Anda di halaman 1dari 132

NASKAH AKADEMIK

“KELAPA SAWIT SEBAGAI


TANAMAN HUTAN TERDEGRADASI”

Kerja sama
ASOSIASI PETANI KELAPA SAWIT INDONESIA
dengan
FAKULTAS KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN
IPB UNIVERSITY

BOGOR, JANUARI 2022

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiratan Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala Kurnia dan
hidayah-Nya, sehingga Naskah Akademik “Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan
Terdegradasi” ini dapat diselesaikan sesuai rencana. Penyusunan naskah akademik
ini didorong oleh masifnya perlakuan “diskriminatif/crop apartheid” oleh beberapa
pihak (baik dalam lingkup nasional maupun internasional) terhadap tanaman
kelapa sawit. Sampai saat ini, kelapa sawit masih dikategorikan bukan sebagai
tanaman hutan baik oleh FAO maupun Kementerian Lingkungan dan Kehutanan RI.
Keberadaan kebun sawit di kawasan hutan pun dianggap sebagai “masalah”. Lebih
dari itu, sejak tahun 2006, tudingan bahwa kebun kelapa sawit Indonesia
merupakan hasil deforestasi dan menurunkan keanekaragaman hayati hutan
tropika primer terus bergulir ibarat bola salju. Puncaknya, pada tanggal 21 Mei lalu
Parlemen Uni Eropa telah mengadopsi Delegated Act RED II ILUC sebagaimana
dimuat dalam Official Journal tanggal 21 Mei 2019.

Berkenaan dengan itu dan menindaklanjuti rekomendasi dari FGD “Sawit dan
Deforestasi, APKASINDO sebagai asosiasi petani kelapa sawit mengajak Fakultas
Kehutanan dan Lingkungan IPB untuk menyusun naskah akademik dimaksud.
Setelah uraian tentang latar belakang, tujuan dan pendekatan metodologi pada BAB
I, Pengertian tentang hutan, pohon dan tanaman hutan dibahas pada BAB II.
Selanjutnya secara berurutan dipaparkan hasil analisis komparatif aspek bio-
ekologi dan budidaya; kesesuaian lahan dan hidrologi, ekonomi/finansial,
keanekaragaman jenis hayati, laju serapan dan emisi GRK serta dampaknya
terhadap sosial-ekonomi dan budaya masyarakat lokal antara kelapa sawit dengan
tanaman hutan. Sebelum BAB Kesimpulan dan Saran, terlebih dahulu dibahas
permasalahan, prospek dan implikasinya.

Ibarat pepatah mengatakan “tiada gading yang tak retak”, kami


menyampaikan permohonan maaf apabila dalam Buku Naskah ini ini terdapat hal-
hal yang kurang atau tidak sebagaimana diharapkan. Ucapan terima kasih dan
penghargaan kami sampaikan kepada jajaran Pimpinan APKASINDO atas
dukungannya dan kepada para Narasumber yang telah berperan aktif serta
menentukan keberhasilan penulisan Buku ini. Semoga Allah SWT berkenan
membalasnya dengan imbalan berlipat ganda. Aamiin…

Jakarta, Januari 2022

Tim Penyusun

i
BATASAN ISTILAH
Arboreal adalah organisme yang hidup pada pohon atau di bawah naungan pohon (seperti
saprofit atau parasit)
Areal Penggunaan Lain (APL) adalah areal bukan kawasan hutan yang diperuntukkan
bagi pembangunan di luar bidang kehutanan.
Autotrof adalah suatu jenis organisme yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan
sumber makanannya sendiri.
Biodiesel adalah bahan bakar alternatif yang menjanjikan yang dapat diperoleh dari
minyak tumbuhan, lemak binatang atau minyak bekas melalui esterifikasi
dengan alkohol.
Bioekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan atau interaksi makhluk hidup
(tanaman dan patogen) dengan lingkungan hidupnya
Biomassa adalah keseluruhan materi yang berasal dari makhluk hidup, termasuk bahan
organik baik yang hidup maupun yang mati, baik yang ada di atas permukaan
tanah maupun yang ada di bawah permukaan tanah, misalnya pohon, hasil
panen, rumput, serasah, akar, hewan dan sisa /kotoran hewan.
Budidaya adalah kegiatan pengembangan dan juga pemanfaatan sumber daya nabati yang
dikerjakan oleh manusia dengan memanfaatkan modal, teknologi, atau sumber
daya lainnya agar dapat menghasilkan suatu produk barang yang mampu
memenuhi kebutuhannya
Budidaya tanaman adalah suatu atau beberapa teknik dalam usaha pembibitan atau
mengembangkan suatu jenis tanaman dengan cara-cara tertentu.
Deforestasi adalah proses perubahan status/fungsi kawasan hutan menjadi areal bukan
kawasan hutan secara permanen.
Degradasi lahan adalah kerusakan tanah sehingga kehilangan satu atau lebih fungsinya
yang mengakibatkan daya dukung tanah tersebut bagi kehidupan diatasnya
berkurang atau bahkan hilang.
Dikotil adalah tumbuhan yang memiliki biji berkeping dua.
Ekosistem adalah komunitas organisme di suatu wilayah beserta faktor-faktor fisik yang
berinteraksi dengan organisme-organisme tersebut.
Emisi adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang
masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai
dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.
Evapotranspirasi adalah penguapan dari suatu daerah aliran sungai sebagai akibat
pertumbuhan tanaman di dalamnya
Fisiognomi adalah kenampakan luar dari suatu lahan yang dapat diketahui dari penutupan
lahan, pertumbuhan dan persebaran vegetasinya.
Forest Management Certification (FSC) adalah sertifikasi yang memastikan bahwa
praktik pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pengelola konsesi atau pemilik
lahan telah memenuhi standar pengelolaan hutan yang bertanggung jawab,
yaitu keseimbangan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi
Free, Prior and Informed Consent (FPIC) adalah hak masyarakat adat untuk memberikan
suara (hak veto) untuk pembangunan yang mempengaruhi sumber daya dan
wilayah mereka.

ii
Gas rumah kaca (GRK) adalah sejumlah gas yang menimbulkan efek rumah kaca yang
terdapat di atmosfer bumi. Gas rumah kaca ini bersifat seperti kaca yang
meneruskan cahaya matahari tetapi menangkap energi panas dari dalamnya.
Gawangan adalah tempat atau bagian di antara titik tanam, gawangan dilakukan sebagai
jalan akses untuk pengangkutan buah dan juga perawatan tanaman
Heterotrof adalah suatu organisme yang tidak memiliki kemampuan untuk membuat
makananya sendiri.
HGU adalah suatu hak yang diberikan oleh negara kepada subjek hukum tertentu dengan
syarat yang tertentu pula, untuk mengelola dan mengusahakan tanah negara
dengan orientasi yang bergerak dalam bidang pertanian, perikanan atau
peternakan.
High Carbon Stock Assessment (HCS) adalah hutan-hutan yang perlu dilindungi dan tidak
dibuka untuk pembangunan peternakan atau perkebunan baru
High Conservation Values Assessment (HCV) adalah hutan yang bernilai konservasi
tinggi pada tingkat lokal, regional atau global, meliputi nilai-nilai ekologi, jasa
lingkungan, sosial, dan budaya
HPH adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam kawasan hutan produksi, yang
kegiatannya terdiri dari penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan
hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan.
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang
dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan
kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka
memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan.
Indirect Land Use Change (ILUC) adalah konversi lahan dari satu kategori penggunaan
lahan ke kategori lainnya, yang dipicu oleh ekspansi produksi bahan bakar
nabati di tempat mana pun.
Jaringan meristem adalah jaringan tumbuhan yang memiliki sel-sel yang dapat selalu
membelah diri menghasilkan sel-sel baru yang selanjutnya dapat memanjang
dan berdiferensiasi untuk menyusun organ-organ tumbuhan.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KKPN) adalah instansi vertikal Direktorat
Jenderal Perbendaharaan dan merupakan unit terdepan atau ujung tombak
dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam memberikan pelayanan
publik, kuasa bendahara umum negara untuk menyalurkan dana dari kas
negara ke beberapa satuan kerja di bawah kementerian/lembaga lain ataupun
di bawah kementerian keuangan sendiri.
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Kawasan Perlindungan Setempat adalah bagian dari kawasan lindung yang ditetapkan
dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam dan sumber daya buatan, meliputi sempadan pantai,
sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air.
Kekayaan Spesies adalah jumlah spesies yang berbeda diwakili dalam komunitas ekologi,
bentang alam atau ekosistem tertentu.

iii
Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan penting penghasil minyak makanan, minyak
industri, maupun bahan bakar nabati (biodiesel) yang banyak dibutuhkan oleh
berbagai sektor industri
Komoditas adalah suatu produk barang yang bisa diperjual belikan guna mendapatkan
keuntungan atau ditukarkan dengan barang lain yang nilainya sama.
Konflik tenurial hutan adalah berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim
penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan hutan.
Konversi lahan adalah proses perubahan penggunaan lahan dari bentuk penggunaan
tertentu menjadi penggunaan lain misal ke non-pertanian.
Lahan kritis adalah lahan yang fungsinya kurang baik sebagai media produksi untuk
menumbuhkan tanaman yang dibudidayakan atau yang tidak dibudidayakan.
Lapisan hardpan adalah lapisan tanah yang mengeras pada blok pertumbuhan akar
tanaman, dan tahan terhadap penetrasi alat pemboran.
Lapisan/ tanah padas adalah lapisan tanah yang tidak mempunyai kandungan bahan-
bahan organik yang tinggi.
Monokotil adalah tumbuhan yang memiliki biji tunggal tidak terbelah atau hanya
berkeping satu.
Monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu
jenis tanaman pada satu areal.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah pungutan yang dibayar oleh orang
pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak
langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh
negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi
penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan
dikelola dalam mekanisme Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN).
Perkebunan Besar Swasta adalah usaha perkebunan tanaman sawit dengan luas kebun di
atas 1000 ha berstatus HGU yang dilakukan oleh badan usaha atau badan
hukum.
Perkebunan Inti Rakyat (PIR) adalah sebuah pola pengembangan perkebunan rakyat di
wilayah lahan bukaan baru dengan perkebunan besar sebagai inti yang
membimbing perkebunan masyarakat di sekitarnya sebagai plasma melalui
sebuah sistem kerja sama yang saling menguntungkan.
Perkebunan Rakyat adalah perkebunan kelapa sawit yang diusahakan dan dimiliki oleh
masyarakat secara perorangan dan dikelola secara swadaya murni atau tidak
ada keikutsertaan dari pihak lain dengan luas kebun maksimal 25 ha.
Petani sawit swadaya adalah petani kelapa sawit yang tidak memiliki hubungan kemitraan
dengan pabrik.
Polikultur adalah metode dalam pola penanaman lebih dari satu jenis, sehingga pada suatu
lahan pertanian dalam jangka waktu tertentu terdapat berbagai macam
tumbuhan, yang mana dipengaruhi oleh aspek lingkungan yang dapat
berpengaruh adalah ketersediaan air.
Political Will adalah adanya kemauan politik dari pemerintah atau para pengambil
kebijakan.
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan sebagai pengganti nilai intrinsik
dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara dan/atau terhadap hasil hutan
yang berada pada kawasan hutan yang telah dilepas statusnya menjadi bukan

iv
kawasan hutan dan/atau hutan negara yang dicadangkan untuk pembangunan
di luar sektor kehutanan.
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) adalah strategi operasionalisasi arahan
kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah nasional pada wilayah
provinsi
Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah asosiasi nirlaba yang menyatukan para
pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit, produsen
kelapa sawit, pemroses atau pedagang kelapa sawit, produsen barang-barang
konsumen pengecer, bank dan investor, LSM pelestarian lingkungan atau
konservasi alam, dan LSM sosial. RSPO bersama para pemangku kepentingan
bertujuan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan standar global
untuk minyak sawit berkelanjutan.
Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di air, dapat juga diartikan kadar garam
dalam suatu perairan.
Solum tanah adalah horizon tanah di atas bahan induk yang terdiri dari horizon O, A dan
horizon B
Surat Kepemilikan Tanah (SKT) adalah dokumen tertulis untuk menunjukkan tanah yang
dipakai untuk proses pendaftaran tanah.
Tanaman adalah jenis organisme yang dibudidayakan di suatu ruang atau media untuk
dipanen ketika sudah mencapai tahap pertumbuhan tertentu.
Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) adalah masa sebelum panen (dimulai dari saat
tanam hingga panen pertama) yaitu berlangsung selama 30-36 bulan.
Tanaman hutan adalah berkayu dan dapat berupa tanaman penghasil kayu, tanaman hasil
hutan bukan kayu (buah, getah, daun dll.) atau tanaman penghasil bioenergi.
Tanaman Menghasilkan (TM) adalah tanaman kelapa sawit dengan kondisi lebih dari
25% sudah mulai menghasilkan TBS dengan berat lebih dari 3kg
Tata Guna Hutan Kesepakatan(TGHK) adalah kesepakatan bersama para pemangku
kepentingan di tingkat Provinsi untuk menentukan alokasi ruang kawasan
hutan berikut fungsinya yang diwujudkan dengan membubuhkan tanda tangan
diatas peta
Tumbuhan adalah organisme eukariota multiseluler yang tergolong ke dalam kingdom
Plantae.
Tumbuhan berkayu adalah tumbuhan yang di dalamnya tersusun oleh jaringan
pengangkut secara struktural dan mampu tumbuh dalam waktu yang cukup
lama (tahunan).

v
RINGKASAN EKSEKUTIF

A. Latar Belakang
1. Dengan luasan tidak kurang dari 16,8 juta hektar (dimana 56 % diantaranya
milik swasta dan BUMN, sedangkan sisanya merupakan kebun sawit rakyat),
perkebunan sawit telah memberikan berbagai dampak positif diantaranya
menghasilkan devisa negara mencapai Rp. 200 triliun/tahun (Pardamean
2017; World Growth 2011), mengatasi masalah kemiskinan di pedesaan
(Wigena at al. 2009), membuka lapangan perkerjaan sehingga menyerap
tenaga kerja sekitar 21,49 juta orang (Ditjenbun 2015; WWF 2008) serta
berbagai efek positif lainnya. Bahkan pada tahun 2017-2018 berhasil
memberikan kontribusi nyata sebagai penyumbang devisa terbesar dengan
nilai 22.97 milyar US dolar (GAPKI, 2018).
2. Dampak positif tersebut ternyata tidak menjadikan “kelapa sawit” mendapat
status “istimewa”, bahkan sebaliknya. Fakta menunjukkan bahwa kebijakan
yang bersifat “diskriminasi/crop apartheid terhadap tanaman sawit” tidak
saja dalam lingkup nasional tetapi juga internasional. Keputusan FAO tidak
memasukkan sawit sebagai tanaman hutan, merupakan hegemoni tafsir dari
kelompok negara-negara pesaing sawit yang berkepentingan terhadap
kelangsungan industri minyak nabatinya. Demikian pula halnya LSM-LSM
serta kelompok masyarakat tertentu sangat menentang SK Menteri
Kehutanan tahun 2011 yang memasukkan sawit sebagai salah satu tanaman
hutan. Sebagai akibatnya sampai dengan saat ini pun kelapa sawit
diharamkan untuk ditanam di kawasan hutan. Itulah mengapa kebun sawit
(diperkirakan sekitar 3.4 juta ha) yang saat ini sebagian besar (sekitar 73%)
berada di dalam kawasan hutan dengan status produksi, hutan produksi
terbatas dan hutan konversi dianggap sebagai “permasalahan” dan harus
dikeluarkan.
3. Lebih memprihatinkan lagi, kebun kelapa sawit secara masif dan tak henti-
henti dituding oleh pihak-pihak tertentu : bahwa minyak kelapa sawit ini
mengandung kolesterol dan dituding sebagai biang keladi dan kambing
hitam atas serangan stroke dan jantung koroner yang paling banyak
membunuh manusia (1980); bahwa sawit dianggap sebagai penyebab polusi
dan perusak lingkungan nomor satu di dunia (1990); bahwa sawit itu
menyebabkan kepunahan orang utan dan hilangnya biodiversitas; bahwa
kelapa sawit berasal dari hutan primer atau hutan sekunder telah
menyebabkan deforestasi (Thiollay 1999; Donald 2004; Dumbrell & Hill
2005; Vijay et al. 2016; Sawit Watch 2017), mengakibatkan penurunan
keanekaragaman hayati (Koh & Willcove 2008; Tscharntke et al. 2011),
penurunan keanekaragaman tumbuhan (Benayas et al. 2007; Stevenson &

vi
Aldana 2008; Paciencia & Prado 2005), menyebabkan penurunan
kuantitas/kualitas air (Carlson 2012; Cholcester et al. 2011), peningkatan
emisi gas rumah kaca (Cholcester et al. 2011).

B. Hasil Kajian Komparatif Antara Kelapa Sawit Dengan


Tanaman Hutan
1. Seperti halnya kelapa sawit yang berasal dari hutan tropis Nigeria, semua
tanaman yang diusahakan saat ini, dahulunya berasal dari tumbuhan liar /
tumbuhan hutan, kemudian dilakukan domestikasi dan seleksi sesuai dengan
kebutuhan manusia. Secara bioekologis tanaman kelapa sawit hampir sama
dengan tanaman hutan. Perbedaan tanaman kelapa sawit sebagai tanaman
pertanian dengan tanaman hutan terletak pada tingkat intensifitas
pengelolaan tanaman dan fungsinya terhadap ekosistem. Tanaman
pertanian dikelola secara intensif dengan fungsi produksi mulai saat tanam
sampai akhir siklus tanaman (TBM dan TM), sedangkan tanaman hutan
pengelolaan secara intensif dilakukan sampai tanaman berumur 2 tahun,
selanjutnya relatif tidak intensif dan memiliki fungsi konservasi lingkungan,
tanah dan air.
2. Kebun sawit tidak menyebabkan kekeringan air sumur, sungai dan karena
penyerapan air dari tanah oleh tanaman kelapa sawit tidak mungkin dapat
dilakukan melebihi kedalaman solum tanah di zona perakaran. Pada
praktiknya, kebun sawit membagi lokasi di lapangan ke dalam beberapa
“kategori” yaitu gawangan hidup, gawangan mati, dan piringan. Gawangan
mati dan gawangan hidup ada berdampingan pada satu jalur tanaman, maka
dapat diperkirakan bahwa luasan gawangan mati dan gawangan hidup
masing-masing adalah separuh dari luasan kebun sawit. Dengan kapasitas
infiltrasi pada gawangan mati sangat tinggi, yaitu 32.13 cm/jam sedangkan
kapasitas infiltrasi pada gawangan hidup 9.42 cm/jam. Maka ketika terjadi
hujan, air akan mengalir ke gawangan mati, sehingga sangat kecil
kemungkinan terjadi banjir di perkebunan sawit.
3. Kebun Kelapa Sawit dapat menjadi habitat dari berbagai taksa satwa liar
(mamalia, burung, amfibi dan reptil). Perubahan tutupan berupa hutan
sekunder menjadi kebun sawit pada umumnya menurunkan
keanekaragaman jenis mamalia, sedangkan untuk taksa-2 lainnya terjadi
peningkatan. Perubahan tutupan bukan hutan menjadi kebun kelapa sawit
cenderung meningkatkan keanekaragaman jenis hampir semua taksa.
4. Tanaman kelapa sawit memiliki kemampuan penyerapan CO2 yang tinggi
dan paling efisien dalam pemanfaatan radiasi matahari dibandingkan dengan
tanaman komoditas kehutanan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
pengembangan kelapa sawit tidak selalu negatif untuk lingkungan. Nilai NPP
kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kehutanan lainnya,
dan nilai NEE juga tidak lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem hutan.

vii
Sumber emisi terbesar kelapa sawit bersumber pada konversi lahan hutan
dan hutan gambut yang memiliki cadangan karbon tinggi. Konversi lahan-
lahan kosong dan semak belukar menjadi kelapa sawit dapat meningkatkan
penyerapan CO2 bagi ekosistem.
5. Dalam hal kinerja finansial ekonomi, baik pada level rumah tangga maupun
nasional, perkebunan kelapa sawit jauh mengungguli HTI. Kebun kelapa
sawit memberikan pendapatan rumah tangga yang lebih tinggi dibandingkan
HTI. Kelapa sawit juga unggul dalam hal sumbangan terhadap produksi
nasional, menciptakan lapangan kerja, dan mendatangkan devisa. Untuk
luasan tanaman yang sama, HTI unggul dalam mendapatkan PNBP
dibandingkan kebun kelapa sawit. Sebaliknya, PBB yang diperoleh dari
kebun kelapa sawit lebih tinggi dari PBB yang diperoleh dari HTI
(eukaliptus).
6. Dari sudut pandang profitabilitas per unit lahan, perkebunan kelapa sawit
intensif memberikan opsi penggunaan lahan terbaik yang dipertimbangkan
petani. Pengembalian ekonomi yang rendah, kepemilikan lahan yang kecil,
dan struktur pasar dan rantai pasokan yang kurang baik pada hutan tanaman
dianggap sebagai kendala signifikan yang membatasi minat masyarakat.

C. Implikasi Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi


Berikut implikasi andaikata kelapa sawit dapat dijadikan sebagai salah satu
tanaman di kawasan hutan terdegradasi/kritis dan atau tidak produktif :

1. Luas areal berhutan Indonesia akan meningkat drastis (16,8 juta ha)
2. Peningkatan tingkat keanekaragaman jenis hayati pada kawasan2 hutan
terdegradasi, kritis dan tidak produktif
3. Peningkatan kontribusi serapan gas rumah kaca dari areal berhutan
4. Nilai ekonomi dan kontribusi kawasan hutan terdegradasi semakin tinggi.
5. Percepatan dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri, Hutan Tanaman
Rakyat, Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa.
6. Target Program Reboisasi/penghijauan hutan dan lahan kritis akan lebih
cepat tercapai .
7. Penyelesaian permasalahan kebun kelapa sawit di kawasan hutan menjadi
relatif lebih mudah.
8. Pergeseran pemaknaan deforestasi atau degradasi terhadap kebun sawit di
kawasan hutan menjadi “Reforestasi hutan dan rehabilitasi hutan”.

D. Rekomendasi
1. Berdasarkan hasil kajian/analisis terhadap berbagai aspek : sejarah asal-
usul, bio-ekologi, kesesuaian lahan dan hidrologi, konservasi
keanekaragaman hayati, iklim mikro/serapan dan emisi GRK, kinerja
ekonomi finansial dan dampaknya terhadap sosekbud masyarakat

viii
sekitarnya serta keunggulan komparatif dan berbagai implikasi positif yang
dimiliki maka Kelapa Sawit layak dan prospektif untuk dijadikan sebagai
salah satu tanaman hutan terdegradasi/kritis dan atau tidak produktif.
2. Untuk mengantisipasi kerentanan sistem “monokultur” dan menjaga
keseimbangan ekologis, tanaman kelapa sawit dalam skala luas seyogyanya
dikombinasikan/dicampur dengan tanaman hutan unggulan setempat dan
tanaman kehidupan yang diperlukan oleh masyarakat sekitarnya.

ix
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................................ i


BATASAN ISTILAH ................................................................................................................................................ ii
RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................................................... vi
A. Latar Belakang...........................................................................................................................................vi
B. Hasil Kajian Komparatif Antara Kelapa Sawit Dengan Tanaman Hutan ......................... vii
C. Implikasi Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi ........................................ viii
D. Rekomendasi........................................................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................................................. xiii
1. xiii
I. PENDAHULUAN .................................................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................................................... 1
1.2 Tujuan dan Manfaat........................................................................................................................... 3
1.3 Pendekatan Metodologi ................................................................................................................... 3
II. PENGERTIAN HUTAN, TANAMAN HUTAN DAN POHON................................................................. 4
2.1 Hutan dan Kawasan Hutan ............................................................................................................. 4
2.2 Tanaman Hutan................................................................................................................................... 7
2.3 Pohon ................................................................................................................................................... 10
III. PERBANDINGAN ASAL-USUL, BIO-EKOLOGI DAN TEKNIK BUDIDAYA ANTARA KELAPA
SAWIT DENGAN TANAMAN HUTAN ................................................................................................. 12
3.1 Sejarah / Asal-usul .......................................................................................................................... 12
3.1.1 Kelapa Sawit ............................................................................................................................ 12
3.1.2 Karet............................................................................................................................................ 13
3.1.3 Acacia mangium ..................................................................................................................... 13
3.2 Karakteristik Bio-Ekologi............................................................................................................. 14
3.2.1 Persyaratan tumbuh kelapa sawit .................................................................................. 14
3.2.2 Persyaratan tumbuh karet ................................................................................................. 14
3.2.3 Persyaratan tumbuh Acacia mangium .......................................................................... 15
3.3 Bioekologi tanaman kelapa sawit dan hutan ....................................................................... 15
3.4 Perbedaan Budidaya Tanaman Kelapa Sawit, Karet Dan Tanaman Hutan ............. 17
3.4.1 Budidaya Tanaman Kelapa Sawit.................................................................................... 17
3.4.2 Budidaya Tanaman Karet ................................................................................................... 18
3.4.3 Budidaya Acacia mangium ................................................................................................. 18
IV. PERBANDINGAN KESESUAIAN LAHAN, LANDSCAPE HIDROLOGI DAN NERACA AIR
ANTARA KELAPA SAWIT DENGAN TANAMAN HUTAN ........................................................... 20
4.1 Neraca air ........................................................................................................................................... 21
V. PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN JENIS SATWA LIAR ANTARA KELAPA SAWIT
DENGAN TANAMAN HUTAN ................................................................................................................ 23
5.1 Keanekaragaman Jenis Mamalia ............................................................................................... 24

x
5.2 Keanekaragaman Jenis Burung ................................................................................................. 27
5.3 Keanekaragaman Jenis Amfibi dan Reptil ............................................................................. 30
VI. PERBANDINGAN LAJU PENYERAPAN DAN EMISI GAS RUMAH KACA ANTARA KELAPA
SAWIT DENGAN TANAMAN HUTAN ................................................................................................. 34
6.1 Laju Penyerapan CO2 ..................................................................................................................... 35
6.2 Laju Emisi CO2................................................................................................................................... 39
VII. PERBANDINGAN ANALISIS EKONOMI/FINANSIAL DAN KONTRIBUSI TERHADAP
DEVISA NEGARA/PEREKONOMIAN NEGARA ANTARA KELAPA SAWIT DENGAN
TANAMAN HUTAN.................................................................................................................................... 42
7.1 Ekonomi Rumah Tangga .............................................................................................................. 42
7.2 Produksi Nasional ........................................................................................................................... 43
7.3 Penerimaan Devisa ......................................................................................................................... 44
7.4 Penerimaan Negara ........................................................................................................................ 45
7.4.1 PNBP ........................................................................................................................................... 45
7.4.2 PBB .................................................................................................................................................... 47
7.5 Tenaga Kerja...................................................................................................................................... 49
7.6 Dampak Sosial .................................................................................................................................. 50
2. VIII. PERBANDINGAN MANFAAT SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA KELAPA SAWIT
DENGAN BEBERAPA TANAMAN KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN .................................. 52
8.1 Perkembangan Kelapa Sawit di Indonesia ........................................................................... 54
8.1.1 Manfaat Sosial, Ekonomi, dan Budaya Kelapa Sawit............................................... 59
8.2 Perbandingan Kelapa Sawit dengan Tanaman Perkebunan Lain ............................... 62
8.2.1 Karet............................................................................................................................................ 62
8.2.2 Kelapa ......................................................................................................................................... 69
8.2.3 Kopi ............................................................................................................................................. 71
8.2.4 Kakao .......................................................................................................................................... 72
8.3 Perbandingan Kelapa Sawit dengan Tanaman Kehutanan ............................................ 76
8.3.1 Hutan Tanaman Industri (HTI) ........................................................................................ 76
8.3.2 Hak Pengusahaan Hutan (HPH)....................................................................................... 80
8.3.3 Dampak Sosial-Ekonomi ..................................................................................................... 81
8.3.4 Dampak Sosial-Budaya ........................................................................................................ 82
IX. PERMASALAHAN IMPLIKASI KELAPA SAWIT SEBAGAI TANAMAN HUTAN
TERDEGRADASI ......................................................................................................................................... 84
9.1 Permasalahan ................................................................................................................................... 84
9.2 Implikasi ............................................................................................................................................. 86
X. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................................................................................................... 90
10.1 Kesimpulan ........................................................................................................................................ 90
10.2 Rekomendasi ..................................................................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................................. 94

xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kondisi bioekologi tanaman kelapa sawit dan tanaman hutan ...................................... 15
Tabel 2 Kebutuhan air untuk menghasilkan satu giga joule bioenergi berbagai tanaman.. 16
Tabel 3 Perbedaan budidaya kelapa sawit, karet, dan HTI ............................................................... 18
Tabel 4 Karakteristik lahan setiap jenis tanaman................................................................................. 21
Tabel 5 Karakteristik kelerengan lahan setiap jenis tanaman......................................................... 21
Tabel 6 Keragaman spesies mamalia diberbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit dan
hutan tanaman industri ................................................................................................................. 25
Tabel 7 Keragaman spesies burung di berbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit dan
hutan tanaman industri ................................................................................................................. 29
Tabel 8 Keragaman herpetofauna di berbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit dan
hutan tanaman industrii ............................................................................................................... 31
Tabel 9 Spesies herpetofauna yang diuntungkan karena adanya perkebunan kelapa sawit
................................................................................................................................................................. 33
Tabel 10 Nilai NPP menurut jenis tanaman dan referensinya ....................................................... 36
Tabel 11 Biaya Produksi Kayu Pulp dari Hutan Rakyat ..................................................................... 43
Tabel 12 Kontribusi sektor terkait pertanian terhadap PDB (Billion IDR) ............................... 44
Tabel 13 Nilai ekspor pulp (HS 4703.290000) ..................................................................................... 45
Tabel 14 Produksi HTI..................................................................................................................................... 47
Tabel 15 Nilai Jual Obyek Pajak untuk Perhutanan dan Perhutanan .......................................... 48
Tabel 16 Penyerapan Tenaga Kerja ........................................................................................................... 49
Tabel 17 Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian ...................................................................................... 50
Tabel 18 Karakteristik Pekebun Sawit di Indonesia* .......................................................................... 60
Tabel 19 Total Share dari pendapatan bulanan yang berasal dari kelapa sawit terhadap
keseluruhan pendapatan rumah tangga ................................................................................ 60
Tabel 20 Total Covering dari pendapatan bulanan yang berasal dari kelapa sawit terhadap
keseluruhan pendapatan rumah tangga ................................................................................ 61
Tabel 21 Rangkuman perbandingan kelapa sawit dengan beberapa komoditas lain ........... 81

xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Perbandingan kebutuhan air kelapa sawit dan tanaman hutan (Coster 1938) .. 16
Gambar 2 Persentase volume curah hujan tahunan yang digunakan kelapa sawit dan
tanaman hutan ............................................................................................................................ 17
Gambar 3 Perbandingan hutan tanaman dengan lahan terdegradasi (kiri) dan hutan
tanaman dengan hutan alam (kanan) berdasarkan jumlah studi yang
mengkajinya (Stephens dan Wagner 2007) ................................................................... 24
Gambar 4 Peningkatan dan kehilangan mamalia berdasarkan perubahan tutupan lahan
(sumber: Santosa et al. 2018) ............................................................................................... 27
Gambar 5. Peningkatan dan kehilangan burung berdasarkan perubahan tutupan lahan
(sumber: Santosa et al. 2018) ............................................................................................... 30
Gambar 6. Peningkatan dan kehilangan herpetofauna berdasarkan perubahan tutupan
lahan (sumber: Santosa et al. 2018) .................................................................................. 32
Gambar 7 Boxplot NPP (g C m-2 tahun-1) setiap tanaman ................................................................. 36
Gambar 8 Rata-rata penyerapan CO2 setiap tanaman ........................................................................ 38
Gambar 9 Carbon stocks and net primary production of four land-use types (Guillaume et
al.(2018) ........................................................................................................................................ 40
Gambar 10 Life cycle analysis (LCA) kelapa sawit untuk biodiesel (Meijide et al.2020) ...... 41
Gambar 11 Produksi Tanaman Perkebunan Indonesia Tahun 2019 dan 2020 (ribu ton) . 53
Gambar 12 Produktivitas kelapa sawit (kg/ha) .................................................................................... 55
Gambar 13 Perkembangan luas perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Barat pada periode
2007-2017 .................................................................................................................................... 58
Gambar 14 Dampak sosial ekonomi kehadiran perkebunan kelapa sawit ................................ 59
Gambar 15 Harga bulanan kelapa di pasar dunia tahun 2019 ........................................................ 62
Gambar 16 Struktur pendapatan rata-rata rumah tangga petani kelapa sawit berdasarkan
sumbernya di desa lokal dan desa transmigrasi tahun 2017 di Minangkabau 69
Gambar 17 Produktivitas kelapa (ton) ...................................................................................................... 70
Gambar 18 Produktivitas kopi (ton) .......................................................................................................... 71
Gambar 19 Produktivitas Kakao (kg/ha) ................................................................................................. 72
Gambar 20 Dampak sosial-budaya dari perkembangan perkebunan kelapa sawit ............... 82

1.

xiii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan luasan tidak kurang dari 16,8 juta hektar (SK Menteri Pertanian
833/KPTS/SR. 020/M/12/2019), dimana 56 % diantaranya milik swasta dan
BUMN, sedangkan sisanya merupakan kebun sawit rakyat, perkebunan sawit telah
memberikan berbagai dampak positif diantaranya menghasilkan devisa negara
mencapai Rp. 200 triliun/tahun (Pardamean 2017; World Growth 2011) bahkan
mencapai hampir Rp. 300 T di tahun 2019 (BPS 2020), mengatasi masalah
kemiskinan di pedesaan (Wigena et al. 2009), membuka lapangan perkerjaan
sehingga menyerap tenaga kerja sekitar 21,49 juta orang (Ditjenbun 2015; WWF
2008) serta berbagai efek positif lainnya. Bahkan pada tahun 2017-2018 berhasil
memberikan kontribusi nyata sebagai penyumbang devisa terbesar dengan nilai
22.97 milyar US dollar (GAPKI, 2018).

Dampak positif tersebut ternyata tidak menjadikan “kelapa sawit” mendapat


status “istimewa”, bahkan sebaliknya. Fakta menunjukkan bahwa kebijakan yang
bersifat “diskriminasi/crop apartheid terhadap tanaman sawit” tidak saja dalam
lingkup nasional tetapi juga internasional. Keputusan FAO tidak memasukkan sawit
sebagai tanaman hutan, merupakan hegemoni tafsir dari kelompok negara-negara
pesaing sawit yang berkepentingan terhadap kelangsungan industri minyak
nabatinya. Demikian pula halnya LSM-LSM serta kelompok masyarakat tertentu
sangat menentang SK Menteri Kehutanan tahun 2011 yang memasukkan sawit
sebagai salah satu tanaman hutan. Sebagai akibatnya sampai dengan saat ini pun
kelapa sawit diharamkan untuk ditanam di kawasan hutan. Itulah mengapa kebun
sawit (diperkirakan sekitar 3.4 juta ha) yang saat ini sebagian besar (sekitar 73%)
berada di dalam kawasan hutan dengan status produksi, hutan produksi terbatas
dan hutan konversi dianggap sebagai “permasalahan” dan harus dikeluarkan.

Lebih memprihatinkan lagi, kebun kelapa sawit secara masif dan tak henti-
henti dituding oleh pihak-pihak tertentu : bahwa minyak kelapa sawit ini
mengandung kolesterol dan dituding sebagai biang keladi dan kambing hitam atas
serangan stroke dan jantung koroner yang paling banyak membunuh manusia
(1980); bahwa sawit dianggap sebagai penyebab polusi dan perusak lingkungan
nomor satu di dunia (1990); bahwa sawit itu menyebabkan kepunahan orang utan
dan hilangnya biodiversity; bahwa kelapa sawit berasal dari hutan primer atau hutan
sekunder telah menyebabkan deforestasi (Thiollay 1999; Donald 2004; Dumbrell

1
dan Hill 2005; Vijay et al. 2016; Sawit Watch 2017), mengakibatkan penurunan
keanekaragaman hayati (Koh & Willcove 2008; Tscharntke et al. 2011), penurunan
keanekaragaman tumbuhan (Benayas et al. 2007; Stevenson & Aldana 2008;
Paciencia & Prado 2005), menyebabkan penurunan kuantitas/kualitas air (Carlson
2012; Cholcester et al. 2011), peningkatan emisi gas rumah kaca (Cholcester et al.
2011).
Selanjutnya Basiron (2007) mengungkapkan bahwa perubahan fungsi
kawasan hutan dan lahan tradisional menjadi lahan perkebunan kelapa sawit
merupakan ancaman terbesar terhadap jasa ekosistem yang berdampak negatif
terhadap kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat lokal di sekitar hutan.
Selain itu menyebabkan kerusakan habitat yang mengancam kehidupan mamalia
(Chaves et al. 2013), keanekaragaman katak (Delis et al. 1996), Keanekaragaman
burung (O’Dea dan Whitaker 2007), termasuk kelimpahan populasi larva kupu-
kupu (Kobayashi 2009), serta perubahan suhu yang berdampak pada
keanekaragaman hayati (Walhi 2009; Manoli et al. 2017). Apabila hal ini dibiarkan
dikhawatirkan akan menimbulkan potensi kerugian secara sistemik terhadap
perkebunan/industri kelapa sawit Indonesia secara keseluruhan.

Berkenaan dengan itu Fakultas Kehutanan IPB dan Pusat Kajian, Advokasi dan
Konservasi Alam (PUSAKA KALAM) telah menyelenggarakan Focus Group Discussion
(FGD) dengan tema “Sawit dan Deforestasi Hutan Tropika” di IPB International
Convention Center pada 12 April 2018. Salah satu kesepakatan atau rekomendasi
dari FGD tersebut adalah perlu segera disusun naskah akademik “Kelapa Sawit
sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi”. Baru 3 tahun kemudian APKASINDO
sebagai asosiasi petani kelapa sawit mengajak Fakultas Kehutanan dan Lingkungan
IPB untuk menyusun naskah akademik dimaksud. Untuk mendapatkan respon dari
berbagai pemangku kepentingan dan lebih memperkaya data dan informasi yang
diperlukan dalam kajian akademik tersebut telah pula dilakukan Seminar Nasional
dengan tema “PERMASALAHAN, PROSPEK DAN IMPLIKASI KELAPA SAWIT
SEBAGAI TANAMAN HUTAN TERDEGRADASI” pada tanggal 25 November 2021.
Tidak kurang dari 22 akademisi (dosen dan peneliti berasal dari berbagai perguruan
tinggi dan lembaga penelitian) dan praktisi telah berperan serta secara aktif
membahas hal-ihwal terkait permasalahan, prospek dan implikasi sawit jika
dimasukkan sebagai salah satu tanaman hutan terdegradasi/kritis.

Berbekal data dan informasi yang dihasilkan dari kajian akademis ini
diharapkan pemerintah memiliki (1) political will yang kuat untuk memasukkan
sawit sebagai tanaman hutan yang sudah terdegradasi/kritis dan (2) salah satu
dasar ilmiah valid upaya-upaya penyelesaian masalah kebun sawit di kawasan
hutan. Selain itu, naskah akademik ini bisa menjadi amunisi penting dalam
menghadapi tudingan-tudingan terkait isu-isu negatif terkait “sawit sebagai pemicu
deforestasi”, “sawit mengakibatkan penurunan keanekaragaman hayati” dan isu-isu
lingkungan yang bersifat negatif lainnya.

2
1.2 Tujuan dan Manfaat
Kajian akademis ini ditujukan untuk menganalisis dan membandingkan :

1. Aspek historis, karakteristik biologi, ekologi dan aspek agronomi/silvikultur


kelapa sawit dengan tanaman hutan
2. Aspek kesesuaian lahan, hidrologi dan neraca air antara kelapa sawit dengan
tanaman hutan
3. aspek ekonomi/finansial pengusahaan kelapa sawit dengan tanaman hutan
4. keanekaragaman jenis satwa liar pada berbagai kelas umur kelapa sawit
dengan tipe tutupan hutan
5. laju serapan/emisi CO2 dan Gas rumah kaca lainnya pada berbagai kelas umur
kelapa sawit dengan tanaman hutan
6. dampak terhadap sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal antara kelapa
sawit dengan tanaman hutan

1.3 Pendekatan Metodologi


Untuk mencapai tujuan kajian diatas, maka metode yang telah digunakan pada
kajian akademis ini adalah : studi pustaka, wawancara, observasi/pengukuran/
pengamatan di lapangan, FGD/seminar dan studi banding (kebun sawit,
agroforestri, HTI, Hutan Tanaman Rakyat, dll.).

3
II. PENGERTIAN HUTAN, TANAMAN HUTAN
DAN POHON
2.1 Hutan dan Kawasan Hutan
Dalam khasanah ilmu kehutanan di Indonesia, hutan memang berbeda dengan
kawasan hutan. Sebelum membahas mengenai kawasan hutan, perlu dipahami
terlebih dahulu definisi-definisi hutan. Menurut UU 41/1999 tentang Kehutanan,
“hutan” adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Definisi hutan
dalam Undang-Undang tersebut lebih memperlihatkan definisi secara kualitatif dan
mengarah pada kebijakan normatif. Kondisi demikian dianggap menyulitkan
berbagai sektor yang mengarah pada kebijakan-kebijakan teknis yang bersifat
kuantitatif. Jika ditarik kembali pada UU 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan
pokok kehutanan, definisi hutan bahkan telah terkuantifikasi dalam luas minimum
seperempat hektar dengan karakter pepohonan berupa tumbuhan kayu, bambu
dan/atau palem. Meski telah ditetapkan dalam luas minimal tertentu, dalam
peraturan perundangan tersebut belum mendetailkan secara pasti karakteristik
biologis pepohonan.

Tiga badan PBB telah mendefinisikan hutan secara berbeda namun dapat
terkuantifikasi lebih detail dibandingkan peraturan perundangan di Indonesia. FAO
(2020) mendefinisikan hutan sebagai lahan dengan luas lebih dari 0,5 ha yang berisi
pepohonan dengan tinggi minimal 5 meter dan tutupan kanopi minimum 10%, ini
adalah definisi minimalis. Sementara itu UNFCCC mempunyai definisi yang agak
moderat, yaitu areal dengan range luas 0,5-1 ha yang ditumbuhi pepohonan dengan
tinggi 2-5 meter dan memiliki tutupan kanopi sebesar 10-30%. Definisi yang lebih
konservatif dibuat oleh UNESCO, yaitu tutupan vegetasi yang didominasi (>60%)
oleh tajuk pohon yang saling menyambung.

Dalam konteks tertentu, beberapa lembaga nasional maupun internasional


bahkan konferensi atau protokol memaknai hutan secara berbeda. Program
lingkungan Persatuan Bangsa Bangsa UNEP/CBD/Subsidiary Body on Scientific,
Technical and technological Advice (2001) mengartikan hutan sebagai lahan seluas
lebih dari 0,5 ha dengan tutupan tajuk pohon lebih dari 10% yang utamanya bukan
lahan pertanian atau tata guna lahan khusus yang bukan hutan. Dalam hal hutan
muda atau kawasan dimana pertumbuhan pohon yang secara iklim tertekan
(suppressed), maka pohon-pohon yang dimaksud harus bisa mencapai tinggi 5 meter
di tempat itu (in situ), dan sesuai dengan persyaratan tutupan tajuk yang diperlukan.
Berbeda halnya dengan REDD (2009) yang menjelaskan daerah berhutan secara
berkelanjutan didefinisikan sebagai lahan yang luasannya lebih dari 1 ha dengan

4
pohon lebih tinggi dari 5 meter dan penutup tajuk lebih dari 30% atau pohon yang
mampu mencapai ambang batas tersebut di alam setempat. Dalam Kyoto Protocol
tahun 2011, Indonesia menetapkan definisi hutan sebagai areal minimal seluas 0,25
ha, dengan minimal tutupan tajuk pohon 30%, dan tinggi pohon minimal 5 meter.
Sementara itu Badan Planologi dan Pusat Standarisasi dan Lingkungan (Pustanling)
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan mendefinisikan hutan untuk perhitungan
deforestasi adalah hamparan lahan dengan luas minimum 0,25 ha, yang ditumbuhi
vegetasi berkayu berbagai jenis dan umur yang tajuknya menutup hamparan
tersebut minimal 30%.

Secara konstitusional maupun kelembagaan, definisi hutan diatas


menekankan pada karakter geografi spasial dan vertikal dari hutan. Meski
stratifikasi dan kerapatan tajuk hutan dianggap sebagai karakteristik biologis,
namun belum dapat menjelaskan homogenitas dan heterogenitas hutan. Bahkan,
morfologi tajuk dan dahan tumbuhan yang bervariasi dan modifikasi jarak tanam
dalam reforestasi dapat memungkinkan berpengaruh terhadap pemenuhan
persentase kerapatan tajuk. Kerapatan tajuk dapat dimaknai pada kondisi hutan
dengan spesies yang sedikit atau seragam dengan basal area yang besar atau hutan
dengan spesies beraneka ragam namun memiliki densitas atau kelimpahan yang
tinggi. Oleh karena itu, Keyword “pepohonan atau pohon-pohon” lebih dimaknai
sebagai sekumpulan individu pohon yang mendominasi suatu lahan dengan luasan
minimal yang ditetapkan dan membentuk ekosistem tertentu. Makna tersebut
dianggap belum dapat menggambarkan heterogenitas ataupun homogenitas spesies
pepohonan. Hal ini dibuktikan dengan perbedaan persepsi yang ditunjukkan oleh
beberapa Negara mengenai hal tersebut seperti Malaysia menetapkan kebun sawit
sebagai hutan, China menjadikan padang bambu sebagai hutan (Yiping dan Hanley
2010), Tumbuhan pinus alami sebagai hutan di Tunisia (FAO 2020) dan Indonesia
menetapkan tanaman berkayu monokultur dan polikultur seperti eukaliptus, jati,
akasia, sengon dan lainnya dianggap sebagai hutan tanaman (Permenhut
P.62/2019). Dengan demikian, definisi hutan bukan sekedar kriteria ke ruangan
melainkan juga dengan banyaknya jenis, tipe habitus, karakter fisiologi dan bahkan
teknik budidaya pada hutan tanaman kayu dan non kayu.

Menurut berbagai peraturan perundangan dan kebijakan di Indonesia, hutan


secara umum dibagi dalam hutan alam dan hutan tanaman. Hutan alam dimaknai
sebagai hutan dengan pepohonan yang beraneka ragam dengan berbagai keadaan
tumbuhan hutan, sedangkan hutan tanaman sebagai hutan penghasil kayu industri
dengan tanaman berkayu sejenis atau lebih dan/ dikombinasikan tanaman
penghasil non kayu. FAO (2020) juga menegaskan bahwa budidaya monokultur
dengan pertanaman sesuai dengan pohon standar dan definisi hutan maka dapat
didefinisikan sebagai hutan tanaman. Lebih lanjut menjelaskan bahwa hutan

5
tanaman dapat berupa lahan reboisasi atau hutan sekunder yang dibangun dengan
penanaman atau penyemaian langsung1.

Dengan demikian, secara tidak langsung Indonesia mengartikan hutan sebagai


sekumpulan pepohonan yang didominasi tumbuhan atau tanaman hutan berkayu
baik seragam maupun beraneka ragam dengan luas minimal 0,25 ha, kerapatan
tajuk lebih dari 30% dan tinggi pohon minimal 5 meter. Kriteria tumbuhan atau
tanaman berkayu dapat memuat jenis-jenis penghasil kayu maupun non kayu
seperti getah, bioenergi, pangan, buah dan bioresources lainnya. Tentunya kriteria
tumbuhan/tanaman tersebut dapat bersifat dinamis mengingat studi ilmiah terus
berkembang sebagaimana temuan-temuan kelapa sawit bukan sekedar produksi
buah melainkan juga sebagai bahan bakar nabati terbarukan (Masykur 2013;
Silalahi et al. 2019).

Sejauh ini, keberadaan hutan di Indonesia lebih lanjut didefinisikan secara


spasial melalui status kawasan hutan dan tipe tutupan berhutan. Menurut UU
41/1999, “Kawasan Hutan” adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap. Secara umum, kawasan hutan berkaitan dengan legal hukum dalam
penatagunaan hutan. Dalam hal ini ada penekanan terhadap norma sosial
kelembagaan bahwa pemerintah harus benar-benar menetapkan kawasan hutan
dengan penuh pertimbangan. Permasalahan akan timbul apabila pemerintah
menetapkan kawasan hutan tanpa memahami definisi hutan secara kualitatif dan
kuantitatif terlepas dari kebijakan internasional terhadap keberadaan hutan. Status
dan fungsi hutan berdasarkan ketetapan kawasan hutan akan menjadi rambu-
rambu dalam penatagunaan hutan. Secara spasial, pengukuran kawasan hutan
harus setara. Kasus yang terjadi adalah kawasan hutan dan tipe penutup lahan sulit
terintegrasi karena perbedaan kedetailan dalam penentuan definisi, batas dan luas
hutan. Bahkan kondisi demikian berdampak pada kebijakan konservasi
keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan bersama-sama dengan Badan Informasi Geospasial melalui
Badan Standarisasi Nasional telah menetapkan klasifikasi penutup lahan dengan
skala pendetailan mencapai 1:25000. Namun dalam implementasi Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menggunakan skala 1:5000 dalam
menjalan rencana-rencana Detail Engineering Design suatu area pembangunan
dalam hutan. Perbedaan tersebut tentunya akan mempengaruhi kebijakan dalam
implementasi-implementasi kebijakan kehutanan terutama dalam status kawasan
hutan dan konservasi spesies dalam hutan.

Pada kasus lain, menurut Kartodihardjo dan Supriono (2000), belum adanya
padu serasi TGHK dan RTRWP dalam menyelesaikan permasalahan tata guna lahan

1 https://www.cbd.int/forest/definitions.shtml

6
terutama tutupan berhutan. Hutan pada kawasan Area Penggunaan Lain (APL)
sebagaimana ketetapan pemerintah dalam penatagunaan kawasan hutan memiliki
kebijakan dan kewenangan yang tumpang tindih dan bahkan tidak terakomodir
dengan pasti. Seperti halnya Hutan Mangrove dalam APL yang tidak terpetakan
sebagai kawasan lindung sepenuhnya dalam one map Kawasan Hutan Indonesia
tahun 2019. Jika merujuk pada UU 1/2014 tentang RZWP3K, PP 12/2012 tentang
pengelolaan DAS dan Keppres 32/1990 tentang Kawasan Lindung, serta prospek
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), urgensi mangrove dalam Paparan
COP26 tahun 2021 oleh pemerintah RI dan upaya lainnya ditingkat tapak
menegaskan bahwa mangrove harus memiliki status dan fungsi kawasan yang jelas
dan tindak tumpang tindih. Di kasus lain, ada pula tutupan berhutan dalam APL yang
memiliki kebijakan tersirat dalam beberapa Permenhut, perdirjen atau kebijakan
lainnya tentang koridor hidupan liar, pembangunan jalan dalam kawasan hutan, dan
lainnya. Bahkan lembaga nirlaba dari berbagai negara turut mengambil kebijakan
dalam konservasi tutupan berhutan dalam kawasan APL seperti HCV dan HCS. Hal
ini memicu keraguan dalam pengambilan kebijakan untuk mengelola hutan karena
tata aturan dan kebijakan kepemerintahan tidak secara pasti dan jelas untuk
menataguna kawasan hutan dalam APL. Tentunya kondisi tersebut merugikan
berbagai sektor dalam pembangunan nilai-nilai sosial ekonomi dan lingkungannya
seperti halnya yang terjadi pada kelapa sawit. Peraturan, kebijakan dan rangkaian
data mengenai hutan seharusnya tersentralisasi oleh pemerintah sebagaimana
kebijakan dalam penetapan kawasan hutan agar dapat dianggap independen dan
tidak terintervensi dalam kepentingan apapun. Kebijakan tidak harus top down
melainkan juga down top atau kombinasinya.

Berdasarkan uraian diatas, hutan yang telah didefinisikan dalam banyak cara
merupakan cerminan keragaman hutan dan ekosistem hutan di dunia dan
keragaman pendekatan manusia terhadap hutan. Hutan dan kawasan hutan
sebenarnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Secara definisi
hutan sebagai objek biogeofisik, sedangkan kawasan hutan sebagai legalitas objek
tersebut. Ketetapan secara definisi yang dapat terkuantifikasi akan memudahkan
dalam implementasi kebijakan kehutanan terutama pada area-area yang dianggap
kontradiktif seperti kelapa sawit. Hal ini untuk menghindari dari dugaan bahkan
tudingan negatif terhadap penurunan kualitas hutan terutama deforestasi akibat
alih fungsi kawasan dan tutupan berhutan. Terlebih lagi dalam era pembangunan di
berbagai sektor sulit diimplementasikan dalam nol deforestasi, karena
pembangunan memuat nilai-nilai konversi yang harus diperhitungkan.

2.2 Tanaman Hutan


Tanaman hutan memiliki definisi yang cukup luas. Sebagian besar praktisi
kehutanan menyebutkan tanaman dengan tumbuhan hutan adalah berbeda.
Tumbuhan dianggap sebagai pepohonan yang tumbuh liar sedangkan tanaman
sebagai pepohonan hasil budidaya manusia. Tidak ada definisi secara khusus

7
mengenai tanaman hutan. Dalam kamus Oxford dan Cambridge menggambarkan
tanaman hutan sebagai kelompok pohon (tree) tinggi memiliki batang kayu dan
cabang yang tumbuh dari bagian atasnya yang secara umum mendiami suatu lahan
yang luas. Jika terminologi tanaman hutan merujuk pada KBBI, tanaman hutan dapat
dimaknai sebagai tumbuhan pepohonan yang berasal dari alam yang biasa ditanam
oleh manusia. Telah diketahui bahwa hutan memiliki definisi yang kompleks,
namun secara umum sebagai karakter biologis ditetapkan dengan pepohonan
setinggi minimal 5 meter. Dalam definisi FAO (2020), tanaman hutan ditegaskan
sebagai tanaman yang ditanam manusia dengan tujuan perlindungan dan
konservasi (penahan angin, sabuk hijau, koridor hidupan liar dll) serta tujuan
pemanfaatan kayu seperti kayu karet, Cork oak, cemara, bambu, palem yang
semuanya bukan sebagai tegakan pohon dalam sistem produksi pertanian termasuk
agroforestri dan kelapa sawit.

Dalam definisi Permenhut P.62/2019 juga menegaskan bahwa tanaman hutan


adalah berkayu dan dapat berupa tanaman penghasil kayu, tanaman hasil hutan
bukan kayu (buah, getah, daun dll.) atau tanaman penghasil bioenergi. Tanaman
berkayu monokultur atau polikultur yang dimanfaatkan bukan pada kayunya atau
dalam hal ini tanaman Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dianggap sebagai tanaman
perkebunan dan pemanfaatan tanaman HHBK dianggap sebagai kegiatan
pemungutan dari tumbuhan liar (tumbuhan hutan) dan tanaman hutan. Puspitojati
et al. (2016) menjelaskan bahwa tanaman hutan, kecuali kayu, adalah tanaman yang
tumbuh alami dan hasil hutan adalah hasil pemungutan, sedangkan tanaman
pertanian adalah tanaman budidaya dan hasil pertanian adalah hasil pemanenan.
Tanaman hutan (penghasil HHBK) telah terdaftar sebagai tanaman pertanian dan
hasilnya telah terdaftar sebagai hasil pertanian. Tanaman penghasil HHBK tersebut
(jika dibudidayakan) menjadi tanaman pertanian sehingga tidak termasuk sebagai
tanaman yang dapat dibudidayakan di hutan (Puspitojati 2011). Pembagian dan
penetapan status tanaman tersebut dianggap tidak berdasar atau tidak rasional
(Foresta dan Michon 2000).

Hal demikian yang masih diperdebatkan di Indonesia dan bahkan dunia


terutama pada jenis-jenis yang dianggap yang memiliki pola produksi pertanian
sebagai tanaman perkebunan/pertanian terutama kelapa sawit. Hal ini dianggap
ambigu, di Indonesia terdapat beberapa komoditi seperti kayu manis, sagu, karet
dan lainnya yang merupakan tanaman dengan komoditi utama bukan buah menjadi
tanaman perkebunan/pertanian. Hal lainnya adalah jenis-jenis tersebut memiliki
sistem produksi pertanian yang juga dapat dimaknai sama dengan sistem budidaya
hutan seperti pada hutan tanaman. Silvikultur dan agrikultur pada dasarnya
memiliki skema yang sama dalam tiap tahapan budidayanya, hanya objek dan hasil
panen saja yang membedakan hal tersebut. Menurut van Dijk dan Savenije (2011),
pengelolaan hutan adalah produk dari pengelolaan yang ekstensif, sedangkan
tanaman pertanian adalah hasil dari pengelolaan yang intensif. Hal ini secara

8
matematis tidak berstandar, karena ekstensif dan intensif selalu berkaitan dengan
proses dan nilai lebih dari output yang dihasilkan dari input, artinya semua proses
kegiatan budidaya baik tanaman hutan maupun pertanian memiliki skala yang
berbeda dan harus terstandarisasi pada ukuran yang sama agar perbandingan
menjadi setara. Capaian akhir dalam suatu proses budidaya pada dasarnya adalah
keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari berbagai aspek tanpa merugikan
semua sektor yang terlibat dalam proses serta telah memenuhi berbagai aturan dan
kebijakan dalam kegiatan budidaya.

Dalam definisi tanaman hutan berdasarkan asal juga memiliki arti yang sulit
dipahami. Secara harfiah, tentunya jenis-jenis tanaman hutan pada mulanya berasal
dari hutan yang didomestikasi. Di dalam hutan alami dapat memuat berbagai
habitus tumbuhan dan berbagai adaptasi morfologinya, mulai dari tumbuhan
tingkat tinggi hingga rendah. Telah diketahui bahwa Kelapa sawit tumbuh di alam
liar dan semi liar di Afrika Barat dan Tengah (Elaeis guineensis) serta Amerika
Tengah dan Selatan (Elaeis oleifera) yang kemudian dikultivarkan hingga ke Asia
tenggara (Okwagwu et al. 2011; Sapey et al. 2012, Barcelos et al. 2015, Godswill et
al. 2015). Hal ini menunjukkan bahwa kelapa sawit juga merupakan tanaman hutan.
Namun dalam Permenhut P.62/2019 menjelaskan bahwa tanaman hutan yang
dapat menjadi komoditi Hutan Tanaman Industri adalah tanaman berkayu atau
yang menghasilkan kayu sebagai tanaman pokok, tanaman budidaya tahunan
berkayu dan jenis lainnya sebagai tanaman HHBK. Telah diketahui bahwa
pemanfaatan SDA selalu dinamis seperti pengembangan food estate dalam hutan
lindung, Bioresources dalam industri farmasi dan energi terbarukan. Hal ini secara
detail mengarah pada kedinamisan pola pemanfaatan tanaman hutan. Perlu
diketahui bahwa selain sebagai penghasil buah, kelapa sawit dapat menjadi
komoditi industri biofuel (Mukherjee dan Sovacool 2014; Silalahi et al. 2019;
Traction Energy Asia 2020; Yasinta dan Karuniasa 2021) yang juga dapat masuk
sebagai kriteria Permenhut P.62/2019 dan FAO. Bahkan Jingzen et al. (2020) dalam
buku “Industrial Oil Palm” menegaskan bahwa pemanfaatan kelapa sawit dalam hal
apapun dapat berprinsip lestari dan berteknologi hijau sebagaimana berbagai studi
menjelaskan kelebihan dari hutan Tanaman Industri. Dalam hal upaya mendukung
penurunan emisi dan simpanan karbon, beberapa kajian ilmiah menyatakan bahwa
kelapa sawit memiliki simpanan yang potensial. Secara umum pada rotasi tanam 20
– 35 tahun memiliki karbon sebesar 50 – 100 ton/ha (Klaarenbeeksingel 2009).
Menurut Sitompul dan Hairiah (2000), budidaya muda 10 tahun berkisar 31 – 62
ton/ha dan usia dari 14 dan 19 tahun berkisar 96 - 101 ton/ha. Menurut
Syahrinudin (2005), karbon sawit di usia 3 tahun mencapai 9,2 ton/ha, usia 10
tahun sebesar 35,4 ton/ha, usia 20 tahun sebesar 41,7 dan usia 30 tahun sebesar
55,3 ton/ha untuk studi kasus di Sumatera, Indonesia. Pada studi kasus di Brazil
Utara, nilai karbon sawit rata-rata sebesar 40 ton/ha dan dapat mencapai 90 ton/ha
pada usia rotasi 25 tahun (Sanquetta et al. 2015). Oleh karena itu, hal ini dianggap
seimbang jika dibandingkan dengan kelompok bambu dan palem yang tidak

9
memproduksi buah dianggap sebagai hutan oleh FAO dan juga kelompok kayu
manis, karet, sagu, kelapa sawit dan lainnya sebagai perkebunan oleh Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, tanaman hutan sebaiknya diartikan sebagai


tumbuhan hutan yang didomestikasi dengan ciri siklus waktu hidup yang lama yang
ditandai dengan karakteristik fisiognomi yang memenuhi definisi hutan. Di samping
itu, Puspitojati et al. (2016) mengusulkan untuk mengatur atau memilah kembali,
dengan menggunakan parameter budidaya hutan dan budidaya pertanian. Budidaya
hutan adalah budidaya tanaman yang memiliki banyak pepohonan (luas >0,25 ha,
tinggi pohon > 5 m, penutupan tajuk > 40%), sedangkan budidaya pertanian adalah
budidaya tanaman tanpa atau dengan sedikit pepohonan (penutupan tajuk pohon <
40% dan atau tinggi pohon < 5 m). Hal ini untuk meminimalisir indikasi-indikasi
deforestasi yang disebabkan oleh komoditi tanaman pertanian terutama kelapa
sawit yang secara tegas bukan sebagai penyebab utama deforestasi hutan Primer
(Santosa et al. 2020). Kelapa sawit memiliki fisiognomi dan sistem budidaya yang
sama dengan tanaman pertanian maupun kehutanan.

2.3 Pohon
Secara umum pepohonan adalah vegetasi utama penyusun hutan. Dalam
beberapa penggunaan, definisi pohon mungkin lebih sempit, biasanya hanya
mengacu pada tanaman berkayu dengan pertumbuhan sekunder, tanaman yang
dapat digunakan sebagai kayu, atau tanaman yang tumbuh hingga ketinggian
tertentu. Dalam definisi yang lebih luas, palem, pakis, pisang, dan bambu juga
termasuk jenis pohon. Dalam kamus KBBI, pohon adalah tumbuhan yang berbatang
keras dan besar. Berbeda halnya dengan kamus Oxford dan Cambridge yang
memaknai pohon sebagai tanaman atau tumbuhan tinggi dengan batang tengah
tebal baik berkayu maupun tidak berkayu. FAO (2020) mendefinisikan pohon
sebagai tanaman tahunan berkayu dengan batang utama tunggal dan memiliki tajuk
yang pasti. Dalam regulasi Indonesia disepakati pohon dalam istilah kehutanan
sebagai tanaman berkayu dengan tinggi total minimal 5 meter. Wilson (2015)
mengartikan pohon sebagai tanaman/tumbuhan berkayu tahunan yang tumbuh
dengan tinggi dan ukuran yang cukup besar, dengan batang utama yang menopang
diri dan biasanya berkembang cabang agak jauh dari tanah.

Definisi pohon sejauh ini mempertimbangkan ukuran dan fisiognomi (Halle et


al. 1978; Wilson 2015). Little 1953 dalam Halle et al. (1978) mengartikan pohon
sebagai tanaman yang memiliki satu batang perennial (tahunan) atau batang
berdiameter setinggi dada setidaknya tiga inci (7,5 cm) yang kurang lebih pasti
terbentuk dedaunan, dan ketinggian setidaknya 1,5 meter. Beberapa sumber lain
menjelaskan ukuran minimum pohon, misalnya ketinggian 3 m (Delijska dan
Manoilov 2004), 4 meter (Helms 1998; Lonsdale 1999), 5 meter (FAO 2020), 6
meter (Mitchel 1974) dan bahkan 10 meter (Allaby 1998) atau diameter 15 – 20 cm
(Helm 1998; BS 8537 2012; Mueller-Dombois dan Elenberg 2016). Dalam beberapa

10
metode dan kajian ilmiah yang digunakan di Indonesia, pohon memiliki kriteria
diameter diatas 20 cm dan tinggi diatas 1,5 meter untuk pohon dataran rendah
hingga tinggi (Indriyanto 2006) dan diameter diatas 10 cm dan tinggi diatas 1,5
meter untuk mangrove (SNI 7717 2011). Pada bentuk tanaman karena keragaman
morfologi kayu tumbuhan maka sulit untuk diklasifikasikan secara dikotomi
(Gschwantner et al. 2015).

Halle et al.(1978) menyatakan pohon adalah tanaman berkayu merupakan


definisi pragmatis oleh kelompok profesional terutama sebagai sumber kayu yang
dapat diperdagangkan sehingga argumentasi ditekankan pada kemampuan
kompetitif tanaman atau anatomi yang berkaitan dengan kekerasan tanaman. Halle
et al. (1978) juga menyimpulkan pohon terdefinisi tumbuhan berkayu adalah
angiosperm-centered. Jika berdasarkan dimensi geologi waktu, definisi tersebut
terlalu sempit dan tidak menganggap tumbuhan bersejarah seperti kelompok palma
yang merupakan monokotiledon yang paling berkayu dan memiliki konstruksi
primer pada batang terhadap kemunculan dahan dan daun sebagaimana pohon
pada umumnya. Oleh karena itu, Menurut Halle et al. (1978) pohon bukan sekedar
berkayu. Jenis palma seperti Kelapa Sawit adalah pohon tahunan yang selalu hijau
dan adaptif (Barcelos et al. 2015). Jenis ini juga dibangun oleh meristem tunggal dan
pertumbuhan berkelanjutan (Halle et al. 1978). Meristem tunggal menjadi wadah
adaptasi berbagai tumbuhan dalam membangun dan mengembangkan kemampuan
kompetitif terhadap kondisi lingkungan. Adaptasi yang berbeda menghasilkan
tingkat kekerasan tanaman yang berbeda. Hal ini yang menjadi dasar pembeda
definisi pohon.

11
III. PERBANDINGAN ASAL-USUL, BIO-EKOLOGI
DAN TEKNIK BUDIDAYA ANTARA KELAPA
SAWIT DENGAN TANAMAN HUTAN

Pada dasarnya semua tanaman yang diusahakan saat ini, dahulunya berasal
dari tumbuhan liar / tumbuhan hutan, kemudian dilakukan domestikasi sesuai
dengan kebutuhan manusia. Proses domestikasi memerlukan waktu yang cukup
panjang, melalui berbagai tahap proses seperti seleksi (baik seleksi alami maupun
seleksi buatan) terhadap karakter morfologi, fisiologi, biokimia, dan proses
pemuliaan tanaman sehingga ditemukan berbagai jenis dan varietas unggul. Proses
seleksi ini dilakukan untuk mengetahui fungsi dan kegunaan tanaman. Berdasarkan
hasil tersebut maka dibedakan tanaman pertanian yang berorientasi kepada
produksi seperti tanaman pangan, tanaman perkebunan, tanaman hortikultura
(tanaman hias, tanaman sayuran dan tanaman buah-buahan), tanaman rempah dan
obat. Sedangkan tanaman hutan lebih berorientasi kepada pelestarian dan
konservasi lingkungan, tanah dan air.

3.1 Sejarah / Asal-usul

3.1.1 Kelapa Sawit


Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) merupakan tumbuhan tropis yang
diperkirakan berasal dari Nigeria (Afrika Barat) karena pertama kali ditemukan di
hutan belantara negara tersebut. Kelapa sawit pertama masuk ke Indonesia pada
tahun 1848, dibawa dari Mauritius dan Amsterdam oleh seorang warga Belanda.
Bibit kelapa sawit yang berasal dari kedua tempat tersebut masing-masing
berjumlah dua batang dan pada tahun itu juga ditanam di Kebun Raya Bogor. Hingga
saat ini, dua dari empat pohon tersebut masih hidup dan diyakini sebagai nenek
moyang kelapa sawit yang ada di Asia Tenggara. Sebagian keturunan kelapa sawit
dari Kebun Raya Bogor tersebut di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli
Serdang (Sumatera Utara) pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan
meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad
ke-19. Kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan
tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenalah jenis sawit "Deli Dura". Pada
tahun 1911 Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera
(Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 Ha.

Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai
bisa menggeser dominasi ekspor Negara Afrika waktu itu. Hingga menjelang
pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit
dunia. Sejak pendudukan Jepang, produksi merosot karena banyak areal kelapa
sawit dimusnahkan. Pada tahun 1957, setelah Belanda dan Jepang meninggalkan

12
Indonesia, pemerintah mengambil alih perkebunan (dengan alasan politik dan
keamanan). Pemerintah RI melakukan program nasionalisasi perkebunan kelapa
sawit. Setelah itu perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat di seluruh
daerah di Indonesia.

3.1.2 Karet
Tanaman karet ( Hevea brasiliensis ) merupakan tanaman tropis dan berasal
dari lembah Amazon di Negara Brazilia dengan curah hujan antara 2000-3000 mm
per tahun dengan hari hujan antara 120-170 hari per tahun. Untuk pertama kalinya
tanaman karet diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1864. Mula-mula karet
ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai koleksi. Dari tanaman koleksi karet
selanjutnya dikembangkan ke beberapa daerah sebagai tanaman perkebunan
komersial. Daerah yang pertama kalinya digunakan sebagai tempat uji coba
penanaman karet adalah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Jenis yang pertama
kali diuji cobakan di kedua daerah tersebut adalah spesies Ficus elastic atau karet
rambung.

Jenis karet Hevea Brasiliensis baru ditanam di Sumatera bagian Timur pada
tahun 1902 dan di Pulau Jawa pada tahun 1906. Karet merupakan komoditi
perkebunan primadona ekspor. Indonesia bersama dua negara produsen karet alam
terbesar dunia yaitu Thailand dan Malaysia, memberikan kontribusi sebesar 75%
terhadap total produksi karet alam dunia. Khususnya Indonesia memberikan
kontribusi sebesar 26% dari total produksi karet alam dunia. Diproyeksikan hingga
tahun 2020 konsumsi karet alam dunia akan terus mengalami peningkatan rata-rata
sebesar 2,6% per tahun.

3.1.3 Acacia mangium


Acacia mangium adalah tanaman kayu anggota dari marga Akasia yang banyak
tumbuh di wilayah Papua Nugini, Papua Barat dan Maluku. Tanaman ini pada
mulanya dikembangkan eksitu di Malaysia Barat dan selanjutnya di Malaysia Timur,
yaitu di Sabah dan Serawak, karena menunjukkan pertumbuhan yang baik maka
Filipina telah mengembangkan pula sebagai tanaman hutan.

Acacia mangium dapat tumbuh baik pada berbagai kondisi lingkungan, baik
pada tanah-tanah dengan nutrisi rendah atau bahkan pada tanah-tanah asam dan
terdegradasi. Dengan sifat tolerannya terhadap tanah yang kritis dan berbatu,
Acacia mangium cocok dijadikan sebagai tanaman pionir. Namun, tanaman ini tidak
toleran terhadap naungan dan salinitas tinggi. Pada kondisi tersebut, Acacia
mangium akan tumbuh kerdil dan kurus. Acacia mangium umumnya tumbuh di
dataran rendah beriklim tropis yang dicirikan dengan periode kering pendek selama
empat bulan dan dapat tumbuh pada lokasi dengan ketinggian hingga 480 m dpl.

13
Akasia memiliki nama lokal di Indonesia antara lain mangga hutan, tongke
hutan (seram), nak (Maluku), laj (Aru), dan jerri (Irian Jaya). Sedangkan nama lokal
di negara lain antara lain black wattle, brown salwood, hickory wattle, mangium,
kayu SAFODA (Malaysia); arr (Papua Nugini); maber (Filipina); zamorano
(Spanyol); dan krathin-tepa, krathin-thepa (Thailand).

3.2 Karakteristik Bio-Ekologi

3.2.1 Persyaratan tumbuh kelapa sawit


Tanaman kelapa sawit membutuhkan kondisi iklim dan tanah tertentu untuk
dapat tumbuh baik dan berproduksi secara optimal. Kondisi iklim yang dikehendaki
kelapa sawit antara lain lama penyinaran matahari rata-rata 5-7 jam/hari, curah
hujan tahunan 1.500-4.000 mm/tahun, temperatur optimal 24-28 °C dan kecepatan
angin 5-6 km/jam untuk membantu proses penyerbukan. Tanaman kelapa sawit
sebagai tanaman tropis akan tumbuh baik pada daerah 23o LU – 23o LS, dengan
ketinggian tempat yang ideal antara 1-500 m dpl (di atas permukaan laut).

Kondisi tanah yang baik untuk kelapa sawit antara lain mengandung banyak
lempung, beraerasi baik dan subur, berdrainase baik, permukaan air tanah cukup
dalam, solum cukup dalam (80 cm), pH tanah 4-6, dan tanah tidak berbatu. Tanaman
kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti tanah Latosol, Ultisol
dan Aluvial, tanah gambut (hemik atau saprik). Kelapa sawit menghendaki tanah
yang berdrainase (beririgasi) baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm)
tanpa lapisan padas. Kemiringan lahan pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak
lebih dari 15o

3.2.2 Persyaratan tumbuh karet


Tanaman karet adalah tanaman daerah tropis yang tumbuh optimal pada
daerah 6° LU - 90 LS. Karet tumbuh optimal pada ketinggian kurang dari 200 m dpl
(diatas permukaan laut) dengan batas toleransi sampai dengan 600 m dpl. Bila
ditanam pada ketinggian lebih dari 600 m dpl, maka pertumbuhannya akan
terhambat. Suhu yang baik bagi tanaman karet kurang lebih 28° C. Curah hujan yang
baik bagi tanaman karet minimal 2000 mm dan optimal pada 2500-4000 mm/tahun
dengan 100-150 hari hujan per tahun. Waktu turunnya hujan berpengaruh pada
produksi tanaman karet, pada daerah-daerah yang hujannya turun pada pagi hari
hasil produksi karet akan kurang optimal. Karet dapat tumbuh di berbagai jenis
tanah, baik pada tanah vulkanis, aluvial maupun pada tanah organik. Derajat
keasaman (pH) tanah untuk pertanaman karet antara 3,0-8,0 akan tetapi optimal
pada pH 5,0-6,0. Bila karet ditanam pada tanah ber pH kurang dari 3,0 atau lebih
dari 8,0 maka pertumbuhannya akan terhambat. Sifat fisik tanah yang dikehendaki
untuk pertanaman karet adalah tanah-tanah yang memiliki kedalaman,
kegemburan, dan kemampuan memegang air yang baik. Areal yang memiliki lapisan
keras (hard pan) tidak dianjurkan untuk ditanami karet. Angin juga merupakan

14
elemen pembatas pada pertanaman karet. Pada daerah-daerah yang dilewati angin
dengan kecepatan tinggi, pemilihan klon-klon yang tahan terpaan angin disarankan
untuk digunakan.

3.2.3 Persyaratan tumbuh Acacia mangium


Persyaratan tumbuh Acacia mangium relatif lebih mudah. Akasia mampu
tumbuh pada lahan bekas tebangan, bekas perladangan liar, tanah yang jelek dan
lahan yang ditumbuhi alang-alang. Akasia memiliki kemampuan adaptasi yang
cukup tinggi. Keistimewaan lain A. mangium yaitu mudah beradaptasi dengan
struktur tanah mana pun, bahkan jenis pohon ini bisa menyuburkan tanah. Secara
umum semai Mangium yang mengalami kekeringan menunjukkan perubahan baik
pada pertumbuhannya maupun pada fisiologis tanamannya. A. mangium termasuk
jenis pohon yang kurang menuntut persyaratan hidup yang rumit, A. mangium akan
memiliki pertumbuhan dan produktivitas yang tinggi bila penanamannya
memerhatikan kondisi seperti tinggi tempat kurang dari 400 m dari permukaan air
laut. Curah hujan: 1.500 –3.000 mm per tahun dengan musim kemarau pendek
(kurang dari 4 bulan). Kemasaman tanah (pH) : 3,5-6,0. Tanah-tanah di Sumatera
dan Kalimantan kebanyakan memiliki tingkat kemasaman pada kisaran ini dapat
ditanam pada berbagai jenis tanah, misalnya podsolik merah kuning dan aluvial.

3.3 Bioekologi tanaman kelapa sawit dan hutan


Kondisi bioekologi tanaman kelapa sawit dibanding tanaman hutan dalam hal
penyerapan air, dan alelopati lebih rendah. Sedangkan keragaman tanaman bawah
relatif sama dengan tanaman jati (tingkat sedang) dan lebih tinggi dibanding pinus.
Indeks diversitas hampir sama antara sawit dan tanaman hutan berkisar antara 1.1
– 1.35. Penyerapan CO2 kelapa sawit lebih tinggi dibanding tanaman hutan. Secara
rinci kondisi bioekologi tanaman kelapa sawit dan tanaman hutan disajikan pada
Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Kondisi bioekologi tanaman kelapa sawit dan tanaman hutan


Kelapa
No Karakter Sengon Jati Mahoni Pinus
sawit
1 Penyerapan air 1.104 1.355 1.300 1.500 1.975
mm/tahun
2 Alelopati 0,21 0,14 0,31 0,56 0,87
3 Keragaan sedang Cukup rapat sedang rendah Sangat
tanaman bawah rendah
4 Indeks Diversitas 1,20 1,35 1,10 1,15 -
5 Penyerapan CO2 36 18 21 25 20
Ton/ha**
Sumber : Pasaribu (2012), Mulyana (2000), Utomo (1998), Pujiharta (1955), Siregar (2010) (diolah
/ proyeksi) *) setelah 5 tahun **) hutan alam 25 ton/ha

Kebutuhan air tanaman kelapa sawit berdasarkan nilai evaporasinya sebesar


1.104 mm/tahun lebih rendah dibanding tanaman lamtoro (3.000 mm/tahun),
akasia (2.400 mm/tahun), sengon (2.300 mm/tahun) dan bambu (3.000

15
mm/tahun). Kebutuhan air evaporasi kelapa sawit lebih mendekati kebutuhan air
tanaman karet, pinus dan jati masing-masing sebesar 1.300 mm/tahun (Coster
1938). Perbandingan kebutuhan air kelapa sawit dan tanaman hutan disajikan pada
Gambar 1.

Gambar 1 Perbandingan kebutuhan air kelapa sawit dan tanaman hutan (Coster
1938)

Gerbens-Leenes et al. (2009) menyatakan dalam penelitiannya bahwa


kebutuhan air rata-rata kelapa sawit lebih rendah dibanding ubi kayu, kelapa,
jagung, kedelai dan rapeseed (Tabel 2).

Tabel 2 Kebutuhan air untuk menghasilkan satu giga joule bioenergi berbagai
tanaman
Rataan Kebutuhan Air
Jenis Tanaman
(m3/ Giga Joule Energi yang Dihasilkan)
Ubi kayu 118
Kelapa 126
Jagung 105
Kelapa sawit 75
Kedelai 100
Tebu 28
Bunga matahari 87
Rapeseed 184
Sumber : Gerbens-Leenes et al. (2009)

Lebih lanjut Pasaribu et al. (2012) membuktikan bahwa kebutuhan curah


hujan kelapa sawit lebih rendah dibanding tanaman hutan seperti pinus, mahoni
dan Acacia mangium. Hal ini ditunjukkan nilai evapotranspirasi dari komoditas
tersebut (Gambar 2).

16
Gambar 2 Persentase volume curah hujan tahunan yang digunakan kelapa sawit
dan tanaman hutan

3.4 Perbedaan Budidaya Tanaman Kelapa Sawit, Karet Dan


Tanaman Hutan

3.4.1 Budidaya Tanaman Kelapa Sawit


Dalam upaya pencapaian produksi yang tinggi, tanaman kelapa sawit perlu
dilakukan pengelolaan budidaya secara terencana, dan intensif mulai tahap
pembukaan lahan, persiapan lahan, penanaman kacangan penutup tanah,
pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan dan pengangkutan
hasil.

Benih kelapa sawit dianjurkan dari jenis Tenera (persilangan Dura x Psifera)
dengan seleksi cukup ketat di pembibitan. Penanaman menggunakan jarak tanam
segitiga sama sisi 9m x 9m x 9m sehingga memiliki populasi 136 – 143 pokok/ha.
Pemeliharaan tanaman intensif dilakukan mulai tanaman belum menghasilkan
(TBM) dan tanaman menghasilkan (TM) sampai akhir siklus tanaman. Kegiatan
pemeliharaan yang dilakukan terdiri atas penyulaman, konsolidasi tanaman,
pemeliharaan jalan pikul, pengendalian gulma, pemupukan dan pengendalian hama
penyakit merupakan hal yang sangat penting. Pengendalian gulma di piringan harus
bersih, dan gawangan dibebaskan dari gulma berkayu dengan cara dongkel anak
kayu. Jika tidak didongkel anakan kayu akan tumbuh membesar dan menjadikan
gawangan seperti hutan. Tanaman kelapa sawit sangat responsif terhadap
pemupukan, sehingga pemupukan menjadi sangat penting untuk peningkatan
produksi tanaman. Jika kondisi kekeringan dan kekurangan hara (pupuk) maka
produksi akan menurun secara drastis. Pemupukan kelapa sawit dilakukan 2 – 3 kali
setahun dengan pupuk makro (N, P, K, Mg) maupun pupuk mikro (B, Fe, Cu).
Pemanenan TBS kelapa sawit dilakukan secara seksama pada TBS yang telah
matang setiap 2 kali sebulan selama masa tanaman menghasilkan. Brondolan (biji
sawit) yang jatuh saat panen harus dikutip sehingga tidak ada yang tertinggal di

17
lapangan. Jika tidak dikutip brondolan ini akan menjadi anakan sawit dan tumbuh
tidak teratur. Pemeliharaan tanaman dilakukan secara rutin selama siklus tanam
(25-30 tahun).

3.4.2 Budidaya Tanaman Karet


Pengelolaan tanaman karet untuk mendapatkan produktivitas tinggi
dilakukan secara intensif, mulai dari pemilihan bibit (dengan klon unggul dan secara
okulasi), pengaturan jarak tanam sehingga populasi tanaman antara 400 – 500
pohon/ha dan pemeliharaan tanaman. Pemeliharaan tanaman terdiri atas
pemeliharaan TBM (tanaman belum menghasilkan) dan TM (tanaman
menghasilkan). Pemeliharaan TBM meliputi pembuangan tunas palsu, pembuangan
tunas cabang, untuk penyiapan bidang sadap, perangsangan percabangan,
pengendalian guma, pemupukan dengan pupuk makro (N, P, K, Mg), dan
pengendalian hama penyakit. Pemeliharaan TM meliputi pengendalian gulma,
sanitasi dan pemupukan, yang dilakukan secara rutin sampai akhir siklus tanam
(25-30 tahun). Dalam pengendalian gulma dilakukan dengan penyemprotan atau
pembabatan gulma rumput, gulma berkayu (dongkel anak kayu) dan pengutipan biji
yang tumbuh. Penyadapan dilakukan dengan keterampilan khusus sehingga tidak
merusak batang karet.

3.4.3 Budidaya Acacia mangium


Tanaman hutan secara umum pemeliharaan intensif hanya dilakukan sampai
umur 2 tahun sejak tanam, selanjutnya relatif tidak intensif sampai pemanenan.
Sebagai contoh Acacia mangium yang ditanam menggunakan bibit (dari biji) dengan
jarak rapat (2m x 2 m - 3m x 3m), jarak sedang (4 m x 4 m) atau jarak lebar 5m x 5m
– 6m x 6m. Kegiatan budidaya yang dilakukan meliputi penataan lapangan,
pembersihan lapangan, pengolahan tanah, pembibitan, penanaman, pemeliharaan
dan panen. Pemeliharaan tanaman sampai tanaman umur 2 tahun setelah tanah
meliputi penyiangan, penyulaman, pendangiran, pengendalian hama penyakit dan
pemupukan. Kegiatan pemeliharaan dilakukan tiga bulan sekali selama 2 tahun
setelah penanaman di lapangan.

Secara umum perbedaan budidaya tanaman kelapa sawit, karet dan Acacia
mangium dapat diresumekan dalam Tabel 3 sebagai berikut :

Tabel 3 Perbedaan budidaya kelapa sawit, karet, dan HTI


Kelapa sawit Karet HTI
Komponen
(Elaeis guineensis) (Hevea brasiliensis) Acacia mangium
Bahan tanam Benih/kecambah Benih Benih
Sistem Pre nursery Bibit batang bawah Persemaian
pembibitan Main nursery Bibit batang atas Pembibitan
(entres)
okulasi
Pembukaan Perintisan Perintisan Perintisan
lahan Penumbangan Penumbangan Penumbangan
perumpukan perumpukan perumpukan

18
Lanjutan..
Kelapa sawit Karet HTI
Komponen
(Elaeis guineensis) (Hevea brasiliensis) Acacia mangium
Ukuran lubang 60 cm x 60 cm x 60 cm 60 cm x 40 cm x 40 cm 40 cm x 40 cm x 40 cm
tanam
Jarak tanam 9mx9mx9m 3mx7m 3m x 3m ; 3m x 4m
Populasi / ha 136 – 143 pokok 400 – 500 pokok 800 – 1.100 pokok
Umur 1 siklus 25 – 30 tahun 20 – 30 tahun 8 – 10 tahun
Masa TBM 3 tahun 5 tahun 5 tahun
Masa TM Umur 4 – 30 tahun Umur 6 – 30 tahun Umur 6 tahun
Pemeliharaan intensif intensif Intensif 2 tahun
pertama selanjutnya
tidak intensif
Bagian yang Tandan Buah (TBS) Kulit batang batang
dipanen
Cara panen Potong Sadap Tebang

Masa panen 2 x sebulan 2 – 3 hari sekali 1 kali siklus

Bentuk hasil CPO Karet kering kayu

Produktivitas 3,2 – 4 ton CPO/ha/tahun 1,2 – 2,0 ton 200 m3/ha


rata2 (ton /ha) KK/ha/tahun

19
IV. PERBANDINGAN KESESUAIAN LAHAN,
LANDSCAPE HIDROLOGI DAN NERACA AIR
ANTARA KELAPA SAWIT DENGAN
TANAMAN HUTAN
Tanaman kelapa sawit, karet, dan akasia merupakan tiga tanaman perkebunan
dan kehutanan yang diusahakan di Indonesia. Namun, meskipun sawit disebut
sebagai tanaman perkebunan dan kedua tanaman lainnya sebagai tanaman
kehutanan, ketiga tanaman tersebut memiliki kriteria kelas kesesuaian lahan yang
sama. Dibalik kesamaan kriteria kesesuaian lahan tersebut, isu negatif selalu
ditujukan ke tanaman sawit diantaranya adalah isu air rakus air, sehingga tanaman
sawit dapat menyerap air hingga mengeringkan danau atau sumur. Oleh karena itu
perlu dilakukan pembahasan secara ilmiah untuk membuktikan benar atau
tidaknya isu tersebut. Selain itu, membandingkan antara tanaman sawit dan
tanaman hutan (yang dalam tulisan ini adalah karet dan akasia) juga perlu dilakukan
mengingat isu negatif selalu hanya menyerang sawit padahal kelas kesesuaian lahan
ketiga tanaman tersebut seperti yang disebutkan sebelumnya adalah sama.

Kesesuaian lahan merupakan salah satu faktor penting yang menjadi


pertimbangan dalam usaha pertanian. Masing-masing kriteria kesesuaian lahan
menunjukkan apakah lahan tersebut memenuhi kriteria baik, sedang, kurang baik,
dan buruk untuk ditanami tanaman tertentu. Diantara berbagai kriteria dalam
kesesuaian lahan, terdapat beberapa kriteria yang dianggap sebagai faktor
pembatas dalam kegiatan pertanian. Kriteria tersebut dianggap sebagai faktor
pembatas karena merupakan faktor alam yang sulit untuk diubah oleh manusia
maupun teknologi. Faktor pembatas tersebut adalah Curah Hujan (CH) dan Lereng
dan akan dibahas pada tulisan ini.

Isu pertama adalah isu tanaman kelapa sawit boros air dan dapat
mengeringkan danau. Pada tabel kesesuaian lahan, CH yang dibutuhkan untuk
tanaman karet, akasia dan kelapa sawit adalah sama yaitu minimal 1800 mm/tahun.
Selain memiliki kebutuhan CH yang sama, ketiga tanaman tersebut juga terbukti
memiliki nilai evapotranspirasi yang sama yaitu antara 3-4 mm per hari
berdasarkan hasil beberapa penelitian. Selain itu, kemampuan tanaman menyerap
air tidak pernah bisa melebihi kedalaman solum di daerah perakaran. Sejauh apa
akar menjangkau, maka sebatas itulah kemampuan akar menyerap air. Selain faktor
perakaran, kadar air pada tanah juga mempengaruhi ketersediaan air untuk
tanaman. Pada keadaan kadar air titik layu permanen, tanaman tidak dapat
menyerap air dari tanah sehingga harus meresponsnya dengan mengurangi
evapotranspirasi pada tanaman itu sendiri. Respons tanaman untuk mengurangi

20
evapotranspirasi dilakukan dengan tidak mengeluarkan bunga betina (yang
berakibat menghambat pembuahan) dan juga tampak pada daun tanaman yang
layu. Seperti tanaman pada umumnya, tanaman kelapa sawit akan merespons
kekurangan air dengan menjadi tidak produktif, oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa isu boros air pada tanaman sawit jauh dari kaidah ilmiah.

Tabel 4 Karakteristik lahan setiap jenis tanaman


Karakteristik Lahan Jenis Tanaman
Curah Hujan (mm) Sawit Karet A. mangium
Tanpa 1800-3000 2500-3000 2500-3000
Ringan 1500-1800 2000-2500 >3000-4000
Sedang 1500-1250 1500-2000 Td
Berat <1250 <1500 -

Selain memiliki kriteria kesesuaian lahan dengan kebutuhan CH yang sama,


tanaman karet, kelapa sawit, dan akasia juga sesuai ditanam di daerah dengan
lereng kurang dari 8%. Syarat lereng ketiga tanaman tersebut namun perlu diingat
bentukan lahan dan panjang lereng mempengaruhi kegiatan pertanian yang terjadi.
Mekanisme pemanenan pada ketiga tanaman tersebut jelas berbeda, pemanenan
getah pohon karet seberat 1 ember setiap harinya, pemanenan TBS dari kebun
kelapa sawit seberat 20 kg, dan pemanenan akasia yang dilakukan setiap 5 tahun
sekali jelas membutuhkan bentukan lahan yang berbeda. Panjang lereng perlu
diperhitungkan pada penanaman kelapa sawit mengingat proses panen dan
kedalaman solum tanah yang harus digali ketika harus dibuat teras di perkebunan.
Tanaman kelapa sawit tidak baik ditanam pada lahan dengan lereng yang panjang
sedangkan keadaan kedua tanaman lainnya masih dapat mentolerir keadaan
tersebut.

Tabel 5 Karakteristik kelerengan lahan setiap jenis tanaman


Lereng (%) Sawit Karet A. mangium
Tanpa <8 <8 <8
Ringan 8-15 8-16 8-15
Sedang 15-30 16-30 >15-30
Berat >30 >30 >30-50

4.1 Neraca air


Neraca air digunakan untuk mempelajari kesetimbangan antara air yang
masuk dan air yang keluar dari suatu sistem. Pada tulisan ini, sistem yang dimaksud
adalah tanaman kelapa sawit. Air yang “masuk’ atau diambil oleh tanaman kelapa
sawit adalah air yang berasal dari hujan dan air yang “keluar” ditunjukkan oleh nilai
evapotranspirasi tanaman. Menurut Anwar et al. (2020) rata-rata evapotranspirasi
harian sawit yang berada di Riau adalah 3,66 mm per hari dan menurut Safitri et al.
(2019) adalah 3.5-3.7 mm per hari. Dengan nilai evapotranspirasi sekitar 4

21
mm/hari, maka dapat dihitung bahwa total nilai evapotranspirasi per tahunnya
adalah sekitar 1500 mm/tahun sehingga nilai CH sekitar 1800 mm/tahun dianggap
cukup untuk usaha perkebunan kelapa sawit. Selain itu, Wijaya (2008) juga
menyimpulkan bahwa nilai evapotranspirasi untuk tanaman karet rata-rata adalah
3-5 mm per hari.

Berdasarkan beberapa pembahasan di atas dan tabel kesesuaian lahan untuk


tanaman kelapa sawit, karet, dan akasia, maka dapat disimpulkan bahwa ketiga
tanaman tersebut memiliki kriteria kesesuaian lahan dan neraca air yang sama.

22
V. PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN
JENIS SATWA LIAR ANTARA KELAPA
SAWIT DENGAN TANAMAN HUTAN
Keberadaan satwa liar sebagai bagian dari keanekaragaman hayati dianggap
dinamis dan cukup sensitif. Satwa liar berperilaku mengikuti sumber daya yang
dibutuhkannya (habitat yang sesuai) melalui pergerakan dan adaptasi. Apabila daya
dukung habitat tidak sesuai dengan kapasitasnya, maka satwa liar perlahan akan
berpindah dan bahkan mengalami penurunan populasi. Sejauh ini, deforestasi
dianggap sebagai penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati dan menjadi
perhatian global yang signifikan karena diperkirakan lebih lebih dari setengah
spesies tumbuhan dan hewan terestrial yang diketahui hidup di hutan (MEA 2005;
Vijay et al. 2016). Bahkan dalam kasus Kelapa Sawit di Indonesia, Meijaard et al.
(2018) menyatakan 50% dari semua deforestasi di pulau Borneo antara 2005 dan
2015 didorong oleh kelapa sawit dan mengakibatkan gangguan keragaman hayati
terutama satwa liar. Saaviklaso et al. (2014) menambahkan bahwa perkebunan
kelapa sawit telah mengurangi kekayaan spesies dibandingkan dengan perkebunan
primer dan hutan sekunder, dan komposisi kumpulan spesies berubah secara
signifikan setelah konversi hutan menjadi kelapa sawit.

Namun dalam studi kasus Santosa et al. (2020), Kondisi perubahan luas
tutupan lahan tahun 1950 – 2017 dan status TGHK dan RTRWP, perkebunan sawit
Indonesia dinyatakan bukan merupakan penyebab langsung deforestasi hutan
primer. Menurut Stephen dan Wagner (2007), 50% dari studi yang membandingkan
hutan tanaman untuk penggunaan lahan alternatif menunjukkan dampak positif
atau tidak berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati. Selain itu, banyak
penelitian di berbagai negara telah menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit
dan hutan tanaman dapat menyediakan habitat bagi berbagai macam tumbuhan,
hewan, dan jamur hutan asli (Brockerhoff et al. 2008). Nilai keanekaragaman hayati
sangat bervariasi tergantung pada rona alam dan keberadaan spesies pohon asli
atau eksotik ditanam sebelum dan sesudah adanya hutan tanaman dan perkebunan
(Bremer dan Valey 2010; Santosa et al. 2018). Bahkan perkebunan kelapa sawit
dapat berkontribusi besar terhadap keanekaragaman hayati ketika dikembangkan
di lahan terdegradasi (Bremer dan Valey 2010; Petrenko et al. 2016; Santosa et al.
2018).

Menurut Santosa et al. (2020), pembangunan dan pengembangan kelapa sawit


sebagian besar dilakukan pada area terdegradasi seperti hutan sekunder muda yang
sangat terganggu, semak belukar dan area terbuka dan terganggu lainnya. Beberapa
rujukan menjelaskan bahwa kawasan perkebunan dan HTI berada pada status
kawasan APL dan hutan produksi (HPT atau HPK) yang notabene merupakan hutan

23
sekunder ataupun lahan terdegradasi yang dioptimalkan dalam penggunaan
ruangnya. Menurut hasil studi literatur yang dilakukan oleh Stephens dan Wagner
(2007) menunjukkan bahwa area hutan tanaman memiliki keragaman lebih tinggi
dibandingkan dengan area terdegradasi khususnya lahan pertanian namun lebih
rendah dari hutan alami (Gambar 3). Status Kawasan hutan alami cenderung berada
pada kawasan konservasi sedangkan APL dan Produksi sebagian besar memiliki
hutan sekunder tua hingga muda dan bahkan semak belukar.

Gambar 3 Perbandingan hutan tanaman dengan lahan terdegradasi (kiri) dan


hutan tanaman dengan hutan alam (kanan) berdasarkan jumlah studi yang
mengkajinya (Stephens dan Wagner 2007)

Dalam implementasi konservasi hayati, hampir seluruh perkebunan kelapa


sawit dan hutan tanaman industri legal mematuhi regulasi dan kebijakan
pemerintah secara regional maupun nasional termasuk didalamnya kebijakan
berbagai lembaga nasional maupun internasional seperti kebijakan FSC dan RSPO
dalam penerapan HCV dan HCS, koridor hidupan liar dan kawasan ekosistem
esensial. Kebijakan tersebut diimplementasikan secara tegas dan ketat. Hal ini yang
dianggap sebagai jaminan dalam upaya-upaya perlindungan keanekaragaman
hayati khususnya satwa liar. Oleh karena itu, dipandang penting untuk
menyampaikan data dan informasi lebih lanjut mengenai keberadaan
keanekaragaman hayati terutama dalam perkebunan kelapa sawit dan hutan
tanaman industri. Meijard et al. (2018) menyatakan bahwa belum ada informasi
secara detail mengenai keragaman hayati pada perkebunan kelapa sawit dan Hutan
Tanaman Industri (HTI). Dalam hal ini keragaman hayati difokuskan pada tingkat
spesies pada kriteria mamalia, burung dan herpetofauna berdasarkan hasil
identifikasi lapang dan kajian literatur review.

5.1 Keanekaragaman Jenis Mamalia


Taksa mamalia adalah kelompok satwa yang memiliki ciri utama menyusui
dan melahirkan anaknya. Pada area kelapa sawit mamalia ditemukan pada
perkebunan inti baik sawit muda, sedang hingga tua, area NKT, dan area lainnya
dalam kriteria tutupan berhutan, semak belukar dan area sempadan sungai. Pada

24
area Hutan Tanaman Industri (HTI), keberadaan mamalia dapat dijumpai pada
kawasan pertanaman inti, NKT, Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah (KPPN),
kawasan perlindungan setempat dan kawasan perlindungan lainnya.

Keanekaragaman mamalia di Perkebunan Kelapa Sawit dan Hutan Tanaman


Industri bervariasi (Tabel 6). Berdasarkan beberapa sampel perusahaan
perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI), keragaman mamalia
pada area perkebunan kelapa sawit mencapai 33 spesies, sedangkan pada hutan
tanaman industri mencapai 44 spesies. Meski HTI memiliki jumlah yang lebih
banyak, namun beberapa kasus lainnya cenderung bervariasi. Jenis-jenis mamalia
yang ditemukan terdiri atas mamalia besar dan mamalia kecil. Menurut Suyanto
(1999), mamalia besar memiliki berat > 5 kg sedangkan mamalia kecil < 5 kg.
Kelompok primata arboreal dan kucing-kucingan banyak dijumpai di area kelapa
sawit dan HTI. Pada beberapa area dengan tutupan berhutan dengan suksesi yang
baik di Sumatera maupun Kalimantan cukup intensif dijumpai jenis beruang madu,
kelompok cervidae dan bahkan orang utan. Pada spesies Gajah Sumatera dan
Harimau Sumatera hanya ditemukan pada beberapa wilayah tertentu seperti salah
satunya HTI PT RAPP Estate Langgam. Jenis anjing dan babi menjadi mamalia yang
potensial meningkat kelimpahannya. Pada mamalia kecil seperti tupai, bajing,
pelanduk dan musang lebih mudah dan sering dijumpai hampir pada seluruh area
sampel yang diambil baik area kelapa sawit maupun HTI. Sebagian besar mamalia
lebih banyak dijumpai pada area yang berhutan dengan berbagai kerapatan namun
dengan sedikit intervensi manusia. Masyithoh (2017) menyatakan bahwa tutupan
tajuk yang terbuka menyebabkan terlalu banyak cahaya yang masuk sehingga
mamalia cenderung tidak menyukainya sedangkan tutupan tajuk yang rapat
menyediakan tempat berlindung yang cocok untuk mamalia. Penelitian Santosa et
al. (2018) di perkebunan sawit Kalimantan Barat dan Sulawesi Barat juga
menemukan bahwa tutupan tajuk dan sumber air merupakan salah satu faktor
keberadaan mamalia. Pada Area KPPN dan KPS dalam kawasan HTI juga menjadi
habitat yang disukai mamalia karena keberadaannya cenderung berada di dekat
sumber air dengan stratifikasi tajuk yang relatif tinggi.

Tabel 6. Keragaman spesies mamalia di berbagai perusahaan perkebunan kelapa


sawit dan hutan tanaman industri
Perusahaan
Perusahaan
∑ Hutan ∑
No Perkebunan Sumber No Sumber
jenis Tanaman jenis
Sawit
Industri
1 PTN, Riau 10 Santosa et al. 1 PT SHJ II, 12 RP HCV PT SHJ II
2016 Kukar 2020
2 PT.KPR, Riau 6 Santosa et al. 2 PT RAPP Ring 13 TBI Indonesia
2016 Semenanjung 2019
3 PT.PMI, Riau 1 Santosa et al. Kampar
2016
4 PT.SAR, Riau 6 Santosa et al.
2016
5 PT.AMA, Riau 6 Santosa et al. 3 PT RAPP 44 LPPM-IPB 2015
2016 Estate

25
Lanjutan…
Perusahaan
Perusahaan
∑ Hutan ∑
No Perkebunan Sumber No Sumber
jenis Tanaman jenis
Sawit
Industri
Langgam,
Riau
6 PT MUP, Riau 6 Santosa et al. 4 PT SHP, 23 RP HCV PT SHP
2016 Sumsel 2013

7 PT.GDH, Riau 4 Santosa et al. 5 PT BDL, Riau 16 RP PT BDL 2021


2016
8 PT.IMT, Riau 5 Santosa et al. 6 PT MSK Riau 16 RP PT MSK 2013
2016
9 PT SKTN, Riau 9 Kartono 2015 PT BRM, 26 RP HCS-HCV PT
Sumsel BRM 2019
10 PT RSA, Riau 16 Arief et al. 2015 7 PT KWL 15 RP PT KWL 2021
Kutai Barat
11 PT IISP, Riau 18 Harahap 2008 8 PT Tripupa 12 AR HCV PT
Jaya, Sumsel Tripupa Jaya
2013
12 PT SMART, 9 PT AAU, 15 AR HCV PT AAU
Sumatera dan Kaltim 2014
Kalimantan
a. Kebun Padang 4 Santosa et al. 2018 10 PT Finantara 12 AR HCV PT FI
Halaban Intiga, Kalbar 2014
b. Kebun Langga 6 Santosa et al. 11 PT BDB, Riau 12 AR HCV PT BDB
Payung 2018 2014
c. Kebun Kijang 3 Santosa et al. 12 PT SPA, Riau 12 AR PT SPA 2014
Plasma 2018
d. Kebun Bumi 6 Santosa et al.
Palma 2018
e. Kebun Pekawai 7 Santosa et al.
2018
f. Kebun Nanga 8 Santosa et al.
Tayap 2018
13 PT PSM, Ketapang 11 Santosa et al.
2016
14 PT KAP, Kalteng 33 Aksenta 2011

Perbedaan kekayaan spesies pada tiap area dapat disebabkan perbedaan


proporsi tutupan berhutan, kondisi hutan, karakteristik sumber daya, luas habitat
dan ancaman atau gangguan terhadap kelangsungan hidup mamalia. Menurut
Meijaard et al. (2018), lebih dari 50% spesies mamalia terpengaruh terhadap
ancaman pertanian dan penebangan (HTI atau HA). Sejauh ini, mamalia besar
dianggap lebih rentan terhadap gangguan hutan alami. Menurut FAO (2014),
orangutan sumatera telah kehilangan 90 persen habitatnya dalam 20 tahun terakhir
sebagian besar karena perkebunan kelapa sawit. Dalam kasus ini, perlu diketahui
rona awal dan kondisi eksisting keberadaan spesies bernilai konservasi tinggi.
Asumsi terhadap habitat potensial dan bentang lahan yang luas perlu didalami
dalam skema perubahan rona atau tutupan lahan sebelum dan sesudah adanya
kegiatan perekonomian (HTI dan Sawit) dan bila perlu secara time series
keberadaan mamalia penting terevaluasi. Menurut Santosa et al. (2018), spesies
tidak terdistribusi secara seragam dalam ruang, sehingga memungkinkan
penurunan populasi yang ter estimasi merupakan sebuah fungsi dari lokasi spasial
hilangnya habitat. Pada studi kasus di 8 perkebunan sawit besar dan kebun sawit

26
swadaya di Riau menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan menjadi kebun
sawit telah menurunkan keanekaragaman jenis mamalia (Santosa et al. 2016).
Dalam kasus lainnya di 6 perkebunan kelapa Sawit di Sumatera dan Kalimantan
menunjukkan bahwa adanya perkebunan kelapa sawit memberikan sebagian besar
peningkatan kelimpahan mamalia berdasarkan perubahan tutupan lahan dari
semak belukar, kebun karet, palawija, kelapa dan bahkan hutan sekunder muda
(Santosa et al. 2018). Meskipun demikian, kasus kehilangan mamalia pada kegiatan
penatagunaan lahan masih terjadi pada area tertentu.

600%
550%
500%
450%
400%
350%
300%
250%
200%
150%
100%
50%
0%
-50%
-100%

Gambar 4 Peningkatan dan kehilangan mamalia berdasarkan perubahan tutupan


lahan (sumber: Santosa et al. 2018)

5.2 Keanekaragaman Jenis Burung


Burung merupakan salah satu keanekaragaman hayati yang banyak dijumpai
di berbagai karakteristik tutupan lahan tidak terkecuali di kelapa sawit (Yudea dan
Santosa 2019) dan hutan tanaman (Castano-Villa 2019). Keberadaan spesiesnya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan; klimatologi dan topografi, struktur vegetasi,
dan gangguan manusia. Pada umumnya burung merupakan jenis yang dapat
beradaptasi dengan ekosistem buatan seperti hutan tanaman dan perkebunan.
Meskipun demikian Menurut Castano-Villa et al. (2019), Hutan tanaman
memberikan pengaruh terhadap keanekaragaman burung meski nilainya
bervariatif dan hutan tanaman polikultur dengan jenis tanaman asli yang memiliki
keragaman dan kelimpahan burung paling baik.

Sebagian besar burung yang ditemukan adalah burung arboreal yang tidak
menggunakan lantai hutan untuk beraktivitas. Terdapat beberapa burung air yang
ditemukan pada konsesi hutan di tepi perairan atau sekitarnya. Kelompok burung
bucherotidae menjadi perhatian khusus dalam perkebunan sawit maupun HTI.

27
Kelompok burung tersebut lebih adaptif dalam menggunakan ruang selayaknya
kelompok accipitridae. Berbeda halnya pada burung berukuran kecil dan pemalu
yang selalu menjadi keberadaannya dengan manusia dan gangguan lainnya.

Apabila perkebunan dan HTI diperbandingkan, kekayaan spesies burung


cenderung bervariatif. Pada perkebunan kelapa sawit relatif berada pada rentang
24 – 78 spesies sedangkan HTI berkisar antara 13 – 155 spesies. Keragaman burung
di HTI relatif lebih banyak dibandingkan dengan perkebunan sawit. Hal ini sejalan
dengan pendapat Stephen dan Wagner (2007) namun tidak sejalan dengan Santosa
et al. 2016). Selang kekayaan yang lebih besar pada HTI mengindikasikan
karakteristik HTI yang berbeda bervariasi. Karakteristik tutupan lahan tentunya
menjadi gambaran umum keberadaan burung. Villard et al. (1999) menjelaskan
bahwa burung sering lebih suka menggunakan banyak habitat dan bergantung pada
kualitas dan produktivitas habitat (yaitu ketersediaan makanan, penutup, dan situs
bersarang) untuk mempertahankan populasi yang layak. Keberadaan ekosistem
baru baik sawit maupun HTI memberikan pilihan bagi burung dalam menggunakan
ruangnya. Menurut Arief et al. (2015) penggunaan ruang burung di HTI sebagian
besar pada pepohonan dengan kanopi tinggi untuk bertengger dan mencari makan.
Berbeda halnya pada area pertanaman monokultur lebih banyak digunakan untuk
terbang dan menjaga teritori. Menurut Mardiastuti (2015), area dengan dua tipe
ekosistem atau lebih memberikan pilihan habitat yang lain dan bahkan membentuk
ekosistem baru pada tiap area peralihan ekosistem. Menurut Tamnge (2016), efek
tepi diyakini memberikan dampak positif terhadap komunitas burung. Habitat
ekoton umumnya banyak dijumpai pada sawit maupun HTI mulai dari peralihan
pertanaman inti ke area tutupan berhutan, sempadan sungai, pemukiman dan area
lainnya. Menurut Villard et al. (1999), pada karakteristik HTI maupun perkebunan
sawit umumnya lebih banyak dijumpai spesies generalis yang adaptif dan menyukai
area terbuka dan tertutup.

Dinamika kelimpahan spesies mengikuti keberadaan habitatnya secara spasial


maupun vertikal. Daniels et al. (1990) melaporkan bahwa di India terjadi
peningkatan keragaman jenis yang dimodifikasi manusia. Keanekaragaman burung
di tanaman jati dan eukaliptus bahkan lebih tinggi dari hutan alam yang selalu hijau
dan semi hijau. Pada Hutan Tanaman Industri Sabah, menunjukkan bahwa
pertanaman akasia berusia 2 tahun memiliki keragaman burung yang tinggi
dibandingkan dengan usai 8 tahun (Sompud et al. 2016). Menurut HTI akasia di
Sumatera selatan dianggap memiliki habitat yang mendukung untuk berbagai
keragaman jenis burung (Iqbal et al. 2016) Menurut Stephens dan Wagner (2007)
kondisi tutupan berhutan mempengaruhi keragaman burung dan area hutan
tanaman menjadi yang paling tinggi dibandingkan dengan area terdegradasi
termasuk lahan pertanian.

28
Tabel 7 Keragaman spesies burung di berbagai perusahaan perkebunan kelapa
sawit dan hutan tanaman industri
Perusahaan
Perusahaan
∑ Hutan ∑
No Perkebunan Sumber No Sumber
jenis Tanaman jenis
Sawit
Industri
1 Santosa et al. PT SHJ II, RP HCV PT SHJ II
PTN, Riau 33 1 40
2016 Kukar 2020
2 Santosa et al.
PT.KPR, Riau 29
2016 PT RAPP
3 Santosa et al. Ring TBI Indonesia
PT.PMI, Riau 34 2 52
2016 Semenanjung 2019
4 Santosa et al. Kampar
PT.SAR, Riau 29
2016
5 PT RAPP
Santosa et al. Estate
PT.AMA, Riau 31 3 155 LPPM-IPB 2015
2016 Langgam,
Riau
6 RP HCV PT SHP
Santosa et al. PT SHP,
PT MUP, Riau 34 4 78 2013
2016 Sumsel

7 Santosa et al.
PT.GDH, Riau 29 5 PT BDL, Riau 38 RP PT BDL 2021
2016
8 Santosa et al.
PT.IMT, Riau 31 6 PT MSK Riau 38 RP PT MSK 2013
2016
9 PT KWL
PT RSA, Riau 52 Arief et al. 2015 7 13 RP PT KWL 2021
Kutai Barat
10 PT SMART, AR HCV PT
PT Tripupa
Sumatera dan 8 30 Tripupa Jaya
Jaya, Sumsel
Kalimantan 2013
a. Kebun Padang Santosa et al. PT AAU, AR HCV PT AAU
33 9 13
Halaban 2018 Kaltim 2014
b. Kebun Langga Santosa et al. PT Finantara AR HCV PT FI
24 10 32
Payung 2018 Intiga, Kalbar 2014
c. Kebun Kijang AR HCV PT BDB
42 Santosa et al. 2018 11 PT BDB, Riau 42
Plasma 2014
d. Kebun Bumi Santosa et al.
36 12 PT SPA, Riau 22 AR PT SPA 2014
Palma 2018
Santosa et al.
e. Kebun Pekawai 50 13 HT Gn. Walat 40 Kaban et al. 2017
2018
f. Kebun Nanga Santosa et al. HT akasia,
34 14 29 Iqbal et al. 2016
Tayap 2018 Sumsel
11 Santosa et al.
PT PSM, Ketapang 38
2016
12 PT KAP, Kalteng 78 Aksenta 2011

Di beberapa Perkebunan sawit Indonesia telah dihitung tingkat kehilangan


dan peningkatan spesies burung akibat perubahan tutupan lahan (Santosa et al.
2018). Perubahan dari semak belukar menjadi perkebunan memiliki tingkat
kehilangan yang tinggi dibandingkan dari hutan sekunder maupun jenis
perkebunan lainnya. Menurut Mackinnon et al. (2010) tidak sedikit burung

29
menyukai area belukar untuk mencari makan, bertengger dan terbang. Meski
demikian, hasil identifikasi menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan dari
perkebunan karet menjadi sawit memberikan peningkatan persentase spesies
burung yang paling banyak dibandingkan lainnya. Santosa et al. (2016)
menambahkan bahwa perubahan tutupan lahan menjadi kebun sawit di Riau
memberikan dampak peningkatan jumlah burung di alam.

400%
350%
300%
250%
200%
150%
100%
50%
0%
-50%
-100%

Gambar 5. Peningkatan dan kehilangan burung berdasarkan perubahan tutupan


lahan (sumber: Santosa et al. 2018)

5.3 Keanekaragaman Jenis Amfibi dan Reptil


Herpetofauna adalah binatang melata yang di dalamnya berupa jenis reptil
dan amfibi. Herpetofauna dapat menjadi indikator lingkungan dalam merespon
perubahan tutupan lahan dan iklim. Berdasarkan Tabel 8, Keragaman herpetofauna
di perusahaan perkebunan sawit relatif lebih banyak dibandingkan dengan hutan
tanaman industri. Setidaknya 10 spesies ditemukan di perusahaan perkebunan
sawit. Berbeda halnya pada perusahaan HTI yang hanya mencapai 9 spesies. Spesies
Amfibi dan Reptil yang ditemukan pada area perkebunan sebagian besar termasuk
spesies-spesies toleran yang memiliki daya adaptasi tinggi. Gillespie et al. (2012)
menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit tampaknya menarik spesies yang
toleran terhadap gangguan. Komunitas aturan di perkebunan mengandung spesies
yang melimpah meski daerahnya dianggap terganggu (Faruk et al. 2013)

Baik pada sawit maupun HTI masih ditemukan beberapa spesies penting di
area konsesinya seperti buaya muara, buaya sinyulong, dan lainnya. Pada kelompok
Katak banyak dijumpai pada kelompok semi akuatik dan arboreal seperti kodok
buduk, katak tegalan dan bahkan bangkong sungai. Habitat utama umumnya berada
perairan sehingga amfibi maupun reptil banyak ditemukan di area perkebunan
seperti sempadan sungai, embung, parit dan hutan yang lembap. Hasil penelitian
Kurz et al. (2016) menemukan bahwa kekayaan spesies Amfibi pada kebun sawit

30
yang telah menghasilkan (umur >20 tahun) lebih tinggi dibanding kebun sawit
belum menghasilkan (umur <3 tahun). Hal ini berkaitan dengan iklim mikro yang
dibangun pada naungan pertanaman.

Tabel 8. Keragaman herpetofauna di berbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit


dan hutan tanaman industrii
Perusahaan
Perusahaan
∑ Hutan ∑
No. Perkebunan Sumber No. Sumber
jenis Tanaman jenis
Sawit
Industri
1 PTN, Riau Santosa et al. 1 PT SHJ II, RP HCV PT SHJ II
16 8
2016 Kukar 2020
2 PT.KPR, Riau Santosa et al. 2 PT RAPP TBI Indonesia
15
2016 Ring 2019
3 PT.PMI, Riau Santosa et al. Semenanjung
14 3
2016 Kampar
4 PT.SAR, Riau Santosa et al.
17
2016
5 PT.AMA, Riau Santosa et al. 3 PT RAPP LPPM-IPB 2015
2016 Estate
12 5
Langgam,
Riau
6 PT MUP, Riau Santosa et al. 4 PT SHP, RP HCV PT SHP
10 2016 Sumsel 8 2013

7 PT.GDH, Riau Santosa et al. 5 PT BDL, Riau RP PT BDL 2021


17 9
2016
8 PT.IMT, Riau Santosa et al. 6 PT MSK Riau RP PT MSK 2013
17 9
2016
9 PT RSA, Riau Arief et al. 2015 PT BRM, RP HCS-HCV PT
10 -
Sumsel BRM 2019
10 PT SMART, 7 PT KWL RP PT KWL 2021
Sumatera dan Kutai Barat -
Kalimantan
a. Kebun Padang Santosa et al. 8 PT Tripupa AR HCV PT
Halaban 16 2018 Jaya, Sumsel 4 Tripupa Jaya
2013
b. Kebun Langga Santosa et al. 9 PT AAU, AR HCV PT AAU
18 -
Payung 2018 Kaltim 2014
c. Kebun Kijang Santosa et al. 2018 10 PT Finantara AR HCV PT FI
19 4
Plasma Intiga, Kalbar 2014
d. Kebun Bumi Santosa et al. 11 PT BDB, Riau AR HCV PT BDB
17 7
Palma 2018 2014
e. Kebun Pekawai Santosa et al. 12 PT SPA, Riau AR PT SPA 2014
14 4
2018
f. Kebun Nanga Santosa et al.
20
Tayap 2018
11 PT PSM, Ketapang Santosa et al.
11
2016
12 PT BLP, Kalteng Kwatrina et al.
17
2018
13 PT ASMR, Kalteng Santosa dan
14
Rejeki 2019

31
Menurut Rejeki et al. (2017), keberadaan kelapa sawit dianggap mengubah
komposisi herpetofauna dari kondisi sebelumnya. Hal ini sejalan dengan hasil kajian
kehilangan dan peningkatan herpetofauna pada perkebunan sawit di Indonesia
(Santosa et al. 2018). Berdasarkan Gambar 6, perubahan rona awal baik pada semak
belukar, kebun karet, palawija, kelapa dan bahkan hutan sekunder muda
menunjukkan peningkatan spesies herpetofauna yang signifikan dan tinggi jika
dibandingkan dengan tingkat kehilangannya. Hal ini menegaskan bahwa kelapa
sawit memberikan habitat yang baik bukan sebagai habitat terganggu mengingat
kelimpahan spesies di perkebunan sawit cukup tinggi. Meijaard et al. (2018)
menjelaskan bahwa terdapat beberapa spesies yang diuntungkan karena adanya
kelapa sawit seperti ular sapi, ular sendok, ular sendok sumatera, sanca kembang,
bandotan macan, sanca darah hitam, puraca, dan bekas jejak (Tabel 9). Disamping
itu keberadaan herpetofauna juga memberikan keuntungan bagi manusia karena
keberadaanya sebagai pengendali hama dan penyakit (Kusrini et al.2013). Dalam
beberapa kasus sebagai pengendalian hama pada tanaman, jenis-jenis ular kobra
dilepasliarkan untuk mengendalikan hama tikus. Hal demikian dilakukan tidak
hanya pada perkebunan kelapa sawit melainkan juga pada HTI.

300%
250%
200%
150%
100%
50%
0%
-50%

Gambar 6. Peningkatan dan kehilangan herpetofauna berdasarkan perubahan


tutupan lahan (sumber: Santosa et al. 2018)

32
Tabel 9 Spesies herpetofauna yang diuntungkan karena adanya perkebunan kelapa
sawit
IUCN
Permen
No Spesies Redlist Mangsa utama
P106/2018
2021
Ular Sapi Least
1 Tidak Hewan pengerat
(Coelognathus radiates) Concern
Ular Sendok Least
2 Tidak Hewan pengerat
(Naja kaouthia) Concern
Ular Sendok Sumatera Least Hewan pengerat
3 Tidak
(Naja sumatrana) Concern dan katak
Sanca kembang
4 NA Tidak Hewan pengerat
(Malayophyton reticulatus
Bandotan macan
5 NA Tidak Hewan pengerat
(Phytas mucosa)
Sanca darah hitam Least
6 Tidak Hewan pengerat
(Phyton curtus) Concern
Puraca Least
7 Tidak Hewan pengerat
(Phyton breitensteini) Concern
Bakas Least
8 Tidak Hewan pengerat
(Phyton brongonsmal) Concern
Sumber: Meijaard et al. (2018)

33
VI. PERBANDINGAN LAJU PENYERAPAN DAN
EMISI GAS RUMAH KACA ANTARA KELAPA
SAWIT DENGAN TANAMAN HUTAN
Tumbuhan kelapa sawit adalah salah satu komoditas yang sering disebut
berkontribusi dalam perubahan iklim. Persepsi yang berkembang hingga saat ini
menganggap bahwa kelapa sawit yang dibudidayakan akan menghasilkan emisi gas
rumah kaca (GRK) yang berdampak pada pemanasan global. Emisi GRK ini
dihasilkan dari seluruh rangkaian proses budidaya dan pemanfaatan hasil panen.
Konversi lahan menjadi lahan budidaya kelapa sawit dan pembakaran biodiesel
kelapa sawit menjadi sumber emisi terbesar dari keseluruhan proses. Nilai
penyerapan karbon dalam budidaya kelapa sawit masih dianggap lebih kecil
dibandingkan dengan kehilangan karbon akibat konversi lahan dan pembakaran
biodiesel (ref). Perhitungan neraca karbon pada budidaya kelapa sawit yang
dianalisis berdasarkan pada rangkaian seluruh proses budidaya sampai dengan
pemanfaatan atau sering disebut sebagai Life Cycle Analysis (LCA) sering
mendapatkan hasil emisi GRK positif. Hal ini kemudian memberikan stigma bahwa
budidaya kelapa sawit adalah salah satu penyebab perubahan iklim.

Dalam konteks perubahan iklim, peran kelapa sawit sebagai tanaman yang
hidup dalam suatu ekosistem penting untuk diuraikan berdasarkan komponen-
komponen neraca karbon. Hal ini dimaksudkan agar ada pemahaman yang lebih
jelas tentang sumber-sumber emisi dan penyerapan karbon dari perspektif kelapa
sawit sebagai tumbuhan dan sebagai komoditas yang dibudidayakan. Sebagai
tumbuhan tahunan, kelapa sawit juga memiliki potensi penyerapan karbon yang
dapat dibandingkan dengan tumbuhan tahunan lainnya. Perbandingan tersebut
dapat melalui komponen-komponen neraca karbon seperti NPP, respirasi tanah
autotrofik dan heterotrofik, kontribusi serasah dan nekromassa. Emisi karbon dari
aspek budidaya yang bersumber dari konversi lahan, pemupukan dan pemanfaatan
tidak hanya terjadi pada budidaya kelapa sawit, namun juga komoditas tanaman lain
yang dipandang mempunyai nilai ekonomi. Emisi aspek budidaya ini terkait dengan
strategi dan praktik pengelolaan budidaya.

Perbandingan emisi dan serapan karbon pada tumbuhan tahunan yang


dibudidayakan dilakukan guna memahami peran obyektif dalam isu-isu perubahan
iklim. Beberapa jenis tumbuhan tahunan seperti akasia, kayu putih, kelapa, jati, dan
lainnya juga dikembangkan sebagai tanaman budidaya dan di antara juga
dikembangkan secara monokultur seperti kelapa sawit. Setiap tumbuhan tersebut
mempunyai potensi penyerapan dan penyimpanan karbon dengan nilai yang
berbeda-beda. Perbandingan ini perlu dilakukan karena dalam konteks perubahan
iklim ada stigma dan persepsi yang berbeda di antara jenis-jenis tumbuhan tersebut.

34
Kajian perbandingan komponen neraca karbon ini dilakukan dengan metode
tinjauan terhadap referensi-referensi dari hasil-hasil penelitian yang telah
dilakukan, terutama di daerah tropis.

6.1 Laju Penyerapan CO2


Laju penyerapan karbon dioksida (CO2) di atmosfer dapat diketahui dari nilai
produksi primer bersih (NPP). CO2 dari atmosfer yang diikat melalui proses
fotosintesis digunakan oleh tanaman untuk proses metabolisme dan membentuk
biomassa tanaman. Proses metabolisme berupa respirasi melepaskan CO2 kembali
ke atmosfer. Karbon yang tidak digunakan dalam respirasi dan tersimpan sebagai
biomassa tanaman ini disebut sebagai NPP (June et al.2006). Akumulasi jumlah
karbon yang tersimpan ini kemudian sering disebut dengan istilah cadangan karbon
biomassa. NPP tidak hanya dihitung menurut jenis tanaman, melainkan juga dapat
dihitung dalam suatu ekosistem. Clark (2001) mendefinisikan NPP sebagai selisih
antara total fotosintesis (Gross Primary Production) dan respirasi total tanaman di
suatu ekosistem. NPP dalam siklus karbon di suatu ekosistem adalah komponen
penting dan indikasi dari kualitas ekosistem yang nilainya ditentukan oleh unsur-
unsur iklim seperti radiasi matahari, curah hujan, suhu dan kelembaban udara
(Imanda 2010). Kemampuan penyerapan CO2 oleh setiap jenis tanaman dapat
dibandingkan berdasarkan NPP. Sedangkan penyerapan dan pelepasan CO2 pada
tingkat ekosistem, misal area budidaya, dapat menggunakan net ecosytem exchange
(NEE). Nilai NEE adalah selisih antara respirasi tanah dengan NPP. Pada beberapa
kajian, emisi CO2 dari ekosistem tidak hanya bersumber dari respirasi tanah,
melainkan juga ditambahkan emisi dari tindakan budidaya, seperti pemupukan.

Hasil-hasil penelitian tentang NPP pada berbagai jenis tanaman tahunan yang
dibudidayakan menunjukkan nilai yang bervariasi menurut kondisi lingkungan
tumbuh (iklim dan tanah), bentuk kanopi dan umur tanaman. Variasi nilai NPP ini
juga berlaku untuk vegetasi hutan (Tabel 10). Nilai NPP yang digunakan dalam
kajian ini adalah hasil-hasil penelitian yang dilakukan di daerah tropis, sehingga
variasi kondisi lingkungan dapat direduksi. Sedangkan perbedaan umur tanaman
ditunjukkan menurut distribusi data NPP menggunakan grafik boxplot (Gambar 7).
NPP rata-rata kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan tanaman lainnya
(1415±475 g C m-2tahun-1), bahkan lebih besar dari vegetasi hutan (1393±613 g C
m-2tahun-1) meskipun tidak berbeda signifikan. Perbadingan dengan komoditas
hutan tanaman seperti akasia, pinus, albasia, jati dan Eucalyptus, menunjukkan
bahwa NPP kelapa sawit 1.3-2.0 kali lebih besar. Jika dibandingkan dengan tanaman
kelapa, maka nilai NPP kelapa sawit 1.15 kali lebih besar.

35
Boxplot of NPP.
3000 2961

2500

2000 1970
g C/m2/tahun

1500
1393 1415
1224
1000 1082
915 959 978
777 786
685
500 428

0
Sawit

Karet
Hutan

Jati
Kelapa

Akasia

Albizia

Casuarina
Pinus

Eucalyptus
Gambar 7 Boxplot NPP (g C m-2 tahun-1) setiap tanaman

Tabel 10 Nilai NPP menurut jenis tanaman dan referensinya


NPP
Tanaman Referensi
(gC.m-2.tahun-1)
Kelapa Sawit Lamade dan Setiyo (2002) 1719-1937
Henson (1997) 2014
Lamade et al (1996) 937
Sunaryathy et al.2012*) 1732
Wakhid dan Hirano (2021)**) 1090
Melling et al.(2008)**) 1201
Kii, June dan Santikasa (2020) 2357
Guillaume et al.(2018) 1049
Moore et al.(2019) 1440
Henson (1999) 1155
Kanniah et al.(2014)*) 969
Karoshi dan Nadagoudar (2012) 1450
Meijide et al.(2020) 754
Kelapa Karoshi dan Nadagoudar (2012) 1215
Roupsard (2008) 1610
Magat (2009) 1200
Kumar (2007) 872
Karet Guillaume et al.(2018) 783 - 959
Karoshi dan Nadagoudar (2012) 1597
Liu et al.(2017) 336 - 673
Song et al.(2014) 1137
Akasia Karoshi dan Nadagoudar (2012) 900
Epron et al.(2013) 734
Singh dan Toky (1995) 665 - 738
Thang et al.(2019) 5 1759
Pinus Karoshi dan Nadagoudar (2012) 397
Guedes et al.(2018) 1410
Gunadi (1994) 460 - 844

36
Lanjutan..
NPP
Tanaman Referensi
(gC.m-2.tahun-1)
Huang et al.(2020) 266 - 617
Arneth et al.(1998) 880 - 1060
Yuste et al.(2005) 810
Fang et al.(2016) 188
Baishya dan Barik (2011) 823
Albasia Karoshi dan Nadagoudar (2012) 688
Binkley et al.(1992) 427.7
Singh et al.(2004) 799 - 1194
Jati Karoshi dan Nadagoudar (2012) 588
Purwanto et al.(2003) 1694
Karmacharya & Singh (1992) 1178
Behera et al.(2019) 463 - 678
Pande dan Patra (2010) 458 - 1791
Casuarina Karoshi dan Nadagoudar (2012) 755
Rana et al.(2001) 841 - 907
Srivastava (1995) 893 - 1363
Wang et al.(2013) 290 - 820
Eucalyptus Karoshi dan Nadagoudar (2012) 1001
Guedes et al.(2018) 1970
Epron et al.(2013) 1081
Nouvellon et al.(2002) 1203
Singh dan Toky (1995) 902 - 988
Binkley et al.(1992) 428
Hutan tropis Guillaume et al.(2018) 1170
Malhi et al.(2009a) 1060
Takanashi et al. (2005), Kosugi et al. (2008), Kira (1978) 1280
Tan et al. (2010) 880
Malhi et al.(2009) 1000 – 1440
Metcalfe et al. 2010 950
Metcalfe et al. 2011 (unpublished data) dalam Malhi (2011) 740
Clark (2013) 883 - 2961
Sugiarto et al.(2008) 1500 - 2500
Riutta et al.(2018) 1350 - 1570

Perbandingan nilai NPP mengindikasi bahwa tanaman kelapa sawit memiliki


efisiensi pemanenan energi matahari dan penyerapan CO2 yang lebih tinggi pada
lingkungan tropis. Efisiensi pemanfaatan radiasi kelapa sawit adalah fungsi
kuadratik dari umur tanaman, sehingga semakin tua umur tanaman maka nilainya
juga makin menurun (Mubarak dan June 2018), rerata dalam satu siklus adalah 2.78
g C MJ-1 (Kii et al.2020). Nilai efisiensi radiasi ini masih lebih tinggi dibandingkan
hutan yang nilainya antara lain adalah 0.99 g C MJ-1 (Ibrom et al. 2008), 1.95 – 2.17
g C MJ-1 (Ma et al. 2020) dan 1.01 – 1.12 g C MJ-1 (Zhou et al.2016). Efisiensi
menunjukkan bahwa kelapa sawit mampu menyerap CO2 lebih banyak pada tingkat
radiasi yang sama.

37
Rata-rata penyerapan CO2 dalam setahun dapat diperoleh dengan
mengonversi nilai NPP dengan faktor koreksi 3.67 ke dalam satuan Mg CO2 ha-
1tahun-1. Rata-rata penyerapan CO2 kelapa sawit adalah 51.9, nilai ini mirip dengan

rata-rata hutan 51.1 dan lebih besar dibandingkan tanaman hutan yang
dibudidayakan (Gambar 8). Menurut Kii et al.(2020), rerata serapan CO2 kelapa
sawit dalam satu siklus adalah 86.5, pada umur 1 tahun adalah 9.8 dan pada umur
19 tahun dapat mencapai 117, sedangkan menurut Kotowska et al. (2015) adalah
121 dan menurut Uning et al.(2020) rata-rata dalam satu siklus adalah 64. Nilai
penyerapan CO2 ini berdasarkan pada nilai NPP yang telah memperhitungkan emisi
CO2 dari respirasi autotrofik oleh tanaman. Jika tanaman-tanaman tersebut ditanam
pada kondisi tanah dan iklim yang sama, maka kelapa sawit akan menghasilkan
serapan CO2 yang paling tinggi. Penyerapan CO2 ini akan berbeda jika dinilai pada
tingkat ekosistem yang telah memperhitungkan faktor respirasi tanah, dekomposisi
bahan organik dan sistem budidaya diaplikasikan. Pada tingkat ekosistem,
penyerapan CO2 dapat didekati dengan nilai NEE.

Gambar 8 Rata-rata penyerapan CO2 setiap tanaman

Kajian-kajian NEE kelapa sawit pada saat ini banyak dilakukan dengan
membandingkannya dengan NEE hutan. Nilai NEE positif menunjukkan bahwa
ekosistem melepaskan karbon, dan sebaliknya nilai negatif menunjukkan
penyerapan karbon. Meijide et al.(2020) menghasilkan nilai NEE untuk kelapa sawit
umur 1 tahun adalah 1012 ± 51 gCm−2 tahun−1, kelapa sawit 12 tahun di 330 ±288
gCm−2 tahun−1, sedangkan kelapa sawit umur 12 tahun di tanah mineral -754 ± 38
gCm−2 tahun−1. Nilai NEE berbeda disajikan oleh Melling et al.(2008) yaitu -210
gCm−2 tahun−1 untuk kelapa sawit umur 5 tahun di gambut dalam. Nilai-nilai ini
hampir sebanding dengan NEE hutan. Penelitian Mendes et al. (2020) menunjukkan
nilai NEE di hutan tropis pada tahun 2014 adalah adalah −169.0 g C m−2 tahun-1 dan
tahun 2015 −145.0 g C m−2 tahun-1. Hayek et al.(2018) mendapatkan hasil yang
berbeda, yaitu berkisar antara -28.2 - +56.4 yang diamati dari tahun 2002 - 2011.
Sedangkan Yan et al.(2013) mendapatkan −166 ± 49 g C m−2 yr−1. NEE hutan pinus
di India adalah 99±9.9  g C m−2tahun-1, dengan kisaran - 508.3±310.3 yang

38
dipengaruhi oleh keadaan musim (Singh et al. 2019). Keragaman nilai NEE ini sangat
dipengaruhi oleh keadaan musim dan tanah, selain itu, faktor pengelolaan tanah
dalam budidaya juga memberikan pengaruh yang signifikan sebagaimana
ditunjukkan oleh hasil Melling (2008) dan Meijide et al. (2020). Guna mendapatkan
nilai NEE netral atau negatif, maka harus ada usaha-usaha perbaikan teknik
budidaya.

Laju penyerapan CO2 oleh tanaman kelapa sawit dan ekosistem budidaya
kelapa sawit menunjukkan nilai yang beragam dan tidak lebih rendah dibandingkan
dengan komoditas tanaman kehutanan, vegetasi hutan dan ekosistem hutan. Rata-
rata nilai NPP kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan komoditas lainnya,
sedangkan NEE nya masih berada pada rentang ekosistem hutan.

6.2 Laju Emisi CO2


Emisi CO2 dari kelapa sawit dan ekosistemnya dihasilkan dari proses respirasi
tanaman dan respirasi tanah. Kedua faktor ini sudah termasuk dalam perhitungan
NPP dan NEE, dan menunjukkan bahwa kelapa sawit adalah penyerap CO2. Persepsi
bahwa kelapa sawit menjadi sumber emisi disebabkan oleh emisi dari konversi
lahan berhutan yang menghilangkan cadangan karbon hutan dan kemampuannya
untuk menyerap karbon. Agus et al. (2013) menunjukkan bahwa sumber emisi
terbesar perkebunan kelapa sawit adalah konversi lahan hutan dan kebakaran.
Meijide et al. (2020) melalui kajian LCA menunjukkan bahwa industri kelapa sawit
untuk biodiesel adalah sumber emisi CO2, demikian juga dengan Guillaume et
al.(2018). Namun demikian, jika dianalisis berdasarkan asumsi bahwa kelapa sawit
dikembangkan dari lahan semak belukar atau lahan dengan nilai cadangan karbon
yang lebih rendah dibandingkan dengan kelapa sawit, maka persepsi sebagai
sumber emisi menjadi tidak benar. Data-data penelitian Guillaume et al.(2018) dan
Meijide et al.(2020) melalui Gambar 9 dan 10 di bawah ini menunjukkan bahwa
tanaman kelapa sawit dan ekosistemnya merupakan penyerap karbon.

Nilai NPP kelapa sawit lebih besar 47% dibandingkan dengan hutan, dan akan
berkurang 58% karena pemanenan (Gambar 9). Data ini menunjukkan bahwa
kelapa sawit masih dapat menyimpan karbon sebesar 7.05 Mg C ha-1 tahun-1. Nilai
ini lebih besar jika dibandingkan dengan karet (5.88 Mg C ha -1 tahun-1) dan lebih
rendah dibandingkan hutan karet (9.11 7.05 Mg C ha-1 tahun-1) dan hutan hujan
(11.7 Mg C ha-1 tahun-1). Penelitian ini tidak memperhitungkan NEE sebagai bagian
penting untuk mengetahui net emisi CO2 dalam suatu ekosistem.

39
Gambar 9 Carbon stocks and net primary production of four land-use types
(Guillaume et al.(2018)

Penelitian LCA kelapa sawit untuk biodiesel yang dilakukan oleh Meijide et
al.(2020) juga menunjukkan bahwa sumber emisi terbesar adalah konversi lahan
hutan dan hasil pembakaran biodiesel (Gambar 10). Dua faktor ini menyebabkan
penelitian ini menyimpulkan bahwa biodiesel kelapa sawit menghasilkan net emisi
CO2 yang positif pada semua skenario pengelolaan, baik siklus kesatu dan siklus
kedua. Sumber-sumber emisi lain adalah teknis budidaya, mill CPO dan produksi
biodiesel. Jika dibandingkan dengan sumber-sumber emisi selain faktor konversi
lahan dan pembakaran biodiesel maka akan menunjukkan bahwa net emisi kelapa
sawit adalah negatif. Selain itu, jika dicermati pada siklus kesatu menunjukkan
bahwa penyerapan karbon oleh tanaman kelapa sawit lebih besar dibandingkan
hutan.

40
Gambar 10 Life cycle analysis (LCA) kelapa sawit untuk biodiesel (Meijide et
al.2020)

41
VII. PERBANDINGAN ANALISIS
EKONOMI/FINANSIAL DAN KONTRIBUSI
TERHADAP DEVISA NEGARA/PEREKONOMIAN
NEGARA ANTARA KELAPA SAWIT DENGAN
TANAMAN HUTAN
Penggolongan jenis tanaman seharusnya dilakukan untuk mempermudah
kehidupan manusia, bukan malah untuk mempersulit. Bangsa Indonesia sering
merepotkan dirinya sendiri, bahkan dalam urusan pengklasifikasian apakah suatu
tanaman sebagai tanaman hutan atau bukan. Jika diklasifikasikan sebagai tanaman
hutan lebih menyejahterakan rakyat Indonesia, maka kita tidak boleh ragu untuk
mengklasifikasikan suatu tanaman menjadi tanaman hutan. Tetapi jika sebaliknya
yang lebih menyejahterakan, maka kita juga tidak perlu ragu untuk
mengklasifikasikan tanaman tersebut sebagai bukan tanaman hutan.

Dalam hal kelapa sawit, hendak diklasifikasikan sebagai tanaman apa


hendaknya berlandaskan kepada kepentingan rakyat Indonesia. Bab ini akan
membahas tanaman kelapa sawit dari segi finansial ekonomi, baik pada level rumah
tangga hingga level negara. Sebagai perbandingan, kinerja finansial ekonomi
tersebut akan dibandingkan dengan kinerja finansial ekonomi hutan tanaman
industri (HTI). Tulisan ini dibangun dari survei literatur yang diperkaya dengan
konfirmasi terbatas kepada beberapa pihak yang dipandang memahami persoalan
sawit dan HTI, serta pengalaman langsung penulis dalam perkebunan kelapa sawit
dan hutan tanaman industri.

7.1 Ekonomi Rumah Tangga


Biaya produksi kayu pulp sangat beragam. Saragih (2009) memberikan angka
60.250/m3 biaya langsung dan 25.012,68/m3 biaya penunjang, sehingga total biaya
85.210 per m3. Dengan harga jual akasia sebesar Rp 204.000 per m3, maka
keuntungan yang diperoleh adalah 118.790 per m3. Sementara Rochmayanto dan
Limbong (2013) memberikan angka yang berbeda (Tabel 11). Menurut
Rochmayanto dan Limbong (2013), biaya produksi kayu pulp sangat dipengaruhi
skala usaha; semakin besar skala usahanya semakin murah. Harga beli kayu pulp di
pintu pabrik sudah menguntungkan bagi kayu pulp yang diproduksi dengan skala
besar, tetapi masih merugikan bagi kayu pulp yang diproduksi dengan skala kecil.
Implikasi dari situasi ini adalah bahwa petani hutan skala kecil akan tersingkir dari
atau tidak dapat ikut menikmati manfaat dari industri pulp dan kertas.

42
Menurut Greenhill et al. (2017), rumah tangga petani mitra maupun non mitra
mengalami perbaikan terhadap pendapatan, kemampuan mengakses pangan, dan
kerentanan rumah tangga sejak awal skema hutan tanaman industri. Namun, ada
tingkat ketidakpuasan yang tinggi di antara petani kecil yang tergabung dalam
kemitraan. Untuk itu, Greenhill et al. (2017) menyarankan bahwa pengaturan
kemitraan perlu segera direvisi untuk meningkatkan kepuasan masyarakat guna
memastikan kemitraan tetap berjalan di masa depan.

Tabel 11 Biaya Produksi Kayu Pulp dari Hutan Rakyat


Kegiatan Biaya (Rp/2Ha)
Land clearing 2.700.000
Penanaman 14.343.000
Pemeliharaan 13.846.160
Pemanenan 42.000.000
Lain-lain (PBB) 50.000
Jumlah 72.959.160
Sumber: Rochmayanto dan Limbong (2013)

Budidaya kelapa sawit berdampak positif yang signifikan terhadap mata


pencaharian petani. Produktivitas tanah dan tenaga kerja menjadi lebih tinggi (Rist
et al. 2010). Keuntungan ekonomi memungkinkan rumah tangga petani untuk
meningkatkan konsumsi mereka (Kubitza et al. 2018). Kelapa sawit memiliki
kebutuhan tenaga kerja yang lebih rendah daripada tanaman alternatif. Oleh karena
itu, petani kelapa sawit dapat mengolah area yang lebih luas dan juga
mengalokasikan kembali waktu kerja yang dihemat untuk kegiatan ekonomi non-
pertanian, yang berkontribusi pada keuntungan sekunder tambahan. Hal senada
disampaikan oleh Feintrenie et al. (2010) bahwa analisis profitabilitas penggunaan
lahan menunjukkan pengembalian tinggi yang dapat dihasilkan oleh perkebunan
plasma mandiri kelapa sawit, membuatnya sangat kompetitif dengan karet, dan jauh
lebih menguntungkan daripada produksi beras.

7.2 Produksi Nasional


Industri kelapa sawit jelas merupakan salah satu komoditas hasil perkebunan
yang mempunyai peranan penting. Merujuk laman Indonesia-Investments, Industri
sawit ini diestimasi rata-rata turut menyumbang di kisaran antara 1,5 - 2,5 persen
terhadap PDB. Meski demikian pada 2018, merujuk data Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian (2019), nilai ekspor sawit bahkan tembus mencapai hingga
US$ 17,89 miliar dengan kontribusi sebesar 3,5 persen terhadap PDB.2 Mengingat
HTI merupakan bagian dari kehutanan, sementara kontribusi kehutanan terhadap
PDB kurang dari 1% (Tabel 12) maka dapat dipastikan bahwa sumbangan HTI
terhadap PDB kurang dari 1%.

2https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/membangun-industri-sawit-

berkelanjutan

43
Tabel 12 Kontribusi sektor terkait pertanian terhadap PDB (Billion IDR)
2017 2018
Sektor
PDB (%) PDB (%)
Tanaman pangan 280018.8 3.12 298146.1 2.86
Perkebunan 373194.2 3.76 387496.7 3.72
Peternakan 148688.8 1.50 155539.9 1.49
Kehutanan 61279.6 0.62 62981.8 0.60
Perikanan 226833.2 2.29 238616.2 2.29
Seluruh sektor 9912928.1 100.00 10425397.3 100.00
Sumber: BPS 2020

Sementara itu, kelapa sawit diklaim menyumbang 3,5% terhadap PDB.


Padahal, perkebunan secara keseluruhan menyumbang sekitar 3,7-3,8% terhadap
PDB. Dengan demikian, komponen kelapa sawit dalam perkebunan adalah sekitar
92-95%. Namun, akurasi data ini masih perlu diperiksa lebih lanjut apakah benar
proporsi sumbangan kelapa sawit mencapai 92-95% terhadap total produksi
perkebunan. Jika berbagai data tersebut benar, maka dapat dinyatakan secara tegas
bahwa sumbangan kelapa sawit terhadap produksi nasional jauh melampaui
sumbangan HTI. Meskipun demikian, hampir dapat dipastikan bahwa kontribusi
kelapa sawit terhadap produksi nasional mengungguli HTI.

Jarak peran sawit dari peran HTI akan semakin jauh karena perluasan sawit
dengan laju yang relatif cepat masih terus terjadi, sementara perluasan HTI berjalan
sangat lambat; dari sekitar 12 juta ha yang telah berizin, luas HTI yang benar-benar
ada di lapangan kemungkinan baru mencapai 2-3 juta ha saja. Izin yang tidak efektif
perlu segera dicabut dan arealnya dimanfaatkan untuk kegiatan yang lebih
produktif agar perekonomian nasional semakin meningkat. Berdasarkan data tahun
2016-2018, jumlah pemegang izin HTI yang aktif hanya 31,4% saja yang umumnya
memproduksi kayu serat (APHI, 2019). Perkembangan ini menunjukkan bahwa
industri hutan tanaman tidak dapat diharapkan mampu menopang ekonomi
nasional.

7.3 Penerimaan Devisa


Industri sawit masih tetap menjadi andalan kinerja neraca perdagangan
nasional. Ini tergambar dari kontribusinya yang mencapai 13,50 persen terhadap
ekspor non migas dan menyumbang 3,50 persen bagi PDB Indonesia3. Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan, industri kelapa sawit
menyumbang lebih dari 14% dari total penerimaan devisa ekspor nonmigas, dan
kelapa sawit juga digunakan oleh pemerintah untuk mengurangi ketergantungan
pada impor minyak melalui program biodiesel. Karena itu, Indonesia masih harus
terus mengembangkan hilirisasi industri sawit untuk mendorong peningkatan

3https://indonesia.go.id/kategori/indonesia-dalam-angka/3247/industri-sawit-topang-
pertumbuhan-ekonomi

44
kegiatan perekonomian dalam negeri. Tidak hanya untuk meningkatkan nilai
ekonomi, tapi juga kesempatan kerja dan kemandirian untuk sektor pangan maupun
sektor lainnya.4

Nilai ekspor minyak sawit jauh melampaui nilai ekspor pulp (Tabel 13). Sawit
menyumbang 4,5% dari nilai total ekspor (Nuryanti et al. 2008). Ekspor pulp
tercatat dalam kode HS4702 dan HS4703, sedangkan ekspor minyak kelapa sawit
tercatat dalam kode HS1511. Devisa yang dihasilkan dari ekspor minyak sawit
mencapai 5-6 kali devisa yang dihasilkan dari ekspor pulp. Padahal, HTI telah
mendapatkan subsidi, meski dalam bentuk subsidi tidak langsung (Bull et al., 2006).
Sebagai contoh subsidi terselubung adalah rendahnya tarif PSDH per meter kubik
kayu pulp jenis akasia dan eukaliptus yang hanya Rp 14.000,-.

Tabel 13 Nilai ekspor pulp (HS 4703.290000)


Tahun HS4703 HS4702 HS1511
2016 1.560.591.006 1.595 14.365.422.161
2017 2.285.803.516 90.312.901 18.513.121.264
2018 2.515.866.911 103.883.570 16.527.848.106
2019 2.404.983.861 371.603.093 14.716.274.712
2020 2.126.555.169 396.396.596 17.364.811.625

Sumber: UN Comtrade (https://comtrade.un.org/)

7.4 Penerimaan Negara


Penerimaan negara dari HTI dan kebun sawit berasal dari pajak dan bukan
pajak (PNBP). Penerimaan pajak yang diperbandingkan dalam naskah ini dibatasi
hanya pada pajak bumi dan bangunan (PBB) yang berlaku baik pada HTI maupun
kebun sawit. PNBP untuk HTI mengacu kepada PP 12 tahun 2014, sedangkan PNBP
untuk kebun sawit khususnya HGU mengacu kepada PP 128 tahun 2015. PNBP HTI
terdiri dari dua unsur, yakni iuran izin dengan tarif Rp 250,00 per ha per tahun dan
provisi sumber daya hutan (PSDH) dengan tarif sebesar 10% dari harga patokan
yang mengacu kepada Permenhut 64 tahun 2017.

7.4.1 PNBP
Sumber PNBP kebun sawit utama adalah dalam proses penerbitan HGU yang
membutuhkan pelayanan pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah (Tu) dan
pelayanan pemeriksaan tanah (Tpb) oleh Panitia B. Tu dihitung sebagai berikut:
1. Untuk luas tanah lebih dari 10 ha hingga 1000 ha adalah
L
Tu = (40000 x BSBKu) + Rp. 14.000.000,00 (8.1)

4https://ekonomi.bisnis.com/read/20210531/257/1399956/menghitung-besarnya-kontribusi-

industri-sawit-bagi-perekonomian-nasional, download tanggal 23 Oktober 2021.

45
2. Untuk luas tanah lebih dari 1000 ha adalah
L
Tu = (10.000 x BSBKu) + Rp. 134.000.000,00 (8.2)

di mana HSBKu adalah Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan pengukuran yang
berlaku untuk tahun berkenaan, untuk komponen belanja bahan dan honor
yang terkait dengan keluaran (output) kegiatan. Secara garis besar, HSBKu
dibedakan atas tanah pertanian dan tanah non-pertanian yang nilainya
bervariasi antar daerah dengan kisaran dari terendah Rp 12.000,00 per m 2
(Sulawesi Utara) dan tertinggi Rp 52.000,00 per m2 (DKI Jakarta).
Sementara untuk Tpb dihitung dengan formula sebagai berikut

L
Tpb = (100.000 x HSBKpb) + Rp. 5.000.000,00 (8.3)

di mana HSBKpb adalah Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan pemeriksaan


tanah oleh Panitia B untuk tahun berkenaan, untuk komponen belanja bahan
dan honor yang terkait dengan keluaran (output) kegiatan sidang panitia
pemeriksaan tanah, penerbitan Keputusan Hak dan penerbitan sertifikat.
Sebagai contoh kasus, penyelesaian 10.000 ha HGU di Riau akan menghasilkan
PNBP sebagai berikut:
1. Pengukuran
100.000.000
Tu = ( x 16.000) + Rp. 134.000.000 = Rp. 294.000.000,00 (8.4)
10.000

Tarif HSBKu untuk Riau adalah Rp. 16.000,00 per m2


2. Pemeriksaan
100.000.000
Tpb = ( x 67.000) + Rp. 5.000.000 = Rp. 72.000.000,00 (8.5)
100.000

Dimana tarif HSBKpb adalah Rp. 67.000, 00 per m2


Penerimaan negara dari pengurusan HGU seluas 10.000 ha di Riau adalah
sebesar Rp 366.000.000,00.

Menurut PP 12/2014, tarif PSDH dari HTI adalah sebesar 10% dari harga
patokan yang ditetapkan dengan peraturan menteri. Menurut Permen 64/2017,
harga patokan untuk akasia dan eukaliptus adalah Rp 140.000,- per meter kubik.
Dengan demikian, PSDH per meter kubik akasia dan eukaliptus adalah Rp 14.000,-.
Jika diasumsikan bahwa riap HTI pulp adalah 20 m3 per ha per tahun, maka PSDH
yang dibayarkan oleh HTI adalah Rp 280.000,- per hektar per tahun. Sebagai
perbandingan dengan PNBP kelapa sawit untuk areal tanaman seluas 10.000 ha,

46
maka PNBP mencapai Rp 2.800.000.000,00 per tahun untuk jangka waktu 25 tahun.
Asumsinya daur yang digunakan 5 tahun dan jangka waktu ijin adalah 30 tahun.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, selain PSDH, PNBP dari HTI juga berasal dari
iuran ijin dengan tarif Rp 250,00 per ha per tahun. Dengan demikian, untuk areal
tanaman HTI 10.000 ha, total PNBP menjadi Rp 2.802.500.000,00 per tahun. Tabel
14 menyajikan data PSDH total nasional yang diambil dari buku Statistik Kehutanan
2019 dan perkiraan PSDH dari HTI berdasarkan data produksi kayu dari HTI.

Tabel 14 Produksi HTI


Tahun Produksi (m3) PSDH HTI (jt rp) PSDH Total (jt rp)
2015 33.229.564,25 465.214 1.012.831
2016 32.191.691,96 450.684 827.046
2017 37.798.711,04 529.182 918.354
2018 40.945.378,90 573.235 1.141.414
2019 39.445.391,25 552.235 1.078.460
Sumber: Statistik Kehutanan 2019

7.4.2 PBB
Berdasarkan pada NJOP dan nilai lain komponen penyusunnya, penerimaan
dalam bentuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), kebun sawit jauh mengungguli HTI.
Sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 15, NJOP tanah belum produktif5 di
perkebunan sawit jauh lebih tinggi dibandingkan NJOP tanah belum produktif di
hutan tanaman. NJOP tanah belum produktif di kebun sawit adalah Rp 1500 per m2
untuk tanah yang belum diolah hingga Rp 1700 per m2 untuk tanah persemaian,
sementara untuk hutan tanaman hanya Rp 200. Demikian pula untuk NJOP
emplasemen, khususnya emplasemen pabrik dan gudang, di mana untuk HTI hanya
Rp 660,- per m2 sementara untuk kebun mencapai Rp 10.000,- per m2. Berikutnya,
NJOP bangunan kebun juga jauh di atas NJOP bangunan HTI.

SIT dalam Tabel 15 hanya sebagai contoh saja, dalam hal ini untuk kasus
Provinsi Riau, karena SIT bervariasi antar wilayah dan jenis komoditi. Satu hal yang
dapat dipastikan adalah bahwa SIT kebun kelapa sawit selalu lebih tinggi dari hutan
tanaman apapun jenisnya dan di manapun wilayahnya. Angka-angka tersebut
digunakan sebagai perbandingan saja, bukan untuk perhitungan pajak bumi dan
bangunan yang pasti.

NJOP areal produktif6 (NJOPp) baik untuk HTI maupun kebun sawit ditentukan
dari penjumlahan antara nilai dasar tanah (NDT) dan standar investasi tanaman
(SIT).

5 Areal Belum Produktif, terdiri dari: 1) Areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami; dan/atau, 2)
Areal belum diolah
6 Areal Produktif, yaitu areal yang sudah ditanami meliputi areal tanaman belum menghasilkan dan

areal tanaman menghasilkan.

47
NJOPp = NDT + SIT (8.6)

Standar Investasi Tanaman yang selanjutnya disebut SIT adalah jumlah biaya
tenaga kerja, bahan dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan,
penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Dengan NDT dan SIT kebun sawit yang
lebih tinggi dari NDT dan SIT hutan tanaman, maka dapat dipastikan bahwa PBB
yang diperoleh dari areal produktif kebun sawit lebih tinggi dari PBB yang diperoleh
dari areal produktif HTI.

Tabel 15 Nilai Jual Obyek Pajak untuk Perhutanan dan Perhutanan


Item Satuan HTI Kebun
Bumi
Areal belum produktif Rp/m2 200 1.500
Areal bertanaman Emplasemen Rp/m2 1.700
1. Pabrik Rp/m2 660 10.000
2. Gudang Rp/m2 660 10.000
3. Kantor Rp/m2 660 1.400
Bangunan
a. Kantor Rp/m2 310.000 700.000
b. Gudang Rp/m2 260.000 505.000
c. Pabrik Rp/m2 260.000 365.000
SIT 1 tahun Rp/ha 1.152.200 2.795.000
SIT 2 tahun Rp/ha 1.463.200 1.914.000
SIT 3 tahun Rp/ha 1.703.200 2.866.000
SIT 4 tahun Rp/ha 1.903.200 4.123.000
SIT 5 tahun Rp/ha 2.014.200 5.784.000
SIT menghasilkan Rp/ha 2.075.200 5.784.000

Sebagai ilustrasi, untuk 10.000 ha HTI dan kebun sawit yang telah menghasilkan,
maka secara kasar PBB yang dibangkitkan adalah
1. Kebun sawit
• Tanah: 10.000 m2 × 10.000 × Rp 1.700/m2 = Rp 170.000.000.000, 00
• Tanaman: 10.000 ha × Rp 2.075.200, 00 = Rp 20.752.000.000, 00
NJOP kebun sawit menghasilkan adalah Rp 227.840.000.000,00. PBB yang
harus dibayarkan (Y ) dihitung dengan formula:

Y = 0, 50% × 40% × (NJOP − NJOPTKP) (8.7)

di mana NJOPTKP adalah NJOP tidak kena pajak, yang besarnya adalah Rp
12.000.000,00 (yang dapat berubah setiap saat sesuai dengan keputusan
pemerintah). Dengan formula tersebut, maka PBB yang harus dibayarkan
adalah sebesar Rp 455.656.000,00 per tahun.

48
2. Hutan tanaman eukaliptus
• Tanah : 10.000 m2 × 10.000 × Rp 200/m2 = Rp 20.000.000.000, 00
• Tanaman : 10.000 ha x Rp 5.784.000, 00 = Rp 57.840.000.000, 00
Dengan menggunakan Formula (8.7) diperoleh PBB yang harus
dibayarkan sebesar Rp 81.480.000,00 per tahun.

Secara garis besar, untuk luasan yang sama, maka PBB yang dihasilkan oleh
kebun kelapa sawit kurang lebih lima kali lipat lebih banyak dari PBB yang
dihasilkan oleh hutan tanaman eukaliptus.

7.5 Tenaga Kerja


Industri kelapa sawit menyerap 4,2 juta pekerja langsung (Tabel 16),
sementara penyerapan tenaga kerja langsung oleh HTI hanya mencapai 17-18 ribu
(KLHK, 2020). Disamping tenaga kerja yang terserap secara langsung, kelapa sawit
juga membangkitkan lapangan kerja tidak langsung sebanyak 12 juta. Disamping
itu, industri ini juga telah meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemiskinan
rumah tangga petani dan non petani (Qaim et al. 2020).

Tabel 16 Penyerapan Tenaga Kerja


Sektor
Tahun
Sawit HTI
2017 4.340.848 18.837
2018 4.422.226 17.118
2019 4.526.713 17.118

Sumber: DJP (2018) dan KLHK (2020)

Bahwa kebun kelapa sawit menyerap tenaga kerja lebih banyak dari pada
HTI, baik untuk luasan yang sama maupun secara agregat, nampaknya memang
benar adanya. Tetapi perbedaan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 17 sangat
jauh. Secara umum, perkebunan membuka lapangan kerja lebih banyak
dibandingkan kehutanan (Tabel 17). Tetapi perbedaan yang terlalu jauh tetap saja
menimbulkan pertanyaan. Setelah dikontrol dengan luasan sekalipun, maka jumlah
tenaga kerja yang terserap oleh kebun kelapa sawit masih puluhan kali lipat
dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang terserap di HTI. Keunggulan HTI
dalam PNBP menjadi tidak ada artinya dibandingkan terhadap keunggulan kelapa
sawit menyediakan lapangan kerja. Jika setiap pekerja mendapatkan upah rata-rata
sebesar Rp 3.000.000,0 per bulan, maka perkebunan kelapa sawit mengeluarkan Rp
162 triliun rupiah per tahun bagi tenaga kerja.

49
Tabel 17 Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian
Sub sektor Jumlah tenaga kerja
Padi 13.155.108
Palawija 7.129.401
Hortikultura 10.104.683
Perkebunan 12.074.520
Peternakan 13.561.253
Budidaya ikan 863.703
Penangkapan ikan 780.037
Tanaman kehutanan 5,408.409
Kehutanan lainnya 203.191
Hasil Survei Pertanian Antar Sensus 2018

7.6 Dampak Sosial


Secara kualitatif dan terpisah, dampak sosial positif bagi masyarakat lokal
dapat dihadirkan baik oleh hutan tanaman industri (Anjasari 2010) maupun oleh
perkebunan kelapa sawit (Nirawati et al. 2019). Demikian juga dengan dampak
sosial negatif, terutama dampak yang berkaitan dengan konflik tenurial, terjadi baik
oleh kehadiran hutan tanaman industri (Dhiaulhaq et al. 2018) maupun oleh
kehadiran perkebunan sawit (Sobian 2019). Lebih lanjut, Sobian (2019)
menyatakan bahwa dampak yang terjadi dapat dalam bentuk perubahan gaya hidup
masyarakat seperti pola produksi dan konsumsi, sistem nilai, norma, dan
kepercayaan. Di Sumatera Barat, minat para petani sawit plasma untuk
menyekolahkan keturunannya masih rendah (Rahmanita et al. 2018). Obidzinski
et al. (2012) mendapatkan bahwa manfaat dari kehadiran kebun kelapa sawit tidak
terdistribusi secara merata, bahkan ada sekelompok masyarakat yang dirugikan.

Intensifikasi penggunaan lahan melalui penanaman HTI mengurangi tekanan


pada hutan alam yang masih ada (Tyynelä et al. 2003). Jika intensifikasi tersebut
dilakukan di areal yang telah terdegradasi, seperti padang alang-alang misalnya,
maka manfaat yang diperoleh bersifat ganda, yakni memperbaiki ekonomi
masyarakat dan pada saat yang sama memperbaiki lingkungan serta melindungi
hutan alam yang tersisa. Argumen seperti ini juga berlaku bagi kelapa sawit.

Menurut Charnley (2006), HTI sering menyebabkan konsentrasi pemilikan


lahan, hilangnya hak adat atas akses sumberdaya, perpindahan desa, dan penurunan
sosio-ekonomi di komunitas sekitarnya. HTI tidak memperlihatkan lapangan kerja
yang cukup berkualitas untuk mendorong pembangunan komunitas, dan jarang
rakyat yang secara politik dan ekonomi telah termarjinalkan. Di Kalimantan Barat,
HTI dengan tanaman akasia atau pinus telah menimbulkan dampak negatif,
terutama di wilayah di mana kelapa sawit ditanam secara meluas, yang seringkali
merusak struktur mata pencaharian asli dan mengikat desa ke dalam program
penanaman dengan pinjaman (De Jong, 1997; Potter et al. 1998).

50
Persepsi sangat bervariasi antar ragam jenis hutan tanaman (akasia ternilai
rendah sementara pinus/ jati baik) dan bahkan antar desa untuk jenis hutan
tanaman tertentu. Hutan tanaman yang telah ada selama beberapa tahun menjadi
bagian bentang alam dan oleh karena itu dipandang positif oleh masyarakat
sekitarnya, sementara hutan tanaman baru, khususnya semacam akasia yang tidak
dapat memberi banyak lahan pada masyarakat lokal melakukan tumpang sari
(Pirard et al. 2016). Terdapat dikotomi yang tegas antara persepsi positif pada
hutan tanaman pinus/jati dan pendapat negatif pada hutan tanaman akasia,
walaupun juga terdapat beberapa persepsi positif terhadap akasia (terutama dalam
hal lapangan kerja dan provisi infrastruktur). Masalah dampak lingkungan dan
perebutan lahan sangat menonjol, yang menggarisbawahi kompleksitas hutan
tanaman dalam menyesuaikan diri dengan bentang alam.

Pembangunan kebun kelapa sawit masih belum menjamin terlindunginya hak-


hak masyarakat lokal karena ketimpangan kekuatan politik yang dimiliki (Delabre
dan Okereke 2020). Pandangan seperti ini mengabaikan kenyataan bahwa sejak
awal masyarakat lokal memang telah tersingkirkan oleh keberadaan kawasan
hutan. Dengan kata lain, bukan kehadiran perusahaan kelapa sawit yang
menyebabkan masyarakat lokal teralienasi melainkan arogansi kekuasaan yang
telah menegasikan keberadaan masyarakat lokal tersebut. Jika pemerintah
menghargai keberadaan masyarakat lokal tersebut, maka tentu saja lahan garapan
mereka tidak termasuk dalam areal izin.

Rist et al. (2010) mendapatkan bahwa banyak petani kecil telah memperoleh
manfaat yang substansial dari hasil yang lebih tinggi atas tanah dan tenaga kerja
yang diberikan oleh kelapa sawit. Konflik antara masyarakat dan perusahaan
hampir seluruhnya disebabkan oleh kurangnya transparansi, tidak adanya FPIC dan
pembagian manfaat yang tidak setara, serta diperburuk oleh tidak adanya hak atas
tanah yang jelas. Fujiwara (2020) menyatakan bahwa introduksi kelapa sawit
kepada komunitas memperlemah otoritas adat. Tetapi kelapa sawit meningkatkan
harapan komunitas bahwa bentuk ideal dari otoritas adat akan tetap mampu untuk
mengatasi ketegangan internal dan tekanan eksternal.

51
2. VIII. PERBANDINGAN MANFAAT SOSIAL,
EKONOMI, DAN BUDAYA KELAPA SAWIT
DENGAN BEBERAPA TANAMAN KEHUTANAN
DAN PERKEBUNAN
Indonesia adalah negara agraris yang kesejahteraan penduduknya dapat
ditingkatkan melalui pemenuhan kebutuhan hidup dari pertanian. Ekspansi
pertanian menurut Byerlee et al. (2014), dipengaruhi oleh kemajuan teknis maupun
teknologi modal manusia, penguasaan lahan, dan akses ke pasar (Bragança 2018)
termasuk pasar ekspor (Pacheco 2006). Sektor pertanian berbasis pasar ekspor di
Indonesia saat ini adalah sektor perkebunan. Jika dikaitkan dengan status
pengusahaan lahan perkebunan di Indonesia, petani adalah aktor penting dalam
ekspansi lahan (Elvawati et al. 2019), sehingga kehidupan sosial ekonomi petani
harus menjadi fokus utama pembangunan negara.

Berbicara mengenai kehidupan sosial ekonomi, berarti juga berbicara


mengenai kebutuhan dan strategi petani dalam memenuhi kebutuhan rumah
tangganya. Perilaku sosial petani menyangkut interaksinya dan perilaku ekonomi
petani berhubungan dengan pendapatan dan pemanfaatannya. Oleh karenanya,
ketahanan rumah tangga pada umumnya, diarahkan kepada peningkatan
pendapatan rumah tangga, serta peningkatan ketahanan pangan dan aset (Tambo
2016). Menurut FAO et al. (2020), berinvestasi dalam sektor pertanian adalah kunci
pemberantasan kemiskinan, kelaparan dan kekurangan gizi khususnya di daerah
perdesaan, yang menegaskan pentingnya ekspansi usaha dan diversifikasi sumber
pendapatan.

Ekspansi tanaman komersial telah menghasilkan transformasi pertanian dari


produksi subsisten ke produksi berorientasi pasar. Komersialisasi pertanian
biasanya melibatkan penggantian bertahap sistem pertanian terpadu dengan
produksi khusus beberapa tanaman komersial yang menguntungkan. Di satu sisi,
komersialisasi pertanian menyebabkan penurunan keragaman produksi pertanian
dan swasembada pangan rumah tangga (Ecker, 2018), karena petani kecil, sampai
batas tertentu, mengandalkan produksi mereka sendiri untuk subsisten (Hawkes &
Ruel 2008; Sibhatu et al. 2015). Di sisi lain, komersialisasi pertanian juga
meningkatkan pendapatan rumah tangga, dan akibatnya, berkurangnya keragaman
makanan dapat dikompensasikan dengan pembelian pasar.

Komoditas perkebunan merupakan salah satu penyumbang terbesar devisa


negara Indonesia, dilihat dari nilai ekspor komoditas perkebunan (Statistik
Pertanian 2019-2021). Kontribusi nasional pada sub sektor perkebunan terhadap

52
perekonomian nasional semakin meningkat dan diharapkan dapat memperkokoh
pembangunan perkebunan secara menyeluruh. Sektor perkebunan mengarah
kepada tanaman komersial tahunan berbasis ekspor seperti kelapa, karet, coklat
(kakao), kopi, kelapa sawit, dan lain-lain. Berdasarkan data BPS (2021), perkebunan
rakyat di Indonesia didominasi oleh kelapa sawit, kelapa, karet, kopi dan kakao
(Gambar 11). Diantara komoditi perkebunan, dari aspek kuantitas produksi, kelapa
sawit di Indonesia masih menjadi komoditi unggul. Selain itu, kelapa sawit
menunjukkan produksi yang meningkat dibandingkan dengan komoditi lainnya
yang cenderung menurun produksinya.

60000 47120.2 48296.9


Produksi (ribu ton)

50000
40000
30000
3301.6
20000
2884.6 2839.9 2811.9
10000 752.5 753.9 734.7 713.4
0
Kelapa sawit Karet Kelapa Kopi Kakao
Komoditi

2019 2020

Sumber: BPS 2021


Gambar 11 Produksi Tanaman Perkebunan Indonesia Tahun 2019 dan 2020 (ribu
ton)

Keberadaan perkebunan kelapa sawit hingga saat ini, banyak menuai


perbedaan pendapat dan umumnya berkembang di sebagian besar, jika tidak di
semua daerah, dimana perkebunan kelapa sawit mengalami ekspansi dalam
beberapa dekade terakhir. Selain perspektif lingkungan, perbedaan opini juga
ditemukan terhadap perspektif sosial (Sheil et al. 2009; Carlson et al. 2012; Hein dan
Van der Meer 2012), yang mencakup beragam isu berkaitan dengan dampak
keberadaan perkebunan kelapa sawit pada masyarakat perdesaan, perekonomian
desa dan rumah tangga.

Hasil-hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit


memiliki dampak negatif terhadap kondisi masyarakat lokal, pada kenyataannya
banyak dilakukan di daerah-daerah yang memang berkonflik dan juga di daerah
yang masyarakatnya masih menggantungkan penghidupannya pada hutan, atau
memiliki identitas budaya berbasis hutan dan tradisi (Abram et al. 2014; Marti
2008; Orth 2007). Terkadang budaya asli masyarakat pun tergerus oleh budaya
baru yang diciptakan baik secara langsung maupun tidak langsung dari kelapa sawit.
Seperti menurut Orth (2007), yang menemukan bahwa di beberapa wilayah di
Kalimantan Tengah, pembangunan perkebunan kelapa sawit telah mengubah

53
praktik budidaya dan menyebabkan kerawanan pangan pada masyarakat adat
Dayak. Temuan serupa juga disampaikan oleh Obidzinski et al. (2012), di
Kalimantan Barat, yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok yang paling
terkena dampak perkebunan kelapa sawit adalah pengguna lahan adat, yang
kehilangan mata pencaharian dengan terbatasnya akses terhadap hutan dan
kemudahan akses lahan untuk pertanian berpindah. Penilaian ini pada akhirnya,
memunculkan opini dan harapan masyarakat yang bersifat parsial, tidak
menyeluruh. Hal ini karena di sisi lain, nilai sosial ekonomi perkebunan kelapa
sawit, pada kenyataannya dapat mengubah secara positif kondisi masyarakat
perdesaan, seperti memberikan perbaikan mata pencaharian dan pengentasan
kemiskinan (Myers et al. 2015; Feintrenie et al. 2010; Rist et al. 2010; dan Pfund et
al. 2011). Selain itu, dampak positif terhadap kondisi sosial-ekonomi dan sosial-
budaya dari kelapa sawit, dapat dibandingkan juga dengan dampak yang diberikan
oleh tanaman perkebunan yang ditanam melalui skema Hutan Tanaman Industri
dan juga dibandingkan dengan tanaman kehutanan, yang selain di tanam d HTI juga
melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Perbedaan pandangan mengenai dampak sosial-ekonomi dan sosial-budaya


kelapa sawit dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan lainnya dan
kehutanan, sangat penting untuk dikaji mengingat peran tanaman kelapa sawit yang
semakin meningkat dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sebagai penerima
dampak langsung keberadaan perkebunan kelapa sawit, opini dan manfaat yang
diterima masyarakat menjadi penting untuk diketahui, karena akan berkorelasi
positif dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit, karena dapat
mencerminkan sikap dan pemahaman mengenai harapan terhadap perkebunan
kelapa sawit. Selain itu, penting juga membandingkan alasan mendasar rumah
tangga petani mengganti atau menambah komoditi yang ditanamnya dengan kelapa
sawit.

8.1 Perkembangan Kelapa Sawit di Indonesia


Sebesar 54,94% atau seluas 7.942.335 ha ditanami oleh kelapa sawit yang
diusahakan oleh PBS di Indonesia, diikuti oleh 40,97% atau 5.896.755 ha PR dan
PBN sebesar 4,27% atau 617.501 ha (Gambar 12).

54
Sumber: Ditjenbun (2020)
Gambar 12 Produktivitas kelapa sawit (kg/ha)

Tujuan pengembangan kelapa sawit berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dari


tujuan pengurangan kemiskinan, resolusi konflik, dan pengurangan dampak
pemanasan global. Oleh karena itu program ekspansi kelapa sawit skala besar yang
dimotori oleh perusahaan perkebunan perlu dibarengi dengan pemikiran yang
matang dan program pengembangan petani swadaya yang efektif. Perusahaan perlu
mengingat bahwa mereka mengembangkan kelapa sawit yang dapat memberikan
keuntungan di daerah yang masyarakat lokalnya mungkin mengalami masalah
kemiskinan, tingkat kesehatan yang buruk, gizi buruk atau kerawanan pangan.

Perusahaan kelapa sawit besar dapat menanam kelapa sawit di lahan yang
terdegradasi. Jika mereka bisa menggunakan lahan seperti itu, seharusnya
perusahaan bisa menggandakan areal kelapa sawit tanpa harus membuka lahan
hutan baru (hutan utuh) dan lahan gambut. Jika masalah tanah dapat diselesaikan,
areal kelapa sawit dapat ditingkatkan hingga dua kali lipat, tanpa harus menambah
lahan hutan dan gambut baru. Melalui teknologi agronomi dan kemampuan
pembiayaan saat ini, perkebunan besar dapat tetap menguntungkan.

Abdina (2019) meneliti tentang analisis dampak perkebunan kelapa sawit


terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di Kabupaten Asahan, Provinsi
Sumatera Utara. Pada tahun 2018, Sumatera Utara memiliki luasan sekitar 10,83%
dari total luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia atau urutan kedua setelah
Riau (BPS, 2019). Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa aspek permasalahan
sosial yang berpotensi muncul adalah potensi konflik dan masalah kesenjangan
akses ekonomi antara masyarakat setempat dengan pendatang, serta antara
masyarakat dengan pihak perkebunan besar.

Diketahui juga, di sisi lain perkebunan kelapa sawit memberikan kontribusi


yang sangat signifikan terhadap total pendapatan rumah tangga petani di
Kecamatan BP Mandoge dan Buntu Pane sebagai sentra perkebunan sawit di
Kabupaten Asahan (Abdina 2019). Produksi rata-rata minyak sawit pada responden
di BP Mandoge adalah 43 ton sedangkan harga jual yang berlaku adalah Rp 1.300,

55
sehingga total yang diperoleh petani adalah Rp 55.934.615 dengan total biaya
sebesar Rp. 13.500.000 yang berarti keuntungan petani sebesar Rp
42.434.615/tahun. Produksi rata-rata responden petani di Buntu Pane adalah
sebesar 39 ton, dan dengan harga jual yang sama, total yang diperoleh petani adalah
sebesar Rp. 50.697.222 dengan total biaya sebesar Rp. 13.250.000 sehingga
memberikan pendapatan sebesar Rp. 37.447.222,-/tahun. Hal tersebut sejalan
dengan penelitian Shahputra dan Zen (2018) yang mendapatkan lebih dari 3,9 juta
keluarga petani yang memproduksi minyak sawit memberikan bentuk pendapatan
yang dapat diandalkan untuk sejumlah besar masyarakat miskin perdesaan
Indonesia.

Petani sawit swadaya menggunakan sumber daya mereka sendiri untuk


menanam kelapa sawit di lahan milik, di tanah adat secara kolektif, di tanah yang
dibeli dari orang lain atau di lahan hutan negara yang diklaim. Sejak tahun 2000,
telah terjadi ledakan perkebunan kelapa sawit swadaya, karena adanya
pengembalian yang tinggi dari kelapa sawit, dalam hal lahan dan buruh/pekerja
(Feintrenie et al. 2010, Rist et al. 2010). Cukup banyak petani yang ingin menanam
kelapa sawit, tetapi membutuhkan akses ke jalan, pabrik, anakan berkualitas tinggi,
modal atau kredit dan lahan. Menurut Baswir et al. (2009), terdapat tiga faktor
pendorong pertumbuhan perkebunan rakyat yaitu: (1) inisiatif yang besar dari
kelompok masyarakat untuk membangun kebun mandiri; (2) keengganan untuk
berintegrasi dengan perusahaan besar karena skema kemitraan dianggap kurang
menguntungkan; dan (3) preferensi petani terhadap pola swadaya, untuk
mengurangi risiko-risiko dari dampak sosial, ekonomi dan lingkungan.

Masyarakat asli (baik Dayak maupun Melayu Kalimantan) membangun


perkebunan rakyat kelapa sawit di atas tanah milik sendiri. Terdapat pemahaman
pada masyarakat Dayak, sebagaimana ditemukan di masyarakat Dayak di wilayah
Sintang, bahwa nilai konversi hutan adat menjadi perkebunan kelapa sawit atau
karet, melebihi nilai hutan itu sendiri (Langston et al. 2017). Untuk memulai
penanaman kelapa sawit, masyarakat lebih memilih untuk mengorbankan hutan
daripada harus mengganti tanaman perkebunan mereka sebelumnya (Feintrenie et
al. 2010). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh masyarakat Dayak (para
anggota KUD Usaha Bersama, Desa Tanjung Klansam-Sintang (Santosa et al. 2019)
yang menyatakan bahwa mereka membuka hutan miliknya dan menggantinya
dengan sawit karena lebih menguntungkan secara ekonomi, walaupun mereka juga
masih menyisakan hutan mereka dengan luasan tertentu.

Sebagian besar masyarakat asli yang memiliki lahan sawit sendiri, sesuai
dengan budayanya berasal dari areal hutan di atas tanah ulayat yang dibuka, sesuai
dengan tradisi Suku Dayak yaitu ladang berpindah serta lahan perkebunan karet
yang konversi menjadi kebun sawit. Pengalihan ini juga didorong oleh turunnya
harga komoditas karet. Hasil kajian Casson (2000) juga menemukan bahwa

56
perkebunan sawit swadaya di Indonesia berasal dari hutan sekunder dan
perkebunan karet.

Kepemilikan lahan adalah hak penuh seseorang atau sekelompok orang atas
lahan yang dibuktikan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM), sedangkan penguasaan
lahan merupakan suatu bukti kuasa seseorang atau sekelompok orang atas lahan
dan tidak menunjukkan bukti kepemilikan lahan yang dibuktikan dengan Surat
Keterangan Tanah (SKT), Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) atau girik. Pada
umumnya, perkebunan rakyat di Indonesia tidak memiliki kepastian tenurial
(INOBU 2016), padahal kepastian ini diperlukan karena menyangkut asal usul lahan
mereka yang nantinya akan berimbas pada perolehan sertifikat berkelanjutan.

Perkembangan kelapa sawit yang pesat dan nilai ekonomi yang tinggi
dibandingkan dengan produk pertanian lain, telah mendorong masyarakat lokal dan
pendatang untuk mengubah lahan yang mereka miliki menjadi perkebunan kelapa
sawit. Hal ini ditunjukkan oleh luas perkebunan kelapa sawit rakyat yang lebih dari
60% luas seluruh perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau (Ditjenbun 2016).
Menurut Susanti dan Burgers (2012), pada awalnya perkebunan sawit rakyat tidak
ada yang berstatus kebun swadaya. Baru pada tahun 1995, sawit swadaya di
Provinsi Riau mulai berkembang dengan terbitnya PP No.13/1995 yang
memungkinkan investor untuk membangun PKS tanpa memiliki perkebunan sawit.
PP No.13/1995 memberikan peluang kepada petani untuk dapat memiliki kebun
sawit secara swadaya di bawah 25 ha (Susanti 2016). Peluang ini dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat, mengingat dalam kondisi tanpa perkebunan sawit, maka PKS
membutuhkan bahan baku dari kebun masyarakat (individu, skala kecil).

Menurut Wibowo et al. (2019), pekebun swadaya umumnya bergantung pada


lahan-lahan yang asal usul status legal tanahnya masih belum jelas. Kepemilikan
lahan oleh masyarakat lokal, pada umumnya didasarkan pada siapa yang pertama
menggarap lahan (Saptomo 2004). Penanaman tanaman pertanian seperti karet
kemudian di konversi menjadi kelapa sawit di kawasan hutan merupakan bentuk
bukti kepemilikan lahan, terutama di daerah dengan banyak persaingan lahan
(Sunderlin & Resosudarmo 1996). Singer (2009) menjelaskan bahwa banyak dari
PR/swadaya yang dibangun di dalam kawasan hutan karena dipicu oleh nilai
ekonomi yang menjanjikan.

Walaupun hasil penelitian sebelumnya oleh Hettig et al. (2016) juga oleh
Sunderlin dan Pokarn (2002), menemukan bahwa petani migran cenderung
membuka hutan untuk ditanam sawit, namun hasil penelitian Schoneveld et al.
(2019) menyanggah hasil tersebut, dengan menyatakan bahwa petani migran tidak
memiliki cukup sumber daya finansial untuk memperluas kebunnya ke dalam
hutan. Menurut Wibowo et al. (2017), umumnya masyarakat kecil hanya membuka
lahan sekitar 2-4 ha untuk dibangun kebun sawit dalam rangka memenuhi

57
kebutuhan mereka sendiri, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya
beberapa orang yang melakukan akumulasi lahan. Hasil studi Schoneveld et al.
(2019) menemukan bahwa di Kalimantan, konversi hutan menjadi perkebunan
kelapa sawit, dan juga konversi lahan gambut non hutan, cenderung dilakukan oleh
masyarakat asli/adat yang mendapatkan tanahnya dari warisan, juga mereka yang
merupakan PNS dan pada umumnya tidak memiliki pengalaman terkait kelapa
sawit sebelumnya.

Provinsi Sulawesi Barat adalah penghasil kelapa sawit kedua terbesar di


kawasan timur Indonesia. Data statistik menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan
sawit di Sulawesi Barat selama lebih dari 1 dekade terakhir meningkat sebanyak
95.198 ha dari 57.527 ha pada tahun 2007 (BPS 2008) dan meningkat menjadi
152.725 ha di tahun 2018 (BPS 2019). Sebagai konsekuensinya, Fatmasari et al.
(2018) menyatakan bahwa sistem penghidupan masyarakat di Provinsi Sulawesi
Barat yang awalnya bergantung pada komoditi bukan kelapa sawit, di wilayah yang
mengalami perkembangan perkebunan kelapa sawit, menjadi bergantung pada satu
sumber pendapatan, yaitu kelapa sawit.

Dapat dilihat bahwa perkembangan kelapa sawit di Sulawesi terus meningkat


diikuti oleh jumlah petani yang berkebun kelapa sawit (Gambar 13). Salah satu
faktor pendukung hal ini adalah keberadaan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), sehingga
masyarakat dapat menjual hasil panennya dengan mudah. Hal serupa juga
diungkapkan oleh Moriarty et al. (2014), yang menemukan bahwa sebagai dampak
dari menurunnya hasil panen coklat, masyarakat mengalami penurunan sumber
pendapatan yang sumber penghidupannya yang sejak awal bergantung pada coklat.
Coklat, sebelumnya merupakan primadona di Sulawesi Barat mengingat
pemanfaatan komoditi lainnya terbatas, karena padi membutuhkan irigasi, kelapa
sawit membutuhkan PKS, dan kopi tumbuh optimal di dataran tinggi.

Sumber: Fatmasari et al. (2018)

Gambar 13 Perkembangan luas perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Barat pada


periode 2007-2017

58
Perkembangan PR di desa ini merupakan bagian dari program Perkebunan
Inti Rakyat (PIR-Trans) dan juga kerja sama dengan perkebunan swasta setempat
yang beroperasi sejak 2018. Perkembangan yang pesat ini, juga tidak dapat
dipisahkan dari peran Pemerintah Daerah yang mengeluarkan HGU seluas 16.000
ha bagi perkebunan swasta, dan pada 2016, mengalokasikan dana Rp 167 juta untuk
pelatihan peningkatan sumber daya manusia petani sawit dalam hal pengendalian
dan pencegahan hama dan penyakit (Fatmasari et al. 2018).

8.1.1 Manfaat Sosial, Ekonomi, dan Budaya Kelapa Sawit


Sebagaimana sudah banyak dinyatakan dalam berbagai pustaka, perkebunan
kelapa sawit membawa perubahan besar bagi masyarakat perdesaan, terutama
dalam hal ekonomi (Arif 2008; Sari 2017). Syahza (2011) menuliskan beberapa
pengaruh eksternal dari kehadiran perkebunan kelapa sawit yang bersifat positif
bagi wilayah sekitarnya: 1) Peningkatan kesejahteraan; 2) Perluasan lapangan kerja
dan kesempatan berusaha; dan 3) berkontribusi terhadap pembangunan daerah.
Manfaat positif terhadap perekonomian ini juga ditemukan di banyak wilayah di
Indonesia, sebagaimana ditunjukkan oleh publikasi Sunarminto et al. (2019)
(Gambar 14).

Sumber: Sunarminto et al. (2019)

Gambar 14 Dampak sosial ekonomi kehadiran perkebunan kelapa sawit

Selain itu hasil penelitian Santosa et al. (2016, 2017, 2018) juga menemukan hal
serupa (Tabel 18), tercermin dari hasil share dan covering pendapatan (Tabel 19 dan
20). Dapat dilihat dari Tabel 18-20 tersebut bahwa semua kategori masyarakat baik
yang asli, transmigran maupun swakarsa merasakan dampak positif kehadiran
perkebunan kelapa sawit terhadap perekonomian rumah tangga dan desa.

59
Tabel 18 Karakteristik Pekebun Sawit di Indonesia*
Kategori Petani Swadaya
No. Parameter Peubah
Asli Transmigran Swakarsa
1 Gender Laki-laki 67,38 65,35 76,78
Perempuan 32,62 34,65 23,22
2 Umur ≤ 49 68,01 63,92 92,86
50-69 27,34 29,42 3,57
≥ 70 4,65 6,66 3,57
3 Tingkat Tidak sekolah 11,35 6,79 0,00
pendidikan Dasar 62,58 68,39 71,43
(Act No. Menengah 20,95 16,86 0,00
3/2003) Tinggi 5,12 7,96 28,57
4 Ukuran 1-2 (sangat kecil) 16,23 35,06 7,15
keluarga (ind) 3-4 (kecil) 54,75 48,05 82,15
≥ 5 (medium-besar) 29,02 16,89 10,70
5 Total <2 34,81 38,66 83,93
kepemilikan 2 – 10 31,65 53,44 0,00
lahan (ha) > 10 4,59 7,90 16,07
6 Lama waktu 0-5 26,44 34,24 64,26
sebagai petani 6-10 28,46 26,71 32,15
swadaya ≥ 11 25,91 39,05 3,57
(tahun)
7 Pendapatan < 2.000.000 25,36 23,77 7,15
utama 2.000.000 – 10.000.000 70,15 66,99 57,15
(Rp/month) > 10.000.000 4,49 9,24 35,70
8 Pendapatan Tidak ada 30,47 25,04 100
tambahan < 2.000.000 42,02 42,00 0
(Rp/month) 2.000.000 – 10.000.000 23,35 29,45 0
> 10.000.000 4,16 3,51 0
9 Asal lahan Negara 0,00 0,25 0,00
Milik 100,00 99,75 100,00
Keterangan: *Berdasarkan hasil studi di 6 provinsi, 13 kabupaten, 24 kecamatan dan
43 desa di Indonesia (Santosa et al. 2017, 2018, 2019)

Tabel 19 Total Share dari pendapatan bulanan yang berasal dari kelapa sawit
terhadap keseluruhan pendapatan rumah tangga
Pendapatan Pendapatan Share
Kategori
rata-rata dari rata-rata (a)
No petani Kategori
kelapa sawit rumah tangga pada
swadaya
(a) (Rp) (b) (Rp) (b) (%)
Kelapa sawit sebagai pendapatan utama
1 Asli 5,986,867 7,256,302 81.81 Sangat tinggi
2 Transmigran 9,713,921 10,149,753 95.71 Sangat tinggi
3 Transmigran 5,467,766
6,150,950 88.89 Sangat tinggi
swakarsa
Kelapa sawit sebagai pendapatan tambahan/pendukung/sekunder
1 Asli 1,620,333 4,324,500 37.5 Rendah
2 Transmigran 2,377,111 5,047,481 47.01 Rendah
3 Transmigran 2,048,143 4,791,000
42.75 Rendah
swakarsa
Keterangan: Berdasarkan hasil studi di 2 provinsi, 4 kabupaten, 5 kecamatan dan 10
desa di Indonesia (Santosa et al. 2017, 2018, 2019).

60
Tabel 20 Total Covering dari pendapatan bulanan yang berasal dari kelapa sawit
terhadap keseluruhan pendapatan rumah tangga
Kategori Pendapatan rata- Pendapatan rata- Share (a)
No petani rata dari kelapa rata rumah tangga pada (b) Kategori
swadaya sawit (a) (Rp) (b) (Rp) (%)
Kelapa sawit sebagai pendapatan utama
1 Sangat
Asli 6,419,654 3,934,464 163.17*
tinggi
2 Sangat
Transmigran 10,573,215 4,373,810 241,74*
tinggi
3 Transmigran 5,899,411 3,012,633 195,82* Sangat
swakarsa tinggi
Kelapa sawit sebagai pendapatan tambahan/pendukung/sekunder
1 Asli 1,620,333 3,222,194 50.29 Tinggi
2 Transmigran 2,377,111 3,240,000 73.37 Tinggi
3 Transmigran 4,291,893 4,036,607 Sangat
106.32*
swakarsa tinggi
Keterangan: * Petani swadaya dengan pendapatan utama dari kelapa sawit mampu
memenuhi kebutuhan rumah tangga hanya dari kelapa sawit (over 100%);
Berdasarkan hasil studi di 2 provinsi, 4 kabupaten, 5 kecamatan dan 10 desa di
Indonesia (Santosa et al. 2017, 2018, 2019).

Rumah tangga dengan rasio biaya tenaga kerja yang lebih tinggi dan akses
yang lebih baik ke lahan, mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Selain itu,
Krishna et al. (2017) juga menemukan bahwa rumah tangga dengan sertifikat tanah
memiliki keuntungan, karena kelapa sawit padat modal dan memiliki sertifikat
tanah memudahkan akses ke kredit formal. Rumah tangga petani yang mengganti
kelapa sawit untuk penggunaan lahan alternatif dengan produktivitas rendah lebih
diuntungkan daripada mereka yang harus mengganti perkebunan karet yang sangat
produktif. Ini juga menjadi salah satu alasan terdapatnya perolehan adopsi langsung
yang signifikan di desa-desa tradisional, tetapi tidak di desa-desa transmigran yang
lahannya lebih sedikit dan sebagian besar lahan yang tersedia sudah digunakan
secara intensif.

Budidaya kelapa sawit merupakan strategi baru yang dapat meningkatkan


sumber nafkah rumah tangga petani. Adopsi kelapa sawit dengan input tenaga kerja
rendah memungkinkan perluasan lahan pertanian dan diversifikasi produksi
tanaman pangan. Ekspansi kelapa sawit memainkan peran penting dalam
mengentaskan kemiskinan dan memberikan standar hidup yang lebih baik bagi
masyarakat pedesaan. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri budidaya kelapa sawit
meningkatkan pendapatan yang lebih tinggi (Mingorría et al. 2014).

Sedikit berada di bawah penilaian dampak ekonomi, dampak sosial juga dinilai
positif oleh masyarakat, bahkan semua bentuk dampak sosial yang ditanyakan,
memiliki nilai persepsi yang baik. Dampak sosial yang memiliki nilai signifikan
positif setelah kehadiran perkebunan kelapa sawit adalah meningkatnya jumlah
penduduk di lokasi tersebut. Kehadiran perkebunan kelapa sawit di Teluk Pulai,

61
Kalimantan Tengah telah menarik kembali penduduk asli yang sempat bermigrasi
dikarenakan kurangnya lapangan pekerjaan di desa mereka (Santosa et al. 2018).
Selain itu adanya PSB juga dianggap telah meningkatkan interaksi masyarakat lokal
dengan migran spontan dan pihak luar yang menyebabkan adanya pembauran nilai
budaya lokal dengan luar. Meskipun demikian, masyarakat tidak memandang
pembauran budaya ini sebagai hal yang negatif, melainkan melihatnya sebagai hal
yang signifikan positif terutama dari perspektif petani sawit.

8.2 Perbandingan Kelapa Sawit dengan Tanaman Perkebunan


Lain

8.2.1 Karet
Selama beberapa dekade, ekspansi tanaman komersial, seperti karet, di
Thailand, Vietnam, dan Cina selatan telah membawa pertumbuhan pada pendapatan
rumah tangga dan pengurangan kemiskinan, namun juga telah menyebabkan
kerawanan pangan rumah tangga (Ecker 2018).
Indonesia merupakan negara dengan perkebunan karet terluas di dunia, serta
penghasil karet alam dan salah satu basis manufaktur karet alam dunia. Kelebihan
karet alam dilihat dari segi kestabilan harganya yang tidak dipengaruhi secara
langsung oleh harga minyak dunia. Berbeda halnya dengan harga karet sintentik
yang terkena dampak langsung oleh kenaikan harga minyak dunia. Hal ini membuat
perkembangan karet di Indonesia sangat baik.

Keterangan: *Angka sementara; ** Angka estimasi


Sumber: Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (2020)

Gambar 15 Harga bulanan kelapa di pasar dunia tahun 2019

Seperti yang terlihat pada Gambar 15, luas perkebunan karet di Indonesia
meningkat 1,52% dari tahun 2015 hingga 2019. Produksinya pun meningkat 4,96%.
Pada tahun 2019 sebagian besar luas perkebunan karet tersebut merupakan PR
yaitu 3.269.078 ha (88,91%) dengan produksi sejumlah 2.926.613 ton (88,65%).
Luas PBN untuk komoditas karet di tahun 2019 adalah 165.467 ha (4,5%) dengan
produksi 129.459 ton (3,92%), sementara luas PBS untuk komoditas ini di tahun
2019 adalah 241.491 ha (6,57%) dengan produksi sebanyak 245.333 ton (7,43%).

62
Budidaya karet selalu memiliki efek signifikan dan positif terhadap keragaman
pangan, hal itu juga berdampak tidak langsung pada keragaman pangan melalui
keragaman produksi pertanian dan pendapatan rumah tangga. Selain itu, budidaya
karet memberikan kontribusi lebih besar terhadap keragaman pangan rumah
tangga petani kecil yang kondisi perekonomiannya rendah dan tidak memiliki akses
atau jauh dari pasar. Sebagai contoh ekspansi tanaman pohon komersial, Prefektur
Otonomi Xishuangbanna Dai (XSBN), di wilayah Mekong atas, Cina Barat Daya,
mengalami konversi vegetasi sekunder dan pertanian tradisional menjadi
monokultur dengan perkebunan karet selama tiga dekade terakhir (Ahrends et al.
2015). Meskipun ekspansi karet di XSBN sangat meningkatkan pendapatan petani
kecil (Fox & Castella 2013), namun hal itu juga telah mengubah pola penggunaan
lahan tradisional, sehingga menimbulkan degradasi lahan pertanian tradisional dan
sumber daya hutan yang penting secara ekologis dan dengan demikian
menyebabkan efek negatif yang besar pada agrobiodiversitas (Fu et al. 2009; Hu et
al. 2008). Fu et al. (2010) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan
berbasis perluasan karet bisa berimplikasi buruk terhadap ketahanan pangan dan
gizi, meskipun penelitian Fu et al. (2010) ini belum dibuktikan secara ilmiah.

Dalam sebuah studi tentang dampak lingkungan dan sosial ekonomi dari
budidaya karet di Wilayah Mekong, Häuser et al. (2015) menyebutkan bahwa
budidaya karet dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga secara signifikan.
Petani di wilayah ini, beralih ke budidaya karet yang dianggap paling
menguntungkan, bahkan etnis minoritas di Yunnan Selatan memperluas budidaya
karet ke negara tetangga Laos.

Nursaimatussaddiya (2017) melakukan analisis faktor sosial ekonomi


terhadap pendapatan petani karet rakyat di Desa Unterudang Kecamatan Barumun
Tengah Kabupaten Padang Lawas pada tahun 2011. Dari penelitian tersebut
diketahui bahwa produksi getah karet rata - rata per petani di desa tersebut adalah
13.161 kg/tahun. Biaya produksinya rata- rata adalah Rp 63.050.825/tahun.
Penerimaan rata- rata per tahunnya adalah Rp 104.829.833 dengan tingkat
keuntungan Rp 15.923.600/tahun. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa pendidikan dan pengalaman mempunyai pengaruh positif terhadap petani
karet rakyat. Jika faktor lain dianggap tetap, apabila pendidikan bertambah 1%,
maka pendapatan petani karet rakyat bertambah sebesar 0,129%. Apabila
pengalaman bertambah 1%, maka pendapatan petani karet rakyat akan bertambah
0.161%. Pendapatan petani karet rakyat dipengaruhi oleh faktor luas lahan, biaya
tenaga kerja, dan biaya pupuk. Luas lahan mempunyai pengaruh yang positif
terhadap pendapatan petani karet rakyat. Apabila luas lahan bertambah 1%, maka
pendapatan petani karet rakyat akan bertambah sebesar 0.273%.

Ramdani et al. (2018) melakukan studi tentang karet alam sebagai basis
pembangunan perdesaan dan peningkatan taraf hidup masyarakat yang

63
berkelanjutan. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa perkebunan karet alam
merupakan kegiatan ekonomi adat dan budaya masyarakat perdesaan Indonesia
dan identitasnya. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, dan
Kabupaten Garut, Jawa Barat. Berbeda dengan dengan tanaman sawit yang jarak
produksinya memiliki keterbatasan 15 – 20 tahun, karet alam adalah komoditas
turun temurun yang bisa diwariskan. Dengan demikian komoditas karet alam
adalah sektor perkebunan yang basis pembangunannya sesuai dengan konteks
masyarakat lokal itu sendiri. Komoditas karet alam secara perlahan mampu
mengubah kualitas hidup suatu keluarga di perdesaan. Keluarga yang tidak memiliki
latar belakang pendidikan memadai mampu memperbaiki tingkat pendidikan
anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih karena aktivitas berkebun karet alam
yang dilakukannya. Sekalipun rata-rata pendapatan per bulannya tidak terlalu
besar, akan tetapi mayoritas penduduk di Riau mengatakan bahwa mereka
merasakan hidup cukup dengan penghasilan yang didapatkan. Mereka mampu
memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Ketika petani mampu mengintegrasikan
kebun karet alam mereka dengan peternakan kambing atau sapi, keuntungan dari
karet alam akan bertambah. Masyarakat di Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut,
Jawa Barat menanam rumput kolonjono untuk ternak sapi. Dari menanam kolonjono
tersebut setiap tahun mereka bisa mendapatkan pendapatan yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan hasil dari getah itu sendiri. Kolonjono tumbuh berkembang
pesat apabila ditanam di sela-sela pohon karet. Beberapa hal yang memengaruhi
tingkat kesejahteraan petani karet alam adalah luas lahan yang dimiliki oleh petani,
modal untuk melakukan aktivitas pertanian, tenaga kerja yang bekerja di kebun,
etos kerja yang dimiliki oleh petani itu sendiri, dan pengalaman di dalam
memelihara dan mengelola kebun karet alam.

Dalam pengamatan yang dilakukan oleh Ramdani et al. (2018) di Kabupaten


Bengkalis Provinsi Riau, meskipun kelapa sawit dan kebun karet merupakan
tanaman monokultur, kebun karet alam memiliki tutupan yang sangat rindang,
berbeda dengan perkebunan sawit. Tanaman karet alam yang ditanam di lahan
gambut memiliki tingkat kebasahan yang tinggi. Perkebunan-perkebunan karet
alam kaya akan fauna terutama kera. Berbeda dengan perkebunan kelapa sawit,
kera-kera terebut tidak banyak dijumpai. Karet alam juga merupakan tanaman yang
bisa menyimpan cadangan karbon dengan baik. Lahan gambut yang kering
menghasilkan CO2 yang cukup besar namun ketika lahan gambut kering tersebut
ditanami oleh karet alam maka akan menghasilkan karbon yang cukup baik.

Syarifa et al. (2016) melakukan penelitian tentang dampak rendahnya harga


karet terhadap kondisi sosial ekonomi petani karet di Sumatera Selatan. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa harga karet yang rendah telah
memberikan dampak penurunan pendapatan petani per bulan, penurunan investasi
oleh petani, penurunan pendapatan petani daya beli, serta perubahan sumber

64
pendapatan petani. Apalagi ada telah terjadi perubahan penggunaan lahan dari
pertanian karet ke tanaman lain.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2014 saat harga
karet rendah menjadi USD 1,6 per kg, terjadi penurunan pendapatan petani yang
cukup signifikan apabila dibandingkan dengan pendapatan petani di tahun 2011.
Pada tahun 2011, saat harga karet mencapai sekitar USD 4,5 per kg, pendapatan
petani pada tahun sadap pertama mencapai IDR 1,94 juta per bulan bila disadap
sendiri. Pendapatan petani penggarap yang turun, terutama bagi buruh sadap,
berakibat pada turunnya daya beli petani terhadap barang-barang primer maupun
sekunder. Hal ini sangat memengaruhi kondisi perekonomian secara umum di
Sumatera Selatan, dikarenakan komoditi karet alam melibatkan lebih dari 40%
penduduknya.

Akibat dari daya beli yang merosot, perputaran roda perekonomian di daerah
menjadi melemah. Pasar tradisional dan modern baik di daerah maupun di kota
terlihat relatif lebih sepi. Penurunan pendapatan petani karena penurunan harga
karet juga menyebabkan penurunan investasi petani untuk membangun karet
dengan klon unggul. Pada saat harga karet rendah, penghasilan dari usaha tani karet
tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga petani. Meskipun demikian, hasil
pengamatan menunjukkan bahwa sebagian petani masih tetap menyadap karet
dalam kondisi harga dan produksi karet yang turun saat ini. Namun untuk
mencukupi kebutuhan rumah tangga, sebagian dari anggota keluarga petani
ataupun buruh sadap terpaksa mencari penghasilan tambahan dengan bekerja
sampingan di luar usaha tani karet seperti: menjadi buruh perkebunan sawit,
perkebunan tebu maupun bekerja di proyek infrastruktur seperti pengaspalan jalan,
penggalian pipa dan lain sebagainya.

Penurunan harga karet alam tersebut tidak terlepas dari adanya pelemahan
permintaan karena konsumen beralih ke karet sintesis yang harganya mengalami
penurunan sebagai akibat dari penurunan harga minyak mentah sebagai bahan
utama dari karet sintesis. Sekalipun kecenderungan akan harga minyak dunia
sebagai bahan dari karet sintesis mengalami kenaikan, dengan sedikiti fluktuasi,
perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina menyebabkan harga karet alam
tetap tidak bergerak dari bawah karena Cina dan Amerika merupakan target pasar
dari produk karet alam Indonesia.

Lebih lanjut menurut Krishna et al. (2017), pada umumnya, sebenarnya karet
memberikan kontribusi keuntungan yang lebih tinggi per unit lahan dibandingkan
kelapa sawit. Hanya saja, alasan utama banyak rumah tangga yang mengadopsi
kelapa sawit karena tidak membutuhkan banyak tenaga kerja/kurang padat karya
dibandingkan karet. Hal ini memungkinkan mereka yang memiliki sumber
pendapatan lain selain ari kelapa sawit, untuk mengalokasikan lebih banyak tenaga

65
kerja untuk kegiatan di luar pertanian. Dalam beberapa hal, pengadopsi juga
menggunakan tenaga yang dihemat ini, untuk memperluas lahan pertanian mereka.
Krishna et al. (2017) memperkirakan setidaknya setengah dari total manfaat dari
adopsi kelapa sawit adalah pada keuntungan tidak langsung yang dihasilkan dari
realokasi tenaga kerja rumah tangga ke kegiatan lain yang menguntungkan. Oleh
karena itu, efek standar hidup dari adopsi kelapa sawit tergantung pada faktor-
faktor pendukung

Hasil penelitian Nasution (2019) mendapatkan berbagai motivasi ekonomi


petani dalam mengonversi lahan karetnya menjadi kelapa sawit, yaitu keinginan
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sangat tinggi; keinginan untuk hidup
lebih baik dan sejahtera tinggi; keinginan untuk memperoleh pendapatan yang lebih
tinggi sedang; keinginan untuk membeli barang mewah rendah; dan keinginan
untuk memiliki dan meningkatkan tabungan sangat rendah.

Perbaikan perekonomian keluarga sebagai alasan utama alih fungsi lahan ke


komoditi kelapa sawit dijumpai di semua masyarakat baik masyarakat adat maupun
bukan. Petani cenderung memilih komoditi yang membutuhkan pengeluaran yang
lebih sedikit namun memberikan hasil lebih besar, baik dari aspek pemasaran,
aspek sumber daya pekerja dsb. Petani karet di Desa Kebun Agung, Kecamatan
Pangkalan Banteng, Kabupaten Kotawaringin Barat menanam karet karena
umurnya yang panjang, sehingga walaupun harga fluktuatif, petani
mempertahankan karetnya tersebut, selain biaya perawatan yang mudah dan
murah . Meskipun demikian, ketika harga turun, hasil penelitian Musthofa (2018)
menemukan alasan petani karet beralih fungsi menjadi petani kelapa sawit karena
harga karet yang murah dibandingkan dengan kelapa sawit.

Petani merasakan harga karet yang sering turun tajam meresahkan, selain
pekerjaan mengelola karet sangat melelahkan karena harus bekerja setiap hari.
Mereka harus berangkat setiap hari karena jikalau tidak dikerjakan makan tidak
akan mendapatkan hasil, dan jika kondisi hujan maka tidak dapat menoreh getah.
Teknis penjualan hasil panen karet yaitu harus petani sendiri yang mengantar ke
tengkulak. Berbeda dengan kelapa sawit yang teknis pekerjaannya ketika sudah
panen normal maka cukup dengan dua minggu sekali untuk menuai hasil atau
panen. Banyak tengkulak sendiri yang menjemput atau mengambil panen sawit di
kebun petani. Pekerjaan kelapa sawit hanya dua minggu sekali namun harganya
lebih mahal. Lonjakan harga karet menyebabkan konversi lahan cepat dan luas
(Ahrends et al. 2015).

Ada motivasi lain dari petani di Desa Kebun Agung selain alasan ekonomi,
yaitu dengan menjadi petani kelapa sawit mereka memiliki lebih banyak waktu
untuk keluarga ataupun mengembangkan usaha lainya. Dampak kesejahteraan yang
dapat dirasakan masyarakat adalah pendapatan mereka meningkat, pekerjaan lebih

66
ringan, adanya peningkatan aset yang dimiliki, dan keluarga lebih merasa sejahtera
dari sebelumnya. Menurut Tambo (2016), ketahanan rumah tangga diarahkan
kepada peningkatan pendapatan rumah tangga, meningkatkan ketahanan pangan
dan membangun aset. Menurut Ahman (2007) (dalam Musthofa 2018), proses alih
fungsi dari kebun karet menjadi kelapa sawit tidaklah lepas dari pilihan rasional
petani. Teori pilihan rasional mengatakan pada dasarnya orang yang rasional akan
memilih alat yang mana yang paling benar untuk mencapai tujuannya.

Tidak hanya memiliki nilai ekonomi, namun karet juga memiliki nilai sosial
budaya terutama bagi Suku Dayak. Karet dijadikan sebagai tanaman pembatas
dalam tradisi Dayak. Dari semua tanaman perkebunan, dari aspek jenis komoditi,
karet paling banyak dibahas dalam kaitannya dengan aspek sosial budaya. Hasil
penelitian Nasution (2019) mendapatkan bahwa motivasi dalam menanam karet
berhubungan dengan keinginan petani untuk menambah relasi atau teman sangat
tinggi; keinginan untuk bekerjasama degan orang lain tinggi, keinginan untuk
mempererat kerukunan sedang, keinginan untuk bertukar pikiran rendah dan
keinginan untuk mendapat bantuan dari pihak lain sangat rendah.

Desa Nanga Tayap dan Tajok Kayong, di Kecamatan Nanga Tayap, juga
melakukan pengalihan dari karet ke kelapa sawit. Hasil survei oleh Santosa et al.
(2018) dengan responden 70,83% adalah masyarakat asli Dayak menemukan
bahwa semua masyarakat Dayak yang berpenghasilan dari sawit memiliki kebun
sendiri dan tidak ada yang bekerja sebagai karyawan. Lain halnya dengan
masyarakat asli dari Melayu, sebanyak 54,7% bekerja sebagai karyawan, dan hanya
61,9% yang memiliki kebun sendiri. Bagi mereka yang berpenghasilan dari kelapa
sawit, mengalih fungsikan lahannya ke kelapa sawit karena adanya peluang
lapangan kerja maupun dekat dengan pabrik. Mereka yang tidak berpenghasilan
dari kelapa sawit umumnya memberikan alasan bahwa mereka tidak memiliki
cukup uang (modal) untuk membeli bibit dan pemeliharaannya. Bagi masyarakat
asli, baik Dayak maupun Melayu, dimungkinkan untuk membuka lahan baru karena
keberadaan tanah adat yang dapat dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit.
Menurut masyarakat, pada banyak kasus, kelapa sawit dikembangkan oleh rumah
tangga yang memiliki tanah adat dan ladang (sebagian dari program transmigrasi)
dan tidak melibatkan pembukaan hutan primer atau memperoleh lahan dari yang
lain.

Berdasarkan informasi dari responden (Santosa et al., 2018), lahan tersebut


merupakan alih fungsi dari tutupan lahan semak belukar dengan status Kawasan
APL. Menurut keterangan Demong (Ketua adat) Dusun Sebuaq, sebelum lahan
ditanami dengan kelapa sawit oleh perusahaan, lahan tersebut sering mengalami
kejadian kebakaran karena ditumbuhi oleh semak belukar. Sejak dialihfungsikan
menjadi perkebunan sawit, Demong menyatakan lahan menjadi lebih optimal
pemanfaatannya karena dapat memberikan lapangan pekerjaan. Selain itu, Demong

67
juga mengatakan bahwa membuka lahan baru membutuhkan lebih banyak tenaga
dan biaya. Meskipun demikian, masyarakat Dayak yang mengalih fungsikan
lahannya ke kelapa sawit tetap memiliki kebun karet sebagai bagian tradisi turun-
menurun (Santosa et al. 2018). Niko (2019) melakukan penelitian antropologi pada
perempuan Dayak Mali sebelum dan sesudah kehadiran perkebunan kelap sawit.
Perempuan Dayak Mali tidak banyak terlibat dengan perkebunan kelapa sawit dan
perusahaan tambang, namun banyak terlibat dalam kegiatan bertani dan menyadap
pohon karet untuk keberlanjutan ekonomi mereka. Meskipun demikian, Niko
(2019) menemukan bahwa meskipun mereka berpegang teguh terhadap tradisinya
dan menyampaikan bahwa mereka merasakan dampak negatif dari sawit, namun
masyarakat Dayak Mali juga memiliki kebun kelapa sawit skala kecil yang terletak
di sekitar permukiman dan hutan. Lebih lanjut Niko (2019) juga menyatakan bahwa
secara perlahan kebun karet dan sawah pun mulai dialihfungsikan menjadi kebun
kelapa sawit, karena harga jualnya yang lebih menjanjikan. Hal ini karena himpitan
kebutuhan ekonomi. Harga beli dari penampung getah karet dipatok Rp 4500/kg,
sementara para penyadap hanya dapat menghasilkan 3-4 kg/hari. Dihimpit oleh
harga sembako yang sangat tinggi. Sementara itu, perekonomian membaik melalui
kelapa sawit. Perempuan Mali tetap menyadap getah karet sebagai tambahan
perekonomian keluarga mereka, sementara para lelaki yang mengelola kebun sawit,
mulai dari pembibitan hingga proses panen. Mengacu kepada hasil yang didapatnya,
Niko (2019) berkesimpulan bahwa meskipun di lapangan ditemukan bukti bahwa
budidaya kelapa sawit tidak selalu berdampak baik, namun karena alasan ekonomi
masyarakat masih tetap menanam kelapa sawit.

Transformasi tanaman karet ke kelapa sawit, juga mampu memberikan


keberagaman sumber nafkah baru dan meningkatkan pendapatan rumah tangga
petani, (Gambar 16) sebagaimana dijumpai pada petani di Minangkabau (Elvawati
et al. 2019). Selanjutnya dilihat dari sektor farm kehadiran kelapa sawit menambah
keberagaman struktur nafkah seperti karet, kelapa sawit, padi, ternak (ayam, sapi
dan kerbau), sedangkan pada sektor nonfarm membuka peluang baru bagi rumah
tangga petani mulai dari wiraswasta, tenaga kerja perkebunan maupun sektor jasa
lainnya.

68
Sumber: Elvawati et al. (2019)

Gambar 16 Struktur pendapatan rata-rata rumah tangga petani kelapa sawit


berdasarkan sumbernya di desa lokal dan desa transmigrasi tahun 2017 di
Minangkabau

Elvawati et al. (2019) menyimpulkan bahwa pergeseran komoditas karet ke kelapa


sawit oleh rumah tangga petani juga didukung oleh hadirnya perusahaan kelapa
sawit. Perubahan sosial perdesaan di Minangkabau menunjukkan terbentuknya tiga
tipologi rumah tangga petani pasca transformasi yaitu munculnya keberagaman
mata pencaharian atau diversifikasi nafkah, kelapa sawit sebagai sumber nafkah
yang dominan, dan rumah tangga yang sumber nafkah kurang dipengaruhi oleh
kelapa sawit. Diversifikasi ekonomi petani disinyalir menjadi sangat penting karena
ketika harga komoditi kelapa sawit mengalami penurunan, rumah tangga petani
masih bisa bertahan.

8.2.2 Kelapa
Kelapa berperan penting dalam kehidupan ekonomi, sosial dan budaya
sebagian besar masyarakat Indonesia (Anjarsari dan Heverlly 2013; Alouw dan
Wulandari 2019). Peluang pasar untuk produk kelapa berkembang terutama karena
alasan kesehatan dan isu lingkungan yang memengaruhi pola permintaan dan
kecenderungan konsumen. Meskipun prospek kelapa baik, namun sejak tahun 2005,
petani yang menanam kelapa di Indonesia sudah mulai berkurang, dan sampai
sekarang produksinya juga masih jauh di bawah kelapa sawit (lihat Gambar 17).

Luas perkebunan kelapa di Indonesia pada tahun 2019 adalah 3.401.893 ha


(Ditjenbun 2020) yang didominasi oleh PR. Meskipun prospek agribisnis kelapa
cukup cerah baik pasar dalam dan luar negeri, namun luas perkebunan kelapa
menunjukkan tren menurun sejak 2010 sampai sekarang. Seiring dengan
berkurangnya luasan areal lahannya, produksinya pun menurun. Pada tahun 2019

69
sebagian besar luas perkebunan kelapa tersebut merupakan PR seluas 3.369.878 ha
(99,06%) dengan produksi sejumlah 2.808.035 ton (98,88%). Luas PBN untuk
komoditas kelapa di tahun 2019 adalah 3.929 ha (0,12%) dengan produksi 2.486
ton (0,09%), sementara luas PBS untuk komoditas ini di tahun 2019 adalah 28.086
ha (0,82%) dengan produksi sebanyak 29.331 ton (1,03%). Produktivitas kelapa di
Indonesia sejak 2013 ditunjukkan pada Gambar 17.

Sumber: Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (2020)

Gambar 17 Produktivitas kelapa (ton)

Masih dijumpai kendala yang menyebabkan pendapatan petani kelapa masih


rendah, salah satunya kurangnya industri pengolahan kelapa. Secara umum
pembentukan industri baru membutuhkan teknologi, keterampilan sumber daya
manusia, modal usaha, ketersediaan bahan baku, pasar, dan kelembagaan akibat
dari teknologi yang tidak tepat guna, terbatasnya akses terhadap informasi dan
teknologi, rendahnya tingkat penguasaan teknologi dan belum optimal dalam
menjalankan sistem manajemen usaha (Anjarsari dan Heverlly 2013). Hal ini dapat
disinyalir sebagai dampak kurangnya kehadiran PBS dan PBN. Sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, bahwa perkebunan kelapa di Indonesia, didominasi oleh
perkebunan milik rakyat yang artinya skala kecil.

Produsen kelapa menghadapi penurunan produksi buah sejak lama, dan juga
harga kopra (minyak kelapa) yang rendah dan fluktuatif. Pasokan minyak kelapa
global juga menghadapi persaingan yang kuat dari minyak nabati dan kelapa sawit
yang pasarnya berkembang pesat. Akibat persaingan tersebut, petani kelapa enggan
menanami kembali lahannya menjadi kelapa dan beralih ke kelapa sawit. Kelapa
menghasilkan lebih sedikit minyak dan pendapatan per ha daripada kelapa sawit;
kelapa menghasilkan 0,53 ton/ha minyak (rata-rata dari total luas kelapa sawit di
Indonesia), senilai US$ 423/ha, sedangkan kelapa sawit menghasilkan 3,17 ton/ha,
senilai US$ 1.729/ha (Novarianto dan Warokka 2006).

70
8.2.3 Kopi
Indonesia merupakan pengekspor kopi dunia. Luas perkebunan kopi di
Indonesia meningkat 1,25% dari tahun 2015 hingga 2019 dengan peningkatan
produksi sebesar 17.7%. Pada tahun 2019, produktivitas perkebunan kopi di
Indonesia tertinggi adalah dari lahan PR (Gambar 18), yaitu 1.221.141 ha (98,06%)
dengan produksi sejumlah 742.466 ton (98,67%). Luas PBN untuk komoditas kopi
di tahun 2019 adalah 14.503 ha (1,17%) dengan produksi 5.635 ton (0,75%),
sementara luas PBS untuk komoditas ini di tahun 2019 adalah 9.714 ha (0,78%)
dengan produksi sebanyak 4.410 ton (0,59%). Sejak 2015 hingga 2019 volume
ekspor kopi Indonesia menurun 28,48% namun volume impor kopi meningkat
sebesar 110,17%.

Sumber: Diolah dari Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (2020)

Gambar 18 Produktivitas kopi (ton)

Bliska et al. (2013) melakukan studi di barat negara bagian São Paulo, Brasil
yang melihat dampak lingkungan dan sosial ekonomi dari produksi kopi dalam
sistem agroforestri di permukiman petani. Dalam studinya, Bliska et al. (2013)
menyebutkan bahwa penanaman agroforestri kopi menghadirkan banyak manfaat
atau keuntungan. Pohon-pohon kopi yang ditanam dapat memastikan pendapatan
yang seimbang karena para petani cenderung dapat mengelola tanaman mereka
lebih baik, membeli input yang lebih, mempekerjakan lebih sedikit buruh dan lebih
memperhatikan buah dan tanaman pangan mereka. Studi tersebut juga
menyebutkan bahwa agroforestri kopi di Meksiko dan Amerika Tengah secara
ekologis dan sosial-ekonomi penting dan lebih cocok untuk lingkungan dan dapat
memastikan kelangsungan hidup serta keberlanjutan untuk pertanian keluarga
melalui diversifikasi produk. Studi tersebut menyimpulkan bahwa produksi kopi
dengan sistem agroforestri menjadi alternatif yang signifikan untuk tanaman kopi.
Penanaman kopi dengan sistem agroforestri berkontribusi dalam memotivasi para

71
pemuda untuk kembali ke kebun untuk merestorasi keragaman hayati baik untuk
pengembangan tanaman kopi maupun pembangunan perdesaan yang
berkelanjutan.

Berbeda halnya dengan di Indonesia. Menurut Sujatmiko dan Ihsaniyati


(2018), sulit bagi petani kopi di Indonesia untuk menjadi sejahtera sebelum mereka
mampu mengelola usahanya dengan baik mulai dari proses budidaya hingga pasca
panen. Konsumsi kopi Indonesia masih sangat rendah, yaitu 0,8 kg per kapita per
tahun, sedangkan Brasil adalah 6 kg per kapita per tahun, sementara konsumsi kopi
Norwegia 10,6 kg per kapita per tahun, bahkan Finlandia sudah mencapai hingga
11,4 kg per kapita per tahun. Kesejahteraan petani kopi di Indonesia masih
dipertanyakan karena rata-rata kepemilikan lahan petani kecil, yaitu hanya 0,6
hektar, sedangkan harga kopi yang ditawarkan oleh perantara lebih rendah. Petani
yang menjual secara pribadi kepada tengkulak cenderung menerima harga yang
ditetapkan oleh mereka. Studi tersebut juga menyebutkan bahwa dari sisi
penciptaan lapangan kerja, komoditas kopi menyediakan lapangan kerja bagi 1,88
juta keluarga dengan kepemilikan rata-rata 0,6 hektar.

8.2.4 Kakao
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan di Indonesia
dengan memberikan kontribusi total ekspor terbesar ketiga setelah kelapa sawit
dan karet untuk sub sektor perkebunan (Supriana et al. 2018; Nasution et al. 2019).
Kakao juga berperan dalam agroindustri dan pembangunan daerah. Perkebunan
kakao menyediakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja karena sebagian
besar merupakan perkebunan rakyat (Ditjenbun 2020) (Gambar 19).

Sumber: Diolah dari Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (2020)

Gambar 19 Produktivitas Kakao (kg/ha)

72
Ditinjau dari areal lahan, luas perkebunan kakao di Indonesia pada tahun 2012
hingga 2016 cenderung menurun sekitar 0,75 hingga 1,9 persen per tahun,
sebaliknya luas perkebunan kelapa sawit cenderung meningkat sekitar 5,38 hingga
10,96 persen per tahun. Ditinjau dari produksinya, produksi biji kakao di Indonesia
pada tahun 2012 hingga 2016 cenderung menurun sekitar 2,65-18,54 persen per
tahun, sebaliknya produksi minyak sawit mentah (CPO) cenderung meningkat
sekitar 5,38-8,42 persen per tahun (Nasution et al. 2019). Walaupun luas
perkebunan kakao di Indonesia menurun 8,68% dari tahun 2015 hingga 2019,
namun produksinya meningkat 8,68%. Pada tahun 2019 sebagian besar luas
perkebunan kakao tersebut merupakan Perkebunan Rakyat, yaitu 1.542.704 ha
(98,83%) dengan produksi sejumlah 729.371 ton (99,26%).

Menurut Purba (2009), terdapat beberapa faktor yang memengaruhi alih


komoditi beberapa tanaman ke kelapa sawit seperti produktivitas, harga kelapa
sawit serta permintaan kelapa sawit dari industri sekitar yang cukup tinggi. Sama
halnya, Yulian (2019) juga menyampaikan alasan yang sama pada petani di
Kecamatan Bone-Bone yang mengalih fungsikan komoditinya dari kakao menjadi
kelapa sawit, sedangkan Supriana et al. (2018) menambahkan satu faktor lain
(selain yang sudah disebutkan) yang ditemukan di Kabupaten Asahan. Demikian
juga menurut Guampe (2014), beberapa alasan petani di Kecamatan Mori Utara
beralih dari kakao ke kelapa sawit karena didorong oleh kehadiran perusahaan
perkebunan kelapa sawit, mobilisasi manusia, akses jalan dan informasi yang
semakin cepat dan luas.

a. Kelapa sawit lebih produktif dan lebih menghasilkan di bandingkan tanaman


kakao

b. Pemasaran/penjualan hasil lebih menguntungkan


Peningkatan skala dan pendapatan dari usaha perkebunan tentunya
sangat dipengaruhi oleh komoditas yang lebih menguntungkan secara
ekonomi. Keberadaan pasar serta akses pasar yang nyaman dan ekonomis
oleh karenanya merupakan faktor yang juga diperhitungkan petani ketika
mengubah lahan kakaonya menjadi kelapa sawit (Nasution et al. 2019,
Guampe, 2014). Keberadaan PKS yang berdekatan dengan perkebunan
masyarakat memudahkan penjualan TBS dan menguntungkan petani karena
dapat langsung dijual ke perusahaan, tanpa melalui pihak ketiga.

Dibandingkan fluktuasi harga, pendapatan usaha tani lebih berpengaruh


pada keputusan petani untuk mengkonversi lahan kakaonya menjadi kelapa
sawit sebagaimana ditemukan di Kecamatan Bone-Bone (Yulian 2019) dan
Kabupaten Asahan (Supriana et al. 2018). Hasil penelitian Yulian (2019)
mendapatkan tidak adanya perubahan pada kesejahteraan ekonomi
masyarakat petani di Kecamatan Bone-Bone pasca alih lahan dari kakao ke

73
kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena pada saat yang bersamaan, turunnya
harga minyak sawit dunia CPO (crude palm oil) menyebabkan harga TBS juga
ikut turun; dan ternyata petani tidak menjual langsung TBSnya ke PKS namun
melalui pengepul sehingga harga menjadi sangat rendah. Harga TBS normal
Rp1150/kg, namun di tingkat petani hanya Rp 300- Rp 500/kg. Hasil
penelitian ini menegaskan bahwa harga dan keberadaan PKS serta koperasi
sangat menentukan dampak ekonomi rumah tangga.

Sebaliknya, Aulia et al. (2020) dan Mahdi (2020) menemukan bahwa


petani kakao memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada petani kelapa
sawit untuk luasan area yang sama. Rata-rata pendapatan usaha tani kakao di
Desa Campaloga, Kecamatan Tommo Kabupaten, Mamuju sebesar Rp
35.319,479/tahun dan rata-rata pendapatan usaha tani kelapa sawit di ini
sebesar Rp 16.815,392/tahun (Mahdi 2020). Demikian juga, Aulia et al. (2020)
tidak menemukan adanya perbedaan yang signifikan antara pendapatan usaha
tani kelapa sawit dengan pendapatan usaha tani kakao di Kecamatan Kluet
Utara Kabupaten Aceh Selatan, yaitu pendapatan petani kakao Rp 14.720.325
/ha/tahun, sedangkan pendapatan rata-rata usaha tani kelapa sawit senilai Rp
11.295.134 /ha/tahun. Petani di kedua area ini tetap menanam kedua
komoditi tersebut.

Petani di Kecamatan Mori Utara, sebagaimana dijumpai oleh Guampe


(2014) terbagi dua, kelompok yang tetap bertahan dengan komoditi kakao dan
yang beralih ke kelapa sawit. Berdasarkan penuturan petani, salah satu yang
membuat mereka bertahan dengan kakao, karena mudahnya pemasaran dan
permintaan yang cukup banyak. Akses pasar yang luas dengan banyaknya
pembeli biji kakao, membuat para petani dengan mudah memasarkan hasil
produksi kakao. Berbeda dengan kakao, pemasaran komoditi kelapa sawit
dirasa kelompok ini masih cukup sulit karena kurangnya pembeli lokal yang
mau membeli kelapa sawit dalam skala kecil. Jika dijual dalam skala besar,
para petani harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar untuk
menjual langsung ke PKS. Biaya angkutan tersebut cukup besar karena jarak
yang cukup jauh, ditambah lagi adanya persyaratan kelayakan buah yang
ditetapkan oleh perusahaan atau pabrik pengolahan. Meskipun demikian,
menurut Guampe (2014), hadirnya perusahaan-perusahaan baru kelapa sawit
di Kecamatan Mori Utara membantu perbaikan jalan dan jembatan, sehingga
mobilisasi, akses jalan dan informasi yang semakin membaik memberikan
pengaruh yang cukup besar terhadap keputusan petani untuk merubah
komoditi pertaniannya. Banyak petani yang mendapatkan informasi baru
mengenai kelapa sawit dan menjadi buruh di perusahaan.

74
c. Rantai produksi kelapa sawit tanpa proses panjang seperti pada kakao
Rantai produksi merupakan salah satu alasan dari keputusan petani
kakao di Kecamatan Mori Utara (Guampe 2014) untuk beralih ke kelapa sawit.
Menurut mereka, rantai produksi tanaman kakao sampai menghasilkan biji
kakao kering siap jual sangat panjang, mulai dari pemeliharaan
(pemangkasan, penyemprotan hama, penyemprotan atau pembersihan
gulma), lalu proses panen (pemetikan buah, pemecahan buah, fermentasi biji,
menyiapkan sanitasi bagi kulit kakao, pengangkutan, penjemuran) baru
penjualan. Proses panen kelapa sawit tidak memerlukan proses pemecahan
buah, fermentasi dan penjemuran karena TBS langsung diangkut ke pabrik.
Oleh karena itu petani-petani tersebut lebih memilih mengusahakan kelapa
sawit yang menurut mereka sistem produksinya lebih singkat dan mudah.

d. Perawatan kelapa sawit lebih mudah dan lebih murah


Panjangnya rantai produksi kakao berdampak pada biaya pemeliharaan.
Semakin tua tanaman kakao, biaya pemeliharaan yang dibutuhkan semakin
besar. Sebagian besar petani yang beralih ke kelapa sawit memang memiliki
tanaman kakao yang sudah berumur tua (berkisar antara 15-20 tahun)
(Guampe 2014).

Ketergantungan petani pada input juga menjadi alasan petani di


Kecamatan Bone-Bone beralih ke kelapa sawit dari kakao, karena kebutuhan
kelapa sawit setelah ditanam hanyalah pupuk, sedangkan kakao, selain
membutuhkan lebih banyak pupuk, juga obat-obatan karena rentan terhadap
penyakit. Serangan hama dan penyakit kakao mengakibatkan penurunan
produksi dan kualitas buah kakao sehingga sangat berpengaruh terhadap
keputusan petani untuk mengkonversi lahan kakaonya menjadi kelapa sawit.
Supriana et al. (2018) menemukan bahwa sebagian besar petani kakao di
Kabupaten Asahan yang mengalihfungsikan lahannya menjadi kelapa sawit,
mengalami serangan hama dan penyakit yang tinggi pada tanaman kakaonya.
Kegiatan pemeliharaan seperti pemangkasan, pengendalian hama dan
penyakit harus rutin dilakukan, sehingga membutuhkan perawatan yang lebih
intensif. Hal berbeda ditemukan pada kelapa sawit.

Pengelolaan kelapa sawit yang tidak membutuhkan perawatan intensif,


memberikan peluang kepada masyarakat untuk mencari nafkah dari sumber
lain. Yulian (2019) menambahkan bahwa alasan petani beralih ke sawit bukan
karena dipaksa atau ikut-ikutan, namun keinginan mereka sendiri untuk bisa
memiliki pendapatan yang lebih baik, menyekolahkan anak dan memiliki
tabungan. Mengingat harga yang menurun, petani saat ini menjadikan kelapa
sawit sebagai pendapatan sampingan. Alasan serupa juga didapatkan oleh
Yusriadi (2015) pada petani di Kecamatan Kuala, Provinsi Aceh yang mengalih
fungsikan lahan kakaonya ke kelapa sawit.

75
e. Luas lahan
Luas lahan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keputusan
petani untuk mengkonversi lahan kakaonya menjadi kelapa sawit. Nasution et
al. (2019) menemukan bahwa bagi petani swadaya dengan keterbatasan
lahan, tetapi tenaga kerja keluarga yang cukup, lebih menguntungkan jika
bertani coklat karena pendapatan yang diterima untuk setiap biaya yang
dikeluarkan cukup besar. Kesimpulan Nasution et al. (2019) ini juga
mendukung adanya pendapatan dari kakao yang lebih besar di Kecamatan
Kluet Utara (Aulia et al. 2020) dan Kecamatan Tommo (Mahdi 2020)
sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Luas lahan kakao di kedua desa di
kecamatan-kecamatan tersebut di bawah 1.5 ha, sedangkan luas lahan kelapa
sawit rata-rata di bawah 2 ha. Menurut Supriana et al. (2018), petani kakao di
Kabupaten Asahan Sumatera Utara, yang cenderung menggunakan tenaga
kerja keluarga untuk usaha taninya, merasakan kesulitan jika kakao
dibudidayakan di lahan yang luas, apalagi jika tenaga kerja dalam keluarga
terbatas. Berbeda dengan kelapa sawit yang lebih banyak menggunakan
tenaga kerja di luar keluarganya dalam bercocok tanam. Mengingat sebagian
besar kegiatan petani kelapa sawit tidak bergantung pada tenaga kerja
keluarga, maka mereka memiliki kebebasan untuk bertani di lahan yang lebih
luas.

f. Modal usaha
Alasan selanjutnya yang membuat petani di Kecamatan Mori Utara tetap
bertahan dengan usaha tani kakao dan tidak melakukan alih komoditi adalah
ketersediaan modal (Guampe 2014). Biaya tersebut untuk pembelian bibit dan
juga pemupukan rutin atau kurang lebih 2-3 kali dalam setahun, sedangkan
untuk tanaman kakao, pemberian pupuk biasanya hanya satu kali dalam satu
tahun. Nasution et al. (2019) menemukan bahwa bagi petani swadaya dengan
keterbatasan modal, lebih menguntungkan jika bertani coklat karena
pendapatan yang diterima untuk setiap biaya yang dikeluarkan cukup besar.

8.3 Perbandingan Kelapa Sawit dengan Tanaman Kehutanan

8.3.1 Hutan Tanaman Industri (HTI)


Menurut Hadi (2002), dampak adalah suatu perubahan yang terjadi pada
manusia dan masyarakat yang disebabkan oleh aktivitas pembangunan proyek,
program atau kebijaksanaan yang diterapkan pada masyarakat dan memengaruhi
keseimbangan pada suatu sistem di dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat di
dalam dan sekitar hutan yang secara fisik dan historis merupakan pihak yang
berkepentingan dengan sumber daya hutan, perlu memperoleh hak prioritas dalam
berbagai peluang usaha sektor kehutanan, termasuk dalam usaha hutan tanaman
industri. Diyakini bahwa dengan segala keterbatasan masyarakat saat ini, maka

76
tidak mungkin mampu melaksanakan pengelolaan sumber daya hutan yang sangat
luas dan kompleks. Oleh karena itu, pemberian prioritas kepada masyarakat
tersebut tidak dianggap sebagai penghalang bagi investor besar dari luar. Bahkan
sebaliknya upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dalam sektor kehutanan sangat
memerlukan campur tangan pengusaha besar dari luar lingkungan hutan.

Pembangunan HTI dalam jangka panjang pasti memiliki dampak secara


langsung maupun tidak langsung. Dampak kegiatan pembangunan ini muncul
karena ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan, maka penilaian
dampak sosial ekonomi juga perlu mengacu kepada mereka yang diuntungkan dan
yang dirugikan. Dampak sosial yang sering terjadi dalam pembangunan hutan
tanaman industri yaitu adanya sengketa lahan dimana di dalam suatu luasan lahan
konsesi yang diberikan oleh pengusaha terdapat lahan masyarakat yang tidak
terdeteksi sehingga munculnya konflik. Selanjutnya disebutkan bahwa ada
beberapa hal utama yang menjadi indikator perubahan di suatu wilayah antara lain;
a) fasilitas pendidikan: tersedianya fasilitas pendidikan untuk masyarakat setempat
seperti sekolahan, dan bis sekolah, b) fasilitas beribadat: adanya tempat-tempat
ibadah yang disediakan untuk masyarakat setempat, seperti masjid dan gereja, c)
fasilitas kesehatan untuk kepentingan masyarakat di daerah tersebut, seperti
puskesmas beserta tenaga medisnya.

Syafaruddin et al. (2012) melakukan studi tentang dampak keberadaan Hutan


Tanaman Industri (HTI) PT. Wana Subur Lestari terhadap kesejahteraan
masyarakat. Hasil studinya menyimpulkan bahwa keberadaan HTI PT. Wana Subur
Lestari memberikan dampak positif terhadap pendapatan masyarakat, kesempatan
berusaha, peningkatan kualitas sarana dan fasilitas sarana dan prasarana umum,
lapangan pekerjaan sampingan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat di desa
Sungai Radak II. Rata-rata pendapatan masyarakat meningkat sebesar 30,69%. Jenis
usaha yang mengalami peningkatan yaitu pada kios/toko sembako, warung makan
dan kios BBM. Peningkatan jumlah masyarakat usia produktif yang memiliki
pekerjaan sampingan adalah sebesar 13,73%. Tingkat kesejahteraan rata-rata
termasuk dalam kriteria tingkat kesejahteraan “sedang”, dengan peningkatan rata-
rata 3,32%. Keberadaan HTI PT. Wana Subur Lestari juga tidak menimbulkan
dampak negatif bagi kesehatan masyarakat desa Sungai Radak II. Keberadaan hutan
tanaman industri PT. Wana Subur Lestari tidak memberikan dampak positif
terhadap lembaga kemasyarakatan. PT. Wana Subur Lestari tidak melaksanakan
kegiatan penyuluhan, pelatihan dan atau kerja sama dengan koperasi yang
merupakan wujud dari pelaksanaan kelestarian fungsi sosial dalam rangka
pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan.

Dampak sosial yang masuk dalam kategori dampak standar (standard impact)
setelah adanya pembangunan hutan tanaman industri (Youlla et al. 2020) meliputi:
1. Pembangunan infrastruktur jalan dan penerangan/jaringan listrik

77
2. Pelayanan pendidikan, dalam bentuk beasiswa, tunai, buku gedung sekolah;
3. Ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan;
4. Bantuan pembangunan untuk kegiatan beribadah seperti musholla dan
vihara; dan
5. Pelayanan kesehatan

Meskipun demikian, terdapat dua masalah utama yang bersifat negatif:


1. Dampak terhadap lingkungan- sejak masuknya perusahaan HTI, sektor
pertanian terdampak. Jika musim hujan tiba air sungai dari aliran
perusahaan meluap ke permukiman masyarakat sehingga menyebabkan
banjir. Hal tersebut berdampak pada tanaman yang sedang diusahakan
warga. Sebelum adanya pembangunan perusahaan HTI, warga setempat
banyak mengusahakan komoditas pertanian dimana hasil yang didapat juga
sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka, antara lain: padi, keladi, jagung,
nanas dan kedelai (Youlla et al. 2020)
2. Peluang kerja - Dampak negatif yang dirasakan masyarakat dari segi peluang
kerja, adalah bahwa sebagian masyarakat lokal yang bekerja pada
perusahaan HTI hanya sebagai karyawan buruh harian, dan borongan.
Berbeda halnya dengan posisi staf dan pengawas lapangan yang diisi oleh
masyarakat yang berasal dari luar, sehingga menimbulkan kecemburuan
sosial (Youlla et al. 2020).

Beberapa prinsip munculnya pengelolaan hutan maupun lahan untuk hutan


tanaman industri tersebut menimbulkan masalah-masalah baru dilingkungan
masyarakat khususnya masyarakat setempat. Hal ini terjadi setelah lahan tersebut
dikelola dan dikembangkan oleh pengusaha untuk mengembangkan hutan tanaman
industri menjadi maju serta produktivitas lahan menjadi tinggi, masyarakat
setempat dimana perusahaan itu berada mulai berduyun-duyun
mempermasalahkan hal ini yang pada akhirnya akan berdampak terhadap
lingkungan masyarakat itu sendiri. Dampak yang timbul di lingkungan masyarakat
pada umumnya yaitu dampak sosial yang muncul sangat bervariasi dan beragam
diantaranya adalah konflik atau sengketa kepemilikan lahan. Hal ini terjadi karena
tidak beresnya tatanan administrasi dan kinerja para aparatur pemerintah mulai
dari tingkatan paling bawah hingga ke tingkatan tertinggi yang memiliki wewenang
untuk mengeluarkan izin usaha. Pengusaha dan masyarakat dalam hal ini tidak
dapat dipermasalahkan karena sebelum izin usaha yang dikeluarkan kepada
pengusaha telah dilakukan verifikasi atau peninjauan lahan yang akan diberikan
kepada pengusaha oleh pejabat pemerintah dari tingkat desa hingga kementerian
kehutanan. Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah mengapa didalam suatu
luasan lahan konsesi yang diberikan oleh pengusaha terdapat permukiman
penduduk yang tidak terdeteksi sehingga munculnya konflik dan bahkan tak jarang
masyarakat yang telah lama mendiami daerah tersebut harus keluar karena izin
usaha yang diberikan kepada masyarakat.

78
Pembangunan desa selalu menjadi fokus perhatian dalam usaha memajukan
kehidupan sosial ekonomi masyarakat seperti pembangunan perusahaan Hutan
Tanaman Industri (HTI) yang bertujuan untuk menghilangkan kemiskinan dan
keterbelakangan khususnya di daerah perdesaan, di samping itu juga memacu
pertumbuhan ekonomi daerah dan membuka lapangan kerja. Namun tentunya
pembangunan juga memiliki dampak bagi masyarakat baik itu dampak positif
maupun dampak negatif. Dampak sosial adalah sebuah bentuk akibat atau pengaruh
yang terjadi akibat adanya suatu hal, pengaruh yang dimaksudkan adalah akibat
yang terjadi dalam masyarakat. Analisa dampak sosial adalah suatu kajian yang
dilakukan terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sebagai akibat
pelaksanaan suatu kegiatan pembangunan di suatu wilayah atau daerah, termasuk
pula pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Industrialisasi sebagai suatu
aspek dalam pembangunan maka akan merubah struktur dan fungsi sosial dalam
masyarakat. Maksudnya industrialisasi bukan hanya mampu menaikkan
pertumbuhan ekonomi masyarakat, melainkan hal-hal lain pada kehidupan sosial
masyarakat seperti terjadi pola pergeseran ekonomi masyarakat. Masyarakat yang
menjual lahannya kepada pengusaha perusahaan HTI ini, mengubah pekerjaan
mereka menjadi buruh yang pada awalnya adalah pemilik lahan. Masyarakat di desa
tidak memiliki pilihan lain selain menjadi buruh. Untuk menjadi buruh di
perusahaan HTI tidaklah mudah karena mereka harus menempuh perjalanan yang
jauh serta menaiki gunung yang sangat tinggi serta banyaknya bahaya yang
mengancam seperti jatuh dari mobil yang mereka naiki ke gunung, bahkan untuk
bekerja di HTI ini mereka harus mempertaruhkan nyawanya. Selain itu mereka
harus meninggalkan anak hingga berminggu-minggu. Namun masyarakat di desa
dimana tetap ingin bekerja di HTI.

Hasil penelitian Alfred et al. (2020) di Malaysia, mendapatkan bahwa hutan


tanaman dan budidaya Eucalyptus memiliki dampak sosial ekonomi yang relatif
sama terhadap masyarakat lokal, meliputi aspek ketenagakerjaan, pendapatan,
infrastruktur, ketersediaan sumber daya alam, sumber kayu dan ketahanan pangan.
Sebagian besar dampak di semua aspek yang disebutkan dapat dianggap sebagai
dampak positif meskipun ada beberapa aspek yang mungkin juga memiliki
pengaruh negatif terhadap masyarakat setempat. Perkebunan Eucalyptus
menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bagi masyarakat perdesaan yang
tinggal di sekitar areal perkebunan dan sekaligus menghasilkan pendapatan
tambahan bagi mereka yang bekerja karena potensi keuntungan yang menggiurkan
dibandingkan tanaman pertanian lainnya dalam jangka panjang. Hal ini dapat
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Di sisi lain,
penanaman Eucalyptus dapat memengaruhi ketersediaan sumber daya alam seperti
struktur penggunaan lahan. Perkebunan dapat memengaruhi pertanian tanaman
lainnya dan mengurangi ketersediaan padang rumput di daerah tersebut dapat

79
menyebabkan penggembalaan berlebihan, yang berkontribusi langsung pada
degradasi tanah.

HTI memiliki dampak positif terhadap pendapatan masyarakat, kesempatan


berusaha, peningkatan kualitas sarana dan fasilitas sarana dan prasarana umum,
lapangan pekerjaan sampingan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Dampak
negatif dari HTI adalah terkait dengan lingkungan dan peluang kerja. HPH
menyebabkan lahan pertanian semakin sempit, pemilikan lahan bagi masyarakat
lokal berkurang, sering terjadi konflik baik antara masyarakat lokal dengan
pendatang, maupun dengan perusahaan HPH. Kegiatan penebangan kayu ilegal juga
meningkat dan mobilitas penduduk pun menjadi tinggi.

Pembangunan HTI dalam jangka panjang pasti memiliki dampak secara


langsung maupun tidak langsung. Dampak kegiatan pembangunan ini muncul
karena ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan, maka penilaian
dampak sosial ekonomi juga perlu mengacu kepada mereka yang diuntungkan dan
yang dirugikan. Dampak sosial yang sering terjadi dalam pembangunan hutan
tanaman industri yaitu adanya sengketa lahan dimana di dalam suatu luasan lahan
konsesi yang diberikan oleh pengusaha terdapat lahan masyarakat yang tidak
terdeteksi sehingga munculnya konflik.

Dari perbandingan tersebut kita belajar bahwa setiap komoditas memiliki


keunikan masing-masing namun memiliki kecenderungan untuk dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, begitu juga dengan
kelapa sawit.

8.3.2 Hak Pengusahaan Hutan (HPH)


Syahza (2004) melakukan studi tentang dampak kegiatan Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) terhadap sosial ekonomi masyarakat sekitar di Kabupaten Siak Riau.
Kabupaten Siak memiliki potensi hutan yang cukup tinggi, sehingga banyak
perusahaan yang mempunyai HPH melakukan kegiatan menggali potensi hutan di
kabupaten tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan HPH
menyebabkan lahan pertanian semakin sempit, pemilikan lahan bagi masyarakat
lokal berkurang, sering terjadi konflik baik antara masyarakat lokal dengan
pendatang, maupun dengan perusahaan HPH. Kegiatan penebangan kayu ilegal juga
meningkat dan mobilitas penduduk pun menjadi tinggi.

Di sisi lain, kegiatan penebangan hutan dianggap dapat menciptakan peluang


usaha, kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat sekitarnya, dan
pertumbuhan ekonomi. Namun sejatinya kegiatan HPH seperti penebangan kayu
secara besar-besaran untuk kebutuhan industri pengolahan kayu membuat
masyarakat lokal menderita karena mutu lingkungan yang menurun. Bukan

80
menikmati hasil dari pemanfaatan hutan, masyarakat lokal malah harus
menanggung dampak negatifnya.

8.3.3 Dampak Sosial-Ekonomi


Andrianto et al. (2019) menyampaikan bahwa pembukaan lahan untuk
pembangunan perkebunan kelapa sawit berdampak negatif bagi masyarakat adat
terkait dengan tenure insecurity, penurunan pendapatan dan sumber makanan,
serta tipe dan jumlah pengeluaran yang meningkat. Norwana et al. (2011)
melakukan sebuah assessment dengan studi kasus di Sabah tentang dampak lokal
perluasan kelapa sawit di Malaysia. Assessment tersebut menyimpulkan bahwa
wawancara dengan informan kunci, survei rumah tangga, dan diskusi kelompok
terfokus dengan berbagai pemangku kepentingan lokal menunjukkan bahwa
dampak dari kelapa sawit adalah positif terhadap mata pencaharian lokal,
khususnya petani kelapa sawit independen dan karyawan migran.

Tabel 21 Rangkuman perbandingan kelapa sawit dengan beberapa komoditas lain


Kriteria Kelapa Sawit Kelapa Karet Kopi Kakao
Luas Cenderung Cenderung Cenderung Cenderung Cenderung
meningkat menurun meningkat meningkat menurun
Produksi Cenderung Cenderung Cenderung Cenderung Cenderung
meningkat menurun meningkat meningkat meningkat
Kepemilika Sebagian besar Sebagian besar Sebagian Sebagian Sebagian
n perkebunan perkebunan besar besar besar
besar swasta rakyat perkebunan perkebunan perkebunan
rakyat rakyat rakyat
Ekspor dan Cenderung Cenderung Cenderung Ekspor Cenderung
Impor meningkat meningkat menurun cenderung meningkat
menurn,
impor
cenderung
meningkat
Stabilitas Relatif stabil, Relatif stabil Fluktuatif Relatif stabil Cenderung
Harga tergantung menurun
harga di pasar
dunia
Dampak Meningkatkan Sejalan dengan Pendapatan Penanaman Diversifikasi
pendapatan kesadaran dipengaruhi kopi pendapatan
dan masyarakat oleh faktor agroforestri
kesejahteraan akan kesehatan luas lahan, menghadirk
biaya tenaga an banyak
kerja, dan manfaat
biaya pupuk. atau
keuntungan
Isu Proses Petani hanya Permintaan Implikasi Ketergantunga
pembukaan/ menghasilkan karet alam perubahan n terhadap
perluasan kopra, produk yang iklim input
lahan terutama dengan nilai melemah
jika tambah hanya karena harga
menyangkut diproduksi karet sintesis
masyarakat oleh industri yang lebih
adat murah

81
Dari Tabel 21 dapat dilihat bahwa luas dan produksi cenderung memiliki
hubungan yang positif kecuali pada coklat. Ketika luas lahan coklat menurun
produksinya cenderung meningkat. Produksi komoditas-komoditas di atas dari
2015 hingga 2019 cenderung meningkat kecuali pada kelapa. Sebagian besar
perkebunan komoditas-komoditas di atas berbentuk perkebunan rakyat, kecuali
kelapa sawit yang sebagian besar merupakan perkebunan swasta. Kopi menjadi
salah satu komoditas yang unik karena ketika komoditas yang lain cenderung
memiliki perubahan yang sama antara ekspor dan impor namun ekspor kopi
cenderung menurun dan impornya cenderung meningkat. Ekspor dan impor kelapa
sawit, kelapa dan coklat cenderung meningkat sementara ekspor dan impor karet
cenderung menurun. Harga komoditas di pasar dunia relatif stabil dan mengalami
kenaikan pada Bulan November dan Desember kecuali kopi Robusta yang harganya
menjadi tinggi pada Bulan Februari. Hampir sebagian besar komoditas dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat namun dengan syarat
dan penyesuaian tertentu. Di antara komoditas-komoditas yang dibandingkan
kelapa sawit adalah komoditas yang cenderung memiliki isu dengan pembukaan
atau perluasan lahan.

8.3.4 Dampak Sosial-Budaya


Keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit secara langsung maupun
tidak langsung telah memengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat, antara lain
etos kerja, kelembagaan, akses pendidikan dan kekompakan masyarakat.
Berlawanan dengan aspek ekonomi yang hampir seluruhnya meningkat, aspek
sosial budaya mengalami penurunan. Curahan waktu bekerja dalam mengelola
sawit mengurangi interaksi sosial (Sunarminto et al. 2019), namun curahan waktu
mengelola yang tidak terlalu besar, memungkinkan masyarakat untuk tetap
melaksanakan kegiatan terkait kebudayaan. Gambar 20 menunjukkan bahwa
dampak sosial budaya berbeda beda.

Sumber: Sunarminto et al. (2019)

Gambar 20 Dampak sosial-budaya dari perkembangan perkebunan kelapa sawit

82
Hasil studi Widianingsih et al. (2016) menunjukkan bahwa hutan sekunder
dan hutan hujan dataran rendah tetap penting bagi mata pencaharian penduduk
asli. Selain pendapatan dari hutan, rumah tangga masyarakat asli/adat sebagian
besar didapatkan dari perannya sebagai buruh harian di perkebunan kelapa sawit
dan karet. Kelompok masyarakat Melayu dan pendatang, terutama memperoleh
pendapatan dari konversi hutan dan pendirian perkebunan skala kecil (karet dan
kelapa sawit). Pendapatan dari sumber non-kehutanan berkontribusi sebagai salah
satu dari tiga pendapatan tahunan total teratas untuk semua kategori masyarakat
dalam penelitian tersebut, dengan rumah tangga Melayu lokal dan pendatang
cenderung didominasi oleh usaha kecil/swadaya.

Hasil penelitian Widianingsih et al. (2016) menegaskan adanya peran etnisitas


dalam menentukan orientasi mata pencaharian. Etnisitas juga terbukti relevan
dalam menentukan modal rumah tangga dan pendapatan total tahunan. Masyarakat
yang hidupnya paling dekat dengan hutan dan tingkat ketergantungan yang tinggi
pada hutan menjadi kelompok termiskin, dengan pendapatan hutan absolut
tertinggi dan ketergantungan hutan relatif. Hasil penelitian mereka juga
mengkonfirmasi temuan dari analisis sebelumnya (Manik et al. 2013; Mamo et al.
2007) mengenai hubungan antara kemiskinan dan ketergantungan pada
pendapatan dari hutan.

Nilai sosial, norma sosial, dan adat istiadat yang ada pada masyarakat di desa
ini saat ini sudah mulai mengalami kelonggaran yang diakibatkan oleh kondisi
masyarakat saat ini yang mengalami perubahan khususnya pada masalah
pekerjaan, dimana jam kerja para penduduk desa ini juga ikut serta mempengaruhi
intensitas para warga untuk meluangkan waktu mengikuti segala kebiasaan yang
ada pada masyarakat selama ini, meskipun nilai sosial, norma sosial dan adat
istiadat mengalami kelonggaran tetapi masyarakat desa masih tetap
menjalankannya dan berpegang pada hal-hal yang dianggap baik (Tamba &
Manurung 2015).

83
IX. PERMASALAHAN IMPLIKASI KELAPA
SAWIT SEBAGAI TANAMAN HUTAN
TERDEGRADASI

9.1 Permasalahan
Hasil pencermatan terhadap pemberitaan di media massa dan media sosial,
serta diskusi pada Seminar Nasional dengan tema “Permasalahan, Prospek dan
Implikasi Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi” dapat dicatat
beberapa permasalahan jika kelapa sawit dijadikan sebagai salah satu tanaman di
kawasan hutan terdegradasi/kritis dan atau tidak produktif, yakni :

a. Ide melegitimasi sawit sebagai “hutan” itu dikhawatirkan dapat mengancam


habitat satwa, selain itu juga membuka narasi permisif terhadap penebangan
kayu alam. Mengubah definisi hutan itu demi kepentingan pragmatis,
menjadi sangat paradoks.
b. Usulan sawit sebagai tanaman hutan tidak relevan untuk digunakan sebagai
solusi penyelesaian keterlanjuran kebun sawit di kawasan hutan. Hal ini
membutuhkan tinjauan kritis dan ilmiah yang melibatkan lintas bidang
keilmuan bukan semata aspek fisiologis tanaman hutan.
c. Forest Watch Indonesia, menggolongkan hutan tanaman industri sebagai
perkebunan, Sawit bukan tanaman kehutanan karena monokultur.
Sementara ciri hutan adalah keragaman pohon dengan berbagai strata yang
menciptakan iklim yang solid. Maka jika pohon yang seragam di HTI saja
bukan hutan, apalagi kelapa sawit.
d. Sawit tetap tergolong tanaman perkebunan, karena tidak menciptakan iklim
mikro, dengan perakaran dangkal sedikit menyimpan air, dan serapan
karbonnya juga rendah. Menggolongkan sawit sebagai tanaman hutan akan
kontra-produktif dengan usaha mitigasi krisis iklim.
e. Tujuan hutan tanaman dengan masa panen yang cukup lama adalah untuk
memperoleh jenis kayu yang berkualitas baik dan bernilai ekonomis tinggi.
Maka, dalam menanam bibit pada tahun pertama, biasanya jarak tanam
dibuat rapat 3 x 2 meter, lalu penjarangan selama 2-3 kali. Sementara dalam
tanaman perkebunan tidak mengenal penjarangan dan pemangkasan. Jarak
tanamnya 8 x 8 atau 9 x 9 meter dan jika ada yang mati hanya disulam.
f. Fungsi hidrologi tanaman perkebunan juga buruk. Bahkan penelitian di
Chile menyebutkan bahwa tanaman monokultur, bahkan jika ia pohon, tak
baik sebagai pengendali iklim. Tanaman monokultur sedikit menyerap
karbon karena mereka bersaing memperebutkannya, tidak saling berbagi
seperti halnya hutan alam yang menyimpan keragaman hayati tinggi.

84
g. Tata kelola Kehutanan masih belum baik, KPH belum kuat, penegakan
hukum masih lemah, dikhawatirkan kerusakan ekosistem hutan akan
semakin masif jika Kelapa sawit direkognisi sebagai tanaman hutan
h. Konflik lahan dan sosial masih masif di lapangan, kesadaran masyarakat dan
pelaku usaha masih lemah terkait dengan fungsi ekologi, keragaman dan
kelestarian
i. Tekanan beberapa pemerhati lingkungan, baik lokal maupun global yang
bersifat “anti-sawit”.

Dari uraian permasalahan diatas kiranya dapat dikelompokkan menjadi 3


akar permasalahan, yakni: (a) adanya kekhawatiran terjadinya
pembukaan/perambahan kawasan hutan alam, (b) dugaan bahwa kelapa sawit
merupakan tanaman yang kurang baik untuk keanekaragaman hayati dan upaya
mitigasi perubahan iklim dan (c) adanya tekanan dari dunia internasional terkait
“persaingan perdagangan minyak nabati” dengan mengatasnamakan lingkungan,
HAM dan kesehatan.

Akar permasalahan yang pertama pada dasarnya akan dapat diselesaikan


apabila Kementerian LHK selaku “owner” menjaga dengan komitmen yang tinggi
kawasan hutannya. Selain ditata batas sebagaimana seharusnya, sosialisasi dan
monitoring secara periodik dan berkesinambungan diyakini akan lebih efektif
untuk mencegah terjadinya perambahan kawasan oleh masyarakat sekitarnya.
Selain itu, masyarakat yang diperbolehkan berkebun sawit (dengan aturan tertentu
supaya tidak bersifat monokultur) di kawasan hutan kritis akan turut menjaga
kawasan hutannya baik dari perambahan orang lain maupun dari kemungkinan
kejadian kebakaran.

Adapun untuk akar permasalahan kedua, telah banyak penelitian yang


dilakukan, tidak saja dalam skala laboratorium akan tetapi juga dalam skala
lapangan. Sebagaimana telah dipaparkan pada BAB V (Perbandingan
Keanekaragaman Jenis Satwa Liar antara Kelapa Sawit dengan Tanaman Hutan),
pengembangan kebun sawit di lahan dengan tipe tutupan semak belukar, ladang
pertanian dan atau padang alang-alang secara umum meningkatkan
keanekaragaman jenis burung, amfibi, reptil dan kupu-kupu. Lalu untuk taksa
mamalia, keanekaragaman jenisnya dapat dipertahankan melalui areal NKT/HCV.

Demikian pula halnya terkait dengan kemampuan sekuestrasi gas rumah kaca
sebagaimana dipaparkan pada BAB VI (Perbandingan Laju Penyerapan dan Emisi
Gas Rumah Kaca antara Kelapa Sawit dengan Tanaman Hutan). Tanaman kelapa
sawit memiliki kemampuan penyerapan CO2 yang tinggi dan paling efisien dalam
pemanfaatan radiasi matahari dibandingkan dengan tanaman komoditas
kehutanan lainnya. Nilai NPP kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dengan
tanaman kehutanan lainnya, dan nilai NEE juga tidak lebih rendah dibandingkan

85
dengan ekosistem hutan. Konversi lahan-lahan kosong dan semak belukar menjadi
kelapa sawit dapat meningkatkan penyerapan CO2 bagi ekosistem.

Terkait isu bahwa kebun sawit menyebabkan kekeringan air sumur, sungai
dan danau secara ilmiah sulit diterima, karena penyerapan air dari tanah oleh
tanaman kelapa sawit tidak mungkin dapat dilakukan melebihi kedalaman solum
tanah di zona perakaran. Demikian pula halnya dengan tudingan bahwa keberadaan
perkebunan sawit mengakibatkan terjadinya banjir. Pada praktiknya, kebun sawit
membagi lokasi di lapangan ke dalam beberapa “kategori” yaitu gawangan hidup,
gawangan mati, dan piringan. Gawangan mati dan gawangan hidup ada
berdampingan pada satu jalur tanaman, maka dapat diperkirakan bahwa luasan
gawangan mati dan gawangan hidup masing-masing adalah separuh dari luasan
kebun sawit. Selamet (2015), menyatakan bahwa kapasitas infiltrasi pada
gawangan mati sangat tinggi, yaitu 32.13 cm/jam sedangkan kapasitas infiltrasi
pada gawangan hidup sangat rendah yaitu 9.42 cm/jam. Ketika terjadi hujan, air
akan mengalir ke gawangan mati, sehingga sangat kecil kemungkinan terjadi banjir
di perkebunan sawit.

Selanjutnya terkait dengan tekanan dunia internasional yang sangat


diskriminatif apartheid terhadap sawit diperlukan data-data/informasi hasil
penelitian ilmiah yang valid tentang deforestasi, penurunan kehati, HAM dan
kesehatan. Selain itu, melalui upaya diplomasi perlu diterangkan bahwa Rencana
Tata Ruang Nasional (dimana didalamnya diatur proporsi luasan lahan dan ruang
untuk setia jenis peruntukkan : konservasi/lindung, budidaya, pemukiman dll)
adalah bentuk kedaulatan negeri ini sehingga tidak ada hak sedikit pun bagi Negara
lain untuk ikut campur terhadap hal tersebut.

9.2 Implikasi
Berikut implikasi jika kelapa sawit dapat dijadikan sebagai salah satu tanaman di
kawasan hutan terdegradasi/kritis dan atau tidak produktif :

a. Luas areal berhutan Indonesia akan meningkat drastis (16,38 juta ha)
Dengan masuknya kelapa sawit sebagai salah satu tanaman hutan, maka
secara otomatis luas areal berhutan (bukan kawasan hutan hutan)
bertambah paling tidak seluas 16,38 juta ha sesuai dengan ketetapan luas
tutupan lahan perkebunan kelapa sawit (SK Menteri Pertanian
833/KPTS/SR. 020/M/12/2019). Perlu kiranya digaris bawahi bahwa bagi
para pemerhati lingkungan, baik nasional maupun dunia internasional, luas
areal berhutan jauh lebih penting dan bermakna bila dibandingkan dengan
luas “kawasan hutan” sebagaimana tertuang dalam
peraturan/perundangan RI.

86
b. Peningkatan tingkat keanekaragaman jenis hayati pada kawasan-
kawasan hutan terdegradasi, kritis dan tidak produktif
Penelitian yang dilakukan pada sekitar 25 perkebunan kelapa sawit dan
lebih dari 50 kebun sawit rakyat yang tersebar di 5 provinsi (Bab V)
menunjukkan bahwa secara umum perubahan dari tutupan lahan semak
belukar, ladang pertanian, kebun karet dan coklat, bekas pertambangan
menjadi kebun sawit telah meningkatkan keanekaragaman jenis mamalia,
burung, amfibi, reptil dan kupu-kupu. Dengan demikian andaikan kelapa
sawit dijadikan sebagai salah satu tanaman hutan terdegradasi, kritis dan
atau tidak produktif maka diyakini akan terjadi peningkatan tingkat
keanekaragaman jenis berbagai taksa satwa liar.

c. Peningkatan kontribusi serapan gas rumah kaca dari areal berhutan


Selama ini tanaman/kebun sawit belum pernah diperhitungkan serapan gas
rumah kacanya, padahal hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa laju
serapan CO2 kebun sawit relatif lebih tinggi dari tipe tutupan lahan lainnya
(BAB VI). Penetapan secara de jure kelapa sawit sebagai salah satu tanaman
hutan akan menjadi dasar hukum penting untuk memperjuangkan
kontribusi kebun sawit terhadap komitmen nasional dalam penurunan
Emisi GRK.

d. Nilai ekonomi dan kontribusi kawasan hutan terdegradasi semakin


tinggi.
Selama ini kawasan hutan/lahan terdegradasi, kritis dan atau tidak
produktif dengan luasan sekitar 14 juta ha praktis tidak memiliki nilai
ekonomi. Apabila kemudian dapat ditanami dengan kelapa sawit sebagai
tanaman pokok (maksimal 65-70%) ditambah dengan tanaman unggulan
setempat (ulin, jati, meranti dll) dan juga tanaman kehidupan lainnya untuk
mendukung kehidupan masyarakat lokal, dipastikan kawasan hutan
terdegradasi, kritis dan tidak produktif tersebut akan meningkat nilai dan
kontribusinya terhadap perekonomian baik rumah tangga, PAD maupun
Negara (Bab VII).

e. Percepatan dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri, Hutan


Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa.
Perkembangan luas kebun sawit (baik kebun rakyat maupun perkebunan
swasta) terbukti lebih cepat bila dibandingkan dengan perkembangan luas
Hutan Tanaman Industri. Ini menunjukkan bahwa minat dan antusiasme
baik masyarakat setempat maupun para pengusaha/investor untuk
membangun kebun sawit jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan
mengembangkan tanaman hutan lainnya (karet, jabon, dll). Andaikan kelapa
sawit dijadikan salah satu tanaman hutan sehingga dapat ditanam sebagai
tanaman pokok (dengan luasan maksimum 65-70%) di HTI, HTR, HKm dan

87
Hutan Desa, maka diyakini perluasan ke-4 kategori hutan tersebut akan
lebih cepat.

f. Target Program Reboisasi/penghijauan hutan dan lahan kritis akan


lebih cepat tercapai .
Sebagaimana kita maklumi bersama bahwa keberhasilan program reboisasi
hutan terdegradasi dan penghijauan lahan kritis sampai saat ini masih
belum mendapat target yang direncanakan, walaupun telah menelan biaya
yang sangat besar. Permasalahannya bukan terletak pada kegiatan
penanaman, tetapi justru pada kegiatan pasca penanaman, yakni
pemeliharaan. Apabila kelapa sawit dijadikan salah satu tanaman untuk
program reboisasi kawasan hutan produksi dan penghijauan lahan kritis
(dengan syarat topografi tidak curam) dengan melibatkan masyarakat
sekitarnya, maka diyakini program reboisasi dan penghijauan tersebut akan
meningkat tingkat keberhasilannya (baik secara kuantitas maupun kualitas)
dan bahkan dengan biaya yang akan jauh lebih rendah karena sebagian
besar ditanggung oleh masyarakat. Selain itu, masyarakat akan terus
menjaga hutan ber”sawit”nya sehingga kebakaran hutan dan lahan akan
dapat dihindarkan secara dini.

g. Penyelesaian permasalahan kebun kelapa sawit di kawasan hutan


menjadi relatif lebih mudah.
Karena sawit dianggap bukan sebagai tanaman hutan, maka
keberadaan/keterlanjuran kebun sawit di kawasan hutan dijadikan
masalah, menjadi topik FGD, seminar yang sampai saat ini masih tetap
belum terpecahkan solusi terbaiknya. Konsep “jangka benah” yang diusung
oleh sekelompok pakar kehutanan dipandang “berat sebelah”, cenderung
menguntungkan pihak Kementerian LHK selaku “owner” kawasan hutan,
sementara para petani sawit merasa dirugikan. Lalu, usulan “pelepasan
kawasan/alih fungsi menjadi non-kawasan hutan atau untuk budidaya,
maka dianggap hanya akan menguntungkan petani sawit, sementara pihak
Kementerian LHK dan para Rimbawan merasa dirugikan dengan terus
berkurangnya luas kawasan hutan (bukan areal berhutan). Oleh karena itu
menjadikan kelapa sawit sebagai salah satu tanaman hutan, maka
keberadaan kelapa sawit di kawasan hutan menjadi bukan persoalan lagi,
kedua belah pihak (petani sawit dan Kementerian LHK/para Rimbawan)
tidak dirugikan sama sekali. Selanjutnya tinggal dilakukan pembenahan
melalui penataan ruang mikro dimana luas tanaman sawit maksimum 65-
70 persen, sisanya untuk tanaman unggulan setempat.

h. Pergeseran pemaknaan deforestasi atau degradasi terhadap kebun


sawit di kawasan hutan menjadi “Reforestasi hutan dan rehabilitasi
hutan”.

88
Sesuai dengan pengertian “Reforestasi hutan dan rehabilitasi hutan”, maka
jika kelapa sawit dijadikan sebagai salah satu tanaman hutan dan kemudian
ditanam pada kawasan hutan terdegradasi, kritis dan atau tidak produktif
yang dikombinasikan dengan tanaman unggulan setempat serta tanaman
kehidupan bagi masyarakat sekitarnya, maka tudingan kelapa sawit sebagai
penyebab deforestasi akan bergeser/berubah menjadi
“reforestasi/reboisasi”. Rehabilitasi ini tidak saja meningkatkan luas
tutupan areal berhutan tetapi juga peningkatan nilai keanekaragaman
hayati dan potensi ekonominya yang pada gilirannya akan berkontribusi
pada kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

89
X. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

10.1 Kesimpulan
1. Seperti halnya kelapa sawit yang berasal dari hutan tropis Nigeria, semua
tanaman yang diusahakan saat ini, dahulunya berasal dari tumbuhan liar
atau tumbuhan hutan, kemudian dilakukan domestikasi dan seleksi sesuai
dengan kebutuhan manusia. Secara bioekologis tanaman kelapa sawit
hampir sama dengan tanaman hutan. Perbedaan tanaman kelapa sawit
sebagai tanaman pertanian dengan tanaman hutan terletak pada tingkat
intensifitas pengelolaan tanaman dan fungsinya terhadap ekosistem.
Tanaman pertanian dikelola secara intensif dengan fungsi produksi mulai
saat tanam sampai akhir siklus tanaman (TBM dan TM), sedangkan tanaman
hutan pengelolaan secara intensif dilakukan sampai tanaman berumur 2
tahun, selanjutnya relatif tidak intensif dan memiliki fungsi konservasi
lingkungan, tanah dan air.

2. Kebun sawit tidak menyebabkan kekeringan air sumur, sungai dan karena
penyerapan air dari tanah oleh tanaman kelapa sawit tidak mungkin dapat
dilakukan melebihi kedalaman solum tanah di zona perakaran. Pada
praktiknya, kebun sawit membagi lokasi di lapangan ke dalam beberapa
“kategori” yaitu gawangan hidup, gawangan mati, dan piringan. Gawangan
mati dan gawangan hidup ada berdampingan pada satu jalur tanaman, maka
dapat diperkirakan bahwa luasan gawangan mati dan gawangan hidup
masing-masing adalah separuh dari luasan kebun sawit. Dengan kapasitas
infiltrasi pada gawangan mati sangat tinggi, yaitu 32.13 cm/jam sedangkan
kapasitas infiltrasi pada gawangan hidup 9.42 cm/jam. Maka ketika terjadi
hujan, air akan mengalir ke gawangan mati, sehingga sangat kecil
kemungkinan terjadi banjir di perkebunan sawit.

3. Kebun Kelapa Sawit dapat menjadi habitat dari berbagai taksa satwa liar
(mamalia, burung, amfibi dan reptil). Perubahan tutupan berupa hutan
sekunder menjadi kebun sawit pada umumnya menurunkan
keanekaragaman jenis mamalia, sedangkan untuk taksa-taksa lainnya terjadi
peningkatan. Perubahan tutupan bukan hutan menjadi kebun kelapa sawit
cenderung meningkatkan keanekaragaman jenis hampir semua taksa,
karena pembukaan areal baru perkebunan dilakukan dengan best practice,
mematuhi kaidah pembukaan areal.

4. Tanaman kelapa sawit memiliki kemampuan penyerapan CO2 yang tinggi


dan paling efisien dalam pemanfaatan radiasi matahari dibandingkan dengan
tanaman komoditas kehutanan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa

90
pengembangan kelapa sawit tidak selalu negatif untuk lingkungan. Nilai NPP
kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kehutanan lainnya,
dan nilai NEE juga tidak lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem hutan.
Sumber emisi terbesar kelapa sawit bersumber pada konversi lahan hutan
dan hutan gambut yang memiliki cadangan karbon tinggi. Konversi lahan-
lahan kosong dan semak belukar menjadi kelapa sawit dapat meningkatkan
penyerapan CO2 bagi ekosistem.

5. Dalam hal kinerja finansial ekonomi, baik pada level rumah tangga maupun
nasional, perkebunan kelapa sawit jauh mengungguli HTI. Kebun kelapa
sawit memberikan pendapatan rumah tangga yang lebih tinggi dibandingkan
HTI. Kelapa sawit juga unggul dalam hal sumbangan terhadap produksi
nasional, menciptakan lapangan kerja, dan mendatangkan devisa. Untuk
luasan tanaman yang sama, HTI unggul dalam mendapatkan PNBP
dibandingkan kebun kelapa sawit. Sebaliknya, PBB yang diperoleh dari
kebun kelapa sawit lebih tinggi dari PBB yang diperoleh dari HTI
(eukaliptus). Dalam hal dampak sosial, pembandingan antar keduanya sulit
dilakukan.

6. Tiga sistem penggunaan lahan pertanian, karet hutan, perkebunan karet dan
perkebunan kelapa sawit, sangat berbeda dalam sifat sosial ekonomi. Kelapa
sawit membutuhkan tenaga kerja per hektar yang jauh lebih sedikit daripada
karet hutan dan karet monokultur, tetapi menghasilkan margin kotor yang
relatif lebih rendah per satuan luas. Meskipun demikian, margin kotor per
unit tenaga kerja tertinggi di temukan pada kelapa sawit. Oleh karena itu,
ketika tenaga kerja terbatas, petani intensif menanam kelapa sawit; petani
yang tanahnya merupakan faktor yang paling langka pada gilirannya
memiliki insentif untuk menanam karet. Menariknya, karet hutan memiliki
margin kotor yang sama dengan monokultur karet per unit tenaga kerja
(lebih rendah dari kelapa sawit), tetapi tidak kompetitif dengan monokultur
karet per unit lahan, yang mendorong intensifikasi karet hutan menjadi
perkebunan karet. Pada tahun 2012, sekitar 50% lahan di desa yang disurvei
adalah karet, termasuk karet hutan dan perkebunan monokultur, sementara
12% ditanami kelapa sawit (meningkat dari 5,0% 10 tahun sebelumnya,
dengan peningkatan 8,5% untuk seluruh wilayah studi selama periode yang
sama). Sebagian besar lahan desa yang tersisa ditutupi oleh hutan hujan
(17%) pada berbagai tahap degradasi atau oleh lahan bera (15%). Lahan
bera sering mewakili lahan terdegradasi yang didominasi oleh semak
belukar setelah tebang habis untuk persiapan penggunaan pertanian.
Sementara sebagian besar perkebunan dan lahan bera di desa dikelola oleh
rumah tangga petani kecil, lahan hutan hujan di dalam batas desa dikelola
oleh negara dan hanya kadang-kadang oleh masyarakat. Petani kecil di
Provinsi Jambi hampir tidak menanam tanaman pangan, kecuali di desa-desa

91
tertentu yang dekat dengan pusat kota. Survei sosio-ekonomi
mengungkapkan bahwa transformasi sistem penggunaan lahan selain kelapa
sawit dimulai dengan kedatangan penduduk migran pada akhir 1980-an,
sedangkan penduduk lokal telah terlibat dalam budidaya kelapa sawit sejak
pertengahan 1990-an. Penggerak inti dari perubahan penggunaan lahan di
Jambi adalah investasi swasta dan publik, skema pembangunan federal
(yaitu untuk migran) dan kebijakan nasional eksploitasi sumber daya
Indonesia, yang semuanya didorong oleh permintaan internasional untuk
komoditas agraria seperti karet dan kelapa sawit (Drescher et al, 2016).

Perubahan yang cepat pada faktor peluang ekonomi, mendorong petani


mengubah komoditi utama dan penggunaan lahan mereka. Rasio manfaat-
biaya dan tingkat pengembalian tenaga kerja, mencerminkan perspektif
petani. Menggunakan metode studi pustaka, kajian ini membandingkan
manfaat sosial, ekonomi dan budaya kelapa sawit dengan beberapa tanaman
kehutanan dan perkebunan, baik pada skala swadaya maupun perusahaan.
Kebijakan pembangunan HTI, HPH dan Perkebunan Besar, dinilai
menyebabkan degradasi lingkungan dan konflik lahan. Meskipun demikian,
masyarakat lokal juga mendapat dan merasakan manfaat sosial ekonomi dan
budaya. Secara sosial, manfaat berbagai komoditi tanaman kehutanan dan
perkebunan ini tidak berbeda, yaitu pengurangan jumlah pengangguran,
pengurangan laju emigrasi, perbaikan fasilitas dan infrastruktur perdesaan,
perbaikan sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan, dan peningkatan
peluang pendidikan yang lebih tinggi. Curahan waktu bekerja untuk
mengelola kebun sawit swadaya dinilai tidak terlalu besar, sehingga
memungkinkan petani untuk tetap menjalankan aktivitas sosial-budayanya.
Secara ekonomi, kelapa sawit sejauh ini merupakan komoditi yang paling
menguntungkan. Preferensi terhadap kelapa sawit berkorelasi dengan
tingginya tingkat kepercayaan pada peluang yang dijanjikan oleh kelapa
sawit. Meskipun demikian, kelapa sawit tidak memiliki nilai budaya
sebagaimana ditunjukkan melalui tanaman karet dan rotan khususnya pada
petani yang masih memegang teguh tradisi. Dibandingkan dengan peluang
keterlibatan petani dalam HTI dan HPH serta perkebunan besar untuk
komoditi tanaman lainnya, perkebunan kelapa sawit memberikan peluang
terbesar, karena peluang keterlibatan petani yang lebih tinggi. Dari sudut
pandang profitabilitas per unit lahan, kesejahteraan sosial serta curahan
waktu untuk kegiatan kebudayaan, perkebunan kelapa sawit memberikan
opsi terbaik yang dipertimbangkan petani.

7. Dari sudut pandang profitabilitas per unit lahan, perkebunan kelapa sawit
intensif memberikan opsi penggunaan lahan terbaik yang dipertimbangkan
petani. Pengembalian ekonomi yang rendah, kepemilikan lahan yang kecil,

92
dan struktur pasar dan rantai pasokan yang kurang baik pada hutan tanaman
dianggap sebagai kendala signifikan yang membatasi minat masyarakat.

8. Perlu adanya political will yang kuat dari Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan untuk menetapkan kelapa sawit menjadi tanaman hutan.

9. Penetapan kelapa sawit sebagai tanaman kehutanan akan memberikan


dampak positif bagi keberlanjutan pekebun kelapa sawit.

10.2 Rekomendasi
1. Berdasarkan hasil kajian/analisis terhadap berbagai aspek : sejarah asal-
usul, bio-ekologi, kesesuaian lahan dan hidrologi, konservasi
keanekaragaman hayati, iklim mikro/serapan dan emisi GRK, kinerja
ekonomi finansial dan dampaknya terhadap sosekbud masyarakat
sekitarnya serta keunggulan komparatif dan berbagai implikasi positif yang
dimiliki maka Kelapa Sawit layak dan prospektif untuk dijadikan
sebagai salah satu tanaman hutan terdegradasi/kritis dan atau tidak
produktif. Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Petanian dapat menetapkan kelapa
sawit sebagai tanaman kehutanan.

2. Untuk mengantisipasi kerentanan sistem “monokultur” dan menjaga


keseimbangan ekologis, tanaman kelapa sawit dalam skala luas seyogyanya
dikombinasikan/dicampur dengan tanaman hutan unggulan setempat dan
tanaman kehidupan yang diperlukan oleh masyarakat sekitarnya.

93
DAFTAR PUSTAKA
[APHI] Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. 2019. Road Map Pembangunan Hutan
Produksi Tahun 2019-2045. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Jakarta.
[AR HCV PT AAU] Assessment Report HCV PT Acasia Andalan Utama Tahun 2013
[AR HCV PT BDB] Assessment Report HCV PT Bina Daya Bentala tahun 2014
[AR HCV PT FI] Assessment Report HCV PT Finantara Intiga tahun 2014
[AR HCV PT SPA] Assessment Report HCV PT Satria Perkasa Agung tahun 2014
[AR HCV PT Tripupa Jaya] Assessment Report HCV PT Tripupa Jaya tahun 2013
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia 2008. Jakarta (ID). Indonesia.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2019. Statistik Indonesia 2018. Jakarta (ID). Indonesia.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2020. Statistik Indonesia 2019. Jakarta (ID). Indonesia.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2020. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2019. Jakarta
(ID). Indonesia.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2021. Statistik Indonesia 2021. Jakarta. Indonesia
[Ditjenbun] Dinas Perkebunan Provinsi. 2016. Statistik Perkebunan 2015-2017
Kelapa Sawit. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian
Pertanian.
[Ditjenbun] Dinas Perkebunan Provinsi. 2020. Statistik Perkebunan Unggulan
Nasional 2019-2021. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian
Pertanian.
[DJP] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2015. Statistik Perkebunan Indonesia 2014-
2016. Jakarta(ID): Direktorat Jendral Perkebunan,
[DJP] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2018. Statistik Perkebunan Indonesia 2017-
2019. Jakarta(ID): Direktorat Jendral Perkebunan,
[DJP] Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. 2020. Statistik
Perkebungan Unggulan. Jakarta(ID): Direktorat Jendral Perkebunan,
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2014. The Youth Guide to Forest, 1st
Edition. Stockholm (SE): Swedish International Development Cooperation
Agency
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2020. Terms and definitions. The Forest
Resources Assessment (FRA) Working Paper Series. Rome (IT): FAO Forestry
Department
[GAPKI] Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. 2018. Press release: Refleksi
Industri Kelapa Sawit 2017 dan Prospek 2018. Bogor (ID): GAPKI Pusat.
[GAPKI] Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. 2020. Kinerja industri sawit
Indonesia 2019.
[IL NKT PT SHP] Ikhtisan Laporan NKT PT Sumber Hijau Permai tahun 2014
[INOBU] Inovasi Penelitian Inovasi Bumi. 2016. Seluk beluk pekebun kelapa sawit
dan tantangan budi daya sawit secara swadaya: Studi kasus Kabupaten
Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia.

94
[LPPM IPB] Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian
Bogor. 2015. Laporan identifikasi NKT PT Riau Andalan Pulp and Paper estate
Langgam, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
[MEA] Millennium Ecosystem Assessment. 2005. A Report of the Millennium
Ecosystem Assessment. Ecosystems and Human Well-Being. Washington DC
(US): Island Press.
[Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan No 8 tahun 2021 tentang tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di hutan
lindung dan hutan produksi.
[Permenhut] Peraturan menteri Kehutanan No.
P.62/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang pembangunan Hutan
Tanaman Industri
[REDD] Reducing Emissions from Deforestation and Degradation. 2009. an
overview of risks and opportunities for the poor. Copenhagen (DK): Danish
Institute for International Studies
[RL HCV-HCS PT BRM] Ringkasan Laporan Penilaian Nilai Konservasi Tinggi dan
Stok Karbon TInggi terintegrasi di PT Bukit Raya Mudisa, Sumatera Barat
Tahun 2019
[RP HCV PT KBAS 3] Ringkasan Publik HCV PT Karya Bakti Agro Sejahtera 3 tahun
2013
[RP HCV PT MSK] Ringkasan Publik HCV PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa Tahun 2013
[RP HCV PT SHJ II] Ringkasan Publik HCV PT Sumalindo Hutani Jaya II tahun 2020
[RP PT BDL] Ringkasan Publik PT Bina Duta Laksana tahun 2021
[RP PT KWL] Ringkasan Publik PT Kelawit Wana Lestari tahun 2021
[TBI] Tropenbos Indonesia. 2019. Buku III: Ringkasan Menyeluruh NKT PT RAPP
Ring Semenanjung Kampar.
[WWF] World Wild Fund for Nature. 2008. Position Paper on Palm Oil. Indonesia
(ID): WWF
Abdina MF. 2019. Analisis dampak perkebunan kelapa sawit terhadap sosial dan
ekonomi masyarakat di Kabupaten Asahan. Journal of Education, Humaniora
and Social Sciences (JEHSS). 2 (2): pp. 292-304.
Abram NK, Xofis P, Tzanopoulos J, MacMillan DC, Ancrenaz M, Chung R, Peter L, Ong
R, Lackman I, Goossens B, Ambu L, Knight AT. 2014. Synergies for improving oil
palm production and forest conservation in floodplain landscapes. PLOS ONE.
9(6): pp. 1-12.
Agus F, Gunarso P, Sahardjo BH, Harris N, Noordwijk M and Killeen TJ. 2013.
Historical CO2 emissions from land use and land use change from the oil palm
industry in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. Reports from the
Technical Panels of the 2nd Greenhouse Gas Working Group of the Roundtable
on Sustainable Palm Oil (RSPO). www.rspo.org.
Ahrends A, Hollingsworth PM, Ziegler AD, Fox JM, Chen H, Su Y, Xu J. 2015. Current
trends of rubber plantation expansion may threaten biodiversity and livelihoods.

95
Global Environmental Change, 34, pp. 48–58. https://doi.org/10.1016/j.gloen
vcha.2015.06.002
Aksenta. 2011. Laporan identifikasi HCV PT Kahayan Agro Plantation Kabupaten
Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Alfred K, Zaiton, Norzanalia S. 2020. A review on the potential socio-economic
impact of eucalyptus plantation on local community. The Malaysian
Forester, 83(2), pp. 322-339.
Allaby M. 1998. A dictionary of plant sciences. London (UK): Oxford University Press
Alouw JC, Wulandari S. 2019. Present status and outlook of coconut development in
Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 418 p.
012035.
Andrianto A et. al. 2019. Expansion of oil palm plantations in Indonesia’s frontier:
Problems of externalities and the future of local and indigenous communities.
Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research.
Anjasari R. 2010. Pengaruh Hutan Tanaman Industri (HTI) Terhadap Kondisi So- sial
Ekonomi Masyarakat Di Kecamatan Kampar Kiri. PhD thesis, Universitas
Diponegoro.
Anwar S, Sumawinata B, Pulunggono HB, Sadono D, Taniwiryono D, Siswanto,
Widiastuti H, dan Sabiham S. 2020. Laporan Akhir Penelitian Tahun II, Faktor
Emisi Lahan Gambut yang Didrainase untuk Budidaya Kelapa Sawit. Fakultas
Pertanian IPB dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Arief H, Mijiarto J, Rahman A. 2015. Keanekaragaman dan status perlindungan satwa
liar di PT. Riau Sawitindo Abadi. Media konservasi. 20(1): 159 – 165
Arif, I.S. 2008, Analisis Daya saing dan Dampak Ekonomi Regional Pengembangan
Kelapa Sawit di Kabupaten Siak, IPB: Universitas Pertanian Bogor
Arneth FM, Kelliher TM, and McSeveny JN. 1998. Net ecosystem productivity, net
primary productivity and ecosystem carbon sequestration in a Pinus
radiata plantation subject to soil water deficit, Tree Physiology, Volume 18,
Issue 12, December 1998, Pages 785-
793, https://doi.org/10.1093/treephys/18.12.785
Aulia, R., Deli, A., Kasimin, S., 2020. Analisis Komparasi Pendapatan Komoditi Kakao
Dan Kelapa Sawit Di Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Pertanian, 5(1), pp.77-87.
Badan Litbang Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman teknis penanaman jenis-
jenis kayu komersial.
Baishya R and Barik SK. 2011. Estimation of tree biomass, carbon pool and net
primary production of an old-growth Pinus kesiya Royle ex. Gordon Forest in
north-eastern India. Annal of Forest Science, 68:727-736. DOI:
10.1007/s13595-011-0089-8
Barcelos E, Rios SA, Cunha RNV, Lopes R, Motoike SY, Babiychuk E, Skirycz A and
Kushnir S. 2015. Oil palm natural diversity and the potential for yield
improvement. Front Plant Sci. 6(190): 1 – 16. Doi: 10.3389/fpls.2015.00190

96
Basiron Y. 2007. Palm oil production through sustainable plantations. Eur J Lipid Sci
Technol 109: 289-295.
Behera S, Tripathi P,Mukund B, and Rakesh T. 2019. Modeling net primary
productivity of tropical deciduous forests in North India using bio-
geochemical model. Biodiversity and Conservation. 28. 10.1007/s10531-019-
01743-6.
Benayas R, JM, Martins A, Nicolau JM dan Schulz, JJ. 2007. Abandonment of agricul
tural land: an overview of drivers and consequences. CAB reviews:
Perspectives in agriculture, veterinary science, nutrition and natural
resources, 2, 1-14.
Binkley D, Dunkin K, DeBell D, and Michael R. 1992. Production and Nutrient Cycling
in Mixed Plantations of Eucalyptus and Albizia in Hawaii. Forest Science. 38.
393-408.
Bliska FMDM et. al. 2013. Impacts of Coffee Production in Agroforestry System for
Sustainable Development. Journal of Agricultural Science and Technology B 3
pp. 535-544.
Braganca A. 2018. The Economic Consequences of the Agricultural Expansion in
Matopiba. Revista Brasileira de Economia, 72(2): 161–185.
Bremer LL, Farley KA. 2010. Does plantation forestry restore biodiversity or create
green deserts? A synthesis of the effects of land-use transitions on plant
species richness. Biodivers Conserv. 19: 3893–3915. Doi: 10.1007/s10531-
010-9936-4
Brockerhoff EG, Jactel H, Parrotta JA, Quine CP, Sayer J. 2008. Plantation forests and
biodiversity: oxymoron or opportunity?. Biodivers Conserv 17: (925–951). Doi:
10.1007/s10531-008-9380-x
Bull GQ, Bazett M, Schwab O, Nilsson S, White A, Maginnis S. 2006. Industrial fo- rest
plantation subsidies: Impacts and implications. Forest Policy and Economics,
9(1):13–31.
Byerlee D, Stevenson J, Villoria N. 2014. Does intensification slow crop land
expansion or encourage deforestation?. Global Food Security Carlson KM,
Curran LM, Ratnasari D. 2012. Committed carbon emissions, deforestation, and
community land conversion from oil palm plantation expansion in West
Kalimantan, Indonesia. Proceedings of the National Academy of Sciences of the
United States of America (PNAS). 109(19): pp. 7559-7564.
Carlson, G. 2012. Habitual and Generic Aspect'. In The Ox ford Handbook of Tense
and Aspect, edited by Robert I. Binnick, 828-51. Oxford: Oxford University
Press
Casson, A. 2000. The hesitant boom: Indonesia's oil palm sub-sector in an era of
economic crisis and political change. Bogor: Center for International Forestry
Research
Castaño-Villa GJ, Estevez JV, Guevara G, Bohada-Murillo M, Fontúrbel FE. 2019.
Differential effects of forestry plantations on bird diversity: A global

97
assessment. For Ecol Manag. 440: 202-207. Doi:
10.1016/j.foreco.2019.03.025.
Charnley S. 2006. Industrial plantation forestry: Do local communities benefit? Jo-
urnal of Sustainable Forestry, 21(4):35–57.
Chaves, J. A., Hidalgo, J.R. & Klicka, J. 2013. Biogeography and evolutionary history of
the Neotropical genus Saltator (Aves: Thraupini). Journal of Biogeography 40:
2180–2190
Clark DA, Brown S, Kicklighter DW, Chambers JQ, Thomlinson JR, Ni J, and Holland
EA. 2013. NPP Tropical Forest: Consistent Worldwide Site Estimates, 1967-
1999, R1. Data set. Available on-line [http://daac.ornl.gov] from the Oak Ridge
National Laboratory Distributed Active Archive Center, Oak Ridge, Tennessee,
USA. doi:10.3334/ORNLDAAC/616
Clark DA, Brown S, Thomlinson JR, Kicklighter DW, Jian N, Chambers JQ, Holland EA.
2001. Net Primary Production In Tropical Forests: An Evaluation And
Synthesis Of Existing Field Data. Ecological Applications 11: 371.
Colchester, M., P. Anderson, A. Yunan Firdaus, F. Hasibuan, and S. Chao. 2011. Human
rights abuses and land conflicts in the PT Asiatic Persada Concession in
Jambi. Report of an independent investigation into land disputes and forced
evictions in a palm oil estate. Independent Investigation of PT AP. HuMa, Sawit
Watch and Forest People Programme, Moreton-in-Marsh, UK
Coster,. C. 1938. Superficial run off and erosion on Java. Tectona. 31:613-728
Cunningham, Donald.J. 2004. Mind, Culture, and Activity no.2 vol.11. Indiana
University
Daniels RJR, Hedge M, Gadgil M. 1990. Birds of the man-made ecosystems: the
plantations. Proceedings e Indian Academy of Sciences: Animal Sciences 99(1):
78e89.
De Jong W. 1997. Developing swidden agriculture and the threat of biodiversity loss.
Agriculture, Ecosystems & Environment, 62(2-3):187–197.
Delabre I, Okereke C. 2020. Palm oil, power, and participation: The political ecolo-
gy of social impact assessment. Environment and Planning E: Nature and
Space, 3(3):642–662.
Delijska B, Manoilov P. 2004. Elsevier’s dictionary of forestry. Amsterdam (NT):
Elsivier.
Delis, Pablo & Mushinsky, Henry & McCoy, Earl. 1996. Decline of some west-central
Florida anuran populations in response to habitat degradation. Biodiversity
and Conservation. 5. 1579-1595. 10.1007/BF00052117.
Dhiaulhaq A, McCarthy JF, Yasmi Y. 2018. Resolving industrial plantation conflicts in
indonesia: Can mediation deliver? Forest Policy and Economics, 91:64–72.
Donald P (2004) Biodiversity impacts of some agricultural commodity production
systems. Conserv Biol 18:17–37
Drescher J, Rembol K, Allen K, Beckäfer P, Buchori D, Clough Y, Faust H, Fauzi AM,
Gunawan D, Hertel D. 2016. Ecological and sosioconomic functions across
tropical land use system after rainforest conversion. Philosophical Transactions

98
of the Royal Society B 371: p. 20150275. doi: https://doi.org/10.1098/
rstb.2015.0275.
Dumbrell, A. J. and J. K. Hill. 2005. Impacts of selective logging on canopy and ground
assemblages of tropical forest butterflies: Implications for sampling. Biological
Conservation,
Ecker O. 2018. Agricultural transformation and food and nutrition security in Ghana:
Does farm production diversity (still) matter for household dietary diversity?
Food Policy, 79, pp. 271–282. https://doi. org/10.1016/j.foodpol.2018.08.002
Elvawati, Dharmawan, A.H., Damanhuri, D. S., Sumarti, T. 2019. ‘dari karet ke sawit’:
transformasi struktur nafkah rumah tangga petani lokal dan petani
transmigran di Minangkabau. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, Agustus: pp
86-94
Epron D, Nouvellon Y, Mareschal L, Moreira RM, Koutika LS, Geneste B, Delgado-
Rojas JS, Laclau JP, Sola G, Gonçalves JLM and Bouillet JP. 2013. Partitioning
ofnetprimaryproductionin Eucalyptus and Akasia stands andin mixed-species
plantations:Twocase-studiesincontrastingtropicalenvironments. Forest
Ecology and Management 301 (2013) 102–111
Fang O, Wang Y, Shao X. 2016. The effect of climate on the net primary productivity
(NPP) of Pinus koraiensis in the Changbai Mountains over the past 50 years.
Trees. 30(1):281–294. doi:10.1007/s00468-015-1300-6.
FAO, IFAD, UNICEF, WFP, WHO. 2020. The State of Food Security and Nutrition in the
World 2020. Transforming food systems for affordable healthy diets. Rome, FAO.
https://doi.org/10.4060/ca9692en
Faruk A, Belabut D, Ahmad N, Knell RJ, Garner TWJ. 2013. Effects of oil-palm
plantations on diversity of tropical anurans. Conserv Biol. 27:615–624. Doi:
10.1111/cobi.12062
Fatmasari, R., Darma, R., Salman, D., Musa, Y. 2018. Landscape ecological changes
and livelihood dilemma of the rural household around the oil palm
plantation. Int’l J. on Adv. Sc. Eng. Inform. Tech., 8(6), pp.2702-2708.
Feintrenie L, Chong WK, Levang P. 2010. Why do farmers prefer oil palm? lessons
learnt from Bungo district, Indonesia. Small-scale forestry, 9(3):379–396.
Foresta, H. de, dan G. Michon. 2000. Agroforestri Indonesia: Beda Sistem Beda
Pendekatan. Dalam Foresta et al, (Eds) 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan:
Agroforests Khas Indonesia. Jakarta (ID): SMT Grafika Desa Putera
Fox J, Castella JC. 2013. Expansion of rubber (Hevea brasiliensis) in mainland
Southeast Asia: What are the prospects for smallholders? Journal of Peasant
Studies 40(1): pp. 155–170.
Fu Y, Brookfield H, Guo H, Chen J, Chen A, Cui J. 2009. Smallholder rubber plantation
expansion and its impact on local livelihoods, land use and agrobiodiversity, a
case study from Daka, Xishuangbanna, southwestern China. International
Journal of Sustainable Development & World Ecology 16(1): pp. 22–29.
Fu Y, Chen J, Guo H, Hu H, Chen A, Cui J. 2010. Agrobiodiversity loss and livelihood
vulnerability as a consequence of converting from subsistence farming systems

99
to commercial plantation-dominated systems in Xishuangbanna, Yunnan, China:
A household level analysis. Land Degradation & Development 21(3): pp. 274–
284.
Fujiwara E. 2020. The impact of the oil palm on adat social structure and authority:
The case of the medang people, indonesia. The Asia Pacific Journal of
Anthropo- logy, 21(2):140–158.
Gerbens-leenes, Hoekstra P., Van der Meer, T. 2009. The water footprint of energy
from biomass: a Quantitative assessment and consequences of an increasing
share of bioenergy supply. Ecological economics 68 (4):1052-1060
Gillespie GR, Ahmad E, Elahan B, Evans A, Ancrenaz M, Goossens B, Scroggie MP.
2012. Conservation of amphibians in Borneo: Relative value of secondary
tropical forest and non-forest habitats. Biological Conservation.152:136–14.
Godswill NN, Frank NEG, Walter AN, Edson MYJ, Kingsley TB,Arondels V, Martin BJ,
Emmanuel Y. 2015. Oil Palm. In Breeding Oilseed Crops for Sustainable
Production 1st Edition Chapter 10. Massachusetts (US): Academic press.
Greenhill M, Walker I, Mendham D, Permadi D. 2017. West kalimantan in- dustrial
plantation scheme: twenty years on. Forests, Trees and Livelihoods,
26(4):215–228.
Gschwantner T, Schadauer K, Vidal C, Lanz A, Tomppo E, di Cosmo L, Robert N,
Englert Duursma D, Lawrence M. 2009. Common tree definitions for national
forest inventories in Europe. Silva Fennica. 43(2): 303–321
Guampe, F.A. 2014. Dinamika usaha tani perkebunan: Studi pada petani perkebunan
di Kecamatan Mori Utara Kabupaten Morowali Utara. KRITIS, Jurnal Studi
Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXIII No. 2, 2014: 149-167.
Guedes BS, Olsson BA, Sitoe AA and Egnell G. 2018. Net primary production in
plantations of Pinus taeda and Eucalyptus cloeziana compared with a
mountain miombo woodland in Mozambique. Global Ecology and
Conservation. Volume 15,e00414, ISSN 2351-9894,
https://doi.org/10.1016/j.gecco.2018.e00414.
Guillaume T, Kotowska MM, Hertel D, Knohl A, Krashevska V, Murtilaksono K, Scheu
A, and Kuzyako Y. 2018. Carbon costs and benefits of Indonesian rainforest
conversion to plantations. Nature Communications | (2018) 9:2388 | DOI:
10.1038/s41467-018-04755-y | www.nature.com/naturecommunications
Gunadi B. 1994. Litterfall, litter turn-over and soil respiration in two pine forest
plantations in Central Java, Indonesia. J Trop For Sci 1994 ; 6 : 310-22.
Hadi SP. 2002. Aspek sosial AMDAL: sejarah, teori, dan metode.Yogyakarta (ID):
UGM Press
Halle F, Oldeman RAA, Tomlinson PB. 1978. Tropical trees and forest: an
architectural analysis. Berlin (DE), New York (US): Springer-Verlag.
Harahap IY, Pangaribuan Y, Sutarta ES, Hidayat TC. 2008. Kelapa sawit dan
Lingkungan. Medan (ID): Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

100
Häuser I et. al. 2015. Environmental and socio-economic impacts of rubber cultivation
in the Mekong region: challenges for sustainable land use. CAB Reviews 2015
10, No. 027.
Hawkes C, Ruel M T. 2008. From agriculture to nutrition: Pathways, synergies and
outcomes. Agricultural and rural development notes; no. 40. World Bank:
Washington, DC.
Hayek MN, Longo M, Wu J, Smith MN, Restrepo-Coupe N, Tapajós R, da Silva R,
Fitzjarrald DR, Camargo PB, Hutyra LR, Alves LF, Daube B, Munger JW,
Wiedemann KT, Saleska SR, and Wofsy SC. 2018. Carbon exchange in an
Amazon forest: from hours to years. Biogeosciences, 15, 4833–4848, 2018
https://doi.org/10.5194/bg-15-4833-2018
Hein L, van der Meer P. 2012. REDD? In the context of ecosystem management.
Current Opinion in Environmental Sustainability 4: pp. 604–611.
Helms JA. 1998. The dictionary of forestry. Wallingford (US): CAB International, the
Society of American Foresters.
Henson IE, Chai S. 1997. Analysis of oil palm productivity. II. Biomass, distribution,
productivity and turn-over of the root system. Elaeis 1997, 9 : 78-92.
Hettig E, Lay J, Sipangule K. 2016. Drivers of households’ land-use decisions: a critical
review of micro-level studies in tropical regions. Land 5 (4): pp 1-
32. https://doi.org/10.3390/land5040032
Huang X, Huang C, Teng M, Zhou Z, Wang P. 2020. Net Primary Productivity of Pinus
massoniana Dependence on Climate, Soil and Forest Characteristics. Forests.
2020; 11(4):404. https://doi.org/10.3390/f11040404
Ibrom A, Olchev A, June T, Kreilein H, Rakkibu MG, Ross T, Panfyorov O, and
Gravenhorst G. 2008. Variation in photosynthetic light-use efficiency in a
mountainous tropical rain forest in Indonesia. Tree physiology. 28. 499-508.
10.1093/treephys/28.4.499.
Imanda ID. 2010. Spatial Distribution Of Net Primary Production (Npp) Using
Modis Data And Correlation With Climate Variability [tesis]. Bogor: FMIPA-
IPB.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Iqbal M, Ystina I, Setiawan D, Saputra RF, Prasetyo CV, Fadli D. 2016. A rapid bird
survey to conservation area of Industrial Akasia Timber Plantation, South
Sumatra province; with comparison to three different methods. Biovalentia:
Bio Research J. 2(2). Doi: 10.24233/BIOV.2.2.2016.41
Jingzhen C, Changzhu L, Peiyi Y. 2020. Industrial Oil Palm. Changzhu L, Zhihong X,
Liangnien H, Serio MD, Xinfeng X, editor. Gateway East (SG): Springer Nature
Singapore Pte Ltd. Doi:10.1007/978-981-15-4920-5
June T, Ibrom A, Gravenhorst G. 2006. Integration Of NPP Semi Mechanistic
– Modelling, Remote Sensing And GIS In Estimation CO2 Absorption Of Forest
Vegetation In Lore Lindu National Park. BIOTROPIA 13: 22 – 36.
Kaban A, Mardiastuti A, Mulyani Y. 2017. Response of Bird Community to Various
Plantation Forests in Gunung Walat, West Java, Indonesia. Hayati J bio scie. 24:

101
72-78. Doi: review under responsibility of Institut Pertanian Bogor. Doi:
10.1016/j.hjb.2017.08.006
Kanniah KD, Tan KP, and Cracknell AP. 2014. Estimating primary productivity of
tropical oil palm in Malaysia using remote sensing technique and ancillary
data. Proc. SPIE 9239, Remote Sensing for Agriculture, Ecosystems, and
Hydrology XVI, 92391K; https://doi.org/10.1117/12.2067012
Karmacharya SB and Singh KP. 1992. Biomass and net production of teak
plantations in a dry tropical region in India. For. Ecol. Manage. 55: 233-247.
Karoshi VR and Nadagoudar BS. 2012. Forest Plantations for Climate Change
Mitigation –Reviewing Estimates of Net Primary Productivity in Forest
Plantations. Ind. Jn. of Agri.Econ. Vol.67, No.1, Jan.-March 2012
Kartodihardjo H, Supriono A. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral terhadap
Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan
Perkebunan di Indonesia. Occasional paper No 26(I). Bogor (ID): CIFOR
Kartono AP. 2015. Keragaman dan kelimpahan mamalia di perkebunan sawit PT
Sukses Tani Nusasubur Kalimantan Timur. Media Konservasi 20 (2): 85-
92.
Kii MI, June T and Santikayasa IP. 2020. Pemodelan Dinamika CO2 Pada Tanaman
Kelapa Sawit (Dynamics Modeling of CO2 in Oil Palm). Agromet 34 (1): 42-54,
2020
Kira T. 1978. Community architecture and organic matter dynamics in tropical
rainforests of Southeast Asia with special reference to Pasoh Forest, West
Malaysia. Tropical Trees as Living Systems (eds P.B. Tomlinson & M.H.
Zimmerman), pp. 561–590. Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Klaarenbeeksingel FW. 2009. Greenhouse gas emissions from palm oil production:
Literature review and proposals from the RSPO Working Group on
Greenhouse Gases.
KLHK. 2020. Statistik 2019 Kementerian Lingkungan dan Kehutanan. Pusat Data
dan Informasi, Jakarta.
Kobayashi T, Kitahara M, Nakashizuka T. 2009. Effects of Celtis sinensis and Quercus
acutissima afforested area on a population of the near-threatened butterfly,
Sasakia charonda (Lepidoptera, Nymphalidae) in central Japan. Lepidoptera
Science. 60. 152-160. 10.18984/lepid.60.2_152.
Koh, L.P. and Wilcove, D.S. 2008. Is Oil Palm Agriculture Really Destroying Tropical
Biodiversity? Conservation Letters, 1, 60-64.
Kosugi Y, Takanashi S, Ohkubo S, Matsuo N, Tani M, Mitani T, Tsutsumi D, dan Nik
AR. 2008. CO2 exchange of a tropical rainforest at Pasoh in Peninsular
Malaysia. Agricultural and Forest Meteorology, 148, 439–452.
Kotowska MM, Leuschner C, Triadiati T, Meriem S, and Hertel D. 2015. Quantifying
above‐and belowground biomass carbon loss with forest conversion in
tropical lowlands of S umatra (I ndonesia). Global change biology 21, 3620–
3634.

102
Krishna V, Euler M, Siregar H, Qaim M. 2017. Differential livelihood impacts of oil
palm expansion in Indonesia. Agricultural Economics, 48(5), pp. 639-653.
Kubitza C, Krishna VV, Alamsyah Z, Qaim M. 2018. The economics behind an
ecological crisis: livelihood effects of oil palm expansion in Sumatra, Indonesia.
Human Ecology, 46(1):107–116
Lonsdale D. 1999. Principles of tree hazard assessment and management. Research
for Amenity Trees No. 7, 4th Impression 2006. London (UK): Department for
Communities & Local Government and the Forestry Commission
Kumar NS. 2007. Carbon sequestration potential of in coconut plantations. ICAR
News 13 (3):15-16
Kurz DJ, Turner EC, Aryawan AA, Barkley HC, Caliman JP, Konopik O, Ps. S, Foster
WA. 2016. Replanting reduces frog diversity in oil palm. Biotropica. 48:483–
490.
Kusrini MD. 2013. Panduan bergambar identifikasi amfibi Jawa Barat. Bogor (ID):
Pustaka Media Konservasi
Kwatrina RT, Santosa Y, Bismark M, Santoso N. 2018. The impacts of oil palm
plantation establishment on the habitat type, species diversity, and feeding
guild of mammals and herpetofauna. Biodiv J Biol Diversity. 19(4):1213-1219.
Doi: 10.13057/biodiv/d190405
Kyoto Protocol. 2011. https://kabarkampus.com/2014/04/protokol-kyoto-dan-
komitmen-terhadap-perubahan-iklim-di-indonesia/ diakses pada 23
desember 2021.
Lamade E dan Setiyo I. 2002. Characterisation of carbon pools and dynamics for oil
palm and forest ecosystems : application to environmental evaluation. In :
International Oil Palm Conference. Indonésie : Nusa Dua, Bali, 2002 ; (Juillet 8–
12).
Lamade E, Djegui N, and Leterme P. 1996. Estimation of carbon allocation to the
roots from soil respiration measurements of oil palm. Plant Soil 181 : 329-39.
Langston J, Riggs R, Sururi Y, Sunderland T, Munawir M. 2017. Estate crops more
attractive than community forests in west Kalimantan, Indonesia. Land 6(2).
Liu C, Pang J, Jepsen MR, Lü X and Tang J. 2017. Carbon Stocks across a Fifty Year
Chronosequence of Rubber Plantations in Tropical China. Forests 2017, 8, 209;
doi:10.3390/f8060209
Liu W, Hu H, Ma Y, Li H. 2006. Environmental and socioeconomic impacts of increasing
rubber plantations in Menglun Township, Southwest China. Mountain Research
and Development, 26, pp. 245–253. https://doi.org/10.2307/4096459
Lonsdale D. 1999. Principles of tree hazard assessment and management. Research
for Amenity Trees No. 7, 4th Impression 2006. London (UK): Department for
Communities & Local Government and the Forestry Commission
Ma L, Wang S, Chen J, Chen B, Zhang L, Ma L, Amir M, Sun L, Zhou G and Meng Z.
2020. Relationship between Light Use Eficiency and Photochemical
Reflectance Index Corrected Using a BRDF Model at a Subtropical Mixed
Forest. Remote Sens. 2020, 12, 550; doi:10.3390/rs12030550

103
MacKinnon J, Phillipps K, van Balen. 2010. Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali,
dan Kalimantan. Bogor (ID): Burung Indonesia.
Magat SS. 2009. Productive and Sustainable Coconut Farming Ecosystems as
Potential Carbon “Sinks” in Climate-Change Minimization: (A Review and
Advisory Notes). Philippine Association of Career Scientists, Inc. 4th Scientific
Symposium. “S & T Challenges and Opportunities in the Midst of Climate-
Change”. 01 Dec. 2009, Richmonde Hotel, 21 San Miguel Ave., Ortigas Center.
Pasig City, Metro Manila.
Mahdi. 2020. Studi komparatif pendapatan usahatani kakao dan kelapa sawit pola
swadaya di Desa Campaloga Kecamatan Tommo Kabupaten Mamuju. Skripsi
pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Malhi Y, Doughty C, Galbraith D. 2011. The allocation of ecosystem net primary
productivity in tropical forests. Philosophical Transactions of the Royal Society
B: Biological Sciences. 366(1582):3225–3245. doi:10.1098/rstb.2011.0062.
Malhi Y, Aragao LEOC, Metcalfe DB, Paiva R., Quesada CA, Almeida, S. et al. 2009.
Comprehensive assessment of carbon productivity, allocation and storage in
three Amazonian forests. Global Change Biology, 15, 1255–1274.
Mamo G, Sjaastad E, Vedeld P. 2007. Economic dependence on forest resources: A case
from Dendi District, Ethiopia. Forest Policy Economics. 9, pp. 916–927.
Manik Y, Leahy J, Halog A. 2013. Social life cycle assessment of palm oil biodiesel: A
case study in Jambi Province of Indonesia. The International Journal of Life Cycle
Assessment 18, pp. 1386–1392.
Manoli G, Meijide A, Huth N, Knohl A, Kosugi Y, Burlando P, Ghazoul J, Fatichi S. 2018.
Ecohydrological changes after tropical forest conversion to oil palm. Environ.
Res. Lett. Vol 13: 6. https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-
9326/aac54e
Mardiastuti A. 2015. Ekologi Satwa pada Lanskap yang Didominasi Manusia. Bogor
(ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Marti S. 2008. Losing ground: the human right impacts of oil palm
plantationexpansion in Indonesia [internet]. [diunduh 2021 Nov 25]. Tersedia
pada: Friends of the Earth, Life Mosaic and sawit watch.
Masykur. 2013. Pengembangan industry kelapa sawit sebagai penghasil energy
bahan bakar alternative dan mengurangi pemanasan global. Jurnal Reformasi.
3(2):96-104
Meijaard E, Garcia-Ulloa J, Sheil D, Wich SA, Carlson KM, Juffe-Bignoli D, Brooks TM.
2018. Kelapa sawit dan keanekaragaman hayati: Analisis situasi oleh Satuan
Tugas Kelapa Sawit IUCN. Gland (CH): IUCN.
Meijide A, de la Rua C, Guillaume T, Röll A, Hassler E, Stiegler C, Tjoa A, June T, Corre
MD, Veldkamp E, and Knohl A. 2020. Measured greenhouse gas budgets
challenge emission savings from palm-oil biodiesel. Nature communications
11(1089). https://doi.org/10.1038/s41467-020-14852-6
|www.nature.com/naturecommunications

104
Melling L, Goh KJ, Beauvais C, and Hatano R. 2008. Carbon flow and budget in a
young mature oil palm agroecosystem on deep tropical peat. The Planter,
84(982), 21–25.
Mendes KR, Campos S, da Silva LL et al. 2020. Seasonal variation in net ecosystem
CO2 exchange of a Brazilian seasonally dry tropical forest. Sci Rep 10, 9454.
https://doi.org/10.1038/s41598-020-66415-w
Metcalfe DB, Meir P, Aragao LEOC, Lobo-do-Vale R, Galbraith D, Fisher RA et
al. 2010. Shifts in plant respiration and carbon use efficiency at a large-scale
drought experiment in the eastern Amazon. New Phytologist, 187, 608–621.
Mingorría S, Gamboa G, Martín-López B, Corbera E. 2014. The oil palm boom: socio-
economic implications for Q’eqchi’households in the Polochic valley,
Guatemala. Environment, Development and Sustainability, 16(4): pp. 841-871.
Mitchell A. 1974. A field guide to the trees of Britain and Northern Europe. London
(US): Collins.
Moore C, Morel AC, Asare RA, Adu SM, Adu-Bredu S, Malhi Y. 2019. Human
Appropriated Net Primary Productivity of Complex Mosaic Landscapes.
Frontiers in Forests and Global Change, Vol. 2, 38p, DOI
10.3389/ffgc.2019.00038, ISSN=2624-893X
Moriarty E, Elchinger M, Hill G, Katz J, Barnett J. 2014. Cacao intensification in
Sulawesi: A Green prosperity model project (No. NREL/TP-5400-62434).
National Renewable Energy Laboratory (NREL), Golden, CO: USA.
Mubarak S and June T. 2018. Efisiensi Penggunaan Radiasi Matahari dan Respon
Tanaman Kedelai (Glycine max L.) terhadap Penggunaan Mulsa Reflektif.
Jurnal Agronomi Indonesia (Indonesian Journal of Agronomy) 46, 247–253.
Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 2016. Ekologi vegetasi: tujuan dan metode.
Kartawinata K, Abdulhadi R, penerjemah. Bogor (ID): LIPI Press.
Mukherjee I, Sovacool BK. 2014. Palm oil-based biofuels and sustainability in
southeast Asia: A review of Indonesia, Malaysia, and Thailand. Renewable and
Sustainable Energy Reviews. 37:1-12.Doi: 10.1016/j.rser.2014.05.001
Mulder MFMB. 2007. Ecological, economic and social perspectives on cocoa
production worldwide. Biodiversity Conservation 16: pp. 3835–3849.
Mulyana, N. 2000. Pengaruh hutan pinus (P. merkusii) terhadap karakteristik
hidrologi di Sub DAS Ciwulan Hulu, KPH Tasikmalaya, Perum Perhutani
Unit III, Jawa Barat. Master, Institut Pertanian Bogor.
Musthofa K. 2018. Dampak alih fungsi perkebunan karet ke kelapa sawit bagi
kesejahteraan petani desa kebun agung kecamatan Pangkalan Banteng
kabupaten Kotawaringin Barat (Doctoral dissertation, IAIN Palangka Raya).
Myers R, Ravikumar A, Larson AM. 2015. Benefit sharing in context: A comparative
analysis of 10 land-use change case studies in Indonesia. Bogor (ID): CIFOR.
Nasution LI. 2019. Laporan Tugas Akhir: Motivasi petani dalam melakukan konversi
lahan karet menjadi lahan kelapa sawit di Kecamatan Sirapit kabupaten angkat
Provinsi Sumatera Utara. Program Studi Penyuluhan Perkebunan Presisi,
Jurusan Perkebunan, Politeknik Pembangunan Pertanian Medan.

105
Nasution SKH., Supriana T, Pane TC. Hanum SS. 2019. Comparing farming income
prospects for cocoa and oil palm in Asahan District of North Sumatera. In IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 260, No. 1, p.
012006). IOP Publishing.
Nirawati N, Alfiandra A, Kurnisar K. 2019. Dampak keberadaan PT. London Su-
matera (LonSum) terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Cengal
Keca- matan Cengal Kabupaten Ogan Komiring Ilir. University Sriwijaya.
Niko, N. 2019. Perempuan Dayak Mali: melindungi Alam dari Maut.
Norwana AABD et. al. 2011. The local impacts of oil palm expansion in Malaysia: An
assesment based on a case study in Sabah State. Bogor, Indonesia: Center for
International Forestry Research.
Nouvellon Y, Bonnefond JM, Hamel O et al. 2002. CO2 fluxes and carbon
sequestration within Eucalypt stands in Congo. 2nd CarboEurope meeting, 4-
8 March 2002. Budapest : Hungary, 2002.
Novarianto H, Warokka J. 2006. Past, present and future coconut research in
Indonesia. In ACIAR PROCEEDINGS (Vol. 125, p. 22). ACIAR; 1998.
Nursaimatussaddiya. 2017. Faktor sosial ekonomi terhadap pendapatan petani
karet rakyat. Wahana Inovasi Volume 6.
Nuryanti S et al.. 2008. Nilai strategis industri sawit.
Obidzinski K, Andriani R, Komarudin H, Andrianto A. 2012. Environmental and
social impacts of oil palm plantations and their implications for biofuel
production in indonesia. Ecology and Society, 17(1).
O'Dea, N. & Whittaker, R.J. 2007. How resilient are Andean montane forest bird
communities to habitat degradation? Vert. Conserv. & Biodiver. 16: 1131-
1159.
Okwuagwu CO, Ataga CD, Okoye MN, Okolo EC. 2011. Germplasm collection of
highland palms of Afikpo in eastern Nigeria. Bayero J Pure Appl Sci. 4 (1), 112–
114.
Orth M. 2007. Subsistence foods to export goods. The impact of an oil palm plantation
on local food sovereignty. North Barito, Central Kalimantan, Indonesia. Sawit
Watch.
Pacheco P. 2006. Agricultural Expansion and Deforestation in Lowland Bolivia: The
Import Substitution versus the Structural Adjustment Model. Land Use Policy,
23: 205–225
Paciencia, MLB dan Prado, J. 2005. Effects of forest fragmentation on pteridophyte
diversity in a tropical rain forest in Brazil. Plant Ecology, 180, 87-104.
Pande PK dan Patra AK. 2010. Biomass and productivity in sal and miscellaneous
forests of Satpura plateau (Madhya Pradesh) India Advances in Bioscience and
Biotechnology, 2010, 1, 30-38 doi:10.4236/abb.2010.11005 Published Online
April 2010 (http://www.SciRP.org/journal/abb/
Pardamean, M. 2017. Kupas Tuntas Agribisnis Kelapa Sawit Mengelola Kebun dan
Pabrik Kelapa Sawit Secara Efektif dan Efisien. Penebar Swadaya, Jakarta.

106
Pasaribu HA, Mulyadi dan Tarumun S. 2012. Neraca air di perkebunan kelapa sawit
di PPKS Sub unit Kalianta Kabun Riau. Ejournal.unri.ac.id/960-1908-1-SM
Petrenko C, Paltseva J, Searle S. 2016. Ecological impact of palm oil expantion in
Indonesia. White paper. Washington DC (US): International Council on Clean
Transportation.
Pfund JL, Watts JD, Boissiere M, Boucard A, Bullock RM, Ekadinata A, Dewi S,
Feintrenie L, Levang P, Rantala S, Sheil D. 2011. Understanding and integrating
local perceptions of trees and forests into incentives for sustainable landscape
anagement. Environmental Management. 48(2): pp. 334-349.
Pirard R, Petit H, Baral H, Achdiawan R. 2016. Dampak Hutan Tanaman Industri di
Indonesia: Analisis Persepsi Masyarakat Desa di Sumatera, Jawa dan
Kalimantan, volume 153. CIFOR.
Potter L, Lee J et al. 1998. Tree planting in Indonesia: trends, impacts and directions.
Technical report, CIFOR Bogor.
Pujiharta 2005. Evapotranspirasi jenis pohon Agathis alba, Alnus nepalensis, dan
Castanopsis argentea. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol 2
(5):417-422
Purwanto RH, Simon H dan Ohata Seiichi. 2003. Estimation of net primary
productivity of young teak plantations under the intensive Tumpangsari
system in Madiun, East Java. Tropics Vol 13 (1), pp 9-16
Puspitojati T, MileY, Fauziyah E, Darusman D. 2016. Hutan Rakyat "Sumbangsih
Masyarakat Pedesaan untuk Hutan Tanaman" dalam artikel Berita LHK
Pubdate : 04/04/2016 - 03:54 am yang diakses di
http://puspijak.org/Portal/read/93 tanggal 10 November 2021.
Puspitojati T. 2011. Persoalan definisi hutan dan hasil hutan dalam hubungannya
dengan pengembangan HHBK melalui hutan tanaman. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan. 8(3): 210 – 227
Qaim M, Sibhatu KT, Siregar H, Grass I. 2020. Environmental, economic, and so- cial
consequences of the oil palm boom. Annual review of resource economics,
12:321–344.
Rahmanita R, Fatmariza F, Nurdin B. 2018. Social economic life of oil palm farmers.
In International Conferences on Educational, Social Sciences and Technology,
pa- ges 522–529. Fakultas Ilmu Pendidikan UNP.
Ramdani R et. al. 2018. Karet alam sebagai basis pembangunan perdesaan dan
peningkatan taraf hidup masyarakat yang berkelanjutan. Jurnal Ilmu
Pemerintahan Widya Praja Volume 44, No. 1, Oktober 2018: 21-36.
Rana BS, Rao OP, Singh BP. 2001. Biomass production in 7 year old plantations of
Casuarina equisetifolia on sodic soil. Tropical Ecology 42(2)
Rejeki SS, Santosa Y. 2019. The Impact of Oil Palm Plantation on the Diversity of
Herpetofauna in PT BLP, Central Kalimantan Province. AIP Conference
Proceedings 2019, 060002
Rist L, Feintrenie L, Levang P. 2010. The livelihood impacts of oil palm: smallho-
lders in Indonesia. Biodiversity and conservation, 19(4):1009–1024.

107
Riutta T, Malhi Y, Kho LK, et al. 2018. Logging disturbance shifts net primary
productivity and its allocation in Bornean tropical forests. Glob Change
Biol, 24: 2913– 2928.. https://doi.org/10.1111/gcb.14068
Rochmayanto Y, Limbong A. 2013. Penentuan harga pokok produksi hutan rakyat
kayu pulp di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman, 10(2):73–83.
Roupsard O, Lamanda N, Jourdan C, Navarro M, Mialet-Serra I ,Dauzat J, and Sileye
T. 2008. Coconut Carbon Sequestration Part 1 / Highlights on Carbon Cycle in
Coconut Plantations. Cord 2008, 24 (1) 1
Safitri L, Hermantoro H, Purboseno S, Kautsar V, Saptomo SK, Kurniawan A. 2019.
Water footprint and crop water usage of oil palm (Elaesis guineensis) in Central
Kalimantan: Environmental sustainability indicators for different crop age and
soil conditions. Water, 11(1): 35.
Sanquetta CR., Paclliconetto S, Corte APD, Rodrigues AL, Behling A, Sanquetta MNI.
2015. Quantifying biomass and carbon stocks in oil palm (Elaeis guineensis
Jacq.) in Northeastern Brazil. African j Agri Research, 10(43), 4067-4075.Doi:
10.5897/AJAR2015.9582
Santosa Y, Rejeki SS. 2019. Variation of herpetofauna in different land cover types in
PT ASMR oil palm plantation, Central Kalimantan Province. AIP Conference
Proceedings 2019, 060003.
Santosa Y, Sunkar A, Erniwati, Purnamasari I. 2016. Sejarah perkembangan status,
penggunan lahan dan keanekaragaman hayati kebun kelapa sawit Indonesia
[Laporan Riset}. Bogor (ID): Badan Pengelola Dana Perkebunan kelapa Sawit
dan Lembaga Penelitian Pengabdian Kepada Masyarakat.
Santosa Y, Sunkar A, Kwatrina RT. 2020. FAO. FAO. Is it True that Oil Palm
Plantations are the Main Driver of Indonesia’s Tropical Forest Deforestation?.
Int J Oil Palm. 3(1):1-10. Doi: 10.35876/ijop.v3i1.37
Santosa Y, Sunkar A, Purnamasari I, Yohana. 2017. Sejarah asal usul status, riwayat
penggunaan lahan, kanekaragaman hayati kebun kelapa sawit di Kalimantan
Tengah. Bogor (ID): GAPKI.
Santosa Y, Sunkar A, Purnamasari I, Yohana. 2018. Sejarah asal usul status, riwayat
penggunaan lahan, keanekaragaman hayati kebun kelapa sawit di Sulawesi
Barat dan Kalimantan Barat. Bogor (ID): GAPKI.
Sapey E, Adusei-Fosu K, Agyei-Dwarko D, Okyere-Boateng G. 2012. Collection of oil
palm (Elaeis guineensis Jacq.) germplasm in the northern regions of Ghana.
Asian J. Agric. Sci. 4 (5), 325–328.
Saptomo A. 2004. Di balik sertifikasi hak atas tanah dalam prespektif pluralisme
hukum. Jurisprudence 1(2): 207-218.
Saragih ME. 2009. Biaya pengusahaan hutan tanaman industri pt. riau andalan pu-
lp and paper sektor baserah. Technical report, Departemen Hasil Hutan,
Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor.
Sari E. 2017. Persepsi masyarakat sekitar tentang dampak perkebunan Sawit PT.
Surya Agrolika. Reksadan PT Adimulia Agrolestari. Skripsi pada Departemen

108
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sari MNSN, Kartikowati SK. Indrawati HI. n.d. Analisis Faktor yang Mempengaruhi
Alih Fungsi Lahan Karet Menjadi Lahan Sawit pada Anggota Kud Langgeng
Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuantan Singingi (Doctoral
dissertation, Riau University).
Satriyawati S. 2016. Konversi Lahan Tanaman Karet Menjadi Lahan Tanaman
Kelapa Sawit Guna Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga (Studi Penelitian Di
Desa Mendik Kecamatan Long Kali Kabupaten Paser Propinsi Kalimantan
Timur).
Savilaakso S, Garcia C, Garcia-Ulloa J, Gazhoul J, Groom M, Guariguata MR, Laumonier
Y, Nasi R, Petrokofsky G, Snaddon J, Zrust M. 2014. Systematic review of effects
on biodiversity from oil palm production. Environ Evid. 3 (4). Doi:
10.1186/2047-2382-3-4
Sawit Watch. 2017. Benar, Sawit Melanggar HAM. Press release Sawit Watch 17
Maret 2017. http://sawitwatch.or.id/2017/03/press-release-sawit-watch-
17-maret-2017-benar-sawit-melanggar-ham/. [23 Nov 2021].
Schoneveld GC, Ekowati D, Andrianto A, van der Haar S. 2019. Modeling peat-and
forestland conversion by oil palm smallholders in Indonesian
Borneo. Environmental Research Letters, 14(1), p. 014006.
Selamet, B. 2015. Intersepsi dan aliran permukaan pada transformasi hutan hujan
tropika dataran rendah Jambi [Disertasi]. IPB. Bogor.
Shahputra MA, Zen Z. 2018. Positive and negative impacts of oil palm expansion in
Indonesia and the prospect to achieve sustainable palm oil. IOP Conference
Series: Earth and Environmental Science 122 p. 012008.
Sheil D, Casson A, Meijaard E, van Noordwijk M, Gaskell J, Sunderland-Groves J,
Wertz K, Kanninen M. 2009. The impacts and opportunities of oil palm in
Southeast Asia: What do we know and what do we need to know? Occasional
Paper. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.
Sibhatu KT, Krishna VV, Qaim M. 2015. Production diversity and dietary diversity in
smallholder farm households. Proceedings of the National Academy of Sciences
of the United States of America (PNAS), 112(34), pp. 10657–10662.
https://doi.org/10.1073/pnas.1510982112
Silalahi FTR, Simatupang TM, Siallagan P. 2019. Biodiesel produced from palm oil in
Indonesia: Current status and opportunities. AIMS Energy. 8(1):81-101. Doi:
10.3934/energy.2020.1.81
Singer B. 2009. Indonesian forest-related policies a multisectoral overview of public
policies in Indonesia’s forests since 1965. Paris: CIRAD, the Institut d’Etudes
Politiques.
Singh A, Raghubanshi A, and Singh JS. 2004. Comparative performance and
restoration potential of two Albizia species planted on mine spoil in a dry
tropical region, India. Ecological Engineering. 22. 123-140.
10.1016/j.ecoleng.2004.04.001.

109
Singh N, Parida BR, Charakborty JS and Patel NR. 2019. Net Ecosystem Exchange of
CO2 in Deciduous Pine Forest of Lower Western Himalaya, India. Resources
2019, 8, 98; doi:10.3390/resources8020098
Singh V and Toky OP. 1995. Biomass and net primary productivity in Leucaena,
Akasia and Eucalyptus, short rotation, high density plantations in arid India.
Journal of Arid Environments, Volume 31, Issue 3,Pages 301-309, ISSN 0140-
1963,https://doi.org/10.1016/S0140-1963(05)80034-5.
(https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0140196305800345)
Siregar, N. 2010. Pengaruh Ukuran Benih Terhadap Perkecambahan Benih dan
Pertumbuhan Bibit Gmelina (Gmelina arborea Linn). J. Tekno Hutan Tanaman,
3 (1) : 1-5.
Sitompul SM, Hairiah K. 2000. Biomass measurement of home garden. Proceedings
of Workshop on LUCC and Greenhouse Gas Emissions, Biophysical Data. Bogor
(ID): IPB.
SNI 7711-2011. 2011. Survei Dan Pemetaan Mangrove. Jakrta (ID): Badan
Standarisasi Nasional
Sobian P. 2019. Social and economic impact of palm oil plantation for local commu-
nities in Kapuas Hulu District. Wacana Journal of Social and Humanity Studies,
22(3).
Song QH, Tan ZH, Zhang YP, Sha LQ, Deng XB, Deng Y, Zhou WJ, Zhao JF, Zhao JB,
Zhang X, Zhao W, Yu GR, Sun XM, Liang NS, Yang -Y. 2014. Do the rubber
plantations in tropical China act as large carbon sinks? iForest 7: 42-47 [online
2013-10-21] URL: http://www.sisef.it/iforest/contents/?id=ifor0891-007
Srivastava AK. 1995. Biomass and energy production in Casuarina equisetifolia
plantation stands in the degraded dry tropics of the Vindhyan plateau, India.
Biomass and Bioenergy,Vol 9, Issue 6, Pages 465-471, ISSN 0961-9534,
https://doi.org/10.1016/0961-9534(95)00048-8.
(https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/0961953495000488)
Stephens SS, Wagner MR. 2007. Forest Plantations and Biodiversity: A Fresh
Perspective. J for. 307-313
Stevenson, P. R., Aldana, A. M. 2008. Potential effects of ateline extinction and forest
fragmentation on plant diversity and composition in the Western Orinoco
Basin, Colombia. International Journal of Primatology 29: 365–37
Sugiarto Y, June T and Sapto B. 2008. Estimation of net primary production (npp)
using remote sensing approach and plant physiological modeling. J.
Agromet Vol. 22 No. 2: December 2008
https://doi.org/10.29244/j.agromet.22.2.183-199.
Sujatmiko T, Ihsaniyati H. 2018. Implication of climate change on coffee farmers’
welfare in Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science
200 p. 012054.
Sunarminto T, Mijiarto J. dan Prabowo ED. 2019. Socioeconomic and cultural impacts
of oil palm plantation development in Indonesia. IOP Conference Series: Earth
and Environmental Science (Vol. 336, No. 1, p. 012008). IOP Publishing.

110
Sunaryathy PI, Busu I, and Rasib A. 2012. Evaluation of Net primary productivity of
oil palm plantation in South Sulawesi Indonesia. 33rd Asian Conference on
Remote Sensing 2012, ACRS 2012. 2. 1830-1834.
Sunderlin WD, Pokam J. 2002. Economic crisis and forest cover change in Cameroon:
the roles of migration, crop diversification, and gender division of labor.
Economic Development and Cultural Change 50: pp. 581–606.
Sunderlin WD, Resosudarmo IAP. 1996. Laju dan penyebab deforestasi di Indonesia:
Penelaahan kerancuan dan penyelesaiannya. Occasional Paper No. 9. Bogor
(ID): Center for International Forestry Research.
Supriana, T., Nasution, S.K.H., Pane, T.C., Hanum, S.S. 2018. Factors Influencing the
Conversion of Cocoa Lands into Oil Palm in Asahan District of North Sumatera.
In International Conference of Science, Technology, Engineering, Environmental,
and Ramification Researches (ICOSTEERR). Medan: Universitas Sumatera
Utara.
Suraini, W., Lumangkun, A. and Haryani, U.N. 2015. Analisa ekonomi petani
pengelola karet di kawasan tembawang kelurahan sebalo kecamatan
bengkayang. Jurnal Hutan Lestari, 3(4): pp 507 – 516.
Susanti A, Burgers P. 2012. Oil Palm Expansion: Competing Claim of Lands for Food,
Biofuels, and Conservation. In M. Behnassi, O. Pollmann dan G. Kissinger (eds)
Sustainable Food Security in the Era of Local and Global Environmental
Change. Dordrecht: Springer. I
Susanti A. 2016. Oil palm expansion in Riau Province, Indonesia: serving people, planet
and profit? Eburon Academic Publishers.
Syafaruddin et. al. 2012. Dampak keberadaan Hutan Tanaman Industri PT. Wana
Subur Lestari terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Sungai Radak II
Kecamatan Terentang Kabupaten Kubu Raya. Pontianak, Indonesia: Fakultas
Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak.
Syahfitri MM. 2008. Analisa Unsur Hara Fosfor (P) pada Daun Kelapa Sawit Secara
Spektrofotometri di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan.
Syahrinudin. 2005. The potential of palm oil and forest plantations for carbon
sequestration on degraded land in Indonesia. In: Vlek PLG, Denich M, Martiuns
C, Rodgers C, van de Giesen N, editors. Ecol. Dev. Series No. 27. Cuvillier Verlag,
Göttingen
Syahza A. 2004. Dampak Kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) terhadap sosial
ekonomi masyarakat sekitar di Kabupaten Siak. Pekanbaru, Indonesia: Pusat
Pengkajian Koperasi dan pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Universitas
Riau.
Syahza A. 2011. Percepatan pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan dengan
model agro estate berbasis kelapa sawit. Jurnal Ekonomi. 12 (02): pp. 297-310
Syarifa LF et. al. 2016. Dampak rendahnya harga karet terhadap kondisi sosial
ekonomi petani karet di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Karet, 2016, 34
(1): pp. 119-126.

111
Takanashi S, Kosugi, Y, Tani M., MatsuoN, Mitani T, and Nik AR. 2005.
Characteristics of the gas exchange of a tropical rain forest in peninsular
Malaysia. Phyton-Ann. REI Bot., 45, 61–66.
Tamba P, Manurung R. 2015. Adaptasi Masyarakat dalam Merespon Perubahan
Fungsi Hutan. 3 (1), 150–164. Retrieved from Jurnal. usu. ac. id.
Tambo JA. 2016. Adaptation and resilience to climate change and variability in
north-east Ghana. International Journal of Disaster Risk Reduction, 17:pp.85-
94.
Tamnge F. 2016. Ekoton dan Efek Tepi pada Komunitas Burung di Tegakan Hutan
Tanaman Hutan Pendidikan Gunung Walat. [tesis]. Bogor (ID); IPB University.
Tan ZH, Zhang YP, Yu GR, Sha LQ, Tang JW, Deng XB, and Song QH. 2010. Carbon
balance of a primary tropical seasonal rain forest. Journal of Geophysical
Research. Atmospheres, 115, D00H26.
Thang N, Lam V, Thuyet D, Trung P, Sam P, Quy T, Phuong N, Huyen L, Thinh N, Tuan
N, Duc D, Ha D, Trung D, Luong H, Anh N, Linh M, and Do T. 2019. Aboveground
Net Primary Production at Acacia mangium Plantation in Northern
Vietnam. Asian Journal of Research in Agriculture and Forestry, 3(3), 1-7.
https://doi.org/10.9734/ajraf/2019/v3i330038
Thiollay JM. 1999. Frequency of mixed species flocking in tropical forest birds and
correlates of predation risk: an intertropical comparison, J. Avian Biol. 30: 282-
294.
Traction Energy Asia. 2020. Pemanfaatan dan pengelolaan biofuel (biodiesel):
pembelajaran dan praktik baik dari berbagai Negara. Working paper 2. Jakarta
(ID): Traction Energy Asia.
Tscharntke T, Clough Y, Bhagwat SA, Buchori D, Faust H., Hertel D, Hölscher D,
Juhrbandt J, Kessler M, Perfecto I, Scherber C, Schroth G, Veldkamp, Wanger,
TC, 2011. Multifunctional shade-tree management in tropical agroforestry
landscapes a review: multifunctional shade-tree management. J. Appl. Ecol. 48,
619-629
Tyynelä T, Otsamo R, Otsamo A. 2003. Indigenous livelihood systems in industrial
tree-plantation areas in West Kalimantan, Indonesia: Economics and plant-
species richness. Agroforestry systems, 57(2):87–100.
Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang kehutanan
Undang-Undang No 5 tahun 1967 tentang ketentuan- ketentuan pokok kehutanan
UNEP/CBD/Subsidiary Body on Scientific, Technical and technological Advice. 2001.
Report of seventh meeting of the Subsidiary Body on Scientific, Technical and
Technological Advice. Di dalam Conference of the Parties To the Convention
on Biological Diversity, 7 – 19 april 2001. Hague, Belanda.
Uning R, Latif MT, Othman M, Juneng L, Hanif NM, Shahrul M, Nadzir M, Maulud MNA,
Jaafar WS, Said NFS, Ahamad F, and Takri MS. 2020. A Review of Southeast
Asian Oil Palm and Its CO2 Fluxes. Sustainability 2020, 12, 5077;
doi:10.3390/su12125077

112
Utomo IH, Lontoh AP, Zaman S, dan Guntoro D. 1998. Panduan Pengendalian Gulma.
Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Van Dijk K, Savenije H. 2011. Kelapa sawit atau hutan? Lebih dari sekedar definisi.
Policy Brief. Bogor (ID): Tropenbos International Indonesia Programme.
Vijay V, Pimm SL, Jenkins CN, Smith, SJ. 2016. The impacts of oil palm on recent
deforestation and biodiversity loss. PLoS ONE 11:e0159668. Doi:
10.1371/journal.pone.0159668
Villard MA, Trzcinski MK, Merriam G. 1999. Fragmentation Effects on Forest Birds:
Relative Influence of Woodland Cover and Configuration on Landscape
Occupancy. Conserv Biol. 13(4):774-783 Doi: 10.1046/j.1523-
1739.1999.98059.x
Wakhid N dan Hirano T. 2021. Soil CO2 emissions and net primary production of an
oil palm plantation established on tropical peat. Mires and Peat, Volume 27
(2021), Article 13, 11 pp., http://www.mires-and-peat.net/, ISSN 1819-754X
Wang F, Xu X, Zou B, Guo Z, Li Z, Zhu W. 2013. Biomass Accumulation and Carbon
Sequestration in Four Different Aged Casuarina equisetifolia Coastal
Shelterbelt Plantations in South China. PLoS ONE 8(10): e77449.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0077449
Wibowo LR, Hakim I, Komarudin H, Kurniasari DR, Wicaksono D, Okarda B. 2019.
Penyelesaian tenurial perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan untuk
kepasan investasi dan keadilan. CIFOR Working Paper 247. Bogor: CIFOR.
Wibowo LR, Hakim I, Subarudi, Kurniasari DR, Nurfatriani F, Rama, Komarudin H.
2017. Land amnesty as a policy breakthrough for agrarian reform in forestry
sector. Proceeding of International Academic Conference: Green Polical
Dynamics, Bandung, 20-21 April 2017. Bandung: FISIP UNPAS PRESS. ISBN:
978-602- 0942-14-8
Widianingsih NN, Theilade I, Pouliot M. 2016. Contribution of forest restoration to
rural livelihoods and household income in Indonesia. Sustainability, 8(9), p.
835.
Wigena, IGP, Siregar H, Sudrajat, dan Sitorus SRP. 2009. Desain model pengelolaan
kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan berbasis sitem pendekatan dinamis
(Studi kasus kebun kelapa sawit plasma PTPN V Sei Pagar, Kabupaten Kampar,
Provinsi Riau). Jurnal Agro Ekonomi. 27(1): 81-108.
Wijaya T, Istianto, Sudiharto, Rosyid MJ. 2008. Pengembangan Karet di Lahan Sub-
Optimal. Dalam: Supriadi M, Aidi-Daslin, Siagian N, Kustyanti T, Rachmawan A
(eds). Pros. Lok. Nas. Agribisnis Karet di Yogyakarta. Hal 131-144.
Wijaya T. 2008. Kesesuaian tanah dan iklim untuk tanaman karet. Warta Perkaretan.
27(2): 34−44.
Wilson P. 2015. A-Z of tree term. A Companion to British arboriculture. London
(UK): Arboriculture Association
World Growth 2011 The economic benefit of palm oil to Indonesia. A report by
World Growth.

113
Yan YJ, Zhang Y, Yu G, Zhou G, Zhang L, Li K, Tan Z, Sha L. 2013. Seasonal and inter-
annual variations in net ecosystem exchange of two old-growth forests in
southern China. Agricultural and Forest Meteorology. 182–183:257–265.
doi:10.1016/j.agrformet.2013.03.002.
Yasin AZF. 2008. Agribisnis Riau dalam Kemelut. Pekanbaru: UIR Press
Yasinta T, Karuniasa M. 2021. Palm oil-based biofuels and sustainability In
Indonesia: assess social, environmental and economic aspects. IOP Conference
Series. Earth and Environmental Science, Bristol. 716(1):1-12. Doi:
10.1088/1755-1315/716/1/012113
Yiping L, Hanley G. 2010. Biodiversity in Bamboo Forests: a policy perspective for
long term sustainability. China: International Network for Bamboo and Rattan
(INBAR)
Youlla D et. al. 2020. Dampak sosial pembangunan hutan tanaman industri terhadap
kehidupan masyarakat di Dusun Nanas Kecamatan Siantan Kabupaten
Mempawah. Ziraa’ah, Volume 45 Nomor 2, pp. 213-223.
Yudea C, Santosa Y. 2019. IOP Conf. Ser. Earth Environ. Sci. 336
Yulian, Y. 2019. Kondisi perekonomian masyarakat Kecamatan Bone-Bone Kab. Luwu
Utara pasca peralihan lahan dari kakao ke kelapa sawit. Disertasi pada
Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo.
Yusriadi, M. 2015. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan
tanaman kakao menjadi kelapa sawit di Kecamatan Kuala Kabupaten Nagan
Raya. Skripsi pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Tidak dipublikasikan.
Yuste CJ, Konôpka B, Janssens IA, Coenen K, Xiao CW, Ceulemans R. 2005.
Contrasting net primary productivity and carbon distribution between
neighboring stands of Quercus robur and Pinus sylvestris. Tree Physiol. 2005
Jun;25(6):701-12. doi: 10.1093/treephys/25.6.701. PMID: 15805090.
Zhao W, Yu K, Tan S, Zheng Y, Zhao A, Wang P, Zhang Y. 2017. Dietary diversity scores:
An indicator of micronutrient inadequacy instead of obesity for Chinese children.
BMC Public Health, 17(1), p. 440. https://doi.org/10.1186/s12889-017-4381-
x
Zhou Y et al. 2016. Global parameterization and validation of a two-leaf light use
efficiency model for predicting gross primary production across FLUXNET
sites, J. Geophys. Res. Biogeosci., 121, 1045–1072, doi:10.1002/
2014JG002876.

114

Anda mungkin juga menyukai