Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
Lingkungan sebagai suatu biosphere sangat menentukan eksistensi makhluk hidup
yang berada di dalamnya. Makhluk hidup yang beranekaragam, termasuk manusia,
mempunyai tingkat adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang berbeda-beda, sebab
setiap makhluk hidup mempunyai tingkat kerentanan dan kemampuan yang tidak sama
dalam merespons perubahan di lingkungannya. Diantaranya makhluk hidup yang lain,
manusia yang paling cepat menyikapi perubahan yang terjadi dilingkungannya. Menurut
Jacob (1999) sudah galib kiranya bahwa manusia tahu lebih banyak tentang sesuatu yang
dekat dengannya, dalam waktu dan ruang dari pada yang jauh. Hal ini termasuk
pengetahuan tentang lingkungan. Oleh karenanya di dalam pengelolaan lingkungan di
perlukan pengembangan ethnical wisdom atau kearifan local dari penduduk setempat
dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya.
Bebarapa tahun terakhir ini pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara besar-
besaran sehingga menimbulkan efek negatif berupa kerusakan lingkungan. Food
Agriculture Organization (FAO) merupakan badan internasional yang menangani masalah
pangan, menyuguhkan data laju kerusakan hutan di Indonesia dari tahun 2000-2005. FAO
menyatakan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia rata-rata 2% dari luas tanah atau
sebesar 1.871 juta hektar per tahun. Cepatnya laju kerusakan tersebut membuat sejarah
bagi Indonesia sebagai “Negara penghancur hutan tercepat di dunia tahun 2008” yang
dicatat oleh Guinnes World Record (S., Suwito, 2011: 2). Serta masih banyak lagi
kerusakan alam yang diakibatkan oleh ulah manusia karena terlalu mengeksploitasi alam
secara besar-besaran tanpa disertai penanggulangannya.
Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan dimana konservasi
sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia
yang ada, tidak memuat definisi mengenai kawasan konservasi secara jelas. Adapun
pengertian kawasan konservasi yang ditemukan dan digunakan oleh Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam(PHKA), Departemen Kehutanan adalah
“kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman
buru dan hutan lindung”. Sementara itu istilah-istilah yang lebih dikenal adalah “kawasan
lindung“.
Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok sebagai sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem
penyangga kehidupan. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Taman buru adalah kawasan hutan yang
ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
Kawasan konservasi merupakan salah satu cara yang ditempuh pemerintah untuk
melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dari kepunahan. Pengelolaan dan
pengembangan kawasan konservasi ditujukan untuk mengusahakan kelestarian sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Oleh karenanya keberadaan
fungsi-fungsi keanekaragaman hayati tersebut sangatlah penting.
Sampai saat ini, sejumlah kawasan konservasi telah ditetapkan yang jumlahnya
mencapai 28,166,580.30 ha (mencakup 237 Cagar Alam, 77 Suaka Marga Satwa, 50
Taman Nasional, 119 Taman Wisata Alam, 21 Taman Hutan Raya, 15 Taman Buru) di
seluruh Indonesia. Perkembangan pelaksanaan pembangunan secara utuh merupakan
indikasi dalam percepatan pembangunan, pelaksanaan pembangunan pun harus melihat
dari percepatan perluasan peluang kerja, pemanfaatan sumber daya alam dan peruntukan
kawasan. Kawasan konservasi dalam kebijakan pembangunannya baik wilayah, lokasi, dan
kawasan turut menggunakan potensi sumber daya alam. Sektor industri pertanian
merupakan sektor pendukung utama dalam pembangunan, sehingga keputusan kebijakan
penentuan lokasi terutama lokasi industri merupakan bagian penting dalam menciptakan
situasi ekonomi yang lebih maju dan terus maju.tanpa merusak ekosistem kawasan
konservasi.
Salah satu wujud pembangunan sektor industri pertanian adalah pengembangan
agroindusti dengan bahan baku pertanian seperti jagung untuk makanan ternak, kelapa
sawit untuk bahan baku minyak, karet, kopi, tebu, dan lain sebagainya. Konsep yang
digunakan dalam penentuan lokasi agroindstri didasarkan atas landasan teori lokasi dengan
pertimbangan beberapa unsur yaitu jarak, lokasi, bentuk, ukuran, dan skala. (Priyarsono,
Sahara, & Firdaus, 2011).
BAB II
KAJIAN TEORI
Konservasi merupakan suatu upaya yang dapat menghidupkan kembali vitalitas
lama yang telah pudar. Termasuk upaya konservasi bangunan kuno dan bersejarah.
Peningkatan nilai-nilai estetis dan historis dari sebuah bangunan bersejarah sangat penting
untuk menarik kembali minat masyarakat untuk mengunjungi kawasan atau bangunan
tersebut sebagai bukti sejarah dan peradaban dari masa ke masa. Upaya konservasi
bangunan bersejarah dikatakan sangat penting. Selain untuk menjaga nilai sejarah dari
bangunan, dapat pula menjaga bangunan tersebut untuk bisa dipersembahkan kepada
generasi mendatang.
Pada umumnya kota-kota besar baik di Indonesia maupun kota-kota besar di
belahan dunia mempunyai perjalanan sejarah yang cukup panjang. Kota-kota besar tertentu
seperti Paris, London, Mandrid, Amsterdam, Lisabon, dsb. Kota-kota besar di Indonesia
seperti: Jakarta, Meda, Semarang, Surabaya, Bandung, Bogor, Malang, Makassar, dsb.
diperkirakan mempunyai perjalanan sejarah lebih dari dua ratus atau terbentuk sekitar abad
17-18. Kota-kota besar di berbagai wilayah di Indonesia ada yang sudah tumbuh sebelum
masuknya VOC (cikal bakal pemerintahan Hindia Belanda) ke wilayah Nusantara, seperti :
Banten (Lama), Jakarta (Batavia), Cirebon, Semarang, Lasem, Tuban, Gresik dan
Surabaya.
Pada sebagian besar kota-kota besar di Indonesia, pengaruh dari pemerintah
kolonial Belanda terhadap pola dan struktur pembentukan kawasan kota dinilai cukup
besar. Hal ini terlihat pada adanya kawasan kota yang banyak didirikan bangunan-
bangunan lama peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang bernilai sejarah. Hal lain
yang terlihat jelas adalah berdirinya bangunan pemerintahan serta bangunan fungsi militer
pada kota-kota besar di Indonesia yang secara nyata punya peran penting dan strategis.
Kota-kota tersebut kemudian berkembang menjadi kota dengan fungsi khusus baik sebagai
kota pusat pemerintahan maupun kota militer.
Konservasi adalah upaya untuk memelihara suatu tempat sedemikian rupa sehingga
makna budaya dari tempat tersebut dapat dipertahankan. Berdasarkan The Burra Charter
(1981), upaya konservasi memiliki 4 (empat) hal utama, yaitu:
1. Pelestarian, yaitu upaya pengelolaan pusaka untuk memperpanjang usia benda cagar
budaya, situs atau kawasan peninggalan bersejarah dengan cara perlindungan,
pemeliharaan, pemanfaatan dan atau pengembangan untuk menjaga keberlanjutan,
keserasian dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun
kehidupan yang berkualitas
2. Perlindungan, yaitu upaya mencegah dan menanggulangi segala gejala atau akibat
kerusakanbenda, situs dan kawasan cagar budaya baik dikarenakan manusia atau alam
dengan cara:
1) Penyelamatan, yaitu pencegahan dan penanggulangan ancaman kerusakan atau
kemusnahan perlindungan benda, situs, dan kawasan cagar budaya yang timbul
baik oleh alam atau manusia secara teknis;
2) Pengamanan, yaitu perlindungan dengan cara menjaga, mencegah dan
menanggulangi hal-hal yang dapat merusak benda, situs, dan kawasan cagar
budaya.
3. Pemeliharaan, yaitu upaya pelestarian benda, situs dan kawasan cagar budaya baik
dikarenakan manusia atau alam dengan cara :
1) Pemugaran, yaitu dengan cara mempertahankan keaslian berdasarkan data yang
ada dan bila diperlukan dilakukan perkuatan struktur yang dapat dipertanggung
jawabkan dari segi arkeologis, historis dan teknis;
2) Pemanfaatan, yaitu pemberdayaan benda, situs dan kawasan cagar budaya sebagai
aset budaya untuk berbagai kepentingan yang tidak bertentangan dengan prinsip
pelesterian.
4. Pengelolaan, yaitu upaya pelestarian dan pemanfaatan benda, situs dan kawasan cagar
budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, perlindungan, pemeliharaan,
pemugaran, pemanfaatan, dan pengendalian.
Berikut 5 tahap konservasi menurut TheBurra Charter:
1 Pelestarian, yaitu menjaga keaslian kondisi bangunan atau kawasan yang ada dari
kerusakan
2 Pemeliharaan, yaitu perawatan perlindungan menyeluruh terhadap kondisi bangunan
atau kawasan dan pengaturan tempat namun bukan perbaikan yang melibatkan
restorasi atau rekonstruksi.
3 Restorasi, yaitu mengembalikan obyek kebentuk asli dengan menghilangkan
tambahan-tambahan yang tidak asli atau mengumpulkan kembali komponen-
komponen asli tanpa menambah material atau komponen baru.
4 Rekonstruksi, yaitu mengembalikan suatu obyek semirip mungkin kepada keadaan
semula dengan menggunakan bahan lama atau baru.
5 Adaptasi, yaitu merubah suatu obyek, tidak menuntut perubahan drastic untuk
beradaptasi kepada kondisi yang dibutuhkan.
Proses revitalisasi menurut The Burra Charter (2013) terjadi melalui beberapa tahapan
sebagai berikut:
a. Understand significance (mengerti tentang makna penting)
 Mengetahui tempat
 Menentukan tempat dan luas
 Menyelidiki sejarah, fungsi, hubungan, dan material
 Menilai makna penting budaya
 Mempelajari seluruh nilai dengan menggunakan kriteria yang tepat b. Develop
policy (mengembangkan kebijakan)
 Mengidentifikasi semua faktor dan permasalahan
 Mengidentifikasi kewajiban yang muncul dari makna penting
 Mengidentifikasi kebutuhan, sumber daya, kesempatan, dan kendala yang
mungkin akan datang
 Mengembangkan peraturan kebijakan
 Mempersiapkan rencana pengelolaan
 Menentukan prioritas, sumber daya, kewajiban dan pengaturan waktu
 Mengembangkan tindakan pelaksanaan
b. Manage in accordance with policy (mengelola sesuai dengan kebijakan)
 Melaksanakan rencana pengelolaan
 Mengawasi dan mengevaluasi hasil perencanaan
RINGKASAN
KRITIK KONSERVASI
A. Kritik yang Spesifik Tentang Konservasi
Meskipun keberhasilan sistem konservasi dalam mencegah pembongkaran
bangunan dan menjadi komponen perencanaan arus utama, selalu mengundang kecaman.
Baru-baru ini kritik itu tampak lebih kuat, mempertanyakan ruang lingkup, proses dan
pembenaran konservasi.
Ruang lingkup kontrol konservasi telah meningkatkan jumlah struktur yang
dilindungi, jauh melebihi maksud awal untuk penggunaannya. Pada tahun 1967 ada sekitar
100.000 bangunan yang terdaftar dan diperkirakan bahwa hanya 1.250 kawasan konservasi
akan mencukupi untuk melindungi semua tempat penting di negara ini (Larkham 1996).
Namun, angka-angka terbaru menunjukkan bahwa ada sekitar setengah juta bangunan yang
terdaftar dan mendekati 10.000 kawasan konservasi (ETC / EH 2001). Sekitar 5 persen
dari total stok bangunan Inggris oleh karena itu tunduk pada beberapa bentuk pengendalian
konservasi. Selain menciptakan masalah administratif yang tidak dibayangkan ketika
sistem ini diperkenalkan, skala tanggung jawab yang besar telah menimbulkan pertanyaan
tentang keinginan konservasi.
B. Bangunan yang Terdaftar
Daftar dari bangunan yang terdaftar sebagai kawasan konservasi membatasi
kemampuan pemilik untuk mengubah properti tersebut, menghambat perumah tangga
pribadi dan organisasi komersial sama dari memodifikasi dan merevisi bangunan mereka
secara sepihak. Dalam kaitannya dengan pemilik domestik, tampaknya bahwa aplikasi
restriktif dari kontrol ini atau kejelian detailnya, misalnya menentukan warna yang tepat
untuk bingkai jendela, telah menyebabkan reaksi balasan di antara dukungan kelas
menengah tradisional konservasi (Corval 1995; Clark 1999). Bangunan yang terdaftar
tidak selalu merupakan properti yang sepenuhnya diinginkan tetapi sebenarnya dapat
dilihat sebagai kewajiban (Rowland 1997). Mentalitas tetap ada bahwa rumah orang
Inggris adalah istananya, di mana negara harus mengurangi daripada meningkatkan
serangannya (James 1994).
Sebelum pembatasan yang berpotensi memberatkan tersebut diberlakukan, pemilik
properti dapat merasa bahwa manfaat penunjukan konservasi memerlukan pengawasan
ketat. Daftar bangunan modern telah dikritik, karena beberapa orang merasa bahwa
bangunan modern tidak pantas untuk perhatian konservasi (Bevan 1996). Dengan
bangunan seperti Park Hill estate di Sheffield yang terdaftar di kelas II pada 1998, tabrakan
signifikan penafsiran nilai dengan citra stereotip dari 'bangunan terdaftar' diendapkan,
menciptakan kebingungan atas tujuan dan arah konservasi. Meskipun panduan EH
mengakomodasi berbagai penggunaan dan masalah yang terlibat dengan daftar bangunan
modern (EH 1995b), pemilik dan penyewa, khususnya di sektor kantor komersial,
berpendapat bahwa status yang tercantum membuat manajemen bangunan terlalu tidak
fleksibel untuk mengakomodasi persyaratan perubahan cepat mereka ( Harding-Roots
1997; Rees 2002).
C. Kawasan Konservasi
Kritik daftar pucat bila dibandingkan dengan serangan di kawasan konservasi
selama 15 tahun terakhir. Sementara perluasan di sejumlah bangunan yang terdaftar telah
disajikan sebagai pengakuan kontribusi arsitektur yang kurang terwakili (misalnya
vernakular, industri), peningkatan dalam peruntukan kawasan konservasi telah
digambarkan sebagai pelecehan yang berakibat pada otoritas perencanaan lokal. Penetapan
tanpa mempertimbangkan kualitas dan karakteristik lokal telah menyebabkan tuduhan
'meremehkan mata uang logam' dari tujuan awal untuk melindungi wilayah yang memiliki
minat arsitektur atau sejarah khusus (Morton 1991; Suddards dan Morton 1991).
Tampaknya penerapan dan manajemen otoritas lokal, daripada konsep atau ketentuan
untuk perlindungan berbasis-wilayah, salah. Namun, survei nasional (Jones dan Larkham
1993) menggemakan temuan serupa pada survei berskala lebih kecil 20 tahun sebelumnya
(Gamston 1975). Otoritas perencanaan lokal dikritik karena tidak memanfaatkan kontrol
yang tersedia dan karena tidak memiliki kerangka strategis yang mampu mengelola dan
menanggapi karakteristik lokal yang mendefinisikan tanggung jawab konservasi mereka.
Townscape in Trouble (EHTF 1992) menyoroti hasil fisik inkonsistensi otoritas lokal dan
ketidakadilan dalam memastikan perkembangan yang sensitif. Mentolerir perubahan kecil
tingkat tinggi pada lingkungan binaan secara kumulatif mengikis kualitas dan karakter
secara keseluruhan yang mana penunjukan kawasan konservasi dimaksudkan untuk
melestarikan.
D. Masalah-Masalah Mendasar
Kritik-kritik spesifik dari rezim-rezim perlindungan ini sebagian besar berkaitan
dengan keefektifan dan praktik konservasi internal. Memang, pertanyaan prosedural ini
sebagian besar telah menjadi pertimbangan utama dalam semua tinjauan kebijakan
nasional hingga saat ini. Delafons (1997b) menganggap bahwa kurangnya proposal
reformasi substantif dalam menghadapi tekanan pembangunan yang nyata adalah bukti
bahwa konservasi telah kehilangan dorongannya. Dapat diperdebatkan bahwa praktik
konservasi agak menyimpang dari 'niat awal', tetapi Maguire (1998) berpendapat bahwa
pemikiran konservasi saat ini terlalu disibukkan dengan sikap preservasionis yang mana
generasi ini telah berusaha untuk mereformasi dengan pengenalan kawasan konservasi.
Reade (1991) berpendapat bahwa proses administrasi konservasi menciptakan hasil yang
sedikit hubungannya dengan peningkatan kualitas lingkungan. Seluruh proses cenderung
mengabaikan keadaan sosial-ekonomi yang menciptakan kesenjangan dalam kualitas
lingkungan: lebih jauh lagi, beliau mengabaikan konsekuensi sosial ekonomi pada
masyarakat atas tindakannya sendiri.
Eksklusivitas profesi konservasi juga telah dicatat, meskipun kritik semacam itu
belum tentu baru. Eversley (1975) menyerang bisa untuk mendukung kepentingan pemilik
properti kelas menengah, tidak hanya dalam hal memastikan kemudahan menyenangkan
mereka melalui kawasan konservasi tetapi juga dalam sistem hibah yang berkontribusi
pada biaya perbaikan bangunan yang terdaftar. Tulisan-tulisan yang lebih baru telah
mengidentifikasi perbedaan antara kesadaran publik dan interpretasi umum dari nilai
konservasi (Townshend dan Pendlebury 1999; Larkham 2000). Meskipun profesi ini
beroperasi di bawah naungan 'kepentingan publik', ada kemungkinan bahwa konsep
konservasi publik lebih luas daripada penentuan profesional yang relatif akademis.
Keragaman ini juga mempertanyakan legitimasi para profesional yang mengidentifikasi
nilai konservasi tunggal ketika ada pluralitas interpretasi yang bersaing yang saat ini dapat
dikecualikan.
Hal ini menjadi perhatian khusus dalam literatur warisan, yang, dalam mengakui
konflik politik yang mendasari representasi nilai, lebih maju daripada perencanaan
konservasi. Memilih fitur untuk konservasi melibatkan proses yang sadar, jauh dari pilihan
netral, membingungkan atau menolak fitur-fitur tertentu sebanyak untuk asosiasi sosial
politik mereka seperti untuk kualitas arsitektur mereka. Memang, kriteria keaslian, batu
ujian untuk konservasi, sama-sama terbuka untuk kritik karena mencerminkan tidak begitu
banyak keadaan asli dan murni dari suatu fitur, karena nasib baik untuk bertahan dan telah
dibentuk oleh keadaan melalui waktu (Ashworth 1997). Mendasarkan konservasi pada
keaslian tidak melindungi sampel sejarah yang representatif, karena konservasi mendorong
menghilangkan fitur-fitur ini dari proses pembusukan dan mutasi yang tak terelakkan,
sehingga membuat mereka kurang otentik. Sebagian penghapusan ini dari perkembangan
alami waktu yang telah menyebabkan beberapa orang mengkritik manifestasi lain dari
'warisan' sebagai hal yang merusak konservasi. Hewison (1987) berpendapat bahwa
warisan budaya memprioritaskan penampilan di atas konten; superfisialitas pencitraan
reproduksi menumpulkan kepekaan terhadap bukti nyata dan objektif dari masa lalu.
Atraksi warisan itu menemukan penonton yang antusias digambarkan sebagai obsesi
dengan masa lalu, keasyikan budaya dengan visi retrospektif (Wright 1985). Beberapa
menganggapnya sebagai kendala untuk dapat meninjau secara akurat perkembangan
masyarakat kontemporer (Ascherson 1987).
Mungkin lebih dipermasalahkan lagi adalah tuduhan bahwa representasi masa lalu
dalam bentuk 'warisan nasional' dapat digunakan sebagai alat penyimpangan politik, untuk
menyajikan citra kesatuan dan ketertiban yang mapan, meskipun periode perubahan sosio-
politik yang signifikan (Wright 1985; McGuigan 1996). Mengingat bahwa konservasi
didasarkan pada nilai-nilai profesional dan netralitas, ia berjuang untuk menjawab
tuduhan-tuduhan yang bersifat politis - bahkan di mana mereka berhubungan langsung
dengan pelaksanaan pengendalian konservasi (Graves and Ross 1991).
BAB III
ANALISA KETERKAITAN TEORI DAN KRITIK KONSERVASI

A. PELESTARIAN
Pelestarian bangunan konservasi bertujuan untuk memperpanjang usia bangunan
konservasi tersebut. Dalam mempertahankan fungsi bangunan konservasi dan kawasan
konservasi harus mengacu pada pengertian living monument yaitu tetap dapat difungsikan
oleh masyarakat dengan mempertimbangkan dan memperhatikan kelestarian dan
pelestariannya. Upaya pelestarian merupakan kontribusi pada bangsa sebab merupakan
suatu usaha menghidupkan sejarah sebagai bagian dari upaya memahami peradaban
bangsa. Keberadaan bangunan konservasi yang masih dimanfaatkan oleh masyarakat
adalah wujud kontribusi pihak-pihak yang terkait terhadap pembangunan kebudayaan,
merawat kebudayaan dan membangun peradaban.
B. PERLINDUNGAN
Pelindungan merupakan unsur yang penting pada sistem pelestarian cagar budaya,
unsur ini mempengaruhi unsur-unsur lain yang pada akhirnya diharapkan menghasilkan
umpan balik (feedback) pada upaya pelindungan. Unsur ini berhubungan langsung dengan
fisik (tangible) cagar budaya yang menjadi bukti(bangunan) masa lalu. Maupun unsur
sebaliknya pengembangan lebih banyak berhubungan dengan potensi-potensi (intangible)
yang menyatu dengan benda, bangunan, struktur, atau situs yang dipertahankan.
Kegiatannya bukan dalam bentuk konservasi, restorasi, atau pemeliharaan objek ,
melainkan upaya dalam pengembangan informasi, atau sebagai objek wista. Dari hal ini
dapat berbeda dengan kegiatan pada unsur pemanfaatan yang juga dapat menyentuh fisik
dari cagar budaya seperti halnya pelindungan, yang memiliki perbedaan ialah unsur ini
memiliki kegiatan yang terbatas pada upaya revitalisasi atau adaptasi untuk menyesuaikan
kebutuhan baru dengan tetap mempertahankan keaslian objek.
a. Penyelamatan : pecegahan kerusakan situs benda baik timbul alam maupun manusia,
dengan cara menyelamatkan bangunan maka perlunya melestarikan,memelihara dan
melindungi bangunan tersebut agar tetap ada untuk tahun kedepanya.
b. Pengamanan : meliputi kegiatan perlindungan untuk menjaga suatu peninggalan baik
berupa beda koleksi dari gangguan atau kerusakan oleh faktor alam dan ulah manusia.
Untuk pengamanan bangunan ini maka dilakukanyan untuk mengamati agar tidak
adanya suatu hal yang dapat merusak bangunan tersebut
C. PEMELIHARAAN
Konservasi memiliki kebutuhan berupa pemeliharaan yang layak yang menunjuk
pada kriteria dalam visual setting, misalnya: bentuk, skala, warna, tekstur dan material.
Pembangunan, peruntukan, maupun perubahan baru yang merusak ‘setting’, tidak
diperbolehkan. Pembangunan baru, termasuk penyisipan dan penambahan bisa diterima,
dengan syarat tidak mengurangi atau merusak tempat-tempat yang memiliki signifikansi
cultural tersebut Pemeliharaan, yaitu upaya pelestarian benda, situs dan kawasan cagar
budaya baik dikarenakan manusia atau alam dengan cara:
1) Pemugaran, yaitu dengan cara mempertahankan keaslian berdasarkan data yang ada
dan bila diperlukan dilakukan perkuatan struktur yang dapat dipertanggung jawabkan
dari segi arkeologis, historis dan teknis engan mengikuti pelatihan pelestarian
bangunan cagar budaya, apabila telah dinyatakan lulus, maka mereka berhak memiliki
sertifikat hasil pelatihan dan akan mendapatkan referensi sebagai syarat mutlak untuk
dapat mengerjakan kegiatan penyelenggaraan jasa keteknikan ataupun jasa konstruksi
dalam pemugaran bangunan yang termasuk cagar budaya. Apabila kegiatan pelatihan
ini tidak segera dilaksanakan, maka para penyelenggara jasa keteknikan dan jasa
konstruksi kita akan tergeser oleh penyelenggara jasa konstruksi yang berasal dari
negara tetangga yang rata-rata mereka telah bersertifikat, bahkan tidak sedikit dari
mereka telah mendapatkan sertifikat yang diakui secara internasional.
2) Pemanfaatan, yaitu pemberdayaan benda, situs dan kawasan cagar budaya sebagai
aset budaya untuk berbagai kepentingan yang tidak bertentangan dengan prinsip
pelestarian. Namun demikian, pemanfaatan bangunan bersejarah perlu diperhatikan
mengenai beberapa peraturan dan perudangan yang mengatur mengenai bangunan
bersejarah. Pada saat melakukan pemanfaatan bangunan bersejarah, dapat melihat
elemen dari bangunan bersejarah tersebut, diantaranya adalah menceritakan
kesejarahan, kebudayaan dan eksistensi kebudayaan dari suatu proses perjalanan
sejarah dari daerah yang bersangkutan, walupun tidak tertutup kemungkinan bangunan
bersejarah dan lingkungan sekitarnya, telah mengalami banyak perubahan baik fisik
bangunan (tata guna hak kepemilikan dan pengelolaan, ornamen bangunan) maupun
non fisik (adat istiadat, kehidupan tradisi, upacara ritual dan seni budaya yang melekat
serta bersinergi dengan bangunan).
D. PENGELOLAAN
Pengelolaan merupakan gabungan antara upya pelestarian dan pemanfaatan
bangunan konservasi melalui kebijakan pengaturan perencanaan, perlindungan,
pemeliharaan, pemugaran, pemanfaatan, dan pengendalian. Strategi pengelolaan bangunan
konservasi adalah bagian penting dari pengelolaan tempat-tempat bersejarah dan
merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat secara berkesinambungan. Strategi
pengelolaan bangunan konservasi tidak terlepas dari peran serta masyarakat sekitar. Oleh
karena itu perlu dibuat suatu kerjasama antara pemerintah dan masyarakat guna
memberikan wadah partisipasi masyarakat dalam pelestarian bangunan cagar budaya.
Partisipasi masyarakat harus menjadi satu aspek yang penting dalam kegiatan pelestarian
bangunan bersejarah. Sistem partisipasi masyarakat yang digunakan dalam strategi
pengelolaan bangunan cagar budaya berarti ikut melibatkan atau mengikut sertakan
masyarakat dalam proses pembangunan. Proses ini mencakup dari perencanaan awal,
penyusunan konsep dan implementasi sampai pada pengelolaan. Melalui sistem partisipasi
masyarakat yang akan menggali inisiatif dan aspirasinya, hal ini bertujuan untuk
menumbuhkan rasa memiliki dari lingkungan dimana mereka bertempat tinggal. Adapun
keuntungan dari sistem partisipasi masyarakat antara lain:
a. Warga masyarakat menjadi lebih diberdayakan dengan menerima tanggung jawab
yang makin bertambah atas pengelolaan bangunan cagar budaya.
b. Masyarakat dapat mengembangkan rencana tindakan dan mengelola kegiatan
mereka berdasar prioritas dan gagasan mereka sendiri dalam pengelolaan bangunan
cagar budaya.
c. Masyarakat dapat bersikap profesional dalam menjaga dan mengelola bangunan
cagar budaya.
Berdasarkan strategi pengelolaan bangunan cagar budaya tersebut, dengan
demikian dapat dikatakan bahwa warisan budaya mempunyai peran penting sebagai
identitas nasional di masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Mengingat pentingnya
warisan budaya bagi identitas suatu bangsa, maka kita semua harus memberikan perhatian
lebih untuk pelestarian dan pengelolaannya.
DAFTAR PUSTAKA

http://imma95.blogspot.com/2015/03/contoh-makalah-permasalahan-konservasi.html
https://ecopedia.wordpress.com/2006/01/08/kawasan-konservasi/
caridokumen.com_critical-review-jurnal-analisis-lokasi-dan-keruangan-aplikasi-teori-
weber-dalam-pembangunan-agroindustr.pdf

Anda mungkin juga menyukai