TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Ekowisata
2.2.1. Pengertian Ekowisata
Merujuk pada dua kata eco dan tourism, yang ketika di indonesiakan
menjadi kata eko dan turisme atau eko dan wisata. Makna dasar dari dua kata
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut, eco yang dalam bahasa greek (yunani)
berarti rumah, dan tourism yang berarti wisata atau perjalanan (Fandeli dan
Mukhlison, 2000). Pengertian selanjutnya kata eko dapat diartikan sebagai
ekologi atau ekonomi sehingga dari kedua kata tersebut akan memunculkan
makna wisata ekologis (ecological tourism) atau wisata ekonomi (economic
tourism). Namun demikian, hingga dewasa ini masih diperdebatkan para ahli
mengenai makna dari kata dasar tersebut.
Para ahli ekoturisme yang tergabung dalam ecotourism society
menyatakan bahwa ecotourism merupakan ”responsible travel to the natural
areas that conserves the environment and sustains the well being of local people“
(Fandeli dan Mukhlison, 2000). Kemudian konsep tersebut dipertegas dengan
menggabungkan suatu komitmen kuat terhadap alam, rasa tanggung jawab sosial
para wisatawan untuk menjaga kelestarian alam sekitar. Pengertiannya diperluas
lagi bahwa ekowisata sebagai hal yang menciptakan dan memuaskan suatu
keinginan alam, yang berhubungan dengan potensi wisata untuk konservasi dan
pembangunan serta mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi.
World Tourism Organisation (WTO) dan United Nations Environment
Program (UNEP) menyatakan “Ecotourism involves traveling to relatively
undisturb natural areas with the specific objective of studying, admiring, and
enjoying the scenery and its wild plants and animals as well as any existing
cultural aspect found in those area” dan oleh The Adventure Travel Society yang
diacu dalam Garraway et al. (1998) mendefinisikan ecotourism sebagai
“environmentally responsible travel to experience the natural areas and culture of
a region while promoting conservation and economically contribution to local
communities”.
Namun demikian, pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan
dari waktu ke waktu. Pada hakekatnva, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk
wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami
16
menikmati gejala keunikan alam di taman nasional, hutan raya, dan taman wisata
alam, sehingga ekowisata lebih menekankan pada faktor daerah alami, sebagai
suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung
konservasi. Silver (1997); Dymond (1997) memberikan batasan-batasan ruang
lingkup ekowisata sebagai berikut:
1) Menginginkan pengalaman asli;
2) Layak dijalani secara pribadi maupun sosial;
3) Tidak ada rencana perjalanan yang ketat;
4) Tantangan fisik dan mental;
5) Ada interaksi dengan budaya dan penduduk setempat;
7) Toleran pada ketidaknyamanan;
8) Bersikap aktif dan terlibat;
sedangkan Choy dan Heilbron (1997) memberikan batasan lima faktor pokok
yang mendasar yaitu: lingkungan, masyarakat, pendidikan dan pengalaman, serta
keberlanjutan. Ekowisata bertumpu pada lingkungan alam dan budaya yang
terkait dengan mendidik tentang fungsi dan manfaat lingkungan, meningkatkan
kesadaran lingkungan, bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi, serta
menyumbang langsung pada keberkelanjutan, sehingga ekowisata ini memberikan
kesempatan pada negara-negara untuk memanfaatkan atraksi alam yang dimiliki
guna menumbuhkan keuntungan ekonomi melalui pariwisata yang tidak merusak
sumber daya alam.
Konsep tersebut didukung oleh Fennel (1999), yang mendefinisikan
ekowisata sebagai suatu perjalanan dan kunjungan yang bertanggungjawab dari
segi lingkungan ke alam yang relatif tidak terganggu, dalam rangka menikmati
dan menghargai alam, mendukung konservasi, dampak negatif pengunjung yang
rendah serta memberikan manfaat bagi penduduk setempat melalui keterlibatan
aktif mereka secara sosial dan ekonomi.
Cater dan Lowman (1994) menambahkan, ada empat gambaran wisata
yang berlabel ekowisata, yaitu (1) wisata berbasis alam, (2) kawasan konservasi
sebagai pendukung obyek wisata, (3) wisata yang sangat peduli lingkungan, dan
(4) wisata yang berkelanjutan. Sementara itu, Ditjen Perlindungan dan Konservasi
18
penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau kepuasan pemakai pada
kawasan tersebut. Terganggunya pola, tatanan atau sistem kehidupan dan sosial
budaya manusia pemakai ruang tersebut merupakan gambaran telah
terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut. Dampak negatif akibat
terganggunya daya dukung sosial dapat dilihat dari pertengkaran ”perebutan
teritorial” dari kelompok tertentu. Ketidaknyamanan sosial dalam bermain atau
berekreasi karena adanya gangguan sosial, ketakutan dan kecurigaan.
Guna menduga nilai daya dukung suatu kawasan ekowisata, maka harus
terlebih dahulu diketahui berbagai parameter yang mempengaruhi penilaian ini.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa daya dukung lingkungan kawasan
ekowisata ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
1) Faktor wisatawan (pengunjung area wisata);
2) Faktor biofisik lingkungan kawasan
karena umumnya penyebaran pengunjung/wisatawan dalam ruang (kawasan atau
bagian-bagian dari suatu kawasan wisata) dan waktu tidak merata maka daya
dukung lingkungan menjadi sulit dan tidak dapat dihitung berdasarkan rata-rata
ruang dan waktu penggunaan, tetapi harus juga memperhatikan setiap lokasi yang
dikunjungi dan pada waktu-waktu tertentu.
Secara umum beberapa hal yang dapat mempengaruhi daya dukung
kawasan ekowisata, yaitu:
1) Tingkat atau intensitas penggunaan (tinggi, cukup, rendah);
2) Tipe kelompok pengunjung (jumlah, umur, keluarga, kelompok profesional);
3) Perilakunya dalam menggunakan kawasan (baik, toleran, akomodatif,
merusak/mengganggu);
4) Sebaran dan konsentrasi pengunjung pada obyek-obyek wisata tertentu;
5) Fasilitas yang tersedia.
Berdasarkan pengamatan WTO dan UNEP (1992) yang diacu dalam
Nurisyah et al. (2003), faktor-faktor yang dapat atau akan mempengaruhi daya
dukung kawasan ekowisata, adalah:
1) Ukuran ruang atau area yang digunakan;
2) Kerapuhan (fragility) atau kepekaan sumber daya alam dan lingkungan;
3) Topografi dan vegetasi penutup;
25
dalam analisis statistik bukan data dari masing-masing zona. Sehingga metode ini
memerlukan data yang lebih banyak dan analisis lebih rumit, tetapi akan
memberikan hasil yang lebih tepat.
Sedangkan Grigalunas et al. (1998) menyatakan bahwa ada tiga model
travel cost, yaitu (1) zonal travel cost, (2) individual tracel cost, dan (3) discrete
choice travel cost, yaitu model biaya perjalanan yang diperuntukkan bagi
perjalanan yang tidak kontinu, di mana individu mengunjungi suatu lokasi sekali
per musim atau tidak sama sekali. Unsur ketertarikan tidak lagi disebabkan oleh
jumlah trip, tetapi oleh pilihan tertentu apakah akan mengunjungi atau tidak ke
lokasi terpilih.
Dalam membangun fungsi permintaan dalam TCM diperlukan asumsi
dasar agar penilaian sumberdaya alam dengan metode ini tidak bias. Menurut
Haab dan McConnel (2002) yang diacu dalam Fauzi (2006), fungsi permintaan
harus dibangun dengan asumsi dasar, antara lain:
1) Biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga dari
rekreasi;
2) Waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun
disutilitas;
3) Perjalanan merupakan perjalanan tunggal (bukan multitrips).
Kelebihan dari ITCM dibandingkan dengan ZTCM diantaranya :
1) Lebih efisien dari sisi statistik (proses perhitungan);
2) Konsistensi teori dalam perumusan model permintaan dan perilaku individu;
3) Menghindari keterbatasan zonal atau lokasi;
4) Menambah heterogenitas karakteristik populasi pengunjung diantara suatu
zona, serta mengeliminasi efek pengunjung dengan tingkat kunjungan nol
(non-participant).
Meski dianggap sebagai suatu pendekatan praktis, TCM memiliki
beberapa kelemahan, yaitu:
1) TCM dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu hanya memiliki
satu tujuan untuk mengunjungi tempat wisata yang dituju. Artinya TCM tidak
menelaah aspek kunjungan ganda (multipurpose visit), padahal pada
32
2.5.2. Model
Model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan
hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah
sebab akibat (Eriyatno, 1999). Suatu model tidak lain merupakan seperangkat
anggapan (asumsi) mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk
memahami dunia nyata yang memiliki sifat beragam. Model dapat dikategorikan
menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian atau derajat keabstrakannya,
namun pada dasarnya dikelompokkan menjadi tiga (Eriyatno, 1999) yaitu:
1) Model ikonik (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal
baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik
dapat berdimensi dua seperti peta, foto atau berdimensi tiga seperti prototipe.
Untuk model yang berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi
dikonstruksi secara fisik (ikonik) sehingga diperlukan kategori model lainnya
seperti model simbolik.
2) Model analog (model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi
analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji.
Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi
yang khas. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan dalam ekonomi,
kurva distribusi frekuensi dalam statistika, dan diagram alir suatu proses.
3) Model simbolik (model matematik), menyajikan format dalam bentuk angka,
simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan
model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan
matematis (equation).
Dalam pendekatan sistem, pengembangan model (pemodelan) merupakan
titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara
keseluruhan. Melalui pemodelan akan diketahui karakteristik sistem, sehingga
dapat dijadikan sebagai titik masuk bagi intervensi terhadap sistem, sesuai dengan
yang diinginkan. Pemodelan akan melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi
konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi, analisis sensitivitas,
analisis stabilitas, dan aplikasi model.
39
E (t )
E (t ) = rE (t )1 − − D(T (t ), C (t ), E (t ) ) ........................................ (2)
K
D(T(t), C(t), E(t)) melambangkan kerusakan yang muncul akibat kegiatan
wisata, T menunjukkan jumlah wisatawan, C adalah modal yang digunakan
42
2) Aliran kapital merupakan fungsi dari aliran investasi dengan depresiasi dari
nilai kapital yang dirumuskan:
C (t ) = I (T (t ), E (t ), C (t ) ) − δC (t ) .......................................................... (4)
Investasi (I) proporsional terhadap total pendapatan di mana total pendapatan
terkait pula dengan jumlah turis (T). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
investasi proporsional terhadap jumlah turis atau :
I (T , E , C ) =∈ T .................................................................................... (5)
dimana : ∈= investment rate
3) Turis datang atau menunjungi suatu lokasi atau kawasan, ini dikarenakan ada
faktor penarik (attractive factor) A dari lokasi tersebut. Faktor ini kemudian
menjadi salah satu variabel peningkatan jumlah kunjungan (misalnya
informasi dari mulut ke mulut), dengan persamaan yaitu:
dT (t )
T (t ) = = T (t ). A(T (t ), E (t ), C (t )) ………………………… (6)
dt
A adalah relative attractiveness yaitu lag antara absolute attractiveness dan
reference attractiveness value atau:
^
A(T , E , C ) = α (T , E , C ) − α ......................................................... (7)
dimana α adalah reference values yang dipengaruhi oleh “harga” lokasi
atraktif lainnya, ά adalah atraktif yang diinginkan oleh turis, terkait dengan
kualitas lingkungan absolute attractiveness value selengkapnya diberikan
sebagai
α = µE
^ E C
+ µC − αT .................................. (8)
E + ϕE C + ϕCT + ϕC
7) Rehabilitasi sumber daya alam dan lingkugan hidup yang fungsinya rusak dan
terganggu yang mengembangkan dan meningkatkan peran serta masyarakat;
8) Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan bertujuan pada
penataan ruang yang serasi dengan perkembangan kependudukan, pola
pemanfaatan ruang, tata guna lahan, tata guna sumber daya air, laut dan pesisir
serta sumber daya alam lainnya yang didukung oleh aspek sosial budaya
lainnya sebagai satu kesatuan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup yang harmonis dan dinamis;
9) Pengembangan kerjasama bilateral, regional dan internasional secara saling
menguntungkan mengenai pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup,
alih teknologi dan sebagainya.
Arah pembangunan lingkungan hidup dan sumberdaya alam tersebut
menunjukkan adanya kesadaran betapa pentingnya keseimbangan, keselarasan,
dan keserasian sistem ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Diabaikannya salah satu dari sistem tersebut akan mempengaruhi sistem yang
lain. Pembangunan yang semata-mata menempatkan sistem dan fungsi ekonomi
sebagai prioritas dan meninggalkan atau mengabaikan fungsi ekologi, sosial dan
budaya, akan memunculkan masalah-masalah yang kompleks.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dalam pengelolaan
kawasan konservasi pesisir adalah
1) UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya;
2) UU No. 5 Tahun 1994 tentang pengesahan konvensi PBB mengenai
keanekaragaman hayati;
3) UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup;
4) PP No. 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber daya alam hayati di zona
ekonomi eksklusif Indonesia;
5) PP No. 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona
pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam;
6) PP No. 68 Tahun 1998 tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
alam;
47