Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH FITOKIMIA

FLAVONOID (HERBASETIN) PADA TANAMAN LABAN (vitex

pubescens Vahl)

Oleh :

RAHMADONA SYUKRI

No.BP/Kelas : 1701039/ VI A

Dosen : Husnunnisa, M. Farm, Apt.

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI (STIFARM)

PADANG

2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Flavonoid

(Herbasetin) Pada Tanaman Laban (Vitex Pubescens Vahl)” dengan baik dan lancar.

Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata

pelajaran Fitokimia sebagai salah satu syarat mengikuti kegiatan pembelajaran.

Terwujudnya makalah ini, juga tidak terlepas dari hasil bimbingan berbagai pihak. Untuk itu,

penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih mempunyai kelemahan dan kekurangan. Oleh

karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan demi

perbaikan dimasa yang akan datang.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat kepada pihak-pihak yang

membacanya.

Padang, 10 April 2020

Rahmadona Syukri
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 5

1.1. Latar Belakang .......................................................................... 5

1.2. Rumusan Masalah..................................................................... 8

1.3. Tujuan ........................................................................................ 8

1.4. Manfaat Makalah ...................................................................... 8

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 10

2.1 Tumbuhan Laban (Vitex pubescens Vahl) ........................... 10

2.2 Senyawa Kimia dan Aktivitas Farmakologi Genus Vitex . 11

2.3 Senyawa Kimia dan Aktivitas Farmakologi Tumbuhan

Laban (Vitex pubescens Vahl) ................................................ 12

2.4 Kegunaan secara tradisional tanaman Laban

(Vitex pubescens Vahl). ........................................................... 14

2.5 Flavonoid ................................................................................. 14

2.6 Antioksidan ............................................................................. 19

2.7 Teknik Isolasi Senyawa Bahan Alam ................................... 24


2.8 Isolasi serta analisis kualitatif dan kuantitatif herbasetin

pada tanaman laban (Vitex Pubescens Vahl) ........................ 25

BAB III PENUTUP .................................................................................... 28

3.1. Kesimpulan ............................................................................ 28

3.2. Saran ...................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki kekayaan alam

yang berlimpah. Salah satu kekayaan alam Indonesia adalah kekayaan hayati.

Hutan Indonesia menjadi habitat ribuan flora yang memiliki sejumlah manfaat

bagi manusia khususnya untuk obat-obatan. Ada sekitar 40.000 spesies tumbuhan

tersebar di seluruh hutan Indonesia dan sekitar 940 spesies diantaranya berpotensi

sebagai bahan obat-obatan. Tanaman obat yang ada di Indonesia ini merupakan

90% dari total tanaman obat yang ada di daerah Asia (Dorly, 2005).

Keanekaragaman tanaman yang ada di Indonesia, menjadikan Indonesia

sebagai penghasil senyawa metabolit sekunder yang banyak memberikan manfaat

bagi kehidupan manusia. Salah satu daerah Indonesia yang memiliki sumber daya

alam hayati yang berlimpah adalah Provinsi Riau. Kekayaaan sumber daya alam

hayati Provinsi Riau belum banyak dikenal, terlebih dari segi keanekaragaman

bahan kimia yang dikandungnya. Salah satu jenis tumbuhan yang banyak terdapat

di Provinsi Riau adalah Laban (Vitex pubescens Vahl).

Laban merupakan tanaman dari genus Vitex dan famili Verbenaceae. Laban

tumbuh subur di hutan dan juga biasa ditanam sebagai tanaman pelindung

maupun pagar di sekitar rumah penduduk. Kulit batang tumbuhan Laban oleh

masyarakat lokal digunakan sebagai pemberi aroma pada pembuatan ikan asap,
kayu bakar serta sebagai bahan obat tradisional seperti obat urticaria, maag,

rhinitis dan limpanitis, serta dijadikan obat untuk penambah stamina dan obat

demam (Heyne, 1987).

Kandungan kimia kulit batang Laban yang telah dilaporkan Enih Rosamah,

dkk. (2010) adalah senyawa metabolit sekunder seperti triterpenoid, steroid, dan

flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu senyawa yang sering diteliti karena

senyawa ini memiliki aktivitas biologi yang menguntungkan dalam bidang

farmasi. Senyawa flavonoid memiliki potensi bioaktivitas sebagai antioksidan,

antimikroba, antikanker, antijamur dan antirayap. Penelitian menunjukkan bahwa

flavonoid jenis tertentu dapat mengurangi proses penuaan dini yang diakibatkan

adanya radikal bebas yang terdapat di lingkungan.

Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghambat oksidasi

molekul lain. Antioksidan mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang

disebabkan spesies oksigen reaktif, menghambat penyakit degeneratif serta

menghambat peroksidasi lipid pada makanan. Studi menunjukkan bahwa

flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan atau peredam radikal. Senyawa

flavonoid meredam radikal bebas dengan cara menyediakan sisi pengikatan untuk

radikal –radikal, seperti gugus OH (Gulcin, et al., 2004).

Ono, et al. (2001) menyebutkan bahwa tumbuhan Vitex trifola mengandung

senyawa-senyawa aktif sebagai antioksidan. Sridahr, et al. (2005) juga telah

melaporkan bahwa tumbuhan Vitex trifola mengandung senyawa flavonoid yang

berguna sebagai antioksidan. Sedangkan pada Vitex altissima diperoleh senyawa


flavonoid dan triterpenoid yang aktif sebagai antioksidan dan antiinflamasi.

Menurut ilmu kemotaksonomi, hubungan kekerabatan yang dekat antara tanaman

Legundi (Vitex trifola) dan tanaman Milla (Vitex altissima) dengan Laban (Vitex

pubescens Vahl.) yang merupakan famili Verbenaceae dan genus Vitex,

memungkinkan tumbuhan Laban memiliki kandungan kimia yang sama.

Berdasarkan studi literatur dan hasil uji pendahuluan (fitokimia dan KLT),

kulit batang tumbuhan Laban (Vitex pubescens Vahl) berpotensi mengandung

flavonoid. Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya keberadaan

senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, terpenoid/steroid, fenolat serta

saponin pada ekstrak metanol kulit batang Laban. Dari uji fitokimia, didapatkan

hasil kulit batang Laban positif mengandung flavonoid, terpenoid/steroid dan

fenyawa fenolat, sedangkan untuk saponin adalah negatif. Hasil positif flavonoid

ditandai dengan terbentuknya warna pink hingga merah. Ekstrak metanol kulit

batang Laban memberikan hasil fitokimia flavonoid berwarna merah. Ini

menunjukkan bahwa pada ekstrak metanol terdapat senyawa flavonoid. Hasil

positif flavonoid juga diberikan pada uji KLT ekstrak metanol kulit batang Laban

dengan pereaksi penampak noda serium sulfat. Hasil pengujian KLT memberikan

noda berwarna kuning kecokelatan, hal ini mengindikasikan adanya senyawa

flavonoid (Markham, 1988).

Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih dalam terhadap kandungan

flavonoid (herbasetin) pada kulit batang Laban yang diduga berpotensi untuk

dimanfaatkan sebagai antioksidan dan pengobatan tradisional lainnya.


1.2. Rumusan Masalah

1. Apa saja kandungan kimia yang terdapat pada tanaman Laban (Vitex

pubescens Vahl)?

2. Apa saja kegunaan tanaman tersebut secara tradisional ?

3. Apa saja efek farmakologi yang ditimbulkan tanaman tersebut ?

4. Bagaimana cara isolasi herbasetinnya?

5. Bagaimana cara analisis kualitatif dan kuantitatif herbasetin?

1.3. Tujuan

1. Mengetahui kandungan kimia yang terdapat pada tanaman Laban (Vitex

pubescens Vahl).

2. Mengetahui kegunaan secara tradisional tanaman Laban (Vitex pubescens

Vahl).

3. Mengetahui efek farmakologi yang ditimbulkan tanaman Laban (Vitex

pubescens Vahl).

4. Mengetahui cara isolasi herbasetin pada tanaman Laban (Vitex pubescens

Vahl).

5. Mengetahui cara analisis kualitatif dan kuantitatif herbasetin.

1.4. Manfaat Makalah

Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:

1. Memberikan informasi terbaru mengenai senyawa flavonoid yang terdapat

pada kulit batang tanaman Laban (Vitex pubescens Vahl).


2. Menjadi bahan atau acuan terhadap mahasiswa/i selanjutnya baik dari segi

farmakologis maupun ilmu pengetahuan.

3. Bagi penulis, penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan

tentang senyawa flavonoid yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Tumbuhan Laban (Vitex pubescens Vahl)

Tanaman Laban (Vitex pubescens Vahl) dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)

Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Lamiales

Famili : Verbenaceae

Genus : Vitex

Spesies : Vitex pubescens Vahl.

Gambar . Tumbuhan Laban (Vitex pubescens Vahl)


Tanaman Laban ini memiliki beberapa nama daerah diantaranya Laban tileng

dan Kalapapa. Pohonnya bisa mencapai tinggi 3-15 meter dan memiliki diameter

hingga 40 cm. Tekstur kulit retak-retak berwarna abu-abu kekuningan hingga

cokelat pucat. Kelopak daunnya berjumlah 3 atau 5 buah. Memiliki bunga yang

halus berwarna kuning keputihan dan terdapat buah yang apabila matang

berwarna hitam (Farid Wanjaswa, 2010).

2.2. Senyawa Kimia dan Aktivitas Farmakologi Genus Vitex

Genus ini mengandung banyak senyawa metabolit sekunder, seperti yang

telah dilaporkan Singh, et al. (1999), diantaranya vitexilacton dan rotundifuran.

Selain itu Gautam, et al. (2008) juga telah berhasil mengisolasi senyawa

flavonoid dari daun dan ranting Vitex negundo Linn yaitu negundosida, agnusida,

vitegnosida, 7,8-dimetil herbasetin-3-ramnosida.

vitexilacton rotundifuran
O OH
COOCH3

HO
O
OH O
O OH
OH HO
HO CH3 O
OH
O
HO
HO OH
O

O OH O

negundosida vitegnosida

H3C OH
O

O O

H3C
ORha
OH O

agnusida 7,8-dimetil herbasetin-

3-ramnosida

2.3. Senyawa Kimia dan Aktivitas Farmakologi Tumbuhan Laban (Vitex

pubescens Vahl)

Dari hasil penelitian para peneliti sebelumnya diketahui bahwa ekstrak

metanol kayu Laban memiliki aktivitas antijamur dan antirayap (Agustina, 2002).

Pada penelitian lain, Hendra Prawira, dkk (2012) telah membuktikan bahwa asap

cair dari kayu Laban memiliki bioaktivitas dan dapat digunakan sebagai bahan

pengawet kayu dari serangan Rayap Tanah (C. Curhignatus Holmgren).

Selain itu, Rita Rakhmawati (2006) juga telah berhasil mengisolasi senyawa

yang mempunyai kerangka kumarin dengan substitusi metoksi pada C-3, asetil

pada C-7, dan adanya gugus OH. Senyawa hasil isolasi ini telah diuji efek
sitotoksiknya terhadap tiga cell line yaitu sel HeLa, Mieloma dan SiHa. Dan

hasilnya adalah senyawa tersebut memiliki efek sitotoksik terbesar pada sel

Mieloma in vitro.

2.4. Kegunaan secara tradisional tanaman Laban (Vitex pubescens Vahl).

Pengetahuan masyarakat Indonesia tentang penggunaan obat tradisional dari

tumbuhan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang telah diwariskan

secara turun-temurun. Salah satu jenis tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan

masyarakat Indonesia ialah tumbuhan laban (Vitex pubescens Vahl). Laban

merupakan tumbuhan yang termasuk dalam family Verbenaceae. Habitatnya

berada di hutan atau di tepi sungai. Masyarakat menggunakan daunnya untuk

mengobati disentri dan sakit pinggang (Yani Jasna, 2019).

Tumbuhan laban (Vitex pubescens vahl) juga banyak terdapat di

Kalimantan Barat, kekayaan sumber hayati ini banyak dimanfaatkan oleh

masyarakat setempat sebagai obat alami, salah satu tumbuhan yang sering

dimanfaatkan oleh masyarakat dayak, khususnya di Kabupaten Landak untuk

pengobatan tradisional adalah tumbuhan laban, daun pohon ini digunakan oleh

masyarakat setempat untuk obat sakit perut dengan cara memakan langsung

daun mudanya, ada juga dengan meminum air rebusannya (Hermansah dkk,

2015).
2.5. Flavonoid

1. Struktur Dasar Flavonoid

Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenolik terbesar yang

ditemukan di alam dan berasal dari tumbuhan tingkat tinggi. Flavonoid

mempunyai kerangka dasar dengan 15 atom karbon, dimana dua cincin

benzen (C6) terikat pada satu rantai propan (C3) sehingga membentuk suatu

susunan (C6-C3-C6) dengan struktur 1,3-diarilpropana. Dari kerangka ini

flavonoid dapat di bagi menjadi 3 struktur dasar yaitu flavonoid, isoflavonoid,

dan neoflavonoid.

Gambar. Kerangka Dasar Flavonoid

Kerangka dasar karbon pada flavonoid merupakan kombinasi antara jalur

sikhimat dan jalur asetat-malonat yang merupakan dua jalur utama biosintesis

cincin aromatik. Cincin A dari struktur flavonoid berasal dari jalur poliketida

(jalur asetat-malonat), yaitu kondensasi tiga unit asetat atau malonat,

sedangkan cincin B dan tiga atom karbon dari rantai propan berasal dari jalur

fenilpropanoid (jalur sikhimat) (Achmad, 1985).


2. Klasifikasi Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa yang mengandung sistem aromatik yang

terkonjugasi sehingga menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum

sinar ultraviolet dan spektrum sinar tampak. Umumnya flavonoid dalam

tumbuhan terikat pada gula yang disebut dengan glikosida (Harborne, 1996).

Menurut Robinson (1995), flavonoid dapat dikelompokkan berdasarkan

keragaman pada rantai C3 menjadi 10 golongan yaitu:

a. Flavonol

Flavonol (1) paling sering terdapat sebagai glikosida, biasanya 3-

glikosida, dan aglikon flavonol yang umum yaitu kamferol, kuersetin, dan

mirisetin yang berkhasiat sebagai antioksidan dan antiimflamasi. Flavonol

lain yang terdapat di alam bebas kebanyakan merupakan variasi struktur

sederhana dari flavonol. Larutan flavonol dalam suasana basa dioksidasi

oleh udara tetapi tidak begitu cepat sehingga penggunaan basa pada

pengerjaannya masih dapat dilakukan.

b. Flavon

Flavon (2) berbeda dengan flavonol dimana pada flavon tidak terdapat

gugusan 3-hidroksi. Hal ini mempunyai serapan UV-nya, gerakan

kromatografi, serta reaksi warnanya. Flavon terdapat juga sebagai

glikosidanya lebih sedikit dari pada jenis glikosida pada flavonol. Flavon

yang paling umum dijumpai adalah apigenin dan luteolin. Luteolin

merupakan zat warna yang pertama kali dipakai di Eropa. Jenis yang paling
umum adalah 7-glukosida dan terdapat juga flavon yang terikat pada gula

melalui ikatan karbon-karbon. Contohnya luteolin 8-C-glikosida.

c. Isoflavon

Isoflavon (3) merupakan isomer flavon, tetapi jumlahnya sangat

sedikit dan sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk

dalam tumbuhan sebagai pertahanan terhadap serangan penyakit.

Isoflavon sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi

warna manapun. Beberapa isoflavon (misalnya daidzein) memberikan

warna biru muda cemerlang dengan sinar UV bila diuapi amonia, tetapi

kebanyakan yang lain tampak sebagai bercak lembayung yang pudar

dengan amonia berubah menjadi coklat.

d. Flavanon

Flavanon (4) terdistribusi luas di alam. Flavanon terdapat di dalam

kayu, daun dan bunga. Flavanon glikosida merupakan konstituen utama

dari tanaman genus prenus dan buah jeruk; dua glikosida yang paling

lazim adalah neringenin dan hesperitin, terdapat dalam buah anggur dan

jeruk.

e. Flavanonol

Flavanonol (5) ini berkhasiat sebagai antioksidan dan hanya terdapat

sedikit sekali jika dibandingkan dengan flavonoid lain. Sebagian besar

senyawa ini diabaikan karena konsentrasinya rendah dan tidak berwarna.

f. Katekin
Katekin (6) terdapat pada seluruh dunia tumbuhan, terutama pada

tumbuhan berkayu. Senyawa ini mudah diperoleh dalam jumlah besar dari

ekstrak kental Uncaria gambir dan daun teh kering yang mengandung

kira-kira 30% senyawa ini. Katekin berkhasiat sebagai antioksidan.

g. Leukoantosianidin

Leukoantosianidin (7) merupakan senyawa tan warna, terutama

terdapat pada tumbuhan berkayu. Senyawa ini jarang terdapat sebagai

glikosida, contohnya melaksidin, apiferol.

h. Antosianin

Antosianin (8) merupakan pewarna yang paling penting dan paling

tersebar luas dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut

dalam air ini adalah penyebab hampir semua warna merah jambu, merah

marak , ungu, dan biru dalam daun, bunga, dan buah pada tumbuhan

tinggi. Secara kimia semua antosianin merupakan turunan suatu struktur

aromatik tunggal yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk dari pigmen

sianidin ini dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau

dengan metilasi atau glikosilasi.

i. Khalkon

Khalkon (9) adalah pigmen fenol kuning yang berwarna coklat kuat

dengan sinar UV bila dikromatografi kertas. Aglikon flavon dapat

dibedakan dari glikosidanya, karena hanya pigmen dalam bentuk glikosida


yang dapat bergerak pada kromatografi kertas dalam pengembang air

(Harborne, 1996).

j. Auron

Auron (10) berupa pigmen kuning emas yang terdapat dalam bunga

tertentu dan briofita. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna merah ros

dan tampak pada kromatografi kertas berupa bercak kuning, dengan sinar

ultraviolet warna kuning kuat berubah menjadi merah jingga bila diberi

uap amonia (Robinson, 1995).

(1) (2) (3)

O
(4) (5) (6)

(7) (8)
O
CH

O
(9) (10)

Gambar. Struktur Klasifikasi Flavonoid

2.6. Antioksidan

1. Pengertian Antioksidan

Antioksidan adalah substansi yang menetralkan radikal bebas karena

senyawa-senyawa tersebut mengorbankan dirinya agar teroksidasi sehingga

sel-sel yang lainnya dapat terhindar dari radikal bebas ataupun melindungi sel

dari efek berbahaya radikal bebas. Antioksidan merupakan senyawa yang

mampu menunda, memperlambat atau menghambat reaksi oksidasi pada

makanan maupun obat dimana senyawa-senyawa tersebut mudah teroksidasi

sehingga sel-sel lain terhindar dari radikal bebas (Sunarni, 2005).

Zat ini secara nyata mampu memperlambat atau menghambat oksidasi zat

yang mudah teroksidasi meskipun dalam konsentrasi rendah. Komponen

kimia yang berperan sebagai antioksidan adalah senyawa golongan fenolik

dan polifenolik. Senyawa-senyawa golongan tersebut banyak terdapat di alam,

terutama pada tumbuh-tumbuhan, dan memiliki kemampuan untuk

menangkap radikal bebas. Antioksidan yang banyak ditemukan pada bahan

pangan, antara lain vitamin E, vitamin C, dan karotenoid (Ozyurt, 2005).


2. Radikal Bebas

Radikal bebas adalah merupakan atom atau gugus atom apa saja yang

memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan pada orbital paling luar,

termasuk atom hidrogen, logam-logam unsur transisi maupun molekul

oksigen. Karena jumlah elektron ganjil, maka tidak semua elektron dapat

berpasangan sehingga bersifat sangat reaktif. Radikal bebas ini ada yang

bermuatan positif (kation), negatif (anion) dan adapula yang tidak bermuatan

(Halliwell, et al., 2000).

Sumber radikal bebas dapat berasal dari proses metabolisme tubuh

(internal) dan adapula yang berasal dari luar tubuh (eksternal). Radikal bebas

yang berasal dalam tubuh diantaranya: superoksida (O2*), hidroksil (*OH),

peroksil (ROO*), hidrogen peroksida (H2O2), oksida nitril (NO), dan

peroksinitrit (ONOO*). Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh antara lain

berasal dari asap rokok,polusi, radiasi, sinar UV, obat, pestisida, limbah

industri dan ozon. Radikal bebas merupakan merupakan agen pengoksidasi

kuat yang dapat merusak sistem pertahanan tubuh dengan akibat kerusakan sel

dan penuaan dini karena elektron yang tidak berpasangan selalu mencari

pasangan elektron dalam makromolekul biologi.

3. Klasifikasi Antioksidan

Berdasarkan sumbernya, antioksidan dikelompokkan menjadi antioksidan

alami dan sintetik. Antioksidan alami adalah antioksidan yang merupakan

hasil dari ekstraksi bahan alami. Antioksidan alami dapat ditemukan pada
sayuran, buah-buahan, dan tumbuhan berkayu. Tumbuhan-tumbuhan ini

mengandung senyawa metabolit sekunder seperti golongan alkaloid,

flavonoid, saponin, kuinon, tanin, steroid/ triterpenoid. Beberapa antioksidan

alami antara lain alfa tokoferol (vitamin E), beta karoten, dan asam askorbat

(vitamin C)

Quezada (dalam Hetiny Muthia Rahmy, 2011) menyatakan bahwa fraksi

alkaloid pada daun Peumus boldus dapat berperan sebagai antioksidan. Zin

(dalam Hetiny Muthia Rahmy, 2011) menyatakan bahwa golongan senyawa

yang aktif sebagai antioksidan pada batang, buah, dan daun mengkudu berasal

dari golongan flavonoid. Gingseng yang berperan sebagai antioksidan,

antidiabetes, antihepatitis, antistres, dan antineoplastik, mengandung saponin

glikosida (steroid glikosida). Uji aktivitas antioksidan yang dilakukan pada

daun Ipomea pescaprae menunjukkan keberadaan senyawa kuinon, kumarin,

dan furanokumarin. Tanin yang banyak terdapat pada teh dipercaya memiliki

aktivitas antioksidan yang tinggi. Sementara itu, Iwalokum (dalam Hetiny

Muthia Rahmy, 2011) menyatakan bahwa Pleurotus ostreatus yang

mengandung triterpenoid, tanin, dan sterois glikosida dapat berperan sebagai

antioksidan dan antimikroba.

Sedangkan antioksidan sintetik adalah antioksidan yang diperoleh dari

hasil reaksi kimia. Beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan

penggunaannya untuk makanan, yaitu butil hidroksi anisol (BHA), butil

hidroksi toluen (BHT), propil galat, tert-butil hidoksi quinon (TBHQ), dan
tokoferol. Antioksidan-antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami

yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial.

4. Uji Aktivitas Antioksidan

Salah satu metode yang digunakan untuk pengujian aktivitas antioksidan

adalah diphenylpicrilhydrazyl (DPPH) free radical scavenging assay. Metode

ini didasarkan pada kemampuan antioksidan untuk menghambat radikal bebas

dengan mendonorkan atom hidrogen, sehingga DPPH akan berubah menjadi

diphenylpicrilhydrazine yang bersifat non radikal. Senyawa yang bereaksi

sebagai penangkap radikal bebas akan mereduksi DPPH ketika elektron ganjil

dari radikal DPPH berpasangan dengan hidrogen dari senyawa penangkap

radikal bebas membentuk senyawa DPPH-H tereduksi (DPP Hidrazin yang

stabil) (Molyneux, 2004)

Antioksidan
Radikal stabil

DPPH DPP Hidrazin


H

Gambar. Reaksi DPPH dengan Senyawa Antioksidan

Perubahan warna ungu DPPH menjadi kuning dimanfaatkan untuk

mengetahui aktivitas senyawa antioksidan. Metode ini menggunakan kontrol

positif sebagai pembanding untuk mengetahui aktivitas antioksidan sampel.


Kontrol positif ini dapat berupa tokoferol, BHT, dan vitamin C. Uji aktivitas

antioksidan dengan metode DPPH menggunakan 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil

(DPPH) sebagai radikal bebas. Prinsipnya adalah reaksi penangkapan

hidrogen oleh DPPH dari senyawa antioksidan, misalnya troloks, yang

mengubahnya menjadi 2,2-difenil-1-pikrilhidrazin (Ohtani, 2000).

Absorbansi DPPH diukur dengan spektrometer sinar tampak pada

panjang gelombang 515 nm. Kemampuan antioksidan diukur sebagai

penurunan serapan larutan DPPH akibat adanya penambahan sampel. Nilai

serapan larutan DPPH sebelum dan sesudah penambahan ekstrak tersebut

dihitung sebagai persen inhibisi (% inhibisi) dengan rumus sebagai berikut:

Ablanko - Asampel
% Inhibisi = x 100%
Ablanko

Keterangan :

Ablanko = Absorbansi larutan DPPH

Asampel = Absorbansi sampel (DPPH dan senyawa hasil isolasi)

Selanjutnya nilai dari % inhibisi ini digunakan dalam perhitungan IC50.

IC50 adalah besarnya konsentrasi senyawa penangkap radikal bebas untuk

meredam 50% radikal bebas. Nilai IC50 diperoleh dari nilai persamaan regresi

linear yang menyatakan hubungan antara konsentrasi sampel (senyawa uji) x

dengan aktifitas penangkap radikal bebas rata-rata atau % inhibisi, y.

y = ax + b
Nilai IC50 yakni konsentrasi sampel (x) pada saat persentase inhibisi (y)

adalah 50 selanjutnya dapat diperoleh. Semakin kecil nilai IC50 maka senyawa

uji tersebut mempunyai keefektifan sebagai penangkap radikal bebas yang

baik (Molyneux, 2004).

2.7. Teknik Isolasi Senyawa Bahan Alam

Isolasi senyawa bahan alam menggunakan cara ekstraksi. Ekstraksi adalah

proses pemisahan suatu zat berdasarkan kelarutan suatu komponen dalam pelarut

yang digunakan. Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang

dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut

cair. Hasil dari ekstraksi disebut ekstrak. Ekstraksi bermanfaat untuk

memisahkan campuran senyawa dengan berbagai sifat kimia yang berbeda

(Sudjadi, 1986).

Ekstraksi dapat dibedakan menjadi ekstraksi dingin dan ekstraksi dengan

pemanasan. Metoda ini artinya tidak ada proses pemanasan selama proses

ekstraksi berlangsung, tujuannya untuk menghindari senyawa yang dimaksud

rusak karena pemanasan. Ekstraksi cara dingin terdiri atas maserasi dan

perkolasi. Maserasi merupakan proses ekstraksi menggunakan pelarut diam atau

dengan beberapa kali pengocokan pada suhu ruangan. Pada dasarnya metoda ini

dengan cara merendam sampel dengan sekali-sekali dilakukan pengocokan.

Umumnya perendaman dilakukan 24 jam dan selanjutnya pelarut diganti dengan

pelarut baru. Maserasi biasanya menggunakan pelarut organik, misalnya metanol.

Metanol banyak digunakan dalam proses maserasi karena metanol memiliki


ukuran yang kecil, sehingga dapat masuk ke dalam vakuola sel tanaman dan

mengeluarkan seluruh isi vakuola tersebut (Handa, et al., 2008).

2.8. Isolasi serta analisis kualitatif dan kuantitatif herbasetin pada tanaman

laban (Vitex Pubescens Vahl)

a. Preparasi Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah tumbuhan laban (Vitex

Pubescens Vahl) dan bagian yang digunakan adalah kulit batang, sampel

dibersihkan dan dipotong kecil-kecil, lalu dikeringkan dengan cara diangin-

anginkan selanjutnya sampel dihaluskan menggunakan blender sampai

menjadi serbuk halus (Hermansah dkk, 2015).

b. Ekstraksi

Sampel yang telah dihaluskan sebanyak 966,9 gr dimaserasi

menggunakan pelarut methanol selama 3 x 24 jam pada suhu kamar, disimpan

di tempat yang tidak terkena cahaya matahari,kemudian disaring dan

dipekatkan menggunakan alat rotatory evaporator (Hermansah dkk, 2015).

c. Analisis Kualitatif Kandungan Flavonoid

Hasil pengujian pada senyawa golongan flavonoid ekstrak metanol

menunjukan hasil positif yang ditandai dengan terbentuknya warna merah

jingga pada uji flavonoid (Harbone, 2006).

d. Analisis Kuantitatif Kandungan Flavonoid

(1). Penentuan panjang gelombang maksimum (ƛmaks) herbasetin


Penentuan panjang gelombang maksimum herbasetin dilakukan

dengan running larutan herbasetin pada range panjang gelombang 400 -

450 nm. Hasil running menunjukkan panjang gelombang maksimum

standar baku herbasetin berada pada panjang gelombang 435 nm. Panjang

gelombang maksimum tersebut yang digunakan untuk mengukur serapan

dari sampel ekstrak Laban (Vitex pubescens Vahl.).

(2). Pembuatan kurva standar herbasetin

Ditimbang sebanyak 25 mg baku standar herbasetin dan dilarutkan

dalam 25 mL metanol. Larutan stok dipipet sebayak 1 mL dan

dicukupkan volumenya sampai 10 mL dengan metanol sehingga

diperoleh konsentrasi 100 ppm. Dari larutan standar herbasetin 100 ppm,

kemudian dibuat beberapa konsentrasi yaitu 6 ppm, 8 ppm, 10 ppm, 12

ppm dan 14 ppm. Dari masing-masing konsentrasi larutan standar

kuersetin dipipet 1 mL. Kemudian ditambahkan 1 mL AlCl3 2% dan 1

mL kalium asetat 120 mM. Sampel diinkubasi selama satu jam pada suhu

kamar. Absorbansi ditentukan menggunakan metode spektrofotometri

UV-Vis pada panjang gelombang maksimum 435 nm (Stankovic, M.S.,

2011, h. 65).

(3). Penetapan kadar flavonoid total ekstrak Laban (Vitex pubescens Vahl.)
Ditimbang 15 mg ekstrak, dilarutkan dalam 10 mL metanol, sehingga

diperoleh konsentrasi 1500 ppm. Dari larutan tersebut dipipet 1 mL

kemudian ditambahkan 1 mL larutan AlCl3 2% dan 1 mL kalium asetat

120 mM. Sampel diinkubasi selama satu jam pada suhu kamar.

Absorbansi ditentukan menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis

pada panjang gelombang maksimum 435 nm. Sampel dibuat dalam tiga

replikasi untuk setiap analisis dan diperoleh nilai rata-rata absorbansi

(Stankovic, M.S., 2011, h. 65).


BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Ekstrak methanol Laban (Vitex pubescens Vahl.) mengandung senyawa

alkaloid, flavonoid, tannin, saponin, terpenoid.

2. Secara farmakologi ekstrak metanol kayu Laban memiliki aktivitas antijamur,

antirayap, dan sitotoksik.

3. Secara tradisional daun Laban (Vitex pubescens Vahl) ini digunakan sebagai

obat sakit perut dengan cara memakan langsung daun mudanya, ada juga

dengan meminum air rebusannya. Sebagian masyarakat juga menggunakan

daunnya untuk mengobati disentri dan sakit pinggang.

4. Analisis kualitatif hasil pengujian pada senyawa golongan flavonoid ekstrak

metanol menunjukan hasil positif yang ditandai dengan terbentuknya warna

merah jingga.

5. Analisis Kuantitatif bisa dilakukan dengan Penentuan panjang gelombang

maksimum (ƛmaks) herbaseti, pembuatan kurva standar herbasetin dan

penetapan kadar flavonoid total ekstrak Laban (Vitex pubescens Vahl.)


3.2.Saran

Melihat begitu banyaknya manfaat dari tanaman Laban (Vitex

pubescens Vahl.), diharapkan agar tanaman ini dapat lebih dilestarikan lagi

sehingga keanekaragaman hayatinya tetap terjaga dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Achmad, S.A. (1985). Kimia Organik Bahan Alam, Departemen Pendidikan Dan

Kebudayaan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Dorly. (2005). Potensi Tumbuhan Obat Indonesia Dalam Pengembangan Industri

Agronomi. Bogor: ITB.

Gulcin, I., Kufrevioglu, O.I., Oktay, M., Buyukokuroglu, M.E. (2004) Antioxidant,

Antimicrobial, Antiulcer And Analgesic Activities Of Nettle (Urtica Dioica L.).

Journal Of Ethnopharmacology 90, 205–215.

Halliwell, B.; Gutteridge, J.M.C. (2000). Free Radikal In Biology And Medicine ,

New York : Oxford University Press.

Handa, Sukhdev Swami., Et Al. (2008). Teknologi Ekstraksi Tanaman Obat Dan

Aromatik. Pusat Internasional Untuk Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Tinggi.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis

Tumbuhan. Penerjemah: K. Padmawinata Dan I. Soediro, Terbitan Ke-2.

Bandung: ITB.

Harborne, J.B. (1996). Metode Fitokimia, Cetakan II, Diterjemahkan Oleh Kosasih

Padma Winata Dan Iwang Soediro. Bandung: Itb Press.


Hermansah, A., Harlia, Zahara, T., A. 2015. Skrining Fitokimia Dan Uji Aktivitas

Antioksidan Ekstrak Kulit Batang Laban (Vitex Pubescens Vahl). Jkk. 4(2): 67-

71, Issn 2303-1077.

Heyne, K.(1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Volume Ii, Yayasan Sarana Wana

Jaya : Diedarkan Oleh Koperasi Karyawan, Badan Litbang Kehutanan, Jakarta.

Markham, P. D., Tschachler, E. R. W. I. N., Di Marzo Veronese, F., Salahuddin, S.

Z., Ablashi, D. V.,& Gallo, R. C. (1988). In Vitro Cellular Tropism Of Human

B-Lymphotropic Virus (Human Herpesvirus-6). The Journal Of Experimental

Medicine, 167(5), 1659-1670.

Molyneux, P. (2004). The Use Of The Stable Free Radical Diphenylpicryl-Hydrazyl

(Dpph) For Estimating Antioxidant Activity, Songklanakarin J. Sci. Technol. ,

26(2), 211-21.

Ohtani, Dkk. (2000). New Antioxidant From The African Medicinal Herb Thonginia

Sanguinea. J Nat Prod. 63 : 676-679.

Ono T, Et Al. (2001) Automated Extraction Of Information On Protein-Protein

Interactions From The Biological Literature. Bioinformatics 17(2):155-61.

Ozyurt, D., Dkk. (2005). Determination Of Total Antioxidant Capacity By A New

Spectrofotometric Method Based On Ce (Iv) Reducing Capacity Measurement.

Elsevier Applied Science. New York.


Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Edisi VI, Hal 191-216,

Diterjemahkan Oleh Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB.

Rosamah, E., Kusuma, I., W., Kurniawan, K. (2010). Aktivitas Anti Jamur Ekstrak

Kulit Kayu Laban (Vitex Pubescens Vahl.). Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kayu

Tropis. 8 (1) : 28-38, Issn : 1693-3834.

Singh, B., Al-Haddad, K., & Chandra, A. (1999). A Review Of Active Filters For

Power Quality Improvement. Ieee Transactions On Industrial

Electronics, 46(5), 960-971.

Sridhar, C., Rao, K. V., & Subbaraju, G. V. (2005). Flavonoids, Triterpenoids And A

Lignan From Vitex Altissima. Phytochemistry, 66(14), 1707-1712.

Stankovic, M.S. (2011). Total Phenolic Content, Flavonoid Concentration And

Antioxidant Activity Of Marrubium Peregrinum L. Extracts. Kragujevac J Sci,

33, Pp.63- 72.

Sudjadi. (1986). Metode Pemisahan. Kanisius. Yogyakarta. Underwood, A. L. 1981.

Analisa Kimia Kuantitatif. Edisi Ke-4. Erlangga. Jakarta.

Sunarni, T. (2005). Aktivitas Antioksidan Penangkap Radikal Bebas Beberapa

Kecambah Dari Biji Tanaman Familia Papilionaceae. Jurnal Farmasi

Indonesia. 2(2): 53-61.


Wanjaswa, F. (2010). Klasifikasi Ilmiah Laban Tileng.

Http://Faridwanjaswa.Blogspot.Com/2010/11/Klasifikasi-Ilmiah-Laban-Tileng-

Vitex.Html

Yani Jasna. (2019). Isolasi Metabolit Sekunder Dan Uji Bioaktivitas Sitotoksik Dari

Fraksi N-Heksana Daun Laban (Vitex Pubescens Vahl). Fakultas Matematika

Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Padang.

Anda mungkin juga menyukai