Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TUMBUHAN JERINGAU (Acorus calamus L)

2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Menurut hasil identifikasi Laboratorium Botani Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam ( FMIPA), klasifikasi dari tumbuhan jeringau (Acorus calamus L)

Kerajaan : Plantae (Tumbuhan)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Liliopsida (Berkeping satu / monokotil)

Ordo : Arales

Family : Acoraceae

Genus : Acorus

Spesies : Acorus calamus Linn.

Nama daerah : Jeringau

2.1.2 Uraian Tanaman

Tumbuhan jeringau memiliki akar serabut. Tumbuhan jeringau ini memiliki

batang basah, pendek, membentuk rimpang yang berwarna putih kotor. Daun

tumbuhan jeringau ini merupakan daun tunggal berwarna hijau yang berbentuk lanset

dengan pertulangan daun sejajar dan ujung daun yang runcing. Tumbuhan jeringau

ini merupakan tumbuhan berbunga majemuk atau dalam satu ibu tangkai terdapat

beberapa kuntum bunga yang berbentuk bonggol ujung meruncing. Tumbuhan ini
biasanya hidup ditempat lembab, seperti rawa dan air pada semua ketinggian tempat

(Irwan, 2017). Dalam pertumbuhannya, rimpang jeringau membentuk tunas ke kanan

dan ke kiri. Banyaknya cabang ditentukan oleh kesuburan tanah. Tumbuhan jeringau

ini lebih senang hidup di tempat – tempat yang basah. Tergenang air / paya – paya.

Jeringau dapat tumbuh pada ketinggian 2275 – 2000 meter diatas permukaan laut.

Dimana tumbuhan ini dapat tumbuh setinggi 1 meter.

Gambar 1. Tanaman tumbuhan jeringau

2.1.3 Pesebaran tumbuhan jeringau

Menurut sejarah tumbuhan jeringau ini berasal dari Asia. Dimana

persebarannya dari daerah dari Kaukasus melalui Asia Barat dan Siberia ke China,

India dan Asia Tenggara. Dan sebagian besar juga tumbuh Amerika Utara dan banyak

dinaturalisasi di tempat lainnya. Berdasarkan Ciri Ciri tanaman jeringau ini

mempunyai daun yang sama seperti pita yang memanjang dengan bunga yang

berbentuk bulat memanjang. Menurut masyarakat Banjar tanaman jeringau ini

dipercaya sebagai tanaman pengusir roh-roh jahat dan digunakan untuk beberapa

kegiatan ritual. Dimana fungsi dan kegunaannya dari tanaman jeringau ini bagi
sebagian masyarakat digunakan sebagai pakan ternak dan tanaman hias. Namun yang

belum diketahui ternyata tanaman jeringau ini banyak manfaat dan khasiat dalam

pengobatan untuk menyembuhkan macam-macam penyakit yang ada ditubuh.

2.1.4 Nama Daerah

Tabel 1. Nama daerah jeringau (Nugrahadi (2001) dalam Balafif (2011))

Dalam pertumbuhannya, rimpang jeringau membentuk tunas ke kanan dan ke

kiri. Banyaknya cabang ditentukan oleh kesuburan tanah. Rimpang jeringau dalam

keadaan segar kira-kira sebesar jari kelingking sampai sebesar ibu jari, isinya

berwarna putih tetapi jika kering berubah menjadi berwarna merah muda sampai

kecoklatan (Anonim, 2008).

2.1.5 Kandungan Kimia Tumbuhan Jeringau

Rimpang dan daun jeringau mengandung saponin dan flavonoida. Menurut Onasis

(2001) dalam Anonim (2008) bahwa manfaat rimpang jeringau adalah campuran

dalam industri makanan dan minuman, bahan penyedap, pewangi, deterjen, sabun dan

krem kecantikan. Menurut Syahrial (2005) dalam Balafif (2011) menyatakan bahwa

komposisi minyak atsiri rimpang jeringau terdiri dari :


Tabel 2. Komposisi minyak atsiri dalam rimpang jeringau

senyawa Kandungan %

asaron 82 %

kolamenol 5%

kolamen 4%

kolameone 1%

Metil euganol 1%

euganol 0,3 %

2.2 Flavonoid

Menurut Achmad (1986) flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar

yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu,

biru, dan sebagian warna kuning ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.

2.2.1 Senyawa Flavonoid

Menurut Achmad (1986) bahwa flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon

yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai

propan (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6.

Gambar 3. Struktur Umum Flavonoid (Achmad, 1986)

Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yakni 1,3-diarilpropan atau

flavonoid, 1,2-diaril propan atau isoflavonoid, 1,1-diarilpropan atau neoflavonoid.


Kelompok senyawa ini kemudian diberi nama flavonoid berasal dari kata flavon,

karena flavon adalah jenis yang paling besar jumlahnya dan paling banyak ditemukan.

Struktur dasar senyawa dapat dilihat pada gambar 4 berikut.

Gambar 4. Struktur Dasar Flavonoid (Achmad, 1986)

2.2.2 Manfaat Flavonoid

Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan

dan mempunyai bioaktivitas sebagai obat. Flavonoid dalam tubuh manusia berfungsi

sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat

flavonoid antara lain untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin

C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik (Waji dan Sugrani,

2009). Menurut Tuminah (2000) dalam Marlina (2008) bahwa selain untuk

antihiperglekimia flavonoid juga merupakan senyawa bioaktif yang berguna sebagai

antioksidan. Flavonoid yang terdapat dalam sayuran, teh, dan minuman dapat

mengurangi radikal bebas. Menurut Jawi (2007) dalam Marlina (2008) bahwa salah

satu komponen flavonoid dari tumbuh-tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai

antioksidan adalah zat warna alami yang disebut antosianin, yang merupakan salah

satu zat antioksidan yang mampu mencegah berbagai jenis Menurut Darusman (2001)

dalam Marlina (2008) bahwa senyawa flavonoid juga dapat meningkatkan aktivitas

enzim lipase.
2.3 Metode isolasi senyawa metabolit sekunder

Isolasi merupakan suatu usaha untuk memisahkan suatu senyawa yang bercampur

sehingga dapat menghasilkan senyawa tunggal yang murni. Tumbuhan diketahui

mengandung ribuan senyawa sebagai metabolit primer dan metabolit sekunder.

Biasanya proses isolasi senyawa dari bahan alam bertujuan untuk mengisolasi

senyawa metabolit sekunder, karena dapat memberikan manfaat bagi kehidupan

manusia (Harborne, 2006).

2.3.1 Metode Ekstraksi

Ektraksi adalah proses pengambilan komponen yang terlarut dari bahan atau

campuran dengan menggunakan pelarut seperti air, alcohol, eter, aseton dn

sebagainya. Metode ekstraksi yang dipilih untuk mendapatkan senyawa bahan alam

tergntung kepada jenis sampel tumbuhan dan jenis senyawa yang ada. Terutama

tergantung pada keadaan fisik senyawa tersebut, misalnya senyawa berupa cairan

yang mudah menguap ( Harborne, 2006). Syarat pemilihan pelarut yaiu:

1. Pelarut harus dapat melarutkan senyawa organic yang terkandung dalam

tumbuhan tersebut.

2. Dapat menguap dengan baik. ( titik didihnya rendah)

3. Tidak terjadi reaksi antara pelarut yang digunakan dengan hasil isolasi yang akan

dimurnikan ( Harborne,2006; Anonim, 2000)

Maserasi merupakan metode yang paling sering digunakan. Maserasi adalah

proses ekstraksi sederhana menggunakan pelarut dengan beberapa kali

pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar selama beberapa hari

(umumnya 3 – 5 hari). Biasanya proses maserasi ini dilakukan setelah bagian

tumbuhan dikeringkan dan dirajang halus, penekanan utama dalam metode ini
adalah tersedianya waktu kontak yang cukup antara pelarut dengan jaringan yang

mengandung zat aktif sehingga zat aktif akan terlarut.karena adanya perbedaan

konsentrasi antara larutan aktif di dalam sel, maka larutan yang terpekat didesak

keluar. Pelarut yang digunakan dapat berupa etanol, air – etanol, atau pelarut lain.

Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan

penyaringan maserasi pertama dan seterusnya.

2.3.2 Metode Fraksinasi

Pemisahan san atau penyederhanaan komponen suatu senyawa kimia dari ekstrak

tumbuhan dapat dilakukan dengan csra fraksinasi. Fraksinasi merupakan metode

pemisahan campuran menjadi beberapa fraksi yang berbeda susunan kepolarannya

(Harborne, 2006 ). Fraksinasi pada prinsipnya adalah proses penarikan senyawa

dari suatu ekstrak dengan menggunakan dua macam pelarut yang tidak saling

bercampur. Fraksinasi dilakukan dengan meningkatkan kepolaran pelarut. Pelarut

yang biasanya digunakan dalam fraksinasi adslah pelarut non polar seperti n-

heksana, petroleum eter, pelarut semi polar seperti etil asetat, kloroform, dan

terakhir pelarut polar seperti butanol dan etanol, sehingga diperoleh fraksi yang

mengandung senyawa nonpolar, semipolar, dan polar. ( Houghton dan

Amala,1998)

2.4 Sinar Matahari

dapat memancarkan berbagai macam sinar, baik yang dapat dilihat ( visible)

maupun yang tidak dapat dilihat. Sinar matahari yang dapat dilihat adalah sinar

yang dapat dipancarkan dalam gelombang lebih dari 400 nm, sedangkan sinar

matahri dengan panjang gelombang lebih dari 400 nm,sedangkan sinar matahari
dengan panjang gelombang 200 nm – 400 nm yang disebut dengan sinar

ultraviolet (UV), tidak dapat dilihat dengan mata (Anonimᵇ, 2009).

Dalam beberapa hal sinar matahari bermanfaat untuk manusia yaitu

diantaranya untuk mensintesis vitamin D, memberikan penerangan untuk

kehidupan, dan sumber energy. Namun disamping manfaat tersebut, sinar

matahari dapat merugikan manusia apabila terpapar pada kulit terlalu lama

(Anonimᵇ, 2009).

Sinar matahari terdiri atas sinar inframerah, sinar tampak, dan sinar uv.

Sinar UV terdiri atas :

A. Sinar UV-A

Merupakan radiasi UV yang mempunyai panjang gelombang 320 – 400 nm

dengan efektivitas tertinggi pada panjang gelombang 340 nm. Daerah UV ini

bertanggung jawab terhadap prubahan warna kulit secara langsung menjadi

lebih gelap tanpa menimbulkan kemerahan. UV-A dibagi menjadi 2 yaitu : (

Barel et al., 2009).

1, UV-A I = panjang gelombang 340 – 400 nm.

2, UV-A II = panjang gelombang 320 – 340 nm.

B. Sinar UV-B

Sinar ini disebut juga radiasi sengatan matahari (sunburn) atau radiasi UV

sedang, mempunyai daerah panjang gelombang 290 – 320 nm dengan panjang

puncak efektivitas pada 297,6 nm. Sinar UV-B adalah daerah UV

eritemogenik yang lebih efektif menimbulkan eritema daripada tanning.

Radiasi UV-B menimbulkan taning lambat yang ditandai dengan peningkatan

aktivitas dan jumlah melanosit. Radiasi UV-B dalam jangka waktu yang lama

juga menimbulkan kemerahan dan nyeri pada kulit ( Anonim, 2003).


C. Sinar UV-C

Radiasi sinar ini merupakan gelombang radiasi UV yang pendek atau radiasi

germisidal, mempunyai panjang gelombang 200 – 290 nm. Radiasi ini dapat

menyebabkan kerusakan jaringan, akan tetapi sinar UV ini sebagian besar

telah tersaring oleh lapisan ozon di atmosfer. UV-C tidak merangsang

pencoklatan kulit, tetapi dapat menyebabkan eritema (Anonim, 2003 ).

2.5 Tabir Surya

2.5.1Tinjauan Tabir Surya

Tabir surya adalah suatu sediaan yang mengandung senyawa kimia

yang dapat menyerap, mengahmburkan atau memantulkan sinar UV yang

mengenai kulit sehingga dapat digunakan untuk melindungi fungsi dan

struktur kulit manusia dai kerusakan akibat sinar UV ( Anonim, 2003 ).

Produk tabir surya memiliki peranan untuk mengurangi dosis radiasi UV

sehingga dapat mencegah kerusakan kulit. Tabir surya topical dapat dibuat

dalam sediaan salep, gel, lotion, krim atau spray ( Draelos dan Thaman, 2006).

Berdasarkan mekanismenya tabir surya dibagi menjadi dua yaitu :

1. Physical Blockers

Tabir surya physical blocker bekerja dengan menghamburkan radiasi

sinar UV-A maupun UV-B. tabir surya physical Blockers terdiri dari senyawa

– senyawa anorganik seperti titanium dioksida, zink oksida, kaolin, kalsium

karbonat, magnesium karbonat.

2. Chemical Absorber

Tabir surya Chemical Absorber bekerja dengan menghabsorbsi energy radiasi

sinar UV, yang dibedakan menjadi dua yaitu :

a. Anti UV-A seperti benzophenon, antranilate dan avobenzone,


b. Anti UV-B seperti turunan PABA, turunan cinnamate seperti octyl

methoxycinnamate dan turunan salicylate,

2.5.2 Efektivitas Tabir Surya

Efektivitas sediaan tabir surya dapat dinyatakan dengan nilai SPF( Sun

Protection Factor ), persentase transmisi eritema (% TE), dan persentase

transmisi pigmentasi (% TP). SPF merupakan perbandingan minimal

erythema dose (MED ) pada kulit manusia yang terlindungi tabir surya dengan

MED kulit tanpa perlindungan ( Walters, 2002 ). MED adalah nilai yang

menunjukkan sensitivitas yang dibutuhkan untuk menimbulkan kemerahan

ketika seseorang terpapar sinar UV ( Mitsui, 1997).

A. Sun Protection Factor (SPF )

Sun Protection Factor (SPF) merupakan indikator universal yang

menjelaskan tentang keefektifan dari suatu produk atau zat yang bersifat UV

protektor, semakin tinggi nilai SPF dari suatu produk atau zat aktif tabir surya

maka semakin efektif melindungi kulit dari pengaruh buruk sinar UV (Dutra et

al., 2004).

Tabel 3. Keefektifan sediaan tabir surya berdasarkan nilai SPF

(Wilkinson dan Moore, 1982).

NO Nilai SPF Kategori Proteksi Tabir Surya

1 2-4 Proteksi minimal

2 4-6 Proteksi sedang

3 6-8 Proteksi ekstra

4 8-15 Proteksi maksimal

5 >15 Proteksi ultra


Nilai SPF didefenisikan sebagai perbandingan energi UV yang

dibutuhkan untuk menghasilkan eritema minimal pada kulit yang dilindungi

dengan eritema yang sama pada kulit yang tidak dilindungi dalam individu

yang sama. Untuk contoh, seorang individu menggunakan tabir surya SPF 4

akan mengambil empat kali lama untuk mengalami eritema ketika terpapar

radiasi UVB dibandingkan dengan ketika individu tidak memiliki

perlindungan. FDA mengharuskan semua tabir surya mengandung Sun

Protection Factor (SPF). Kisaran SPF dimulai dari 2 sampai lebih dari 50,

Tabir surya dianjurkan dengan paling sedikit SPF 15. Peringkat SPF tabir

surya dihitung dengan membandingkan jumlah waktu yang diperlukan untuk

menghasilkan kulit terbakar sinar matahari pada kulit dilindungi tabir surya

dengan jumlah waktu yang diperlukan untuk menyebabkan kulit terbakar pada

kulit yang tidak terlindungi (Lavi, 2013).

Tabir surya dengan SPF menyatakan lamanya kulit seseorang berada

dibawah sinar matahari tanpa mengalami sunburn. Sedangkan angka SPF

menyatakan berapa kali daya tahan alami kulit dilipatgandakan sehingga aman

dibawah sinar matahari tanpa mengalami sunburn (Shovyana dkk, 2013).

Misalnya SPF 15 artinya, jika seseorang dengan daya tahan alami 30 menit

maksudnya adalah ia dapat bertahan 30 menit dibawah sinar matahri dengan

tidak mengalami luka bakar. Sehingga dengan mengoleskan anti-UV SPF 15,

maka akan dapat bertahan 15 kali lebih lama, yaitu selama 15 x 30 menit =

450 menit = 7,5 jam (Osterwalder Herzog, 2009).

B. Evaluasi % Te dan % Tp

Persen transmisi eritema (%Te) menggambarkan jumlah sinar matahari yang


diteruskan setelah mengenai tabir surya, sehingga dapat menyebabkan eritema

kulit (Kulit menjadi kemerahan). Demikian juga persen transmisi pigmentasi

(%Tp) tabir surya sehingga dapat menyebabkan pigmentasi kulit (Kulit

menjadi gelap) (Sugihartini, 2011).

Tabel 4. Faktor efektifitas fluks dan pigmentasi pada panjang gelombang

(290- 375 nm).

Panjang Intensitas rata- Faktor Fluks tanning

Gelombang (nm) rata (μWatt/cm2) Efektifitas (μWatt/cm2)

Tanning

290 – 295 1,7 0,6500 0,1105


295 – 300 7,0 0,9600 0,6720
300 - 305 20.0 0,5000 1,0000
305 - 310 36,5 0,0550 0,2008
310 – 315 62,0 0,0220 0,1364
315 - 320 90,0 0,0125 0,1125
Total erythema Range ,290 - 320 nm 2,2332 (76,5%)

320 - 325 130,0 0,0083 0,1079


325 - 330 170,0 0,0060 0,1020
330 - 335 208,0 0,0045 0,0936
335 – 340 228,0 0,0035 0,0798
340 - 345 239,0 0,0028 0,0669
345 - 350 248,0 0,0023 0,0570
350 - 355 257,0 0,0019 0,0448
355 - 360 268,0 0,0016 0,0456
360 - 365 274,0 0,0013 0,0356
365 - 370 282,0 0,0011 0,0310
370 - 375 289,0 0,0008 0,026
Total tanning range, 320 – 375 Nm 0,6942(23,7%)

Total tanning flux, 290 - 375 Nm 2,9264 (100 %)


Semakin kecil suatu persen transmisi eritema dan pigmentasi suatu

sediaan berarti semakin sedikit sinar UV yang diteruskan sehingga dapat

dikatakan bahwa sediaan tersebut memiliki aktifitas yang besar sebagai tabir

matahari. Persentase transmisi eritema/pigmentasi adalah perbandingan

jumlah energi sinar UV yang diteruskan oleh sediaan tabir surya pada

spektrum eritema/pigmentasi dengan jumlah faktor keefektifan eritema pada

tiap panjang gelombang dalam rentang 292,5-372,5 nm. Berdasarkan

penggunaannya, tabir surya dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Sunburn preventife agents, yaitu tabir surya yang mengabsorbsi 95 % atau

lebih radiasi UV dengan panjang gelombang 290-320 nm.

2. Suntanning agents, yaitu tabir surya yang mengabsorbsi sedikitnya 85 %

dari radiasi UV dengan rentang panjang gelombang dari 290-320 nm tetapi

meneruskan sinar UV pada panjang gelombang yang lebih besar dari 320 nm

dan menghasilkan tan ringan yang bersifat sementara. Bahan-bahan ini akan

menghasilkan eritema tanpa adanya rasa sakit Tabir surya pada kedua kategori

tersebut merupakan kategori tabir surya kimia yang mengabsorbsi rentang

tertentu dari radiasi UV.

3. Opaque sunblock agents, bertujuan untuk memberikan perlindungan

maksimum dalam bentuk penghalang secara fisik. Titanium dioksida dan zink

oksida merupakan senyawa yang paling sering digunakan dalam kelompok ini.

Titanium dioksida memantulkan dan memencarkan semua radiasi pada

rentang UV-Vis (290-777 nm), sehingga dapat mencegah atau meminimalkan

kulit terbakar (sunburn) dan pencokelatan kulit (suntan) (Wilkinson dan

Moore, 1982).
Menurut Cumpelick (1972), Sediaan tabir surya dapat dikategorikan

sebagai sunblock (Sediaan yang dapat menyerap hampir semua sinar UV-B

dan sinar UV-A) apabila memiliki persentase transmisi eritema <1% dan

persentase transmisi pigmentasi 3-40%. Jika persentase transmisi eritema 6-

18% dan persentase transmisi pigmentasi 45-86% dikategorikan sebagai

suntan atau dapat dikatakan suatu bahan yang menyerap sebagian besar sinar

UV-B dan menyerap sedikit sinar UV-A (Agustin et.al, 2013).

2.6 Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer UV-Vis merupakan salah satu jenis spektroskopi yang

sering digunakan dalam analisis kimia dan biologi. Pada spektrofotometer ini

yaitu terjadi interaksi antara materi dengan radiasi elektromagnetik. Apabila

seberkas radiasi (cahaya) dikenakan pada cuplikan (larutan sampel), maka

sebagian dari cahaya diserap oleh molekul – molekul sesuai dengan struktur

dari molekul. Setiap senyawa dalam sampel memiliki tingkatan tenaga yang

spesifik. Bila cahaya mempunyai perbedaan energi antara tingkatan dasar dan

tingkatan tereksitasi yang mengenai cuplikan, maka elektron – elektron pada

tingkatan dasar akan dieksitasi ke tingkatan tereksitasi, dan sebagian energi

cahaya yang sesuai diserap dengan panjang gelombang ini. Elektron yang

tereksitasikan melepaskan tenaga melalui proses radiasi panas dan akan

kembali pada tingkatan dasar lagi. Perbedaan energi antara tingkat dasar

dengan tingkat tereksitasi yang spesifik untuk tiap – tiap bahan/senyawa

menyebabkan frekuensi yang diserap juga berbeda – beda (Sastrohamidjojo,

2001). Prinsip penentuan spektofotometer UV-Vis merupakan aplikasi dari

Hukum Lambert Bert. Hukum ini menyatakan bahwa intensitas yang


diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan

konsentrasi kuvet (Rohman, 2007).

2.6.1 Mekanisme Spektrofotometri

Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan

fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang

gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang

ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang

gelombang.(Khopkar, 2007). Suatu spektrofotometer UV-Vis dapat mengukur

dan merekam spektrum senyawa tumbuhan dalam bentuk larutan. Spektrum

tampak terentang panjang dari 400 nm (ungu) sampai 750 nm (merah),

sedangkan spektrum ultraviolet terentang dari 100 nm sampai 400 nm

(Fessenden, 1994). Suatu spektrofotometer UV-Vis dapat mengukur dan

merekam spektrum senyawa tumbuhan dalam bentuk larutan. Spektrum tampak

terentang panjang dari 400 nm (ungu) sampai 750 nm (merah), sedangkan

spektrum ultraviolet terentang dari 100 nm sampai 400 nm (Fessenden, 1994).

Instrumen yang digunakan untuk mempelajari serapan atau emisi

radiasi elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut

spektrometer atau spektrofotometer. Pada umumnya konfigurasi dasar dari

spektrofotometer UV Vis berupa susunan peralatan adalah sebagai berikut:


1. Sumber radiasi

Beberapa sumber radiasi yang dipakai pada spektrofotometer adalah

lampu deuterium, lampu tungsten, dan lampu merkuri.Sumber-sumber radiasi

ultra lembayung yang kebanyakan dipakai adalah lampu hidrogen dan lampu

deuterium (D2). Disamping itu sebagai sumber radiasi ultra lembayung yang

lain adalah lampu xenon. Kejelekannya lampu xenon tidak memberikan

radiasi yang stabil seperti lampu deuterium. Lampu deuterium dapat diapakai

pada panjang gelombang 180 nm sampai 370 nm (daerah ultra lembayung

dekat) (Mulja, 1995).

Lampu tungsten merupakan campuran dari filament tungsten gas

iodine (halogen), oleh sebab itu sebagai lampu tungstein-iodin pada panjang

spektrofotometer sebagai sumber radiasi pada daerah pengukuran sinar tampak

dengan rentangan panjang gelombang 380-900 nm (Mulja, 1995). Lampu

merkuri adalah suatu lampu yang mengandung uap merkuri tekanan rendah

dan biasanya dipakai untuk mengecek, mengkalibrasi panjang gelombang

pada spektrofotometer pada daerah ultra lembayung khususnya daerah

disekitar

panjang gelombang 365 nm dan sekaligus mengecek resolusi monokromator.

2. Monokromator

Monokromator berfungsi untuk mendapatkan radiasi monokromatis

dari sumber radiasi yang memancarkan radiasi polikromatis. Monokromator

pada spektrofotometer biasanya terdiri dari susunan meliputi celah (slit)

masuk-filterprisma-kisi(grating)-celah keluar.

a. Celah (slit)

Celah monokromator adalah bagian yang pertama dan terakhir dari suatu
sistem optik monokromator pada spektrofotometer. Celah monokromator

berperan penting dalam hal terbentuknya radiasi monokromatis dan resolusi

panjang gelombang.

b. Filter optik

Cahaya tampak yang merupakan radiasi elektromagnetik dengan

panjang gelombang 380-780 nm merupakan cahaya putih yang merupakan

campuran cahaya dengan berbagai macam panjang gelombang. Filter optik

berfungsi untuk menyerap warna komplomenter sehingga cahaya tampak yang

diteruskan merupakan cahaya yang berwarna sesuai dengan warna filter optik

yang dipakai. Filter optik yang sederhana dan banyak dipakai terdiri dari kaca

yang berwarna. Dengan adanya filter optik sebagai bagian monokromator akan

dihasilkan pita cahaya yang sangat sempit sehingga kepekaan analisisnya lebih

tinggi. Dan lebih dari itu akan didapatkan cahaya hampir monokromatis

sehingga akan mengikuti hukum Lambert-Beer pada analisis kuantitatif.

Prisma dan Kisi (grating) Prisma dan kisi merupakan bagian monokromator

yang terpenting. Prisma dan kisi pada prinsipnya mendispersi radiasi

elektromagnetik sebesar mungkin supaya didapatkan resolusi yang baik dari

radiasi polikromatis.

3. Kuvet

Kuvet atau sel merupakan wadah sampel yang dianalisis. Kuvet ini

bentuk biasanya terbuat dari quarts atau leburan silika dan ada yang dari gelas

dengan bentuk tabung empat persegi panjang 1x1 cm, dengan tinggi kurang

lebih 5 cm. Pada pengukuran di daerah ultra lembayung dipakai quarts atau

leburan silika, sedang kuvet dari gelas tidak dipakai, sebab gelas mengabsorpsi

sinar ultra lembayung.


4. Detektor

Detektor merupakan salah satu bagian dari spektrofotometer yang

penting oleh sebab itu detektor akan menentukan kualitas dari

spektrofotometer adalah merubah signal elektronik.

5. Amplifier

Amplifier dibutuhkan pada saat sinyal listrik elekronik yang dilahirkan

setelah melewati detektor untuk menguatkan karena penguat dengan resistensi

masukan yang tinggi sehingga rangkaian detektor tidak terserap habis yang

menyebabkan keluaran yang cukup besar untuk dapat dideteksi oleh suatu alat

pengukur (Mulja, 1995).

Anda mungkin juga menyukai