Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki kekayaan
alam yang berlimpah. Salah satu kekayaan alam Indonesia adalah kekayaan
hayati. Hutan Indonesia menjadi habitat ribuan flora yang memiliki sejumlah
manfaat bagi manusia khususnya untuk obat-obatan. Ada sekitar 40.000
spesies tumbuhan tersebar di seluruh hutan Indonesia dan sekitar 940 spesies
diantaranya berpotensi sebagai bahan obat-obatan. Tanaman obat yang ada di
Indonesia ini merupakan 90% dari total tanaman obat yang ada di daerah Asia
(Dorly, 2005).
Keanekaragaman tanaman yang ada di Indonesia, menjadikan Indonesia
sebagai penghasil senyawa metabolit sekunder yang banyak memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia. Salah satu daerah Indonesia yang memiliki
sumber daya alam hayati yang berlimpah adalah Provinsi Riau. Kekayaaan
sumber daya alam hayati Provinsi Riau belum banyak dikenal, terlebih dari
segi keanekaragaman bahan kimia yang dikandungnya. Salah satu jenis
tumbuhan yang banyak terdapat di Provinsi Riau adalah Laban (Vitex
pubescens Vahl).
Laban merupakan tanaman dari genus Vitex dan famili Verbenaceae.
Laban tumbuh subur di hutan dan juga biasa ditanam sebagai tanaman
pelindung maupun pagar di sekitar rumah penduduk. Kulit batang tumbuhan
Laban oleh masyarakat lokal digunakan sebagai pemberi aroma pada
pembuatan ikan asap, kayu bakar serta sebagai bahan obat tradisional seperti
obat urticaria, maag, rhinitis dan limpanitis, serta dijadikan obat untuk
penambah stamina dan obat demam (Heyne, 1987).
Kandungan kimia kulit batang Laban yang telah dilaporkan Enih
Rosamah, dkk. (2007) adalah senyawa metabolit sekunder seperti triterpenoid,
steroid, dan flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu senyawa yang sering
diteliti karena senyawa ini memiliki aktivitas biologi yang menguntungkan

1
2

dalam bidang farmasi. Senyawa flavonoid memiliki potensi bioaktivitas


sebagai antioksidan, antimikroba, antikanker, antijamur dan antirayap.
Penelitian menunjukkan bahwa flavonoid jenis tertentu dapat mengurangi
proses penuaan dini yang diakibatkan adanya radikal bebas yang terdapat di
lingkungan (Fouler, et al., 2009).
Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghambat oksidasi
molekul lain. Antioksidan mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang
disebabkan spesies oksigen reaktif, menghambat penyakit degeneratif serta
menghambat peroksidasi lipid pada makanan. Studi menunjukkan bahwa
flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan atau peredam radikal. Senyawa
flavonoid meredam radikal bebas dengan cara menyediakan sisi pengikatan
untuk radikal radikal, seperti gugus OH (Gulcin, et al., 2004).
Ono, et al. (2001) menyebutkan bahwa tumbuhan Vitex trifola
mengandung senyawa-senyawa aktif sebagai antioksidan. Sridahr, et al.
(2005) juga telah melaporkan bahwa tumbuhan Vitex trifola mengandung
senyawa flavonoid yang berguna sebagai antioksidan. Sedangkan pada Vitex
altissima diperoleh senyawa flavonoid dan triterpenoid yang aktif sebagai
antioksidan dan antiinflamasi. Menurut ilmu kemotaksonomi, hubungan
kekerabatan yang dekat antara tanaman Legundi (Vitex trifola) dan tanaman
Milla (Vitex altissima) dengan Laban (Vitex pubescens Vahl.) yang merupakan
famili Verbenaceae dan genus Vitex, memungkinkan tumbuhan Laban
memiliki kandungan kimia yang sama.
Berdasarkan studi literatur dan hasil uji pendahuluan (fitokimia dan
KLT), kulit batang tumbuhan Laban (Vitex pubescens Vahl) berpotensi
mengandung flavonoid. Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya keberadaan senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid,
terpenoid/steroid, fenolat serta saponin pada ekstrak metanol kulit batang
Laban. Dari uji fitokimia, didapatkan hasil kulit batang Laban positif
mengandung flavonoid, terpenoid/steroid dan fenyawa fenolat, sedangkan
untuk saponin adalah negatif. Hasil positif flavonoid ditandai dengan
terbentuknya warna pink hingga merah. Ekstrak metanol kulit batang Laban
3

memberikan hasil fitokimia flavonoid berwarna merah. Ini menunjukkan


bahwa pada ekstrak metanol terdapat senyawa flavonoid. Hasil positif
flavonoid juga diberikan pada uji KLT ekstrak metanol kulit batang Laban
dengan pereaksi penampak noda serium sulfat. Hasil pengujian KLT
memberikan noda berwarna kuning kecokelatan, hal ini mengindikasikan
adanya senyawa flavonoid (Markham, 1988).
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terhadap kandungan flavonoid
pada kulit batang Laban yang diduga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai
antioksidan. Oleh karenanya dilakukanlah isolasi, karakterisasi isolat
menggunakan spektroskopi inframerah dan ultraviolet-visible (UV-Vis)
dengan penambahan berbagai pereaksi geser, serta pengujian aktivitas
antioksidan senyawa flavonoid hasil isolasi dengan metode DPPH.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Senyawa flavonoid dari golongan apakah yang terdapat pada kulit batang
tanaman Laban (Vitex pubescens Vahl)?
2. Bagaimana tingkat aktifitas antioksidan senyawa flavonoid hasil isolasi?
3. Bagaimana kerangka dasar senyawa flavonoid hasil isolasi?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengisolasi senyawa flavonoid pada kulit batang tanaman Laban (Vitex
pubescens Vahl) dengan cara ekstraksi dan pemurnian secara kromatografi
kolom vakum cair (KKVC) dan kromatografi kolom gravitasi (KKG).
2. Menguji aktifitas antioksidan hasil isolasi menggunakan metode DPPH
3. Mengkarakterisasi kerangka dasar senyawa hasil isolasi dengan
spektrometer inframerah dan UV-Vis.
4

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi terbaru mengenai senyawa flavonoid yang terdapat
pada kulit batang tanaman Laban (Vitex pubescens Vahl).
2. Menjadi bahan atau acuan terhadap penelitian selanjutnya baik dari segi
farmakologis maupun ilmu pengetahuan.
3. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang
isolasi senyawa bahan alam yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.

E. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan penjabaran beberapa istilah yang
digunakan dalam penulisan makalah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
kesalahan pemahaman dan perbedaan penafsiran istilah. Adapun beberapa
istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Isolasi adalah proses memisahkan suatu senyawa dari campurannya pada
sampel bahan alam yang dilakukan dengan cara ekstraksi (maserasi) yakni
merendam sampel dalam pelarut yang sesuai dan pemurniannya dengan
menggunakan metode kromatografi kolom.
2. Karakterisasi adalah proses mengidentifikasi atau menentukan struktur
senyawa dengan metode spektroskopi, seperti inframerah dan UV-Vis.
3. Senyawa flavonoid merupakan kelompok senyawa metabolit sekunder
yang mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri atas 15 atom karbon
yang membentuk susunan C6-C3-C6
4. Antioksidan adalah kemampuan suatu senyawa untuk menetralkan radikal
bebas karena senyawa-senyawa tersebut dapat menyediakan spesi untuk
berikatan dengan radikal bebas tersebut, seperti gugus OH pada flavonoid.
5

BAB II
KAJIAN TEORITIS

A. Tumbuhan Laban (Vitex pubescens Vahl)


Tanaman Laban (Vitex pubescens Vahl) dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Lamiales
Famili : Verbenaceae
Genus : Vitex
Spesies : Vitex pubescens Vahl.

Gambar 2.1 Tumbuhan Laban (Vitex pubescens Vahl)

Tanaman Laban ini memiliki beberapa nama daerah diantaranya Laban


tileng dan Kalapapa. Pohonnya bisa mencapai tinggi 3-15 meter dan memiliki
diameter hingga 40 cm. Tekstur kulit retak-retak berwarna abu-abu
kekuningan hingga cokelat pucat. Kelopak daunnya berjumlah 3 atau 5 buah.
Memiliki bunga yang halus berwarna kuning keputihan dan terdapat buah
yang apabila matang berwarna hitam (Farid Wanjaswa, 2010).

5
6

1. Senyawa Kimia dan Aktivitas Farmakologi Genus Vitex


Genus ini mengandung banyak senyawa metabolit sekunder, seperti
yang telah dilaporkan Singh, et al. (1999), diantaranya vitexilacton dan
rotundifuran. Selain itu Gautam, et al. (2008) juga telah berhasil
mengisolasi senyawa flavonoid dari daun dan ranting Vitex negundo Linn
yaitu negundosida, agnusida, vitegnosida, 7,8-dimetil herbasetin-3-
ramnosida.

vitexilacton rotundifuran

O OH
COOCH 3

HO
O
OH O
O OH
OH HO
HO CH3 O
OH
O
HO
HO OH
O

O OH O

negundosida vitegnosida

H3C OH
O

O O

H3C
ORha
OH O

agnusida 7,8-dimetil herbasetin-


3-ramnosida

Selain itu, Padmalatha, et al (2009) melaporkan berbagai kandungan


senyawa aktif tanaman dengan genus ini yang dirangkum dalam tabel 2.1.
7

Tabel 2.1 Kandungan Senyawa Aktif Genus Vitex


Manfaat
Spesies Fitokimia Referensi
medis/ekonomi
Fenilaptalena antibakteri
Leukimia, Kawazole.
V. rotundifolia Polimetoksiflavonoid antikanker dan 2001
antimutagen
Diterpenoid Pengusir nyamuk Ono. 1997
6,7-diasetoksi-13-
hidroksilabda-8,14- Sekresi prolaktin Artz. 2006
dienerotundifuran
Kondo.
Viteksilakton Antioksidan
V. agnus- 1986
castus Asam linoleat Reseptor estrogen Liu. 2004
Wuttke.
Klerodadienol Premenstrual
2003
Hirobe.
Luteolin Penghambat tumor
1997
Lignan Antiinflamasi Ono. 1997
Antiracun Chopra.
V. negundo kalajengking 1956
Naftaledehid
Hosozawa
Antimikroba
. 1974
Kasitisin (3,6,7- Zeng.
Penyembuh luka
trimetilkuersetagetin) 1996
V. trifolia
Luteolin-3-O- -D- Ramesh.
Insektisida
glukoruna 1986

2. Senyawa Kimia dan Aktivitas Farmakologi Tumbuhan Laban (Vitex


pubescens Vahl)
Dari hasil penelitian para peneliti sebelumnya diketahui bahwa
ekstrak metanol kayu Laban memiliki aktivitas antijamur dan antirayap
(Agustina, 2002). Pada penelitian lain, Hendra Prawira, dkk (2012) telah
membuktikan bahwa asap cair dari kayu Laban memiliki bioaktivitas dan
dapat digunakan sebagai bahan pengawet kayu dari serangan Rayap Tanah
(C. Curhignatus Holmgren).
8

Selain itu, Rita Rakhmawati (2006) juga telah berhasil mengisolasi


senyawa yang mempunyai kerangka kumarin dengan substitusi metoksi
pada C-3, asetil pada C-7, dan adanya gugus OH. Senyawa hasil isolasi ini
telah diuji efek sitotoksiknya terhadap tiga cell line yaitu sel HeLa,
Mieloma dan SiHa. Dan hasilnya adalah senyawa tersebut memiliki efek
sitotoksik terbesar pada sel Mieloma in vitro.

B. Flavonoid
1. Struktur Dasar Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenolik terbesar yang
ditemukan di alam dan berasal dari tumbuhan tingkat tinggi. Flavonoid
mempunyai kerangka dasar dengan 15 atom karbon, dimana dua cincin
benzen (C6) terikat pada satu rantai propan (C3) sehingga membentuk
suatu susunan (C6-C3-C6) dengan struktur 1,3-diarilpropana. Dari kerangka
ini flavonoid dapat di bagi menjadi 3 struktur dasar yaitu flavonoid,
isoflavonoid, dan neoflavonoid.

Gambar 2.2 Kerangka Dasar Flavonoid

Kerangka dasar karbon pada flavonoid merupakan kombinasi antara


jalur sikhimat dan jalur asetat-malonat yang merupakan dua jalur utama
biosintesis cincin aromatik. Cincin A dari struktur flavonoid berasal dari
jalur poliketida (jalur asetat-malonat), yaitu kondensasi tiga unit asetat
atau malonat, sedangkan cincin B dan tiga atom karbon dari rantai propan
berasal dari jalur fenilpropanoid (jalur sikhimat) (Sjamsul Arifin Achmad,
1985)
9

2. Klasifikasi Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa yang mengandung sistem aromatik
yang terkonjugasi sehingga menunjukkan pita serapan kuat pada daerah
spektrum sinar ultraviolet dan spektrum sinar tampak. Umumnya
flavonoid dalam tumbuhan terikat pada gula yang disebut dengan
glikosida (Harborne, 1996).
Menurut Robinson (1995), flavonoid dapat dikelompokkan
berdasarkan keragaman pada rantai C3 menjadi 10 golongan yaitu:
a. Flavonol
Flavonol (1) paling sering terdapat sebagai glikosida, biasanya 3-
glikosida, dan aglikon flavonol yang umum yaitu kamferol, kuersetin,
dan mirisetin yang berkhasiat sebagai antioksidan dan antiimflamasi.
Flavonol lain yang terdapat di alam bebas kebanyakan merupakan
variasi struktur sederhana dari flavonol. Larutan flavonol dalam
suasana basa dioksidasi oleh udara tetapi tidak begitu cepat sehingga
penggunaan basa pada pengerjaannya masih dapat dilakukan.
b. Flavon
Flavon (2) berbeda dengan flavonol dimana pada flavon tidak
terdapat gugusan 3-hidroksi. Hal ini mempunyai serapan UV-nya,
gerakan kromatografi, serta reaksi warnanya. Flavon terdapat juga
sebagai glikosidanya lebih sedikit dari pada jenis glikosida pada
flavonol. Flavon yang paling umum dijumpai adalah apigenin dan
luteolin. Luteolin merupakan zat warna yang pertama kali dipakai di
Eropa. Jenis yang paling umum adalah 7-glukosida dan terdapat juga
flavon yang terikat pada gula melalui ikatan karbon-karbon. Contohnya
luteolin 8-C-glikosida.
c. Isoflavon
Isoflavon (3) merupakan isomer flavon, tetapi jumlahnya sangat
sedikit dan sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk
dalam tumbuhan sebagai pertahanan terhadap serangan penyakit.
Isoflavon sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi
10

warna manapun. Beberapa isoflavon (misalnya daidzein) memberikan


warna biru muda cemerlang dengan sinar UV bila diuapi amonia,
tetapi kebanyakan yang lain tampak sebagai bercak lembayung yang
pudar dengan amonia berubah menjadi coklat.
d. Flavanon
Flavanon (4) terdistribusi luas di alam. Flavanon terdapat di dalam
kayu, daun dan bunga. Flavanon glikosida merupakan konstituen
utama dari tanaman genus prenus dan buah jeruk; dua glikosida yang
paling lazim adalah neringenin dan hesperitin, terdapat dalam buah
anggur dan jeruk.
e. Flavanonol
Flavanonol (5) ini berkhasiat sebagai antioksidan dan hanya
terdapat sedikit sekali jika dibandingkan dengan flavonoid lain.
Sebagian besar senyawa ini diabaikan karena konsentrasinya rendah
dan tidak berwarna.
f. Katekin
Katekin (6) terdapat pada seluruh dunia tumbuhan, terutama pada
tumbuhan berkayu. Senyawa ini mudah diperoleh dalam jumlah besar
dari ekstrak kental Uncaria gambir dan daun teh kering yang
mengandung kira-kira 30% senyawa ini. Katekin berkhasiat sebagai
antioksidan.
g. Leukoantosianidin
Leukoantosianidin (7) merupakan senyawa tan warna, terutama
terdapat pada tumbuhan berkayu. Senyawa ini jarang terdapat sebagai
glikosida, contohnya melaksidin, apiferol.
h. Antosianin
Antosianin (8) merupakan pewarna yang paling penting dan paling
tersebar luas dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut
dalam air ini adalah penyebab hampir semua warna merah jambu,
merah marak , ungu, dan biru dalam daun, bunga, dan buah pada
tumbuhan tinggi. Secara kimia semua antosianin merupakan turunan
11

suatu struktur aromatik tunggal yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk


dari pigmen sianidin ini dengan penambahan atau pengurangan gugus
hidroksil atau dengan metilasi atau glikosilasi.
i. Khalkon
Khalkon (9) adalah pigmen fenol kuning yang berwarna coklat
kuat dengan sinar UV bila dikromatografi kertas. Aglikon flavon dapat
dibedakan dari glikosidanya, karena hanya pigmen dalam bentuk
glikosida yang dapat bergerak pada kromatografi kertas dalam
pengembang air (Harborne, 1996).
j. Auron
Auron (10) berupa pigmen kuning emas yang terdapat dalam
bunga tertentu dan briofita. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna
merah ros dan tampak pada kromatografi kertas berupa bercak kuning,
dengan sinar ultraviolet warna kuning kuat berubah menjadi merah
jingga bila diberi uap amonia (Robinson, 1995).

(1) (2) (3)

O
(4) (5) (6)

(7) (8)
12

O
CH

O
(9) (10)

Gambar 2.3 Struktur Klasifikasi Flavonoid


C. Antioksidan
1. Pengertian Antioksidan
Antioksidan adalah substansi yang menetralkan radikal bebas karena
senyawa-senyawa tersebut mengorbankan dirinya agar teroksidasi
sehingga sel-sel yang lainnya dapat terhindar dari radikal bebas ataupun
melindungi sel dari efek berbahaya radikal bebas. Antioksidan
merupakan senyawa yang mampu menunda, memperlambat atau
menghambat reaksi oksidasi pada makanan maupun obat dimana senyawa-
senyawa tersebut mudah teroksidasi sehingga sel-sel lain terhindar dari
radikal bebas (Sunarni, 2005).
Zat ini secara nyata mampu memperlambat atau menghambat oksidasi
zat yang mudah teroksidasi meskipun dalam konsentrasi rendah.
Komponen kimia yang berperan sebagai antioksidan adalah senyawa
golongan fenolik dan polifenolik. Senyawa-senyawa golongan tersebut
banyak terdapat di alam, terutama pada tumbuh-tumbuhan, dan memiliki
kemampuan untuk menangkap radikal bebas. Antioksidan yang banyak
ditemukan pada bahan pangan, antara lain vitamin E, vitamin C, dan
karotenoid (Ozyurt, 2005).
2. Radikal Bebas
Radikal bebas adalah merupakan atom atau gugus atom apa saja yang
memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan pada orbital paling luar,
termasuk atom hidrogen, logam-logam unsur transisi maupun molekul
oksigen. Karena jumlah elektron ganjil, maka tidak semua elektron dapat
berpasangan sehingga bersifat sangat reaktif. Radikal bebas ini ada yang
bermuatan positif (kation), negatif (anion) dan adapula yang tidak
bermuatan (Halliwell, et al., 2000).
13

Sumber radikal bebas dapat berasal dari proses metabolisme tubuh


(internal) dan adapula yang berasal dari luar tubuh (eksternal). Radikal
bebas yang berasal dalam tubuh diantaranya: superoksida (O2*), hidroksil
(*OH), peroksil (ROO*), hidrogen peroksida (H2O2), oksida nitril (NO),
dan peroksinitrit (ONOO*). Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh
antara lain berasal dari asap rokok,polusi, radiasi, sinar UV, obat,
pestisida, limbah industri dan ozon. Radikal bebas merupakan merupakan
agen pengoksidasi kuat yang dapat merusak sistem pertahanan tubuh
dengan akibat kerusakan sel dan penuaan dini karena elektron yang tidak
berpasangan selalu mencari pasangan elektron dalam makromolekul
biologi.
3. Klasifikasi Antioksidan
Berdasarkan sumbernya, antioksidan dikelompokkan menjadi
antioksidan alami dan sintetik. Antioksidan alami adalah antioksidan yang
merupakan hasil dari ekstraksi bahan alami. Antioksidan alami dapat
ditemukan pada sayuran, buah-buahan, dan tumbuhan berkayu.
Tumbuhan-tumbuhan ini mengandung senyawa metabolit sekunder seperti
golongan alkaloid, flavonoid, saponin, kuinon, tanin, steroid/ triterpenoid.
Beberapa antioksidan alami antara lain alfa tokoferol (vitamin E), beta
karoten, dan asam askorbat (vitamin C)
Quezada (dalam Hetiny Muthia Rahmy, 2011) menyatakan bahwa
fraksi alkaloid pada daun Peumus boldus dapat berperan sebagai
antioksidan. Zin (dalam Hetiny Muthia Rahmy, 2011) menyatakan bahwa
golongan senyawa yang aktif sebagai antioksidan pada batang, buah, dan
daun mengkudu berasal dari golongan flavonoid. Gingseng yang berperan
sebagai antioksidan, antidiabetes, antihepatitis, antistres, dan
antineoplastik, mengandung saponin glikosida (steroid glikosida). Uji
aktivitas antioksidan yang dilakukan pada daun Ipomea pescaprae
menunjukkan keberadaan senyawa kuinon, kumarin, dan furanokumarin.
Tanin yang banyak terdapat pada teh dipercaya memiliki aktivitas
antioksidan yang tinggi. Sementara itu, Iwalokum (dalam Hetiny Muthia
14

Rahmy, 2011) menyatakan bahwa Pleurotus ostreatus yang mengandung


triterpenoid, tanin, dan sterois glikosida dapat berperan sebagai
antioksidan dan antimikroba.
Sedangkan antioksidan sintetik adalah antioksidan yang diperoleh dari
hasil reaksi kimia. Beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan
penggunaannya untuk makanan, yaitu butil hidroksi anisol (BHA), butil
hidroksi toluen (BHT), propil galat, tert-butil hidoksi quinon (TBHQ), dan
tokoferol. Antioksidan-antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami
yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial.
4. Uji Aktivitas Antioksidan
Salah satu metode yang digunakan untuk pengujian aktivitas
antioksidan adalah diphenylpicrilhydrazyl (DPPH) free radical scavenging
assay. Metode ini didasarkan pada kemampuan antioksidan untuk
menghambat radikal bebas dengan mendonorkan atom hidrogen, sehingga
DPPH akan berubah menjadi diphenylpicrilhydrazine yang bersifat non
radikal. Senyawa yang bereaksi sebagai penangkap radikal bebas akan
mereduksi DPPH ketika elektron ganjil dari radikal DPPH berpasangan
dengan hidrogen dari senyawa penangkap radikal bebas membentuk
senyawa DPPH-H tereduksi (DPP Hidrazin yang stabil) (Molyneux, 2004)

Antioksidan
Radikal stabil

DPPH DPP Hidrazin


H
Gambar 2.4. Reaksi DPPH dengan Senyawa Antioksidan

Perubahan warna ungu DPPH menjadi kuning dimanfaatkan untuk


mengetahui aktivitas senyawa antioksidan. Metode ini menggunakan
kontrol positif sebagai pembanding untuk mengetahui aktivitas
15

antioksidan sampel. Kontrol positif ini dapat berupa tokoferol, BHT, dan
vitamin C. Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan
2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH) sebagai radikal bebas. Prinsipnya
adalah reaksi penangkapan hidrogen oleh DPPH dari senyawa antioksidan,
misalnya troloks, yang mengubahnya menjadi 2,2-difenil-1-pikrilhidrazin
(Ohtani, 2000).
Absorbansi DPPH diukur dengan spektrometer sinar tampak pada
panjang gelombang 515 nm. Kemampuan antioksidan diukur sebagai
penurunan serapan larutan DPPH akibat adanya penambahan sampel. Nilai
serapan larutan DPPH sebelum dan sesudah penambahan ekstrak tersebut
dihitung sebagai persen inhibisi (% inhibisi) dengan rumus sebagai
berikut:

Ablanko - Asampel
% Inhibisi = x 100%
Ablanko

Keterangan :
Ablanko = Absorbansi larutan DPPH
Asampel = Absorbansi sampel (DPPH dan senyawa hasil isolasi)
Selanjutnya nilai dari % inhibisi ini digunakan dalam perhitungan
IC50. IC50 adalah besarnya konsentrasi senyawa penangkap radikal bebas
untuk meredam 50% radikal bebas. Nilai IC50 diperoleh dari nilai
persamaan regresi linear yang menyatakan hubungan antara konsentrasi
sampel (senyawa uji) x dengan aktifitas penangkap radikal bebas rata-rata
atau % inhibisi, y.
y = ax + b
Nilai IC50 yakni konsentrasi sampel (x) pada saat persentase inhibisi
(y) adalah 50 selanjutnya dapat diperoleh. Semakin kecil nilai IC50 maka
senyawa uji tersebut mempunyai keefektifan sebagai penangkap radikal
bebas yang baik (Molyneux, 2004).
16

D. Teknik Isolasi Senyawa Bahan Alam


Isolasi senyawa bahan alam menggunakan cara ekstraksi. Ekstraksi
adalah proses pemisahan suatu zat berdasarkan kelarutan suatu komponen
dalam pelarut yang digunakan. Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan
kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak
dapat larut dengan pelarut cair. Hasil dari ekstraksi disebut ekstrak. Ekstraksi
bermanfaat untuk memisahkan campuran senyawa dengan berbagai sifat kimia
yang berbeda (Sudjadi, 1986).
Ekstraksi dapat dibedakan menjadi ekstraksi dingin dan ekstraksi dengan
pemanasan. Metoda ini artinya tidak ada proses pemanasan selama proses
ekstraksi berlangsung, tujuannya untuk menghindari senyawa yang dimaksud
rusak karena pemanasan. Ekstraksi cara dingin terdiri atas maserasi dan
perkolasi. Maserasi merupakan proses ekstraksi menggunakan pelarut diam
atau dengan beberapa kali pengocokan pada suhu ruangan. Pada dasarnya
metoda ini dengan cara merendam sampel dengan sekali-sekali dilakukan
pengocokan. Umumnya perendaman dilakukan 24 jam dan selanjutnya pelarut
diganti dengan pelarut baru. Maserasi biasanya menggunakan pelarut organik,
misalnya metanol. Metanol banyak digunakan dalam proses maserasi karena
metanol memiliki ukuran yang kecil, sehingga dapat masuk ke dalam vakuola
sel tanaman dan mengeluarkan seluruh isi vakuola tersebut (Handa, et al.,
2008).
Sedangkan perkolasi merupakan ekstraksi dengan menggunakan pelarut
yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya
dilakukan pada suhu ruangan. Prosesnya terdiri dari tahap pengembangan
bahan selanjutnya pelarut (baru) dilalukan (ditetes-teteskan) secara terus
menerus sampai warna pelarut tidak lagi berwarna atau tetap bening yang
artinya sudah tidak ada lagi senyawa yang terlarut.
Ekstraksi cara panas melibatkan panas dalam prosesnya. Dengan adanya
panas secara otomatis akan mempercepat proses penyarian dibandingkan cara
dingin. Adapun yang termasuk ekstraksi cara panas antara lain refluks, digesti,
infusa dan ekstraksi soxhlet. Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut yang
17

dilakukan pada titik didih pelarut tersebut, selama waktu tertentu dan sejumlah
pelarut tertentu dengan adanya pendingin balik (kondensor). Umumnya
dilakukan tiga sampai lima kali pengulangan proses pada residu pertama.
Ekstraksi dengan alat Soxhlet merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu
baru, umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
konstan dengan adanya pendingin balik (kondensor). Digesti merupakan
maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) yang dilakukan pada suhu
lebih tinggi dari suhu ruangan, secara umum dilakukan pada suhu 40C
50C. Infusa merupakan proses ekstraksi dengan merebus sampel (khususnya
simplisia) pada suhu 900C (Ditjen POM, 2000).

E. Metode Pemurnian Senyawa


Kromatografi adalah suatu metode analitik untuk pemurnian dan
pemisahan senyawa-senyawa organik dan anorganik. Kromatografi
bermanfaat sebagai cara untuk menguraikan suatu campuran senyawa. Dalam
kromatografi, komponen-komponen terdistribusi dalam dua fase yakni fase
diam dan fase gerak. Fase diam dapat berupa zat cair atau padat sedangkan
fase gerak dapat berupa gas atau cairan (Khopkar, 1990).
Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran yang didasarkan atas
perbedaan distribusi dari komponen-komponen campuran tersebut diantara
dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Bila fase diam berupa zat padat yang
aktif, dikenal dengan istilah kromatografi adsorbsi. Sedangkan bila fase diam
berupa zat cair, maka disebut kromatografi partisi.
Kromatografi secara garis besar dapat dibedakan menjadi kromatografi
kolom dan kromatografi planar. Kromatografi kolom terdiri atas kromatografi
gas dan kromatografi cair. Sedangkan kromatografi planar terdiri dari
kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas (Chairil Anwar, 1994).
1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis adalah suatu metode pemisahan yang
menggunakan plat atau lempeng kaca yang sudah dilapiskan adsorben
yang bertindak sebagai fase diam. Fase bergerak keatas sepanjang fase
18

diam dan terbentuklah kromatogram. Metode ini sederhana, cepat dalam


pemisahan dan sensitif (Khopkar, 1990).
Pada prinsipnya KLT dilakukan berdasarkan pada penggunaan fase
diam untuk menghasilkan pemisahan yang lebih baik. Fase diam yang
biasa digunakan dalam KLT adalah serbuk silika gel, alumina, dan
selulosa (Harbone, 1987).
Adapun cara kerja dari KLT yakni larutan cuplikan sekitar 1%
diteteskan dengan pipet mikro atau pipa kapiler pada jarak 1-2 cm dari
batas plat. Setelah eluen atau pelarut menguap, plat siap untuk dielusi
dengan fase gerak (eluen) yang sesuai. Selanjutnya plat diangkat dan
didiamkan pada suhu kamar untuk menguapkan sisa eluen. Noda pada plat
dapat diamati secara langsung dengan menggunakan lampu UV atau
dengan menggunakan pereaksi semprot penampak warna. Setelah noda
dikembangkan dan divisualisasikan, identitas noda dinyatakan dengan
harga Rf (retardation factor) (Chairil Anwar, 1994).
Data yang diperoleh dari analisis dengan KLT adalah nilai Rf, nilai Rf
berguna untuk identifikasi suatu senyawa. Nilai Rf suatu senyawa dalam
sampel dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa murni. Nilai Rf
didefinisikan sebagai perbandingan jarak yang ditempuh oleh senyawa
pada permukaan fase diam dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut
sebagai fase gerak (Adam Wiryawan, 2011).
2. Kromatografi Kolom Vakum Cair (KKVC)
Kromatografi kolom vakum cair (KKVC) merupakan salah satu
metode fraksinasi yaitu dengan memisahkan crude extract menjadi fraksi-
fraksinya yang lebih sederhana. Pemisahan tersebut memanfaatkan kolom
yang berisi fase diam dan aliran fase geraknya dibantu dengan pompa
vakum. Fase diam yang digunakan dapat berupa silika gel atau alumunium
oksida.
Fase diam yang digunakan dikemas dalam kolom yang digunakan
dalam KKVC. Proses penyiapan fase diam dalam kolom terbagi menjadi
dua macam, yaitu cara basah dan cara kering. Preparasi fase diam dengan
19

cara basah dilakukan dengan melarutkan fase diam dalam fase gerak yang
akan digunakan. Campuran kemudian dimasukkan ke dalam kolom dan
dibuat merata. Fase gerak dibiarkan mengalir hingga terbentuk lapisan fase
diam yang tetap dan rata, kemudian aliran dihentikan.
Preparasi fase diam dengan cara kering dilakukan dengan cara
memasukkan fase diam yang digunakan ke dalam kolom kromatografi.
Fase diam tersebut selanjutnya dibasahi dengan pelarut yang akan
digunakan
Preparasi sampel saat akan dielusi dengan KKVC juga terdiri cara
basah dan cara kering. Preparasi sampel cara basah dilakukan dengan
melarutkan sampel dalam pelarut yang akan digunakan sebagai fase gerak
dalam KKVC. Larutan dimasukkan dalam kolom kromatografi yang telah
terisi fase diam. Bagian atas dari sampel ditutupi kembali dengan fase
diam yang sama. Sedangkan cara kering dilakukan dengan mencampurkan
sampel dengan sebagian kecil fase diam yang akan digunakan hingga
terbentuk serbuk. Campuran tersebut diletakkan dalam kolom yang telah
terisi dengan fase diam dan ditutup kembali dengan fase diam yang sama
(Samsul Muarip, 2012).
3. Kromatografi Kolom Gravitasi (KKG)
Kromatografi kolom termasuk kromatografi serapan yang sering
disebut kromatografi elusi, karena senyawa yang akan terpisah akan
terelusi dari kolom. Kolom kromatografi dapat berupa pipa gelas yang
dilengkapi dengan kran dan gelas penyaring di dalamnya. Ukuran kolom
tergantung pada banyaknya zat yang akan dipisahkan. Untuk menahan
penyerap yang diletakkan di dalam kolom dapat digunakan glass woll atau
kapas (Hardjono Sastrohamidjojo, 1985).
Kromatografi kolom dan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada
prinsipnya hampir sama. Apabila suatu cuplikan yang merupakan
campuran dari beberapa komponen dimasukkan melalui bagian atas
kolom, maka komponen yang diserap lemah oleh adsorben akan keluar
20

lebih cepat bersama eluen, sedangkan komponen yang diserap kuat akan
keluar lebih lama.
Sampel yang mengandung campuran senyawa dituangkan ke bagian
atas dari kolom, kemudian dielusi dengan pelarut sebagai fase gerak.
Setiap senyawa/komponen dalam campuran akan didorong oleh fase gerak
dan sekaligus ditahan oleh fase diam. Kekuatan senyawa ditahan oleh fase
diam akan berbeda dengan senyawa lainnya (Hardjono Sastrohamidjojo,
1985).
Adapun cara kerja dari kromatografi kolom adalah yang pertama
mengemas kolom (packing) yang dilakukan dengan hati-hati agar
dihasilkan kolom kemas yang serba sama atau homogen. Selanjutnya
langkah kedua menempatkan cuplikan pada bagian atas kolom sehingga
terbentuk pita yang siap untuk dielusi lebih lanjut. Cuplikan harus
dilarutkan dalam pelarut dengan volume sedikit. Pelarut yang dipakai
harus sama dengan pelarut untuk mengelusi (Markham, 1988).
F. Spektroskopi
1. Spektroskopi Infra Merah (IR)
Identifikasi awal dalam penentuan struktur suatu senyawa dapat
dilihat dari serapan gugus fungsi hasil analisis inframerah. Setiap senyawa
akan memberikan serapan yang khas pada rentang panjang gelombang
tertentu. Spektrum inframerah suatu senyawa dapat dengan mudah
diperoleh dalam beberapa menit. Sedikit sampel senyawa diletakkan
dalam instrument dengan sumber radiasi inframerah. Spektrometer secara
otomatis membaca sejumlah radiasi yang menembus sampel dengan
kisaran frekuensi tertentu dan merekam pada kertas berapa persen radiasi
yang ditransmisikan. Radiasi yang diserap oleh molekul muncul sebagai
pita pada spektrum (Wilbraham, et al., 2003).
Skala dasar pada spektra adalah bilangan gelombang, yang berkurang
dari 4000 cm-1 ke sekitar 670 cm-1 atau lebih rendah. Pita-pita inframerah
dalam sebuah spektrum dapak dikelompokkan menurut intensitasnya kuat
(s,strong), medium (m), dan lemah (w, weak). Suatu pita lemah yang
21

bertumpang tindih dengan suatu pita kuat disebut bahu (sh, shoulder).
Banyaknya gugus fungsi yang identik dalam sebuah molekul mengubah
kuat relatif pita adsorpsinya dalam suatu spektrum (Fessenden, et al.,
1997).
Penggunaan spektrum inframerah untuk menentukan struktur senyawa
organik biasanya antara 650-4000 cm-1 (15,4-2,5 m) (Sudjadi, 1988).
Pada pemeriksaan spektroskopi inframerah dua daerah penting yang
diperhatikan untuk karakteristik senyawa yaitu daerah gugus fungsi dan
daerah sidik jari. Daerah gugus fungsi adalah daerah 1400-4000 cm-1 (2,5 -
7,7 m. Vibrasi ulur khas untuk gugus fungsi seperti OH, NH dan C=O
terletak pada daerah itu. Sebagai contoh serapan khas untuk gugus
karbonil berada pada daerah 1858-1540 cm-1 (5,4-6,5 m). Pita absorpsi
yang kuat bagi senyawa aromatik dan heteroaromatik berada pada daerah
1600-1300 cm-1. Tidak adanya serapan kuat di daerah 909-650 cm-1
menunjukkan suatu struktur non aromatik. Senyawa-senyawa aromatik
dan heteromatik menunjukkan vibrasi tekuk C-H keluar bidang (out of
plane).
Sedangkan daerah sidik jari terletak antara 900-1400 cm-1 (7,7 11,0
m). Daerah sidik jari adalah khas untuk setiap senyawa. Pita-pita di
daerah ini dihasilkan dari gabungan gerakan tekuk dan ulur dari atom-
atom yang ada dan khas untuk setiap senyawa (Wilbraham, et al., 2003).
Serapan khas beberapa gugus fungsi ditunjukkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Daerah Serapan Inframerah
Daerah
Ikatan Jenis Ikatan Spesifik untuk Ikatan Tampilan
Serapan (cm-1)
C-H Alkil Metil (lentur) 1250-800 Kuat
Metilen (lentur) 1385-1370 Lemah
Metil (regang) 2870-2960 Sedang-kuat
Metilen (regang) 2850-2925 Lemah-sedang
Metin (regang) 2890 lemah
Aromatik Benzena (regang) 3000-3100 Lemah-sedang
C-C Konjugat C=C Semua 1690-1635 Kuat
Aromatik C=C Semua 1450-1525 Lemah-kuat
C=O Aldehid atau Keton Jenuh 1765-1645 Kuat
Aromatik 1710-1685
C-O Alkohol/Eter Semua 1260-1040 Sedang
O-H Alkohol Semua 3650-3200 Lebar
Sumber : Hardjono Sastrohamidjojo (1992)
22

Inti-inti atom yang terikat oleh ikatan kovalen mengalami getaran


(vibrasi) atau osilasi. Jika suatu molekul atau senyawa menyerap radiasi
inframerah, energi yang diserap menyebabkan kenaikan dalam amplitudo
getaran atom-atom yang terikat dan terjadinya perubahan vibrasi. Jadi
molekul atau senyawa tersebut dikatakan berada dalam keadaan vibrasi
tereksitasi (Fessenden, et al., 1997). Energi dari kebanyakan vibrasi
molekul berhubungan dengan daerah inframerah.
2. Spektroskopi Ultraviolet-Visible (UV-Vis)
Prinsip dasar dari spektroskopi UV-Vis adalah penyerapan sinar
ultraviolet atau tampak oleh suatu molekul yang dapat menyebabkan
terjadinya eksitasi molekul tersebut dari tingkat energi dasar ke tingkat
energi yang lebih tinggi. Absorbsi radiasi oleh suatu sampel diukur pada
detektor pada berbagai panjang gelombang dan diinformasikan ke
perekam untuk menghasilkan spektrum. Spektrum ini akan memberikan
informasi penting untuk identifikasi adanya gugus kromofor (Sumar
Hendayana, 1994).
Adanya gugus kromofor dalam suatu senyawa menyebabkannya dapat
teridentifikasi pada UV-Vis. Senyawa terpenoid dan steroid jarang
dianalisis menggunakan Spektroskopi UV-Vis karena strukturnya yang
tidak menyerap sinar UV-Vis (Emel Seran, 2011).
Untuk menganalisis struktur dari senyawa-senyawa dari metabolit
sekunder seperti senyawa flavonoid, spektroskopi UV-Vis merupakan cara
yang terbaik untuk mengkarakterisasi jenis senyawa flavonoid dan
menentukan pola oksigenasi. Kedudukan gugus hidroksil fenol bebas yang
terdapat pada inti flavonoid dapat ditentukan juga dengan menambahkan
pereaksi geser (Markham, 1988).
Flavonoid mempunyai sistem aromatik terkonjugasi, oleh karena itu
mempunyai pita serapan di daerah ultraviolet nampak (UV-Vis). Spektra
dari flavon dan flavonol memperlihatkan dua puncak utama pada daerah
240 400 nm. Dua puncak utama ini biasanya memperlihatkan pita I (300
550 nm) dan pita II (240 280 nm). Pita I menunjukkan absorbsi yang
23

sesuai untuk cincin B sinamoil, sedang pita II berhubungan absobsi cincin


benzoil.
Penambahan pereaksi geser atau pereaksi diagnostik, adanya
hidroksilasi, glikolasi, metilasi dan asetilasi dapat mengubah karakter
resapan dari senyawa flavonoid. Dengan melihat perubahan-perubahan ini
maka dapat digunakan untuk memperkirakan struktur flavonoid.
a. Efek Hidroksilasi
Penambahan gugus hidroksil pada cincin A pada flavon atau
flavonol menghasilkan pergeseran batokromik yang nyata pada pita
resapan I atau pita resapan II pada spektra flavonoid. Apabila gugus
hidroksil tidak ada pada flavon atau flavonol, panjang gelombang
maksimal muncul pada panjang gelombang yang lebih pendek
dibanding jika ada gugus 5 OH , sedang subtitusi gugus hidroksil
pada posisi 3, 5 dan 4 mempunyai sedikit efek atau tidak sama sekali
pada spektra UV. Pita absorpsi I isoflavon mempunyai intensitas yang
lemah, sedangkan pita II intensitas kuat. Pita absorbsi II dari isoflavon
biasanya antara 245 270 nm dan relatif tidak mempunyai efek pada
cincin B dengan adanya hidroksilasi.
b. Efek Natrium Metoksida
Natrium metoksida merupakan basa kuat yang dapat mengionisasi
semua gugus dalam flavonoid. Degradasi atau pengurangan kekuatan
spektra setelah waktu tertentu merupakan petunjuk yang baik akan
adanya gugus yang peka terhadap basa. Spektra isoflavon yang
mempunyai gugus hidroksi pada cincin A akan memperlihatkan
pergeseran batokromik baik pada pita I maupun pita II. Puncak pada
spektra UV senyawa 3 4 dihidroksi isoflavon dapat dideteksi
beberapa menit setelah penambahan natrium metoksida (Mabry, 1970).
Penambahan natrium metoksida pada flavon dan flavonol dalam
metanol umumnya menghasilkan pergeseran batokromik untuk semua
pita serapan. Walaupun demikian pergeseran batokromik yang besar
pada serapa pita I sekitar 40 65 nm tanpa penurunan intensitas,
24

menunjukkan adanya gugus 4 OH bebas. Dan flavonol yang tidak


mempunyai gugus 4 OH bebas juga memberikan pergeseran pada
pita serapan I, dengan penurunan intensitas. Dalam hal ini pergeseran
batokromik disebabkan adanya gugus 3 OH bebas. Jika suatu
flavonol mempunyai 3 dan 4 OH bebas, maka spektra dengan
natrium metoksida akan mengalami dekomposisi. Pengganti natrium
metoksida yang baik ialah laruan NaOH 2M dalam air.
c. Efek Natrium Asetat
Natrium asetat merupakan basa lemah dan hanya akan mengionisasi
gugus yang sifat keasamannya tinggi, khususnya untuk mendeteksi
adanya gugus 7 OH bebas. Natrium asetat hanya dapat mengionisasi
isoflavon khusus pada gugus 7 OH. Gugus 3 atau 4 OH pada
flavonol. Oleh sebab itu interpretasi terhadap pergeseran spektra isoflavon
untuk penambahan natrium asetat menjadi sederhana. Adanya 7 OH
isoflavon menyebabkan pergeseran batokromik 6 20 nm pada pita II
setelah penambahan natrium asetat. Adanya natrium asetat dan asam
borat akan membentuk kompleks dengan gugus orto hidroksil paa cincin
B menunjukkan pergeseran batokromik pada pita serapan I sebesar 12
30 nm. Gugus orto hidroksil pada cincin A juga dapat dideteksi dengan
efek natrium asetat dan asam borat. Adanya pergesaran batokromik
sebesar 5 10 nm pada pita II menunjukkan adanya gugus orto hidroksi
pada posisi C6 dan C7 atau C7 dan C8.
d. Efek Aluminium Klorida
Pereaksi ini dapat membentuk kompleks tahan asam antara gugus
hidroksi dan keton yang bertetangga dan membentuk kompleks tidak
tahan asam dengan gugus orto hidroksi, perekasi ini dapat digunakan
untuk mendetekasi kedua gugus tersebut. Adanya gugus 3, 4
dihidroksil pada isoflavon atau flavanon dan dihidroflavonol tidak
dapat dideteksi dengan AlCl3 karena cincin B mempunyai sedikit atau
tidak ada konjugasi dengan kromofor utama. Jika isoflavon, flavanon
(dan mungkin dihidroflavonol) mengandung gugus-gugus orto
25

hidroksil pada posisi 6, 7 atau 7, 8 maka spektra AlCl3 menunjukkan


pergeseran batokromik (biasanya pada pita I maupun pita II) dengan
membandingkan terhadap spektra AlCl3 / HCl. Pita serapan II spektra
UV dari semua 5 OH isoflavon dapat dideteksi dengan penambahan
AlCl3 atau HCl, kecuali 2 karboksil 5,7 dihidroksil isoflavon.
Adanya gugus tersebut ditandai dengan pergeseran batokromik pada
pita II 10 14 nm (relatif terhadap spektra metanol).
Spektra isoflavon yang tidak mempunyai gugus 5 OH bebas
tidak berefek setelah penambahan AlCl3 / HCl. Pada flavon dan
flavonol, adanya gugus orto hidroksil pada cincin B dapat diketahui
jika penambahan asam terhadap spektra AlCl3 menghasilkan
pergeseran hipsokromik sebesar 30 40 nm pada pita I (atau pita Ia
jika terdiri dari dua puncak). Dengan adanya pergeseran batokromik
pada pita Ia (dalam AlCl3 / HCl) dibandingkan dengan pita I (dalam
metanol) sebesar 35 55 nm, menunjukkan adanya 5 OH flavon atau
flavonol 3 OH tersubtitusi.
Tabel 2.3 Rentang Serapan Spektrum UV-Vis Senyawa Flavonoid

No. Pita 2 (nm) Pita 1 (nm) Jenis Flavonoid

1 250-280 310-350 Flavon

2 250-280 330-360 Flavonol (3-OH tersubstitusi)

3 250-280 350-385 Flavonol (3-OH bebas)


310-330 (bahu) Isoflavon
4 245-275
320 (puncak) Isoflavon (5-deoksi-6,7-dioksigenasi)
5 275-295 300-330 Flavanon dan dihidroflavonol

6 230-270 340-390 Kalkon

7 230-270 380-430 Auron

8 270-280 465-560 Antosianidin dan antosianin


Sumber : Markham (1988)
26

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2013 sampai dengan bulan
April 2014 di Laboratorium Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Riau. Pengukuran spektrum inframerah senyawa hasil
isolasi dilakukan di Institut Teknologi Bandung. Pengukuran spektrum UV-Vis
dan uji aktivitas antioksidan senyawa hasil isolasi dilakukan di Laboratorium
HPLC dan Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Riau.

B. Alat dan Bahan


1. Alat-alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah lumpang dan alu
(penghalus), blender, saringan, erlenmeyer, gelas ukur, pipet tetes, batang
pengaduk, spatula, gelas kimia, tabung reaksi, drop plate, hot plate, lemari
asam, botol vial, seperangkat alat destilasi, rotary evaporator, chamber,
corong pisah, pipa kapiler, peralatan KKG, peralatan KKVC, neraca
Ohaus, oven, alat pengukur titik leleh Fisher-John, spektrofotometer UV
Varian Cone 100, spektrofotometer IR one Perkin Elmer, microplate
reader 96 well (Berthold LB 941).
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit batang
tanaman Laban (Vitex pubescens Vahl.) yang berdiameter 26 cm (usia 10-
11 tahun), n-heksana teknis, metilen klorida teknis, etil asetat teknis,
metanol teknis, plat silika gel GF254, silika gel G 60 70-230 mesh, silika
gel G 60, serium sulfat [Ce(SO4)2] 1,5 % dalam H2SO4 2N, pita Mg, HCl
pekat, klorofom, asam asetat anhidrat, FeCl3, alumunium foil dan akuades.

26
27

C. Prosedur Penelitian
1. Pemurnian Senyawa
Sebanyak 2,7 Kg sampel halus kulit batang tanaman Laban (Vitex
pubescens Vahl.) diekstraksi dengan cara maserasi (perendaman)
menggunakan pelarut metanol selama 2 hari. Kemudian dilakukan
penyaringan sehingga diperoleh ampas dan filtrat. Ampas yang diperoleh
dilakukan maserasi kembali dengan metanol hingga lima kali
pengulangan. Filtrat yang diperoleh kemudian diuapkan pelarutnya
menggunakan rotary evaporator.
Ekstrak metanol kulit batang Laban yang telah diperoleh dipisahkan
lebih lanjut dengan menggunakan KKVC. Kolom yang digunakan adalah
kolom dengan diameter 6 cm dan tinggi 15 cm diisi dengan silika gel 60
hingga ketinggian 2,5 cm. Sebanyak 20 gram sampel dipreadsorbsi dengan
silika gel 60 (70-230 mesh) dengan perbandingan 1:1. Pemisahan
dilakukan dengan menggunakan eluen yang ditingkatkan kepolarannya
secara gradien yang dimulai dari non polar hingga yang polar yaitu heksan
100%, heksan:etilasetat (1:1), Etil 100% dan etilasetat:metanol (9:1)
(Lampiran 1). Hasil KKVC ditampung dalam erlenmeyer yang telah diberi
label huruf dan kemudian dilakukan pengujian KLT dengan penyemprotan
penampak noda serium sulfat.
KLT dilakukan dengan cara menotolkan tiap fraksi pada plat KLT
dengan menggunakan pipa kapiler pada titik yang telah diberi nomor
sesuai dengan nomor erlenmeyer. Selanjutnya dielusi dengan eluen yang
sesuai. Elusi dilakukan dalam chamber hingga batas plat dan kemudian
dikeluarkan. Setelah dikeluarkan dan dibiarkan kering, sampel disemprot
dengan serium sulfat dan dipanaskan diatas hot plate. Dari hasil KKVC,
diperoleh empat fraksi utama yaitu Fraksi A, Fraksi B, Fraksi C, dan
Fraksi D (Lampiran 1).
Fraksi D dipisahkan lebih lanjut menggunakan KKVC dengan
diameter kolom 3 cm dan tinggi 15 cm. Dalam pemisahan ini digunakan
eluen n-heksan, etil asetat dan metanol yang ditingkatkan kepolarannya
28

(Lampiran 1). Selanjutnya hasil pengoloman dimonitor dengan KLT dan


fraksi yang memiliki noda yang sama digabung menjadi 4 fraksi yaitu D1,
D2, D3 dan D4.
Fraksi D2 selanjutnya dipisahkan lebih lanjut menggunakan KKG.
Kolom dibuat dengan cara membuat bubur silika gel dengan cara
melarutkannya dalam n-heksan dan diaduk rata. Kemudian dituang secara
perlahan ke dalam kolom. Silika gel didalam kolom dibuat padat dan
permukaannya jangan sampai kering. Sampel dipreadsorpsi terlebih
dahulu sebelum dimasukkan ke dalam kolom. Eluen yang digunakan
adalah n-heksan, etil asetat dan metanol yang ditingkatkan kepolarannya
(Lampiran 1). Hasil KKG ditampung ke dalam vial-vial yang telah diberi
nomor dan diuji KLT dengan eluen yang sesuai dan penyemprotan
penampak noda serium sulfat. Vial yang menunjukkan noda tunggal
dianggap telah murni dan dilakukan uji kemurnian, penentuan struktur dan
uji aktivitas antioksidan.
2. Uji Kemurnian dan Karakterisasi Hasil Isolasi
Senyawa isolat yang berhasil diisolasi kemudian diuji kemurniannya
dengan KLT dan uji titik leleh dengan alat Fisher John. KLT dilakukan
dengan menggunakan tiga variasi pelarut yaitu n-heksana:etilasetat (6:4),
n-heksana:etilasetat (5:5) dan diklorometana:etilasetat (7:3). Senyawa
yang memberikan noda tunggal dianggap telah murni. Pengujian titik leleh
dilakukan dengan alat Fisher John dengan mengamati kristal senyawa
hasil isolasi (sekecil mungkin) pada kaca preparat dari utuh hingga
meleleh seluruhnya. Pengujian dilakukan tiga kali pengulangan, dimana
senyawa yang memberikan rentang titik leleh yang sempit (< 2oC)
dianggap telah murni.
3. Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi
Senyawa murni hasil isolasi ditentukan kerangka dasarnya dengan
menggunakan spektroskopi inframerah dan UV-Vis dengan penambahan
beberapa pereaksi geser seperti NaOH, AlCl3, AlCl3 + HCl.
29

4. Uji Aktivitas Antioksidan Hasil Isolasi dengan Menggunakan DPPH


Uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH dan
pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 520 nm.
Sebanyak 1,2 mg sampel dilarutkan dalam 1,2 mL metanol sehingga
konsentrasi sampel 1000 g/mL. Disiapkan plate yang terdiri dari 12 baris,
A-H, yang masing-masing mempunyai 12 sumur. Ke dalam 4 sumur pada
baris A F sampel sebanyak 50 L dengan konsentrasi berturut-turut 1000
g/mL, 500 g/mL, 250 g/mL, 125 g/mL, 62,5 g/mL dan 31,25
g/mL. Sedangkan untuk baris G H diisi dengan 50 L metanol.
Selanjutnya ke dalam baris A G ditambahkan 80 L larutan DPPH 40
g/mL dan kemudian diinkubasi selama 30 menit.
Selanjutnya aktivitas penangkapan radikal bebas diukur sebagai
penurunan absorbansi DPPH dengan microplate reader dan diolah data
yang diperoleh dengan mencari % inhibisi lalu diplotkan dengan
konsentrasi sampel hingga diperoleh persamaan regresi linear. Selanjutnya
dapat diperoleh nilai IC50 dengan mengganti y pada persamaan dengan 50.
Kontrol positif yang digunakan sebagai pembanding adalah vitamin C
dengan konsentrasi 25, 50, 100 dan 200 g/mL.
30

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Pemisahan dan Pemurnian Ekstrak Metanol Kulit Batang Tumbuhan
Laban
Sebanyak 120 gram ekstrak metanol dilakukan pemisahan dan
pemurnian senyawa secara kromatografi kolom, yaitu KKVC dan KKG.
Pemisahan dan pemurnian ekstrak metanol kulit batang Laban diawali
dengan KKVC dengan menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat dan
metanol yang ditingkatkan kepolarannya (Lampiran 1) menjadi 4 macam
sistem eluen yang menghasilkan 4 fraksi utama yaitu Fraksi A D.
Fraksi-fraksi hasil KKVC dimonitor dengan KLT dengan eluen etil asetat
100% dan kemudian disemprot dengan penampak noda serium sulfat
menghasilkan kromatogram dengan noda yang bervariasi (Lampiran 2).
Tabel 4.1 Hasil KKVC Ekstrak Metanol Kulit Batang Laban
No. Nama Fraksi Massa (gram)
1 A 1,2056
2 B 10,2681
3 C 4,587
4 D 31,2927

Berdasarkan pola kromatogram KLT (Lampiran 2), fraksi D


menunjukkan hasil positif terhadap flavonoid dan memiliki masa yang
paling banyak yaitu 31,2927 gram dan berpotensi untuk dilakukan
pemisahan lebih lanjut.
Pemisahan dan pemurnian Fraksi D dilakukan dengan KKVC dengan
diameter kolom yang lebih kecil yaitu 3 cm. Pada KKVC kedua ini
digunakan pelarut n-heksana, etil asetat dan metanol yang ditingkatkan
kepolarannya (Lampiran 1). Fraksi-fraksi hasil KKVC dimonitor dengan
KLT menggunakan eluen etil asetat 100% dan etil asetat:metanol (9:1).
Berdasarkan pola kromatogram KLT (Lampiran 2) dilakukan penggabungan

30
31

fraksi fraksi hasil KKVC, sehingga diperoleh empat fraksi yaitu fraksi
D1 D4.
Tabel 4.2 Hasil Pengelompokkan Fraksi KKVC II
No. Nama Fraksi Nomor vial Massa (gram)
1 D1 14-17 1,0044
2 D2 18-21 7,9456
3 D3 22-26 5,6774
4 D4 27-31 3,0925

Pemisahan dan pemurnian Fraksi D 2 dilakukan dengan KKG dengan


menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan metanol yang
ditingkatkan kepolarannya (Lampiran 1). Fraksi-fraksi hasil KKG
dimonitor dengan KLT menggunakan eluen n-heksana:etil asetat (7:3)
dan n-heksana:diklorometana:etilasetat (1:9:1). Berdasarkan pola
kromatogram KLT (Lampiran 2) dilakukan penggabungan fraksi fraksi
hasil KKG, sehingga diperoleh sepuluh fraksi yaitu fraksi D2.1 D2.10.
Tabel 4.3 Hasil Pengelompokkan Fraksi KKG
No. Nama Fraksi Nomor Fraksi Massa (mg)
1 D2.1 1 10 104,4
2 D2.2 11 15 15,8
3 D2.3 16 145
4 D2.4 17 27 204
5 D2.5 28 62 187,8
6 D2.6 63 75 1626,5
7 D2.7 76 84 456,4
8 D2.8 85 100 402,7
9 D2.9 101 115 344,1
10 D2.10 116 145 243,5
Dari kromatogram KLT dengan penampak noda serium sulfat,
didapatkan satu fraksi yang telah menghasilkan satu noda, yaitu fraksi
D2.3. Hal ini mengindikasikan fraksi D2.3 adalah senyawa yang telah murni.
2. Uji kemurnian Senyawa Hasil Isolasi
Senyawa hasil isolasi diuji kemurniannya dengan cara KLT
menggunakan tiga sistem eluen yang berbeda dan uji titik leleh dengan
alat Fischer John. Uji KLT senyawa hasil isolasi dengan tiga sistem eluen
32

memberikan noda tunggal yang berwarna kuning (Lampiran 2) dengan


satu harga Rf (Tabel 4.4). Kristal senyawa hasil isolasi yang berwarna
putih gading ini memberikan rentang titik leleh 152oC 154 oC.
Tabel 4.4 Nilai Rf Kromatogram Senyawa Hasil Isolasi
Perbandingan
KLT Eluen Nilai Rf
Eluen
A n-heksana : etil asetat 5:5 0,45
B n-heksana : etil asetat 6:4 0,3
C diklorometana : etil asetat 7:3 0,35

3. Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi dengan Spektroskopi UV-Vis dan


Inframerah
a. Spektrum UV-Vis
Karakterisasi senyawa hasil isolasi secara spektroskopi UV-Vis
dilakukan dengan menganalisis spektrum senyawa hasil isolasi dalam
pelarut metanol dan penggunaan pereaksi geser NaOH, AlCl3, dan
AlCl3+HCl. Spektrum spektroskopi UV-Vis senyawa hasil isolasi
dapat dilihat pada gambar 4.1 sampai 4.4.

Gambar 4.1 Spektrum UV-Vis Senyawa Hasil Isolasi dalam Metanol


(MeOH)
33

Gambar 4.2 Spektrum UV-Vis Senyawa Hasil Isolasi dalam Metanol


(MeOH) dan MeOH +NaOH

Gambar 4.3 Spektrum UV-Vis Senyawa Hasil Isolasi dalam Metanol


(MeOH) dan MeOH + AlCl3
34

Gambar 4.4 Spektrum UV-Vis Senyawa Hasil Isolasi dalam Metanol


(MeOH), MeOH + AlCl3 dan MeOH + AlCl3 + HCl

b. Spektrum Inframerah
Spektrum inframerah senyawa hasil isolasi dapat dilihat pada
gambar 4.5.

100

%T

90
916.19
2549.89

696.30
2709.99

1029.99
2372.44

503.42
545.85

80
1111.00
1521.84
2852.72

619.15
771.53
1386.82

848.68

70

60
1170.79
1425.40

1246.02

50
1284.59
1674.21
1595.13

40
3448.72
3483.44

30
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
ro 1/cm
Gambar 4.5 Spektrum Inframerah Senyawa Hasil Isolasi

Spektrum inframerah senyawa hasil isolasi memperlihatkan


beberapa daerah serapan penting (Tabel 4.5).
35

Tabel 4.5 Daerah Serapan Spektrum Inframerah Senyawa Hasil Isolasi


Bilangan Bentuk
Intensitas Gugus Fungsi Dugaan
Gelombang (cm-1) Pita
3483-3448 Tajam Kuat O-H
1674-1595 Tajam Kuat C=O keton
1521-1425 Tajam Sedang C=C aromatis
1246 Tajam Sedang C-O alkohol dan eter

4. Uji Aktivitas Antioksidan Senyawa Hasil Isolasi dengan


Menggunakan Metode DPPH
Hasil uji aktivitas antioksidan senyawa hasil isolasi dengan metode
DPPH diperoleh nilai IC50 sebesar 1411,286 g/mL. Sedangkan vitamin C
sebagai senyawa pembanding memiliki nilai IC50 sebesar 25 g/mL.

B. PEMBAHASAN
1. Pemisahan dan Pemurnian Ekstrak metanol Kulit Batang Tumbuhan
Laban
Proses awal isolasi senyawa pada kulit batang Laban adalah
pengekstrakan sampel dengan cara maserasi, yakni perendaman sejumlah
sampel dalam pelarut yaitu metanol. Metanol digunakan sebagai pelarut
karena metanol memiliki sifat universal, yaitu mampu mengekstrak semua
komponen yang ada pada sampel. Hal ini dikarenakan ukuran molekul
metanol yang relatif kecil dibandingkan dengan pelarut organik lain,
sehingga metanol mampu masuk ke dalam sel kulit batang Laban dan
membawa semua komponen yang ada di dalamnya mulai dari komponen
yang bersifat non polar, semi polar sampai yang polar. Walaupun
demikian, senyawa-senyawa seperti lignan, selulosa, protein dan lipid
yang terdapat pada kulit batang Laban tidak ikut terbawa oleh metanol
dikarenakan tekanan yang diberikan oleh metanol tidak cukup kuat untuk
mendorong molekul-molekul berukuran besar tersebut.
Pemisahan dan pemurnian ekstrak metanol dilakukan dengan KKVC.
Pemilihan KKVC untuk pemisahan dan pemurnian ekstrak metanol
didasarkan pada massa dan jumlah komponen yang ada dalam ekstrak
36

metanol. Ekstrak metanol di KKVC dengan menggunakan eluen


n-heksana, etil asetat dan metanol yang ditingkatkan kepolarannya
(Lampiran 1), sehingga fraksi yang terbawa oleh pelarut adalah dari fraksi
yang paling rendah kepolarannya sampai fraksi yang paling polar. Ekstrak
metanol dielusi dengan bantuan pompa vakum hal ini digunakan untuk
mempercepat proses elusidasi, sehingga pemisahan komponen-komponen
ekstrak metanol berlangsung lebih cepat. Dengan percepatan elusidasi
ekstrak metanol pada KKVC, akan mengakibatkan penurunan efektivitas
pemisahan. Oleh karena itu, KKVC menggunakan fasa diam silika gel
G 60 yang berukuran sangat kecil/halus untuk menyeimbangkan
efektivitas pemisahan komponen-komponen dalam ekstrak metanol.
KKVC ekstrak metanol kulit batang Laban menggunakan 4 macam
sistem eluen yang menghasilkan 4 fraksi utama yaitu Fraksi A D.
Masing-masing fraksi dimonitor menggunakan KLT dengan bantuan
penampak noda serium sulfat. Fraksi B - D positif flavonoid yang ditandai
dengan munculnya noda berwarna kuning hingga orange. Dengan
mempertimbangkan massa fraksi yang diperoleh, maka fraksi D dipilih
untuk dipisahkan lebih lanjut.
Pemisahan dan pemurnian Fraksi D dilakukan dengan KKVC, hal ini
dikarenakan massa dari fraksi D masih cukup banyak yaitu 31,2927 gram.
KKVC kedua ini menggunakan kolom dengan diameter yang lebih kecil
yaitu 3 cm. Fraksi-fraksi hasil KKVC dimonitor dengan KLT
menggunakan eluen yang sesuai dan penyemprotan penampak noda
serium sulfat. Berdasarkan pola kromatogram KLT (Lampiran 2)
dilakukan penggabungan fraksi fraksi hasil KKVC, sehingga diperoleh
empat fraksi yaitu fraksi D1 D4. Fraksi D2 dipilih untuk pemisahan lebih
lanjut karena fraksi ini memberikan noda kuning pada kromatogram dan
memiliki massa yang paling besar, yaitu 7,9456 gram.
Pemisahan dan pemurnian fraksi D2 dilakukan dengan KKG. KKG
menggunakan silika gel G 60 (70-230 mesh) yang memiliki ukuran kasar.
37

Keefektifan pemisahan diimbangi dengan laju elusidasi yang lambat, hal


ini dikarenakan gaya pendorong pada KKG hanya gaya gravitasi.
Fraksi-fraksi hasil KKG dimonitor dengan KLT dengan penampak
noda serium sulfat. Berdasarkan pola kromatogram KLT (Lampiran 2)
dilakukan penggabungan fraksi fraksi hasil KKG, sehingga diperoleh
sepuluh fraksi yaitu fraksi D2.1 D2.10. Kromatogram hasil KKG fraksi
D2.3 menunjukkan bahwa fraksi D2.3 memiliki satu noda. Hal ini
menunjukkan bahwa fraksi D2.3 telah murni dan dilanjutkan untuk uji
kemurnian.
2. Uji Kemurnian Senyawa Hasil Isolasi
Uji kemurnian menggunakan KLT dengan 3 sistem eluen yang
berbeda memperlihatkan bahwa fraksi D2.3 sudah murni. Hal ini
didasarkan pada munculnya noda tunggal dengan penampak noda serium
sulfat pada setiap plat KLT. Hal ini diperkuat dengan hasil uji titik leleh
memberikan nilai titik leleh dengan range tidak lebih dari 2 oC yaitu
152 oC 154 oC. Dengan demikian senyawa hasil isolasi diyakini
merupakan senyawa yang telah murni dan dapat dilakukan karakterisasi
kerangka dasar senyawanya.
3. Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi dengan Spektroskopi Uv-Vis dan
inframerah
a. Spektrum UV-Vis
Berdasarkan spektrum UV-Vis senyawa hasil isolasi dalam pelarut
metanol dihasilkan dua pita serapan, yaitu pita I terletak pada panjang
gelombang 300 nm dan pita II terletak pada panjang gelombang 255
nm. Dari spektrum yang diperoleh, diduga senyawa hasil isolasi ini
mempunyai kerangka dasar isoflavon. Tabulasi panjang gelombang
absorpsi dan pergeseran absorpsi spektrum UV-Vis senyawa hasil
isolasi dengan penambahan pereaksi-pereaksi geser diberikan dalam
Tabel 4.6.
38

Tabel 4.6 Data Panjang Gelombang dan Pergeseran Absorpsi


Spektrum UV-Vis Senyawa Hasil Isolasi
Panjang Gelombang Pergeseran
No. Pereaksi Absorpsi (nm) Absorpsi (nm)
Pita I Pita II Pita I Pita II
1. Metanol 300 (bahu) 255 - -
2. Metanol + NaOH - 281 - +26
3. Metanol + AlCl3 308 265 +8 +10
4. Metanol + AlCl3 + HCl 306 260 +6 +5

Spektrum UV-Vis senyawa hasil isolasi dalam metanol


menunjukkan puncak pada max 255 nm dan pada max 300 nm
(Gambar 4.1). Serapan pada max 255 nm, serta adanya bahu pada max
300 nm merupakan spektrum khas untuk senyawa flavonoid, yakni
berada pada rentang max 300 nm 550 nm (bahu) untuk pita I dan
max 240 nm 285 nm untuk pita II (Markham, 1988). Serapan pada
max 255 nm (pita II) berasal dari gugus benzoil (cincin A) dan
serapan pada max 300 nm (bahu) pita I berasal dari gugus sinamoil
(cincin B) flavonoid.

B
O
A Sinamoil

Benzoil
O

Gambar 4.6 Gugus Benzoil dan Sinamoil Senyawa Flavonoid

Spektrum UV-Vis senyawa hasil isolasi dalam pelarut metanol


menunjukkan bahwa pita I dan pita II mendekati spektrum flavonoid
golongan isoflavon (Markham, 1988). Dengan adanya penambahan
pereaksi geser, akan terjadi perubahan spektrum yang dapat
memberikan informasi mengenai golongan flavonoid dari senyawa
hasil isolasi dan pola oksigenasinya (hidroksilasi, metilasi, dan
glikosilasi).
39

Gambar 4.7 Kerangka Dasar Isoflavon

Penambahan pereaksi geser NaOH mengakibatkan terjadinya


pergeseran batokromik sebesar 26 nm pada pita II yang disertai
dengan kenaikan intensitas serapan (Gambar 4.2), ini menunjukkan
adanya gugus OH pada C3 dan C4 pada isoflavon (Gambar 4.8)
(Mabry, 1970).
O

OH

O
OH

Gambar 4.8 Kerangka 3,4-dihidroksiisoflavon

Penambahan pereaksi geser AlCl3 mengakibatkan terjadinya


pergeseran batokromik sebesar 10 nm (Gambar 4.3) pada pita II, ini
menunjukkan adanya OH pada atom C-5 pada isoflavon (Gambar
4.9).
O

OH O

Gambar 4.9 Kerangka Isoflavon dengan OH Tersubstitusi pada Atom C-5

Pergeseran batokromik akibat penambahan pereaksi geser AlCl3


terjadi karena terbentuknya kompleks antara ion alumunium dengan
gugus hidroksi dan keton yang bertetanggayang bersifat tahan asam
(Gambar 4.10).
40

O O
3+
Al

Gambar 4.10 Kompleks Antara Ion Aluminium dengan Gugus


Hidroksi Keton
Namun pada penambahan HCl, terjadi pergeseran hipsokromik
(Gambar 4.4), ini menunjukkan bahwa terdapat gugus OH dengan
posisi orto. Hal ini memperkuat hasil spektrum UV dengan
penambahan pereaksi geser MeOH+NaOH yang menunjukkan adanya
OH pada posisi 3 dan 4. Pergeseran hipsokromik ini terjadi karena
terbentuknya kompleks yang bersifat tak tahan asam antara ion
aluminium dengan gugus hidroksi bertetangga (posisi orto) (Markham,
1988).
O O

OH O
3+
Al
OH O O O
OH 3+ O
Al

(a) (b)
Gambar 4.11 (a) Struktur Isoflavon Tersubstitusi OH dengan Posisi
Orto. (b) Kompleks Antara Ion Aluminium dengan
Gugus Hidroksi Bertetangga (Posisi Orto)
Berdasarkan hasil pengukuran dengan spektrofotometer IR dan
UV-Vis dengan penambahan berbagai pereaksi geser, diperoleh bahwa
senyawa hasil isolasi diduga memiliki kerangka dasar isoflavon
tersubstitusi OH pada C-5, C-3dan C-4
O

OH

OH O
OH

Gambar 4.12 Perkiraan Struktur Kerangka Dasar Senyawa Hasil


Isolasi
41

b. Spektrum Inframerah
Pengukuran spektrum inframerah bertujuan untuk mengetahui
gugus fungsi yang terdapat pada senyawa hasil isolasi. Spektrum
inframerah senyawa hasil isolasi (Gambar 4.2) memperlihatkan
bahwa terdapat beberapa gugus fungsi seperti C=C aromatis, hidroksil
(OH), C-O alkohol dan eter dan keton (C=O). Dari data tersebut,
memperkuat dugaan bahwa senyawa hasil isolasi merupakan suatu
senyawa flavonoid yang tersubstitusi gugus OH.

4. Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH


Uji aktivitas antioksidan senyawa hasil isolasi dari kulit batang Laban
dilakukan dengan metode DPPH. DPPH menghasilkan radikal bebas aktif
bila dilarutkan dalam alkohol (pada pengujian DPPH dilarutkan dalam
metanol). Absorbansi berkurang apabila radikal bebas DPPH dihambat
oleh antioksidan dengan cara donor hidrogen untuk membentuk DPPH-H
yang stabil. Reaksi ini menyebabkan terjadinya perubahan warna dari
ungu menjadi kuning.
Pada pengujian antioksidan senyawa isolat, diperoleh konsentrasi
penghambatan 50% radikal bebas DPPH adalah 1411,286 g/mL. Vitamin
C digunakan sebagai pembanding positif mempunyai nilai IC50 sebesar
25 g/mL. Molyneux (2004) menyatakan bahwa suatu zat mempunyai
sifat antioksidan yang sangat kuat apabila nilai IC50 kecil dari 50 g/mL,
kuat apabila nilai IC50 berkisar antara 50-100 g/mL, sedang apabila nilai
IC50 berkisar antara 100-150 g/mL, lemah apabila nilai IC50 berkisar
antara 150-200 g/mL, sangat lemah namun masih berpotensi apabila nilai
IC50 berkisar antara 200-1000 g/mL, dan sangat lemah kurang berpotensi
apabila nilai IC50 besar dari 1000 g/mL.
Aktivitas antioksidan flavonoid sangat bergantung pada substituen
pada cincin B. Substituen yang akan meningkatkan aktivitas antioksidan
flavonoid adalah ortohidroksilasi dan adanya katekol pada cincin B. Dari
data IC50 senyawa isolat terlihat bahwa senyawa hasil isolasi memiliki
42

aktivitas antioksidan yang sangat lemah dan kurang berpotensi untuk


dijadikan antioksidan. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya konsentrasi
sampel yang diperlukan untuk menghambat 50% radikal bebas. Padahal
jika dilihat dari struktur kerangka dasar senyawa hasil isolasi terdapat
gugus OH berposisi orto pada cincin B yang seharusnya sangat berpotensi
sebagai antioksidan.
Perbedaan hasil yang diperoleh dengan teori yang seharusnya, diduga
karena adanya gugus lain pada senyawa hasil isolasi yang menyebabkan
OH pada senyawa tersebut menjadi tidak aktif sebagai antioksidan. Contoh
gugus yang dapat mengurangi keaktifan gugus OH sebagai antioksidan
adalah gula. Walaupun gula juga mengandung gugus OH, namun jumlah
dan posisi gula pada flavonoid dapat mengurangi efek penghambatan
radikal bebas, karena dapat menyebabkan ukuran molekul menjadi besar
sehingga dapat mengurangi kontak antara glikosida flavonoid dengan
radikal bebas (Owen dan Johns, 1999).
Selain itu, keberadaan gugus penarik dan pendorong elektron juga
mempengaruhi aktivitas antioksidan suatu senyawa. Gugus pendorong
elektron seperti propenil, etil dan metil akan mengaktifkan cincin aromatis
yang dapat menyumbangkan elektron dan meningkatkan laju pembentukan
produk, yaitu radikal antioksidan itu sendiri. Namun sebaliknya, gugus
penarik elektron seperti gugus aldehid (-COH), NO2, F, Cl, Br dan I, akan
mengurangi aktivitas antioksidan. Hal ini dikarenakan dengan adanya
gugus penarik elektron akan membuat senyawa hasil isolasi menjadi
kurang reaktif karena kerapatan elektron pada cincin aromatis berkurang,
sehingga akan mengurangi kemudahan untuk melepas atom hidrogen pada
gugus hidroksi (Nur Aini, dkk., 2006).
43

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap kulit batang Laban,
maka dapat disimpulkan :
1. Senyawa hasil isolasi sebanyak 145 mg berupa padatan berwarna putih
gading dengan titik leleh 152oC 154 oC.
2. Berdasarkan studi literatur dan analisis spektrum inframerah dan UV-Vis
dengan penambahan pereaksi geser NaOH, AlCl3, dan AlCl3+HCl
menunjukkan bahwa senyawa hasil isolasi merupakan senyawa dengan
kerangka dasar isoflavon yang tersubstitusi gugus OH pada posisi C-5,
C-3dan C-4. Perkiraan kerangka dasar senyawa dapat digambarkan
seperti dibawah ini:

OH

OH O
OH

3. Uji aktivitas antioksidan senyawa hasil isolasi dengan metode DPPH


menunjukkan aktivitas antioksidan yang sangat lemah pada senyawa isolat
dengan IC50 sebesar 1411,286 g/mL.

B. Rekomendasi
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap kulit batang Laban,
peneliti merekomendasikan kulit batang Laban sebagai salah satu sumber
flavonoid yang sangat berpotensi untuk dilakukan isolasi lebih lanjut.

43

Anda mungkin juga menyukai