Anda di halaman 1dari 18

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

PT. Kaltim Prima Coal merupakan perusahaan yang bergerak dalam

bidang pertambangan batubara, yang lokasi penambangannya terletak di Sangatta

Kabupaten Kutai Timur. PT. Kaltim Prima Coal melakukan penambangan dengan

teknik penambangan terbuka (open pit mining) dengan beberapa tahapan yaitu

pembukaan lahan (land clearing), mengupas tanah pucuk (stripping top soil),

mengupas dan menimbun tanah penutup (over burden stripping). Teknik

penambangan ini dapat menyebabkan kerusakan ekologi dan terjadinya degradasi

lahan meliputi kondisi fisik, kimia, dan biologi lahan di area pasca tambang,

sehingga perlu diadakan upaya perbaikan dengan cara reklamasi lahan.

1.2. Tujuan Praktikum

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mengetahui

bagaimana cara dan proses reklamasi lahan PT. Kaltim Prima Coal dan agar

mahasiswa mengetahui contoh nyata reklamasi lahan yang telah diajarkan di

perkuliahan.

1.3. Manfaat Praktikum

Adapun manfaat yang diperoleh dari praktikum ini adalah sebagai tambahan

referensi khususnya mengenai perkembangan ilmu dan informasi yang dapat

digunakan oleh pihak-pihak yang memerlukan serta membina kerjasama yang

baik antara lingkungan akademis dengan lingkungan kerja.

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Sejarah Singkat PT. Kaltim Prima Coal

PT. Kaltim Prima Coal adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang

pertambangan dan pemasaran batubara untuk pelanggan industri baik pasar ekspor

maupun domestik. PT. Kaltim Prima Coal merupakan perusahaan pertambangan

batubara yang terletak di wilayah Sangatta, Kalimantan Timur, Indonesia. PT.

Kaltim Prima Coal merupakan salah satu pertambangan terbuka terbesar di dunia.

Tahun 1978 Pemerintah Indonesia mengundang tender dari perusahaan

asing untuk eksplorasi dan pengembangan sumber daya batubara di Kalimantan

Timur dan Selatan. A BP / CRA joint venture berhasil penawaran untuk wilayah

7.900 wilayah km persegi di dua blok memanjang 300 km di sepanjang pantai

timur Kalimantan.

Tahun 1982 PT. Kaltim Prima Coal didirikan di Indonesia dengan masing-

masing BP dan CRA 50% memegang saham PT. Kaltim Prima Coal lisensi untuk

melakukan eksplorasi dan pertambangan batubara berdasarkan Kontrak Karya

Batubara (Kontrak Karya) dengan HPH seluas 90.706 ha. Negara Indonesia

Perusahaan Batubara (PTBA) berhak menerima 13.5% dari produksi semua.

Tahun 1988 melanjutkan dengan pengembangan tambang ekspor dengan

kapasitas desain 7 juta ton per tahun (mtpa) setelah eksplorasi rinci dan studi

kelayakan, prospek dekat dengan Sangatta. Prospek memiliki jumlah besar

cadangan batubara berkualitas tinggi, dekat dengan garis pantai dengan air yang

menyerahkan sebagian besar wilayah perjanjian asli, mempertahankan 1.961 km2.

2
Tahun 1989 Konstruksi dimulai pada bulan Januari. Anggaran untuk

proyek ini adalah US$570 Juta. Tahun 1990 Pembangunan tambang skala besar

dimulai pada bulan Juni. Tahun 1991 Proses pembangunan selesai pada akhir

1991. Pemasaran ekspor dimulai pada bulan Januari 1992.

II.2. Pertambangan Batubara

Dalam proses penambangan batubara, secara garis besar dikenal dua

sistem, yaitu sistem tambang terbuka (open pit) dan tambang tertutup (under

ground). Penambangan terbuka berpotensi mengubah lingkungan fisik, kimia, dan

biologi, seperti bentuk lahan dan kondisi tanah, kualitas aliran air, debu getaran,

pola vegetasi dan habitat fauna. Dampak lingkungan penambangan terbuka antara

lain: penurunan produktivitas tanah, pemadatan tanah, terjadi erosi dan

sedimentasi, terjadinya pergerakan tanah/longsor, terganggunya flora dan fauna,

terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk serta perubahan iklim mikro

(Kustiawan, 2010).

Secara umum tahapan penambangan batu bara meliputi: (1) pembersihan

lahan/pembebasan vegetasi (land clearing); (2) pengupasan dan penimbunan tanah

penutup; (3) penggalian batubara; (4) penirisan tambang; (5) pengangkutan dan;

(6) reklamasi bahan bekas penambangan. Tahapan operasional penambangan

tersebut dapat berlangsung pada satu unit lokasi penambangan dan dimungkinkan

pula dapat terjadi secara simultan di beberapa lokasi penambangan. Oleh karena

itu, kegiatan pembersihan lahan, pengupasan dan penimbunan tanah penutup dan

penggalian batubara bila tidak segera diatasi akan menimbulkan dampak negative

yang akan berpotensi menimbulkan bencana misalnya keterlambatan dalam

3
pengelolaan tanah galian dan tanah timbunan dapat mengakibatkan terjadinya

erosi dan sedimentasi yang cukup parah, terlebih lagi bila lokasi tersebut

berdekatan dengan lokasi pemukiman penduduk (Kustiawan, 2001).

II.2.1. Dampak Pertambangan Batubara

Soemarwoto (2005) mengemukakan bahwa, batubara memiliki nilai yang

sangat strategis, namun disisi lain juga menimbulkan dampak baik positpif

maupun negatif, baik untuk masyarakat maupun lingkungan. Dampak positif

pertambangan batubara meliputi:

1) Meningkatkan pendapatan Negara;

2) Ikut meningkatkan perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya daerah

setempat;

3) Memberikan kesempatan kerja (lapangan kerja baru);

4) Memberikan kesempatan ahli tekhnologi dan informasi;

5) Memantapkan keamanan lingkungan.

Sedangkan dampak negatif dari kegiatan pertambangan:

1) Merubah morfologi dan fisiologi tanah (tata guna tanah);

2) Merusak lingkungan, karena tanah yang subur hilang, vegetasi dibuka

sehingga daerah menjadi gundul dan mudah erosi serta longsor, flora

dan fauna rusak sehingga ekologi rusak, polusi sungai dan udara.

II.3. Rehabilitasi dan Revegetasi Lahan Bekas Tambang

Rehabilitasi lahan adalah usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan

meningkatkan kondisi lahan yang rusak (kritis) agar dapat berfungsi secara

optimal, baik secara unsur produksi, media pengatur tata air, maupun sebagai

4
unsur perlindungan alam lingkungan (Putra, 2010). Dalam konteks pemulihan

lahan terdegradasi, rehabilitasi lahan merupakan pendekatan dengan memasukkan

jenis asli, ditambah dengan jenis eksotik ke lokasi yang dihutankan, yang

bertujuan untuk mengembalikan hutan ke kondisi yang produktif dan stabil

(Anonim1, 2001).

Pelaksanaan revegetasi merupakan pengelolaan dan pemantauan yang

terencana dengan baik yang tersusun dalam pedoman RKL (Rencana Pengelolaan

Lingkungan) maupun RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan). Kegiatan

rehabilitasi diharapkan dapat mengatasi dampak negatif yang timbul akibat

kegiatan penambangan dengan pertimbangan alasan menurut Anonim (1999)

sebagai berikut:

1) Pembersihan lahan berdampak besar pada penurunan populasi flora

darat,

2) Pengupasan tanah pucuk berdampak besar pada penurunan kesuburan

tanah dan peningkatan erosi, sehubungan dengan kemiringan lahan

pada tempat-tempat yang berlereng terjal,

3) Penggalian dan pemindahan tanah penutup menimbulkan perubahan

bentang alam berupa bentukan lubang-lubang galian tambang yang

potensial mengganggu hidrologi hutan,

4) Penggalian dan pemindahan tanah penutup berdampak pada penurunan

kualitas air sungai akibat erosi serta munculnya air asam tambang

(acid mine drainage).

5
Revegetasi merupakan kegiatan penghijauan kembali lahan bekas

tambang. Keberadaan vegetasi akan mempengaruhi jumlah bahan organik. Peran

bahan organik penting dalam memperbaiki struktur tanah dan memperbesar

kemampuan menyerap dan menahan air hujan, menambah unsur hara, serta

mengurangi kekuatan dispersi air hujan dan kecepatan aliran permukaan.

Pemilihan tanaman penutup tanah sebaiknya memiliki persyaratan: mudah

diperbanyak, sistem perakaran tidak menimbulkan kompetisi berat bagi tanaman

pokok; mempunyai sifat pengikat tanah; tumbuh cepat dan banyak menghasilkan

daun toleran terhadap pemangkasan, resisten kekeringan, mampu menekan gulma

dan mudah diberantas jika tanah akan digunakan untuk jenis lainnya (Rahmawaty,

2012).

6
III. METODE PRAKTIKUM

III.1. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu, 18 April 2018 bertempat di

PESAT (Peternakan Sapi Terpadu) dan TBA ( Telaga Batu Arang) yang

merupakan areal reklamasi lahan bekas tambang batu bara PT. Kaltim Prima Coal

III.2. Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan adalah kamera yang digunakan

untuk dokumentasi dan alat tulis yang digunakan untuk mencatat poin-poin

penting yang disampaikan oleh pemateri.

III.3. Cara Kerja

Cara kerja praktikum ini adalah dengan melakukan eksplorasi atau

penjelajahan di lokasi Telaga Batu Arang dan dengan memperhatikan penjelasan

dari pemateri.

7
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengelolaan Lingkungan

Penambangan meliputi kegiatan pengupasan, penggalian, pengambilan

batubara, pemilahan material nonbatubara, dan pemibunan. Kegiatan tersebut

akan menghasilkan banyak lubang besar dan lahan timbunan yang akan merusak

lingkungan bila tidak dikelola secara baik dan benar.

Pengerjaan pengelolaan lingkungan pada lahan bekas tambang bermula

dari pekerjaan penataan lahan, yakni wilayah tertentu yang sudah ditambang dan

yang belum ditambang untuk dijadikan areal penimbunan. Penimbunan tersebut

dilakukan secara bertahap dan berjenjang menggunakan material non batubara

atau sisa hasil penambangan, sehingga menghasilkan bukit-bukit baru dengan

kemiringan 15-20 %. Bukit-bukit timbunan tersebut selanjutnya disiapkan untuk

idtata atau direhabilitasi agar dampaknya terhadap lingkungan dapat

diminimalisasi. Biaya pengelolaan lingkungan dihitung berdasarkan tarif per ton

dikalikan dengan total batubara produksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kegiatan pengelolaan dampak lingkungan meliputi penanganan tanah

pucuk (topsoil), penanganan erosi, kolam pengendap lumpur (KPL), pengendalian

air asam tambang (AAT), revegatasi, penanganan dan pemantauan biodiversity,

8
pemantauan tanaman, pemantauan biota aquatic (plankton dan benthos), serta

pemantauan satwa liar.

IV.1.1. Penanganan Tanah Pucuk

Tanah pucuk (topsoil) terdiri atas tanah humus dan tanah merah yang

merupakan hasil pelapukan tanah induk. Tebal tanah pucuk berkisar 1- 1,5 meter.

Tanah pucuk harus diperlakukan sebagai sumber daya alam karena sangat penting

untuk media tanaman. Proses penghijauan (revegetasi) tidak dapat dilakukan

dengan baik bila tidak tersedia tanah pucuk.

Tindakan yang dilakukan pada saat melaksanakan operasional

penambangan adalah penyelamatan lapisan tanah pucuk setelah dilakukannya

land clearing. Pengupasan atau pemisahan tanah pucuk dilakukan dengan

menggunakan alat berat, seperti bulldozer, shovel, dan truk. Tanah yang

mengandung unsur hara tersebut ditimbun pada suatu lokasi khusus dan pada saat

diperlukan, tanah pucuk akan dihamparkan kembali di atas tanah timbunan yang

bersifat permanen. Tujuan pengananan tanah pucuk adalah menjaga agar tanah

tidak tercampur dengan tanah lain, unsur hara tidak mati, serta tanah pucuk tidak

tererosi dan cukup untuk kebutuhan revegetasi.

Kegiatan penyimpanan tanah pucuk hendaknya memperhatikan beberapa

hal. Misalnya lokasi penyimpanan di luar daerah yang akan ditimbun atau digali,

lokasi yang stabil dan bebas erosi, serta luas yang cukup untuk menampung tanah

pucuk yang direncanakan. Tinggi timbunan maksimum 2 m, diratakan dan

dipadatkan secukupnya, serta ditanami tanaman penutup (cover crop). Penebaran

kembali tanah pucuk dilakukan dengan ketebalan berkisar 20-30 cm di atas lahan

9
yang telah diatata dan dirapikan agar bebas erosi. Hal itu berkaitan dengan fungsi

tanaman penutup yang baru efektif sebagai penahan erosi setelah tanaman

berumur tujuh bulan.

Gambar 1. Penanganan Tanah pucuk PT. KPC

IV.1.2. Penanganan erosi

Pengendalian erosi bertujuan untuk mengupayakan agar tidak terjadi atau

memimalkan erosi untuk menghindari terjadinya dampak negatif akibat erosi.

Dampak negatif adalah penurunan produktivitas lahan yang disebabkan hilangnya

lapisan tanah yang subur, sehingga mengurangi luas lahan yang dapat ditanami.

Selain itu, erosi akan mengakinatkan pencemaran lingkungan karena material

erosi dapat tersedimentasi, sehingga mendangkalkan sungai dan menurunkan

mutu air. Pencegahan erosi dilakukan dengan jalan, pengaturan geometril lereng,

pembuatan saluran antar lereng, stabilisasi lereng, dan pembuatan saluran

pencegah erosi. Penanganan erosi yang dilakukan di areal reklamasi lahan PT.

Kaltim Prima Coal adalah dengan membuat terasering, countoring, pengaturan

drainase.

10
Gambar 2. Pemanfaatan Ban bekas untuk menahan laju air pada drainase

IV.1.3. Kolam Pengendap Lumpur

Kolam pengendap lumpur (KPL) bertujuan mengendapkan material padat

yang terbawa oleh air limpasan dari tambang akibat erosi di areal pertambangan

atau areal timbunan sebelum dibuang ke perairan umum. Hal itu dilakukan agar

sesuai dengan baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kriteria pembuatan KPL harus memnuhi sejumlah persyaratan.

Persyaratan- persyaratan itu adalah dapat mengendapkan lumpur dan air buangan

yang diperlukan ke perairan umum, sehingga memenuhi baku mutu lingkungan

secara menerus. Penentuan lokasi disesuaikan dengan rencana tambang jangka

panjang agar dapat difungsikan untuk jangka waktu yang lama. Daya tampung

diupayakan semaksimal mungkin untuk menurunkan frekuensi pengurasan dan

memiliki kompartemen pengapuran air asam tambang demi normalisasi derajat

keasaman (pH) air limpasan. Di PT. KPC sendiri terdapat beberapa kolam besar

yang digunakan sebagai prngendap lumpur yakni di kolam Pit J dan Pit Melawan.

11
Gambar 3. Kolam Pit J

IV.1.4. Pengendalian Air Asam Tambang

Pengendalian air asam tambang (AAT) perlu dilakukan untuk

mendapatkan nilai pH normal, yakni rentang 6 sampai dengan 9. Air

dikategorikan asam bila nlai pH lebih kecil dari 6. Air asam mampu melarutkan

logam seperti Fe, Mn, Hg, Pb yang membahayakan, air asam tambang terbentuk

akibat reaksi oksidasi bahan sulfida (pirit atau FeS). Hasil reaksi berupa senyawa

sulfur dioksida (SO2) yang kemudian beraksi dengan air (H2O) menjadi asam

sulfat (H2SO4).

Pencegahan AAT yang berasal dari tanah penutup (over burden) dengan

penimbunan encapsulate. Prinsip penimbunan tersebut adalah mengisolasi atau

mengurung tanah sumber penyebab air asam dengan tanah timbunan yang tidak

asam atau mampu menetralisasi keasaman dan impemeable untuk mencegah

terjadinya kontak dengan udara dan air. Metode pengendalian AAT dilakukan

untuk mencegah terjadinya kontak dengan udara dan air. Metode pengnedalian

AAT dilakukan dengan jalan proses netralisasi konvensional dengan

menggunakan kapur (CaO) dan soda abu (Na2CO3) atau soda kaustik (NaOH).

12
IV.1.5. Revegetasi

Revegetasi bertujuan memulihkan lahan yang sudah final akibat

penambangan. Manfaatnya, antara lain, merehabilitasi lahan yang rusak/gundul,

menghindari kelongsoran pada lereng-lereng bekas galian atau timbunan,

mencegah erosi oleh air permukaan, mengembalikan fungsi lahan daerah yang

telah terganggu, dan menampilkan bukti bahwa kegiatan penambangan ramah

dengan alam.

Ada sejumlah lokasi belas aktivitas penambangan yang harus dilakukan

kegiatan revegetasi. Lokasi-lokasi itu meliputi daerah galian (mined out pit) yang

13
sudah final, daerah timbunan yang belum final tapi ditinggalkan sampai dua tahun

dan berpotensi terjadi erosi, serta areal kegiatan penunjang yang ditinggalkan.

Agar proses revegetasi berjalan dengan baik, maka harus disediakan bibit

yang baik melalui proses pembibitan. PT. KPC sendiri memiliki areal persemaian

di Tango Delta untuk memenuhi kebutuhan akan bibit yang terus-menerus.

Penanaman dilakukan pada daerah yang sudah ditata dan dihampar dengan tanh

pucuk.

Sebelum penanaman, dilakukan kajian tentang kriteria tanaman yang

cocok untuk lahan yang akan divegetasi dengan memperhatikan rekomendasi dari

pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) atau sesuai dengan dokumen

amdal. Jenis-jenis tanaman harus memenuhi persyaratan untuk reklamasi.

Persyaratan itu adalah sesuai dengan kegunaan reklamasi, mudah diperbanyak

secara generatif, toleran terhadap pemangkasan, mampu memberikan unsur-unsur

kesuburan tanah, tahan terhadap kekeringan dan perawatan minim, mempunyai

daya adaptasi yang tinggi, tahan terhadap hama, mampu mengendalikan gulma,

mampu menahan erosi dalam waktu singkat, dan tidak mempunya sifat yang tidak

menyenangkan seperti berduri atau sulur yang membelit.

14
Gambar 4. Persemaian Gambar 5. Penanaman di Pit Galaxy

IV.1.6. Penanganan dan Pemantau Keanekaragaman Hayati

Untuk mengetahui kelangsungan hidup keanekaragaman hayati

(biodiversity) di sekitar lokasi tambang, dilakukan pemantauan tanaman (hasil

revegetasi), biota aquatik, ataupun satwa liar yang hidup di sekitar tambang

terbuka agar tetap terjaga keseimbangan habitatnya. Kalau ada yang mati atau

15
tidak subur karena miskin unsur hara atau kandungan tanah yang asam, maka

segera dilakukan penyulaman, pemupukan, dan perawatan tanaman secara lebih

intensif. Revegetasi juga membuktikan bahwa aktivitas penambangan

bertanggung jawab terhadap pemeliharaan lingkungan.

Gambar 6. Pemantauan terhadap tanaman

IV.2. Telaga Batu Arang

Area bekas tambang batu bara biasanya identik dengan lahan gersang yang

tidak produktif. Tidak demikian halnya dengan Telaga Batu Arang (TBA) di

kawasan PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang terletak di Desa Swarga Bara,

Sangatta, Kutai Timur. Lokasi pascatambang ini berhasil disulap sebagai

percontohan reboisasi dan zona wisata melalui program penghijauaan perusahaan.

Hal ini diperkuat dengan surat keputusan Bupati Kutai Timur Nomor 430 Tahun

2013. Telaga Batu Arang, namanya disebut demikian karena berupa telaga buatan

yang dulunya lubang galian batu bara. Telaga ini memiliki luas 12,43 hektare

dengan kedalaman 35 meter dan ketinggian 50 meter di atas permukaan laut. 

TBA sebagai zona wisata pascatambang merupakan lokasi Pit Surya yang

beroperasi sekitar tahun 1992. Kendati wisata TBA belum dibuka secara umum,

16
namun lokasi ini sering digunakan sebagai arena perlombaaan. Seperti halnya

perlombaan perahu dayung atau kegiatan-kegiatan lainnya dilakukan di sekitar

kawasan. Contohnya Indonesian Fire and Rescue Challenge 2017 dan masih

banyak lagi kegiatan-kegiatan lainnya, tapi tentunya harus dengan pengawasan

atau izin perusahaan.

Sebagai lokasi pascatambang tentu saja memerlukaan penelitian. Selain

untuk memastikan keberadaan spesies area kawasan juga terkait dengan

kemurnian air yang terkandung di dalam Telaga Batu Arang. Upaya itupun sudah

dilakukan dengan melibatkan sejumlah universitas dan Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi (BPPT).

Gambar 7. Telaga Batu Arang

V. PENUTUP

V.1. Kesimpulan

Kegiatan pengelolaan dampak lingkungan meliputi penanganan tanah

pucuk (topsoil), penanganan erosi, kolam pengendap lumpur (KPL), pengendalian

air asam tambang (AAT), revegatasi, penanganan dan pemantauan biodiversity,

17
pemantauan tanaman, pemantauan biota aquatic (plankton dan benthos), serta

pemantauan satwa liar.

5.2 Saran

Reklamasi memerlukan perencanaan yang matang dan sempurna karena

membutuhkan waktu yang lama untuk mewujudkannya. Terkhusus vegetasinya,

memerlukan pemantauan dan pengawasan dari berbagai pihak agar reklamasi

dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kemudian perlu dilakukan berbagai

penelitian yang dapat menunjang kegiatan reklamasi.

18

Anda mungkin juga menyukai