Anda di halaman 1dari 102

LAPORAN AKHIR

PRAKTEK KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN

PENGELOLAAN KAWASAN PERLINDUNGAN DI KPH BOJONEGORO, BAGIAN


HUTAN DANDER, JAWA TIMUR

Disusun oleh :

Kelompok 6

1. Asep Robik Ahmad Zarkasi (13/345648/KT/07464)


2. Annisa Amalia Pradanny (13/345585/KT/07410)
3. Vian Pradita Aniarko (13/345616/KT/07439)
4. Nia Amalia Septiani (13/349063/KT/07535)
5. Konta Lena Sinaga (13/352209/KT/07613)

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Praktek Konservasi Sumberdaya Hutan (Praktek KSDH) merupakan praktek yang
bertujuan untuk mengaplikasikan berbagai macam mata kuliah yang telah dikuasai
mahasiswa. Praktek ini mempelajari pengelolaan kawasan konservasi, pengelolaan
kawasan perlindungan berbasis upaya konservasi, identifikasi masalah atau kendala
dalam pengelolaan kawasan konservasi maupun kawasan perlindungan, serta
menyusun alternatif pemecahan masalah dalam pengelolaan kawasan konservasi
maupun kawasan perlindungan. Dalam Praktek KSDH, mahasiswa bisa mendapatkan
pengalaman berkaitan dengan aspek kedisiplinan, kemandirian, kemampuan
manajerial, ketajaman dalam analisis terhadap permasalahan yang dijumpainya
maupun kemampuan untuk penyelesaian masalah.
Praktek Konservasi Sumberdaya Hutan dilaksanakan di kawasan perlindungan
KPH Bojonegoro, khususnya bagian hutan Dander. KPH Bojonegoro dibagi menjadi
13 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) yang mencakup 50 Resort
Pemangkuan Hutan (RPH) dan ditetapkan sebagai kelas perusahaan Tebang Habis
Jati. Dengan demikian setiap usaha penebangan habis harus selalu diikuti dengan
usaha penanaman kembali / permudaan. Oleh sebab itu, agar selalu diusahakan
penanaman kembali dengan menggunakan jenis tanaman pokok kelas perusahaan,
yaitu jenis jati dengan menggunakan bibit yang berkualitas tinggi (Perum Perhutani,
2001).
Wilayah selatan kecamatan Dander didominasi oleh pegunungan kapur dan
merupakan rangkaian dari pegunungan Kendeng. Jenis tanaman yang tumbuh di hutan
Bagian Hutan Dander adalah pohon jati, sebagian kecil adalah pohon mahoni.
Tanaman jati memiliki fungsi yaitu untuk menyeimbangkan iklim, untuk penahan laju
erosi tanah dan penyedia sumber air bagi wilayah sekitarnya (Soeriatmadja, 1997: 59).
Pengertian pengelolaan hutan produksi adalah usaha untuk memanfaatkan hutan
produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan, penanaman,
pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu di hutan produksi. Tujuan
pengelolaan hutan adalah tercapainya manfaat ganda yaitu menghasilkan kayu,
mengatur tata air, tempat hidup marga satwa, sumber makanan ternak dan manusia dan
tempat rekreasi. Dalam keadaan tertentu manfaat tersebut dapat saling tumbukan,
sehingga perlu ditetapkan prioritasnya. Disinilah diperlukan adanya tata guna lahan
hutan yang permanen ( Manan,1998).
Menurut Astana (1999) mengatakan bahwa untuk menjalankan prinsip kelestarian
hasil, teori manajemen mengajarkan kepada kita agar mempertimbangkan riap pohon
sebagai parameter. Riap didefinisikan sebagai pertumbuhan dimensi pohon (diameter
dan tinggi) hingga masak tebang. Kendati demikian kenyataan menunjukan bahwa
implementasinya dilapangan masih mengalami banyak kendala. Hal ini disebabkan
antara lain karena kegiatan pemanfaatan huta lebih mengutamakan keuntungan
ekonomi akumulatif jangka pendek dari pada perimbangan ekologi eksploratif jangka
panjang (Hadisaputro,2000). Namun demikian dalam kenyataanya pengusahaan hutan
produksi oleh pelaku usaha yang tidak memiliki komitmen untuk mempertahankan
kelestarian sumber daya hutan, telah mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya
hutan produksi, sehingga tidak mampu lagi menghasilkan bahan baku industri
pengolahan kayu sesuai dengan yang diperhitungkan (Astana,1999).
Kegiatan pengelolaan hutan harus memandang hutan sebagai suatu kesatuan
ekosistem sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing. Secara alami,
keberadaan suatu hutan memiliki fungsi perlindungan dan fungsi ekonomi. Pemisahan
kawasan produksi dan Perlindungan sebenarnya hanya penekanan terhadap
pengelolaan fungsi tersebut. Pengelolaan hutan tersebut harus mampu
memaksimumkan fungsi hutan sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal dari
aspek ekologi, sosial, dan ekonomi, baik bagi perusahaan maupun masyarakat.
Pengelolaan kawasan perlindungan tidak lepas dari penilaian Kondisi Kawasan
Perlindungan Setempat (KPS). Fungsi Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) adalah
mengatur siklus hidrologi di suatu kawasan hutan, menjaga ketersediaan air, dan
mencegah erosi yang terjadi di kawasan hutan. Menurut Perum Perhutani, sempadan
sungai yang terdapat di Bagian Hutan Dander memiliki lebar 20 meter.Tujuan
pengelolaan KPS secara khusus menjelaskan dalam hubungan dengan biodiversity
berkaitan dengan jalur koridor lintasan bagi satwa, jenis tanaman sebagai cadangan
dan sumber pakan bagi satwa merupakan prioritas penanganan yang urgent serta
kawasan yang dapat menimbulkan erosi dan mengganggu kinerja sumber air sebagai
dampak penting untuk kelola lingkungan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui kondisi dan permasalahan yang ada kawasan perlindungan,
sehingga dapat dirumuskan alternatif pemecahan permasalahan yang ada pada
kawasan perlindungan di KPH BojonegoroBagian Hutan Dander.
1.2. Rumusan Masalah
Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya
buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembagunan
berkelanjutan. Pengelolaan kawasan perlindungan di KPH merupakan upaya yang
dilaksanakan pemerintah dalam mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan.
Untuk mengkaji implementasi pengelolaan kawasan perlindungan tersebut terdapat
pertanyaan penelitian yang diajukan, yakni:
1. Bagaimana kondisi kawasan perlindungan di KPH Bojonegoro, bagian hutan
Dander.
2. Sejauh mana permasalahan dalam pengelolaan kawasan perlindungan di KPH
Bojonegoro, bagian hutan Dander.
3. Bagaimana alternative pemecahan masalah dalam pengelolaan kawasan
perlindungan di KPH Bojonegoro, bagian hutan Dander.
1.3. Tujuan
Adapun tujuan penelitian pengelolaan kawasan perlindungan di KPH
Bojonegoro, bagian hutan Dander, Jawa Timur yakni sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi kondisi kawasan perlindungan di KPH Bojonegoro, bagian hutan
Dander.
2. Mengidentifikasi permasalahan dalam pengelolaan kawasan perlindungan di KPH
Bojonegoro, bagian hutan Dander.
3. Merumuskan alternative pemecahan masalah pengelolaan kawasan perlindungan
di KPH Bojonegoro, bagian hutan Dander.
1.4. Manfaat
Manfaat penelitian ini :
1. Memberikan informasi kepada pihak pengelola mengenai kondisi lingkungan pada
kawasan perlindungan di Bagian Hutan Dander, KPH Bojonegoro.
2. Memberikan pertimbangan dalam menyusun rencana pengelolaan dan masukan
terhadap pengelola kawasan mengenai kawasan perlindungan setempat pada
Bagian Hutan Dander, KPH Bojonegoro.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kawasan perlindungan Setempat (KPS)


Kawasan perlindungan setempat merupakan upaya perlindungan bagi badan
sungai, mata air, garis pantai, maupun waduk atau rawa. Sebagai bagian dari kawasan
lindung maka pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan lindung dan kawasan
perlindungan setempat diatur dengan kebijakan publik. Pemegang hak terhadap
kawasan lindung tidak dapat memanfaatkan kawasan atau mengubah fungsi semaunya,
namun harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang ada (Hermawan, Baiquni
& Imron, 2012).
Kegiatan pengelolaan hutan harus memandang hutan sebagai suatu kesatuan
ekosistem sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing. Secara alami,
keberadaan suatu hutan memiliki fungsi perlindungan dan fungsi ekonomi. Pemisahan
kawasan produksi dan Perlindungan sebenarnya hanya penekanan terhadap
pengelolaan fungsi tersebut. Pengelolaan hutan tersebut harus mampu
memaksimumkan fungsi hutan sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal dari
aspek ekologi, sosial, dan ekonomi, baik bagi perusahaan maupun masyarakat.
Pengelolaan kawasan perlindungan tidak lepas dari penilaian Kondisi Kawasan
Perlindungan Setempat (KPS). Tujuan pengelolaan KPS secara khusus menjelaskan
dalam hubungan dengan biodiversity berkaitan dengan jalur koridor sintasan bagi
satwa, jenis tanaman sebagai cadangan dan sumber pakan bagi satwa merupakan
prioritas penanganan yang urgent serta kawasan yang dapat menimbulkan erosi dan
mengganggu kinerja sumber air sebagai dampak penting untuk kelola
lingkungan.Tujuan penilaian kualitas Kawasan
Perlindungan Setempat adalah:
1. Memperoleh gambaran mengenai kondisi Kawasan Perlindungan Setempat di
setiap kelompok sungai dan BKPH sehingga dapat menganalisa tingkat kekritisan
lahan sebagai dasar perencanaan perbaikan untuk tetap menjaga fungsi utamanya
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan.
2. Menetapkan status fungsi konservasi petak/anak petak yang masuk ke dalam
kawasan Perlindungan Setempat.
3. Menilai dan memonitor keberadaan Kawasan Perlindungan Setempat dalam
rangka mengoptimalkan fungsi dan peran kawasan perlindungan, dan sebagai
salah satu tempat koridor sintasan satwa serta kesediaan pakan satwa terutama
RTE dengan penanaman jenis lokal yang diidentifikasi sebagai pakan satwa RTE
sebagai salah satu bentuk pengelolaan di kawasan biodiversitas di seluruh BKPH
dalam wilayah Perum Perhutani.
Kawasan perlindungan setempat terdiri dari:
1. Kawasan sempadan sungai,
Sempadan sungai merupakan kawasan sepanjang kiri kanan sungai,
termasuk sungai buatan/kanal/ saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat
penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Berdasarkan Keppres
32/1990 lebar minimal 100 meter untuk sungai besar dan 50 meter untuk sungai
kecil. Di sekitar pemukiman, lebar kawasan sempadan sekitar 10-15 meter.
Sedangkan pada PP 47/1997, kriteria sempadan sungai yang bertanggul minimal
5 meter dari batas luar tanggul, sedangkan yang tidak bertanggul ditentukan oleh
pejabat berwenang berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial. Menurut
Undang-Undang Kehutanan No 41/1999 kriteria sempadan sungai sesuai dengan
kriteria berdasarkan KepPres 32/1990.
Arahan pemanfaatan guna memberikan perlindungan bagi sungai, adalah :
 Dilarang mendirikan bangunan pada kawasan sempadan sungai.
 Dilarang melakukan kegiatan yang secara sengaja dan jelas menghambat arah
dan intensitas aliran air sama sekali tidak diperbolehkan.
 Diperbolehkan bagi kegiatan pertanian dengan jenis tanaman yang
diijinkankan pada kawasan sempadan sungai;
 Diperbolehkan bagi kegiatan yang tidak memanfaatkan lahan secara luas;
 Diperbolehkan melakukan kegiatan yang dapat memperkuat fungsi
perlindungan kawasan sempadan sungai dan tidak mengubah fungsi
kegiatannya di masa mendatang.
Pengendalian kegiatan yang ada disekitar sungai dengan memanfaatkan lahan di
daerah manfaat sungai dapat diperuntukan bagi kegiatan tertentu sebagai berikut :
 Kegiatan budidaya pertanian dengan jenis tanaman yang diizinkan; namun
lebih diutamakan dilakukan penanaman tumbuhan/ pepohonan berakar dalam
guna mencegah terjadinya longsor;
 Untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan, rambu-
rambu pekerjaan/pengamanan, serta sarana bantu navigasi pelayaran;
 Untuk pemasangan rentang kabel listrik, kabel telepon, dan pipa air minum;
 Untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan umum; dan
 Untuk pembangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan
pembuangan air.
 Untuk menyelenggarakan kegiatan bagi masyarakat yang tidak menimbulkan
dampak merugikan bagi kelestarian dan fungsi sungai (dapat digunakan untuk
olah raga, rekreasi, parkir dan lain-lain).
 Untuk pemanfaatan lain yang diatur melalui peraturan daerah sesuai dengan
kondisi sungai dan kondisi daerah, serta tetap mempertimbangkan kelestarian
dan fungsi sungai.
Pemanfaatan badan air sungai dapat diperuntukan bagi kegiatan tertentu sebagai
berikut:
 Prasarana angkutan air
 Sarana kegiatan pariwisata
 Olah raga air
 Perikanan
 Penambangan bahan galian (dengan batasan tertentu, dalam arti kegiatan
yang dilakukan tidak mengganggu ekosistem sungai, kelestarian sungai dan
kualitas air sungai)
2. Kawasan Sempadan Pantai
Perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi
wilayah pantai dari kegiatan yang menganggu kelestarian fungsi pantai. Kriteria
sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional
dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat. Untuk itu diperlukan data pasang surut untuk menentukan
titik pasang tertinggi.
3. Kawasan Sekitar Danau/Waduk
Perlindungan terhadap kawasan sekitar danau/waduk dilakukan untuk
melindungi danau/waduk dari kegiatan budidaya yang dapat menganggu
kelestarian fungsinya. Kawasan perlindungan tersebut merupakan daratan
sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik
danau/waduk antara 50 –100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Di
kawasan hutan, kawasan perlindungan sekitar danau/waduk berada di tepian
selebar 500 meter (UU 41/1999).
4. Kawasan Sekitar Mata Air
Perlindungan terhadap kawasan sekitar mata air dilakukan untuk
melindungi mata air dari kegiatan budidaya yang dapat merusak kualitas air dan
kondisi fisik kawasan sekitarnya. Kawasan tersebut merupakan daerah dengan
lebar sekurang-kurangnya 200 meter di sekitar mata air.
5. Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau dan hutan kota dijelaskan di dalam dalam PP No 28
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Undang
Undang Kehutanan No 41/1999. Ruang terbuka hijau (RTH) adalah area
memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah yang
dikelola oleh Pemda Kota. Kawasan terbuka hijau dapat berupa pohon-pohonan
maupun tanaman hias atau herba. Terdapat ruang terbuka hijau publik dan
privat. Kawasan yang dimaksud berada di kawasan pemukiman, industri ataupun
tepi sungai, pantai dan jalan yang berada di kawasan perkotaan.
Adapun kriteria RTH meliputi: 1. lokasi sasaran kawasan terbuka hijau kota
termasuk di dalamnya hutan kota antara lain di kawasan permukiman, industri,
tepi sungai/pantai/ jalan yang berada di kawasan perkotaan; 2. jenis tanaman
hias untuk kawasan terbuka hijau kota adalah berupa pohon-pohonan dan
tanaman hias atau herba, dari berbagai jenis baik jenis asing atau eksotik
maupun asli atau domestik; 3. proporsi ruang terbuka hijau minimal 30% dari
total luas wilayah dengan minimal 20% RTH publik; 4. yang termasuk ruang
terbuka hijau publik, antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum,
dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai; 5. yang termasuk ruang
terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik
masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
6. Hutan Kota
Hutan Kota berupa suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon
yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara
maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang
berwenang. Hutan kota berfungsi untuk mengatur iklim mikro, estetika serta
resapan air yang berupa hamparan pohon-pohonan baik jenis domestik maupun
eksotik.
Kriteria hutan kota meliputi:
- hutan yang terbentuk dari komunitas tumbuhan yang berbentuk kompak
pada satu hamparan, berbentuk jalur atau merupakan kombinasi dari bentuk
kompak dan bentuk jalur;
- jenis tanaman untuk hutan kota adalah tanaman tahunan berupa pohon-
pohonan, bukan tanaman hias atau herba, dari berbagai jenis baik jenis asing
atau eksotik maupun jenis asli atau domestik;
- hutan yang terletak didalam wilayah perkotaan atau sekitar kota dengan luas
hutan minimal 0,25 hektar;
- Paling sedikit 10% dari luas wilayah perkotaan (Harimurti, Solichin, Ramly
dan Subroto, 2007).

2.2. BH Dander, KPH Bojonegoro.


KPH Bojonegoro dibagi menjadi 13 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH)
yang mencakup 50 Resort Pemangkuan Hutan (RPH). BKPH yang ada meliputi
BKPH Clangap, Bubulan, Nglambangan, Deling, Tengger, Pradok, Dander, Clebung,
Bareng, Tondomulo, Tretes, Temayang dan Gondang. Ke-13 BKPH tersebut
terkoordinir dalam 3 Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan Bojonegoro Timur, Tengah
dan (Anonim, 2015). BKPH Dander terdiri dari 4 RPH yaitu RPH Ngunut, RPH
Dander, RPH Sumberarum dan RPH Sampang. Luas wilayah BKPH Dander sekarang
adalah 3.862,8 Ha yang terdiri dari 99 petak. Areal kerja BKPH Dander ada di 2
kecamatan yaitu kecamatan Dander dan kecamatan Temayang. Adapun areal kerja
yang masuk dalam wilayah kecamatan Dander adalah RPH Ngunut, RPH Dander dan
RPH Sumberarum sementara RPH Sampang berada di wilayah administratif
kecamatan Temayang. Adapun batas wilayah BKPH Dander adalah sebagai berikut:
- Sebelah Utara : Desa Dander dan Desa Ngunut.
- Sebelah Timur : Desa Growok dan Desa Kunci.
- Sebelah Selatan : RPH Jeblokan, RPH Clebung, RPH Cancung dan BKPH
Clebung.
- Sebelah Barat : RPH Pradok, RPH Grogolan dan BKPH Pradok.
Persebaran hutan di BKPH Dander ada di Desa Ngunut, Desa Dander, Desa
Growok, Desa Sumberarum, Desa Kunci dan Desa Sampang (Temayang). Hutan di
BKPH Dander berada di wilayah paling selatan dari wilayah administratif kecamatan
Dander. Wilayah selatan kecamatan Dander didominasi oleh pegunungan kapur dan
merupakan rangkaian dari pegunungan Kendeng. Jenis tanaman yang tumbuh di hutan
BKPH Dander adalah pohon jati, sebagian kecil adalah pohon mahoni. Tanaman jati
memiliki fungsi yaitu untuk menyeimbangkan iklim, untuk penahan laju erosi tanah
dan penyedia sumber air bagi wilayah sekitarnya (Ridwan, 2010).

2.3. Kawasan Lindung


Kawasan fungsi lindung adalah suatu wilayah yang keadaan dan sifat fisiknya
mempunyai fungsi lindung untuk kelestarian sumber daya alam, air, flora, dan fauna
seperti hutan lindung, hutan suaka, hutan wisata, daerah sekitar sumber mata air dan
alur sungai, serta kawasan hutan lindung lainnya. UU RI No. 26 2007 menyebutkan
bahwa kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan. Setya Nugraha dkk (2006:62-69) menyebutkan bahwa:
“Kawasan lindung memiliki fungsi utama sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Berdasarkan fungsinya tersebut, maka
penggunaan lahan yang diperbolehkan adalah pengolahan lahan dengan tanpa
pengolahan tanah (zero tillage) dan dilarang melakukan penebangan vegetasi hutan.”
Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa kawasan lindung memiliki fungsi
sebagai pelindung kawasan yang berada disekitarnya sehingga penggunaan lahan yang
dilaksanakan harus memiliki konservasi agar tidak terjadi kerusakan lingkungan.
Suatu kawasan dapat ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung karena memiliki
syarat dan ketentuan sebagai kawasan yang memiliki fungsi untuk melindungi
kawasan disekitarnya. BRLKT (1994) dalam Prapto Suharsono (1985:40) menetapkan
syarat suatu kawasan dijadikan sebagai kawasan lindung sebagai berikut:
Suatu satuan lahan ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung, apabila besarnya
nilai skor arahan lahannya sama dengan atau lebih besar dari 175, atau memenuhi
salah satu ataupun beberapa syarat sebagai berikut:
o Mempunyai lereng lapangan lebih besar dari 45%,
o Jenis tanahnya sangat peka terhadap erosi (regosol, litosol, organosol, dan
renzina), dengan kelerengan lapangan lebih dari 15%,
o Merupakan jalur pengaman aliran/sungai yang sekurang-kurangnya 100 meter di
kiri dan kanan aliran air/sungai,
o Merupakan pelindung mata air, yaitu sekurang-kurangnya radius 200 meter di
sekeliling mata air,
o Mempunyai ketinggian (elevasi) 2000 meter di atas permukaan laut atau lebih,
dan
o Guna keperluan/kepentingan khusus dan ditetapkan sebagai kawasan lindung.”

2.4. Hutan Produksi


Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk
memproduksi hasil hutan. Negara bisa memberikan hutan negara berupa konsesi
kepada pihak swasta untuk dimanfaatkan dan dikelola hasil hutannya. Terkecuali di
Pulau Jawa, pengelolaan hutan produksi yang berada di areal hutan negara dikelola
oleh Perum Perhutani, perusahaan milik negara. Hasil hutan yang dimaksud bisa
berupa kayu atau non kayu. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan, pengertian hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok memproduksi hasil hutan.
Indonesia memiliki 129 juta hektar kawasan hutan, lebih dari setengahnya atau
sekitar 72 juta hektar berupa hutan produksi. Sisanya masuk ke dalam hutan
konservasi dan hutan lindung.Hutan produksi dibagi ke dalam 3 golongan.
o Hutan Produksi Tetap (HP)
HP adalah hutan yang bisa dieksploitasi hasil hutannya dengan cara tebang
pilih maupun tebang habis. HP biasanya berupa kawasan hutan yang memiliki
kelerengan landai, tanah yang rendah erosi dan memiliki curah hujan yang kecil.
Faktor-faktor kelerengan, erosi dan curah hujan tersebut ditentukan dengan cara
menghitung indeksnya berdasarkan metode skoring. Areal hutan yang ditetapkan
sebagai HP harus memiliki skor dibawah 125, dan areal tersebut tidak termasuk
ke dalam kawasan lindung.
o Hutan Produksi Terbatas (HPT)
HPT merupakan hutan yang dialokasikan untuk dieksploitasi kayunya dalam
intensitas rendah. Penebangan kayu masih bisa dilakukan dengan menggunakan
metode tebang pilih. Hutan jenis ini umumnya berada di wilayah pegunungan
yang memiliki lereng-lereng curam. Areal yang bisa ditetapkan sebagai
HPT setidaknya memiliki skor 125-174, diluar kawasan lindung seperti hutan
konservasi atau hutan lindung.
o Hutan Produksi yang bisa dikonversi (HPK)
HPK yang bisa dikonversi adalah kawasan hutan yang dicadangkan untuk
digunakan dalam pembangunan diluar kehutanan. Terdapat dua kondisi yang bisa
dijadikan patokan untuk menetapkan jenis hutan ini. Pertama, hutan yang
memiliki skor kelerengan, erosi dan curah hujan di bawah 124. Kedua, kawasan
hutan yang dicadangkan untuk permukiman, transmigrasi, perkebunan dan
pertanian (Risnandar,2016).

2.5. Perhutani
Perusahaan Negara Perhutani didirikan pada tahun 1961 untuk mengelola
kawasan hutan di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebagian Kalimantan, dengan tujuan
untuk menghasilkan devisa dari kegiatan kehutanan. Kemudian pada tahun 1972
perusahaan negara Perhutani di Jawa Timur dan Jawa Tengah menjadi Perum
Perhutani, sedangkan yang di Kalimantan menjadi PT.Inhutani, tahun 1978 Jawa Barat
juga menjadi bagian Perum Perhutani. Perum Perhutani menguasai wilayah yang
dikuasai Dinas Kehutanan dijaman penjajahan Belanda (Prakosa, 1997).
Perum Perhutani mempunyai tugas dan wewenang menyelenggarakan
perencanaan, pengurusan, pengusahaan, dan perlindungan hutan di wilayah kerjanya.
Adapun maksud dan tujuan perusahaan adalah menyelenggarakan usaha di bidang
kehutanan untuk memproduksi barang dan jasa yang bermutu dan memadai bagi
pemenuhan hajat hidup orang banyak serta turut aktif dalam melaksanakan dan
menunjang pelaksanaan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembagunan
pada umumnya. Dalam penyelenggaraan pegusahaan hutan dan usaha lain, Perum
Perhutani harus memperlakukan prinsip-prinsip 8 ekonomi, kelestarian serta
terjaminnya keselamatan kekayaan negara (Burhan, et al.1987).
Dalam rangka mewujudkan demokratisasi dalam pengelolaan hutan, masyarakat
diberi wewenang yang lebih besar untuk melakukan pengawasan sebagai social
control dalam kegiatan pengelolaan hutan yang bermuara kepada peningkatan
keberhasilan kinerja pengelolaan hutan yang lestari dan berkeadilan. Kebijakan untuk
melibatkan masyarakat dalam seluruh aspek pengelolaan hutan tersebut pada dasarnya
merupakan salah satu upaya menyelamatkan hutan dengan keanekaragaman hayatinya
yang diselaraskan dengan optimalisasi manfaatnya bagi masyarakat (Prawiraatmadja,
2000).

2.6. Sruktur Vertikal Tumbuhan


Stratifikasi kanopi merupakan salah satu konsep tertua dalam ekologi hutan tropis.
Konsep ini telah dikembangkan sejak permulaan abad ke-19, namun masih menjadi
perdebatan mengenai metode yang digunakan untuk mengetahui gambaran stratifikasi
vegetasi hutan (Baker dan Wilson, 2000). Setelah penelitian terdahulu melakukan
berbagai penelitian mengenai metode yang tepat untuk menggambarkan vegetasi hutan
secara representative, digunakan metode yang paling umum untuk mengetahui
stratifikasi vegetasi hutan yaitu diagram profil vertical dan horizontal (Baker dan
Wilson, 2000).
Stratifikasi di hutan tropis memiliki beberapa variasi, tetapi umumnya terdiri dari
lima lapisan, yaitu lapisan pertama terdiri dari pepohonan dengan ketinggian 30-45 m,
lapisan kedua terdiri dari pepohonan dengan ketinggian 18-27 m, lapisan ketiga terdiri
dari pepohonan dengan ketinggian 8-24 m, lapisan semak terdiri dari anak pohon dan
semak dengan ketinggian <10 m, serta lapisan herba (Euwise, 1980). Hingga kini
diagram profil hutan masih merupakan standard untuk mengidentifikasi stratifikasi
kanopi hutan, meskipun memiliki beberapa kekurangan, yaitu interpretasinya dapat
subyektif, membutuhkan banyaktenaga untuk mengerjakannya, dan dipengaruhi
kondisi lokasi (Baker dan Wilson, 2000).
Pembuatandiagram profil arsitektur pohon membutuhkan data-data seperti
diameter, tinggi total, tinggi bebas cabang, koordinat (X,Y), serta proyeksi tajuk.
Diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot, digambar arsitekturnya dengan
skala 1:100. Ditentukan posisi X dan diameter setinggi dada di sumbu X pada setiap
pohon, Kemudian tinggi bebas cabang dan tinggi total di sumbu Z. Untuk proyeksi
tajuk yaitu, ditempatkan pohon sesuai koodinat X di sumbu X dan koordinat Y
disumbu Y, kemudian dilakukan proyeksi tajuk ke arah depan, belakang, kiri, dan
kanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ashton dan Hall (1992) yang menyatakan
diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot, tergantung densitas pohon.
Ditentukan posisi setiap pohon, digambar arsitekturnya berdasarkan skala tertentu,
diukur tinggi, diameter setinggi dada, tinggi cabang pertama, serta dilakukan pemetaan
proyeksi kanopi ke tanah. Profil hutan menunjukkan situasi nyata posisi pepohonan
dalam hutan, sehingga dapat langsung dilihat ada tidaknya strata hutan secara visual
dan kualitatif. Dalam kasus tertentu, histogram kelas ketinggian atau biomassa dibuat
sebagai pelengkap diagram profil hutan.
Diagram profil adalah skala gambaran stratifikasi vegetasi dan penutupan kanopi
vegetasi hutan. Diagram profil dibuat untuk menggambarkan struktur dan
keanekaragaman vegetasi di suatu ekosistem. Selain itu juga memberikan gambaran
mengenai bentuk permukaan lahan dan jenis tanah. Diagram profil yang umum
dilakukan adalah diagram profil vertical dan horizontal. Diagram profil vertical
dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai stratifikasi dan struktur vegetasi
hutan, sedangkan diagram profil horizontal dilakukan untuk mengetahui gambaran
tutupan lantai hutan oleh kanopi pohon (Baker dan Wilson, 2000).

2.7. Profil Tanah


Profil tanah merupakan suatu irisan melintang pada tubuh tanah, dibuat dengan
cara membuat lubang dengan ukuran panjang dan lebar serta kedalaman tertentu
sesuai dengan keadaan tanah dan keperluan penelitian. Tanah merupakan tubuh alam
yang terbentuk dan berkembang akibat terkena gaya-gaya alam (natural forces)
terhadap proses pembentukan mineral. Pembentukan dan pelapukan bahan-bahan
koloid (Hakim, dkk 1982).
Hasil pelapukan batuan-batuan yang bercampur dengan sisa batuan dari
organisme yang hidup diatasnya. Selain itu, terdapat pula udara dan air di dalam tanah.
Air dalam tanah berasal dari air hujan yang ditahan oleh tanah sehingga tidak meresap
ketempat lain, disamping pencampuran bahan organik di dalam proses pembentukan
tanah, terbentuk pula lapisan-lapisan tanah (Hardjowigeno, 1985).
Pembentukan lapisan atau perkembangan horizon dapat membangun tubuh alam
yang disebut tanah. Tiap tanah dicirikan oleh susunan tertentu horizon. Secara umum
dapat disebutkan bahwa setiap profil tanah terdiri atas dua atau lebih horizon utama.
Tiap horizon dapat dibedakan berdasarkan warna, tekstur, struktur dan sifat morfologis
lainnya (Pairunan, dkk., 1985). Profil tanah terdiri dari horizon-horizon O-A-E-B-C-
R.  Empat lapisan teratas yang masih dipengaruhi oleh cuaca disebut solum tanah,
horizon O-A disebut lapisan tanah atas dan horizon E-B disebut lapisan tanah bawah.
(Hanafiah, 2012)
Pengenalan profil tanah secara lengkap meliputi sifat fisik, kimia, dan biologi
tanah. Pengenalan ini penting dalam hal mempelajari pembentukan dan klasifikasi
tanah dengan pertumbuhan tanaman serta kemungkinan pengolahan tanah ulang lebih
tepat. Adapun faktor-faktor pembentuk tanah yaitu, bahan induk, organisme, topografi,
iklim, waktu. Adanya beberapa tingkatan atau variasi faktor-faktor pembentuk tanah
maka potensi untuk membentuk berbagai jenis tanah yang berbeda adalah amat besar
(Foth H.D. 1999).

2.8. Indeks Nilai Penting (INP)


Indeks Nilai Penting (INP) menyatakan peran suatu tumbuhan di dalam
komunitas. Makin besar INP suatu jenis tumbuhan, maka makin besar pula peranan
jenis tersebut di dalam komunitas yang diukur. Jika INP merata pada banyak jenis,
dapat dikatakan keanekaragaman hayati di komunitas tersebut semakin tinggi.
Soegianto (1994, dalam Indriyanto, 2006) menjelaskan bahwa Indeks nilai penting
merupakan parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat
penguasaan spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Spesies-spesies yang
dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang
tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting
yang paling tinggi.
Indeks Nilai Penting (INP) menunjukkan kepentingan suatu jenis tumbuhan serta
peranannya dalam komunitas, dimana nilai penting pada vegetasi tingkat pohon, tiang
dan pancang didapat dari hasil penjumlahan Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif
(FR) dan Dominansi Relatif (DR). Sedangkan pada vegetasi tingkat semai dan
tumbuhan bawah didapat dari penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi
Relatif (FR).
1. Densitas (Kerapatan) Densitas atau yang lebih dikenal dengan kerapatan
merupakan jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan tertentu,
misalnya 100 individu/ha. Kerapatan suatu jenis tumbuhan adalah jumlah petak
contoh dimana ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah petak contoh yang
dibuat. Biasanya kerapatan dinyatakan dalam besaran persentase (Irwanto, 2007)
Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukan jumlah atau
banyaknya suatu jenis per satuan luas. Makin besar kerapatan suatu jenis, makin
banyak individu jenis tersebut per satuan luas.
2. Frekuensi Frekuensi suatu jenis menunjukan penyebaran suatu jenis-jenis dalam
suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang
besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil
mempunyai daerah sebaran yang kurang luas. Frekuensi spesies tumbuhan
merupakan sejumlah petak contoh tempat ditemukannya suatu spesies dari
sejumlah petak contoh yang dibuat. Frekuensi merupakan besarnya intensitas
ditemukannya suatu spesies organisme dalam pengamatan keberadaan organisme
pada komunitas atau ekosistem. Pengamatan yang dilakukan pada petak-petak
contoh, makin banyak petak contoh yang terdapat di dalamnya ditemukan suatu
spesies, berarti makin besar frekuensi spesies tersebut. Sebaliknya, jika makin
sedikit petak contoh yang di dalamnya ditemukan suatu spesies, makin kecil
frekuensi spesies spesies tersebut. Dengan demikian, frekuensi tersebut dapat
menggambarkan tingkat penyebaran spesies dalam habitat yang dipelajari,
meskipun belum dapat menggambarkan tentang pola penyebarannya.
3. Dominansi adalah proyeksi luas tajuk pada permukaan tanah dari masing-masing
jenis pohon tercacah. Data ini biasanya dinyatakan dengan persentase dari total
daerah tutupan terhadap luas petak secara keseluruhan. Penaksiran dapat
dilakukan secara langsung, dan perlu diketahui bahwa cabang berbagai jenis
pohon hutan sering tumpang tindih. Oleh karena itu, penghitungan total penutupan
semua jenis dalam suatu petak cuplikan akan sering mencapai > 100%. 4. Indeks
Nilai Penting Soegianto (1994, dalam Indriyanto, 2006) menjelaskan bahwa
Indeks nilai penting merupakan parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk
menyatakan tingkat penguasaan spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan.
Spesies-spesies yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki
indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja
memiliki indeks nilai penting yang paling tinggi.
Beragamnya nilai INP menunjukkan adanya pengaruh lingkungan tempat tumbuh
seperti kelembaban, suhu dan tidak mampu atau kalah berkompetisi, seperti perebutan
akan zat hara, sinar matahari dan ruang tumbuh dengan jenis-jenis lainnya yang sangat
mempengaruhi pertumbuhan dari diameter batang pohon. Selain INP ditentukan
dengan diameter batang, nilai ini juga dipengaruhi oleh umur suatu pohon. Menurut
Odum (1971), jenis yang dominan mempunyai produktivitas yang besar, dan dalam
menentukan suatu jenis vegetasi dominan yang perlu diketahui adalah diameter
batangnya. Keberadaan jenis dominan pada lokasi penelitian menjadi suatu indikator
bahwa komunitas tersebut berada pada habitat yang sesuai dan mendukung
pertumbuhannya.

2.9. Indeks Diversitas


Keanakaragaman jenis menunjukkan seluruh variasi yang terdapat pada makhluk
hidup antar jenis (interspesies) dalam satu marga. Keanekaragaman jenis lebih mudah
diamati daripada keanekaragaman gen. perbedaan antarspesies makhluk hidup
dalamsatu marga atau genus lebih mencolok shingga lebih mudah diamati daripada
perbedaan antarindividu dalam satu spesies. Misalnya nangka, keluwih, dan sukun
ketiganya termasuk dalam genus yang sama, yaitu Arthocarpus (Resosoedarmo,
1990).
Ada enam faktor yang menentukan perubahan keanekaragaman jenis organisme
dalam satu ekosistem yaitu waktu, heterogenitas ruang, persaingan, pemangsaan,
stabilitas lingkungan dan produktivitas. Selama kurun waktu geologis akan terjadi
perubahan keadaan lingkungan yang mengakibatkan banyak individu yang tidak dapat
mempertahankan kehidupannya, tetapi ada juga kelompok-kelompok individu yang
mampu bertahan hidup terus dalam waktu relatif lama sebagai hasil proses evolusi.
Evolusi dapat diartikan sebagai proses yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat
populasi spesies dari waktu ke waktu berikutnya (Heddy, 1986).
Keanekaragaman atau kekayaan jenis dapat diukur dengan berbagai cara,
misalnya dengan indeks keanekaragaman. Suatu tempat dikatakan memiliki
keanekaragaman jenis tinggi bila memiliki kekayaan jenis yang merata, misalnya
suatu komunitas dengan 5 jenis burung yang berjumlah 300 individu, dengan jumlah
rata-rata 60 ekor per jenis. Sedang pada komunitas lain terdapat 5 jenis burung dengan
jumlah individu yang sama (300 ekor), tetapi rata-rata untuk keempat burung yang
pertama hanya 15 ekor, sedang jenis burung sisanya 240 ekor. Dari contoh tersebut
komunitas yang memiliki rata-rata 60 ekor per jenis burungnya dianggap lebih
beranekaragam dibanding dengan komunitas yang memiliki jumlah jenis yang tidak
merata (Sofyan, 2010).
Keanekaragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan
organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menyatakan
struktur komunitas. Keanekaragaman spesies juga dapat digunakan untuk mengukur
stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap
stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya (Soegianto, 1994
dalam Indriyanto, 2006)
BAB III

CARA PELAKSANAAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian ini dilaksanakan di KPH Bojonegoro Bagian Hutan Dander, Jawa
Timur pada tanggal 6 – 16 Februari 2017.

3.2. Alat dan Bahan

No Alat Fungsi

1 Pita meter Mengukur Keliling Pohon

2 Kompas. Menunjukan arah mata angin

3 Hagameter. Mengukur tinggi pohon

4 Binokuler. Melihat satwa burung

5 Klinometer. Mengukur Kelerengan

6 Tabung okuler Melihat Penutupan tajuk dan tumbuhan bawah

7 Penggaris. Alat bantu ukur

8 Roll Meter Mengukur dan membuat petak ukur

9 Global Potitioning Mendandai titik pengamatan


System (GPS).

10 Tally sheet. Menuliskan hasil pengamatan

11 Alat tulis Alat bantu menulis data


3.2.1. Bahan
1. Data vegetasi meliputi tutupan tumbuhan bawah, tutupan tajuk, semai,
pancang, tiang, pohon.
2. Data satwa meliputi burung,herpetofauna, dan mamalia.
3. Data tanah dan lahan meliputi profil tanah, erosi tanah, konservasi tanah,
kelerengan lahan dan pemanfaatan lahan.
4. Data sosial meliputi interaksi, kelembagaan, aspek legal dan administrasi.
5. Data potensi wisata alam.

3.3. Metode Pengambilan Data


3.3.1. Diagram Profil

Pada setiap lokasi di atas dibuat profil hutan secara vertikal dan
horizontal, memanjang dari sungai ke arah daratan. Pemilihan titik
mempertimbangkan penampakan umum tegakan, sehingga profil diagram
yang dibuat dapat mewakili vegetasi di lokasi tersebut. Ukuran pembuatan
plot diagram profil8 x 60 m2. Arah memanjang transek sejajar sungai
dinyatakan sebagai sumbu x, arah melebar transek sebagai sumbu y,
sehingga diperoleh sumbu panjang: x = 60 m, sumbu pendek: y = 8 m.
Diukur tinggi total, tinggi pohon bebas cabang, panjang tajuk (pt), lebar
tajuk (lt), tebal tajuk (tt) dan ukur diameternya. Setelah didapatkan hasil
pengukuran lalu dibuat sketsa diagram profil vertical dan diagram profil
horizontal (Setyawan dkk., 2005). Pembuatan diagram profil dilakukan 4
kali pembuatan petak ukur setiap segmen sungai, 2 dalam kawasan
sempadan sungai dan 2 petak ukur diluar kawasan sempadan sungai.

8m

60 m

Gambar 1. Contoh Sketsa Diagram Profil


3.3.2. Nested Sampling
Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode
Nested sampling. Metode ini digunakan untuk mengetahui komposisi,
kerapatan, dan dominasi dari vegetasi yang ada. Metode nested
samplingdilakukan dengan pembuatan petak ukur dengan mula-mula dibuat
plot berukuran 2 x 2 m untuk pengamatan semai (seedling) dan tumbuhan
bawah, plot 5 x 5 m untuk sapihan (sapling), plot 10x10 m untuk tiang
(poles), dan plot 20 x 20 m untuk tingkat pohon (trees). Penempatan petak
ukur-petak ukur tersebut akan dilakukan dengan cara systematic
samplingdan berada dilokasi sepanjang sepadan sungai. Penelitian
dilakukan di sempadan sungai dengan membagi 3 segmen, panjang tiap
segmen 3000m dengan IS 10% dan jumlah petak ukur yang akan diamati
dengan total 15 petak ukur. Masing – masing jarak antar petak ukur 10m.
Penelitian dilakukan pada salah satu bagian sempadan sungai. Penempatan
petak ukur dilakukan secara berselang seling, 20m dari sungai untuk
penempatan selanjutnya ditarik garis 20m setelah itu dibuat petak ukur
untuk membandingkan petak ukur dari sungai dengan petak ukur yang 20m
ditarik garisnya terlebih dahulu. Untuk vegetasi dengan tinggi 1,5 meter ke
atas (pancang, tiang, dan pohon) dicatat nama spesies dan kelilingnya,
sedangkan untuk tumbuhan bawah dan semai akan dicatat nama spesiesnya
saja. Berikut adalah gambar metode Nested sampling :

20 m

10 m
10 m

5m
10 m
1m
2m

Gambar 2. Metode Nested sampling

10 m
3.3.3. Protokol Sampling
Metode Protocol Sampling digunakan untuk mengetahui persentasi
penutupan tumbuhan bawah dan tajuk serta dapat digunakan untuk
mengetahui kerapatan semak. Dilakukan dengan membuat petak ukur
lingkaran berdiameter 22,6 m. Data penutupan tajuk dan tumbuhan bawah
diperoleh dengan menggunakan tabung okuler. Kemudian dilakukan
pengamatan di sepuluh titik pada arah timur-barat dan di sepuluh titik pada
arah utara-selatan. Pegamatan dilakukan dengan mengarahakan tabung
okuler keatas untuk tutupan tajuk dan kebawah untuk penutupan tumbuhan
bawah. Tanda – artinya tidak ada penutupan dan tanda + digunakan untuk
daerah yang terdapat penutupan.

Gambar 3. Protokol Plot

Ketebalan semak (shrub density) menggunakan teknik pengambilan


data dengan membagi lingkaran menjadi empat bagian. Dari utara-selatan
menggunakan tongkat sepanjang 1 meter, semak yang terkena tongkat
tersebut dicatat jenis dan jumlahnya. Tumbuhan bawah atau semak dicatat
dan disesuaikan dengan dbh (3cm). Demikian untuk hal yang sama yaitu
untuk arah barat ke timur.
1 meter

Gambar 4. Petak Ukur shurb density

3.3.4. Point Count


Pengambilan data burung menggunakan metode point count (titik
hitung) yang dibuat dalam tiga segmen yaitu hulu, tengah, dan hilir. Untuk
pengambilan data burung menggunakan metode point count, yaitu
mengukur jumlah individu dan jenis dalam tiap-tiap point. Metode ini
dilakukan dengan cara berjalan ke suatu tempat tertentu, memberi tanda,
dan selanjutnya mencatat semua burung yang ditemukan selama jangka
waktu yang telah ditentukan sebelumnya sebelum bergerak ke titik
selanjutnya. Waktu yang ditentukan yaitu selama 12 menit di tiap titik
dengan estimasi waktu 2 menit untuk menyesuaikan diri dan 10 menit untuk
mengamati burung. Radius pengamatan dalam satu titik yaitu 50 m dari
jarak pengamat dengan jarak antar titik adalah 200 meter. Dengan metode
ini, perhatian ketika mengambil data dapat fokus sepenuhnya pada
pengamatan burung dan habitatnya. Data yang dicatat yaitu jenis burung,
dan jumlah burung.

Point 1 Point 2

50 m
50 m 50 m 200 m 50 m 50 m
50 m
50 m

Gambar 5. Point Count


3.3.5. Line transek



α1 Garis Transek
* * α2 * α3 * α5

Gambar 6. Pengamatan dengan transek garis

Keterangan :
• Satwa yang terlihat
*Posisi pencatat
α Sudut pandang, yaitu sudut yang terbentuk antara arah transek dengan
posisi satwa

Pada dasarnya metode transek garis hampir sama dengan transek jalur.
Cara dan prosedur yang dilakukan juga sama dengan metode transek jalur.
Perbedaan yang mendasar adalah metode transek garis tidak menentukan
jarak ke kanan dan ke kiri, harus menentukan jarak antara satwa dan
pengamat (jarak lurus) atau jarak pengamatan, serta harus menentukan sudut
kontak antara posisi satwa yang terdeteksi dengan jalur pengamatan atau
sudut pengamatan.
Metode transek garis dilaksanakan oleh pengamat yang berjalan di
sepanjang garis transek dan mencatat setiap data yang diperlukan. Dengan
menggunakan metode ini, lebar atau luas dari lokasi pengamatan tidak
langsung ditetapkan. Seorang pengamat, dapat mencatat setiap jenis
mamalia yang teramati sesuai dengan kemampuan jarak pandang masing-
masing pengamat.

3.3.6. Visual Encounter Survey (VES)

Pengambilan data herpetofauna dilakukan dengan mengunakan


kombinasi metode VES (Visual Encounter Survey) dan linetransek.
Pengamat melakukan pengambilan data dengan menyusuri seluruh petak
ukur dengan waktu dari pagi sampai sore hari. Setiap herpetofauna yang
ditemui dalam transek dicatat jenis dan jumlahnya. VES dapat dilakukan
disepanjang transek, disepanjang sungai, disekitar kolam dan lainnya.
(Bismark,2011).

Xm

20 m

20 m m
mM
200M
a
Sungai

Gambar 7. Peletakan Garis Transek .


garis transek (a), jarak dari sungai ke transek 10 m, dan jarak antar garis
transek 200 m. Sedangkan panjang garis transek menyesuaikan panjang
sungai.

3.3.7. Pengamatan kondisi tanah


3.3.7.1. Profil tanah
Pengamatan profil tanah dengan melakukan pembuatan diagram
profil tanah kemudian dilakukan pengukuran tebal seresah dan lapisan
tanah serta melihat tekstur tanah. Profil tanah dibuat ditengah - tengah
kisaran (range in characteristic) agar representatif sehingga dapat
mewakili satuan analisis dari area penelitian yang direncanakan (Balai
Penelitian Tanah, 2009). Profil tanah dibuat dengan sisi penampang
tegak lurus ke bawah dengan ukuran panjang x lebar (30cm x 30cm)
dan kedalaman 30cm. Pengamatan profil tanah dilaksanakan dengan
cara meng-identifikasi profil pada salah satu sisi lubang profil yang
tidak terkena langsung sinar matahari untuk melihat batas horison,
kedalaman efektif, warna tanah dan bahan induk tanah.Tanah bekas
galian profil tidak boleh ditimbun di atas sisi penampang yang akan
diamati, karena akan mengganggu pengamatan/pemeriksaan dan
pengambilan contoh tanah (Balai Penelitian Tanah, 2004).
3.3.7.2. Erosi tanah
Pengamatan erosi tanah dengan pemangatan tanda erosi yang
ditemukan disekitar lokasi pengamatan dan intensitas ditemukannya
tanda erosi tersebut.
3.3.7.3. Konservasi tanah
Untuk mengetahui teknik konservasi yang telah dilakukan dengan
pengamatan visual dilapangan teknik konservasi apa yang telah
diterapkan disekitar kawasan sempadan sungai.
3.3.7.4. Kelerengan Lahan
Pengukuran kelerengan lahan menggunakan klinometer yang diukur
empat arah mata angin.
3.3.7.5. Pemanfaatan lahan
Pengamatan visual pengamatan lahan dengan melihat disekitar
kawasan sempadan sungai pemanfaatan yang tidak sesui dilakukan
disekitar kawasan sempadan sungai.

3.3.8. Kualitas Air


Pengamatan kualitas air dengan pengamatan secara langsung kualitas
fisik air sungai.
3.3.9. Data Sosial Masyarakat
Data kondisi sosial masyarakat diperoleh melalui wawancara langsung
kepada masyarakat sekitar Hutan. Wawancara dianalisi secara deskriptif
untuk menggrambarkan ineteraksi masyarakat dengan hutan, mengetahui
kelembagaan pengelola hutan , deskripsi aspek legal dan administrasi serta
pengamatan visual dan wawancara untuk mengatahui potensi ODTW Alam
yang ada didalam hutan.
3.3.10 Desain Penempatan Plot Keseluuhan

DESAIN PETAK UKUR KAWASAN PERLINDUNGAN SETEMPAT

8m 200 m

50 m

50 m
60 m 10 m
25 m

20 m

Sungai
Gambar 8. Desain Petak Ukur Kawasan Perlindungan Setempat
Data vegetasi yang diperoleh dilapangan kemudian diolah menggunakan
software Sexi-Fs untuk didapakan gambaran struktur vertikal tegakan yang ada
disekitar kawasan sempadan sungai serta dilakukan perhitungan persentase
setiap kelas ketinggian pohon.

3.3.10. Analisis Vegetasi


3.3.10.1.Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) merupakan angka yang menggambarkan posisi
suatu jenis tuumbuhan dalam suatu komunitas. Besarnya akan bergantung pada
beberapa faktor, yaitu kerapatan relatif, dominansi relatif, dan frekuensi relatif.
Berikut adalah formula untuk menghitung INP

Jumlah Individu (jenis tumbuhan)


Kerapatan (K) = Luas Petak Contoh (ha)

Dominansi (D) = Luas bidang dasar suatu jenis (m2)


Luas seluruh petak contoh (ha)

Jumlah petak ditemukan suatu jenis


Frekuensi (F) =
Jumlah seluruh petak contoh

Kerapatan suatu jenisx 100 %


Kerapatan relatif (KR) =
Frekuensi seluruh jenis

Dominansi suatu jenis x 100 %


Dominansi relatif (DR) =
Dominansi seluruh jenis

Frekuensi suatu jenis x 100 %


Frekuensi relatif (FR) =
Frekuensi seluruh jenis

Indeks Nilai Penting (INP) dihitung dengan menggunakan rumus:


INP = KR + FR + DR
3.3.10.2.Indeks Diversitas (ID)
Indeks Diversitas (ID) merupakan hasil dari kombinasi kekayaan
dan kesamaan jenis. Berikut adalah formula yang digunakan untuk
menghitung ID :
s
H = - ∑ Pi ln Pi
t=1

H = Indeksdiversitas Shannon-Wiener
s = jumlahspesies
Pi = ni/N
ni =jumlahindividuspesies i

3.3.10.3.Penutupan tajuk dan tumbuhan bawah


Persen penutupan tajuk dan tumbuhan bawah dihitung
menggunakan rumus
Jumlah tit ik pengamatan yang tertutup
% Penutupan tajuk dan tumbuh an bawah  x 100%
Jumlah tot al titik pengamatan

Tingkat penutupan tajuk berdasarkan Arief (2001) :


1. Rapat = penutupan lebih dari 70%
2. Cukup = penutupan 40%-70%
3. Jarang = penutupan kurang dari 40%

3.3.10.4.Kerapatan semak
Pengukuran kerapatan semak dengan rumus

Ju mlah in div id usemak y an gterk en a g alah


Kerap atan semak 
Lu as p etak u k u r
3.3.11. Analisis Keberadaan satwa
Dalam analisis keberadaan satwa tidak hanya untuk mengetahui jenis apa
saja dan status konservasi satwa yang ada disekitar hutan namun juga untuk
mengetahui indeks diversitas dan distribusi satwa.
3.3.11.1.Indeks Diversitas (ID)
Indeks Diversitas (ID) merupakan hasil dari kombinasi kekayaan
dan kesamaan jenis. Berikut adalah formula yang digunakan untuk
menghitung ID :
s
H = - ∑ Pi ln Pi
t=1

H = Indeksdiversitas Shannon-Wiener
s = jumlahspesies
Pi = ni/N
ni =jumlahindividuspesies i
3.3.11.2.Overlay Peta
Untuk mengetahui distribusi satwa yang ada makan dilakukan
overlay peta dengan titik perjumpaan satwa yang ditemui selama
pengamatan.
3.3.12. Analisis Kondisi Tanah
Profil tanah, erosi tanah, konservasi tanah, kelerengan lahan, dan
pemanfaatan lahan dideskripsikan berdasarkan data pengamatan dilapangan.
3.3.13. Analisis Kondisi Air Permukaan
Kualitas air dideskripsikan berdasarkan pengamatan fisik air sungai yang
dilakukan di lapangan.
3.3.14. Analisis Sosial
Analisis data hasil wawancara bertujuan untuk memberikan gambaran
umum interaksi masyrakat, kelembagaan yang ada disekitar masyarakat dan
administrasi yang ada. Gambaran ini berupa kegiatan yang dilakukan
masyarakat disekitar kawasan perlindungan setempat, kelembagaan yang ada
di masyarakat sekitar dan administrasi yang ada di sekitar hutan. Hasil
wawancara dimasukkan dalam tabulasi sederhana yang nilai di dalam tabel
berbentuk persentase. Pendeskripsian hasil data di lapangan akan mengarah
pada analisis aspek sosial. Kemudian dilakukan analisis secara deskriptif untuk
memberikan makna atas angka-angka kualitatif dari hasil wawancara.
3.3.15. Analisis Wisata Alam

Analisis wisata alam berdasarkan deskripsi data wawancara dan


pengamatan dilapangan bertujuan untuk mengetahui objek daya tarik wisata
yang ada disekitar hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai wisata alam.

3.3.16. Analisis Strategi Penyelesaian Masalah


Untuk menentukan dan merumuskan strategi penyelesaian masalah
dilakukan dengan membandingkan antara kondisi aktual dengan kondisi
potensial pada kawasan perlingdungan setempat.

BAB III

DESKRIPSI WILAYAH

2.10. KPH Bojonegoro, BH Dander


KPH Bojonegoro dibagi menjadi 13 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH )
yang mencakup 50 Resort Pemangkuan Hutan (RPH). Bagian Hutan yang ada meliputi
Bagian Hutan Clangap, Bubulan, Nglambangan, Deling, Tengger, Pradok, Dander,
Clebung, Bareng, Tondomulo, Tretes, Temayang dan Gondang. Ke-13 Bagian Hutan
tersebut terkoordinir dalam 3 Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan Bojonegoro Timur,
Tengah dan (Anonim, 2015). Bagian Hutan Dander terdiri dari 4 RPH yaitu RPH
Ngunut, RPH Dander, RPH Sumberarum dan RPH Sampang. Luas wilayah Bagian
Hutan Dander sekarang adalah 3.862,8 Ha yang terdiri dari 99 petak. Areal kerja Bagian
Hutan Dander ada di 2 kecamatan yaitu kecamatan Dander dan kecamatan Temayang.
Adapun areal kerja yang masuk dalam wilayah kecamatan Dander adalah RPH Ngunut,
RPH Dander dan RPH Sumberarum sementara RPH Sampang berada di wilayah
administratif kecamatan Temayang.
Persebaran hutan di Bagian Hutan Dander ada di desa Ngunut, Desa Dander,
Desa Growok, Desa Sumberarum, Desa Kunci dan Desa Sampang (Temayang). Hutan di
Bagian Hutan Dander berada di wilayah paling selatan dari wilayah administratif
kecamatan Dander. Bagian Hutan Dander juga meliputi BKPH Pradok dan BKPH
Tengger.Pengamatan dilakukan atau difokuskan pada Bagian Hutan Dander utamanya
pada KPS sempadan sungai atau sungai utama yang dialiri sepanjang tahun yang berada
pada Bagian Hutan Dander mulai dari petak 92, 91, 90, 95, 96, 89, 100, 101, 103, 105.
Jenis tanaman yang tumbuh di hutan Bagian Hutan Dander adalah pohon jati, Waru alas,
Wadang, Jambu Kelampok, dan Sonokeling. Tanaman selain Jati seperti Sonokeling dan
Jambu kelampok berfungsi untuk penahan laju erosi yang tinggi dan memperkecil laju
erosi kemudian perakarannya dapat mencegah terjadinya longsor. Kemudian tanaman
Jati digunakan untuk mengurangi laju penguapan dan dapat menjaga iklim di kawasan
tersebut.

3.2 Permasalahan
Kegiatan pengelolaan hutan di KPH Bojonegoro terdiri dari 14 elemen kegiatan
yaitu penataan hutan, persiapan tanaman, persemaian, pelaksanaan penanaman,
pemeliharaan tanaman, perlindungan dan pengamanan hutan, teresan, pembuatan dan
pemeliharaan sarana jalan, pemungutan/pemanenan hasil hutan, pengangkutan hasil
hutan, pemasaran hasil hutan, penelitian dan pengembangan, pengelolaan tenaga kerja,
kemitraan dan pemberdayaan masyarakat, serta kerjasama pengelolaan hutan rakyat.
Selain melakukan elemen kerja tersebut didalamnya tentunya terdapat permasalahan
yang dihadapi. Pada pengamatan secara langsung dilapangan terdapat beberapa point
permasalahan yang akan diangkat. Mulai dari permasalahan ekologi, pengelolaan satwa,
konservasi tanah dan air,pengelolaan pariwisata alam dan pengelolaan kawasan
konservasi.
Kondisi ekologi disekitar kawasan perlindungan setempat seharusnya tidak
berbeda jauh dengan kondisi hutan alam dengan heterogenitas vegetasi yang tinggi tidak
seperti hutan produksi yang bersifat homogenitas. Namun berdasarkan hasil pengamatan
dilapangan hanya beberapa titik pengamatan yang memiliki kondisi ekologi yang baik
dengan jenis yang ada adalah jenis pohon rimba sedangkan titik yang lain masih
didominasi dengan jati bahkan sebagian titik ditemukan adanya penggunaan lahan
sebagai lahan pertanian.
Pengelolaan satwa liar atau pengamatan satwa dilakukan dengan kurang
menggunakan petak ukur yang sesuai. Akan tetapi pengamatan dilakukan hanya dengan
berjalan dan dicatat apabila ditemui jenis satwa sehingga hasilnya kurang dapat diketahui
secara jelas jenis dan jumlahnya.Pengamatan satwa liar kurang baik karena tidak
dilakukan secara sistematik dan hanya dengan menulis jenis jenis yang sempat ditemui
ketika berada dikawasan hutan sehingga data yang diperoleh hanya berupa jenis tidak
dapat diketahui estimasi jumlah satwa yang ada. Perburuan liar juga masih terjadi di
kawasan produksi bahkan sampai di kawasan perlindungan setempat. Pengawasan dalam
perburuan ini memang kurang rinci dalam peraturannya karena memang tidak terdapat
larangan dalam membawa senapan angin dalam hutan selama tidak melakukan
tembakan. Kurangnya personil dalam bertugas juga mengurangi pengawasan terhadap
satwa di kawasan perlindungan.
Konservasi tanah diKPS belum maksimal sebagaimana fungsinya dan masih
banyak ditemukan jenis jati yang mendominasi selain itu adanya kegiatan pembibrikan
berupa jagung , kacang tanah, dan sawah yang menyebabkan peningkatan erosi karena
air hujan yang jatuh langsung ke atas permukaan tanah sehingga dapat menyebabkan
kerusakan tanah karena energi kinetik yang masih besar. Selain itu dapat menyebabkan
erosi dan run off yang tinggi, air yang jatuh langsung mengalir ke tempat yang lebih
rendah atau sungai sehingga menyebabkan air sungai menjadi keruh sampai berwarna
coklat. Kurangnya penutupan tajuk dan tumbuhan bawah sangat berpengaruh terhadap
jatuhnya air hujan. Jika terdapat penutupan tajuk dan tumbuhan bawah dapat
mengurangi energi kinetik. Sebaiknya dilakukan pengayaan jenis seperti jambu
kelampok yang dapat memperkecil kecepatan air yang jatuh ke permukaan tanah karena
tajuk yang lebar dan perakaran yang kuat dapat mempercepat infiltrasi sehingga dapat
mengurangi run off.
Obyek daya tarik wisata yang ada di sungai Pradok sudah ada namun masih
kurang maksimalnya pengelolaan yang dilakukan sehingga kurang menarik. Penataan
areal sekitar obyek wisata dan fasilitas yang disediakan kurang dan perlunya pengelolaan
lebih lanjut agar lebih menarik. Selain itu juga pengenalan serta publikasi menganai
obyek wisata tersebut juga harus dilakukan lebih maksimal lagi untuk menarik perhatian
pengunjung.
Pelaksanaan kegiatan teknis pengelolaan hutan produksi di KPH Bojonegoro
yang meliputi kelola produksi antara lain :

1. Penataan Hutan
1. Penataan batas
Penataan batas meliputi kegiatan pemeriksaan, pemancangan, pengecatan, dan
peleteran tanda batas (B, E, DK, KB, MA, WD).

2. Pembagian hutan
Pembagian hutan meliputi kegiatan pemeriksaan, pemancangan, pengecetan dan
peleteran tanda Pal HM dan Pal petak.

3. Inventarisasi/risalah hutan
Inventarisasi/risalah hutan meliputi kegiatan risalah/inventarisasi hutan dengan
metode Systematic sampling with random start, penentuan batas anak petak
(Uitzetten), penandaan batas anak petak (markir), pengukuran batas anak petak dan
perhitungan luas anak petak.

4. Penyusunan buku RPKH


Penyusunan buku RPKH meliputi kegiatan penyusunan/pembuatan rencana-
rencana (tanaman, pemeliharaan, teresan dan tebangan) serta menyiapkan buku
statistik perusahaan.

2. Persiapan Tanaman
Kegiatan pembuatan tanaman dikategorikan menjadi tiga, yakni tanaman rutin,
tanaman pembangunan, dan tanaman rehabilitasi. Terdapat dua sistem penanaman di
Perum Perhutani, yaitu banjar harian dan tumpangsari.

3. Persemaian
Dalam kegiatan persemaian di KPH Bojonegoromeliputi : kegiatan pengadaan bibit,
lokasi persemaian, serta metode produksi bibit.

4. Pelaksanaan Penanaman
Kegiatan penanaman di wilayah KPH Bojonegoro tahun 2016 seluas 485,2 ha, dengan
rincian :433,9 ha berupa tanaman pembangunan dan 51,3 ha berupa tanaman rutin.
5. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman di wilayah KPH Bojonegoro, meliputi : kegiatan
penyulaman, penyiangan, pendangiran, pemupukan, pemberantasan hama dan
penyakit, pemangkasan/wiwilan, dan penjarangan. Jadwal pelaksanaan pemeliharaan
tanaman (luas dan waktunya) mengikuti jadwal penanamannya dan jadwal teknis
silvikultur hutan tanaman (THPB).

6. Perlindungan dan Pengamanan Hutan


Kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan dimaksudkan untuk menjaga keutuhan
dan keamanan kawasan dari aktivitas ganggguan hutan yang disebabkan oleh tekanan
penduduk, perubahan klim global maupun kombinasi diantara keduanya.

7. Teresan
Kegiatan teresan adalah mematikan pohon dengan cara memutus pembuluh kayu
(xylem) agar diperoleh tegakan kering alami sehingga meminimalkan kerusakan pada
saat tebang. Teresan dilakukan pada waktu 1 (satu) tahun sebelum dilakukan tebangan
(T-1).Luas teresan KPH Bojonegoro pada tahun 2016 seluas 54,1 ha.

8. Pembuatan dan Pemeliharaan Sarana dan Prasarana


Kegiatan pembuatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana yang dilaksanakan di
wilayah KPH Bojonegoro, meliputi : pembangunan jalan sarad/sogokan, perbaikan
jalan angkutan, perbaikan alur serta pembuatan alur baru.
9. Pemanenan Hasil Hutan
Pemanenan hasil hutan dikenal dengan istilah tebangan. Pemanenan jati dilakukan
pada umur daur yaitu 50 th (sesuai dengan daur KPH Bojonegoro). Penebangan
dilakukan secara semimekanik dengan menggunakan alat jenis chainsaw.Sebelum
kegiatan penebangan perlu dilakukan klem (pengukuran keliling) dengan ketinggian
130 cm dari permukaan tanah dan teresan untuk tebangan A2.

10. Pengangkutan Hasil Hutan


Hasil hutan kayu yang telah ditebang diangkut langsung (tebang angkut) dari lokasi
tebangan menuju ke tempat pengumpulan (TPK Bojonegoro).

11. Penanganan Tenaga Kerja


Pemenuhan kebutuhan tenaga kerja untuk pelaksanaan kegiatan di lapangan sedapat
mungkin akan dipenuhi oleh tenaga kerja dari daerah setempat. Jika jumlah dan
kualifikasi yang diperlukan tidak dapat dipenuhi dari daerah setempat, maka
diupayakan untuk mendatangkan tenaga dari luar daerah.

12. Pemasaran Hasil Hutan

Dari hasil pemungutan hasil hutan yang dilakukan oleh KPH Bojonegoro, pelaksanaan
pemasarannya dilaksanakan oleh KBM (Kesatuan Bisnis Mandiri) Sar II Bojonegoro.

13. Penelitian dan Pengembangan


Guna menunjang keberhasilan pembangunan hutan tanaman di wilayah KPH
Bojonegoro, maka kegiatan penelitian dan pengembangan di segala bidang yang
terkait, perlu dilakukan penyusunan rencana kegiatan Litbang secara terus-
menerus.Penelitian diarahkan kepada penelitian dan pengembangan aspek-aspek
kunci.

14. Kemitraan dan Pemberdayaan Masyarakat.

Pengelolaan sumberdaya hutan tidak dapat dilepaskan dari peran serta


masyarakat.Kemitraan dan pemberdayaan tersebut diimplementasikan dalam bentuk
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM) dengan melibatkan masyarakat desa hutan
(Stakeholder) dalam kegiatan pengelolaan Sumberdaya Hutan di KPH Bojonegoro
mulai dari persemaian, tanaman, pemeliharaan, pengamanan dantebangan sejak tahun
2004.

Pelaksanaan kegiatan teknis pengelolaan hutan produksi di KPH Bojonegoro yang


meliputi kelola lingkungan antara lain :

1. Pembuatan teras gulud pada lokasi tumpangsari.


2. Penanaman tanaman konservasi tanah dan air sebagai tanaman tepi, sela, dan pengisi
3. Rehabilitasi lahan kosong pada lokasi TK dan TJBK baru di lakukan pada akhir
tahun
4. Pengkayaan pada kawasan HAS dan KPS dengan jenis rimba campur baru
5. Penerapan reduce impact timber harvesting (RITH) pada lokasi
pemanenan/tebangan
6. Penyuluhan/sosialisasi mengenai kawasan perlindungan pada setiap BKPH melalui
program komsos.
7. Patroli rutin diseluruh kawasan Perum Perhutani KPH Bojonegoro
8. Pemeliharaan jalan dan selokan
9. Pengkayaan dengan jenis rimba campur (sesuai dengan RTT Pengkayaan)
10. Babat tumbuhan bawah dengan sistem jalur, dangir dengan sistem piringan (sesuai
dengan RTT Pemeliharaan)
11. Pembuatan/pemeliharaan gorong-gorong,pembangunan/pemeliharaan jembatan
(sesuai dengan RTT Prasarana)
12. Penertipan penggarapan liar.
13. Pemasangan/pemeliharaan papan informasi dan larangan untuk penggarapan liar,
perburuan satwa, penebangan/pencurian tegakan, pembakaran lahan,
penggembalaan (1 tahun sekali)
14. Penyuluhan/sosialisasi (rutin)
15. Patroli (rutin)
16. Collaborative management
17. Penetapan batas kawasan
18. Pengamanan kawasan konservasi
19. Rehabilitasi dan restorasi kawasan konservasi mata air
20. Penanganan debit air yang berkurang
21. Penanganan kebakaran hutan
22. Penanganan vegetasi rusak
23. Pengelolaan Komponen Lingkungan Biologi
24. Pengelolaan satwa pengkayaan untuk perlindungan dan pakan satwa.
25. Pengamanan rutin di zona konservasi CA dan HAS dan habitat spesies interest
melalui kegiatan patroli
26. Kebijakan akses pemanfaatan hasil hutan non kayu hijauan makanan ternak dan
kayu bakar yang dituangkan dalam implementasi PHBM
27. Collaborative management dengan lembaga desa, tokoh agama, tokoh masyarakat
dan LSM dalam meningkatkan partisipasi masyarakat pada program PHBM melalui
forum komunikasi PHBM tingkat kecamatan dan kabupaten.
Pelaksanaan kegiatan teknis pengelolaan hutan produksi di KPH Bojonegoro yang
meliputi kelola lingkungan antara lain :
1. Memberikan kesempatan kepada 569 orang masyarakat desa hutan untuk terlibat
pada kegiatan pengelolaan hutan (kegiatan tanaman 322 orang, kegiatan
pemeliharaan 27 orang, kegiatan tebangan 167 orang, dan persemaian 53 orang,
2. Pelatihan/job training untuk mandor dan pekerja diantaranya pelatihan monitoring
biodiversity bagi mandor biodiversity, job training tanaman bagi mandor tanam,
pelatihan pemantauan lingkungan serta job training tebangan bagi mandor tebang.
3. Jamsostek kepada pekerja sebanyak 569 orang.
4. Penerapan penggunaan APD pada kegiatan tebangan
5. Inspeksi K3 dan investigasi kecelakaan kerja
6. Memberikan akses kepada masyarakat untuk melakukan tumpangsari, PLDT dan
pemanfaatan hasil hutan non kayu dan mata air dalam kawasan hutan yang tertuang
dalam perjanjian PHBM dengan 34 LMDH.
7. Melakukan pembinaan LMDH untuk memotivasi pembangunan fasilitas
perekonomian desa, pengembangan, pendampingan dan pembinaan usaha produktif
dan koperasi LMDH,
8. Pemberi akses kepada masyarakat untuk terlibat menjadi tenaga kerja.
9. sosialisasi PHBM,
10. komunikasi dan pembinaan LMDH.
11. Sosialisasi PHBM, kebijakan PLDT dengan pola PHBM
12. Pembinaan dan penyuluhan bidang hukum dan keamanan hutan kepada masyarakat
sekitar
13. Pelatihan dan pendampingan usaha produktif bagi MDH
14. Pendekatan terhadap aparat desa untuk mendorong agar lebih aktif dalam melakukan
pembinaan kepada masyarakat,
15. Mendorong LMDH agar lebih aktif membina masyarakat untuk tidak melakukan
kejahatan hutan,
16. Pengawasan melekat terhadap kesiapsiagaan petugas lapangan baik polter maupun
KRPH dengan melakukan sidak pada pos-pos pengamanan hutan,
17. Koordinasi dengan pihak terkait ( muspida)
18. Meningkatkan intensitas patroli (petak rawan)
19. Sosialisasi bahaya dan dampak kebakaran hutan,larangan penggembalaan dan
perburuan liar
20. Pembentukan SATDAMKARHUT,
21. Pemasangan papan larangan pembakaran hutan, penggembalaan dan perburuan liar
22. Penyediaan alat-alat pemadam kebakaran di setiap BKPH
23. Penyediaan tempat sampah sesuai jenis sampah
24. Penyuluhan/sosialisasi pengelolaan sampah dan larangan penggunaan bahan
kimia/B3 yang dilarang
25. Penyediaan TPS limbah bahan kimia di setiap RPH (44 lokasi)
26. Pemasangan plang larangan penggunaan B3 yang dilarang di kawasan hutan.
27. Pemasangan plang larangan membuang sampah sembarangan di kawasan hutan.
28. menerapkan prinsip keseimbangan antara kelola produksi, lingkungan dan sosial,
29. mempertahankan fungsi kawasan perlindungan
30. membuka akses masyarakat terhadap pemanfaatan lahan dan SDH.
31. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan penataan hutan
Berdasarkan struktur organisasi di KPH Bojonegoro, karyawan perusahaan terdiri dari :
1. Administratur : 1 orang
2. Waka Adm. : 3 orang
3. Ajun Adm. Sederajat : 1 orang
4. Asper/KBKPH : 10 orang
5. Asper Sederajat :7 orang
6. Mantri/KRPH : 53 orang
7. KRPH Sederajat : 7 orang
8. SP. Tekhnik : 517 orang
9. SP. TU : 65 orang
Sebagaimana disebutkan dalam strategi pencapaian Pengelolaan Hutan Lestari KPH
Bojonegoro dalam rangka menuju sertifikasi SFM tingkat global, peningkatan kualitas
hak-hak tenaga kerja telah mendapatkan perhatian dari perusahaan sesuai peraturan
Hukum Internasional maupun Nasional. Hak-hak tenaga kerja tersebut secara umum
adalah sebagai berikut :
1. Upah diatas UMR
2. Cuti tahunan
3. Jaminan sosial tenaga kerja
4. Alat perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
5. Peningkatan kapasitas serta hal lain sesuai peraturan perusahaan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Pengelolaan Kawasan Perlindungan
A.1. Kawasan Perlindungan Setempat
Kawasan perlindungan setempat diperuntukkan bagi kegiatan pemanfaatan lahan
yang dapat menjaga kelestarian jumlah, kualitas dan penyediaan tata air dan kelancaran
serta ketertiban pengaturan dan pemanfaatan air dari sumber-sumber air.Kawasan
perlindungan setempat terdiri dari:

1. Kawasan sempadan sungai,


2. Kawasan sempadan pantai,
3. Kawasan sekitar mata air.
4. Kawasan Terbuka Hijau termasuk di dalamnya hutan kota
Perhutani KPH Bojonegoro terdapat Kawasan Perlindungan Setepat berupa sempadan
sungai. Tujuan adanya KPS untuk menjaga biodiversitas yang terdapat didalam kawasan
produksi. Untuk menjamin kelestarian kawasan perlindungan setempat beberapa plang
himbauan dipasang agar tidak melakukan penebangan pohon pada :

A.1.1.Aspek Vegetasi

Dari praktek yang telah dilaksanakan, maka didapatkan hasil sebagai berikut:
INP Hilir
300
250
200
150
100
50
0
Jambu Luduya Wungu Soka Putat Berasak Beringin Jati
Kelampok

Grafik 1. INP Bagian Hilir

Indeks Nilai Penting (INP) merupakan angka yang menggambarkan posisi suatu
jenis tumbuhan dalam suatu komunitas. Besarnya akan bergantung pada beberapa faktor,
yaitu kerapatan relatif, dominansi relatif, dan frekuensi relatif. Untuk perhitungan INP
dilakukan di Sempadan Sungai Jeruk Guling yang dibagi kedalam tiga segmen yaitu
segmen pertama untuk hilir, segemen kedua untuk tengah, dan segmen ketiga untuk hulu.
Kemudian dibedakan antara luar sempadan dan dalam sempadan.

Dari gambar 9 didapatkan hasil INP untuk bagian hilir baik di luar maupun di
dalam yang tertinggi merupakan jenis Jati dengan nilai berturut-turut sebesar 254,171%
dan 136,749%. Kemudian untuk INP terendah di bagian luar merupakan jenis Jambu
Klampok sebesar 45,8292% dikarenakan pada bagian luar sempadan hanya terdapat 2 jenis
yaitu Jati dan Jambu Klampok saja. Sedangkan di bagian dalam sempadan INP terendah
yaitu jenis Soka sebesar 6,782%. Pada keadaan lapangan, bagian hilir banyak didominasi
jenis rimba, namun semakin menuju bagian tengah maka didominasi oleh Jati saja. Pada
bagian hilir pohon lebih dapat tumbuh dengan baik dibandingkan bagian tengah maupun
hulu. Tingkat pertumbuhan pohon pada bagian ini mendominasi dikarenakan dekat dengan
pemukiman dan persemaian sehingga sedikit kemungkinan adanya pencurian, selain itu
memang jenis pohon yang umurnya tua dansehingga diameternya besar-besar.
INP Tengah

300
250
200
150
100
50
0
Dalam Luar

Grafik 2. INP Bagian Tengah

Pada gambar 10 menerangkan hasil INP di sempadan sungai bagian tengah dengan
nilai INP tertinggi baik di luar maupun di dalam sempadan yaitu jenis Jati yang memiliki
nilai berturut-turut sebesar 300% dan 286,043%. INP terendah hanya terdapat pada dalam
sempadan yaitu jenis Ploso dengan nilai sebesar 13,956%. Untuk jenis yang terdapat di
luar sempadan hanya ditemukan jenis Jati saja, ini berarti INP pada bagian tengah luar
sempadan jenis yang mendiminasi Jati.Pada bagian tengah dari sempadan sungai tersebut
banyak jenis yang baru saja di tanam, sehingga ketika dilakukan pengamatan hanya sedikit
jumlah pohon yang ditemukan.Pada bagian tengah termasuk bagian yang jauh dari
pengawasan sehingga pada kenyataanya sangat sedikit jenis pohon yang dapat ditemui. Hal
ini dikarenakan terjadinya pencurian kayu pada bagian tengah dan belum ada penyulaman
kembali lahan yang masih kosong pada kawasan sempadan sungai.
INP Hulu
300
250
200
150
100
50
0
k as n l g
Ja
ti
po an
g
al pe po in gu
d La m el un
l am W
a
ar
u
Ge nok W
Ke W So
bu
m
Ja

Grafik 3. INP Bagian Hulu

Gambar 11 merupakan grafik INP sempadan sungai pada bagian hulu. Dari grafik
tersebut maka dapat dijelaskan bahwa baik pada luar maupun dalam sempadan nilai INP
yang tinggi yaitu jenis Jati dengan nilai berturut-turut sebesar 250,57% dan 184,83%. Hal
tersebut tentunya kurang baik dan kurang ideal karena untuk menjaga ekosistem sbuah
KPS tentunya banyak jenis vegetasi didalamnya. Apabila hanya terdapat tanaman Jati yang
mendominasi kurang baik untu mencegah erosi dan menjaga plasma nutfah. Sedangkan
INP terendah untuk yang di luar sempadan yaitu jenis Lapen dengan nilai sebesar 5,594%
dan di dalam sempadan yaitu jenis Gempol dengan nilai sebesar 5,503%. . Pada bagian
hulu banyak jenis yang memiliki diameter besar dan umur yang tua. Selain itu akses untuk
menuju ke bagian hulu lebih sulit jika dibandingkan akses menuju hilir dan tengah.
Keadaan vegetasinya sangat rapat dan juga penyusun tingkat pertumbuhannya masih
seimbang.

Beragamnya nilai INP pada ketiga bagian tersebut menunjukkan adanya pengaruh
lingkungan seperti kelembaban, suhu, dan tidak mampu atau kalah berkompetisi dalam
mendapatkan hara, sinar matahari, dan ruang tumbuh tiap-tiap jenis. Selain itu nilai INP
juga dipengaruhi oleh umur suatu pohon. Menurut Odum (1971), jenis yang dominan
mempunyai produktivitas yang besar, dan dalam menentukan suatu jenis vegetasi dominan
yang perlu diketahui adalah diameter batangnya. Jati memiliki INP tertinggi baik di ketiga
bagian yaitu hilir, tengah, dan hulu, karena jenis ini memiliki Luas Bidang Dasar yang
paling besar. Namun praktek ini dilakukan di kawasan lindung yaitu kawasan sempadan
sungai yang seharusnya jenis yang mendominasi merata, artinya nilai INP jenis-jenis yang
terdapat di kawasan tersebut memiliki selisih yang tidak banyak. Jenis yang dapat
ditemkuan pada saat pengambilan data di lapangan diantara yaitu, Jambu Klampok,
Luduya, Wungu, Soka, Putat, Berasak, Beringin, Jati, Ploso, Wadang, Waru, Lapen,
Gempol, dan Sono Keling. Kemudian dari data sekunder yang diperoleh dari inventarisasi
biodiversitas, terdapat 66 jenis pohon. Perbedaan tersebut dikarenakan metode yang
digunakan dalam inventarisasi biodiversitas khususnya pohon berbeda. Selain itu, data
yang di ambil pada saat di lapangan hanya data pada kawasan sempadan sungai saja.

Indeks Diversitas Tingkat Pertumbuhan


Vegetasi
2.5
2
1.5 Luar
1 Dalam
0.5
0
Hilir Tengah Hulu

Grafik 4. ID Tingkat Pertumbuhan Vegetasi

Selanjutnya gambar 12 menjelaskan Indeks Diversitas. Indeks Diversitas (ID)


merupakan hasil dari kombinasi kekayaan dan kesamaan jenis. Menurut Shannon-Wienner
dalam Dianarto (2000), bahwa Indeks Keanekaragaman Shannon Wienner digunakan luas
dalam ekologi komunitas, karakteristiknya adalah apabila H’ = 0 maka hanya terdapat
suatu jenis yang hidup dalam satu komunitas. H’ maksimum jika kelimpahan jenis-jenis
penyusun terdistribusi secara sempurna tingkat diversitas berbanding lurus dengan
kemantapan suatu komunitas. Semakin tinggi tingkat diversitas jenis maka semakin
mantap komunitas tersebut. Menurut Lee et al, dalam Parani (2004), membagi kriteria
menjadi:

1. Tinggi jika H’ > 2,0


2. Sedang jika H’ diantara 1,6 – 2,0
3. Rendah jika H’ diantara 1,0 – 1,5
4. Sangat rendah jika H’ < 1,0

Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Sempadan Sungai Jeruk Gulung,


didapatkan hasil untuk ID pada luar sempadan bagian hilir dan tengah memiliki nilai < 1,0
maka tergolong sangat rendah. Kemudian untuk bagian hulu memiliki nilai 1,6 – 2,0 maka
tergolong sedang. Pada dalam sempadan bagian hilir dan hulu memiliki nilai , 1,0 yang
tergolong sangat rendah. Sedangkan bagian tengah memiliki nilai 1,6 – 2,0 maka tergolong
sedang. Untuk kawasan perlindungan agar yang di luar sempadan juga tinggi atau
setidaknya setara dengan yang di dalam sempadan maka dapat dilakukan penanamanjenis
tanaman lain selain jati, untuk mengurangi homogenitas. Selain itu jenis tanaman rimba
didalam kawasan sempadan sungai digunakan sebagai penahan air hujan agar tidak
langsung mengalir kedalam sungai. Selain itu pengayaan jenis dilakukan dapat mengurangi
dampak erosi dan mencegah penyebaran apabila terdapat penyakit tanaman.

Dalam
Persentase Tutupan Tajuk dan Tumbuhan
Bawah

100.0
80.0 Tajuk
60.0 Tumb. Bawah
40.0
20.0
0.0
Hulu Tengah Hilir

Grafik 5. Persentase Tutupan Tajuk dan Tumb Bawah

Tutupan tajuk merupakan besaran luasan tajuk yang mampu menutup kawasan di
bawahnya. Air hujan sebelum jatuh ke tanah, terlebih dahulu mengenai tajuk. Semakin
besar tutupan tajuk, maka tingkat erosi akan lebih rendah karena tutupan tajuk mengurangi
besarnya kekuatan air yang jatuh.

Tumbuhan bawah merupakan vegetasi yang menempati lapisan bawah suatu


komunitas pohon. Komunitas pohon tersebut dapat berupa hutan alam, hutan tanaman atau
suatu bidang kehutanan yang lain. Tumbuhan bawah dapat menimbulkan kerugian, tetapi
ada pula manfaatnya. Tumbuhan bawah mempunyai kemampuan menahan aliran
permukaan sehingga tingkat erosi akan lebih rendah. Tumbuhan bawah menyediakan
bahan organik, sehingga menciptakan iklim mikro yang baik bagi serangga
pengurai (Setiadi, 1984).

Gambar 13merupakan grafik yang menggambarkan presentase tutupan tajuk dan


tumbuhan bawah dalam kawasan sempadan sungai. Dari hasil pengamatan dan perhitungan
tutupan tumbuhan bawah tertinggi terdapat pada segmen hulu dengan nilai sebesar 83,3%.
Pada pengamatan dilapangan bagian hulu masih banyak ditemui tumbuhan bawah seperti
krinyu, Zingiberaceae, tembelekan, dan putri malu. Hal ini dikarenakan akses jalan
disekitar sungai pada bagian hulu agak sulit karena tutupan yang masih rapat dan jarang
ditemui lahan kosong. Selain itu juga aktivitas manusia yang sedikit sehingga masih
banyak tumbuhan bawah. Kemudian pada bagian tengah presentase tumbuhan bawah
sebesar 73,9% hal ini masih tergolong nilai yang cukup tinggi. Pada bagian hilir memiliki
presentase nilai tumbuhan bawah paling kecil sebesar 52,8%. Sedangkan untuk presentase
tutupan tajuk pada segmen hulu presentase tutupan tajuk sebesar 49,4% dan segmen tengah
sebesar 47,8% nilai ini masih tergolong rendah yang artinya pada segmen hulu dan tengah
tidak banyak tutupan tajuk. Hal ini dapat mempercepat erosi karena air hujan yang jatuh
akan langsung terkena jatuh ke permukaan tanah dan tidak terhalang oleh tajuk. Jika terjadi
secara terus menerus dapat menyebabkan kerusakan tanah dan memperbesar nilai erosi dan
menyebabkan warna air sungai menjadi keruh. Pada bagian hilir presentase tutupan tajuk
sebesar 62,2% yang tergolong tinggi dapat dibuktikan dengan warna air sungai yang masih
jernih karena erosi pada segmen hilir dapat dikatakan rendah karena jika terjadi hujan air
akan mengenai tajuk yang akan mengurangi energi kinetik sehingga ketika air jatuh ke
permukaan tanah air dapat terserap kedalam tanah karena terdapat akar pohon yang dapat
mempercepat infiltrasi. Selain itu penutupan tajuk dan tumbuhan bawah dapat menjadi
ruang hidup satwa khususnya herpetofauna yang memanfaatkan tumbuhan bwah dan
burung yang memanfaatkan tajuk sebagai ruang hidup, berteduh, dan bereproduksi.
Luar
Persentase Tutupan Tajuk dan Tumbuhan
Bawah
80.0
60.0 Tajuk
Tumb. Bawah
40.0
20.0
0.0
Hulu Tengah Hilir
Axis Title
Grafik 6. Persentase Tutupan Tajuk dan Tumb Bawah
Grafik 6 menjelaskan presentase tutupan tajuk dan tumbuhan bawah diluar kawasan
sempadan sungai. Pada bagian hulu presentase tutupan tajuk sebesar 65,6% dan tutupan

Persentase Kerapatan Semak

45.0
40.0
35.0
30.0 Dalam
25.0 Luar
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
Hulu Tengah Hilir
Axis Title
Grafik 7. Persentase Kerapatan Semak

tumbuhan bawah sebesar 79,4%. Diluar kawasan sempadan sungai digunakan sebagai
kawasan produksi sehingga hanya sedikit lahan yang kosong selebihnya terdapat pohon
dan tumbuhan bawah. Sedangkan pada bagian tengah tutupan tajuk sebesar 56,7% dan
tumbuhan bawah sebesar 60,6%. Nilai pada bagian tengah sedikit lebih rendah
dibandingkan bagaina hulu. Pada bagian tengah dibeberapa petak terdapat lahan yang
digunakan sebagai lahan pertanian sehingga menurunkan nilai tutupan tajuk dan tumbuhan
bawah. Berkurangnya tutupan tajuk penutupan tumbuhan bawah dapat mempengaruhi
terjadinya erosi. Pada bagian hilir presentase penutupan tajuk sebesar 46,1% dan tutupan
tumbuhan bawah sebesar 44,4%, pada bagian hilir memiliki presentase yang paling kecil.
Tumbuhan bawah dan tajuk dapat digunakan sebagai ruang hidup satwa khususnya burung
yang memanfaatkan tajuk dan herpetofauna yang memanfaatkan tumbuhan bawah.
Minimnya tajuk dan tumbuhan bawah menyebabkan minimnya satwa yang ada pada lokasi
tersebut. Adanya satwa dapat memeberikan dampak positif dengan memberikan pupuk
alami dengan kotoran yang dihasilkan oleh satwa dan dapat membantu penyebaran buah
dan biji.

Semak merupakan tumbuhan berkayu yang tetap rendah dan umumnya memiliki
tinggi 3-4 m. Tumbuhan tersebut menghasilkan percabangan banyak yang terletak di dasar
tanaman atau dekat dengan permukaan tanah (tidak mempunyai cabang utama). Semak
dapat bermanfaat sebagai tempat berlindung satwa tertentu. Semakin rapat semak dalam
suatu kawasan hutan maka presentasi kawasan untuk dimasuki manusia semakin rendah.
Gambar 7 menunjukkan grafik presentase kerapatan. Kerapatan semak di bagian hulu
bagaian dalam sempedan sebesar 40,3% dan luar sempadan 39,3%. Bagian tengah kawasan
dalam sempadan persentase semak sebesar 31% dan luar sempadan 32,9%, sedangkan
bagian hilir dalam kawasan sempadan presentase semak sebesar 28,5% dan luar sempadan
44,7%. Semak dapat berfungsi sebagai ruang hidup satwa seperti kadal,katak dan kodok.
Selain itu semak dapat berfungsi sebagai penahan air hujan. Air hujan yang jatuh dapat
tertampung oleh semak sehingga dapat mengurangi kuantitas air hujan yang jatuh ke
permukaan air dan dapat menguranggi erosi yang terjadi. Selain sebagai penampung air
hujan semak dapat digunakan sebagai ruang hidup satwa khususnya herpetofauana dan
mamalia. Semak dapat digunakan sebagai tempat berteduh dari panas, hujan dan
bersembunyi dari manusia. Semakin tinggi semak yang ada keragaman satwa juga semakin
tinggi karena tersedia ruang untuk bertahan hidup. Pada kawasan yang minim semak
sangat sedikit satwa yang dapat bertahan hidup karena kurangnya ruang hidup.

Struktur vegetasi tumbuhan seperti tinggi, biomassa, serta heterogenitas vertical


dan horizontal,merupakan faktor penting yang mempengaruhi perpindahan aliran materi
dan energi, serta keanekaragaman ekosistem. Tajuk hutan merupakan faktor pembatas bagi
kehidupan tumbuhan karena dapat menghalangi penetrasi cahaya ke lantai hutan. Variasi
ketersediaan cahaya dan perbedaan kemampuan antar spesies anak pohon dalam
memanfaatkannya dapat mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan. Perbedaan
kemampuan antara spesies anakan pohon dalam menoleransi naungan mempengaruhi
dinamika hutan. Pada kondisi cahaya rendah, perbedaan kecil dalam pertumbuhan pohon
muda dapat menyebabkan perbedaan mortalitas yang besar, sehingga mempengaruhi
kemelimpahan relatifnya.

Diagram profil menunjukkan stratifikasi vegetasi baik secara vertikal maupun


horizontal. Ukuran petak ukur diagram profil yaitu 8 m x 60 m. Pembuatan petak ukur
dilakukan pada tiap segmen sungai yaitu hulu, tengah dan hilir dengan jumlah petak ukur
masing-masing 2 tiap segmen pada tegakan yang rapat dan pada tegakan yang kurang
rapat. Berdasarkan diagram profil di atas, dapat diketahui bahwa tegakan didominasi oleh
tumbuhan dengan KU muda pada masing-masing segmen sempadan sungai dengan
perbedaan terdapat pada rapat dan kurang rapatnya tegakan.

Tabel 1. Persen Ketinggian Pohon

Persen Ketinggian Pohon Hulu Tengah Hilir

Strata A (lebih dari 30 m) - - -

Strata B (20-30 m) - - -

Strata C (4-20 m) 100 % 100 % 100 %

Strata D (kurang dari 4m) - - -

Strata E (tumbuhan - - -
bawah)

Pada diagram profil terdapat pembagian strata vegetasi. Strata vegetasi terdiri atas strata A
dengan tinggi pohon lebih dari 30 m, strata B dengan tinggi pohon 20-30 m, strata C
dengan tinggi pohon 4-20 m, strata D dengan tinggi pohon dibawah 4 m dan strata E
berupa tumbuhan bawah. Berdasarkan diagram profil diatas, diperoleh bahwa tegakan yang
ada di sepanjang Sungai Jeruk Gulung didominasi oleh tegakan pada strata C dengan tinggi
masing-masing diantara 4-20 meter.

Gambar 9. Diagram Profil pada Bagian Hulu Vegetasi Rapat tampak Atas
Gambar 10. Diagram Profil pada Bagian Hulu Vegetasi Rapat tampak Depan

Gambar 9 dan 10 diatas adalah gambaran stratifikasi tajuk dengan sampel yang diambil
pada tegakan yang rapat pada daerah hulu. Dari diagram profil dapat diketahui bahwa pada
bagian hulu didominasi oleh pohon yang berdiameter besar dan tinggi atau berasal dari KU
tua berupa jenis rimba.

Gambar 11. Diagram Profil pada Bagian Hulu Vegetasi Kurang Rapat tampak Atas

Gambar 12. Diagram Profil pada Bagian Hulu Vegetasi Kurang Rapat tampak Depan

Gambar 11 dan 12 mewakili gambaran stratifikasi tajuk pada tegakan yang kurang rapat
pada bagian hulu. Daerah yang kurang rapat di hulu ini merupakan tegakan yang awalnya
rapat akan tetapi telah dicuri dan mengalami pembibrikan. Pada lokasi sampel kurang rapat
ini didominasi oleh KU sedang dengan jenis rimba.

Gambar 13. Diagram Profil pada Bagian Tengah Vegetasi Rapat tampak Atas

Gambar 14. Diagram Profil pada Bagian Tengah Vegetasi Rapat tampak Depan

Pembuatan diagram profil pada gambar 13 dan 14 diatas dilakukan pada tempat dengan
tegakan rapat pada bagian sempadan sungai bagian tengah. Dari diagram profil dapat
diketahui bahwa pada bagian tengah didominasi oleh pohon jati. didominasi oleh tegakan
pada strata C dengan tinggi masing-masing diantara 4-20 meter.
Gambar 15. Diagram Profil pada Bagian Tengah Vegetasi Kurang Rapat tampak Atas

Gambar 16. Diagram Profil pada Bagian Tengah Vegetasi Kurang Rapat tampak Depan

Pada gambar 15 dan 16 menggambarkan stratifikasi pohon pada tegakan yang kurang
rapat. Daerah ini telah mengalami pembibrikan lahan sehingga hanya ditemukan sedikit
pohon.
Gambar 17. Diagram Profil pada Bagian Hilir Vegetasi Rapat tampak Atas

Gambar 18. Diagram Profil pada Bagian Hilir Vegetasi Rapat tampak Depan

Diagram profil pada gambar 17 dan 18 dibuat pada tegakan yang rapat pada daerah hilir.
Pada bagian hilir ini didominasi oleh jenis rimba. Terdapat satu strata yaitu strata C.

Gambar 19. Diagram Profil pada Bagian Hilir Vegetasi Kurang Rapat tampak Atas
Gambar 20. Diagram Profil pada Bagian Hilir Vegetasi Kurang Rapat tampak Depan

Pada bagian 19 dan 20 dibuat pada daerah yang kurang rapat. Daerah hilir didominasi KU
sedang dan hanya terdapat satu strata pohon yaitu strata C. Vegetasi penyusun berupa jenis
rimba.

A.1.2. Aspek satwa


Satwa merupakan salah satu indikator keberlangsungan ekosistem yang baik atau
buruknya suatu kawasan. Untuk mencapai ekosistem yang baik tentunya dapat dinilai dari
keanekaragaman satwa yang tinggi. Untuk pengamatan dikawasan perlindungan setempat
sempadan sungai perlu dilakukan pengamatan terhadap herpetofauna yang teritorialnya
berada pada kawasan yang dekat dengan sumber air atau keberadaan air dikawasan
tersebut. Herpetofauna merupakan hewan yang berdarah dingin dan dapat beradaptasi
didarat maupun di air.

Indeks Diversitas Herpetofauna


1.6
1.4
1.2
1 Luar
0.8 Dalam
0.6
0.4
0.2
0
Hilir Tengah Hulu
Grafik 8. ID Herprtofauna
Shannon-Wienner dalam Dianarto (2000) menyatakan bahwa Indeks
Keanekaragaman Shannon Wienner digunakan luas dalam ekologi komunitas,
karakteristiknya adalah apabila H’ = 0 maka hanya terdapat suatu jenis yang hidup dalam
satu komunitas. H’ maksimum jika kelimpahan jenis-jenis penyusun terdistribusi secara
sempurna tingkat diversitas berbanding lurus dengan kemantapan suatu komunitas.
Semakin tinggi tingkat diversitas jenis maka semakin mantap komunitas tersebut. Menurut
Lee et al, dalam Parani (2004), membagi kriteria menjadi:

1. Tinggi jika H’ > 2,0


2. Sedang jika H’ diantara 1,6 – 2,0
3. Rendah jika H’ diantara 1,0 – 1,5
4. Sangat rendah jika H’ < 1,0

Pada pengamatan kali ini didapat indeks diversitas di luar sempadan sungai memiliki nilai
0 untuk ketiga bagian yaitu bagian sulu, tengah, maupun hilir. Ini artinya hanya terdapat
suatu jenis yang hidup dalam satu komunitas. Sedangkan yang terdapat di dalam sempadan
sungai pada bagian hulu memiliki nilai sebesar 0,89 maka dapat dikatakan sangat rendah,
dan padabagian tengah maupun hilir dikategorikan rendah karena memiliki nilai berturut-
turut sebsar 1,47 dan 1,32. Jenis yang ditemukan di dalam sempadan diantaranya yaitu
kadal seresah, kadal kebun, biawak, cicak terbang, katak, dan kodok.Sedangkan di luar
sempadan hanya ditemukan jenis kadal seresah, kadal kebun, dan katak. Pada kondisi
tersebut dapat dikatakan keberadaan satwa herpetofauna didalam lebih tinggi karena dekat
dengan sumber air berada. Berikut peta persebaran herpetofauna di Sempadan Sungai
Jeruk Gulung, BH Dander.
Gambar 27. Peta Persebaran Herpetofauna di Sempadan Sungai Jeruk Gulung, BH Dander

Indeks Diversitas Burung

2.5

1.5

0.5

0
Hilir Tengah Hulu

Grafik 9. ID Burung

Pada pengamatan burung digunakan metode Point count dengan membuat petak
ukur dengan radius 50 meter untuk pengamatan. Pengamatan dilakukan selama 2 menit
untuk penenangan pada petak ukur tersebut kemudian melakukan pengamatan selama 10
menit kemudian mencatat jenis, jumlah dan mencatat waktu pada saat ditemukannya jenis
burung tersebut. Pada pengamatan juga mencatat burung baik pada saat terbang,
bertengger, dan bersuara. Kemudian mengidentifikasi jenis dengan buku Mac Kinnon List
dan apabila mendengar suara akan direkam kemudian menyamakan suara dengan rekaman
jenis burung yang telah dimiliki. Setelah mengetahui jumlah dan jenisnya kemudian
dilakukan analisis indeks diversitas untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung yang
terdapat pada KPS sempadan sungai dan mengetahui yang tertinggi baik dari segmen hilir,
tengah dan hulu. Dari hasil pengamatan didapatkan nilai indeks diversitas pada bagian hilir
dan tengah memiliki nilai berturut-turut sebesar 1,89 dan 1,67 maka dikategorikan sedang.
Untuk bagian hulu memiliki nilai sebesar 2,2 maka dikategorikan tinggi. Jenis burung yang
didapat pada saat pengamatan yaitu Cucak kutilang, Cabai Jawa, Wiwik kelabu, Sikatan
emas, Tekukur biasa, Cipoh kacat, Bubut jawa, Perenjak padi, Ceret gunung, Bondol rawa,
dan Penthet untuk segmen hilir. Kemudian pada segmen tengah jenis yang didapat yaitu
Cucak kutilang, Cabai Jawa, Wiwik kelabu, Tekukur biasa, Cipoh kacat, Perenjak padi,
Ceret gunung, dan Bondol rawa. Sedangkan untuk segmen hulu jenis yang didapat yaitu
Cucak kutilang, Cabai Jawa, Wiwik kelabu, Tekukur biasa, Cipoh kacat, Bubut jawa, Ceret
gunung, Bondol rawa, Cekak sungai, Dederuk jawa, Pipit benggala, Kacamata biasa,
Kerak kerbau, Elang ular bido, dan Takur tulungtumpuk. Satwa burung harus tetap
diperhatikan karena juga merupakan salah satu indikator lingkungan yang baik atau yang
buruk. Burung juga mempunyai peran untuk menyebarkan biji dari suatu vegetasi yang
kemudian dapat tumbuh pada kawasan atau areal yang lain dan dapat menambah jenis
keanekaragaman vegetasi. Semakin banyak keaneakaragaman burung dapat diartikan
bahwa kawasan perlindungan sempadan sungai sudah baik. Berarti dapat disimpulkan
bahwa komposisi vegetasi sudah merata.
Tabel 2. Kategori Status Konservasi Menurut IUCN

Nama
status
Lokal Ilmiah
Pycnonotus
Cucak Kutilang aurigaster Least Concern
Cabai Jawa Dicaeum trochileum Least Concern
Cacomantis
Wiwik Kelabu merulinus Least Concern
Cipoh Kacat Aegithina tiphia Least Concern
Sikatan Emas Ficedula zanthopygia Least Concern
Streptopelia
Tekukur Biasa chinensis Least Concern
Centropus
Bubut Jawa nogrorufus Vulnerable
Perenjak Padi Prinia inornata Least Concern
Ceret Gunung Cettia vulcania Least Concern
Todirhamphus
Cekakak Sungai chloris Least Concern
Bondol rawa Lonchura malacca Least Concern
Streptopelia
Dederuk Jawa bitorquata Least Concern
Penthet Lanius schach Least Concern
Pipit Benggala Amandava amandava Least Concern
Zosterops
Kacamata Biasa palpebrosus Least Concern
Kerak Kerbau Achridotheres tristis Least Concern
Elang Ular Bido Spilornis cheela Least Concern
Takur
Tulungtumpuk Megalaima javensis Near Threatened
Tabel diatas menunjukkan status konservasi jenis burung yang ditemukan di KPS
sepanjang Sungai Jeruk Gulung, Bagian Hutan Dander. Dari jenis yang didapat hampir
semuanya berstatus Least Concern (risiko rendah) artinya dinyatakan berisiko rendah
ketika dievaluasi, tidak memenuhi kriteria Kritis (Critically Endangered; EN), Genting
(Endangered; EN), Rentan (Vulnerable; VU), atau Mendekati Terancam Punah (Near
Threatened; NT), kecuali jenis Bubut jawa yang berstatus Vulnerable (rentan) artinya
ketika data-data mengindikasikan kesesuaian dengan salah satu kriteria A sampai E untuk
Rentan atau Rawan (bagian V), sehingga dianggap sedang menghadapi risiko tinggi
kepunahan di alam liar, dan jenis Takur tulungtumpuk yang berstatus Near
Threatened (hampir terancam) artinya  dinyatakan mendekati terancam punah apabila
dalam evaluasi tidak memenuhi kategori Kritis, Genting, atau Rentan pada saat ini tetapi
mendekati kualifikasi atau dinilai akan memenuhi kategori terancam punah dalam waktu
dekat. Berikut peta persebaran Aves yang terdapat di Sempadan Sungai Jeruk Gulung, BH
Dander.

Gambar 28. Peta Persebaran Herpetofauna di Sempadan Sungai Jeruk Gulung, BH Dander
Indeks Diversitas Mamalia
1
0.9
0.8
0.7
0.6 Luar
0.5 Dalam
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Hilir Tengah Hulu
Axis Title
Grafik 10. ID Mamalia

Pada hasil pengamatan mamalia baik di luar maupun di dalam sempadan memiliki
nilai indeks diversitas sebesar 0 maka hanya terdapat suatu jenis yang hidup dalam satu
komunitas. Karena pada saat pengamatan sangat jarang sekali ditemukan mamalia. Pada
saat pengamatan hanya ditemukan jejak babi dan garangan yang pergerakannya sangat
cepat. Berikut peta persebaran mamalia di Sempadan Sungai Jeruk Gulung, BH Dander.

Gambar 29. Peta Persebaran Herpetofauna di Sempadan Sungai Jeruk Gulung, BH Dander

A.1.3. Tanah dan Lahan

Berdasarkan Peta Jenis Tanah KPH Bojonegoro skala 1 : 100.000 (Biro


Perencanaan dan Pengembangan, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, 2006), jenis tanah
yang terdapat di wilayah KPH Bojonegoro adalah komplek litosol mediteran kuning dan
rensina, grumusol kelabu tua, komplek mediteran coklat kemerahan dan litosol, komplek
mediteran coklat, komplek mediteran merah, dan latosol coklat kemerahan. Berdasarkan
hasil pengamatan dengan metode selidik cepat dapat diketahui jenis tanah dikawasan
sempadan sungai Bagian Hutan Dander adalah komplek mediteran dengan warna coklat.
Penyerapannya cukup lambat karena pori pori yang sedikit terbuka serta cepat jenuh akan
air sehingga menimbulkan kubangan – kubangan air hal ini disebabkan oleh tekstur
tanahnya lempung.Tebal lapisan tanah pada sepanjang KPS sekitar 0 – 20 cm (top soil –
sub soil). Untuk ketebalan seresah berbeda-beda disetiap bagian, secara keseluruhan
ketebalah seresah rata-rata memiliki ketebalan sebesar 0,5 – 1 cm.

Pengamatan dilapangan ketebalan seresah tidak terlalu tebal dikarenakan tidak


semua lokasi terdapat pohon. Masih banyak lahan kosong yang sangat jarang ditemui
pohon, hal ini dapat menjadi faktor utama penyebab minimnya seresah. Selain itu
banyaknya alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian yang dimanfaatkan masyarakat
karena lahan kosong dan tidak adanya tindakan penanaman dari pihak pengelola. Seresah
memiliki berbagai manfaat salah satunya sebagai tempat hidup satwa khusunya kadal.
Selain itu seresah yang semakin tinggi dapat menambah variasi dari unsur hara dan dapat
berpengaruh terhadap kesuburan tanah karena seresah merupakan sumber utama bahan
organik untuk tanah tersebut. Selain sebagai bahan organik seresah dapat digunakan
sebagai pengatur kelembapan dan merupakan penghalang air hujan untuk langsung jatuh
ke atas permukaan tanah. Sehingga dengan keberadaan seresah dapat memperkecil laju
aliran permukaan dan erosi.

Seresah dapat memperkecil erosi dengan menahan air permukaan diatas atas tanah
yang membawa partikel-partikel tanah. Dengan minimnya partikel yang terbawa oleh
aliran permukaan maka dapat memperkecil laju aliran. Tanpa adanya seresah tetesan air
hujan akan langsung mengenai permukaan tanah dan air hujan yang tidak terinfiltrasi akan
menjadi aliran permukaan yang membawa partikel-partikel tanah diatas permukaan tanah.
Partikel- partikel tersebut merupakan partikel dengan kandungan unsur hara yang tinggi,
sehingga jika hal ini terus menerus terjadi maka dapat mempengaruhi kesuburan tanah
karena unsur hara habis terbawa oleh aliran permukaan.
Kemiringan lereng Bagian Hutan Dander antara 0-10 % sehingga masuk kelas A
dan B ( Datar- Landai). Wilayah KPH Bojonegoro terletak pada ketinggian 0 – 900 mdpl.
Berdasarkan peta Kelas lereng dengan Kelas kontur kemiringan serta kelerengannya
bervariasi mulai dari datar hingga curam (kemiringan 0 – 40%). Sebagian besar lahan
mempunyai kelerengan yang datar (0-8%) yaitu seluas 17.631, 8 ha (30,16%). Dengan
kelerengan yang relatif landai mengurangi kecepatan aliran permukaan yang terjadi. Pada
kelerengan yang relatif curam dapat dilakukan teknik konservasi untuk menjaga kestabilan
lahan tersebut dengan pembuatan terasering atau teknik konservasi dengan penanaman
vegetasi untuk kelerengan yang relatif landai. Vegetasi yang dapat ditanam contohnya
jambu kelmpok, putat dan gamal untuk mengembalikan unsur hara yang hilang karena
aliran permukaan.

Tabel 3. Keadaan Topografi dan Kelas Lereng di Wilayah KPH Bojonegoro

Kemiringan Kelas Luas


No. Deskripsi
Lereng Lereng Ha %

1. 0–8% A Datar 17.631,8 35,16

2. 8 – 15 % B Landai 12.980,7 25,89

3. 15 – 25 % C Agak Curam 13.586,8 27,09

4. 25 – 40 % D Curam 5.946,1 11,86

5. > 40 % E Sangat Curam - -

Jumlah 50.145,4 100,00

A.1.4. Air permukaan


Berdasarkan hasil pengamatan kualitas fisik air pada segmen hulu berwarna coklat
dan pada petak 105 ditemui air tetapi hanya sedikit karena lebar sungai yang semakin
menyempit. Pada segmen tengah berwarna keruh kecoklatan . Sedangkan untuk segmen
hilir air berwarna jernih dan terdapat sumber air pada cekungan-cekungan tertentu dan
mengalir ketika terjadi hujan. Sedangkan pada hilir sungai terdapat aliran dan berwarna
jernih karena banyak ditemui mata air.

Gambar 30. Kualitas air di hilir Gambar 31. Kualitas air di tengah Gambar 32. Kualitas air di hulu

Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi hujan maka pada sungai bagian hulu
dan tengah akan terdapat aliran yang dapat mempengaruhi kualitas fisik air dibagian hilir
yang seharusnya jernih menjadi agak keruh. Hal ini dikarenakan aliran air dari hulu dan
tengah berwarna keruh sehingga ketika aliran tercampur dengan air pada bagian hilir
menjadi keruh. Ketika pengambilan data dilapangan pada bagian tengah dan hulu
dibeberapa petak kawasan sempadan digunakan untuk lahan pertanian jagung, padi, ketela
dan kacang yang ditanami oleh masyarakat sebagian. Sebagian besar masyarakat tidak
memahami mengenai KPS sehingga masyarakat tetap menggarap lahan dikawasan
sempadan sungai yang seharusnya tidak ada aktivitas apapun. Penggarapan lahan pertanian
sangat berpengaruh terhadap kualitas air. Karena tanaman pertanian tidak dapat
menangkap air hujan yang langsung turun ke permukaan. Akibatnya terjadi aliran dari
tanah ke sunggai yang membawa tanah dan menghasilkan warna yang keruh. Air yang
jatuh ke tanah dapat memperbesar laju erosi sehingga diperlukan jenis tanaman yang
mempunyai tajuk dengan kerapatan yang rapat. Sehingga meminimalisir terjadinya erosi.
Strategoi yang dilakukan sebaiknya menyulam tanaman dengan pohon rimba pada daerah
kps sempadan sungai sehingga tidak dianjurkan pohon produksi di sempadan sungai.
Keterkaitan dengan aspek tanah dan erosi pada ketiga bagian segmen bahwa pada
segmen hilir terdapat kualitas air permukaan yang jernih karena terdapat sumber mata air
yang menjadi salah satu faktor. Pengamatan erosi dengan mengambil sampel air ke dalam
botol bahwa endapan tanah pada botol pada bagian hilir juga sangat sedikit bahkan air
masih jernih. Untuk bagian tengah terdapat warna kualitas air yang keruh dan coklat, pada
saat pengambilan data ditemui 2 warna yaitu keruh sampai coklat. Pengamatan erosi yang
mengambil sampel air dalam botol terlihat endapan pasir yang cukup banyak dibandingkan
dengan bagian hilir. Pada pengamatan dilapangan bagian tengah memang banyak terdapat
intervensi manusia atau kegiatan manusia seperti menanam tanaman pertanian yang sangat
dekat sekali dengan areal KPS. Oleh sebab itu tingkat erosi tanah tergolong sedang. Pada
bagian hilir ditemui area KPS yang semakin menyempit dan sedikit ditemukannya air pada
petak terakhir yaitu petak 105, kualitas air di petak ini juga masih tergolong jernih.
Keadaan di petak 105 masih sangat terjaga karena akses yang sulit untuk dapat masuk ke
dalam petak tersebut. Karena petak 105 sendiri adalah petak yang ditetapakan Perum
Perhutani sebagai kawasan rimba oleh sebab itu vegetasi di petak 105 masih sangat
beragam dan kerapatannya tergolong tinggi disbanding bagian segmen hilir dan tengah.
Dilihat dari segi biotis atau dari segi vegetasi bahwa pada saat pengambilan data
dilapangan menunjukkan bahwa kerapatan yang masih terjaga adalah dari petak 105
karena termasuk kedalam kawasan rimba yang ditetapkan. Jenis dari vegetasinya juga
beragam sehingga nilai INP atau Indeks Nilai Penting masih tinggi dibanding kedua
segmen yaitu hilir dan tengah. Jenis yang terdapat pada petak 105 meliputi Sonokeling,
Waru alas, Wadang dan Lapen. Pada segmen tengah didominasi dengan tanaman produksi
atau Jati. Selain itu kerapatan dari vegetasinya kurang rapat karena pada saat pengambilan
data dilapangan kondisi dari vegetasinya sangat renggang dan kurang beraaturan jarak
tanamnya. Pada segmen tengah INP terbesar yaitu pada tingkat tiang karena tingkatan
pohon jarang ditemui. Faktor penyebab INP terbesar adalah tiang karena masih banyak
tanaman Jati yang baru saja di tanam. Sehingga untuk untuk dapat menahan laju air hujan
langsung jatuh ke tanah pada tingkat tiang kurang dapat menahan karena tajuk yang belum
rapat. Pada bagian hilirjenisnya vegetasi juga beragam mulai dari jenis Luduya, Jambu
kelampok, Jati, Putat, Berasak dan Beringin. INP tertinggi pada segmen ini adalah tingkat
pohon. Hal tersebut artinya jenis pada segmen tersebut masih terjaga dan memberikan
manfaat bagi sekitarnya seperti dapat menjaga kualitas air disekitarnya. Kerapatan dari
segmen hilir juga tergolong tinggi karena keanekaragaman jenis yang masih terjaga dan
didominasi oleh tingkatan pertumbuhan pohon dengan tajuk yang menutup serta dan
menahan laju erosi dan air hujan langsung jatuh ke tanah.
Dari segi sosial bahwa gangguan yang sangat berpengaruh terhadap kualitas air
adalah adanya kegiatan atau aktivitas masyarakat dalam bercocok tanam di sekitar lahan
KPS atau lahan yang seharusnya bersih dari kegiatan masyarakat utamanya bercocok
tanam. Tetapi ketika pengambilan data dilapangan banyak ditemui masyarakat yang
bercocok tanam hingga membuka lahan disekitar KPS yang notabennya sudah terdapat
plang larangan melakukan aktivitas di sekitarann KPS. Jenis perubahan lahan mulai dari
banyak ditemui lahan jagung, kacang, dan sawah disekitaran KPS. Apabila kegiatan
masyarakat tersebut diteruskan dapat berdapat pada ekosistem disekitarnya dan
mengganggu keseimbangan proses dari sungai tersebut. Efek yang dapat terjadi adalah
nilai erosi meningkat, terjadi pelebaran badan sungai, air menjadi keruh karena tidak ada
yang dapat menahan langsung seperti tajuk karena peran pohon tergantikan oleh tanaman
pertanian.

A.1.5. Aspek Sosial


Bagian Hutan Dander masuk kawasan BKPH Pradok dan BKPH Tengger. Luasan
dari Bagian Hutan Dander 6181,6 ha. Untuk membangun hutan yang lestari tentunya harus
memperhatukan aspek dari sosial. Untuk mengethaui informasi yang lebih dalam tentunya
melakukan wawancara terhadap pihak yang langsung berinteraksi dengan kawasan hutan
secara langsung. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dapat diketahui bahwa
hampir semua masyarakat sekitar hutan sangat bergantung terhadap hutan. Kegiatan
masyarakat yang dilakukan dalam hutan seperti penggembalaan, mencari bahan kayu
bakar, dan menggarap lahan pertanian dalam kawasan hutan. Sebagian besar masyarakat
tidak memiliki perkerjaan lain selain menggarap lahan di dalam kawasan hutan. Pembagian
luasan lahan berdasarkan kesepakatan pihak pengelola dan masyarakat. masyarakat
diijinkan menggarap lahan selama 2 tahun setelah penanaman sebagai bentuk kerjasama
antara masyarakat dan pihak pengelola. Masyarakat ikut membantu menanam dengan
imbalan masyarakat dapat mengolah lahan tersebut selama 2 tahun setelah masa tanam.
Disamping itu masih terdapat masyarakat yang menggarap lahan kosong termasuk lahan
kosong di dalam kawasan sempadan sungai yang seharusnya tidak diperbolehkan adanya
kegiatan didalam kawasan sempadan sungai. Sebagian besar masyarakat kurang
mengetahui mengenai KPS dan larangan melakukan kegiatan didalam kawasan sempadan
sungai. Lembaga Masyarakat Desa Hutan yang notabennya mengatur masyarakat untuk
menggarap lahannya seharusnya berperan lebih maksimal. LMDH sudah melakukan
sosialisai terhadap masyarakat tentang pembagian lahan yang jelas tetapi juga terdapat
masyarakat yang kurang akan pembagian lahan. LMDH juga mengetahui adanya kasus
tentang pencurian kayu yang dianggap tidak dari warga setempat dan menghasilkan lahan
yang kosong dan kemudian masyarakat mengira lahan tersebut kosong kemudian
digunakan untuk ditanami lahan pertanian. Pengawetan kawasan sempadan sungai sangat
penting untuk mempertahankan fungsi sungai dan sumber air yang ada di dalam sungai
tersebut. Salah satu sungai yang dapat dimanfaatkan masyarakat adalah sungai Jeruk
Gulung atau biasa disebut dengan sungai Grogolan karena letaknya berada di Desa
Grogolan. Masyarakat sangat bergantung dengan sungai ini sebagai penyedia air bersih
yang digunakan sebagai air minum, air untuk mandi dan kebutuhan rumah tangga lainya.
Sungai yang terletak pada petak 92 terdapat mata air yang cukup banyak sehingga
digunakan sebagai PDAM yang dapat menyediakan air untuk seluruh masyarakat Desa
Grogolan, sehingga sangat penting adanya pengelolaan kawasan perlindungan setempat
untuk melindungi dan melestarikan sumber mata air tersebut. Selain sebagai penyedia air
bersih sungai Grogolan juga dapat digunakan sebagai wisata yang dapat menambah
pendapatan masyarakat sekitar. Namun pada kenyataanya pengelolaan wisata tersebut
kurang dimaksimalkan sehingga kurang menarik perhatian masyarakat.
A.1.6. Wisata Alam

Pariwisata merupakan salah satu faktor penting dalam perekonomian negara.


Bahkan dibeberapa negara, pariwisata dijadikan sumber devisa utama. Sektor pariwisata
yang notabene selalu berkaitan dan bersifat simbiosis mutualisme dengan sektor lain tentu
menjadikan pariwisata sebagai faktor penting bagi pembangunan negara. Sektor pariwisata
juga berdampak terhadap ketersediaan lapangan kerja yang ikut bertambah pula
(Darsiharjo, 2016).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terdapat wisata alam yang terdapat di
bagian hutan Dander yaitu salah satunya adalah wisata Tubing yang terdapat di hilir sungai
di petak 92. Wisata Tubing merupakan wisata yang memanfaatkan arus air dari sungai
dengan menggunakan ban bekas sehingga orang yang naik di ban bekas tersebut dapat
mengambang di arus sungai. Berdasarkan informasi yang ada wisata tubing tersebut sudah
ada pokdarwis yang beranggotakan anggota karang taruna dari desa Ngunut.

Wisata tubing berada di Dusun Grogolan, Desa Ngunut, Kecamatan Dander,


Kabupaten Bojonegoro. Jalan menuju wisata tubing cukup mudah di akses. Dari kota
Bojonegoro menuju wisata tubing dapat ditempuh sekitar 30 menit perjalanan dengan
sepeda motor. Arah jalan menuju wisata tubing satu arah dengan wisata kayangan api
namun ketika menemui Masjid di desa ngunut belok kekiri. Jalan menuju wisata tersebut
terbilang sudah cukup baik karena jalannya sudah diaspal hanya saja jalan desanya tidak
terlalu bagus.
Akomodasi merupakan hal yang penting dalam pembuatan sebuah wisata alam.
Ketersediaan akomodasi seperti penginapan dapat meningkatkan harga jual dari objek
wisata tersebut. Di wisata tubing belum ada tempat penginapan bagi para pengunjung.
Pengunjung hanya datang menikmati wisata yang ada disana setelah itu pulang karena
memang rata-rata pengunjung merupakan warga lokal. Adanya penginapan disana dapat
menambah penghasilan warga dari desa Ngunut karena terdapatnya juga objek wisata
Kayangan Api yang indah dilihat saat malam hari yang dekat dengan desa tersebut.
Pengolahan wisata Tubing belum maksimal , terlihat dari sarana dan prasarana
yang belum memadai. Sarana prasarana minimal yang ada dalam sebuah objek wisata
adalah seperti lahan parkir dan toilet Publikasi yang sangat kurang membuat wisata ini
sepi pengunjung bahkan tidak terdapat pengunjung di hari-hari biasa.Hal ini membuat
pihak pengelola juga kurang punya semangat dalam peningkatan wisata mutu ini.
Padahal keadaan air sungai yang dapat mengalir sepanjang tahun dapat menjadi
faktor pendukung dalam wisata ini. Air sungai yang mengalir tersebut berasal dari sumber
mata air yang terdapat di dekat objek wisata tubing.Keadaan sekitar sungai yang di
dominasi oleh pohon rimba yang tinggi dan besar membuat tempat ini menjadi teduh
sehingga ketika terdapat pengunjung mereka tidak merasa kepanasan bahkan dapat duduk
santai menikmati gemercik air sungai serta dapat sekedar merendam kaki di sungai. Akses
jalan untuk menuju wisata tubing ini juga cukup mudah karena keadaan jalan yang sudah
diaspal, namun kurang petunjuk arah untuk menuju wisata tubing.
Saat ini banyak wisatawan yang lebih mempunyai keinginan berwisata di tempat
wisata minat khusus. Wisata minat khusus merupakan kegiatan wisata yang memiliki fokus
kegiatan yang lebih spesifik.Wisata minat khusus menawarkan sesuatu yang lebih dari
biasanya, suatu pengalaman yang baru dan unik. Wisata tubing menawarkan selain sebuah
permainan wisata sehingga membuat pengunjung bukan hanya duduk – duduk menikmati
pemandangan namun membuat pengunjung melakukan petualangan yaitu menyusuri
sungai . Faktor pendukung dari wisata ini adalah salah satunya keadaan pinggiran sungai
yang bagus dan mempunyai pemandangan yang indah.
Perlu adanya keseriusan dari pengelola agar wisata Tubing mempunyai nilai jual
yang tinggi serta membuat pengunjung tertarik agar berkunjung. Adanya situs budaya
sumber Grogolan yang kental akan budaya dapat juga menjadi dayatarik wisata Tubing
tersebut.

A.2. Kawasan Perlindungan Khusus


Di KPH Bojonegoro terdapat kawasan perlindungan yang memiliki aspek
lingkungan yang berfungsi sebagai fungsi hidrologi (tata air dan pencegah erosi) dan
fungsi biologi (biodiversity). Didalam pengelolaan kawasan perlindungan dibagi menjadi 2
yaitu kawasan perlindungan setempat dan kawasan perlindungan khusus. Di KPH
Bojonegoro memiliki kawasan perlindungan khusus yaitu hutan lindung bagian hutan
Deling, Ngorogunung, Temayang dan Cerme dengan luas 1.051,4 ha, hutan alam sekunder
(HAS) dengan luas 3.453,2 ha, hutan wisata dengan luas 19,1 ha. Sedangkan untuk
kawasan perlindungan khusus yang berupa situs budaya di KPH Bojonegoro terdapat 59
situs budaya seluas 33,05 ha. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di KPH
Bojonegoro khususnya bagian hutan dander terdapat pengelolaan kawasan perlindungan
diantaranya sempadan sungai sebagai kawasan perlindungan setempat dan untuk kawasan
perlindungan khusus terdapat sumberan grogolan dan sendang pradok yang merupakan
situs budaya.

Kegiatan pengamatan kawasan perlindungan khusus di bagian hutan Dander


ditemukan situs budaya berupa sumberan Grogolan yang berada pada petak 92 RPH
Grogolan BKPH Pradok dan Sendang Pradok yang berada di petak 166B di RPH Pradok
BKPH Pradok.Sumber Grogolan memiliki legenda yang sampai saat ini masih dapat dilihat
yaitu situs pertapaan Eyang Citro Suto, Pangeran Joko Slining dan Roro Kembang.Situs
pertapaan Eyang Citro Suto berada disebelah tenggara sendang Grorolan.Joko Slining
berada di sebelah baratSendang Grogolan dan Roro Kembang Sore berada di sebelah barat
laut sendang Grogolan. Tempat – tempat tersebut masih digunakan untuk acara nyadran
atau bersih desa untuk bersedekah bumi bersama warga masyarakat sebagai bentuk rasa
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena pengikut Eyang Citro Suto semakin banyak
yang tiap tahun semakin banyak dan setiap perkataan selalu didengar dan selalu dituruti
lanut sehingga tempat disekitar diberi nama Ngunut.
Situs budaya selanjutnya adalah Sendang Pradok.Sendang Pradok merupakan cikal
bakal Dusun Pradok yang diyakini Sendang itu dulu sebagai tempat pandai besi. Pandai
besi alias empu yang aktivitasnya membuat berbagai bentuk senjata tajam seperti keris,
pedang dan tombak lainnya. Jadi nenek moyang warga Pradok adalah seorang pembuat
pusaka atau yang biasa disebut empu.Setiap tahun, sendang Pradok masih dilakukan
perayaan sedekah bumi atau biasa disebut manganan.Saat kegiatan itu ada acara selamatan
dan memberikan sesaji kepada arwah nenek moyang Dusun Pradok.Berdasarkan informasi
dan warga Pradok sendiri menyatakan bahwa sumber air sendang Pradok itu diserbu oleh
warga sekitar untuk mengambil air.Bahkan banyak orang yang mengambil dengan
menggunakan truk. Bagi wanita yang sedang haid tidak diperbolehkan masuk ke halaman
sendang apalagi mengambil air karena jika mengambil air maka bias sakit dan tidak bias
disembuhkan. Konon sedang Pradok di huni oleh dua orang tua yang tugasnya menjaga
kelestarian Sendang Pradok.
Dari hasil pengamatan dan informasi yang didapat sebenarnya masyarakat takut
dan sangat menjaga kebersihan serta kelestarian sendang. Permasalahan yang ada
sebenarnya masyarakat masih percaya akan hal mistis yang sangat kental dikalangan
masyarakat sekitar. Sehingga mempengaruhi kedatangan para warga yang ingin
berkunjung ke Sendang Pradok. Salah satu upaya menjaga kelestarian adalah hal – hal
mistik karena apabila orang yang ingin melakukan hal yang tidak sesuai maka akan
berfikir ulang dan bahkan mengubah mindset untuk orang agar tidak melanggar aturan
yang ada.

B. Pengelolaan Kawasan Produksi


Kegiatan pengelolaan hutan di KPH Bojonegoro terdiri dari 14 elemen kegiatan
yaitu penataan hutan, persiapan tanaman, persemaian, pelaksanaan penanaman,
pemeliharaan tanaman, perlindungan dan pengamanan hutan, teresan, pembuatan dan
pemeliharaan sarana jalan, pemungutan/pemanenan hasil hutan, pengangkutan hasil hutan,
pemasaran hasil hutan, penelitian dan pengembangan, pengelolaan tenaga kerja, kemitraan
dan pemberdayaan masyarakat, serta kerjasama pengelolaan hutan rakyat. Selain
melakukan elemen kerja tersebut didalamnya tentunya terdapat permasalahan yang
dihadapi oleh pengelola.

Berdasarkan pengamatan dilapangan dan wawancara yang dilakukan dapat


ditemukan beberapa permasalahan yang dihadapi yaitu penurunan target produksi setiap
tahun, pencurian kayu masih marak terjadi, dan beberapa masyarakat yang menggunakan
lahan hutan sebagai lahan pertanian. Kondisi kawasan produksi di Bagian Hutan Dander
masih dapat dikatakan baik karena masih banyak pohon jati dan terget tebangan yang
masih cukup tinggi. Namun dibeberapa kawasan terjadi pencurian kayu sehingga
menyebabkan lahan menjadi kosong dan kemudian dimanfaatkan masyarakat untuk
bertani. Pihak pengelola telah melakukan pengamanan dengan patroli dikawasan hutan
untuk meminimalkan terjadinya pencurian kayu. Namun luasnya kawasan hutan dan
minimnya tenaga polhut menjadi celah untuk para pencuri kayu. Pencurian kayu
merupakan masalah terbesar yang dihadapi oleh pihak pengelola produksi karena sangat
mempengaruhi target tebangan. Selain itu masih banyaknya lahan kosong yang ditemui
dilapangan juga dapat mempengaruhi target produksi karena lahan kosong tersebut
seharusnya dapat ditanami kembali sehingga dapat menambah target tebangan. Namun
hingga saat ini masih banyak lahan kosong yang tidak dilakukan penanaman kembali.

Alternatif solusi yang dapat diberikan salah satunya adalah penambahan jam patroli
dan mengutamakan pada daerah- daerah yang rawan terjadi pencurian kayu biasanya pada
daerah yang jauh dari jalan dan jauh dari pengawasan polhut. Berdasarkan hasil
wawancara dahulu polhut bekerjasama dengan polisi sehingga pencurian kayu dapat dicari
walaupun sudah keluar dari kawasan hutan, sehingga hal ini memberikan efek jera pada
pencuri kayu dan akan memberikan rasa takut untuk mencuri kayu. Namun saat ini
kerjasama sudah tidak dilakukan sehingga pencuri kayu hanya bisa ditangkap ketika masih
didalam hutan. Akibatnya meskipun mengetahui pelaku namun pelaku sudah keluar dari
kawasan hutan polhut tidak dapat menghukum pencuri tersebut. Hal ini memberi peluang
besar untuk para pencuri kayu tetap melakukan pencurian karena hukuman yang tidak
memberikan efek jera. Sebaiknya kerjasama dengan polisi tetap dilakukan sehingga dapat
memberikan efek jera untuk para pencuri kayu.

C. Monitoring dan Evaluasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) atau


High Conservation Value Forest (HCVF)

Dalam menentukan apakah suatu unit manajemen hutan memiliki hutan yang
mempunyai nilai High Conservation Value Forest (HCVF) adalah dengan menggunakan
prinsip sembilan (9) FSC beserta kriterianya Selanjutnya FSC mendefinisikan ada tidaknya
atribut HCVF dalam suatu wilayah unit manajemen dengan mengacu pada keberadaan satu
atau lebih sifat-sifat yaitu Keanekaragaman Hayati, Jasa Lingkungan, Sosial dan Budaya
yang dituangkan dalan Proforest Toolkit . Dalam upaya untuk mengatasi kesulitan dalam
identifikasi, pengelolaan dan pemantauan HCVF di Indonesia maka dikembangan Panduan
Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia oleh Konsorsium Revisi
HCV Toolkit Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2008. Dalam panduan ini istilah High
Conservation Value Forest (HCVF) disebut sebagai Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi
(KBKT) dan istilah High Conservation Value (HCV) disebut dengan Nilai Konservasi
Timggi (NKT). Secara prinsip parameter yang digunakan untuk mengidentivikasi HCVF
Indonesia toolkit sama dengan Proforest toolkit, namun ada beberapa kriteria yang
berbeda.
Dari hasil identifikasi yang telah dilakukan, dalam kawasan hutan KPH Bojonegoro
teridentifikasi KBKT sebagai berikut :

Tabel 4. Hasil Identifikasi KBKT KPH Bojonegoro

NKT 1 (HCV1). Kawasan yang Mempunyai Tingkat


Keanekaragaman Hayati yang Penting

 NKT 1.1 Kawasan yang ADA


Mempunyai atau Memberikan
- Hutan Lindung bagian hutan Deling,
Fungsi Pendukung
Ngorogunung, Temayang dan Cerme :
Keanekaragaman Hayati Bagi
1.051,4 ha
Kawasan Lindung dan/atau
- Hutan Alam Sekunder (HAS) : 3.453,2
Konservasi.
ha
- Hutan Wisata : 19,1 ha

 NKT 1.2 Spesies Hampir Tidak Ada


Punah

 NKT 1.3 Kawasan yang


Merupakan Habitat bagi
ADA
Populasi Spesies yang
Terancam, Penyebaran Mamalia: Kijang (Muntiacus muntjak)

Terbatas atau Dilindungi yang Aves : Merak (Pavo muticus)


Mampu Bertahan Hidup
Reptil: Ullar Phyton (Phyton retuculatus)
(Viable Population)

 NKT 1.4 Kawasan yang


Merupakan Habitat bagi
Spesies atau Sekumpulan ADA:
Spesies yang Digunakan
- Goa Watu Telo
Secara Temporer
- Goa Lanang
- Goa Lowo
- Goa Gondel

NKT 2 Kawasan Bentang Alam yang Penting Bagi Dinamika Ekologi Secara
Alami

 NKT 2.1 Kawasan Bentang Tidak Ada


Alam Luas yang Memiliki
Kapasitas untuk Menjaga
Proses dan Dinamika Ekologi.

 NKT 2.2 Kawasan Lansekap Tidak Ada


yang Berisi Dua atau Lebih
Ekosistem dengan Garis Batas
yang Tidak Terputus
(berkesinambungan).

 NKT 2.3 Kawasan yang


Mengandung Populasi dari
ADA:
Perwakilan Spesies Alami
Mamalia: Kijang (Muntiacus muntjak)

Aves : Merak (Pavo muticus)

Reptil: Ullar Phyton (Phyton retuculatus)

NKT 3 Kawasan yang Mempunyai Ekosistem Langka atau Terancam Punah


Apakah dalam areal KPH Tidak ada
terdapat kawasan dengan
ekosistem yang terancam
punah di dalamnya?

B. JASA LINGKUNGAN

NKT 4 Kawasan Yang Menyediakan Jasa-jasa Lingkungan Alami

 NKT 4.1 Kawasan atau


Ekosistem yang Penting
ADA: KPS
Sebagai Penyedia Air dan
Pengendalian Banjir bagi - KPS Sungai : 472 petak/anak petak

Masyarakat Hilir. (1.947,1 ha)


- KPS Mata Air : 35 petak/anak petak
.
(58,4 ha)
- KPS Waduk : 12 petak/anak petak
(163,5 ha)
-

 NKT 4.2 Kawasan yang


Penting Bagi Pengendalian
ADA:
Erosi dan Sedimentasi
- KPS
- Hutan Lindung

 NKT 4.3 Kawasan yang


Berfungsi Sebagai Sekat Alam
untuk Mencegah Meluasnya ADA:
Kebakaran Hutan atau Lahan.
Hutan Lindung

C. NILAI SPSIAL DAN BUDAYA

NKT 5 Kawasan yang Mempunyai Fungsi Penting untuk Pemenuhan


Kebutuhan Dasar Masyarakat Lokal

Apakah dalam areal KPH Ada :


terdapat kawasan yang
- lokasi mata air
berfungsi sebagai sumber
- situs ekologi
penghidupan bagi masyarakat
- system tanam
lokal, baik untuk memenuhi
- perencekan
kebutuhan secara langsung
- penggembalaan
Gambar 1. Pemenuhan Hijauan Makan Ternak
(subsisten/dikonsumsi sendiri)
maupun secara tidak langsung
(komersial)?

NKT 6 Kawasan yang Mempunyai Fungsi Penting Untuk Identitas Budaya


Tradisional Komunitas Lokal

Apakah dalam areal KPH ADA : 59 situs budaya


terdapat kawasan yang
Luas 33,05 ha
berfungsi sebagai identitas
budaya tradisional masyarakat
lokal?

Gambar 2. Makam Syech Jupri


Pemecahan masalah yang pernah dilakukan :
 sosialisasi kepada masyarakat sekitar hutan sebagai wujud penguatan kelembagaan,
sosialisasi larangan kegiatan yang dilakukan masyarakat di lokasi habitat tersebut.
 dilakukan kegiatan patroli dilaksanakan petugas Perum Perhutani selama 365 hari,
ini dilakukan bergilir di semua petak. Pada lokasi habitat merak, kijang, ular phyton
dan pule pandak telah pula dipasang papan informasi dan papan larangan.
 Dengan kegiatan yang telah dilakukan, diharapkan akan menurunkan tingkat
gangguan terhadap target konservasi merak, kijang, ular phyton dan pule pandak
yang pada akhirnya akan menjaga atau meningkatkan tahaf hidup (viabilitas) dari
target koservasi merak, kijang, ular phyton dan pule pandak
 pembuatan papan informasi dan papan larangan yang ditempatkan pada lokasi
strategis sehingga mudah dibaca dan diketahui oleh masyarakat.
 Kegiatan rutin juga telah dilaksanakan berupa pengamanan dengan patroli rutin
untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan gangguan yang ada. Kegiatan
pengamanan ini dilakukan sepanjang tahun (365 hari dalam setahun)

D. Pelaksanaan Kegiatan Pemantauan dan Kelola Lingkungan

Pelaksanaan pengelolaan lingkungan adalah bentuk implementasi dari Rencana


Pengelolaan Lingkungan (RKL) yaitu langkah atau usaha yang dilakukan untuk mengelola
dampak negatif dan mengembangkan dampak positif yang telah diperkirakan akibat suatu
kegiatan pengelolaan hutan.

E. Tanah
1. Peningkatan Laju Erosi Tanah
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni 2013, satu bulan sekali
Lokasi Pemantauan : pada lokasi SPL Erosi
Alat dan Bahan
Bak Erosi, Timbangan, Gelas Ukur, Ember, Botol Aqua, Kertas
saring, Oven, penggaris, tallysheet
Metode Pemantauan
Metode Bak sesuai SOP No. RDB/SOP/Ling-23 tentang
Pemantauan Erosi
Hasil Pemantauan
Pengamatan dan pemantauan terhadap aspek lahan dilihat dari laju
erosi. Perubahan tataguna lahan dan praktek pengelolaan DAS akan
mempengaruhi terjadinya erosi, sedimentasi, dan pada gilirannya
akan mempengaruhi kualitas air.
Faktor penyebab erosi adalah iklim (terutama intensitas hujan),
topografi, karakteristik tanah, vegetasi penutup tanah dan tataguna
lahan, sehingga SPL erosi yang ada di KPH Bojonegoro ditetapkan
mewakili faktor penyebab erosi tersebut.
Berdasarkan pemantauan bulan Januari s/d Juni Tahun 2013
menunjukkan bahwa ke-7 SPL masih dibawah baku mutu (IE<1).
Akan tetapi nilai erosi tertinggi terjadi pada spl 06 sebesar 0,0680
ton/ha/thn. Sedangkan nilai erosi terendah pada spl 08 sebesar
0,0384 ton/ha/thn.
2. Kualitas KPS (Kawasan Perlindungan Setempat)
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Satu tahun sekali
Lokasi Pemantauan : Lokasi KPS di Seluruh KPH Bojonegoro
Alat dan Bahan
Tally sheet, meteran
Metode Pemantauan
Sesuai SOP No. RDB/SOP/Ling-20 tentang Pengelolaan KPS
Hasil Pemantauan

 Kegiatan monev KPS belum dilakukan di rencanakan pada


semeter II tahun 2013.

3. Perubahan Tingkat Kesuburan Tanah


Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : bulan Januari – Juli, enam bulan sekali
Lokasi Pemantauan : SPL kesuburan tanah
Alat dan Bahan
Cetok, Plastik, Kertas Label
Metode Pemantauan
Analisa laboratorium
Hasil Pemantauan
Pada semester I tahun 2013 uji kesuburan tanah belum di
laksanakan di rencanakan pada semester II tahun 2013
F. Air
1. Peningkatan Fluktuasi Debit, Laju Sedimentasi dan Padatan
Tersuspensi
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni, satu bulan sekali
Lokasi Pemantauan : SPL Debit – Sedimentasi
Alat dan Bahan
Meteran, bola pingpong, botol aqua, stop watch, pH meter, kertas
saring, oven listrik.
Metode Pemantauan
Sesuai SOP No. RDB/SOP/Ling-07 tentang Pengukuran Debit dan
Kualitas Air
a. Pengukuran Debit Aliran Sungai
b. Pengukuran Sedimentasi / Padatan Terlarut
Hasil Pemantauan
Pemantauan fisik air meliputi peningkatan fluktuasi debit, padatan
tersuspensi dan laju sedimentasi bertujuan untuk mengetahui data
kualitas, kuantitas dan fungsi tata air serta mengetahui daya
tampung beban pencemaran air.
Debit sungai adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang
melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu.
Pengukuran debit sungai dilakukan untuk mengetahui perilaku
debit sebagairespon adanya perubahan karakteristik biogeofisik
yang berlangsung dalam suatu DAS (oleh adanya kegiatan
pengelolaan DAS) dan/atau adanya perubahan iklim lokal
(fluktuasi musiman atau tahunan).
2. Intensitas Hujan
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni, satu bulan sekali
Lokasi Pemantauan : SPL Curah Hujan
Alat dan Bahan
Ombrometer, Gelas Ukur, Tallysheet
Metode Pemantauan
Sesuai SOP No. RDB/SOP/Ling-06 tentang Pengukuran Curah
Hujan
Hasil Pemantauan
Berdasarkan hasil monitoring/pemantauan curah di 25 lokasi SPL
tahun 2013 didapatkanbahwa kejadian hujan tahun 2013 tergolong
tinggi.

3. Penurunan Kualitas Kimia Air


Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantuan : Belum di lakukan pada semester I
4. Penggunaan B3
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni, satu bulan sekali
Lokasi Pemantauan : Seluruh Kawasan Pengelolaan Hutan
Alat dan Bahan
Tally sheet
Metode Pemantauan
Sesuai SOP No. RDB/SOP/Ling-12 tentang Pengelolaan B3
Hasil Pemantauan

Evaluasi pemantauan penggunaan B3/bahan kimia dilakukan di


wilayah KPH Bojonegoro meliputi areal persemaian dan lokasi
tanaman, pemantauan ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis
bahan kimia apa saja yang boleh digunakan maupun yang dilarang
berdasarkan Undang-undang dan Prinsip FSC Dari hasil
pemantauan selama tahun 2013 teridentifikasi 10 Jenis bahan kimia
yang digunakan di wilayah KPH Bojonegoro semua jenis bahan
kimia tersebut masuk kategori boleh digunakan. Jenis penggunaan
B3 terbanyak yaitu jenis Urea dimana satu semester sebesar 19.211
kg dengan luas penggunaan 65,3 ha.

5. Keberadaan KBKT
Pada tahun 2013 semester I belum di laksanakan pemantaun
keberadaan KBKT kegiatan baru di laksanakan pada bulan Agustus
bulan depan tahun 2013.
G. Pemantauan Lingkungan Biologi
1. Vegetasi
Pemantauan lingkungan meliputi pemantauan terhadap perubahan Struktur
dan Keanekaragaman Vegetasi.
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Satu tahun sekali
Lokasi Pemantauan : 77 transek biodiversity
Alat dan Bahan
Tambang, phiband, hagameter, tallysheet, binokuler dll
Metode Pemantauan
Sesuai SOP No. RDB/SOP/Ling-02 tentang Monitoring dan Evaluasi
Biodiversity
a. Kawasan Lindung
C D

10 m B
A Arah lintasan pengamatan
A
B
10 m

C D
20 m
500 m

Gambar 33. Metode transek kawasan lindung


 Metode pengamatan yang digunakan adalah metode garis berpetak
:
Petak berukuran 2 x 2 m² : semai (A) (25 plot)
Petak berukuran 5 x 5 m² : pancang (B) (25 plot)
Petak berukuran 10 x 10 m² : tiang (C) (25 plot)
Petak berukuran 20 x 20 m² : pohon (D) (25 plot)
 Untuk tumbuhan bawah
Petak ukuran 1 x 1 m² sepanjang 100m (ada 11 petak)

 Catat jenis tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang dan pohon di


setiap petak pemantauan sesuai blangko pemantauan.
 Keterangan :
 Tumbuhan bawah : tumbuhan tidak berkayu yang pada saat
dewasa tingginya < 4m
 Semai : anakan pohon yang mempunyai tinggi < 1,5m
 Pancang : anakan pohon dengan ketinggian > 1,5 m dan
diameter < 10 cm
 Tiang : tanaman berkayu dengan tinggi > 1,5 m dan diameter
10-19 cm
 Pohon : tanaman berkayu dengan > 1,5 m dan diameter ≥ 20
cm
2. Kawasan Produksi
 Metode yang diganalan dalam pengambilan data semai, pancang,
tiang dan pohon adalah metode lingkaran (R= 17,8 m) panjang
transek 500m (6 plot)
 Untuk tumbuhan bawah = di lokasi kawasan lindung (petak
ukuran 1 x 1 m)
 Blangko pemantauan vegetasi kawasan produksi sama seperti
blangko pada kawasan lindung.

Hasil Pemantauan
Kegiatan monitoring survai biodiversity baru tahap pelaksanaan di
lapangan sehingga belum mendapatkan hasil keragaman maupun
kelimpahan jenis flora dan faunanya, dan nanti bisa terangkum daalam
laporan semester II tahun 2013.

3. Satwa
Pemantauan lingkungan meliputi pemantauan terhadap Perubahan Struktur
dan Keanekaragaman Jenis Satwa
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Desember, satu bulan sekali untuk
pemantauan persebaran dan jumlah jenis satwa serta satu tahun sekali
untuk pemantauan keanekaragaman dan populasi satwa.
Lokasi Pemantauan : Seluruh kawasan hutan dan 77 transek biodiversity
Alat dan Bahan
Binokuler, tallysheet, meteran, kompas
Metode Pemantauan
Pengamatan langsung, informasi dari masyarakat dan monev biodiversity
(Sesuai SOP No. RDB/SOP/Ling-02 tentang Monitoring dan Evaluasi
Biodiversity)
a. Mamalia
Gambar. Desain transek garis pengamatan mamalia besar; d =
jarak, tegak lurus antar posisi satwa dengan lintasan pengamatan
(d=r.Sinθ), r=jarak antaratwa liar dengan pengamat, θ=sudut antar
posisi atwa dengan lintasan pengamatan, O=posisi pengamat dan
S=posisi satwa.

b. Aves (burung)
 Metode pemantauan aves (burung) yang digunakan adalah
kombinasi transek garis dengan variable circular plot (VCP).
Jarak antar titik pusat plot yang satu dengan lainnya adalah
100m sedangkan panjang setiap transek adalah 500m (6 plot)
c. Herpetofauna (Reptil dan Amphibi)
 Pengamatan jenis reptil dan amphibi dilakukan dengan
menggunakan metode penghitungan secara visual (Visual
Encounter Survey = VES).
 Transek pengamatan sepanjang 500m lebar 20m.
 Dilakukan pada malam hari (pukul 19:00 – 23:00)
 Pengamatan dilakukan 2x ulangan setiap jalurnya.
 Untuk jenis katak yang ditemukan, masukkkan dalam kantong
plastik untuk dilakukan identifikasi jenis berdasar buku
panduan.
 Catat reptil/amphibi yang ditemui disepanjang transek /jalur
pengamatan sesuai blangko.
Hasil Pemantauan
Dari hasil pemantauan bulanan satwa liar tahun 2013 di KPH Bojonegoro
ditemukan 66 jenis satwa liar, terdiri dari 46 jenis aves, 11 jenis mamalia
dan 9 jenis herpetofauna. Dari 66 jenis satwa liar yang ditemukan tersebut
teridentifikasi 21 satwa liar dilindungi yang terdiri dari 13 jenis aves, 6
jenis mamalia dan 2 jenis herpetofauna.
4. Fungsi Perikanan
Pemantauan lingkungan terhadap fungsi perikanan dilakukan untuk
mengetahui perubahan struktur ancaman kegiatan perikanan terhadap
fungsi perikanan.
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni, satu bulan sekali untuk
pemantauan kegiatan perikanan dan satu tahun sekali untuk pemantauan
tingkat ancaman kegiatan perikanan.
Lokasi Pemantauan : 55 lokasi perikanan
Alat dan Bahan
Tallysheet, alat tulis
Metode Pemantauan
Pemantauan langsung di lokasi perikanan dan wawancara dengan pencari
ikan.
Hasil Pemantauan
Berdasarkan hasil monitoring pada lokasi perikanan tahun 2013 sudah
tidak lagi menggunakan alat yang membahayakan lokasi perikanan,
adapun kegiatan yang masih berjalan yaitu dengan alat pancing maupun
teraping.
H. Keberadaan KBKT (NKT 1. CA Bekutuk,HAS Bekutuk,
NKT 2.3. Spesies Interest, dan NKT 3 Ekosistem RTE)
Pada tahun 2013 pemantauan terhadap keberadaan KBKT baru di
laksanakan pada bualan agustus yang mana nanti terangkum dlm laporan
semester II tahun 2013.

I. Pemantauan Lingkungan Sosial


1. Keberadaan KBKT (NKT 5 dan NKT 6)
Keberadaan kawasan yang digunakan sebagai lokasi tumpang sari,
Hijauan makanan ternak dan rencek tahun 2013 masih terpelihara. Luas
TPS pada tahun 2012 sebesar 202,5 ha meningkat (lebih luas) dibanding
tahun 2013 seluas 201,5 ha. Hal ini menunjukkan bahwa KPH
Bojonegoro masih tetap memelihara keberadaan NKT 5 (rencek,
tumpangsari dan HMT). Sama halnya dengan NKT 6 (situs budaya),
keberadaan situs budaya masih tetap terjaga. Hal ini ditunjukkan masih
adanya kunjungan masyarakat ke situs-situs untuk melakukan ritual.
Hasil Monev KBKT untuk NKT 5 dan 6 secara lengkap tertuang pada
dokumen Laporan Monev KBKT Tahun 2012.

2. Ketenagakerjaan
Pemantauan indikator ketenagakerjaan dilakukan untuk mengetahui
peningkatan kesempatan kerja terhadap adanya kegiatan pengelolaan
hutan serta terjaminnya kesehatan dan keselamatan kerja.
1. Peningkatan Kesempatan Kerja
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – juni, enam bulan sekali sekali
Lokasi Pemantauan : 34 desa hutan dan pada setiap bidang kegiatan
pengelolaan hutan
Alat dan Bahan
Kuesioner, alat tulis, komputer, data monografi desa, penyerapan tenaga
kerja, peningkatan status dan pelatihan/job training
Metode Pemantauan
Wawancara dan analisa data kuantitatif
Hasil Pemantauan
Pemantauan terhadap peningkatan kesempatan kerja meliputi
pemberian kesempatan kerja, dan pelatihan/job training.
Pemantauan terhadap sumber dampak pemberian kesempatan kerja
kepada MDH dilakukan untuk mengetahui keterlibatan MDH dalam
pengelolaan hutan, keterlibatan peran wanita dalam pengelolaan hutan
dan mengetahui besarnya upah yang diterima pekerja hutan.
Pada tahun 2013 terjadi penyerapan tenaga kerja akibat kegiatan
pengelolaan hutan
Pemantauan terhadap sumber dampak kegiatan pelatihan/job training
dilakukan untuk mengetahui peningkatan tenaga kerja trampil.

2. Terjaminnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni, enam bulan sekali
Lokasi Pemantauan : Seluruh lokasi kegiatan pengelolaan hutan
Alat dan Bahan
Kuesioner, data SDM
Metode Pemantauan
Wawancara dan analisa data kuantitatif, sesuai SOP NO.
RDB/SOP/Sos-37 tentang Inspeksi Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
SOP NO. RDB/SOP/K3-24 tentang Pelaporan dan Investigasi
Kecelakaan Kerja
Kegiatan inspeksi dilakukan dengan merujuk pada Surat Keputusan
Administratur/KKPH Bojonegoro No. 174/Kpts/Rdb/I/2011 tanggal 21
September 2011 tentang pelaksanaan Tim Inspeksi K3 di wilayah KPH
Bojonegoro.

Hasil Pemantauan
Pekerja di KPH Bojonegoro mendapat jaminan kesehatan dan
keselamatan dari perusahaan berupa keikutsertaan dalam jamsostek,
melakukan investigasi apabila terjadi kecelakaan kerja dan inspeksi
terhadap kepatuhan penggunaan APD pada setiap kegiatan pengelolaan.
Sampai dengan bulan juni tahun 2013 pekerja yang terdaftar sebagai
peserta Jamsostek sebanyak 569 orang.
Selama semester I tahun 2013 tidak dilakukan investigasi K3 karena
tidak terjadi kecelakaan kerja dalam kegiatan pengelolaan hutan KPH
Bojonegoro.
Untuk inspeksi K3 s/d bulan Juni 2013 dilaksanakan di kegiatan yang
beresiko tinggi (kegiatan tebangan). Sesuai hasil inspeksi K3 tahun
2013 terkait dengan penggunaan APD dalam kegiatan tebangan
diketahui hampir sebagian besar pekerja patuh terhadap aturan
penggunaan APD dalam kegiatannya.

3. Perekonomian Desa
Pemantauan perekonomian desa dilakukan untuk mengetahui
peningkatan pendapatan masyarakat desa hutan akibat adanya kegiatan
pengelolaan hutan.
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Juli – Desember , enam bulan sekali
Lokasi Pemantauan : 10 Desa hutan
Alat dan Bahan
Kuesioner, data PHBM, data monografi desa
Metode Pemantauan
Wawancara dan analisa data kuantitatif
Hasil Pemantauan
Perum Perhutani KPH Bojonegoro pada tahun 2013 rencana akan
memberikan dana PKBL( Program Kemitraan dan Bina Lingkungan)
sebesar Rp 175.000.000,- yang akan digunakan untuk masyarakat desa
hutan. Sharing produksi kayu tahun 2012 di gunakan pada tahun 2013
sejumlah 24 LMDH sebesar Rp 1.801.691.440,-( satu miliar delapan
ratus satu juta enam ratus sembilan puluh satu ribu empat ratus empat
puluh rupiah). Peningkatan perekonomian desa akibat kegiatan
pengelolaan hutan terkait dengan pemberian dana sharing kepada
masyarakat, pemberian akses terhadap SDH seperti tumpangsari, PLDT,
pemanfaatan HHNK dan pemberian bantuan PKBL, peningkatan
kapasitas LMDH serta penyerapan tenaga kerja untuk kegiatan
pengelolaan SDH.
Tahun 2013 Perhutani KPH Bojonegoro telah memberikan akses kepada
masyarakat terhadap sumberdaya hutan seperti tumpangsari, PLDT,
pemanfaatan hasil hutan non kayu dan pemanfaatan air bersih di 7 lokasi
mata air.
Peningkatan perekonomian desa juga bisa melalui peningkatan kapasitas
LMDH. Dalam rangka peningkatan kapasitas LMDH Perhutani KPH
Bojonegoro melakukan pembinaan usaha produktif dan koperasi LMDH
berupa persewaan elep, persewaan kursi dan tratak, koperasi simpan
pinjam, juga di gunakan tanaman empon-empon ( temulawak) serta
penyerapan tenaga kerja lokal untuk pengelolaan SDH.

4. Kelembagaan
Pemantauan kelembagaan dilakukan untuk mengetahui peningkatan pola
hubungan antara pengelola hutan dengan masyarakat desa hutan.
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni
Lokasi Pemantauan : 34 Desa hutan
Alat dan Bahan
Kuesioner, data monografi desa, data PHBM
Metode Pemantauan
Wawancara dan analisa data kuantitatif
Hasil Pemantauan
Tahun 2013 di KPH Bojonegoro telah terbentuk 34 LMDH yang
semuanya telah mempunyai akta notaris dan renstra LMDH. Hampir
semua masyarakat desa hutan yang cukup umur ikut terlibat menjadi
anggota LMDH.

1. Budaya
Pemantauan komponen budaya terkait dengan keberadaan KBKT (NKT
6.1. Situs budaya). Pemantauan dilakukan untuk mengetahui perubahan
viabilitas dan status ancaman terhadap target konservasi.
Pada tahun 2013 ini rencana akan dilakukan pemantauan terhadap
keberadaan KBKT.

5. Pendidikan
Pemantauan pendidikan dilakukan untuk mengetahui peningkatan
kapasitas SDM masyarakat.

Waktu dan Lokasi Pemantauan


Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni.
Lokasi Pemantauan : 34 Desa hutan
Alat dan Bahan
Kuesioner, data monografi desa, data PHBM
Metode Pemantauan
Wawancara dan analisa data kuantitatif
Hasil Pemantauan
KPH Bojonegoro telah ikut berkontribusi di bidang pendidikan untuk
mencerdaskan generasi penerus bangsa. Kontribusi yang di berikan
tersebut berupa bantuan berbentuk CSR (Corporate Social Responbility)
kepada masyarakat di bidang pendidikan dengan dana yang diambilkan
dari dana kelola sosial tahun 2013 guna kelengkapan administrasi dan
operasional Paud LMDH Jati Unggul Desa Menden Kecamatan
Kradenan Kab. Bojonegoro.

6. Kerawanan Hutan
Pemantauan kerawanan hutan dilakukan untuk mengetahui peningkatan
kasus sengketa tenurial, kehilangan pohon, kebakaran hutan,
penggembalaan liar dan perburuan
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni
Lokasi Pemantauan : Seluruh Kawasan Pengelolaan Hutan
Alat dan Bahan
Alat tulis
Metode Pemantauan
Wawancara, patroli, sesuai SOP No. RDB/SOP/Sos-02 tentang
Monitoring Pencurian Kayu, No. RDB/SOP/SOS-03 tentang
Perlindungan, Perburuan dan Perdagangan Satwa Liar, No.
RDB/SOP/SOS-05 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan,
No.RDB/SOP/SOS – 07 tentang Penggembalaan, No. RDB/SOP/SOS –
35 tentang Tenurial.
Hasil Pemantauan
Berdasarkan hasil pemantauan tenurial, sampai dengan akhir bulan
Desember 2013 di KPH Bojonegoro masih terjadi kasus tenurial pada
keluasan 44,59 Ha.Selain kasus tenurial di atas, di KPH Bojonegoro juga
dijumpai gangguan keamanan lain seperti pencurian pohon,
penggembalaan liar dan kebakaran. tahun 2013 di KPH Bojonegoro
terjadi pencurian sebanyak 279 kejadian, jumlah kerugian sebesar Rp.
981.809.000,- Adapun untuk kerawanan hutan di bidang kebakaran 75
kejadian dengan kerugian 359.624.000,- guna untuk melengkapi sarpra
pemantauan kebakaran KPH Bojonegoro di tahun 2012 telah
membangun menara kebakaran yang berada di BKPH Temanjang RPH
Temetes di petak 61.
J. Kesehatan Masyarakat dan Sanitasi Lingkungan
Pemantauan kesehatan masyarakat dan sanitasi lingkungan meliputi
pemantauan peningkatan jumlah sampah dan kesehatan masyaraat
1. Peningkatan Jumlah Sampah
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni
Lokasi Pemantauan : Seluruh Kawasan Pengelolaan Hutan
Alat dan Bahan
Tally sheet, timbangan
Metode Pemantauan
Sesuai SOP No. RDB/SOP/Ling-74 tentang Pengelolaan Sampah
a. Identifikasi Sampah
b. Pengurangan Sampah
c. Penanganan Sampah

Hasil Pemantauan
Pemantauan dilakukan terhadap parameter jumlah sampah baik yang
diketemukan di kantor KPH maupun di kawasan hutan. Dampak
peningkatan jumlah sampah timbul dari kegiatan pengelolaan hutan
(persemaian, tanaman, tebangan) maupun dari aktivitas perkantoran
dan rumah dinas.
2. Kesehatan Masyarakat
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni
Lokasi Pemantauan : 34 desa hutan
Alat dan Bahan
Kuisioner, alat tulis
Metode Pemantauan
Wawancara dan analisa data kuanitatif
Hasil Pemantauan
Berdasarkan pemantauan kelola sosial yang salah satunya program
kesehatan masyarakat belum dilaksanakan pada triwulan satu ini, akan
tetapi nanti akan di lakukan pada akhir tahun 2013 yang terangkum
dalam laporan semester dua tahun 2013.
K. Persepsi Pengelolaan
Pemantauan dilakukan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap
kegiatan pengelolaan hutan.
Waktu dan Lokasi Pemantauan
Waktu Pemantauan : Bulan Januari – Juni
Lokasi Pemantauan :34 desa hutan
Alat dan Bahan
Kuesioner
Metode Pemantauan
Wawancara
Hasil Pemantauan

Berdasarkan hasil pemantauan terhadap persepsi masyarakat, sebagian


besar masyarakat menyatakan mendukung kegiatan pengelolaan hutan
yang dilakukan Perum Perhutani KPH Bojonegoro. Bentuk dukungan
masyarakat telah diwujudkan dengan adanya perjanjian kerjasama
pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) antara Perhutani dengan
34 LMDH
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
5.1.1. Kondisi Kawasan Perlindungan terutama sempadan sungai di KPH Bojonegoro secara
umum adalah sebagai berikut :
1. Nilai Indeks Diversitas tumbuhan, pada bagian hilir, tengah, maupun hulu di dalam
sempadan lebih tinggi dibandingkan dengan luar sempadan, yang berarti bahwa
keanekaragaman jenis di dalam sempadan lebih tinggi dibandingkan yang terdapat di luar
sempadan.
2. Kanopi hutan sempadan Sungai Jeruk Gulung yang digambarkan dengan diagram profil
didominasi oleh tegakan pada strata C dengan tinggi masing-masing diantara 4-20 meter.
Hal ini menunjukkan tidak adanya variasi strata pada sempadan sungai Jeruk Gulung.
3. Kondisi kawasan sempada sungai berdasarkan tutupan tajuk didalam kawasan sempadan
tertinggi di bagian hilir dengan nilai 62,2% dan tutupan tumbuhan bawah didalam kawasan
sempadan tertinggi di bagian hulu dengan nilai 83,3%. Sedangkan diluar kawasan
sempadan sungai tutupan tajuk dan tumbuhan bawah tertinggi dibagian hulu dengan nilai
tutupan tajuk sebesar 65,6% dan tutupan tumbuhan bawah sebesar 79,4%. Berdasarkan
kerapatan semak nilai tertinggi pada bagian hilir diluar sempadan dan bagian hulu dalam
sempadan sungai. Tutupan tajuk, tutupan tumbuhan bawah dan kerapatan semak dapat
digunakan sebagai penampung ketika terjadi hujan sehingga air tidak langsung turun
ketanah melainkan tertahan pada strata tajuk dan turun ke tumbuhan bawah dan semak
kemudian kepermukaan tanah sehingga air hujan yang jatuh memiliki energi kinetik yang
rendah dan dapat berinfiltrasi dengan baik. Selain itu tutupan tajuk, tutupan tumbuhan
bawah dan kerapatan semak dapat menjadi ruang hidup untuk satwa dan dapat menjadi
sumber penyedia makanan.dapat terlihat pada bagian tengah memiliki persentase tutupan
tajuk dan tumbuhan bawah serta semak yang terendah hal ini berpengaruh terhadap
kualitas fisik air yang menjadi keruh karena penutupan yang kurang rapat.
4. Objek wisata yang ada di bagian hutan Dander adalah wisata Tubing. Wisata tubing
merupakan wisata menyusuri sungai dengan ban bekas. Kelemahan dari wisata ini adalah
sarana dan prasarana yang kurang memadai dan pengelolaan yang kurang seadanya
saja.Padahal wisata ini mempunyai potensi yang besar mengingat sungai yang dialiri oleh
mata air dan vegetasi pinggir sungai yang rimbun.
5. Kawasan perlindungan khusus di bagian hutan Dander terdapat situs budaya berupa
sumberan Grogolan yang berada pada petak 92 RPH Grogolan BKPH Pradok dan Sendang
Pradok yang berada di RPH Pradok BKPH Pradok. Keadaan kedua situs budaya tersebut
masih masih terawat karena kepercayaan masyarakat setempat masih kental akan hal
mistik. Terkadang juga masih ada upacara adat yang dilakukan di situs budaya tersebut
6. Data satwa yang diambil pada penelitian yang dilakukan di KPS Sempadan Sungai Jeruk
Gulung, BH Dander adalah herpetofauna, burung/aves, dan mamalia.
 Untuk jenis herpetofauna yang didapat adalah jenis Kadal seresah, kadal kebun,
Katrak, Kodok, Biawak, dan Cicak terbang dengan ID pada bagian dalam kawasan
sempadan lebih tinggi dari luar kawasan sempadan. Dimana kawasan dalam sempadan
tertinggi terdapat pada segmen tengah dan tertinggi pada segmen hulu, ini dikarenakan
di hulu tidak ada air pada kawasan sempadannya.
 Kemudian untuk jenis burung yang didapat diantaranya adalah Cucak kutilang, Cabai
Jawa, Wiwik kelabu, Sikatan emas, Tekukur biasa, Cipoh kacat, Bubut jawa, Perenjak
padi, Ceret gunung, Bondol rawa, dan Penthet untuk segmen hilir. Kemudian pada
segmen tengah jenis yang didapat yaitu Cucak kutilang, Cabai Jawa, Wiwik kelabu,
Tekukur biasa, Cipoh kacat, Perenjak padi, Ceret gunung, dan Bondol rawa.
Sedangkan untuk segmen hulu jenis yang didapat yaitu Cucak kutilang, Cabai Jawa,
Wiwik kelabu, Tekukur biasa, Cipoh kacat, Bubut jawa, Ceret gunung, Bondol rawa,
Cekak sungai, Dederuk jawa, Pipit benggala, Kacamata biasa, Kerak kerbau, Elang
ular bido, dan Takur tulungtumpuk. ID tertinggi terdapat pada segmen hulu dan
terendah pada segmen tengah, ini dikarenakan pada segmen tengah kondisi
vegetasinya buruk yaitu banyak tanah kosong dan sedikit jenis pohon.
 Selanjutnya jenis mamalia yang ditemui pada kawasan dalam sempadan adalah jejak
Babi hutan dan Garangan. Sedangkan untuk yang diluar kawasan sempadan hanya
didapat jejak Babi hutan. Untuk ID nya sendiri baik di dalam maupun di luar kawasan
yaitu rendah.
7. Kondisi sosial masyarakat sekitar hutan akan kebutuhan memang masih perlu untuk
ditingkatkan agar mencapai kesejahteraan, namun apabila dilihat dari segi kebutuhan
pertanian masyarakat dapat dikatakan sejahtera karena dari pihak pengelola atau Perhutani
sudah memberikan biaya untuk pembeliaan bibit dan pemeliharaannya atau seperti
pembeliaan alat pestisida dan mengeluarkan biaya yang cukup besar. Akan tetapi kegiatan
seperti pembukaan lahan dan melanggar perjanjian kontrak tanam masih banyak terjadi.
Banyak juga masyarakat yang kurang puas akan pembagian lahan untuk digarap dari
LMDH. Peran LMDH harus lebih ditingkatkan untuk mengatasi permasalahan pembagian
lahan dan memberikan pengertian atau sosialisasi akan pentingnya peran KPS di sempadan
sungai. Karena pada beberapa spot KPS sempadan sungai digunakan untuk lahan pertanian
berupa kacang, jagung dan sawah. Permasalahan sosial masyarakat masih banyaknya
pemburu dan banyaknya pencurian kayu secara terus – menerus.

a. Saran

Alternatif pemecahan masalah pengelolaan kawasan perlindungan di KPH Bojonegoro,


bagian hutan Dander.

1. Pada lahan yang kosong terutama di KPS harus segera ditanami kembali agar tidak
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk ditanami. Penanam yang dilakukan sebaiknya jenis
rimba, agar mengurangi homogenitas dan meningkatkan keanekaragaman jenis didalam
kawasan sempadan sungai. Jenis yang diusulkan terutama jambu kelampok yang
memiliki tajuk lebar dan perakaran yang kuat dan pohon ingas yang disukai burung
sebagai ruang hidup yang buah nya sebagai penyedia makanan. Selain itu ada jenis waru
alas, soka, putat dan ploso.Fungsi vegetasi diantara yaitu menahan adanya laju erosi dan
juga dapat dimanfaatkan sebagai ruang tumbuh atau habitat satwa. Sehingga terjadi
keseimbangan ekosistem antara satwa, vegetasi, dan juga kondisi lingkungan seperti
kejernihan air permukaan sungai.
2. Sosialisasi yang kepada masyarakat mengenai pentingnya kawasan lindung sehingga
tidak memanfaatkan lahan yang ada di KPS. Saat ini sosialisasi sudah dilakukan namun
masih perpusat pada keamanan.
3. Memperbarui batas KPS dengan cara sederhana, yaitu dengan pembuatan pohon penanda
batas antara kawasan dalam dengan luar sempadan.
4. Pembuatan plang larangan aktivitas di dalam KPS seperti berburu, menebang, maupun
menggarap lahan.
5. Memanfaatkan Objek Daya Tarik Wisata (ODTW) Wisata Tubing Ngunut Waterfun
sebagai salah satu objek yang menarik untuk dikunjungi. Misalnya dengan cara
menekankan pada publikasinya dan juga bisa menambahkan objek lain seperti jeram.
Selain itu, masyarakat sebaiknya tidak memanfaatkan sungai tersebut untuk MCK secara
langsung, akan tetapi dengan membuat kamar mandi umum yang dapat digunakan
sebagai pengganti sungai untuk MCK.

DAFTAR PUSTAKA
Astana S.1999.Penurunan Produktifitas Hutan Alam Produksi. Info Hasil Hutan Tentang Realita
Bisnis Atau Kesalahan Kebijakan Vol 5 No.2:103-115.Bogor Basaria, Christina.2009.
Kajian Kelestarian Tegakan Dan Produksi Kayu Jati Jangka Panjang Kph Bojonegoro
Perum Perhutani Unit Ii Jawa Timur.IPB Bogor

Ashton, P.S., and P. Hall. 1992. Comparisons Of Structure Among Mixed Dipterocarp Forests
Of North-Western Borneo. Journal of Ecology.
Arsyad, S. 1998. Konservasi Tanah. Penerbit IPB, Bogor.
Baker, P.J. and J.S. Wilson. 2000. A Quantitative Technique For The Identification Of Canopy
Stratifikasi In Tropical And Temperate Forests. Forest Ecology and Management 127: 77-86
Balai Penelitian Tanah. 2004. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Deptan.
Balai Penelitian Tanah. 2009. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Deptan.
Bismark M. 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) Untuk Survei Keragaman Jenis Pada
Kawasan Konservasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan :
Bogor (ID)
Brower JE, Zar JH. 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Lowa: Brown.
Euwise, W. 1980. Pengantar Ekologi Tropis. Jakarta: Djambatan.
Foth, Henry D. 1999. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Gadja Mada University Press. Jakarta.
Hadisaputro,H.2000.Pemilihan Sistem Silvikultur dan Strategi Pemanfaatan Hutan Alam
Produksi. Rimbun Tentang HPH dan DR Sering Disalah gunakan No.3 tahun I:9-
10.Jakarta
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta: Akademika Pressindo.
Hakim, , dkk.1982. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung.
Hardjowigeno, S. 1985. Ilmu Tanah. Akademik Pressindo, Jakarta.
Hanafiah, Kemas Ali. 2012. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990.
Manan, S. 1998. Hutan Rimbawan dan Masyarakat. IPB Press. Bogor.
Nugraha,S., Sudarwanto, S., Sutirto, T.W., Sulastoro. 2006. Potensi dan Tingkat Kerusakan
Sumberdaya Lahan di Daerah Aliran Sungai Samin Kabupaten Karanganyar dan
Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006.Laporan Penelitian. Surakarta : FM-IPA
UI
Pairunan, A. K., dkk. 1985. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Ujung Pandang: BKPT INTIM.
Perum Perhutani. 2001. RPKH Kelas Perusahaan Jati KPH Bojonegoro Jangka Perusahaan 1
Januari 2002 s/d 31 Desember 2011. KPH Bojonegoro.

Prapto Suharsono. 1985. Identifikasi Bentuk Lahan dan Interpretasi Citra Untuk Geomorfologi.
(Bahan Ajar). Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Risnandar, C.Hutan Produksi. 29 Desember 2016. https://jurnalbumi.com/hutan-produksi/

Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005. Tumbuhan


Mangrove Di Pesisir Jawa Tengah: 2. Komposisi Dan Struktur Vegetasi. Biodiversitas 6 (3):
194-198.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 143/Kpts/Dj/I/1974.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai