Anda di halaman 1dari 13

Burung Kepodang Fauna Khas Provinsi Jawa Tengah

Burung Kepodang (Oriolus chinensis) merupakan burung berkicau yang


mempunyai bulu yang indah. Burung Kepodang cukup dikenal dalam budaya Jawa,
khususnya Jawa Tengah, selain hanya karena Burung Kepodang merupakan fauna
identitas provinsi Jawa Tengah, Burung Kepodang juga sering dipergunakan dalam
tradisi mitoni (tradisi tujuh bulan kehamilan). Konon, ibu hamil yang memakan
daging burung Kepodang akan mendapatkan anak yang ganteng atau cantik jelita.
Burung Kepodang yang merupakan fauna identitas provinsi Jawa Tengah ini dikenal
juga dengan sebutan manuk pitu wolu karena bunyinya yang nyaring mirip dengan
ucapan pitu-wolu (tujuh delapan). Selain itu, burung ini juga terkenal sebagai
burung pesolek yang selalu tampil cantik, rapi, dan bersih termasuk dalam
membuat sarang. Masyarakat Sunda biasa menyebut burung Kepodang ini dengan
sebutan Bincarung. Sedangkan beberapa daerah di Sumatera menyebutnya
sebagai Gantialuh dan masyarakat di Sulawesi menyebutnya Gulalahe. Burung
Kepodang ini dalam bahasa Inggris sering disebut dengan Black Naped Oriole. Di
Malaysia disebut burung Kunyit Besar. Sedangkan dalam bahasa ilmiah (latin),
Burung Kepodang disebut Oriolus chinensis.
Ciri-ciri dan Kebiasaan.
Burung Kepodang (Oriolus chinensis) berukuran relatif sedang, panjang mulai ujung
ekor hingga paruh berkisar 25 cm. Bulunya indah berwarna kuning keemasan
sedang bagian kepala,sayap dan ekor ada sebagian bulu yang berwarna hitam. Ciri
khas burung Kepodang adalah terdapatnya garis hitam melewati mata dan tengkuk.
Iris mata burung Kepodang berwarna merah sedangkan paruhnya berwarna merah
jambu dan kedua kakinya berwarna hitam. Burung Kepodang yang ditetapkan
sebagai maskot (fauna identitas) provinsi Jawa Tengah ini mempunyai siulan seperti
bunyi alunan seruling dengan bunyi liiuw, klii-lii-tii-liiuw atau u-dli-u. Selain
mempunyai ocehan yang sangat keras dan nyaring, Kepodang juga pandai
menirukan suara burung Ciblek, Prenjak, Penthet bahkan suara burung Raja Udang.
Makanan utama Kepodang adalah buah-buahan seperti pisang dan papaya,
serangga kecil dan biji-bijian dan sesekali memakan ulat bumbung dan ulat pisang.
Burung Kepodang biasa hidup berpasangan. Burung betina biasanya membuat
sarang dengan teliti pada ranting pohon. Ketelitian burung Kepodang dalam
membuat sarang yang indah dan tampilan burung yang selalu terlihat bersih dan

rapi dengan bulu yang indah menawan membuat burung ini sering mendapat
predikat sebagai burung pesolek.
Habitat, Persebaran, dan Konservasi.
Habitat asli Burung Kepodang (Oriolus chinensis) adalah di daerah dataran tinggi.
Namun burung ini dapat juga ditemui di hutan terbuka, hutan mangrove dan hutan
pantai hingga ketinggian 1.600 m dpl. Kepodang tersebar luas di mulai dari India,
Bangladesh, Rusia, China, Korea, Taiwan, Laos, Myanmar, Kamboja, Thailand,
Filipina, Malaysia, hingga Indonesia. Di Indonesia, burung berbulu indah ini dapat
dijumpai di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi.
Burung Kepodang (Oriolus chinensis), meskipun di beberapa tempat di Indonesia
julai jarang ditemukan tetapi secara umum masih dikategorikan sebagai Least
Concern atau Beresiko Rendah oleh IUCN Redlist. Artinya burung pesolek maskot
provinsi Jawa Tengah ini masih dianggap belum terancam kepunahan.

4.2. Karakteristik Fauna


Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa atau sekitar 17% satwa di dunia ada di Indonesia, oleh
karenanya Indonesia merupakan salah satu negara Megabiodiversity di dunia. Negara-negara lain yang
dikenal sebagai negara mega biodiversity adalah Brazil dan Zaire. Kekayaan alam Indonesia mengandung
potensi 25% jenis ikan, 16% jenis reptil, 17% jenis burung, 16% amphibi, 70% jenis terumbu karang, 12 %
jenis mamalia, dan 15% jenis serangga dari populasi fauna dunia. Kekayaan ini dimungkinkan karena letak
kepulauan Indonesia yang berada di antara dua wilayah biogeografis utama dunia yaitu benua Asia dan
benua Australia.
Indonesia menjadi negara nomor satu di dunia dalam kekayaan mamalia (binatang menyusui) yaitu sekitar
515 jenis, 36% nya adalah mamal yang hanya dapat ditemukan di Indonesia (endemik). Dari golongan
primata atau bangsa kera terdapat 36 jenis, 18% diantaranya adalah endemik Indonesia. Dari spesies
burung, Indonesia menjadi negara keempat di dunia dalam jumlah, yaitu 1.539 spesies. Dari keluarga
burung nuri dan kakatua yang berjumlah 78 jenis, 44% diantaranya adalah endemik Indonesia. Selain itu,
Indonesia juga menjadi negara ketiga di dunia dalam jumlah reptil, yaitu sekitar 600 jebis atau 16% dari
reptil
yang
ada
di
dunia.
Walaupun Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan satwa liar, namun juga dikenal sebagai negara
yang memiliki daftar panjang tentang satwa yang terancam punah. Suatu jenis satwa dikatakan terancam
punah jika mereka dalam waktu yang tidak lama lagi akan segera punah kalau tidak ada tindakan untuk
menyelamatkannya. Setiap dua tahun sekali badan konservasi dunia atau IUCN (International Union for
Conservation of nature and nutural Resources), menerbitkan buku data merah (Redlist) yang berisikan
tentang daftar spesies yang terancam punah di seluruh dunia. Menurut IUCN (2003), jumlah jenis satwa
Indonesia yang terancam punah adalah 147 jenis mamalia, 114 jenis burung, 28 jenis reptil, 91 jenis ikan,
dan 28 jenis invertebrata (hewan tak bertulang belakang). Dari berbagai jenis fauna tersebut, banyak
diantaranya merupakan endemik (hanya ada di) Indonesia, dan sebagaian dari endemik tersebut beberapa
diantaranya merupakan satwa endemik Jawa. Fauna endemik jawa dapat menjadi sebuah karakteristik
fauna yang ada di Pulau Jawa (termasuk Madura).

Hewan Endemik Pulau Jawa


Hewan endemik Jawa adalah hewan-hewan yang hanya ditemukan di Pulau Jawa dan Mudara, tidak
ditemukan di tempat lain. Bahkan tidak sedikit satwa endemik ini hanya ditemukan di satu pulau atau
wilayah tertentu saja. Endemisme merupakan gejala yang dialami oleh organisme untuk menjadi unik pada
satu lokasi geografi tertentu, seperti pulau, lungkang (niche), negara, atau zona ekologi tertentu. Untuk
dapat dikatakan endemik, spesies hewan harus ditemukan hanya di suatu tempat tertentu dan tidak
ditemukan di tempat lain. Sehingga hewan yang masuk daftar endemik ini hanya dipunyai wilayah tertentu
saja.Indonesia adalah negara dengan endemisme (tingkat endemik) yang tinggi. Diperkirakan terdapat
lebih dari 165 jenis mamalia, 397 jenis burung, lebih dari 150 reptilia, dan lebih dari 100 spesies ampibi
yang tercatat endemik di Indonesia. Sebagian dari fauna endemik terdapat juga di Pulau Jawa. Beberapa
jenis fauna endemik Pulau Jawa adalah:
1.

Badak

Bercula

Satu

atau

Badak

Jawa (Rhinoceros

sondaicus);

Badak
jawa
atau
Badak
bercula-satu
kecil (Rhinoceros
sondaicus) adalah
anggota
familiRhinocerotidae dan satu dari lima jenis badak yang masih ada. Badak ini masuk ke genus yang sama
dengan badak india dan memiliki kulit bermosaik yang menyerupai baju baja.
Badak ini memiliki panjang 3,13,2 m dan tinggi 1,41,7 m. Ukuran tubuh badak ini lebih kecil dari badak
india. Panjang culanya biasanya 20 cm lebih pendek dan lebih kecil pada cula spesies badak lainnya.
Meski disebut badak jawa, binatang ini tidak terbatas hidup di Pulau Jawa saja, tapi di seluruh
Nusantara, sepanjang Asia Tenggara dan di India serta Tiongkok. Spesies ini kini statusnya sangat kritis,
dengan hanya sedikit populasi yang ditemukan di alam bebas. Populasi badak hidup sekitar40-50 ekor
berada di Taman Nasional Ujung Kulon. Populasi badak Jawa di alam bebas lainnya berada di Taman
Nasional Cat Tien, Vietnam dengan perkiraan populasi tidak lebih dari 8 pada tahun 2007.
Rendahnya populasi badak jawa diakibatkan oleh perburuan untuk diambil culanya yang sangat berharga,
kehilangan habitat hidup karena ulah manusia, dan juga karena badak jawa peka terhadap penyakit serta
menciutnya keragaman genetik. Badak jawa dapat hidup selama 30-45 tahun di alam bebas. Badak ini
hidup di hutan hujan dataran rendah, padang rumput basah dan daerah daratan banjir besar. Badak jawa
kebanyakan bersifat tenang, kecuali untuk masa kenal-mengenal dan membesarkan anak, walaupun suatu
kelompok terkadang dapat berkumpul di dekat kubangan dan tempat mendapatkan mineral. Badak dewasa
tidak memiliki hewan pemangsa sebagai musuh. Badak jawa biasanya menghindari manusia, tetapi akan
menyerang manusia jika merasa diganggu.
Nama genusnya Rhinoceros, yang didalamnya juga terdapat badak India, berasal dari bahasa
Yunani: rhino berarti hidung, dan ceros berarti tanduk; sondaicus berasal dari kata Sunda, daerah yang
meliputi pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan kepulauan kecil disekitarnya. Badak Jawa juga disebut

badak bercula-satu kecil (sebagai perbedaan dengan badak bercula-satu besar, nama lain badak India).
Terdapat tiga subspesies, yang hanya dua subspesies yang masih ada, sementara satu subspesies telah
punah:

Rhinoceros sondaicus sondaicus, tipe subspesies yang diketahui sebagai badak Jawa Indonesia

yang pernah hidup di Pulau Jawa dan Sumatra. Kini populasinya hanya sekitar 40-50 di Taman
Nasional Ujung Kulon yang terletak di ujung barat Pulau Jawa. Satu peneliti mengusulkan bahwa
badak jawa di Sumatra masuk ke dalam subspesies yang berbeda, Rhinoceros floweri, tetapi hal ini
tidak diterima secara luas.
Rhinoceros sondaicus annamiticus, diketahui sebagai Badak Jawa Vietnam atau Badak vietnam,

yang pernah hidup di sepanjang Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand dan Malaysia. Annamiticus
berasal dari deretan pegunungan Annam di Asia Tenggara, bagian dari tempat hidup spesies ini. Kini
populasinya diperkirakan kurang dari 12 ekor saja, hidup di hutan dataran rendah di Taman Nasional
Cat Tien, Vietnam. Analisa genetika memberi kesan bahwa dua subspesies yang masih ada memiliki
leluhur yang sama antara 300.000 dan 2 juta tahun yang lalu.
Rhinoceros sondaicus inermis, diketahui sebagai Badak jawa india, pernah hidup di Benggala

sampai Burma (Myanmar), tetapi dianggap punah pada dasawarsa awal tahun 1900-an. Inermis
berarti tanpa cula, karena karakteristik badak ini adalah cula kecil pada badak jantan, dan tak ada cula
pada betina. Spesimen spesies ini adalah betina yang tidak memiliki cula. Situasi politik di Burma
mencegah taksiran spesies ini di negara itu, tetapi keselamatannya dianggap tak dapat dipercaya.
Taman Nasional Ujung Kulon di Jawa adalah satu-satunya habitat untuk sisa badak Jawa yang masih hidup
di Indonesia. Mereka dianggap sebagai mamalia yang paling terancam; walaupun masih terdapat badak
Sumatra yang tempat hidupnya tidak dilindungi seperti badak Jawa, dan beberapa pelindung alam
menganggap mereka memiliki risiko yang lebih besar.
Binatang ini pernah menyebar dari Assam dan Benggala (tempat tinggal mereka akan saling melengkapi
antara badak Sumatra dan India di tempat tersebut) ke arah timur sampai Myanmar, Thailand, Kamboja,
Laos, Vietnam, dan ke arah selatan di semenanjung Malaya, serta pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan.
Badak Jawa hidup di hutan hujan dataran rendah, rumput tinggi dan tempat tidur alang-alang yang banyak
dengan sungai, dataran banjir besar atau daerah basah dengan banyak kubangan lumpur. Walaupun dalam
sejarah badak jawa menyukai daerah rendah, subspesies di Vietnam terdorong menuju tanah yang lebih
tinggi (diatas 2.000 m), yang disebabkan oleh gangguan dan perburuan oleh manusia.
Tempat hidup badak jawa telah menyusut selama 3.000 tahun terakhir, dimulai sekitar tahun 1000 SM,
tempat hidup di utara badak ini meluas ke Tongkok, tetapi mulai bergerak ke selatan secara kasar pada 0.5
km per tahun karena penetap manusia meningkat di daerah itu. Badak ini mulai punah di India pada dekade
awal abad ke-20. Badak Jawa diburu sampai kepunahan di semenanjung Malaysia tahun 1932. Pada akhir
perang Vietnam, badak Vietnam dipercaya punah sepanjang tanah utama Asia. Pemburu lokal dan
penebang hutan di Kamboja mengklaim melihat badak jawa di Pegunungan Cardamom, tetapi survey pada
daerah tersebut gagal menemukan bukti. Populasi badak Jawa juga mungkin ada di pulau Kalimantan,
walaupun spesimen tersebut mungkin merupakan badak Sumatra, populasi kecil yang masih hidup disana.
2. Banteng (Bos javanicus);
Gambar banteng (bos javanicus)
Banteng atau tembadau (dari bahasa Jawa, bant ng),Bos javanicus, adalah hewan yang sekerabat dengan
sapi dan ditemukan di Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Kalimantan, Jawa, dan Bali. Banteng
dibawa ke Australia Utara pada masa kolonisasi Britania Raya pada 1849 dan sampai sekarang masih
lestari.Terdapat tiga anak jenis banteng liar: B. javanicus javanicus (di Jawa, Madura, dan Bali), B.

javanicus lowi (di Kalimantan, jantannya berwarna coklat bukan hitam), dan B. javanicus birmanicus (di
Indocina). Anak jenis yang terakhir digolongkan sebagai Terancam oleh IUCN.
Banteng (Bos javanicus) merupakan binatang herbivora yang memakan rumput, dedaunan, dan buahbuahan. Banteng umumnya aktif baik pada siang ataupun malam hari. Banteng mempunyai habitat di
daerah berhutan lebat ataupun hutan bersemak mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 2.100 mdpl.
Populasi Banteng sudah sangat memprihatinkan karena jumlahnya terus berkurang.
Populasi banteng di Taman Nasional Ujung Kulon diperkirakan terdapat 300-700 ekor Banteng (tahun
2003). Akibat populasinya yang semakin menurun, sejak tahun 1996, banteng dinyatakan dalam status
konservasi Endangered atau Terancam Punah oleh IUCN. Penurunan populasi dan kelangkaan Banteng
antara lain disebabkan oleh perburuan liar dan berkurangnya habitat akibat pembukaan lahan untuk
permukiman dan pertanian. Penurunan populasi juga disebabkan oleh persaingan dengan binatang lainnya.
3. Burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi);
Gambar Burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)
Elang Jawa atau dalam nama ilmiahnya Nisaetus bartelsi adalah salah satu spesies elang berukuran sedang
yang endemik di Pulau Jawa. Satwa ini dianggap identik dengan lambang negara Republik Indonesia, yaitu
Garuda. Dan sejak 1992, burung ini ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia. Elang Jawa
berukuran tubuh sedang sampai besar, langsing, panjang tubuh antara 60-70 cm (dari ujung paruh hingga
ujung ekor).
Sebaran elang ini terbatas di Pulau Jawa, dari ujung barat (Taman Nasional Ujung Kulon) hingga ujung
timur di Semenanjung Blambangan (Alas Purwo). Saat ini penyebarannya terbatas di wilayah-wilayah
yang masih memiliki hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah
dengan pegunungan. Sebagian besar ditemukan di separuh belahan selatan Pulau Jawa. Agaknya burung
ini hidup berspesialisasi pada wilayah berlereng. Elang Jawa menyukai ekosistem hutan hujan tropika yang
selalu hijau, di dataran rendah maupun pada tempat-tempat yang lebih tinggi. Mulai dari wilayah dekat
pantai seperti di Ujung Kulon dan Meru Betiri, sampai ke hutan-hutan pegunungan bawah dan atas hingga
ketinggian 2.200 m dan kadang-kadang 3.000 m dpl.
Burung pemangsa ini berburu dari tempat bertenggernya di pohon-pohon tinggi dalam hutan. Ia memangsa
berbagai jenis hewan lain seperti reptil, burung-burung sejenis walik, punai, dan bahkan ayam kampung.
Juga mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti tupai dan bajing, kalong, musang, sampai dengan
anak monyet. Masa bertelur tercatat mulai bulan Januari hingga Juni. Sarang berupa tumpukan rantingranting berdaun yang disusun tinggi, dibuat di cabang pohon setinggi 20-30 di atas tanah. Telur berjumlah
satu butir, yang dierami selama kurang-lebih 47 hari. Pohon sarang merupakan jenis-jenis pohon hutan
yang tinggi, seperti rasamala(Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus dan Quercus), tusam (Pinus merkusii),
puspa (Schima wallichii), dan ki sireum (Eugenia clavimyrtus). Tidak selalu jauh berada di dalam hutan,
ada pula sarang-sarang yang ditemukan hanya sejarak 200-300 m dari tempat rekreasi.
Di habitatnya, elang Jawa memiliki penyebaran yang tidak merata. Total jumlahnya hanya sekitar 137-188
pasang burung, atau perkiraan jumlah individu elang ini berkisar antara 600-1.000 ekor. Populasi yang
kecil ini menghadapi ancaman besar terhadap kelestariannya, yang disebabkan oleh kehilangan habitat dan
eksploitasi jenis. Pembalakan liar dan konversi hutan menjadi lahan pertanian telah menyusutkan tutupan
hutan primer di Jawa. Selain itu, elang ini juga terus diburu orang untuk diperjual belikan di pasar gelap
sebagai satwa peliharaan.
Mempertimbangkan kecilnya populasi, wilayah agihannya yang terbatas dan tekanan tinggi yang dihadapi
itu, organisasi konservasi dunia IUCN memasukkan elang Jawa ke dalam status EN (Endangered,
terancam kepunahan).

4. Burung Cerek Jawa (Charadrius javanicus);


Burung cerek jawa merupakan endemik Pulau Jawa.Burung ini merupakan burung pantai yang berukuran
kecil.Burung ini biasa ditemukan dalam jumlah yang cukup besar. Burung ini hanya ditemukan di
Kepulauan Kangean, hidup di pantai berpasir dan lumpur sekitar pantai. Tubuhnya berukuran kecil (15
cm), berparuh pendek. Bulu bewarna coklat pada bagian atas dan putih pada bagian bawah, warna jantan
dan betina sama. Mirip cerek tilil tetapi kepala lebih coklat kemerahan, kaki pucat, dan garis dada tanpa
warna hitam.
Warna putih kerah belakang biasanya tidak menyambung. Iris coklat, paruh hitam, tungkai abu-abu zaitun
atau coklat pucat. Spesies ini punya kebiasaan mencari makan sendiri atau kelompok kecil. Sering berbaur
dengan
burung
perancah
lain.
Makanannya adalah invertebrata. Sarang berupa cekungan pada tanah, telur berwarna abu-abu tua,
berbintik hitam, jumlah 1-3 butir.
5. Burung Trulek Jawa (Vanellus macropterus);
Gambar burung Trulek Jawa (Vanellus macropterus)
Trulek Jawa (Vanellus macrop-terus) adalah salah satu burung langka yang hanya terdapat (endemik) di
Jawa. Burung dari suku Charadriidae ini pada tahun 1994 pernah dinyatakan punah(Extinct) oleh IUCN,
namun sejak tahun 2000 statusnya direvisi menjadi Kritis. Meskipun begitu, hingga kini keberadaan jenis
ini masih misterius karena tidak ada bukti fotografi atau spesimen baru yang diperoleh.Hingga saat ini
yang dapat dijumpai secara resmi di Indonesia hanyalah spesimen awetannya di Museum Zoologi,
Cibinong. Burung ini terakhir tercatat keberadaannya pada tahun 1940 di deltaCi Tarum. Karena belum
melakukan survei ulang semua habitatnya dan masih ada laporan-laporan keberadaan jenis ini dari
penduduk setempat, IUCN tidak berani menyebutnya sebagai jenis yang punah. Ukuran tubuh sedang,
sekitar 28 cm. Bulunya berwarna coklat keabuan dengan kepala hitam. Punggung dan dada coklat keabuan,
perut hitam, tungging putih. Bulu-bulu sayap terbang hitam, ekor putih dengan garis subterminal hitam
lebar. Terdapat taji hitam pada bagian lengkung sayap. Iris coklat, paruh hitam, tungkai hijau kekuningan
atau jingga. Hal yang khas dari burung ini adalah gelambir putih kekuningan di atas paruhnya.
Hidupnya berpasangan di padang rumput terbuka sepanjang pantai utara Jawa Barat dan pantai selatan
Jawa Timur. Burung endemik ini hidup dari memakan antara lain kumbang air, siput, larvaserangga, dan
biji-bijian tumbuhan air. Burung ini sering berada di sekitar daerah berair (tepi sungai, muara sungai, dan
rawa) namun tidak menyukai air. Mereka sering terlihat justru sedang bertengger di tempat kering di
sekitar lahan basah seperti ranting, bebatuan, dan rerumputan. Beberapa daerah yang dilaporkan didiami
antara lain:

Hutan Sawangan, Petungkriyono, Pekalongan (Jawa Tengah); terakhir terlihat tahun 2001 oleh

Tim Community Forestry Pekalongan.


Hutan Gunung Ungaran (Jawa Tengah).
Taman Nasional Meru Betiri, Jember (Jawa Timur).
Lumajang (Jawa Timur); di sini penduduk setempat menamainya Plirik dan menganggapnya

sebagai burung keramat lantaran terdapat motif menyerupai keris pada sayapnya.
Pegunungan Halimun (Jawa Barat).

6. Kancil Jawa (Tragulus javanicus);


Gambar kancil Jawa (Tragulus javanicus);
Kancil Jawa atau Pelanduk (Tragulus javanicus) adalah hewan menyusui (mamalia) sebangsa kijang yang
kecil tubuhnya. Pelanduk adalah spesies rusa berkuku genap dari keluarga Tragulidae. Pada ukuran dewasa
besar tubuhnya sama dengan kelinci.

Pelanduk berhabitat di hutan hujan tropis Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pelanduk termasuk salah
satu mamalia terkecil di dunia. Panjang tubuhnya sekitar 20-25 cm. Tubuh bagian atas Kancil atau
Pelanduk berwarna coklat kemerahan, sedangkan tengkuk bagian tengah biasanya lebih gelap daripada
bagian tubuh lainnya. Bagian bawah berwarna putih dengan batas sedikit kecoklatan di tengah, tanda
khusus di kerogkongan dan dada bagian atas berwarna coklat tua. Sedikitnya terdapat 6 spesies Kancil atau
Pelanduk yang terdapat di Asia Tenggara. Yang sering dijumpai di Indonesia adalah Tragulus javanicus,
Tragulus napu danTragulus kanchil.
Pelanduk merupakan binatang herbivora yang menyukai rumput, daun-daunan yang berair, kecambah,
buah-buahan yang jatuh di tanah, kulit pisang, pepaya, ubi, dan ketela. Binatang ini mempunyai masa
mengandung selama 137-155 hari dan akan menyusui bayinya hingga berusia antara 60-70 hari. Habitat
pelanduk di hutan primer dan sekunder yang cukup lebat atau tanah kering di dataran rendah atau kaki
bukit tidak jauh dari sungai dengan vegetasi lebat.
Populasi Tragulus javanicus hingga kini tidak dketahui dengan pasti,baik oleh pemerintah Indonesia
maupun oleh organisasi konservasi lingkungan hidup lainnya. Karena itu IUCN Redlist memasukkannya
dalam status konservasi Data Deficient (Informasi Kurang) yang berarti selama lima tahun terakhir
belum diadakan evaluasi atau penelitian ulang. Kancil bersama semua anggota genus Tragulus merupakan
satwa yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.
Terdapat 6 spesies Kancil atau Pelanduk yang tergabung dalam genus Tragulus. Keenam spesies tersebut
yaitu:
1.
Tragulus javanicus (Java Mouse-deer)
2.
Tragulus kanchil (Lesser Mouse-deer)
3.
Tragulus napu (Greater Mouse-deer)
4.
Tragulus nigricans (Philippine Mouse-deer)
5.
Tragulus versicolor (Vietnam Mouse-deer)
6.
Tragulus williamsoni (Williamsons Mouse-deer)
7. Kodok Darah (Leptophryne cruentata);
Gambar kodok Darah (Leptophryne cruentata)
Kodok Merah (Leptophryne cruentata) merupakan spesies ampibi endemik Jawa yang hanya ditemukan di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Spesies ini
termasuk langka dan terancam punah, IUCN redlist mencatanya sebagaiCritically Endangered (Kritis).
Kodok Merah sering kali disebut juga sebagai Katak Darah, dalam Bahasa Inggris
disebutBleeding Toad atau Fire Toad. Katak dengan nama ilmiah Leptophryne cruentata berukuran kecil
dan ramping. Ciri khasnya adalah wana kulitnya yang hitam dipenuhi bintik-bintik berwarna merah darah.
Kodok ini menyukai daerah dekat air yang mengalir deras pada ketinggian antara 1.000 2.000 meter dpl.
Habitatnya diperkirakan hanya terdapat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak. Selebihnya tentang perilaku hewan ini belum banyak yang diketahui. Pada tahun
1976 diperkirakan populasi katak ini masih sangat melimpah. Pada tahun 1987 dan paska meletusnya
gunung Galunggung populasinya mulai jarang ditemui. Saking langkanya pada periode 90-an hingga 2003
hanya dapat ditemukan satu ekor Kodok Merah di sekitar air terjun Cibeureum.
8. Kodok Pohon Ungaran (Philautus jacobsoni);
Gambar kodok Pohon Ungaran (Philautus jacobsoni)
Philautus jacobsoni atau biasa disebut Katak Pohon Ungaran,memiliki status Critically endangered
(hampir punah) dan masuk dalam daftar The IUCN Red List of Threatened Speciestahun 2008. Dalam
pernyataannya (The
IUCN
Red
List
of
Threatened
Species), Philautus
jacobsoni

dinyatakan hampir punah dengan alasan daerah yang menjadi habitatnya kurang dari 10 km2, semua
individu dari jenis katak ini hanya terdapat di Gunung Ungaran, Semarang, Jawa Tengah.
Populasi katak ini semakin menurun dengan penurunan kualitas dan daya dukung G. Ungaran bagi
keberlangsungan hidupnya. Jenis katak yang termasuk dalam ordo Anura dan Family Rhacophoridae ini
pertama kali ditemukan oleh van Kampen pada tahun 1912 dan kemudian diberi nama ilmiah
sebagai Philautus jacobsoni. Nama Jacobsoni diambil dari nama seorang kolektor binatang yang aktif di
wilayah Sumatera dan Jawa, sebelum Perang Dunia I yaituJacobson Edward. Ditemukan di sekitar G.
Ungaran, Jawa Tengah yang memiliki karakter habitat hutan pegunungan. Katak ini diyakini sebagai katak
pohon,
bukan
sebagai
katak
yang
sangat
tergantung
dengan
air.
Hellen Kurniati, salah seorang peneliti kodok dari LIPI, menyebutkan bahwa meski belum termasuk dalam
daftar sebagai hewan yang telah punah, katak ungaran (Philautus jacobsoni)hampir tidak dapat ditemukan
lagi saat ini. Bahkan sampel spesimennya pun Indonesia tidak punya. Satu-satunya sampel spesimen hanya
terdapat di Museum Leiden, Belanda, diambil pada tahun 1930-an.
Katak ini memiliki ukuran antara 25-33 mm. Dinyatakan oleh Djoko T Iskandar dalam buku Amphibi Jawa
dan Bali, sangat mirip dengan P. aurifasciatus. Namun berbeda dalam hal : tympanum yang lebih besar,
anggota tubuh lebih besar, moncong lebih kecil, jari kaki dengan selaput yang lebih sedikit melebar, serta
kulit yang relatif lebih lembut. Tekstur kulit : halus dengan beberapa bintil di atas kepala bagian atas. Dagu
dan permukaan bagian bawah terdapat bintil-bintil granular. Warna : Dorsum coklat ungu, perut berwarna
gelap, hanya bagian belakang dan paha yang putih krem. Perkembang biakan : Tidak diketahui, tetapi
mungkin sama dengan P. aurifasciatus.
9. Kucing Bakau atau Fishing Cat (Prionailurus viverrinus);
Gambar kucing Bakau atau Fishing Cat (Prionailurus viverrinus)
Kucing bakau atau fishing cat (Prionailurus viverrinus) merupakan jenis kucing yang bisa menyelam ke
dalam air guna menangkap mangsanya. Sesuai namanya, kucing bakau di Indonesia sering dijumpai di
daerah hutan bakau. Kucing bakau mempunyai ukuran sekitar dua kali lipat besarnya dibanding kucing
domestik (Felis catus). Panjang tubuhnya mencapai 57-78 cm dengan ekor sepanjang 20-30 cm dan berat
mencapai 5-16 kg. Bulu berwarna abu-abu hijau zaitun dengan pola totol hitam yang membentuk garis
membujur di sepanjang tubuh. Bulu bagian bawah berwarna putih dan bagian belakang telinga berwarna
hitam. Sesuai dengan habitat yang didiaminya, jari-jari kucing bakau memiliki semacam selaput. Selaput
ini untuk kemampuan berenang dan menyelamnya.
Makanan utama kucing bakau adalah berbagai jenis ikan. Selain itu kucing bakau juga memangsa hewan
air lainnya seperti katak, unggas air, dan udang, serta binatang darat seperti tikus, burung, ular, dan bahkan
anak rusa. Daerah Persebaran dan Habitatnya, tersebar di Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Daerah sebarannya mulai dari Bangladesh, Bhutan, Kambodia, India, Indonesia, Laos,
Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam. Di Indonesia, kucing bakau dapat dijumpai di Jawa
mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, meskipun hanya pada lokasi-lokasi tertentu.
Habitat kucing bakau adalah daerah-daerah berlahan basah seperti rawa, daerah aliran sungai, hutan
mangrove dan daerah pasang surut di tepi pantai. Kucing bakau terdaftar sebagaiEndangered dalam IUCN
Redlist dan CITES Apendiks II. Di Indonesia, kucing bakau juga termasuk dalam satwa yang dilindungi
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Ancaman utama kelestarian kucing bakau adalah
berkurangnya lahan basah seperti hutan bakau akibat dikonversi menjadi lahan pertanian, tambak dan
pemukiman.
10. Kukang Jawa (Nycticebus javanicus);
Gambar kukang Jawa (Nycticebus javanicus)

Kukang merupakan primata yang mempunyai gerakan lambat, hidup di hutan tropis dan menyukai hutan
primer dan sekunder, semak belukar dan rumpun-rumpun bambu dan beraktifitas dimalam hari.
Di dunia terdapat 14 jenis (spesies) kukang yang 3 diantaranya terdapat di Indonesia. Ketiga jenis kukang
yang hidup di Indonesia adalah: kukang besar (Nycticebus coucang), kukang jawa(Nycticebus javanicus),
dan kukang borneo (Nycticebus menagensis). Ketiga jenis kukang memiliki ciri yang hampir sama. Warna
bulu kukang (malu-malu) beragam, mulai kelabu keputihan, kecoklatan, hingga kehitam-hitaman. Pada
punggung kukang terdapat garis coklat melintang dari belakang hingga dahi, lalu bercabang ke dasar
telinga dan mata. Kukang mempunyai berat tubuh 0,375-0,9 kg, dengan panjang tubuh dewasa antara 1930 cm. Kukang Jawa (Java Slow Loris), bernama latin Nycticebus javanicus ini merupakan primata
endemik Pulau Jawa. Kukang jawa termasuk salah satu primata terlangka dan paling terancam kepunahan,
karena itu oleh IUCN Redlist dikategorikan sebagai spesies Endangered. Sebelumnya, kukang jawa
dianggap sebagai anakjenis (sub spesies) dari Nycticebus coucang namun kemudian diakui sebagai spesies
tersendiri. Nama ilmiahnya bersinonim denganNycticebus ornatus (Thomas, 1921).
Di Indonesia kukang sudah dilindungi sejak tahun 1973 dengan Keputusan Menteri Pertanian tanggal 14
Pebruari 1973No. 66/Kpts /Um/2/1973. Perlindungan ini dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 7 tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang memasukan kukang dalam
lampiran jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Dengan adanya peraturan tersebut, maka semua
jenis kukang yang ada di Indonesia telah dilindungi. Sementara itu badan konservasi dunia IUCN,
memasukan kukang dalam kategori Vulnerable (rentan), yang artinya memiliki peluang untuk punah 10%
dalam waktu 100 tahun. Sedangkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of
wild fauna and flora) memasukan kukang ke dalam apendix I. Status CITES: Sebelumnya kukang masuk
dalam appendix II CITES yang berarti perdagangan internasionalnya diperbolehkan, termasuk
penangkapan kukang dari alam.
Dengan masuknya kukang dalam appendix I CITES pada tahun 2007, maka perdagangan internasional
kukang semakin diperketat. Perdagangan kukang tidak boleh lagi hasil penangkapan dari alam, tapi harus
hasil penangkaran.Masuknya kukang dalam appendix I CITES ini akan memberi perlindungan yang lebih
maksimal bagi kukang, sehingga kukang di alam akan lebih terjamin kelestariannya.
11. Landak Jawa (Hystrix javanica);
gambar landak Jawa (Hystrix javanica)
Landak atau Porcupine (english) adalah nama untuk sejenis mamalia yang unik dengan bulu-bulu keras
dan panjang (juga disebut duri) yang menutupi tubuh bagian atasnya. Fungsi utama bulu landak ini sebagai
alat pertahanan diri. Terdapat banyak jenis landak di seluruh dunia, dan sedikitnya ada 4 jenis landak di
Indonesia. Dalam bahasa Indonesia semuanya hanya dikenal dengan satu nama yaitu Landak. Padahal
secara taksonomi merupakan spesies yang berbeda. Bahkan dalam bahasa Inggrispun disebut dengan nama
yang berbeda.Keempat jenis landak tersebut adalah Malayan Porcupine (Hystrix brachyura), Sunda
Porcupine (Hystrix javanica), Sumatran Porcupine (Hystrix sumatrae), dan Bornean Porcupine (Thecurus
crassispinis).
Malayan Porcupine (Hystrix brachyura) adalah salah satu jenis Landak yang selain di Indonesia (Sumatera
dan Kalimantan), dapat ditemui juga di Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Vietnam, Myanmar, Laos,
China, Nepal, India, dan Banglades.
Sedangkan ketiga jenis lainnya merupakan endemik Indonesia.Sunda Porcupine (Hystrix
javanica) endemik Jawa, Sumatran Porcupine (Hystrix sumatrae) endemik Sumatera, dan Bornean
Porcupine (Thecurus crassispinis) endemik Kalimantan. Keempat spesies Landak ini, oleh IUCN Redlist
dimasukkan dalam kategori LC (Least Concent atau Resiko Rendah) yang artinya spesies landak ini belum

terancam kepunahan. Namun status Least Concent bisa juga diberikan kepada spesies-spesies yang belum
dievaluasi kembali sejak tahun 2001.
Landak Jawa (Hystrix javanica) merupakan mamalia dari ordo rodentia yang memiliki duri yang menutupi
kulitnya. Panjang tubuh landak jawa yakni 37 sampai 47 cm, panjang ekor 23 sampai 36 cm, dengan berat
badan 13 sampai 27 kg. Landak jawa mampu hidup hingga 27 tahun jika berada dalam kandang. Pada
umumnya seekor landak mampu berlari kencang untuk menghindari pemangsa. Namun jika terdesak,
Landak akan berhenti dan mendirikan bulu-bulunya yang menyerupai duri yang terdapat di klit bagian
atas. Landak membuat sarang dengan membuat lubang di dalam tanah dengan kedalaman sekitar 5 meter.
Lubang ini terdiri beberapa cabang di dalam tanah yang mempunyai beberapa pintu keluar.Satu lubang
(berukuran lebih besar) menjadi pintu masuk utama dan beberapa lubang (berukuran lebih kecil) sebagai
pintu keluar.
Landak Jawa merupakan hewan pengerat yang memakan sayuran, buah-buahan, akar-akaran, umbiumbian, dan kulit kayu dengan kuantitas berat pakan yang diberikan 10 % dari berat badannya. Hewan ini
bersifat
vivipar
atau
melahirkan
anak.
Masa kehamilannya kira-kira selama 56 hari. Anak yang dilahirkannya akan di asuh sang induk selama 3
bulan dan setelah itu akan dibiarkan mencari makan sendiri. Bagi para petani, Landak dianggap sebagai
hama karena sering merusak tanaman sayur di ladang dan persawahan.
12. Lutung jawa (Trachypithecus auratus);
Gambar lutung jawa (Trachypithecus auratus)
Lutung jawa (Trachy-pithecus auratus) merupakan salah satu jenis lutung asli (endemik) jawa. Lutung
jawa disebut juga lutung budeng, mempunyai ukuran tubuh yang kecil, dengan panjang tubuhnya hanya
sekitar 55 cm, namun ia memiliki ekor yang panjangnya mencapai 80 cm, berat tubuhnya sekitar 6 kg.
Bulu lutung jawa (Trachypithecus auratus) berwarna hitam dan lutung betina memiliki bulu berwana
keperakan di sekitar kelaminnya. Lutung jawa (lutung budeng) muda memiliki bulu yang berwarna oranye.
Lutung ini terdiri atas dua subspesies yaituTrachypithecus auratus auratus dan Trachypithecus auratus
mauritius. SubspesiesTrachypithecus auratus auratus (Spangled Langur Ebony) bisa didapati di Jawa
Timur, Bali, Lombok, Palau Sempu dan Nusa Barung. Sedangkan subspesies yang kedua, Trachypithecus
auratus mauritius (Jawa Barat Ebony Langur) dijumpai terbatas di Jawa Barat dan Banten. Untuk
subspesies Trachypithecus auratus auratus (Spangled Langur Ebony) meliki ras yang mempunyai bulu
seperti lutung jawa muda dengan warna bulu yang oranye sedikit gelap dengan ujung kuning.
Lutung jawa hidup secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri sekitar 7 20 ekor lutung dengan seekor
jantan sebagai pemimpin kelompok dan beberapa lutung betina dewasa. Lutung betina hanya melahirkan
satu anak dalam setiap masa kehamilan. Beberapa induk betina dalam satu kelompok akan saling
membantu dalam mengasuh anaknya, namun sering kali bersifat agresif terhadap induk dari kelompok lain.
Lutung jawa merupakan satwa diurnal yang lebih banyak aktif di siang hari terutama di atas pohon.
Makanan kegemaran satwa ini antara lain dedaunan, beberapa jenis buah-buahan dan bunga. Terkadang
binatang ini juga memakan serangga dan kulit kayu.
Lutung jawa merupakan satwa endemik Indonesia yang hanya bisa dijumpai di pulau Jawa, Bali, Lombok,
Palau Sempu dan Nusa Barung. Keberadaan lutung jawa di pulau Lombok diduga karena proses
introduksi. Habitat alami lutung jawa adalah kawasan hutan dengan berbagai variasi mulai hutan bakau di
pesisir pantai, hutan rawa air tawar, hutan dataran rendah, hutan meranggas, hingga hutan dataran tinggi
hingga ketinggian mencapai 3.500 mdpl. Daerah jelajah lutung jawa mencapai seluas 15 ha. Populasi
lutung jawa semakin mengalami penurunan, oleh karena itu pada 2008 spesies ini dikategorikan oleh
IUCN Redlist dalam status konservasi Terancam (Vulnerable). CITES juga memasukkan spesies ini dalam
Apendiks II. Populasi lutung jawa masih dapat ditemukan di beberapa cagar alam di Jawa seperti Taman

Nasional Ujung Kulon, Cagara Alam Pangandaran, TN. Meru Betiri, TN. Bromo Tengger Semeru, Gunung
Halimun, Gunung Dieng, Gunung Arjuno, Alas Purwo dll.
13. Macan tutul jawa (Panthera pardus melas);
Gambar macan tutul jawa (Panthera pardus melas)
Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) menjadi kucing besar terakhir yang tersisa di pulau Jawa
setelah punahnya Harimau Jawa. Macan Tutul Jawa (Java Leopard) merupakan satu dari sembilan
subspecies Macan Tutul (Pantherapardus) di dunia yang merupakan satwa endemik pulau Jawa.
Spesies ini dimasukkan dalam status konservasi atau Critically Endangered. Spesies ini mempunyai dua
variasi yaitu Macan Tutul berwarna terang dan Macan Tutul berwarna hitam yang biasa disebut dengan
Macan Kumbang. Meskipun berwarna berbeda, kedua kucing besar ini adalah subspesies yang sama.
Terbukti keduanya dapat kawin dan menghasilkan keturunan yang berwarna tutul dan berwarna hitam.
Dibandingkan subspesies macan tutul lainnya, Macan Tutul Jawa mempunyai ukuran relatif kecil. Panjang
tubuh berkisar antara 90 150 cm dengan tinggi 60 95 cm, dan bobot badannya berkisar 40 60 kg,
yang betina berukuran lebih kecil dari jantan. Spesies ini mempunyai khas warna bertutul-tutul di sekujur
tubuhnya. Pada umumnya bulunya berwarna kuning kecoklatan dengan bintik-bintik berwarna hitam.
Bintik hitam di kepalanya berukuran lebih kecil. Macan Tutul Jawa adalah binatang nokturnal yang lebih
aktif di malam hari, kucing besar ini termasuk salah satu binatang yang pandai memanjat dan berenang.
Macan Tutul Jawa adalah binatang karnivora yang memangsa buruannya seperti kijang, monyet ekor
panjang, babi hutan, kancil dan owa jawa, landak jawa, surili dan lutung hitam. Kucing besar ini juga
mampu menyeret dan membawa hasil buruannya ke atas pohon yang terkadang bobot mangsa melebih
ukuran tubuhnya. Perilaku ini selain untuk menghindari kehilangan mangsa hasil buruan, selain itu juga
untuk penyimpanan persediaan makanan. Meskipun masa hidup di alam belum banyak diketahui tetapi di
penangkaran, Macan Tutul dapat hidup hingga 21-23 tahun,mereka hidup dalam teritorial (ruang gerak)
berkisar 5 15 km2. Bersifat soliter, tetapi pada saat tertentu seperti berpasangan dan pengasuhan anak,
macan tutul dapat hidup berkelompok. Macan tutul betina umumya memiliki anak lebih kurang 2-6 ekor
setiap kelahiran dengan masa kehamilan lebih kurang 110 hari. Menjadi dewasa pada usia 3-4 tahun. Anak
macan tutul akan tetap bersama induknya hingga berumur 18-24 bulan. Dalam pola pengasuhan anak,
kadang-kadang macan tutul jantan membantu dalam hal pengasuhan anak.
Berdasarkan UU No.5 tahun 1990 dan PP No.7 tahun 1999, spesies ini termasuk satwa yang dilindungi di
Indonesia. Oleh IUCN Red list, Macan Tutul Jawa (Panthera padus melas)digolongkan dalam status
konservasi Kritis (Critically Endangered). Selain itu juga masuk dalam dalam CITES Apendix I yang
berarti tidak boleh diperdagangkan. Jumlah populasi Macan Tutul Jawa tidak diketahui dengan pasti.Data
dari IUCN Redlist memperkirakan populasinya di bawah 250 ekor (2008).Populasi Macan Tutul Jawa ini
tersebar di beberapa wilayah yang berbeda seperti di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN Gunung
Halimun Salak, TN Gunung Gede Pangrango, Hutan Lindung Petungkriyono Pekalongan, dan TN Meru
Betiri Jawa Timur.
14. Owa jawa (Hylobates moloch);
Gambar owa jawa (Hylobates moloch)
Owa jawa (Hylobates moloch) adalah sejenis primata anggota suku Hylobatidae. Kera ini adalah spesies
owa yang paling langka di dunia, dengan populasi tersisa antara 1.000 2.000 ekor saja. Owa jawa
menyebar terbatas (endemik) di Jawa bagian barat. Spesies ini tidak memiliki ekor, dan tangannya relatif
panjang dibandingkan dengan besar tubuhnya. Tangan yang panjang ini diperlukannya untuk berayun dan
berpindah di antara dahan-dahan dan ranting di tajuk pohon yang tinggi, tempatnya beraktifitas sehari-hari.
Warna tubuhnya keabu-abuan, dengan sisi atas kepala lebih gelap dan wajah kehitaman.

Owa jawa adalah hewan diurnal dan arboreal, sepenuhnya hidup di atas tajuk pepohonan. Terutama
memakan buah-buahan, daun dan bunga-bungaan. Kelompok kecil owa jawa menjelajahi kanopi hutan
dengan cara memanjat dan berayun dari satu pohon ke lain pohon dengan mengandalkan kelincahan dan
kekuatan lengannya. Berat tubuhnya rata-rata mencapai 8 kg. Kera ini hidup dalam kelompok-kelompok
kecil semacam keluarga inti, terdiri dari pasangan hewan jantan dan betina, dengan satu atau dua anakanaknya yang masih belum dewasa. Owa jawa merupakan pasangan yang setia, monogami. Rata-rata owa
betina melahirkan sekali setiap tiga tahun, dengan masa mengandung selama 7 bulan. Anak-anaknya
disusui hingga usia 18 bulan, dan terus bersama keluarganya sampai dewasa, yang dicapainya pada umur
sekitar 8 tahun. Owa muda kemudian akan memisahkan diri dan mencari pasangannya sendiri.
Spesies ini mempunyai wilayah teritorial yang mencapai 17 hektare, secara berkelompok mereka akan
berupaya mempertahankan teritorinya, dari kehadiran kelompok lain. Pagi-pagi sekali, dan juga di waktuwaktu tertentu di siang dan sore hari, owa betina akan memperdengarkan suaranya untuk mengumumkan
wilayah teritorial keluarganya. Dari suara yang bersahut-sahutan antar kelompok, dan terdengar hingga
jarak yang jauh ini, para peneliti dapat memperkirakan jumlah kelompok owa yang ada, dan selanjutnya
menduga jumlah individunya. Spesies ini hanya didapati di bagian barat Pulau Jawa, yakni di hutan-hutan
dataran rendah dan hutan pegunungan bawah. Penyebaran paling timur adalah di wilayah Gunung Slamet
serta di jajaran Pegunungan Dieng sebelah barat di wilayah Pekalongan.
15. Surili jawa (Presbytis comata);
Gambar surili jawa (Presbytis comata)
Surili jawa (Presbytis comata) adalah spesies monyet yang endemik pada sebagian pulau Jawa. Hewan ini
menyukai hutan primer dan penghuni pohon (arboreal). Terdapat dua subspesies surili jawa yaitu:
Presbytis comata comata yang ditemukan di Jawa Barat dan Presbytis comata fredericae yang menghuni
hutan Jawa Tengah.
Surili Jawa atau Javan Grizzled Langur mempunyai ukuran tubuh sepanjang 43-60 cm dengan berat tubuh
saat dewasa sekitar 6-8 kg, mempunyai ekor yang panjang berkisar antara 56-72 cm. Tubuhnya ditumbuhi
bulu berwarna hitam, kecoklatan atau keabuan untuk bagian kepala hingga punggung. Sedangkan rambut
di bagian dagu, dada, perut, lengan bagian dalam, kaki, dan ekor berwarna putih.Kulit pada muka dan
telinga berwarna hitam pekat agak kemerahan. Mereka hidup dalam kelompok kecil beranggotakan antara
7-12 ekor.
Primata yang menjadi fauna identitas kabupaten Bogor ini merupakan hewan herbivora yang menyukai
daun muda, kuncup bunga, buah-buahan dan biji-bijian, serta sesekali memakan serangga, jamur dan
tanah. Sesekali Suruli Jawa turun ke tanah untuk memakan tanah guna membantu proses pencernaannya.
Merupakan binatang diurnal (aktif pada siang hari). Sebagian besar aktifitasnya, termasuk tidur, dilakukan
di atas pohon (arboreal).
16. Rusa Bawean (Axis kuhlii), endemik pulau Bawean;
Gambar rusa Bawean (Axis kuhlii), endemik pulau Bawean
Di Indonesia terdapat 4 (empat) species rusa yang merupakan satwa asli Indonesia, yaitu Rusa
Sambar (Cervus unicolor), Rusa Timor (Cervus timorensis), Rusa Kijang (Muntiacus muntjak)dan Rusa
Bawean (Axis kuhlii).
Rusa Bawean, dalam bahasa inggris disebut Bawean Deer, merupakan satwa endemik Pulau Bawean (Kab.
Gresik, Jawa Timur), populasinya semakin langka dan terancam kepunahan. Oleh IUCN Redlist, Rusa
Bawean dikategorikan dalam Kritis (CR; Critiscally Endangered) atau sangat terancam kepunahan.
Spesies Rusa Bawean ini juga terdaftar pada CITES sebagai appendix I, tidak boleh diperdagangkan.

Dibandingkan dengan jenis rusa lainnya, Rusa Bawean memiliki tubuh yang relatif lebih kecil.
Mempunyai tinggi tubuh antara 60-70 cm dan panjang tubuh antara 105-115 cm, dengan bobot antara 1525 kg untuk rusa betina dan 19-30 kg untuk rusa jantan. Selain tubuhnya yang mungil, ciri khas lainnya
adalah memiliki ekor sepanjang hingga 20 cm yang berwarna coklat dan keputihan pada lipatan ekor
bagian dalam. Tubuhnya yang mungil ini menjadikan Rusa Bawean lincah dan menjadi pelari yang ulung.
Warna bulunya sama dengan kebanyakan rusa, cokelat kemerahan kecuali pada leher dan mata yang
berwarna putih terang.
Rusa Bawean mempunyai masa kehamilan antara 225-230 hari dan melahirkan satu anak tunggal (jarang
terjadi kelahiran kembar). Kebanyakan kelahiran terjadi antara bulan Februari hingga Juni. Sebagaimana
rusa lainnya, Rusa Bawean jantan memiliki tanduk (ranggah) yang mulai tumbuh ketika berusia delapan
bulan. Tanduk (ranggah) tumbuh bercabang tiga hingga rusa berusia 30 bulan. Ranggah rusa ini tidak
langsung menjadi tanduk tetap, tapi mengalami proses patah tanggal untuk digantikan ranggah yang baru.
Baru ketika rusa berusia 7 tahun, ranggah (tanduk rusa) ini menjadi tanduk tetap dan tidak patah tanggal
kembali.
Rusa Bawean merupakan nokturnal, lebih sering aktif di sepanjang malam, dan mempunyai habitat di
semak-semak pada hutan sekunder yang berada pada ketinggian hingga 500 mdpl. Mereka sangat hati-hati,
dan muncul untuk menghindari kontak dengan orang-orang; di mana aktivitas manusia berat, rusa
menghabiskan hari di hutan di lereng-lereng curam yang tidak dapat diakses oleh penebang kayu jati. Di
habitat aslinya, Rusa Bawean semakin terancam kepunahan. Pada akhir 2008, peneliti LIPI menyebutkan
jumlah populasi rusa bawean berkisar 400-600 ekor. Sedangkan menurut IUCN, satwa endemik yang
mulai langka ini diperkirakan berjumlah sekitar 250-300 ekor yang tersisa di habitat asli (2006). Karena
populasinya yang sangat kecil dan kurang dari 250 ekor spesies dewasa, IUCN Redlist sejak tahun 2008
memasukkan Rusa Bawean dalam kategori Kritis (CR; Critiscally Endangered) atau sangat terancam
kepunahan. Selain itu CITES juga mengategorikan spesies ini dalam Appendix I.
Semakin langka dan berkurangnya populasi Rusa Bawean dikarenakan berkurangnya habitat, yang semula
hutan alami berubah menjadi hutan jati yang memiliki sedikit semak-semak. Berkurangnya luas habitat
berakibat pada berkurangnya sumber makanan. Penurunan jumlah populasi ini mendorong berbagai usaha
konservasi diantaranya pembentukan Suaka Margasatwa Pulau Bawean seluas 3.831,6 ha sejak tahun
1979. Selain itu untuk menghindari kepunahan sejak tahun 2000 telah diupayakan suatu usaha
penangkaran Rusa Bawean

Anda mungkin juga menyukai