Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG MASALAH


Perkembangan sebuah kota tidak lepas dari sejarah yang melatarbelakangi
terbentuknya kota tersebut. Sejarah perkembangan sebuah kota biasanya
memunculkan ciri khas sebuah kota. Namun, pertumbuhan di perkotaan akibat
pertumbuhan ekonomi dan penduduk, globalisasi dan modernisasi menyebabkan
menghilangnya ciri khas sebuah kota khususnya kota-kota di Asia. Ada yang
berpendapat bahwa kekhasan kota ‘Asia’ adalah yang berhubungan dengan tradisi,
sedangkan modernisasi serta merta tidak ‘Asia’. Hal tersebut agak kurang tepat
mengingat negara-negara Barat juga berperan dalam membentuk wajah kota-kota di
Asia, melalui politik imperialisme yang dimulai pada abad ke-16. Sehingga
membentuk citra kota di Asia sebagai daerah jajahan.
Peninggalan bangunan kolonialisme yang berkontribusi membentuk wajah
kota, saat ini keberadaannya terancam akibat tekanan pembangunan ekonomi
hingga adanya sentimen negatif sebagai lambang penjajahan, seperti yang terjadi
saat ini.
Berbagai upaya telah dilakukan berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah,
swasta, hingga masyarakat untuk mengembalikan vitalitas sebuah kawasan sebagai
kawasan bersejarah. Upaya ini dibuktikan dengan adanya upaya konservasi di
beberapa kota di Indonesia secara khusus dan beberapa negara di kawasan Asia
Tenggara seperti Malaysia dan Singapura.

II. RUMUSAN MASALAH


Sebagai identitas sebuah kota, kawasan kota lama atau kota tua memiliki
banyak nilai sejarah dan nilai budaya yang berkaitan dengan perkembangan sebuah
kota. Untuk pelestarian kawasan kota sejarah tersebut maka dilakukan upaya
konservasi. Untuk itu, perlu adanya pengkajian mengenai apa itu konservasi dan
tindakan apa saja yang dilakukan dalam konservasi sebuah kawasan kota.

III. METODE PENELITIAN


Metode Penelitian yang digunakan adalah analisis melalui literatur dan jurnal.

IV. TUJUAN PENELITIAN


Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji apa definisi dari konservasi, tindakan
apa saja yang dilakukan dalam konservasi dan bagaimana upaya konservasi yang
dilakukan di beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.
Juga beberapa negara di Kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura.

V. LINGKUP DAN BATASAN PENELITIAN


1
Penelitian ini mempunyai lingkup dan batasan secara spasial dan
substansial, lingkup spasial dibatasi Kawasan Kota Lama di Jakarta, Surabaya dan
Bandung juga negara Singapura dan Malaysia dan lingkup substansial kajian
mengenai apa itu konservasi dan bagaimana upaya konservasi dilakukan.

2
BAB II

KAJIAN TEORI

I. PENGERTIAN KONSERVASI
Konsep konservasi pertama kali dikemukakan oleh Theodore Roosevelt pada tahun
1902. Konservasi berasal dari kata “conservation”, bersumber dari kata con (together) dan
servare (to keep, to save) yang dapat diartikan sebagai upaya memelihara milik kita (to
keep, to save what we have), dan menggunakan milik tersebut secara bijak (wise use).
Konservasi dimaknai sebagai tindakan untuk melakukan perlindungan atau
pengawetan; sebuah kegiatan untuk melestarikan sesuatu dari kerusakan,
kehancuran, kehilangan, dan sebagainya (Margareta, et al. 2010). Lazimnya, konservasi
dimaknai sebagai tindakan perlindungan dan pengawetan alam. Persoalan yang dikaji
umumnya adalah biologi dan lingkungan. Salah satu fokus kegiatan konservasi adalah
melestarikan bumi atau alam semesta dari kerusakan atau kehancuran akibat ulah manusia.
Namun dalam perkembangannya, makna konservasi juga dimaknai sebagai pelestarian
warisan kebudayaan (cultural heritage).

Dalam American Dictionary, konservasi dipahami sebagai menggunakan sumber


daya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang
lama.
Konservasi (biologi) fokus pada kelangsungan hidup jangka panjang dari spesies
yang terancam bahaya (Hedrick 2003). Spesies dimaksud mencakupi binatang dan tumbuh-
tumbuhan.
Norton (2004) mengartikan konservasi (biologi) sebagai suatu penyesuaian
mekanisme alam untuk kepentingan dan tujuan sosial. Tidak berbeda dengan apa yang
dikemukakan Norton, Zavaleta, et al (2008) mengartikan konservasi (biologi) sebagai “the
body of knowledge necessary to concerve biological diversity at all level, from genes to
ecosystems”. Konservasi merupakan pengetahuan yang diperlukan untuk menjaga dan
memelihara diversitas biologi dari gen hingga ekosistem.
IUCN (2007) mengartikan konservasi sebagai manajemen udara, air, tanah, mineral
ke organisme hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia
yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survey, penelitian,
administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan.
Richmond and Alison Bracker (2009) mengartikan konservasi sebagai suatu proses
kompleks dan terus-menerus yang melibatkan penentuan mengenai apa yang dipandang
sebagai warisan, bagaimana ia dijaga, bagaimana ia digunakan, oleh siapa, dan untuk

3
siapa. Warisan yang disebut dalam definisi Richmond dan Alison tersebut, tidak hanya
menyangkut hal fisik, tetapi juga kebudayaan.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian konservasi tidak
hanya menyangkut masalah perawatan, pelestarian, dan perlindungan alam, tetapi juga
menyentuh persoalan pelestarian warisan kebudayaan dan peradaban umat manusia.
Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi. Konservasi dari segi
ekonomi berarti mencoba memanfaatkan sumber daya alam untuk masa sekarang. Dari segi
ekologi, konservasi merupakan pemanfaatan sumber daya alam untuk sekarang dan masa
yang akan datang. Dalam konteks yang lebih luas, konservasi tidak hanya diartikan secara
sempit sebagai menjaga atau memelihara lingkungan alam (pengertian konservasi fisik),
tetapi juga bagaimana nilai-nilai dan hasil budaya dirawat, dipelihara, dijunjung tinggi, dan
dikembangkan demi kesempurnaan hidup manusia.

II. JENIS – JENIS KONSERVASI


Dalam pelaksanaan konservasi terhadap kawasan/ bangunan cagar budaya, maka ada
tindakan-tindakan khusus yang harus dilakukan dalam setiap penanganannya (Burra
Charter, 1999), antara lain:
1. Konservasi yaitu semua kegiatan pemeliharaan suatu tempat sedemikian rupa
sehingga mempertahankan nilai kulturalnya
2. Preservasi adalah mempertahankan bahan dan tempat dalam kondisi eksisting dan
memperlambat pelapukan
3. Restorasi / Rehabilitasi adalah upaya mengembalikan kondisi fisik bangunan seperti
sediakala dengan membuang elemen-elemen tambahan serta memasang kembali
elemen-elemen orisinil yang telah hilang tanpa menambah bagian baru
4. Rekonstruksi yaitu mengembalikan sebuah tempat pada keadaan semula
sebagaimana yang diketahui dengan menggunakan bahan lama maupun bahan baru
dan dibedakan dari restorasi
5. Adaptasi / Revitalisasi adalah segala upaya untuk mengubah tempat agar dapat
digunakan untuk fungsi yang sesuai
6. Demolisi adalah penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah
rusak atau membahayakan.

III. SYARAT – SYARAT KONSERVASI


Ada beberapa tolok ukur dalam pelaksanaan konservasi bangunan bersejarah.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Lubis (1990), setiap negara memiliki kriteria
yang berbeda dalam menentukan obyek yang perlu dilestarikan, tergantung dari definisi
yang digunakan dan sifat obyek yang dipertimbangkan. Dari beberapa literatur yaitu
4
Catanese (1986), Pontoh (1992), Rypkema (dalam Tiesdel: 1992), kriteria yang
menggambarkan dasar-dasar pertimbangan atau tolok ukur mengapa suatu obyek perlu
dilestarikan adalah sebagai berikut:

Tolak ukur fisik-visual


 Estetika/arsitektonis, berkaitan dengan nilai estetis dan arsitektural, meliputi bentuk,
gaya, struktur, tata ruang, dan ornamen.
 Keselamatan, berkaitan dengan pemeliharaan struktur bangunan tua agar tidak
terjadi suatu yang membahayakan keselamatan penghuni maupun masyarakat di
lingkungan sekitar bangunan tua tersebut.
 Kejamakan/tipikal, berkaitan dengan obyek yang mewakili kelas dan jenis khusus,
tipikal yang cukup berperan.
 Kelangkaan, berkaitan dengan obyek yang mewakili sisa dari peninggalan terakhir
gaya yang mewakili jamannya, yang tidak dimiliki daerah lain.
 Keluarbiasaan/keistimewaan, suatu obyek observasi yang memiliki bentuk paling
menonjol, tinggi, dan besar. Keistimewaan memberi tanda atau ciri suatu kawasan
tertentu.
 Peranan sejarah, merupakan lingkungan kota atau bangunan yang memiliki nilai
historis suatu peristiwa yang mencatat peran ikatan simbolis suatu rangkaian sejarah
masa lalu dan perkembangan suatu kota untuk dilestarikan dan dikembangkan.
 Penguat karakter kawasan, berkaitan dengan obyek yang mempengaruhi kawasan-
kawasan sekitar dan bermakna untuk meningkatkan kualitas dan citra lingkungan.
Tolok ukur non fisik
 Ekonomi, dimana kondisi bangunan tua yang baik akan menjadi daya tarik bagi para
wisatawan dan investor untuk mengkembangkannya sehingga dapat digali potensi
ekonominya.
 Sosial dan budaya, dimana bangunan tua tersebut memiliki nilai agama dan spiritual,
memiliki nilai budaya dan tradisi yang penting bagi masyarakat.

IV. PELAKSANAAN KONSERVASI BANGUNAN BERSEJARAH


 Pelaksanaan konservasi akan disesuaikan dengan kondisi bangunan tua tersebut.
Sebelum melakukan konservasi, sebaiknya mengidentifikasi aspek pertimbangan
pada bangunan tua tersebut. Aspek-aspek tersebut kemudian diuraikan berdasarkan
komponen yang akan diatur dalam konservasi. Setelah itu dari komponen itu akan
dirumuskan dasar pengaturannya dan menetapkan sasaran yang akan dicapai dalam
konservasi. Kegiatan pengaturan komponen juga dilakukan sesuai kondisi bangunan

5
tua tersebut. Pelaksanaan konservasi tersebut dibagi dalam beberapa tingkat
berdasarkan kondisi masing-masing komponen pada bangunan, yaitu:
 Mempertahankan dan memelihara, yaitu mempertahankan dan memelihara
komponen yang diatur pada bangunan tua yang sangat berpengaruh pada karakter
bangunan dan kondisinya masih baik.
 Memperbaiki, yaitu memperbaiki komponen pada bangunan tua yang kondisinya
sudah rusak sesuai bentuk asli.
 Mengganti, yaitu mengganti variabel yang diatur pada bangunan tua yang rusak dan
tidak bisa diperbaiki lagi dengan bentuk sesuai dengan kondisi asli. Jika bentuk asli
tidak teridentifikasi, dapat dilakukan penyesuaian dengan bentuk-bentuk lain yang
terdapat pada bangunan lain yang setipe.
 Menambah dengan penyesuaian terhadap bentuk asli, yaitu melakukan penambahan
komponen yang boleh dilakukan jika dilakukan pengembangan, terutama yang
merupakan penyesuaian terhadap fungsi, dengan batasan bentuk baru tidak
merusak karakter asli bangunan dan dibuat sesuai dengan bentuk yang telah ada.

V. KRITERIA BANGUNAN KUNO SESUAI PERDA


Kriteria Bangunan Kuno sesuai dengan Pasal 8 Perda DKI Jakarta No. 9/1999
tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya, penentuan
bangunan cagar budaya ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut :
a. Sejarah
b. Umur
c. Keaslian
d. Kelangkaan

VI. TIPOLOGI BANGUNAN KUNO


Di Indonesia sendiri, bangunan-bangunan yang memenuhi kriteria sebagai bangunan
kuno dan bersejarah yang harus dilestarikan jumlahnya tidak sedikit dengan berbagai
macam tipologi. Berdasarkan sejarah perkembangan arsitektur yanga ada di Indonesia,
tipologi bangunan-bangunan tersebut dapat dibagi menjadi berikut (Kemas Ridwan, 5 Maret
2009):
1. Bangunan masyarakat Kolonial Eropa
Bangunan periode VOC (abad XVI-XVII), arsitektur periode pertengahan Eropa. Ciri-
ciri bangunan ini adalah kesan tertutup, sedikit bukaan, jendela besar tanpa tritisan,
tanpa serambi.
2. Bangunan periode negara kolonial (Neo Klasik Eropa).

6
Ciri-ciri bangunan ini adalah atap-atap tritisan, veranda dan jendela- jendela krepyak•
Bangunan modern kolonial (abad XX) Ciri-ciri bangunan ini adalah bergaya Art Deco
dan Art Nouveau.
3. Bangunan masyarakat China.
Ciri-ciri bangunan ini adalah berupa shop houses bergaya Cina Selatan, terletak di
sekitar core inti wilayah utama suatu daerah. Contohnya: bangunan klenteng yang
ada di Petak 9 di daerah Glodok.
4. Bangunan masyarakat pribumi.
Ciri-ciri bangunan ini adalah berada di luar benteng, berupa rumah panggung namun
ada juga yang langsung menyentuh lantai, menggunakan bahan-bahan alami. Saat
ini bangunan dengan tipologi sudah banyak yang punah.
5. Bangunan modern Indonesia.
Ciri-ciri bangunan ini adalah bergaya Internasional Style. Contohnya: Gedung BNI 46
yang berada di dekat Stasiun Kota

VII. JENIS KEGIATAN PELESTARIAN & TINGKAT PERTUMBUHAN


Highfield (1987: 20-21) menjabarkan tingkat perubahan pada tindakan pelestarian
dalam tujuh tingkatan, yakni :
a. Perlindungan terhadap seluruh struktur bangunan, beserta dengan subbagian-bagian
penyusunnya, dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan
saranaprasarana. Dalam tingkat pelestarian yang paling rendah, perubahan yang
memungkinkan terjadi adalah perbaikan tangga eksisting untuk disesuaikan dengan
kebutuhan lift, penggunaan sistem penghawaan buatan sederhana yang
dikombinasikan dengan penghawaan alami;
b. Perlindungan terhadap seluruh selubung eksterior bangunan, termasuk atap dan
sebagian besar interiornya, dengan perubahan kecil pada struktur internal, dan
memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan sarana saniter. Perubahan
struktural dapat melibatkan demolisi beberapa subbagian interior, atau penambahan
tangga baru, dan apabila memungkinkan shaft lift;
c. Perlindungan terhadap seluruh selubung eksterior eksisting, termasuk atap, dengan
perubahan besar pada struktur internal serta perbaikan finishing, utilitas, dan sarana
saniter. Perubahan besar pada struktur internal dapat melibatkan penambahan
tangga beton bertulang yang baru, instalasi lift, demolisi dinding struktur pada interior
secara skala yang lebih luas, atau penambahan lantai baru selama sesuai dengan
ketinggian lantai aslinya;
d. Perlindungan seluruh dinding selubung bangunan, dan demolisi total pada atap dan
interiornya, dengan membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang fasad
7
yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan pada bangunan yang terisolasi, seluruh
dinding fasad eksternal layak untuk dilindungi, tapi pengembangan ke depannya
menbutuhkan wadah untuk fungsi yang sama sekali baru, bebas dari elemen internal
bangunan eksisting;
e. Perlindungan hanya pada dua atau tiga penampang/tampak bangunan eksisting,
dan demolisi total terhadap sisanya, dengan pembangunan bangunan yang sama
sekali baru di belakang dinding fasad yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan
pada bangunan yang tapaknya terletak pada sudut pertemuan dua atau lebih jalan;
f. Perlindungan hanya pada satu penampang/tampak bangunan, sebuah dinding
fasade dari bangunan eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan
membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang dinding fasad. Opsi ini
dapat dilakukan apabila bangunan tersebut hanya memiliki satu fasad yang penting,
tampak bangunan yang penting tersebut menghadap jalan utama dan seluruh sisa
tampaknya menempel pada bangunan di sekelilingnya; dan
g. Opsi paling drastis pada pengembangan kembali adalah dengan tidak memberikan
pilihan untuk pelestarian, tetapi dengan demolisi total bangunan eksisting dan
menggantinya dengan bangunan yang baru.

VIII. KRITERIA TOLAK UKUR & PENGGOLONGAN BENDA CAGAR BUDAYA


BERDASARKAN PERATURAN DAERAH DKI JAKARTA NO 9 TAHUN 1999
Tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah:
a. Tolok ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan,
politik, sosial, budaya yang menjadi symbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional
dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
b. Tolok ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun
c. Tolok ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana
lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.
d. Tolok ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan
tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil dari suatu
lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut.
e. Tolok ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan
suatu zaman dan gaya tertentu.
Dari kriteria dan tolok ukur di atas lingkungan cagar budaya diklasifikasikan dalam 3
golongan, yakni:
a. Golongan I : lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang mengalami
sedikit perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh.

8
b. Golongan II : lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, telah mengalami
perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslian.

c. Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, yang telah banyak
perubahan dan kurang mempunyai keaslian.

IX. KLASIFIKASI BANGUNAN CAGAR BUDAYA DI INDONESIA :


Berdasarkan Perda DKI Jakarta No.9/ 1999 Pasal 10 ayat 1, bangunan cagar budaya
dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
1. Golongan A Pemugaran bangunan pada golongan ini merupakan upaya preservasi
berdasarkan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 19):
i. Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah
ii. Apabila kondisi bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat
dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula
sesuai dengan aslinya
iii. Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang
sama/ sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan
detail ornamen bangunan yang telah ada4. Dalam upaya revitalisasi
dimungkinkan adanya penyesuaian/ perubahan fungsi sesuai rencana kota
yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya
2. Golongan B Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya preservasi
dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 20):
i. Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja dan apabila kondisi fisik
bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan
pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan
aslinya
ii. Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah
pola tampak depan, atap dan warna, serta dengan mempertahankan detail
dan ornamen bangunan yang penting
iii. Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan adanya perubahan
tata ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur utama bangunan
iv. Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya
bangunan tambahan yang menjadi suatu kesatuan yang utuh dengan
bangunan utama.
3. Golongan C Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya rekonstruksi dan
adaptasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 21):

9
i. Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan pola
tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan
ii. Detail ornament dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur
bangunan disekitarnya dalam keserasian lingkungan
iii. Penambahan bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat
dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan
arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan
iv. Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana kota.

X. PEMANFAATAN KEMBALI BANGUNAN CAGAR BUDAYA


Secara keseluruhan ada 3 cara pemanfaatan kembali bangunan cagar budaya (R.M.
Warner, S.M. Groff, R. P Warner, 1978, p. 17), yaitu:
1. Continued Use
Cara ini berupa penggunaan kembali bangunan tua sesuai dengan fungsi lamanya
ketika pertama kali didirikan serta dapat juga ditambahkan fungsi baru sebagai
pendukung fungsi utamanya.
2. Adaptive Re-use
Cara ini berupa penggunaan kembali bangunan tua dengan mengubah fungsi awal
dari bangunan tersebut dengan menyesuaikan pada keadaan pada masa sekarang.
3. New Additions
Cara ini berupa penambahan konstruksi baru atau membangun struktur baru pada
struktur sebelumnya dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan bangunan
sebelumnya.

10
BAB III

PEMBAHASAN

I. KONSERVASI KOTA TUA JAKARTA


Kota Tua atau Oud Batavia merupakan warisan peninggalan era kolonial Belanda yang
dibangun sekitar abad ke-19 dan 20. Dulu, kawasan ini merupakan pusat administratif
Hindia Timur Belanda. Hal tersebut terlihat dari fungsi bangunan disekitar kawasan Kota Tua
yang sebelumnya merupakan bangunan-bangunan perdagangan dan jasa. Konservasi yang
dilakukan di Kota Tua Jakarta, tidak hanya mempertahankan bentuk ( kebetulan pada
kawasan ini bangunan memiliki tipe konservasi Tipe A yang diharuskan untuk menjaga
keaslian bangunan ) tetapi memelihara serta menumbuhkan atau menghidupkan kegiatan
disekitar kawasan tua atau bersejarah dan salah satunya memvariasikan kegiatan yang satu
sama yang lain sehingga adanya daya tarik untuk pergi ke kawasan tersebut. Adapun
beberapa kegiatan yang ada disekitar kawasan ini antara lain seperti pedagang kaki lima
yang menjajakan barang atau jasa seperti penyewaan sepeda ontel. Untuk penyewaan
sepeda ontel merupakan daya tarik yang sangat kuat karena sudah jarang sepeda ini dapat
dilihat dan disini kita bisa menyewanya untuk berputar-putar diplaza kawasan ini. Untuk
melengkapi kegiatan ada juga beberapa pedagang kaki lima yang menjajakan makanan,
convenience store, juga kafe.
Berikut ini adalah bangunan cagar budaya yang ada di kawasan Kota, Jakarta :
1. Museum Fatahillah
Museum Fatahillah memiliki nama resmi Museum Sejarah Jakarta adalah
sebuah museum yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 1, Jakarta Barat dengan
luas lebih dari 1.300 meter persegi. Gedung ini dulu merupakan Balai Kota Batavia
VOC yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan
van Hoorn. Bangunan itu menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas
bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan
sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah
tanah yang dipakai sebagai penjara. Pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini
kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah(wikipedia).
Taman Fatahillah merupakan pusat kota Batavia pada masa kolonial.
Terdapat berbagai fungsi bangunan didalamnya yang merupakan penunjang utama
kegiatan pemerintahan pada masa itu. Saat ini Fungsi dari bangunan-bangunan
sudah mengalami perubahan fungsi (adaptive re-use) dengan mengadaptasi
kebutuhan ruang pada saat ini.

11
Kawasan Fatahillah berubah menjadi sebuah sarana rekreasi bagi banyak
orang. Bangunan-bangunan tua terus mengalami perbaikan dari sisi fisik, untuk
diangkat kembali kevitalannya guna menjadi sarana rekreasi kota lama di pusat
Ibukota Jakarta. Segala sisi terus mengalami perbaikan, baik dari area plaza yang
dihias dengan lampu-lampu jalan agar dapat juga difungsikan pada malam hari,
perbaikan perkerasan, perbaikan dan perawatan fisik bangunan, dan peningkatan
fasilitas penunjang kegiatan didalamya.
Arsitektur museum Fatahillah bergaya arsitektur Neo-Klasik dengan cat
berwarna kuning tanah, kusen pintu dan jendela yang terbuat dari kayu jati berwarna
hijau tua, selain itu pada bagian atap terdapatpenunjuk arah mata angin yang
mencirikan bangunan-bangunan era kolonial. Jenis ornament yang ada pada
bangunan merupakan gaya klasik Kolonial Belanda yang sesuai dengan zamannya
dimasa itu.Museum ini memiliki luas lebih dari 1.300 meter persegi dengan bentuk
persegi panjang. Pekarangan terdiri dari susunan konblok yang berfungsi sebagai
plaza berkumpul. Sebelumnya Plaza Fatahillah memiliki cukup banyak vegetasi
pepohonan rindang namun saat ini plaza Fatahillah terasa begitu gersang dan panas
dengan minimnya penghijauan. Pilar-pilar tinggi menghiasi dan menandakan letak
pintu masuk pada museum Fatahillah, yang mana menjadi gerbang utama untuk
masuk kedalam museum. Pilar berwarna putih dan bergaya arsitektur kolonial.
Bangunan masih memiliki bentuk bangunan yang sama dengan bentuk
bangunan aslinya. Hanya saja masih diperlukan perawatan terhadap beberapa unsur
bangunan yang rusak dimakan usia tetapi tetap memepertahankan bentuk aslinya.
Perbedaan hanya terdapat pada fungsi bangunan yang tadinya berfungsi sebagai
balai kota Batavia dan sekarang berubah fungsi menjadi Museum Batavia.

Gambar 1 : Museum Fatahilah, Jakarta


Sumber : https://fadiahnurannisa.wordpress.com
12
2. Café Batavia
Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Fadiah Nur Annisa, bangunan gedung Café
Batavia didirikan antara tahun 1805 & 1850, pernah berfungsi sebagai tempat
tinggal, gudang, kantor, art gallery dan akhirnya menjadi café hingga sekarang. Café
Batavia masuk kedalam Bangunan Cagar Budaya golongan C, dimana dapat
dilakukan program revitalisasi maupun adaptasi namun arsitektur bangunan tetap
dipertahankan. Pada 1993, bangunan ini dibeli oleh seorang warga negara Australia
bernama Graham James, yang saat ini menetap di Pulau Bali. Hampir semua
ruangan yang terdapat di Cafe Batavia masih menggunakan perlengkapan
peninggalan pemiliknya dimasa silam (Margie C., 2010). Cafe Batavia bereksterior
antik dengan arsitektur khas peninggalan zaman kolonial Belanda. Cafe Batavia
menawarkan keindahan interior unik. Konsep yang ditawarkan Cafe Batavia ini
sangatlah menarik karena mengangkat tema masa lalu Jakarta yang akan membuat
pengunjung mengenang masa lalunya di Cafe Batavia ini. Interior yang mendukung
tentu saja akan semakin membuat pengunjung betah untuk berlama-lama di cafe
tersebut untuk mengenang masa lalunya.

Gambar 2 : Cafe Batavia, Jakarta


Sumber : https://fadiahnurannisa.wordpress.com

3. Gedung PT. Jakarta Lloyd

Djakarta Lloyd didirikan di Tegal pada tanggal 18 Agustus 1950 oleh beberapa
anggota TNI Angkatan Laut yang bercita-cita mendirikan suatu perusahaan
pelayaran samudera.Pada awalnya Djakarta Lloyd memiliki 2 kapal uap yaitu SS
13
Jakarta Raya dan SS Djatinegara. Kini Djakarta Lloyd melayani jalur samudera dan
antar pulau dalam negeri dan memiliki 14 kapal. Pada tahun 1961 berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 108 tahun 1961 status Perusahaan berubah menjadi
Perusahaan Negara dengan nama PN Djakarta Lloyd. Di era 1990an, PT Djakarta
Lloyd tidak lagi mendominasi jalur angkutan laut di dalam negeri (Djakartalloyd).

Gambar 3 : Gedung PT Djakarta Lloyd, Jakarta


Sumber : https://fadiahnurannisa.wordpress.com

4. Dasaad Musin

Gedung Dasaad Musin dibangun pada tahun 1857. Gedung yang berlokasi di
jalan kunir kawasan Fatahillah ini dulunya adalah kantor miliki Agus Dasaad Musin,
konglomerat pada jaman itu. Beliau memiliki usaha dibidang perkapalan. Usahanya
ditutup saat era Orde Baru berkuasa. Kondisi gedung ini sudah banyak yang
mengalami kerusakan diantaranya atap yang roboh dan dinding yang
keropos. (Huzer Apriansyah, 2011).
Gedung ini akan direstorasi dimana akan dikembalian ke dalam bentuk
aslinya dan difungsikan sebagai ruang publik nantinya. Rencananya bangunan
berlantai 3 itu akan dibuat kafe pada lantai satu dan perkantoran di lantai 2 dan 3.
Adapun kesulitan dalam mencari data karena kepemilikan yang bergati-ganti
diamana tahun 1946-1958 untuk kepemilikan atas nama Dassaad Mussin Concern
dan sekarang kepemilikan ada di tangan Wahidin Saleh. Saat ini Gedung Dasaad
Musin Concern yang sekarang dalam proses restorasi.

14

Gambar 4 : Gedung Daad Musin, Jakarta


Sumber : https://fadiahnurannisa.wordpress.com
Gambar 5 : Gedung Daad Musin dalam proses restorasi, Jakarta
Sumber : https://fadiahnurannisa.wordpress.com

5. Kantor Jasindo
Gedung Jasindo ini terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2 Kelurahan
Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Kota Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta.Gedung
Jasindo adalah bangunan bekas gedung NV West-Java Handel-Maatschappij
(WEVA) atau Kantoorgeouwen West-Java Handel-Maatschappij, yang dibangun
pada tahun 1912. Desain bangunan ini dilakukan oleh NV Architecten-
Ingenieursbureau Hulswit en Fermont te Weltevreden en Ed. Cupers te Amsterdam.
Gedung ini sekarang dimiliki oleh PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo),
namun sudah tidak dipergunakan lagi lantaran kondisi gedung sudah
mengkhawatirkan. Pada bagian atapnya mengalami pelapukan. Setelah gedung
dikosongkan oleh PT Jasindo, gedung tersebut dimanfaatkan untuk hiburan biliar.
Sebagian lagi digunakan untuk berjualan pakaian, rokok, dan minuman ringan.
Kondisi ini menyebabkan bangunan tersebut semakin tidak terurus dan sangat
memprihatinkan karena dibiarkan terbengkelai oleh PT Jasindo tanpa ada
pemeliharaan dan perbaikan (issuu, 2013).
Gedung Jasindo adalah bangunan bekas gedung NV West-Java Handel-
Maatschappij (WEVA) atau Kantoorgeouwen West-Java Handel-Maatschappij, yang

15
dibangun pada tahun 1912. Desain bangunan ini dilakukan oleh NV Architecten-
Ingenieursbureau Hulswit en Fermont te Weltevreden en Ed. Cupers te Amsterdam.
Gedung ini sekarang dimiliki oleh PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), namun
sudah tidak dipergunakan lagi lantaran kondisi gedung sudah mengkhawatirkan.
Pada bagian atapnya mengalami pelapukan. Setelah gedung dikosongkan oleh PT
Jasindo, gedung tersebut dimanfaatkan untuk hiburan biliar. Sebagian lagi digunakan
untuk berjualan pakaian, rokok, dan minuman ringan. Kondisi ini menyebabkan
bangunan tersebut semakin tidak terurus dan sangat memprihatinkan karena
dibiarkan terbengkelai oleh PT Jasindo tanpa ada pemeliharaan dan perbaikan.

Gambar 6 : Gedung Jasindo, Jakarta


Sumber : https://fadiahnurannisa.wordpress.com

6. Kantor Pos

Gedung tua yang terletak di JI. Pos No.2, Jakarta Pusat, dibangun sekitar
pertengahan abad ke-19. Peruntukkannya sebagai Kantor Pos dan dikenal dengan
sebutan gedung PTT (Pos Telegraf dan Telepon). Gedung ini mengalami beberapa
kali perubahan nama. Awalnya bernama “Gedung PTT Pasar Baru”, mulai dikenal
sejak zaman penjajahan sampai sekitar tahun 1940-an. Pada masa revolusi fisik
berubah menjadi “Kantor Pos dan Telegraf Pasar Baru”, berganti lagi menjadi “Kantor
Pos Kawat Pasar Baru”, Sejak tahun 1963 menjadi “Gedung Pos Ibukota” disingkat
GPI atau disebut juga “Kantor Pos Ibukota Jakarta Raya”.
Bangunan ini dirancang oleh Ir. R. Baumgartner yang bekerja sebagai arsitek
pada Bouw Kundig Bureau pada departemen Van BOW. Secara fisik bentuk
bangunan gedung Kantor Pos dan Giro Pasar Baru menunjukkan arsitektur Belanda
dengan relung serta kaca-kaca berkembang yang menghiasi bagian depan gedung,
bentuknya serupa dengan bangunan stasiun Kereta Api Jakarta Kota(Jakarta.go.id).

16
Bangunan ini dirancang oleh Ir. R. Baumgartner yang bekerja sebagai arsitek
pada Bouw Kundig Bureau pada departemen Van BOW. Gedung yang sejak awal
memang dirancang sewbagai kantor pos ini dibangun pada tahun 1928. Bangunan
didominasi adanya lubang-lubang jendela vertikal mengimbangi bangunan yang
“horizontal” melebar. Ketinggian langit-langit yang relatif tinggi memungkinkan
penghawaan alamiah sehingga mendukung kenyamanan bangunan.Secara fisik
bentuk bangunan gedung Kantor Pos dan Giro Pasar Baru menunjukkan arsitektur
Belanda dengan relung serta kaca-kaca berkembang yang menghiasi bagian depan
gedung, bentuknya mirip bangunan stasiun Kereta Api Jakarta Kota. Atap terbuat dari
seng dengan tiang-tiang besi pipih sebagai penyangga.

Gambar 6 : Gedung Kantor Pos, Jakarta


Sumber : https://fadiahnurannisa.wordpress.com

7. Museum Seni Rupa dan Keramik


Gedung Museum Seni Rupa dan Keramik ini dibangun pada tahun 1870.
Sebagai Lembaga Peradilan tertinggi Belanda (Raad van Justitie), kemudian pada
masa pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan Indonesia gedung ini
dijadikan sebagai asrama militer. Selanjutnya pada tahun 1967 digunakan sebagai
Kantor Walikota Jakarta.
Pada tahun 1968 hingga 1975 gedung ini pernah digunakan sebagai Kantor
Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. Pada tanggal 20 Agustus 1976 diresmikan
sebagai Gedung Balai Seni Rupa oleh Presiden Soeharto. Dan di gedung ini pula
terdapat Museum Keramik yang diresmikan oleh Bapak Ali Sadikin (Gubernur DKI
Jakarta) pada tanggal 10 Juni 1977, kemudian pada tahun 1990 sampai sekarang
menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik (Museum Indonesia).
Gedung Museum Seni Rupa dan Keramik dengan luas bangunan ±2430m²
dan dibangun diatas tanah seluas + 8875 m². Museum ini memiliki gaya arsitektur

17
Eropa Empire. Ciri khas gaya arsitektur ini pada umumnya bagian atas depan
berbentuk segitiga yang menggambarkan Crown atau Mahkota Raja, sedang bagian
teras depan ditopang tiang pilar atau Doric (doria). Tiang-tiang pilar seperti ini juga
dijumpai pada bangunan dari jaman Mesir Kuno sebagai simbol atau penggambaran
dari pasukan tentara yang mendukung kekuatan dan kokohnya kerajaan. Gedung
museum Seni Rupa dan Keramik dirancang oleh Jhr. W H.F.H. Raders. Berikut gaya
arsitektur Eropa yang diaplikasikan pada bangunan Museum Seni Rupa dan
Keramik.

Gambar 7 : Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta


Sumber : https://fadiahnurannisa.wordpress.com

8. Museum Wayang

Pada awalnya bangunan ini bernama De Oude Hollandsche Kerk (“Gereja


Lama Belanda”) dan dibangun pertamakali pada tahun 1640. Tahun 1732 diperbaiki
dan berganti nama De Nieuwe Hollandse Kerk (Gereja Baru Belanda) hingga
tahun 1808 akibat hancur oleh gempa bumi pada tahun yang sama. Di atas tanah
bekas reruntuhan inilah dibangun gedung museum wayang dan diresmikan.
pemakaiannya sebagai museum pada 13 Agustus 1975. Meskipun telah dipugar
beberapa bagian gereja lama dan baru masih tampak terlihat dalam bangunan ini.

Gedung yang telah dipugar berkali – kali mulai dari gereja. Lalu fungsi
selanjutnya adalah sebagai tempat dengan tujuan penelitian dalam bidang seni dan
ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi,
kesusastraan, etnologi dan sejarah.
Kemudian dijadikan museum dengan nama “de oude Bataviasche Museum “
atau museum Batavia Lama yang pembukaannya dilakukan oleh Gubernur Jenderal

18
Hindia Belanda terakhir, Jonkheer Meester Aldius Warmoldu Lambertus Tjarda van
Starkenborg Stachouwer, pada 22 Desember 1939.
(sumber : http://asosiasimuseumindonesia.org/23-profil-museum/dki-jakarta/24-
museum-wayang.html)

Gambar 8 : Museum Wayang, Jakarta


Sumber : https://wikipedia.com
II. KONSERVASI KOTA LAMA SURABAYA
Kota Surabaya secara geografis terletak di pesisir. Hal ini menjadi salah satu alasan
Belanda membangun pusat pemerintahan di Surabaya untuk memudahkan melakukan
kegiatan bongkar muat rempah-rempah yang diangkut dari Jawa untuk dikirim menuju
Negara Belanda (Ridwiyanto, 2012). Pada saat ini Kota Surabaya berkembang menjadi
salah satu kota Metropolitan (Mahriyar & Rho, 2014; Rachmawati, Soemitro, Adi, &
Susilawati, 2015) dan Kota terbesar kedua di Indonesia dan secara administratif Kota
Surabaya berkedudukan sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Timur, dampak dari fungsi
administratif ini adalah pesatnya pembangunan (Budiyantini & Pratiwi, 2016). Kota
Surabaya ditinjau dari sarana dan prasarana, pesatnya pembangunan yang terjadi
antara lain; high rise building, shopping mall dan apartment di kawasan central business
district dan pengembangan kawasan Kota baru (Nurhidayah, 2008). Dampak yang
diakibatkan dari percepatan pembangunan infrastruktur ini yaitu mengancam eksistensi
dari bangunan-bangunan kuno dan bersejarah peninggalan Belanda yang terdapat di
Kota Surabaya (Ellisa, 2010; Rully & Florian, 2013). Banyaknya bangunan kuno yang
terdapat di Kota Surabaya merupakan bangunan peninggalan pada masa penjajahan
Belanda, bangunan-bangunan kuno ini seharusnya dikonservasi karena merupakan
saksi perkembangan kota dan sebagai bukti sejarah. Sebagian besar bangunan kolonial
cagar budaya di Kota Surabaya terletak di Kawasan Kota Lama di bagian wilayah kota
(BWK) Surabaya Utara yang terkenal sebagai Kawasan pertempuran 10 November
Surabaya – Indonesia. Kawasan Kota Lama Surabaya merupakan Kawasan yang ber-
orientasi kepada town planning in Dutch indies yang ditandai dengan bangunan lama

19
bergaya kolonial (Jessup, 1985). Pada kawasan Kota Lama terbagi menjadi 3 segmen,
antara lain : Segmen jalan Rajawali dikenal sebagai daerah pertempuran Jembatan
Merah, segmen jalan Kembang Jepun yang dikenal sebagai daerah pecinan dan
segmen jalan KH. Mas Mansyur yang dikenal sebagai Kampung Arab. Semuanya itu
menjadi satu district yang disebut Kota Lama atau Kota Tua.

Gambar 9 : Pembagian objek Cagar Budaya Jalan Rajawali


Sumber : Putra, R.D.W / JPK Vol. 4 No. 2 (2016) 139 - 150

Gambar 11 : Pembagian objek Cagar Budaya Kembang Jepun 20


Sumber : R.D.W Putra/ JPK Vol. 4 No. 2 (2016) 139 - 150
Gambar 10 : Pembagian objek Cagar Budaya Kembang Jepun
Sumber : R.D.W Putra/ JPK Vol. 4 No. 2 (2016) 139 - 150

Gambar 11 : Pembagian objek Cagar Budaya Mas Mansyur


Sumber : R.D.W Putra/ JPK Vol. 4 No. 2 (2016) 139 - 150

21
Berdasarkan hasil analisis Putra, R.D.W (2016) tentang "Identifikasi
Kelestarian Kawasan Kota Lama Melalui Proteksi Bangunan Cagar Budaya Oleh
Pemerintah Kota Surabaya" disimpulkan bahwa, Pertama, karakter kawasan penelitian
Kota Lama Surabaya dibagi menjadi 3 segmen yaitu : jalan Rajawali sebagai daerah
pertempuran 10 November, jalan Kembang Jepun sebagai kawasan Pecinan dengan
perpaduan antara bangunan kolonial dengan elemen dan struktur Tionghoa, dan jalan
KH. Mas Mansyur sebagai kawasan Kolonial Kampung Arab, setiap segmen tersebut
memiliki ciri khas yang kuat dari segi facade bangunan. Segmen Jalan Rajawali
memiliki nilai historis perjuangan 10 November yang tinggi, karena bentuk, keunikan,
estetika bangunan yang sangat dijaga karena pusat Pemerintahan Belanda pada saat
itu terdapat di Jalan Rajawali / yang terkenal sebagai Jalan Jembatan Merah, Bangunan
yang menonjol yaitu Gedung Internacio, Gedung Cerutu, Hotel Ibis, dan PTPN.
Beberapa bangunan yang terdapat di ketiga segmen tersebut merupakan
bangunan cagar budaya peninggalan dari perkembangan kota Surabaya, Pemerintahan
Kota Surabaya melalui Dinas Pariwisata dan Cagar Budaya Kota Surabaya
mengeluarkan sebuah Perda yang mengatur bahwa bangunan Cagar Budaya tidak
dapat dirubah bentuk tampilan asli muka bangunan. Namun guna bangunan tersebut
dapat dialih fungsikan / pengunaan bangunan tanpa merubah bentuk muka bangunan,
misalnya bangunan berubah fungsi menjadi bank, PTPN, museum dan perkantoran.
Namun yang perlu ditekankan adalah Pemerintah Kota Surabaya mengawasi dengan
ketat keberadaan bangunan Cagar Budaya di Kawasan Kota Lama.
Upaya konservasi direkomendasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota
Surabaya berdasarkan penelitian ini adalah : Kota Surabaya sudah memiliki perda yang
mengatur keutuhan bangunan cagar budaya, pemerintah melalui Dinas Pertamanan
melakukan penataan vegetasi berupa pohon dengan kerapatan rendah dengan jarak
yang seragam serta tinggi pagar yang tidak menutupi visualisasi facade bangunan
sehingga wisatawan dan masyarakat dapat menikmati megahnya saksi sejarah dan
bangunan yang ada pada jaman kolonial Belanda. Pemerintah Kota Surabaya melalui
Perda memberikan rekomendasi untuk memproteksi tipikal bangunan lama melalui
adaptasi bangunan baru sesuai ciri khas kawasan sebagai sebuah kawasan
peninggalan masa kolonial Belanda, dari perda ini dapat menjaga bangunan kolonial
tetap asli namun dengan interior yang mampu meningkatkan kualitas bangunan dan
kawasan Kota Lama. Pemerintah Kota Surabaya merancang citra kota lama melalui
pemberian papan-papan informasi pada bangunan kuno di Kota Lama beserta
sejarahnya sehingga dapat mempertegas bahwa bangunan ini tetap asli dikonservasi
tanpa merubah bentuk tampilan bangunan sejak awal dibangun pada era Kolonial
Belanda.
22
III. UPAYA KONSERVASI KAWASAN JALAN BRAGA, BANDUNG
Bandung memang tidak memiliki kompleks kota tua seperti di Jakarta atau
Semarang. Namun mengingat usia kota Bandung yang juga relatif muda dibandingkan
dengan Jakarta atau Semarang misalnya, maka tak heran bila peninggalan-peninggalan
tua berupa bangunan di Bandung tak banyak yang berumur lebih dari satu abad. Dari
jumlah yang sedikit ini, sebagian besar tampaknya kurang terurus, dalam keadaan
kosong dan tampak kumuh. Sangat disayangkan bila penelantaran seperti ini dibiarkan
berlangsung terus sehingga secara perlahan gedung-gedung itu rusak dimakan waktu,
dan tentunya memunculkan alasan-alasan untuk kemudian merubuhkannya sekalian,
seperti yang sudah sering terjadi.
Pada peringatan HUT KAA ke 60, Walikota Bandung, Ridwan Kamil
berkeinginan untuk mempromosikan Kota Bandung dengan menonjolkan beberapa
lokasi Kota Tua Bandung yang tersebar diberbagai daerah, salah satunya adalah
kawasan Jalan Braga, Bandung
Jalan Braga sebagai salah satu tujuan wisata di Kota Bandung tampaknya
semakin populer belakangan ini, sebagai salah satu kawasan Kota Tua. Jalan yang
cukup populer di Kota Bandung ini dijuluki Paris Van Java.
Jalan Braga sebelum abad ke-20 hanyalah jalanan becek dan berlumpur
yang sering dilalui oleh pedati pengangkut kopi dari koffie pakhuis (di lokasi Balaikota
sekarang) yang menuju Grote Postweg (Jalan Asia-Afrika sekarang). Itulah sebabnya di
masa lalu Jalan Braga dikenali dengan nama karrenweg atau pedatiweg. Menjelang
berakhirnya abad ke-19, Jalan Braga mengalami berbagai perkembangan seiring
dengan pembangunan Kota Bandung secara umum.
Memasuki dekade pertama abad ke-20, kawasan Braga perlahan menjadi
semacam pusat perbelanjaan bagi warga Eropa yang tinggal di sekitar Bandung,
terutama para Preangerplanters yang biasanya berdatangan ke Bandung setelah
seminggu penuh mengelola perkebunan mereka di luar kota Bandung. Para pekebun
yang datang ini ada yang dari Jatinangor, Sumedang, Pangalengan, Ciwidey,
Rajamandala, dan berbagai kawasan perkebunan lainnya yang tersebar di Priangan.
Mereka sengaja datang untuk berbelanja, bersantai dan menghibur diri dengan
berbagai fasilitas yang tersedia di Bandung saat itu.
Permasalahan pelestarian bangunan cagar budaya adalah membangun
keseimbangan yang beradab antara investasi yang berdimensi ekonomi dan konservasi
yang berdimensi budaya, hal tersebut dikatakan oleh David B. Soediono (Soediono-
2015). Atas dasar itulah, proyek restorasi bangunan toko de Vries di kota Bandung
dilaksanakan, dan menjadi contoh bagaimana upaya pelestarian terhadap cagar budaya
23
di kota Bandung. Prestasi ini kemudian menjadikan sang Arsitek, David B. Soediono,
mendapat penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesai (IAI Awards) tahun 2015.

Gambar 12 : Bandung Tahun 100-1940


Sumber : Savitri, Titiek 2017

Gambar 13 : Suasana Bangunan Art Deco, Jalan Braga 1900-1940


Sumber : Savitri, Titiek 2017

Di kawasan heritage jalan Braga yang panjangnya sekitar 700 itu terdapat 120
bangunan, 45% diantaranya sudah tidak difungsikan karena rusak dimakan usia. Hanya
sebanyak 55% bangunan di Braga yang sampai saat ini terlihat masih dapat difungsikan
sebagai rumah makan, kantor, bank, toko mebel, dan tempat hiburan malam.
Pemugaran gedung Kawasan jalan Braga diera tahun 1970-1990 telah menghilang
bentuk asli bangunan, suana khas kota tua dan suasana kemegahan bangunan Art
Deco di jalan Braga masa Lalu sudah lenyap. Perlu usaha mengembalikan fasade toko
yang telah berubah ke model aslinya seperti gaya Art Deco. Dengan begitu, nuansa
klasik Braga secara visual akan kembali muncul
24
Vitalitas kawasan heritage jalan Braga menurun akibat perubahan fungsi dan aktifitas
serta kinerja ekonomi kawasan yang rendah. Kondisi tersebut mengakibatkan
rendahnya kemampuan perawatan dan pemeliharaan terhadap gedung gedung di
kawasan heritage ini, dan pada akhirnya semakin lama semakin rusak dimakan usia.
Kondisi demikian cenderung menimbulkan dampak penurunan kualitas kawasan dan
akan menjadi beban kinerja dan dinamika perkotaan. Untuk itu perlu diupayakan
menumbuhkan dan mengembangkan aktifitas ekonomi kawasan. Aktifitas ekonomi
merupakan upaya pemberdayaan, perawatan dan penguatan karakter kawasan agar
dapat berlangsung dengan baik. Hal ini berarti dpt menghidupkan kembali aktifitas /
kegiatan yang pernah ada atau secara lebih kompleks adalah menstrukturkan kembali
aktifitas ekonomi kawasan jalan Braga melalui proses adaptasi konstruksi fisik
bangunan/kawasan kota dengan kebutuhan fungsi sekarang. Menghidupkan kembali
vitalitas yang pernah ada untuk menciptakan kehidupan baru yang produktif serta
mampu memberikan kontribusi positif pada kehidupan sosial budaya, terutama
kehidupan ekonomi kawasan kota (Martokusumo-2008). Revitalisasi kawasan jalan
Braga merupakan usaha meningkatkan vitalitas kawasan kota melalui peningkatan
kualitas lingkungan dengan mempertimbang kan aspek sosial budaya dan
karakteristik/kekhususan kawasan heritage. Memanfaatkan sumber daya kawasan jalan
Braga untuk kepentingan masa kini dengan bijaksana sehingga menjamin kelestarian
dan keberadaannya untuk generasi berikutnya dimasa mendatang.
Permasalahan pelestarian bangunan cagar budaya adalah membangun
keseimbangan yang beradab antara investasi yang berdimensi ekonomi dan konservasi
yang berdimensi budaya, hal tersebut dikatakan oleh David B. Soediono (Soediono-
2015). Atas dasar itulah, proyek restorasi bangunan toko de Vries di kota Bandung
dilaksanakan, dan menjadi contoh bagaimana upaya pelestarian terhadap cagar budaya
di kota Bandung. Prestasi ini kemudian menjadikan sang Arsitek, David B. Soediono,
mendapat penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesai (IAI Awards) tahun 2015.
Di kawasan heritage jalan Braga yang panjangnya sekitar 700 itu terdapat
120 bangunan, 45% diantaranya sudah tidak difungsikan karena rusak dimakan usia.
Hanya sebanyak 55% bangunan di Braga yang sampai saat ini terlihat masih dapat
difungsikan sebagai rumah makan, kantor, bank, toko mebel, dan tempat hiburan
malam. Pemugaran gedung Kawasan jalan Braga diera tahun 1970-1990 telah
menghilang bentuk asli bangunan, suana khas kota tua dan suasana kemegahan
bangunan Art Deco di jalan Braga masa Lalu sudah lenyap. Perlu usaha
mengembalikan fasade toko yang telah berubah ke model aslinya seperti gaya Art
Deco. Dengan begitu, nuansa klasik Braga secara visual akan kembali muncul.

25
Potensi kawasan heritage jalan Braga mempunyai peluang besar menjadi
‘shopping street’ eksklusif serta menjadi tujuan wisata seperti kawasan‘shopping street’
yang terletak di kawasan heritage kota kota Eropa.
Pemugaran yang telah mengakibatkan hilangnya bentuk asli bangunan Art
Deco, sehingga harus dibangun kembali seperti sedia kala.
Menumbuhkan dan mengembangkan aktifitas ekonomi kawasan jalan Braga
merupakan upaya pemberdayaan, perawatan dan penguatan karakter kawasan agar
dapat berlangsung dengan baik.
Menghidupkan kembali vitalitas yang pernah ada untuk menciptakan
kehidupan baru yang produktif serta mampu memberikan kontribusi positif pada
kehidupan sosial budaya, terutama kehidupan ekonomi kawasan kota.
Revitalisasi dapat menghidupkan kembali aktifitas / kegiatan yang pernah ada atau
secara lebih kompleks adalah menstrukturkan kembali aktifitas ekonomi kawasan jalan
Braga melalui proses adaptasi konstruksi fisik bangunan/ kawasan kota dengan
kebutuhan fungsi sekarang.
Memanfaatkan sumber daya kawasan jalan Braga untuk kepentingan masa
kini dengan bijaksana sehingga menjamin kelestarian dan keberadaannya untuk
generasi berikutnya dimasa mendatang.
Menyelenggarakan berbagai “Festival” sebagai cara meningkatkan aktivitas kawasan
Braga

IV. UPAYA KONSERVASI KOTA TUA DI MALAYSIA DAN SINGAPURA


I. Stadthuys Malaka
Kota Malaka sebelumnya merupakan daerah penjajahan Portugis, Belanda dan Inggris.
Stadthuys terletak disekitar alun-alun pusat Sejarah Malaka. Dikenal dengan alun-alun
merah, karena seluruh bangunan disana dicat dengan warna merah sebagai kebijakan
pemerintah untuk membedakan bangunan konservasi dengan bangunan lainnya. Disana
terdapat sebuah perahu peninggalan arsitektur kolonial Belanda di Timur Jauh. Januari 1641
Malaka jatuh ketangan Belanda . Bangunan Stadthuys dahulu digunakan sebagai rumah
gubernur Belanda, dibangun antara tahun 1641 dan 1660, dan baru-baru ini diperbaiki dan
disesuaikan kepada bentuk dan keagungan pada zamannya. Gedung ini adalah salah satu
bangunan tua zaman kolonial Belanda di Asia Tenggara. Bangunan Stadthuys mempunyai
dinding bata yang kuat dan dibangun dengan dasar bentuk benteng pertahanan Portugis. Di
salah satu ruangan masih terdapat plafon kayu yang masih utuh sesuai aslinya. Sejak tahun
1982, Stadthuys digunakan sebagai Musium Sejarah dan Musium Etnografi yang menyimpan
pakaian pengantin tradisional Portugis, Cina India, Inggris dan Malaysia. Musium ini
26
dipertahankan sebagai bukti sejarah Malaka 600 tahun yang lalu. Bangunan Stadthuys masih
terlihat kokoh dan terawat untuk bangunan yang telah tua. Hal ini tidak terlepas dari faktor
pemeliharaan yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia dalam mempertahankan kondisi
bangunan yang mempunyai nilai sejarah. Walaupun terlihat beberapa bagian kerusakan
antara lain :
 Retak-retak dinding
 Dinding terlihat lembab
 Dinding berjamur akibat lembab/air hujan
 Pengelupasan cat
 Selain terjadi kerusakan pada sebagian elemen bangunan, sepanjang teras bangunan
terlihat penambahan "AC window"
Preservasi dan Konservasi Bangunan Stadthuys
Tingkat intervensi pada bangunan Stadthuys berupa preservasi, yaitu upaya mengembalikan
kondisi bangunan sesuai asalnya, intervensi dilakukan hanya pada permukaan kulit bangunan
saja untuk kenyamanan dan keamanan. dan konservasi, yaitu upaya memelihara suatu
tempat agar maknanya tetap terjaga. Istilah ‘tempat’ dapat berarti lingkungan dan bangunan
bersejarah maupun lingkungan alam, sedangkan ‘makna’ berarti nilai arsitektural, sejarah
maupun budaya. Melakukan konservasi juga dapat berarti pendaur-ulangan melalui apa yang
disebut sebagai adaptive re use.

Gambar 14 : Stadthuys Malaka, Malaysia


Sumber : Busono, Tjahjani.

27
Gambar 15 : Kondisi Bangunan Stadthuys Malaka, Malaysia
sumber : Busono, Tjahjani.

II. FULLERTON HOTEL


Gedung Fullerton terletak di lokasi puncak antara Sungai Singapura dan Teluk Marina, di
sudut Raffles Place yang terkenal sebagai pusat komunitas finansial Singapore. Bangunan
yang saat ini lebih dikenal sebagai Hotel Fullerton, didesain oleh Keys & Dowsell dan
dibangun pada tahun 1927-1928. Tujuh puluh tahun kemudian bangunan tujuh lantai ini
dianugerahi status sebagai bangunan konservasi. Bangunan Fullerton ini dibangun pertama-
tama pada tahun 1829 dengan fungsi sebagai Benteng di mulut Sungai Singapura guna
mempertahankan dan menjaga Singapura. Nama Benteng Fullerton diambil dari nama Sir
Robert Fullerton, Gubernur pertama dari The Straits Settlement of Singapore. Benteng ini
kemudian diberikan kepada pemerintah di tahun 1874 sebagai Kantor Pos Pusat Pertama
(Central Post Office) dan Kantor Perdagangan (The Exchange). Benteng ini kemudian selesai
direnovasi sebagai bangunan lengkap pada tahun 1928. Penggunaan pertama Bangunan
Fullerton adalah pada saat anggota Kantor Perdagangan, Dewan Komisaris Perdagangan dan
anggota Klub Singapura (Singapore Club) mulai memesan berbagai fasilitas di lantai-lantaii
atas termasuk akomodasi. Sayap bangunan yang terdiri dari kamar-kamar tidur mulai
diminati khalayak sesaat setelah Gubernur Shenton Thomas dan Lady Thomas tinggal disana
setelah Istana diserang oleh pasukan lawan pada tahun 1942. Pada tahun 1950-an Plaza
Fullerton merupakan lokasi dimana Mr. Lee Kuan Yew sering mengadakan kampanye-
kampanye politik yang mengundang banyak perhatian masyrakat dan wisman yang sedang
menikmati makan siang di Raffles Place. Dengan selesainya pembangunan pada tahun 1928,
Bangunan Fullerton memulai fase barunya dalam mengukir sejarah. Restorasi sebuah

28
benteng menjadi sebuah hotel memberika Kota Singapura sebuah Landmark, yang kemudian
lebih dikenal sebagai The Fullerton Singapore. Peninggalan kebudayaan yang kental dalam
arsitekturnya memperlihatkan kemapanan dan keseuaian bangunan ini sebagai sebuah hotel
megah yang berbintang enam. Fullerton Singapore memiliki asset yang tak ternilai yaitu
lokasi. Lokasi prima dari Fullerton Singapore di jantung Distrik Civic, sepadan dengan
kekayaan sejarah Singapura. Selain lokasi tersebut mengandung nilai sejarah yang tak ternilai,
yang mampu menonjolkan Fullerton Singapore sebagai sebuah titik pusat aktivitas komersial
pada hari-hari kerja di Singapura. Terletak di muka Raffles Place, distrik bisnis dan finansial
yang terkenal, Fullerton Singapore sendiri tampak apik dengan kedekatannya pada pusat-
pusat budaya seperti Teater Victoria, Concert Hall, Teater Esplanade di Teluk dan museum-
museum seni lainnya. Dari bangunan inipun seorang dapat menikmati pemandangan ke arah
Boat Quay, salah satu pusat aktivitas hiburan malam hari di Singapura. Lokasinya paralel
dengan stasiun bawah tanah Raffles Place Mass Rapid Transit (MRT) dalam jarak berjalan
kaki. Pencapaian dengan kendaraan pun mudah baik dengan kendaraan pribadi dari Nicol
Highway atau taksi dari Sungai Singapura. Di masa yang akan datang, Fullerton Singapore
akan mempunyai nilai tambah dengan perluasan dan penambahan area waterfront dengan
kehadiran The Merlion Park dan Waterboat House yang akan dibangun pada sisi Sungai
Singapura serta pengembangan reklamasi pantai di Collyer Quay di gerbang pusat kota baru.
Parsel watefront ini akan menawarkan lebih banyak lagi pusat-pusat perbelanjaan dan
pemandangan menakjubkan ke arah Teluk Marina. Interior Fullerton Singapore
Pemandangan yang indah dihasilkan oleh ke-400 kamar dan suitenya. Masing-masing
suasana dan interior tiap kamar hampir selalu berbeda dengan keistimewaannya masing-
masing. Beberapa kamar memiliki pemandangan matahari terbit ke arah atrium, lainnya
memiliki balkon-balkon yang menghadap ke panorama kota ataupun ke promenade Teluk
Marina. Fullerton Singapore juga menampilkan keunikan akomodasi nilai sejarah yang
dimilikinya. Ruang-ruangnya menampilkan karakter yang sangat khas dan menonjol dengan
kehadiran motif-motif klasik atau detail-detail tertentu. Fasilitas yang dimilikinya pun
menyuguhkan ciri khas tersendiri. Antara lain The Straits Club, yang tampak seperti ‘hotel
dalam hotel’. Suasana itu dilahirkankan dari pelayanan yang menampilkan keeksklusifan
tersendiri. Berbagai panganan dan minuman ditawarkan di café-café dan loungenya
sepanjang siang dan malam. Selain itu kehadiran perpustakaan privat (private library) dan
bar menambah atmosfir ‘ambience’ dan privasi sebuah Klub pribadi. Pada saat renovasi
interior bangunan, pemiliknya menginginkan penampilan bangunan tersebut mencerminkan
“New Asia”, yang merupakan konsep yang sedang dicanangkan oleh Dewan Pariwisata

29
Singapura masa itu. Andrew Moore dari Konsultan Hirsch Bedner menyatakan bahwa
dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menerjemahkan konsep dan ide tersebut ke dalam
perancangan yang kontemporer dan progresif dengan mengurangi penekanan berlebihan
pada peninggalan kolonialnya. Pemilihan warna-warna champagne dipadukan dengan coklat
dan merah marun pada fabrik menghasilkan suasana hangat namun apik diterapkan pada
ruang-ruang publik. Warna-warna ini dipilih untuk menyeimbangkan penggunaan batu alam
yang merupakan material interior kolom-kolom internal yang begitu besar dan menonjol.
Batu-batu alam tersebut merupakan material dasar kolom-kolom bangunan yang diimpor
langsung dari Cina. Sementara pada material metal atau logam, pilihan warnanya bercorak
dari warna tembaga (bronze) dan pada kusenkusen jendela diberikan penonjolan frame dari
marmer (diambil dari Jaune Duroi Marble) dengan warna-warna asli.

Gambar 16 : Fasad Depan Fullerton Hotel, Singapura


sumber : Busono, Tjahjani.

30
Gambar 17 : Interior Fullerton Hotel, Singapura
sumber : Busono, Tjahjani.

31
BAB IV

KESIMPULAN

I. KESIMPULAN
a. Upaya konservasi adalah tindakan yang menunjukan upaya untuk memlihara dan
menggunakan milik secara bijak. konservasi juga dapat diartikan sebagai tindakan
untuk melakukan perlindungan sesuatu dari kerusakan.
b. Upaya konservasi penting untuk dilakukan untuk menjada nilai sejarah
perkembangan sebuah kota
c. Sebuah bangunan atau kawasan dapat dikonservasi apabila memenuhi syarat
sebagai berikut :
 Estetika/arsitektonis,
 Keselamatan,
 Kejamakan/tipikal
 Kelangkaan
 Keluarbiasaan/keistimewaan
 Peranan sejarah,
 Penguat karakter kawasan,
 Ekonomi,
 Sosial dan budaya, dimana bangunan tua tersebut memiliki nilai agama dan
spiritual, memiliki nilai budaya dan tradisi yang penting bagi masyarakat.
d. Beberapa kota di Indonesia yang memiliki kawasan konservasi adalah Kota Jakarta,
Surabaya dan Bandung
e. Upaya konservasi di Indonesia belum maksimal terlihat dari pemanfaatan bangunan
cagar budaya dan pemeliharaan bangunan dan kawasan yang cukup optimal
f. perlu penambahan street furnitture yang memadai dalam kawasan konservasi di
Indonesia
g. Contoh bangunan konservasi di Malaysia adalah Stadhuys Malaka yang juga upaya
konservasinya belum optimal
h. Contoh bangunan konservasi di Singapura adalah Gedung Fullerton Hotel

32
BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Busono, Tjahjani. Eskursi Preservasi, Konservasi, Renovasi Pada Pemeliharaan Bangunan


Di Singapura Dan Malaysia.
Danisworo, M & Martokusumo, Widjaja. (2000). Revitalisasi Kawasan Kota –Sebuah
Catatan dalam Pengembangan dan Pemanfaatan Kawasan Kota. Jurnal URD, 13.
Putra, R.D.W. (2016). Identifikasi Kelestarian Kawasan Kota Lama Melalui Proteksi
Bangunan Cagar Budaya Oleh Pemerintah Kota Surabaya. Jurnal Pengembangan
Kota, Vol 4.
Savitri, Titiek. (2017). Jalan Braga Menuju Kawasan Heritage Tujuan Wisata Dunia. SAPPK
ITB.
Nur Annisa, Fadiah. (2016). Studi Kawasan Konservasi Kota Tua Jakarta : Kawasan Taman
Fatahilah. (dalam jurnal : Fadiah Nur Annisa. wordpress.com)

33

Anda mungkin juga menyukai