Dosen Pengampu :
Kelompok II
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan paper Silvikultur ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini kami juga berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Forst
Bambang Irawan, S.P .,M.Sc. IPU selaku Dosen pengampu mata kuliah Silvikultur karena telah
memberi arahan dan bimbingan dalam pembuatan paper ini.
Kami menyadari bahwa paper ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu
dan pengalaman yang dimiliki. Oleh karenanya, saran dan kritik yang membangun akan kami
terima dengan senang hati. Semoga Paper sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang memerlukannya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3
ABSTRAK ................................................................................................................................ 4
BAB I ......................................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 5
1.3 Tujuan............................................................................................................................... 6
BAB II ....................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 7
BAB III.................................................................................................................................... 15
PENUTUP............................................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 15
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem Silvikultur adalah rangkaian kegiatan bermakna mengenai pengelolaan hutan
yang meliputi penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin
kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainya(Direktorat Jenderal Pengusahaan hutan,
1930). Menurut Tourney dan Korstian (1959) terdapat empat kunci yang berkaitan dengan
teknik silvikultur ini, yaitu tanah, permudaan, pemangkasan, dan penjarangan. Dengan
mengkombinasikan keempat komponen tersebut dalam penerapan teknik silvikultur akan
dicapai produksi kayu dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi.
Dalam Buku Sitem silvikultur DiIndonesia Teori dan impelementasi, menjelaskan ada
beberapa Sistem Silvikultur yang diterapkan di Indonesia seperti Sistem Tebang Pilih
Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).
Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan alam sebagai penopang
pembangunan ekonomi nasional, dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang
dominan dalam memanfaatkan hasil hutan dari hutan alam. Tata Guna Hutan Kesepakatan
(TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) digunakan untuk
merancang dan mengendalikan pembangunan HPH, HTI dan perkebunan, terutama
perkebunan besar, agar dapat meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dengan
cara sesedikit mungkin mengkonversi hutan alam.
Dalam pelaksanaannya, HPH telah mendahului sebagai penyebab degradasi hutan
alam. Degradasi ini semakin besar ketika pada tahun 1990 pemerintah mengundang swasta
untuk melakukan pembangunan HTI melalui sejumlah insentif. Demikian pula tingginya
laju penanaman kelapa sawit yang dilakukan dengan mengkonversi hutan. Padu serasi
antara TGHK dan RTRWP yang dilakukan secara top-down belum dapat menyelesaikan
masalah, bahkan menghadirkan dampak negatif terhadap kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Pembangunan HTI dan perkebunan dapat berkembang mengingat –
berdasarkan TGHK dan RTRWP – lahan masih tersedia. Pemerintah mengatur penggunaan
lahan untuk pembangunan HTI yaitu pada kawasan hutan produksi berdasarkan TGHK dan
yang kondisinya tidak produktif. Sedangkan untuk pembangunan perkebunan, pemerintah
mengalokasikan lahan di luar kawasan hutan berdasarkan klasifikasi TGHK atau dalam
lahan budidaya non kehutanan berdasarkan klasifikasi RTRWP.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari silvikultur?
2. Apa dan bagaimana sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia?
3. Bagaimana pengelolaan hutan alam?
4. Mengapa pengelolaan hutan alam tidak lagi diterapkan di Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu silvikultur
2. Mengetahui sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia
3. Mengetahui sistem pengelolaan hutan alam
4. Mengetahui alasan mengapa pengelolaan hutan alam tidak lagi diterapkan di Indonesia
5. Mengetahui permasalahan hutan alam tidak lagi diterapkan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Silvikultur
Silvikultur adalah kegiatan pengendalian proses permudaan
(penanaman),pertumbuhan, komposisi, keshatan dan kualitas suatu hutan untuk mencapai
aspek ekologi dan ekonomi yang diharapkan. menurut Nurkin,B. (2019) Silvikultur
merupakan ilmu yang berkaitan dengan semua pelakan terhadap hutan dalam upaya
permudaan, dan pemeliharaan hutan untuk memperoleh produk-produk hasil hutan baik kayu
maupun non-kayu serta perlindungan terhadap hutan sebagai penyangga kehidupan khususnya
tanah, air, dan satwa liar.
Pengertian silvikultur juga daat dinyatakan sebagai sains dan seni untuk membangun
dan memelihara hutan Smith et al(2009). Menurut Matthews (1992) sytem silvikultur adalah
proses pemeliharaan, pemanenan dan penggantian dengan tanaman baru sehingga
menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda (dapat dibedakan dari tegakan
disekitarnya). Dalam definisi ini yang dimaksud dengan pemeliharaan adalah penjarangan pada
tegakan muda.
Pada dasarnya secara teoritis, semua Sistem Silvikultur di atas dapat digunakan untuk
mengelola hutan secara lestari pada suatu kawasan konsesi hak pengusahaan hutan sepanjang
dalam kawasan hutan tersebut sesuai dengan karakteristik yang dipersyaratkan oleh suatu
Sistem silvikultur dan tidak terjadi gangguan-gangguan yang luar biasa pada kawasan tersebut.
Pada kenyataannya saat ini sumber daya hutan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami
penurunan produktivitas lahan, penurunan fungsi ekologis dan ekonomis sebagai akibat adanya
penebangan kayu yang tidak berwawasan lingkungan, penebangan liar, perambahan hutan dan
kebakaran hutan.
Sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) ditetapkan berdasarkan SK. Dirjen Kehutanan No.
35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972, tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang
Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-Pedoman
Pengawasannya. TPI adalah sistem pengelolaan hutan di luar Pulau Jawa pertama di Indonesia.
Disebut sebagai sistem pengelolaan hutan pertama karena sejak adanya TPI ini mulai dibatasi
diameter tebangan dan harus dilakukan inventarisasi tegakan tinggal.
Menurut Soekotjo (2009) beberapa faktor yang menjadi sumber kelemahan kegagalan
implementasi sistem TPI. Pertama, dari sisi tata waktu. Berdasarkan aturan sistem TPI tidak
terdapat pengaturan yang jelas dan konkrit terhadap tata waktu pelaksanaan setiap tahapan
kegiatan sistem silvikultur tebang pilih. Kedua, lemahnya aspek pengawasan terhadap
implementasi kegiatan di lapangan. Jelas, kondisi ini bertentangan dengan salah satu sasaran
penerapan sistem TPI, yaitu memungkinkan diadakannya pengawasan yang efektif dan efisien.
Ketiga, rendahnya aspek kepastian kawasan. Hutan di Indonesia masih memiliki dualisme
pengaturan hukum, yaitu hukum adat di satu sisi dan hukum positif formal di sisi lain. Hutan
adat, pada umumnya belum dinyatakan secara definitif status hukumnya.
Kelemahan lain dari sistem TPI terletak pada dominasi kegiatan penebangan dibanding
kegiatan pembinaan hutan. Sistem ini juga mengandung ketidakpastian limit diameter pohon
tebang serta jumlah pohon inti yang harus tersedia, perbedaan ini menyebabkan para praktis
kesulitan dalam menentukan pilihan.
Sistem Silvikultur TPTI adalah serangkaian tindakan yang dilakukan secara berencana
terhadap tegakan tidak seumur untuk memacu pertumbuhan tegakan sesuai dengan keadaan
hutan dan tapaknya sehingga terbentuk tegakan tertata, yakni yang optimal dan lestari. Secara
konseptual, TPTI memang memiliki kesesuaian dengan kondisi hutan alam Indonesia.
Kesesuaian tersebut antara lain meliputi banyak hal. Pertama, hutan alam terdiri dari beraneka
ragam jenis flora, tetapi tidak semua jenis diminati dan laku di pasaran. Kedua, pohon yang
masak tebang tersebar secara acak. Ketiga, pohon-pohon di hutan alam terdiri dari berbagai
macam ukuran (dari ukuran kecil sampai besar) dan kualitas kayu (ada yang utuh dan ada pula
yang berlubang). Keempat, kayu yang dapat diangkut keluar hutan tanpa terpengaruh kondisi
cuaca adalah jenis kayu-kayu dengan berat jenis ringan, sehingga mudah diangkut melalui jalur
sungai (Soekotjo, 2009). Kelima, jenis-jenis pohon perdagangan utama di hutan alam
meremajakan diri paling baik sesuai dengan kondisi alam aslinya, yaitu di dalam rumpang
bukan di areal terbuka gersang seperti jenis pionir. Keenam, beberapa kation basa yang
merupakan faktor pembatas dalam cadangan hara di hutan alam tidak terletak di tanah
melainkan di dalam tubuh vegetasi. Jika vegetasi hutan alam ditebang habis, maka sebagian
kation basa tersebut akan hilang dari ekosistem hutan. Ketujuh, sebagian besar jenis flora hutan
alam masih belum diketahui manfaat ekonomisnya, dan terkadang disebut semak belukar atau
gulma. Terdapat kemungkinan pada masa depan, jenis-jenis semak dapat menjadi jenis
perdagangan yang penting. Guna pengamanan Indonesia.
Maman, S. (2006). Sistem silvikultur TPTI yang diterapkan harus memenuhi beberapa
prinsip yang utuh yaitu adanya kesesuaian sistem silvikultur dengan karakteristik sumber daya
hutan dan lingkungannya, pertimbangan yang menyeluruh tentang nilai-nilai sumber daya
hutan, pertimbangan biaya/ manfaat ekonomi dan kesesuaian sistem silvikultur dengan tujuan
pengelolaan.
Silvikultur TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) memiliki prinsip dasar sebagai berikut:
Sistem TPTJ diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 435/Kpts-
II/1997 dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 625/Kpts-/1998 tentang
Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur dalam Pengelolaan Hutan Produksi Alam.
Sistem silvikultur TPTJ diracang untuk menjawab kelemahan sistem TPTI pada aspek
pengawasan dan penanaman. Dengan menyiapkan tempat penanaman secara lebih baik,
terutama dari segi penyinaran dan ruang tumbuh, dalam bentuk gap memanjang maka
pertumbuhan tanaman dapat berjalan dengan lebih optimal dan pengawasannya akan lebih
mudah.
Sistem silvikultur TPTJ wajib dilakukan penanaman tanaman pengayaan pada areal
bekas jalur tebangan dengan jarak tanam antar jalur 25 m dan jarak tanam antar pohon 5 m.
Adanya ruang antar jalur ditujukan agar keanekaragaman hayati berkembang dan memperkaya
kelestarian ekosistem. Dibandingkan sistem TPTI, sistem TPTJ memiliki kelebihan yaitu lebih
terjaminnya produktivitas hutan karena mekanisme kontrol lebih optimal dan mudah
dilakukan.
Tujuan sistem tebang rumpang adalah untuk meningkatkan produktivitas hutan alam
tegakan tidak seumur melalui cara tebang kelompok. Selain itu, ruang tumbuh dalam rumpang
juga dimanfaatkan untuk meningkatkan tiap pertumbuhan agar menghasilkan produksi yang
berkelanjutan.
TPTII adalah teknik silvikultur yang berasal dari pengembangan sistem Tebang Pilih
Tanam Jalur (TPTI). TPTII merupakan perbaikan dari TPTI (Indrawan 2008, Butarbutar 2014),
TPTII yang diterapkan pada areal bekas tebangan, dianggap mampu mempertahankan
kelestarian keragaman hayati (Sockotjo 2009). Hal ini disebabkan karena adanya jalur pada
lokasi pengayaan, memberi kemudahan melakukan pengontrolan, pemantauan dan pengukuran
terhadap pelaksanaan TPTI (Hasanah, 2009), sehingga dapat meningkatkan keberhasilan
proses pengayaan yang dilakukan oleh perusahaan pemegang konsesi Ijin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu (Butarbutar 2014).
Sistem silvikultur TPTII dilakukan melalui rekayasa genetik, rekayasa lingkungan dan
perlindungan tanaman dari hama dan penyakit. Silvikultur intensif dimulai dengan penebangan
persiapan yaitu menchang seluruh pohon yang berdiameter 40 cm ke atas di seluruh blok
(petak- petak tehang) sesuai Rencana Kerja Tahunan TPTII tahun berjalan. Setelah itu
dilakukan tebang jalur bersih selebar 3-5 m dan jalur kotor yang disisakan (tidak ditebang)
selebar 17 m (Wahyudi et al. 2010, Andini 2013. Putz dan Ruslandi 2015).
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem Silvikultur terbangun oleh tiga ide utama yaitu Metoda regenerasi individu
pohon dalam hutan, Bentuk tegakan yang dihasilkan, Susunan/komposisi tegakan di dalam
hutan secara keseluruhan dengan melihat pertimbangan pada silvikulturnya, perlindungannya
dan efisiensi pemanenannya. Ada beberapa sistem silvikultur yang pernah diterapkan di
Indonesia seperti seperti Sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia
(TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Rumpang (TR), Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif (TPTII) .
Ekspansi hutan tanaman menghadapi banyak kritik terkait masalah tenurial lahan,
ketidakpuasan mekanisme bagi-manfaat dan dampak negatif terhadap lingkungan.
Rekomendasi yang yang baik untuk hutan tanaman Indonesia yaitu kebijakan umum
pengaturan sektor perkayuan. Adapun alasan mengapa pengelolaan hutan alam tidak lagi
diterapkan dibandingkan dengan hutan tanam industri (HTI)
-HTI lebih produktif dibandingkan dengan hutan alam dibidang konveksi kayu
3.2 Saran
Untuk menyelamatkan hutan alam yang masih tersisa, pemerintah perlu melakukan
perubahan status hutan negara, sehingga hutan alam primer yang saat ini berada di dalam
kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi diubah menjadi hutan tetap yang tidak dapat
dikonversi untuk keperluan lain. Sementara itu, pembangunan HTI dan perkebunan besar
diarahkan pada hutan produksi yang tidak produktif. Pemerintah harus menerapkan sistem
tebang pilih dalam menebang pohon. Hal ini dapat mengurangi penebangan hutan secara liar
dan dalam jumlah besar – besaran. Selain itu system ini juga berguna untuk masyarakat agar
tidak sembarang dalam melakukan penebangan hutan. Dalam implementasinya diperlukan
proses pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan keberadaan hutan adat dan kondisi
sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Pelaksanaan ini benar-
benar dapat dilakukan jika ditunjang oleh perubahan orientasi organisasi Dephutbun baik di
pusat maupun di daerah, sehingga mampu memfasilitasi pelaksanaan alokasi hutan dan lahan
di lapangan. Sejalan dengan hal ini diperlukan desentralisasi untuk meningkatkan peran
pemerintah daerah dan instansi kehutanan dan perkebunan di daerah dalam pelaksanaan
redistribusi pengelolaan hutan dan lahan yang saat ini sedang dijalankan. Dalam
implementasinya karakteristik biofisik dan kondisi sosial ekonomi di daerah masing-masing
diharapkan dapat dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Andini, D. (2013) Penentuan Sistem Silvikultur Berbasis Pada Proses Pemulihan Vegetusi
Dalam Teknik Silvikultur Intensif (Studi Kasus di Areal PT Sarputim, Kalimantan
Tengah). Skripsi. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor Bogor 2013:
Butarbutar, T. (2014). Sistem silvikultur tebang pilih untuk mitigasi perubahan iklim melalui
kerangka REDD+ Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 11 (2): 163-173
Ceantury Ardan.2019.Pengusahaan hutan alam : hutan tanam industri dan hutan alam
manajemen hutan UGM.
Departemen Kehutanan. 1972. Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No. 35/DD/II/1972,
tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang
Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-Pedoman Pengawasannya, Departemen
Kehutanan. Jakarta
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1989. Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No.435/Kpts-II/1997 tentang Sistem Silvikultur dalam Pengelolaan Hutan Tanaman
Industri. Departemen Kehutanan RI. Jakarta
Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1990. Pedoman dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia. Jakarta
Soekotjo. (2009). Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Kartodihardjo Hariadi 2000. Dampak Pembangunan Sektoral terhadap Konversi dan
Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia.
Bogor, Indonesia: CIFOR