Anda di halaman 1dari 18

PAPER

MATA KULIAH SILVIKULTUR

SISTEM SILVIKULTUR PENGELOLAAN HUTAN ALAM

Dosen Pengampu :

Dr. Forst Bambang Irawan, S.P., M.Sc. IPU

Kelompok II

1. Delila Silaban D1D021031


2. Tari Septia Dawanti D1D021037
3. Nur Aprinayanti Zari D1D021089
4. Muhammad Azhar D1D021125

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

JURUSAN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan paper Silvikultur ini tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini kami juga berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Forst
Bambang Irawan, S.P .,M.Sc. IPU selaku Dosen pengampu mata kuliah Silvikultur karena telah
memberi arahan dan bimbingan dalam pembuatan paper ini.

Kami menyadari bahwa paper ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu
dan pengalaman yang dimiliki. Oleh karenanya, saran dan kritik yang membangun akan kami
terima dengan senang hati. Semoga Paper sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang memerlukannya.

Jambi,9 februari 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................. 2

DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3

ABSTRAK ................................................................................................................................ 4

BAB I ......................................................................................................................................... 5

PENDAHULUAN .................................................................................................................... 5

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 5

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 6

1.3 Tujuan............................................................................................................................... 6

BAB II ....................................................................................................................................... 7

PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 7

2.1 Pengertian Silvikultur……………………………………………………………………7


2.2 Sistem Silvikultur yang pernah diterapkan di Indonesia………………………………..7
2.3 Pengelolaan hutan alam .................................................................................................. 12

BAB III.................................................................................................................................... 15

PENUTUP............................................................................................................................... 15

3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 15

3.2 Saran ............................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 17


ABSTRAK

Dalam praktek pengelolaan hutan di dunia, termasuk di Indonesia; sejarah panjang


pengelolaan hutan menunjukan bahwa perubahan, perkembangan, dan pertentangan pendapat
dalam menerapkan sistem silvikultur tertentu dalam pengelolaan hutan di suatu negara bukan
merupakan hal yang baru dan tidak hanya terjadi di Indonesia. Sejarah perjalanan pengelolaan
hutan produksi secara intensif telah dimulai sejak tahun 1967 setelah dikeluarkannya Undang-
Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Undang-
Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Berbagal sistem silvikultur
telah diterapkan untuk mengelola hutan secara lestari melalui SK. Dirjen Kehutanan No.
35/Kpts-dd/1972 tentang Tebang Pilih Indonesia (TPI), dan Tebang Habis dengan Permudaan
Buatan (THPB) serta Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) kemudian diperbaharui
dengan SK Menteri Kehutanan No. 485/kpts- II/1989 tentang TPI, THPB dan THPA.
Penerapan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan THPB juga diatur
melalui SK. Menteri Kehutanan No. 10172/kpts-11/2002, Disamping itu Uji Coba penerapan
sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) juga tertuang dalam SK. Menhutbun No.,
625/kpts-II/1998 serta saat ini juga sedang dilangsungkan uji coba Sistern Silvikultur Tebang
Pilih Tanam Indonesia-Intensif (SILIN) di 25 IUPHHKA. Terakhir Permenhut No.
P.30/Menhut-II/2005 dan PP. No. 6 tahun 2007 tentang pemilihan/penerapan Multisistem
Silvikultur yang sampai saat ini belum ada kesepahaman penerapannya di lapangan.

Perkembangan pembangunan HTI dan perkebunan secara besar-besaran mempunyai


latar belakang yang berbeda. Pembangunan HTI lebih dilatarbelakangi oleh timbulnya hutan
produksi yang tidak produktif dalam jumlah yang luas dan insentif yang menarik swasta.
Sedangkan pembangunan perkebunan, terutama kelapa sawit, lebih dirangsang oleh tingginya
permintaan pasar ekspor. Kebijakan pemerintah yang menyangkut konversi hutan dan
peruntukan lahan serta berbagai paket kemudahan investasi mendorong pertumbuhan
pembangunan sektor ini. dan menyebabkan pengelolaan hutan alam tidak diterapkan lagi.
Pembangunan HTI bertujuan untuk menunjang pertumbuhan industri perkayuan melalui
penyediaan bahan baku dalam jumlah dan kualitas yang memadai dan berkesinambungan.
(menurut Forest Watch Indonesia).
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem Silvikultur adalah rangkaian kegiatan bermakna mengenai pengelolaan hutan
yang meliputi penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin
kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainya(Direktorat Jenderal Pengusahaan hutan,
1930). Menurut Tourney dan Korstian (1959) terdapat empat kunci yang berkaitan dengan
teknik silvikultur ini, yaitu tanah, permudaan, pemangkasan, dan penjarangan. Dengan
mengkombinasikan keempat komponen tersebut dalam penerapan teknik silvikultur akan
dicapai produksi kayu dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi.
Dalam Buku Sitem silvikultur DiIndonesia Teori dan impelementasi, menjelaskan ada
beberapa Sistem Silvikultur yang diterapkan di Indonesia seperti Sistem Tebang Pilih
Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).
Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan alam sebagai penopang
pembangunan ekonomi nasional, dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang
dominan dalam memanfaatkan hasil hutan dari hutan alam. Tata Guna Hutan Kesepakatan
(TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) digunakan untuk
merancang dan mengendalikan pembangunan HPH, HTI dan perkebunan, terutama
perkebunan besar, agar dapat meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dengan
cara sesedikit mungkin mengkonversi hutan alam.
Dalam pelaksanaannya, HPH telah mendahului sebagai penyebab degradasi hutan
alam. Degradasi ini semakin besar ketika pada tahun 1990 pemerintah mengundang swasta
untuk melakukan pembangunan HTI melalui sejumlah insentif. Demikian pula tingginya
laju penanaman kelapa sawit yang dilakukan dengan mengkonversi hutan. Padu serasi
antara TGHK dan RTRWP yang dilakukan secara top-down belum dapat menyelesaikan
masalah, bahkan menghadirkan dampak negatif terhadap kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Pembangunan HTI dan perkebunan dapat berkembang mengingat –
berdasarkan TGHK dan RTRWP – lahan masih tersedia. Pemerintah mengatur penggunaan
lahan untuk pembangunan HTI yaitu pada kawasan hutan produksi berdasarkan TGHK dan
yang kondisinya tidak produktif. Sedangkan untuk pembangunan perkebunan, pemerintah
mengalokasikan lahan di luar kawasan hutan berdasarkan klasifikasi TGHK atau dalam
lahan budidaya non kehutanan berdasarkan klasifikasi RTRWP.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari silvikultur?
2. Apa dan bagaimana sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia?
3. Bagaimana pengelolaan hutan alam?
4. Mengapa pengelolaan hutan alam tidak lagi diterapkan di Indonesia?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu silvikultur
2. Mengetahui sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia
3. Mengetahui sistem pengelolaan hutan alam
4. Mengetahui alasan mengapa pengelolaan hutan alam tidak lagi diterapkan di Indonesia
5. Mengetahui permasalahan hutan alam tidak lagi diterapkan di Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Silvikultur
Silvikultur adalah kegiatan pengendalian proses permudaan
(penanaman),pertumbuhan, komposisi, keshatan dan kualitas suatu hutan untuk mencapai
aspek ekologi dan ekonomi yang diharapkan. menurut Nurkin,B. (2019) Silvikultur
merupakan ilmu yang berkaitan dengan semua pelakan terhadap hutan dalam upaya
permudaan, dan pemeliharaan hutan untuk memperoleh produk-produk hasil hutan baik kayu
maupun non-kayu serta perlindungan terhadap hutan sebagai penyangga kehidupan khususnya
tanah, air, dan satwa liar.

Pengertian silvikultur juga daat dinyatakan sebagai sains dan seni untuk membangun
dan memelihara hutan Smith et al(2009). Menurut Matthews (1992) sytem silvikultur adalah
proses pemeliharaan, pemanenan dan penggantian dengan tanaman baru sehingga
menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda (dapat dibedakan dari tegakan
disekitarnya). Dalam definisi ini yang dimaksud dengan pemeliharaan adalah penjarangan pada
tegakan muda.

2.2 Sistem Silvikultur yang pernah diterapkan di Indonesia


Berbagai sistem silvikultur telah diterapkan untuk mengelolah hutan secara lestari
melalui SK. Dirjen kehutanan No. 35/Kpts-dd/1972 tentang Tebang Pilih Indonesia (TPI), dan
Tebang habis dengan Permudaan Buatan (THPB) serta Tebang Habis dengan Permudaan Alam
(THPA) kemudian diperbaharui dengan SK Menteri Kehutanan No. 485/kpts-II/1989 tentang
TPI,THPB dan THPA. Penerapan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
dan THPB juga diatur melalui SK. Menteri Kehutanan No. 10172/kpts-II/2002, Disamping itu
Uji Coba penerapan sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) juga tertuang dalam
SK. Menhutbun No. 625/kpts-II/1998 serta saat ini juga sedang dilangsungkan uji coba Sistern
Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia-Intensif (SILIN) di 25 IUPHHKA. Terakhir
Permenhut No. P.30/Menhut-II/2005 dan PP. No. 6 tahun 2007 tentang pemilihan/penerapan
Multisistem Silvikultur yang sampai saat ini belum ada kesepahaman penerapannya di
lapangan.

Pada dasarnya secara teoritis, semua Sistem Silvikultur di atas dapat digunakan untuk
mengelola hutan secara lestari pada suatu kawasan konsesi hak pengusahaan hutan sepanjang
dalam kawasan hutan tersebut sesuai dengan karakteristik yang dipersyaratkan oleh suatu
Sistem silvikultur dan tidak terjadi gangguan-gangguan yang luar biasa pada kawasan tersebut.
Pada kenyataannya saat ini sumber daya hutan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami
penurunan produktivitas lahan, penurunan fungsi ekologis dan ekonomis sebagai akibat adanya
penebangan kayu yang tidak berwawasan lingkungan, penebangan liar, perambahan hutan dan
kebakaran hutan.

Sistem Silvikultur terbangun oleh tiga ide utama (Matthews, 1989):

a. Metoda regenerasi individu pohon dalam hutan

b. Bentuk tegakan yang dihasilkan

c. Susunan/komposisi tegakan di dalam hutan secara keseluruhan dengan melihat


pertimbangan pada silvikulturnya, perlindungannya dan efisiensi pemanenannya.

Berikut beberapa sitem silvikultur yang pernah diterapkan di Indonesia:

1. Tebang Pilih Indonesia (TPI)

Sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) ditetapkan berdasarkan SK. Dirjen Kehutanan No.
35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972, tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang
Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-Pedoman
Pengawasannya. TPI adalah sistem pengelolaan hutan di luar Pulau Jawa pertama di Indonesia.
Disebut sebagai sistem pengelolaan hutan pertama karena sejak adanya TPI ini mulai dibatasi
diameter tebangan dan harus dilakukan inventarisasi tegakan tinggal.

Menurut Soekotjo (2009) beberapa faktor yang menjadi sumber kelemahan kegagalan
implementasi sistem TPI. Pertama, dari sisi tata waktu. Berdasarkan aturan sistem TPI tidak
terdapat pengaturan yang jelas dan konkrit terhadap tata waktu pelaksanaan setiap tahapan
kegiatan sistem silvikultur tebang pilih. Kedua, lemahnya aspek pengawasan terhadap
implementasi kegiatan di lapangan. Jelas, kondisi ini bertentangan dengan salah satu sasaran
penerapan sistem TPI, yaitu memungkinkan diadakannya pengawasan yang efektif dan efisien.
Ketiga, rendahnya aspek kepastian kawasan. Hutan di Indonesia masih memiliki dualisme
pengaturan hukum, yaitu hukum adat di satu sisi dan hukum positif formal di sisi lain. Hutan
adat, pada umumnya belum dinyatakan secara definitif status hukumnya.

Kelemahan lain dari sistem TPI terletak pada dominasi kegiatan penebangan dibanding
kegiatan pembinaan hutan. Sistem ini juga mengandung ketidakpastian limit diameter pohon
tebang serta jumlah pohon inti yang harus tersedia, perbedaan ini menyebabkan para praktis
kesulitan dalam menentukan pilihan.

2. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)

Sistem Silvikultur TPTI adalah serangkaian tindakan yang dilakukan secara berencana
terhadap tegakan tidak seumur untuk memacu pertumbuhan tegakan sesuai dengan keadaan
hutan dan tapaknya sehingga terbentuk tegakan tertata, yakni yang optimal dan lestari. Secara
konseptual, TPTI memang memiliki kesesuaian dengan kondisi hutan alam Indonesia.
Kesesuaian tersebut antara lain meliputi banyak hal. Pertama, hutan alam terdiri dari beraneka
ragam jenis flora, tetapi tidak semua jenis diminati dan laku di pasaran. Kedua, pohon yang
masak tebang tersebar secara acak. Ketiga, pohon-pohon di hutan alam terdiri dari berbagai
macam ukuran (dari ukuran kecil sampai besar) dan kualitas kayu (ada yang utuh dan ada pula
yang berlubang). Keempat, kayu yang dapat diangkut keluar hutan tanpa terpengaruh kondisi
cuaca adalah jenis kayu-kayu dengan berat jenis ringan, sehingga mudah diangkut melalui jalur
sungai (Soekotjo, 2009). Kelima, jenis-jenis pohon perdagangan utama di hutan alam
meremajakan diri paling baik sesuai dengan kondisi alam aslinya, yaitu di dalam rumpang
bukan di areal terbuka gersang seperti jenis pionir. Keenam, beberapa kation basa yang
merupakan faktor pembatas dalam cadangan hara di hutan alam tidak terletak di tanah
melainkan di dalam tubuh vegetasi. Jika vegetasi hutan alam ditebang habis, maka sebagian
kation basa tersebut akan hilang dari ekosistem hutan. Ketujuh, sebagian besar jenis flora hutan
alam masih belum diketahui manfaat ekonomisnya, dan terkadang disebut semak belukar atau
gulma. Terdapat kemungkinan pada masa depan, jenis-jenis semak dapat menjadi jenis
perdagangan yang penting. Guna pengamanan Indonesia.

Maman, S. (2006). Sistem silvikultur TPTI yang diterapkan harus memenuhi beberapa
prinsip yang utuh yaitu adanya kesesuaian sistem silvikultur dengan karakteristik sumber daya
hutan dan lingkungannya, pertimbangan yang menyeluruh tentang nilai-nilai sumber daya
hutan, pertimbangan biaya/ manfaat ekonomi dan kesesuaian sistem silvikultur dengan tujuan
pengelolaan.

Silvikultur TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) memiliki prinsip dasar sebagai berikut:

• Sistem silvikultur untuk tegakan tidak seumur


• Teknik pemanenan dengan tebang pilih
• Meningkatkan riap sebagai aset
Kelemahan sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) terletak pada

• Aspek pengawasan (controlling) dan indikator keberhasilan regenerasi hutan, baik


dari tegakan tinggal (residual trees) maupun hasil penanaman perkayaan (enrichment
planting).
• Melimpahnya permudaan alam sering dijadikan alasan untuk mengabaikan kegiatan
penanaman pengayaan di lapangan.

3. Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 309/kpts-II/1999 tentang


Sistem Silvikultur dan Daur Tanam Pokok dalam Pengelolaan Hutan Produksi, memberi
pengertian bahwa sistem silvikultur TPTJ (Tebang Pilih Tanam jalur) adalah sistem yang
meliputi cara tebang pilih dengan batas diameter 40 cm dan diikuti permudaan buatan dalam
jalur.

Sistem TPTJ diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 435/Kpts-
II/1997 dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 625/Kpts-/1998 tentang
Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur dalam Pengelolaan Hutan Produksi Alam.
Sistem silvikultur TPTJ diracang untuk menjawab kelemahan sistem TPTI pada aspek
pengawasan dan penanaman. Dengan menyiapkan tempat penanaman secara lebih baik,
terutama dari segi penyinaran dan ruang tumbuh, dalam bentuk gap memanjang maka
pertumbuhan tanaman dapat berjalan dengan lebih optimal dan pengawasannya akan lebih
mudah.

• Prinsip-prinsip pada sistem silvikultur (TPTJ):


• Sistem silvikultur untuk tegakan tidak seumur
• Teknik pemanenan dengan tebang pilih
• Meningkatklan riap
• Mempertahankan keeanekaragaman hayati
• Menciptakan ruang tumbuh optimal bagi tanaman
• Penanaman jenis unggulan lokal dalam jalur

Sistem silvikultur TPTJ wajib dilakukan penanaman tanaman pengayaan pada areal
bekas jalur tebangan dengan jarak tanam antar jalur 25 m dan jarak tanam antar pohon 5 m.
Adanya ruang antar jalur ditujukan agar keanekaragaman hayati berkembang dan memperkaya
kelestarian ekosistem. Dibandingkan sistem TPTI, sistem TPTJ memiliki kelebihan yaitu lebih
terjaminnya produktivitas hutan karena mekanisme kontrol lebih optimal dan mudah
dilakukan.

4. Tebang Rumpang (TR)

Tebang rumpang adalah pemanenan yang dilakukan berdasarkan kelompok pohon di


dalam bentuk rumpang. Rumpang adalah bentuk ruang terbuka hasil dari penebangan
kelompok vegetasi yang berbentuk melingkar berukuran 1-2 kali tinggi pohon tepinya.
Pemanenan tebang rumpang adalah tebangan berdasarkan kelompok pohon di dalam bentuk
rumpun. Perapihan rumpang adalah kegiatan membuat rumpang setelah penebangan pohon-
pohon besar engan menebang semua vegetasi di dalamnya kecuali permudaan.

Tujuan sistem tebang rumpang adalah untuk meningkatkan produktivitas hutan alam
tegakan tidak seumur melalui cara tebang kelompok. Selain itu, ruang tumbuh dalam rumpang
juga dimanfaatkan untuk meningkatkan tiap pertumbuhan agar menghasilkan produksi yang
berkelanjutan.

Sistem silvikultur tebang rumpang memiliki prinsip-prinsip berikut:

• Menciptakan ruang tumbuh yang optimal bagi permudaan


• Rumpang sebagai unit perlakuan silvikultur
• Mempertahankan keanekaragaman hayati
• Sistem silvikultur untuk tegakan tidak seumur
• Teknik pemanenan tebang kelompok (rumpang) secara teratur dan tersusun dalam satu
jaringan jalan sarad (yang menuju ke satu TPn)
• Unit manajemen terkecil adalah TPn

5. Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)

TPTII adalah teknik silvikultur yang berasal dari pengembangan sistem Tebang Pilih
Tanam Jalur (TPTI). TPTII merupakan perbaikan dari TPTI (Indrawan 2008, Butarbutar 2014),
TPTII yang diterapkan pada areal bekas tebangan, dianggap mampu mempertahankan
kelestarian keragaman hayati (Sockotjo 2009). Hal ini disebabkan karena adanya jalur pada
lokasi pengayaan, memberi kemudahan melakukan pengontrolan, pemantauan dan pengukuran
terhadap pelaksanaan TPTI (Hasanah, 2009), sehingga dapat meningkatkan keberhasilan
proses pengayaan yang dilakukan oleh perusahaan pemegang konsesi Ijin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu (Butarbutar 2014).

Sistem silvikultur TPTII dilakukan melalui rekayasa genetik, rekayasa lingkungan dan
perlindungan tanaman dari hama dan penyakit. Silvikultur intensif dimulai dengan penebangan
persiapan yaitu menchang seluruh pohon yang berdiameter 40 cm ke atas di seluruh blok
(petak- petak tehang) sesuai Rencana Kerja Tahunan TPTII tahun berjalan. Setelah itu
dilakukan tebang jalur bersih selebar 3-5 m dan jalur kotor yang disisakan (tidak ditebang)
selebar 17 m (Wahyudi et al. 2010, Andini 2013. Putz dan Ruslandi 2015).

2.3 Pengelolaan hutan alam


Hutan tanaman berkembang cepat seiring meningkatnya permintaan produk kayu. Tren
ini diperkirakan akan terus berlanjut. Bagaimanapun, beberapa kontroversi mengenai
konsekuensi ekonomi, sosial dan lingkungan hutan tanaman tersebut masih ada. Indonesia
merupakan studi kasus yang menarik. Ekspansi hutan tanaman menghadapi banyak kritik
terkait masalah tenurial lahan, ketidakpuasan mekanisme bagi-manfaat dan dampak negatif
terhadap lingkungan.Rekomendasi yang yang baik untuk hutan tanaman Indonesia yaitu
kebijakan umum pengaturan sektor perkayuan. Untuk memperoleh ‘lisensi sosial untuk
beroperasi’, perusahaan perlu mempertimbangkan situasi masyarakat lokal, harapan dan
gagasannya. Hal Ini berlaku khususnya untuk hutan tanaman akasia, atau lebih umum pada
hutan tanaman hutan tanaman baru. Hutan tanaman baru bersifat disruptif bagi masyarakat
yang tinggal di di dekatnya karena berdampak pada ekonomi dan hubungan sosial selain pada
lingkungan alami. Oleh karena itu, tidak boleh diabaikan bahwa masyarakat lokal lantas akan
memiliki sikap positif terhadap hutan tanaman yang mengubah bentang alam mereka secara
substansial jika harapan dan persepsi mereka tidak diperhatikan dalam rencana tata kelola
hutan tanaman. Memang, perusahaan-perusahaan tersebut dipandang menjadi aktor penting
dalam pembangunan daerah, dan di wilayah terpencil, penduduk berharap kontribusi yang
signifikan. Menyertakan gagasan masyarakat lokal dalam pertimbangan dan mereplikasi
praktik yang telah diimplementasikan hutan tanaman yang terintegrasi-baik dapat memperbaiki
persepsi masyarakat lokal terhadap hutan tanaman

A. Alasan mengapa pengelolaan hutan alam tidak lagi diterapkan dibandingkan


dengan hutan tanam industri (HTI):
1. Dalam areal HTI terdapat hutan alam yang masih produktif rata-rata sebesar
22% dari seluruh kawasan hutan yang dikelolanya. Dengan demikian, hutan
alam yang dikonversi dalam pembangunan HTI sampai dengan Juni 1998 seluas
1 juta ha. Ini berarti bahwa dilihat dari hutan alam yang rusak, pembangunan
HTI juga mempunyai peran cukup besar.
2. Pembangunan perkebunan telah mengkonversi hutan alam yang luasnya sama
dengan luas perkebunan yang sudah dan akan dibangun yaitu seluas 6,7 juta ha.
Keadaan demikian telah memberikan ‘keuntungan tambahan’ bagi perusahaan
perkebunan yang berupa kayu dari pembukaan lahan. Kesempatan yang
demikian ini sering dimanfaatkan oleh perusahaan perkebunan untuk
melakukan mark up atas luas kebun yang diperlukan. Dalam kenyataannya di
beberapa provinsi ditemukan perusahaan perkebunan yang hanya mencari
lokasi, melakukan pembukaan lahan untuk mendapatkan kayu, dan kemudian
meninggalkannya tanpa melakukan pembangunan perkebunan.
3. Tidak adanya institusi penatagunaan hutan yang baik, yang disebabkan
lemahnya kebijakan penggunaan lahan nasional dan aspek-aspek politik
ekonomi, telah menyebabkan pelaksanaan pembangunan HTI dan perkebunan
telah secara nyata menimbulkan masalah sosial yang berkaitan dengan
penggunaan lahan. Salah satu aspek politik ekonomi yang mendorong degradasi
hutan alam adalah adanya kenyataan diversifikasi usaha HPH berupa usaha HTI
dan perkebunan, sehingga ketika HPH menyisakan hutan yang rusak, maka HTI
dan/atau perkebunan mendapat legalitas untuk menempati lokasi hutan yang
rusak.
4. Faktor utama yang mendorong perkembangan pembangunan HTI adalah
adanya subsidi dan kemudahan untuk mendapatkan lahan hutan sebagai lokasi
HTI. Kemudahan ini telah menyebabkan sebagian besar pembangunan HTI
dilakukan pengusaha swasta untuk mendapatkan kayu dari konversi hutan alam
dan untuk mendapatkan dana murah yang disediakan pemerintah. Hal ini
ditunjukkan oleh rendahnya realisasi pembangunan HTI yaitu hanya mencapai
23,1%. Di pihak lain terdapat suatu ironi bahwa dengan harga kayu dari hasil
HTI yang relatif murah dan ketidakpastian adanya investasi pabrik yang dapat
memanfaatkan kayu hasil HTI sebagai bahan bakunya, justru mendorong
pengusaha swasta terus-menerus minta izin pemerintah untuk membangun HTI.
5. Ada beberapa pengusaha swasta yang membangun HTI tanpa subsidi dari dana
reboisasi. Kelompok pengusaha yang memilih pembangunan HTI tanpa subsidi
menganggap manfaat subsidi, yang berupa dana reboisasi tanpa bunga, lebih
kecil daripada biaya transaksi yang ditimbulkannya. Biaya transaksi ini muncul
karena masuknya Badan Usaha Milik Negara ke dalam tubuh perusahaan dalam
bentuk usaha patungan serta biaya-biaya yang timbul dari pengurusan pencairan
dana reboisasi.
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Sistem Silvikultur terbangun oleh tiga ide utama yaitu Metoda regenerasi individu
pohon dalam hutan, Bentuk tegakan yang dihasilkan, Susunan/komposisi tegakan di dalam
hutan secara keseluruhan dengan melihat pertimbangan pada silvikulturnya, perlindungannya
dan efisiensi pemanenannya. Ada beberapa sistem silvikultur yang pernah diterapkan di
Indonesia seperti seperti Sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia
(TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Rumpang (TR), Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif (TPTII) .

Ekspansi hutan tanaman menghadapi banyak kritik terkait masalah tenurial lahan,
ketidakpuasan mekanisme bagi-manfaat dan dampak negatif terhadap lingkungan.
Rekomendasi yang yang baik untuk hutan tanaman Indonesia yaitu kebijakan umum
pengaturan sektor perkayuan. Adapun alasan mengapa pengelolaan hutan alam tidak lagi
diterapkan dibandingkan dengan hutan tanam industri (HTI)

-HTI lebih produktif dibandingkan dengan hutan alam dibidang konveksi kayu

- mempercepat peningkatan dan perkembangan ekonomi kawasan nasional

- melestarikan lingkungan hidup melalui konservasi hutan

3.2 Saran
Untuk menyelamatkan hutan alam yang masih tersisa, pemerintah perlu melakukan
perubahan status hutan negara, sehingga hutan alam primer yang saat ini berada di dalam
kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi diubah menjadi hutan tetap yang tidak dapat
dikonversi untuk keperluan lain. Sementara itu, pembangunan HTI dan perkebunan besar
diarahkan pada hutan produksi yang tidak produktif. Pemerintah harus menerapkan sistem
tebang pilih dalam menebang pohon. Hal ini dapat mengurangi penebangan hutan secara liar
dan dalam jumlah besar – besaran. Selain itu system ini juga berguna untuk masyarakat agar
tidak sembarang dalam melakukan penebangan hutan. Dalam implementasinya diperlukan
proses pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan keberadaan hutan adat dan kondisi
sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Pelaksanaan ini benar-
benar dapat dilakukan jika ditunjang oleh perubahan orientasi organisasi Dephutbun baik di
pusat maupun di daerah, sehingga mampu memfasilitasi pelaksanaan alokasi hutan dan lahan
di lapangan. Sejalan dengan hal ini diperlukan desentralisasi untuk meningkatkan peran
pemerintah daerah dan instansi kehutanan dan perkebunan di daerah dalam pelaksanaan
redistribusi pengelolaan hutan dan lahan yang saat ini sedang dijalankan. Dalam
implementasinya karakteristik biofisik dan kondisi sosial ekonomi di daerah masing-masing
diharapkan dapat dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anjasari,Risa. 2009.Pengaruh Hutan Tanaman Industri (HTI) Terhadap Kondisi Sosial

Ekonomi Masyarakat Di Kecamatan Kampar Kiri.Jurusan Perencanaan Wilayah Dan


Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang: Page 1-3

Andini, D. (2013) Penentuan Sistem Silvikultur Berbasis Pada Proses Pemulihan Vegetusi
Dalam Teknik Silvikultur Intensif (Studi Kasus di Areal PT Sarputim, Kalimantan
Tengah). Skripsi. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor Bogor 2013:
Butarbutar, T. (2014). Sistem silvikultur tebang pilih untuk mitigasi perubahan iklim melalui
kerangka REDD+ Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 11 (2): 163-173

Ceantury Ardan.2019.Pengusahaan hutan alam : hutan tanam industri dan hutan alam
manajemen hutan UGM.
Departemen Kehutanan. 1972. Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No. 35/DD/II/1972,
tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang
Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-Pedoman Pengawasannya, Departemen
Kehutanan. Jakarta
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1989. Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No.435/Kpts-II/1997 tentang Sistem Silvikultur dalam Pengelolaan Hutan Tanaman
Industri. Departemen Kehutanan RI. Jakarta

Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1990. Pedoman dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia. Jakarta

Matthews, J.D. 1989. Silvicultural Systems. Clarendon Press, Oxford.


MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR : 309/Kpts-II/1999 TENTANG
SISTEM SILVIKULTUR DAN DAUR TANAMAN POKOK DALAM
PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI. Jakarta

Nurkin, B. 2019. Buku Ajar Silvikultur. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.


Makassar
Smith et al. 1997. The Practice of Silviculture: Applied Forest Ecology, Edition IX. John
Wiley and Sons. New York

Soekotjo. (2009). Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Kartodihardjo Hariadi 2000. Dampak Pembangunan Sektoral terhadap Konversi dan
Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia.
Bogor, Indonesia: CIFOR

Anda mungkin juga menyukai