Anda di halaman 1dari 15

A.

Mekanisme Spesiasi
Spesiasi merupakan proses pembentukan spesies baru dan berbeda
dari spesies sebelumnya melalui proses perkembangbiakan secara natural
dalam kerangka evolusi. Spesiasi sangat terkait dengan evolusi, keduanya
merupakan proses perubahan yang berangsur-angsur, sedikit demi sedikit,
secara gradual, perlahan tetapi pasti terjadi. Spesiasi lebih ditekankan pada
perubahan yang terjadi pada populasi jenis tertentu.Kecepatan spesiasi
maupun kepunahan sebagian tergantung pada ukuran kisaran geografis
dari suatu daerah. Daerah yang luas cenderung meningkatkan kecepatan
spesiasi dan menurunkan kecepatan kepunahan. Jenis yang terdapat di
daerah yang luas akan mengalami spesiasi lebih cepat, sedangkan
menurunnya luas area akan meningkatkan kepunahan suatu jenis, jadi
menurunkan jumlah jenis yang akan mengalami spesiasi. (Widodo, 2007).
Spesiasi atau terbentuknya spesies baru dapat diakibatkan oleh
adanya isolasi geografi, isolasi reproduksi, dan perubahan genetika
(Campbell, 2003).
1. Isolasi Geografi
Mayoritas para ahli biologi berpandangan bahwa faktor awal dalam
proses spesiasi adalah pemisahan geografis, karena selama populasi dari
spesies yang sama masih dalam hubungan langsung maupun tidak
langsung gene flow masih dapat terjadi, meskipun berbagai populasi di
dalam sistem dapat menyimpang di dalam beberapa sifat sehingga
menyebabkan variasi intraspesies. Hal serupa juga dikemukakan oleh
Campbell dkk (2003) bahwa proses-proses geologis dapat memisahkan
suatu populasi menjadi dua atau lebih terisolasi. Suatu daerah
pegunungan bisa muncul dan secara perlahan-lahan memisahkan
populasi organisme yang hanya dapat menempati dataran rendah; suatu
glasier yang yang bergeser secara perlahan-lahan bisa membagi suatu
populasi; atau suatu danau besar bisa surut sampai terbentuk beberapa
danau yang lebih kecil dengan populasi yang sekarang menjadi
terisolasi. Jika populasi yang semula kontinyu dipisahkan oleh geografis
sehingga terbentuk hambatan bagi penyebaran spesies, maka populasi
yang demikian tidak akan lagi bertukar susunan gennya dan evolusinya
berlangsung secara sendiri-sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu,
kedua populasi tersebut akan makin berbeda sebab masing-masing
menjalani evolusi dengan caranya masing-masing (Widodo dkk, 2003).
Pada awalnya isolasi reproduksi muncul sebagai akibat adanya
faktor geografis, yang sebenarnya populasi tersebut masih memiliki
potensi untuk melakukan interbreeding dan masih dapat dikatakan
sebagai satu spesies. Kemudian kedua populasi tersebut menjadi begitu
berbeda secara genetis, sehingga gene flow yang efektif tidak akan
berlangsung lagi jika keduanya bercampur kembali. Jika titik pemisahan
tersebut dapat tercapai, maka kedua populasi telah menjadi dua spesies
yang terpisah (Widodo dkk, 2003). Isolasi geografi dari sistem populasi
diprediksi akan mengalami penyimpangan karena kedua sistem populasi
yang terpisah itu mempunyai frekuensi gen awal yang berbeda, terjadi
mutasi, pengaruh tekanan seleksi dari lingkungan yang berbeda, serta
adanya pergeseran susunan genetis (genetic drift), ini memunculkan
peluang untuk terbentuknya populasi kecil dengan membentuk koloni
baru.
Suatu penghalang (barier) adalah keadaaan fisis ekologis yang
mencegah terjadinya perpindahan-perpindahan spesies tertentu melewati
batas ini dan suatu barier suatu spesies belum tentu merupakan barier
bagi spesies lain. Perubahan waktu yang terjadi pada isolasi geografis
menyebabkan terjadinya isolasi reproduktif sehingga menghasilkan dua
spesies yang berbeda.
2. Peran Isolasi Reproduksi
Isolasi reproduksi adalah dua populasi/spesies yang terdapat pada
daerah yang sama tidak mampu melakukan perkawinan. Isolasi
reproduksi dapat di bedakan menjadi isolasi prazigot dan poszigot.
Mekanisme isolasi yang mencegah bercampurnya dua populasi atau
mencegah interbreeding jika kedua populasi itu berkumpul kembali
setelah batas pemisah lenyak (isolasi intrinsik).
a. Isolasi Sebelum Perkawinan (Pre-mating isolatio/prezygotic barrier)
Isolasi sebelum perkawinan menghalangi perkawinan antara
spesies atau merintangi pembuahan telur jika anggota-anggota
spesies yang berbeda berusaha untuk saling mengawini. Isolasi ini
terdiri dari (Erik dan Taher, 2011):
1) Isolasi Ekologi (Ecological)
Dua sistem yang mula-mula dipisahkan oleh penghambat luar
(external barrier), suatu ketika mempunyai karakteristik yang
khusus untuk berbagai keadaan lingkungan meskipun
penghambat luar tersebut dihilangkan, keduanya tidak akan
simpatrik. Setiap populasi tidak mampu hidup pada tempat
dimana populasi lain berada, mereka dapat mengalami perubahan
pada perbedaan-perbedaan genetik yang dapat tetap memisahkan
mereka. Setiap spesies beradaptasi dengan iklim setempat di
dalam batas-batas daerah sendiri dan iklim dari keduanya sangat
berbeda, sehingga setiap spesies tidak mungkin hidup di tempat
spesies yang lain. Jadi, disini terdapat perbedaan-perbedaan
genetik yang mencegah gene flow diantara spesies pada keadaan
yang alami. Contohnya pada pohon jenis Platanus occidentalis
yang terdapat di bagian timur Amerika Serikat dan Platanus
orientalis yang terdapat di timur Laut Tengah, kedua spesies ini
dapat disilangkan dan menghasilkan hibrid yang kuat dan fertil.
Kedua spesies ini terpisah tempat yang berbeda dan fertilisasi
alami tidak mungkin terjadi.
2) Isolasi Tingkah laku (Behavioral)
Tingkah laku berperan sangat penting dalam hal courtship
(percumbuan) dan perkawinan (mating). Tingkah laku juga
berperan pada perkawinan acak antar spesies yang berbeda
sehingga perkawinan mendapat hambatan oleh terjadinya
inkompatibilitas beberapa perilaku sebagai dasar bagi suksesnya
perkawinan tersebut. Contohnya pada hewan jantan spesies
tertentu memiliki pola perilaku yang spesifik dalam menarik,
mendekati dan mengawini pasangannya. Kegagalan perkawinan
terjadi karena pasangan merasa asing dengan pola perilaku yang
ditunjukkan oleh pasangannya sehingga terjadi penolakan. Selain
sekuen perilaku yang spesifik seperti yang ditunjukkan oleh
burung bower di mana hewan jantan harus mempersiapkan
pelaminan yang penuh dengan aksesoris tertentu agar burung
betina mau dikawini. Isolasi perilaku sangat tergantung pada
produksi dan penerimaan stimulus oleh pasangan dari dua jenis
kelamin yang berbeda. Jenis stimulus yang dominan untuk
mensukseskan perkawinan, stimulus tersebut diantaranya adalah
(Erik dan Taher, 2011):
a) Stimulus visual : Bentuk, warna, dan karakter morfologi lain
dapat mempengaruhi stimulus visual. Beberapa hewan seperti
kelompok ikan, burung, dan insekta menunjukkan bahwa
stimulus visual dominan mempengaruhi ketertarikan
pasangan seksualnya. Contohnya pada bebek liar Amerika
Serikat yang simpatrik mempunyai courtship display yang
baik dan disertai dengan warna yang mencolok pada bebek
jantan. Fungsinya adalah untuk memperkecil kesempatan
bebek betina memilih pasangan yang salah.
b) Stimulus adaptif : Bunyi nyanyian atau suara lain yang
spesifik berfungsi sebagai alat komunikasi antar jenis
kelamin yang mengarah pada proses terjadinya perkawinan
intra maupun interspesies. Suara-suara yang dikeluarkan oleh
insekta, reptilia, burung, dan mamalia banyak yang spesifik
untuk tiap spesies.
c) Stimulus kimia/feromon: feromon merupakan signal kimia
yang bersifat intraspesifik yang penting dan digunakan untuk
menarik dan membedakan pasangannya, bahkan feromon
dapat bertindak sebagai tanda bahaya. Molekul ini spesifik
pada individu betina yang dapat merangsang individu jantan
dan atau sebaliknya sebagai molekul spesifik yang dihasilkan
oleh individu betina untuk menolak individu jantan. Misalnya
pada Drosophila melanogaster, feromon mempunyai
pengaruh pada tingkah laku perkawinan, di mana dengan
adanya feromon yang dilepaskan oleh individu betina
membuat individu jantan melakuakn aktivitas sebagai wujud
responnya terhadap adanya feromon tersebut.
3) Isolasi Sementara (Temporal)
Dua spesies yang kawin pada waktu yang berbeda (hari,
musim, atau tahun), gametnya tidak akan pernah mencampur.
Misalnya hewan singung berbintik (Spilogale gracilis) yang
sangat mirip dengan S. putorius ini tidak akan saling mengawini
karena S. gracilis kawin pada akhir musim panas dan S. putorius
kawin pada akhir musim dingin. Hal yang sama juga terjadi pada
3 spesies dari genus anggrek Dendrobium yang hidup di musim
tropis basah yang sama tidak terhibridisasi, karena ketige spesies
ini berbunga pada hari yang berbeda.
4) Isolasi Mekanik (Mechanical)
Isolasi mekanik terjadi apabila dua spesies simpatik terdapat
sel gamet jantan yang tidak mempunyai viabilitas pada saluran
kelamin betina. (viabilitas adalah kemampuan spermatozoa untuk
bertahan hidup setelah dikeluarkan oleh organ reproduksi
jantung). Apabila perbedaan struktural diantara dua populasi
yang sangat berdekatan menyebabkan terhalangnya perkawinan
antar spesies, maka diantara kedua populasi tersebut tidak terjadi
gene flow. Isolasi mekanik ditunjukkan oleh inkompatibilitas alat
reproduksi antara dua spesies yang berbeda sehingga pada saat
terjadinya perkawinan salah satu pasangannya menderita.
Mekanisme ini sebagaimana terlihat pada Molusca sub-famili
Polygyrinae, struktur genetalianya menghalangi terjadinya
perkawinan spesies dalam sub-famili yang sama. Pada tumbuhan
isolasi ini terlihat pada tanaman sage hitam yang memiliki bunga
kecil yang hanya dapat diserbuki oelh lebah kecil. Berbeda
dengan tanaman sage putih yang memiliki struktur bunga yang
besar yang hanya dapat diserbuki oleh lebah yang besar.
5) Isolasi Gametis (Gametic)
Isolasi gamet menghalangi terjadinya fertilisasi akibat
susunan kimiawi dan molekul yang berbeda antara dua sel gamet,
seperti spermatozoa yang mengalami kerusakan di daerah traktus
genital organ betina karena adanya reaksi antigenik, menjadi
immobilitas, dan mengalami kematian sebelum mencapai atau
bertemu sel telur. Contohnya pada persilangan Drosophila virilis
dan D. americana, sperma segera berhenti bergerak pada saat
sampai pada alat kelamin betina, atau bila tidak rusak maka
sperma akan mengalami kematian. gambaran lain juga yang
terjadi pada ikan, di mana telur ikan yang dikeluarkan dari air
tidak akan dibuahi oleh sperma dari spesies lain karena selaput
sel telurnya mengandung protein tertentu yang hanya dapat
mengikat molekul sel sperma dari spesies yang sama.
6) Isolasi Poliploidi
Poliploidi adalah kondisi pada suatu organisme yang
memiliki set kromosom (genom) lebih dari sepasang. Organisme
yang memiliki keadaan demikian disebut sebagai organisme
poliploid. Usaha-usaha yang dilakukan orang untuk
menghasilkan organisme poliploid disebut sebagai poliploidisasi.
Organisme hidup pada umumnya memiliki sepasang set
kromosom pada sebagian besar tahap hidupnya. Organisme ini
disebut diploid (disingkat 2n). Namun demikian, sejumlah
organisme pada tahap yang sama memiliki lebih dari sepasang
set. Gejala semacam ini dinamakan poliploidi (dari bahasa
Yunani yang artinya berganda). Organisme dengan kondisi
demikian disebut poliploid. Tipe poliploid dinamakan tergantung
banyaknya set kromosom. Jadi, triploid (3n), tetraploid (4n),
pentaploid (5n), heksaploid (6n), oktoploid, dan seterusnya.
Dalam kenyataan, organisme dengan satu set kromosom
(haploid, n) juga ditemukan hidup normal di alam. Poliploidi
umum terjadi pada tumbuhan. Ia ditemukan pula pada hewan
tingkat rendah (seperti cacing pipih, lintah, atau beberapa jenis
udang), dan juga fungi.
Di alam, poliploid dapat terjadi karena kejutan listrik (petir),
keadaan lingkungan ekstrem, atau persilangan yang diikuti
dengan gangguan pembelahan sel. Perilaku reproduksi tertentu
mendukung poliploidi terjadi, misalnya perbanyakan vegetatif
atau partenogenesis, dan menyebar luas. Poliploidi buatan dapat
dilakukan dengan meniru yang terjadi di alam, atau dengan
menggunakan mutagen. Kolkisin adalah mutagen yang umum
dipakai untuk keperluan ini. Efeknya cepat diketahui dan
aplikasinya mudah. Penggunaannya beresiko tinggi karena
kolkisin sangat karsinogenik. Poliploidi seringkali memberikan
efek dramatis dalam penampilan atau pewarisan sifat yang bisa
positif atau negatif. Tumbuhan secara umum bereaksi positif
terhadap poliploidi. Tetraploid (misalnya kentang) dan
heksaploid (misalnya gandum) berukuran lebih besar (reaksi
"gigas", atau "raksasa") daripada leluhurnya yang diploid. Karena
hasil panen menjadi lebih tinggi, poliploidi dimanfaatkan dalam
pemuliaan tanaman. Berbagai kultivar tanaman hias (misalnya
anggrek) dibuat dengan mengeksploitasi poliploidi. Reaksi
negatif terjadi terhadap kemampuan reproduksi, khususnya pada
poliploidi berbilangan ganjil, meskipun ukurannya membesar.
Karena terjadi ketidakseimbangan pasangan kromosom dalam
meiosis, organisme dengan ploidi ganjil biasanya mandul (steril).
Pemuliaan tanaman, sekali lagi, mengeksploitasi gejala ini.
Karena mandul, semangka triploid tidak memiliki biji yang
normal (bijinya tidak berkembang normal atau terdegenerasi) dan
dijual sebagai "semangka tanpa biji". Penangkar tanaman hias
menyukai tanaman triploid karena biji tanaman ini tidak bisa
ditumbuhkan sehingga konsumen harus membeli tanaman dari si
penangkar. Poliploidi pada mamalia biasanya berakhir dengan
kematian pralahir. Vertebrata tertentu, seperti salamander dan
kadal, juga memiliki "versi" poliploid. Cacing pipih, lintah, dan
udang, dibantu dengan perilaku partenogenesis, juga memiliki
anggota yang poliploid. Pada tumbuhan, khususnya tumbuhan
berbunga, poliploid mudah ditemukan baik terjadi secara alami
atau campur tangan manusia (baik sengaja maupun tidak) dalam
proses pemuliaannya (Corebima, 2000).
b. Isolasi Setelah Perkawinan (Postzigotik Barrier / Post-mating
Isolation)
Isolasi poszigot terjadi jika isolasi prazigot gagal. Isolasi ini
menghalangi berkembangnya zigot atau jika zigot telah terbentuk
akan menjadi organisme mandul. Isolasi poszigot meliputi:
1) Hibrid
Embrio yang terbentuk dari dua spesies yang berbeda akan
gugur, disebabkan gen-gen dari kedua induk yang berbeda tidak
dapat bekerja sama mendorong mekanisme membentuk embrio
normal.
2) Hibrid Mandul
Hibrid mandul terjadi jika induk memiliki jumlah kromosom
yang berbeda, sehingga sinapsis/pasangan kromosom homolog
dalam meiosis tidak terjadi.
3) Hibrid Pecah
Kadang-kadang hibrid berkembang subur dan dapat
menghasilkan generasi F2 dari persilangan antara dua hibrid atau
hibrid dengan galur induk. Filial-filial (F2) yang dihasilkan
tersebut dinamakan hybrid pecah.
Isolasi postzigotik mencegah terjadinya perkembangan atau
reproduksi individu (hibrid) yang telah dihasilkan. Menurut Erik &
Taher (2011) isolasi ini dapat terjadi melalui zygotic mortality,
hybrid breakdown, inviabilitas hibrid (kematian hibrid), sterilitas
hibrid, dan penurunan kualitas hibrid.
1) Kematian zigot (zygotic mortality)
Sel telur yang telah dibuahi oleh sperma spesies lain (zigot
hibrid) seringkali tidak mengalami perkembangan regular pada
setiap stadianya, sehingga zigot tersebut mengalami abnormalitas
dan tidak mencapai tahapan maturitas yang baik atau mengalami
kematian pada stadia awal perkembangannya. Di antara banyak
spesies katak yang termasuk dalam genus Rana, beberapa
diantaranya hidup pada daerah dan habitat yang sama, dan
kadang-kadang mereka bisa berhibridisasi. Akan tetapi keturunan
yang dihasilkan umumnya tidak menyelesaikan
perkembangannya dan akan mengalami kematian.
2) Perusakan hibrid / inviabilitas hibrid (hybrid breakdown)
Pada beberapa kasus ketika spesies berbeda melakuakn kawin
silang, keturunan hibrid generasi pertama dapat bertahan hidup
dan fertil, tetapi ketika hibrid tersebut kawin satu sama lain atau
dengan spesies induknya, keturunan generasi berikutnya akan
menjadi lemah dan mandul. Sebagai contoh, spesies kapas yang
berbeda dapat menghasilkan keturunan hibrid yang fertil, tetapi
kerusakan terjadi pada generasi berikutnya ketika keturunan
hibrid itu mati pada saat berbentuk biji atau tumbuh menjadi
tumbuhan yang cacat dan lemah.
Ketika dua individu dari spesies yang berbeda dapat
melakukan perkawinan, individu hasil persilangan (hibrid) dapat
terbentuk. Namun, biasanya hibrid tersebut mati sebelum dapat
melakukan reproduksi (invibialitas hibrid) atau hibrid yang
dihasilkan mandul (sterilitas hibrid). Kedua kondisi ini berfungsi
sebagai mekanisme isolasi postzigotik, mencegah aliran gen
antarspesies. Hibrid steril dapat dihasilkan dari perkawinan
antara kuda dan keledai, itik dan entok.
3) Sterilitas hybrid
Hibridisasi pada beberapa spesies dapat menghasilkan
keturunan yang sehat dan hidup normal akan tetapi hibrid
tersebut mengalami sterilitas. Terjadinya sterilitas ini disebabkan
oleh inkompatibilitas genetik yang nyata sehingga tidak dapat
menurunkan keturunannya. Contoh hibrid yang steril antara lain:
mule (hibrid antara keledai dan kuda), cama (hibrid antara onta
dan ilama), tiglon (hibrid anatara macan dan singa), zebroid
(hibrid antara zebra dan kuda).
4) Penurunan kualitas hibrid
Terkadang generasi pertama dari perkawinan antarspesies
dapat menghasilkan hibrid yang sehat dan fertil. Namun, ketika
sesama hibrid tersebut dikawinkan sesamanya atau dengan
populasi induknya, dihasilkan keturunan yang lemah atau steril.
Contohnya, perkawinan antarspesies kapas menghasilkan hibrid
fertil. Akan tetapi, keturunan generasi selanjutnya akan mati
karena tumbuh menjadi tanaman yang lemah. Contoh hybrid
steril yaitu Anggrek Dendrobium crepidalum.
5) Mekanisme Postzygotic Isolasi
a. Kelangsungan hidup hibrida: kadang-kadang hibrida
meninggal prematur.
b. Kesuburan hibrida: bahkan jika turunan dihasilkan dari
perkawinan spesies yang berbeda biasanya mereka tidak
subur karena mereka umumnya memiliki nomor campuran
acak kromosom (sehingga tidak sama bahkan antara hibrida).
c. Hibrida rincian: jika hibrida hasil menjadi subur, populasi
hibrida mungkin hilang sepanjang waktu karena dari satu
generasi ke depan mereka mungkin menghasilkan lebih
lemah, kurang subur, dan lainnya.
Berikut ini akan diuraikan beberapa gagasan yang menuju pada
pembentukan spesiasi baru :
1) Spesiasi Akibat Poliploida
Hugo de Uries ahli genetika yang terkenal karena teori
mutasinya, menemukan kenyataan bahwa ada kemungkinan
perubahan jumlah kromosom pada makhluk hidup, yang
diketahui cenderung untuk tidak berubah dan karenanya
dinyatakan sebagai hal yang menciri makhluk yang bersangkutan
(Dharmono, 2020).
Peristiwa bertambahnya kromosom dapat terjadi melalui
proses penggandaan (doubling) yang terjadi pada hibridanya,
misalnya peristiwa allopoida seperti suatu spesies yang
mempunyai gen A, disebut individu AA, disilangkan dengan
individu BB, hibridanya mengandung gen A dan B, karenanya
membentuk sinapsis AB pada meiosis sehingga menyebabkan
stand. Karena sesuatu hal dapat terjadi penggandaan gen hingga
pada hibridanya terkandung gen yang berpasangan, AABB.
Individu ini infertile dan ternyata tidak dapat disilangkan dengan
induknya, karenanya orang menempatkannya sebagai spesies
baru (Dharmono, 2020).
Dikaitkan dengan proses evolusi maka bentuk allopoliploidda
ini memegang peranan yang lebih besar dibanding dengan
diploida dan autoploidanya. Berdasarkan hal ini maka budidaya
tanaman tertentu untuk mendapatkan jenis unggul orang
memiliki dan mengarah pada bentuk-bentuk poliploida
(Dharmono, 2020).
2) Radiasi Adaptif
Kenyataan yang menunjukkan bahwa dijumpai angka ragam
spesies ini, sedang fosil yang terekam menunjukkan bahwa
jumlah spesies yang ada pada dahulu tidak sebanyak itu,
membawa orang pada kesimpulan bahwa terjadi proses
“pembelahan” exolutif spesies. Terjadi radiasi evolusioner yang
juga dapat disebut evolusi divergen, yang erat hubungannya
dengan kemempuan beradaptasi disamping tidak
dimungkinkannya persilangan antara spesies pendatang dengan
spesies yang sudah ada, atau antara sesama spesies pendatang
yang berlainan spesies (Dharmono, 2020).
Contoh nyata dari radiasi adaptif ini adalah burung Finch di
Kepulauan Galapagos. Orang berteori bahwa burung ini berasal
dari Amerika Selatan, berjarak ± 900 km yang secara kebetulan
tergoncang angin. Keadaan yang gersang dan terpencil
menyebabkan antara penghuni kepulauan tersebut terjadi
kompetisi. Spesialisasi dalam menggunakan bahan makanan
adalah suatu cara yang “terhormat” dalam menghindari diri dari
kekalahan berkompetisi. Dari sinilah kemudian “lahir”
bermacam-macam burung Finch, diantaranya spesies yang hidup
di tanah dan spesies lainnya hidup di pohon (Dharmono, 2020).
3) Divergensi, Konvergensi dan Pergantian
Dalam pembahasan tentang radiasi adaptif, disebutkan bahwa
dari satu spesies dapat berkembang menjadi beberapa spesies.
Apabila dibuat garis yang menghubungkan spesies asal dengan
bentuk-bentuk perkembangannya, maka terlihat garis-garis yang
menyebar (divergen), sehingga peristiwa ini dikenal dengan
peristiwa divergensi. Dalam perkembangan yang sifatnya
divergensi kemiripan-kemiripannya semakin lama semakin
berkurang (Dharmono, 2020).
Kebalikan dari evolusi divergen adalah evolusi kovergen.
Pada peristiwa ini asal-usul dari makhluk yang berevolusi. Pada
dasarnya jauh berbeda, namun kemudian bila hidup ditempat
yang sama yang memerlukan persyaratan hidup yang khusus,
maka dapat terjadi adaptasi yang mirip (Dharmono, 2020).
Dalam perjalanan kehidupan suatu spesies dari masa ke masa
dalam waktu ribuan bahkan jutaan tahun tidak semua spesies
mampu mencapai puncak. Mengenai kepunahan ini dikenal
dengan kepunahan yang diikiuti pergantian dan ada kepunahan
yang tidak diikuti pergantian. Contohnya seperti Ichthyosarus
yang saat ini telah punah, yang dalam perkembangannya
digantikan oleh Dolphin (lumba-lumba), ataupun kepunahan
Pterosaurus yang dalam perkembangannya digantikan kelelawar
yang kita kenal saat ini (Dharmono, 2020).
4) Opurtinisme dalam Konvergensi
Pada perkembangan evolusi konvergen sering dijumpai
adanya bentuk yang berbeda meskipun fungsi yang diemban
sama. Bentuk yang berbeda tersebut dapat terjadi karena pada
dasarnya bentuk asalnya memang berbeda. Sebagai contoh
adanya bentuk sayap dari beberapa hewan seperti Pterosaurus,
burung kelelawar, serangga dan lainnya yang mempunyai bentuk
yang berbeda satu sama lain tetapi mengembang fungsi yang
sama, yaitu untuk terbang. Dalam hal ini tidak hanya bentuknya
saja yang berbeda tetapi juga kerjanya. Peristiwa ini dikenal
sebagai opurtinisme, yaitu opurtunisme dalam konvergensi.
Adanya peristiwa analogi dan homologi organ tubuh makhluk
hidup dapat dikaitkan dengan evolusi konvergen, divergen dan
menyangkut pula paham opurtunisme. Contoh gambar peristiwa
oportunisme dalam konvergensi.
Contoh peristiwa oportunisme dalam konvergensi
Sumber: https://www.scribd.com
5) Spesiasi Aseksual
Batasan spesiasi yang ini mengacu ada kemungkinan
pertukaran gen, tidak selamanya dapat diterapkan. Sebagai
contoh adalah spesiasi pada makhluk yang berkembang biak
dengan aseksual. Pada makhluk yang berkembang biak secara
aseksual perkembangan yang menuju pada pembentukan spesies
baru adalah bertumpu pada terjadinya variasi dan adaptasi.
Struktur dan fungsi tumbuh dan bagian-bagian tubuh merupakan
insikator perkembangan pembentukan spesies baru (Dharmono,
2020).
6) Spesiasi Fosil
Untuk menentukan persamaan spesies jelas tidak dapat
menggunakan kriteria pertukaran gen. Bagaimana mungkin kalau
jarak masa hidupnya adakalanya terpaut waktu ribuan bahkan
jutaan tahun. Struktur dan fungsi memegang peranan penting
untuk penetapan kedudukan suatu individu dalam suatu spesies
(Dharmono, 2020).
Adapun proses spesiasi ini dapat berlangsung secara cepat atau
lama hingga berjuta-juta tahun. Faktor-faktor yang menjadi pembatas
adalah habitat yang berbeda, iklim yang berbeda, gunung yang tinggi,
pematangan sel kelamin yang tidak bersama.
Menurut Widodo (2003) spesiasi terjadi melalui tiga tahap,
diantaranya:
1. Terisolasinya populasi spesiasi, mulai terjadi ketika sekelompok
individu terpisah menjadi populasi yang terisolasi yang tidak ada lagi
pertukaran individu dengan populasi induknya terjadi karena penghalang
fisik maupun geografi atau karena perubahan sifat misalnya tingkah laku
atau warna yang dapat mencegah terjadinya interpreting dengan individu
yang tidak sama dalam populasinya meskipun mereka hidup bersama .
2. Populasi terisolasi mengalami evolusi secara bebas berbeda dengan
induk populasinya.
3. Isolasi reproduksi
Dapat dibedakan menjadi:
a. Mekanisme prezygotic, tidak terjadinya reproduksi karena tidak
dapat kopulasi maupun fertilisasi karena fisik perbedaan tingkah laku
kawin atau musim kawin yang tidak sinkro.
b. Mekanisme postzigotik, keturunan dihasilkan dengan kombinasi gen
yang menyebabkan sterilisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Campbell, Reece dan Mitchell (2003). Biologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Corebima, A.D. (2000). Genetika Mutasi dan rekombinasi. Malang: UM.

Dharmono. (2020). Evolusi. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat.

Erik, P. P., dan T. Taher. (2011). Spesiasi. Makalah. Pendidikan Biologi PPsUM.
Malang.

Widodo. (2003). Evolusi. Malang: Universitas Malang.

Anda mungkin juga menyukai