Disusun Oleh :
Inge Dirgantari
E1E021050
PETERNAKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022/2023
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Ancaman dan faktor
penyebab kerusakan keanekaragaman hayati di Indonesia (tentang perikanan)”.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................................1
1.3. Tujuan...............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................3
2.1. Ancaman Sumber Daya Hayati.........................................................................................3
2.2. Faktor Penyebab Kerusakan Keanekaragaman Hayati.....................................................3
2.2.1. Perubahan Iklim.........................................................................................................3
2.2.2. Ancaman Lokal..........................................................................................................6
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................13
3.1. Kesimpulan.....................................................................................................................13
3.2. Saran................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................iii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2. Apa faktor penyebab Kerusakan Keanekaragaman Hayati?
1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui mengenai Ancaman Sumber Daya Hayati.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab Kerusakan Keanekaragaman Hayati.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
dampak pertama dari perubahan iklim global. Ancaman yang ditimbulkan bisa
terjadi dalam bentuk:
1) Perubahan susunan kimia air laut dalam bentuk asidifikasi air laut, sebagai
akibat dari hujan asam;
2) Meningkatnya suhu permukaan air laut sebagai akibat dari peningkatan suhu
atmosphere;
3) Peningkatan permukaan air laut (sea level) karena pemuaian air pada suhu yang
lebih tinggi dan mencairnya lapisan es di kutub.
a. Asidifikasi
Hujan asam, oleh para ahli, diduga akan menyebabkan perubahan
susunan kimia dan penurunan pH air laut. Dampak pertama yang ditimbulkan
ialah perubahan sistem bikarbonat pada air laut. Dampak turunannya ialah
terganggunya pembentukan struktur eksoskeleton (rangka penyangga) pada
terumbu karang. Sistem bikarbonat pada air laut, pada dasarnya mengikuti
persamaan disosiasi sebagai berikut:
CO2 + H2O ↔ H2CO3 ; H2CO3 ↔ H+ + HCO3 - ; HCO3 - ↔ H+ + CO3 2-
Peningkatan CO2 akan menurunkan kejenuhan aragonite, dan
sebagai konsekuensinya, menurunkan laju pembentukan kerangka kapur oleh
coral polyp.
Peningkatan CO2 , melalui hujan asam akan melemahkan struktur
carbonat pada kerangka luar terumbu karang. Sebagai akibatnya, kerangka kapur
akan mengalami erosi. Jika kecepatan erosi alami lebih cepat dari laju
pembentukan kerangka kapur oleh binatang karang, luas dan kualitas (kekuatan
struktur) terumbu karang akan menurun. Penurunan luas dan kekuatan terumbu
karang akan berdampak buruk bagi terumbu karang, terkait dengan fungsi
alaminya sebagai pelindung daratan dari serangan gelombang pasang.
Asidifikasi pada air laut juga diramalkan akan berpengaruh pada
organisme yang hidupnya tidak ditopang oleh kerangka kapur, seperti ikan dan
organisme akuatik (perairan) lainnya. Asidifikasi, melalui hujan asam, diduga
akan menyebabkan suatu kondisi yang disebut asidosis. Asidosis ialah
meningkatnya, atau tepatnya, turunnya nilai pH pada plasma darah. Gejala
4
asidosis terjadi ketika pH plasma darah turun < 7,35 (namun tergantung dari
spesies). Asidemia ialah gejala yang ditimbulkan oleh peristiwa asidosis, ialah
kondisi melemahnya sistem kekebalan tubuh (imunitas) dan terganggunya proses
metabolisme tubuh pada sebagian besar organisme akuatik. Gejala lainnya ialah
menurunnya kapasitas reproduksi, terutama ikan-ikan di laut.
5
akan memberikan dampak negatif pada habitat dan spesies di laut – terumbu
karang mengalami bleaching, pembentukan daun dan kemampuan fotosistensis
pada tanaman bakau menurun, seagrass burning pada habitat lamun, kematian
pada tumbuhan rumput laut dan perubahan ratio kelamin pada tukik (anak
penyu). Bleaching bisa menyebabkan kematian binatang karang dan dominasi
lumut. Hal ini akan mengurangi fungsi terumbu karang sebagai rumah bagi ikan
sehingga produksi ikan karang kemungkinan akan menurun. Kapasitas produksi
petani rumput laut kemungkinan akan berkurang. Hal yang sama juga bisa
terjadi sebagai akibat dari perubahan struktur habitat pada bakau dan lamun.
Asidifikasi akan melemahkan struktur kerangka kapur pada terumbu karang –
bisa terjadi erosi kerangka kapur lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan
kerangka yang sama oleh binatang karang. Hal ini akan melemahkan fungsi
terumbu karang sebagai pelindung pantai. Asidifikasi, pada ikan dan organisme
laut lainnya, bisa menyebabkan gejala asidemia, menurunnya pH plasma darah.
Pada kondisi seperti ini tingkat kekebalan ikan dan organisme laut lainnya akan
menurun, serta menurunnya kemampuan reproduksi. Dengan demikian, ancaman
global akan berdampak negatif pada kemampuan laut untuk menyediakan
sumber daya bagi manusia serta menurunnya fungsi laut dalam memberikan jasa
ekosistem lainnya.
6
Hasil kajian ahli pesisir di Asia Tenggara menyatakan, 80%
penduduk terkonsentrasi pada wilayah antara 0 – 60 km dari laut. Pembangunan
perumahan, fasilitas transportasi, pemanfaatan sumber daya, pariwisata dan
pembuangan sampah maupun limbah akan terkonsentrasi di wilayah pesisir.
Semua aktifitas tersebut di atas akan menekan dan mengancam sumber daya
habitat dan hayati laut.
Namun dampaknya segera terlihat – pantai mengalami abrasi,
daratan terkikis secara perlahan dan tamu hotel merasa terganggu karena
bangunan terus diserang ombak.
Penambangan karang sampai saat ini masih dilakukan di Indonesia
– Nusa Tenggara Timur, Wakatobi dan sebagian wilayah Papua, masyarakat
melakukan pengambilan terumbu karang untuk tujuan yang beragam, baik secara
subsisten maupun dilakukan untuk tujuan komersial. Walaupun secara terbatas,
pemerintah masih mengeluarkan ijin beberapa perusahaan untuk melakukan
pengambilan terumbu karang. Jumlah pengambilan ditentukan berdasarkan
kuota per wilayah. Namun pemerintah tidak selalu bisa melakukan pengawasan
secara ketat. Akibatnya, sering terjadi pelanggaran dalam aktifitas penambangan
terumbu karang. Seorang Kepala Dinas di Kabupaten Alor pernah dituntut di
Pengadilan Negeri karena melarang usaha pengambilan karang di wilayahnya.
Putusan pengadilan, bahkan, memenangkan pengusaha yang mengambil karang.
b. Konversi Lahan
Konversi lahan bakau tidak saja terjadi pada wilayah dengan
populasi penduduk yang padat. Pemandangan dari pelabuhan udara Bima,
Sumbawa, menunjukkan sebagian besar dari hutan bakau sudah dirubah menjadi
lahan tambak dan kolam garam.
Hutan bakau berfungsi untuk menjebak bahan organik, mejadi
perangkap bahan pencemar dan menahan bahan-bahan partikulat sebelum
sampai di pantai. Hutan bakau juga berfungsi sebagai penyangga untuk
mencegah intrusi air laut ke arah daratan.
7
Konversi lahan sering mengorbankan hutan bakau yang ada di
pinggir pantai. Jika alih fungsi hutan bakau dilakukan secara berlebihan, bakau
akan kehilangan berbagai fungsi seperti tersebut di atas. Ancaman terhadap
bakau, dengan kata lain, bisa berdampak negatif pada perikanan tangkap.
Misalnya, konserversi lahan bakau yang berubah menjadi tambak udang
dan/atau garam.
c. Sedimentasi
Pembukaan lahan membuat tanah permukaan labil dan terbawa
bersama air permukaan pada saat hujan. Seluruh bahan tersebut hanyut dan
sampai di wilayah muara sungai. Dengan semakin berkurangnya lahan bakau, air
sungai bersama partikel lumpur akan mengendap pada wilayah littoral dan
paparan benua. Sedimentasi ini menjadi ancaman bagi lingkungan terumbu
karang. Sedimentasi menutupi coral polyp dengan partikel lumpur. Kekeruhan
oleh partikel lumpur juga menghambat radiasi sinar matahari sehingga tidak bisa
dimanfaatkan secara optimal oleh zooxanthellae, simbion dari coral polyp.
Habitat terumbu karang yang baik hampir tidak pernah ditemukan
dekat dengan muara sungai besar. Hal ini disebabkan karena sungai di Indonesia
selalu membawa partikel lumpur dan bahan pencemar lainnya yang membuat
habitat terumbu karang sulit berkembang. Sebaliknya, terumbu karang bisa
tumbuh baik pada lokasi pulau-pulau kecil yang relatif tidak memiliki sungai
besar.
Kekeruhan akibat sedimentasi tersebut membuat terumbu karang
tidak bisa tumbuh dengan optimal.
Perubahan tata guna lahan di darat bersama sistem pertanian yang
tidak berkelanjutan, keduanya menyebabkan pencemaran pada badan dan
tangkapan air. Pencemaran tersebut bisa bersifat poin-source yang mudah
dilacak maupun non-point-source yang tidak mudah dilacak. Tipe pencemaran
ini biasanya membawa nutrien secara berlebihan dan menyebabkan eutrofikasi
di wilayah muara sungai dan pantai.
8
. Meningkatnya pembukaan lahan, perubahan tata guna lahan serta
sistem pertanian yang tidak berkelanjutan terus meningkatkan sedimentasi dan
nutrien ke wilayah pesisir pantai. Terumbu karang pada muara sungai dari tiga
pulau ini relatif sudah terdegradasi dibandingkan dengan di wilayah timur
Indonesia.
d. Pencemaran Minyak
Beberapa kegiatan manusia yang berbasis di laut dan menyebabkan
degradasi sumber daya laut, antara lain ialah termasuk: pelabuhan, tumpahan
minyak di laut, bangkai kapal yang ditinggalkan pemilik, pembuangan sampah
dari atas kapal, pelemparan jangkar tambak (anchor), pembuangan air ballast
dan aktifitas pengeboran minyak (di pantai atau lepas pantai). Wilayah sekitar
pelabuhan umumnya didominasi oleh tiga kategori pencemaran: pembuangan
minyak dari limbah pembakaran, pembuangan air ballast dan sampah.
Intensitas pencemaran minyak bisa terlihat pada permukaan air laut karena
berat jenis minyak yang lebih rendah. Komposisi kimia hidro-karbon minyak
lebih banyak berdampak negatif pada organisme permukaan (pelagis). Lapisan
permukaan minyak bisa membentuk micro-film yang berdampak pada serapan
energi matahari yang seharusnya bisa diterima oleh zooxanthella pada coral-
polyp. Pembuangan air ballast umumnya mengandung bahan organik dan
organisme infasive yang akhirnya menjadi kompetitor keragaman hayati lokal.
Beberapa jenis kapal harus berlabuh dan melemparkan jangkar di luar
pelabuhan. Secara fisik, dia bisa merubah struktur dasar perairan di sekitar
pelabuhan.
Pada dasarnya, pencemaran di laut bersifat lokal di sekitar sumber
pencemaran. Beberapa jenis pencemar, terutama yang tidak bisa diencerkan
oleh air laut, terbawa oleh arus laut dan menyebabkan dampak negatif pada
area yang lebih luas. Tumpahan minyak 43 Ancaman pada sumber daya hayati
laut ini terus meluas, mencemari wilayah perairan laut yang dilewati bersama
arus. Beberapa jenis ikan komersial yang ditangkap oleh nelayan sudah terkena
radiasi dan mengkhawatirkan konsumen.
9
e. Penangkapan Berlebihan
Penangkapan berlebih (over-exploitation), didefinisikan sebagai
pengambilan sumber daya hayati laut (ikan) pada laju yang melebihi
kemampuan sumber daya untuk melakukan pemulihan secara alami. Indikasi
awal penangkapan berlebih ialah berkurangnya stok populasi, dan akhirnya,
hasil tangkapan nelayan. Indikasi lainnya ialah pada semakin kecilnya ukuran
ikan yang tertangkap oleh nelayan. Penangkapan berlebih, jelas akan merugikan
nelayan dan masyarakat karena potensi sumber daya yang bisa dimanfaatkan
akan semakin menurun. Hal ini akan berdampak pada kerugian ekonomi
masyarakat lokal, bahkan bisa terjadi dalam bentuk hilangnya salah satu sumber
penghidupan masyarakat pesisir dari penangkapan ikan. Ketika sumber daya
mulai berkurang, kita bisa melihat frekuensi konflik diantara nelayan pengguna
sumber daya yang semakin intens. Konflik nelayan di Selat Madura (Jawa
Timur) atau di Selat Malaka (Sumatera) ialah dua contoh yang masih kita bisa
lihat sampai saat ini.
Penangkapan berlebih bisa terjadi dalam beberapa bentuk – growth
over fishing, recruitment over-fishing dan ecological over-fishing. Growth over-
fishing terlihat dari gejala ukuran ikan hasil tangkap yang semakin kecil.
Ecological over-fishing menyebabkan perubahan susunan rakitan spesies yang
selanjutnya berdampak pada tidak seimbangnya struktur ekosistem. Recruitment
overfishing dicirikan dari menghilangnya individu baru secara mendadak
sebagai dampak dari pengurasan induk potensial. Ketiga jenis penangkapan
berlebih ini tentu saja merupakan ancaman bagi sumber daya dan keragaman
hayati laut.
f. Penangkapan Destruktif
Penangkapan destruktif ialah jenis kegiatan pengambilan ikan
dengan cara atau metode yang berdampak negatif pada populasi ikan dan habitat
atau lingkungan tempat tinggal ikan. Penangkapan destruktif disebut juga
dengan istilah penangkapan tidak ramah lingkungan, Unfriendly Fishing
10
Methods. Peledak (bom ikan, dinamit) dan racun ikan (potasium sianida, tuba,
akar bore, deris) ialah dua jenis metode penangkapan di Indonesia yang sangat
terkenal, tergolong dalam metode destruktif. Trawl atau pukat hariamau juga
termasuk dalam kategori alat destruktif bersama penangkapan dengan
menggunakan strum listrik, electro-fishing. Dampak dari
penangkapan destruktif dibedakan dalam dua kategori, ialah: tertangkapnya ikan
non-target dan menyebabkan hasil sampling (by-catch), dan kerusakan kolateral.
Trawl dan electrofishing sering kali atau hampir selalu menghasilkan by-catch
yang sering kali tidak bermanfaat secara ekonomis dan terpaksa harus dibuang
oleh nelayan. Kerusakan kolateral ialah dampak negatif, baik kerusakan habitat
atau ikan-ikan kecil yang tidak pernah bisa dihitung, sebagai akibat dari cara
operasi alat tangkap. Trawl dasar, bom ikan dan racun ikan sering kali
menimbulkan dampak dalam bentuk kerusakan kolateral ini. Bom ikan
umumnya digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang bergerombol di atas
terumbu karang, seperti ikan ekor kuning, Caesio spp, atau ikan kuwe, Caranx
spp. Ledakan oleh bom akan menimbulkan kerusakan fisik pada terumbu karang,
menjadi serpihan kecil yang disebut rubble. Bom menyebabkan perubahan
struktur dasar, dari substrat keras (fix) menjadi substrat yang labil. Pada kondisi
seperti ini, terumbu karang akan sulit tumbuh kembali karena bayi karang
(planula) selalu membutuhkan subsrat keras untuk menempel.
Trawl, disebut juga Pukat Harimau atau Pukat Hela, lebih banyak
dioperasikan pada dasar berpasir atau pasir berlumpur. Dalam operasi, jaring ini
menggaruk dasar perairan. Akibatnya, terjadi perubahan struktur dan kualitas
habitat dasar yang sebelumnya sangat cocok untuk ikan. Ukuran mata jaring
cod-end pada Trawl dibuat berukuran sangat kecil. Hal ini dimaksudkan agar
udang, yang menjadi target utama penangkapan, tertinggal pada jaring cod-end.
Namun, pada saat yang sama, ikan-ikan lain yang tidak menjadi target
penangkapan juga tertangkap. Sebagian besar ikan-ikan ini tidak bernilai
ekonomis untuk dibawa ke darat – nelayan harus membuang ikan-ikan tersebut
ke tengah laut, disebut dengan istilah discard.
11
Ringkasnya, penangkapan dengan alat tangkap atau metode yang
tidak ramah lingkungan mengancam keberlanjutan sumber daya dan
keanekaragaman hayati laut. Ancaman tersebut terjadi dalam bentuk tingginya
hasil samping dan kerusakan kolateral yang ditimbulkan oleh operasi alat. Harus
diingat pula bahwa alat tangkap destruktif juga memberikan kontribusi nyata
terjadinya penangkapan berlebih. Jadi, alat tangkap destruktif disebut
menyebabkan terjadinya double-blow effect, penangkapan berlebih dan pada
saat yang sama juga menyebabkan kerusakan habitat potensial bagi ikan.
12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sumber daya hayati (habitat dan spesies) di laut mengalami ancaman
serius oleh berbagai aktifitas manusia di darat. Kegiatan tersebut bisa berdampak
langsung atau secara tidak langsung pada keanekaragaman hayati. Ancaman pada
sumber daya hayati laut bisa dibedakan menjadi: ancaman yang bersifat lokal, dan
ancaman global. Ancaman lokal ialah jenis ancaman dengan sumber ancaman
bersifat lokal, terjadi pada titik tertentu di laut. Pencemaran, konversi lahan atau
penangkapan ikan ialah termasuk jenis ancaman lokal. Ancaman global ialah
tekanan pada sumber daya hayati laut yang terjadi pada hampir semua wilayah di
laut. Meningkatnya suhu permukaan air laut ialah contoh dalam kategori ancaman
global.
3.2. Saran
Upaya dalam mencegah kerusakan keanekaragaman hayati dapat dimulai
dengan tidak membuang sampah ke laut sehingga tidak terjadi polusi atau
pencemaran di air, melakukan pelestarian yang diwujudkan dalam bentuk taman
nasional, suaka margasatwa, taman laut, dan cagar alam, perlindungan jenis
makhluk hidup yang diambil dari habitat aslinya untuk dipindahkan ke habitat lain
yang lebih cocok bagi kelangsungan hidupnya serta tidak melakukan penangkapan
berlebih terutama pada ikan kecil (bibit) dan juga tidak melakukan pengeboman.
13
DAFTAR PUSTAKA
iii