Anda di halaman 1dari 10

EKOSISTEM PERAIRAN MENGALIR : SUNGAI CITARUM

Andini Setianengsih (C24190005), Lia Amanda (C24190014), Lulu Mahira


Ramdani (C24190015), Umi Chofifakh (C24190035), Zahrah Fadia Aqilla
(C24190050), Antika Milata Rizka (C24190076), Ameliani Wardania Putri
(C24190077), Alliyah Farahdilla (C24190081), Muhammad Ghifari Yahya
(C24190084), Qonita Sinatrya (C24190090)
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
2020

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ekologi merupakan ilmu tentang rumah (tempat tinggal makhluk hidup).
Ekologi juga diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Pemenuhan kebutuhan manusia
dapat terpenuhi karena adanya pemanfaatan lingkungan yang terbentuk dari
pengelolaan lingkungan hidup. Melalui pengelolaan lingkungan hidup, terjadi
hubungan timbal balik antara lingkungan biofisik dengan lingkungan sosialm
Ekosistem adalah hubungan timbal balik antara unsur-unsur hayati dengan non-
hayati yang membentuk sistem ekologi. Ekosistem menurut Arpaci et al. (2008)
adalah suatu interaksi yang kompleks dan memiliki penyusun. Ekosistem perairan
dibedakan dalam tiga kategori utama yaitu ekosistem laut, ekosistem estuari, dan
ekosistem air tawar (Prabowo 2010). Menurut Closs et al. (2004) ekosistem
perairan tawar dapat dibedakan menjadi dua karakter, yaitu perairan tergenang
(lentik) dan perairan mengalir (lotik).
Klasifikasi perairan mengalir (lotik) dipengaruhi oleh kecepatan arus atau
pergerakan air, jenis sedimen dasar, erosi, dan sedimentasi. Kecepatan arus dan
pergerakan air sangat dipengaruhi oleh jenis bentang alam, jenis batuan, dan curah
hujan. Semakin rumit bentang alam, semakin besar ukuran batuan, dan semakin
banyak curah hujan, pergerakan air semakin kuat dan kecepatan arus semakin
cepat. Salah satu jenis perairan mengalir (lotik) adalah sungai. Sungai dicirikan
oleh arus yang searah dan relatif kencang, dengan kecepatan berkisar antara 0,1-
1,0 m/detik. Sungai sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola drainase
(Effendi 2013). Sungai terjadi karena airnya yang sudah ada, sehungga air itulah
yang membentuk dan menyebabkan tetap adanya saluran selama masih terdapat
air yang mengisinya (Ewusie 1990).
Sungai Citarum merupakan contoh sungai yang berada di Indonesia.
Sungai Citarum menjadi salah satu sungai strategis di Jawa Barat. Bagian hilir
Sungai Citarum menyediakan kebutuhan air bagi irigasi sawah lebih dari 240.000
ha, air baku air minum PDAM, dan kebutuhan industri (Hidayat et al. 2013). Dari
sekian fungsi strategis yang dimiliki Sungai Citarum, sayangnya DAS Citarum
termasuk salah satu DAS kritis dan menjadi prioritas untuk ditangani dalam
RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) 2010-2014. Sehubungan
dengan hal tersebut diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik
Sungai Citarum, ekosistem di dalamnya, dan pemanfaatan Sungai Citarum.

1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik serta
permasalahan ekologi yang terdapat di Sungai Citarum.

II. DESKRIPSI SUNGAI CITARUM

Sumber: https://sda.pu.go.id/bbwscitarum/2014/11/28/profil/

Wilayah Sungai Citarum merupakan wilayah sungai terbesar dan


terpanjang di Propinsi Jawa Barat dengan panjang 269 km. Secara geografis,
wilayah Sungai Citarum terletak pada 106° 51' 36" - 107° 51' BT dan 7° 19' - 6°
24' LS. Secara administratif, Wilayah Sungai Citarum melalui 9 Kabupaten yang
meliputi Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kabupaten Subang,
Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, sebagian Kabupaten Sumedang,
sebagian Kabupaten Cianjur, sebagian Kabupaten Bekasi, sebagian Kabupaten
Indramayu, serta 3 Kota yakni Kota Bandung, Kota Bekasi dan Kota Cimahi.
Wilayah sungai ini meliputi 5 Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Citarum,
DAS Cipunegara, DAS Cilamaya, DAS Cilalanang dan DAS Ciasem (Irmansyah
2017). Anak-anak Sungai Citarum berjumlah kurang lebih 36 anak sungai dengan
panjang kurang lebih 873 km (Kurniasih 2002).
Sepanjang Sungai Citarum dibangun 3 waduk besar yaitu Waduk
Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur. Daerah tangkapan air (DTA) yang
masuk ketiga waduk tersebut menandai pembagian DAS Citarum menjadi 3
bagian, yaitu DAS Citarum bagian hulu, DAS Citarum bagian tengah, dan DAS
Citarum bagian hilir. DAS Citarum bagian hulu yaitu daerah tangkapan air yang
mengalir ke Waduk Saguling. DAS Citarum bagian tengah yaitu daerah
tangkapan air yang mengalir ke Waduk Cirata. DAS Citarum bagian hilir yaitu
daerah tangkapan air yang mengalir ke Waduk Jatiluhur dan daerah tangkapan air
yang mengalir langsung ke laut. Proporsi wilayah DAS Citarum bagian hilir
berdasarkan wilayah administrasi yaitu Kabupaten Bekasi (21,5%), Bogor (14%),
Karawang (39,6%), Purwakarta (19,2%), sebagian kecil di Kabupaten Cianjur
(3,5%), dan Kabupaten Bandung Barat (2,1%) (Paryono et al. 2017).

III. KOMPONEN PENYUSUN EKOSISTEM SUNGAI CITARUM

Setiap jenis ekosistem di Bumi ini mempunyai ciri-ciri atau


karakteristiknya masing-masing termasuk ekosistem sungai. Ekosistem sungai
saedikit berbeda dengan ekosistem perairan lainnya karena ekosistem sungai
memiliki ciri khas yakni danya aliran air yang searah sehingga memungkinkan
adanya perubahan fisik dan kimia di dalamnya yang berlangsung secara terus
menerus. Selain itu adanya pergerakan air dari arah hulu menuju ke arah hilir
menyebabkan terjadinya variasi kondisi fisik dan juga kimia dalam tingkat aliran
air yang sangat tinggi dan beberapa macam tumbuhan dan juga binatang yang
telah beradaptasi dalam kondisi aliran air. Komponen abiotik pada perairan
mengalir pada umumnya antara lain: air, batu, suhu, cahaya matahari, kelembaban
udara dan lain sebagainya. Komponen air merupakan faktor utama yang dimiliki
oleh ekosistem suatu perairan, yang membedakan air di ekosistem sungai dengan
ekosistem perairan lainya adalah adanya aliran air dari hulu ke hilir. Kecepatan
aliran air antara satu sungai dengan sungai yang lainnya berbeda-beda, hal ini
menyebabkan adanya keragaman struktur dan ekosistem di bagian hulu dan hilir
sungai seperti jenis bebatuan, jenis tanah, dan bentuk sedimen dasar sungai.
Aliran sungai dapat mengubah bentuk dasar sungai melalui beberapa cara, yakni
erosi, sedimentasi , serta berbagai perubahan habitat yang lainnya. Menurut
Kartamihardja (2019) kondisi air di Sungai Citarum sangat tercemar. Pencemaran
bahkan terjadi mulai dari hulu, Situ Cisanti sampai hilirnya di Muara Gembong,
Karawang. Cahaya yang terdapat di ekosistem sungai memegang peranan yang
sangat penting. Cahaya berperan sebagai penyedia energi untuk melakukan proses
fotosintesis oleh berbagai organisme autotrof yang berperan sebagai produsen di
ekosistem sungai.
Selain air dan cahaya komponen abiotik juga terdiri dari parameter fisika
dan kimia sungai, seperti pH, suhu, DO, TDS, BOD, dan COD. Suhu adalah salah
satu parameter air yang paling penting karena mempengaruhi komponen biotik
dan abiotik dalam ekosistem. Menurut Rachmaningrum et al. (2015) suhu di
Sungai Citarum berkisar 24,2 °C – 26,8 °C, sedangkan nilai pH di Sungai Citarum
berkisar 5,30 – 5,72. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat pH di Sungai
Citarum yaitu curah hujan di wilayah Sungai Citarum, tingkat kesadahan air
mineral air, buangan dari proses industri, dan limbah deterjen yang masuk ke
dalam perairan sungai. Selain itu di ekosistem sungai juga ditemukan perbedaan
suhu dan pH yang cukup mencolok antara bagian permukaan hulu dan hilir sungi.
BOD atau Biological Oxygen Demand adalah jumlah kandungan organik dalam
air limbah yang dapat didegradasi secara biologis dengan konsumsi oksigen dan
COD atau Chemical Oxygen Demand merupakan jumlah bahan organik
teroksidasi terlarut dalam perairan. Menurut Arief et al. (2012) Konsentrasi BOD
pada Sungai Citarum hulu berkisar 1,6 mg/L - 20,5 mg/L dan Konsentrasi COD di
sepanjang DAS Citarum berkisar 5 mg/L – 425,2 mg/L. Konsentrasi DO adalah
parameter utama untuk mengkarakterisasi alam dan limbah cair dan untuk menilai
keadaan global lingkungan secara umum. Menurut penelitian Sugianti et al.
(2018) kadar DO di perairan Sungai Citarum bernilai antara 0,00 mg/L – 7,79
mg/L. Komponen abiotik lainya yang cukup mencolok adalah adanya jenis batuan
di ekosistem sungai terutama di daerah hulu sungai yang mempunyai komposisi
batuan yang tinggi. Akan tetapi seiring berjalannya waktu ekosistem abiotik
sungai mengalami perubahan. Daerah sekitar Sungai Cikapundung salah satu anak
Sungai Citarum telah mengalami beberapa perubahan, bagian hulu sungai beralih
fungsi lahan yang tadinya daerah hutan menjadi daerah peternakan dan pertanian.
Sedangkan hilir sungai, daerah pemukiman warga sekarang telah menjadi
pemukiman yang sangat padat penduduk dan sebagian menjadi daerah konveksi
atau industri (Yustiani et al. 2017).
Komponen biotik merupakan komponen yang terdiri dari makhluk hidup,
baik tumbuhan maupun binatang. Ekosistem sungai mempunyai banyak sekali
komponen biotik, seperti tumbuhan (contoh: ganggang, lumut, kangkung liar,
enceng gondok, dan lain sebagainya), binatang (contoh: ikan, siput, keong, remis,
udang , ular, serangga, dan lain sebagainya), fitoplankton, zooplankton, serta
organisme lainnya. Salah satu komponen biotik penyusun ekosistem sungai yang
paling menonjol adalah ikan. Komposisi variasi ikan di perairan sungai di Pulau
Jawa dihuni oleh 132 jenis ikan asli (indigeneous species) dan 12 jenis jenis ikan
endemik. Jenis ikan asli yang hidup di Sungai Citarum yang terdapat di Jawa
Barat hampir seluruhnya termasuk ikan sungai (riverine species). Sungai Citarum
dan anak-anak sungainya telah ditemukan sebanyak 23 jenis ikan yang termasuk
kedalam 12 famili dimana separuh dari jumlah jenis ikan asli tersebut termasuk
famili Cyprinidae. Keanekaragaman ikan di Sungai Citarum mengalami
degradasi. Menurut Kartamihardja et al. (1987) 5 jenis ikan termasuk ikan
predator dan 10 jenis termasuk ikan non predator Sebelum bendungan Saguling
dibangun pada tahun 1985, jenis ikan yang terdapat di 12 anak sungai yang akan
mengalir ke Waduk Saguling ditemukan sebanyak 15 jenis ikan dominan
diantaranya ikan hampal (Hampala macrolepidota), tawes (Barbodes goionotus),
lelawak (B. bramoides), nila (Oreochromis niloticus), mujair (O. mossambicus),
nilem (Osteochilus hasselti), gabus (Channa striata) dan tagih (Mystus nemurus).
Sedangkan menurut Haryani dan Triyanto (2017), pada tahun 2011 di Situ Cisanti
dan hulu Sungai Citarum sebelum Waduk Saguling, hanya ditemukan sebanyak 9
jenis ikan dan 5 jenis di antaranya termasuk jenis ikan introduksi.
Setelah itu menurut Arif (2012), pada tahun 2012 di Citarum Hulu
ditemukan 13 jenis ikan dengan komposisi jenis mengalami perubahan yang
didominasi ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis). Di Sungai Citarum tersebut
tercatat sebanyak 34 jenis ikan asli dan 11 jenis ikan asing. Jenis ikan asli yang
masih bertahan hidup di Sungai Citarum sebanyak 26 jenis dengan distribusi yang
berbeda untuk setiap kawasan. Beberapa jenis ikan asli yang sudah tidak pernah
diketemukan lagi atau langka adalah ikan lika, arengan, jambal, balidra, keting,
tilan, tambakan dan gurame. Kartamihardja (2019) menyatakan bahwa perubahan
habitat dari perairan mengalir (sungai) menjadi perairan tergenang (waduk) telah
mengubah pola kehidupan ikan asli Sungai Citarum. Sungai Citarum yang
tercemar berat merupakan faktor utama lain penyebab menurunnya
keanekaragaman ikan (Sugianti & Astuti 2018). Kandungan logam berat dalam air
Sungai Citarum lebih memperparah kehidupan jenis ikan sehingga akan
berkontribusi terhadap penurunan keanekaragaman ikan (Suprian et al. 2011).

IV. MANFAAT DAN FUNGSI SUNGAI CITARUM

Sungai Citarum adalah sungai yang menyumbangkan sekitar 20% GDP


(Gross Domestic Product) Republik Indonesia karena di sepanjang Sungai
Citarum terdapat beberapa industri besar yang menyumbangkan hasil kekayaan
perekonomiannya. Sungai Citarum juga dipergunakan untuk mengairi pertanian
(areal irigasi) sebesar 420.000 hektar. Sungai Citarum dibagi menjadi 3 golongan
berdasarkan cara pemanfaatannya menurut Surat Keputusan Gubernur Provinsi
Jawa Barat No.39 tahun 2001 antara lain golongan B untuk sumber air baku
minum, golongan C untuk sumber air yang dapat digunakan dalam bidang
perikanan dan peternakan, dan golongan D untuk sumber air usaha perkotaan,
usaha pertanian, industri, dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) (Hasan et al.
2011).
Sungai Citarum memiliki 6 manfaat dan fungsi diantaranya sebagai
pengembangan usaha pertanian, sumber air bahan baku air minum, sumber air
untuk bahan baku industri, sumber air untuk industri perikanan, sebagai
pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan sebagai badan tempat penerima limbah
cair yang telah diolah. Pengembangan usaha pertanian di DAS Citarum terdiri dari
tanaman pangan (padi dan palawija); perkebunan; serta hortikultura dan beraneka
macam jenis tanaman contohnya seperti sayur-mayur, buah-buahan, tanaman
rempah, dan tanaman obat). Sektor usaha pertanian merupakan pengguna air
Sungai Citarum terbesar pertama sebesar 89%. Bendungan Wangusagara yang
berlokasi di wilayah hulu Sungai Citarum digunakan untuk mengairi areal sawah
di Majalaya dan anak-anak Sungai Citarum mengairi sawah di daerah Cicalengka
dan Rancaekek. Sungai Citarum juga dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku
air untuk air minum dari PDAM daerah Bandung (sungai Cisangkuy); Purwakarta
(waduk Jatiluhur); Karawang, Bekasi, dan suspensi Jakarta (saluran Tarum Barat);
Rengasdengklok (saluran Tarum Utara); dan juga suspensi untuk pertamina
Balongan Indramayu dari saluran Tarum Timur. Wilayah DAS Sungai Citarum
menjadi bahan baku air untuk 542 industri yang berada disekitarnya dan sekitar
396 (73%) industri tersebut merupakan industri tekstil dengan penggunaan atau
pemanfaatan air terbanyak dalam proses pengolahan industrinya. Sungai Citarum
dimanfaatkan sebagai sumber air untuk bahan industri perikanan seperti dalam
tambak, kolam, sawah, keramba, kolam air deras, dan jaring apung di sekitar
wilayah sungai. Air Sungai Citarum yang ditampung pada 3 waduk diantaranya
Waduk Saguling (0,982 juta m3), Waduk Cirata (2,165 juta m3), dan Waduk
Jatiluhur (3 juta m3) dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA)
oleh pemerintah setempat. Sungai Citarum dimanfaatkan sebagai badan tempat
penerima limbah yang berasal dari limbah penduduk dan perkotaan, limbah
industri, limbah pertanian, limbah peternakan, limbah perikanan, dan limbah dari
pencemaran lumpur (Kurniasih 2002).

V. PERMASALAHAN EKOLOGIS DAN PENGELOLAAN


PERAIRAN SUNGAI CITARUM

Sungai Citarum memiliki permasalahan dengan kondisi airnya yang


sangat kotor dan tercemar, seperti di daerah Majalaya dimana terdapat
banyak daerah perindustrian yang menghasilkan limbah yang dapat
mencemari sungai Citarum. Pencemaran Citarum antara lain disebabkan
paradigma masyarakat yang menganggap sungai merupakan tempat sampah
raksasa dan destinasi akhir semua jenis kotoran. Sebanyak 20.462 ton
sampah organik dan anorganik dibuang ke sungai, serta 35,5 ton per hari kotoran
manusia, 56 ton/hari kotoran ternak, serta limbah medis (Erianti dan Djelantik
2019). Sungai Citarum menghadapi berbagai permasalahan yang berdampak pada
suplai air baku/bersih bagi penduduk sekitar DAS. Kritisnya tersebut sudah terjadi
sejak dari bagian hulu. Selain itu, permasalahan terjadi karena berkurangnya
fungsi kawasan lindung hutan,kadar erosi yang semakin tinggi mengakibatkan
sedimentasi di palung sungai, waduk, bahkan masuk ke jaringan prasarana air
(Maulani et al. 2013)
Polutan yang mencemari Sungai Citarum sebanyak sekitar 70 % berasal
dari limbah domestik. Sebanyak 30% berasal dari limbah asal industri,
pertanian dan peternakan. Parameter polutan yang meningkat paling tajam di
Sungai Citarum itu di antaranya bakteri coli asal tinja manusia. Padahal
ketiadaan bakteri yang habitat aslinya dalam usus manusia ini merupakan
salah satu parameter bagi kualitas air minum yang baik. Berdasarkan tujuh
parameter di indeks kualitas lingkungan hidup, khususnya indeks kualitas air, di
Sungai Citarum dikategorikan tercemar sedang hingga berat (Erianti dan
Djelantik 2019). Selain itu, pencemaran domestik dan industri juga menjadi
kontribusi yang berat dalam penurunan kualitas air. Oleh karena itu infrastruktur
sanitasi dan pengolahan limbah domestik perlu ditingkatkan dan atau
dikembangkan. Secara paralel monitoring operasional Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL), industri juga perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya
overloading yang terakumulasi dan berkepanjangan. Hal ini menunjukkan bahwa
kinerja infrastruktur pengelolaan limbah cair domestik dan industri sangat minim
(Marganingrum et al 2012).
Berangkat dari permasalahan di atas,perlu adanya upaya dan kepedulian
dari berbagai pihak baik pemerintah maupun warga masyarakat untuk melakukan
berbagai cara dalam menanggulangi pencemaran di sungai Citarum. Salah satu
contoh usaha nyata dalam usaha pengelolaan ini adalah dibentuknya pembinaan
dan pelatian pemulung di desa Babakan Cianjur Kecamatan Cihampelas melalui
pemberdayaan masyarakat dalam mengelola limbah sungai Citarum non organik
maupun organik untuk dijadian berbagai cendramata dan kerajinan tangan dengan
nilai jual yang tinggi. Dengan adanya kepedulian dari tokoh masyarakat dan
pemerintah provinsi, program ini mampu mengubah pola pikir masyarakat ke arah
yang lebih baik dan memunculkan komunitas dan gerakan gerakan baru yang
tidak hanya bergerak di daerah sekitar desa Babakan tapi juga merambah ke
daerah hulu Citarum dalam upaya pelestarian Citarum. (Rosita 2017).
Sebagai mahasiswa manajamen sumberdaya perairan, kita dapat melihat
bahwa pada tingkat pengelolaan Sungai Citarum juga memiliki banyak
permasalahan. ketidakefektifan pengelolaan Sungai Citarum dilakukan oleh
pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat, dimana pada tataran Pemerintah Pusat
terdapat dua roadmap yang berbeda antara milik Bappenas dan Kementerian
Pekerjaan Umum mengenai pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum.
Sebaiknya, pemerintah turut andil dalam pengelolaan sungai citarum agar lebih
baik dan menyelesaikan masalah yang ada. Penetapan peraturan-peraturan yang
tegas juga diperlukan dalam permasalahan ini agar warga tidak membuang limbah
ke Sungai Citarum.

VI. KESIMPULAN

Sungai Citarum yang memiliki panjang 269 km termasuk sungai yang


strategis namun kondisi DAS yang kritis dan memprihatinkan akan menjadi
prioritas untuk ditangani. Kondisi Sungai Citarum yang sudah tercemar dari hulu
sampai hilir membuat ekosistem baik biotik maupun abiotik mengalami
perubahan. Keanekaragam ikan yang berada di Sungai Citarum mengalami
kepunahan dan penurunan drastis. Hal ini disebabkan karena pencemaran sungai
tersebut. Fungsi dari sungai yang awalnya berguna untuk peternakan dan
pertanian beralih menjadi pemukiman padat penduduk dan sebagian menjadi
daerah industri. Tingkat kelayakan Sungai Citarum untuk kegiatan perikanan
disimpulkan sangat kritis karena masuk ke dalam kategori pencemaran berat yang
menjadi faktor utama lain menurunnya keanekaragaman ikan.
DAFTAR PUSTAKA

Arief Happy, Masyamsyir, Yayat D. 2012. Distribusi kandungan logam berat Pb


dan Cd pada kolom Air dan sedimen daerah aliran sungai citarum hulu.
Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(3): 175-182.
Arif HK. 2012. Kelimpahan dan keanekaragaman ikan di Sungai Citarum hulu.
[SKRIPSI]: Bandung, Universitas Padjajaran.
Arpaci O, Kency B, Ozet M, Dengzy Z, Kala D. 2008. Ecology. Istanbul [TR]:
Zambak Yayinlari.
Closs G, Barbara D, Andrew B. 2004. Freshwater Ecology. Australia [AUS]:
Blackwell Publishing.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Erianti D, Djelantik S. 2019. Program revitalisasi Sungai Citarum: sebuah analisis
strenght, weakness, advocates, advesaries (SWAA). Jurnal Ilmu
Admministrasi (JIA). 16(1): 81-96.
Ewusie JY. 1990. Ekologi Tropika. Bandung [ID]: Penerbit ITB.
Haryani GS, Triyanto. 2011. Dampak kegiatan antropogenik terhadap keragaman
komunitas ikan di Sungai Citarum. Prosiding Pertemuan Ilmiah
Masyarakat Limnologi Indonesia. Bogor, 17 Oktober 2017. 237-246.
Hasan M, Sapei A, Purwanto J, Sukardi. 2011. Kajian kebijakan pengelolaan
sumber daya air pada daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Jurnal
Sumber Daya Air. 7(2): 105-118.
Hidayat Y, Murtilaksono K, Wahjunie ED, Panuju DR. 2013. Pencirian debit air
Sungai Citarum hulu. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 18(2): 109-144.
Irmansyah MF. 2017. Studi umum permasalahan dan solusi DAS Citarum serta
analisis kebijakan pemerintah. Jurnal Sosioteknologi. 25(11): 18-33.
Kartamihardja. 2019. Degradasi keanekaragaman ikan asli di Sungai Citarum,
Jawa Barat. Jurnal Warta Iktiologi. 3(2) : 1-8.
Kartamihardja ES, Nastiti, Krismono, K. Purnomo, A. Hardjamulia. 1987.
Penelitian limno biologis Waduk Saguling pada tahap pra-inundasi.
Jurnal Bull Penel Perikanan Darat. 6(3): 32- 62.
Kurniasih N. 2002. Pengelolaan DAS Citarum berkelanjutan. Jurnal Teknologi
Lingkungan. 3(2) : 82-91.
Marganingrum D, Roosmin D, Pradono, Sabar A. 2013. Diferensiasi sumber
pencemar sungai menggunakan pendekatan metode indeks pencemar (IP)
(studi kasus: hulu DAS Citarum). RISET Geologi dan Pertambangan.
23(1): 41-52.
Maulani N, Sunardi, Sumiarsa D, Djuwasanah. 2013. Identifikasi kemisikinan air
di daerah aliran Sungai Citarum hulu: kasus daerah Bandung Raya.
Jurnal Ilmu Lingkungan. 11(2): 92-99.
Paryono, Damar A, Susilo SB, Dahuri R, Suseno H. 2012. Sedimentasi delta
Sungai Citarum, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Jurnal
Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. 1(1): 15-26.
Prabowo RE, Ardli ER, Sastranegara MH, Lestari w. 2010. Biodiversitas dan
bioteknologi sumberdaya akuatik. Prosiding Seminar Nasional Biologi.
Semarang.
Rachmaningrum, Wardhani, Pharmawati. 2015. Konsentrasi logam berat
kadmium (Cd) pada perairan sungai citarum hulu segmen Dayeuhkolot-
Nanjung. Jurnal Karya Ilmiah Teknik Lingkungan Itenas. 3(1) : 1-11.
Rosita T. 2017. Pemberdayaan masyarakat pemulung melalui pengelolaan limbah
di Sungai Citarum. Jurnal Ilmiah P2M STKIP Siliwangi. 4(2): 12-19.
Sugianti Y, Astuti LP. 2018. Respon oksigen terlarut terhadap pencemaran dan
pengaruhnya terhadap keberadaan sumberdaya ikan di Sungai Citarum.
Jurnal Teknologi Lingkungan. 19(2): 203-211.
Suprian C, Salami IRS. 2011. Akumulasi merkuri (Hg) pada ikan budidaya
keramba jaring apung dan ikan liar di Waduk Jatiluhur. Jurnal Teknik
Lingkungan. 17(2): 68-76.
Yustiani Y, Hasbiah, Saputra M. 2017. Studi lanjutan deoksigenasi pada sungai
cikapundung untuk ruas Siliwangi-Asia Afrika, Bandung. Jurnal
INFOMATEK. 19(1): 29-36.

LAMPIRAN

No. Nama Lengkap NIM Jobdesk


1. Andini Setianengsih C24190005 Mencari materi
pendahuluan: latar
belakang dan tujuan
2. Lia Amanda C24190014 Mencari materi
deskripsi Sungai
Citarum
3. Lulu Mahira Ramdani C24190015 Mencari materi
pendahuluan: latar
belakang dan tujuan
4. Umi Chofifakh C24190035 Membuat kesimpulan
5. Zahrah Fadia Aqilla C24190050 Menyusun daftar
pustaka serta
mengumpulkan dan
menyatukan materi di
draftnya
6. Antika Milata Rizka C24190076 Mencari komponen
penyusun ekosistem
Sungai Citarum
7. Ameliani Wardania Putri C24190077 Mencari materi
manfaat dan fungsi
Sungai Citarum
8. Alliyah Farahdilla C24190081 Mencari materi
permasalahan ekologis
dan pengelolaan
perairan Sungai
Citarum
9. Muhammad Ghifari Yahya C24190084 Mencari materi
permasalahan ekologis
dan pengelolaan
perairan Sungai
Citarum
10. Qonita Sinatrya C24190090 Mencari komponen
penyusun ekosistem
Sungai Citarum

Anda mungkin juga menyukai