Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN

“MASALAH KONSERVASI LINGKUNGAN”

Oleh:

NAMA : MELISA

NIM : M1A120128

KELAS : KEHUTANAN B

DOSEN PENGAMPU : UMAR ODE HASANI, SP., M.Si

JURUSAN KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat
dan Hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah konservasi sumber daya
hutan dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini memuat tentang masalah
konservasi lingkungan di sekitar. Adapun laporan ini dibuat dengan tujuan untuk
memenuhi syarat lulus mata konservasi sumberdaya hutan.
Tak lupa pula, saya mengucapkkan terima kasih kepada teman-teman,
serta semua pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian makalah konservasi
sumberdaya hutan ini, yang telah membantu saya dalam menyelesaikannya.
Saya menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh
dari kata kesempurnaaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun
demikian, saya telah berusaha dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang
dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik. Saya sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan tugas-tugas makalah maupun tugas
lain untuk kedepannya agar lebih baik lagi.

Kendari, 10 Maret 2022

Melisa
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup


2.2 permasalahan Yang Dihadapi Sumberdaya Alam dan lingkungan Hidup
2.3 Peranan Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
2.4 Klasifikasi Keanekaragaman Hayati
2.5 Permasalahan Konservasi Flora dan Fauna di Indonesia
2.6 Konservasi di Indonesia Belum Optimal
2.7 Permasalahan Hutan di Indonesia

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Kawasan konservasi atau kawasan yang dilindungi ditetapkan oleh
pemerintah berdasarkan berbagai macam kriteria sesuai dengan kepentingannya.
Tiap Negara mempunyai kategori sendiri untuk penetapan kawasan yang
dilindungi, dimana masing-masing Negara memiliki tujuan dan perlakuan yang
mungkin berbeda-beda.

Istilah hutan konservasi merujuk pada suatu kawasan hutan yang diproteksi
atau dilindungi. Proteksi atau perlindungan tersebut bertujuan untuk melestarikan
hutan dan kehidupan yang ada di dalamnya agar bisa menjalankan fungsinya
secara maksimal. Hutan konservasi merupakan hutan milik Negara yang dikelola
oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jendral Perlindungan dan Konservasi
Alam, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pengertian hutan
konservasi menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan
adalah sebagai berikut : Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya (Adia, 2011)

Hutan merupakan salah satu faktor krusial di dalam mataa rantai


permasalahan lingkungan hidup sosial. Terlepeas dari bagaimana implementasi
pengelolaan hutan di lapangan, sebenarnya pemerintah Indonesia telah
menyatakan concern terhadap masalahan degradasi lingkungan global diantaranya
dengan komitmen untuk mengelola hutan secara lestari (sustainable forest
management. Di samping berbasis pada prinsip-prinsip kelestarian, pemanfaatan
sumber daya hutan dituntut juga untuk memperhatikan juga prinsip multiguna
mencakup konservasi tanah dan air, sumbber kayu dan non kayu untuk
masyarakat lokal, konservasi flora dan fauna, serta fungsi support untuk program
pembangunan lainnya seperti transmigrasi, pertanian, dan sarana umum lainnya.

Kawasam konservasi juga merupakan suatu kawasan yang di kelola dan


dilindungi dalam rangka pelestrian sumberdaya alam dan lingkungan. Penetapan
status sebuah kawasan menjadi kawasan konservasi ternyata tidak dengan
otomatis berarti habitat dan keanekaragaman yang berada di kawasan tersebut
terlindungi dengan baik. Kawasan-kawasan konservasi di seluruh Indonesia
mempunyai masalah konservasi yang mengancam kelestariannya. Salah satu
ancaman terhadap kawasan konservasi berasal dari kegiatan masyarakat dalam
memenuhi berbagai kebutuhan hidup seperti bahan makanan, pakaian dan bahan
bangunan yang diambil dari dalam kawasan.

Cagar alam (strictly nature reserve and wilderness area) adalah suatu
kawasan yang diterapkan untuk menjaga agar suatu spesies, habitat, kondisi
geologi,ekosistem, juga proses ekologis agar tetap seperti apa adanya, tanpa
campur tangan manusia dengan tujuan utama untuk kepentingan ilmiah atau
pemantauan lingkungan. Pengelolaan dalam cagar alam hanya berupa monitoring
(termasuk riset) dan pengamanan saja (sehingga sering dikenal sebagai zero
manajemen). Kegiatan pemanfaatan yang di perbolehkan dalam cagar alam sangat
terbatas, terutama yang berkaitan denga kepentingan ilmiah serta bukan kegiatan
yang sifatnnya ekstaktif (mengambil sesuatu yang berupa fisik dari kawasan).
Biasanya tumbuhan dan satwa dalam kawasan cagar alam merupakan asli daerah
tersebut, tidak didatangkan dari luar. Perkembangannya pun di biarkan alami apa
adanya. Pengelola hanya memastikan hutan tersebut tidak di ganggu oleh aktivitas
manusia yang menyebabkan kerusakan (Kemenhut, 2013)

Keanekaragaman hayati di Indonesia yang berlimpah menuntut sebuah tempat


untuk melindungi dan melestarikan keanekaragaman tersebut. Kawasan
konservasi vegetasi merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai
arti penting bagi kehidupan secara menyeluruh. Mencakup ekosistem dan
keanekaragaman, untuk meningkatkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan, manfaat sumber daya alam serta nilai sejarah dan budaya secara
berkelanjutan. Kondisi kawasan lindung Jawa Barat mengalami degradasi yang
serius baik kualitas maupun kuantitasnya, penyusutan luas dan meningkatnya
lahan kritis akibat tekanan pertumbuhan penduduk, alih fungsi lahan, konflik
penguasaan pemanfaatan lahan serta berkurangnya rasa kepedulian dan
kebersamaan.

Kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan keanekaragaman hayati adalah


prasyarat untuk memastikan bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara
berkelanjutan untuk masa kini dan masa datang. Keanekaragaman hayati juga
merupakan dasar bagi keseimbangan ekosistem. Pemeliharaan keanekaragaman
budaya akan mendorong perlakuan yang merata terhadap setiap orang dan
membuat pengetahuan terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat lebih di
mengerti.

Secara harafiah konservasi merupakan pelestarian atau perlindungan,


sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi
sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya bahwa konservasi sumber daya alam
hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. Istilah hutan konservasi merujuk pada kawasan hutan yang di proteksi
atau yang dilindungi, perlindungan itu sendiri dimaksudkan untuk melestarikan
hutan dan kehidupan didalamnya agar dapat menjalankan fungsi secara maksimal.

1.2 Rumusan Masalah


1. Menjelaskan pengertian sumber daya alam dan lingkunga hidup
2. Permasalahan apa yang dihadapi dibidang perencanaan wilayah terkait
dengan koservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup?
3. Bagaimana peranan konservasi sumber daya alam dan lingkungan dalam
perencanaan wilayah?
4. Jelaskan klasifikasi keanekaragaman hayati!
5. Jelaskan masalah konservasi flora dan fauna di Indonesia!
6. Mengapa usaha hutan konservasi di Indonesia masih belum optimal?
7. Jelaskan Permasalahan hutan di Indonesia atau problems Forest in
Indonesia!
1.3 Tujuan

Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui


pemahaman lebih jelas tentang masalah konservasi alam dan lingkungan serta
sumberdaya hutan yang ada di Indonesia. Serta permasalahan-permasalahan yang
terkait dihadapi oleh sumberdaya alam dan lingkungan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Sasaran konservasi yang ingin dicapai menurut Undang-undang Nomor 5


Tahun 1990, yaitu:

a. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga


kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia
(perlindungan sistem penyangga kehidupan);
b. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe
ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan,
dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia untuk
menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan
sumber plasma nutfah);
c. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga
terjamin kelestariannya. Akibat sampingan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah
serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat
maupun di perairan, maka dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik,
polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan secara
lestari).

Pengertian Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,


keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Permasalahan di bidang lingkungan hidup
meliputi di antaranya perubahan iklim global, meningkatnya laju kerusakan
lingkungan, peningkatan pencemaran air, penurunan kualitas udara di kota besar,
pencemaran sumber limbah domestik, sulitnya penerapan konsep 3R (reduce,
reuse, recycle), lemahnya harmonisasi peraturan perundang-undangan lingkungan
hidup, rendahnya ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
lingkungan hidup, belum optimalnya penataan ruang dan lingkungan hidup,
rendahnya kesadaran masyarakat dalam pelestarian lingkungan serta
pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian lingkungan hidup, lemahnya
penerapan standardisasi lingkungan dan kurangnya insentif bagi pembangunan
lingkungan, serta kurangnya ketersediaan data dan informasi di bidang
pengelolaan lingkungan hidup.

Kondisi tersebut diperparah oleh menurunnya tutupan vegetasi di kawasan


lindung, hilangnya ekosistem mangrove/tanaman pantai di pesisir, semakin
rusaknya DAS, hilangnya sumber-sumber air dan semakin menurunnya kualitas
air sungai dan laut. Dampak langsung yang terlihat nyata merugikan seperti
terjadinya bencana kekeringan, banjir dan longsor di berbagai daerah yang
menelan korban manusia, merusak/mengganggu fungsi infrastruktur yang sudah
terbangun, dan memperburuk akses terhadap air bersih.

Pada akhirnya hal ini akan berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat.


Dalam rangka pelaksanaan program Menuju Indonesia Hijau (MIH) yang
bertujuan mendorong peningkatan pengelolaan kawasan lindung dan penambahan
tutupan vegetasi, telah dilaksanakan berbagai gerakan/kegiatan di tingkat pusat
dan daerah. Gerakan-gerakan tersebut adalah Gerakan Aksi Penanaman Serentak
Indonesia yang penanamannya melebihi target dari 79 juta pohon, Gerakan
Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon dengan hasil melebihi target 10 juta
pohon, Kegiatan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu melalui Program
Indonesia Hijau dan Bersih, Gerakan Bali Hijau, dan Gerakan Bangka Belitung
Hijau.

Telah dilakukan pengkajian dampak lingkungan (Amdal) yang meliputi


pengembangan peraturan, kewenangan, peningkatan kemampuan teknis,
penyusunan database, penilaian dokumen Amdal, verifikasi audit lingkungan dan
evaluasi kebijakan yang berjalan. Sementara itu, dalam penataan lingkungan
hidup telah dilaksanakan, yaitu antara lain:

a. Mengoperasionalkan pendekatan pembangunan berkelanjutan pada kebijakan


perencanaan pembangunan dan penataan ruang,
b. Mendorong kualitas pengambilan keputusan aparat pemerintah daerah,
khususnya aparat yang mengurus perencanaan pembangunan (Bappeda dan
Sesda), penataan ruang (bappeda, dinas tata ruang/kota, kantor pertanahan,
dinas permukiman), dan pengelolaan lingkungan hidup (Bapedalda/BPLHD),
serta
c. Mendorong posisi masyarakat sebagai pelaksana utama penataan lingkungan,
khususnya dalam perencanaan serta pengawasan dan evaluasi pemanfaatan
ruang, melalui pendidikan dan pelatihan, serta fasilitasi inisiatif masyarakat.

Langkah-langkah untuk perlindungan dan konservasi sumber daya hutan juga


perlu dilanjutkan, yaitu antara lain:

a. Perlindungan hutan terhadap kebakaran dengan mendorong pihak swasta untuk


ikut serta secara aktif dalam penanggulangan kebakaran;
b. Pemantapan pengelolaan kawasan konservasi (taman nasional, taman wisata
alam, cagar alam, suaka marga satwa, taman buru, taman hutan raya, dan hutan
lindung);
c. Pengembangan sumber benih dan usaha perbenihan tanaman hutan;
d. Pelaksanaan kerja sama bidang konservasi sumber daya alam dan lingkungan
hidup dengan lembaga masyarakat dan dunia usaha;
e. Pelibatan masyarakat sekitar hutan dan peningkatan efektivitas kawasan
konservasi.

Demikian juga dengan upaya rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber


daya hutan perlu dilanjutkan dengan upaya sebagai berikut :

a. Pelaksanaan kegiatan Gerhan dengan mengembangkan kemitraan antara pelaku


usaha dengan masyarakat;
b. Mengembangkan kerja sama dan koordinasi dengan para pihak (investor,
donor, dan sektor terkait);
c. Menyelesaikan forum koordinasi DAS tingkat propinsi;
d. Meningkatkan kapasitas kelembagaan rehabilitasi hutan dan lahan.

Di bidang lingkungan hidup, perlu ditingkatkan upaya perlindungan dan


pengelolaan lingkungan hidup dengan memperkuat berbagai kebijakan untuk
menurunkan laju kerusakan keanekaragaman hayati, melanjutkan
programprogram yang mengacu pada dokumen Strategi dan Rencana Aksi
Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP) 2003-2020 yang terbagi atas rencana
aksi pembangunan kapasitas manusia dan masyarakat, pengembangan sumber
daya, teknologi, dan kearifan lokal dalam pengelolaan keanekaragaman hayati,
peningkatan konservasi dan rehabilitasi keanekaragaman hayati, peningkatan
kapasitas kelembagaan dan pranata kebijakan pengelolaan keanekaragaman
hayati, serta peningkatan kapasitas penyelesaian konflik keanekaragaman hayati,
yang harus diselesaikan pada kurun waktu 2008 hingga tahun 2020.

Upaya lain adalah perlu diterapkannya pertimbangan pelestarian fungsi


lingkungan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, pengawasan
pemanfaatan ruang dan lingkungan, serta meningkatkan kepatuhan pelaku
pembangunan untuk menjaga kualitas fungsi lingkungan. Upaya peningkatan
kapasitas kelembagaan pengelola lingkungan hidup di pusat maupun daerah perlu
dilakukan dengan menyinergiskan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dalam
bentuk penegasan pembagian urusan pemerintahan antarpusat, provinsi dan
kabupaten/kota untuk mengurangi potensi konflik kepentingan dan duplikasi
penanganan perencanaan.

Perkuatan database dan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan
hidup perlu dilakukan sebagai dasar perencanaan pembangunan yang berbasis
lingkungan dan diarahkan pada mainstreaming pengelolaan lingkungan dalam
perencanaan tata ruang dan pengelolaan sumber daya alam, dengan memasukkan
upaya mitigasi dan adaptasi perubahan global. Upaya pengelolaan lingkungan
juga perlu dilakukan dengan peningkatan pendanaan alternatif dan memperkuat
kerja sama antara pemerintah, masyarakat dan swasta, seperti melalui
CorporateSocialResponsibility (CSR), Domain Name Server (DNS), dan lain-lain.

2.2 Permasalahan yang di hadapi di bidang perencanaan wilayah terkait


dengan koservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup

Permasalahan yang dihadapi di bidang perencanaan wilayah terkait dengan


konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah sebagai berikut:

1. Belum mantapnya penataan kawasan perkotaan dan perdesaan berbasis


konservasi sumber daya alam dan lingkungan serta kawasan fungsional
lainnya,
2. Belum terbentuknya unit konservasi sumber daya alam dan lingkungan
perdesaan dan perkotaan pada seluruh wilayah secara nasional,
3. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan yang belum berpihak kepada
masyarakat,
4. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan yang masih bertumpu pada
hasil dari perspektif ekonomi,
5. Masih lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran dan
pengelolaan sumber daya,
6. Upaya konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam dan lingkungan yang
belum mendapat perhatian yang memadai sehingga menyisakan lahan kritis
(terdegradasi).

Di samping itu, dalam konteks perencanaan wilayah, konservasi sumber daya


alam dan lingkungan menghadapi permasalahan-permasalahan sebagai berikut.

1. Masih maraknya praktik ilegal terhadap proses eksplorasi dan eksploitasi


sumber daya alam dan lingkungan dan masih lemahnya penegakan hukum
(lawenforcement) terhadap pelanggaran yang terjadi;
2. Rendahnya kesadaran masyarakat dan bangsa tentang arti penting dan nilai
strategis sumber daya alam dan lingkungan bagi pembangunan ekonomi
nasional (kemakmuran bangsa) dan untuk kepentingan bagi generasi yang akan
datang;
3. Kerusakan Daerah Aliran Sungai, ekosistem darat, pesisir dan laut (kawasan
kepesisiran, mangrove dan terumbu karang) di beberapa kawasan;
4. Degradasi Daerah Aliran Sungai dan pencemaran lingkungan pesisir;
5. Konflik pemanfaatan ruang;
6. Kelembagaan yang belum berfungsi optimal, masih banyak terjadi tumpang
tindih kewenangan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan;
7. Pengelolaan potensi sumber daya nonkonvensional yang belum optimal.

2.3 Peranan konservasi sumber daya alam dan lingkungan dalam


perencanaan wilayah

Peranan sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDAL) sangat penting
dalam pembangunan nasional, baik sebagai penyedia bahan baku bagi
pembangunan ekonomi maupun sebagai pendukung sistem kehidupan. Sesuai
dengan fungsinya tersebut, SDAL perlu dikelola dengan bijaksana agar
pembangunan serta keberlangsungan kehidupan manusia dapat terjaga dan lestari
saat ini dan di masa yang akan datang Sesuai amanat Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pembangunan SDAL diarahkan
pada 2 (dua) kelompok, yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mendukung pembangunan ekonomi,


2. Untuk meningkatkan kualitas dan kelestarian lingkungan hidup.

Pembangunan SDAL yang mendukung pembangunan ekonomi dijabarkan


dalam 3 (tiga) prioritas, yaitu sebagai berikut:

1. Peningkatan ketahanan pangan, dan revitalisasi pertanian, perikanan, dan


kehutanan;
2. Peningkatan ketahanan dan kemandirian energi;
3. Peningkatan pengelolaan sumber daya mineral dan pertambangan.

Pembangunan SDAL yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan


kualitas dan kelestarian lingkungan hidup ditekankan pada 4 (empat) prioritas,
yaitu sebagai berikut:
1. Perbaikan kualitas lingkungan hidup;
2. Peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan;
3. Peningkatan pengelolaan sumber daya kelautan;
4. Peningkatan kualitas informasi iklim dan bencana alam serta kapasitas adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim.

Kawasan konservasi mempunyai karakteristik sebagaiberikut.

1. Karakteristik, keaslian atau keunikan ekosistem (hutan hujan tropis/


‘tropicalrainforest’ yang meliputi pegunungan, dataran rendah, rawa gambut,
dan pantai).
2. Habitat penting/ruang hidup bagi satu atau beberapa spesies (flora dan fauna)
khusus yaitu endemik (hanya terdapat di suatu tempat di seluruh muka bumi),
langka, atau terancam punah (seperti harimau, orang utan, badak, gajah,
beberapa jenis burung seperti elang garuda/elang jawa, serta beberapa jenis
tumbuhan seperti ramin). Jenis-jenis ini biasanya dilindungi oleh peraturan
perundang-undangan.
3. Tempat yang memiliki keanekaragaman plasma nutfah alami.
4. Lanskap (bentang alam) atau ciri geofisik yang bernilai estetik/scientifik.
5. Fungsi perlindungan hidro-orologi: tanah, air, dan iklim global.
6. Pengusahaan wisata alam yang alami (danau, pantai, keberadaan satwa liar
yang menarik).

Konflik konservasi dapat muncul akibat hal-hal sebagai berikut:

1. Penciutan lahan dan kekurangan sumber daya alam (SDA);


2. Pertumbuhan jumlah penduduk meningkat dan permintaan pada SDA
meningkat;
3. SDA diekstrak berlebihan (over exploitation) menggeser keseimbangan alami;
4. Masuknya/introduksi jenis luar yang invasif, baik flora maupun fauna,
sehingga mengganggu atau merusak keseimbangan alami yang ada.

Selanjutnya konflik konservasi akan semakin parah jika SDA berhadapan


dengan batas politik (misal: daerah resapan dikonversi untuk HTI dan HPH
(akibat kepentingan politik dan ekonomi). Pemerintah dengan kebijakan tata
ruang (program jangka panjang) yang tidak berpihak pada prinsip pelestarian
SDA dan lingkungan. Perambahan dengan latar belakang kepentingan politik
untuk mendapatkan dukungan suara dari kelompok tertentu dan juga sebagai
sumber keuangan ilegal.

Berdasarkan pada hal tersebut di atas, maka konservasi sumber daya alam
memiliki peran penting dalam konteks perencanaan wilayah. Sementara itu,
pengelolaan SDAL terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kelestarian
lingkungan hidup. Upaya ini dilakukan melalui peningkatan kualitas sumber daya
air, rehabilitasi dan konservasi hutan dan lahan, pengelolaan sumber daya
kelautan, serta peningkatan kualitas daya dukung lingkungan hidup. Dengan
semakin meningkatnya isu perubahan iklim global, upaya adaptasi dan mitigasi
terhadap perubahan iklim terus meningkat.

Potensi Sumber Daya Alam dan Lingkungan dalam Konteks Perencanaan

Alam pada dasarnya mempunyai sifat yang beraneka ragam, namun serasi dan
seimbang. Oleh karena itu, perlindungan dan pengawetan alam harus terus
dilakukan untuk mempertahankan keserasian dan keseimbangan itu. Semua
kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik, yang dapat dimanfaatkan untuk
kesejahteraan manusia merupakan sumber daya alam. Tumbuhan, hewan,
manusia, dan mikroba merupakan sumber daya alam hayati, sedangkan faktor
abiotik lainnya merupakan sumber daya alam nonhayati. Pemanfaatan sumber
daya alam harus diikuti oleh pemeliharaan dan pelestarian karena sumber daya
alam bersifat terbatas.

Sumber daya alam ialah semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik
yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kesejahteraan
manusia, misalnya: tumbuhan, hewan, udara, air, tanah, bahan tambang, angin,
cahaya matahari, dan mikroba (jasad renik).
2.4 Klasifikasi keanekaragaman hayati

Berdasarkan proses geologi, dan menurut para ahli biologi, Indonesia dibagi
menjadi dua wilayah biogeografi, yaitu: a. Wilayah Indo-Malaya, meliputi pulau-
pulau di wilayah Indonesia Barat, yakni Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Bali
yang terletak di Selat Sunda yang menyatu dengan benua Asia. B. Wilayah Indo-
Australia di wilayah timur yang meliputi pulau Irian dengan kepulauan Kei dan
Aru di Selat Sahul yang berhubungan dengan benua Australia.

Berdasarkan wilayah biogeografi tersebut di atas, maka dalam kerangka


prioritas usaha konservasi, Indonesia dibagi menjadi tujuh wilayah biogeografi
utama, yaitu sebagai berikut.

a. Sumatra dan sekitarnya.


b. Jawa dan Bali.
c. Kalimantan, termasuk Pulau Natuna dan Pulau Amambas.
d. Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya.
e. Nusa Tenggara, termasuk Wetar dan Tanimbar.
f. Maluku.
g. Irian Jaya, termasuk Kepulauan Kei dan Aru.

Indonesia dibagi ke dalam 3 (tiga) ragam hayati, yaitu:

a. Irian Jaya dengan ciri kekayaan spesies tinggi dan endemisme tinggi;
b. Kalimantan dengan ciri kekayaan spesies tinggi tapi endemisme sedang;
c. Sulawesi dengan ciri kekayaan spesies sedang tetapi endemisme tinggi.

Individu-individu suatu jenis yang menempati ruang yang sama dan pada
waktu yang sama pula, membentuk suatu populasi. Populasi jenis dapat
dibagibagi berdasarkan hambatan fisik (seperti pulau, gunung, danau, dan
sebagainya) atau berdasarkan hambatan reproduksi dan genetika. Dengan
demikian struktur populasi suatu jenis tidak lain adalah totalitas keterkaitan
ekologi dan genetika antar-individu-individu sebagai anggotanya dan kelompok-
kelompok yang merupakan bagian jenis tersebut. Sehubungan dengan
keanekaragaman genetika, dalam populasi suatu jenis organisme tidak ada satu
individu pun yang penampilannya persis sama dengan individu lainnya.

Keanekaragaman spesies merupakan konsep mengenai keanekaan makhluk


hidup di muka bumi dan diukur dari jumlah total spesies di wilayah tertentu. Para
ahli biologi memperkirakan jumlah spesies makhluk hidup di muka bumi
bervariasi antara 5 juta sampai lebih dari 30 juta spesies, namun hanya 1,4 juta
spesies yang telah dideskripsikan secara ilmiah. Ekosistem adalah suatu satuan
lingkungan yang melibatkan unsur-unsur biotik dan faktor-faktor fisik serta kimia
yang saling berinteraksi satu sama lainnya. Tipe-tipe ekosistem di Indonesia dapat
dikelompokkan sebagai berikut.

a. Kelompok Ekosistem Bahari.


b. Kelompok Ekosistem Darat Alami.
c. Kelompok Ekosistem Suksesi.
d. Kelompok Ekosistem Buatan.

Konservasi Sumber Daya Alam Non-Hayati (Konservasi Tanah dan Air, dan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai)

Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara
penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi
kerusakan tanah. Sedangkan konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air
yang jatuh ke tanah seefisien mungkin, dan pengaturan waktu aliran sehingga
tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim
kemarau. Persoalan konservasi tanah dan air adalah kompleks dan memerlukan
kerja sama yang erat antara berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti ilmu tanah,
biologi, hidrologi, dan sebagainya.

Pembahasan tentang konservasi tanah dan air ini selalu tidak akan terlepas dari
pembahasan tentang siklus hidrologi. Siklus hidrologi ini meliputi proses-proses
yang ada di dalam tanah, badan air, dan atmosfer, yang pada intinya terdapat dua
proses yaitu evaporasi dan presipitasi yang dikendalikan oleh energi matahari.
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan wilayah yang dibatasi oleh batas alam
(topografi) di mana aliran permukaan yang jatuh akan mengalir ke sungaisungai
kecil menuju ke sungai besar akhirnya mencapai danau atau laut. Pengelolaan
DAS berupaya untuk menyelaraskan dikotomi antara kepentingan ekonomi dan
ekologi.

Kepentingan ekonomi jangka pendek akan terancam bila kepentingan ekologi


diabaikan. Sebaliknya gerakan perbaikan ekologi yang melibatkan masyarakat
tidak akan terpelihara secara terus-menerus tanpa memberi dampak langsung
terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Untuk mencapai tujuan
pengelolaan DAS diperlukan upaya pokok dengan sasaran: a. Pengelolaan lahan;
b. Pengelolaan air; c. Pengelolaan vegetasi.

Strategi Konservasi Alam Indonesia

Strategi Konservasi Alam Indonesia sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan


Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 23 Tahun 1997) yang sekarang Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH. Strategi konservasi sumber daya
alam disusun dengan maksud untuk memberikan pedoman kepada para
pengelolaan sumber daya alam dalam menggunakan sumber daya alam tersebut
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pembangunan.

Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,


disebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, agama serta kewenangan
lain. Kewenangan lain yang dimaksud meliputi kebijaksanaan antara lain tentang
pendayagunaan sumber daya alam serta konservasi. Kebijakan ini dijelaskan lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2004 tentang Tugas
Pemerintah yang berkaitan dengan konservasi sumber daya hayati.

Konservasi SDAL dan Perancanaan Pembangunan Berkelanjutan


Selama ini pola dan konsep kegiatan eksploitasi yang dilakukan di negara ini
hanya memandang kebutuhan manusia Indonesia yang ada sekarang. Padahal
seharusnya semua kegiatan pengelolaan yang dilakukan dalam pemanfaatan SDA
dan lingkungan hidup adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia saat ini
dan menjamin terpenuhinya kebutuhan dan kelangsungan hidup generasi yang
akan datang.

Hal ini merupakan asas kelestarian yang lebih populer dengan istilah SFM
(SustainableForestManagement). Pengelolaan yang demikian juga sejalan dengan
istilah konservasi. Melihat kenyataan yang bukan sekedar fenomena, namun
merupakan realitas dari pemaparan di atas, maka sudah saatnya seluruh komponen
bangsa Indonesia berperilaku arif dalam memandang kesinambungan kehidupan
di bumi dan mampu memperbaiki kondisi alam khususnya hutan dan segala
isinya, dengan semangat dan jiwa baru yaitu semangat dan jiwa konservasi.
Konservasi mutlak diperlukan jika manusia masih ingin menghirup udara bersih,
meminum air dari sumber air yang bersih dan menikmati pemandangan alam yang
sangat luar biasa.

2.5 Permasalahan konservasi flora dan dan fauna di Indonesia

Terdapat 100 orangutan yang kira-kira terbunuh di wilayah Kalimantan,


selama 16 tahun terakhir ini. Angka yang sangat miris sekali, dan itu semua tidak
lain karena ulah manusia itu sendiri. Jika kita menilik kawasan hutan yang ada di
Indonesia itu luasnya mencapai 110 juta hektar, namun ada permasalahan baru di
mana akibat degradasi dan kerusakan jumlah luas tersebut menyusut menjadi
kurang dari 100 juta hektar. Maka tidak heran kita perlu melakukan konservasi
flora dan fauna yang ada di Indonesia.

Konservasi memiliki pengertian yaitu pengelolaan biosfer secara aktif yang


bertujuan untuk menjaga kelangsungan keanekaragaman flora dan fauna dan
pemeliharaan keragaman genetik di dalam suatu spesies, termasuk juga
pemeliharaan fungsi biosfer seperti ekosistem. Lebih kurang itulah pengertian dari
konservasi, mari kita kembali menilik permasalahan konservasi yang ada di
Indonesia.

Mengutip apa yang dikatakan oleh Ir. Herry Subagiadi, M.Sc, selaku
Sekretaris Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, di
Fakultas Biologi UGM pada Seminar Pengelolaan Sumber Daya Berbasis
Konservasi SDA. Beliau menuturkan bahwa informasi-informasi terakhir sudah di
bawah 100 juta hektar karena degradasi dan kerusakan. Sebanyak 65 persen hutan
yang dimiliki merupakan hutan produksi, 23 persen hutan lindung, dan 21 persen
hutan konservasi.

Menurut Ir. Herry Subagiadi sebanyak 21 persen atau 27,5 juta hektar hutan
konservasi dibagi ke dalam beberapa status, ada cagar alam, suaka marga satwa,
taman nasional hingga dengan KSA dan KPA. Dari berbagai status ini, taman
nasional yang memegang porsi paling luas. Beliau menambahakan saat ini di
Indonesia terdapat 54 taman nasional dan 51 sudah ada unit pengelolanya.
Sementara itu, yang Jamrud di Riau, Gunung Waras di Bangka Belitung dan
Gandang Dewata di Sulawesi Barat belum ada unit pengelolanya sehingga
pengeloaan masih dititipkan ke BKSDA setempat.

Permasalahan konservasi di Indonesia tentu saja sangat banyak, terutama di


kawasan hutan konservasi yang mencapai luasan sekitar 27,5 juta hektar.
Persoalan tersebut diantaranyaketerlanjutan perambahan hutan yang terjadi
sebelum adanya kawasan konservasi atau ketika kawasan konservasi sudah
ditetapkan. Akibat tidak dilakukan pengawasan yang sangat ketat, perambahan
terus terjadi beberapa tahun, dibiarkan dan terus berkembang. Persoalan
perambahan ini belum dapat diselesaikan secara rasional hingga era-era kemarin.

Menurut Ir. Herry Subagiadi di kawasan hutan konservasi banyak sekali


keterlanjuran dan salah satunya disebabkan masyarakat setempat atau ingin
mencari kehidupan. Jadi, lebih karena faktor kemiskinan. Belum lagi soal
perburuan dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar secara ilegal yang hingga
kini masih berlangsung. Upaya-upaya pengendalian sesunguhnya telah
diupayakan, namun tetap saja belum tuntas.

Hal ini juga dampak dari penegakan hukum yang belum diprioritaskan bagi
tokoh intelektual dan pemuda. Penegakkan hukum baru diprioritaskan pada
pelaku di lapangan sehingga tidak bisa tuntas. Jika kita takut memperbaiki
kerusakan yang ada, maka tamatlah bumi ini. Sindy Ayu Kirana-

2.6 Konservasi di Indonesia masih belum optimal

Indonesia memiliki kawasan hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah


Amazon dan Kongo. Hutan-hutan di daerah ini memiliki keanekaragaman hayati
yang tinggi dan pemerintah Indonesia telah menetapkan jutaan hektare sebagai
hutan konservasi sebagai langkah untuk melindungi keanekaragaman hayati serta
iklim dunia.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan zona-zona dalam hutan konservasi


untuk memastikan keberlangsungan hidup masyarakat yang sudah sejak lama
menggantungkan hidup mereka kepada keberadaan sumber daya hutan di dalam
dan sekitar kawasan hutan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa
masyarakat tetap dapat melakukan aktivitas tradisional sehari-hari, seperti
bercocok tanam dan kegiatan religius di dalam zona-zona tertentu.

Pemerintah juga menetapkan zona-zona yang terlarang bagi manusia.Meski


demikian, penetapan zona-zona ini masih belum mampu mencegah masyarakat
membuat pemukiman atau perkebunan dalam kawasan dilarang tersebut. Lebih
lanjut, meskipun masyarakat setempat sudah terlibat dalam penentuan zona-zona
tersebut, masih tersisa berbagai macam tantangan lain dalam pengelolaan hutan
konservasi.

Perlindungan alam vs kesejahteraan masyarakat

Hutan konservasi di seluruh Indonesia memiliki luas mencapai 27 juta


hektare, angka ini setara dengan sepertiga dari seluruh kawasan hutan Indonesia,
atau sama dengan luas dua kali pulau Jawa dan Bali. Contoh dari hutan konservasi
adalah Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, serta Taman Wisata
Alam, yang masing-masing memiliki fokus pengelolaan yang berbeda.

Undang-undang Kehutanan tahun 1999 menetapkan bahwa hutan konservasi


berfungsi utama untuk melindungi dan mengawetkan keanekaragaman hayati dan
ekosistem. Artinya, area ini harus tetap alami dengan sedikit aktivitas manusia,
misalnya pertanian tradisional yang diakomodasi pada zona pemanfaatan
tradisional ataupun zona khusus lainnya. Keberadaan masyarakat di sekitar
kawasan hutan memang menjadi bagian tak terpisahkan dari pengelolaan hutan.
Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan
terdapat 6.381 desa – termasuk 134 komunitas masyarakat adat – yang tinggal di
sekitar hutan konservasi Indonesia. Mereka pun sudah sejak lama bergantung pada
sumber daya hutan seperti untuk memperoleh makanan dan obat-obatan, serta
membangun rumah.

Tahun 2015, KLHK mengeluarkan peraturan mengenai pengelolaan berbasis


zonasi sebagai solusi penyelesaian masalah klasik antara agenda konservasi dan
keberlangsungan hidup masyarakat di hutan konservasi. Contohnya, untuk zona
pemanfaatan, masyarakat bisa menggunakan lahan sebagai ladang tradisional
mereka. Untuk zona religius, mereka dapat menggunakan area tersebut sebagai
tempat pemujaan. Area yang tidak boleh disentuh oleh manusia sama sekali
adalah zona inti. Idealnya, pemerintah berharap sistem pengelolaan kawasan
konservasi ini dapat menjadi jawaban untuk bisa mencapai tujuan konservasi
sambil tetap mengakomodasi kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar secara
berkelanjutan. Tantangan di lapangan Di atas kertas, pengelolaan hutan konservasi
berbasis zonasi memang terlihat sebagai jalan terbaik untuk menjawab baik
kebutuhan konservasi maupun kesejahteraan masyarakat sekitar. Namun, fakta di
lapangan menunjukkan bahwa konflik antara masyarakat setempat dengan
pengelola kawasan masih terus terjadi. Sebagai contoh, Taman Nasional Tesso
Nilo di Provinsi Riau, di mana masyarakat masih membangun pemukiman dan
menanam tanaman sawit secara ilegal di area yang seharusnya dilarang. Taman
Nasional ini diresmikan oleh pemerintah pada tahun 2004 untuk melindungi
spesies endemik Indonesia yang terancam punah, yaitu gajah Sumatra
(Elephasmaximussumatranus) dan harimau Sumatra (Pantheratigrissumatrae).
Hingga kini, pengelolaan taman nasional ini tidak pernah luput dari konflik lahan.
Seringkali, taman nasional memiliki sumberdaya manusia sangat terbatas untuk
melindungi hutan konservasi yang begitu luas.

Sejak tahun 2015, sekitar 30% hutan konservasi rusak akibat perambahan
hutan oleh masyarakat. Tak semua buruk pengelolaan hutan konservasi berbasis
zonasi bukan solusi tunggal untuk mengakhiri permasalahan konflik lahan. Untuk
memastikan dukungan masyarakat setempat dalam agenda konservasi pemerintah,
keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam penentuan zonasi di hutan konservasi
layak untuk dilanjutkan. Pengalaman dalam proses revisi zonasi di Taman
Nasional Kelimutu di Provinsi Nusa Tenggara Timur bisa menjadi contoh. Pada
waktu itu, masyarakat setempat merasa dirugikan karena negara menentukan
sebuah area sebagai hutan konservasi, padahal tempat tersebut merupakan tempat
ritual masyarakat setempat.

Setelah melalui berbagai proses konsultasi antara masyarakat setempat dan


pihak pengelola, masyarakat akhirnya memperoleh kembali hak mereka untuk
berkegiatan di sana. Area tersebut ditetapkan sebagai zona budaya. Upaya lainnya
adalah skema Kemitraan Konservasi. Model pengelolaan ini bertujuan
meningkatkan keterlibatan masyarakat setempat dalam mengelola hutan
konservasi. Sebagai contoh di Taman Nasional Meru Betiri di Provinsi Jawa
Timur, melalui skema ini masyarakat mengembangkan hasil hutan non kayu,
terutama buah durian di dalam hutan konservasi bersama pihak pengelola.
Kerjasama antara pemangku kebijakan – pihak pemerintah, perusahaan swasta,
dan LSM – sangat dibutuhkan demi mencapai pengelolaan hutan konservasi yang
optimal.

Peran Masyarakat Terhadap Hutan

Hutan sebagai sumber daya alam yang merupakan karunia dari Tuhan yang
harus kita Syukuri dan menjaga kelestariannya. Hutan di Indonesia keberadaannya
memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan baik digunakan secara langsung
maupun tidak langsung. Manfaat untuk secara langsung adalah kebutuhan pangan
dan kebutuhan papan yang dapat digunakan sebagai perabotan rumah tangga.
Untuk manfaat secara tidak langsung adalah sebagai devisa negara, membantu
menjaga keseimbangan air dan tanah serta dapat bermanfaat bagi sektor
pariwisata (Nabilla et al., 2017).

Partisipasi masyarakat dalam konservasi hutan sangatlah penting, oleh karena


itu pada setiap kawasan lindung di Indonesia tentunya masyarakat terlibat dalam
pelestariannya. Adapun peran masyarakat yang telah dilakukan dalam berbagai
bentuk seperti dengan kegiatan yang berkaitan dengan gerakan pecinta alam yang
mengkaitkan kearifan lokal atau kepercayaan masyarakat setempat. Seperti yang
dilakukan masyarakat Desa Colo yang memiliki kepercayaan pada tanaman Pakis
Haji, Piring Towo, Pohon Mranti dan Prajito yang mana dipercayai memiliki
khasiat yang mujarab. Selain itu, masyarakat Desa Colo juga memiliki
kebudayaan terkait upacara atau tradisi seperti sedekah bumi dimaha hal ini
dilakukan sebagai sarana komunikasi manusia dengan alam sekitar (Saputri,
2020).

Selain itu, partisipasi masyarakat di Indralaya Provinsi Sumatera Selatan yang


telah dilakukan yaitu dengan melakukan penanaman pohon di hutan gundul, tidak
membuka lahan dengan dibakar. Tidak hanya itu, masyarakat setempat juga
melakukan berbagai upaya seperti membentuk kelompok cegah bakar yang
berguna untuk mencegah pembakaran hutan serta sampah yang dilakukan oleh
oknum yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, madyarakan Indralaya juga
membentuk kelompok peduli api guna memelihara hutan dengan menanam
kembali pohon di hutan yang gundul serta tidak melakukan penebangan pohon
secara liar (Perkasa, 2020).

Kebudayaan Masyarakat dalam Pelestarian Hutan

Dalam usaha penanganan konservasi hutan memiliki berbagai bentuk dari


partisipasi masyarakatnya yang dapat dilihat dari berbagai aspek seperti dilihat
dari mata pencaharian yang berkaitan langsung dengan hutan. Dari data yang
ditemukan, terdapat berbagai pekerjaan yang berkaitan dengan hutan seperti
pesanggrem, pembuat arang, pengrajin kursi akar, buruh pencari tunggak dimana
pekerjaan ini tentunya memerlukan sumber daya alam dari hutan seperti kayu
pohon sebagai bahan utama mereka. Bangka juga menerapkan konservasi dengan
mengkaitkan kearifan lokal masyarakat daerah dalam melakukan pelestarian serta
pengelolaan hutan ini. Hal ini juga sangat penting tentunya bagi pengembangan
kawasan konservasi yang mana perlu memperhatikan kondisi sosial budaya
daerah setempat.

Selain itu, pelestarian dengan kearifan lokal ini berguna untuk


mempertahankan adat istiadat yang telah dilestarikan sejak dulu dan tentunya
sangat erat kaitaanya dengan masyarakat daerah setempat. Di Bangka sendiri,
terdapat berbagai macam cara untuk melestarikan keindahan alamnya. Seperti,
mengkaitkan dengan sejarah dari Hutan Pelawan itu sendiri yang mana dikatakan
bahwa hutan ini dikenal dengan sebutan Hutan Kalung oleh masyarakat setempat.
Kemudian ada juga dengan mengkaitkan kearifan lokal kegiatan masyarakat
seperti kegiatan memanen madu yang disebut dengan Musung Madu, dan
tentunya hal ini tidak sedikitpun mengubah fungsi ekosistem yang terdapat di
dalamnya. Selain terdapat tradisi Musung Madu, Bangka juga mempercayai
tentang mitos Tumbuh Jamur Pelawan, yang manaa jamur ini memiliki nilai jual
yang tinggi. Ada juga dengan cara integrasi konservasi secara berkelanjutan, hal
ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan alam yang terjadi (Henri etal., 2018).

Secara umum, usaha partisipasi masyarakat dalam usaha konservasi hutan akan
mengalami berbagai macam kendala. Hal ini terjadi jika faktor yang menghambat
seperti pada tingkat pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan masyarakat
terhadap konservasi yang rendah, ketersediaan infrastruktur yang kurang
memadai, seta penghasilan masyaraka yang rendah. Hal ini tentunya menjadi
alasan masyarakat untuk beralih mengunakan sumber daya yang ada di hutan
sebagai penghasilan. Seperti pembuatan berbagai macam perlengkapan rumah
yang diolah di meubel, usaha ukir kayu dan lainnya yang berdampak terhadap
ekosistem yang ada di hutan. Dikarenakan unsur penunjang ekonomi yang
sebagian besar bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam, sehingga
masyarakat memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam konservasi guna
menjaga kelestarian hutan yang ada. Bagi pemerintah hendaknya memberikan
sanksi terhadap oknum yang telah melakukan perbuatan yang tidak bertanggung
jawab. Hal ini guna untuk mencegah adanya pemanfaatan secara liar.

2.7 Permasalahan hutan di Indonesia

Sekitar 70% daratan di Indonesia berupa kawasan hutan Negara. Pengelolaan


hutan tersebut berada pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Pengelolaan hutan memberikan tambahan PAD (Pendapatan Asli Daerah),
membuka lapangan kerja bagi masyarakat dan menggiatkan sector ekonomi.
Namun pemanfaatan hutan yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan hutan.
Dampak kerusakan hutan bagi perekonomian hanyalah bagian kecil dari total
dampak yang sebenarnya. Dampak ekonomi tidak mencerminkan seluruh dampak
yang terjadi. Fungsi hutan sebagai daya dukung lingkungan justru memberi peran
lebih besar.Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan
deforestasi dan degradasi hutan, antara lain

1. Akibat Alam
 Letusan Gunung Berapi.
 Naiknya air permukaan laut dan tsunami
 Serangan hama dan penyakit.
2. Akibat Ulah Manusia
 Kebakaran hutan.
 Illegallogging (Penebangan liar).
 Perladangan berpindah.
 Perkebunan monokultur.
 Perkebunan kelapa sawit.
 Konversi lahan gambut menjadi sawah.
 Pertambangan.
 Transmigrasi.
 Penggembalaan Ternak dalam hutan
 Pemukiman penduduk.
 Pembangunan perkantoran.
3. Akibat Kebijakan

Akar masalah yang dihadapi dalam mewujudkan kinerja pengurusan hutan


yang baik terfokus pada masalah prakondisi, antara lain: konflik kebijakan
penataan ruang, lemahnya penegakan hukum, rendahnya kapasitas pengurusan
hutan, serta ketiadaan institusi pengelola untuk kawasan hutan produksi dan hutan
lindung.

a. Kebijakan pengelolaan hutan yang kurang tepat.

Kerusakan hutan juga dapat terjadi karena kebijakan yang dibuat lebih
memperhatikan segi ekonomis dibandingkan dengan segi ekologis. Kebijakan
pengelolaan hutan yang kurang tepat dari pemerintah sebagai suatu “pengrusakan
hutan yang terstruktur” karena kerusakan tersebut didukung oleh regulasi dan
ketentuan yang berlaku. Salah satu bentuk kebijakan yang kurang tepat adalah
target pemerintah yang mengandalkan sumberdaya hutan sebagai sumber
pendapatan baik ditingkat nasional maupun daerah.

b. Deforestasi yang direncanakan

Deforestasi yang direncanakan adalah konversi yang terjadi di kawasan hutan


produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang dilepaskan menjadi kawasan
budidaya non kehutanan (KBNK atau APL). Konversi yang direncanakan dapat
juga terjadi di kawasan hutan produksi untuk pertambangan terbuka. Sedangkan
deforestasi yang tidak direncanakan terjadi akibat konversi hutan yang terjadi di
semua kawasan hutan akibat berbagai kegiatan yang tidak terencana, terutama
kegiatan illegal. Berdasarkan analisis data satelit, selama period 2000-2005,

c. Kurangnya Kebijakan Inovatif


Sejak tahun 1950-an, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai
program rehabilitasi. Sebagian besar program berasal dan dikelola oleh
pemerintah. Anggaran program berasal dari Pemerintah dan donor internasional
dan alokasinya terfokus pada aspek-aspek teknis. Aspek-aspek non teknis seperti
kelembagaan, pemberdayaan, dan sebagainya belum efektif dikembangkan.
Karena itu wajar apabila program rehabilitasi kurang mendapat dukungan dari
masyarakat setempat, baik yang tinggal di dalam maupun di sekitar wilayah
sasaran. Pendekatan kreatif dan inovatif yang dapat memberikan manfaat
hubungan social-ekonomi jangka panjang antara perusahaan, pemerintah dan
masyarakat local belum diterapkan pada program rehabilitasi.Misalnya Kebijakan
pemerintah terhadap pengusaha HPH lebih pada pengendalian jumlah produksi
hasil hutan. Sedangkan hutan alam sebagai stock tidak menjadi perhatian utama.
Hutan alam sebagai stock berupa tegakan muda, tegakan yang siap ditebang atau
menunggu ditebang, tidak menjadi perhatian untuk dijaga dan dipelihara karena
tidak menjadi kriteria dalam penilaian kinerja pemegang ijin. Kebijakan tersebut
menyebabkan perusahaan enggan melindungi hutan alam dalam kawasan yang

Hutan alam dalam kawasan yang dikelola, dan di sisi lain pengendalian
jumlah produksi dengan banyak peraturan menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
Perlu inovasi dalam kebijakan agar pengusaha mau melakukan recovery terhadap
hutan

d. Konflik kepemilikan lahan

Konflik atas kepemilikan lahan terjadi karena adanya tumpang tindih


kepemilikan lahan. Konflik tersebut disebabkan oleh ketidakjelasan kerangka
hukum yang mendasarinya, terutama implikasi yang saling bertentangan antara
UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Kemudian, peraturan-peraturan sektoral yang berbeda, misalnya tentang
kehutanan, hutan tanaman dan pertambangan, kurang sinergis. Selain itu,
peraturan dan tata cara pelaksanaan di berbagai tingkat pemerintahan yang
berbeda belum sinergis atau belum sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi
manusia.
e. Pengelolaan hutan yang kurang efektif;

Praktek pengelolaan hutan yang kurang efektif terjadi karena lemahnya


kapasitas kelembagaan di tingkat daerah. Sebagai contoh, Unit Pelaksana Teknis
(UPT) pemerintah yang bertugas untuk mengawasi kawasan konservasi
kekurangan dana dan sumber daya manusia. Lemahnya kapasitas kelembagaan
dapat berakibat lemahnya kemampuan dalam meninventarisir potensi dan kondisi
riil sumber daya hutan di tingkat tapak. Pemerintah daerah yang bertugas untuk
mengelola Hutan Lindung tidak melaksanakan peranannya dengan baik. Selain
itu, struktur desentralisasi dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat
kabupaten dan provinsi masih belum selesai disusun dan dikembangkan.
Sementara itu, tanggung jawab pengelolaan Hutan Produksi sebagian besar berada
di tangan pemegang konsesi yang bekerja dengan pengawasan yang minim dari
pemerintah.

f. Rehabilitasi dilakukan hanya sebatas proyek

Rehabilitas berjalan selama masa periode tertentu saja atau hanya sebatas masa
proyek. Selama lebih dari 30 tahun, kegiatan rehabilitasi dilaksanakan pada lebih
dari 400 lokasi di Indonesia. Namun, pada tahun 2002 total luas areal hutan dan
lahan yang terdegradasi telah mencapai 96,3 juta ha (54,6 juta ha di dalam
kawasan hutan dan 41,7 juta ha di luar kawasan hutan). Factor keberhasilan
proyek rehabilitasi antara lain adanya keterlibatan masyarakat setempat secara
aktif, dan dilakukannya intervensi teknis untuk mengatasi penyebab degradasi
hutan. Sampai saat ini factor keberhasilan dari berbagai proyek rehabilitasi belum
tercapai dan sulit untuk bisa dipertahankan dalam jangka panjang, terutama
setelah proyek selesai.

Orientasi keproyekan masih sangat kuat, sehingga mengakibatkan: a)


pemeliharaan yang tidak memadai pada bibit yang telah ditanam; b) kurangnya
keberlangsungan pendanaan setelah proyek selesai karena tidak adanya
mekanisme reinvestasi, kurangnya analisis kelayakan ekonomi yang memadai
atau tidak adanya kepastian integrasi dengan pasar yang jelas; c) insentif ekonomi
yang tidak jelas, mengurangi minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara
aktif; d) partisipasi masyarakat yang terbatas karena masalah tenurial yang tidak
terselesaikan dan organisasi masyarakat yang tidak efektif; e) pembangunan
kapasitas bagi masyarakat yang tidak efektif; f ) pertimbangan yang tidak
memadai terhadap aspek sosial-budaya; dan pada tingkat yang lebih luas, tidak
adanya pembagian hak dan tanggung jawab yang jelas antara pemangku
kepentingan terkait, terutama pemerintah daerah, masyarakat dan dinas kehutanan.

4. Lemahnya Penegakan hukum

Lemahnya penegakan hukum dibidang kehutanan dapat diamati dari hanya


sedikit pelanggaran hukum di bidang kehutanan yang berhasil dituntut dan para
pengusaha sebagai pelaku utama justru dapat menghindari hukuman. Penegakan
peraturan perundangan yang tidak efektif dapat disebabkan antara lain oleh hal-
hal berikut:Substansi peraturan tidak dapat rnengendalikan biaya transaksi tinggi
di luar biaya resmi yang telah ditetapkan;Instansi pemerintah belum menerapkan
peraturan itu sehingga kontrol yang seharusnya dilakukan tidak
berjalan;Masyarakat (terrnasuk dunia usaha) belum memahami isi peraturan atau
bahkan tidak mengetahuinya sarna sekali;Sanksi yang mungkin ada dari
implementasi suatu peraturan tidak berjalan, sehingga masyarakat tidak melihat
adanya resiko apabila rnerekarnelanggar peraturan;Biaya yang ditanggung ketika
melakukan pelanggaran peraturan lebih murah daripada bila peraturan dipatuhi.

5. Kebijakan ekonomi

Rehabilitas memakan biaya yang mahal.Rehabilitasi hutan dan lahan


cenderung dilaksanakan sebagai kegiatan yang reaktif daripada kegiatan proaktif
yang diintegrasikan dengan pelaksanaan kebijakan pengelolaan hutan yang telah
ada. Kegiatan rehabilitasi selama ini pada umumnya dibiayai dari anggaran
pemerintah. Total anggaran pemerintah yang dikeluarkan untuk proyek
rehabilitasi adalah sebesar 85% dari anggaran kehutanan pemerintah sejak
dimulainya Program Inpres pada tahun 1976/77 (H. Pasaribu, 2004). Biaya
rehabilitasi per ha secara umum ternyata lebih besar daripada biaya pembangunan
HTI (Rp. 5 juta atau US$ 550 per ha). Biaya rehabilitasi per ha berkisar antara
US$ 43 hingga US$15.221 per ha tergantung pada sumber pendanaan. Biaya
terendah terdapat pada proyek pemerintah, sementara biaya tertinggi terdapat pada
proyek yang didanai lembaga donor internasional karena tingginya biaya yang
dikeluarkan untuk tenaga ahli teknis asing yang biasanya dihitung sebagai bagian
dari biaya proyek. Proyek pemerintah yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan
ternyata lebih mahal daripada proyek di luar kawasan hutan atau di lahan
masyarakat. Secara keseluruhan, besarnya jumlah anggaran kehutanan yang
dialokasikan untuk kegiatan rehabilitasi, rendahnya luas areal yang berhasil
direhabilitasi pada program pemerintah, serta tingginya biaya per ha, merupakan
indikasi kuat bahwa selama ini pelaksanaan kegiatan rehabilitasi kurang efektif
dari segi pembiayaan dan dana yang telah dialokasikan.

Permintaan Kayu lebih tinggi dari pasokannya berdasarkan data kapasitas


industri saat ini, diperkirakan permintaan kayu dari hutan alam akan lebih tinggi
dari pasokannya secara lestari. Diperkirakan tambahan suplai kayu dari
penebangan yang illegal sama dengan yang legal. Penebangan liar terbesar terjadi
di kawasan hutan produksi (60%) dan kemudian di hutan lindung (30%) dan hutan
konservasi (10%). Tingkat penebangan liar diperkirakan sangat tinggi di dalam
kawasan hutan produksi yang tidak ada pemegang izin pengelolaannya; Jumlah
IUPHHK Hutan Alam yang masih aktif saat ini 324 unit dengan luas 28.271.043
Ha (Ditjen Bina Produksi Kehutanan, 2010). Diperkirakan sekitar 15 juta Ha
menerapkan sistem pengelolaan hutan lestari sedangkan sisanya sekitar 13 juta Ha
tidak. Sementara luas hutan produksi yang tidak ada ijinnya mencapai 20 juta Ha
dan sekitar 13 juta Ha masih baik kondisi hutannya sedangkan yang 7 juta Ha
sudah mengalami degradasi berat (Ditjen Planologi Kehutanan, 2010). Menurut
Rencana Strategis Assosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), ketergantungan
suplai kayu dari hutan alam diperkirakan masih akan meningkat di masa depan.
Pada tahun 2009, bahan baku kayu dari hutan alam sebesar 6,68 juta m3 dan pada
tahun 2020 diperkirakan meningkat. Pada tahun 2020 diperkirakan meningkat
sampai 15,23 juta m3. Peningkatan suplai kayu dari hutan alam di masa depan
apabila tidak disertai dengan sistem pengelolaan hutan lestari maka tingkat
degradasi hutan alam Indonesia di masa depan akan semakin tinggi.

6. Adanya inefisiensi ekonomi pengelolaan hutan produksi.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data biaya transaksi
pengusahaan hutan dan kondisi irnplementasi kebijakan pengendalian
pengusahaan hutan alam produksi, sebagai berikut : Biaya pengurusan
pengusahaan hutan – di luar biaya tetap dan biaya variable yang resrni, sekitar
24% – 46% dari biaya variable (Kartodihardjo, 1998). Biaya transaksi
pengusahaan hutan sebesar Rp 203.000,-/m3. Sehingga terdapatkomposisi biaya
opersional (48%), pungutan kehutanan (31%), biaya transaksi (21%) (Deperindag
dan Sucofindo, 2001. Biaya pengurusan ijin-ijin dan pengesahan dalam
pengusahaan sekitar 43% (APHI, 2001). Terdapat 58 kali inspeksi per tahun yang
secara resmi dilakukan oleh 12 instansi pemerintah terhadap 19 jenis kegiatan
pengusahaan hutan (Prasetyo dan Hinrichs, 1999).

Setiap tahun pemegang HPH harus melakukan 43 jenis kegiatan, masing-


masing kegiatan perlu berhubungan dengan 2 sampai 8 instansi. Untuk melakukan
hal-hal tersebut setiap tahun harus melakukan 169 jenis urusan (meja) dan untuk
itu harus menyerahkan 1599 kertas kerja atau peta yang terdiri dari : 256 buku,
510 lembar peta, 7 lembar citra landsat, dan 521 blanko isian. Urusan yang
demikian itu adalah pelaksanaan dari 7 buah PP, 4 Keputusan Presiden, 82
Keputusan Menteri, dan 20 Keputusan Dirjen (Deperindag dan Sucofindo, 2001)

Timbulnya biaya tersebut di atas masih ditambah lagi dengan biaya yang harus
ditanggung akibat konflik penggunaan kawasan hutan dan lahan yang sampai kini
frekwensinya masih cukup tinggi. Terjadinya biaya transaksi tinggi menyebabkan
beberapa konsekuensi.

Secara umum sistem pengelolaan dan pengusahaan hutan yang direncanakan


pemerintah sudah sampai pada kondisi irrasional untuk mencapai pengelolaan
hutan Iestari (PHL). Dari sisi manfaat-biaya, pembiayaan per unit produksi
pengusahaan hutan alam terus meningkat, sehingga jumlah produksi untuk
mencapai keuntungan minimal yang diharapkan, lebih besar daripada jumlah
produksi sesuai dengan daya dukung hutan (AAC). Perubahan politik.

Dari tahun 1950-an sampai tahun 1998 pendekatan yang digunakan dalam
kebijakan rehabilitasi hutan umumnya bersifat top-down. Politik sumberdaya
alam yang sentralistik di zaman orde baru bersifat represif dan diskriminatif
sehingga menimbulkan maraknya konflik atas sumberdaya hutan antara
masyarakat adat dengan pengusaha yang didukung pejabat pemerintah.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas yaitu,


Konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya. Sedangkan Lingkungan hidup adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia
dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Adapun
sistem pengelolaan dan pengusahaan hutan yang direncanakan pemerintah sudah
sampai pada kondisi irrasional untuk mencapai pengelolaan hutan Iestari (PHL).
Dari sisi manfaat-biaya, pembiayaan per unit produksi pengusahaan hutan alam
terus meningkat, sehingga jumlah produksi untuk mencapai keuntungan minimal
yang diharapkan, lebih besar daripada jumlah produksi sesuai dengan daya
dukung hutan (AAC). Belum mantapnya penataan kawasan perkotaan dan
perdesaan berbasis konservasi sumber daya alam dan lingkungan serta kawasan
fungsional lainnya, Belum terbentuknya unit konservasi sumber daya alam dan
lingkungan perdesaan dan perkotaan pada seluruh wilayah secara
nasional,Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan yang belum berpihak
kepada masyarakat,pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan yang masih
bertumpu pada hasil dari perspektif ekonomi.

3.2 Saran

Adapun saran saya dalam masalah konservasi alam dan lingkungan ini yaitu,
semoga kedepannya masyakat lebih peka dan sadar untuk menjaga atau
memanfaatkan hasil alam dengan baik, menjaga keanekaragaman flora dan fauna
dengan nilainya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Agung, 2017. Seminar pengelolaan sumber daya berbasis konservasi

Balai konservasi sumberdaya alam Sumatra Utara II. 2002. Buku informasi
kawasan konservasi di Sumatra Utara. BKSDA SU II, Medan

Kresnoadi, 2018. Cara melakukan konservasi flora dan fauna yang terancam
punah

Reif, J.A. Levy, Y. 1993. Kamus bahasa Inggris untuk pelajar. P.T.Kesaint Blanc
Indah Corp Bekasi

Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati


dan ekosistemnya.

Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan

Zain, S.A. 1998. Aspek pembinaan kawasan hutan dan stratifikasi hutan rakyat

Anda mungkin juga menyukai