadap
sumber atau mata air di daerah Gunung Ungaran. Oleh sebab itu perlu diketahui keadaan atau
kondisi perairan di Curug Klenting Kuning dan Curug Lawe. Kualitas fisik kimia dan biologi
merupakan salah satu komponen untuk mengukur kandungan air. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian mengenai kualitas fisik, kimia dan biologis perairan untuk mengetahui
kelayakan air sungai yang dikonsumsi masyarakat.

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui kualitas fisik kimia biologi perairan sungai bagian hulu tengah dan hilir
digunung Ungaran

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang kualitas fisik
kimia dan biologi perairan sungai bagian hilir tengah dan hulu digunung Ungaran 1.Hasil
yang diperoleh ini dapat dijadikan pertimbangan maupun rekomendasi bagi pihak pengelola
dalam upaya memberikan pengetahuan yang atau informasi terhadap kualitas perairan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sungai dan Ekosistem Sungai


Menurut PP No.38 tahun 2011, sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan
berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan
dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah
pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau
kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km 2 (dua ribu kilo meter persegi).
Perlindungan aliran dan pemeliharaan sungai dilakukan untuk menjaga ekosistem sungai dari
hulu hingga muara sungai.
Pada umumnya bagian hulu mempunyai kualitas air yang lebih baik daripada bagian
hilir. Dari sudut pemanfaatan lahan, bagian hulu relatif lebih sederhana dan bersifat alami
seperti hutan dan perkampungan kecil.Semakin ke hilir, keragaman pemanfaatan lahan
meningkat.Sejalan dengan hal terseabut, suplai limbah cair dari bagian hulu yang menuju
bagian hilir meningkat. Pada akhirnya bagian hilir merupakan tempat akumulasi dari proses
pembuangan limbah cair yang dimulai dari hulu (Wiwoho, 2005 dalam Yuliastuti, 2011).
2.2 Kualitas Air
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi
kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum,
sehingga merupakan modal dasar dan faktor utama pembangunan.Air merupakan komponen
lingkungan hidup yang penting bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya. Dalam rangka melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan
kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan memperhatikan
kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis (PP No. 28 tahun
2001).
Kualitas air yaitu sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi atau komponen
lain di dalam air (Effendi, 2003). Posisi sungai yang berada paling rendah dalam lanskap
bumi sehingga menjadikan kualitas air sungai dipengaruhi oleh kualitas pasokan air yang
berasal dari daerah sekitar sungai/daerah tangkapan airnya. Kualitas pasokan air yang berasal
dari daerah tangkapan dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang ada di dalamnya (Wiwoho,
2005 dalam Agustiningsih, 2012).
Kualitas air dapat dinyatakan dengan beberapa parameter yaitu parameter fisika (suhu,
kekeruhan, padatan terlarut dan sebagainya), parameter kimia (pH, oksigen terlarut, BOD,
kadar logam dan sebagainya) serta parameter biologi (keberadaan plankton, bakteri dan
sebagainya).
2.3 Baku Mutu Air
Beberapa ahli mengartikan bab “Baku Mutu” adalah suatu peraturan pemerintah yang
resmi harus dilaksanakan, yang berisi mengenai spesifikasi dari jumlah bahan pencemar yang
boleh dibuang atau jumlah kandungan yang boleh berada didalam media ambient (Gunarwan,
1998). Sedangkan baku mutu air merupakan batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,
atau komponen lain yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang dapat ditenggang
dalam sumber air tertentu, sesuai dengan peruntukannya. Baku mutu limbah cair merupakan
batas kadar dan jumlah unsur pencemar yang dapat ditenggang keberadaannya di dalam
cairan dari suatu jenis kegiatan tertentu yang akan dibuang (Effendi, 2003).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 tahun 2001 mengklasifikasikan
kualitas air menjadi beberapa golongan menurut peruntukannya. Klasifikasi mutu air tersebut
dibagi menjadi empat kelas yaitu:
1. Kelas I, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan
atau peruntukan lainnya yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut. Yang termasuk prasyarat untuk kelas I diantaranya adalah temperatur memiliki
deviasi 3 dari kondisi alaminya, residu terlarut <50 mg/l, BOD <2 mg/l, DO >6 mg/l dan
kandungan Pb 0,03 mg/l.
2. Kelas II, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana atau sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut. Yang termasuk persyaratan untuk kelas II diantaranya adalah temperatur
memiliki deviasi 3 dari kondisi alaminya residu terlarut <50 mg/l, pH antara 6-9, BOD
<3 mg/l, DO >4 mg/l dan kandungan Pb 0,03 mg/l.
3. Kelas III, yaitu air yang peruntukannya digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar,
peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lainnya yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Yang termasuk
persyaratan untuk kelas III diantaranya adalah temperatur memiliki deviasi 3 dari kondisi
alaminya, residu terlarut <400 mg/l, pH antara 6-9, BOD <6 mg/l, DO >3 mg/l dan
kandungan Pb 0,03 mg/l.
4. Kelas IV, yaitu air yang peruntukannya digunakan untuk untuk mengairi pertanaman, dan
atau peruntukan lainnya yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut. Yang termasuk persyaratan untuk kelas IV diantaranya adalah temperatur
memiliki deviasi 3 dari kondisi alaminya, residu terlarut <400 mg/l, pH antara 6-9, BOD
<12 mg/l, DO >0 mg/l dan kandungan Pb 1 mg/l.
Air yang digunakan untuk keperluan rumah tangga biasanya disebut air minum. Air
minum harus memenuhi syarat sebagai berikut (Prawiro, 1983):
1. Bebas kuman penyakit sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi konsumennya, tidak
mengandung mikroorganisme.
2. Bebas dari zat-zat mengganggu.
3. Tidak berbau dan tidak berasa.
4. Bening dan tidak berwarna.
2.4 Parameter Fisik
2.4.1 Suhu
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan
laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman
badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi
badan air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia,
evaporasi dan volatilisasi serta menurunkan kelarutan gas dalam air. Peningkatan suhu
juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme dan
selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Selain itu, peningkatan
suhu juga menyebabkan peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba
(Yuliastuti, 2011). Kenaikan suhu biasanya meningkatkan akibat keracunan pencemar
kimia dalam air (Sastrawijaya, 1991).
Suhu udara tidak menentukan suhu permukaan air.Pengukuran suhu air dilakukan
dalam seri. Suhu perairan dengan kedalaman kurang dari 2 meter dapat diukur melalui
pengukuran suhu di permukaan dan di dasar danau (Sastrawijaya, 1991).
2.4.2 Kejernihan
Kejernihan terjadi karena adanya bahan terapung dan terurainya zat tertentu
seperti bahan organik, jasad renik, lumpur, lempung, dan ada benda lain yang
melayang atau terapung dan sangat halus sekali.Pengendapan materi dibawah
permukaan air juga mempengaruhi kejernihan air.Semakin keruh air maka semakin
tinggi daya hantar listriknya dan semakin banyak pula padatannya (Ginting,
1992).Selain itu, kejernihan juga dipengaruhi oleh lapisan permukaan tanah yang
terbawa oleh aliran air pada saat hujan.Menurut Soetamihardja (1978) dalam Dewi
(2007) adanya turbiditas tidaklah selalu berarti bahwa sungai atau perairan terkena
polusi, karena air jernih sekalipun dapat secara berat terkontaminasi oleh asam atau
logam yang tidak menyebabkan turbiditas.
Kejernihan dinyatakan dalam satuan unit turbiditas, yang setara dengan 1 mg/liter
SiO2.Tingkat kejernihan air juga dinyatakan dengan suatu nilai yang dikenal dengan
kecerahan secchi disk (Jeffries dan Mills, 1996).Selain dengan menggunakan
turbidimeter, kejernihan sering diukur dengan metode Nephelometric yang dinamakan
NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (Sawyer dan McCarty, 1978).
Kejernihan perairan tergenang misalnya danau lebih banyak disebabkan oleh
bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus.Sedangkan
kejernihan pada sungai yang sedang banjir lebih banyak disebabkan lapisan
permukaan tanah yang terbawa oleh aliran air pada saat hujan.Kejernihan yang tinggi
dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernapasan dan
daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya kedalam air.
Tingginya nilai kejernihan juga dapat mempersulit usaha penyaringan dan mengurangi
efektifitas desinfeksi pada proses penjernihan air (Effendi, 2003).
Perubahan tingkat turbiditas sungai dapat digunakan sebagai beban evaluasi
pengaruh kotoran atau sisa pembuangan dan untuk mengetahui bagaimana
kemampuan “self purification” suatu perairan. Keadaan yang perlu diperhatikan dalam
turbiditas/kejernihan adalah:
1) Air sungai dapat menjadi turbiditas disebabkan adanya zat yang relatif tidak
merusak dan bergerak lambat. Turbiditas tidak berpengaruh langsung bagi
kehidupan akuatik tetapi berdampak negatif terhadap interaksi cahaya jika
turbditas melebihi batas.
2) Adanya turbiditas tidaklah selalu berarti bahwa sungai atau perairan terkena
polusi, karena air jenuh pun dapat secara berat terkontaminasi oleh asam atau
logam yang tidak menyebabkan turbiditas.
2.4.3 Kecepatan Arus
Kecepatan arus suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan
air tersebut untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar.Kecepatan arus dan
pergerakan air sungai sangat dipengaruhi oleh bentang alam atau lanskap, jenis batuan
dasar, dan curah hujan.Semakin rumit bentang alam, maka semakin besar ukuran
batuan dasar, dan semakin banyak curah hujan mengakibatkan pergerakan air semakin
kuat dan kecepatan arus semakin cepat (Effendi, 2003).Fluktuasi kecepatan arus yang
terjadi pada lokasi pengambilan sampel dapat disebabkan oleh kemiringan atau bentuk
dasar sungai.Fluktuasi kecepatan arus yang terjadi dapat pula disebabkan oleh musim,
dimana waktu pengambilan sampel merupakan musim hujan sehingga debit air
meningkat. Menurut Sastrawijaya (1991), sungai pada musim hujan pada umumnya
memiliki kecepatan yang lebih tinggi dibanding sungai pada musim kemarau. Sungai
yang memiliki banyak belokan akan memiliki kecepatan arus yang lebih kecil
dibanding dengan sungai yang memiliki sedikit belokan.
Kecepatan arus permukaan air sungai memiliki peran dalam penguraian limbah.
Selain itu, kecepatan arus juga berpengaruh positif terhadap kandungan oksigen
terlarut, akan tetapi jika dilihat dari hasil pengukuran DO di lapangan tidak
menunjukkan hal tersebut, karena pada kasus ini DO tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor kecepatan arus tetapi juga dipengaruhi oleh keberadaan limbah yang masuk ke
dalam sistem perairan. Kecepatan arus dibawah 0.01 m/s menyebabkan konsentrasi
oksigen terlarut agak rendah, sedangkan kecepatan arus sungai antara 0.6-1 m/s
menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut agak tinggi (Sastrawijaya, 1991).
Kecepatan arus atau aliran (velocityflow rate) suatu badan air sangat berpengaruh
terhadap kemampuan badan air tersebut untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan
pencemar.Kecepatan arus dan pergerakan arus sungai sangat dipengaruhi oleh jenis
bentang alam (landscape), jenis batuan dasar, dan curah hujan. Semakin rumit bentang
alam, maka semakin besar ukuran batuan dasar, dan semakin banyak curah hujan,
pergerakan air dan kecepatan arus semakin kuat pula. Kecepatan aliran digunakan
untuk memperkirakan kapan bahan pencemar akan mencapai suatu lokasi tertentu,
apabila bagian hulu suatu badan air mengalami pencemaran. Kecepatan aliran
dinyatakan dalam satuan m/detik (Effendi, 2000).
Aliran yang terlalu cepat juga membawa dampak negatif bagi perairan tersebut,
yaitu semakin banyaknya sedimen-sedimen yang terlarut akibat erosi sehingga
menyebabkan air menjadi keruh dan akan berdampak pada penyinaran oleh sinar
matahari. Selain itu, arus juga sangat penting dalam menentukan distribusi gas yang
vital, garam, dan organisme kecil (Odum, 1993).
Kecepatan aliran mempengaruhi sifat dasar sungai dan konsentrasi oksigen
terlarut (Sastrawijaya, 1991). Aliran sungai yang semakin deras akan menyebabkan
sifat dasar sungai akan semakin kasar dan konsentrasi oksigen terlarut semakin tinggi.
Arus memegang peranan penting dalam ekosistem sungai sebagai pengangkut zat-zat
hara dari daerah kaya hara menuju daerah perairan yang membutuhkan zat hara
(Koesoebiono, 1989).

2.5 Parameter Kimia


2.5.1 pH
Derajat keasaman digunakan sebagai pengukuran sifat keasaman dan kebasaan air
yang dinyatakan dengan nilai pH (Sutrisno, 2004).Mackereth et al. (1989) berpendapat
bahwa pH berkaitan erat dengan karbon dioksida dan alkalinitas, sedangkan Tebbut
(1992) menyatakan bahwa pH hanya menggambarkan konsentrasi ion hidrogen.
pH air biasanya dimanfaatkan untuk menentukan indeks pencemaran dengan
melihat tingkat keasaman dan kebasaan air yang dikaji, terutama oksidasi sulfur dan
nitrogen pada proses pengasaman dan oksidasi kalsium dan magnesium pada proses
pembasaan. Pada aliran air (sungai) alamiah, pembentukan pH dalam aliran air
tersebut sangat ditentukan oleh reaksi karbon dioksida. Besarnya angka pH dalam
suatu perairan dapat disajikan indikator adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan
unsur-unsur hara yang bermanfaat bagi kehidupan vegetasi akuatik (Asdak, 1995).
pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Sebagian besar biota akuatik
sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 (Effendi, 2003).
Menurut (Sastrawijaya, 1991), air yang mempunyai pH antara 6,7-8,6 mendukung
populasi ikan dalam kolam. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya
mempunyai pH yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan pertambahan bahan-bahan
organik yang kemudian membebaskan CO2 jika mengurai. Pada umumnya jika pH air
itu kurang dari 7 dan lebih dari 8.5 kita harus hati-hati karena mungkin ada
pencemaran (Sastrawijaya, 1991). Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada
pH rendah. Pada pH < 4, sebagian besar tanaman air mati karena tidak dapat
bertoleransi terhadap pH rendah (Effendi, 2003).
2.5.2 Oksigen terlarut (Demand of Oxygen)
Atmosfer bumi mengandung oksigen sekitar 210 mg/liter.Oksigen merupakan
salah satu gas yang terlarut dalam perairan.Kadar oksigen dalam suatu perairan sangat
bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer.
Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer,
kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills, 1996).

DO (Dissolved Oxygen) adalah jumlah oksigen terlarut yang menjadi salah satu
indikator kualitas air. DO merupakan kebutuhan dasar organisme air yang digunakan
dalam proses respirasi. Organisme air sangat membutuhkan oksigen terlarut yang
ketersediaannya tergantung pada kemampuan air dalam mempertahankan konsentrasi
oksigen minimal di dalamnya.Biota air umumnya membutuhkan oksigen minimal 5
ppm (Fardiaz, 1992).
Jumlah oksigen terlarut yang dipersyaratkan minimum 5 ppm dan tidak ada batas
maksimum persyaratan.Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah
oksigen terlarut maka semakin baik bagi ekosistem.Kandungan oksigen dalam air yang
mengalir memiliki perbedaan yang cukup besar dengan kandungan oksigen dalam air
yang tenang dan tidak mengalir.Organisme-organisme dalam aliran lebih sensitif
terhadap variasi oksigen yang terlarut dibandingkan organisme-organisme dalam air
yang tenang (Odum, 1996).
DO dibutuhkan oeh semua jasad hidup untuk pernafasan, proses metabolisme atau
pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan
pembiakan. Selain itu DO juga berperan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan
anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal
dari proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam
perairan tersebut.
Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan (Effendi, 2003).
Untuk mempertahankan hidupnya, makhluk yang tinggal di air baik tanaman maupun
hewan bergantung pada oksigen terlarut (Sastrawijaya, 1991). Kehidupan di air dapat
bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 5 mg oksigen setiap liter (5
ppm) pada perairan hangat dan pada perairan dingin membutuhkan oksigen terlarut
mendekati jenuh. Konsentrasi oksigen terlarut minimal untuk kehidupan biota tidak
boleh kurang dari 6 ppm (Fardiaz, 1992). Selebihnya bergantung pada ketahanan
organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar, suhu air dan sebagainya.Dalam
sungai yang jernih dan deras, kepekatan oksigen mencapai kejenuhan. Jika air berjalan
lambat atau ada pencemar maka oksigen yang terlarut mungkin di bawah kejenuhan
(Sastrawijaya, 1991).
Oksigen terlarut atau Demand of Oxygen (DO) di dalam air berasal dari udara dan
fotosintesis tanaman air (Sukadi, 1999) dimana jumlahnya tidak tetap tergantung dari
jumlah tanaman dan dari atmosfer yang masuk ke dalam air (Fardiaz, 1992). Kadar
oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi tergantung tinggi suhu air maka
semakin rendah kejenuhannya. Konsentrasi DO yang terlalu rendah mengakibatkan
biota mati karena kekurangan oksigen sedangkan konsentrasi DO yang terlalu tinggi
mengakibatkan proses penkaratan cepat karena oksigen akan mengikat hidrogen yang
melapisi permukaan logam(Fardiaz, 1992).
Penentuan oksigen terlarut harus dilakukan berkali-kali, di berbagai lokasi, pada
tingkat kedalaman yang berbeda pada waktu yang berbeda. Penentuan yang dilakukan
di dekat lokasi pabrik akan lain hasilnya dengan yang jauh dari pabrik. Musim
kemarau dan musim banjir juga memberi hasil yang berbeda (Sastrawijaya, 1991).
Kadar DO juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung
pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas
fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke dalam badan air. Peningkatan suhu
sebesar 1°C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Dekomposisi bahan
organik dan oksidasi bahan organik dapat mengurai kadar oksigen terlarut sehingga
mampu mencapai nol (anaerob). Kelarutan oksigen dan gas-gas lainjuga akan
berkurang dengan meningkatnya salinitas sehingga kadar oksigen laut akan cenderung
lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan tawar (Effendi, 2003).
Konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh bervariasi tergantung dari suhu
dan tekanan atmosfer. Pada suhu 20°C tekanan 1 atm, konsentrasi oksigen terlarut
dalam keadaan jenuh adalah 9.2 ppm, sedangkan pada suhu 30°C tekanan yang sama,
tingkat kejenuhannya hanya 5.6 ppm. Semakin tinggi suhu air, semakin rendah tingkat
kejenuhannya (Sastrawijaya, 1991).
Kadar oksigen terlarut yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologis bagi
manusia. Ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen terlarut dengan
jumlah cukup. Keberadaan logam berat yag berlebihan di perairan mempengaruhi
sistem respirasi organisme akuatik sehingga pada saat kadar oksigen terlarut rendah
dan terdapat logam berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik menjadi lebih
menderita (Tebbut, 1992). Kadar oksigen terlarut yang kurang dari 2 mg/liter dapat
mengakibatkan kematian ikan (Anonim, 1992). Untuk keperluan air minum, air
dengan nilai oksigen terlarut pada taraf jenuh lebih dikehendaki karena air yang
demikian menimbulkan rasa segar (Tebbut, 1992).
2.6 Parameter Biologi
2.6.1 Keanekaragaman Plankton
Plankton yang hidupnya berperan sebagai produsen primer disebut fitoplankton,
sedang yang bertindak sebagai konsumen disebut sebagai zooplankton. Plankton
mempunyai ukuran mikroskopis dan jumlahnya sangat banyak serta dapat dijumpai
di permukaan air sampai pada kedalaman tertentu yang dapat ditembus sinar matahari
dengan kata lain plankton mempunyai sifat kosmopolitan, yang berarti ada dimana-
mana.
Plankton dapat digolongkan menurut beberapa kategori, antara lain: berdasarkan
kualitasnya, ukurannya, lingkungan hidupnya, isinya, asalnya, dan juga
berdasarkansiklus hidupnya. Selain itu plankton juga tersusun atas organisme
herbivora, karnivora, komensalisme parasit dan ada juga kelompok detritus atau
pengurai. Plankton bersifat kosmopolit namun kehadirannya bervariasi dari satu
tempat ke tempat lainnya, hal ini disebabkan oleh perbedaan kualitas airnya.
Adanya perbedaan kondisi fisika-kimia perairan sangat berpengaruh terhadap
kondisi ekologis perairan satu dengan yang lainnya, hal ini juga mengakibatkan
distribusi plankton di perairan satu dengan perairan lainnya akan berbeda. Perbedaan
distribusi ini terjadi karena adanya perbedaan daya adaptasi serta derajat penyebaran
pada tiap jenis plankton sehingga pada gilirannya komposisi jenis plankton di perairan
berbeda dengan perairan lainnya. 
Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas
berdasarkan organisasi biologisnya dan dapat digunakan untuk menyatakan
struktur komunitas. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis
tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies dengan kelimpahan spesies yang
sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit
spesies, dan jika hanya sedikit saja spesies yang dominan, maka keanekaragaman
jenisnya rendah. Konsep keanekaragaman jenis juga dapat digunakan untuk mengukur
stabilitas komunitas yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap
stabil walaupun ada gangguan terhadap komponen-komponennya.
.

BAB III

METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlokasi di sungai Curug Lawe di Petak 10a Desa Kalisidi dan di sungai
Klenting di petak 8a Desa Kemawi, Kawasan Hutan Lindung Ungaran, Kabupaten
Semarang, Provinsi Jawa Tengah.Pengambilan data dilakukan pada hari dan tanggal 06-14
Februari 2016 pukul 10.00 WIB
Gambar 1. Peta Gunung Ungaran

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
a. Secchidisk
b. thermometer stick
c. Botol kosong
d. Plankton net
e. pH stick
f. GPS (Global Positioning System)
g. Rafia
h. Kamera
i. Roll meter
j. DO meter
k. Salt meter
l. Alat tulis
m. Peta Topografi Hutan Lindung Gunung Unggaran 1 : 25.000.
n. Formalin 5%
o. Tallysheet
p. Ember
3.2.2 Bahan
Sungai Klenting Kuning petak 8A dan Curug Lawe petak 10A di hutan lindung
Ungaran

3.3 Metode Pengambilan Data


3.3.1. Metode penempatan plot sampel
Lokasi sungai Klenting Kuning terletak pada petak 8A dan sungai Curug Lawe
terletak pada petak 10A kawasan hutan lindung Ungaran. Sungai yang akan diamati
bagian hulu, tengah dan hilir dibagi 3 segmen perbagian dalam satu segmen 3 kali
ulangan. Gambar 1 menunjukan cara penempatan plot sampel persegmen.

Gambar 2. Skema penempatan plot pengambilan sampel sungai Klenting Kuning.


Gambar 3. Skema penempatan plot pengambilan sampel sungai Curug Lawe

3.3.1.1. Pengukuran kualitas fisik kimia biologi perairan


1) Amati parameter fisik:
a. Suhu
Pengukuran suhu perairan menggunakan thermometer stick dengan cara
mencelupkannya sebatas cairan merah yang ada dalam stick kaca (tanda
air raksa) dan thermometer tidak boleh dipegang oleh tangan melainkan
digantung dengan tali dan suhu akan terlihat pada skala thermometer
setelah dibiarkan konstan selama 3 menit tercelup air. Satuan dari suhu
adalah derajat Celcius (°C)
b. Kejernihan
Pengukuran kejernihan perairan menggunakan secchidisk atau cakram
secchi.Cakram ini terbagi dalam 4 bagian rumah berdiameter 20cm. dua
bagian berwarna putih dan dua bagian lagi berwarna hitam. Pengukuran
kejernihan dilakukan dengan cara menurunkan alat ini hingga
permukaan air di tempat yang teduh, sampai mulai menghilang atau
tidak terlihat oleh pengamat kemudian diukur panjang tali yang ada
didalam air.
c.Kecepatan aliran
Pengukuran kecepatan aliran air menggunakan botol yang berisi air
100ml yang dihanyutkan ke perairan sungai yang jaraknya sudah
ditentukan menggunakan rollmeter sepanjang 10m kemudian dicatat
waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tersebut dengan
menggunakan stopwatch yang setelahnya dihitung kecepatannya.
2. Amati parameter kimia:
1. pH
Pengukuran pH dengan menggunakan pH meter dengan cara
mencelupkan sampai dengan bagian sensor ke dalam sampel air yang
akan diuji hingga angka yang tertera pada pH meter menunjukkan
angka yang konstan.
2. Dissolved Oxygen (DO)
Untuk mengukur kadar oksigen terlarut didalam air menggunakan
Oxymeter dengan cara mencelupkan ujung elektroda atau sensor
kedalam sampel air yang akan diuji, lalu tekan tombol on, alat
dicelupkan hingga menunjukkan angka yang konstan.
3.3.1.2. PengambilanData Sifat Biologi Perairan
Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan mengambil 3 liter air
bagian permukaan. Kemudian air disaring dengan plankton net 200 mesh yang
kemudian dimampatkan ke dalam botol flakon berukuran 15ml, lalu
diawetkan dengan menggunakan formalin 5% sebanyak 3 tetes. Botol flakon
kemudian diberi label sesuai dengan tempat pengambilan sampel. Selanjutnya
dibawah ke laboratorium untuk diidentifikasi menggunakan Haemacytometer
dan diamati dengan mikroskop. Untuk mengetahui nama jenis plankton yang
ditemui dilakukan dengan mencocokan dengan gambar yang ada pada buku
kunci identifikasi plankton. Pada setiap daerah sungai diambil 2 kali
pengulangan disetiap segmen di kedua sungai.
Pengambilan data tambahan seperti vegetasi maupun biota dengan cara
melihat langsung di lapangan kemudian diidentifikasi dan dicatat.
Pengamatan plankton di laboratorium
1. Hemacytometer dibersihkan dan dikeringkan terlebih dahulu dengan kertas
tissue, kemudian bubuhkan beberapa tetes sampel air dengan pipet di atas
kedua tempat bidang pandang hemacytometer dan pasang gelas penutupnya.
Penetesan harus hati-hati agar tidak terjadi gelembung udara di bawah gelas
penutup.
2. Plankton diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 400X dan
pengamatannya dilakukan pada bidang yang berkotak-kotak.
3. Kepadatan plankton diperoleh dengan cara menghitung jumlah plankton yang
terdapat pada kotak bujur sangkar yang mempunyai sisi 1 mm. apabila jumlah
plankton yang diamati adalah N individu, maka kepadatan planktonnya adalah
N x 104 individu/ml.
4. Nama jenis plankton yang diamati diidentifikasi menggunakan buku
identifikasi plankton, dipilih nama jenis plankton yang mempunyai
kenampakan dengan tingkat kemiripan paling tinggi dengan jenis plankton
yang diamati pada mikroskop.

3.4. Analisis Data


1. Untuk perhitungan kecepatan aliran dengan rumus :
V = 0,161N + 0,006
Keterangan :
V = Kecepatan arus per detik
N = Jumlah putaran per detik
2. Untuk menentukan nilai keanekaragaman jenis plankton digunakan formula indeks
diversitas Simpson, yaitu:

ID = 1-λ
Keterangan:
ni = Jumlah individu spesies ke-i
N = Jumlah total semua individu
Nilai Index Diversitas plankton maksimal dari rumus diatas adalah satu (1) sehingga
nilai yang semakin mendekati 1 akan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah
atau sedikit.
3. Hasil pengamatan di lapangan disajikan dalam bentuk grafik
Bandingkan kedua sungai dengan parameter fisik kimia dan biologi perairan yang
diamati dengan membuat grafik yangmenunjukkan hubungan faktor biotik, fisik, dan
kimia perairan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bagian atas di sungai Klenting Kuning di petak 8a tidak terdapat aktivitas manusia
tetapi ada pipa paralon yang mengalirkan air bersih untuk warga sekitar sungai yang kemudian
digunakan sebagai aktivitas sehari-hari. Pada bagian tengah sungai terdapat adanya aktivitas
manusia dalam bentuk objek wisata dalam bentuk curug atau air terjun. Pada bagian akhir
terdapat adanya aktivitas manusia yaitu jalan raya yang melintas diatas sungai. Hulu sungai
Curug Lawe terdapat aktivitas wisata karena adanya curug yang menjadi obyek wisata. Pada
daerah tengah terdapat aktivitas pengairan atau irigasi yang kemudian dialirkan ke perumahan
penduduk. Hilir sungai terdapat aktivitas pengairan dan perkebunan cengkeh. Berdasarkan hasil
pengamatan kualitas fisik, kimia dan biologi di kedua sungai dijelaskan sebagai berikut
1. Komponen Faktor Fisik
Dalam faktor fisik yang diukur meliputi suhu, kejernihan, dan kecepatan arus.Sifat fisik
perairan diukur langsung dilapangan.
A. Suhu

Suhu
22.5 22 22
22 21.5
21.5 21
21 20.5
20.5
20 19.5
19.5
19
18.5
18
Atas Tengah Bawah

Gambar 4. Suhu Air Sungai di Kedua Lokasi Pengambilan Sampel


Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 1 menunjukkan terjadinya perubahan
suhu pada setiap titik pengambilan sampel. Dari hasil pengukuran suhu di lapangan dapat
diketahui suhu terukur pada kisaran 20-22°C pada sungai Curug Lawe dan 19-22°C pada
sungai Klenting Kuning. Pengukuran suhu air ini merupakan suhu air permukaan saja.
Suhu air optimal di daerah tropis berkisar antara 25-31°C, sedangkan perbedaan suhu
siang dan malam tidak lebih dari 5°C, sehingga secara umum kondisi sungai Curug Lawe
dan sungai Klenting Kuning lebih rendah dari kisaran suhu optimal di daerah tropis.
Berdasarkan standar baku mutu air PP No.82 tahun 2001 dapat dinyatakan suhu air di
kedua sungai normal.
Dalam diagram balok pada Gambar 1, fluktuasi suhu pada sungai Curug Lawe
mengalami penurunan dan kenaikan, sedangkan pada sungai Klenting Kuning suhu
mengalami kenaikan. Suhu air dapat berbeda-beda sesuai dengan kondisi iklim dan
musim pada waktu pengambilan sampel. Suhu juga berperan penting dalam proses reaksi
dan biologis, dimana tingkat oksidasi zat organik jauh lebih besar selama musim panas
daripada musim dingin (Mahida, 1984).
Dari hasil pengukuran dilapangan diperoleh rata-rata suhu terendah di sungai
Curug Lawe pada bagian tengah dan di sungai Klenting Kuning suhu terendah pada
bagian atas. Secara umum gradien suhu mengalami penurunan dan kenaikan sesuai
dengan lokasi pengambilan sampel. Kondisi vegetasi mempengaruhi parameter suhu.
Dengan kondisi penutupan vegetasi yang tidak terlalu rapat akan menyebabkan sinar
matahari dapat langsung masuk ke perairan tanpa terhalang oleh tajuk.
Kejernihan air juga dapat meningkatkan suhu perairan. Hal ini disebabkan
partikel-partikel tersuspensi yang terdapat dalam perairan mengabsorbsi panas dari sinar
matahari. Panas yang mengabsorbsi tersebut kemudian akan dilepas dalam bentuk panas
ke dalam badan air karena panas tersebut tidak dapat dipantulkan kembali akibat dari
terhalangnya partikel-partikel yang tersuspensi tersebut.
Suhu perairan merupakan faktor pembatas kehidupan flora dan fauna perairan,
suhu perairan melalui metabolisme perkembangbiakan organisme perairan. Secara umum
kenaikan suhu perairan akan mengakibatkan kenaikan aktivitas biologi yang
membutuhkan lebih banyak oksigen didalam perairan. Hubungan antara suhu air dan
oksigen terlarut mempunyai korelasi negatif, yaitu kenaikan suhu air akan menurunkan
tingkat solubilitas oksigen, yang dapat menganggu kemampuan mikroorganisme air
dalam pemanfaatan oksigen untuk proses biologis air (Asdak, 1995).
B. Kejernihan
Kejernihan dapat dilihat langsung di lapangan, tetapi hasilnya tidak akurat karena
kejernihan yang tampak oleh mata dapat dipengaruhi oleh bayangan pepohonan,
bangunan yang ada di sekitar sungai, dan endapan yang ada di sungai. Berdasarkan hasil
pengukuran kejernihan pada kedua sungai pengambilan sampel air disajikan pada
Gambar 5.

Kejernihan
50
45
45.92
40
35
30
25
25.88
20
18.89 20.79 22.11 18.7
15
10
5
0
Atas Tengah Bawah

Gambar 5. Kejernihan pada Kedua Lokasi Sungai


Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 2, menunjukkan kenaikan dan
penurunan kejernihan air pada kedua sungai. Kejernihan sungai Curug Lawe berada pada
kisaran 18.7 - 20.79 cm, sedangkan sungai Klenting Kuning kejernihannya berkisar
antara 22.11-45.92 cm. Kejernihan tertinggi pada bagian tengah yaitu 20.79 cm
sedangkan terendah pada 18.7 cm. Kejernihan pada sungai klenting pun juga mengalami
kenaikan dan penurunan, kejernihan tertinggi pada atas yaitu 45.92 sm dan terendah pada
tengah yaitu 25.88 cm. Kejernihan menunjukkan sifat optis air, mengakibatkan
pembiasan cahaya dalam air.
Kejernihan terjadi karena adanya bahan terapung dan terurainya zat tertentu seperti
bahan organik, jasad renik, lumpur, lempung, dan ada benda lain yang melayang atau
terapung dan sangat halus sekali. Semakin keruh air maka semakin tinggi daya hantar
listriknya dan semakin banyak pula padatannya (Ginting, 1992). Selain itu, kejernihan
juga dipengaruhi oleh lapisan permukaan tanah yang terbawa oleh aliran air pada saat
hujan. Menurut Soetamihardja (1978) dalam Dewi (2007) adanya turbiditas tidaklah
selalu berarti bahwa sungai atau perairan terkena polusi, karena air jernih sekalipun dapat
secara berat terkontaminasi oleh asam atau logam yang tidak menyebabkan turbiditas.
C. Kecepatan Arus
Kecepatan arus sungai merupakan salah satu komponen penting dalam ekosistem
suatu perairan, karena kecepatan arus akan mempengaruhi kemampuan self-purification.
Self-purification berarti semakin cepat arus, semakin cepat pula air tersebut menjernihkan
suatu kawasan. Hasil pengukuran kecepatan arus kedua sungai tersaji dalam Gambar 6.

Kecepatan Aliran
1.2

1 0.972

0.8

0.6
0.484 0.484
0.4
0.24 0.255
0.2 0.098
0
Atas Tengah Bawah

Gambar 6. Kecepatan Aliran Pada Kedua Lokasi Pengambilan Sampel


Berdasarkan pengamatan pada gambar 3 terjadi kenaikan dan penurunan pada
sungai Curug Lawe dengan kisaran kecepatan aliran 0.24-0.972 m/detik, sedangkan pada
sungai Klenting Kuning terjadi penurunan dengan kisaran kecepatan aliran 0.098-0.484
m/detik. Kecepatan arus tertinggi di sungai Curug Lawe terdapat pada bawah yaitu 0.974
m/detik dan terendah di tengah yaitu 0.24 m/detik. Kecepatan arus di sungai Klenting
Kuning tertinggi di atas yaitu 0.484 m/detik dan terendah di bawah yaitu 0.098 m/detik.
Kecepatan aliran dipengaruhi oleh topografi, lebar sungai, kedalaman, batuan pada dasar
sungai, dan vegetasi.
Kecepatan arus suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan
air tersebut untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar. Kecepatan arus dan
pergerakan air sungai sangat dipengaruhi oleh bentang alam atau landscape, jenis batuan
dasar, dan curah hujan. Semakin rumit bentang alam, maka semakin besar ukuran batuan
dasar, dan semakin banyak curah hujan mengakibatkan pergerakan air semakin kuat dan
kecepatan arus semakin cepat (Effendi, 2003). Fluktuasi kecepatan arus yang terjadi pada
lokasi pengambilan sampel dapat disebabkan oleh kemiringan atau bentuk dasar sungai.
Fluktuasi kecepatan arus yang terjadi dapat pula disebabkan oleh musim, diman awaktu
pengambilan sampel merupakan musim hujan sehingga debit air meningkat. Menurut
Sastrawijaya (1991), sungai pada musim hujan pada umumnya memiliki kecepatan yang
lebih tinggi dibanding sungai pada musim kemarau. Sungai yang memiliki banyak
belokan akan memiliki kecepatan arus yang lebih kecil disbanding dengan sungai yang
memiliki sedikit belokan.
Kecepatan arus permukaan air sungai memiliki peran dalam penguraian limbah.
Selain itu, kecepatan arus juga berpengaruh positif terhadap kandungan oksigen terlarut,
akan tetapi jika dilihat dari hasil pengukuran DO di lapangan tidak menunjukkan hal
tersebut, karena pada kasus ini DO tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kecepatan arus
tetapi juga dipengaruhi oleh keberadaan limbah yang masuk ke dalam sistem perairan.
Kecepatan arus dibawah 0.01 m/s menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut agak rendah,
sedangkan kecepatan arus sungai antara 0.6-1 m/s menyebabkan konsentrasi oksigen
terlarut agak tinggi (Sastrawijaya, 1991).

2. Komponen Faktor Kimia


Dalam faktor kimia yang diukur meliputi pH dan Dissolved Oxygen (DO). Kedua
parameter sifat kimia perairan tersebut, pengukuran dilakukan di laboratorium.
A. Derajat Keasaman (pH)
pH merupakan suatu faktor bagi kehidupan organisme. pH sendiri merupakan
konsentrasi H+ pada suatu larutan atau senyawa. Hasil pengukuran pH perairan di kedua
sungai tersebut disajikan dalam Gambar 7.
pH
7.62
7.6 7.6
7.6
7.58
7.56
7.54
7.52
7.5 7.5 7.5 7.5
7.5
7.48
7.46
7.44
Atas Tengah Bawah

Gambar 7. Rata-rata pH pada Kedua Lokasi Pengambilan Sampel


Grafik diatas terlihat fluktuasi nilai pH yang terukur di lapangan. Data yang
didapatkan cenderung konstan dengan kisaran 7.5-7.6 di sungai Curug Lawe dan 7.5 di
sungai Klenting Kuning. Nilai pH tertinggi di sungai Curug Lawe pada tengah dan bawah
yaitu 7.6 dan terendah pada atas yaitu 7.5. Nilai pH pada sungai Klenting Kuning
menunjukkan nilai yang konstan yaitu 7.5 pada setiap daerahnya. Nilai pH air normal
sekitar netral yaitu 6,7 sampai 7,5. Nilai pH yang netral dapat menyokong kehidupan
aquatik yang beranekaragam dengan baik (Mason, 1993).
Berdasarkan data di atas kondisi pH air pada kedua sungai berdasarkan standar
Baku Mutu PPD. No. 83 tahun 2001 yaitu normal atau netral. Perubahan keasaman pada
air buangan, baik kearah alkali (pH naik) maupun kearah asam (pH turun), akan
menganggu kehidupan ikan dan hewan air disekitarnya, selain itu air buangan yang
mempunyai pH rendah bersifat korosif terhadap baja dan sering menyebabkan
pengkaratan pada pipa-pipa besi (Fardiaz, 1992). Selain itu pH juga dipengaruhi oleh
bertambahnya bahan-bahan organik yang membebaskan CO2 jika mengalami proses
penguraian (Kristanto, 2000). CO2 yang terlepas ke dalam system akan berubah menjadi
ion HCO3- yang bersifat asam.
Peningkatan pH dapat juga disebabkan adanya pelarutan bahan-bahan, ion-ion,
dan asam-asam dari tanah atau batuan yang dilewati oleh aliran air sehingga air tersebut
secara tidak langsung akan membawa tambahan berupa ion yang bersifat alkalis yang
menyebabkan terjadinya kenaikan pH perairan. Pada perairan yang tercemar akan
menyebabkan pH menjadi tidak stabil pada kondisi netral. Ketidakstabilan nilai pH ini
akan mempengaruhi organism perairan, pH yang terlalu asam ataupun basa akan menjadi
pembatas bagi kehidupan organisme. Pada organisme tingkat rendah apabila terjadi
kondisi yang ekstrim akan menyebabkan organism tersebut dorman. Sedangkan pada
organisme tinggi akan menyebabkan kematian. Hal ini akan mengganggu kestabilan
ekosistem perairan maupun produktivitas primer perairan.

B. Dissolved Oxygen (DO)


Oksigen terlarut (DO) merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan organisme
perairan. Hasil pengukuran DO pada kedua sungai disajikan dalam bentuk Gambar 8.

Dissolve Oxygen
3.8
3.7
3.7
3.6
3.6
3.5
3.5
3.4 3.37
3.4
3.3
3.3
3.2
3.1
3
Atas Tengah Bawah

Gambar 8. Rata-rata DO pada Kedua Lokasi Pengambilan Sampel


Dari grafik pengambilan rata-rata DO, nilai DO mengalami kenaikan dan
penurunan. Nilai DO tertinggi pada sungai Curug Lawe adalah 3.6 pada bagian atas dan
terendah 3.4 pada bagian tengah. DO tertinggi pada sungai Klenting Kuning terdapat
pada atas yaitu 3.7 dan terendah pada bawah yaitu 3.3. Kandungan nilai DO akan
mempengaruhi kehidupan makhluk air, dalam hal ini kemampuan air untuk
mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupan
organisme yang ada didalamnya (Wardhana, 1995).
Penyebab utama berkurangnya kadar oksigen dalam air ialah limbah organik yang
terbuang dalam air. Limbah organik akan mengalami dekomposisi dan degradasi oleh
bakteri aerob sehingga lama kelamaan oksigen yang terlarut dalam air sangat berkurang.
Dalam kondisi berkurangnya oksigen tersebut hanya spesies organisme tertentu saja yang
dapat hidup (Darmono, 2001).
Kadar oksigen terlarut dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan
atmosfer. Semakin tinggi suhu dan ketinggian, serta semakin kecil tekanan atmosfer,
kadar oksigen akan semakin kecil (Jeffreis dan Mills, 1996). Suhu air dapat
mempengaruhi kadar oksigen terlarut. Populasi thermal pada organisme air terjadi pada
suhu tinggi, sehingga jumlah mikroorganisme akan bertambah. Hal ini akan berakibat
pada peningkatannya aktivitas dekomposisi bahan-bahan buangan sehingga akan
meningkatkan kebutuhan oksigen, dan DO akan menjadi berkurang.
Dalam Diana (2002) dikatakan bahwa kandungan oksigen terlarut minimal bagi
suatu perairan adalah 2ppm. Dengan kandungan oksigen terlarut minimal, sudah cukup
untuk mendukung kehidupan aquatik secara normal di daerah tropik dengan asumsi
bahwa perairan tidak mengandung bahan-bahan yang bersifat racun. Apabila kandungan
oksigen terlarut kurang dari 2 ppm, maka dapat dikatakan bahwa kualitas perairan
tersebut sangat buruk.
Sungai Curug Lawe bagian atas banyak aktivitas wisata yang menyebabkan
kandungan oksigen atau DO di bagian tersebut 3.6 ppm dan termasuk dalam golongan
kualitas sedang, dibagian tengah yaitu 3.4 ppm juga terdapat aktivtas wisatawan yang
melakukan foto atau membuang sampah disungai bagian lokasi pengambilan sampel
termasuk golongan kualitas sedang, bagian bawah yaitu 3.5 ppm hal ini jarangnya
aktivitas manusia berada dibagian lokasi pengambilan sampel hanya ada aktivitas
mencari rumput, termasuk golong kualitas sedang.
Sungai Klenting Kuning bagian atas terjadi aktivitas pengairan pipa pralon air
yang kemudian akan digunakan oleh masyarakat dan memiliki DO 3.7 ppm dan termasuk
dalam kualitas sedang, dibagian tengah yaitu 3.37 ppm dan terdapat aktivitas wisatawan
obyek wisata Curug Klenting Kuning sehingga sampel termasuk dalam kualitas sedang,
dibagian bawah sungai klenting DO yang didapatkan 3.3 ppm sehingga termasuk dalam
kualitas sedang, selain itu terdapat aktivitas kendaraan yang berlalu lalang melintasi
sungai klenting tersebut.
3. Komposisi Faktor Biologis
Dalam faktor biologi yang diukur meliputi keanekaragaman plankton, biota dan
vegetasi. Untuk faktor biologi perairan pengamatan dilakukan dilaboratorium sedangkan
untuk vegetasi dan biota pada saat dilapangan.
Keanekaragaman plankton sendiri akan mempengaruhi produktivitas primer suatu
perairan. Hal ini disebabkan oleh plankton yang merupakan pakan alami bagi ikan. Ditinjau
dari nutrisinya, plankton sangat potensial karena plankton mengandung protein yang tercerna
oleh ikan mencapai 80% (Aida, 2008).
Selain sebagai pakan alami ikan, plankton mempunyai peran lain yaitu pengurai bahan
organic baik primer (berasal dari seresah tumbuhan yang terbawa oleh arus sungai) maupun
sekunder (berasal dari hewan) menjadi senyawa yang lebih sederhana maupun menjadi
unsur-unsur yang tersedia bagi tanaman air (Wiryawan, 2009).
Keanekaragaman plankton ditunjukkan oleh Indeks Diversitas Simpson.Berikut
disajikan hasil pengamatan keanekaragaman plankton di kedua sungai pada Gambar 9.

Keanekaragaman Plankton
0.97500000000000
0.97000000000000
1 1
1
1 0.9393
0.87500000000000
1
0.9
0.8 0.692
0.7
0.6
Axis Title

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
hulu tengah hilir

Gambar 9.Data Keanekaragaman Plankton


Berdasarkan pengamatan di atas, keanekaragaman plankton di kedua lokasi sungai
dilakukan pengambilan sampel. Kedua lokasi tersebut mengalami kenaikan dan penurunan
kisaran 0,9393 – 1 di Curug Lawe, sedangkan di Klenting Kuning keanekaragaman plankton
kisaran 0,875 – 0,692. Hasil perhitungan ID diatas menunjukan bahwa pada bagian tengah
memiliki nilai ID yang tinggi, hal tersebut dikarenakan pada bagian tengah belum terjadi
pencemaran air akibat limbah. Nilai ID sendiri berkisar antara 0 – 1, semakin mendekati 1
maka ID semakin tinggi yang menunjukan keanekaragamannya juga tinggi.
Berdasarkan grafik diatas jumlah keanekaragaman di sungai curug lawe yang
keanekaragaman tertinggi yaitu di bagian bawah dan yang terendah yaitu di bagian atas,
disebabkan di bagian atas adanya aktivitas wisata dan vegetasinya sedikit, sedangkan
dibagian bawah banyaknya vegetasi dan tempat pengambilannya terbuka dan tidak ada
aktivitas manusia.
Pada lokasi Curug Lawe bagian atas terdapat 12 spesies dengan jenis plankton yang
paling banyak adalah jenis Centropyxis constrcta yaitu 3 individu. Pada bagian tengah
terdapat 25 spesies dengan jenis plankton yang paling banyak Pectangularia sp dan Navicula
festiva dengan jumlah individu yang sama yaitu 3 individu, sedangkan pada bagian bawah
sungai Klenting Kuning terdapat 13 spesies dengan jenis spesies Mougeotia sp.,
Microstomum bispiralis, Driloehaga judoyi, Astorococcus sp., Cypridopsis yucalanesis,
Physocypria pustulosa, Eynlothoca mucosa., Harringia roussoleti, Tillina magna dan Chaos
diffluora dengan jumlah individu yang sama yaitu 1 individu.
Pada lokasi sungai Klenting Kuning bagian atas ditemui 18 spesies dengan jenis
plankton yang paling banyak adalah jenis Balantidioides bivacuolata yaitu 5 individu. Pada
bagian tengah terdapat 16 spesies dengan jenis plankton yang paling banyak Eudorina sp
yaitu 3 individu dan pada bagian bawah sungai Klenting Kuning terdapat 14 spesies dan jenis
yang paling banyak adalah Eudorina sp yaitu 8 individu.
Jumlah plankton di perairan menjadi salah satu indikator kualitas perairan tersebut, jika
jumlah plankton semakin besar maka kualitas air tersebut bisa dikatakan baik karena
berkaitan dengan kemampuan plankton untuk menghasilkan oksigen untuk perairan tersebut.
Tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi dapat menyebabkan suplai nutrisi menjadi melimpah,
sehingga keadaan ini akan mempercepat perkembangbiakan plankton. Apabila plankton ini
mati dan membusuk akan menyebabkan peraira tersebut kekurangan oksigen dan mematikan
biota lainnya. Karena hal ini, plankton disebut sebagai penyumbang oksigen terbesar dalam
perairan.
Biota yang terdapat pada sungai Klenting Kuning bagian atas antara lain pacet, udang
sungai dan kecebong, bagian tengah capung, laba-laba air, cucak kutilang da kecebong
sedang pada bagian bawah udang sungai, kupu-kupu dan laba-laba air. Pada sungai curug
lawe bagian atas dan tengah terdapat udang sedang pada bagian bawah terdapat kodok dan
laba-laba air.
Vegetasi yang terdapat di sungai Klenting Kuning bagian atas talas, pisang, ketapang,
dan lumut. Vegetasi bagian tengah terdapat Pisang, Kopi, Sengon Gunung, Kerinyu, Jabon,
Rumput liar, Waru gunung dan Bambu. Sedangkan bagian bawah terdapat pisang, bambu,
lamtoro, sengon, kerinyu, paku – pakuan dan kolonjono. Oleh karena itu, keberadaan
vegetasi sangat diperlukan tapi dalam jumlah yang sesuai agar cahaya matahari tetap dapat
masuk dan proses fotosintesis dapat berjalan optimal (Aida, 2008).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Perbandingan Kualitas Air
50
45
40 suhu
35 kecepatan aliran
30 kejernihan
25 pH
20 DO
15 ID
10
5
0
hulu tengah hilir hulu tengah hilir
Curug Lawe Klenting Kuning

Gambar 10. Perbandingan kualitas air


Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas air kedua sungai termasuk dalam golongan
baik dikonsumsi dan masuk dalam Kelas III baku mutu air berdasarkan pH dan DO yang sudah
diteliti. Hal ini berarti kualitas air di kedua sungai baik dikonsumsi dalam bentuk pengairan
sawah, tambak ikan dan atau konsumsi rumahan seperti mandi dan kebutuhan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Aida T. Y., 2008. Kualitas Habitat Mangrove setelah di lakukan Silvofishery Desa Surodadi
Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Skripsi.Fakultas kehutanan Universitas Gadjah
Mada.Yogyakarta.(Tidak dipublikasikan).
Agustiningsih, D. 2012. Kajian Kualitas Air Sungai Blukar Kabupaten Kendal dalam Upaya
Pengendalian Pencemaan Air Sungai. Universitas Diponegoro.
Angel,H and Wolseley, P., 1992. The family of water Naturalis ST. Blooms-burry Books,
London.1992 P.
Anonim, 1976. Standart Method For The Examination Of Water and Water. 4 th edition.
American public Health Association, Washington DC.1993 P.
Anonim, 1992.Water Quality Assesment. Edited by Chapman, D. Chapman and Hall L td.,
London. 585 P.
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University
Press.Yogyakarta.
Aziz, S. 1989. Sifat-sifat Fisik dan Kimiawi Perairan Estuari. Pewarta Oseana, 5 dan 6 : 4-7
Barus, A.T. 2002. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi. FMIPA.USU. Medan.
Barus, A. T. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.USU
Press.Medan.
Cech, Thomas V. 2005. Principles of Water Resources History, Development, Management and
Policy. John Wiley and Sons, Inc. United States.
Darmono.2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran Hubungan dengan Toksikologi Senyaw
Logam. UI Press. Jakarta.
Daryanto. (1995). Masalah Pencemaran. Bandung: Tarsito.
Dewi, E. 2007. Penilaian Kualitas Air Muara Sungai Bogowonto di Sekitar Buangan Tambak
Udang Desa Sangkaran, Kabupaten Kulonprogo. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta. (Tidak Dipublikasikan).
Diana, N. P. 2002. Perbedaan Beberapa Pola Silvofishery Terhadap Sifat Fisik Kimia dan Biota
Perairan di Area Mangrove Desa Ginting, Kecamatan Bulakambu, Kabupaten Brebes.
Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.(Tidak dipublikasikan).
Effendi, H., 2003.Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan.Kanisius, Yogyakarta, 190 hal.
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius.
Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Ginting, S. 1992. Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran Industri. Sinar Harapan. Jakarta.
Gunarwan,S. E. 1998. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University
Press.Yogyakarta.
ICRF. 2010. Membangun Kebun Campuran. World Agroforestri Centre (ICRAF).Bogor.
Jeffries, M.dan Mills, D. 1996. Freshwater Ecology, Principles and Applications.John Wiley and
Sons. UK.
Koesoebiono. 1989. Metode dan Teknik Analisis Biologi Perairan. Kumpulan Makalah Khusus
Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Kantor Menteri Negeri dan
Lingkungan Hidup. Jakarta.
Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Andi Offset. Yogyakarta.
Kusuma, Nimas E. 2006. Analisis Ekonomi Pengelolaan Sumber Daya Air dan Kebijakan Tarif
Air PDAM Kota Madiun. Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mackereth, F., et al. 1989.Water Analysis.Fresh-water Boilogical Assosiation. UK.
Mahida, U. N. 1986. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Rajawali. Jakarta.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga .Gajah mada University Press.Yogyakarta.
Odum, E.P. 1996. Dasar – Dasar Ekologi. Alih Bahasa. Cahyono,S. FMIPA IPB. Gadjah Mada
University Press.Yogyakarta.
Prawiro, R. H. 1983. Ekologi Lingkungan Pencemaran. Satya Wacana. Semarang.
Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sawyer, C. N. dan McCarty, P.L. 1978.Chemistry fo Environmental Engineering. Third Edition.
McGraw-Hill Book Company. Tokyo.
Sutamihardja, R. T. M., 1978. Kualitas dan Pencemaran Lingkungan Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan. IPB. Bogor.
Sutrisno, T. 2004. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Rineka Cipta. Jakarta.
Tebbut, T. H. Y. 1992. Principles of Water Quality Control.Fourth Edition. Pergamon Press.
Oxford.
Wardhana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Edisi Revisi. Penerbit Andi.
Yogyakarta.
Wiryawan, Y. R. P. 2009. Kandungan Hara N, P, K, Pada Kawasan Mangrove Setelah Ada
Silvofishery di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Pantai Mangrove Pantai Utara Kabupaten
Demak. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.(Tidak
dipublikasikan).
Wiwoho. 2005. Model Identifikasi Daya Tampung Beban Cemaran Sungai Dengan Qual2e-Studi
Kasus Sungai Babon. Universitas Diponegoro. Semarang.
Yuliastuti, E. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam Upaya
Pengendalian Pencemaran Air. Universitas Diponegoro.

Lampiran
Klenting Kuning petak 8A
No Lokasi Jenis Jumlah N n-1 jml n-1 n(n-1) jml n(n-1) jmln(n-1)/(jmln-1*11) ID
1 Peridinium palatinum 2 1 2
2 Balantidioides bivacuolata 5 4 20
3 Bernardium bernardinenae 1 0 0
4 Euglena caudata 2 1 2
Hulu 18 10 38 0.124183007 0.875817
5 Staurastrum meganchanthum 1 0 0
6 Nitzschia actinastroides 1 0 0
7 Holotrichous isorhiza 2 1 2
8 Euglena deses 4 3 12
9 Mougettia sp. 1 0 0
10 Eudorina sp. 3 2 6
11 Ankyra sp. 1 0 0
12 Schizodictyon catenatum 1 0 0
13 Ancyromonas concorto 1 0 0
14 Elakatothrix viridis 1 0 0
15 Coccomyxa dispar 1 0 0
Tengah 16 2 6 0.025 0.975
16 Corythion dubium 1 0 0
17 Synechocystia aquatilia 1 0 0
18 Difflugia acuminata 1 0 0
19 Echinosphaerella tunnetica 1 0 0
20 Hemidinium masutum 1 0 0
21 Euglena oblonga 1 0 0
22 Euglena hyalina 1 0 0
23 Eudorina sp. 8 7 56
24 Chrypsophyta dinobryon 1 0 0
25 Cryptomonas sp. 1 0 0
26 Hilir Round worms 1 14 0 7 0 56 0.307692308 0.692308
27 Lecythium mutabile 1 0 0
28 Ancyromonas concorto 1 0 0
29 Eremusphaera sp. 1 0 0
Curug Lawe 10A
No Lokasi Jenis jumlah (n) N n-1 jml n-1 n(n-1) jml n(n-1) jmln(n-1)/jml
ID n-1*11
1 Thiopodia sp. 1 0 0
2 Polomysa polustris 1 0 0
3 Synochocystis aquafillia 1 0 0
4 Centropyxis constricta 3 2 6
5 Hulu Prorocentrum micans 1 12 0 3 0 8 0.060606 0.939394
6 Cyclotella sp. 1 0 0
7 Ceratium lineatum 1 0 0
8 Vorticella sp. 2 1 2
9 Calans sp. 1 0 0
10 Coelastrum nageli 1 0 0
11 Arthrospira jennesi 1 0 0
12 Mastoeloia danseii 1 0 0
13 Cerioos caudae-suts 2 1 2
14 Cosmarium granatum var ratondatum 1 0 0
15 Disomatana buchili 2 1 2
16 Thiothee sp. 1 0 0
17 Pelomyxa polustris 2 1 2
18 Navicula festiva 3 2 6
Tengah 25 7 18 0.03 0.97
19 Spirulina pricenpus 1 0 0
20 Pectangularia sp. 3 2 6
21 Agussizii sp. 1 0 0
22 Cymbella sp. 1 0 0
23 Chlamyclomonas chrysamonadie 1 0 0
24 Epithemia zebra vor porcella 1 0 0
25 Holotrichous isorhiza 1 0 0
26 Synechocystia aquarilia 1 0 0
27 Synedra cunningtani 1 0 0
28 Microstomum bispiralis 1 0 0
29 Driloehaga judoyi 1 0 0
30 Astorococcus sp. 1 0 0
31 Cypridopsis yucalanesis 1 0 0
32 Physocypria pustulosa 1 0 0
33 Eynlothoca mucosa 1 0 0
34 Hilir Harringia roussoleti 1 13 0 0 0 0 0 1
35 Tillina magna 1 0 0
36 Chaos diffluora 1 0 0
37 Colpodo cucullus 1 0 0
38 Phacus sp. 1 0 0
39 Eunengonum hyalinum 1 0 0
40 Mougeotia sp. 1 0 0

Anda mungkin juga menyukai