Anda di halaman 1dari 6

Artikel tentang tumbuhan dan hewan langka

NAMA =NINDIYA PUSPITA PRAMESWARI

KELAS =XD

PELAJARAN =BIOLOGI

Morfologi, Anatomi, dan Fisiologi Tumbuhan dan Hewan Langka

Anggrek Hartinah atau Anggrek Tien Soeharto


Anggrek Hartinah atau Anggrek Tien Soeharto (Cymbidium
hartinahianum) merupakan salah satu jenis tumbuhan anggrek yang endemik
(hanya tumbuh di daerah tertentu) Sumater Utara, Indonesia. Jenis anggrek yang
diketemukan pertama kali pada tahun 1976 ini bisa diketemukan di Desa
Baniara Tele Kecamatan Harian Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Anggrek
Tien Soeharto atau sering disebut juga sebagai Anggrek Hartinah (Cymbidium
hartinahianum) merupakan anggrek tanah yang hidup merumpun.
Di antara tumbuhan Indonesia yang dinamai dengan nama orang Indonesia
adalah Anggrek Tien Soeharto atau disebut juga Anggrek Hartinah yang dalam
bahasa latinnya disebut Cymbidium hartinahianum. Anggrek ini ini “pertama
kali ditemukan oleh Rusdi E Nasution, seorang peneliti dari Herbarium
LBN/LIPI Bogor pada tahun 1976. Ketika itu anggrek ini tidak ditemukan
dalam berbagai pusta maupun dalam koleksi. Kemudian oleh peneliti tersebut
bersama peneliti lainnya J.B. Comber memberi nama ilmiah Cymbidium
hartinahianum yang juga berarti anggrek Tien Soeharto pada hasil temuannya.
Penabalan (penamaan) pada jenis anggrek ini merupakan penghargaan atas jasa-
jasa Ibu Tien Soeharto dalam rangka pengembangan dunia peranggrekan di
Indonesia.

Ciri-ciri Fisik Anggrek Hartinah

Anggrek Hartinah (Tien Soeharto) merupakan salah satu anggrek tanah dengan
pertumbuhan merumpun. Spesies anggrek ini menyukai tempat terbuka diantara
rerumputan serta tanaman lain seperti jenis paku-pakuan, kantong semar, dan
lain-lain pada ketinggian 1.700 meter diatas permukaan laut.

Daunnya berbentuk pita berujung meruncing dengan panjang 50-60 cm.


Bunganya berbentuk bintang bertekstur tebal. Daun kelopak dan daun
mahkotanya hampir sama besar, permukaan atasnya berwarna kuning kehijauan
dan permukaan bawahnya kecoklatan dengan warna kuning pada bagian
tepinya.

Konservasi Anggrek Hartinah

Anggrek Hartinah atau Tien Soeharto (Cymbidium hartinahianum) merupakan


tumbuhan endemik Sumatera Utara sehingga dalam habitat alami hanya dapat
diketemukan di Sumatera Utara saja. Habitatnya dapat ditemukan di Desa
Baniara Tele Kecamatan Harian Kabupaten Samosir (berbatasan dengan
Kabupaten Dairi).

Anggrek  Hartinah ini bersama puluhan anggrek lainnya seperti anggrek Hitam,


Anggrek Bulan Bintang dan lain-lain dikategorikan sebagai tanaman yang
dilindungi berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 7 tahun 1999. Sehingga
tumbuhan berfamili Orchidaceae ini tidak diperbolehkan diperjualbelikan
kecuali untuk generasi ketiga. Generasi ketiga adalah tumbuhan hasil
penangkaran yang telah mendapatkan izin dari pihak yang berwenang, biasanya
BKSD.

Anggrek Hartinah ini telah dapat ditangkarkan di luar habitat aslinya. Salah
satunya adalah di Kebun Raya Bogor.
Cara melestarikan anggrek hartinah

            Pada tahun 2003, tim eksplorasi Kebun Raya juga sempat menemukan
kembali sisa-sisa populasi anggrek tersebut di pinggir Jalan Raya Siborong-
borong, Desa Baniara, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Walaupun
biji anggrek ini sudah berhasil dibawa ke Kebun Raya dan disemaikan di
laboratorium, namun tidak mudah mengadaptasi anggrek yang terbiasa hidup di
lingkungan spesifik ini.

 
Kura-kura Hutan Sulawesi (Leucocephalon yuwonoi)
Klasifikasi hewan kura-kura hutan sulawesi

Kerajaan: Animalia

Filum: Chordata;

Kelas: Reptilia;

Ordo: Testudines;

Famili: Geoemydidae;

Genus: Leucocephalon;
Spesies: Leucocephalon yuwonoi.
Kura-kura hutan Sulawesi atau kura-kura paruh betet (Sulawesi Forest
Turtle) yang dalam bahasa latin disebut Leucocephalon yuwonoi memang kura-
kura langka. Kura-kura hutan sulawesi (kura-kura paruh betet) termasuk salah
satu dari 7 jenis reptil paling langka di Indonesia. Bahkan termasuk dalam
daftar The World’s 25 Most Endangered Tortoises and Freshwater Turtles—
2011 yang dikeluarkan oleh Turtle Conservation Coalition.
Kura-kura hutan sulawesi yang dipertelakan pada tahun 1995 ini sering disebut
juga sebagai kura-kura paruh betet. Ini lantaran bentuk mulutnya yang
meruncing menyerupai paruh burung betet.
Dalam bahasa Inggris kura-kura hutan sulawesi yang endemik pulau Sulawesi
ini disebut sebagai Sulawesi Forest Turtle. Sedangkan resminya, kura-kura ini
mempunyai nama latin Leucocephalon yuwonoi (McCord, Iverson & Boeadi,
1995) yang bersinonim dengan Geoemyda yuwonoi (McCord, Iverson &
Boeadi, 1995) dan Heosemys yuwonoi (McCord, Iverson and Boeadi, 1995).
Dahulunya kura-kura hutan sulawesi digolongkan dalam genus Heosemys,
namun sejak tahun 2000 dimasukkan dalam genus tunggal Leucocephalon. Kata
‘yuwonoi’ dalam nama ilmiahnya merujuk pada Frank Yuwono yang kali
pertama memperoleh spesimen pertama kura-kura hutan sulawesi ini di pasar di
Gorontalo Sulawesi.
Ciri-ciri kura-kura hutan sulawsi

Kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) berukuran sedang dengan


karapas sepanjang 28 – 31 cm (jantan) dan 20 – 25 cm (betina). Daerah
sebarannya hanya terdapat di pulau Sulawesi bagian utara. Karenanya hewan
langka ini merupakan hewan endemik pulau Sulawesi, Indonesia dan tidak
ditemukan di daerah lain.
Tidak banyak yang diketahui tentang perilaku alami kura-kura hutan sulawesi
ini. Kura-kura hutan sulawesi yang merupakan hewan diurnal banyak
menghabiskan waktu di hutan dan hanya berpindah ke air ketika malam untuk
beristirahat dan melakukan perkawinan.
Populasi kura-kura hutan sulawesi

Pada tahun 1990-an diperkirakan populasi kura-kura hutan sulawesi


(Leucocephalon yuwonoi) masih sangat melimpah namun saat ini diperkirakan
populasinya di alam liar tidak mencapai 250 ekor.
Ancaman utama populasi kura-kura langka ini adalah perburuan dan perdangan
bebas sebagai bahan makanan dan hewan peliharaan. Pada awal tahun 1990-an,
sekitar 2.000 – 3.000 ekor diperkirakan diperdagangkan ke China sebagai bahan
makanan. Selain itu kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) juga
banyak diekspor ke Eropa dan Amerika sebagai hewan peliharaan.
Selain perburuan, rusaknya habitat akibat kerusakan hutan (penebangan kayu
komersial, pertanian skala kecil, dan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa
sawit) juga menjadi ancaman bagi kelangsungan populasi kura-kura hutan
sulawesi (Leucocephalon yuwonoi). Hal ini diperparah oleh rendahnya tingkat
reproduksi kura-kura hutan sulawesi (Sulawesi Forest Turtle).
Lantaran jumlah populasi yang sedikit dan sifatnya yang endemik, sang kura-
kura paruh betet ini oleh IUCN Red List dikategorikan sebagai
spesies Critically Endangered (sangat terancam punah). Bahkan The Turtle
Conservation Coalition, sebuah koalisi konservasi kura-kura yang terdiri atas
berbagai lembaga konservasi seperti IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Turtle
Specialist Group, Wildlife Conservation Society (WCS), Turtle Survival
Alliance (TSA), Conservation International (CI) dan lainnya memasukkan kura-
kura hutan sulawesi sebagai salah satu dari 25 Kura-Kura Paling Langka dan
Terancam Punah Di Dunia (The World’s 25 Most Endangered Tortoises and
Freshwater Turtles) Tahun 2011.
Organisasi perdangan satwa dunia, CITES, juga telah memasukkan kura-kura
hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) dalam daftar CITES Apendix II.
Dengan demikian perdagangan internasional kura-kura langka dan endemik
Sulawesi ini tidak diperbolehkan.
Cara melestarikan hewan dan tumbuhan langka

Beberapa cara nan terbukti cukup efektif telah dilakukan oleh pemerintah buat
mengatasi masalah kelangkaan jenis hewan dan tumbuhan nan terdapat di
wilayah Indonesia.

Namun, pencerahan semua pihak termasuk masyarakat lokal akan lebih


membuat cara dan metode tersebut berhasil. Di antara cara itu ialah sebagai
berikut.

 Menjadikan habitat hewan serta tumbuhan langka eksklusif menjadi suaka


marga satwa.
 Menetapkan beberapa wilayah menjadi cagar alam nan tidak boleh dijadikan
lokasi penebangan hutan liar maupun perburuan. Ini ialah lokasi bagi konservasi
binatang, tanaman, tanah , dan air.
 Mengubah hutan biasa menjadi hutan lindung. Fungsinya guna melestarikan
semua penghuninya termasuk binatang, tumbuhan, juga sumber air .
 Inseminasi buatan. Melakukan perbanyakan jumlah binatang langka dengan
cara melakukan inseminasi buatan. Cara ini memungkinkan hewan betina bisa
memiliki anak tanpa terjadinya rendezvous langsung dengan hewan jantan.
 Untuk perbanyakan jumlah tumbuhan nan hampir punah, maka dilakukan cara
kultur jaringan, juga penanaman kembali. Kultur jaringan dilakukan di
laboratorium pertanian dan bila tanaman telah tumbuh akan dipindah ke hutan
atau huma nan lebih luas.
Diharapkan dengan melakukan hal di atas jumlah hewan dan tumbuhan nan
mulai langka, bahkan hampir punah bisa diselamatkan dan diperbanyak
populasinya. Semoga saja taraf keberhasilannya makin tinggi dan tidak ada lagi
hewan dan tumbuhan nan langka bahkan punah di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai