Disusun oleh :
Kelompok 6
TINJAUAN PUSTAKA
2.5. Perhutani
Perusahaan Negara Perhutani didirikan pada tahun 1961 untuk mengelola
kawasan hutan di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebagian Kalimantan, dengan tujuan
untuk menghasilkan devisa dari kegiatan kehutanan. Kemudian pada tahun 1972
perusahaan negara Perhutani di Jawa Timur dan Jawa Tengah menjadi Perum
Perhutani, sedangkan yang di Kalimantan menjadi PT.Inhutani, tahun 1978 Jawa Barat
juga menjadi bagian Perum Perhutani. Perum Perhutani menguasai wilayah yang
dikuasai Dinas Kehutanan dijaman penjajahan Belanda (Prakosa, 1997).
Perum Perhutani mempunyai tugas dan wewenang menyelenggarakan
perencanaan, pengurusan, pengusahaan, dan perlindungan hutan di wilayah kerjanya.
Adapun maksud dan tujuan perusahaan adalah menyelenggarakan usaha di bidang
kehutanan untuk memproduksi barang dan jasa yang bermutu dan memadai bagi
pemenuhan hajat hidup orang banyak serta turut aktif dalam melaksanakan dan
menunjang pelaksanaan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembagunan
pada umumnya. Dalam penyelenggaraan pegusahaan hutan dan usaha lain, Perum
Perhutani harus memperlakukan prinsip-prinsip 8 ekonomi, kelestarian serta
terjaminnya keselamatan kekayaan negara (Burhan, et al.1987).
Dalam rangka mewujudkan demokratisasi dalam pengelolaan hutan, masyarakat
diberi wewenang yang lebih besar untuk melakukan pengawasan sebagai social
control dalam kegiatan pengelolaan hutan yang bermuara kepada peningkatan
keberhasilan kinerja pengelolaan hutan yang lestari dan berkeadilan. Kebijakan untuk
melibatkan masyarakat dalam seluruh aspek pengelolaan hutan tersebut pada dasarnya
merupakan salah satu upaya menyelamatkan hutan dengan keanekaragaman hayatinya
yang diselaraskan dengan optimalisasi manfaatnya bagi masyarakat (Prawiraatmadja,
2000).
CARA PELAKSANAAN
No Alat Fungsi
Pada setiap lokasi di atas dibuat profil hutan secara vertikal dan
horizontal, memanjang dari sungai ke arah daratan. Pemilihan titik
mempertimbangkan penampakan umum tegakan, sehingga profil diagram
yang dibuat dapat mewakili vegetasi di lokasi tersebut. Ukuran pembuatan
plot diagram profil8 x 60 m2. Arah memanjang transek sejajar sungai
dinyatakan sebagai sumbu x, arah melebar transek sebagai sumbu y,
sehingga diperoleh sumbu panjang: x = 60 m, sumbu pendek: y = 8 m.
Diukur tinggi total, tinggi pohon bebas cabang, panjang tajuk (pt), lebar
tajuk (lt), tebal tajuk (tt) dan ukur diameternya. Setelah didapatkan hasil
pengukuran lalu dibuat sketsa diagram profil vertical dan diagram profil
horizontal (Setyawan dkk., 2005). Pembuatan diagram profil dilakukan 4
kali pembuatan petak ukur setiap segmen sungai, 2 dalam kawasan
sempadan sungai dan 2 petak ukur diluar kawasan sempadan sungai.
8m
60 m
20 m
10 m
10 m
5m
10 m
1m
2m
10 m
3.3.3. Protokol Sampling
Metode Protocol Sampling digunakan untuk mengetahui persentasi
penutupan tumbuhan bawah dan tajuk serta dapat digunakan untuk
mengetahui kerapatan semak. Dilakukan dengan membuat petak ukur
lingkaran berdiameter 22,6 m. Data penutupan tajuk dan tumbuhan bawah
diperoleh dengan menggunakan tabung okuler. Kemudian dilakukan
pengamatan di sepuluh titik pada arah timur-barat dan di sepuluh titik pada
arah utara-selatan. Pegamatan dilakukan dengan mengarahakan tabung
okuler keatas untuk tutupan tajuk dan kebawah untuk penutupan tumbuhan
bawah. Tanda – artinya tidak ada penutupan dan tanda + digunakan untuk
daerah yang terdapat penutupan.
Point 1 Point 2
50 m
50 m 50 m 200 m 50 m 50 m
50 m
50 m
•
•
•
α1 Garis Transek
* * α2 * α3 * α5
Keterangan :
• Satwa yang terlihat
*Posisi pencatat
α Sudut pandang, yaitu sudut yang terbentuk antara arah transek dengan
posisi satwa
Pada dasarnya metode transek garis hampir sama dengan transek jalur.
Cara dan prosedur yang dilakukan juga sama dengan metode transek jalur.
Perbedaan yang mendasar adalah metode transek garis tidak menentukan
jarak ke kanan dan ke kiri, harus menentukan jarak antara satwa dan
pengamat (jarak lurus) atau jarak pengamatan, serta harus menentukan sudut
kontak antara posisi satwa yang terdeteksi dengan jalur pengamatan atau
sudut pengamatan.
Metode transek garis dilaksanakan oleh pengamat yang berjalan di
sepanjang garis transek dan mencatat setiap data yang diperlukan. Dengan
menggunakan metode ini, lebar atau luas dari lokasi pengamatan tidak
langsung ditetapkan. Seorang pengamat, dapat mencatat setiap jenis
mamalia yang teramati sesuai dengan kemampuan jarak pandang masing-
masing pengamat.
Xm
20 m
20 m m
mM
200M
a
Sungai
8m 200 m
50 m
50 m
60 m 10 m
25 m
20 m
Sungai
Gambar 8. Desain Petak Ukur Kawasan Perlindungan Setempat
Data vegetasi yang diperoleh dilapangan kemudian diolah menggunakan
software Sexi-Fs untuk didapakan gambaran struktur vertikal tegakan yang ada
disekitar kawasan sempadan sungai serta dilakukan perhitungan persentase
setiap kelas ketinggian pohon.
H = Indeksdiversitas Shannon-Wiener
s = jumlahspesies
Pi = ni/N
ni =jumlahindividuspesies i
3.3.10.4.Kerapatan semak
Pengukuran kerapatan semak dengan rumus
H = Indeksdiversitas Shannon-Wiener
s = jumlahspesies
Pi = ni/N
ni =jumlahindividuspesies i
3.3.11.2.Overlay Peta
Untuk mengetahui distribusi satwa yang ada makan dilakukan
overlay peta dengan titik perjumpaan satwa yang ditemui selama
pengamatan.
3.3.12. Analisis Kondisi Tanah
Profil tanah, erosi tanah, konservasi tanah, kelerengan lahan, dan
pemanfaatan lahan dideskripsikan berdasarkan data pengamatan dilapangan.
3.3.13. Analisis Kondisi Air Permukaan
Kualitas air dideskripsikan berdasarkan pengamatan fisik air sungai yang
dilakukan di lapangan.
3.3.14. Analisis Sosial
Analisis data hasil wawancara bertujuan untuk memberikan gambaran
umum interaksi masyrakat, kelembagaan yang ada disekitar masyarakat dan
administrasi yang ada. Gambaran ini berupa kegiatan yang dilakukan
masyarakat disekitar kawasan perlindungan setempat, kelembagaan yang ada
di masyarakat sekitar dan administrasi yang ada di sekitar hutan. Hasil
wawancara dimasukkan dalam tabulasi sederhana yang nilai di dalam tabel
berbentuk persentase. Pendeskripsian hasil data di lapangan akan mengarah
pada analisis aspek sosial. Kemudian dilakukan analisis secara deskriptif untuk
memberikan makna atas angka-angka kualitatif dari hasil wawancara.
3.3.15. Analisis Wisata Alam
BAB III
DESKRIPSI WILAYAH
3.2 Permasalahan
Kegiatan pengelolaan hutan di KPH Bojonegoro terdiri dari 14 elemen kegiatan
yaitu penataan hutan, persiapan tanaman, persemaian, pelaksanaan penanaman,
pemeliharaan tanaman, perlindungan dan pengamanan hutan, teresan, pembuatan dan
pemeliharaan sarana jalan, pemungutan/pemanenan hasil hutan, pengangkutan hasil
hutan, pemasaran hasil hutan, penelitian dan pengembangan, pengelolaan tenaga kerja,
kemitraan dan pemberdayaan masyarakat, serta kerjasama pengelolaan hutan rakyat.
Selain melakukan elemen kerja tersebut didalamnya tentunya terdapat permasalahan
yang dihadapi. Pada pengamatan secara langsung dilapangan terdapat beberapa point
permasalahan yang akan diangkat. Mulai dari permasalahan ekologi, pengelolaan satwa,
konservasi tanah dan air,pengelolaan pariwisata alam dan pengelolaan kawasan
konservasi.
Kondisi ekologi disekitar kawasan perlindungan setempat seharusnya tidak
berbeda jauh dengan kondisi hutan alam dengan heterogenitas vegetasi yang tinggi tidak
seperti hutan produksi yang bersifat homogenitas. Namun berdasarkan hasil pengamatan
dilapangan hanya beberapa titik pengamatan yang memiliki kondisi ekologi yang baik
dengan jenis yang ada adalah jenis pohon rimba sedangkan titik yang lain masih
didominasi dengan jati bahkan sebagian titik ditemukan adanya penggunaan lahan
sebagai lahan pertanian.
Pengelolaan satwa liar atau pengamatan satwa dilakukan dengan kurang
menggunakan petak ukur yang sesuai. Akan tetapi pengamatan dilakukan hanya dengan
berjalan dan dicatat apabila ditemui jenis satwa sehingga hasilnya kurang dapat diketahui
secara jelas jenis dan jumlahnya.Pengamatan satwa liar kurang baik karena tidak
dilakukan secara sistematik dan hanya dengan menulis jenis jenis yang sempat ditemui
ketika berada dikawasan hutan sehingga data yang diperoleh hanya berupa jenis tidak
dapat diketahui estimasi jumlah satwa yang ada. Perburuan liar juga masih terjadi di
kawasan produksi bahkan sampai di kawasan perlindungan setempat. Pengawasan dalam
perburuan ini memang kurang rinci dalam peraturannya karena memang tidak terdapat
larangan dalam membawa senapan angin dalam hutan selama tidak melakukan
tembakan. Kurangnya personil dalam bertugas juga mengurangi pengawasan terhadap
satwa di kawasan perlindungan.
Konservasi tanah diKPS belum maksimal sebagaimana fungsinya dan masih
banyak ditemukan jenis jati yang mendominasi selain itu adanya kegiatan pembibrikan
berupa jagung , kacang tanah, dan sawah yang menyebabkan peningkatan erosi karena
air hujan yang jatuh langsung ke atas permukaan tanah sehingga dapat menyebabkan
kerusakan tanah karena energi kinetik yang masih besar. Selain itu dapat menyebabkan
erosi dan run off yang tinggi, air yang jatuh langsung mengalir ke tempat yang lebih
rendah atau sungai sehingga menyebabkan air sungai menjadi keruh sampai berwarna
coklat. Kurangnya penutupan tajuk dan tumbuhan bawah sangat berpengaruh terhadap
jatuhnya air hujan. Jika terdapat penutupan tajuk dan tumbuhan bawah dapat
mengurangi energi kinetik. Sebaiknya dilakukan pengayaan jenis seperti jambu
kelampok yang dapat memperkecil kecepatan air yang jatuh ke permukaan tanah karena
tajuk yang lebar dan perakaran yang kuat dapat mempercepat infiltrasi sehingga dapat
mengurangi run off.
Obyek daya tarik wisata yang ada di sungai Pradok sudah ada namun masih
kurang maksimalnya pengelolaan yang dilakukan sehingga kurang menarik. Penataan
areal sekitar obyek wisata dan fasilitas yang disediakan kurang dan perlunya pengelolaan
lebih lanjut agar lebih menarik. Selain itu juga pengenalan serta publikasi menganai
obyek wisata tersebut juga harus dilakukan lebih maksimal lagi untuk menarik perhatian
pengunjung.
Pelaksanaan kegiatan teknis pengelolaan hutan produksi di KPH Bojonegoro
yang meliputi kelola produksi antara lain :
1. Penataan Hutan
1. Penataan batas
Penataan batas meliputi kegiatan pemeriksaan, pemancangan, pengecatan, dan
peleteran tanda batas (B, E, DK, KB, MA, WD).
2. Pembagian hutan
Pembagian hutan meliputi kegiatan pemeriksaan, pemancangan, pengecetan dan
peleteran tanda Pal HM dan Pal petak.
3. Inventarisasi/risalah hutan
Inventarisasi/risalah hutan meliputi kegiatan risalah/inventarisasi hutan dengan
metode Systematic sampling with random start, penentuan batas anak petak
(Uitzetten), penandaan batas anak petak (markir), pengukuran batas anak petak dan
perhitungan luas anak petak.
2. Persiapan Tanaman
Kegiatan pembuatan tanaman dikategorikan menjadi tiga, yakni tanaman rutin,
tanaman pembangunan, dan tanaman rehabilitasi. Terdapat dua sistem penanaman di
Perum Perhutani, yaitu banjar harian dan tumpangsari.
3. Persemaian
Dalam kegiatan persemaian di KPH Bojonegoromeliputi : kegiatan pengadaan bibit,
lokasi persemaian, serta metode produksi bibit.
4. Pelaksanaan Penanaman
Kegiatan penanaman di wilayah KPH Bojonegoro tahun 2016 seluas 485,2 ha, dengan
rincian :433,9 ha berupa tanaman pembangunan dan 51,3 ha berupa tanaman rutin.
5. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman di wilayah KPH Bojonegoro, meliputi : kegiatan
penyulaman, penyiangan, pendangiran, pemupukan, pemberantasan hama dan
penyakit, pemangkasan/wiwilan, dan penjarangan. Jadwal pelaksanaan pemeliharaan
tanaman (luas dan waktunya) mengikuti jadwal penanamannya dan jadwal teknis
silvikultur hutan tanaman (THPB).
7. Teresan
Kegiatan teresan adalah mematikan pohon dengan cara memutus pembuluh kayu
(xylem) agar diperoleh tegakan kering alami sehingga meminimalkan kerusakan pada
saat tebang. Teresan dilakukan pada waktu 1 (satu) tahun sebelum dilakukan tebangan
(T-1).Luas teresan KPH Bojonegoro pada tahun 2016 seluas 54,1 ha.
Dari hasil pemungutan hasil hutan yang dilakukan oleh KPH Bojonegoro, pelaksanaan
pemasarannya dilaksanakan oleh KBM (Kesatuan Bisnis Mandiri) Sar II Bojonegoro.
A.1.1.Aspek Vegetasi
Dari praktek yang telah dilaksanakan, maka didapatkan hasil sebagai berikut:
INP Hilir
300
250
200
150
100
50
0
Jambu Luduya Wungu Soka Putat Berasak Beringin Jati
Kelampok
Indeks Nilai Penting (INP) merupakan angka yang menggambarkan posisi suatu
jenis tumbuhan dalam suatu komunitas. Besarnya akan bergantung pada beberapa faktor,
yaitu kerapatan relatif, dominansi relatif, dan frekuensi relatif. Untuk perhitungan INP
dilakukan di Sempadan Sungai Jeruk Guling yang dibagi kedalam tiga segmen yaitu
segmen pertama untuk hilir, segemen kedua untuk tengah, dan segmen ketiga untuk hulu.
Kemudian dibedakan antara luar sempadan dan dalam sempadan.
Dari gambar 9 didapatkan hasil INP untuk bagian hilir baik di luar maupun di
dalam yang tertinggi merupakan jenis Jati dengan nilai berturut-turut sebesar 254,171%
dan 136,749%. Kemudian untuk INP terendah di bagian luar merupakan jenis Jambu
Klampok sebesar 45,8292% dikarenakan pada bagian luar sempadan hanya terdapat 2 jenis
yaitu Jati dan Jambu Klampok saja. Sedangkan di bagian dalam sempadan INP terendah
yaitu jenis Soka sebesar 6,782%. Pada keadaan lapangan, bagian hilir banyak didominasi
jenis rimba, namun semakin menuju bagian tengah maka didominasi oleh Jati saja. Pada
bagian hilir pohon lebih dapat tumbuh dengan baik dibandingkan bagian tengah maupun
hulu. Tingkat pertumbuhan pohon pada bagian ini mendominasi dikarenakan dekat dengan
pemukiman dan persemaian sehingga sedikit kemungkinan adanya pencurian, selain itu
memang jenis pohon yang umurnya tua dansehingga diameternya besar-besar.
INP Tengah
300
250
200
150
100
50
0
Dalam Luar
Pada gambar 10 menerangkan hasil INP di sempadan sungai bagian tengah dengan
nilai INP tertinggi baik di luar maupun di dalam sempadan yaitu jenis Jati yang memiliki
nilai berturut-turut sebesar 300% dan 286,043%. INP terendah hanya terdapat pada dalam
sempadan yaitu jenis Ploso dengan nilai sebesar 13,956%. Untuk jenis yang terdapat di
luar sempadan hanya ditemukan jenis Jati saja, ini berarti INP pada bagian tengah luar
sempadan jenis yang mendiminasi Jati.Pada bagian tengah dari sempadan sungai tersebut
banyak jenis yang baru saja di tanam, sehingga ketika dilakukan pengamatan hanya sedikit
jumlah pohon yang ditemukan.Pada bagian tengah termasuk bagian yang jauh dari
pengawasan sehingga pada kenyataanya sangat sedikit jenis pohon yang dapat ditemui. Hal
ini dikarenakan terjadinya pencurian kayu pada bagian tengah dan belum ada penyulaman
kembali lahan yang masih kosong pada kawasan sempadan sungai.
INP Hulu
300
250
200
150
100
50
0
k as n l g
Ja
ti
po an
g
al pe po in gu
d La m el un
l am W
a
ar
u
Ge nok W
Ke W So
bu
m
Ja
Gambar 11 merupakan grafik INP sempadan sungai pada bagian hulu. Dari grafik
tersebut maka dapat dijelaskan bahwa baik pada luar maupun dalam sempadan nilai INP
yang tinggi yaitu jenis Jati dengan nilai berturut-turut sebesar 250,57% dan 184,83%. Hal
tersebut tentunya kurang baik dan kurang ideal karena untuk menjaga ekosistem sbuah
KPS tentunya banyak jenis vegetasi didalamnya. Apabila hanya terdapat tanaman Jati yang
mendominasi kurang baik untu mencegah erosi dan menjaga plasma nutfah. Sedangkan
INP terendah untuk yang di luar sempadan yaitu jenis Lapen dengan nilai sebesar 5,594%
dan di dalam sempadan yaitu jenis Gempol dengan nilai sebesar 5,503%. . Pada bagian
hulu banyak jenis yang memiliki diameter besar dan umur yang tua. Selain itu akses untuk
menuju ke bagian hulu lebih sulit jika dibandingkan akses menuju hilir dan tengah.
Keadaan vegetasinya sangat rapat dan juga penyusun tingkat pertumbuhannya masih
seimbang.
Beragamnya nilai INP pada ketiga bagian tersebut menunjukkan adanya pengaruh
lingkungan seperti kelembaban, suhu, dan tidak mampu atau kalah berkompetisi dalam
mendapatkan hara, sinar matahari, dan ruang tumbuh tiap-tiap jenis. Selain itu nilai INP
juga dipengaruhi oleh umur suatu pohon. Menurut Odum (1971), jenis yang dominan
mempunyai produktivitas yang besar, dan dalam menentukan suatu jenis vegetasi dominan
yang perlu diketahui adalah diameter batangnya. Jati memiliki INP tertinggi baik di ketiga
bagian yaitu hilir, tengah, dan hulu, karena jenis ini memiliki Luas Bidang Dasar yang
paling besar. Namun praktek ini dilakukan di kawasan lindung yaitu kawasan sempadan
sungai yang seharusnya jenis yang mendominasi merata, artinya nilai INP jenis-jenis yang
terdapat di kawasan tersebut memiliki selisih yang tidak banyak. Jenis yang dapat
ditemkuan pada saat pengambilan data di lapangan diantara yaitu, Jambu Klampok,
Luduya, Wungu, Soka, Putat, Berasak, Beringin, Jati, Ploso, Wadang, Waru, Lapen,
Gempol, dan Sono Keling. Kemudian dari data sekunder yang diperoleh dari inventarisasi
biodiversitas, terdapat 66 jenis pohon. Perbedaan tersebut dikarenakan metode yang
digunakan dalam inventarisasi biodiversitas khususnya pohon berbeda. Selain itu, data
yang di ambil pada saat di lapangan hanya data pada kawasan sempadan sungai saja.
Dalam
Persentase Tutupan Tajuk dan Tumbuhan
Bawah
100.0
80.0 Tajuk
60.0 Tumb. Bawah
40.0
20.0
0.0
Hulu Tengah Hilir
Tutupan tajuk merupakan besaran luasan tajuk yang mampu menutup kawasan di
bawahnya. Air hujan sebelum jatuh ke tanah, terlebih dahulu mengenai tajuk. Semakin
besar tutupan tajuk, maka tingkat erosi akan lebih rendah karena tutupan tajuk mengurangi
besarnya kekuatan air yang jatuh.
45.0
40.0
35.0
30.0 Dalam
25.0 Luar
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
Hulu Tengah Hilir
Axis Title
Grafik 7. Persentase Kerapatan Semak
tumbuhan bawah sebesar 79,4%. Diluar kawasan sempadan sungai digunakan sebagai
kawasan produksi sehingga hanya sedikit lahan yang kosong selebihnya terdapat pohon
dan tumbuhan bawah. Sedangkan pada bagian tengah tutupan tajuk sebesar 56,7% dan
tumbuhan bawah sebesar 60,6%. Nilai pada bagian tengah sedikit lebih rendah
dibandingkan bagaina hulu. Pada bagian tengah dibeberapa petak terdapat lahan yang
digunakan sebagai lahan pertanian sehingga menurunkan nilai tutupan tajuk dan tumbuhan
bawah. Berkurangnya tutupan tajuk penutupan tumbuhan bawah dapat mempengaruhi
terjadinya erosi. Pada bagian hilir presentase penutupan tajuk sebesar 46,1% dan tutupan
tumbuhan bawah sebesar 44,4%, pada bagian hilir memiliki presentase yang paling kecil.
Tumbuhan bawah dan tajuk dapat digunakan sebagai ruang hidup satwa khususnya burung
yang memanfaatkan tajuk dan herpetofauna yang memanfaatkan tumbuhan bawah.
Minimnya tajuk dan tumbuhan bawah menyebabkan minimnya satwa yang ada pada lokasi
tersebut. Adanya satwa dapat memeberikan dampak positif dengan memberikan pupuk
alami dengan kotoran yang dihasilkan oleh satwa dan dapat membantu penyebaran buah
dan biji.
Semak merupakan tumbuhan berkayu yang tetap rendah dan umumnya memiliki
tinggi 3-4 m. Tumbuhan tersebut menghasilkan percabangan banyak yang terletak di dasar
tanaman atau dekat dengan permukaan tanah (tidak mempunyai cabang utama). Semak
dapat bermanfaat sebagai tempat berlindung satwa tertentu. Semakin rapat semak dalam
suatu kawasan hutan maka presentasi kawasan untuk dimasuki manusia semakin rendah.
Gambar 7 menunjukkan grafik presentase kerapatan. Kerapatan semak di bagian hulu
bagaian dalam sempedan sebesar 40,3% dan luar sempadan 39,3%. Bagian tengah kawasan
dalam sempadan persentase semak sebesar 31% dan luar sempadan 32,9%, sedangkan
bagian hilir dalam kawasan sempadan presentase semak sebesar 28,5% dan luar sempadan
44,7%. Semak dapat berfungsi sebagai ruang hidup satwa seperti kadal,katak dan kodok.
Selain itu semak dapat berfungsi sebagai penahan air hujan. Air hujan yang jatuh dapat
tertampung oleh semak sehingga dapat mengurangi kuantitas air hujan yang jatuh ke
permukaan air dan dapat menguranggi erosi yang terjadi. Selain sebagai penampung air
hujan semak dapat digunakan sebagai ruang hidup satwa khususnya herpetofauana dan
mamalia. Semak dapat digunakan sebagai tempat berteduh dari panas, hujan dan
bersembunyi dari manusia. Semakin tinggi semak yang ada keragaman satwa juga semakin
tinggi karena tersedia ruang untuk bertahan hidup. Pada kawasan yang minim semak
sangat sedikit satwa yang dapat bertahan hidup karena kurangnya ruang hidup.
Strata B (20-30 m) - - -
Strata E (tumbuhan - - -
bawah)
Pada diagram profil terdapat pembagian strata vegetasi. Strata vegetasi terdiri atas strata A
dengan tinggi pohon lebih dari 30 m, strata B dengan tinggi pohon 20-30 m, strata C
dengan tinggi pohon 4-20 m, strata D dengan tinggi pohon dibawah 4 m dan strata E
berupa tumbuhan bawah. Berdasarkan diagram profil diatas, diperoleh bahwa tegakan yang
ada di sepanjang Sungai Jeruk Gulung didominasi oleh tegakan pada strata C dengan tinggi
masing-masing diantara 4-20 meter.
Gambar 9. Diagram Profil pada Bagian Hulu Vegetasi Rapat tampak Atas
Gambar 10. Diagram Profil pada Bagian Hulu Vegetasi Rapat tampak Depan
Gambar 9 dan 10 diatas adalah gambaran stratifikasi tajuk dengan sampel yang diambil
pada tegakan yang rapat pada daerah hulu. Dari diagram profil dapat diketahui bahwa pada
bagian hulu didominasi oleh pohon yang berdiameter besar dan tinggi atau berasal dari KU
tua berupa jenis rimba.
Gambar 11. Diagram Profil pada Bagian Hulu Vegetasi Kurang Rapat tampak Atas
Gambar 12. Diagram Profil pada Bagian Hulu Vegetasi Kurang Rapat tampak Depan
Gambar 11 dan 12 mewakili gambaran stratifikasi tajuk pada tegakan yang kurang rapat
pada bagian hulu. Daerah yang kurang rapat di hulu ini merupakan tegakan yang awalnya
rapat akan tetapi telah dicuri dan mengalami pembibrikan. Pada lokasi sampel kurang rapat
ini didominasi oleh KU sedang dengan jenis rimba.
Gambar 13. Diagram Profil pada Bagian Tengah Vegetasi Rapat tampak Atas
Gambar 14. Diagram Profil pada Bagian Tengah Vegetasi Rapat tampak Depan
Pembuatan diagram profil pada gambar 13 dan 14 diatas dilakukan pada tempat dengan
tegakan rapat pada bagian sempadan sungai bagian tengah. Dari diagram profil dapat
diketahui bahwa pada bagian tengah didominasi oleh pohon jati. didominasi oleh tegakan
pada strata C dengan tinggi masing-masing diantara 4-20 meter.
Gambar 15. Diagram Profil pada Bagian Tengah Vegetasi Kurang Rapat tampak Atas
Gambar 16. Diagram Profil pada Bagian Tengah Vegetasi Kurang Rapat tampak Depan
Pada gambar 15 dan 16 menggambarkan stratifikasi pohon pada tegakan yang kurang
rapat. Daerah ini telah mengalami pembibrikan lahan sehingga hanya ditemukan sedikit
pohon.
Gambar 17. Diagram Profil pada Bagian Hilir Vegetasi Rapat tampak Atas
Gambar 18. Diagram Profil pada Bagian Hilir Vegetasi Rapat tampak Depan
Diagram profil pada gambar 17 dan 18 dibuat pada tegakan yang rapat pada daerah hilir.
Pada bagian hilir ini didominasi oleh jenis rimba. Terdapat satu strata yaitu strata C.
Gambar 19. Diagram Profil pada Bagian Hilir Vegetasi Kurang Rapat tampak Atas
Gambar 20. Diagram Profil pada Bagian Hilir Vegetasi Kurang Rapat tampak Depan
Pada bagian 19 dan 20 dibuat pada daerah yang kurang rapat. Daerah hilir didominasi KU
sedang dan hanya terdapat satu strata pohon yaitu strata C. Vegetasi penyusun berupa jenis
rimba.
Pada pengamatan kali ini didapat indeks diversitas di luar sempadan sungai memiliki nilai
0 untuk ketiga bagian yaitu bagian sulu, tengah, maupun hilir. Ini artinya hanya terdapat
suatu jenis yang hidup dalam satu komunitas. Sedangkan yang terdapat di dalam sempadan
sungai pada bagian hulu memiliki nilai sebesar 0,89 maka dapat dikatakan sangat rendah,
dan padabagian tengah maupun hilir dikategorikan rendah karena memiliki nilai berturut-
turut sebsar 1,47 dan 1,32. Jenis yang ditemukan di dalam sempadan diantaranya yaitu
kadal seresah, kadal kebun, biawak, cicak terbang, katak, dan kodok.Sedangkan di luar
sempadan hanya ditemukan jenis kadal seresah, kadal kebun, dan katak. Pada kondisi
tersebut dapat dikatakan keberadaan satwa herpetofauna didalam lebih tinggi karena dekat
dengan sumber air berada. Berikut peta persebaran herpetofauna di Sempadan Sungai
Jeruk Gulung, BH Dander.
Gambar 27. Peta Persebaran Herpetofauna di Sempadan Sungai Jeruk Gulung, BH Dander
2.5
1.5
0.5
0
Hilir Tengah Hulu
Grafik 9. ID Burung
Pada pengamatan burung digunakan metode Point count dengan membuat petak
ukur dengan radius 50 meter untuk pengamatan. Pengamatan dilakukan selama 2 menit
untuk penenangan pada petak ukur tersebut kemudian melakukan pengamatan selama 10
menit kemudian mencatat jenis, jumlah dan mencatat waktu pada saat ditemukannya jenis
burung tersebut. Pada pengamatan juga mencatat burung baik pada saat terbang,
bertengger, dan bersuara. Kemudian mengidentifikasi jenis dengan buku Mac Kinnon List
dan apabila mendengar suara akan direkam kemudian menyamakan suara dengan rekaman
jenis burung yang telah dimiliki. Setelah mengetahui jumlah dan jenisnya kemudian
dilakukan analisis indeks diversitas untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung yang
terdapat pada KPS sempadan sungai dan mengetahui yang tertinggi baik dari segmen hilir,
tengah dan hulu. Dari hasil pengamatan didapatkan nilai indeks diversitas pada bagian hilir
dan tengah memiliki nilai berturut-turut sebesar 1,89 dan 1,67 maka dikategorikan sedang.
Untuk bagian hulu memiliki nilai sebesar 2,2 maka dikategorikan tinggi. Jenis burung yang
didapat pada saat pengamatan yaitu Cucak kutilang, Cabai Jawa, Wiwik kelabu, Sikatan
emas, Tekukur biasa, Cipoh kacat, Bubut jawa, Perenjak padi, Ceret gunung, Bondol rawa,
dan Penthet untuk segmen hilir. Kemudian pada segmen tengah jenis yang didapat yaitu
Cucak kutilang, Cabai Jawa, Wiwik kelabu, Tekukur biasa, Cipoh kacat, Perenjak padi,
Ceret gunung, dan Bondol rawa. Sedangkan untuk segmen hulu jenis yang didapat yaitu
Cucak kutilang, Cabai Jawa, Wiwik kelabu, Tekukur biasa, Cipoh kacat, Bubut jawa, Ceret
gunung, Bondol rawa, Cekak sungai, Dederuk jawa, Pipit benggala, Kacamata biasa,
Kerak kerbau, Elang ular bido, dan Takur tulungtumpuk. Satwa burung harus tetap
diperhatikan karena juga merupakan salah satu indikator lingkungan yang baik atau yang
buruk. Burung juga mempunyai peran untuk menyebarkan biji dari suatu vegetasi yang
kemudian dapat tumbuh pada kawasan atau areal yang lain dan dapat menambah jenis
keanekaragaman vegetasi. Semakin banyak keaneakaragaman burung dapat diartikan
bahwa kawasan perlindungan sempadan sungai sudah baik. Berarti dapat disimpulkan
bahwa komposisi vegetasi sudah merata.
Tabel 2. Kategori Status Konservasi Menurut IUCN
Nama
status
Lokal Ilmiah
Pycnonotus
Cucak Kutilang aurigaster Least Concern
Cabai Jawa Dicaeum trochileum Least Concern
Cacomantis
Wiwik Kelabu merulinus Least Concern
Cipoh Kacat Aegithina tiphia Least Concern
Sikatan Emas Ficedula zanthopygia Least Concern
Streptopelia
Tekukur Biasa chinensis Least Concern
Centropus
Bubut Jawa nogrorufus Vulnerable
Perenjak Padi Prinia inornata Least Concern
Ceret Gunung Cettia vulcania Least Concern
Todirhamphus
Cekakak Sungai chloris Least Concern
Bondol rawa Lonchura malacca Least Concern
Streptopelia
Dederuk Jawa bitorquata Least Concern
Penthet Lanius schach Least Concern
Pipit Benggala Amandava amandava Least Concern
Zosterops
Kacamata Biasa palpebrosus Least Concern
Kerak Kerbau Achridotheres tristis Least Concern
Elang Ular Bido Spilornis cheela Least Concern
Takur
Tulungtumpuk Megalaima javensis Near Threatened
Tabel diatas menunjukkan status konservasi jenis burung yang ditemukan di KPS
sepanjang Sungai Jeruk Gulung, Bagian Hutan Dander. Dari jenis yang didapat hampir
semuanya berstatus Least Concern (risiko rendah) artinya dinyatakan berisiko rendah
ketika dievaluasi, tidak memenuhi kriteria Kritis (Critically Endangered; EN), Genting
(Endangered; EN), Rentan (Vulnerable; VU), atau Mendekati Terancam Punah (Near
Threatened; NT), kecuali jenis Bubut jawa yang berstatus Vulnerable (rentan) artinya
ketika data-data mengindikasikan kesesuaian dengan salah satu kriteria A sampai E untuk
Rentan atau Rawan (bagian V), sehingga dianggap sedang menghadapi risiko tinggi
kepunahan di alam liar, dan jenis Takur tulungtumpuk yang berstatus Near
Threatened (hampir terancam) artinya dinyatakan mendekati terancam punah apabila
dalam evaluasi tidak memenuhi kategori Kritis, Genting, atau Rentan pada saat ini tetapi
mendekati kualifikasi atau dinilai akan memenuhi kategori terancam punah dalam waktu
dekat. Berikut peta persebaran Aves yang terdapat di Sempadan Sungai Jeruk Gulung, BH
Dander.
Gambar 28. Peta Persebaran Herpetofauna di Sempadan Sungai Jeruk Gulung, BH Dander
Indeks Diversitas Mamalia
1
0.9
0.8
0.7
0.6 Luar
0.5 Dalam
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Hilir Tengah Hulu
Axis Title
Grafik 10. ID Mamalia
Pada hasil pengamatan mamalia baik di luar maupun di dalam sempadan memiliki
nilai indeks diversitas sebesar 0 maka hanya terdapat suatu jenis yang hidup dalam satu
komunitas. Karena pada saat pengamatan sangat jarang sekali ditemukan mamalia. Pada
saat pengamatan hanya ditemukan jejak babi dan garangan yang pergerakannya sangat
cepat. Berikut peta persebaran mamalia di Sempadan Sungai Jeruk Gulung, BH Dander.
Gambar 29. Peta Persebaran Herpetofauna di Sempadan Sungai Jeruk Gulung, BH Dander
Seresah dapat memperkecil erosi dengan menahan air permukaan diatas atas tanah
yang membawa partikel-partikel tanah. Dengan minimnya partikel yang terbawa oleh
aliran permukaan maka dapat memperkecil laju aliran. Tanpa adanya seresah tetesan air
hujan akan langsung mengenai permukaan tanah dan air hujan yang tidak terinfiltrasi akan
menjadi aliran permukaan yang membawa partikel-partikel tanah diatas permukaan tanah.
Partikel- partikel tersebut merupakan partikel dengan kandungan unsur hara yang tinggi,
sehingga jika hal ini terus menerus terjadi maka dapat mempengaruhi kesuburan tanah
karena unsur hara habis terbawa oleh aliran permukaan.
Kemiringan lereng Bagian Hutan Dander antara 0-10 % sehingga masuk kelas A
dan B ( Datar- Landai). Wilayah KPH Bojonegoro terletak pada ketinggian 0 – 900 mdpl.
Berdasarkan peta Kelas lereng dengan Kelas kontur kemiringan serta kelerengannya
bervariasi mulai dari datar hingga curam (kemiringan 0 – 40%). Sebagian besar lahan
mempunyai kelerengan yang datar (0-8%) yaitu seluas 17.631, 8 ha (30,16%). Dengan
kelerengan yang relatif landai mengurangi kecepatan aliran permukaan yang terjadi. Pada
kelerengan yang relatif curam dapat dilakukan teknik konservasi untuk menjaga kestabilan
lahan tersebut dengan pembuatan terasering atau teknik konservasi dengan penanaman
vegetasi untuk kelerengan yang relatif landai. Vegetasi yang dapat ditanam contohnya
jambu kelmpok, putat dan gamal untuk mengembalikan unsur hara yang hilang karena
aliran permukaan.
Gambar 30. Kualitas air di hilir Gambar 31. Kualitas air di tengah Gambar 32. Kualitas air di hulu
Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi hujan maka pada sungai bagian hulu
dan tengah akan terdapat aliran yang dapat mempengaruhi kualitas fisik air dibagian hilir
yang seharusnya jernih menjadi agak keruh. Hal ini dikarenakan aliran air dari hulu dan
tengah berwarna keruh sehingga ketika aliran tercampur dengan air pada bagian hilir
menjadi keruh. Ketika pengambilan data dilapangan pada bagian tengah dan hulu
dibeberapa petak kawasan sempadan digunakan untuk lahan pertanian jagung, padi, ketela
dan kacang yang ditanami oleh masyarakat sebagian. Sebagian besar masyarakat tidak
memahami mengenai KPS sehingga masyarakat tetap menggarap lahan dikawasan
sempadan sungai yang seharusnya tidak ada aktivitas apapun. Penggarapan lahan pertanian
sangat berpengaruh terhadap kualitas air. Karena tanaman pertanian tidak dapat
menangkap air hujan yang langsung turun ke permukaan. Akibatnya terjadi aliran dari
tanah ke sunggai yang membawa tanah dan menghasilkan warna yang keruh. Air yang
jatuh ke tanah dapat memperbesar laju erosi sehingga diperlukan jenis tanaman yang
mempunyai tajuk dengan kerapatan yang rapat. Sehingga meminimalisir terjadinya erosi.
Strategoi yang dilakukan sebaiknya menyulam tanaman dengan pohon rimba pada daerah
kps sempadan sungai sehingga tidak dianjurkan pohon produksi di sempadan sungai.
Keterkaitan dengan aspek tanah dan erosi pada ketiga bagian segmen bahwa pada
segmen hilir terdapat kualitas air permukaan yang jernih karena terdapat sumber mata air
yang menjadi salah satu faktor. Pengamatan erosi dengan mengambil sampel air ke dalam
botol bahwa endapan tanah pada botol pada bagian hilir juga sangat sedikit bahkan air
masih jernih. Untuk bagian tengah terdapat warna kualitas air yang keruh dan coklat, pada
saat pengambilan data ditemui 2 warna yaitu keruh sampai coklat. Pengamatan erosi yang
mengambil sampel air dalam botol terlihat endapan pasir yang cukup banyak dibandingkan
dengan bagian hilir. Pada pengamatan dilapangan bagian tengah memang banyak terdapat
intervensi manusia atau kegiatan manusia seperti menanam tanaman pertanian yang sangat
dekat sekali dengan areal KPS. Oleh sebab itu tingkat erosi tanah tergolong sedang. Pada
bagian hilir ditemui area KPS yang semakin menyempit dan sedikit ditemukannya air pada
petak terakhir yaitu petak 105, kualitas air di petak ini juga masih tergolong jernih.
Keadaan di petak 105 masih sangat terjaga karena akses yang sulit untuk dapat masuk ke
dalam petak tersebut. Karena petak 105 sendiri adalah petak yang ditetapakan Perum
Perhutani sebagai kawasan rimba oleh sebab itu vegetasi di petak 105 masih sangat
beragam dan kerapatannya tergolong tinggi disbanding bagian segmen hilir dan tengah.
Dilihat dari segi biotis atau dari segi vegetasi bahwa pada saat pengambilan data
dilapangan menunjukkan bahwa kerapatan yang masih terjaga adalah dari petak 105
karena termasuk kedalam kawasan rimba yang ditetapkan. Jenis dari vegetasinya juga
beragam sehingga nilai INP atau Indeks Nilai Penting masih tinggi dibanding kedua
segmen yaitu hilir dan tengah. Jenis yang terdapat pada petak 105 meliputi Sonokeling,
Waru alas, Wadang dan Lapen. Pada segmen tengah didominasi dengan tanaman produksi
atau Jati. Selain itu kerapatan dari vegetasinya kurang rapat karena pada saat pengambilan
data dilapangan kondisi dari vegetasinya sangat renggang dan kurang beraaturan jarak
tanamnya. Pada segmen tengah INP terbesar yaitu pada tingkat tiang karena tingkatan
pohon jarang ditemui. Faktor penyebab INP terbesar adalah tiang karena masih banyak
tanaman Jati yang baru saja di tanam. Sehingga untuk untuk dapat menahan laju air hujan
langsung jatuh ke tanah pada tingkat tiang kurang dapat menahan karena tajuk yang belum
rapat. Pada bagian hilirjenisnya vegetasi juga beragam mulai dari jenis Luduya, Jambu
kelampok, Jati, Putat, Berasak dan Beringin. INP tertinggi pada segmen ini adalah tingkat
pohon. Hal tersebut artinya jenis pada segmen tersebut masih terjaga dan memberikan
manfaat bagi sekitarnya seperti dapat menjaga kualitas air disekitarnya. Kerapatan dari
segmen hilir juga tergolong tinggi karena keanekaragaman jenis yang masih terjaga dan
didominasi oleh tingkatan pertumbuhan pohon dengan tajuk yang menutup serta dan
menahan laju erosi dan air hujan langsung jatuh ke tanah.
Dari segi sosial bahwa gangguan yang sangat berpengaruh terhadap kualitas air
adalah adanya kegiatan atau aktivitas masyarakat dalam bercocok tanam di sekitar lahan
KPS atau lahan yang seharusnya bersih dari kegiatan masyarakat utamanya bercocok
tanam. Tetapi ketika pengambilan data dilapangan banyak ditemui masyarakat yang
bercocok tanam hingga membuka lahan disekitar KPS yang notabennya sudah terdapat
plang larangan melakukan aktivitas di sekitarann KPS. Jenis perubahan lahan mulai dari
banyak ditemui lahan jagung, kacang, dan sawah disekitaran KPS. Apabila kegiatan
masyarakat tersebut diteruskan dapat berdapat pada ekosistem disekitarnya dan
mengganggu keseimbangan proses dari sungai tersebut. Efek yang dapat terjadi adalah
nilai erosi meningkat, terjadi pelebaran badan sungai, air menjadi keruh karena tidak ada
yang dapat menahan langsung seperti tajuk karena peran pohon tergantikan oleh tanaman
pertanian.
Alternatif solusi yang dapat diberikan salah satunya adalah penambahan jam patroli
dan mengutamakan pada daerah- daerah yang rawan terjadi pencurian kayu biasanya pada
daerah yang jauh dari jalan dan jauh dari pengawasan polhut. Berdasarkan hasil
wawancara dahulu polhut bekerjasama dengan polisi sehingga pencurian kayu dapat dicari
walaupun sudah keluar dari kawasan hutan, sehingga hal ini memberikan efek jera pada
pencuri kayu dan akan memberikan rasa takut untuk mencuri kayu. Namun saat ini
kerjasama sudah tidak dilakukan sehingga pencuri kayu hanya bisa ditangkap ketika masih
didalam hutan. Akibatnya meskipun mengetahui pelaku namun pelaku sudah keluar dari
kawasan hutan polhut tidak dapat menghukum pencuri tersebut. Hal ini memberi peluang
besar untuk para pencuri kayu tetap melakukan pencurian karena hukuman yang tidak
memberikan efek jera. Sebaiknya kerjasama dengan polisi tetap dilakukan sehingga dapat
memberikan efek jera untuk para pencuri kayu.
Dalam menentukan apakah suatu unit manajemen hutan memiliki hutan yang
mempunyai nilai High Conservation Value Forest (HCVF) adalah dengan menggunakan
prinsip sembilan (9) FSC beserta kriterianya Selanjutnya FSC mendefinisikan ada tidaknya
atribut HCVF dalam suatu wilayah unit manajemen dengan mengacu pada keberadaan satu
atau lebih sifat-sifat yaitu Keanekaragaman Hayati, Jasa Lingkungan, Sosial dan Budaya
yang dituangkan dalan Proforest Toolkit . Dalam upaya untuk mengatasi kesulitan dalam
identifikasi, pengelolaan dan pemantauan HCVF di Indonesia maka dikembangan Panduan
Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia oleh Konsorsium Revisi
HCV Toolkit Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2008. Dalam panduan ini istilah High
Conservation Value Forest (HCVF) disebut sebagai Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi
(KBKT) dan istilah High Conservation Value (HCV) disebut dengan Nilai Konservasi
Timggi (NKT). Secara prinsip parameter yang digunakan untuk mengidentivikasi HCVF
Indonesia toolkit sama dengan Proforest toolkit, namun ada beberapa kriteria yang
berbeda.
Dari hasil identifikasi yang telah dilakukan, dalam kawasan hutan KPH Bojonegoro
teridentifikasi KBKT sebagai berikut :
NKT 2 Kawasan Bentang Alam yang Penting Bagi Dinamika Ekologi Secara
Alami
B. JASA LINGKUNGAN
E. Tanah
1. Peningkatan Laju Erosi Tanah
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni 2013, satu bulan sekali
Lokasi Pemantauan : pada lokasi SPL Erosi
Alat dan Bahan
Bak Erosi, Timbangan, Gelas Ukur, Ember, Botol Aqua, Kertas
saring, Oven, penggaris, tallysheet
Metode Pemantauan
Metode Bak sesuai SOP No. RDB/SOP/Ling-23 tentang
Pemantauan Erosi
Hasil Pemantauan
Pengamatan dan pemantauan terhadap aspek lahan dilihat dari laju
erosi. Perubahan tataguna lahan dan praktek pengelolaan DAS akan
mempengaruhi terjadinya erosi, sedimentasi, dan pada gilirannya
akan mempengaruhi kualitas air.
Faktor penyebab erosi adalah iklim (terutama intensitas hujan),
topografi, karakteristik tanah, vegetasi penutup tanah dan tataguna
lahan, sehingga SPL erosi yang ada di KPH Bojonegoro ditetapkan
mewakili faktor penyebab erosi tersebut.
Berdasarkan pemantauan bulan Januari s/d Juni Tahun 2013
menunjukkan bahwa ke-7 SPL masih dibawah baku mutu (IE<1).
Akan tetapi nilai erosi tertinggi terjadi pada spl 06 sebesar 0,0680
ton/ha/thn. Sedangkan nilai erosi terendah pada spl 08 sebesar
0,0384 ton/ha/thn.
2. Kualitas KPS (Kawasan Perlindungan Setempat)
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Satu tahun sekali
Lokasi Pemantauan : Lokasi KPS di Seluruh KPH Bojonegoro
Alat dan Bahan
Tally sheet, meteran
Metode Pemantauan
Sesuai SOP No. RDB/SOP/Ling-20 tentang Pengelolaan KPS
Hasil Pemantauan
5. Keberadaan KBKT
Pada tahun 2013 semester I belum di laksanakan pemantaun
keberadaan KBKT kegiatan baru di laksanakan pada bulan Agustus
bulan depan tahun 2013.
G. Pemantauan Lingkungan Biologi
1. Vegetasi
Pemantauan lingkungan meliputi pemantauan terhadap perubahan Struktur
dan Keanekaragaman Vegetasi.
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Satu tahun sekali
Lokasi Pemantauan : 77 transek biodiversity
Alat dan Bahan
Tambang, phiband, hagameter, tallysheet, binokuler dll
Metode Pemantauan
Sesuai SOP No. RDB/SOP/Ling-02 tentang Monitoring dan Evaluasi
Biodiversity
a. Kawasan Lindung
C D
10 m B
A Arah lintasan pengamatan
A
B
10 m
C D
20 m
500 m
Hasil Pemantauan
Kegiatan monitoring survai biodiversity baru tahap pelaksanaan di
lapangan sehingga belum mendapatkan hasil keragaman maupun
kelimpahan jenis flora dan faunanya, dan nanti bisa terangkum daalam
laporan semester II tahun 2013.
3. Satwa
Pemantauan lingkungan meliputi pemantauan terhadap Perubahan Struktur
dan Keanekaragaman Jenis Satwa
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Desember, satu bulan sekali untuk
pemantauan persebaran dan jumlah jenis satwa serta satu tahun sekali
untuk pemantauan keanekaragaman dan populasi satwa.
Lokasi Pemantauan : Seluruh kawasan hutan dan 77 transek biodiversity
Alat dan Bahan
Binokuler, tallysheet, meteran, kompas
Metode Pemantauan
Pengamatan langsung, informasi dari masyarakat dan monev biodiversity
(Sesuai SOP No. RDB/SOP/Ling-02 tentang Monitoring dan Evaluasi
Biodiversity)
a. Mamalia
Gambar. Desain transek garis pengamatan mamalia besar; d =
jarak, tegak lurus antar posisi satwa dengan lintasan pengamatan
(d=r.Sinθ), r=jarak antaratwa liar dengan pengamat, θ=sudut antar
posisi atwa dengan lintasan pengamatan, O=posisi pengamat dan
S=posisi satwa.
b. Aves (burung)
Metode pemantauan aves (burung) yang digunakan adalah
kombinasi transek garis dengan variable circular plot (VCP).
Jarak antar titik pusat plot yang satu dengan lainnya adalah
100m sedangkan panjang setiap transek adalah 500m (6 plot)
c. Herpetofauna (Reptil dan Amphibi)
Pengamatan jenis reptil dan amphibi dilakukan dengan
menggunakan metode penghitungan secara visual (Visual
Encounter Survey = VES).
Transek pengamatan sepanjang 500m lebar 20m.
Dilakukan pada malam hari (pukul 19:00 – 23:00)
Pengamatan dilakukan 2x ulangan setiap jalurnya.
Untuk jenis katak yang ditemukan, masukkkan dalam kantong
plastik untuk dilakukan identifikasi jenis berdasar buku
panduan.
Catat reptil/amphibi yang ditemui disepanjang transek /jalur
pengamatan sesuai blangko.
Hasil Pemantauan
Dari hasil pemantauan bulanan satwa liar tahun 2013 di KPH Bojonegoro
ditemukan 66 jenis satwa liar, terdiri dari 46 jenis aves, 11 jenis mamalia
dan 9 jenis herpetofauna. Dari 66 jenis satwa liar yang ditemukan tersebut
teridentifikasi 21 satwa liar dilindungi yang terdiri dari 13 jenis aves, 6
jenis mamalia dan 2 jenis herpetofauna.
4. Fungsi Perikanan
Pemantauan lingkungan terhadap fungsi perikanan dilakukan untuk
mengetahui perubahan struktur ancaman kegiatan perikanan terhadap
fungsi perikanan.
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni, satu bulan sekali untuk
pemantauan kegiatan perikanan dan satu tahun sekali untuk pemantauan
tingkat ancaman kegiatan perikanan.
Lokasi Pemantauan : 55 lokasi perikanan
Alat dan Bahan
Tallysheet, alat tulis
Metode Pemantauan
Pemantauan langsung di lokasi perikanan dan wawancara dengan pencari
ikan.
Hasil Pemantauan
Berdasarkan hasil monitoring pada lokasi perikanan tahun 2013 sudah
tidak lagi menggunakan alat yang membahayakan lokasi perikanan,
adapun kegiatan yang masih berjalan yaitu dengan alat pancing maupun
teraping.
H. Keberadaan KBKT (NKT 1. CA Bekutuk,HAS Bekutuk,
NKT 2.3. Spesies Interest, dan NKT 3 Ekosistem RTE)
Pada tahun 2013 pemantauan terhadap keberadaan KBKT baru di
laksanakan pada bualan agustus yang mana nanti terangkum dlm laporan
semester II tahun 2013.
2. Ketenagakerjaan
Pemantauan indikator ketenagakerjaan dilakukan untuk mengetahui
peningkatan kesempatan kerja terhadap adanya kegiatan pengelolaan
hutan serta terjaminnya kesehatan dan keselamatan kerja.
1. Peningkatan Kesempatan Kerja
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – juni, enam bulan sekali sekali
Lokasi Pemantauan : 34 desa hutan dan pada setiap bidang kegiatan
pengelolaan hutan
Alat dan Bahan
Kuesioner, alat tulis, komputer, data monografi desa, penyerapan tenaga
kerja, peningkatan status dan pelatihan/job training
Metode Pemantauan
Wawancara dan analisa data kuantitatif
Hasil Pemantauan
Pemantauan terhadap peningkatan kesempatan kerja meliputi
pemberian kesempatan kerja, dan pelatihan/job training.
Pemantauan terhadap sumber dampak pemberian kesempatan kerja
kepada MDH dilakukan untuk mengetahui keterlibatan MDH dalam
pengelolaan hutan, keterlibatan peran wanita dalam pengelolaan hutan
dan mengetahui besarnya upah yang diterima pekerja hutan.
Pada tahun 2013 terjadi penyerapan tenaga kerja akibat kegiatan
pengelolaan hutan
Pemantauan terhadap sumber dampak kegiatan pelatihan/job training
dilakukan untuk mengetahui peningkatan tenaga kerja trampil.
Hasil Pemantauan
Pekerja di KPH Bojonegoro mendapat jaminan kesehatan dan
keselamatan dari perusahaan berupa keikutsertaan dalam jamsostek,
melakukan investigasi apabila terjadi kecelakaan kerja dan inspeksi
terhadap kepatuhan penggunaan APD pada setiap kegiatan pengelolaan.
Sampai dengan bulan juni tahun 2013 pekerja yang terdaftar sebagai
peserta Jamsostek sebanyak 569 orang.
Selama semester I tahun 2013 tidak dilakukan investigasi K3 karena
tidak terjadi kecelakaan kerja dalam kegiatan pengelolaan hutan KPH
Bojonegoro.
Untuk inspeksi K3 s/d bulan Juni 2013 dilaksanakan di kegiatan yang
beresiko tinggi (kegiatan tebangan). Sesuai hasil inspeksi K3 tahun
2013 terkait dengan penggunaan APD dalam kegiatan tebangan
diketahui hampir sebagian besar pekerja patuh terhadap aturan
penggunaan APD dalam kegiatannya.
3. Perekonomian Desa
Pemantauan perekonomian desa dilakukan untuk mengetahui
peningkatan pendapatan masyarakat desa hutan akibat adanya kegiatan
pengelolaan hutan.
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Juli – Desember , enam bulan sekali
Lokasi Pemantauan : 10 Desa hutan
Alat dan Bahan
Kuesioner, data PHBM, data monografi desa
Metode Pemantauan
Wawancara dan analisa data kuantitatif
Hasil Pemantauan
Perum Perhutani KPH Bojonegoro pada tahun 2013 rencana akan
memberikan dana PKBL( Program Kemitraan dan Bina Lingkungan)
sebesar Rp 175.000.000,- yang akan digunakan untuk masyarakat desa
hutan. Sharing produksi kayu tahun 2012 di gunakan pada tahun 2013
sejumlah 24 LMDH sebesar Rp 1.801.691.440,-( satu miliar delapan
ratus satu juta enam ratus sembilan puluh satu ribu empat ratus empat
puluh rupiah). Peningkatan perekonomian desa akibat kegiatan
pengelolaan hutan terkait dengan pemberian dana sharing kepada
masyarakat, pemberian akses terhadap SDH seperti tumpangsari, PLDT,
pemanfaatan HHNK dan pemberian bantuan PKBL, peningkatan
kapasitas LMDH serta penyerapan tenaga kerja untuk kegiatan
pengelolaan SDH.
Tahun 2013 Perhutani KPH Bojonegoro telah memberikan akses kepada
masyarakat terhadap sumberdaya hutan seperti tumpangsari, PLDT,
pemanfaatan hasil hutan non kayu dan pemanfaatan air bersih di 7 lokasi
mata air.
Peningkatan perekonomian desa juga bisa melalui peningkatan kapasitas
LMDH. Dalam rangka peningkatan kapasitas LMDH Perhutani KPH
Bojonegoro melakukan pembinaan usaha produktif dan koperasi LMDH
berupa persewaan elep, persewaan kursi dan tratak, koperasi simpan
pinjam, juga di gunakan tanaman empon-empon ( temulawak) serta
penyerapan tenaga kerja lokal untuk pengelolaan SDH.
4. Kelembagaan
Pemantauan kelembagaan dilakukan untuk mengetahui peningkatan pola
hubungan antara pengelola hutan dengan masyarakat desa hutan.
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni
Lokasi Pemantauan : 34 Desa hutan
Alat dan Bahan
Kuesioner, data monografi desa, data PHBM
Metode Pemantauan
Wawancara dan analisa data kuantitatif
Hasil Pemantauan
Tahun 2013 di KPH Bojonegoro telah terbentuk 34 LMDH yang
semuanya telah mempunyai akta notaris dan renstra LMDH. Hampir
semua masyarakat desa hutan yang cukup umur ikut terlibat menjadi
anggota LMDH.
1. Budaya
Pemantauan komponen budaya terkait dengan keberadaan KBKT (NKT
6.1. Situs budaya). Pemantauan dilakukan untuk mengetahui perubahan
viabilitas dan status ancaman terhadap target konservasi.
Pada tahun 2013 ini rencana akan dilakukan pemantauan terhadap
keberadaan KBKT.
5. Pendidikan
Pemantauan pendidikan dilakukan untuk mengetahui peningkatan
kapasitas SDM masyarakat.
6. Kerawanan Hutan
Pemantauan kerawanan hutan dilakukan untuk mengetahui peningkatan
kasus sengketa tenurial, kehilangan pohon, kebakaran hutan,
penggembalaan liar dan perburuan
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni
Lokasi Pemantauan : Seluruh Kawasan Pengelolaan Hutan
Alat dan Bahan
Alat tulis
Metode Pemantauan
Wawancara, patroli, sesuai SOP No. RDB/SOP/Sos-02 tentang
Monitoring Pencurian Kayu, No. RDB/SOP/SOS-03 tentang
Perlindungan, Perburuan dan Perdagangan Satwa Liar, No.
RDB/SOP/SOS-05 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan,
No.RDB/SOP/SOS – 07 tentang Penggembalaan, No. RDB/SOP/SOS –
35 tentang Tenurial.
Hasil Pemantauan
Berdasarkan hasil pemantauan tenurial, sampai dengan akhir bulan
Desember 2013 di KPH Bojonegoro masih terjadi kasus tenurial pada
keluasan 44,59 Ha.Selain kasus tenurial di atas, di KPH Bojonegoro juga
dijumpai gangguan keamanan lain seperti pencurian pohon,
penggembalaan liar dan kebakaran. tahun 2013 di KPH Bojonegoro
terjadi pencurian sebanyak 279 kejadian, jumlah kerugian sebesar Rp.
981.809.000,- Adapun untuk kerawanan hutan di bidang kebakaran 75
kejadian dengan kerugian 359.624.000,- guna untuk melengkapi sarpra
pemantauan kebakaran KPH Bojonegoro di tahun 2012 telah
membangun menara kebakaran yang berada di BKPH Temanjang RPH
Temetes di petak 61.
J. Kesehatan Masyarakat dan Sanitasi Lingkungan
Pemantauan kesehatan masyarakat dan sanitasi lingkungan meliputi
pemantauan peningkatan jumlah sampah dan kesehatan masyaraat
1. Peningkatan Jumlah Sampah
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni
Lokasi Pemantauan : Seluruh Kawasan Pengelolaan Hutan
Alat dan Bahan
Tally sheet, timbangan
Metode Pemantauan
Sesuai SOP No. RDB/SOP/Ling-74 tentang Pengelolaan Sampah
a. Identifikasi Sampah
b. Pengurangan Sampah
c. Penanganan Sampah
Hasil Pemantauan
Pemantauan dilakukan terhadap parameter jumlah sampah baik yang
diketemukan di kantor KPH maupun di kawasan hutan. Dampak
peningkatan jumlah sampah timbul dari kegiatan pengelolaan hutan
(persemaian, tanaman, tebangan) maupun dari aktivitas perkantoran
dan rumah dinas.
2. Kesehatan Masyarakat
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni
Lokasi Pemantauan : 34 desa hutan
Alat dan Bahan
Kuisioner, alat tulis
Metode Pemantauan
Wawancara dan analisa data kuanitatif
Hasil Pemantauan
Berdasarkan pemantauan kelola sosial yang salah satunya program
kesehatan masyarakat belum dilaksanakan pada triwulan satu ini, akan
tetapi nanti akan di lakukan pada akhir tahun 2013 yang terangkum
dalam laporan semester dua tahun 2013.
K. Persepsi Pengelolaan
Pemantauan dilakukan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap
kegiatan pengelolaan hutan.
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni
Lokasi Pemantauan :34 desa hutan
Alat dan Bahan
Kuesioner
Metode Pemantauan
Wawancara
Hasil Pemantauan
5.1 Kesimpulan
5.1.1. Kondisi Kawasan Perlindungan terutama sempadan sungai di KPH Bojonegoro secara
umum adalah sebagai berikut :
1. Nilai Indeks Diversitas tumbuhan, pada bagian hilir, tengah, maupun hulu di dalam
sempadan lebih tinggi dibandingkan dengan luar sempadan, yang berarti bahwa
keanekaragaman jenis di dalam sempadan lebih tinggi dibandingkan yang terdapat di luar
sempadan.
2. Kanopi hutan sempadan Sungai Jeruk Gulung yang digambarkan dengan diagram profil
didominasi oleh tegakan pada strata C dengan tinggi masing-masing diantara 4-20 meter.
Hal ini menunjukkan tidak adanya variasi strata pada sempadan sungai Jeruk Gulung.
3. Kondisi kawasan sempada sungai berdasarkan tutupan tajuk didalam kawasan sempadan
tertinggi di bagian hilir dengan nilai 62,2% dan tutupan tumbuhan bawah didalam kawasan
sempadan tertinggi di bagian hulu dengan nilai 83,3%. Sedangkan diluar kawasan
sempadan sungai tutupan tajuk dan tumbuhan bawah tertinggi dibagian hulu dengan nilai
tutupan tajuk sebesar 65,6% dan tutupan tumbuhan bawah sebesar 79,4%. Berdasarkan
kerapatan semak nilai tertinggi pada bagian hilir diluar sempadan dan bagian hulu dalam
sempadan sungai. Tutupan tajuk, tutupan tumbuhan bawah dan kerapatan semak dapat
digunakan sebagai penampung ketika terjadi hujan sehingga air tidak langsung turun
ketanah melainkan tertahan pada strata tajuk dan turun ke tumbuhan bawah dan semak
kemudian kepermukaan tanah sehingga air hujan yang jatuh memiliki energi kinetik yang
rendah dan dapat berinfiltrasi dengan baik. Selain itu tutupan tajuk, tutupan tumbuhan
bawah dan kerapatan semak dapat menjadi ruang hidup untuk satwa dan dapat menjadi
sumber penyedia makanan.dapat terlihat pada bagian tengah memiliki persentase tutupan
tajuk dan tumbuhan bawah serta semak yang terendah hal ini berpengaruh terhadap
kualitas fisik air yang menjadi keruh karena penutupan yang kurang rapat.
4. Objek wisata yang ada di bagian hutan Dander adalah wisata Tubing. Wisata tubing
merupakan wisata menyusuri sungai dengan ban bekas. Kelemahan dari wisata ini adalah
sarana dan prasarana yang kurang memadai dan pengelolaan yang kurang seadanya
saja.Padahal wisata ini mempunyai potensi yang besar mengingat sungai yang dialiri oleh
mata air dan vegetasi pinggir sungai yang rimbun.
5. Kawasan perlindungan khusus di bagian hutan Dander terdapat situs budaya berupa
sumberan Grogolan yang berada pada petak 92 RPH Grogolan BKPH Pradok dan Sendang
Pradok yang berada di RPH Pradok BKPH Pradok. Keadaan kedua situs budaya tersebut
masih masih terawat karena kepercayaan masyarakat setempat masih kental akan hal
mistik. Terkadang juga masih ada upacara adat yang dilakukan di situs budaya tersebut
6. Data satwa yang diambil pada penelitian yang dilakukan di KPS Sempadan Sungai Jeruk
Gulung, BH Dander adalah herpetofauna, burung/aves, dan mamalia.
Untuk jenis herpetofauna yang didapat adalah jenis Kadal seresah, kadal kebun,
Katrak, Kodok, Biawak, dan Cicak terbang dengan ID pada bagian dalam kawasan
sempadan lebih tinggi dari luar kawasan sempadan. Dimana kawasan dalam sempadan
tertinggi terdapat pada segmen tengah dan tertinggi pada segmen hulu, ini dikarenakan
di hulu tidak ada air pada kawasan sempadannya.
Kemudian untuk jenis burung yang didapat diantaranya adalah Cucak kutilang, Cabai
Jawa, Wiwik kelabu, Sikatan emas, Tekukur biasa, Cipoh kacat, Bubut jawa, Perenjak
padi, Ceret gunung, Bondol rawa, dan Penthet untuk segmen hilir. Kemudian pada
segmen tengah jenis yang didapat yaitu Cucak kutilang, Cabai Jawa, Wiwik kelabu,
Tekukur biasa, Cipoh kacat, Perenjak padi, Ceret gunung, dan Bondol rawa.
Sedangkan untuk segmen hulu jenis yang didapat yaitu Cucak kutilang, Cabai Jawa,
Wiwik kelabu, Tekukur biasa, Cipoh kacat, Bubut jawa, Ceret gunung, Bondol rawa,
Cekak sungai, Dederuk jawa, Pipit benggala, Kacamata biasa, Kerak kerbau, Elang
ular bido, dan Takur tulungtumpuk. ID tertinggi terdapat pada segmen hulu dan
terendah pada segmen tengah, ini dikarenakan pada segmen tengah kondisi
vegetasinya buruk yaitu banyak tanah kosong dan sedikit jenis pohon.
Selanjutnya jenis mamalia yang ditemui pada kawasan dalam sempadan adalah jejak
Babi hutan dan Garangan. Sedangkan untuk yang diluar kawasan sempadan hanya
didapat jejak Babi hutan. Untuk ID nya sendiri baik di dalam maupun di luar kawasan
yaitu rendah.
7. Kondisi sosial masyarakat sekitar hutan akan kebutuhan memang masih perlu untuk
ditingkatkan agar mencapai kesejahteraan, namun apabila dilihat dari segi kebutuhan
pertanian masyarakat dapat dikatakan sejahtera karena dari pihak pengelola atau Perhutani
sudah memberikan biaya untuk pembeliaan bibit dan pemeliharaannya atau seperti
pembeliaan alat pestisida dan mengeluarkan biaya yang cukup besar. Akan tetapi kegiatan
seperti pembukaan lahan dan melanggar perjanjian kontrak tanam masih banyak terjadi.
Banyak juga masyarakat yang kurang puas akan pembagian lahan untuk digarap dari
LMDH. Peran LMDH harus lebih ditingkatkan untuk mengatasi permasalahan pembagian
lahan dan memberikan pengertian atau sosialisasi akan pentingnya peran KPS di sempadan
sungai. Karena pada beberapa spot KPS sempadan sungai digunakan untuk lahan pertanian
berupa kacang, jagung dan sawah. Permasalahan sosial masyarakat masih banyaknya
pemburu dan banyaknya pencurian kayu secara terus – menerus.
a. Saran
1. Pada lahan yang kosong terutama di KPS harus segera ditanami kembali agar tidak
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk ditanami. Penanam yang dilakukan sebaiknya jenis
rimba, agar mengurangi homogenitas dan meningkatkan keanekaragaman jenis didalam
kawasan sempadan sungai. Jenis yang diusulkan terutama jambu kelampok yang
memiliki tajuk lebar dan perakaran yang kuat dan pohon ingas yang disukai burung
sebagai ruang hidup yang buah nya sebagai penyedia makanan. Selain itu ada jenis waru
alas, soka, putat dan ploso.Fungsi vegetasi diantara yaitu menahan adanya laju erosi dan
juga dapat dimanfaatkan sebagai ruang tumbuh atau habitat satwa. Sehingga terjadi
keseimbangan ekosistem antara satwa, vegetasi, dan juga kondisi lingkungan seperti
kejernihan air permukaan sungai.
2. Sosialisasi yang kepada masyarakat mengenai pentingnya kawasan lindung sehingga
tidak memanfaatkan lahan yang ada di KPS. Saat ini sosialisasi sudah dilakukan namun
masih perpusat pada keamanan.
3. Memperbarui batas KPS dengan cara sederhana, yaitu dengan pembuatan pohon penanda
batas antara kawasan dalam dengan luar sempadan.
4. Pembuatan plang larangan aktivitas di dalam KPS seperti berburu, menebang, maupun
menggarap lahan.
5. Memanfaatkan Objek Daya Tarik Wisata (ODTW) Wisata Tubing Ngunut Waterfun
sebagai salah satu objek yang menarik untuk dikunjungi. Misalnya dengan cara
menekankan pada publikasinya dan juga bisa menambahkan objek lain seperti jeram.
Selain itu, masyarakat sebaiknya tidak memanfaatkan sungai tersebut untuk MCK secara
langsung, akan tetapi dengan membuat kamar mandi umum yang dapat digunakan
sebagai pengganti sungai untuk MCK.
DAFTAR PUSTAKA
Astana S.1999.Penurunan Produktifitas Hutan Alam Produksi. Info Hasil Hutan Tentang Realita
Bisnis Atau Kesalahan Kebijakan Vol 5 No.2:103-115.Bogor Basaria, Christina.2009.
Kajian Kelestarian Tegakan Dan Produksi Kayu Jati Jangka Panjang Kph Bojonegoro
Perum Perhutani Unit Ii Jawa Timur.IPB Bogor
Ashton, P.S., and P. Hall. 1992. Comparisons Of Structure Among Mixed Dipterocarp Forests
Of North-Western Borneo. Journal of Ecology.
Arsyad, S. 1998. Konservasi Tanah. Penerbit IPB, Bogor.
Baker, P.J. and J.S. Wilson. 2000. A Quantitative Technique For The Identification Of Canopy
Stratifikasi In Tropical And Temperate Forests. Forest Ecology and Management 127: 77-86
Balai Penelitian Tanah. 2004. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Deptan.
Balai Penelitian Tanah. 2009. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Deptan.
Bismark M. 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) Untuk Survei Keragaman Jenis Pada
Kawasan Konservasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan :
Bogor (ID)
Brower JE, Zar JH. 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Lowa: Brown.
Euwise, W. 1980. Pengantar Ekologi Tropis. Jakarta: Djambatan.
Foth, Henry D. 1999. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Gadja Mada University Press. Jakarta.
Hadisaputro,H.2000.Pemilihan Sistem Silvikultur dan Strategi Pemanfaatan Hutan Alam
Produksi. Rimbun Tentang HPH dan DR Sering Disalah gunakan No.3 tahun I:9-
10.Jakarta
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta: Akademika Pressindo.
Hakim, , dkk.1982. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung.
Hardjowigeno, S. 1985. Ilmu Tanah. Akademik Pressindo, Jakarta.
Hanafiah, Kemas Ali. 2012. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990.
Manan, S. 1998. Hutan Rimbawan dan Masyarakat. IPB Press. Bogor.
Nugraha,S., Sudarwanto, S., Sutirto, T.W., Sulastoro. 2006. Potensi dan Tingkat Kerusakan
Sumberdaya Lahan di Daerah Aliran Sungai Samin Kabupaten Karanganyar dan
Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006.Laporan Penelitian. Surakarta : FM-IPA
UI
Pairunan, A. K., dkk. 1985. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Ujung Pandang: BKPT INTIM.
Perum Perhutani. 2001. RPKH Kelas Perusahaan Jati KPH Bojonegoro Jangka Perusahaan 1
Januari 2002 s/d 31 Desember 2011. KPH Bojonegoro.
Prapto Suharsono. 1985. Identifikasi Bentuk Lahan dan Interpretasi Citra Untuk Geomorfologi.
(Bahan Ajar). Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
LAMPIRAN