PENDAHULUAN
1
Secara sederhana konservasi diberi pengertian tentang upaya pemanfaatan
lingkungan dan atau sumber daya alam yang dilakukan saat ini, tetapi tetap
mempertahankan keberadaanya di waktu mendatang. Keberadaan dalam hal ini
tidak hanya dalam arti kualitas tetapi juga dalam arti kuantitas. Oleh karenanya
konservasi akan dapat menghasilkan kelestarian. Adanya kelestarian terhadap
sumberdaya alam dan lingkungan akan menjamin terciptanya pemanfaatan yang
berlanjut sehingga pembangunan berkelanjutan dapat terwujud.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk:
1. Memahami pengertian dari konservasi
2. Memahami azas dan tujuan konservasi
3. Memahami konservasi pada tingkat spesies dan populasi
4. Memahami konservasi pada tingkat komunitas, ekosistem dan bentang
alam (landscape)
5. Memahami upaya pemulihan pada suatu daerah ekosistem yang rusak:
ekosistem gambut
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu untuk menambah wawasan
mahasiswa tentang pentingnya konservasi dan diharapkan dapat ikut berperan
serta dalam melaksanakan konservasi baik dalam lingkungan sehari-hari dan
masyarakat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Konservasi dapat dilakukan secara in-situ dan ex-situ. In-situ adalah upaya
konservasi di dalam habitat alaminya. Sedangkan ex-situ adalah upaya konservasi
di luar habitat alaminya.
4
Tujuan suatu rencana konservasi secara umum adalah untuk memastikan tidak
terjadinya kehilangan keanekaragaman hayati. Adanya keterwakilan, kemudian,
merupakan prinsip mendasar dalam perencanaan konservasi dan mengacu pada
seberapa baik kondisi keanekaragaman hayati, baik genetik, spesies, komunitas
terwakili dalam konservasi (Watson dalam Tim Forum RKBA, 2014). Tujuan
konservasi adalah pelestarian biosfer yang berfungsi penuh sebagai satu-satunya
habitat manusia. Pada dasarnya konservasi merupakan suatu perlindungan
terhadap alam dan makhluk hidup lainnya. Sesuatu yang mendapat perlindungan
maka dengan sendiri akan terwujud kelestarian.
5
b. Flagship species: spesies yang dipilih sebagai ikon atau simbol untuk
mendefinisikan suatu habitat, isu, kampanye atau dampak lingkungan. Dengan
memfokuskan dan mengusahakan konservasi jenis ini, status jenis lain yang
menempati habitat yang sama atau rawan menjadi ancaman yang sama juga
akan menjadi lebih baik. Flagship species relatif berukuran besar, dan
kharismatik dalam budaya barat contohnya panda, Rafflesia, dan jenis lainnya
yang biasa dijadikan simbol di dalam lambang dan sebagainya.
c. Keystone species: jenis yang jika hilang keberadaannya pada ekosistem maka
akan mengakibatkan perubahan yang hebat terhadap populasi jenis lain atau
proses ekosistem; serta yang memiliki fungsi yang vital dalam komunitasnya.
Jika hilang jenis ini akan mengakibatkan perubahan yang signifikan atau
fungsi yang salah yang bisa berefek pada skala yang lebih besar. Contohnya
gajah dalam memelihara struktur habitat serta kelelawar dan serangga di
dalam polinasi. Dengan memfokuskan pada keystone species, aksi konservasi
dari spesies membantu melindungi struktur dan fungsi habitat yang luas yang
berhubungan dengan spesies ini selama siklus hidupnya.
d. Foot print impacted spesies: spesies yang populasinya terancam akibat
konsumsi yang tidak berkelanjutan, seperti eksploitasi, perburuan atau
penangkapan berlebih. Contohnya adalah hiu, terumbu karang dan tuna.
Populasi adalah kelompok individu dari jenis tertentu di tempat tertentu
yang secara alami dan dalam jangka panjang mempunyai kecenderungan untuk
mencapai keseimbangan populasi secara dinamis sesuai dengan kondisi habitat
beserta lingkungannya (Suprayitno, 2008). Populasi merupakan sekelompok
individu dalam satu spesies yang menempati suatu habitat yang menggunakan
sumberdaya dengan cara yang sama dan dipengaruhi oleh faktor-faktor
alam.Konservasi pada tingkat populasi juga dilakukan untuk melindungi dan
melestarikan beberapa jumlah spesies yang terancam punah yang mendiami suatu
tempat dan waktu yang sama.
6
1. Mempertahankan keanekaragaman genetik dan arena lingkungan
Dalam pengertian yang luas, keanekaragaman biologis dan faktor-faktor yang
mendukung mencakup semua keragaman genetik di dalam populasi spesies dan
banyak proses ekosistem yang menyediakan tempat terjadinya evolusi. Saat ini
upaya konservasi jauh tertinggal dibelakang laju penurunan dan punahnya spesies.
Banyak populasi spesies telah berkurang sampai ke jumlah yang sangat rendah
akibat perubahan habitat oleh aktivitas manusia. Ketika hal tersebut terus
meningkat maka untuk memfokuskan pada pelestarian keanekaragaman genetik
menjadi kurang praktis (Campbell, 2004).
Upaya untuk memperlambat krisis keanekaragaman biologis adalah
mempelajari secara mendalam ilmu konservasi sambil diaplikasikan atau disebut
dengan “Learn as we apply” (Campbell, 2004). Ilmu konservasi lebih
memfokuskan pada proses yang mendukung ekosistem dan hubungan evolusioner
yang mewakili oleh spesies daripada melestarikan spesies individual atau
populasi.
7
Gambar 1. Suatu metapopulasi ikan air tawar yang diubah oleh aktivitas manusia
(Sumber: Campbell, 2004)
8
sejarah kehidupan, keragaman genetik, dan respon suatu populasi terhadap kondisi
lingkungan, khususnya gangguan. Analisis viabilitas populasi bisa memprediksi
ukuran minimum populasi yang dapat bertahan hidup, jumlah individu terkecil
yang diperlukan untuk mempertahankan suatu populasi, subpopulasi atau spesies.
Taksiran ukuran minimum populasi yang bertahan hidup bisa didasarkan pada
penentuan ukuran populasi efektif (N), yang merupakan fraksi dari populasi total
yang benar-benar menghasilkan generasi berikutnya.
9
untuk menentukan prioritas konservasi bagi perlindungan spesies dan komunitas,
yaitu kekhasan, keterancaman, dan kegunaan.
a. Kekhasan
Suatu komunitas hayati diberi prioritas yang lebih tinggi bagi konservasi bila
komunitas tersebut lebih banyak disusun oleh spesies endemik daripada
spesies yang umum dan tersebar luas. Suatu spesies dapat diberi nilai
konservasi yang lebih tinggi bilasecara taksonomis bersifat unik, misalnya
spesies yang merupakan anggota tunggal dalam marga atau sukunya
dibandingkan dengan anggota suatu marga dengan banyak spesies.
b. Keterancaman
Spesies yang menghadapi ancaman kepunahan akan lebih
pentingdibandingkan sepsies yang tidak terancam kepunahannya. Komunitas
hayati yang terancam dengan penghancuran langsung juga harus mendapat
prioritas untuk dikonservasi.
c. Kegunaan
Spesies yang memiliki kegunaan nyata atau potensial bagi manusia
perlu diberikan nilai konservasi yang lebih dibandingkan spesies yang tidak
mempunyai kegunaan yang jelas bagi manusia. Sebagai contoh, kerabat-
kerabat liar dari gandum yang mempunyai potensi untuk mendukung
pengembangan varietas tanaman perlu diberikan prioritas yang lebih tinggi
apabila dibandingkan dengan spesies-spesies rerumputan yang tidak
tercatat mempunyai hubungan dengan tumbuhan bernilai ekonomis (Wilyan
Suri, 2009)
Konservasi pada tingkat komunitas akan memungkinkan pelestarian sejumlah
besar spesies dalam kesatuan-kesatuan yang bekerja mandiri, sementara strategi
penyelamatan spesies sasaran secara satu per satu biasanya sulit dilakukan, mahal
dan seringkali tidak berhasil (Primack et al., 1998).
Perlindungan komunitas hayati dilakukan mulai dari mewujudkan kawasan
konservasi, mengelola kawasan perlindungan secara efektif, menerapkan upaya
konservasi di luar kawasan konservasi dan memperbaiki komuniyas hayati pada
habitat yang telah rusak. Pada saat kawasan konservasi ditetapkan, kompromi
sebagai penyeimbang berbagai kepentingan harus dilakukan. Kompromi adalah
katalis bagi pencapaian tujuan pengelolaan kawasan konservasi. Tanpa kompromi,
upaya konservasi dapat berjalan lambat bahkan terhenti ditengah jalan.
10
Ekosistem adalah suatu kompleks dinamis yang terdiri dari komunitas biotik
dan abiotik berupa tumbuhan, hewan, jasad renik dan lingkungan mereka yang
saling berinteraksi sebagai unit fungsional dan menghasilkan energi serta daur
hara (David Ardhian, dkk, 2014). Perbedaan antar ekosistem hanya pada unsur-
unsur penyusun masing-masing komponen tersebut.
Ekositem perlu dikelola dengan baik agar komponen yang terdapat
didalamnya tetap terjaga sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Kegiatan yang dilakukan pada suatu lokasi harus mengacu pada pendekatan
ekosistem agar dapat meminimalisir gangguan(David Ardhian, dkk,
2014).Pendekatan ekosistem merupakan strategi untuk pengelolaan terpadu tanah,
air dan sumber daya hidup yang mempromosikan konservasi dan pemanfaatan
berkelanjutan dengan cara yang adil.
Bentang alam (landscape) adalah suatu kesatuan regional dari ekosistem-
ekosistem yang saling berinteraksi, seperti hutan atau patch hutan, lahan
terbukayang berdekatan, lahan basah, anak sungai, habitat tepi aliran/riparian
(Campbell, 2004). Struktur bentang alam terdiri dari unit-unit berupa matrix,
patch,dan corridor. Matrix (matriks) adalah bercak yang mendominasi bentang
alam, patch (bercak) merupakan area homogen yang dapat dibedakan dengan
daerah di sekitarnya, dan corridor adalah patch yang berbentuk memanjang (Suer
Suryadi, dkk, 2016).
Untuk mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati, jasa ekosistem,
perubahan iklim, dan faktor negatif lainnya yang berdampak pada lingkungan,
maka perlu pendekatan baru yang berfokus pada bentang alam di luar kawasan
konservasi. Upaya-upaya global untuk melindungi keanekaragaman hayati telah
beralih dari pendekatan spesies dan kawasan kepada ekosistem dan bentang alam
untuk meningkatkan kesinambungan dan ketahanan kawasan. Untuk memastikan
tercapainya tujuan konservasi pada skala bentang alam, maka sangat penting
untuk menghubungkan target konservasi dengan tujuan pembangunan yang lebih
besar, seperti pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, pendidikan dan
perubahan iklim, serta strategi yang memandu pendekatan konservasi bentang
alam (Suer Suryadi, dkk, 2016).
11
1. Pingiran dan koridor dapat sangat mempengaruhi keanekaragaman
biologis bentang alam
Perbatasan (pinggiran) diantara ekosistem-ekosistem dan di sepanjang ciri
menonjol ekosistem mempunyai kumpulan kondisi fisik dan komunitas spesies
yang unik. Pinggiran menjadi semakin luas ketika fragmentasi habitat semakin
meluas, dan spesies yang beradaptasi dengan pinggiran bisa menjadi semakin
dominan. Sebagai contoh, permukaan tanah suatu pinggiran antara suatu bagian
hutan dan suatu daerah yang terbakar menerima lebih banyak cahaya matahari dan
umumnya lebih panas dan lebih kering dibandingkan dengan bagian dalam hutan,
tetapi lebih sejuk dan lebih lembap dibandingkan dengan permukaan tanah di
daerah yang terbakar (Campbell, 2004).
Koridor pergerakan merupakan ciri dari bentang alam khususnya dimana
habitat telah terfragmentasi secara besar-besaran. Koridor Pergerakan adalah
barisan atau rumpun habitat berkualitas yang menghubungkan patch-patch habitat,
bisa menggalang penyebaran dan membantu menopang metapopulasi, atau dapat
pula menggalang kondisi yang membahayakan.
2. Cagar alam seharusnya merupakan bagian fungsional dari bentang alam
Banyak pertanyaan mengenai penyediaan dan pemeliharaan cagar alam masih
tetap ada hingga saat ini. Mempertahankan keanekaragaman biologis dalam cagar
alam selama periode waktu yang lama memerlukan pengelolaan untuk
menyediakan gangguan yang cukup dan untuk menjamin bahwa aktivitas manusia
di bentang alam sekelilingnya mendukung habitat yang dilindungi. Upaya
konservasi seringkali melibatkan pekerjaan dalam wilayah bentang alam yang
sebagian besar didominasi oleh manusia.
12
Gambar 2. Konsep cagar terzonasi dalam pengelolaan bentang alam
(Sumber: Campbell, 2004)
13
lebih lambat dibandingkan dengan laju perusakan oleh aktivitas manusia. Dalam
Campbell (2004) dijelaskan bahwa ilmu baru ekologi restorasi mencari data untuk
mengembangakan pemulihan ekosistem yang telah rusak dan mempertahankan
keanekaragaman biologis. Upaya restorasi seringkali melibatkan upaya
bioremediasi dan augmentasi. Bioremediasi adalah penggunaan organisme untuk
mendetoksifikasi ekosistem yang tercemar. Augmentasi merupakan proses
ekosistem, seperti perubahan suksesi. Proses augmentasi ekosistem memerlukan
penetuan faktor misalnya nutrien kimiawi, yang telah hilang dari suatu daerah dan
membatasi laju pemulihan daerah tersebut.
2.5 Upaya Pemulihan Pada Suatu Daerah Ekosistem Yang Rusak : Ekosistem
Gambut
Kerusakan fungsi ekosistem gambut terjadi akibat dari pengelolaan lahan yang
salah dengan pemilihan komoditas bisnis yang tidak sesuai dengan karakteristik
lahan gambut. Ditambah dengan pengurasan air gambut yang berakibat
kekeringan (kering tak balik) pada gambutnya itu sendiri yang saat ini sebagai
pemicu kebakaran. Fakta dilapangan menunjukkan kebakaran yang terjadi hampir
setiap tahun dengan luasan yang selalu bertambah merupakan kenyataan bahwa
gambut tidak lagi dalam kondisi alaminya atau sudah mengalami kerusakan
(Chandra wahyu, 2015).
Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama kerusakan hutan
tropis di Indonesia. Pada tahun 1997/98 tercatat sekitar 2.124.000 ha hutan rawa
gambut di Indonesia terbakar (Tacconi, 2003 dalam Iwan Tricahyo W., dkk).
Bahkan banyak sekali dijumpai kasus terbakarnya kembali lokasi yang sama
hingga beberapa kali. Sebagian besar kebakaran yang terjadi di hutan gambut
14
tergolong berat mengingat karakteristik gambut itu sendiri yang tersusun dari
serasah bahan organik dengan vegetasi diatasnya, dan berpotensi sebagai bahan
bakar. Karenanya, pada hutan gambut dikenal istilah ground fire, yaitu kebakaran
di bawah permukaan yang sangat berdampak buruk terhadap lingkungan.
Kebakaran tersebut bisa juga terjadi secara serempak pada bagian bawah maupun
atas permukaan gambut, sehingga tidak heran jika setelah kebakaran, vegetasi di
atas permukaan gambut maupun lapisan tanah gambutnya menghilang dan pada
musim hujan lokasi ini akan tergenang air yang menyerupai danau.
Konversi pengembangan lahan perkebunan sawit menjadi penyebab dominan
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau selama ini. Ekosistem gambut
yang ada di Riau menjadi potensi utama kebakaran menjadi semakin parah. Lahan
gambut diubah fungsinya menjadi areal perkebunan, dengan kondisi kering. Sifat
lahan gambut jika terbakar sulit untuk dipadamkan, karena kedalaman gambut di
bawah anah yang bisa mencapai sepuluh meter. Struktur ekosistem gambut
sebetulnya sudah dipahami oleh pemerintah Provinsi Riau, namun kebakaran
masih saja terulang (Geovani M., 2016).
Selain menyebabkan polusi, kerusakan ekosistem dan kehilangan
biodiversitas, kebakaran pada rawa gambut juga menyebabkan penurunan
permukaan gambut dan gangguan tata air tanah gambut. Keadaan ini pada
akhirnya menyebabkan pemulihan ekosistem gambut bekas kebakaran melalui
proses suksesi alami menjadi terganggu dan bahkan terhambat (Iwan Tricahyo
W., dkk).
Mengingat besarnya kerugian akibat kerusakan fungsi ekosistem gambut
tersebut, pemerintah harus berkomitmen untuk melakukan upaya-upaya
rehabilitasi dan pemulihan fungsi ekosistem gambut sampai pada kondisi
alaminya. Menjaga kubah gambut sebagai pengendali hidrologi pada satu
kesatuan hidrologis gambut (KHG). Upaya pemulihan fungsi ekosistem gambut
bisa dilakukan melalui :
15
Rehabilitasi ekosistem gambut
(Chandra wahyu, 2015)
16
Melaksanakan rehabilitas terhadap areal bekas kebakaran yang ada dan
meningkatkan sumberdaya manusia baik petugas maupun masyarakat dalam hal
pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan menjaga suatu ekosistem
(Andri Ginson, 2003).
17
Gambar 3. Gundukan untuk menanam bibit
(Sumber: Arinal, 2004)
Sedangkan tahap-tahapan pengerjaannya adalah sebagai berikut:
Pada akhir musim kemarau sebelum turun hujan dibuat gundukan tanah gambut
yang jumlahnya sesuai dengan jumlah bibit yang akan ditanam (dalam hal ini
sebanyak 20.000 gundukan).Jika gundukan dibuat pada saat musim hujan,
maka tanah gambut yang di gundukan akan sulit menyatu atau tercerai berai.
Untuk menghindari gundukan gambut runtuh, maka setiap gundukan diberi
pembatas (kotak) berbentuk segi empat atau segi tiga berukuran 1 x 1 meter.
Pembatas ini dapat dibuat dengan menggunakan sisa-sisa onggokan kayu di
lapangan (lihat gambar 3).
Setelah hujan turun selama satu minggu bibit-bibit mulai ditanam pada lubang
yang dibuat di atas gundukan
(Arinal, 2004)
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konservasi merupakan upaya pelestarian lingkungan, tetapi tetap
memperhatikan manfaat yang dapat diperoleh pada saat itu dengan tetap
mempertahankan keberadaan setiap komponen lingkungan untuk pemanfaatan
masa depan.Secara hukum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 5
tahun 1990 tentang Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati
dalam ekosistemnya secara serasi dan seimbang dan bertujuan untuk
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia . Fokus konservasi tingkat
spesies dilakukan pada tingkat populasi. Kunci menyelamatkan spesies adalah
dengan melindungi populasi yang ada. Perlindungan komunitas hayati dilakukan
mulai dari mewujudkan kawasan konservasi, mengelola kawasan perlindungan
secara efektif.
Kerusakan fungsi ekosistem gambut terjadi akibat dari pengelolaan lahan yang
salah dengan pemilihan komoditas bisnis yang tidak sesuai dengan karakteristik
lahan gambut. Upaya pemulihan fungsi ekosistem gambut bisa dilakukan melalui
restorasi ekosistem gambut dan rehabilitasi ekosistem gambut.
3.2 Saran
Kawasan konservasi adalah merupakan salah satu sumber kehidupan yang
dapat meningkatkan kesejahtreraan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu usaha-
usaha konservasi di Indonesia haruslah tetap memegang peranan penting dimasa
yang akan datang, suatu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa usaha
konservasi harus dapat terlihat memberikan keuntungan kepada masyarakat luas,
hal ini penting untuk mendapat dukungan dan partisipasi seluruh lapisan
masyarakat.
19
DAFTAR PUSTAKA
Andri Ginson. 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan di
Taman Nasional Berbak Jambi. Prosiding Semiloka. Center for International
Forestry Research. Palembang, Sumatera Selatan. Indonesia
Arinal, I. dan INN Suryadiputra. 2004. Kegiatan Penanaman Kembali
(Rehabilitasi) Berbagai Jenis Tanaman Kehutanan pada Lahan Gambut Bekas
Terbakar di dalam Kawasan Taman Nasional Berbak Jambi. CCFPI. Wetlands
International - Indonesia Programme. Jambi. Indonesia
Art, Henry W., 1993. The Dictionary of Ecology and Environmental Science. A
Henry Holt Reference Book. New York.
Bitar. 2016. Pengertian, Tujuan, Manfaat Dan Jenis Konservasi beserta Contohnya
Terlengkap. http://www.gurupendidikan.com/ (diakses pada 17 Mei 2017)
Buletin Konservasi Biodiversitas Raja4. 2014. “Konservasi Spesies”. FPPK
UNIPA. e-ISSN: 2338-5561. Vol.11 No. 3
Campbell, Neil A., Jane B. Reece, Lawrence G. Mitchell. 2004. Biologi. Edisi
Kelima Jilid III. Jakarta : Erlangga
Chandra wahyu. 2015. Pedoman Pemulihan Ekosistem Gambut. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. https://www.academia.edu/ (diakses pada
15 Mei 2017)
David Ardhian, Paul Mario Ginting, dan Arief Tajalli. 2014. Panduan
Pengelolaan Program Konservasi Berbasis Pendekatan Ekosistem.
Kalimantan: Penabulu Alliance
Ervizal A.M. Zuhud, Ellyn K. Damayanti, Agus Hikmat.Pengembangan Desa
Konservasi Hutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Kemandirian
Obat Keluarga : Strategi Pembangunan Masyarakat Indonesia Dalam Era
Globalisasi Denganberbasis Pengembangan Etnobiologi Dan Ipteks
Konservasi Keanekaragaman Hayati Lokal.Bagian Konservasi Keaneka
Ragaman Tumbuhan. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan
Ekowisata,Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Geovani Meiwanda. 2016. Kapabilitas Pemerintah Daerah Provinsi Riau:
Hambatan dan Tantangan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 19, Nomor 3, (251-263) ISSN 1410-
4946
Iwan Tricahyo Wibisono, Labueni Siboro & INN Suryadiputra. “Seri Pengelolaan
Hutan dan Lahan Gambut: Rehabilitasi Hutan/Lahan Rawa Gambut Bekas
Terbakar”. Wetlands International-Indonesia Programme. Jambi. Indonesia
20
Maizer Said Nahdi. 2008. Konservasi Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Hutan Tropis Berbasis Masyarakat. Kaunia, Vol. IV, No. 2 : 159-172
Primack, R.B., J. Supriyatna, M. Indrawan, & P. Kramadibrata. 1998. Biologi
konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor:P.31/Menhut-II/2012tentang Lembaga Konservasi. Menteri Kehutanan
Republik Indonesia. Jakarta
Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sekretariat Negara. Jakarta
Suer Suryadi, Robi Royana, Nurman Hakim, Sunjaya, Agustinus Wijayanto, Koen
Meyers, Edy H. Wahyono, Nano Sudarno, Akbar A. Digdo, Ichlas al-Zaqie.
2016. Rencana Induk: Pengembangan Konservasi Bentang Alam Skala Besar
di Sumatera dan Kalimantan. Jakarta: Yayasan Belantara
Suprayitno. 2008. Teknik Pengelolaan Konservasi Keanekaragaman Hayati.
Bogor: Departemen Kehutanan Pusat Diklat Kehutanan
Tim Forum RKBA. 2014. Rencana Konservasi Bentang Alam Kota Palangka
Raya Provinsi Kalimantan Tengah. Jakarta: Indonesia Forest and Climate
Support (USAID IFACS)
Wilyan Suri. 2009. Konservasi Pada Tingkat Komunitas. http://wilyansuri.
blogspot.co.id/2009/12/konservasi-tingkat-komunitas.html (diakses pada 17
Mei 2017)
Yustina dan Elya Febrita. 2013. Ilmu Pengetahuan Lingkungan. Program Studi
Pendidikan Biologi, FKIP Universitas Riau. Pekanbaru
21