BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki kekayaan
alam yang berlimpah. Salah satu kekayaan alam Indonesia adalah kekayaan
hayati. Hutan Indonesia menjadi habitat ribuan flora yang memiliki sejumlah
manfaat bagi manusia khususnya untuk obat-obatan. Ada sekitar 40.000
spesies tumbuhan tersebar di seluruh hutan Indonesia dan sekitar 940 spesies
diantaranya berpotensi sebagai bahan obat-obatan. Tanaman obat yang ada di
Indonesia ini merupakan 90% dari total tanaman obat yang ada di daerah Asia
(Dorly, 2005).
Keanekaragaman tanaman yang ada di Indonesia, menjadikan Indonesia
sebagai penghasil senyawa metabolit sekunder yang banyak memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia. Salah satu daerah Indonesia yang memiliki
sumber daya alam hayati yang berlimpah adalah Provinsi Riau. Kekayaaan
sumber daya alam hayati Provinsi Riau belum banyak dikenal, terlebih dari
segi keanekaragaman bahan kimia yang dikandungnya. Salah satu jenis
tumbuhan yang banyak terdapat di Provinsi Riau adalah Laban (Vitex
pubescens Vahl).
Laban merupakan tanaman dari genus Vitex dan famili Verbenaceae.
Laban tumbuh subur di hutan dan juga biasa ditanam sebagai tanaman
pelindung maupun pagar di sekitar rumah penduduk. Kulit batang tumbuhan
Laban oleh masyarakat lokal digunakan sebagai pemberi aroma pada
pembuatan ikan asap, kayu bakar serta sebagai bahan obat tradisional seperti
obat urticaria, maag, rhinitis dan limpanitis, serta dijadikan obat untuk
penambah stamina dan obat demam (Heyne, 1987).
Kandungan kimia kulit batang Laban yang telah dilaporkan Enih
Rosamah, dkk. (2007) adalah senyawa metabolit sekunder seperti triterpenoid,
steroid, dan flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu senyawa yang sering
diteliti karena senyawa ini memiliki aktivitas biologi yang menguntungkan
1
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Senyawa flavonoid dari golongan apakah yang terdapat pada kulit batang
tanaman Laban (Vitex pubescens Vahl)?
2. Bagaimana tingkat aktifitas antioksidan senyawa flavonoid hasil isolasi?
3. Bagaimana kerangka dasar senyawa flavonoid hasil isolasi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengisolasi senyawa flavonoid pada kulit batang tanaman Laban (Vitex
pubescens Vahl) dengan cara ekstraksi dan pemurnian secara kromatografi
kolom vakum cair (KKVC) dan kromatografi kolom gravitasi (KKG).
2. Menguji aktifitas antioksidan hasil isolasi menggunakan metode DPPH
3. Mengkarakterisasi kerangka dasar senyawa hasil isolasi dengan
spektrometer inframerah dan UV-Vis.
4
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi terbaru mengenai senyawa flavonoid yang terdapat
pada kulit batang tanaman Laban (Vitex pubescens Vahl).
2. Menjadi bahan atau acuan terhadap penelitian selanjutnya baik dari segi
farmakologis maupun ilmu pengetahuan.
3. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang
isolasi senyawa bahan alam yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
E. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan penjabaran beberapa istilah yang
digunakan dalam penulisan makalah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
kesalahan pemahaman dan perbedaan penafsiran istilah. Adapun beberapa
istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Isolasi adalah proses memisahkan suatu senyawa dari campurannya pada
sampel bahan alam yang dilakukan dengan cara ekstraksi (maserasi) yakni
merendam sampel dalam pelarut yang sesuai dan pemurniannya dengan
menggunakan metode kromatografi kolom.
2. Karakterisasi adalah proses mengidentifikasi atau menentukan struktur
senyawa dengan metode spektroskopi, seperti inframerah dan UV-Vis.
3. Senyawa flavonoid merupakan kelompok senyawa metabolit sekunder
yang mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri atas 15 atom karbon
yang membentuk susunan C6-C3-C6
4. Antioksidan adalah kemampuan suatu senyawa untuk menetralkan radikal
bebas karena senyawa-senyawa tersebut dapat menyediakan spesi untuk
berikatan dengan radikal bebas tersebut, seperti gugus OH pada flavonoid.
5
BAB II
KAJIAN TEORITIS
5
6
vitexilacton rotundifuran
O OH
COOCH 3
HO
O
OH O
O OH
OH HO
HO CH3 O
OH
O
HO
HO OH
O
O OH O
negundosida vitegnosida
H3C OH
O
O O
H3C
ORha
OH O
B. Flavonoid
1. Struktur Dasar Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenolik terbesar yang
ditemukan di alam dan berasal dari tumbuhan tingkat tinggi. Flavonoid
mempunyai kerangka dasar dengan 15 atom karbon, dimana dua cincin
benzen (C6) terikat pada satu rantai propan (C3) sehingga membentuk
suatu susunan (C6-C3-C6) dengan struktur 1,3-diarilpropana. Dari kerangka
ini flavonoid dapat di bagi menjadi 3 struktur dasar yaitu flavonoid,
isoflavonoid, dan neoflavonoid.
2. Klasifikasi Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa yang mengandung sistem aromatik
yang terkonjugasi sehingga menunjukkan pita serapan kuat pada daerah
spektrum sinar ultraviolet dan spektrum sinar tampak. Umumnya
flavonoid dalam tumbuhan terikat pada gula yang disebut dengan
glikosida (Harborne, 1996).
Menurut Robinson (1995), flavonoid dapat dikelompokkan
berdasarkan keragaman pada rantai C3 menjadi 10 golongan yaitu:
a. Flavonol
Flavonol (1) paling sering terdapat sebagai glikosida, biasanya 3-
glikosida, dan aglikon flavonol yang umum yaitu kamferol, kuersetin,
dan mirisetin yang berkhasiat sebagai antioksidan dan antiimflamasi.
Flavonol lain yang terdapat di alam bebas kebanyakan merupakan
variasi struktur sederhana dari flavonol. Larutan flavonol dalam
suasana basa dioksidasi oleh udara tetapi tidak begitu cepat sehingga
penggunaan basa pada pengerjaannya masih dapat dilakukan.
b. Flavon
Flavon (2) berbeda dengan flavonol dimana pada flavon tidak
terdapat gugusan 3-hidroksi. Hal ini mempunyai serapan UV-nya,
gerakan kromatografi, serta reaksi warnanya. Flavon terdapat juga
sebagai glikosidanya lebih sedikit dari pada jenis glikosida pada
flavonol. Flavon yang paling umum dijumpai adalah apigenin dan
luteolin. Luteolin merupakan zat warna yang pertama kali dipakai di
Eropa. Jenis yang paling umum adalah 7-glukosida dan terdapat juga
flavon yang terikat pada gula melalui ikatan karbon-karbon. Contohnya
luteolin 8-C-glikosida.
c. Isoflavon
Isoflavon (3) merupakan isomer flavon, tetapi jumlahnya sangat
sedikit dan sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk
dalam tumbuhan sebagai pertahanan terhadap serangan penyakit.
Isoflavon sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi
10
O
(4) (5) (6)
(7) (8)
12
O
CH
O
(9) (10)
Antioksidan
Radikal stabil
antioksidan sampel. Kontrol positif ini dapat berupa tokoferol, BHT, dan
vitamin C. Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan
2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH) sebagai radikal bebas. Prinsipnya
adalah reaksi penangkapan hidrogen oleh DPPH dari senyawa antioksidan,
misalnya troloks, yang mengubahnya menjadi 2,2-difenil-1-pikrilhidrazin
(Ohtani, 2000).
Absorbansi DPPH diukur dengan spektrometer sinar tampak pada
panjang gelombang 515 nm. Kemampuan antioksidan diukur sebagai
penurunan serapan larutan DPPH akibat adanya penambahan sampel. Nilai
serapan larutan DPPH sebelum dan sesudah penambahan ekstrak tersebut
dihitung sebagai persen inhibisi (% inhibisi) dengan rumus sebagai
berikut:
Ablanko - Asampel
% Inhibisi = x 100%
Ablanko
Keterangan :
Ablanko = Absorbansi larutan DPPH
Asampel = Absorbansi sampel (DPPH dan senyawa hasil isolasi)
Selanjutnya nilai dari % inhibisi ini digunakan dalam perhitungan
IC50. IC50 adalah besarnya konsentrasi senyawa penangkap radikal bebas
untuk meredam 50% radikal bebas. Nilai IC50 diperoleh dari nilai
persamaan regresi linear yang menyatakan hubungan antara konsentrasi
sampel (senyawa uji) x dengan aktifitas penangkap radikal bebas rata-rata
atau % inhibisi, y.
y = ax + b
Nilai IC50 yakni konsentrasi sampel (x) pada saat persentase inhibisi
(y) adalah 50 selanjutnya dapat diperoleh. Semakin kecil nilai IC50 maka
senyawa uji tersebut mempunyai keefektifan sebagai penangkap radikal
bebas yang baik (Molyneux, 2004).
16
dilakukan pada titik didih pelarut tersebut, selama waktu tertentu dan sejumlah
pelarut tertentu dengan adanya pendingin balik (kondensor). Umumnya
dilakukan tiga sampai lima kali pengulangan proses pada residu pertama.
Ekstraksi dengan alat Soxhlet merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu
baru, umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
konstan dengan adanya pendingin balik (kondensor). Digesti merupakan
maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) yang dilakukan pada suhu
lebih tinggi dari suhu ruangan, secara umum dilakukan pada suhu 40C
50C. Infusa merupakan proses ekstraksi dengan merebus sampel (khususnya
simplisia) pada suhu 900C (Ditjen POM, 2000).
cara basah dilakukan dengan melarutkan fase diam dalam fase gerak yang
akan digunakan. Campuran kemudian dimasukkan ke dalam kolom dan
dibuat merata. Fase gerak dibiarkan mengalir hingga terbentuk lapisan fase
diam yang tetap dan rata, kemudian aliran dihentikan.
Preparasi fase diam dengan cara kering dilakukan dengan cara
memasukkan fase diam yang digunakan ke dalam kolom kromatografi.
Fase diam tersebut selanjutnya dibasahi dengan pelarut yang akan
digunakan
Preparasi sampel saat akan dielusi dengan KKVC juga terdiri cara
basah dan cara kering. Preparasi sampel cara basah dilakukan dengan
melarutkan sampel dalam pelarut yang akan digunakan sebagai fase gerak
dalam KKVC. Larutan dimasukkan dalam kolom kromatografi yang telah
terisi fase diam. Bagian atas dari sampel ditutupi kembali dengan fase
diam yang sama. Sedangkan cara kering dilakukan dengan mencampurkan
sampel dengan sebagian kecil fase diam yang akan digunakan hingga
terbentuk serbuk. Campuran tersebut diletakkan dalam kolom yang telah
terisi dengan fase diam dan ditutup kembali dengan fase diam yang sama
(Samsul Muarip, 2012).
3. Kromatografi Kolom Gravitasi (KKG)
Kromatografi kolom termasuk kromatografi serapan yang sering
disebut kromatografi elusi, karena senyawa yang akan terpisah akan
terelusi dari kolom. Kolom kromatografi dapat berupa pipa gelas yang
dilengkapi dengan kran dan gelas penyaring di dalamnya. Ukuran kolom
tergantung pada banyaknya zat yang akan dipisahkan. Untuk menahan
penyerap yang diletakkan di dalam kolom dapat digunakan glass woll atau
kapas (Hardjono Sastrohamidjojo, 1985).
Kromatografi kolom dan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada
prinsipnya hampir sama. Apabila suatu cuplikan yang merupakan
campuran dari beberapa komponen dimasukkan melalui bagian atas
kolom, maka komponen yang diserap lemah oleh adsorben akan keluar
20
lebih cepat bersama eluen, sedangkan komponen yang diserap kuat akan
keluar lebih lama.
Sampel yang mengandung campuran senyawa dituangkan ke bagian
atas dari kolom, kemudian dielusi dengan pelarut sebagai fase gerak.
Setiap senyawa/komponen dalam campuran akan didorong oleh fase gerak
dan sekaligus ditahan oleh fase diam. Kekuatan senyawa ditahan oleh fase
diam akan berbeda dengan senyawa lainnya (Hardjono Sastrohamidjojo,
1985).
Adapun cara kerja dari kromatografi kolom adalah yang pertama
mengemas kolom (packing) yang dilakukan dengan hati-hati agar
dihasilkan kolom kemas yang serba sama atau homogen. Selanjutnya
langkah kedua menempatkan cuplikan pada bagian atas kolom sehingga
terbentuk pita yang siap untuk dielusi lebih lanjut. Cuplikan harus
dilarutkan dalam pelarut dengan volume sedikit. Pelarut yang dipakai
harus sama dengan pelarut untuk mengelusi (Markham, 1988).
F. Spektroskopi
1. Spektroskopi Infra Merah (IR)
Identifikasi awal dalam penentuan struktur suatu senyawa dapat
dilihat dari serapan gugus fungsi hasil analisis inframerah. Setiap senyawa
akan memberikan serapan yang khas pada rentang panjang gelombang
tertentu. Spektrum inframerah suatu senyawa dapat dengan mudah
diperoleh dalam beberapa menit. Sedikit sampel senyawa diletakkan
dalam instrument dengan sumber radiasi inframerah. Spektrometer secara
otomatis membaca sejumlah radiasi yang menembus sampel dengan
kisaran frekuensi tertentu dan merekam pada kertas berapa persen radiasi
yang ditransmisikan. Radiasi yang diserap oleh molekul muncul sebagai
pita pada spektrum (Wilbraham, et al., 2003).
Skala dasar pada spektra adalah bilangan gelombang, yang berkurang
dari 4000 cm-1 ke sekitar 670 cm-1 atau lebih rendah. Pita-pita inframerah
dalam sebuah spektrum dapak dikelompokkan menurut intensitasnya kuat
(s,strong), medium (m), dan lemah (w, weak). Suatu pita lemah yang
21
bertumpang tindih dengan suatu pita kuat disebut bahu (sh, shoulder).
Banyaknya gugus fungsi yang identik dalam sebuah molekul mengubah
kuat relatif pita adsorpsinya dalam suatu spektrum (Fessenden, et al.,
1997).
Penggunaan spektrum inframerah untuk menentukan struktur senyawa
organik biasanya antara 650-4000 cm-1 (15,4-2,5 m) (Sudjadi, 1988).
Pada pemeriksaan spektroskopi inframerah dua daerah penting yang
diperhatikan untuk karakteristik senyawa yaitu daerah gugus fungsi dan
daerah sidik jari. Daerah gugus fungsi adalah daerah 1400-4000 cm-1 (2,5 -
7,7 m. Vibrasi ulur khas untuk gugus fungsi seperti OH, NH dan C=O
terletak pada daerah itu. Sebagai contoh serapan khas untuk gugus
karbonil berada pada daerah 1858-1540 cm-1 (5,4-6,5 m). Pita absorpsi
yang kuat bagi senyawa aromatik dan heteroaromatik berada pada daerah
1600-1300 cm-1. Tidak adanya serapan kuat di daerah 909-650 cm-1
menunjukkan suatu struktur non aromatik. Senyawa-senyawa aromatik
dan heteromatik menunjukkan vibrasi tekuk C-H keluar bidang (out of
plane).
Sedangkan daerah sidik jari terletak antara 900-1400 cm-1 (7,7 11,0
m). Daerah sidik jari adalah khas untuk setiap senyawa. Pita-pita di
daerah ini dihasilkan dari gabungan gerakan tekuk dan ulur dari atom-
atom yang ada dan khas untuk setiap senyawa (Wilbraham, et al., 2003).
Serapan khas beberapa gugus fungsi ditunjukkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Daerah Serapan Inframerah
Daerah
Ikatan Jenis Ikatan Spesifik untuk Ikatan Tampilan
Serapan (cm-1)
C-H Alkil Metil (lentur) 1250-800 Kuat
Metilen (lentur) 1385-1370 Lemah
Metil (regang) 2870-2960 Sedang-kuat
Metilen (regang) 2850-2925 Lemah-sedang
Metin (regang) 2890 lemah
Aromatik Benzena (regang) 3000-3100 Lemah-sedang
C-C Konjugat C=C Semua 1690-1635 Kuat
Aromatik C=C Semua 1450-1525 Lemah-kuat
C=O Aldehid atau Keton Jenuh 1765-1645 Kuat
Aromatik 1710-1685
C-O Alkohol/Eter Semua 1260-1040 Sedang
O-H Alkohol Semua 3650-3200 Lebar
Sumber : Hardjono Sastrohamidjojo (1992)
22
BAB III
METODE PENELITIAN
26
27
C. Prosedur Penelitian
1. Pemurnian Senyawa
Sebanyak 2,7 Kg sampel halus kulit batang tanaman Laban (Vitex
pubescens Vahl.) diekstraksi dengan cara maserasi (perendaman)
menggunakan pelarut metanol selama 2 hari. Kemudian dilakukan
penyaringan sehingga diperoleh ampas dan filtrat. Ampas yang diperoleh
dilakukan maserasi kembali dengan metanol hingga lima kali
pengulangan. Filtrat yang diperoleh kemudian diuapkan pelarutnya
menggunakan rotary evaporator.
Ekstrak metanol kulit batang Laban yang telah diperoleh dipisahkan
lebih lanjut dengan menggunakan KKVC. Kolom yang digunakan adalah
kolom dengan diameter 6 cm dan tinggi 15 cm diisi dengan silika gel 60
hingga ketinggian 2,5 cm. Sebanyak 20 gram sampel dipreadsorbsi dengan
silika gel 60 (70-230 mesh) dengan perbandingan 1:1. Pemisahan
dilakukan dengan menggunakan eluen yang ditingkatkan kepolarannya
secara gradien yang dimulai dari non polar hingga yang polar yaitu heksan
100%, heksan:etilasetat (1:1), Etil 100% dan etilasetat:metanol (9:1)
(Lampiran 1). Hasil KKVC ditampung dalam erlenmeyer yang telah diberi
label huruf dan kemudian dilakukan pengujian KLT dengan penyemprotan
penampak noda serium sulfat.
KLT dilakukan dengan cara menotolkan tiap fraksi pada plat KLT
dengan menggunakan pipa kapiler pada titik yang telah diberi nomor
sesuai dengan nomor erlenmeyer. Selanjutnya dielusi dengan eluen yang
sesuai. Elusi dilakukan dalam chamber hingga batas plat dan kemudian
dikeluarkan. Setelah dikeluarkan dan dibiarkan kering, sampel disemprot
dengan serium sulfat dan dipanaskan diatas hot plate. Dari hasil KKVC,
diperoleh empat fraksi utama yaitu Fraksi A, Fraksi B, Fraksi C, dan
Fraksi D (Lampiran 1).
Fraksi D dipisahkan lebih lanjut menggunakan KKVC dengan
diameter kolom 3 cm dan tinggi 15 cm. Dalam pemisahan ini digunakan
eluen n-heksan, etil asetat dan metanol yang ditingkatkan kepolarannya
28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Pemisahan dan Pemurnian Ekstrak Metanol Kulit Batang Tumbuhan
Laban
Sebanyak 120 gram ekstrak metanol dilakukan pemisahan dan
pemurnian senyawa secara kromatografi kolom, yaitu KKVC dan KKG.
Pemisahan dan pemurnian ekstrak metanol kulit batang Laban diawali
dengan KKVC dengan menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat dan
metanol yang ditingkatkan kepolarannya (Lampiran 1) menjadi 4 macam
sistem eluen yang menghasilkan 4 fraksi utama yaitu Fraksi A D.
Fraksi-fraksi hasil KKVC dimonitor dengan KLT dengan eluen etil asetat
100% dan kemudian disemprot dengan penampak noda serium sulfat
menghasilkan kromatogram dengan noda yang bervariasi (Lampiran 2).
Tabel 4.1 Hasil KKVC Ekstrak Metanol Kulit Batang Laban
No. Nama Fraksi Massa (gram)
1 A 1,2056
2 B 10,2681
3 C 4,587
4 D 31,2927
30
31
fraksi fraksi hasil KKVC, sehingga diperoleh empat fraksi yaitu fraksi
D1 D4.
Tabel 4.2 Hasil Pengelompokkan Fraksi KKVC II
No. Nama Fraksi Nomor vial Massa (gram)
1 D1 14-17 1,0044
2 D2 18-21 7,9456
3 D3 22-26 5,6774
4 D4 27-31 3,0925
b. Spektrum Inframerah
Spektrum inframerah senyawa hasil isolasi dapat dilihat pada
gambar 4.5.
100
%T
90
916.19
2549.89
696.30
2709.99
1029.99
2372.44
503.42
545.85
80
1111.00
1521.84
2852.72
619.15
771.53
1386.82
848.68
70
60
1170.79
1425.40
1246.02
50
1284.59
1674.21
1595.13
40
3448.72
3483.44
30
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
ro 1/cm
Gambar 4.5 Spektrum Inframerah Senyawa Hasil Isolasi
B. PEMBAHASAN
1. Pemisahan dan Pemurnian Ekstrak metanol Kulit Batang Tumbuhan
Laban
Proses awal isolasi senyawa pada kulit batang Laban adalah
pengekstrakan sampel dengan cara maserasi, yakni perendaman sejumlah
sampel dalam pelarut yaitu metanol. Metanol digunakan sebagai pelarut
karena metanol memiliki sifat universal, yaitu mampu mengekstrak semua
komponen yang ada pada sampel. Hal ini dikarenakan ukuran molekul
metanol yang relatif kecil dibandingkan dengan pelarut organik lain,
sehingga metanol mampu masuk ke dalam sel kulit batang Laban dan
membawa semua komponen yang ada di dalamnya mulai dari komponen
yang bersifat non polar, semi polar sampai yang polar. Walaupun
demikian, senyawa-senyawa seperti lignan, selulosa, protein dan lipid
yang terdapat pada kulit batang Laban tidak ikut terbawa oleh metanol
dikarenakan tekanan yang diberikan oleh metanol tidak cukup kuat untuk
mendorong molekul-molekul berukuran besar tersebut.
Pemisahan dan pemurnian ekstrak metanol dilakukan dengan KKVC.
Pemilihan KKVC untuk pemisahan dan pemurnian ekstrak metanol
didasarkan pada massa dan jumlah komponen yang ada dalam ekstrak
36
B
O
A Sinamoil
Benzoil
O
OH
O
OH
OH O
O O
3+
Al
OH O
3+
Al
OH O O O
OH 3+ O
Al
(a) (b)
Gambar 4.11 (a) Struktur Isoflavon Tersubstitusi OH dengan Posisi
Orto. (b) Kompleks Antara Ion Aluminium dengan
Gugus Hidroksi Bertetangga (Posisi Orto)
Berdasarkan hasil pengukuran dengan spektrofotometer IR dan
UV-Vis dengan penambahan berbagai pereaksi geser, diperoleh bahwa
senyawa hasil isolasi diduga memiliki kerangka dasar isoflavon
tersubstitusi OH pada C-5, C-3dan C-4
O
OH
OH O
OH
b. Spektrum Inframerah
Pengukuran spektrum inframerah bertujuan untuk mengetahui
gugus fungsi yang terdapat pada senyawa hasil isolasi. Spektrum
inframerah senyawa hasil isolasi (Gambar 4.2) memperlihatkan
bahwa terdapat beberapa gugus fungsi seperti C=C aromatis, hidroksil
(OH), C-O alkohol dan eter dan keton (C=O). Dari data tersebut,
memperkuat dugaan bahwa senyawa hasil isolasi merupakan suatu
senyawa flavonoid yang tersubstitusi gugus OH.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap kulit batang Laban,
maka dapat disimpulkan :
1. Senyawa hasil isolasi sebanyak 145 mg berupa padatan berwarna putih
gading dengan titik leleh 152oC 154 oC.
2. Berdasarkan studi literatur dan analisis spektrum inframerah dan UV-Vis
dengan penambahan pereaksi geser NaOH, AlCl3, dan AlCl3+HCl
menunjukkan bahwa senyawa hasil isolasi merupakan senyawa dengan
kerangka dasar isoflavon yang tersubstitusi gugus OH pada posisi C-5,
C-3dan C-4. Perkiraan kerangka dasar senyawa dapat digambarkan
seperti dibawah ini:
OH
OH O
OH
B. Rekomendasi
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap kulit batang Laban,
peneliti merekomendasikan kulit batang Laban sebagai salah satu sumber
flavonoid yang sangat berpotensi untuk dilakukan isolasi lebih lanjut.
43