KAWASAN KONSERVAS
DI SUSUN
OLEH
MISHAEL STEFANO SEU
D 101 21 546
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
Kata Pengantar
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanawatta’ala. Yang telah memberi
berkat rahmat dan hidayah-NYA. Solawat beserta salamnya semoga tercurah kepada Nabi
melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulian makalah ini terselesaikan dengan
Dalam penulisan hasil makalah ini penulis menggunakan seluruh kemampuan untuk
menyelesaikan tugas ini. Walaupun penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, baik dari segi penulisan atau hasil penelitiannya. Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kepada semua pihak yang berkompeten dalam permasalahan
makalah hasil resensi dari berbagai situs dan sumber ini untuk memberikan saran serta
MISHAEL STEFANO S
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penulisan
BAB II
2.1. Pengelolaan Kawasan Konservasi Dara
2.1.1. Pengembangan Unit Pengelola Hutan Konservasi
2.1.2. Pembentukan dan Pembangunan KPHK
2.1.3. Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK)
2.1.4. Membangun Institusi
2.1.5. Kewenangan
2.1.6. Taman Hutan Raya (Tahura)
2.2. Bentuk Konservasi Perairan di Indonesia
2.2.1. Kawasan Konservasi Laut Menekan Dampak Perubahan Iklim
2.2.2. Kawasan Konservasi Laut Melindungi Biota Laut
2.2.3. Kawasan Konservasi Laut Mendukung Perikanan Pantai
2.2.4. Kriteria Standar Kawasan Konservasi Laut
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak 1982, setelah menjadi tuan rumah Kongres Taman Nasional ketiga di Bali,
Indonesia telah menetapkan prioritas teratas pada pengembangan taman nasional. Dimulai
dengan mengumumkan lima taman nasional sebelum pelaksanaan kongres (1980) dan
menambahkan 11 taman nasional pada waktu kongres berlangsung (1982), Indonesia saat
ini telah membangun 51 taman nasional di seluruh negeri. Pengelolaan taman nasional di
Indonesia mulai dengan membangun lembaga yang bertujuan pada menerapkan sistem
pengeloaan taman nasional seperti yang diadopsi di Bali (1982). Instusi yang
dikenal sebagai Sub Balai Kawasan Pelestarian Alam ini awalnya disupervisi oleh Balai
Perlindungan dan Pengawetan Alam dan sekarang telah berubah menjadi Balai/Balai
Besar Taman Nasional.Struktur Balai Besar Taman Nasional ini terdiri dari unit pengelola
yang melakukan konservasi sumber daya alam dan ekosistem di bawah dan bertanggung
jawab kepada Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya,
Balai Besar Taman Nasional bertanggung jawab untuk melakukan:
1. Inventarisasi potensi kawasan, pembagian zona (zoning), dan mempersiapkan
rencana pengelolaan;
2. Perlindungan dan keamanan kawasan;
3. Pengawasan dampak perusakan sumber daya alam;
4. Pengawasan kebakaran hutan;
5. Pengembangan dan penggunaan non-komersial spesies tanaman dan binatang
liar;
6. Perlindungan jenis tumbuhan dan satwa liar, habitat dan sumber-sumber
genetik, termasuk pengetahuan tradisional di kawasan taman nasional;
7. Pengembangan dan penggunaan layanan ekosistem;
8. Evaluasi fungsi yang sesuai telah ditentukan, rencana restorasi ekosistem dan
perubahan tutupan hutan;
9. Layanan data dan informasi, promosi, dan sumber daya alam dan pemasaran
konservasi ekosistem;
10. Kerja sama dan pengembangan kemitraan dalam konservasi sumber daya alam
dan ekosistem;
11. Pengelolaan dan penyuluhan pecinta alam di bidang sumber daya alam dan
konservasi ekosistem;
12. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar taman nasional; dan
13. Administrasi dan masalah perkantoran, serta hubungan masyarakat.
Saat ini, terdapat dua jenis Balai Taman Nasional, yaitu Balai Besar dan Balai
Taman Nasional yang terbagi lagi menjadi Tipe A dan B. Perbedaan ini memengaruhi
struktur organisasi dan jumlah jabatan struktural. Selain itu, untuk meningkatkan
efektivitas pengelolaan di lapangan, pengelola dapat menetapkan posisi non-struktural,
yang disebut Resor yang dipimpin oleh staf non-struktural.
Seperti halnya dengan taman nasional, UPT Konservasi Sumber Daya Alam
dikelompokkan ke dalam Kelas I (Balai Besar) dan Kelas II (Balai). Kedua Balai
Besar dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam dibagi lagi menjadi Tipe A dan Tipe
B. Pembedaan kelas dan jenis mempengaruhi struktur organisasi dan tingkatan posisi
struktural. Untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan di lapangan, pengelola dapat
menetapkan posisi non-struktural, yang disebut resor yang dipimpin oleh staf non-
struktural. Selain itu, untuk mendukung kegiatan resor, Kepala Balai Besar/Balai
Konservasi Sumber Daya Alam dapat menunjuk kepala bagian atau staf non-
struktural sebagai Kepala KPHK sampai ke organisasi dan tata kerja KPHK
sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang dan peraturan.
a) Perencanaan kehutanan;
b) Pengelolaan hutan;
c) Penelitian dan pengembangan kehutanan, pendidikan dan pelatihan, dan
Penyuluhan; dan
d) Pengawasan.
Tidak seperti KPH produksi dan lindung, KPH konservasi dikembangkan dari
kawasan konservasi/hutan yang telah ditunjuk dan dikelola oleh Balai Besar/Balai
Taman Nasional atau Konservasi Sumber Daya Alam (untuk kawasan konservasi non-
taman nasional). Selain itu, kewenangan pengelolaan kawasan konservasi berada pada
pemerintah pusat, yaitu KLHK. Oleh karena itu, KPHK adalah sebuah organisasi
pemerintah pusat di tingkat tapak, kecuali Taman hutan raya (Tahura) yang berada di
bawah kewenangan pemerintah Kabupaten atau, jika taman tersebut melintasi batas
kabupaten, di bawah Pemerintah Provinsi.
Meski sistem KPH akan diterapkan, fungsi kawasan konservasi seperti yang
dijelaskan di atas tidak berubah. Konsekuensinya, pengelolaan harus sesuai dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya yang selanjutnya diatur dengan peraturan Pemerintah No. 28 tahun
2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Perlindungan
Alam (KPA). Saat ini, KPH taman nasional merupakan taman nasional yang dikelola
oleh Balai Besar Taman Nasional. KPH non-nasional adalah kumpulan kawasan
konservasi non-taman nasional, kecuali taman hutan raya.
Mengingat aspek dan faktor yang disebutkan di atas, laporan Kriteria dan Indikator
Rancangan Pembangunan KPHK (2015) harus diubah secara hati-hati menjadi pedoman
teknis sebagai dasar pembentukan KPHK baru serta mendesain ulang KPHK yang ada,
terutama yang ditentukan sebelumnya. Sampai 2015, penunjukan KPHK ini ternyata hanya
berdasarkan aspek ukuran tanpa mempertimbangkan kawasan konservasi yang berdekatan
dan lansekap sekitarnya. Oleh karena itu, KPHK tersebut hanya terdiri dari satu taman
nasional atau kawasan konservasi non-taman nasional (cagar alam atau suaka margasatwa).
Oleh sebab itu, penelaahan ulang terhadap persebaran dan batas spasial KPHK ini harus
dilakukan berdasarkan tujuan khusus konservasinya.
Tahura adalah kawasan untuk koleksi tanaman dan/atau hewan yang dapat terdiri dari
alam atau buatan manusia dan dengan spesies asli dan/atau non-asli yang tidak dikategorikan
sebagai invasif. Tahura digunakan untuk tujuan penelitian, kegiatan ilmiah, pendidikan,
dukungan budidaya, budaya, pariwisata atau rekreasi. Saat ini, banyak Tahura dikelola oleh
lembaga atau unit kerja khusus, seperti Unit Pelaksana Teknis KPH sebagai subordinat dari
masing-masing Dinas Kehutanan. Oleh karena itu, untuk beberapa kasus, Gubernur atau
Bupati/Walikota dapat menetapkan KPHK untuk Tahura dengan mengubah institusi yang
ada. Selain itu, KPHK Tahura yang telah mapan dapat menerapkan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK BLUD). Dengan menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan ini, pengelolaan Tahura akan dapat menginvestasikan kembali
pendapatan mereka dari pengelolaan sumber daya.
Meskipun KPHK telah ditetapkan sejak 2009, struktur organisasi masih belum
didefinisikan secara jelas. Penerbitan berbagai keputusan menteri tentang KPHK dapat
dianggap hanya memberi label pada taman nasional yang dipilih, cagar alam dan cagar alam
ketat dan suaka alam karena hampir tidak ada perubahan pengelolaan yang dilakukan. KPHK
Taman Nasional di bawah Balai Taman Nasional masih dikelola seperti sebelumnya. Bahkan
lebih buruk lagi, non-taman nasional yang ditunjuk tetap ada tanpa institusi khusus untuk
mengelola kawasan tersebut. KPHK ini masih dikelola oleh Balai Besar/Balai Konservasi
Sumber Daya Alam yang hanya menjaga kawasan tanpa mendapat pengakuan khusus seperti
KPHK.
Pada saat ini, organisasi KPHK yang ditunjuk ditempelkan pada Balai Besar Taman
Nasional atau Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang telah ada10. Untuk
taman nasional yang dikelola oleh Balai, Kepala Balai berfungsi sebagai Kepala KPHK,
sedangkan untuk taman nasional yang dikelola oleh Balai Besar, jabatan Kepala KPHK ini
dijabat oleh Kepala Bidang Teknis Konservasi. Dalam hal Balai Besar Konservasi Sumber
Daya Alam, Kepala KPHK dijabat oleh salah satu kepala divisi atau bagian, bergantung pada
pentingnya aspek pengelolaan KPHK non-taman nasional.
a) Memberikan kemungkinan kerja sama dan kolaborasi dengan pihak lain Dalam mencapai
tujuan pengelolaan KPHK;
b) Berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dan pemerintah daerah dalam mengembangkan
zona penyangga KPHK di kawasan perbatasan; dan
c) Memperkuat pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas, memberikan
akses pemanfaatan bagi masyarakat, dan melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan
informasi, pengamanan, pemeliharaan, dan pengendalian.
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal, Kepala KPHK dapat ditunjuk oleh Kepala
Balai Besar Taman Nasional atau Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam,
namun struktur organisasi belum diputuskan. Keadaan ini mengarah pada posisi kepala
KPHK yang tidak jelas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana digariskan
dalam peraturan tersebut. Oleh karena itu, pembentukan organisasi khusus harus
diprioritaskan oleh pemerintah agar dapat menciptakan pengelolaan KPHK yang efektif.
Balai Besar, baik konservasi taman nasional dan sumber daya alam, dapat berperan dalam
mengkoordinasikan pengelolaan KPHK di kawasannya, tergantung pada jumlah KPHK yang
ditetapkan. Balai taman nasional dan kawasan lindung yang berdekatan dapat ditunjuk
sebagai KPHK. Demikian juga, Balai Konservasi Sumber Daya Alam dapat ditunjuk sebagai
bagian dari KPHK lainnya di provinsi ini atau langsung dikonversi ke KPHK.
2.1.5. Kewenangan
Perubahan iklim (pemanasan global dan penurunan pH air laut) merupakan fenomena
global berdampak serius terhadap ekosistem laut. Mitigasi utama perubahan iklim adalah
penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan secara serentak oleh seluruh negara di
dunia. Namun demikian, upaya tersebut perlu didukung mitigasi lokal seperti pengembangan
Kawasan Konservasi Laut (KKL) untuk perlindungan ekosistem pesisir (mangrove, padang
lamun, dan terumbu karang). Ekosistem Mangrove dan lamun yang sehat dapat menyerap
karbon, dan menyimpannya dalam sedimen (Gambar 1) (Duarte et al., 2013). Perlindungan
ekosistem mangrove di Indonesia diestimasi dapat menurunkan emisi karbon yang bersumber
dari daratan sebesar 10-31% (Murdiyarso et al., 2015).
Padang lamun dapat menekan dampak penurunan pH air laut (ocean acidification)
melalui proses fotosintesis. Hal ini dimulai saat padang lamun yang sehat atau dalam kondisi
autotrof mampu menyerap karbon anorganik terlarut (Dissolved Inorganic Carbon, DIC)
dalam jumlah besar, sehingga menaikkan pH air laut. Oksigen (sebagai hasil fotosintesis)
dilepaskan ke dalam sedimen untuk bereaksi dengan karbonat yang kemudian menghasilkan
bikarbonat. Proses ini meningkatkan total alkalinitas sedimen dan menurunkan jumlah DIC
sedimen yang akan dilepas kembali ke kolom air. Simulasi proses tersebut menunjukkan
bahwa padang lamun mampu meningkatkan pH air laut 0.38 unit dan omega aragonite 2.9
unit, sehingga laju kalsifikasi karang Scleractinia yang berada di sekitarnya meningkat 18%
(Unsworth et al., 2012).
Ukuran KKL sangat penting bagi biota yang menetap atau biota yang sebarannya
relatif sempit, karena seluruh proses kehidupannya berlangsung di lokasi tersebut. KKL
berukuran kecil mungkin tidak akan cukup efektif untuk melindungi biota yang tinggal di
dalamnya. Sebagai contoh, penelitian di Kepulauan Fiji menunjukkan bahwa predasi karang
oleh bintang laut Acanthaster spp. di KKL berukuran kecil 2-3.4 kali lebih tinggi
dibandingkan di perairan sekitarnya. KKL berukuran kecil tidak mampu menyediakan
predator bintang laut dalam jumlah cukup, sehingga populasinya tidak terkendali dan pada
akhirnya memangsa karang dalam jumlah besar (Clements & Hay, 2017). Konektivitas antar
KKL, serta konektivitas antara KKL dan perairan umum mungkin lebih penting bagi biota
penjelajah. Meski biota penjelajah hanya menetap di KKL untuk sementara, keberadaan KKL
mampu menurunkan angka mortalitas (Costello, 2014). Konektivitas KKL penting bagi ikan-
ikan yang bermigrasi untuk melanjutkan tahap perkembangannya (ontogenetic migration).
Larva ikan untuk sementara tinggal di habitat pengasuhan (nursery ground), kemudian
migrasi ke habitat pemijahaan (spawning ground) saat mereka telah matang kelamin (White,
2015). KKL juga berfungsi sebagai tempat persinggahan bagi biota yang bermigrasi dalam
jarak yang sangat jauh (>1000 km) sebelum mencapai lokasi tertentu. Sebagai contoh, Penyu
Pipih Natator depressus) di Australia Barat bagian utara, telah singgah di 11 KKL sebelum
mengakhiri migrasinya sejauh 1150 km dengan luas area 30,800 km2(Pendoley et al.,
2014).KKL berperan penting dalam menjaga tingkah laku alami biota laut, seperti aktivitas
makan dan reproduksi. Sebagai contoh, ikan kerapu musang (Epinephelus merra) yang
tinggal di dalam KKL Kepulauan Fiji memakan biota dengan tingkat trofik lebih tinggi
daripada ikan yang tinggal di perairan umum. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan di dalam
KKL dapat memilih beragam makanan (Dell et al., 2015). Penelitian lain menunjukkan
bahwa KKL dapat meningkatkan biomassa ikan yang siap memijah dan menormalisasi rasio
kelamin populasi ikan protogini (ikan yang berganti kelamin dari betina menjadi jantan
setelah mencapai ukuran tertentu) (Grüss et al., 2014).
Peningkatan produksi ikan di perairan umum terjadi karena peran KKL dalam
mengekspor ikan dewasa (spillover effect), dan larva (recruitment effect) (Russ et al., 2004).
Ekspor ikan dewasa dan larva dari KKL ke perairan umum dapat dijelaskan melalui dua
mekanisme, yakni: (1) mekanisme density-dependent, yaitu beberapa ikan akan
meninggalkan KKL saat populasi ikan di dalam KKL tinggi sehingga kompetisi terhadap
sumber daya (seperti makanan dan ruang) meningkat, atau (2) mekanisme density-
independent, seperti perpindahan karena masih dalam area jelajah, migrasi ontogenetic, dan
migrasi karena tingkah laku reproduksi (Di Lorenzo et al., 2016). Pendapat lain menyebutkan
bahwa KKL pada awalnya hanya mengekspor ikan dewasa. Jika populasi ikan dewasa di
dalam KKL telah maksimum dan stabil, KKL baru mengekspor larva ke perairan umum.
Ekspor ikan dewasa dari KKL ke perairan umum telah dilaporkan di beberapa tempat
dengan beragam komoditas perikanan. Hasil penandaan biota di perairan Mediterania
menunjukkan bahwa 38% individu lobster Palinurus elephas yang ditemukan di perairan
umum berasal dari KKL di dekatnya (Follesa et al., 2011). Hasil penelitian lain di perairan
estuari Laguna Sungai Indian bagian utara, Florida, menunjukkan bahwa 16% ikan-ikan
target untuk rekreasi mancing (seperti Sciaenops ocellatus, Pogonias cromis, Archosargus
probatocephalus, Centropomus undecimalis, Cynoscian nebulosus, Carcharhinus leucas, dan
Caranx hippos) yang ditemukan di perairan sekitar merupkan hasil limpahan dari KKL di
dekatnya (Tremain et al., 2004). Jumlah ikan yang didapat perairan umum dari ekspor KKL
tergantung dari jarak perairan tersebut terhadap batas KKL. Perairan umum yang dekat
dengan KKL cenderung menerima limpahan ikan yang lebih banyak. Hasil pemodelan
menunjukkan bahwa efek limpahan KKL maksimum sejauh 800 m dari batas KKL (Halpern
et al., 2010). Namun demikian, hasil pengamatan di lapangan dengan metode penandaan
biota (tagging) menunjukkan bahwa efek limpahan KKL masih terdeteksi hingga 20 km dari
batas KKL untuk obyek studi lobster (Follesa et al., 2011) dan bahkan hingga 150 km untuk
obyek studi ikan (Tremain et al., 2004)
Ekspor larva dari KKL ke perairan lain dibuktikan melalui studi genetika populasi.
Hasil DNA parentage analysismenunjukkan bahwa KKL di Great Barrier Reef mengekspor
anakan ikan kerapu merah (Plectropomus maculatus) sebesar 83% dan anakan ikan kakap
(Lutjanus carponotatus) sebesar 55% ke perairan umum (Harrison et al., 2012). Studi lain
menggunakan microsatellite loci analysis menunjukkan bahwa juvenil ikan White Sea Bream
(Diplodus sargus sargus) di area KKL dan perairan umum Mediterania memiliki jarak genetik
(Fst) yang berbeda tidak nyata (p>0.05). Hasil itu menunjukkan bahwa juvenil ikan di
perairan tersebut berasal dari satu populasi, sehingga ada kemungkinan terjadi ekspor-impor
antara KKL dan perairan umum (Di Franco et al., 2012).
Manfaat Kawasan Konservasi Laut (KKL) dalam mitigasi perubahan ekologi laut
dapat diperoleh secara optimal, jika KKL memenuhi kriteria tertentu. KKL yang efektif
memiliki empat prinsip, yaitu: representation, replication, geographically widespread
network, dan self-sustaining total area (Ballantine, 2014).
Representation berarti bahwa KKL harus mencakup seluruh ekosistem laut yang khas
pada daerah tersebut, sehingga proses-proses ekologi di dalamnya dapat terjaga (Ballantine,
2014). KKL juga harus mencakup area dengan keanekaragaman hayati tinggi, area penting
untuk fungsi ekosistem atau spesies tertentu, dan area dengan produktivitas tinggi (Stevens,
2002). Ekosistem pesisir tersusun oleh tiga ekosistem utama, yaitu: mangrove, padang lamun,
dan terumbu karang. Ketiga ekosistem tersebut terhubung satu sama lain, baik melalui
penyebaran biota laut (Honda et al., 2013) atau perpindahan energi (Berkström et al., 2013).
Oleh karena itu, KKL di suatu daerah idealnya mencakup ekosistem-ekosistem tersebut,
namun beberapa daerah lain mungkin hanya memiliki satu atau dua tipe ekosistem.
Replication berarti bahwa KKL harus terdapat di beberapa lokasi (Ballantine, 2014).
Ini bertujuan untuk mencakup seluruh keanekaragaman habitat di suatu wilayah dan
mengantisipasi hilangnya fungsi KKL akibat fenomena alam atau aktivitas manusia (Roberts
etal., 2003). Jika salah satu KKL rusak, ada beberapa KKL lain yang masih dapat berfungsi
meski mungkin kurang optimal. Oleh karena itu, suatu daerah dengan banyak KKL berukuran
lebih kecil lebih efektif dibandingkan dengan daerah dengan hanya satu KKL berukuran lebih
besar (Zhou & Wang, 2006). Jumlah KKL di suatu lokasi tergantung dari variabilitas habitat
dan kerentanan habitat-habitat tersebut terhadap faktor-faktor yang mengancam. Beberapa
pakar menyarankan bahwa jumlah ideal KKL di suatu wilayah adalah 3-5 buah (Roberts et
al., 2003; Fernandes et al., 2005; McLeod et al., 2009).
Geographically widespread network berarti bahwa KKL harus terhubung satu sama
lain agar sistem dapat berjalan secara keseluruhan. Konektivitas antar KKL bertujuan untuk
memfasilitasi KKL yang sumber biotanya (telur, larva, juvenil, atau dewasa) berasal dari
KKL lain (Palumbi, 2003; Ballantine, 2014). Konektivitas antar KKL tergantung dari
karakteristik larva (seperti durasi masa larva dan kemampuan berenang larva), kelimpahan
sumber populasi, ketersediaan dan kecocokan habitat di sekitarnya, dan karakteristik fisika-
kimia lingkungan (seperti kecepatan dan arah arus, suhu, dan salinitas) (Shanks et al., 2003;
Treml et al., 2008). Dengan demikian, jarak antara dua KKL yang berdekatan harus cukup
untuk memfasilitasi perpindahan biota. Beberapa pakar menyarankan jarak antar KKL
idealnya berkisar antara 10-30 km, baik untuk keperluan konservasi maupun perikanan
(Shanks et al., 2003; McLeod et al., 2009; Gaines et al., 2010).
Self-sustaining total area berarti bahwa KKL harus cukup luas untuk mendukung
proses-proses di dalamnya dan tidak tergantung dari perairan di sekitarnya. Proporsi ukuran
KKL dalam suatu perairan tidak dapat dihitung secara tepat, namun terdapat standar umum
tergantung dari tujuan KKL tersebut, yaitu: 20% dari luas perairan untuk tujuan konservasi
biota laut, dan 30% dari luas perairan untuk tujuan mendukung perikanan pesisir (Ballantine,
2014). Luas KKL setidaknya 100 km2 agar fungsi perlindungannya optimal (Edgar et al.,
2014). Akan tetapi, angka tersebut dapat berubah dengan pertimbangan dua hal, yaitu: jarak
dispersal biota yang akan dilindungi (Green et al., 2014), dan jumlah individu yang
diperlukan untuk kelangsungan populasi.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
http://kph.menlhk.go.id/index.php?
option=com_phocadownload&view=category&id=118&Itemid=313