OLEH :
a. Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder terbanyak yang memiliki
atom nitrogen, yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan hewan. Sebagian
besar senyawa alkaloid bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Alkaloid umumnya
ditemukan dalam kadar yang kecil dan harus dipisahkan dari campuran senyawa
yang rumit yang berasal dari jaringan tumbuhan Alkaloid dapat ditemui pada
berbagai bagian tanaman seperti akar, batang, daun, dan biji. Alkaloid pada
tanaman berfungsi sebagai racun yang dapat melindunginya dari serangga dan
herbivora, faktor pengatur pertumbuhan, dan senyawa simpanan yang mampu
menyuplai nitrogen dan unsur-unsur lain yang diperlukan tanaman (Ningrum
dkk., 2017). Gambar struktur alkaloid dapat dilihat pada Gambar 2.2.
b. Flavonoid
Flavonoid merupakan antioksidan alam aktif yang ditemukan dalam
tumbuhan. Struktur dasar flavonoid mempunyai sebuah inti flavon (2-fenilbenzo-
γ-pyran) yang terdiri dari 2 cincin benzena (A dan B) dikombinasikan dengan
sebuah atom oksigen pada cincin C pyran (karundeng dkk., 2014). Flavonoid
yang merupakan metabolit sekunder dari polifenol, ditemukan secara luas pada
tanaman serta makanan dan memiliki berbagai efek bioaktif termasuk anti virus,
anti-inflamasi kardioprotektif, anti-diabetes, anti-kanker, anti-penuaan, anti-
oksidan dan lain-lain. Senyawa flavonoid adalah senyawa polifenol yang
mempunyai 15 atom karbon yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, artinya
kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzena tersubstitusi)
disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon. Flavonoid terdapat dalam semua
tumbuhan hijau sehingga dapat ditemukan pada setiap ekstrak tumbuhan.
Flavonoid adalah kelas senyawa yang disajikan secara luas di alam. Hingga
saat ini, lebih dari 9000 flavonoid telah dilaporkan, dan jumlah kebutuhan
flavonoid bervariasi antara 20 mg dan 500 mg, terutama terdapat dalam
suplemen makanan termasuk teh, anggur merah, apel, bawang dan
tomat. Flavonoid ditemukan pada tanaman, yang berkontribusi memproduksi
pigmen berwarna kuning, merah, orange, biru, dan warna ungu dari buah,
bunga, dan daun. Flavonoid termasuk dalam famili polifenol yang larut dalam
air (Arifin dan Ibrahim, 2018).
Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar,
kayu, kulit, bunga, buah dan biji. Flavonoid terdiri dari beberapa golongan utama
diantaranya antosianin, flavanol dan flavon. Sedangkan khalkon, auron, flavonol,
dihidrokhalkon, dan isoflavon penyebarannya hanya terbatas pada golongan
tertentu saja (Wahyulianingsih dkk., 2016).
c. Saponin
Saponin merupakan senyawa dalam bentuk glikosida yang tersebar luas
pada tumbuhan. Saponin membentuk busa yang mantap jika dikocok dan
merupakan golongan senyawa alam yang rumit, yang mempunyai massa dan
molekul besar, dengan kegunaan luas. Struktur saponin menyebabkan saponin
bersifat seperti sabun atau detergen sehingga saponin disebut sebagai surfaktan
alami (nama saponin diambil dari sifat utama ini yaitu “sapo” dalam bahasa Latin
yang berarti sabun) (Minarno, 2016).
Saponin termasuk senyawa fitokimia yang dapat menghambat peningkatan
kadar glukosa darah dengan cara menghambat penyerapan glukosa di usus halus
dan menghambat pengosongan lambung. Dengan melambatnya pengosongan
lambung, maka absorbsi makanan akan semakin lama dan kadar glukosa darah
akan mengalami perbaikan. (Minarno, 2016). Gambar struktur saponin dapat
dilihat pada Gambar 2.4.
e. Tanin
Tanin merupakan senyawa organik yang tidak beracun, ramah lingkungan,
larut dalam air, dan tergolong polifenol banyak ditemukan di alam. Tanin
terdapat dalam daun, buah, kulit dan kayu tanaman. Aplikasi Tanin di industri
diantaranya adalah pada pembuatan tinta, antioksidan, aditif makanan, obat-
obatan dan inhibitor korosi (Wahyuni dan Ab, 2014).
Tanin merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui
mempunyai beberapa khasiat yaitu sebagai astringen, antidiare, antibakteri dan
antioksidan. Tanin merupakan komponen zat organik yang sangat kompleks,
terdiri dari senyawa fenolik yang sukar dipisahkan dan sukar mengkristal,
mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein tersebut.
Tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin terhidrolisis dan tanin
terkondensasi. Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks mulai dari
pengendap protein hingga pengkhelat logam. Tanin juga dapat berfungsi sebagai
antioksidan biologis (Malangngi dkk., 2012). Gambar struktur tanin dapat dilihat
pada Gambar 2.6.
f. Glikosida
Glikosida merupakan senyawa yang mengandung komponen gula dan non
gula sehingga dapat tertarik pada pelarut etanol. Glikosida pada tanaman terdapat
dalam bentuk β- glikosida. Glikosida bersifat polar tersusun dari bagian glikon
dan aglikon yang meliputi senyawa-senyawa alkoholik, fenolik, isotiosianat,
flavonoid serta steroid. Flavonoid mempunyai tipe yang beragam dan terdapat
dalam bentuk bebas (aglikon) maupun terikat sebagai glikosida. Flavonoid
umumnya memiliki ikatan dengan gugus gula yang menyebabkan flavonoid lebih
mudah larut dalam air atau pelarut polar. Glikosida yang berkhasiat obat dapat
digolongkan menjadi glikosida jantung, antrakinon, saponin, sianofor, tiosianat,
flavonol, aldehid, alkohol, lakton dan fenol (Amody dan Kamila, 2017).
Berdasarkan struktur aglikonnya, kelompok utama glikosida adalah
terpene, sterol, fenol, atau glikosida fenilpropanoid. Glikosida juga dapat
diklasifikasikan (karena sifat gula yang melekat) sebagai galaktosida, apiosida,
rhamnosida, xilosida, rutinosida, dan sebagainya. Glikosida dapat terikat pada
senyawa metabolit sekunder dan mempunyai efek farmakologi yang berbeda,
contohnya glikosida fenolik, glikosida kumarin, glikosida kromon, glikosida
flavonoid, glikosida antrakuinon, glikosida saponin, glikosida jantung, glikosida
sianogenik, dan tioglikosida. Senyawa tersebut memiliki aktivitas yang berbeda
dan perlu diperhatikan juga efek samping dari senyawa glikosida tersebut
(Suwanditya dkk., 2020).
Glikosida jantung merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat
dalam tanaman yang telah digunakan sejak dahulu sebagai obat untuk aritmia dan
gagal jantung. Glikosida jantung sering disebut steroid jantung. Contoh senyawa
tersebut adalah digoksin merupakan cardenolide yang diisolasi dari tumbuhan
dan berperan dalam aktivitas kardiotonik. Banyak metabolit sekunder tanaman di
alam muncul sebagai glikosida. Pada tanaman, glikosida sebagian besar berasal
dari post modifikasi metabolit sekunder yang dikatalisis oleh enzim tanaman,
glikosiltransferase. Modifikasi lebih lanjut dari glikosida sering terjadi, seperti
oksidasi, asilasi, dan degradasi. Glikosida terdiri dari dua bagian yang
independen secara kimiawi dan fungsional yaitu bagian aglikon (genin) dan
glikon (sakarida). Dalam glikosida, bagian sakarida terkait dengan bagian
aglikon oleh ikatan glikosidik. Ikatan glikosidik sebagian besar tidak stabil dan
rentan terhadap hidrolisis (oleh asam encer atau oleh enzim, misalnya, β-
glukosidase). Ikatan glikosidik dibagi dalam 4 tipe, yaitu O-glikosida, C-
glikosida, S-glikosida, dan N-glikosida (Suwanditya dkk., 2020).
Glikosida jantung merupakan senyawa metabolit sekunder alami yang
memiliki efek farmakologi pada otot jantung dalam dosis kecil. Efek kardiotonik
sudah dikenal di Mesir Kuno dan telah digunakan dalam pengobatan penyakit
jantung. Senyawa ini terdiri dari nukleus (inti) aglikon 5β-siklopenan,
14βandrostan-3β, 14 (siklopentana perhidrofenantren) dan bagian gula (seringkali
oligosakarida) pada posisi C-3β. Glikosida jantung dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu cardenolide dan bufadienolide. Cardenolide dengan atom karbon
sebanyak 23 (C23) mengandung cincin lima cincin γbutirolakton tidak jenuh
(butenolide). Bufadienolide merupakan senyawa dengan 24 atom karbon (C24)
yang ditandai dengan dua cincin piron (enam δvalerolakton tidak jenuh rangkap
dua) pada C17. Lakton C-17β tidak jenuh berperan penting dalam pengikatan
reseptor dan dalam keadaan jenuh dapat mengurangi aktivitas biologi cincin
glikosida jantung memiliki karakteristik "U" bentuk farmakofor, yang sangat
penting untuk aktivitas mereka. Struktur kimia glikosida jantung dengan fusi
trans C atau D tidak memiliki aktivitas farmakologi (Suwanditya dkk., 2020).
Gambar struktur glikosida dapat dilihat pada Gambar 2.7.
b. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-
bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat
dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput,
batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotoran lainnya harus dibuang
(Azizah dkk., 2020).
c. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya
yang melekat pada daun. Pencucian dilakukan dengan air bersih dan dilakukan
dalam waktu yang sesingkat mungkin agar tidak menghilangkan zat berkhasiat
dalam daun tersebut (Azizah dkk., 2020).
d. Perajangan
Perajangan dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan,
pengepakan dan penggilingan. Perajangan dilakukan dengan menggunakan pisau
sehingga diperoleh potongan dengan ukuran yang dikehendaki (Azizah dkk.,
2020).
e. Pengeringan
Pengeringan simplisia dilakukan dengan cara
dikeringanginkan. Pengeringan ini dilakukan sampai kadar
air ≤ 10 % (Azizah dkk., 2020).
1. Pengeringan dengan sinar matahari langsung
Bahan yang telah dilakukan proses perajangan atau dalam bentuk yang
lebih kecil kemudian ditimbang sebanyak 300 gram, wadah yang digunakan
untuk pengeringan tersebut mempunyai dasar yang berlubang-lubang seperti
anyaman bambu dimaksudkan agar aliran udara dari atas ke bawah atau
sebaliknya berjalan lancar.
2. Pengeringan dengan ditutupi kain hitam menggunakan bantuan sinar matahari
langsung
Bahan simplisia yang telah dirajang kemudian ditimbang sebanyak 300
gram, wadah yang digunakan untuk pengeringan tersebut mempunyai dasar yang
berlubang-lubang seperti anyaman bambu dimaksudkan agar aliran udara dari
atas ke bawah atau sebaliknya berjalan lancar. Setelah itu ditutup bagian atasnya
menggunakan kain hitam kemudian langsung dijemur.
3. Pengeringan menggunakan oven
Bahan yang telah dirajang kemudian ditimbang sebanyak 300 gram untuk
masing-masing variasi suhu, bahan simplisia kemudian dimasukan kedalam
oven, atur suhu sesuai dengan metode uji yaitu pada suhu 45 ºC, 50 ºC, dan 60 ºC
(DepKes RI, 1985).
f. Sortasi kering
Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian
tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran yang masih ada dan
tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan secara manual (Azizah et
al, 2020).
g. Penyerbukan
Tujuan dilakukan penyerbukan adalah untuk memperkecil ukuran partikel
simplisia sehingga luas permukaan partikel menjadi besar sehingga cairan
penyari yang akan mudah melarutkan senyawa aktif dari simplisia tersebut
(Salamah, M.Sc, Apt. dkk., 2017).
2.4 Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses perpindahan suatu zat atau solut dari larutan asam
atau padatan ke dalam pelarut tertentu. Ekstraksi merupakan proses pemisahan
berdasarkan perbedaan kemampuan melarutnya komponen-komponen yang ada
dalam campuran. Secara garis besar ekstraksi dibedakan menjadi dua macam,
yaitu ekstraksi padat-cair (leaching) dan ekstraksi cair-cair (Prayudo dan Novian,
2015). Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara
konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman.
Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan
(Mukhriani, 2014). Pemilihan pelarut yang sesuai merupakan salah satu faktor
penting yang diperlukan dalam proses maserasi. Pelarut yang digunakan haruslah
pelarut yang mampu menyaring sebagian besar metabolit sekunder yang
digunakan sebagai senyawa target dalam simplisia (Agustina dkk., 2018).
Proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut secara umum dapat
dilakukan dengan dua metode. Ekstraksi dingin meliputi maserasi dan perkolasi
dan ekstraksi panas meliputi ekstraksi refluks, ekstraksi soxhlet, digesti, infusa
dan dekok (Depkes RI, 2000).
a. Ekstraksi dingin
1. Perkolasi
Perkolasi merupakan proses ekstraksi yang umum digunakan di industri
dan dipengaruhi oleh waktu dan perbandingan bahan pelarut. Waktu atau
lamanya proses ekstraksi menentukan kandungan senyawa yang keluar dari
bahan. Begitu juga perbandingan bahan pelarut, jumlah ekstrak yang terlibat
dalam perpindahan menentukan tingkat perbedaan konsentrasi yang sangat
penting dalam proses difusi yang akan mempengaruhi kandungan senyawa.
Kelemahan dari metode ini yaitu diperlukan banyak pelarut dan waktu yang
lama, sedangkan komponen yang didapat relatif tidak banyak. Keuntungannya
adalah tidak memerlukan pemanasan sehingga teknik ini baik untuk substansi
termolabil (yang tidak tahan terhadap panas) (Depkes RI, 2000).
2. Maserasi
Proses ekstraksi dengan teknik maserasi dilakukan dengan beberapa kali
pengocokan atau pengadukan pada suhu ruang. Keuntungan cara ini mudah dan
tidak perlu pemanasan sehingga kecil kemungkinan bahan alam menjadi rusak
atau terurai. Pemilihan pelarut berdasarkan kelarutan dan polaritasnya
memudahkan pemisahan bahan alam dalam sampel. Pengerjaan metode maserasi
yang lama dan keadaan diam selama maserasi memungkinkan banyak senyawa
yang akan terekstraksi. Mutu ekstrak dalam proses ekstraksi dipengaruhi oleh
teknik ekstraksi, waktu ekstraksi, temperatur, jenis pelarut, konsentrasi pelarut
dan perbandingan bahan-pelarut (Depkes RI, 2000).
b. Ekstraksi Panas
1. Refluks
Refluks Infus dan dekok adalah proses ekstraksi dengan pelarut yang
didihkan beserta simplisia selama waktu tertentu dan jumlah pelarutnya konstan,
karena pelarut terus bersirkulasi di dalam refluks (menguap,
didinginkan,kondensasi, kemudian menetes kembali ke menstrum (campuran
pelarut dan simplisia) di dalam alat). Umumnya dilakukan pengulangan pada
residu pertama, hingga didapat sebanyak 3-5 kali hingga didapat proses ekstraksi
sempurna (exhaustive extraction) (Depkes RI, 2000).
3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (maserasi dengan pengadukan konstan)
yang dilakukan pada suhu temperatur yang lebih tinggi, umumnya 40-50oC
(Depkes RI, 2000).
Infus adalah ekstraksi dengan menggunakan air yang mendidih pada suhu
96- 98 oC, dalam waktu tertentu sekitar 15-20 menit, sedangkan dekok adalah
proses infus yang terjadi selama sekitar 30 menit lebih dan temperatur terukur
sampai titik didih air, untuk dekok sekarang sudah sangat jarang digunakan
(Depkes RI, 2000).
2.5 Fraksinasi
Fraksinasi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
triturasi. Tujuan dilakukan fraksinasi adalah untuk memisahkan senyawa-
senyawa berdasarkan tingkat kepolarannya. Pada prinsipnya senyawa polar
diekstraksi dengan pelarut polar sedangkan senyawa non-polar diekstraksi
dengan pelarut non-polar (Yuliasih, 2017; Uthia dkk., 2017).
2.8 Antioksidan
Antioksidan adalah molekul yang dapat menetralkan radikal bebas dengan
mendonorkan elektronnya untuk mengakhiri keadaan tidak berpasangan dari
radikal. Antioksidan dapat menurunkan kerusakan oksidatif secara langsung
melalui reaksi dengan radikal bebas atau secara tidak langsung dengan
menghambat aktivitas radikal bebas atau dengan meningkatkan aktivitas enzim
antioksidan seluler. Peranan antioksidan sangat penting dalam menetralkan dan
menghancurkan radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan juga
merusak biomolekul, seperti DNA, protein dan lipoprotein di dalam tubuh yang
akhirnya dapat memicu terjadinya penyakit degeneratif, seperti kanker, jantung,
artritis, katarak, diabetes dan hati. Menghindari hal tersebut, dibutuhkan
antioksidan tambahan dari luar atau antioksidan eksogen, seperti vitamin E dan
vitamin C maupun berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Antioksidan alami
mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan oleh spesies
oksigen reaktif, menghambat terjadinya penyakit degeneratif dan mampu
menghambat peroksidasi lipid pada makanan (Hasnaeni and Aminah, 2019).
Mekanisme kerja senyawa antioksidan dalam mencegah penyakit kronis
tersebut adalah dengan cara menangkap radikal bebas dalam tubuh. Senyawa
antioksidan banyak ditemukan pada tumbuhan baik pada bunga, daun maupun
buah. Tumbuhan yang mengandung senyawa bioaktif seperti flavonoid, alkaloid,
dan terpenoid merupakan bahan baku yang potensial yang dapat digunakan
sebagai antioksidan alami (Purwanto dkk., 2017).
Buettner dan Vertuani membagi antioksidan berdasarkan cara kerjanya
yaitu antioksidan primer dan sekunder. Antioksidan primer disebut juga
antioksidan pemecah rantai, antioksidan ini bekerja dengan memecah rantai
reaksi sehingga radikal bebas menjadi kurang reaktif. Antioksidan sekunder atau
disebut juga antioksidan preventif yang bekerja dengan menginaktifkan logam,
scavenge singlet oxygen dan menstabilkan ROS. Antioksidan juga dapat dibagi
berdasarkan kelarutannya menjadi antioksidan hidrofilik dan hidrofobik.
Antioksidan hidrofilik atau water soluble adalah antioksidan yang bereaksi
dengan ROS pada sitoplasma sel dan plasma darah, contohnya asam askorbat,
glutation dan asam urat. Antioksidan hidrofobik atau lipid soluble adalah
antioksidan yang melindungi membran sel dari lipid peroksidase, contohnya
karoten, α-tokoferol dan ubiquinon. Pembagian yang paling sering dipakai adalah
antioksidan enzimatik dan non enzimatik. Antioksidan enzimatik yang terdapat
pada kulit yaitu superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase
(GSH peroksidase). Sedangkan antioksidan non enzimatik adalah vitamin C
(asam askorbat), vitamin E (alfa tokoferol), vitamin A (retinoid) dan ubiquinon
(Andarina dan Djauhari, 2017).
Antioksidan non enzimatik atau antioksidan eksogen yaitu antioksidan
yang dihasilkan dari luar tubuh. Antioksidan ini terbagi atas dua jenis yaitu
antioksidan alami dan antioksidan buatan. Antioksidan buatan dihasilkan dari
sintesis suatu reaksi kimia sedangkan antioksidan alami bisa berasal dari buah-
buahan dan tanaman (Rahmi, 2017). Penggunaan antioksidan sintetik dibatasi
oleh aturan pemerintah karena penggunaan yang melebihi batas dapat
menyebabkan racun dalam tubuh dan bersifat karsinogenik (wulansari, 2018).
Penggunaan antioksidan sintetik memberi dampak negatif pada kesehatan
manusia yaitu berupa gangguan fungsi hati, paru, mukosa usus dan keracunan
sehingga dibutuhkan alternatif antioksidan lain yang aman untuk digunakan (Sari
dan Made, 2016). Dibandingkan dengan antioksidan sintetik, antioksidan alami
umumnya lebih aman untuk dikonsumsi dan dapat meningkatkan derajat
kesehatan tubuh (Febrianti dkk., 2015).
a. Metode ABTS
Pengujian antioksidan juga dapat dilakukan menggunakan metode ABTS
(2,2-Azinobis 3-ethylbenzothiazoline 6-sulfonic acid) yang merupakan senyawa
radikal yang mengandung atom nitrogen. Prinsip pengujian adalah penstabilan
radikal bebas melalui donor proton. Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan
berdasarkan penghilangan warna ABTS yang semula berwarna biru hijau akan
berubah menjadi tidak berwarna apabila tereduksi oleh radikal bebas. Intensitas
warna yang terbentuk kemudian diukur menggunakan spektrofotometri visible
pada panjang gelombang 734. Hasil yang didapat dibandingkan dengan larutan
standar trolox yang merupakan antioksidan analog tokoferol (Wulansari, 2018).
Metode ABTS jika dibandingkan dengan DPPH memiliki keunggulan yaitu
memberikan absorbansi spesifik pada panjang gelombang visible dan waktu
reaksi yang lebih cepat. Selain itu, ABTS dapat dilarutkan dalam pelarut organik
maupun air sehingga bisa mendeteksi senyawa yang bersifat lipofilik maupun
hidrofilik namun pengujian menggunakan ABTS tidak menggambarkan sistem
pertahanan tubuh terhadap radikal bebas sehingga ABTS hanya dapat dijadikan
sebagai metode pembanding karena tidak mewakili sistem biologis tubuh
(Wulansari, 2018).
b. Metode CUPRAC
Metode CUPRAC merupakan salah satu metode untuk melihat daya
antioksidan senyawa-senyawa polifenol, dan Vitamin E yang dikenal mudah
untuk diaplikasikan dan berbiaya rendah. Metode ini menggunakan reagen
copper(II)-neocuproine (Cu(II)-Nc). Metode ini dapat juga digunakan untuk
mengetahui kapasitas antioksidan senyawa- senyawa fenolik (Nugraha dkk.,
2017).
Pada pengujian CUPRAC (Cupric ion reducing antioxidant capacity),
reagen Cu(II)-neokuproin (Cu(II)-(Nc)2) digunakan sebagai agen pengoksidasi
kromogenik karena reduksi ion Cu(II) dapat diukur. Pereaksi CUPRAC
merupakan pereaksi yang selektif karena memiliki nilai potensial reduksi yang
rendah. Metode pengukuran kapasitas antioksidan dengan menggunakan metode
CUPRAC memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan metode pengukuran
antioksidan yang lain yaitu reagen CUPRAC cukup cepat untuk mengoksidasi
tiol jenis antioksidan, pereaksi CUPRAC merupakan pereaksi selektif karena
potensi redoksnya lebih rendah. Reagen CUPRAC lebih stabil dan dapat diakses
dari reagen kromogenik lainnya (mis., ABTS, DPPH) (Maryam dkk.,2016).
c. Metode DPPH
Pengujian aktivitas antioksidan dapat dilakukan secara in vitro dengan
metode DPPH. DPPH (2,2 difenil-1- pikrihidrazil) merupakan suatu senyawa
radikal yang bersifat stabil. DPPH digunakan untuk mengetahui aktivitas
antioksidan melalui kemampuannya dalam menangkap radikal bebas. Aktivitas
antioksidan diukur berdasarkan transfer elektron yang dilakukan oleh
antioksidan. Semula DPPH yang berwarna ungu pekat memberikan serapan pada
panjang gelombang 517 nm namun setelah mengalami reduksi maka DPPH akan
berubah menjadi senyawa difenil pikril hidrazin yang warnanya akan berangsur
angsur memudar menjadi warna kuning dan nilai serapannya akan sebanding
dengan jumlah elektron yang diterima. Metode DPPH memiliki keunggulan yaitu
metode analisisnya yang bersifat sederhana, cepat, mudah dan sensitif terhadap
sampel dengan konsentrasi yang kecil namun pengujian menggunakan DPPH
terbatasi karena DPPH hanya dapat dilarutkan dalam pelarut organik sehingga
agak sulit untuk menganalisis senyawa yang bersifat hidrofilik (Wulansari,
2018).
d. Metode FRAP
Metode FRAP dikenal sebagai metode yang secara langsung mengukur
antioksidan dalam bahan dan merupakan metode yang dapat digunakan untuk
menguji antioksidan dalam tumbuh-tumbuhan, metodenya yang mudah
pengerjaannya, murah dan cepat, reagen yang digunakan cukup sederhana serta
tidak menggunakan alat khusus untuk menghitung total antioksidan (Wabula R.A
dkk., 2019). Metode ini dapat menentukan kandungan antioksidan total dari suatu
bahan berdasarkan kemampuan senyawa antioksidan untuk mereduksi ion Fe3+
menjadi Fe2+ sehingga kekuatan antioksidan suatu senyawa dianalogikan dengan
kemampuan mereduksi dari senyawa tersebut. Prinsip dari uji FRAP adalah
reaksi transfer elektron dari antioksidan ke senyawa Fe3+ - TPTZ. Senyawa Fe3+
- TPTZ sendiri mewakili senyawa oksidator yang mungkin terdapat dalam tubuh
dan dapat merusak sel-sel (Maryam dkk., 2016).
Hasil pengujian diinterpretasikan dengan peningkatan absorbansi pada
panjang gelombang 593 nm dan dapat disimpulkan sebagai jumlah Fe2+ (dalam
mikromolekular) ekuivalen dengan antioksidan standar. Penentuan nilai TAC
(Total Antioxidant Capacity) pada sampel dilakukan dengan mencampurkan
reagen FRAP dengan ekstrak sampel. Dalam reagen FRAP terdapat campuran
TPTZ, FeCl3 dan buffer asetat, sehingga reagen FRAP merupakan senyawa
komplek Fe3+ -TPTZ yang tidak berwarna (berbeda dengan komplek Fe2+ yang
berwarna biru). Senyawa Fe3+ - TPTZ mewakili senyawa oksidator yang
mungkin terdapat di dalam tubuh dan dapat merusak sel-sel tubuh, sedangkan
ekstrak sampel mengandung antioksidan yang kemudian dapat mereduksi Fe3+ -
TPTZ menjadi Fe2+ - TPTZ sehingga senyawa Fe3+- TPTZ tidak akan
melakukan reaksi yang merusak sel-sel tubuh. Semakin banyak konsentrasi Fe3+
- TPTZ yang direduksi oleh sampel menjadi Fe2+ -TPTZ, maka aktivitas
antioksidan dari sampel juga semakin besar (Pisoschi dan Gheorghe, 2011).
Metode FRAP memiliki keunggulan yaitu prosedurnya yang sederhana,
metodenya murah, cepat dan reagen yang digunakan cukup sederhana serta tidak
menggunakan alat khusus untuk menghitung total antioksidan (Maryam dkk.,
2016).
A=e.b.c (1)
Dimana:
A = absorban (serapan cahaya oleh zat kimia)
e = absorptivitas molar
b = tebal kuvet (cm)
c = konsentrasi (Iskandar, 2017).
Prinsip penentuan spektrofotometer UV-Vis adalah aplikasi dari Hukum
Lambert-Beer, yaitu:
A = - log T = - log It / Io = ε . b . C
Dimana :
A = Absorbansi dari sampel yang akan diukur
T = Transmitansi I0 = Intensitas sinar masuk
It = Intensitas sinar yang diteruskan
ε = Koefisien ekstingsi
b = Tebal kuvet yang digunakan
C = Konsentrasi dari sampel
Melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya tersebut diserap (I),
sebagian dipantulkan (lr), dan sebagian lagi dipancarkan (It). Aplikasi rumus
tersebut dalam pengukuran kuantitatif dilaksanakan dengan cara komparatif
menggunakan kurva kalibrasi dari hubungan konsentrasi deret larutan alat untuk
analisa suatu unsur yang berkadar rendah baik secara kuantitatif maupun secara
kualitatif, pada penentuan secara kualitatif berdasarkan puncak-puncak yang
dihasilkan spektrum dari suatu unsur tertentu pada panjang gelombang tertentu,
sedangkan penentuan secara kuantitatif berdasarkan nilai absorbansi yang
dihasilkan dari spektrum dengan adanya senyawa pengompleks sesuai unsur
yang dianalisisnya. Adapun yang melandasi pengukuran spektrofotometer ini
dalam penggunaannya adalah hukum Lambert-Beer yaitu bila suatu cahaya
monokromatis dilewatkan melalui suatu media yang transparan, maka intensitas
cahaya yang ditransmisikan sebanding dengan tebal dan kepekaan media larutan
digunakan (Yunlinastuti dan Syamsul.,2016).
2.11 Kerangka Konsep
Antioksidan
Radikal bebas sintetik
Antioksidan
Antioksidan
alami
IC50 Skrining
Fitokimia
Tumbuhan Hewani Mineral
Uji aktivitas
Metabolit
antioksidan Berdasarkan uji
Sekunder Kulit umbi
ubi kayu fitokimia kulit umbi
Uji Kadar Fenolik Uji kadar fenolik
total Ubi Kayu (Manihot
b. Penyiapan sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit umbi ubi kayu
(Manihot esculenta) dari Kecamatan Anduonohu, Kota Kendari, Sulawesi
Tenggara. Preparasi sampel dilakukan dengan pengumpulan kulit umbi ubi kayu
(Manihot esculenta) dari bagian tanaman lainnya, sortasi basah, pencucian,
perajangan, pengeringan dan sortasi kering. Sampel kulit umbi ubi kayu disortasi
untuk menghilangkan zat pengotornya kemudian dicuci sampelnya dan dipotong-
potong, setelah itu dikeringkan di bawah sinar matahari yang ditutupi dengan
kain hitam sampai kering, kemudian dihaluskan menggunakan blender sehingga
dihasilkan simplisia yang berbentuk sel kecil dan kemudian disimpan dalam
wadah bersih serta kering.
c. Pembuatan ekstrak
Ekstrak metanol kulit umbi ubi kayu (Manihot esculenta) dibuat dengan
metode maserasi. Serbuk kulit umbi ubi kayu yang telah diblender ditimbang
sebanyak 800 g. kemudian dimasukkan ke dalam toples maserasi dan
ditambahkan metanol kemudian dilakukan maserasi selama 3 x 24 jam. Hasil
maserasi disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang dihasilkan diuapkan
dengan menggunakan rotary evaporator sehingga didapatkan ekstrak kulit ubi
kayu.
d. Fraksinasi
Fraksinasi pada penelitian ini dilakukan secara triturasi. Triturasi dilakukan
terhadap ekstrak metanol kulit umbi ubi kayu (Manihot esculenta). Pelarut yang
digunakan dalam triturasi adalah n-heksan dan etil asetat. Bagian yang larut n-
heksan disebut fraksi n-heksan, bagian yang larut etil asetat disebut sebagai fraksi
etil dan bagian yang tidak larut etil asetat disebut fraksi sisa. Ekstrak kulit umbi
ubi kayu difraksinasi dengan metode triturasi menggunakan pelarut n-heksan dan
etil asetat. Diambil 30 gram ekstrak metanol kulit umbi ubi kayu (Manihot
esculenta) kemudian dimasukan ke dalam lumpang alu, ditambahkan pelarut n-
heksan lalu digerus selama 15 menit dan dilakukan berulang sampai perlarutnya
tidak berubah warna. Kemudian ekstrak sisa n-heksan dikeringkan 20-30 menit
setelah itu ditriturasi kembali dengan pelarut etil asetat dilakukan perlakuan yang
sama seperti metode triturasi menggunakan pelarut n-heksan, setelah itu
ditambah metanol sebagai fraksi sisa.
e. Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan pada ekstrak metanol, fraksi n-heksan, fraksi
etil asetat dan fraksi sisa kulit umbi ubi kayu dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Alkaloid
Sebanyak 1 ml ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi kayu dimasukan masing-
masing kedalam tabung, kemudian masing-masing diteteskan dengan reagen
dragendorf 1-2 tetes. Pereaksi Dragendorf yang positif mengandung alkaloid
akan terjadi endapan berwarna merah bata (coklat hingga berwarna jingga)
(Djoronga dkk., 2014).
2. Terpenoid
Sebanyak 1 ml ekstrakdan fraksi kulit umbi ubi kayu dimasukan masing-
masing kedalam tabung, kemudian masing-masing diteteskan dengan reagen
liberman-Burchard 1-2 tetes. Pereaksi Liberman-Burchard yang positif
mengandung terpenoid terbentuk warna merah, ungu atau jingga (Lumowa dan
Syahril, 2018).
3. Flavonoid
Sebanyak 1 ml ekstrakdan fraksi kulit umbi ubi kayu dimasukan masing-
masing kedalam tabung, kemudian masing-masing diteteskan dengan reagen
sitroborat 1-2 tetes. Pereaksi Sitroborat positif mengandung flavonoid apabila
terbentuk warna kuning terang (Fahrurroji dan Riza, 2020).
4. Saponin
Sebanyak 1 ml ekstrakdan fraksi kulit umbi ubi kayu dimasukan masing-
masing kedalam tabung, Kemudian masing-masing ditambahkan 10 ml air panas
lalu dilakukan pengocokan. Uji dikatakan positif mengandung saponin apabila
terdapat busa yang tidak hilang dalam pengocokan (Agustina dkk., 2018).
5. Tanin
Sebanyak 1 ml ekstrakdan fraksi kulit umbi ubi kayu dimasukan masing-
masing kedalam tabung, kemudian masing-masing ditambahkan beberapa tetes
larutan besi (III) Klorida 1%. Perubahan yang terjadi diamati, terbentuknya warna
biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya senyawa tanin
(Ningrum dkk., 2017).
6. Glikosida
Ekstrak dan fraksi kulit umbi ubi kayu sebanyak 5 ml dicampur dengan 2
ml asam asetat glasial. Hasil dari uji glikosida jantung ditentukan dengan
penambahan 1 ml H2SO4 pekat ke dalam campuran. Terbentuknya suatu cincin
berwarna coklat yang ada pada permukaan menandakan adanya kardenolida
(glikosida jantung). Suatu cincin yang berwarna ungu mungkin akan nampak di
bawah cincin yang berwarna coklat, sementara pada saat berada dalam lapisan
asam asetat, secara berangsur-angsur akan terbentuk lapisan yang berwarna
kehijau-hijauan di bawah cincin yang berwarna ungu sebelumnya (Amody dan
Kamila, 2017)
Keterangan:
C = Konsentrasi total flavonoid Fp = Faktor pengenceran
V = Volume sampel (L) m = Massa ekstrak (g)
Determinasi
Tanaman
Pengambilan
sampel
Persiapan
Sampel
Pembuatan
Ekstrak
Fraksinasi
Skrining
Fitokimia
Uji Antioksidan
Penetapan
Kadar fenolik
dan Flavonoid
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, E., Andiarna F., Lusiana N., Purnamasari R., Hadi M.L, 2018, Identifikasi
Senyawa Aktif dari Ekstrak Daun Jambu Air (Syzygium Aqueum) dengan
Perbandingan Beberapa Pelarut pada Metode Maserasi, Biotropic J. Trop. Biol. 2,
108–118. Https://Doi.Org/10.29080/Biotropic.2018.2.2.
Ahmad, A.R., Juwita J., Ratulangi S.A.D dan Malik A., 2015, Penetapan Kadar Fenolik
Dan Flavonoid Total Ekstrak Metanol Buah dan Daun Patikala (Etlingera Elatior
Jack). Pharm. Sci. Res. Vol 2, 1–10. Https://Doi.Org/10.7454/Psr.V2i1.3481.
Alfons, J.B dan Wamaer D., 2015, Keragaman Karakter Morfologis dan Agronomis Ubi
Kayu Lokal Maluku, Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Genetik
Pertania, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Jl. Chr. Soplanit Tumah
Tiga-Ambon, Tahun 2015, hlm.160–168.
Andarina, R dan Djauhari, T., N.D. 2017. Antioksidan dalam Dermatologi. JKK, Volume
4, No 1, Hal 39-48 P-ISSN 2406-7431; E-ISSN 2614-0411.
Andulaai, A.M., Ruslan, R., Ys., H., Puspitasari, D.J., 2017, Studi Perbandingan Analisis
Vitamin E Minyak Sawit Merah Tersaponifikasi Antara Metode Spektrofotometri
Uv-Vis dan KCKT. Kovalen 3, 50.
Https://Doi.Org/10.22487/J24775398.2017.V3.I1.8233.
Arifin, B dan Ibrahim S., 2018, Struktur, Bioaktivitas dan Antioksidan Flavonoid
Structure, Bioactivity and Antioxidan of Flavonoid. Jurnal Zarah, Vol. 6 No. 1
Halaman 21-29.
Arnanda, Q.P dan Nuwarda R.F., 2019, Review Article: Penggunaan Radiofarmaka
Teknesium-99m dari Senyawa Glutation dan Senyawa Flavonoid Sebagai
Deteksi Dini Radikal Bebas Pemicu Kanker. Farmaka, Volume 17 Nomor 2.
Azizah, Z., Fauziah E, Zulharmita, Sestry M, Boy C, Rina De.Y., 2020, Penetapan Kadar
Flavonoid Rutin Pada Daun Ubi Kayu (Manihot Esculenta Crantz) Secara
Spektrofotometri Sinar Tampak. Jurnal Farmasi Higea, Vol. 12 No. 1.
Carvalho, R dan Guerra M., 2002, Cytogenetics Of Manihot Esculenta Crantz (Cassava)
And Eight Related Species. Hereditas 136, 159–168.
Https://Doi.Org/10.1034/J.1601-5223.2002.1360212.X
Diniyah N dan Sang-Han Lee, 2020, Komposisi Senyawa Fenol dan Potensi Antioksidan
Dari Kacang-Kacangan. Jurnal Agroteknologi. Vol 14 No. 01
Depkes, RI. 1985, Cara Pembuatan Simplisia. Departemen Kesehatan RI, Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan RI: Jakarta
Depkes, RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Departemen
Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen
Kesehatan RI: Jakarta
Djoronga, M.I., Pandiangan D., Kandou F.E.F., dan Tangapo A.M., 2014, Penapisan
Alkaloid pada Tumbuhan Paku dari Halmahera Utara. J. MIPA 3, 102.
Https://Doi.Org/10.35799/Jm.3.2.2014.5860.
Erviani, A.E., Arif A.R dan Nisa N.F., 2019, Analisis Rendemen Dan Skrining Fitokimia
Ekstrak Cacing Laut Eunice Siciliensis. J. Ilmu Alam Dan Lingkung, 10,
Https://Doi.Org/10.20956/Jal.V10i1.6152
Fadliya, Supriadi, dan Anang W.M.D., 2018, Analisis Vitamin C dan Protein Pada Biji
Buah Labu Siam (Sechium edule). J. Akademika Kim. 7(1): 6-10, ISSN 2302-
6030 (p), 2477-5185 (e)
Fahrurroji, A dan Riza H., 2020, Karakterisasi Ekstrak Etanol Buah Citrus Amblycarpa
(L), Citrus Aurantifolia (S.), dan Citrus Sinensis (O.). J. Farm. Dan Ilmu
Kefarmasian Indones. 7, 100. Https://Doi.Org/10.20473/Jfiki.V7i22020.100-113
Fakriah, Eka K., Adriana, Rusydi, 2019, Sosialisasi Bahaya Radikal Bebas Dan Fungsi
Antioksidan Alami Bagi Kesehatan. J. Vokasi 3, 1.
Https://Doi.Org/10.30811/VokasiV3i1.960
Fawwaz, M., Muliadi, D.S dan Muflihunna A., 2017, Kedelai Hitam (Glycine Soja)
Terhidrolisis Sebagai Sumber Flavonoid Total. J. Fitofarmaka Indones. 4, 194–
198. Https://Doi.Org/10.33096/Jffi. V4i1.227
Febrianti, N., Yunianto I dan Dhaniaputri R., 2015, Kandungan Antioksi Dan Asam
Askorbat Pada Jus Buah-Buahan Tropis. J. Bioedukatika 3, 6.
Https://Doi.Org/10.26555/Bioedukatika.V3i1.4130
Fitriani, R., Rosyidah K dan Rohman T., 2020, Uji Aktivitas Antioksidan dan Analisis
Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) Fraksi Etil Asetat Daun
Purun Tikus (Eleocharis Dulcis). Chim. National Acta 8, 104.
Https://Doi.Org/10.24198/Cna.V8.N3.32204
Gagola, C., Suryanto E dan Wewengkang, D., 2014, Umbi Ubi Kayu (Manihot
Esculenta) Daging Putih dan Daging Kuning Yang Diambil Dari Kota
Melonguane Kabupaten Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 3
No. 2, ISSN 2302 - 2493.
Gogoi, B.J, Jambey T, Hui T, and Vijay V., 2012, Antioxidant Potential of Garcinia
Species From Sonitpur District, Assam, North East India, IJSPR, Vol, 3(9):
3472-3475
Haeria, Nurshalati, Tahar, Munadiah, 2018, Penentuan Kadar Flavonoid Dan Kapasitas
Antioksidan Ekstrak Etanol Kulit Batang Kelor (Moringa Oleifera L) Dengan
Metode DPPH, CUPRAC Dan FRAP. Jf Fik Uinam. Vol.6 No.2.
Hafiz R., Baidah D., Lestari N.P dan Yuliana K.A., 2020, Aktivitas Antioksidan Ekstrak
Etanol 96% Daun, Buah Dan Kulit Terap (Artocarpus Odorratissimus)
Menggunakan Metode Cuprac. Farmasains J. Ilm. Ilmu Kefarmasian 7, 7–12,
Https://Doi.Org/10.22236/Farmasains.V7i1.4331
Harman-Ware, A.E., Sykes R., Peter G.F dan Davis M., 2016, Determination Of
Terpenoid Content In Pine By Organic Solvent Extraction And Fast-GC
Analysis. Front. Energy Res. 4. Https://Doi.Org/10.3389/Fenrg.2016.00002
Hasnaeni, H dan Aminah, A., 2019, Uji Aktivitas Antioksidan Dan Profil Fitokimia
Ekstrak Kayu Beta-Beta (Lunasia Amara Blanco.): Antioxidant Activity And
Phytochemical Profile Of Beta-Beta (Lunasia Amara Blanco) Wood Extract. J.
Farm. Galen. Galen. J. Pharm. E-J. 5, 101–107.
Https://Doi.Org/10.22487/J24428744.2019.V5.I1.12404
Indah Y., 2017, Pengaruh Proses Fraksinasi Pati Sagu Terhadap Karakteristik Fraksi
Amilosanya. J. Tek. Ind. Pert. Vol. 17(1),29-36.
Iskandar, D., 2017. Perbandingan Metode Spektrofotometri Uv-Vis Dan Iodimetri Dalam
Penentuan Asam Askorbat Sebagai Bahan Ajar Kimia Analitik Mahasiswa
Jurusan Teknologi Pertanian Berbasis Open-Ended Experiment Dan Problem
Solving. Jurnal Teknologi Technoscientia ISSN: 1979-8415, Vol. 10 No. 1.
Karundeng, G., Suryanto, E., Sudewi, S., 2017. Karakterisasi Dan Potensi Antioksidan
Dari Kulit Luar Ubi Kayu (Manihot utilissima). Chem. Prog. Vol. 10, No. 2.
Lady Y.H.D dan Pranoto M.E., 2020, Pengaruh Variasi Suhu Pengeringan Terhadap
Pembuatan Simplisia Daun Mimba (Azadirachta Indica), J. Farm. Tinctura 1,
45–54. Https://Doi.Org/10.35316/Tinctura.V1i2.988
Lumowa, S.V.T., Syahril dan Bardin, 2018, Uji Fitokimia Kulit Pisang Kepok (Musa
Paradisiacal.) Bahan Alam Sebagai Pestisida Nabati Berpotensi Menekan
Serangan Serangga Hama Tanaman Umur Pendek. J. Sains Dan Kesehatan 1.
Https://Doi.Org/10.25026/Jsk.V1i9.87
Malangngi, L., Sangi, M dan Paendong J., 2012, Penentuan Kandungan Tanin Dan Uji
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Biji Buah Alpukat (Persea Americana Mill.). J.
Mipa 1, 5. Https://Doi.Org/10.35799/Jm.1.1.2012.423
Maryam, S., Baits M dan Nadia, A., 2016, Pengukuran Aktivitas Antioksidan Ekstrak
Etanol Daun Kelor (Moringa Oleifera Lam.) Menggunakan Metode Frap (Ferric
Reducing Antioxidant Power). J. Fitofarmaka Indones. 2, 115–118.
Https://Doi.Org/10.33096/Jffi.V2i2.181
Maryam, S., Pratama, R., Effendi, N dan Naid T., 2015, Etanolik Daun Yodium
(Jatropha Multifida L.) dengan Metode Cupric Ion Reducing Antioxidant
Capacity (CUPRAC). Jurnal Fitofarmaka Indonesia, Vol. 2 No.1.
Minarno, E.B., 2016, Analisis Kandungan Saponin Pada Daun Dan Tangkai Daun
Carica Pubescens Lenne & K. Koch. El–Hayah 5, 143.
Https://Doi.Org/10.18860/Elha.V5i4.3470
Ningrum, R., Purwanti, E., Sukarsono, S., 2017. Alkaloid Compound Identification Of
Rhodomyrtus Tomentosa Stem As Biology Instructional Material For Senior
High School X Grade. J. Pendidik. Biol. Indonesia 2, 231.
Https://Doi.Org/10.22219/Jpbi.V2i3.3863
Nugraha A.T, Muhammad S.F., dan Pinus J, 2017, Profil Senyawa dan Aktivitas
Antioksidan Dau Yakon ((Smallanthus sonchifolius) Dengan Metode DPPH dan
CUPRAC. Jurnal Ilmiah Farmasi 13(1). ISSN: 1693-8666 available at
http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF
Pangestu, N.S., 2017, Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Daun Jatropha
Gossypifolia L., Jurnal Pendidikan dan Ilmu Kimia. 1(1):15-19. ISSN 2252-
8075.
Pratama, A.N dan Busman H., 2020, Potensi Antioksidan Kedelai (Glycine Max L)
Terhadap Penangkapan Radikal Bebas. J. Ilm. Kesehat. Sandi Husada 11, 497–
504. Https://Doi.Org/10.35816/Jiskh.V11i1.333
Prayudo, A.N dan Novian O., 2015, Koefisien Transfer Massa Kurkumin Dari
Temulawak. Jurnal Ilmiah Widya Teknik, Volume 14 Nomor 01, ISSN 1412-
7350.
Purwanto, D., Bahri S dan Ridhay A., 2017, Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Buah
Purnajiwa (Kopsia Arborea Blume.) Dengan Berbagai Pelarut. Kovalen 3, 24.
Https://Doi.Org/10.22487/J24775398.2017.V3.I1.8230
Puspitasari, A.D., Susanti, E., Khustiana, A., 2020. Aktivitas Antioksidan Dan Penetapan
Kadar Vitamin C Perasan Daging Buah Lemon (Citrus Limon (L.) Osbeck)
Menggunakan Metode Abts. J. Ilm. Teknosains 5, 99–104.
Https://Doi.Org/10.26877/Jitek.V5i2.4591
Rahmi, H., 2017, Review: Aktivitas Antioksidan Dari Berbagai Sumber Buah-Buahan Di
Indonesia. J. Agrotek Indones. 2. Https://Doi.Org/10.33661/Jai.V2i1.721
Rastuti, U dan Purwati P., 2012, Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Kalba (Albizia
Falcataria) Dengan Metode DPPH (1,1-Difenil-2-Pikrilhidrazil) dan Identifikasi
Senyawa Metabolit Sekundernya. Molekul. 7, 33.
Https://Doi.Org/10.20884/1.Jm.2012.7.1.104
Salamah, M.Sc, Apt., N., Rozak, M dan Al Abror, M., 2017, Pengaruh Metode Penyarian
Terhadap Kadar Alkaloid Total Daun Jembirit (Tabernaemontana Sphaerocarpa.
BL) Dengan Metode Spektrofotometri Visibel. Pharmaciana 7, 113.
Https://Doi.Org/10.12928/Pharmaciana.V7i1.6330
Sami, F.J dan Sitti, R., 2016, Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Bunga Brokoli
(Brassica Oleracea L. Var. Italica) Dengan Metode DPPH (2,2 Diphenyl-1-
Picrylhydrazyl) dan Metode ABTS (2,2 Azinobis (3-Etilbenzotiazolin)-6-Asam
Sulfonat). Jurnal Fitofarmaka Indonesia 2, 107–110.
Https://Doi.Org/10.33096/Jffi.V2i2.179
Sari, A.K dan Noverda A., 2017, Penetapan Kadar Fenolik Total Dan Flavonoid Total
Ekstrak Beras Hitam (Oryza Sativa L) Dari Kalimantan Selatan Jurnal Ilmiah
Ibnu Sina, 2 (2), 327-335
Sari, N.K.Y dan I Made, W.A.P., 2016, Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Akasia
(Acacia Auriculiformis). Jurnal Media Sains 2 (1): 21 – 25, P-ISSN : 2549-7413
E-ISSN : 2620-3847.
Sayakti, P.I., Anisa, N dan Ramadhan, H., 2022, Antioxidant Activity Of Methanol
Extract Of Cassava Leaves (Manihot Esculenta Crantz) Using CUPRAC Method.
J. Ilm. Farm. 97–106. Https://Doi.Org/10.20885/Jif.Specialissue2022.Art12
Septiana, A.T., 2012. Kajian Sifat Fisikokimia Ekstrak Rumput Laut Coklat Sargassum
Duplicatum Menggunakan Berbagai Pelarut Dan Metode Ekstraksi. Agrointek,
Volume 6, No.1.
Setiawan, F., 2018. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kayu Secang (Caesalpinia
Sappan) Menggunakan Metode DPPH, ABTS, Dan FRAP, Media Pharmaceutica
Indonesiana, Vol. 2 No 1.
Suwaditya R.K., Yoga W.W dan Sri A.S.,2020, Peran Senyawa Flavonoid Dan Glikosida
Jantung Dalam Aktivitas Kardiotonik. Farmaka Suplemen, Volume 17 Nomor
1.
Thamrin, M., Ainul Mardhiyah, Samsul Efendi Marpaung, 2013. Analisis Usahatani Ubi
Kayu (Manihot Utilissima)., Agrium, Volume 18 No 1.
Utami, N.F., Nhestricia N., Maryanti S., Tisya T dan Maysaroh, S., 2018, Uji Aktivitas
Antioksidan dari Biji Kopi Robusta (Coffea Canephora P.) Berdasarkan
Perbedaan Ekologi Dataran Tinggi di Pulau Jawa Fitofarmaka, Vol.8, No.1,
ISSN:2087-9164.
Uthia, R., Arifin H dan Efrianti, F., 2017, Pengaruh Hasil Fraksinasi Ekstrak Daun
Kemangi (Ocimum Sanctum L.) Terhadap Aktivitas Susunan Saraf Pusat Pada
Mencit Putih Jantan. Jurnal Farmasi Higea, Vol. 9, No. 1.
Vifta, R.L., Advistasari, Y.D., 2018. Skrining Fitokimia, Karakterisasi dan Penentuan
Kadar Flavonoid Total Ekstrak Dan Fraksi-Fraksi Buah Parijoto (Medinilla
Speciosa B., Indonesian Journal of Chemical Science, 8(3) p-ISSN 2252-6951 e-
ISSN 2502-6844.
Vifta, R.L., Rahayu R.T dan Luhurningtyas F.P., 2019, Uji Aktivitas Antioksidan
Kombinasi Ekstrak Buah Parijoto (Medinilla Speciosa Blume) Dan Rimpang Jahe
Merah (Zingiber Officinalle Roscoe Var Rubrum) dengan Metode ABTS (2,2-
Azinobis (3-Etilbenzotiazolin)-6-Asam Sulfonat) 5.
Wabula R.A., Seniwati dan Harti W., 2019, Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Buah
Merah (Pandanus conoideus Lam.) dengan Metode Ferric Reducing Antioxidant
Power (FRAP), Jurnal Kesehatan, Vol. 2 No. 4, E-ISSN 2614-5375.
Wahyulianingsih, W., Handayani, S., Malik, Abd., 2016. Penetapan Kadar Flavonoid
Total Ekstrak Daun Cengkeh (Syzygium Aromaticum (L.) Merr & Perry). J.
Fitofarmaka Indones. 3, 188–193. Https://Doi.Org/10.33096/Jffi.V3i2.221
Wahyuni, T., Syamsudin, 2014, Pemanfaatan Tanin Ekstrak Daun Jambu Biji Terhadap
Laju Korosi Besi Dalam Larutan Nacl 3% (W/V). Konversi,Vol. 3 No. 1, ISSN
2252-7311.
Wardhani, R.R.A.A.K., Okviyoandra, Akhyar dan Emilda P., 2018, Analisis Skrining
Fitokimia, Kadar Total Fenol-Flavonoid dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak
Etanol Kulit Kayu Tanaman Galam Rawa Gambut (Melaleuca Cajuputi Roxb), Al
Ulum Sains dan Teknologi, Vol. 4 No. 1.
Werdhasari, A., 2014, Peran Antioksidan Bagi Kesehatan. Jurnal Biotek Medisiana
Indonesia . Vol.3.2, 59-68.