Anda di halaman 1dari 8

Perbedaan Pengelolaan Ekowisata Pada Kawasan Konservasi dan Di Luar

Kawasan Konservasi
Prinsip ekowisata menurut Indonesian Ecotourism Network (1996:1) menekankan
tiga prinsip dasar yaitu :
1. Prinsip konservasi, pengembangan ekowisata harus mampu memelihara,
melindungi dan/atau berkontribusi untuk memperbaiki sumberdaya alam.
2. Prinsip partisipasi masyarakat, pengembangan ekowisata harus didasarkan
atas musyawarah dan persetujuan masyarakat setempat serta peka dan
menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan yang dianut
masyarakat di sekitar kawasan.
3. Prinsip ekonomi, pengembangan ekowisata harus mampu memberikan
manfaat untuk masyarakat, khususnya masyarakat setempat, dan menjadi
penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya untuk memastikan bahwa
daerah yang masih alami dapat mengembangkan pembangunan yang
berimbang (balanced development) antara kebutuhan pelestarian lingkungan
dan kepentingan semua pihak.
Sedangkan dalam penerapan ekowisata dapat mencerminkan dua prinsip, yaitu :
1. Prinsip edukasi, pengembangan ekowisata harus mengandung unsur
pendidikan untuk mengubah sikap atau prilaku seseorang menjadi memiliki
kepedulian, tanggungjawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan
dan budaya.
2. Prinsip wisata, pengembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan
dan memberikan pengalaman yang orisinil kepada pengunjung, serta
memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan.
Penggunaan kriteria dan indikator dalam pembangunan berkelanjutan
telah diakui dan direkomendasikan oleh UNCSD (United Nation Commision for
Sustainable Development) sebagai instrumen penting untuk mengukur status
pembangunan berkelanjutan (Aziz dkk.,2015). Kriteria dan indikator ini, dapat
digunakan sebagai standar pengukuran dari keberlanjutan dan dapat diaplikasikan
dalam beragam area dan disiplin. Untuk mengevaluasi yang telah lalu, petunjuk
untuk masa sekarang dan untuk membuat rencana ke depan, kita harus
mengetahui apa yang harus diawasi, data apa yang harus dikumpulkan dan apa
yang harus diukur. Ekowisata yang berkelanjutan merupakan cerminan
manajemen lingkungan yang sukses. Dalam pengelolaan ekowisata, kriteria dan
indikator dapat digunakan untuk standar pengukuran keberlanjutan. Kriteria dan
indikator dapat menjadi alat evaluasi untuk menentukan parameter dari
pengelolaan yang berkelanjutan (Gough dkk., 2008). Saat ini, pengembangan
kriteria dan indikator untuk alat evaluasi merupakan metode yang populer.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan alat evaluasi untuk
pengelolaan dan pengembangan ekowisata yakni diantaranya adalah penelitian
Abidin (1999) yang mengembangkan set kriteria dan indikator untuk
mengevaluasi pengembangan ekowisata di Taman Nasional Taman Negara
Malaysia. Hasil dari penelitian ini adalah identifikasi 15 kriteria dan 58 indikator
dari ekowisata berkelanjutan untuk Taman Nasional Taman Negara Malaysia.
Pengelolaan Ekowisata Pada Kawasan Konservasi
Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi.
Apabila ekowisata pengelolaan alam dan budaya masyarakat yang menjamin
kelestarian dan kesejahteraan, sementara konservasi merupakan upaya menjaga
kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk waktu kini dan masa
mendatang. Hal ini sesuai dengan definisi yang dibuat oleh The International
Union for Conservantion of Nature and Natural Resources (1980), bahwa
konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan biosphere dengan berusaha
memberikan hasil yang besar dan lestari untuk generasi kini dan mendatang.
Sementara itu destinasi yang diminati wisatawan ecotour adalah daerah alami.
Kawasan konservasi sebagai obyek daya tarik wisata dapat berupa Taman
Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata
dan Taman Buru. Tetapi kawasan hutan yang lain seperti hutan lindung dan hutan
produksi bila memiliki obyek alam sebagai daya tarik ekowisata dapat
dipergunakan pula untuk pengembangan ekowisata.
Pendekatan lain bahwa ekowisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan.
Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP,
1980) sebagai berikut:
1. Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem
kehidupan.
2. Melindungi keanekaragaman hayati.
3. Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya.
Di dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata mempergunakan pendekatan
pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan
menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Pendekatan ini jangan justru
dibalik.
Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada
masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus
meningkatkan kesejahteraannya. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan
mengatur conservation tax untuk membiayai secara langsung kebutuhan kawasan
dan masyarakat local (Lutfhi, 2019).
Kategorisasi kawasan konservasi menurut UU No. 5 Tahun 1990 sebagai berikut:
1. Kawasan Suaka Alam (KSA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik
di daratan maupun perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan (Wulandari, 2019).
a. Cagar alam
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dituliskan bahwa Cagar
Alam merupakan kawasan suaka (perlindungan) alam karena keadaan
alamnya yang memiliki keunikkan dan kekhasan tumbuhan, satwa
beserta ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan
perkembangannya dilakukan secara alami apa adanya. Pengisi kawasan
Cagar Alam biasanya merupakan flora dan fauna asli dari daerah
tersebut, tidak didatangkan dari luar dan perkembangan flora dan fauna
tersebut dibiarkan secara alami serta dipastikan tidak mendapat
gangguan dari aktivitas manusia yang dapat menyebabkan kerusakan.
Cagar Alam merupakan kawasan konservasi yang dikelola oleh
pemerintah pusat. Oleh sebab menjadi wilayah konservasi yang
perkembangannya dibiarkan secara alami, maka kawasan Cagar Alam
bukan menjadi kawasan yang dapat dijadikan sebagai objek wisata dan
kegiatan komersil lainnya. Meskipun begitu, kegiatan yang berguna
bagi kelangsungan Cagar Alam dan pengembangan ilmu pengetahuan
seperti penelitian masih dapat dilakukan dengan mendapat ijin dari
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat. Ijin tersebut
berupa SIMAKSI atau Surat Ijin Masuk Konservasi yang ditunjukkan
ketika hendak memasuki kawasan Cagar Alam. Beberapa Cagar Alam
yang ada di Indonesia adalah Cagar Alam Pananjung Pangandaran di
Jawa Barat, Cagar Alam Nusakambangan Barat dan Timur di Jawa
Tengah.
b. Suaka Margasatwa
Pada undang-undang yang sama yakni Undang-Undang No. 5
Tahun 1990, terdapat juga pengertian mengenai Suaka Margasatwa
yakni kawasan suaka dalam hal ini berupa hutan yang memiliki ciri
khas atau keunikkan berupa keanekaragaman jenis satwa yang
kelangsungan hidup dan perkembangannya dilakukan pembinaan
terhadap habitatnya. Jadi, jika di Cagar Alam perkembangannya
dibiarkan secara alami dan apa adanya, maka di Suaka Margasatwa
perkembangannya dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Suaka
Margasatwa ditujukan untuk perlindungan pada satwa-satwa yang
memiliki nilai khas dan karena sebab tertentu keberadaannya
memerlukan perlindungan untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Meskipun ditujukan pada satwa, namun ekosistem dari kawasan
tersebut juga menjadi poin yang perlu dilindungi. Suaka Margasatwa
selain digunakan sebagai kawasan perlindungan satwa-satwa, juga
dapat menjadi tempat wisata, kegiatan penelitian dan pendidikan.
Namun, wisata di kawasan Suaka Margasatwa dilakukan secara
terbatas dan di bawah pengawasan petugas.
Penetapan suatu wilayah menjadi kawasan Suaka Margasatwa
perlu untuk memenuhi beberapa kriteria, karena fokus adanya Suaka
Margasatwa adalah pelestarian pada jenis satwa dan habitatnya.
Kriteria-kriteria tersebut yakni :
 Hutan atau wilayah tersebut merupakan tempat berkembang biaknya
satwa tertentu yang memiliki kekhasan yang memerlukan upaya
perlindungan guna melangsungkan hidup dan kehidupannya.
 Adanya satwa yang dikhawatirkan akan punah jika tidak dilakukan
perlindungan pada kawasan tersebut.
 Hutan atau wilayah tersebut mempunyai keanekaragaman jenis
satwa yang tinggi.
 Hutan atau wilayah tersebut menjadi tempat migrasi atau
perpindahan jenis satwa tertentu.
 Luas wilayah tersebut harus cukup sebagai habitat jenis satwa yang
memerlukan perlindungan.
Beberapa Suaka Margsatwa yang ada di Indonesia antara lain
Rawa Singkil Nangroe Aceh Darussalam, Karang Gaiding Langkat dan
Siranggas di Sumatra Utara.
2. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu,
baik di darat ataupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari terhadap sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri atas (Wulandari,
2019):
a. Taman Nasional, masih dalam undang-undang yang sama yakni
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
Taman Nasional diartikan sebagai kawasan pelestarian alam yang
memiliki ekosistem asli dengan pengelolaan sistem zonasi yang dapat
dimanfaatkan sebagai tempat penelitian dan perkembangan ilmu
penegetahuan, pendidikan, menunjang budidaya serta dapat
dimanfaatkan sebagai sektor wisata. Secara umum, suatu kawasan
dapat ditentukan menjadi kawasan Taman Nasional adalah kawasan
yang luasnya relatif tidak terganggu, memiliki nilai kekhasan alam
yang menonjol dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi
sektor pariwisata yang besar, mudah diakses oleh wisatawan dan
bermanfaat bagi wilayah yang bersangkutan. Dibandingkan kawasan
konservasi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, kawasan konservasi
Taman Nasional lebih terbuka untuk umum dalam hal wisata selagi
tidak merusak keadaan alam dari Taman Nasional. Tercatat Indonesia
memiliki 50an Taman Nasional dengan total luas seluruhnya adalah
16 juta hektar yang 6 di antaranya menjadi warisan dunia atau  World
Heritage Site.
b. Taman Hutan Raya (Tahura), kawasan pelestarian alam untuk tujuan
koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan
atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan
rekreasi.
c. Taman Wisata Alam (TWA), kawasan pelestarian alam yang terutama
dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Berdasarkan PP No. 108 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam
Dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 36 ayat (1), kawasan Taman Hutan Raya
dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
1. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
2. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi;
3. koleksi kekayaan keanekaragaman hayati;
4. penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air, energi air, angin,
panas matahari, panas bumi, dan wisata alam;
5. pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dalam rangka menunjang bidaya dalam
bentuk penyediaan plasma nutfah;
6. pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat;
7. pembinaan populasi melalui penangkaran dalam rangka pengembangbiakan
satwa atau perbanyakan tumbuhan buatan dalam lingkungan yang semi alami.
Hampir semua kawasan konservasi dikelola oleh pemerintah pusat
sedangkan Tahura merupakan satu-satunya kawasan konservasi yang dikelola
oleh pemerintah daerah. Tahura yang berada dalam satu wilayah kabupaten
dikelola oleh pemerintah kabupaten, sedangkan apabila terletak pada lebih dari
satu wilayah akan dikelola oleh pemerintah provinsi.
Pengelolaan Ekowisata Pada Kawasan Luar Konservasi
Pengelolaan meruapakan sebuah manajemen yang harus di miliki ketika
kita melakaukan dan merencanakan segala sesuatu dalam jangka yang panjang
dan berkelanjutan.Pengelolaan dan perencanaan Ekowisata berarti untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat yang akan mendatang dikarenakan Ekowisata
lamakelamaan juga menjadi sebuah kebutuhan tambahan yang sangat di perlukan
oleh masyarakat pada umumnya.Dengan mempertimbangkan perkembangan
teknologi dan pertumbuhan penduduk merupakan hal yang utama untuk
menjawab keberlangsungan dalam pengelolahan tersebut (Suyitno, 2011).
Pengelolaan ekowisata bahari dilakukan dengan konsep Community Based
Tourism (CBT) yang berprinsip pada 3E yaitu:  Ekologi, Ekonomi dan Edukasi.
Program berkelanjutan ini dilaksanakan paling lama 5 tahun dengan harapan Desa
mampu mengelola kawasannya sebagai kawasan wisata yang mandiri. Area alami
suatu ekosistem sungai, danau, rawa, gambut, di daerah hulu atau muara sungai
dapat pula dipergunakan untuk ekowisata. Pendekatan yang harus dilaksanakan
adalah tetap menjaga area tersebut tetap lestari sebagai areal alam.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. (1999) The Identification of Criteria and Indicators for The
Sustainable Management of Ecotourism in Taman Negara National Park,
Malaysia : A Delphi Consensus. UMI.

Aziz, A., G. Barzekar, Z. Ajuhari and N. Idris (2015) Criteria and Indicator for
Straz Ecotourism Sustainability in Protected Watershed: A Delphi
Consensus. Journal of Environmental Science, Toxicology and Food
Technology, 9, 1-9.
Gough, A., J. Innes and D. Allen (2008) Development of Common Indicators Of
Sustainable Forest Managemnet. Ecological Indicators, 8, 425-430.

Indecon. 1996. Hasil Simposium Ekowisata. Gadog. Bogor (ID).

Suyitno, 2011. Perencanaan Wisata,Yokyakarta:Kanisius

Widhi Luthfi. (2019). Perbedaan Kawasan Konservasi di Indonesia; Cagar


Alam, Suaka Margasatwa dan Taman Nasional. Diakses melalui
https://www.goodnewsfromindonesia.id/ pada tanggal 26 Agustus 2022

Wulandari, A., Muhammad, F., & Maryono, M. (2019). Strategi Pemanfaatan


Keanekaragaman Hayati Tumbuhan Untuk Pendidikan Konservasi Bagi
Pengunjung Taman Hutan Raya (Tahura) Kgpaa Mangkunagoro I,
Provinsi Jawa Tengah (Doctoral Dissertation, School Of Postgraduate).

Anda mungkin juga menyukai