Anda di halaman 1dari 51

PROPOSAL PENELITIAN

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI EKSTRAK DAN FRAKSI KULIT


UMBI UBI KAYU (Manihot esculenta) DENGAN METODE ABTS DAN
CUPRAC SERTA PENETAPAN KADAR FENOLIK DAN FLAVONOID
TOTALNYA

OLEH :

SRI ASMA WATI


O1A118042

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Beberapa tahun belakangan ini dengan kemajuan teknologi pengetahuan
menemukan bahwa banyak sekali faktor penyebab terjadinya proses tua secara
dini antara lain karena faktor genetik, gaya hidup, lingkungan, mutasi gen,
rusaknya sistem kekebalan dan radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul yang
memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya, dan
memiliki sifat yang sangat labil dan reaktif. Radikal bebas memiliki peran
penting dalam kerusakan jaringan dan proses patologi dalam organisme hidup.
Sumber radikal bebas ada dari dalam tubuh dan luar tubuh Abnormalnya kadar
radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh dapat menyerang senyawa yang
rentan, seperti lipid dan protein dan berimplikasi pada timbulnya berbagai
penyakit. Sehingga diperlukan penangkalnya berupa antioksidan (Pratama dan
Busman, 2020; Fakriah dkk., 2019).
Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menetralisir atau
menstabilkan radikal bebas dengan cara melengkapi kekurangan elektron pada
radikal bebas tersebut (Sari dan Made, 2016). Antioksidan terbagi atas dua jenis
yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan. Antioksidan buatan dihasilkan
dari sintesis suatu reaksi kimia sedangkan antioksidan alami bisa berasal dari
tanaman dan buah-buahan (Rahmi, 2017). Tubuh manusia memiliki antioksidan
alami dari enzim-enzim seperti katalase, superoksida dismutase (SOD), glutation
peroksidase, dan glutation transferase. Namun dikarenakan jumlah oksidan yang
masuk melebihi batas kemampuan yang bisa diterima oleh antioksidan alami
tubuh maka yang berasal dari luar tubuh. Antioksidan ini dapat diperoleh dalam
bentuk sintetik maupun yang berasal dari bahan alam. Antioksidan sintetik yang
sudah banyak digunakan yang secara efektif dipercaya dapat menghambat
oksidasi. Namun, penggunaan antioksidan sintetik dibatasi oleh aturan
pemerintah sehingga dibutuhkan alternatif antioksidan lain yang aman untuk
digunakan. Salah satu sumber potensial antioksidan alami adalah tumbuhan
(Wulansari, 2018).
Keanekaragaman hayati Indonesia sangat berpotensi dalam penemuan
senyawa baru sebagai antioksidan salah satunya tanaman umbi ubi kayu.
Antioksidan alami yang dapat ditemukan pada tanaman antara lain berasal dari
golongan polifenol, vitamin C, vitamin E, beta karoten dan flavonoid (Vifta
dkk., 2019). Beberapa penelitian menunjukan bahwa Ubi kayu merupakan
tanaman pangan berupa perdu yang berasal dari benua Amerika, memiliki nama
lain ubi kayu, singkong, kasepe, dan dalam bahasa Inggris cassava. Secara
empiris pohon ubi kayu atau sering disebut dengan singkong dipercaya
berkhasiat sebagai obat obat tradisional seperti penambah darah, obat maag, obat
luka, penangkal mabuk perjalanan, obat gagal ginjal, obat masuk angin dan
jantung koroner (Nafilah dkk., 2017). Batang ubi kayu mengandung senyawa
fenol yang memiliki aktivitas antioksidan. Kulit umbi ubi kayu sendiri biasanya
dibuang begitu saja tanpa dimanfaatkan. Berdasarkan latar belakang di atas maka
peneliti melakukan penelitian ini untuk memanfaatkan kulit umbi ubi kayu
khususnya cortex kulit umbi ubi kayu memiliki senyawa aktif yang berperan
sebagai antioksidan. Kulit ubi kayu putih dan kuning mengandung antioksidan
dan aktivitas fenolik yang tinggi (Gagola dkk., 2014).
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode ABTS dan
CUPRAC. Prinsip pengujian aktivitas antioksidan dengan metode ABTS adalah
penghilangan warna kation ABTS untuk mengukur kapasitas antioksidan yang
langsung bereaksi dengan radikal kation ABTS. ABTS adalah suatu radikal
dengan pusat nitrogen yang mempunyai karakteristik warna biru-hijau, yang bila
tereduksi oleh antioksidan akan berubah menjadi bentuk non radikal dari
berwarna menjadi tidak berwarna (Setiawan, 2018). Metode ABTS memiliki
kelebihan dibandingkan dengan metode lain, yaitu pengujian sederhana, mudah
diulang, menggunakan alat yang sederhana dan yang paling penting adalah
fleksibel dan dapat digunakan untuk mengukur aktivitas antioksidan yang
bersifat hidrofilik maupun lipofilik. Metode ABTS memiliki sensitivitas yang
lebih tinggi dibandingkan DPPH, prosesnya cepat, dapat dilakukan pada rentang
pH yang besar serta dapat digunakan pada sistem larutan berbasis air maupun
organik (Puspitasari dan Sumantri, 2019).
Metode CUPRAC merupakan salah satu metode untuk melihat daya
antioksidan senyawa-senyawa flavonoid, Vitamin E serta mengetahui kapasitas
antioksidan senyawa fenolik yang dikenal mudah untuk dilakukan. Prinsip dari
metode ini yaitu berdasarkan pada kemampuan sampel agen antioksidan dalam
mereduksi kompleks Cu(II) menjadi komplek Cu(I) yang ditandai dengan
perubahan warna biru menjadi kuning pada spot senyawa yang memiliki aktivitas
sebagai antioksidan. Kelebihan metode CUPRAC dibanding metode lain adalah
pertama, reagen CUPRAC cukup cepat untuk mengoksidasi tipe tiol antioksidan
menurut protokol yang dikembangkan oleh Benzie dkk., dibandingkan dengan
metode FRAP tidak mengukur anti-tipe tiol oksidan seperti glutathione. Kedua
pereaksi CUPRAC merupakan pereaksi yang selektif karena memiliki nilai
potensial reduksi yang rendah dibanding metode yang lain. Metode ini cukup
tepat untuk melihat daya antioksidan senyawa-senyawa flavonoid khususnya
golongan fenolik dibanding metode lain. Ketiga reagen CUPRAC jauh lebih
stabil dan mudah diakses dari pada reagen radikal kromogenik (misalnya, ABTS
dan DPPH). Keempat metode ini mudah dan beragam dapat diterapkan secara
konvensional (Ramadhan dkk., 2020; Haeria dkk., 2018 ).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai uji aktivitas antioksidan dari ekstrak dan fraksi kulit ubi
kayu (Manihot esculenta) dengan metode CUPRAC (Cupric Ion Reducing
Antioxidant Capacity) serta penetapan kadar fenolik dan flavonoid totalnya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas masalah yang dapat dikaji dalam
penelitian ini yaitu :
a. Senyawa metabolit sekunder apa yang terkandung dalam ekstrak dan
fraksi kulit umbi ubi kayu (Manihot esculenta) ?
b. Bagaimana aktivitas antioksidan ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi kayu
(Manihot esculenta) menggunakan metode ABTS dan CUPRAC?
c. Berapa kadar total flavonoid pada ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi kayu
(Manihot esculenta) ?
d. Berapa kadar total fenolik pada ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi kayu
(Manihot esculenta) ?
e. Bagaimana hubungan kadar total fenolik dengan flavonoid dalam
menghambat radikal bebas?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini :
a. Untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung
dalam ekstrak dan fraksi umbi ubi kayu (Manihot esculenta).
b. Untuk mengetahui aktivitas antioksidan ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi
kayu (Manihot esculenta) menggunakan metode ABTS dan CUPRAC.
c. Untuk mengetahui kadar total flavonoid pada ekstrak dan fraksi kulit umbi
ubi kayu (Manihot esculenta).
d. Untuk mengetahui kadar fenolik total pada ekstrak dan fraksi kulit umbi
ubi kayu (Manihot esculenta).
e. Untuk mengetahui hubungan kadar total fenolik dengan flavonoid dalam
menghambat radikal bebas.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini :
a. Bagi peneliti, menambah ilmu pengetahuan dan keahlian dalam penelitian
khususnya dalam penelitian antioksidan dari bahan alam.
b. Bagi ilmu pengetahuan, dapat memberikan informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai manfaat fraksi dari ekstrak
kulit umbi ubi kayu (Manihot esculenta) sebagai antioksidan.
c. Bagi institusi, mewujudkan peran Universitas Halu Oleo khususnya
Fakultas Farmasi dalam mengkaji permasalahan yang terjadi di masyarakat
terkait tanaman obat.
d. Bagi masyarakat, memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat
terhadap tumbuhan ubi kayu (Manihot esculenta) sebagai antioksidan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman ubi kayu (Manihot esculenta)


Tanaman ubi kayu (Manihot esculenta) adalah jenis tanaman yang
termasuk dalam famili euphorbiaceae. Batang tanaman ubi kayu berkayu,
beruas-ruas dan panjang, yang ketinggiannya dapat mencapai 3 meter atau lebih.
Warna batang bervariasi, tergantung kulit luar, tetapi batang yang masih muda
umumnya berwarna hijau dan setelah tua menjadi keputih-putihan, kelabu, hijau
kelabu, atau coklat kelabu. Empulur batang berwarna putih, lunak, dan
strukturnya empuk seperti gabus. Daun ubi kayu mempunyai susunan berurat
menjari dengan canggap 5-9 helai. Daun ubi kayu biasanya mengandung racun
asam sianida atau asam biru, terutama daun yang masih muda (pucuk) (Thamrin
dkk., 2013).
Ubi kayu (Manihot esculenta) adalah salah satu yang merupakan tanaman
dikotil, milik genus Manihot, dari keluarga Euphorbiaceae dan spesies esculenta.
Tanaman ini merupakan sumber karbohidrat penting bagi manusia dan hewan,
memiliki energi yang lebih tinggi dari tanaman umbi-umbian lainnya, 610 kJ/100
g berat segar selain obat untuk berbagai kondisi inflamasi, analgesik dan
karsinogenik. Singkong juga secara signifikan kaya akan kalsium, mangan, beta
karoten, vitamin C dan vitamin A. Meskipun memiliki racun sianida, singkong
adalah obat untuk sejumlah penyakit jika disiapkan dengan benar, seperti
gangguan pencernaan (gastritis, tukak gastroduodenal, sembelit dan radang usus
besar), penyakit hati, penyakit celiac dan diabetes (Zekarias dkk.,2019)

a. Klasifikasi Tanaman Ubi Kayu (Manihot esculenta)


Menurut Thamrin dkk., (2013), kedudukan tanaman ubi kayu (Manihot
esculenta) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom :Plantae
Divisi :Spermatophyta
Subdivisi :Angiospermae
Kelas :Dicotyledoneae
Ordo :Euphorbiales
Famili :Euphorbiaceae
Genus :Manihot
Spesies : Manihot esculenta

b. Morfologi tanaman Ubi Kayu (Manihot esculenta)


Ubi kayu (Manihot esculenta) merupakan tanaman perdu dan lebih dikenal
dengan sebutan singkong atau ketela pohon (Gagola, 2014). Ubi kayu masuk
dalam kelompok famili Euphorbiaceae, genus Manihot, spesies Manihot
esculenta. Ubi kayu merupakan tanaman monoecious yang mempunyai tinggi
beragam antara 1-5 m tergantung varietas dan ekologinya. Ubi kayu dijadikan
bahan dasar pada industri makanan seperti sumber utama pembuatan pati.
Berdasarkan sifat fisik dan kimia, ubi kayu merupakan umbi atau akar pohon
yang panjang dengan rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm,
tergantung dari jenis ubi kayu yang ditanam ( Alfons dan Demas W, 2015).
(Gambar ubi kayu dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Tanaman Ubi Kayu (Manihot esculenta)


(sumber buku bioetanol ubi kayu bahan bakar masa depan)
2.2 Senyawa metabolit sekunder tanaman Ubi Kayu (Manihot esculenta)
Tanaman memiliki dua jenis senyawa metabolit, yaitu metabolit primer dan
sekunder. Metabolit primer digunakan tanaman untuk pertumbuhan, sedangkan
metabolit sekunder tidak berperan secara langsung untuk pertumbuhan tanaman.
Metabolit sekunder merupakan senyawa yang tidak terlibat langsung dalam
pertumbuhan, perkembangan, atau reproduksi makhluk hidup. Namun, senyawa
ini biasa digunakan untuk perkembangbiakan dan pertahanan tanaman karena
umumnya senyawa metabolit sekunder bersifat racun bagi hewan, diantaranya
adalah senyawa alkaloid, fenol, saponin dan terpenoid (Kusbiantoro dan
Purwaningrum, 2018). Metabolisme sekunder menghasilkan produk metabolit
sekunder yaitu alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan terpenoid sedangkan
proses metabolisme primer melibatkan senyawa-senyawa yang disebut metabolit
primer diantaranya polisakarida, protein, lemak dan asam nukleat (Djoronga
dkk., 2014).
Berdasarkan uji fitokimia kulit umbi Ubi Kayu (Manihot esculenta)
memiliki kandungan kimia yang terdiri atas golongan fenolik, flavonoid, dan
tanin (Gagola dkk., 2014). Penelitian Yi dkk., (2011) menunjukkan bahwa pada
batang ubi kayu terdapat 10 komponen fenolik yang menunjukan adanya
aktivitas antioksidan. Selanjutnya pada penelitian dari Tsumbu (2011), daun ubi
kayu menunjukkan adanya kandungan polifenol dan flavonoid. Dan pada
penelitian Buschmann (2000), terdapat kandungan antioksidan flavan 3-ol pada
umbi ubi kayu (Karundeng dkk., 2017).

a. Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder terbanyak yang memiliki
atom nitrogen, yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan hewan. Sebagian
besar senyawa alkaloid bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Alkaloid umumnya
ditemukan dalam kadar yang kecil dan harus dipisahkan dari campuran senyawa
yang rumit yang berasal dari jaringan tumbuhan Alkaloid dapat ditemui pada
berbagai bagian tanaman seperti akar, batang, daun, dan biji. Alkaloid pada
tanaman berfungsi sebagai racun yang dapat melindunginya dari serangga dan
herbivora, faktor pengatur pertumbuhan, dan senyawa simpanan yang mampu
menyuplai nitrogen dan unsur-unsur lain yang diperlukan tanaman (Ningrum
dkk., 2017). Gambar struktur alkaloid dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur Alkaloid (Robinson., 1995)

b. Flavonoid
Flavonoid merupakan antioksidan alam aktif yang ditemukan dalam
tumbuhan. Struktur dasar flavonoid mempunyai sebuah inti flavon (2-fenilbenzo-
γ-pyran) yang terdiri dari 2 cincin benzena (A dan B) dikombinasikan dengan
sebuah atom oksigen pada cincin C pyran (karundeng dkk., 2014). Flavonoid
yang merupakan metabolit sekunder dari polifenol, ditemukan secara luas pada
tanaman serta makanan dan memiliki berbagai efek bioaktif termasuk anti virus,
anti-inflamasi kardioprotektif, anti-diabetes, anti-kanker, anti-penuaan, anti-
oksidan dan lain-lain. Senyawa flavonoid adalah senyawa polifenol yang
mempunyai 15 atom karbon yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, artinya
kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzena tersubstitusi)
disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon. Flavonoid terdapat dalam semua
tumbuhan hijau sehingga dapat ditemukan pada setiap ekstrak tumbuhan.
Flavonoid adalah kelas senyawa yang disajikan secara luas di alam. Hingga
saat ini, lebih dari 9000 flavonoid telah dilaporkan, dan jumlah kebutuhan
flavonoid bervariasi antara 20 mg dan 500 mg, terutama terdapat dalam
suplemen makanan termasuk teh, anggur merah, apel, bawang dan
tomat. Flavonoid ditemukan pada tanaman, yang berkontribusi memproduksi
pigmen berwarna kuning, merah, orange, biru, dan warna ungu dari buah,
bunga, dan daun. Flavonoid termasuk dalam famili polifenol yang larut dalam
air (Arifin dan Ibrahim, 2018).
Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar,
kayu, kulit, bunga, buah dan biji. Flavonoid terdiri dari beberapa golongan utama
diantaranya antosianin, flavanol dan flavon. Sedangkan khalkon, auron, flavonol,
dihidrokhalkon, dan isoflavon penyebarannya hanya terbatas pada golongan
tertentu saja (Wahyulianingsih dkk., 2016).

Gambar 2.3 Struktur Flavonoid (Septiana, 2012)

c. Saponin
Saponin merupakan senyawa dalam bentuk glikosida yang tersebar luas
pada tumbuhan. Saponin membentuk busa yang mantap jika dikocok dan
merupakan golongan senyawa alam yang rumit, yang mempunyai massa dan
molekul besar, dengan kegunaan luas. Struktur saponin menyebabkan saponin
bersifat seperti sabun atau detergen sehingga saponin disebut sebagai surfaktan
alami (nama saponin diambil dari sifat utama ini yaitu “sapo” dalam bahasa Latin
yang berarti sabun) (Minarno, 2016).
Saponin termasuk senyawa fitokimia yang dapat menghambat peningkatan
kadar glukosa darah dengan cara menghambat penyerapan glukosa di usus halus
dan menghambat pengosongan lambung. Dengan melambatnya pengosongan
lambung, maka absorbsi makanan akan semakin lama dan kadar glukosa darah
akan mengalami perbaikan. (Minarno, 2016). Gambar struktur saponin dapat
dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Struktur Saponin (Robinson.,1995)


d. Terpenoid
Terpenoid merupakan kelas metabolit sekunder yang tersusun oleh unit
isopren yang berkarbon 5 (-C5) yang disintesis dari asetat melalui jalur asam
mevalonik. Terpenoid juga merupakan kelas metabolit sekunder terbesar yang
memiliki jenis senyawa yang beragam. Struktur terpenoid yang beragam dapat
berupa molekul linier hingga polisiklik, dengan ukuran dari hemiterpen berunit
lima karbon hingga karet yang memiliki ribuan unit isoprene. Berdasarkan
jumlah unit isopren yang dimilikinya, terpenoid diklasifikasikan menjadi
hemiterpen, monoterpen, sesquiterpen, diterpen, triterpen, tetraterpen dan
politerpen. Terpenoid dinyatakan memiliki berbagai aktivitas farmakologi.
Saxena dkk., (2013) menyatakan bahwa berbagai terpenoid dari berbagai
tanaman memiliki sifat-sifat seperti anti karsinogenik, antimalaria, anti-ulcer,
hepatisidal, dan antimikroba (Harman-Ware dkk., 2016). Untuk struktur
terpenoid dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar struktur Terpenoid
dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Struktur Terpenoid (Septiana, 2012)

e. Tanin
Tanin merupakan senyawa organik yang tidak beracun, ramah lingkungan,
larut dalam air, dan tergolong polifenol banyak ditemukan di alam. Tanin
terdapat dalam daun, buah, kulit dan kayu tanaman. Aplikasi Tanin di industri
diantaranya adalah pada pembuatan tinta, antioksidan, aditif makanan, obat-
obatan dan inhibitor korosi (Wahyuni dan Ab, 2014).
Tanin merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui
mempunyai beberapa khasiat yaitu sebagai astringen, antidiare, antibakteri dan
antioksidan. Tanin merupakan komponen zat organik yang sangat kompleks,
terdiri dari senyawa fenolik yang sukar dipisahkan dan sukar mengkristal,
mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein tersebut.
Tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin terhidrolisis dan tanin
terkondensasi. Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks mulai dari
pengendap protein hingga pengkhelat logam. Tanin juga dapat berfungsi sebagai
antioksidan biologis (Malangngi dkk., 2012). Gambar struktur tanin dapat dilihat
pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Struktur tanin (Robinson ,1995)

f. Glikosida
Glikosida merupakan senyawa yang mengandung komponen gula dan non
gula sehingga dapat tertarik pada pelarut etanol. Glikosida pada tanaman terdapat
dalam bentuk β- glikosida. Glikosida bersifat polar tersusun dari bagian glikon
dan aglikon yang meliputi senyawa-senyawa alkoholik, fenolik, isotiosianat,
flavonoid serta steroid. Flavonoid mempunyai tipe yang beragam dan terdapat
dalam bentuk bebas (aglikon) maupun terikat sebagai glikosida. Flavonoid
umumnya memiliki ikatan dengan gugus gula yang menyebabkan flavonoid lebih
mudah larut dalam air atau pelarut polar. Glikosida yang berkhasiat obat dapat
digolongkan menjadi glikosida jantung, antrakinon, saponin, sianofor, tiosianat,
flavonol, aldehid, alkohol, lakton dan fenol (Amody dan Kamila, 2017).
Berdasarkan struktur aglikonnya, kelompok utama glikosida adalah
terpene, sterol, fenol, atau glikosida fenilpropanoid. Glikosida juga dapat
diklasifikasikan (karena sifat gula yang melekat) sebagai galaktosida, apiosida,
rhamnosida, xilosida, rutinosida, dan sebagainya. Glikosida dapat terikat pada
senyawa metabolit sekunder dan mempunyai efek farmakologi yang berbeda,
contohnya glikosida fenolik, glikosida kumarin, glikosida kromon, glikosida
flavonoid, glikosida antrakuinon, glikosida saponin, glikosida jantung, glikosida
sianogenik, dan tioglikosida. Senyawa tersebut memiliki aktivitas yang berbeda
dan perlu diperhatikan juga efek samping dari senyawa glikosida tersebut
(Suwanditya dkk., 2020).
Glikosida jantung merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat
dalam tanaman yang telah digunakan sejak dahulu sebagai obat untuk aritmia dan
gagal jantung. Glikosida jantung sering disebut steroid jantung. Contoh senyawa
tersebut adalah digoksin merupakan cardenolide yang diisolasi dari tumbuhan
dan berperan dalam aktivitas kardiotonik. Banyak metabolit sekunder tanaman di
alam muncul sebagai glikosida. Pada tanaman, glikosida sebagian besar berasal
dari post modifikasi metabolit sekunder yang dikatalisis oleh enzim tanaman,
glikosiltransferase. Modifikasi lebih lanjut dari glikosida sering terjadi, seperti
oksidasi, asilasi, dan degradasi. Glikosida terdiri dari dua bagian yang
independen secara kimiawi dan fungsional yaitu bagian aglikon (genin) dan
glikon (sakarida). Dalam glikosida, bagian sakarida terkait dengan bagian
aglikon oleh ikatan glikosidik. Ikatan glikosidik sebagian besar tidak stabil dan
rentan terhadap hidrolisis (oleh asam encer atau oleh enzim, misalnya, β-
glukosidase). Ikatan glikosidik dibagi dalam 4 tipe, yaitu O-glikosida, C-
glikosida, S-glikosida, dan N-glikosida (Suwanditya dkk., 2020).
Glikosida jantung merupakan senyawa metabolit sekunder alami yang
memiliki efek farmakologi pada otot jantung dalam dosis kecil. Efek kardiotonik
sudah dikenal di Mesir Kuno dan telah digunakan dalam pengobatan penyakit
jantung. Senyawa ini terdiri dari nukleus (inti) aglikon 5β-siklopenan,
14βandrostan-3β, 14 (siklopentana perhidrofenantren) dan bagian gula (seringkali
oligosakarida) pada posisi C-3β. Glikosida jantung dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu cardenolide dan bufadienolide. Cardenolide dengan atom karbon
sebanyak 23 (C23) mengandung cincin lima cincin γbutirolakton tidak jenuh
(butenolide). Bufadienolide merupakan senyawa dengan 24 atom karbon (C24)
yang ditandai dengan dua cincin piron (enam δvalerolakton tidak jenuh rangkap
dua) pada C17. Lakton C-17β tidak jenuh berperan penting dalam pengikatan
reseptor dan dalam keadaan jenuh dapat mengurangi aktivitas biologi cincin
glikosida jantung memiliki karakteristik "U" bentuk farmakofor, yang sangat
penting untuk aktivitas mereka. Struktur kimia glikosida jantung dengan fusi
trans C atau D tidak memiliki aktivitas farmakologi (Suwanditya dkk., 2020).
Gambar struktur glikosida dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Struktur glikosida (Suwanditya dkk.,2020)

2.3 Tahapan Pembuatan Simplisia


Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan seperti berikut:
pengumpulan simplisia, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan,
sortasi kering, pengepakan dan penyimpanan (Depkes, 1985).

a. Pengumpulan bahan baku


Pengambilan sampel dilakukan dengan cara dipilih daun yang terletak di
bagian cabang batang yang menerima sinar matahari langsung. Sampel diambil
menggunakan tangan atau menggunakan alat yang tidak mengandung logam,
dikarenakan berpotensi merusak kandungan metabolit sekunder oleh reaksi
dengan logam tersebut. Bahan sampel yang telah dikumpulkan kemudian
disimpan di dalam wadah yang bukan terbuat dari logam. Pilih daun yang mulus
dan tidak terdapat cacat sedikitpun. Daun yang baik tidak terdapat cacat, kotoran,
debu, ulat, rusak atau benda asing lain (Handoyo dan Pranoto, 2020).

b. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-
bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat
dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput,
batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotoran lainnya harus dibuang
(Azizah dkk., 2020).
c. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya
yang melekat pada daun. Pencucian dilakukan dengan air bersih dan dilakukan
dalam waktu yang sesingkat mungkin agar tidak menghilangkan zat berkhasiat
dalam daun tersebut (Azizah dkk., 2020).

d. Perajangan
Perajangan dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan,
pengepakan dan penggilingan. Perajangan dilakukan dengan menggunakan pisau
sehingga diperoleh potongan dengan ukuran yang dikehendaki (Azizah dkk.,
2020).

e. Pengeringan
Pengeringan simplisia dilakukan dengan cara
dikeringanginkan. Pengeringan ini dilakukan sampai kadar
air ≤ 10 % (Azizah dkk., 2020).
1. Pengeringan dengan sinar matahari langsung
Bahan yang telah dilakukan proses perajangan atau dalam bentuk yang
lebih kecil kemudian ditimbang sebanyak 300 gram, wadah yang digunakan
untuk pengeringan tersebut mempunyai dasar yang berlubang-lubang seperti
anyaman bambu dimaksudkan agar aliran udara dari atas ke bawah atau
sebaliknya berjalan lancar.
2. Pengeringan dengan ditutupi kain hitam menggunakan bantuan sinar matahari
langsung
Bahan simplisia yang telah dirajang kemudian ditimbang sebanyak 300
gram, wadah yang digunakan untuk pengeringan tersebut mempunyai dasar yang
berlubang-lubang seperti anyaman bambu dimaksudkan agar aliran udara dari
atas ke bawah atau sebaliknya berjalan lancar. Setelah itu ditutup bagian atasnya
menggunakan kain hitam kemudian langsung dijemur.
3. Pengeringan menggunakan oven
Bahan yang telah dirajang kemudian ditimbang sebanyak 300 gram untuk
masing-masing variasi suhu, bahan simplisia kemudian dimasukan kedalam
oven, atur suhu sesuai dengan metode uji yaitu pada suhu 45 ºC, 50 ºC, dan 60 ºC
(DepKes RI, 1985).

f. Sortasi kering
Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian
tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran yang masih ada dan
tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan secara manual (Azizah et
al, 2020).

g. Penyerbukan
Tujuan dilakukan penyerbukan adalah untuk memperkecil ukuran partikel
simplisia sehingga luas permukaan partikel menjadi besar sehingga cairan
penyari yang akan mudah melarutkan senyawa aktif dari simplisia tersebut
(Salamah, M.Sc, Apt. dkk., 2017).

2.4 Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses perpindahan suatu zat atau solut dari larutan asam
atau padatan ke dalam pelarut tertentu. Ekstraksi merupakan proses pemisahan
berdasarkan perbedaan kemampuan melarutnya komponen-komponen yang ada
dalam campuran. Secara garis besar ekstraksi dibedakan menjadi dua macam,
yaitu ekstraksi padat-cair (leaching) dan ekstraksi cair-cair (Prayudo dan Novian,
2015). Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara
konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman.
Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan
(Mukhriani, 2014). Pemilihan pelarut yang sesuai merupakan salah satu faktor
penting yang diperlukan dalam proses maserasi. Pelarut yang digunakan haruslah
pelarut yang mampu menyaring sebagian besar metabolit sekunder yang
digunakan sebagai senyawa target dalam simplisia (Agustina dkk., 2018).
Proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut secara umum dapat
dilakukan dengan dua metode. Ekstraksi dingin meliputi maserasi dan perkolasi
dan ekstraksi panas meliputi ekstraksi refluks, ekstraksi soxhlet, digesti, infusa
dan dekok (Depkes RI, 2000).

a. Ekstraksi dingin
1. Perkolasi
Perkolasi merupakan proses ekstraksi yang umum digunakan di industri
dan dipengaruhi oleh waktu dan perbandingan bahan pelarut. Waktu atau
lamanya proses ekstraksi menentukan kandungan senyawa yang keluar dari
bahan. Begitu juga perbandingan bahan pelarut, jumlah ekstrak yang terlibat
dalam perpindahan menentukan tingkat perbedaan konsentrasi yang sangat
penting dalam proses difusi yang akan mempengaruhi kandungan senyawa.
Kelemahan dari metode ini yaitu diperlukan banyak pelarut dan waktu yang
lama, sedangkan komponen yang didapat relatif tidak banyak. Keuntungannya
adalah tidak memerlukan pemanasan sehingga teknik ini baik untuk substansi
termolabil (yang tidak tahan terhadap panas) (Depkes RI, 2000).

2. Maserasi
Proses ekstraksi dengan teknik maserasi dilakukan dengan beberapa kali
pengocokan atau pengadukan pada suhu ruang. Keuntungan cara ini mudah dan
tidak perlu pemanasan sehingga kecil kemungkinan bahan alam menjadi rusak
atau terurai. Pemilihan pelarut berdasarkan kelarutan dan polaritasnya
memudahkan pemisahan bahan alam dalam sampel. Pengerjaan metode maserasi
yang lama dan keadaan diam selama maserasi memungkinkan banyak senyawa
yang akan terekstraksi. Mutu ekstrak dalam proses ekstraksi dipengaruhi oleh
teknik ekstraksi, waktu ekstraksi, temperatur, jenis pelarut, konsentrasi pelarut
dan perbandingan bahan-pelarut (Depkes RI, 2000).
b. Ekstraksi Panas
1. Refluks
Refluks Infus dan dekok adalah proses ekstraksi dengan pelarut yang
didihkan beserta simplisia selama waktu tertentu dan jumlah pelarutnya konstan,
karena pelarut terus bersirkulasi di dalam refluks (menguap,
didinginkan,kondensasi, kemudian menetes kembali ke menstrum (campuran
pelarut dan simplisia) di dalam alat). Umumnya dilakukan pengulangan pada
residu pertama, hingga didapat sebanyak 3-5 kali hingga didapat proses ekstraksi
sempurna (exhaustive extraction) (Depkes RI, 2000).

2. Soxhletasi atau ekstraksi sinambung


Soxhletasi atau ekstraksi sinambung adalah proses ekstraksi dengan
menggunakan pelarut yang selalu baru dengan menggunakan soxhlet. ekstraksi
terjadi secara kontinyu,dengan jumlah pelarut yang relatif konstan (Depkes RI,
2000).

3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (maserasi dengan pengadukan konstan)
yang dilakukan pada suhu temperatur yang lebih tinggi, umumnya 40-50oC
(Depkes RI, 2000).
Infus adalah ekstraksi dengan menggunakan air yang mendidih pada suhu
96- 98 oC, dalam waktu tertentu sekitar 15-20 menit, sedangkan dekok adalah
proses infus yang terjadi selama sekitar 30 menit lebih dan temperatur terukur
sampai titik didih air, untuk dekok sekarang sudah sangat jarang digunakan
(Depkes RI, 2000).

2.5 Fraksinasi
Fraksinasi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
triturasi. Tujuan dilakukan fraksinasi adalah untuk memisahkan senyawa-
senyawa berdasarkan tingkat kepolarannya. Pada prinsipnya senyawa polar
diekstraksi dengan pelarut polar sedangkan senyawa non-polar diekstraksi
dengan pelarut non-polar (Yuliasih, 2017; Uthia dkk., 2017).

2.6 Skrining Fitokimia


Senyawa fitokimia merupakan senyawa golongan metabolit sekunder
dalam tumbuhan maupun hewan yang memiliki fungsi tertentu bagi manusia
(Erviani dkk., 2019). Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan yang
dapat memberikan gambaran mengenai kandungan senyawa tertentu dalam bahan
alam yang akan diteliti. Skrining fitokimia dapat dilakukan baik secara kualitatif,
semi kuantitatif, maupun kuantitatif sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Metode skrining fitokimia secara kualitatif dapat dilakukan melalui reaksi warna
dengan menggunakan suatu pereaksi tertentu. Hal penting yang mempengaruhi
dalam proses skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi.
Pelarut yang tidak sesuai memungkinkan senyawa aktif yang diinginkan tidak
dapat tertarik secara baik dan sempurna (Vifta dan Advistasari, 2018).
Skrining fitokimia harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain
sederhana, cepat, dapat dilakukan dengan peralatan yang sederhana (Erviani
dkk., 2019). Letak geografis, suhu, iklim dan kesuburan tanah suatu wilayah
sangat menentukan kandungan senyawa kimia dalam suatu tumbuhan. Sampel
tumbuhan yang digunakan dalam uji fitokimia dapat berupa daun, batang, buah,
bunga dan akarnya yang memiliki khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai
bahan mentah dalam pembuatan obat modern maupun tradisional (B, 2017).

2.7 Radikal Bebas


Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan satu buah elektron dari
pasangan elektron bebasnya atau merupakan hasil pemisahan homolitik suatu
ikatan kovalen. Akibat pemecahan homolitik ini suatu molekul akan terpecah
menjadi radikal bebas yang mempunyai elektron tak berpasangan. Elektron
memerlukan pasangan untuk menyeimbangkan nilai spinnya, sehingga molekul
radikal menjadi tidak stabil dan akan mudah bereaksi dengan molekul lain
membentuk radikal baru. Radikal bebas dapat dihasilkan dari metabolisme tubuh
yang merupakan faktor internal. Selain itu juga dihasilkan oleh faktor eksternal
seperti asap rokok, hasil penyinaran ultra violet, zat pemicu radikal dalam
makanan dan polutan lainnya. Penyakit yang disebabkan radikal bebas bersifat
kronis yaitu dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penyakit tersebut menjadi
nyata atau bersifat akumulatif. Contoh penyakit yang sering dihubungkan dengan
radikal bebas adalah serangan jantung, kanker, katarak, dan menurunnya fungsi
ginjal. Untuk mencegah penyakit kronis karena radikal bebas diperlukan
antioksidan (Fakriah dkk., 2019).
Radikal bebas yang mengambil elektron dari tubuh manusia dapat
menyebabkan perubahan struktur DNA (Deoxy Nucleic Acid) sehingga
timbullah sel-sel mutan. Kerusakan sel yang diakibatkan serangan radikal bebas
antara lain:
a. Kerusakan struktur DNA (Deoxy Nucleic Acid) pada inti sel. Senyawa radikal
bebas merupakan salah satu penyebab kerusakan DNA di samping penyebab
lain seperti virus, radiasi dan zat kimia karsinogen. Akibatnya pembelahan sel
terganggu. Terjadi perubahan abnormal yang mengenai gen tertentu dalam
tubuh yang menyebabkan penyakit kanker.
b. Kerusakan membran sel. Komponen terpenting membran sel mengandung
asam lemak tak jenuh ganda yang sangat rentan terhadap serangan radikal
bebas. Akibatnya, struktur dan fungsi membran akan berubah, yang lebih
ekstrim adalah mematikan sel-sel pada jaringan tubuh. Misalnya kerusakan sel
organ tubuh.
c. Kerusakan Protein. Terjadinya kerusakan akibat serangan radikal bebas ini
termasuk oksidasi protein yang menyebabkan kerusakan jaringan tempat
protein itu berada. Contohnya: kerusakan protein pada lensa mata yang
mengakibatkan katarak.
d. Kerusakan lipid peroksida. Ini terjadi bila asam lemak tak jenuh terserang
radikal bebas, sehingga reaksi antar zat gizi dalam tubuh menghasilkan
peroksida yang menyebabkan kerusakan sel sehingga dianggap salah satu
penyebab terjadinya berbagai penyakit degeneratif (kemerosotan fungsi
tubuh).
e. Dapat menimbulkan Autoimun. Dalam keadaan normal, antibodi hanya
terbentuk bila ada antigen yang masuk dalam tubuh. Autoimun adalah
terbentuknya antibodi terhadap suatu sel tubuh biasa dan hal ini dapat merusak
jaringan tubuh.
f. Proses Penuaan Paparan radikal bebas bagi tubuh manusia bersifat akumulatif
yang akan muncul sebagai penyakit apabila sistem imunitas tubuh tidak lagi
dapat mentoleransi keberadaan senyawa radikal bebas. Hal ini dipengaruhi
oleh keseimbangan kinerja radikal bebas yang berada dalam tubuh ataupun
yang masuk ke dalam tubuh melalui lingkungan dengan kadar antioksidan
dalam tubuh. Bila kadar radikal bebas melampaui kemampuan tubuh untuk
mengelolanya maka akan timbul kondisi stress oksidatif (oxidative stress).
Stress oksidatif ini lah yang menjadi penyebab utama penyakit stroke, jantung,
tekanan darah tinggi, preeklamsia, kanker dan lainnya (Fakriah. dkk., 2019).

2.8 Antioksidan
Antioksidan adalah molekul yang dapat menetralkan radikal bebas dengan
mendonorkan elektronnya untuk mengakhiri keadaan tidak berpasangan dari
radikal. Antioksidan dapat menurunkan kerusakan oksidatif secara langsung
melalui reaksi dengan radikal bebas atau secara tidak langsung dengan
menghambat aktivitas radikal bebas atau dengan meningkatkan aktivitas enzim
antioksidan seluler. Peranan antioksidan sangat penting dalam menetralkan dan
menghancurkan radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan juga
merusak biomolekul, seperti DNA, protein dan lipoprotein di dalam tubuh yang
akhirnya dapat memicu terjadinya penyakit degeneratif, seperti kanker, jantung,
artritis, katarak, diabetes dan hati. Menghindari hal tersebut, dibutuhkan
antioksidan tambahan dari luar atau antioksidan eksogen, seperti vitamin E dan
vitamin C maupun berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Antioksidan alami
mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan oleh spesies
oksigen reaktif, menghambat terjadinya penyakit degeneratif dan mampu
menghambat peroksidasi lipid pada makanan (Hasnaeni and Aminah, 2019).
Mekanisme kerja senyawa antioksidan dalam mencegah penyakit kronis
tersebut adalah dengan cara menangkap radikal bebas dalam tubuh. Senyawa
antioksidan banyak ditemukan pada tumbuhan baik pada bunga, daun maupun
buah. Tumbuhan yang mengandung senyawa bioaktif seperti flavonoid, alkaloid,
dan terpenoid merupakan bahan baku yang potensial yang dapat digunakan
sebagai antioksidan alami (Purwanto dkk., 2017).
Buettner dan Vertuani membagi antioksidan berdasarkan cara kerjanya
yaitu antioksidan primer dan sekunder. Antioksidan primer disebut juga
antioksidan pemecah rantai, antioksidan ini bekerja dengan memecah rantai
reaksi sehingga radikal bebas menjadi kurang reaktif. Antioksidan sekunder atau
disebut juga antioksidan preventif yang bekerja dengan menginaktifkan logam,
scavenge singlet oxygen dan menstabilkan ROS. Antioksidan juga dapat dibagi
berdasarkan kelarutannya menjadi antioksidan hidrofilik dan hidrofobik.
Antioksidan hidrofilik atau water soluble adalah antioksidan yang bereaksi
dengan ROS pada sitoplasma sel dan plasma darah, contohnya asam askorbat,
glutation dan asam urat. Antioksidan hidrofobik atau lipid soluble adalah
antioksidan yang melindungi membran sel dari lipid peroksidase, contohnya
karoten, α-tokoferol dan ubiquinon. Pembagian yang paling sering dipakai adalah
antioksidan enzimatik dan non enzimatik. Antioksidan enzimatik yang terdapat
pada kulit yaitu superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase
(GSH peroksidase). Sedangkan antioksidan non enzimatik adalah vitamin C
(asam askorbat), vitamin E (alfa tokoferol), vitamin A (retinoid) dan ubiquinon
(Andarina dan Djauhari, 2017).
Antioksidan non enzimatik atau antioksidan eksogen yaitu antioksidan
yang dihasilkan dari luar tubuh. Antioksidan ini terbagi atas dua jenis yaitu
antioksidan alami dan antioksidan buatan. Antioksidan buatan dihasilkan dari
sintesis suatu reaksi kimia sedangkan antioksidan alami bisa berasal dari buah-
buahan dan tanaman (Rahmi, 2017). Penggunaan antioksidan sintetik dibatasi
oleh aturan pemerintah karena penggunaan yang melebihi batas dapat
menyebabkan racun dalam tubuh dan bersifat karsinogenik (wulansari, 2018).
Penggunaan antioksidan sintetik memberi dampak negatif pada kesehatan
manusia yaitu berupa gangguan fungsi hati, paru, mukosa usus dan keracunan
sehingga dibutuhkan alternatif antioksidan lain yang aman untuk digunakan (Sari
dan Made, 2016). Dibandingkan dengan antioksidan sintetik, antioksidan alami
umumnya lebih aman untuk dikonsumsi dan dapat meningkatkan derajat
kesehatan tubuh (Febrianti dkk., 2015).

2.9 Metode-Metode Pengujian Antioksidan


Pengujian aktivitas antioksidan dari ekstrak atau sampel uji secara in-vitro
dapat dilakukan dengan metode: metode ORAC (Oxygen Radical Absorbance
Capacity method), metode TRAP (total Radical-Trapping Antioxidant Parameter
method), metode TEAC (Trolox Equivalent Antioxidant Capacity method),
metode PRSC (Peroxyl Radical Scavenging Capacity method), metode DPPH
(2,2- diphenyl picrylhydrazyl), metode TOSC (total Oxyradical Scavenging
Capacity method), metode FRAP (Ferric Reducing / Antioxidant Power method),
CUPRAC (Cupric ion reducing antioxidant capacity), dan ABTS (2,2’-Azinobis
[3-ethylbenzothiazoline-6-sulfonic acid]-diammonium salt) (Hidayah dan
Purwanto, 2015) .

a. Metode ABTS
Pengujian antioksidan juga dapat dilakukan menggunakan metode ABTS
(2,2-Azinobis 3-ethylbenzothiazoline 6-sulfonic acid) yang merupakan senyawa
radikal yang mengandung atom nitrogen. Prinsip pengujian adalah penstabilan
radikal bebas melalui donor proton. Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan
berdasarkan penghilangan warna ABTS yang semula berwarna biru hijau akan
berubah menjadi tidak berwarna apabila tereduksi oleh radikal bebas. Intensitas
warna yang terbentuk kemudian diukur menggunakan spektrofotometri visible
pada panjang gelombang 734. Hasil yang didapat dibandingkan dengan larutan
standar trolox yang merupakan antioksidan analog tokoferol (Wulansari, 2018).
Metode ABTS jika dibandingkan dengan DPPH memiliki keunggulan yaitu
memberikan absorbansi spesifik pada panjang gelombang visible dan waktu
reaksi yang lebih cepat. Selain itu, ABTS dapat dilarutkan dalam pelarut organik
maupun air sehingga bisa mendeteksi senyawa yang bersifat lipofilik maupun
hidrofilik namun pengujian menggunakan ABTS tidak menggambarkan sistem
pertahanan tubuh terhadap radikal bebas sehingga ABTS hanya dapat dijadikan
sebagai metode pembanding karena tidak mewakili sistem biologis tubuh
(Wulansari, 2018).

b. Metode CUPRAC
Metode CUPRAC merupakan salah satu metode untuk melihat daya
antioksidan senyawa-senyawa polifenol, dan Vitamin E yang dikenal mudah
untuk diaplikasikan dan berbiaya rendah. Metode ini menggunakan reagen
copper(II)-neocuproine (Cu(II)-Nc). Metode ini dapat juga digunakan untuk
mengetahui kapasitas antioksidan senyawa- senyawa fenolik (Nugraha dkk.,
2017).
Pada pengujian CUPRAC (Cupric ion reducing antioxidant capacity),
reagen Cu(II)-neokuproin (Cu(II)-(Nc)2) digunakan sebagai agen pengoksidasi
kromogenik karena reduksi ion Cu(II) dapat diukur. Pereaksi CUPRAC
merupakan pereaksi yang selektif karena memiliki nilai potensial reduksi yang
rendah. Metode pengukuran kapasitas antioksidan dengan menggunakan metode
CUPRAC memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan metode pengukuran
antioksidan yang lain yaitu reagen CUPRAC cukup cepat untuk mengoksidasi
tiol jenis antioksidan, pereaksi CUPRAC merupakan pereaksi selektif karena
potensi redoksnya lebih rendah. Reagen CUPRAC lebih stabil dan dapat diakses
dari reagen kromogenik lainnya (mis., ABTS, DPPH) (Maryam dkk.,2016).

c. Metode DPPH
Pengujian aktivitas antioksidan dapat dilakukan secara in vitro dengan
metode DPPH. DPPH (2,2 difenil-1- pikrihidrazil) merupakan suatu senyawa
radikal yang bersifat stabil. DPPH digunakan untuk mengetahui aktivitas
antioksidan melalui kemampuannya dalam menangkap radikal bebas. Aktivitas
antioksidan diukur berdasarkan transfer elektron yang dilakukan oleh
antioksidan. Semula DPPH yang berwarna ungu pekat memberikan serapan pada
panjang gelombang 517 nm namun setelah mengalami reduksi maka DPPH akan
berubah menjadi senyawa difenil pikril hidrazin yang warnanya akan berangsur
angsur memudar menjadi warna kuning dan nilai serapannya akan sebanding
dengan jumlah elektron yang diterima. Metode DPPH memiliki keunggulan yaitu
metode analisisnya yang bersifat sederhana, cepat, mudah dan sensitif terhadap
sampel dengan konsentrasi yang kecil namun pengujian menggunakan DPPH
terbatasi karena DPPH hanya dapat dilarutkan dalam pelarut organik sehingga
agak sulit untuk menganalisis senyawa yang bersifat hidrofilik (Wulansari,
2018).

d. Metode FRAP
Metode FRAP dikenal sebagai metode yang secara langsung mengukur
antioksidan dalam bahan dan merupakan metode yang dapat digunakan untuk
menguji antioksidan dalam tumbuh-tumbuhan, metodenya yang mudah
pengerjaannya, murah dan cepat, reagen yang digunakan cukup sederhana serta
tidak menggunakan alat khusus untuk menghitung total antioksidan (Wabula R.A
dkk., 2019). Metode ini dapat menentukan kandungan antioksidan total dari suatu
bahan berdasarkan kemampuan senyawa antioksidan untuk mereduksi ion Fe3+
menjadi Fe2+ sehingga kekuatan antioksidan suatu senyawa dianalogikan dengan
kemampuan mereduksi dari senyawa tersebut. Prinsip dari uji FRAP adalah
reaksi transfer elektron dari antioksidan ke senyawa Fe3+ - TPTZ. Senyawa Fe3+
- TPTZ sendiri mewakili senyawa oksidator yang mungkin terdapat dalam tubuh
dan dapat merusak sel-sel (Maryam dkk., 2016).
Hasil pengujian diinterpretasikan dengan peningkatan absorbansi pada
panjang gelombang 593 nm dan dapat disimpulkan sebagai jumlah Fe2+ (dalam
mikromolekular) ekuivalen dengan antioksidan standar. Penentuan nilai TAC
(Total Antioxidant Capacity) pada sampel dilakukan dengan mencampurkan
reagen FRAP dengan ekstrak sampel. Dalam reagen FRAP terdapat campuran
TPTZ, FeCl3 dan buffer asetat, sehingga reagen FRAP merupakan senyawa
komplek Fe3+ -TPTZ yang tidak berwarna (berbeda dengan komplek Fe2+ yang
berwarna biru). Senyawa Fe3+ - TPTZ mewakili senyawa oksidator yang
mungkin terdapat di dalam tubuh dan dapat merusak sel-sel tubuh, sedangkan
ekstrak sampel mengandung antioksidan yang kemudian dapat mereduksi Fe3+ -
TPTZ menjadi Fe2+ - TPTZ sehingga senyawa Fe3+- TPTZ tidak akan
melakukan reaksi yang merusak sel-sel tubuh. Semakin banyak konsentrasi Fe3+
- TPTZ yang direduksi oleh sampel menjadi Fe2+ -TPTZ, maka aktivitas
antioksidan dari sampel juga semakin besar (Pisoschi dan Gheorghe, 2011).
Metode FRAP memiliki keunggulan yaitu prosedurnya yang sederhana,
metodenya murah, cepat dan reagen yang digunakan cukup sederhana serta tidak
menggunakan alat khusus untuk menghitung total antioksidan (Maryam dkk.,
2016).

2.10 Spektrofotometri UV-VIS


Spektrofotometri UV-Vis singkatan dari spektrofotometri sinar ultraviolet
dan visible (cahaya tampak). Metode ini didasarkan pada pengukuran energi
cahaya oleh suatu zat kimia pada panjang gelombang maksimum tertentu. Sinar
ultraviolet (UV) mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, dan sinar
tampak (visible) mempunyai panjang gelombang 400-750 nm. Pada metode ini
ada suatu hukum yang menjadi acuan dalam penentuan suatu zat secara
kuantitatif. Hukum tersebut yaitu hukum Lambert-Beer. Hukum yang
menyatakan hubungan berbanding lurus antara absorban dengan konsentrasi
larutan analit dan berbanding terbalik dengan transmitan. Namun demikian
hukum ini memiliki beberapa pembatasan, yaitu:
a) Sinar yang dilewatkan harus dianggap monokromatis
b) Penyerapan dilakukan dalam volume yang memiliki ketebalan yang sama
c) Zat kimia yang menyerap tidak tergantung pada zat yang lain dalam larutan
tersebut
d) Tidak boleh ada fluoresensi atau fosforisensi
e) Konsentrasi larutan mempengaruhi indeks bias
Hukum Lambert-Beer dinyatakan dalam persamaan (1).

A=e.b.c (1)
Dimana:
A = absorban (serapan cahaya oleh zat kimia)
e = absorptivitas molar
b = tebal kuvet (cm)
c = konsentrasi (Iskandar, 2017).
Prinsip penentuan spektrofotometer UV-Vis adalah aplikasi dari Hukum
Lambert-Beer, yaitu:
A = - log T = - log It / Io = ε . b . C
Dimana :
A = Absorbansi dari sampel yang akan diukur
T = Transmitansi I0 = Intensitas sinar masuk
It = Intensitas sinar yang diteruskan
ε = Koefisien ekstingsi
b = Tebal kuvet yang digunakan
C = Konsentrasi dari sampel
Melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya tersebut diserap (I),
sebagian dipantulkan (lr), dan sebagian lagi dipancarkan (It). Aplikasi rumus
tersebut dalam pengukuran kuantitatif dilaksanakan dengan cara komparatif
menggunakan kurva kalibrasi dari hubungan konsentrasi deret larutan alat untuk
analisa suatu unsur yang berkadar rendah baik secara kuantitatif maupun secara
kualitatif, pada penentuan secara kualitatif berdasarkan puncak-puncak yang
dihasilkan spektrum dari suatu unsur tertentu pada panjang gelombang tertentu,
sedangkan penentuan secara kuantitatif berdasarkan nilai absorbansi yang
dihasilkan dari spektrum dengan adanya senyawa pengompleks sesuai unsur
yang dianalisisnya. Adapun yang melandasi pengukuran spektrofotometer ini
dalam penggunaannya adalah hukum Lambert-Beer yaitu bila suatu cahaya
monokromatis dilewatkan melalui suatu media yang transparan, maka intensitas
cahaya yang ditransmisikan sebanding dengan tebal dan kepekaan media larutan
digunakan (Yunlinastuti dan Syamsul.,2016).
2.11 Kerangka Konsep

Radikal bebas adalah Antioksidan adalah Penggunaan antioksidan


molekul yang kehilangan molekul yang dapat sintetik memberi dampak
satu buah elektron dari menetralkan radikal bebas negatif pada kesehatan
pasangan elektron bebasnya dengan mendonorkan manusia yaitu berupa
atau merupakan hasil elektronnya untuk gangguan fungsi hati, paru,
pemisahan homolitik suatu mengakhiri keadaan tidak mukosa usus dan keracunan
ikatan kovalen (Fakriah berpasangan dari radikal sehingga dibutuhkan
dkk, 2019). (Hasnaeni dan Aminah, alternatif antioksidan lain
2019). yang aman untuk digunakan
(Sari, 2016)

Antioksidan
Radikal bebas sintetik
Antioksidan
Antioksidan
alami

IC50 Skrining
Fitokimia
Tumbuhan Hewani Mineral

Uji aktivitas
Metabolit
antioksidan Berdasarkan uji
Sekunder Kulit umbi
ubi kayu fitokimia kulit umbi
Uji Kadar Fenolik Uji kadar fenolik
total Ubi Kayu (Manihot

ekstrak esculenta) memiliki


Uji Kadar Uji kadar kandungan kimia yang
Flavonoid total flavonoid
terdiri atas golongan
Fraksi
fenolik, terpenoid
flavanoid, dan tanin
= Variabel bebas
(Gagola.,2014).
= Variabel terikat

Gambar 2.11. kerangka konsep


BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini di lakukan di Laboratorium Farmasi, Program Studi Farmasi,
Fakultas Farmasi, Universitas Halu Oleo. Waktu penelitian dimulai pada bulan
Februari 2022 hingga bulan Juli 2022.

3.2 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental yang dilakukan di
Laboratorium Farmasi dengan melakukan pengujian aktivitas antioksidan dan
penetapan kadar flavonoid dan fenolik dari ekstrak metanol, fraksi metanol,
fraksi etil asetat, dan fraksi n-heksan kulit umbi ubi kayu.

3.3 Bahan Penelitian


Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu kulit umbi ubi kayu
(Manihot esculenta), alumunium foil, kertas saring, plastik WRAP, aquades,
metanol (teknis), metanol p.a, asam klorida (HCl), Bismut Nitrat (Bi(NO₃)₃),
Potasium Iodide (KI), Asam Asetat Anhidrat, Asam sulfat pekat, etanol absolut,
asam sitrat, asam borat, Besi (III) klorida (FeCl 3) 1%, kloroform, etil asetat, n-
heksana, Troloks, radikal ABTS dan radikal CUPRAC, asam asetat glassial,
natrium hidroksida (NaOH 1%), asam galat, kalium persulfat (K 2S2O7), tembaga
II klorida (CuCl2), neukuproin (C14H12N2), buffer amonium asetat, Reagen Folin-
ciocalteau, asam oksalat, aluminium klorida (AlCl3), natrium bikarbonat
(Na2CO3), quarsetin (C15H10O7), kalium asetat (CH3CO2K).

3.4 Alat Penelitian


Alat yang digunakan ini adalah batang pengaduk (Pyrex®), gelas kimia
(Pyrex®), gelas ukur (Pyrex®), corong pisah (Pyrex®), pipet tetes, pipet ukur,
cawan porselin, labu takar, tabung reaksi (Pyrex®), sendok tanduk, rak tabung
reaksi, toples kaca, spatula, mikropipet (Eppendorf®), kertas saring biasa,
(Explorer Ohaus®), hot plate (Stuart®), spektrofotometer UV-Vis (Jenway
6800®), timbangan analitik (Precisa XB 220A®), rotary vacuum evaporator
(Buchi®), dan blender (Miyako®).

3.5 Variabel Penelitian


a. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi
kayu.
b. Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah nilai IC50, kadar total fenolik
dan kadar total flavonoid.

3.6 Definisi Operasional


Untuk menghindari adanya kekeliruan maka dijelaskan definisi operasional
variabel sebagai berikut:
a. Ekstrak metanol kulit umbi ubi kayu adalah ekstrak yang diperoleh dari
maserasi menggunakan pelarut metanol.
b. Fraksi adalah hasil fraksinasi ekstrak metanol dengan menggunakan pelarut
(n-heksan dan etil asetat).
c. Aktivitas antioksidan adalah kemampuan ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi
kayu dalam menstabilkan radikal ABTS dan CUPRAC.
d. Aktivitas antioksidan dinyatakan dengan nilai IC50. Nilai IC50 adalah
konsentrasi antioksidan yang mampu meredam radikal bebas sebanyak 50%.
Zat yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai nilai IC 50
yang rendah.
e. Kadar flavonoid total dalam penelitian ini adalah kadar total flavonoid dalam
ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi kayu yang dihitung berdasarkan ekuivalen
quarsetin.
f. Kadar fenolik total dalam penelitian ini adalah kadar total senyawa fenolik
dalam ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi kayu yang dihitung berdasarkan
ekuivalen asam galat.
3.7 Prosedur Penelitian
a. Determinasi tanaman
Tumbuhan yang diperoleh dideterminasi di Laboratorium Pengembangan
Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Halu Oleo.

b. Penyiapan sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit umbi ubi kayu
(Manihot esculenta) dari Kecamatan Anduonohu, Kota Kendari, Sulawesi
Tenggara. Preparasi sampel dilakukan dengan pengumpulan kulit umbi ubi kayu
(Manihot esculenta) dari bagian tanaman lainnya, sortasi basah, pencucian,
perajangan, pengeringan dan sortasi kering. Sampel kulit umbi ubi kayu disortasi
untuk menghilangkan zat pengotornya kemudian dicuci sampelnya dan dipotong-
potong, setelah itu dikeringkan di bawah sinar matahari yang ditutupi dengan
kain hitam sampai kering, kemudian dihaluskan menggunakan blender sehingga
dihasilkan simplisia yang berbentuk sel kecil dan kemudian disimpan dalam
wadah bersih serta kering.

c. Pembuatan ekstrak
Ekstrak metanol kulit umbi ubi kayu (Manihot esculenta) dibuat dengan
metode maserasi. Serbuk kulit umbi ubi kayu yang telah diblender ditimbang
sebanyak 800 g. kemudian dimasukkan ke dalam toples maserasi dan
ditambahkan metanol kemudian dilakukan maserasi selama 3 x 24 jam. Hasil
maserasi disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang dihasilkan diuapkan
dengan menggunakan rotary evaporator sehingga didapatkan ekstrak kulit ubi
kayu.

d. Fraksinasi
Fraksinasi pada penelitian ini dilakukan secara triturasi. Triturasi dilakukan
terhadap ekstrak metanol kulit umbi ubi kayu (Manihot esculenta). Pelarut yang
digunakan dalam triturasi adalah n-heksan dan etil asetat. Bagian yang larut n-
heksan disebut fraksi n-heksan, bagian yang larut etil asetat disebut sebagai fraksi
etil dan bagian yang tidak larut etil asetat disebut fraksi sisa. Ekstrak kulit umbi
ubi kayu difraksinasi dengan metode triturasi menggunakan pelarut n-heksan dan
etil asetat. Diambil 30 gram ekstrak metanol kulit umbi ubi kayu (Manihot
esculenta) kemudian dimasukan ke dalam lumpang alu, ditambahkan pelarut n-
heksan lalu digerus selama 15 menit dan dilakukan berulang sampai perlarutnya
tidak berubah warna. Kemudian ekstrak sisa n-heksan dikeringkan 20-30 menit
setelah itu ditriturasi kembali dengan pelarut etil asetat dilakukan perlakuan yang
sama seperti metode triturasi menggunakan pelarut n-heksan, setelah itu
ditambah metanol sebagai fraksi sisa.

e. Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan pada ekstrak metanol, fraksi n-heksan, fraksi
etil asetat dan fraksi sisa kulit umbi ubi kayu dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Alkaloid
Sebanyak 1 ml ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi kayu dimasukan masing-
masing kedalam tabung, kemudian masing-masing diteteskan dengan reagen
dragendorf 1-2 tetes. Pereaksi Dragendorf yang positif mengandung alkaloid
akan terjadi endapan berwarna merah bata (coklat hingga berwarna jingga)
(Djoronga dkk., 2014).
2. Terpenoid
Sebanyak 1 ml ekstrakdan fraksi kulit umbi ubi kayu dimasukan masing-
masing kedalam tabung, kemudian masing-masing diteteskan dengan reagen
liberman-Burchard 1-2 tetes. Pereaksi Liberman-Burchard yang positif
mengandung terpenoid terbentuk warna merah, ungu atau jingga (Lumowa dan
Syahril, 2018).
3. Flavonoid
Sebanyak 1 ml ekstrakdan fraksi kulit umbi ubi kayu dimasukan masing-
masing kedalam tabung, kemudian masing-masing diteteskan dengan reagen
sitroborat 1-2 tetes. Pereaksi Sitroborat positif mengandung flavonoid apabila
terbentuk warna kuning terang (Fahrurroji dan Riza, 2020).
4. Saponin
Sebanyak 1 ml ekstrakdan fraksi kulit umbi ubi kayu dimasukan masing-
masing kedalam tabung, Kemudian masing-masing ditambahkan 10 ml air panas
lalu dilakukan pengocokan. Uji dikatakan positif mengandung saponin apabila
terdapat busa yang tidak hilang dalam pengocokan (Agustina dkk., 2018).
5. Tanin
Sebanyak 1 ml ekstrakdan fraksi kulit umbi ubi kayu dimasukan masing-
masing kedalam tabung, kemudian masing-masing ditambahkan beberapa tetes
larutan besi (III) Klorida 1%. Perubahan yang terjadi diamati, terbentuknya warna
biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya senyawa tanin
(Ningrum dkk., 2017).
6. Glikosida
Ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi kayu sebanyak 5 ml dicampur dengan 2
ml asam asetat glasial. Hasil dari uji glikosida jantung ditentukan dengan
penambahan 1 ml H2SO4 pekat ke dalam campuran. Terbentuknya suatu cincin
berwarna coklat yang ada pada permukaan menandakan adanya kardenolida
(glikosida jantung). Suatu cincin yang berwarna ungu mungkin akan nampak di
bawah cincin yang berwarna coklat, sementara pada saat berada dalam lapisan
asam asetat, secara berangsur-angsur akan terbentuk lapisan yang berwarna
kehijau-hijauan di bawah cincin yang berwarna ungu sebelumnya (Amody dan
Kamila, 2017)

f. Uji Aktivitas Antioksidan


1. Metode ABTS
a) Pembuatan Larutan Stok ABTS
1) Dibuat larutan ABTS 7 mM: ditimbang 18 mg ABTS kemudian dilarutkan
dengan 5 ml aquadest dalam labu 25 mL kemudian dicukupkan dengan
metanol pa sampai tanda tera.
2) Larutan K2S2O8 : Ditimbang 14 mg kalium persulfat (24,5 mM kemudian
dilarutkan dengan 5 ml aquadest dalam labu 25 mL kemudian dicukupkan
dengan metanol pa sampai tanda tera.
3) Larutan stok ABTS: 25 mL larutan ABTS ditambahkan 25 mL larutan kalium
persulfat, diinkubasi dalam ruang gelap suhu 22-240C selama 12-16 jam
sebelum digunakan, dihasilkan ABTS dengan warna biru gelap (Misriyani
dkk., 2015).
b) Pengukuran Panjang Gelombang Serapan Maksimum ABTS
Larutan ABTS dipipet sebanyak 1 mL dan dicukupkan volumenya hingga 5
mL dengan metanol p.a dalam labu terukur. Larutan ini kemudian diukur dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 400-800 nm (Sami dan sitti,
2016;Utami dkk., 2018).
c) Penentuan Operating Time
Larutan ABTS 1 mL dimasukan ke dalam tabung reaksi, ditambah dengan 1
mL trolox dengan konsentrasi 5, 10, 15, 200, dan 25 ppm kemudian didiamkan di
tempat gelap selama 30 menit (operating time). Serapan ABTS terhadap Trolox®
dibaca pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh yaitu 730,6 nm dan
dihitung % daya antioksidan perasan daging buah lemon terhadap radikal bebas
ABTS. Daya antioksidan dapat dihitung dengan rumus: (Puspitasari dkk., 2020).
Daya Antioksidan (%) = (Ao-As)/Aox 100%
Keterangan :
Ao : Absorbansi larutan kontrol
As : Absorbansi larutan sampel setelah ditambahkan Abts
d) Pembuatan Larutan Pembanding
Dibuat larutan pembanding Trolox® 100 ppm dengan cara menimbang 10
mg Trolox® dan dilarutkan dengan metanol p.a sambil diaduk hingga homogen.
Kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL kemudian dicukupkan
dengan metanol p.a sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen. Larutan
dibuat dengan seri konsentrasi 3 ppm, 6 ppm, 9 ppm, 12 ppm dan 15 ppm (Haeria
dkk., 2018).
e) Pembuatan Larutan Stok Ekstrak Dan Fraksi Kulit Umbi Ubi Kayu (Manihot
esculenta)
Larutan induk sampel 100 ppm dibuat dengan cara menimbang 10 mg
ekstrak kental dan fraksi (n-heksan, etil asetat dan fraksi sisa) kulit umbi ubi kayu
dan dilarutkan dalam metanol p.a 100 mL sampai homogen. Larutan induk
diencerkan dengan seri konsentrasi 3 ppm, 6 ppm, 9 ppm, 12 ppm dan 15 ppm
(Sami dan Sitti, 2016).
f) Pengukuran Aktivitas Antioksidan Ekstrak Dan Fraksi Kulit Umbi Ubi Kayu
(Manihot esculenta) dengan Menggunakan Larutan ABTS
Pengujian dilakukan dengan cara dipipet larutan seri pembanding dan
larutan seri sampel sebanyak 1 mL lalu ditambahkan 3 mL metanol p.a dan 1 mL
larutan stok ABTS, kemudian dihomogenkan. Selanjutnya larutan diinkubasi
selama waktu operating time pada suhu ruang. Absorbansi larutan masing-
masing diukur pada panjang gelombang maksimum larutan stok ABTS yang
telah diperoleh (Sami dan Sitti, 2015).
g) Persentase Tingkat Inhibisi (IC50)
Suatu senyawa dikatakan berpotensi sebagai antioksidan kuat jika memiliki
nilai IC50 50 – 100 ppm, Aktivitas antioksidan sampel ditentukan oleh besarnya
hambatan serapan radikal bebas ABTS melalui perhitungan persentase inhibisi
serapan ABTS dengan menggunakan rumus:
(absorbansi blanko−Absorbansi sampel)
x 100 %
Absorbansi blanko

Aktivitas antioksidan ditunjukkan dengan nilai IC50 yang diperoleh dari


persamaan regresi linier konsentrasi larutan uji dengan % daya antioksidan.Nilai
IC50 diperoleh dari % inhibisi dan konsentrasi ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi
kayu dengan memplotkan nilai hasil perhitungan dalam persamaan regresi linear
dengan konsentrasi (ppm) sebagai sumbu X dan persentase inhibisi sebagai
sumbu Y, sehingga diperoleh persamaan Y = ax + b. Aktivitas Antioksidan
dinyatakan dengan nilai IC50 (50% Inhibition Concentration) yaitu konsentrasi
sampel yang mampu meredam radikal ABTS 50%. Nilai IC50 didapatkan dari x
setelah mengganti y dengan 50 (Puspitasari dkk., 2020; Vifta dkk., 2019).
2. Metode CUPRAC
a) Pembuatan Larutan Stok CUPRAC
1) Pembuatan Larutan CuCl2.2H2O 0,01 M
Larutan CuCl2.2H2O 0,01 M dibuat dengan melarutkan 171 mg CuCl 2
dalam aquadest dan diencerkan sampai 100 mL (sayakti dkk.,2022).
2) Pembuatan Larutan Neokuproin Etanolik 0,0075 M
Larutan Neocuproine (Nc) Etanolik 0,0075 M dibuat dengan melarutkan
156 mg neokuproin dalam metanol pa dan diencerkan sampai 100 mL (Sayakti
dkk., 2022).
3) Pembuatan Larutan Buffer Amonium Asetat 1 M
Amonium asetat pH 7 yang dibuat dengan melarutkan 19,27 gram NH4Ac
pada labu ukur 100 mL dan ditambah aquades sampai tanda tera (Sayakti dkk.,
2022).
b) Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Penentuan panjang gelombang dilakukan dengan menambahkan larutan
0.01 M CuCl2.2H2O, 0,0075 M Nc, 1 M buffer amonium asetat, etanol p.a
masing-masing 1 dan 0,1 mL aquades dalam vial. Larutan kemudian diukur
absorbansi pada panjang gelombang 400-800 nm menggunakan spektrofotometer
UV-Vis (Haeria dkk.,2018).
c) Penentuan Operatingtime
Penentuan operating time dilakukan dengan cara mencampur 1 mL
CuCl2.2H2O 0,01 M, 1 mL Neocupproine Etanolik 0,0075 M, 1 mL Buffer
NH4Ac 1 M, kemudian ditambahkan 3 mL metanol p.a, 0,1 ml aquadest dan 1 mL
trolox larutan tersebut diukur pada menit 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 pada panjang
gelombang maksimum yang telah diperoleh (Rastuti dan Purwati, 2012).
d) Pembuatan Larutan Pembanding
Dibuat larutan pembanding Trolox® 100 ppm dengan cara menimbang 10
mg Trolox® dan dilarutkan dengan metanol p.a sambil diaduk hingga homogen.
Kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL kemudian dicukupkan
dengan metanol p.a sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen. Larutan
dibuat dengan seri konsentrasi 3 ppm, 6 ppm, 9 ppm, 12 ppm dan 15 ppm (Haeria
dkk., 2018).
e) Pembuatan Larutan Stok Ekstrak Dan Fraksi Kulit Umbi Ubi Kayu (Manihot
esculenta)
Dibuat larutan stok sampel 100 ppm dengan cara menimbang 2,5 mg
ekstrak dan masing-masing ekstrak kulit umbi ubi kayu dan fraksi (n-heksan, etil
asetat dan sisa) yang dilarutkan dengan metanol p.a hingga batas labu ukur 25
mL. Selanjutnya dari larutan stok 100 ppm diambil masing-masing 0,1 mL, 0,2
mL, 0,3 mL, 0,4 mL, dan 0,5 mL dan diencerkan dalam labu ukur hingga volume
10 mL kemudian dihomogenkan. Konsentrasi larutan stok 100 ppm sampel
ekstrak dan fraksi (n-heksan, kloroform, etil asetat dan sisa air) yakni 3 ppm, 6
ppm, 9 ppm, 12 ppm, dan 15 ppm (Sami dan Siti, 2015).
f) Pengukuran Aktivitas Antioksidan Ekstrak dan Fraksi Kulit Umbi Ubi Kayu
(Manihot esculenta) dengan Menggunakan Larutan CUPRAC
Larutan seri pembanding dan larutan seri sampel masing-masing dipipet 1
mL, ditambahkan 1 mL larutan CuCl2.2H2O 0,01 M, 1 mL Neokuproin Etanolik
0,0075 M, 1 mL Buffer NH 4Ac 1 M, dan 0,1 mL aquadest. Selanjutnya larutan
diinkubasi selama waktu operating time pada suhu ruangan dan kemudian diukur
serapannya dengan spektrofotometer ultraviolet-visible (UV-Vis) pada panjang
gelombang maksimum yang telah diperoleh (Hafiz Ramadhan dkk., 2020).
g) Persentase Tingkat Inhibisi (IC50)
Suatu senyawa dikatakan berpotensi sebagai antioksidan kuat jika memiliki
nilai IC50 50 – 100 ppm, Aktivitas antioksidan sampel ditentukan oleh besarnya
hambatan serapan radikal bebas Cuprac melalui perhitungan persentase inhibisi
serapan Cuprac dengan menggunakan rumus:
( absorbansi blanko− Absorbansi sampel )
x 100 %
Absorbansiblanko

Untuk mendapatkan persamaan linear regresi linier yang dapat digunakan


untuk menghitung nilai IC50. Nilai tersebut adalah konsentrasi yang dibutuhkan
untuk mendapatkan aktivitas 50%. Perhitungan nilai IC50 dilakukan
menggunakan data persen inhibisi yang digunakan untuk mendapatkan
persamaan regresi linier y= bx + a dengan konsentrasi sampel adalah x dan
persen inhibisi sebagai y. Nilai IC50 dihitung dengan mengganti nilai y sebesar 50
untuk mendapatkan nilai x. Semakin rendah nilai IC 50 yang didapatkan maka
semakin baik aktivitas antioksidannya (Puspitasari dkk., 2020; Sayakti dkk.,
2022).

g. Penetapan Kadar Fenolik Total


1. Pembuatan Larutan Standar Asam Galat
Larutan standar asam galat 1000 ppm dibuat dengan menimbang 10 mg
asam galat dilarutkan dengan metanol p.a hingga volume 10 mL. Kemudian
dibuat beberapa konsentrasi 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm dan 100 ppm
(Ahmad dkk., 2015).
2. Penentuan Panjang Gelombang
Larutan asam galat 1000 ppm diambil sebanyak 1 mL ditambahkan reagen
Folin-Ciocalteu sebanyak 0,4 mL dan 4 mL natrium karbonat 7%. Penentuan
panjang gelombang maksimum asam galat dilakukan running pada range panjang
gelombang 400-800 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Sari dan
Noverda, 2017).
3. Penentuan Operating Time
Larutan asam galat 1000 ppm diambil sebanyak 0,5 mL ditambahkan
dengan reagen Folin-Ciocalteu sebanyak 0,4 mL, kemudian ditambahkan 4 mL
Na2CO3 7%. Diukur absorbansi larutan dengan interval waktu 10, 20, 30, 40, 50
dan 60 menit dengan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang
maksimum yang telah diperoleh (Sari dan Noverda, 2017; Rastuti dan Purwanti,
2012).
4. Penentuan Kurva Baku Asam Galat
Masing-masing seri konsentrasi larutan standar asam galat (20 ppm, 40
ppm, 60 ppm, 80 ppm dan 100 ppm) masing-masing konsentrasi tersebut diambil
1 mL, ditambahkan 0,4 mL reagen Folin-Ciocalteu dikocok dan dibiarkan 8
menit, ditambahkan 4 mL larutan Na2CO3 7% kocok hingga homogen dan
dicukupkan larutannya menggunakan aquades hingga 10 mL. Setelah itu
diinkubasi selama waktu operating time pada suhu ruangan dan dilakukan
pengukuran absorbansi pada panjang gelombang maksimum yang telah diperoleh
dengan dilakukan tiga kali pengulangan. Dibuat kurva kalibrasi hubungan antara
konsentrasi asam galat dengan absorbansi (Ahmad dkk., 2015).
5. Penetapan Kadar Fenolik Total Ekstrak Fraksi Kulit Umbi ubi kayu
Masing-masing larutan ekstrak metanol dan fraksi dibuat dengan cara
menimbang 10 mg kemudian dilarutkan dengan 10 mL metanol p.a. Masing-
masing dipipet sebanyak 1 mL larutan ekstrak metanol dan fraksi, kemudian
sampel ditambahkan dengan 0,4 mL reagen Folin-Ciocalteu dikocok dan
dibiarkan 4-8 menit, tambahkan 4,0 mL larutan Na 2CO3 7% kocok hingga
homogen, dicukupkan volume larutannya menggunakan aquades hingga 10 mL
dan diamkan selama operating time pada suhu ruangan. Diukur absorbansi pada
panjang gelombang maksimum. Dilakukan dalam 3 kali pengukuran dan kadar
fenolik yang diperoleh dinyatakan sebagai ekuivalen asam galat (Ahmad dkk.,
2015).
Kadar fenolik total diperoleh dari nilai absorbansi masing-masing sampel
kemudian diplotkan ke dalam persamaan kurva baku asam galat. Nilai yang
didapat dikalikan volume total sampel dan dibandingkan dengan bobot
penimbangan dengan rumus (Ahmad dkk., 2015; Wardhani dkk., 2018):
(c x v x Fp)
Kadar total fenolik per berat sampel =
m
Keterangan: C = Konsentrasi total fenolik V = Volume sampel (L)
Fp = Faktor pengenceran m = Massa ekstrak (g)

h. Penetapan Kadar Flavonoid


1. Pembuatan Larutan Kurva Baku Quersetin
Ditimbang 10 mg baku standar kuersetin dan dilarutkan dalam 10 mL
metanol p.a untuk 1000 ppm. Kemudian dibuat dengan seri konsentrasi 20 ppm,
40 ppm, 60 ppm, 80 ppm dan 100 ppm (Ahmad dkk., 2015).
2. Penetapan Panjang Gelombang Maksimum Quersetin
Larutan kuersetin 100 ppm diambil sebanyak 1 mL, ditambahkan 1 mL
AlCl3 10% dan 8 mL kalium asetat 1 M (Sari and Noverda, 2017.) Penentuan
panjang gelombang maksimum kuersetin dilakukan running larutan kuersetin
pada range panjang gelombang 400-600 nm (Fawwaz dkk., 2017).
3. Penentuan Operating Time
Larutan asam galat 1000 ppm diambil sebanyak 0,5 mL ditambahkan
dengan reagen Folin-Ciocalteu sebanyak 0,4 mL, kemudian ditambahkan 4 mL
Na2CO3 7%. Diukur absorbansi larutan dengan interval waktu 10, 20, 30, 40, 50
dan 60 menit dengan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang
maksimum yang telah diperoleh (Sari dan Noverda, 2017; Rastuti dan Purwanti,
2012).
4. Penentuan Kurva Baku Quarsetin
Masing-masing seri konsentrasi larutan standar kuersetin (20 ppm, 40
ppm, 60 ppm, 80 ppm dan 100 ppm) diambil 1 mL ditambahkan 3 mL metanol,
0,2 mL AlCl3 10%, 0,2 mL kalium asetat 1 M, dan dicukupkan dengan aquades
sampai 10 mL dan diinkubasi selama operating time. Seluruh seri konsentrasi
larutan baku dilakukan pengukuran pada panjang gelomang maksimum yang
diperoleh. Dibuat kurva kalibrasi hubungan antara kuarsetin dengan absorbansi
(Ahmad dkk., 2015).
5. Penetapan Kadar Fenolik Total Ekstrak dan Fraksi Kulit Umbi ubi kayu
(Manihot esculenta)
Ditimbang 10 mg ekstrak dan fraksi dilarutkan dalam 10 mL metanol.
Diambil 1 mL dan ditambahkan 3 mL metanol, ditambahkan 0,2 mL AlCl3 10%,
tambahkan 0,2 mL kalium asetat, dan dicukupkan dengan aquades sampai 10
mL. Setelah itu diinkubasi selama waktu operating time pada suhu ruangan dan
diukur absorbansinya dengan panjang gelombang maksimum yang diperoleh.
Larutan sampel dibuat dalam tiga kali replikasi sehingga kadar flavonoid yang
diperoleh sebagai ekuivalen kuersetin (Ahmad dkk., 2015).
Kadar flavonoid total diperoleh dari nilai absorbansi masing-masing
sampel kemudian diplotkan ke dalam persamaan kurva baku kuersetin. Nilai
yang didapat dikalikan volume total sampel dan dibandingkan dengan bobot
penimbangan dengan rumus: (Wardhani dkk., 2018).
CXVXFp
Kadar total flavonoid per berat sampel =
m

Keterangan:
C = Konsentrasi total flavonoid Fp = Faktor pengenceran
V = Volume sampel (L) m = Massa ekstrak (g)

3.8 Analisis data


Efektifitas suatu sampel dalam menangkal radikal bebas disebut dengan
IC50. IC50 adalah konsentrasi yang dapat meredam 50% radikal bebas. Semakin
kecil nilai IC50 maka semakin besar aktivitas antioksidannya. Perhitungan nilai
IC50 dilakukan menggunakan data persen inhibisi yang digunakan untuk
mendapatkan persamaan regresi linier y= ax + b dengan konsentrasi sampel
adalah x dan persen inhibisi sebagai y. Nilai IC50 dihitung dengan mengganti nilai
y sebesar 50 untuk mendapatkan nilai x (Sayakti dkk., 2022). Aktivitas
penangkapan radikal dinyatakan sebagai satuan persen inhibisi yang dapat
dihitung dengan rumus: (Fitriani dkk., 2020).
( Absorbansi kontrol− Absorbansi sampel )
% inhibisi= x 100 %
Absorbansi kontrol

Setelah didapatkan nilai % inhibisi dari masing-masing konsentrasi


kemudian konsentrasi dan % inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan
y dengan persamaan regerensi linear dengan rumus :
y = ax + b
Keterangan:
y = absorbansi sampel
x = konsentrasi sampel
Kategori aktivitas antioksidan berdasarkan nilai IC50 dapat dilihat pada
tabel berikut: (Pangestu, 2017).
Tabel 3.1 Sifat Antioksidan Berdasarkan Nilai IC50.

NILAI IC50 KATEGORI

< 50 PPM Sangat Kuat

50 PPM< IC50 >100 PPM Kuat

100 PPM < IC50 >150 PPM Sedang

150 PPM < IC50 > 200 PPM Lemah

>200 PPM Sangat Lemah

Sebuah senyawa dikatakan memiliki aktivitas antioksidan jika masuk dalam


kelompok sangat kuat (< 50 PPM), kelompok kuat (50 PPM< IC 50 >100 PPM),
kelompok sedang (100 PPM < IC50 >150 PPM), dan kelompok lemah (150 PPM <
IC50 > 200 PPM) (Pangestu, 2017).
a) Penentuan aktivitas antioksidan ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi kayu
(Manihot esculenta) dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri
untuk mengetahui % penghambatan dan nilai IC50 yang dianalisis
menggunakan persamaan regresi linear dengan memplotkan antara konsentrasi
(x) dan nilai absorbansi yang diperoleh pengukuran dari spektrofotometer (y).
Aktivitas antioksidan dapat dinyatakan dengan satuan persen inhibisi, yaitu :
Ak −As
% Inhibisi = x 100%
Ak
Keterangan :
Ak : Absorbansi kontrol (ABTS dan CUPRAC)
As : Absorbansi sampel
Setelah didapatkan presentase inhibisi dari masing-masing konsentrasi,
konsentrasi sampel dan persen inhibisi yang didapat diplotkan masing-masing
pada sumbu x dan y dalam persamaan regresi linear y = ax + b. Persamaan
tersebut digunakan untuk menentukan nilai IC50 dari masing-masing sampel.
b) Penetapan kadar flavonoid total ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi kayu
(Manihot esculenta) dilakukan dengan pengukuran absorbansi larutan standar
quersetin dan absorbansi ekstrak dan fraksi. Hasil pengukuran absorbansi
larutan standar kuersetin diperoleh persamaan regresi linear (y = ax + b) yang
akan digunakan untuk mengetahui nilai x menyatakan konsentrasi (ppm) dan y
menyatakan absorbansi kemudian dihitung kadar flavonoid total perberat
sampel menggunakan persamaan:
C x V x fp
Total flavonoid =
m
Keterangan :
c : Kadar flavonoid total (mg/L)
V : Volume sampel (L)
fp : Faktor Pengenceran
m : Massa sampel (g)
c) Penetapan kadar fenolik total ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi kayu (Manihot
esculenta) dilakukan dengan pengukuran absorbansi larutan standar asam galat
dan absorbansi ekstrak dan fraksi. Hasil pengukuran absorbansi larutan standar
asam galat diperoleh persamaan regresi linear (y = ax + b) yang akan
digunakan untuk mengetahui nilai x menyatakan konsentrasi (ppm) dan y
menyatakan absorbansi kemudian dihitung kadar fenolik total perberat sampel
menggunakan persamaan:
C x V x fp
Total fenolik =
m
Keterangan :
c : Kadar fenolik total (mg/L)
V : Volume sampel (L)
fp : Faktor Pengenceran
m : Massa sampel (g)
Korelasi antara kadar flavonoid dan fenolik total ekstrak dan fraksi kulit
umbi ubi kayu (Manihot esculenta) dengan menggunakan persamaan regresi
linear antara nilai IC50 (x) dengan kadar flavonoid total atau fenolik total (y)
ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi kayu (Manihot esculenta) sehingga diperoleh
koefisien regresi yang menunjukkan bahwa seberapa besar aktivitas
antioksidan dari ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi kayu (Manihot esculenta)
dipengaruhi oleh kontribusi senyawa fenolik dan flavonoid.
3.9 Jadwal Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini berlangsung selama 6 bulan dengan jadwal
kegiatan pada Tabel 3.2.
Tabel. 3.2 Jadwal Penelitian
Bulan
Kegiatan Februar Maret April Mei Juni Juli
i
2022

Determinasi
Tanaman

Pengambilan
sampel

Persiapan
Sampel
Pembuatan
Ekstrak

Fraksinasi

Skrining
Fitokimia

Uji Antioksidan

Penetapan
Kadar fenolik
dan Flavonoid
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, E., Andiarna F., Lusiana N., Purnamasari R., Hadi M.L, 2018, Identifikasi
Senyawa Aktif dari Ekstrak Daun Jambu Air (Syzygium Aqueum) dengan
Perbandingan Beberapa Pelarut pada Metode Maserasi, Biotropic J. Trop. Biol. 2,
108–118. Https://Doi.Org/10.29080/Biotropic.2018.2.2.

Ahmad, A.R., Juwita J., Ratulangi S.A.D dan Malik A., 2015, Penetapan Kadar Fenolik
Dan Flavonoid Total Ekstrak Metanol Buah dan Daun Patikala (Etlingera Elatior
Jack). Pharm. Sci. Res. Vol 2, 1–10. Https://Doi.Org/10.7454/Psr.V2i1.3481.

Alfons, J.B dan Wamaer D., 2015, Keragaman Karakter Morfologis dan Agronomis Ubi
Kayu Lokal Maluku, Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Genetik
Pertania, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Jl. Chr. Soplanit Tumah
Tiga-Ambon, Tahun 2015, hlm.160–168.

Amody, Z dan Anggreani D.K., 2017, Identification of Glycoside Compounds of Gebang


Roots (Coryphautan) Origin of Village Landayya of Bantaeng. Majalah Farmasi.
Vol 14 No. 1,ISSN 1829-9008.

Andarina, R dan Djauhari, T., N.D. 2017. Antioksidan dalam Dermatologi. JKK, Volume
4, No 1, Hal 39-48 P-ISSN 2406-7431; E-ISSN 2614-0411.

Andulaai, A.M., Ruslan, R., Ys., H., Puspitasari, D.J., 2017, Studi Perbandingan Analisis
Vitamin E Minyak Sawit Merah Tersaponifikasi Antara Metode Spektrofotometri
Uv-Vis dan KCKT. Kovalen 3, 50.
Https://Doi.Org/10.22487/J24775398.2017.V3.I1.8233.

Arifin, B dan Ibrahim S., 2018, Struktur, Bioaktivitas dan Antioksidan Flavonoid
Structure, Bioactivity and Antioxidan of Flavonoid. Jurnal Zarah, Vol. 6 No. 1
Halaman 21-29.

Arnanda, Q.P dan Nuwarda R.F., 2019, Review Article: Penggunaan Radiofarmaka
Teknesium-99m dari Senyawa Glutation dan Senyawa Flavonoid Sebagai
Deteksi Dini Radikal Bebas Pemicu Kanker. Farmaka, Volume 17 Nomor 2.

Azizah, Z., Fauziah E, Zulharmita, Sestry M, Boy C, Rina De.Y., 2020, Penetapan Kadar
Flavonoid Rutin Pada Daun Ubi Kayu (Manihot Esculenta Crantz) Secara
Spektrofotometri Sinar Tampak. Jurnal Farmasi Higea, Vol. 12 No. 1.

B, Mutmainnah, 2017, Skrining Fitokimia Senyawa Metabolit Sekunder Dari Ekstrak


Etanol Buah Delima (Punica Granatum L.) dengan Metode Uji Warna. Media
Farm. 13, 36. Https://Doi.Org/10.32382/Mf.V13i2.880.

Carvalho, R dan Guerra M., 2002, Cytogenetics Of Manihot Esculenta Crantz (Cassava)
And Eight Related Species. Hereditas 136, 159–168.
Https://Doi.Org/10.1034/J.1601-5223.2002.1360212.X
Diniyah N dan Sang-Han Lee, 2020, Komposisi Senyawa Fenol dan Potensi Antioksidan
Dari Kacang-Kacangan. Jurnal Agroteknologi. Vol 14 No. 01

Depkes, RI. 1985, Cara Pembuatan Simplisia. Departemen Kesehatan RI, Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan RI: Jakarta

Depkes, RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Departemen
Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen
Kesehatan RI: Jakarta

Djoronga, M.I., Pandiangan D., Kandou F.E.F., dan Tangapo A.M., 2014, Penapisan
Alkaloid pada Tumbuhan Paku dari Halmahera Utara. J. MIPA 3, 102.
Https://Doi.Org/10.35799/Jm.3.2.2014.5860.

Erviani, A.E., Arif A.R dan Nisa N.F., 2019, Analisis Rendemen Dan Skrining Fitokimia
Ekstrak Cacing Laut Eunice Siciliensis. J. Ilmu Alam Dan Lingkung, 10,
Https://Doi.Org/10.20956/Jal.V10i1.6152

Fadliya, Supriadi, dan Anang W.M.D., 2018, Analisis Vitamin C dan Protein Pada Biji
Buah Labu Siam (Sechium edule). J. Akademika Kim. 7(1): 6-10, ISSN 2302-
6030 (p), 2477-5185 (e)

Fahrurroji, A dan Riza H., 2020, Karakterisasi Ekstrak Etanol Buah Citrus Amblycarpa
(L), Citrus Aurantifolia (S.), dan Citrus Sinensis (O.). J. Farm. Dan Ilmu
Kefarmasian Indones. 7, 100. Https://Doi.Org/10.20473/Jfiki.V7i22020.100-113

Fakriah, Eka K., Adriana, Rusydi, 2019, Sosialisasi Bahaya Radikal Bebas Dan Fungsi
Antioksidan Alami Bagi Kesehatan. J. Vokasi 3, 1.
Https://Doi.Org/10.30811/VokasiV3i1.960

Fawwaz, M., Muliadi, D.S dan Muflihunna A., 2017, Kedelai Hitam (Glycine Soja)
Terhidrolisis Sebagai Sumber Flavonoid Total. J. Fitofarmaka Indones. 4, 194–
198. Https://Doi.Org/10.33096/Jffi. V4i1.227

Febrianti, N., Yunianto I dan Dhaniaputri R., 2015, Kandungan Antioksi Dan Asam
Askorbat Pada Jus Buah-Buahan Tropis. J. Bioedukatika 3, 6.
Https://Doi.Org/10.26555/Bioedukatika.V3i1.4130

Fitriani, R., Rosyidah K dan Rohman T., 2020, Uji Aktivitas Antioksidan dan Analisis
Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) Fraksi Etil Asetat Daun
Purun Tikus (Eleocharis Dulcis). Chim. National Acta 8, 104.
Https://Doi.Org/10.24198/Cna.V8.N3.32204

Gagola, C., Suryanto E dan Wewengkang, D., 2014, Umbi Ubi Kayu (Manihot
Esculenta) Daging Putih dan Daging Kuning Yang Diambil Dari Kota
Melonguane Kabupaten Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 3
No. 2, ISSN 2302 - 2493.
Gogoi, B.J, Jambey T, Hui T, and Vijay V., 2012, Antioxidant Potential of Garcinia
Species From Sonitpur District, Assam, North East India, IJSPR, Vol, 3(9):
3472-3475

Haeria, Nurshalati, Tahar, Munadiah, 2018, Penentuan Kadar Flavonoid Dan Kapasitas
Antioksidan Ekstrak Etanol Kulit Batang Kelor (Moringa Oleifera L) Dengan
Metode DPPH, CUPRAC Dan FRAP. Jf Fik Uinam. Vol.6 No.2.

Hafiz R., Baidah D., Lestari N.P dan Yuliana K.A., 2020, Aktivitas Antioksidan Ekstrak
Etanol 96% Daun, Buah Dan Kulit Terap (Artocarpus Odorratissimus)
Menggunakan Metode Cuprac. Farmasains J. Ilm. Ilmu Kefarmasian 7, 7–12,
Https://Doi.Org/10.22236/Farmasains.V7i1.4331

Harman-Ware, A.E., Sykes R., Peter G.F dan Davis M., 2016, Determination Of
Terpenoid Content In Pine By Organic Solvent Extraction And Fast-GC
Analysis. Front. Energy Res. 4. Https://Doi.Org/10.3389/Fenrg.2016.00002

Hasnaeni, H dan Aminah, A., 2019, Uji Aktivitas Antioksidan Dan Profil Fitokimia
Ekstrak Kayu Beta-Beta (Lunasia Amara Blanco.): Antioxidant Activity And
Phytochemical Profile Of Beta-Beta (Lunasia Amara Blanco) Wood Extract. J.
Farm. Galen. Galen. J. Pharm. E-J. 5, 101–107.
Https://Doi.Org/10.22487/J24428744.2019.V5.I1.12404

Hidayah, N dan Purwanto D.A., 2015, Penapisan Aktivitas Antioksidan Kombinasi


Yogurt Dan Jus Tomat Dibandingkan Vitamin C. Berkala Ilmiah Kimia Farmasi,
Vol.4 No. 1.

Indah Y., 2017, Pengaruh Proses Fraksinasi Pati Sagu Terhadap Karakteristik Fraksi
Amilosanya. J. Tek. Ind. Pert. Vol. 17(1),29-36.

Iskandar, D., 2017. Perbandingan Metode Spektrofotometri Uv-Vis Dan Iodimetri Dalam
Penentuan Asam Askorbat Sebagai Bahan Ajar Kimia Analitik Mahasiswa
Jurusan Teknologi Pertanian Berbasis Open-Ended Experiment Dan Problem
Solving. Jurnal Teknologi Technoscientia ISSN: 1979-8415, Vol. 10 No. 1.

Karundeng, G., Suryanto, E., Sudewi, S., 2017. Karakterisasi Dan Potensi Antioksidan
Dari Kulit Luar Ubi Kayu (Manihot utilissima). Chem. Prog. Vol. 10, No. 2.

Kusbiantoro, D., Purwaningrum, Y., 2018. Pemanfaatan Kandungan Metabolit Sekunder


Pada Tanaman Kunyit Dalam Mendukung Peningkatan Pendapatan Masyarakat.
Kultivasi 17. Https://Doi.Org/10.24198/Kultivasi.V17i1.15669

Lady Y.H.D dan Pranoto M.E., 2020, Pengaruh Variasi Suhu Pengeringan Terhadap
Pembuatan Simplisia Daun Mimba (Azadirachta Indica), J. Farm. Tinctura 1,
45–54. Https://Doi.Org/10.35316/Tinctura.V1i2.988

Lumowa, S.V.T., Syahril dan Bardin, 2018, Uji Fitokimia Kulit Pisang Kepok (Musa
Paradisiacal.) Bahan Alam Sebagai Pestisida Nabati Berpotensi Menekan
Serangan Serangga Hama Tanaman Umur Pendek. J. Sains Dan Kesehatan 1.
Https://Doi.Org/10.25026/Jsk.V1i9.87
Malangngi, L., Sangi, M dan Paendong J., 2012, Penentuan Kandungan Tanin Dan Uji
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Biji Buah Alpukat (Persea Americana Mill.). J.
Mipa 1, 5. Https://Doi.Org/10.35799/Jm.1.1.2012.423

Maryam, S., Baits M dan Nadia, A., 2016, Pengukuran Aktivitas Antioksidan Ekstrak
Etanol Daun Kelor (Moringa Oleifera Lam.) Menggunakan Metode Frap (Ferric
Reducing Antioxidant Power). J. Fitofarmaka Indones. 2, 115–118.
Https://Doi.Org/10.33096/Jffi.V2i2.181

Maryam, S., Pratama, R., Effendi, N dan Naid T., 2015, Etanolik Daun Yodium
(Jatropha Multifida L.) dengan Metode Cupric Ion Reducing Antioxidant
Capacity (CUPRAC). Jurnal Fitofarmaka Indonesia, Vol. 2 No.1.

Minarno, E.B., 2016, Analisis Kandungan Saponin Pada Daun Dan Tangkai Daun
Carica Pubescens Lenne & K. Koch. El–Hayah 5, 143.
Https://Doi.Org/10.18860/Elha.V5i4.3470

Mistriyani, Riyanto S, Rohman A, 2018, Antioxidant Activities Of Rambutan (Nephelium


lappaceum L) Peel In Vitro. Food Research, 2(1), 119–123.

Mukhriani., 2014, Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, Dan Identifikasi Senyawa Aktif.,


Jurnal Kesehatan .,Volume VII No. 2.

Ningrum, R., Purwanti, E., Sukarsono, S., 2017. Alkaloid Compound Identification Of
Rhodomyrtus Tomentosa Stem As Biology Instructional Material For Senior
High School X Grade. J. Pendidik. Biol. Indonesia 2, 231.
Https://Doi.Org/10.22219/Jpbi.V2i3.3863

Nugraha A.T, Muhammad S.F., dan Pinus J, 2017, Profil Senyawa dan Aktivitas
Antioksidan Dau Yakon ((Smallanthus sonchifolius) Dengan Metode DPPH dan
CUPRAC. Jurnal Ilmiah Farmasi 13(1). ISSN: 1693-8666 available at
http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF

Pangestu, N.S., 2017, Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Daun Jatropha
Gossypifolia L., Jurnal Pendidikan dan Ilmu Kimia. 1(1):15-19. ISSN 2252-
8075.

Pratama, A.N dan Busman H., 2020, Potensi Antioksidan Kedelai (Glycine Max L)
Terhadap Penangkapan Radikal Bebas. J. Ilm. Kesehat. Sandi Husada 11, 497–
504. Https://Doi.Org/10.35816/Jiskh.V11i1.333

Prayudo, A.N dan Novian O., 2015, Koefisien Transfer Massa Kurkumin Dari
Temulawak. Jurnal Ilmiah Widya Teknik, Volume 14 Nomor 01, ISSN 1412-
7350.

Purwanto, D., Bahri S dan Ridhay A., 2017, Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Buah
Purnajiwa (Kopsia Arborea Blume.) Dengan Berbagai Pelarut. Kovalen 3, 24.
Https://Doi.Org/10.22487/J24775398.2017.V3.I1.8230
Puspitasari, A.D., Susanti, E., Khustiana, A., 2020. Aktivitas Antioksidan Dan Penetapan
Kadar Vitamin C Perasan Daging Buah Lemon (Citrus Limon (L.) Osbeck)
Menggunakan Metode Abts. J. Ilm. Teknosains 5, 99–104.
Https://Doi.Org/10.26877/Jitek.V5i2.4591

Rahmi, H., 2017, Review: Aktivitas Antioksidan Dari Berbagai Sumber Buah-Buahan Di
Indonesia. J. Agrotek Indones. 2. Https://Doi.Org/10.33661/Jai.V2i1.721

Rastuti, U dan Purwati P., 2012, Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Kalba (Albizia
Falcataria) Dengan Metode DPPH (1,1-Difenil-2-Pikrilhidrazil) dan Identifikasi
Senyawa Metabolit Sekundernya. Molekul. 7, 33.
Https://Doi.Org/10.20884/1.Jm.2012.7.1.104

Robinson, T.,1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah: Padmawinata,


K. Bandung: Penerbit ITB.

Salamah, M.Sc, Apt., N., Rozak, M dan Al Abror, M., 2017, Pengaruh Metode Penyarian
Terhadap Kadar Alkaloid Total Daun Jembirit (Tabernaemontana Sphaerocarpa.
BL) Dengan Metode Spektrofotometri Visibel. Pharmaciana 7, 113.
Https://Doi.Org/10.12928/Pharmaciana.V7i1.6330

Sami, F.J dan Sitti, R., 2016, Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Bunga Brokoli
(Brassica Oleracea L. Var. Italica) Dengan Metode DPPH (2,2 Diphenyl-1-
Picrylhydrazyl) dan Metode ABTS (2,2 Azinobis (3-Etilbenzotiazolin)-6-Asam
Sulfonat). Jurnal Fitofarmaka Indonesia 2, 107–110.
Https://Doi.Org/10.33096/Jffi.V2i2.179

Sari, A.K dan Noverda A., 2017, Penetapan Kadar Fenolik Total Dan Flavonoid Total
Ekstrak Beras Hitam (Oryza Sativa L) Dari Kalimantan Selatan Jurnal Ilmiah
Ibnu Sina, 2 (2), 327-335

Sari, N.K.Y dan I Made, W.A.P., 2016, Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Akasia
(Acacia Auriculiformis). Jurnal Media Sains 2 (1): 21 – 25, P-ISSN : 2549-7413
E-ISSN : 2620-3847.

Sayakti, P.I., Anisa, N dan Ramadhan, H., 2022, Antioxidant Activity Of Methanol
Extract Of Cassava Leaves (Manihot Esculenta Crantz) Using CUPRAC Method.
J. Ilm. Farm. 97–106. Https://Doi.Org/10.20885/Jif.Specialissue2022.Art12

Septiana, A.T., 2012. Kajian Sifat Fisikokimia Ekstrak Rumput Laut Coklat Sargassum
Duplicatum Menggunakan Berbagai Pelarut Dan Metode Ekstraksi. Agrointek,
Volume 6, No.1.

Setiawan, F., 2018. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kayu Secang (Caesalpinia
Sappan) Menggunakan Metode DPPH, ABTS, Dan FRAP, Media Pharmaceutica
Indonesiana, Vol. 2 No 1.

Suwaditya R.K., Yoga W.W dan Sri A.S.,2020, Peran Senyawa Flavonoid Dan Glikosida
Jantung Dalam Aktivitas Kardiotonik. Farmaka Suplemen, Volume 17 Nomor
1.
Thamrin, M., Ainul Mardhiyah, Samsul Efendi Marpaung, 2013. Analisis Usahatani Ubi
Kayu (Manihot Utilissima)., Agrium, Volume 18 No 1.

Utami, N.F., Nhestricia N., Maryanti S., Tisya T dan Maysaroh, S., 2018, Uji Aktivitas
Antioksidan dari Biji Kopi Robusta (Coffea Canephora P.) Berdasarkan
Perbedaan Ekologi Dataran Tinggi di Pulau Jawa Fitofarmaka, Vol.8, No.1,
ISSN:2087-9164.

Uthia, R., Arifin H dan Efrianti, F., 2017, Pengaruh Hasil Fraksinasi Ekstrak Daun
Kemangi (Ocimum Sanctum L.) Terhadap Aktivitas Susunan Saraf Pusat Pada
Mencit Putih Jantan. Jurnal Farmasi Higea, Vol. 9, No. 1.

Vifta, R.L., Advistasari, Y.D., 2018. Skrining Fitokimia, Karakterisasi dan Penentuan
Kadar Flavonoid Total Ekstrak Dan Fraksi-Fraksi Buah Parijoto (Medinilla
Speciosa B., Indonesian Journal of Chemical Science, 8(3) p-ISSN 2252-6951 e-
ISSN 2502-6844.

Vifta, R.L., Rahayu R.T dan Luhurningtyas F.P., 2019, Uji Aktivitas Antioksidan
Kombinasi Ekstrak Buah Parijoto (Medinilla Speciosa Blume) Dan Rimpang Jahe
Merah (Zingiber Officinalle Roscoe Var Rubrum) dengan Metode ABTS (2,2-
Azinobis (3-Etilbenzotiazolin)-6-Asam Sulfonat) 5.

Wabula R.A., Seniwati dan Harti W., 2019, Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Buah
Merah (Pandanus conoideus Lam.) dengan Metode Ferric Reducing Antioxidant
Power (FRAP), Jurnal Kesehatan, Vol. 2 No. 4, E-ISSN 2614-5375.

Wahyulianingsih, W., Handayani, S., Malik, Abd., 2016. Penetapan Kadar Flavonoid
Total Ekstrak Daun Cengkeh (Syzygium Aromaticum (L.) Merr & Perry). J.
Fitofarmaka Indones. 3, 188–193. Https://Doi.Org/10.33096/Jffi.V3i2.221

Wahyuni, T., Syamsudin, 2014, Pemanfaatan Tanin Ekstrak Daun Jambu Biji Terhadap
Laju Korosi Besi Dalam Larutan Nacl 3% (W/V). Konversi,Vol. 3 No. 1, ISSN
2252-7311.

Wardhani, R.R.A.A.K., Okviyoandra, Akhyar dan Emilda P., 2018, Analisis Skrining
Fitokimia, Kadar Total Fenol-Flavonoid dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak
Etanol Kulit Kayu Tanaman Galam Rawa Gambut (Melaleuca Cajuputi Roxb), Al
Ulum Sains dan Teknologi, Vol. 4 No. 1.

Werdhasari, A., 2014, Peran Antioksidan Bagi Kesehatan. Jurnal Biotek Medisiana
Indonesia . Vol.3.2, 59-68.

Widiastuti, H., 2015. (Pachyrhizus Erosus) Secara Spektrofotometri UV-Vis. Jurnal


Fitofarmaka Indonesia, Vol 2 No. 1.

Wulansari, Anisa N, 2018, Alternatif Cantigi Ungu (Vaccinium Varingiaefolium)


Sebagai Antioksidan Alami : Review. Farmaka Suplemen. Volume 16 Nomor 2.
Zekarias T, Bakalo B, and Tamirat H., 2019, Medicinal, Nutritional and Anti-
NutritionalPropetier of Cassava (M anihot esculenta). Academic Journal of
Nutrition 8 (3): 34-46.

Anda mungkin juga menyukai