Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN LENGKAP

PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI ANALITIK


“PENETAPAN KADAR METABOLIT SEKUNDER”

OLEH:
KELOMPOK III
STIFA C 2019

ASISTEN : RISKAWATI

LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI


PROGRAM STUDI STRATA SATU FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki berbagai jenis tumbuhan yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan, diantaranya obat
tradisional, minuman herbal atau jamu. Salah satu tanaman yang
dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat sebagai minuman yang memiliki
khasiat adalah kayu secang (Caesalpinia sappan L.). Kayu secang
merupakan bagian batang dari tanaman secang yang kayunya
mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder. Selain itu, tanaman
secang digunakan sebagai salah satu pigmen alami karena menghasilkan
pigmen berwarna merah.
Secang (Caesalpinia sappan L.) merupakan salah satu tanaman
yang sudah lama digunakan sebagai obat tradisional. Kayu secang
mengandung antioksidan alami yang berfungsi sebagai penangkal radikal
bebas. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengungkap khasiat
dan kegunaan tanaman secang, baik sebagai antioksidan antimikroba,
maupun zat pewarna alami. Senyawa bioaktif seperti flavonoid dan fenol
menunjukan bahwa tumbuhan alami ini cukup baik digunakan sebagai
sumber zat antioksidan. Senyawa-senyawa tersebut memiliki kemampuan
sitotoksik diantaranya bermanfaat sebagai penghambat pertumbuhan sel
kanker. Kayu secang segar sendiri memiliki jangka waktu simpan yang
terbatas dan juga penggunaannya yang kurang praktis, sehingga
diperlukan pengolahan menjadi bentuk serbuk yang diperoleh dari ekstrak
kayu secang. Ekstrak adalah sediaan pekat dari hasil ekstraksi zat aktif
simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai (Depkes
RI, 2000).

Tanaman kayu secang mengandung senyawa fenolik seperti


flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan penangkap radikal bebas.
Golongan flavonoid yang ada pada kayu secang salah satunya yaitu
antosianin (Panovska et al., 2005). Senyawa antosianin adalah bentuk
glikosida dari senyawa antosianidin dan merupakan bagian dari metabolit
sekunder flavonoid. Antosianin merupakan senyawa yang baik untuk
kesehatan karena memiliki aktivitas antioksidan (Abdel-Aal et al., 2006).
Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan percobaan
mengenai penentuan kadar flavonoid total dari simplisia kayu secang
(Caesalpinia sappan L.), sehingga potensi tumbuhan ini sebagai bahan
baku obat untuk pencegahan maupun pengobatan berbagai penyakit
dapat lebih dikembangkan dengan maksimal.
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaaan
Adapun maksud dari percobaan ini yaitu mahasiswa diharapkan
dapat mengetahui kadar total flavanoid dari simplisia kayu secang
(Caesalpinia sappan L.).
I.2.2 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari percobaan ini yaitu setelah melakukan
percobaan ini mahasiswa sudah mengetahui kadar total flavanoid yang
terkandung dalam simplisia kayu secang (Caesalpinia sappan L.).
I.3 Prinsip Percobaan
Adapun prinsip dari percobaan ini yaitu menentukan kadar
metabolit sekunder dalam hal ini kadar total flavanoid yang terkandung
dalam simplisia kayu secang (Caesalpinia sappan L.) dengan
menggunakan spektrofotometri dengan panjang gelombang 435 nm.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Metabolisme merupakan seluruh perubahan kimia yang terjadi
dalam sel hidup yang meliputi pembentukan dan penguraian senyawaan
kimia. Metabolisme primer dalam suatu tumbuhan meliputi seluruh jalur
metabolisme yang sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya (Julianto, 2019).
Metabolit primer merupakan senyawa yang secara langsung terlibat
dalam pertumbuhan suatu tumbuhan sedangkan metabolit sekunder
adalah senyawa yang dihasilkan dalam jalur metabolism lain yang
walaupun dibutuhkan tapi dianggap tidak penting peranannya dalam
pertumbuhan suatu tumbuhan (Julianto, 2019).
Senyawa metabolit adalah senyawa yang digolongkan berdasarkan
biogenesisnya, artinya berdasarkan sumber bahan baku dan jalur
biosintesisinya. Terdapat 2 jenis metabolit yaitu metabolit primer
(polisakarida, protein, lemak, dan asam nukleat) dan metabolit sekunder
(flavanoid, alkaloid, tannin, saponin, steroid/triterpenoid dan minyak atsiri)
(Aminah, 2017).
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi metabolit sekunder:
1. Ekspresi sintesis senyawa metabolit sekunder
a. Sintesis senyawa metabolit sekunder dipengaruhi banyak faktor an
tara lain: faktor genetik, faktor di dalam kultur dan diluar kultur.
b. Ekspresi sintesis senyawa metabolit sekunder tergantung kepada
tahap perkembangan organ yang menghasilkannya. Pada kultur in
vitro produksi senyawa metabolit sekunder seringkali berasosiasi
dengan difrensiasi sel dan jaringan yang dikulturkan.
2. Asal eksplan. Sebelum kultur in vitro dilakukan harus dilakukan lebih
dahulu analisissecara in vivo bagian organ yang mana yang mampu
menghasilkan metabolit tertinggi. Deteksi dapat dilakukan dengan
bantuan alar Spectrophotometer a tau Thin layer Chromatography.
Berdasarkan informasi tersebut maka bagian tanarnan tertentu tersebut
yang digunakan sebagai surnber eksplan dan dirnodifikasi sehingga
dapat dihasilkan produk dalarn jumlah banyak dan berkualitas baik.
3. Kondisi-kondisi yang mempengaruhi kultur in vitro. Hal hal yang harus
dipertimbangkan apakah sintesis senyawa yang diinginkan sejalan
dengan produksi biomassa atau tidak berhubungan sa rna seka.ll, jadi
path way (bio sintesis) senyawa terse but harus sudah dipahami
sebelurn tehnlk ini di pergunakan.

Struktur Kimia Flavonoid


Salah satu metabolit sekunder yang penting pada tumbuhan adalah
flavonoid yang merupakan turunan dari 2-phenyl-benzyl-γ-pyrone dengan
biosintesis menggunakan jalur fenilpropanoid. Flavonoid pada tumbuhan
berperan memberi warna, rasa pada biji, bunga, dan buah serta aroma
(Mierziak et al., 2014), serta melindungi tumbuhan dari pengaruh
lingkungan, sebagai antimikroba, dan perlindungan dari paparan sinar UV.
Dalam bidang kesehatan, flavonoid berperan sebagai anti bakteri, anti
oksidan, anti inflamasi, dan anti diabetes (Panche et al., 2016).
Dalam perkembangannya, hingga tahun 2011 ditemukan lebih dari
9000 flavonoid dan telah digunakan untuk suplemen kesehatan (Wang et
al., 2018). Flavonoid dibagi menjadi beberapa subkelompok berdasarkan
substitusi karbon pada gugus aromatik sentral (C). Subkelompok tersebut
adalah: flavon, flavonols, flavanone, flavanol/ katekin, antosianin dan
kalkon (Panche et al., 2016).
Flavonoid merupakan kelompok polifenol dan diklasifikasikan
berdasarkan struktur kimia serta biosintesisnya (Seleem et al., 2017).
Struktur dasar flavonoid terdiri dari dua gugus aromatik yang digabungkan
oleh jembatan karbon (C6-C3-C6) (Uzel et al., 2005). Flavonoid
diklasifikasikan sebagai flavon, flavanone, flavonol, katekin, flavanol,
kalkon dan antosianin (Panche et al., 2016). Pembagian kelompok
flavonoid didasarkan pada perbedaan struktur terutama pada substitusi
karbon pada gugus aromatik sentral dengan beragamnya aktivitas
farmakologi yang ditimbulkan (Wang et al., 2018).

Struktur Kimia Kuarsetin (Furia et al,2014)


Kuersetin adalah senyawa kelompok flavonol terbesar, kuersetin
dan glikosidanya berada dalam jumlah sekitar 60-75% dari flavonoid.
Kuersetin dipercaya dapat melindungi tubuh dari beberapa jenis penyakit
degeneratif dengan cara mencegah terjadinya proses peroksidasi lemak.
Kuersetin memperlihatkan kemampuan mencegah proses oksidasi dari
Low Density Lipoproteins (LDL) dengan cara menangkap radikal
bebasdan menghelat ion logam transisi. Ketika flavonol kuersetin bereaksi
dengan radikal bebas, kuersetin mendonorkan protonnya dan menjadi
senyawa radikal (Sutir, 2012). Kuersetin Seringkali terdapat dalam jumlah
substansial dalam jaringan tanaman, sebagai antioksidan kuat, penghelat
logam, peredam radikal, dan mencegah oksidasi dari lipoprotein densitas
rendah (Haeria, 2014).
Kuersetin merupakan salah satu jenis flavonoid yang umum
digunakan sebagai standar dalam penentuan kadar flavonoid, yang
secara biologis amat kuat, memiliki aktivitas antioksidan yang sangat
tinggi (Pakaya, 2015) dan glikosidanya berada dalam jumlah sekitar 60-
70% dari flavonoid (Kelly, 2011).
Kadar kuersetin dihitung sebagai kadar flavonoid total dalam
sampel. Perhitungan ini berdasarkan pada hukum lambert-Beer yang
menujukkan hubungan lurus antara absorbans dan kadar analat
(Neldawati, 2013).
Spektrofotometri merupakan analisa kimia kuantitatif didalam kimia
analisis dengan mengukur berapa jauh energi radiasi yang diserap oleh
absorbansi terisolasi suatu panjang gelombang. Spektrofotometer
menghasilkan sinar dari spectrum dengan panjang gelombang tertentu
dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan
atau yang diabsorbsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur
energi yang relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau
diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang (Khopkar, 2010).
Spektrofotometri UV-Visible adalah salah satu teknik yang paling
sering digunakan dalam analisis farmasi. Hal ini melibatkan pengukuran
jumlah radiasi ultraviolet atau zat yang diserap dalam larutan. Instrumen
yang mengukur rasio, atau fungsi dari rasio, intensitas dua berkas cahaya
di daerah UV-Visible disebut spektrofotometri Ultraviolet-Visible (Behera,
2012).
Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah
spektrum ultraviolet dan sinar tampak terdiri atas suatu sistem optik
dengan kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan
panjang gelombang 200-800 nm. Komponen-komponennya meliputi
sumber-sumber sinar, monokromator, dan sistem optik (Guanjar I.G, dan
Rohman, 2010).
Setiap gugus kromofor menyerap cahaya UV pada panjang
gelombang yang spesifik tergantung substituen yang diikatnya dan
tambahan konjugasi ikatan rangkap pada molekul bersangkutan. Analog
dengan spektroskopi UV maka spektroskopi Vis adalah untuk analisa
senyawa yang berwarna. Secara kuantitatif, maka kedua jenis
spektroskopi ini juga dapat digunakan karena jumlah sinar yang diserap
sebanding dengan konsentrasi senyawa yang penyerap secara empiris
konsentrasi ditentukan dengan persamaan Lambert-Beer (Sitorus, 2010).
Apabila radiasi atau cahaya putih dilewatkan melalui larutan
berwarna, maka radiasi dengan panjang gelombang tertentu akan diserap
(absorbsi) secara selektif dan radiasi lainnya akan diteruskan (transmisi).
Absorbansi adalah perbandingan intensitas sinar yang diserap dengan
intensitas sinar datang. Nilai absorbansi ini akan bergantung pada kadar
zat yang terkandung didalamnya, semakin banyak kadar zat yang
terkandung dalam suatu sampel maka semakin banyak molekul yang akan
menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu sehingga nilai
absorbansi semakin besar atau dengan kata lain nilai absorbansi akan
berbanding lurus dengan konsentrasi zat yang terkandung didalam suatu
sampel (Neldawati, 2013).
Prinsip spektrofotometri UV-Vis dengan radiasi pada rentang
panjang gelombang 200-800 nm dilewatkan melalui suatu larutan
senyawa. Elektron-elektron pada ikatan didalam molekul menjadi
tereksitasi sehingga menempati keadaan kuantum yang lebih tinggi dan
dalam proses menjerap sejumlah energi yang melewati larutan tersebut.
Semakin longgar elektron tersebut ditahan dalam ikatan molekul, semakin
panjang gelombang (energi lebih rendah) radiasi yang diserap (David,
2010).
II.2 Uraian Tanaman
II.2.1 Klasifikasi tanaman (Fadliah, 2014)
Regnum : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Family : Caesalpiniaceae
Genus : Caesalpinia
Species : Caesalpinia sappan L.
II.2.2 Morfologi Tanaman
Tumbuhan secang dapat ditemukan pada daerah tropis, tumbuh
pada ketinggian 500-1000 m dpl seperti di daerah pegunungan yang
berbatu tetapi tidak terlalu dingin (Astina, 2010). Habitus berupa tumbuhan
semak atau perdu, tingginya 5-10 m. Batang berkayu, bulat dan berwarna
hijau kecokelatan. Pada batang dan percabangannya, terdapat duri-duri
tempel yang bentuknya bengkok dan letaknya tersebar (Hariana, 2006),
cabang memiliki lentisel (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2008). Akar
tunggang berwarna cokelat, sedangkan daunnya bentuk majemuk
menyirip ganda dengan panjang daun 25-40 cm, jumlah anak daun 10-20
pasang yang letaknya berhadapan (Hariana, 2006). Anak daun tidak
bertangkai, bentuk lonjong, panjang 10-25 mm, dan lebar 3-11 mm
(Direktorat Obat Asli Indonesia, 2008).
Bunga secang tergolong bunga majemuk dengan bentuk malai,
bunganya keluar dari ujung tangkai dengan panjang 10-40 cm (Hariana,
2006), panjang gagang bunga 15-20 cm, pinggir kelopak berambut,
panjang daun kelopak yang terbawah ±10 mm, lebar ±4 mm, tajuk
memencar berwarna kuning, helaian bendera membundar bergaris tengah
4-6 mm, empat helai daun tajuk lainnya juga membundar dan bergaris
tengah ±10 mm, panjang benang sari ±15 mm dan putik ±18 mm
(Direktorat Obat Asli Indonesia, 2008). Buah tergolong buah polong,
berbentuk lonjong dan pipih dengan panjang 8-10 cm, lebar 3-4 cm, ujung
seperti paruh berisi 3-4 biji, jika masak berwarna hitam. Biji bulat
memanjang dengan panjang 15-18 mm, lebar 8-11 mm, tebal 5-7 mm, dan
berwarna kuning kecokelatan (Hariana, 2006).
II.2.3 Kandungan Kimia
Tanaman kayu secang memiliki kandungan kimia brazilin, alkaloid,
flavonoid, saponin, tanin, fenilpropana dan terpenoid. Selain itu juga
mengandung asam galat, delta-aphellandrene, oscimene, resin dan
resorin (Xu H, 1994).
II.2.4 Manfaat
Kayu secang berkhasiat untuk mengobati diare, sifilis, darah kotor,
berak darah, malaria, dan tumor (Anariawati, 2009). Selanjutnya dapat
digunakan sebagai penawar racun, pengobatan sesudah persalinan,
katarak, maag, masuk angin, dan kelelahan (Rahmawati, 2011). Selain itu,
ekstrak cair kayu secang dapat dibalurkan pada bagian tubuh yang luka,
serta dapat mengobati penyakit tulang keropos (osteoporosis).
Mufidah et al. (2012) mengemukakan bahwa ekstrak etanol kayu
secang mampu menstimulasi sel osteoblast dan juga dapat menghambat
pembentukan sel osteoclast. Ekstrak kayu secang juga bersifat antibakteri,
yaitu dapat menghambat aktivitas bakteri dalam saluran pencernaan,
karena diduga mengandung asam galat di dalam ekstrak kayu secang
(Fazri, 2009). Selanjutnya Sa’diah et al. (2013) menyatakan bahwa
ekstrak kayu secang yang mengandung brazilin>200 mg/g yang
diformulasi menjadi krim, dapat digunakan sebagai obat anti jerawat.
Kandungan brazilin pada kayu secang dapat menghambat protein
inhibitor apoptosis survivin dan terlibat dalam aktivasi caspase 3 dan
caspase 9, sehingga dapat mengobati penyakit kanker (Zhong et al.,
2009). Ekstrak metanol, n-butanol serta kloroform dari kayu secang dapat
membunuh sel kanker. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Rahmi et al.
(2010) bahwa ekstrak etanolik kayu secang memiliki aktivitas antikanker
dengan menurunkan viabilitas pada beberapa sel kanker payudara,
kanker kolon, kanker serviks, namun tetap selektif terhadap sel normal.
Ekstrak zat warna kayu secang hasil maserasi dengan pelarut air dan
alkohol dapat digunakan sebagai indikator alami dalam titrasi asam-basa
(Padmaningrum et al., 2012). Selain itu, senyawa-senyawa aktif lain yang
terkandung dalam kayu secang, seperti Sappanchalcone dan Caesalpin
P, terbukti memiliki khasiat untuk terapi antiinflamasi, diabetes dan gout
secara in vitro (Wicaksono et al., 2008 dalam Rahmawati, 2011).
II.3 Uraian Bahan
a. Alkohol (Dirjen POM 1979, Hal 65)
Nama Resmi : AETHONOLUM
Nama lain : Etanol
RM/BM : C2H6O/46,72
Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap
dan mudah bergerak, bau khas, rasa panas,
mudah terbakar dengan memberikan nyala
biru yang tidak berasap
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam klorofrm
P dan dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindungi dari
cahaya
Kegunaan : Zat penyari
b. Aluminium Klorida (FI IV, 1995)
Nama Resmi : ALUMINII CHLORIDE
Nama lain : Aluminium Klorida
RM/BM : AlCl3/133,34
Pemerian : Padatan (kristal padat), berbentuk serbuk;
berbau tajam dan mengiritasi; berwarna
putih, kuning atau abu-abu; berasa manis,
asam. Dapat mengalami perubahan dari
bentuk serbuk menjadi cair jika terpapar
dan mengabsorbsi kelembapan dari udara
Kelarutan : Larut dalam alkohol, karbon tetraklorida,
benzofenon, nitrobenzen, eter, dan benzen.
Sedikit larut dalam kloroform
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup kedap
Kegunaan : Zat pereaksi
c. Aquadest (Dirjen POM, Hal 96)
Nama Resmi : AQUA DESTILLATA
Nama lain : Aquadest, air suling
RM/BM : H2 O/18,02
Pemerian : Cairan tidak berwarna, tidak berbau, dan
tidak berasa
Kelarutan : Larut dalam semua jenis larutan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup kedap
Kegunaan : Zat pelarut
d. Kalium asetat (Dirjen POM, Hal 686)
Nama Resmi : KALII ACETATE
Nama lain : Kalium asetat
RM/BM : C2H3KO2/18,02
Pemerian : Serbuk atau butiran atau massa berbentuk
lembaran, putih, tidak berbau atau berbau
asetat lemah, dan mudah melleh basah.
Kelarutan : Larut dalam 0,5 bagian air dan dalam 3
bagian etanol (95%) P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup kedap
Kegunaan : Zat pereaksi
BAB III
METODE KERJA
III.1 Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 22 bulan April tahun 2021
di Laboratorium Biologi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar.
III.2 Alat dan Bahan
III.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada percobaan kali ini yaitu batang
pengaduk, batu stirrer, corong, erlenmeyer, gelas ukur, gelas kimia, kertas
saring, magnetic stirer, spektrofotometri, dan vial.
III.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan ini yaitu
aluminium klorida (AlCl3), aquadest, etanol 96%, kalium asetat (C2H3KO2)
dan simplisia kayu secang.
III.3 Cara Kerja
III.3.1 Pembuatan Larutan Uji
1. Ditimbang simplisia sebanyak 1 gram.
2. Ditambahkan etanol 96% ad 25 mL.
3. Diaduk selama 8 jam menggunakan magnetic stirrer.
4. Dipisahkan antara filtrat dan residu.
5. Diambil filtrat.
6. Dicukupkan dengan etanol 96% hingga 25 mL.
III.3.2 Pembuatan Larutan Baku Kuarsetin
1. Ditimbang kuarsetin sebanyak 25 mg.
2. Dilarutkan dalam 25 mL etanol 96% untuk 1000 ppm.
3. Dibuat 5 seri konsentrasi masing – masing 2, 4, 6, 8 dan 10 ppm.
4. Dipipet 0,5 mL larutan standar dan 1,5 mL etanol 96% pada
masing-masing seri konsentrasi.
5. Ditambahkan 1 mL aluminium klorida (AlCl3) 10%.
6. Ditambahkan 0,1 mL kalium asetat 1 M.
7. Ditambahkan 2,5 Ml aquadest.
8. Diinkubasi selama 30 menit pada suhu 25ºC.
9. Diukur serapan dengan menggunakan spektrofotometri Uv-Vis.
dengan panjang gelombang 435 nm.
10. Dibuat kurva kalibrasi.
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1 Data Pengamatan
Sampel Uji Konsentrasi Absorbansi Persamaan Regresi
(μg/mL)
2 0,14
4 0,28
Kuarsetin 6 0,447
8 0,608
10 0,803 y= 0,827 - 0,0406μ
Ekstrak Simplisia 300 ppm 0,0040
Kayu Secang
400 ppm 0,0045
(Caesalpinia
sappan L.) 500 ppm 0,0051

𝐶𝑥𝑉𝑥𝐹
Kadar total flavanoid = 𝑥 100%
𝑚
0,0109 𝑥 5 𝑥 10
Kadar total flavanoid = 𝑥100%
1000

Kadar total flavanoid = 0,545%


IV.2 Pembahasan
Pada praktikum ini dilakukan uji % kadar total flavanoid pada
simplisia Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.). Prinsip penetapan kadar
flavonoid metode aluminium klorida adalah terjadinya pembentukan
kompleks antara aluminium klorida dengan gugus keto pada atom C-4 dan
gugus hidroksi pada atom C-3 atau C-5 yang bertetangga dari golongan
flavon dan flavonol. Senyawa yang digunakan sebagai standar pada
penetapan kadar flavonoid ini adalah kuersetin, karena kuersetin
merupakan flavonoid golongan flavonol yang memiliki gugus keto pada
atom C-4 dan juga gugus hidroksil pada atom C-3 dan C-5 yang
bertetangga.
Pertama-tama sampel yang telah dikeringkan kemudian
diserbukkan sehingga dapat diekstraksi. Adapun tujuan dari proses
ekstraksi adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam
sampel.
Proses penyarian dilakukan dengan cara merendam sejumlah
serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus
dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif,
zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara
larutan zat aktif dan yang ada diluar sel, maka larutan yang terpekat
didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang hingga terjadi keseimbangan
konsentrasi larutan antara di luar dan didalam sel. Penyari yang
digunakan dalam praktikum ini adalah etanol 70% yaitu untuk menyari
senyawa flavonoid. Pemilihan pelarut ini disebabkan karena senyawa
flavonoid umumnya dalam bentuk glikosida yang bersifat polar sehingga
harus dilarutkan dengan pelarut yang bersifat polar.
Pada pengukuran kadar flavonoid terlebih dahulu dilakukan
pengukuran absorbansi pada larutan standar yang akan digunakan
sebagai pembanding pada pengukuran senyawa total flavanoid total pada
sampel. Pengukuran absorbansi dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometri UV-Vis diukur dengan panjang gelombang 435 nm.
Warna yang dihasilkan dari larutan standar kuarsetin adalah kuning.
Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan semakin pekat warna kuning
yang dihasilkan.
Flavonoid dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linear
dari kurva kalibrasi kuersetin yang telah diukur sebelumnya. Kadar
flavonoid dihitung sebagai kadar flavonoid total dalam sampel.
Perhitungan ini berdasarkan hukum Lambert-Beer yang menunjukkan
hubungan lurus antara absorbansi dan kadar analit.
Penentuan kadar flavonoid total dilakukan dengan menggunakan
larutan standar kuersetin 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, 10 ppm.
Pengukuran absorbansi dilakukan menggunakan spektrofotometri UV-Vis
dengan panjang gelombang 435 nm. 2 ppm nilai absorbansinya (0,14), 4
ppm nilai absorbansinya (0,28), 8 ppm nilai absorbansinya (0,608), dan 10
ppm nilai absorbansinya (0,803) Hasil yang diperoleh dari pengukuran
kurva baku, yaitu semakin tinggi konsentrasi, maka semakin tinggi nilai
absorbansinya. Menurut literature, hasil ini menunjukkan hubungan lurus
antara absorbansi dan kadar analit.
Pada penetapan kadar flavonoid, penambahan kalium asetat
adalah untuk mendeteksi adanya gugus 7-hidroksil sedangkan perlakuan
inkubasi selama 30 menit yang dilakukan sebelum pengukuran
dimaksudkan agar reaksi berjalan sempurna, sehingga memberikan
intensitas warna yang maksimal.
Menurut Dirjen POM (2014) range kadar flavonoid total
berdasarkan nilai absorbansinya berkisar antara 0,2-0,8. Dan nilai
absorbansi berturut-turut yang didapatkan pada ekstrak etanol 70%
sebesar 0,0040, 0,0045, dan 0,0051. Hasil yang diperoleh dari ekstrak
etanol 70% mengandung kadar flavonoid.
Untuk menghitung kadar total flavonoid, mula-mula absorbansi
sampel yang telah dibuat triplo dihitung rata-ratanya. Hasil rata-rata
sampel yang telah didapat dimasukkan kedalam persamaan garis linear
y= 0,827 - 0,0406 dengan koefisien korelasi sebesar 0,9969 sehingga
diperoleh kadar total flavonoid untuk ekstrak etanol kayu secang
(Caesalpinia sappan L.) sebesar 0,545 mg QE/g atau 0,0545%.
BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari percobaan bahwa penetapan kadar
metabolit sekunder pada simplisia dari kayu secang (Caesalpinia sappan
L.) diperoleh kadar total flavonoid untuk ekstrak etanol kayu secang
(Caesalpinia sappan L.) sebesar 0,545 mg QE/g atau 0,0545%.
V.2 Saran
V.2.1 Saran Untuk Dosen
Sebaiknya dosen berinteraksi dan bersosialisasi dengan praktikan
agar terjalin hubungan yang baik.
V.2.2 Saran Untuk Asisten
Sebaiknya asisten tetap menjalin hubungan baik dengan praktikan
dan tetap menjadi pribadi yang ramah.
V.2.3 Saran Untuk Laboratorium
Sebaiknya alat dan bahan di laboratorium lebih di lengkapi lagi
khususnya alat dan bahan yang ingin digunakan praktikan pada saat
praktikum agar praktikum berjalan dengan lancar tanpa kendala baik
dalam hal alat maupun bahan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Aal., El Sayed., J. Y. Christoper., and I. Rabalski. 2006.


Anthocyianin Composition in Black, Blue, Pink, Purple, and Red
Cereal Grain. Journal of Agricultural and Food Chemistry 54 :
4696 - 4704.

Aminah, 2017. Penetapan Kadar Flavonoid Total Ekstrak Buah Alpukat.


Fakultas Farmasi Universitas Muslim Indonesia. Makassar.

Anariawati. 2009. Studi eksperimen pembuatan serbuk instan kayu


secang (Caesalpinia sappan) dengan menggunakan jumlah gula
yang berbeda sebagai minuman berkhasiat. [Skripsi]. Jurusan
Teknologi Jasa dan Produksi. Fakultas Teknik. Universitas Negeri
Semarang. Semarang.

Astina, I. G. A. A. 2010. Optimasi pembuatan ekstrak etanolik kayu secang


(Caesalpinia sappan L.) secara digesti : Aplikasi desain faktorial.
[Skripsi]. Fakultas Farmasi. Universitas Sanata Dharma.
Yogyakarta.

Behera, et al. UV-Vis Spectrophotometric Method Development and


Validation of Assay of Paracetamol Tablet Formulation. J Anal
Bional Techniques. ISSN: 2155-9872. 2012.

David. Buku Ajar untuk Mahasiswa Farmasi dan Praktisi Kimia Farmasi
Edisi 2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2010.

Departemen Kesehatan RI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak


Tumbuhan Obat, Cetakan Pertama, 3-11, 17-19, Dikjen POM,
Direktorat Pengawasan Obat Tradisional.

Direktorat Obat Asli Indonesia. 2008. Caesalpinia sappan L. Badan


Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Dirjen POM. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Depkes RI. 2014.

Fadliah, M. 2014. Kualitas Organoleptik dan Pertumbuhan Bakteri pada


Susu Pasteurisasi dengan Penambahan Kayu Secang
(Caesalpinia Sappan L.) selama penyimpanan. [Skripsi]. Jurusan
Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin.
Makassar.

Fazri, M. E. 2009. Uji Efektivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Kayu Secang


(Caesalpinia Sappan L.) terhadap Helicobacter pylori secara In
Vitro. [Skripsi]. Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta.

Furia E, Marino T, Russo N. Insight Into The Coordination Mode of


Quercetin With The Al(III) Ion From A Combined Experimental and
Theoretical Study. Dalt Trans. 2014;43(19):7269-74

Guandjar, I.G., dan Abdul Rohman. Analisis Obat Secara Spektrofotometri


dan Kromatografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.

Haeria. Kimia Produk Alami. Makassar: Alauddin University Press. 2014.

Hariana, A. 2006. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Depok : Niaga


Swadaya.

Julianto, Tatang Shabur. 2019. Fitokimia Tinjauan Metabolit Sekunder dan


Skrining Fitokimia. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Kelly, S. G. Quersetin. Alternative Medicine Review. Journal volume 16,


Nomor 2. 2011.

Khopkar, S. M. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press. 2010.

Markham, K.R., 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Diterjemahkan


oleh Kokasih Padmawinata. Penerbit ITB Bandung.
Mierziak, J., Kostyn, K., Kulma, A., 2014. Flavonaids as Important
Molucules of Plants Interactions with The Environment Basel
Switz. 19, 16240-16265.

Mufidah, Subehan, dan Yusnita, R. 2012. Karakterisasi dan Uji


Antiosteoporosis Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.)
prosiding InSINAS, 29-30 November 2012.

Neldawati, Ratnawulan, dan Gusnaedi.2013. Analisis Nilai Absorbansi


Dalam Penentuan Kadar Flavonoid Berbagai Jenis Daun
Tanaman Obat. Padang: Pillar Physics, Vol 2 Oktober 2013.

Panche, A.N., Diwan, A.D., Chandra, S.R. 2016. Flavonoids: an interview.

Padmaningrum, R.T., Siti, M., dan Antuni, W. 2012. Karakter Ekstrak Zat
Warna Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Sebagai Indikator
Titrasi Asam Basa. Prosidining Seminar Penelitian, Pendidikan ,
Dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA Universitas Negeri
Yogyakarta.

Pakaya, Wilna, Netty Ino Ischak, Julhim S.T. 2015. Analisis Kadar
Flavonoid Dari Ektrak Metanol Daun Dan Bunga Tembelekan.
Jurnal Penelitian Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo.

Panovska T K., S. Kulevanova., and Stefova. 2005. In Vitro Antioxidant


Activity of Some Teucrium Spesies (Lamiaceae). Acta Pharm.

Rahmawati, F. 2011. Kajian potensi ‘wedang uwuh’ sebagai minuman


fungsional. Seminar Nasional ‘Wonderfull Indonesia’, Jurusan
PTBB FT UNY, 3 Desember 2011.

Rahmi, K., Erlina, R., dan Ika, N. 2010. Kajian komprehensif ekstrak
etanolik kayu secang (Caesalpinia sappan L.) sebagai agen
kemopreventif tertarget. Naskah Tidak Dipublikasikan.
Sa’diah, S., Latifah, K. D., Wulan, T., dan Irmanida, B. 2013. Efektivitas
krim anti jerawat kayu secang (Caesalpinia sappan) terhadap
Propionibacterium acnes pada kulit kelinci. Jurnal Ilmu
Kefarmasian Indonesia, 11 (2) : 175 - 181.

Seleem, D., Pardi, V., Murata, R.M., 2017. Review of flavonoids: A diverse
group of natural compounds with anti-Candida albicans activity in
vitro. Arch. Oral Biol. 76, 76–83.

Sitorus, Marham. Kimia Organik Umum. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010.

Sutir, Fitriadi. Analisis Kandungan Senyawa Flavonoid Total dalam


Sediaan Cair Kasumba Turate (Carthamus tinctorius Linn.) secara
Spektrofotometri UVVis. Makassar: Universitas Hasanudin. 2012.

Uzel, A., Sorkun, K., Onçağ, O., Cogŭlu, D., Gençay, O., Salih, B., 2005.
Chemical compositions and antimicrobial activities of four different
Anatolian propolis samples.Microbiol. Res. 160, 189–195.

Wang, T. 2018. Bioactive flavonoids in medicinal plants. Asian J. Pharm.

Xu, H., Zhou, Z., dan Yang, J. 1994. Chemical Constituents of Caesalpinia
sappan L. Zhongguo Zhongyao Zazhi, 19, (8) 485-492.

Zhong, X., Wu, B., pan, Y. J., and Zheng, S. 2009. Brazilein inhibits
survivin protein and mrna expression and induces apoptosis in
hepatocellular carcinoma HepG2 cells. Neoplasma, 56 (5) : 87 -
92.
LAMPIRAN
1. Lampiran Gambar

Penimbangan simplisia Pembuatan larutan uji

Penyaringan larutan uji Pembuatan larutan baku kuersetin


2. Lampiran Kurva Kuersetin

Perolehan data kuersetin yang Perolehan data ekstrak simplisia


diukur dengan spektrofotometri Uv- kayu secang yang diukur dengan
Visible spektrofotometri Uv-Visible

Absorbansi
0.9
0.8 y = 0.0827x - 0.0406
R² = 0.9969
0.7
0.6
Axis Title

0.5
0.4 Absorbansi
0.3 Linear (Absorbansi)
0.2
0.1
0
0 2 4 6 8 10 12
Axis Title

Pengukuran nilai absorbansi


SKEMA KERJA
1. Pembuatan Larutan Uji

Timbang simplisia seberat 1 gram diletakkan di gelas beaker

Tambahkan etanol 96% sebanyak 25 mL

Diaduk selama 8 jam

Kemudian saring, lalu pisahkan antara filtrat dan residunya

Kemudian filtrat ditambahkan kembali dengan Etanol 96%


sebanyak 25 mL

2. Pembuatan Larutan Baku Kuarsetin

Timbang Kuarsetin sebanyak 25 gram diletakkan di gelas beker

Kemudian larutkan dalam 25 mL etanol 96%

Dibuat dalam konsentrasi 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, dan 10 ppm

Dipipet 0,5 mL larutan standar dan 1,5 mL etanol 96% pada


masing-masing seri konsentrasi

Ditambahkan 1 mL aluminium klorida (AlCl3) 10%


Ditambahkan 0,1 mL kalium asetat 1 M

Ditambahkan 2,5 mL aquadest

Diinkubasi selama 30 menit pada suhu 25ºC

Diukur serapan dengan menggunakan spektrofotometri Uv-Vis


dengan panjang gelombang 435 nm

Dibuat kurva kalibrasi

Anda mungkin juga menyukai