Anda di halaman 1dari 8

HARENDONG BULU (Clidemia hirta (L.) D. Don.

Botani

Klasifikasi

Kingdom: Plantae

Division: Magnoliophyta

Class: Magnoliopsida

Order: Myrtales

Family: Melastomataceae

Genus: Clidemia

Species: Clidemia hirta (L.) D. Don

Deskripsi

Habitus : Perdu, yang tegak dan naik dengan tinggi 0,5-2 meter.

Batang : Berkayu, bulat, berbufu rapat atau bersisik, percabangan simpodial, coklat.

Daun : Tunggal.bulat telur, panjang 2-20 m, lebar 1-8 cm, berhadapan, ujung dan pangkal runcing,
tepi rata, berbulu, hijau.
Bunga : Majemuk, kelopak berlekatan, berbulu, bagian ujung pendek dari pangkal, ujung meruncing,
daun pelindung bersisik, ungu kemerahan, benang sari delapan sampai dua belas, panjang ± 3 cm,
merah muda, putik satu, kepala putik berbintik hijau, bakal buah beruang empat sampai enam,
mahkota lima, bulat telur, ungu dan putih.

Buah : Buni, bulat telur, ungu.

Biji : Kecil, ungu.

Akar : Tunggang, coklat.

Distribusi/Penyebaran : Terdapat di seluruh Indonesia, terutama di pinggir-pinggir hutan, semak


belukar dan tepi jurang
Habitat : Tumbuh di dataran rendah hingga kurang lebih 1.500 m dpl..

Penggunaan

· Pencuci luka bernanah

· Menghentikan pendarahan pada luka sayat

· Daun : Pencuci luka bernanah yang menahun. Caranya : Ambil beberapa lembar daun, kemudian
diremas-remas dan disap-usapkan sambil mandi atau dicuci pada luka. Ulangi beberapa kali dalam
seminggu. Daun ini juga dapat digunakan untuk menghilangkan lendir ikan saat membersihkan atau
penghilang rasa pahit pada daun pepaya atau pepaya muda sebelum dimakan.

Manfaat tumbuhan dalam keadaan darurat : Buah harendong bulu yang sudah masak berwarna
ungu merupakan makanan ringan di perjalanan yang berasa manis

Clidemia hirta (L.) D. Don


Nama daerah: Sunda – Harendong bulu : Sumatera – Senduduk bulu
Nama umum: Koster’s curse, Soapbush

Clidemia hirta di area kandang umbar rusa 8HA (Dec 2016)


Awalnya saya tidak banyak memberikan perhatian terhadap tanaman ini. Terlihat sebagai tanaman yang
biasa dan banyak terdapat di sekitar basecamp Taman Buru Masigit Kareumbi (TBMK). Terna perdu
dengan tinggi kira-kira 1 meteran, beberapa ada yang mencapai 2 meter, sering kami jumpai di pinggir-
pinggir jalan setapak baik di bawah tegakan maupun daerah terbuka.
Perhatian lebih baru dilakukan ketika mengamati lebih dekat habitat rusa di area kandang umbar 8
hektar. Saat ini area dibawah tegakan batang Kaliandra (Calliandra callothrysus) yang sudah mati, telah
didominasi hanya oleh 2 spesies yang tidak memiliki manfaat sebagai pakan rusa. Kedua jenis
tumbuhan dimaksud adalah Teklan (Eupatorium riparium REG) dan Clidemia hirta alias Harendong bulu.
Seingat saya pada beberapa waktu kebelakang, sebaran Harendong bulu khususnya di area kandang 8
hektar tidak semasif sekarang. Mungkin ada kaitannya dengan curah hujan yang tinggi di tahun 2016.
Mungkin juga karena dulu naungan dari kaliandra masih ada sedangkan sekarang hampir seluruh
kaliandra tua tersebut mati akibat kulit batang (dan tentu daun) dimakan oleh rusa. Perubahan
ekosistem di dalam area terpagar ini sangat menarik untuk diamati, karena hanya dalam jangka waktu
2 tahun setelah rusa dilepas liar di area ini banyak vegetasi yang disukai rusa hilang, dan tanaman yang
tidak disukai oleh rusa berkembang dengan pesat.

Perhatian harus mulai diberikan karena dominasi tanaman beberapa tumbuhan telah menurunkan daya
dukung area kandang umbar 8HA dengan sangat drastis. Nyaris tidak ada lagi tumbuhan yang bisa
dimakan atau disukai oleh rusa. Pertanyaan dasar, bagaimana cara mengendalikan tanaman ini? dengan
ekonomis dan tetap memperhatikan aspek lingkungan tentunya. Sebelum bisa mengendalikannya, tentu
perlu kita mengetahui lebih dahulu apa itu Harendong bulu. Artikel ini tentu saja tidak akan menjawab
tuntas pertanyaan diatas namun lebih merupakan upaya mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi
di lapangan.

Literatur pertama yang saya buka adalah buku K. Heyne, yang sudah di terjemahkan ke bahasa
Indonesia berjudul Tumbuhan Berguna Indonesia. Hal 1537.

Keterangan mengenai Clidemia hirta dari buku Heyne


Ternyata si harendong ini adalah spesies alien yang berasal dari luar negeri. Nama yang
begitu nyunda tapi ternyata asalnya dari Amerika Selatan. Tidak banyak yang tertulis di buku
Heyne, tampaknya juga mencerminkan tingkat ketertarikan beliau terhadap tumbuhan
ini. Googling lebih lanjut dan ternyata cukup banyak literatur tentang C. hirta. Salah satu yang menarik
adalah tulisan tentang manfaat ekstrak daun harendong bulu untuk menekan pertumbuhan
jamur Trichophyton rubrum. Hasil penelusuran lebih lanjut, ternyata infeksi jamur ini yang
menyebabkan munculnya penyakit kulit yang secara medis dikenal dengan nama Tinea Pedis
atau Athlete’s foot. Dalam bahasa sunda dikenal sebagai Rorombeheun. Manfaat lain adalah buah
matangnya yang bisa dimakan dan konon rasanya manis-sepat-gurih dan mengandung Vitamin C serta
Beta Karoten. Daftar manfaat lainnya cukup panjang, walaupun nampaknya belum didukung penelitian
yang mendalam. Diantaranya yang dapat ditemukan tersebar dalam berbagai website berbahasa
Indonesia adalah untuk pencuci luka, menghentikan pendarahan pada luka sayat, keputihan, disentri,
sariawan, bisul dan diare.

Kutukan Koster
Introduksi flora dan fauna ke luar wilayah jelajah alamiahnya berkontribusi terhadap kondisi biota dunia
yang semakin homogen. Meskipun invasi biologis adalah sebuah proses alamiah dan penyebaran
tumbuhan maupun satwa melintasi hambatan geografis akan selalu terjadi (Sauer 1988), manusia
secara dramatis telah mempercepat proses tersebut jauh diatas kemampuan penyebaran organisme
tersebut secara alamiah. Dari sekian yang sudah diintroduksi, banyak spesies telah menetap, mengalami
proses naturalisasi dan bahkan menyebar dengan cepat di antara komunitas dan ekosistem sehingga
menyebabkan kerugian pada spesies asli (Gordon 1998, Holway 1998, Parker et al. 1999, Mack et al.
2000, Alvarez and Cushman 2002 pada DeWalt 2003).
Alkisah, tanaman ini mendapatkan nama Koster Curse (Kutukan Koster) karena seorang petani bernama
Köster telah secara tidak sengaja menyebarkan C. hirta ke Fiji ketika dia membawa bibit kopi dari
Amerika Selatan (mungkin Guyana) pada sekitar tahun 1880 dan 1886. Nah, di Fiji inilah C. hirta
menyebar dan menjadi gulma yang menekan pertumbuhan tanaman asli. Catatan paling awal
mengenai hal ini nampaknya dituliskan pada 1906 oleh Frederick Muir, seorang entomologis dari
Asosiasi Petani Tebu Hawaii. Saat perjalanannya ke Pasifik Selatan, Australia dan Kepulauan Melanesia
untuk mencari agen pengendali biologis untuk hama tebu, Muir dalam laporannya menuliskan
mengenai Clidemia hirta yang terkenal sebagai gulma invasif di pulau Viti Levu (pulau terbesar di Fiji)
dan disebutkan bahwa tanaman ini dinamakan “Koester’s Curse” (Muir, 1906:5 pada Evenhuis, 2014).
Sejak saat itulah tumbuhan ini secara umum dikenal sebagai Koster Curse tanpa ada orang yang peduli
asal nama tersebut atau berusaha menemukan kebenaran 2. Kisah lengkap sekaligus argumen bahwa
pemberian nama tersebut telah salah menempatkan Mr. Köster sebagai kambing hitam atas
menyebarnya tanaman C. hirta dapat dilihat pada jurnal Evenhuis, 2014.

Invasif
Clidemia hirta dewasa dapat menghasilkan lebih dari 500 buah berry per tahun. Setiap buah berry berisi
lebih dari 100 butir biji berukuran sangat kecil (0.5 mm). Setelah jatuh dari pohon, biji ini
tetap viable (mampu tumbuh) selama lebih dari 4 tahun. Di Hawaii, yang dicatat pertama kali
pada 1941, penyebaran jarak jauh juga terjadi karena campur tangan manusia. Biji bisa terbawa oleh
sepatu atau roda kendaraan untuk kemudian disebarluaskan kembali secara lokal oleh burung ataupun
babi hutan.
Dalam Ismaini, 2016 disebutkan bahwa ekstrak daun C. hirta pada konsentrasi 60% mengurangi
perkecambahan biji Impatiens platypetala sampai 63,3% dan menghambat pertumbuhan batang serta
akar I. platypetala sampai 0,52 cm. I. platypetala sendiri di TBMK dikenal sebagai Pacar tere dan
merupakan salah satu kesukaan rusa dan kijang. Di area kandang umbar 8HA dulunya banyak terdapat
pacar tere saat ini bisa dikatakan sudah punah.
C. hirta ditempat asalnya dilaporkan bukan merupakan spesies yang invasif, mungkin karena adanya
predator alamiah atau terjadinya persaingan alami dengan tumbuhan yang lain. Tapi di daerah yang
menjadi wilayah introduksi, C. hirta telah menjadi gulma yang berat dan terutama di wilayah kepulauan
oceanic dan wilayah daerah tropis, keberadaan tumbuhan ini dipandang sebagai ancaman terhadap
keanekaragaman hayati. Di hutan sekunder Tanzania, dilaporkan C. hirta telah menekan pertumbuhan
semua tanaman rendah asli. Tumbuhan ini juga disebut memiliki potensi untuk mendorong beberapa
spesies asli Hawai’i menuju kepunahan.
Selain ancaman terhadap keanekaragaman, C. hirta dibenci di Hawai’i karena pertumbuhannya yang
cepat. Menyebar sepanjang jalan setapak dan pinggiran jalan, meningkatkan biaya pemeliharaan dan
menurunkan nilai estetika, edukasi dan rekreasional dari kawasan. Bahkan di Australia, memasukkan
tanaman ini dapat dikenakan denda AU$60.000 1.
Gangguan terhadap tanah menjadi elemen kunci berkembangnya populasi C. hirta. Gangguan ini dapat
berasal dari kebakaran hutan, longsor, badai maupun bentuk lain termasuk perilaku babi hutan yang
sering membongkar tanah untuk mencari makanan7. Di TBMK gangguan dari babi hutan ini sering
terjadi.

Sebaran di TBMK

Sebaran Clidemia hirta di Cluster buru 1 dan 2, TBMK (survey pendataan daya dukung rusa, AMW Elka-
Cantigi 2014)
Dari buku laporan ekspedisi pendataan TBMK oleh anggota muda Wanadri angkatan Elka – Cantigi,
dapat disampaikan bahwa Clidemia hirta telah menyebar di berbagai lokasi survey yaitu Cluster 1 dan
Cluster 2 buru. Baik itu di puncakan, lembahan, sadelan maupun lerengan. Diketahui bahwa dari 35 titik
sampling, C. hirta ditemukan di 13 titik. Namun di semua titik, jumlahnya dilaporkan tidak
mendominasi. Kemungkinan bahwa titik survey merupakan lokasi yang memiliki tutupan kanopi
sehingga kurang mendapat sinar matahari.
Dari laporan tersebut juga dapat dianalisa bahwa tidak ditemukan C. hirta di lokasi rawa-rawa (Gamlok
dan Cileuleuy) sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa C. hirta tidak mampu hidup dalam kondisi
tergenang atau macak-macak.

Kontrol
Upaya manusia untuk mengendalikan (atau memusnahkan) C. hirta sudah berlangsung begitu lama.
Beberapa bisa dibilang berhasil namun di banyak tempat, termasuk di Indonesia secara umum, bahkan
belum cukup perhatian diberikan terhadap ancaman tumbuhan invasif ini.
Terdapat banyak cara pengendalian baik secara kultural, biologi maupun kimia.

Kultural
Mencabuti tumbuhan secara manual ditambah suplementasi herbisida dilaporkan cukup efektif. Namun
hanya berhasil secara temporer. Mungkin disebabkan setelah dicabuti, lahan tidak ditanami,
di seeding atau di olah lebih lanjut. C. hirta memiliki seed bankyang besar dan kemampuan untuk
menumbuhkan akar dari daun yang gugur di area hutan (Smith, 1992).
Di Hawai’i upaya mencabuti secara manual akan gagal apabila dilakukan setelah munculnya buah. Cara
ini juga sudah banyak dilakukan oleh kelompok sukarelawan. Pengendalian yang efektif akan didapat
apabila cara manual dilakukan setidaknya setahun sekali selama 10 tahun. Tercatat hanya ada dua
kegiatan pengendalian yang berhasil, Kamakou (Moloka’i) dan Pu’u Kukui trail (Maui)7.
Penggembalaan juga nampaknya tidak memungkinkan karena C. hirta tidak disukai baik oleh rusa
maupun oleh domba/kambing.
Belum ditemukan literatur tentang penggunaan api untuk mengendalikan tumbuhan ini, namun
disebutkan bahwa setelah area terbakar, dalam waktu yang cepat akan tumbuh kecambah baru dan
dalam waktu 2 tahun, populasi sudah kembali melimpah.
Biologi
Liothrips urichi adalah serangga yang digunakan sebagai agen pengendali biologis untuk C. hirta. Mulai
diterapkan di Fiji pada tahun 1930 dan kemudian digunakan juga di Hawai’i pada 1953. Hanya dalam
waktu dua bulan setelah dilepas, serangga ini mulai melakukan proses reproduksi dan menggunakan C.
hirta sebagai inang dan tempat hidup. L. urichi memberikan dampak yang serius terhadap
pertumbuhan C. hirta pada daerah yang terbuka dan mendapat sinar matahari penuh. Sedangkan pada
area yang teduh baik itu dibawah kanopi maupun sering terdapat tutupan awan, L. urichi dilaporkan
tidak efektif 5.
Pengendalian melalui agen mycoherbisida (herbisida berbasis fungi) yang mengandung Colletotrichum
gloeosporioides f.sp. clidemiae sebagai bahan aktif dilaporkan oleh Norman dan Trujillo (1995) efektif
menghadapi C. hirta 5.
Selain itu Nakahara et al. (1992) mengungkap setidaknya ada 5 spesies musuh alami Clidemia di tempat
aslinya di Trinidad yang berpotensi menjadi biokontrol. Walaupun demikian, penggunaan agen biologi
sebagai pengendali tentunya memerlukan pertimbangan yang matang 4.
Kimia
Menurut Mune dan Parham (1967), belum ada bahan kimia yang efektif untuk mengendalikan C. hirta.
Walaupun demikian, Teoh et al. (1982) melaporkan bahwa C. hirta dapat dibasmi dengan aplikasi 2,4,5-
T, campuran 2,4-D dan 2,4,5-T atau oleh triclopyr 5.

Harapan
Pemanfaatan C. hirta sebagai bioherbisida maupun bahan baku kompos di TBMK agaknya perlu dicoba.
Pengomposan dapat memberikan alternatif solusi untuk mengurangi peyebaran sekaligus membuka
peluang lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.
Selain itu manfaat medisnya menarik dielaborasi lebih lanjut untuk melihat kemungkinan pengolahan
dalam skala yang lebih ekonomis.
Sejauh ini, untuk kasus pada grazing area di TBMK, pengendalian secara mekanis yang
diikuti seeding tumbuhan penutup tanah (cover crop) ataupun penanaman rumput nampaknya masih
merupakan alternatif yang paling memungkinkan dan ramah lingkungan untuk diterapkan sekaligus
sejalan dengan upaya pemulihan populasi rusa. Tentu saja pencabutan secara manual perlu dilakukan
secara berkelanjutan.

Referensi
1. Wikipedia: Clidemia hirta
2. Evenhuis. 2014. “Koster’s Curse”: mistaken blame in the common name for the invasive
melastome, Clidemia hirta?
3. Ismaini. 2016. Pengaruh alelopati tumbuhan invasif (Clidemia hirta) terhadap germinasi biji
tumbuhan asli (Impatiens platypetala)
4. Conant. ?. Classical biological control of Clidemia hirta (Melastomataceae) in Hawai’i using
multiple strategies.
5. Crop Protection Compendium – Clidemia hirta (L.) D. Don, diakses pada 24 Desember 2016
6. Anggota Muda Wanadri Elang Kabut – Cantigi. 2014. Laporan Ekspedisi Pendataan Taman
Buru Masigit Kareumbi Buku II. Pendataan Potensi Daya Dukung Habitat Rusa Jawa (Cervus
timorensis) di Kawasan Konservasi Taman Buru Masigit Kareumbi.
7. Global Invasive Species Database (IUCNGISD.ORG), diakses 24 Desember 2016.

Anda mungkin juga menyukai