Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Cendana

2.1.1 Taksonomi dan morfologi tanaman cendana

Tanaman cendana termasuk ke dalam tumbuhan yang bersifat semi parasit

(hemiparasit) yaitu bersifat parasit hanya pada sebagian tahap pertumbuhannya.

Pada awal masa pertumbuhannya kecambah dari pohon cendana membutuhkan

pohon inang untuk mendukung cendana dalam memasok beberapa jenis unsur

hara yang dibutuhkan selama pertumbuhannya (Rahayu et al., 2002).

Sistem perakaran cendana sebagain besar adalah mendatar (horizontal) dan

sedikit yang mengarah vertikal. Letak perakaran cendana pada umumnya dangkal,

meski berada pada daerah gembur maupun batu-batu. Akar cendana mampu

menjangkau sampai 30 meter dari tegak tanaman. Tinggi tanaman cendana

mampu mencapai 12 sampai 15 meter dan memiliki diameter batang sekitar 20

sampai 35 meter. Kulit batang tanaman cendana berwarna putih keabu-abuan dan

setelah dewasa kulitnya akan berubah warna menjadi cokelat. Pada akar, batang

dan dahan cendana dewasa berumur sekitar 30 sampai 40 tahun sudah memiliki

aroma yang sangat wangi (Rahayu et al., 2002).

Bunga cendana tumbuh pada ujung ranting dan pada ketiak daun. Bunga

cendana merupakan bunga majemuk yang berbentuk malai dan memiliki panjang

tangkai malai yaitu sekitar 4 sampai 6 cm. Saat muda bunga cendana berwarna

kuning, setelah beranjak dewasa bunga cendana berubah menjadi merah

kecoklatan (Rahayu et al., 2002).

6
7

Cendana (Santalum album L.) pada Gambar 2.1 termasuk famili

Santalaceae dalam taksonomi tumbuhan. Menurut Rudjiman (1987), cendana

diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : spermatophyte

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotykedonae

Ordo : Santales

Famili : Santalaceae

Genus : Santalum

Spesies : Santalum album

Gambar 2.1
Tanaman Cendana (Rahayu et al., 2002)
8

2.1.2 Habitat dan penyebaran cendana

Cendana merupakan tanaman endemis dari Nusa Tenggara Timur. Tanaman

ini mampu tumbuh dengan optimal didaerah yang memiliki tanah yang panas dan

kering terutama pada tanah yang banyak mengandung kapur pada ketinggian

sampai 1.200 m dengan curah hujan yang sangat rendah antara 600-1.600

mm/tahun. Cendana yang tumbuh pada daerah yang memiliki curah hujan yang

tinggi tidak akan memperoleh kayu yang kualitasnya bagus meskipun secara

vegetatif proses tumbuhnya memuaskan. Kayu cendana yang memiliki kualitas

bagus apabila memiliki aroma yang sangat wangi dan akan menghasilkan minyak

atsiri (Rahayu et al., 2002).

2.1.3 Manfaat cendana

Kayu cendana yang memiliki aroma wangi tersebut dapat menghasilkan

minyak cendana berupa minyak atsiri. Minyak cendana juga kerap digunakan

sebagai obat tradisonal dalam pengobatan berbagai macam penyakit seperti

pengobatan radang, antispasmodik, antimikroba, antiseptik, merangsang proses

buang air kecil, terapi untuk penderita hipertensi, menghilangkan bau badan yang

tidak sedap. Selain minyak dari kayu cendana, daun cendana juga memiliki

manfaat bagi kesehatan yaitu digunakan sebagai obat demam dan obat asma

(Rahayu et al., 2002).

2.2 Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol terbesar di alam. Kerangka

dasarnya mengandung 15 atom karbon tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6. Dua


9

cincin benzene (diberi tanda A dan B) dan dihubungkan oleh tiga atom karbon

yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga (di beri tanda C) seperti

pada Gambar 2.2 (Sudjadi, 1983).

Gambar 2.2
Struktur dasar senyawa flavonoid (Sudjadi, 1983)

Berdasarkan struktur dasarnya dapat dibedakan dari cincin heterosiklik

oksigen dan gugus hidroksil yang tersebar menurut pola-pola tertentu dan sistem

penomoran untuk turunan flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Sudjadi,

1983).

Gambar 2.3
Sistem penomoran turunan flavonoid (Sudjadi, 1983)

Senyawa flavonoid dapat dibedakan menjadi : kalkon, flavanon, dihidrokalkon,

flavon, auron, isoflavon, dihidroflavon, flavonol, antosianidin, leukoantosianidin,


10

dan katekin yang struktur dasarnya tampak pada Gambar 2.4 (Harbone and

Marby, 1992).

Gambar 2.4
Struktur dasar beberapa golongan flavonoid (Harbone and Marby, 1992)
Senyawa flavonoid pada tanaman berada dalam bentuk aglikon dan

glikosida. Adanya gula yang terikat pada flavonoid menyebabkan flavonoid

glikosida ini lebih mudah larut dalam air atau campuran pelarut polar seperti
11

metanol, etanol, dengan air. Sebaliknya aglikon flavonoid yang bersifat kurang

polar lebih mudah larut dalam pelarut eter dan kloroform. Senyawa flavonoid

merupakan kandungan khas tanaman hijau yang terdapat pada semua bagian

tanaman termasuk akar, kulit batang, daun, bunga, buah, dan biji. Penyebaran

tanaman yang merupakan pedoman untuk mengetahui flavonoid apa saja yang

mungkin dijumpai pada pemeriksaan golongan tanaman tertentu. Penyebaran jenis

flavonoid golongan tanaman terbesar, yaitu angiospermae. Penyebaran dalam

tanaman yang secara taksonomi berkaitan memiliki kecenderungan kuat akan

menghasilkan flavonoid yang jenisnya serupa (Markham, 1988).

Beberapa hasil penelitian tentang bioaktivitas bahwa senyawa flavonoid

mempunyai kecenderungan atau pola tertentu mengenai hubungan antara struktur

dan senyawa flavonoid. Beberapa jenis flavonoid yang telah ditemukan

mempunyai bioaktivitas tertentu seperti tertera pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1
bioaktivitas beberapa senyawa golongan flavonoid

Flavonoid Bioaktivitas
Pinostrobin Antikanker dan Antioksidan
Pinocembrin Antikanker dan Antioksidan
6,8 Diisoprenilaromadendrin Antikanker dan Antioksidan
marcareruvatin A Antikanker dan Antioksidan
marcareruvatin B Antikanker dan Antioksidan
(Sukardiman et al., 2006; Tanjung dan Tjahjandari, 2014; Parwata et al., 2016)

2.3 Metode Analisis Flavonoid

Isolasi senyawa Flavonoid yang terdapat dalam tanaman dapat dilakukan

melalui beberapa tahapan analisis meliputi: ekstraksi, pemisahan, pemurnian, dan

identifikasi (Harbone, 1987)


12

2.3.1 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan senyawa dari matriks atau

simplisia dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Peranan ekstraksi dalam

analisis fitokimia sangatlah penting sebab sejak tahap awal hingga akhir

menggunakan proses ekstraksi, termasuk fraksinasi dan pemurnian. Metode

ekstraksi yang digunakan tergantung pada jenis, sifat fisik, dan sifat kimia

kandungan senyawa yang akan diekstraksi. Pelarut yang digunakan juga

tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstraksi, mulai dari pelarut yang

bersifat non polar hingga polar. Pelarut yang digunakan dimulai dengan

n-heksana, petroleum eter, lalu selanjutnya kloroform, diklorometana, diikuti

dengan etanol, metanol, dan air. Dalam melakukan ekstraksi terhadap simplisia

sebaiknya digunakan simplisia yang segar, tetapi karena berbagai keterbatasan

umumnya dilakukan pengeringan terhadap simplisia yang akan diekstraksi.

Keterbatasan yang dimaksud yaitu kerja enzim yang terdapat dalam simplisia

segar akan dihambat pada proses ekstraksi. Pengeringan dilakukan setelah kerja

enzim dihambat dengan mencelupkan simplisia tersebut kedalam metanol

mendidih sehingga perubahan senyawa secara enzimatis dapat dicegah atau

dikurangi (Hanani, 2014).

2.3.2 Partisi (fraksinasi)

Partisi memiliki tujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa kimia

berdasarkan kepolarannya. Senyawa-senyawa yang memiliki sifat non-polar akan

larut di dalam pelarut non-polar dan senyawa-senyawa polar akan larut kedalam

pelarut polar. Pada umumnya partisi dimulai dengan menggunakan pelarut


13

non-polar seperti n-heksana, petroleum eter untuk menarik senyawa-senyawa

nonpolar. Selanjutnya digunakan pelarut semipolar seperti kloroform, etil asetat,

aseton, n-butanol untuk menarik senyawa-senyawa semipolar, dan terakhir

digunakan pelarut polar seperti etanol, metanol, dan air untuk menarik senyawa-

senyawa polar. Teknik yang paling umum untuk metode pastisi yaitu

menggunakan corong pisah dengan menggunakan dua pelarut yang tidak saling

bercampur (Swantara, 2005).

2.3.3 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis merupakan teknik pemisahan komponen-komponen

dari suatu campuran yang mana pemisahan terjadi karena adanya perbedaan

afinitas masing-masing komponen terhadap fase diam dan fase gerak. Jenis

interaksi yang terjadi pada pemisahan dengan kromatografi lapis tipis adalah

adsorpsi. Komponen-komponen akan teradsorpsi diantara dua fase dan

pemisahannya tergantung pada koefisien distribusi masing-masing komponen

(Gritter et al., 1991).

Fase diam yang digunakan pada KLT adalah adsorben yang dilapiskan

dengan plat kaca, atau aluminium. Adsorben yang umumnya digunakan antara

lain silika gel, alumina, kalium hidroksida, selulosa dan poliamida (Sudjadi,

1992). Fase gerak dalam kromatografi lapis tipis adalah pelarut-pelarut organik

baik berupa pelarut tunggal maupun campuran pelarut. Pemilihan fase gerak

dipengaruhi oleh jenis dan polaritas zat yang dipisahkan. Kombinasi pelarut

(campuran pelarut) yang mempunyai sifat berbeda memungkinkan untuk

didapatkannya sistem pelarut yang cocok. Substansi yang terlarut dalam fase
14

gerak bila melewati fase diam akan teradsorpsi dengan afinitas yang berbeda

sehingga terjadi pemisahan substansi dari campurannya. Perbedaan adsorpsi dari

fase diam terhadap masing-masing substansi mengakibatkan hambatan

pergerakannya juga berbeda. Besarnya hambatan ini dinyatakan dengan faktor

retensi (Rf) (Sudjadi, 1988).

Deteksi senyawa pada plat KLT umumnya dilakukan dengan lampu UV,

uap iodium, dan penyemprotan dengan pereaksi penampak noda yang sesuai.

Identifikasi senyawa-senyawa yang terpisah pada plat KLT dapat dilakukan

dengan cara mereaksikannya dengan pereaksi warna, atau dengan mengukur nilai

Rfnya (Sastrohamidjojo, 1991). Penafsiran warna bercak senyawa flavonoid

dengan sinar ultraviolet di tampilkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2
Penafsiran warna bercak senyawa flavonoid dengan sinar ultraviolet

Warna bercak dengan sinar UV Jenis Flavonoid yang mungkin


Tanpa Uap NH3 Dengan uap NH3
Lembayung Kuning, hijau- a. 5-OH Flavon atau Flavonol tersulih
gelap kuning atau hijau pada 3-O dan mempunyai 4’-OH
b. 5-OH Flavanon dan 4’-OH kalkon
tanpa OH pada Cincin B
Perubahan sedikit a. Flavon atau flavonol tersulih pada 3-
atau tanpa O mempunyai 5-OH tetapi tanpa
perubahan warna 4’OH bebas
b. 6- atau 8-OH flavon dan flavonol
tersulih pada 3-O serta mengandung
5-OH
c. Isoflavon, dihidroflavonol,biflavonil
dan flavon yang mengandung 5-OH.
d. Kalkon yang mengandung 2- atau 6’-
OH tetapi tidak mengandung 2- atau
4- OH bebas
15

Lanjutan Tabel 2.2 Penafsiran warna bercak senyawa flavonoid dengan sinar ultraviolet
Biru Muda 5-OH kalkon
Merah atau Jingga Kalkon yang mengandung 2- atau 4-OH
bebas
Flourosensi biru Flourosensi hijau- a. Flavon dan flavonon yang tak
muda kuning, atau hijau- mengandung –OH
bitu b. Flavonol tanpa 5-OH bebas tetapi
tersulih pada 3-OH
Perubahan sedikit Isoflavon yang tak mengandung 5-OH
atau tanpa bebas
perubahan warna
Flourosensi biru Isoflavon yang tak mengandung 5-OH
muda bebas
Tak tampak Flourosensi biru Isoflavon tanpa 5-OH bebas
muda
Kuning Redup Perubahan sedikit Flavonol yang mengandung 3-OH bebas
dan kuning atau atau tanpa dan mempunyai 5-OH bebas,
flourosensi perubahan warna dihidroflavonol
jingga
Flourosensi Jingga atau merah Auron yang mengandung 4’-OH bebas
kuning dan 2- atau 4-OH kalkon
Hijau- Perubahan sedikit a. Auron yang tak mengandung 4’-OH
kuning,atau hijau atau tanpa bebas dan flavanon tanpa 5-OH bebas
perubahan warna b. Flavonol yang mengandung 3-OH
bebas dan disertai atau tanpa 5-OH
bebas
Merah jingga Biru Antosianin 3-glikosida
redup
Merah jambu Biru Antosianin 3,5-glikosida
atau flourosensi
kuning
(Markham, 1988)

2.3.4 Kromatografi kolom

Kromatografi kolom disebut juga dengan kromatografi adsorpsi atau

kromatografi elusi karena senyawa yang terpisah akan terelusi dari kolom.

Kromatografi ini memerlukan penyerap (fase diam) dalam jumlah relatif besar.

Tujuan dari kromatografi ini yaitu untuk memisahkan komponen senyawa yang

terkandung dalam suatu ekstrak ke dalam beberapa fraksi (Sudjadi, 1992).


16

Teknik kromatografi kolom didasarkan pada pemisahan komponen senyawa

organik karena adanya perbedaan serapan masing-masing komponen zat pada fase

diam. Sebagai fase diam biasanya digunakan silika atau alumina. Pada proses

pemisahan ini, kolom diletakkan pada posisi vertikal dan dimasukkan glasswool

untuk menyangga zat penyerap yang digunakan. Selanjutnya dimasukkan fase

gerak terbaik yang diperoleh dari hasil KLT. Fase gerak dicampur dengan silika

gel, diaduk sampai homogen dan menyerupai bubur. Bubur silika gel ini

dimasukkan ke dalam kolom sambil mengalirkan fase gerak sampai terjadi

pemampatan (Sudjadi, 1992).

Zat yang akan dipisahkan dimasukkan ke dalam kolom dengan pipet tetes

melalui bagian atas kolom, kemudian dialiri fase gerak yang akan membawa

komponen-komponen turun. Perbedaan serapan masing-masing komponen

terhadap fase diam akan menyebabkan terjadinya pemisahan komponen.

Komponen yang diserap lemah oleh fase diam akan keluar lebih cepat bersama

fase gerak, begitu pula sebaliknya komponen yang diserap kuat oleh fase diam

akan keluar lebih lambat. Idealnya zat yang terpisah membentuk pita-pita yang

perlahan-lahan menuruni kolom dan akhirnya ditampung ke dalam sejumlah botol

kecil, komponen dianalisis dengan KLT. Komponen yang memiliki pola noda

dengan Rf yang sama dapat digabungkan dalam satu fraksi (Sudjadi, 1992).

2.4 Metode Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid

Identifikasi suatu senyawa hasil isolasi dari tanaman dapat dilakukan

dengan cara fisika-kimia. Pengujian fisika meliputi pengujian titik didih pada

cairan dan pengukuran titik leleh pada padatan. Cara kimia dapat dilakukan
17

dengan uji fitokimia. Identifikasi secara fisiko-kimia dapat dilakukan dengan

menentukan spektrum-spektrum yang khas (metode spektroskopi) menggunakan

alat spektrofotometer ultraviolet-tampak (UV-Vis), dan spektrofotometer

inframerah (IR) (Harbone and Marby, 1992).

2.4.1 Uji fitokimia

Fitokimia adalah salah satu disiplin ilmu kimia yang mempelajari tentang

kandungan kimia dari tumbuh-tumbuhan yang berada diantara kimia organik

bahan alam dan biokimia tumbuh-tumbuhan. Kandungan kimia tumbuh-tumbuhan

merupakan hasil metabolisme primer dan metabolisme sekunder (Harbone, 1987).

Untuk mengetahui golongan senyawa dari komponen aktif yang diperoleh maka

dilakukan uji fitokimia menggunakan pereaksi spesifik. Metode ini dilakukan

dengan cara isolat direaksikan dengan berbagai pereaksi warna tertentu.

Perubahan warna yang terjadi diamati dengan seksama karena sifatnya spesifik

untuk golongan senyawa tertentu (Harbone, 1987).

Adapun pereaksi yang digunakan untuk mendeteksi senyawa golongan

flavonoid dengan pereaksi Willstatter, Bate Smith-Metcalve, NaOH 10%.

Pereaksi willstatter dibuat dengan mereaksikan HCl pekat dengan logam Mg,

sedangkan pereaksi Bate Smith-Metcalve merupakan HCl pekat yang telah

dipanaskan. Reaksi positif terjadi perubahan warna seperti terlihat pada Tabel 2.3

(Harbone, 1987).
18

Tabel 2.3
Perubahan warna larutan sampel dalam tes willstatter dan NaOH 10%

Jenis Flavonoid Perubahan warna


Tes Willstatter Tes NaOH 10%
Kalkon - Jingga- merah
dihidrolsikalkon - Tak berwarna-kuning muda
Auron - Merah-ungu
Flavanon Merah, magenta, ungu, dan Kuning, jingga (dingin),
biru merah, ungu (panas)
Flavon Kuning-merah Kuning
Flavonol Merah-magenta Kuning-jingga
Flavononol Merah-magenta Kuning muda-coklat
Leukoantosianidin Merah muda Kuning
Antodianin Merah-merah muda Biru-ungu
Antisianidin
Katekin - Kuning, merah coklat
Isoflavon Kuning Kuning
isoflavonon - Kuning
(Harbone, 1987)

2.4.2 Kadar flavonoid total

Penentuan kadar flavonoid total dalam ekstrak dilakukan untuk

mengetahui persentase kandungan total flavonoid dalam ekstrak n-butanol daun

cendana menggunakan metode kolorimetri aluminium klorida dengan pengukuran

absorbansi secara spektrofotometri (Bakti et al., 2017).

2.4.3 Identifikasi senyanwa golongan flavonoid dengan spektrofotometri


Ultraviolet-Visible (UV-VIS)

Prinsip dasar Spektrofotometri ultraviolet-tampak adalah salah satu teknik

analisis spektroskopi yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet

dengan panjang gelombang (ƛ) 190-380 nm dan sinar tampak pada panjang

gelombang 380 – 780 nm. Spektrofotometri UV-Vis dalam karakterisasi senyawa

hasil isolasi berguna untuk mendeteksi gugus-gugus ikatan rangkap terkonjugasi


19

dalam senyawa tersebut. Spektroskopi ultraviolet-tampak juga merupakan yang

paling berguna untuk menganalisis senyawa golongan flavonoid. Cara tersebut

dapat memberikan informasi (identifikasi) tentang jenis flavonoid dan

menentukan pola oksigenisasinya (Cresswell, 1982 ; Sastromahidjojo, 1991).

Flavonoid pada umumnya memiliki sistem karbonil yang berkonjugasi

dengan cincin aromatik sehingga dapat menyerap sinar pada panjang gelombang

tertentu pada daerah ultraviolet, tampak maupun inframerah. Oleh karena itu,

karakterisasi senyawa flavonoid akhir-akhir ini lazim mempergunakan teknik-

teknik spektrometri (Cresswell, 1982 ; Sastromahidjojo, 1991).

Spektrometri ultraviolet dan tampak merupakan salah satu cara untuk

menganalisis struktur flavonoid. Cara ini sangat membantu dalam

mengidentifikasi golongan flavonoid dan menentukan pola oksigenasinya.

Senyawa flavonoid umumnya memberikan dua pita serapan pada daerah violet

dan tampak. Serapan ini dihasilkan karena senyawa flavonoid dapat mengalami

resonansi seperti pada Gambar 2.5 (Harbone and Marby, 1992).

Dari ketiga bentuk resonansi pada Gambar 2.5 respon terhadap

spektrometri ultraviolet dan tampak adalah resonansi bentuk sinamoil yang

memberikan serapan pita I dan resonansi bentuk benzoil yang memberikan

serapan pita II yang ditunjukan pada Gambar 2.6. Adapun spektrum ultraviolet

dari beberapa golongan senyawa flavonoid dipaparkan pada Tabel 2.4 (Mulja,

1995).
20

Gambar 2.5
Resonansi senyawa flavonoid (Harbone and Marby, 1992)

Gambar 2.6
Sistem aromatik terkonjugasi dari flavonoid (Markham, 1988)

Flavonoid merupakan senyawa yang mengandung sistem aromatik

terkonjugasi seperti tampak pada Gambar 2.6 dan dapat menunjukkan pita serapan

kuat pada daerah serapan Spektra UV-Vis. Gambar 2.7 dan Tabel 2.4 memberikan

data tentang serapan spektra UV-Vis dari berbagai flavonoid.


21

Gambar 2.7
Spektra serapan UV-Vis flavonoid (Markham, 1988)

Tabel 2.4
Rentang serapan Spektra UV-Vis flavonoid

Pita II (nm) Pita I (nm) Jneis flavonoid


250-280 310-350 Flavon
250-180 330-360 Flavonol (3-OH tersubstitusi )
250-280 350-385 Flavonol (3-OH bebas)
245-280 310-330 bahu kira- Isoflavon
kira 320 puncak Isoflavon (5-deoksi-6,7-deoksigenasi)
275-295 300-330 bahu Falvanon dan Dihidroflavonol
230-270 340-390 Kalkon
(kekuatan
rendah)
230-270 380-430 Auron
(kekuatan
rendah)
270-280 465-560 Antosianidin dan antosianin
(Markham, 1988)
22

Kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti flavonoid dapat

ditentukan dengan menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan dan

pergeseran puncak serapan yang terjadi dapat diamati. Pereaksi geser yang umum

ditambahkan adalah natrium metoksida (NaOMe), natrium asetat (NaOAc), asam

borat (H3BO3), alumunium klorida (AlCl3), dan asam kolrida (HCl) (Markham,

1988).

Pereaksi geser natrium metoksida atau hidroksida adalah basa kuat dan

mengionisasi beberapa gugus hidroksi pada inti flavonoid. Karena itu agak sulit

untuk menghubungkan pergeseran spektra yang didapat pada penambahan

pereaksi geser natrium metoksida dengan pola hidroksilasi flavonoid.

Bagaimanapun, pergeseran batokromik pada pita I menunjukkan adanya gugus

hidroksi pada cincin A. Sebaliknya pereaksi geser natrium asetat adalah basa

lemah daripada natrium metoksida dan hanya mengionisasi gugus-gugus hidroksi

yang lebih asam seperti gugus 3,7 dan 4’-hidroksi. Ionisasi dari gugus 7-hidroksi

terutama berpengaruh pada pita II, sedangkan ionisasi dari gugus 3,7 dan 4’-

hidroksi terutama berpengaruh pada pita I. Pereaksi geser natrium astetat-asam

borat dipergunakan untuk mendeteksi adanya gugus orto-dihidroksi, karena

pereaksi geser ini akan mengkelat dengan semua gugus orto-dihidroksi kecuali,

gugus hidroksi pada atom C-5 dan C-6 seperti tampak pada Gambar 2.8

(Markham, 1988).
23

Gambar 2.8
Reaksi flavonoid dengan pereaksi geser natrium astetat-asam borat (Markham,
1988)

Pereaksi geser aluminium klorida membentuk komplek yang stabil

terhadap asam dengan gugus keto dan gugus hidroksi pada atom C-3 dan atau C-

5, serta membentuk komplek yang tidak stabil terhadap asam dengan gugus orto-

dihidroksi seperti tampak pada Gambar 2.9 (Markham, 1988).

Gambar 2.9
Reaksi flavonoid dengan pereaksi geser alunium klorida dan asam klorida
(Markham, 1988)
24

Oleh karena itu aluminium klorida dapat digunakan untuk mendeteksi

adanya gugus hidroksil pada atom C-3 dan C-5, sedangkan untuk mendeteksi

adanya gugus orto-dihidroksi, dipergunakan aluminiuum klorida dan asam klorida

pekat (Markham, 1988).

Dengan demikian secara tidak langsung menggunakan pereaksi geser juga

berguna untuk menentukan kedudukan gula atau metil pada salah satu gugus

hidrosi fenol dengan membandingkan spektra ultra violet dalam beberapa

dianostik dari glikosida dan aglikonnya. Penafsiran spektrum serapan UV-Vis

senyawa golongan flavonoid dengan penambahan berbagai macam pereaksi geser

dapat dilihat pada Tabel 2.5 untuk spektrum NaOMe, Tabel 2.6 untuk spektrum

NaOAc, Tabel 2.7 untuk spektrum NaOAc + H3BO3, serta Tabel 2.8 untuk

spektrum AlCl3 dan AlCl3 + HCl (Markham, 1988).

Tabel 2.5
Penafsiran Spekstrum NaOMe

Jenis flavonoid Pergeseran ƛ yang tampak Petunjuk penafsiran


Pita I Pita II
Flavon Kekuatan menurun 3,4’-OH, O-diOh
Flavonol (artinya pada cincin A dan 3-
penguraian) OH yang
berdampingan pada
cincin B
Mantap + 45-65 nm 4’-OH
kekuatan tidak
menurun
Mantap + 45-65 nm 3-OH, tak ada 4’-OH
kekuatan menurun bebas
Isoflavon Tak ada Tak ada OH pada
pergeseran cincin A
Flavonon Kekuatan O-diOH pada cincin
Dihidroflavonol menurun dengan A
berjalannya
25

Lanjutan Tabel 2.5 Penafsiran Spekstrum NaOMe


waktu
Bergeser lagi Flavonon dan
dari + 280-325 dihidroflanvool
nm dengan 5,7-OH 7-OH
Kekuatan naik tanpa 5-Oh bebas
pada 330-340
nm
Kalkon + 80-95 nm 4’-OH (auron) 6-OH
Auron (kekuatan naik) tanpa oksigenasi pada
+ 60-70 nm 4’(auron) 6-OH
(kekuatan naik) dengan oksigenasi
pergeseran lebih pada 4’(auron)
sedikit
+ 60-100 nm 4-OH (kalkon)
(kekuatan naik) 2-OH/4’-OH tanpa
+ 40-50 nm 4-OH
4-OH(2’-OH atau 4-
OR)

Antosianidin Semua terurai


Antosianin Kecuali 3-
deksiantosianidin
(Markham, 1988)
Tabel 2.6
Penafsiran Spektrum NaOAc

Jenis flavonoid Pergeseran ƛ yang tampak Petunjuk penafsiran


Pita I Pita II
Flavon + 5-20 nm 7-OH
Flavonol (berkurang
Isoflavon apabila ada
oksigenasi pada 6
atau 8)
Kekuatan berkurang dengan Gugus yang peka
bertambahnya waktu terhadap basa,
misalnya 6,7 atau 7,8
atau 3,4’-diOH
Flavanon +35 nm 7-OH (dengan 5-OH)
Dihidroflavonol +60 nm 7-OH (tanpa 5-OH)
Kekuatan berkurang dengan Gugus yang peka
bertambahnya waktu terhadap basa,
misalnya 6,7 atau 7,8
diOH
Kalkon Pergesaran batokromik atau bahu pada 4’dan/atau 4-OH
Auron panjang gelombang yang lebih (kalkon)
26

panjang 4’ dan/atau 6-OH


(auron)
(Markham, 1988)

Tabel 2.7
Penafsiran Spektrum NaOAc + H3BO3

Jenis flavonoid Pergeseran ƛ yang tampak Petunjuk penafsiran


Pita I Pita II
Flavon + 12-36 nm (nisbi O-diOH pada cincin
Flavonol terhadap MeOH). B
Auron Pergeseran lebih O-diOH pada cincin
Kalkon kecil A (6,7 atau 7,8)
Isoflavon + 10-15 nm (nisbi O-diOH pada cincin
Flavanon terhadap A (6,7 atau 7,8)
Dihidroflavonol spektrum MeOH)
(Markham, 1988)

Tabel 2.8
Penafsiran Spektrum AlCl3 dan AlCl3 + HCl

Jenis flavonoid Pergeseran ƛ yang tampak Petunjuk penafsiran


Pita I Pita II
Flavon dan + 35-55 nm 5-OH
flavonol + 17-20 nm 5-OH dengan
(AlCl3 + HCl ) oksigenasi pada 6
(AlCl3 ) 5-OH dengan gugus
prenil pada 6
Pergeseran O-diOH pada cincin B
(AlCl3 + HCl )
+ 20-35 nm
Pergeseran O-diOH pada cincin A
(AlCl3 + HCl ) O-diOH pada cincin B
+ 20-25 nm
Isoflavon + 10-14 nm 5-OH (isoflavon)
Flavonon + 20-26 nm 5-OH (Flavonon,
Dihidroflavonol Dihidroflavonol)
(AlCl3 + HCl )
(AlCl3 ) Pergeseran O-diOH pada cincin A
(AlCl3 + HCl ) (6,7 atau 7,8)
+ 11-30 nm
Pergeseran Dihidroflavonol tanpa
(AlCl3 + HCl ) 5-OH
+ 30-38 nm
Auron + 48-64 nm 2’-OH (kalkon)
27

Lanjutan Tabel 2.8 Penafsiran Spektrum AlCl3 dan AlCl3 + HCl


Kalkon + 40 nm 2’-OH (kalkon)
(AlCl3 + HCl ) dengan oksigenasi
(AlCl3 ) pada 3’
+ 60-70 nm 4-OH (auron)
pergeseran O-diOH pada cincin B
(AlCl3 + HCl )
+ 40-70 nm
Penambahan lebih O-diOH pada cincin A
kecil
Antosianidin + 25-35 nm O-diOH
Antosianin (pada pH 2-4 )
(AlCl3 ) Pergeseran lebih O-diOH atau O-diOH
besar (3-deoksiantosianidin)
(Markham, 1988)

2.4.4 Spektofotometri Inframerah (IR)

Spektrum inframerah memberikan gambaran adanya gugus-gugus fungsi

yang terdapat dalam senyawa flavonoid. Umumnya senyawa flavonoid

memberikan serapan di daerah bilangan gelombang 3400-3650 cm-1 menunjukkan

adanya vibrasi regang O-H. Serapan lemah pada bilangan 3010-3040 cm-1

menunjukkan adanya regang C-H pada inti aromatik, serapan sedang di daerah

bilangan gelombang 1625 cm-1 menunjukkan adanya ikatan rangkap pada inti

aromatik, dan serapan tajam pada bilangan gelombang 1650-1750 cm-1

menunjukkan adanya gugus karbonil (Suradikusumah, 1989).

Spektrum inframerah merekam secara otomatis dalam bentuk larutan

(dalam kloroform atau karbon tetraklorida 1-5%), bentuk gugusan pada minyak

nujol atau bentuk padat yang dicampur dengan kalium bromida. Spektrum

absorpsi dibuat dengan bilangan gelombang pada sumbu X dan persentase

transmitan (T ) pada sumbu Y bila dibandingkan dengan daerah UV-tampak,

dimana energi dalam daerah ini dibutuhkan untuk transisi elektronik, maka radiasi
28

inframerah hanya sebatas pada perubahan energi tingkat molekul. Untuk tingkat

molekul, perbedaan dalam keadaan vibrasi dan rotasi digunakan untuk

mengabsorpsi sinar inframerah. Jadi untuk dapat mengabsorpsi, molekul harus

memiliki perubahan dipol sebagai akibat dari vibrasi. Berarti radiasi dari medan

listrik yang berubah-ubah akan berinteraksi dengan molekul dan akan

menyebabkan perubahan amplitude salah satu gerakan molekul. Serapan khas

beberapa gugus fungsi pada spektra inframerah dapat dilihat pada Tabel 2.9.

(Sastrohamidjojo,1991 ; Silverstain et al.,1991)

Tabel 2.9
Serapan Khas Beberapa Gugus Fungsi

Gugus Jenis Senyawa Daerah Serapan (cm-1)


C-H Alkana 2850-2960, 1350-1470
C-H Alkena 3020-3080, 675-870
C-H Aromatik 3000-3100, 675-870
C-H Alkuna 3300
C=C Alkena 1640-1680
C=C Aromatik (cincin) 1400-1600
C-O Ester, alkohol 1080-1300
C=O Keton 1690-1760
O-H Fenol 3610-3640
O-H Fenol 2000-3600 (lebar)
O-H Asam karboksilat 3000-3600 (lebar)
N-H Amina 3310-3500
C-N Amina 1180-1360
-NO2 Nitro 1515-1560, 1345-1385
(Sastroamidjojo, 1991)

2.5 Kanker

Kanker merupakan penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang

menyebabkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel

melebihi batas normal), serangan terhadap jaringan biologis di dekatnya, dan

dapat bermigrasi ke jaringan tubuh yang lain melalui sirkulasi darah atau sistem
29

limfatik yang disebut metastasis sehingga dapat menyebabkan kematian. Banyak

faktor resiko yang dapat memicu munculnya kanker, salah satunya adalah radikal

bebas (Oemiati et al., 2011). Radikal bebas adalah oksidan yang sangat reaktif

karena memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya.

Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat

reaktif dalam mencari pasangan dengan merebut proton dari molekul lain

disekitarnya untuk menstabilkan diri. Dalam upaya memenuhi ketidakstabilan

elektronnya, radikal bebas yang elektronnya tidak berpasangan secara cepat akan

menarik elektron makromolekul biologis yang berada di sekitarnya seperti

protein, asam nukleat, dan asam deoksiribonukleat (DNA). Jika radikal bebas

menyerang RNA dan DNA maka dapat menimbulkan penyakit kanker yang

ditandai dengan meningkatnya supresor tumor gen p53 (Sukadirman et al., 2006).

Radikal bebas dapat dapat diredam salah satunya dengan senyawa yang memiliki

aktivitas antioksidan.

Penyebab kanker sampai saat ini belum diketahui secara keseluruhan.

Sebenarnya hampir setiap orang menyimpan bibit kanker di dalam tubuhnya.

Bibit kanker akan tumbuh apabila terdapat bahan-bahan dan keadaan yang

mendorong tumbuhnya bibit kanker tersebut, diantaranya bahan karsinogen, virus-

virus tertentu, sinar peng-ion (mis: sinar X, ledakan bom), hormon tertentu, dan

stress yang dapat menurunkan ketahanan tubuh. Jenis penyakit kanker ini sangat

banyak, diantaranya kanker paru, kanker payudara, kanker leher rahim, kanker

kulit, kanker darah, dan lain-lain. Salah satu penyakit kanker yang sering terjadi
30

pada wanita adalah kanker leher rahim yang merupakan penyebab kematian kedua

setelah kanker payudara (Davis, 2003).

Metode awal yang digunakan untuk menguji antikanker antara lain adalah

uji toksisitas dengan menggunakan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test),

karena merupakan salah satu metode untuk skrining awal atau penapisan aktivitas

farmakologis pada tanaman obat dan mendeteksi toksisitas ekstrak suatu tanaman

sedangkan uji lanjutannya adalah uji in vitro dan in vivo. Uji toksisitas dengan

metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test), sering dikaitkan dengan potensi

suatu ekstrak tanaman sebagai antikanker dengan menggunakan Artemia salina

Leach sebagai hewan uji dan secara teknis metode BSLT ini pelaksanaannya

relatif cepat, mudah, murah, tidak membutuhkan kondisi yang aseptis, reagen

yang dibutuhkan sedikit, dan dapat dipercaya (Meyer et al., 1982). Artemia salina

Leach digunakan dalam metode BSLT karena memiliki kesamaan

tanggapan/respon dengan mamalia misalnya DNA dependent RNA polimerase.

Sebagaimana fungsi yang dimiliki DNA - dependent RNA polimerase yaitu

untuk pembentukan protein dan protein merupakan komponen utama semua sel

maka ketika RNA polimerase dihambat maka DNA tidak dapat mensintesisi RNA

dan RNA tidak dapat terbentuk sehingga sintesis protein juga dihambat. Protein

merupakan komponen utama sel yang berfungsi sebagai unsur struktural, hormon,

imunoglobulin, dan berperan dalam transport oksigen. Jika protein tidak terbentuk

maka metabolisme sel terganggu dan pada akirnya dapat menyebabkan kematian

sel. Apabila suatu senyawa mengganggu kerja sistem pada Artemia salina Leach

dan menyebabkan kematian, maka senyawa tersebut bersifat toksik dan dapat
31

mematikan sel mamalia. Artemia salina Leach memiliki respon stres yang sama

dengan manusia yaitu respon prilaku dan fisiologis terhadap stresor lingkungan.

2.6 Uji Toksisitas terhadap Larva Artemia salina Leach.

Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode

skrining untuk mengetahui toksisitas suatu ekstrak ataupun senyawa bahan alam

(Sukardiman, 2006). Uji toksisitas ini dapat diketahui dari jumlah kematian larva

Artemia salina Leach karena pengaruh perubahan ekstrak atau senyawa bahan

alam pada konsentrasi tertentu (McLaughlin et al., 1998; Silva et al., 2007).

Penggunaan larva Artemia salina Leach sebagai bioindikator pertama kali

dilakukan pada tahun 1956. Penggunaan larva digunakan sebagai skrining umum

untuk substansi bioaktif yang terdapat pada ekstrak tanaman (Meyer et al., 1982).

Toksisitas terhadap Artemia salina Leach yaitu merupakan uji toksisitas

akut. Parameter yang digunakan untuk menunjukkan adanya aktivitas biologi

suatu senyawa terhadap Artemia salina Leach adalah kematian. Senyawa-senyawa

yang menunjukkan toksisitas yang tinggi dalam BSLT sering dikaitkan dengan

potensinya sebagai antikanker. Penelitian menggunakan Artemia salina Leach

sebenarnya tidak spesifik untuk antitumor atau aksi fisiologis tertentu, namun

demikian jumlah yang signifikan dari sampel yang bersifat toksik terhadap

Artemia salina Leach ternyata juga mempunyai aktivitas sitotoksik (Meyer et

al.,1982).

Metode pengujian dengan larva Artemia salina Leach merupakan cara

yang paling efektif dan sederhana karena ketersediaan telur-telur larva yang

mudah menetas, pertumbuhannya cepat dan relatif mudah pengaturan populasinya


32

pada kondisi laboratorium. Pengembangan metode ini didasarkan pada sifat khas

dari larva udang yang dapat menerima segala jenis zat dan bahan tanpa seleksi

terlebih dahulu, pengerjaannya mudah, cepat serta menggunkan sampel yang

relatif sedikit. Metode ini dapat digunakan sebagai metode awal untuk

menemukan komponen antikanker pada tumbuhan tingkat tinggi

(Mclaughlin,1991 ; Meyer et al., 1982).

Uji ini menggunakan larva Artemia salina Leach yang telah berumur 48

jam yang diuji pada konsentrasi ekstrak 10 ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm selama

24 jam. Pengulangan sebanyak 3 kali dilakukan setiap pengujian. Data mortalitas

larva selanjutnya digunakan untuk mencari nilai LC50 (konsentrasi yang

menyebabkan kematian 50% larva). Menurut Meyer et al. (1982) apabila LC50

kurang dari 1000 ppm, maka dikatakan mempunyai potensi bioaktivitas sebagai

agen antikanker karena dari 9 (+ BSLT), 8 (+) dapat menghambat sel line kanker .

2.7 Antioksidan

Antioksidan merupakan seyawa yang dapat mengendalikan reaksi berantai

radikal bebas dalam tubuh, sehingga tubuh dapat terlindungi dari beberapa

serangan penyakit. Keseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan sangat

diperlukan dalam memelihara fungsi fisiologis tubuh. Ketika tidak adanya

keseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan maka tubuh akan mengalami

stres oksidatif yang menimbulkan beberapa penyakit. Oleh karena itu pemberian

antioksidan dari luar sangat dibutuhkan untuk mengatasi stres osidatif, sehingga

dapat mencegah penyakit yang berhubungan dengan radikal bebas seperti kanker,

kardiovaskuler, dan penuaan serta beberapa penyakit degeneratif lainnya


33

(Halliwell dan Gutteridge, 1999). Antioksidan juga merupakan senyawa pemberi

elektron (elektron donor) atau reduktan/reduktor yang mampu menghambat reaksi

oksidasi dengan cara mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif,

sehingga kerusakan sel dapat dicegah. Senyawa ini mempunyai berat molekul

kecil tapi mampu menginaktivasi reaksi oksidasi dengan mencegah terbentuknya

radikal bebas (Winarsi, 2007).

Senyawa antioksidan adalah zat yang mampu menunda, memperlambat, dan

mencegah terjadinya proses oksidasi, serta bermanfaat bagi kesehatan dan

mempunyai peranan penting dalam mempertahankan mutu produk pangan. Di

bidang kesehatan dan kecantikan antioksidan memiliki manfaat sebagai pencegah

tumor dan kanker, penyempitan pembuluh darah, dan penuaan dini. Antioksidan

juga menghambat reaksi oksidasi dengan cara mengikat radikal bebas dan

molekul yang sangat reaktif sehingga kerusakan sel dapat dicegah. Reaksi

oksidasi dengan radikal bebas sering terjadi pada molekul protein, asam nukleat,

lipid dan polisakarida (Winarsi, 2007).

Tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam jumlah lebih

sehingga jika terdapat jumlah radikal bebas yang berlebih, maka tubuh akan

membutuhkan antioksidan eksogen atau tambahan antioksidan dari luar tubuh.

Adanya kekhawatiran akan kemungkinan efek samping yang ditimbulkan dari

antioksidan sintetik menyebabkan antioksidan alami menjadi alternatif yang

sangat dibutuhkan (Rohdiana, 2001 dan Sunarni, 2005).

Untuk mengetahui aktivitas antioksidan pada suatu bahan dapat dilakukan

pengujian terhadap bahan tersebut. Salah satu metode yang paling umum
34

digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan adalah dengan menggunakan

metode radikal bebas 1,1-dyphenil-2-picrylhydrazil (DPPH). Pengukuran

antioksidan dengan metode DPPH merupakan metode pengukuran antioksidan

yang sederhana, cepat, dan tidak membutuhkan banyak reagen seperti halnya

metode lain. Hasil pengukuran dengan metode DPPH menunjukan kemampuan

antioksidan sampel secara umum, tidak berdasarkan jenis radikal yang dihambat

(Juniarti et al., 2005).

Pada metode ini, larutan DPPH berperan sebagai radikal bebas yang akan

bereaksi dengan senyawa antioksidan sehingga DPPH akan berubah menjadi 1,1-

dyphenil-2-picrylhydrazil yang bersifat non-radikal. Peningkatan jumlah 1,1-

dyphenil -2-picrylhydrazil akan ditandai dengan berubahnya warna ungu tua

menjadi warna merah muda atau kuning pucat dan dapat juga diukur dengan

menggunakan spektrofotometer UV-Vis, sehingga aktivitas peredaman radikal

bebas oleh sampel dapat ditentukan (Molyneux, 2004).

Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan

prinsip spektrofotometri UV-Vis. Senyawa DPPH dalam metanol berwarna ungu

tua akan terdeteksi pada panjang gelombang sinar tampak sekitar 515-517 nm.

Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian DPPH adalah dengan nilai

% peredaman dan IC50 (Inhibitor Concertration). IC50 merupakan konsentrasi

larutan substrat atau sampel yang mampu mereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%.

Semakin kecil nilai IC50 berarti makin tinggi aktivitas antioksidan (Molyneux,

2004).Struktur DPPH radikal bebas dan DPPH yang telah bereaksi dengan

antioksidan disajikan pada Gambar 2.10.


35

a b
Gambar 2.10
Struktur DPPH (a) radikal bebas dan (b) radikal bebas yang telah
bereaksi dengan antioksidan (Molyneux, 2004).

Jika semua elektron pada radikal DPPH menjadi berpasangan maka

menyebabkan terjadinya peluruhan warna larutan DPPH dari ungu tua menjadi

kuning terang. Perubahan ini dapat diukur secara stokiometri menggunakan

spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum 517 nm.

Kemampuan antioksidan diukur sebagai penurunan serapan larutan DPPH akibat

adanya penambahan sampel. Aktivitas antioksidan untuk menghambat radikal

bebas dinyatakan dalam % inhibisi, yang dihitung menggunakan rumus :

Berdasarkan harga % inhibisi yang diperoleh kemudian dibuat kurva terhadap

konsentrasi larutan uji sampel atau pembanding yaitu berupa kuersetin.

Konsentrasi sampel (ppm) sebagai sumbu x dan % inhibisi sebagai sumbu y,

persamaan regresi linearnya ditentukan dari y = bx + a dan nilai IC50 dapat

dihitung dengan memasukan nilai y sebesar 50 sehingga diperoleh x sebagai IC50.

Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi inhibisi larutan uji yang mampu

menangkal radikal bebas atau menurunkan 50% absorbansi radikal bebas DPPH.

(Nurjanah, 2011 ; Dungir et al., 2012).

Anda mungkin juga menyukai