Kawasan konservasi yang telah ada dan yang diusulkan digambarkan berdasarkan
pulau-pulau besar (wilayah bio-geografis) yaitu, Sumatera, Kalimantan, Jawa-Bali, Nusa
Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Selain RKN, beberapa usulan rencana pengelolaan
taman nasional juga disusun dengan melakukan penilaian terhadap cagar alam dan/atau suaka
margasatwa dan kawasan hutan sekitarnya yang berdekatan menjadi kawasan yang berukuran
sewajarnya/cukup. Penilaian tersebut, yang juga merupakan kampanye untuk menjadi tuan
rumah Kongres Taman Nasional Dunia Ketiga pada tahun 1982, menghasilkan Deklarasi
Lima Taman Nasional pada Maret 1980, yaitu Gunung Leuser (Aceh), Ujung Kulon
(Banten), Gunung GedePangrango (Jawa Barat), Baluran (Jawa Timur), dan Komodo (Nusa
Tenggara Timur). Pada Oktober 1982, Indonesia benar-benar menjadi tuan rumah Kongres
Taman Nasional Dunia Ketiga di Denpasar, Bali. Pada kesempatan itu, Menteri Pertanian
melalui Keputusan Menteri No. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 menyatakan 11
kawasan lainnya sebagai taman nasional, yaitu Kerinci Seblat, Way Kambas, dan Bukit
Barisan Selatan (Sumatera); Bromo-Tengger-Semeru, dan Meru Betiri (Jawa); Bali Barat
(Bali); Tanjung Puting dan Kutai (Kalimantan); Lore Lindu, Dumoga Bone/Bogani Nani
Wartabone (Sulawesi); dan Manusela (Maluku).
Berdasarkan RKN, potensi beberapa kawasan konservasi yang diusulkan juga dinilai
dan ditetapkan sebagai cagar alam, suaka margasatwa atau taman wisata alam termasuk
kawasan perairan pesisir dan perairan dangkal untuk melestarikan terumbu karang dan habitat
kehidupan laut. Pada tahun 1983, FAO dan WWF mendukung Indonesia dalam memproduksi
peta jalan (roadmap) untuk konservasi laut di Indonesia1 . Tujuan utama peta jalan ini adalah
untuk membangun sekitar 10 juta hektar habitat-habitat laut yang unik dan penting, termasuk
mangrove (bakau), terumbu karang, laguna, persebaran rumput laut dan daerah pesisir.
Sampai sekarang, Indonesia telah menetapkan 521 kawasan konservasi meliputi total wilayah
27.108.486 ha, termasuk2 : 221 cagar alam (4,08 juta ha); 75 suaka alam (5,03 juta ha); 50
taman nasional (16,34 juta ha); 23 taman hutan raya (0,35 juta ha); 115 taman wisata alam
(0,75 juta ha); dan 13 taman buru (0,22 juta ha).
Saat ini, pokok perhatian pengelolaan kawasan konservasi adalah pada taman nasional
dengan mengembangkan institusi khusus untuk mengelola kawasan, yang disebut Balai
Taman Nasional, yaitu unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sedangkan
kawasan konservasi non-taman nasional masih belum dikelola dengan baik oleh Kantor Balai
Konservasi Sumber Daya Alam yang berada di tingkat provinsi. Meski dikelola oleh institusi
khusus, pengelolaan taman nasional dinilai masih belum sepenuhnya efektif, seperti yang
ditunjukkan oleh penilaian Perangkat Pemantau Efektivitas Pengelolaan (METT). Pengelola
menghadapi tantangan yang lebih besar lagi di kawasan konservasi non-taman nasional.
Situasi ini menyebabkan degradasi ekosistem antara lain karena pembalakan liar,
perambahan, perburuan liar, penggembalaan ternak ilegal dan perubahan penggunaan lahan
lainnya.
Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) yang sedang berjalan
merupakan terobosan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Tidak hanya taman nasional
yang dikelola sejak tahun 1982, mendapat manfaat dari proses ini, namun pembentukan
KPHK non-taman nasional juga akan mengarah pada pengelolaan kawasan yang lebih baik,
terutama untuk cagar alam dan suaka alam dimana pengelolaannya saat ini terbatas untuk
menjaga dan mengawasi kawasan. Demikian juga pengelolaan taman wisata dan taman buru
yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga (pemegang ijin) dapat diawasi lebih baik oleh
KPHK. Selanjutnya, KPHK juga dapat memberikan saran teknis untuk pengelolaan Taman
Hutan Raya yang berada di bawah otorisasi pemerintah kabupaten atau provinsi berdasarkan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Kawasan Suaka Alam (KSA) yang terdiri dari Cagar Alam, Suaka Margasatwa;
Taman Buru, dan;
Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang terdiri dari Taman Nasional, Taman Wisata
Alam, Taman Hutan Raya.
Penataan Blok Pengelolaan KSA dan KPA diatur di dalam Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P.76/Menlhk-Setjen/ 2015 tanggal 16 Desember 2015 tentang
Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Beberapa turunan dari Permenlhk
Nomor P.76/Menlhk-Setjen/2015 menjadi Perdirjan KSDAE diantaranya :
Sejak 1982, setelah menjadi tuan rumah Kongres Taman Nasional ketiga di
Bali, Indonesia telah menetapkan prioritas teratas pada pengembangan taman
nasional. Dimulai dengan mengumumkan lima taman nasional sebelum pelaksanaan
kongres (1980) dan menambahkan 11 taman nasional pada waktu kongres
berlangsung (1982), Indonesia saat ini telah membangun 51 taman nasional di seluruh
negeri. Pengelolaan taman nasional di Indonesia mulai dengan membangun lembaga
yang bertujuan pada menerapkan sistem pengeloaan taman nasional seperti yang
diadopsi di Bali (1982). Instusi yang dikenal sebagai Sub Balai Kawasan Pelestarian
Alam ini awalnya disupervisi oleh Balai Perlindungan dan Pengawetan Alam dan
sekarang telah berubah menjadi Balai/Balai Besar Taman Nasional. Struktur Balai
Besar Taman Nasional ini terdiri dari unit pengelola yang melakukan konservasi
sumber daya alam dan ekosistem di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur
Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, Balai Besar Taman
Nasional bertanggung jawab untuk melakukan:
Kriteria penetapan fungsi Kawasan Suaka Alam (KSA) dimuat oleh PP nomor
28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan
Pelstarian Alam (KPA). Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas
tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang
juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan Suaka Alam
terbagi menjadi 2, yaitu kawasan Cagar Alam (CA) dan kawasan Suaka Margasatwa
(SM). Kedua kategori kawasan tersebut dilindungi secara ketat, sehingga tidak boleh
ada sedikitpun campur tangan manusia dalam proses-proses alami yang terjadi di
dalam kawasan tersebut. Kawasan ini hanya diperuntukkan bagi keperluan ilmu
pengetahuan dan pendidikan. Kriteria, fungsi dan pemanfaatan masing-masing jenis
KSA adalah sebagai berikut :
1. Taman Hutan Raya Cut Nyak Dien (Meurah Intan); Nanggroe Aceh Darussalam.
Terdapat di Kabupaten Aceh Besar. Tahura dengan luas 6.300 ha ini ditetapkan
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 95/Kpts-II/2001, 15 Maret
2001.
2. Taman Hutan Raya Bukit Barisan; Sumatera Utara. Terdapat di Kabupaten Karo,
Deli Serdang, dan Langkat dengan luas 51.600 ha. Ditetapkan berdasarkan Kepres
RINomor 48 Tahun 1988, 29 November 1988.
3. Taman Hutan Raya Dr. Moh. Hatta; Sumatera Barat. Berlokasi di Padang dengan
area seluas 12.100 ha. Penetapannya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
RI Nomor: 193/Kpts-II/1993, 27 Maret 1993.
4. Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim; Riau. Berada di Kampar dengan luas
6.172 ha yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
RI Nomor: 348/Kpts-II/1999, 26 Mei 1999.
5. Taman Hutan Raya Thaha Syaifudin; Jambi. Lokasinya di kabupaten Batanghari
dengan luas 15.830 ha yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan RI Nomor: 94/Kpts-II/2001, 15 Maret 2001.
6. Taman Hutan Raya Raja Lelo; Bengkulu. Berada di kabupaten Bengkulu Utara
dengan luas 1.122 ha. Penetapannya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
RI Nomor: 21/Kpts/VI/1998, 7 Januari 1998.
7. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman; Lampung. Terdapat di Lampung Selatan
dengan area seluas 22.245 ha yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 679/Kpts-II/1999, 1 September 1999.
8. Taman Hutan Raya Cut Nyak Dien (Meurah Intan); Nanggroe Aceh Darussalam.
Terdapat di Kabupaten Aceh Besar. Tahura dengan luas 6.300 ha ini ditetapkan
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 95/Kpts-II/2001, 15 Maret
2001.
9. Taman Hutan Raya Bukit Barisan; Sumatera Utara. Terdapat di Kabupaten Karo,
Deli Serdang, dan Langkat dengan luas 51.600 ha. Ditetapkan berdasarkan Kepres
RINomor 48 Tahun 1988, 29 November 1988.
10. Taman Hutan Raya Dr. Moh. Hatta; Sumatera Barat. Berlokasi di Padang dengan
area seluas 12.100 ha. Penetapannya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
RI Nomor: 193/Kpts-II/1993, 27 Maret 1993.
11. Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim; Riau. Berada di Kampar dengan luas
6.172 ha yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
RI Nomor: 348/Kpts-II/1999, 26 Mei 1999.
12. Taman Hutan Raya Thaha Syaifudin; Jambi. Lokasinya di kabupaten Batanghari
dengan luas 15.830 ha yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan RI Nomor: 94/Kpts-II/2001, 15 Maret 2001.
13. Taman Hutan Raya Raja Lelo; Bengkulu. Berada di kabupaten Bengkulu Utara
dengan luas 1.122 ha. Penetapannya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
RI Nomor: 21/Kpts/VI/1998, 7 Januari 1998.
14. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman; Lampung. Terdapat di Lampung Selatan
dengan area seluas 22.245 ha yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 679/Kpts-II/1999, 1 September 1999
Pengertian taman wisata alam yaitu hutan wisata yang mempunyai berbagai
keindahan alam, baik keindahan flora dan fauna maupun keindahan alam itu sendiri
yang mana memiliki keunikan corak untuk kepentingan rekreasi dan
kebudayaan. Taman wisata alam juga dapat didefinisikan sebagai suatu kawasan
hutan yang tidak hanya digunakan sebagai tempat konservasi tetapi juga dimanfaatkan
sebagai hutan wisata dan rekreasi alam. Meskipun digunakan sebagai tempat wisata,
pengelolaannya tidak boleh bertentangan dengan prinsip pelestarian dan perlindungan
alam.
Berikut adalah taman wisata alam yang ada di Indonesia baik berupa hutan, danau
maupun taman laut:
Taman Nasional ini termasuk kawasan konservasi dengan luas 1.094.692 hektar
yang meliputi beberapa kabupaten di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Ekosistem asli
yang berada di taman wisata alam ini meliputi ekosistem hutan hujan tropis, pegunungan
tinggi sampai ekosistem pantai. Taman Nasional Gunung Leuser terdiri dari beberapa
kawasan hutan diantaranya adalah Suaka Margasatwa Kluet, Kangka Barat, Langka
Tengah Sekundur, Kappi, Taman Wisata Gurah dan hutan lindung.
Taman laut bunaken berlokasi di segitiga terumbu karang yang menjadi tempat
hidup bagi berbagai jenis ikan, moluska dan mamalia laut. Taman laut ini terdiri dari
sekitar 390 spesies terumbu karang yang merupakan perwakilan ekosistem air lautdi
Indonesia. Selain jenis- jenis terumbu karang, ada juga spesies alga dan rumput laut
dan hutan mangrove yang dihuni oleh burung laut, kepiting, molusca dan lobster.
Bunaken suda ditetapkan menjadi taman laut sejak tahun 1991 dan dijadikan situs warisan
budaya oleh UNESCO pada tahun 2005.
Indonesia juga mempunyai canyon atau ngarai yang oleh masyarakat setempat
disebut Cukang Taneuh. Teman wisata alam ini terletak di Kabupaten Ciamis. Ngarainya
terbentuk karena adanya erosi tanah akibat aliran sungai Cijulang. Erosi tersebut
menghasilkan gua dengan stalakmit dan stalaktit yang indah. Pada mlut gua terdapat air
terjun Palatar yang membuat objek wisata alam ini terasa sangat sejuk.
Danau terbesar se-Indonesia dan Asia Tenggara ini terbentuk karena letusan
supervulcano puluhan ribu tahun yang lalu. Danau Toba memiliki lebar 30 kilometer dan
panjang 100 kilometer, serta terdapat pulau vulkanik di tengahnya yang bernama Pulau
Samosir. Wisatawan dapat berkeliling danau atau pun menuju Pulau Samosir
menggunakan boat.
Pulau yang menjadi habitat asli reptil komodo ini terletak di sebelah timur Pulau
Sumbawa. Sesuai dengan update data tahun 2009, ada sekitar 1300 komodo yang tinggal
dan berkembangbiak di Pulau Komodo. UNESCO menetapkan Pulau Komodo sebagai
situs warisan dunia karena berada dalam wilayah Taman Nasional Komodo bersama
pulau lain di sekitarnya, yaitu Gili Motang, Pulau Padar dan Pulau Rinca.
Gunung Bromo di Jawa Timur
Terjaminnya proses ekologis yang menunjang kelangsungan hidup dari flora, fauna,
dan ekosistemnya;
Menjaga, mencegah, dan membatasi kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
keutuhan potensi dan kawasan serta perubahan fungsi kawasan, baik yang disebabkan
oleh manusia, ternak, kebakaran, alam, spesies invasif, hama, dan penyakit;
Menjaga hak negara, masyarakat, dan perorangan atas potensi, kawasan, ekosistem,
investasi, dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan KSA dan KPA;
Menjamin keutuhan potensi, kawasan, dan fungsi kawasan.
Sumber : PP nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA)
dan Kawasan Pelstarian Alam (KPA)
a. Cagar Alam
Memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung dalam
suatu tipe ekosistem;
Mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan dan/atau satwa liar yang secara fisik masih
asli dan belum terganggu;
Terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka
dan/atau keberadaaannya terancam punah;
Memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya;
Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat menunjang pengelolaan
secara efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; dan/atau
Mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
Terkait apa saja hal-hal yang dapat dilakukan di dalam kawasan, maka Cagar alam
dapat dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang berupa :
Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
Penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; dan
Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.
b. Suaka Margasatwa
Suaka Margasatwa adalah KSA yang mempunyai kekhasan/keunikan jenis satwa liar
dan/atau keanekaragaman satwa liar yang untuk kelangsungan hidupnya memerlukan
upaya perlindungan dan pembinaan terhadap populasi dan habitatnya. Data Statistik
Kemenhut 2011 menunjukkan bahwa saat ini terdapat Suaka Margasatwa darat sebanyak
71 unit dengan luas 5.024.138,29 hektar serta 4 unit Suaka Margasatwa perairan dengan
luas sekitar 5.588,00 hektar. Untuk dapat diusulkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa,
suatu kawasan harus memiliki beberapa kriteria sebagai berikut :
Merupakan tempat hidup dan berkembang biak satu atau beberapa jenis satwa langka
dan/atau hampir punah;
Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;
Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrasi tertentu; dan/atau
Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa.
Suaka margasatwa dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas,
dan angin serta wisata alam terbatas; dan
Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.
3. TAMAN BURU
Taman Buru adalah kawasan hutan konservasi yang bisa dimanfaatkan untuk
mengakomodir wisata berburu. Keberadaan taman buru bertujuan untuk mewadahi
hobi berburu yang telah ada sejak dahulu kala, selain itu juga bisa digunakan untuk
mengendalikan populasi satwa tertentu. Kegiatan perburuan di taman buru diatur
secara ketat, terkait dengan hal-hal waktu atau musim berburu, jenis binatang yang
boleh diburu, dan senjata yang boleh dipakai.
Aturan Perburuan
Berburu di taman buru sarat dengan aturan teknis, terkait dengan siapa yang
berhak diburu, jenis binatang yang bisa diburu, waktu perburuan, alat yang dipakai
berburu dan jumlah hewan buruan. Sebelum berburu, pemburu harus mengantongi
surat ijin berburu. Surat ijin berburu bisa diterbitkan dengan syarat orang tersebut
harus memiliki akta buru. Namun ada pengecualian bagi perburuan tradisional.